77626352-Trauma-Capitis.docx

36
BAB I PENDAHULUAN Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok usia anak-anak. Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling “ringan”, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma tembus. Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting seperti: umur penderita, waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan kardiovaskuler, pemeriksaan minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil, adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan. Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran, sehingga tindakan 1

description

a

Transcript of 77626352-Trauma-Capitis.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan

pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada

hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala

merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus

cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun

dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Penyebab tersering

adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh terutama pada kelompok

usia anak-anak.

Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur

lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling “ringan”, tulang

tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka

yang tertutup, maupun trauma tembus.

Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting

seperti: umur penderita, waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan

kardiovaskuler, pemeriksaan minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan

reaksi cahaya pupil, adanya cedera penyerta, dan hasil CT Scan.

Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan

kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan

neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus

segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

1

I.1.ANATOMI

2

A.Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:

1. Skin atau kulit

2. Connective Tissue atau jaringan penyambung

3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan

langsung dengan tengkorak

4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5. Perikarnium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat

laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-

anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan

waktu lama untuk mengeluarkannya.

B.Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio temporal

tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata

dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada

bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa anterior

adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis dan fosa posterior

adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.

3

C.Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan yaitu:

duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam

kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat

ruang subdural.

Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus

sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater

dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa

media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan

tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada

permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid

dan piameter dalam ruang sub araknoid.

D.Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang

berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara

sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area

bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi

sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis

berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari

mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi

sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada

medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai

medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi

dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis

batang otak dan kedua hemisfer serebri.

4

5

E.Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik

kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.

Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya

keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh

permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui

granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam

CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan

menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans)

F.Tentorium

Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan

infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak

berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus

oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada

6

keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau

edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah

sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan

juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi pupil

ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi

tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi

pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu.

I.2.Fisiologi

A. Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan

intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak

buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi

pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya

merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan

masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O),

TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg

termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin

buruk prognosisnya.

B. Doktrin Monro-Kellie

Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK.

Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga

kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal

tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas

normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase

ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan

kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.

7

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

Mempertahankan tekanan daerah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah

sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya TPO adalah indikator yang

sama pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut:

TPO = TAR – TIK

(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)

TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang buruk pada

penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk

tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu bahkan

membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang

adekuat. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam

penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO

menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO

5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada

penderita non-trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang

konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata

dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160

mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme

autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya,

penderita-penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia

sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan

8

terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada

penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial,

haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus

dipertahankan.

II.MEKANISME DAN PATOLOGI

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan

langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau

tanpa fraktur tulang tengkorak.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer

dan cedera kepala sekunder . Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat

atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik.

Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan

kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses

penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera

fokal dan cedera otak difusa. Farktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa

kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom

subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata

telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa berkaitan

dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.

Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih

merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera

kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita .

Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,

hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial

(tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift),

vasospasme, kejang, dan infeksi) (1,

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan

yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan

yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan

antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan

9

yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma

serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah

arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),

kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel

yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma

serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan

langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau

tanpa fraktur tulang tengkorak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa

contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja

pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada

coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan

contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan .

III.KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi

III.1.Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau

pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang

cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak

pada protuberans tulang tengkorak

10

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan

III.2.Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak .

Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata)

dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat

berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik

dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang

tengkorak .

11

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan

subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara

bersamaan .

Perdarahan epidural

Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan

duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh

robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah

yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi

akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya

sinus venosus terutama pada region parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun

secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera

kepala dan 9% dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan

karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan

epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan

langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama.

Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status

neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat

menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang semula

mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya suatu

tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli

bedah saraf.

Gambar: Perdarahan epidural

12

Gambar: Epidural Hematoma

Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30%

dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena

jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi

bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan

otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada

perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat

diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan

medikamentosa yang agresif.

13

Gambar :Perdarahan subdural

Gambar: Subdural Hematom

Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri

meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan

cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural

akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun

dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas

perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas.

Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi

membentuk perdarahan intraserebral.

Cedera difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi

dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala.

Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun

terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini

sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling

14

ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.

Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih

berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad

(keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera).

Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau

hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan

lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya

berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini

akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio

serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa

yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk

beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,

anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma

pasca komosio yang dapat cukup berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita

mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu

lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam

dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala

dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun

bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom

seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak

karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering

terjadi bersamaan.

III.3.Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi

Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan

Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10

menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

15

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan

pada pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota

gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih

berat

o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

IV.GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera

dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV

(Eyes, Verbal, Movement)

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4

Atas perintah 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5

Jawaban kacau 4

Kata-kata tidak berarti 3

Mengerang 2

Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6

Reaksi setempat 5

16

Menghindar 4

Fleksi abnormal/Decorticate 3

Ekstensi/Decerebrate 2

Tidak bereaksi 1

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan

neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun

pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam

penanganan di unit gawat darurat, yaitu:

1. tingkat kesadaran

2. Kekuatan fungsi motorik

3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya

4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta (lebih dari

50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorre,

rinorre, racoon’s eyes (ekhimosis periorbital), atau Battle’s sign(ekhimosis

retroaurikuler).

2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks,

hematotoraks, temponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena

jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress

Syndrome)

3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasihepar, lien atau

ginjal. Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang

dan distensif.

17

4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus.

Biasanya, klinisnya tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis.

Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult.

5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya

derah servikal dapat terjadi secara bersamaan.

6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau

jaringan lunak(otot, saraf, pembuluh darah).

VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:

1. CT-Scan

Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

2. Lumbal Pungsi

Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam

dari saat terjadinya trauma

3. EEG

Dapat digunakan untuk mencari lesi

4. Roentgen foto kepala

Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

VII.PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki

keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak

yang sakit . Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life

Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan

cedera yaitu ringan, sedang dan berat .

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei

sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain :

A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental

control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala

khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah

cedera otak sekunder dan menjaga homeostasis otak .

18

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus

diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam

keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar,

yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat

fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra

servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau

rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw

thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada

sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction

jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa

orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari

mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat

diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau

jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila

memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal .

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran

dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada

tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur

tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya

menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera

kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk

mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara

kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba

maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat

teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya

teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada

perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka .

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan

resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua

jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi

datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan

bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial .

19

Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan

keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah

stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis

pada penderita cedera kepala meliputi respon buka mata, respon motorik, respon verbal,

refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik),

test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea .

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi

perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan

abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit

kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-

otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam

terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,

steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan .

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial

>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres

dengan kedalaman >1 cm .

20

ALGORITME 1PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi : penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat : Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Mekanisme cedera Waktu cedera Tidak sadar segera setelah cedera Tingkat kewaspadaan Amnesia : Retrograde, Antegrade Sakit kepala : ringan, sedang, berat Kejang

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistcmik.Pemeriksaan neurologis terbatas.Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriks-'-n neurologis normal.

Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada CT scan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/obat-obatan Fraktur tengkorak Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tak ada keluarga di rumah Tidak mungkin kembali ke RS segera Amnesia

Dipulangkan dari RS Tidak memenuhi kriteria rawat. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

21

ALGORITME 2PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).

Pemeriksaan awal : Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah

sederhana Pemeriksaan CT scan kepala Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat Pemeriksaan neurologis periodik, Pemmksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila

penderitaakan dipulangkan.

Bila kondisi membaik (90%) Pulang Kontrol di poliklinik.

Bila kondisi memburuk (10%)

Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT

Definisi : penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)Pemeriksaan dan penatalaksaan

ABCDE Primary Sunny dan resusitasi Secondary Survey dan riwayat AMPLE Re-evaluasi neurologic

Respon buka mats • Reaksi Cahaya pupil Respon motorik • Refleks okulo sefalik (Doll's eyes) Respon verbal • Refleks Okulovestibuler (Test Kalori)

Obat-obatan Manitol • Antikonvulsan Hiperventilasi sedangTes Diagnostik (sesuai urutan)

CT Scan (semua penderita)

22

Ventrikulografi udara Angiogram

ALGORITME 3DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA

Penderita Cedera. Multipel dalam Koma

Resusitasi Cairan

TDS normal (>100 mm Hg)

Tidak terdapat tanda-tanda :- dilatasi pupil- refleks cahaya- hemiparesis

CT Scan kepala dan Abdomen

Terdapat tanda-tanda :

- dilatasi pupil- refleks cahaya -

- hemiparesis

CT Scan kepala

DPL/CT Abdomen

TDS abnormal (<100 mmHg)

DPL segera atau seliotomi(neurologis proritas yang kedua), bila dalam pembedahan timbul dilatasi pupil, pertimbangkan melakukan ventrikulografi

udara atau eksploratosi lubang bor, atau CT Scan setelah seliotomi.

Pada kasus borderline misalnya TDS dapat dikoreksi sementara tetapi cenderung untuk menurun, harts diupayakan memperoleh hasil CT Scan kepala sebelum penderita dibawa ke kamar operasi untuk seliotomi. Kasus seaport ini memerlukan keputusan klinis dan kerja sama yang balk antara ahli bedah trauma dan ahli bedah saraf.

Catatan Algoritme 3:

1. Semua penderita cedera kepala berat yang koma harus dilakukan resusitasi (ABCDE) saat tiba di UGD

2. TDS=Tekanan Darah Sistolik. Segera setelah TD normal, lakukan pemeriksaan mini neurologis (GCS & Reaksi cahaya pupil). Bila TD tidak dapat dinormalkan.

23

catat pemerksaan minineurologik dan tekanan darahnya.

3. Bila TDS tidak dapat diperbaild sampai diatas 100 nun Hg walaupun tclah dil resusitasi caimn secara agesif, prioritasnya sekarang adalah mencari pcnyebab hipote dan evaluasi neurosirurgis merupakan prioritas kedua. Pada kasus ini penderita dil DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomy. Dan CT kepala dilakukan setelah seliotomy. Bila timbal tanda-tanda klinis suatu mass infra maka dilakukan ventrikulografi udara. Eksplorasi lubang bor atau craniotomy di operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.

4. Bila TDS > 100 mm Hg setelah resusitasi dan terdapat gejala-gcjala suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis) maka prioritas pertama adalah CT Scan k DPL dapat dilakukan di UGD, rang CT Scan atau kamar operasi namun evaluasi neurologi dan tindakan) tidak botch tertunda.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Advance Trauma Life Support, hal 196-235

2. Greenberg Michael I.2008.text-atlas of emergency medicine.Penerbit

Erlangga.Jakarta, hal 44-51

3. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning

System LLC, 2003

4. http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact

5. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170

6. http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf

7. http://fhs.mcmaster.ca/surgery/documents/head_injury.pdf

8. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 1991

9. http://www.dokterbedahherryyudha.com/

25