74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4
-
Upload
jim-colins -
Category
Documents
-
view
105 -
download
1
description
Transcript of 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
Pengaruh Rute Pemberian terhadap Efek Obat
Disusun oleh :
Amalia Rizqi (0906552845)
Angger Mahamafrudho (0906639184)
Monica Sinatra (0906555670)
M. Thoha Rohimi (0906555664)
Tanty Citra Dewi (0906552901)
DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2011
I. Tujuan Percobaan
a. Mahasiswa mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan
dosis yang sesuai pada mencit dan tikus.
b. Mahasiswa mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus
akibat pemberian secara Peroral, I.V, I.P, I.M, dan S.K
c. Mahasiswa mampu membandingkan terjadinya efek kepekaan antar hewan
coba yang berjenis kelamin sama dan antar hewan coba jantan dan betina.
II. Teori Dasar
Efek Farmakologi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
antara lain : rute pemberian obat, bentuk sediaan, faktor biologis (jenis kelamin, usia,
berat badan, dll), toleransi atau riwayat kesehatan, dan spesies.
a. Rute Pemberian
Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat
dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian juga dapat
dilakukan secara intravena, intramuskular, intra peritoneal, intra dermal, dan subkutan.
Tentunya rute pemberian ini akan berpengaruh pada kinerja obat yang dapat diamati
dari onset dan durasi obat.
Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset
dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan
percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja didalam tubuh. Durasi dapat diamati
mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasian atau hewan percobaan.
1. Oral
Rute pemberian oral memberikan efek sistemik dan dilakukan melalui mulut
kemudian masuk saluran intestinal (lambung) dan penyerapan obat melalui
membran mukosa pada lambung dan usus. Cara oral merupakan cara pemberian
obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Pemberian per
oral akan memberikan onset paling lambat karena melalui saluran cerna dan perlu
melalui proses metabolisme sehingga lambat diabsorbsi oleh tubuh. Selain itu,
pemberian secara oral membutuhkan dosis yang paling besar diantara rute
pemberiannya. Karena obat perlu melalui metavolisme di hati dan eliminasi.
2. Intravena (IV)
Intravena (IV) dilakukan dengan penyuntikan melalui pembuluh darah balik
(vena), memberikan efek sistematik. Melalui cara intravena ini, obat tidak
mengalami absorpsi. Tetapi langsung masuk pada sirkulasi sistemik. Karena itulah
kadar obat yang dibutuhkan lebih sedikit.
3. Intraperitonial (IP)
Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara
kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk
hewan uji, karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitonial akan
memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh
darah. Hewan uji dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang.
Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum
membentuk sudut 10o menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal.
4. Intramuskular (IM)
Suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi
oleh kelarutan obat dalam air. Preparat yang larut dalam minyak diabsorbsi dengan
lambat, sedangkan yang larut dalam air diabsorbsi dengan cepat. Penyuntikan
dilakukan pada otot gluteus maximus atau bisep femoris. Pemberian obat seperti ini
memungkinkan obat akan dilepaskan secara berkala dalam bentuk depot obat.
Intramuskular memiliki onset lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi
dalam tubuh. Dosis yang dibutuhkan untuk rute pemberian secara intramuskuler
cenderung sangat sedikit.
5. Subkutan (SK)
Pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang
tidak menyebabkan iritasi jaringan. Determinan dari kecepatan absorpsi ialah total
luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah
lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, Penyuntikan dilakukan di bawah kulit
dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah, rute pemberian ini
memberikan efek sistemik. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat.
b. Faktor Biologis
Tetapi onset dan durasi dari suatu obat tidak hanya ditentukan dari rute
pemberian. Jenis kelamin, berat badan, usia, dan spesies hewan percobaan yang
digunakan juga berpengaruh pada kedua hal tersebut.
Usia hewan memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Hewan yang
berusia lebih muda tentu saja membutuhkan dosis yang lebih sedikit dibanding yang
lebih tua. Berat badan juga merupakan suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja
obat. Hewan yang bobotnya lebih besar memerlukan dosis yang lebih banyak
daripada dosis rata-rata untuk menghasilkan suatu efek tertentu. Begitupun
sebaliknya. Berdasarkan jenis kelamin, betina lebih peka terhadap efek obat tertentu
daripada jantan.
c. Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat
meningkat metabolismenya sendiri, misalnya barbiturat dan rifampisin. Toleransi
farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus-menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat
yang mencapai reseptor tidak berkurang, tetapi karena sensitivitas reseptornya
berkurang maka responnya berkurang.
d. Spesies
Umumnya, tikus lebih resisten dibanding mencit.
III.Alat dan Bahan
Alat :
1. Kertas koran
2. Kotak Mencit dan tikus
3. Jarum dengan ukuran 25G dan 27G
4. Kanula berujung tumpul untuk mencit dan tikus
5. Timbangan Hewan
6. Stopwatch
Bahan :
1. Larutan Uretan konsentrasi 5%, 25% dan 60%
2. Tikus dan mencit (jantan dan betina)
IV. Cara Kerja
Cara kerja dari percobaan ini yaitu :
1. Disiapkan mencit dan tikus yang menjadi bahan eksperimen.
2. Dihitung berat badan mencit dan tikus tersebut
3. Dihitung dosis uretan untuk mencit tergantung berat badannya (untuk tikus
750mg/kg BB dan untuk mencit 1000mg/kg BB.)
4. Disiapkan larutan uretan yang sesuai dosis dengan konsentrasi yang
ditentukan.
5. Disuntikkan atau diberikan larutan uretan tersebut kepada objek percobaan
secara P.O, I.V, I.P, I.M, S.K)
6. Dimulai waktu stopwatch.
7. Diamati perubahan yang terjadi pada objek percobaan dan tentukan onset dan
durasinya (onset tercapai jika objek percobaan tidak memiliki refleks
membalik badan)
8. Dicatat dan dibandingkan hasilnya dengan lainnya.
V. Hasil pengamatan
Kelompok Rute PemberianOral IV IP IM SC
O D O D O D O D O DI Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂
85’50 3’7 47’30 9’ 6’22 mati 8’29 3’40 11’36 >1 jam
30’Sesuai efek
diinginkan
Efek yang
diinginkan
Sangat peka Sesuai efek
diinginkan
peka
II Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀- - 8’ 27’25 - - - - 12’ >1 jamResisten Efek yang
diinginkan
Sangat peka Resisten Peka
III Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂2’25 >64’3
5
- - 1’ 3’35 - - 4’26 41’6
peka resisten Resisten Resisten Efek yang
diinginkanIV Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀
54’56 11’39 - - 10’0
7
>1
jam
40’
12’1 46’’ 6’20 >1 jam
21’45
Resisten Resisten Peka Efek yang
diinginkan
Peka
V Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂42’ 23’ - - 6’ >1
jam
- - 9’34 36’
Efek yang
diinginkan
Resisten Peka Resisten Resisten
VI Tikus ♂ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀- - - - 1’55 14’55 - - 14’50 >1 jamResisten Resisten Resisten Resisten Peka
VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan menguji kepekaan hewan
coba terhadap obat dengan jalur pemberian yang berbeda-beda. Jalur pemberian yang
dimaksud yaitu peroral, intravena, intramuskular, intraperitoneal, dan subkutan. Hewan
coba yang digunakan yaitu tikus dan mencit. Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk
melihat dan membandingkan respons sensitivitas obat pada hewan coba berdasarkan
spesies, jenis kelamin, dan jalur pemberian. Hal yang perlu diperhatikan dalam praktikum
kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot
hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda.
Percobaan pertama diberikan pada jalur peroral dan intravena. Pemberian obat secara
oral tidak memperlihatkan efek obat yang diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yang
lama untuk dapat mencapai onsetnya. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang
mempengaruhi yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.
Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi, antara lain:
1. Stabilitas pada pH lambung,
2. stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan,
3. stabilitas terhadap flora usus,
4. kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna,
5. ukuran molekul,
6. derajat ionisasi pada pH salauran cerna,
7. kelarutan bentuk non-ion dalam lemak,
8. stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna, dan
9. stabilitas terhadap enzim-enzim di dalam hati.
Poin nomor 1—3 menentukan jumlah obat yang tersedia untuk diabsorpsi. Poin
nomor 4—7 menentukan kecepatan absorpsi obat. Poin 8 dan 9 menentukan kecepatan
disintegrasi dan disolusi obat.
Percobaan pengaruh obat, terhadap jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak
menunjukkan efek yang berbeda. Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak bereaksi.
Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dari
obat. Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan memberikan efek yang yang
berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan memberikan onset paling lambat karena
melalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yang
dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan.
Pemberian secara intravena seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar
obat langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.
Dari hasil percobaan yang dilakukan terhadap mencit dan tikus, baik itu jantan
maupun betina, didapatkan hasil bahwa rute pemberian yang memberikan onset dan
durasi lebih cepat dibanding oral adalah pemberian secara intravena, sedangkan yang
memberikan onset dan durasi paling lambat adalah pada pemberian secara oral. Jika
diurutkan berdasarkan onset dan durasi paling cepat hingga paling rendah maka
seharusnya didapatkan :
iv > ip > sc > im > oral
Variasi biologis juga mempengaruhi efek dari obat contohnya jenis kelamin. Pada
percobaan didapatkan hasil onset pada jenis kelamin betina lebih cepat dibandingkan
yang jantan. Ini menunjukkan bahwa teori yang menyatakan jenis kelamin betina lebih
sensitif terhadap obat adalah benar.
Pada percobaan ini banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, serta
terdapat beberapa tikus dan mencit yang ternyata resisten terhadap Uretan yang diberikan.
Adanya penyimpangan tersebut mungkin disebabkan kesalahan yang dilakukan dalam
percobaan. Adapun kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi antara lain :
1. Kesalahan dalam memberikan obat pada hewan uji.
2. Kekeliruan dalam mengamati onset dan durasi yang terjadi.
Pada pemberian intramuskular memperlihatkan efek obat setelah 8 menit 29 detik
pada mencit kelompok 1 dan 12 menit 1 detik pada mencit kelompok IV pada mencit
setelah waktu penyuntikan pada hewan mencit. Sedangkan pemberian uretan pada tikus
menunjukkan hasil resisten. Dalam berbagai kondisi percobaan, pemberian IM ini tidak
menimbulkan respon. Hal ini mungkin disebabkan kesalahan dalam penyuntikkan.
Pada suntikan intramuskular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan
kelengkapan absorpsi. Obat yang larut dalam air diserap cukup berat, tergantung dari
aliran darah di tempat suntikan. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan
mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan
tidak teratur. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi
dengan sangat lambat dan konstan.
Selanjutnya pada pemberian obat secara intraperitoneal. Penyuntikan secara intra
peritoneal dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, tidak terlalu tinggi agar tidak
mengenai hati dan kandung kemih. Hewan dipegang pada punggung supaya kulit
abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari
abdomen. Jarum disuntikkan membentuk sudut 100 menembus kulit dan otot masuk ke
rongga peritoneal.
1. Tikus jantan
Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 1 menit dan durasi yang
dicapai 3 menit 35 detik. Respon yang timbul yaitu tidak tidur tetapi mengalami ataksia
atau tergolong resisten.
2. Tikus betina
Pada tikus digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci. Hasilnya, kerja
uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 10 menit 7 detik dan durasi yang dicapai
sangat lama yaitu > 1 jam 40 menit. Respon yang timbul yaitu tidur, bila diberi
rangsangan nyeri tidak tegak atau tergolong peka.
3. Mencit jantan
Pada mencit jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran ¼ inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh onset 6 menit dan setelah
beberapa lama mencit mati. Untuk mencit II diperoleh onset 6 menit dan durasi > dari 1
jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 6 menit dan
durasi > 1 jam, sehingga dapat digolongkan pada kategori peka dimana objek tidur, bila
diberi rangsang nyeri tidak tegak.
4. Mencit betina
Pada mencit betina digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran ¼ inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I tidak diperoleh data karena mencit
mati. Untuk mencit II diperoleh onset 1 menit 55 detik dan durasi 14 menit 55 detik. Data
yang dapat digunakan adalah data pada mencit betina II yang menunjukkan bahwa mencit
jantan resisten yaitu menunjukkan respon tidak tidur tapi mengalami ataksia.
Hasil dari percobaan intra peritoneal diperoleh perbandingan :
1. Onset
2. Durasi
Terakhir pada pemberian obat secara subkutan, Pada tikus dan mencit injeksi
dilakukan di bawah kulit pada daerah tengkuk. Angkat sebagian kulit dan tusukkan jarum
menembus kulit, sejajar dengan otot dibawahnya.
1. Tikus jantan
Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada tikus I diperoleh onset 11 menit 36 detik
dan durasi > 1 jam 30 menit. Untuk tikus II diperoleh onset 9 menit 34 detik dan durasi
36 menit jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 10
menit 35 detik dan durasi 1 jam.
2. Tikus betina
Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 12 menit dan durasi yang
dicapai > 1 jam. Respon yang timbul yaitu tidur, bila diberi rangsang nyeri tidak tegak
atau tergolong peka.
3. Mencit jantan
Pada mencit jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 3/4 inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh onset 4 menit 26 detik
dan durasi 41 menit 6 detik. Untuk mencit II diperoleh onset 14 menit 50 detik dan durasi
> dari 1 jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 9 menit
25 detik dan durasi 1 jam.
4. Mencit betina
tikus betina > mencit jantan > mencit betina > tikus jantan
tikus betina > mencit jantan > mencit betina > tikus jantan
Pada mencit betina digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 3/4 inci.
Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh data onset 6 menit 20
detik dan durasi > 1 jam 21 menit. Respon menunjukkan mencit betina tergolong peka
karena efek yang ditimbulkan tidur, bila diberi rangsangan nyeri tidak bergerak.
Hasil dari percobaan intra peritoneal diperoleh :
1. Onset
2. Durasi
Data yang diperoleh dari pemberian uretan secara IP dan SC tidak sesuai dengan teori
yang telah dijelaskan di mana seharusnya untuk onset maupun durasi paling cepat
dimiliki oleh mencit betina kemudian mencit jantan, diikuti tikus betina, lalu tikus jantan.
Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :
1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji
diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill dan pengalaman yang
berbeda-beda pula . Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam
jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang
seharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak
sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.
2. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan
percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi lebih
cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupun
diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.
3. Kondisi hewan coba
tikus betina > tikus jantan > mencit jantan > mencit betina
mencit betina > tikus betina > tikus jantan > mencit jantan
Distribusi dan efek kerja uretan dipengaruhi juga oleh kondisi psikis dan raga. Hewan
percobaan yang banyak mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai bisa mengakibatkan
stress sehingga kinerja uretan terganggu (efek menjadi berkurang). Begitu pula juga
dengan kondisi kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.
4. Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan kesalahan pada
proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan uretan. Hewan uji yang terlalu
aktif sangat sukar untuk ditimbang sehingga mengakibatkan kesalahan pengukuran bobot.
Akibatnya dosis yang diberikan bisa saja berlebih atau kurang dari yang seharusnya.
Begitu juga apabila terjadi kesalahan penimbangan uretan dan pencukupan volumnya bisa
menjadikan penyimpangan kesalahan menjadi lebih besar.
VII. Kesimpulan
1. Pemberian peroral (melalui mulut), intravena (melalui vena ekor hewan coba),
intramuskular (melalui otot paha hewan coba), intraperitoneal (melalui perut
bagian kanan tengah), dan melalui subkutan (melalui bawah kulit di daerah
tengkuk) dengan dosis yang berbeda-beda sesuai dengan bobot hewan coba
masing-masing.
2. Berdasarkan percobaan, urutan onset dari yang cepat hingga yang lambat yaitu
ip > iv > sc > im > oral, (seharusnya sesuai teori) iv > ip > sc > im > oral.
3. Berdasarkan percobaan, urutan kepekaan antara betina dan jantan yaitu lebih
peka betina daripada jantan, dan urutan kepekaan antara tikus dan mencit yaitu
lebih peka mencit daripada tikus.
VIII. Daftar Pustaka
Andrajati, Retnosari. 2010. Penuntun Praktikum Farmakologi. Depok: Laboratorium
Farmakologi dan Farmakokinetika Departemen Farmasi FMIPA-UI.
Syarif, Amir, et al.. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.