74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

13
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI Pengaruh Rute Pemberian terhadap Efek Obat Disusun oleh : Amalia Rizqi (0906552845) Angger Mahamafrudho (0906639184) Monica Sinatra (0906555670) M. Thoha Rohimi (0906555664) Tanty Citra Dewi (0906552901) DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011 I. Tujuan Percobaan a. Mahasiswa mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan dosis yang sesuai pada mencit dan tikus. b. Mahasiswa mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus akibat pemberian secara Peroral, I.V, I.P, I.M, dan S.K

description

m, ,m

Transcript of 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

Page 1: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Pengaruh Rute Pemberian terhadap Efek Obat

Disusun oleh :

Amalia Rizqi (0906552845)

Angger Mahamafrudho (0906639184)

Monica Sinatra (0906555670)

M. Thoha Rohimi (0906555664)

Tanty Citra Dewi (0906552901)

DEPARTEMEN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2011

I. Tujuan Percobaan

a. Mahasiswa mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan

dosis yang sesuai pada mencit dan tikus.

b. Mahasiswa mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus

akibat pemberian secara Peroral, I.V, I.P, I.M, dan S.K

Page 2: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

c. Mahasiswa mampu membandingkan terjadinya efek kepekaan antar hewan

coba yang berjenis kelamin sama dan antar hewan coba jantan dan betina.

II. Teori Dasar

Efek Farmakologi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,

antara lain : rute pemberian obat, bentuk sediaan, faktor biologis (jenis kelamin, usia,

berat badan, dll), toleransi atau riwayat kesehatan, dan spesies.

a. Rute Pemberian

Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat

dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian juga dapat

dilakukan secara intravena, intramuskular, intra peritoneal, intra dermal, dan subkutan.

Tentunya rute pemberian ini akan berpengaruh pada kinerja obat yang dapat diamati

dari onset dan durasi obat.

Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset

dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan

percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja didalam tubuh. Durasi dapat diamati

mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasian atau hewan percobaan.

1. Oral

Rute pemberian oral memberikan efek sistemik dan dilakukan melalui mulut

kemudian masuk saluran intestinal (lambung) dan penyerapan obat melalui

membran mukosa pada lambung dan usus. Cara oral merupakan cara pemberian

obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Pemberian per

oral akan memberikan onset paling lambat karena melalui saluran cerna dan perlu

melalui proses metabolisme sehingga lambat diabsorbsi oleh tubuh. Selain itu,

pemberian secara oral membutuhkan dosis yang paling besar diantara rute

pemberiannya. Karena obat perlu melalui metavolisme di hati dan eliminasi.

2. Intravena (IV)

Page 3: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

Intravena (IV) dilakukan dengan penyuntikan melalui pembuluh darah balik

(vena), memberikan efek sistematik. Melalui cara intravena ini, obat tidak

mengalami absorpsi. Tetapi langsung masuk pada sirkulasi sistemik. Karena itulah

kadar obat yang dibutuhkan lebih sedikit.

3. Intraperitonial (IP)

Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara

kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk

hewan uji, karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitonial akan

memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh

darah. Hewan uji dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang.

Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum

membentuk sudut 10o menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal.

4. Intramuskular (IM)

Suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi

oleh kelarutan obat dalam air. Preparat yang larut dalam minyak diabsorbsi dengan

lambat, sedangkan yang larut dalam air diabsorbsi dengan cepat. Penyuntikan

dilakukan pada otot gluteus maximus atau bisep femoris. Pemberian obat seperti ini

memungkinkan obat akan dilepaskan secara berkala dalam bentuk depot obat.

Intramuskular memiliki onset lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi

dalam tubuh. Dosis yang dibutuhkan untuk rute pemberian secara intramuskuler

cenderung sangat sedikit.

5. Subkutan (SK)

Pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang

tidak menyebabkan iritasi jaringan. Determinan dari kecepatan absorpsi ialah total

luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah

lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, Penyuntikan dilakukan di bawah kulit

dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah, rute pemberian ini

memberikan efek sistemik. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat.

Page 4: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

b. Faktor Biologis

Tetapi onset dan durasi dari suatu obat tidak hanya ditentukan dari rute

pemberian. Jenis kelamin, berat badan, usia, dan spesies hewan percobaan yang

digunakan juga berpengaruh pada kedua hal tersebut.

Usia hewan memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Hewan yang

berusia lebih muda tentu saja membutuhkan dosis yang lebih sedikit dibanding yang

lebih tua. Berat badan juga merupakan suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja

obat. Hewan yang bobotnya lebih besar memerlukan dosis yang lebih banyak

daripada dosis rata-rata untuk menghasilkan suatu efek tertentu. Begitupun

sebaliknya. Berdasarkan jenis kelamin, betina lebih peka terhadap efek obat tertentu

daripada jantan.

c. Toleransi

Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.

Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik

dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat

meningkat metabolismenya sendiri, misalnya barbiturat dan rifampisin. Toleransi

farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor

terhadap obat yang terus-menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat

yang mencapai reseptor tidak berkurang, tetapi karena sensitivitas reseptornya

berkurang maka responnya berkurang.

d. Spesies

Umumnya, tikus lebih resisten dibanding mencit.

III.Alat dan Bahan

Alat :

1. Kertas koran

2. Kotak Mencit dan tikus

3. Jarum dengan ukuran 25G dan 27G

Page 5: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

4. Kanula berujung tumpul untuk mencit dan tikus

5. Timbangan Hewan

6. Stopwatch

Bahan :

1. Larutan Uretan konsentrasi 5%, 25% dan 60%

2. Tikus dan mencit (jantan dan betina)

IV. Cara Kerja

Cara kerja dari percobaan ini yaitu :

1. Disiapkan mencit dan tikus yang menjadi bahan eksperimen.

2. Dihitung berat badan mencit dan tikus tersebut

3. Dihitung dosis uretan untuk mencit tergantung berat badannya (untuk tikus

750mg/kg BB dan untuk mencit 1000mg/kg BB.)

4. Disiapkan larutan uretan yang sesuai dosis dengan konsentrasi yang

ditentukan.

5. Disuntikkan atau diberikan larutan uretan tersebut kepada objek percobaan

secara P.O, I.V, I.P, I.M, S.K)

6. Dimulai waktu stopwatch.

7. Diamati perubahan yang terjadi pada objek percobaan dan tentukan onset dan

durasinya (onset tercapai jika objek percobaan tidak memiliki refleks

membalik badan)

8. Dicatat dan dibandingkan hasilnya dengan lainnya.

V. Hasil pengamatan

Kelompok Rute PemberianOral IV IP IM SC

Page 6: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

O D O D O D O D O DI Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂

85’50 3’7 47’30 9’ 6’22 mati 8’29 3’40 11’36 >1 jam

30’Sesuai efek

diinginkan

Efek yang

diinginkan

Sangat peka Sesuai efek

diinginkan

peka

II Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀- - 8’ 27’25 - - - - 12’ >1 jamResisten Efek yang

diinginkan

Sangat peka Resisten Peka

III Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂2’25 >64’3

5

- - 1’ 3’35 - - 4’26 41’6

peka resisten Resisten Resisten Efek yang

diinginkanIV Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀

54’56 11’39 - - 10’0

7

>1

jam

40’

12’1 46’’ 6’20 >1 jam

21’45

Resisten Resisten Peka Efek yang

diinginkan

Peka

V Tikus ♂ Tikus ♀ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂42’ 23’ - - 6’ >1

jam

- - 9’34 36’

Efek yang

diinginkan

Resisten Peka Resisten Resisten

VI Tikus ♂ Mencit ♂ Mencit ♀ Tikus ♂ Tikus ♀- - - - 1’55 14’55 - - 14’50 >1 jamResisten Resisten Resisten Resisten Peka

VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan menguji kepekaan hewan

coba terhadap obat dengan jalur pemberian yang berbeda-beda. Jalur pemberian yang

dimaksud yaitu peroral, intravena, intramuskular, intraperitoneal, dan subkutan. Hewan

coba yang digunakan yaitu tikus dan mencit. Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk

melihat dan membandingkan respons sensitivitas obat pada hewan coba berdasarkan

spesies, jenis kelamin, dan jalur pemberian. Hal yang perlu diperhatikan dalam praktikum

Page 7: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot

hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda.

Percobaan pertama diberikan pada jalur peroral dan intravena. Pemberian obat secara

oral tidak memperlihatkan efek obat yang diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yang

lama untuk dapat mencapai onsetnya. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang

mempengaruhi bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang

mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang

mempengaruhi yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.

Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi, antara lain:

1. Stabilitas pada pH lambung,

2. stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan,

3. stabilitas terhadap flora usus,

4. kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna,

5. ukuran molekul,

6. derajat ionisasi pada pH salauran cerna,

7. kelarutan bentuk non-ion dalam lemak,

8. stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna, dan

9. stabilitas terhadap enzim-enzim di dalam hati.

Poin nomor 1—3 menentukan jumlah obat yang tersedia untuk diabsorpsi. Poin

nomor 4—7 menentukan kecepatan absorpsi obat. Poin 8 dan 9 menentukan kecepatan

disintegrasi dan disolusi obat.

Percobaan pengaruh obat, terhadap jenis kelamin yang berbeda ternyata tidak

menunjukkan efek yang berbeda. Efek yang ditimbulkan obat adalah tidur tidak bereaksi.

Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dari

obat. Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan memberikan efek yang yang

berbeda-beda. Pada pemberian secara oral, akan memberikan onset paling lambat karena

melalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yang

dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan.

Pemberian secara intravena seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar

obat langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh.

Page 8: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

Dari hasil percobaan yang dilakukan terhadap mencit dan tikus, baik itu jantan

maupun betina, didapatkan hasil bahwa rute pemberian yang memberikan onset dan

durasi lebih cepat dibanding oral adalah pemberian secara intravena, sedangkan yang

memberikan onset dan durasi paling lambat adalah pada pemberian secara oral. Jika

diurutkan berdasarkan onset dan durasi paling cepat hingga paling rendah maka

seharusnya didapatkan :

iv > ip > sc > im > oral

Variasi biologis juga mempengaruhi efek dari obat contohnya jenis kelamin. Pada

percobaan didapatkan hasil onset pada jenis kelamin betina lebih cepat dibandingkan

yang jantan. Ini menunjukkan bahwa teori yang menyatakan jenis kelamin betina lebih

sensitif terhadap obat adalah benar.

Pada percobaan ini banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, serta

terdapat beberapa tikus dan mencit yang ternyata resisten terhadap Uretan yang diberikan.

Adanya penyimpangan tersebut mungkin disebabkan kesalahan yang dilakukan dalam

percobaan. Adapun kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi antara lain :

1. Kesalahan dalam memberikan obat pada hewan uji.

2. Kekeliruan dalam mengamati onset dan durasi yang terjadi.

Pada pemberian intramuskular memperlihatkan efek obat setelah 8 menit 29 detik

pada mencit kelompok 1 dan 12 menit 1 detik pada mencit kelompok IV pada mencit

setelah waktu penyuntikan pada hewan mencit. Sedangkan pemberian uretan pada tikus

menunjukkan hasil resisten. Dalam berbagai kondisi percobaan, pemberian IM ini tidak

menimbulkan respon. Hal ini mungkin disebabkan kesalahan dalam penyuntikkan.

Pada suntikan intramuskular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan

kelengkapan absorpsi. Obat yang larut dalam air diserap cukup berat, tergantung dari

aliran darah di tempat suntikan. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan

mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan

tidak teratur. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi

dengan sangat lambat dan konstan.

Selanjutnya pada pemberian obat secara intraperitoneal. Penyuntikan secara intra

peritoneal dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, tidak terlalu tinggi agar tidak

mengenai hati dan kandung kemih. Hewan dipegang pada punggung supaya kulit

Page 9: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari

abdomen. Jarum disuntikkan membentuk sudut 100 menembus kulit dan otot masuk ke

rongga peritoneal.

1. Tikus jantan

Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 1 menit dan durasi yang

dicapai 3 menit 35 detik. Respon yang timbul yaitu tidak tidur tetapi mengalami ataksia

atau tergolong resisten.

2. Tikus betina

Pada tikus digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci. Hasilnya, kerja

uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 10 menit 7 detik dan durasi yang dicapai

sangat lama yaitu > 1 jam 40 menit. Respon yang timbul yaitu tidur, bila diberi

rangsangan nyeri tidak tegak atau tergolong peka.

3. Mencit jantan

Pada mencit jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran ¼ inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh onset 6 menit dan setelah

beberapa lama mencit mati. Untuk mencit II diperoleh onset 6 menit dan durasi > dari 1

jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 6 menit dan

durasi > 1 jam, sehingga dapat digolongkan pada kategori peka dimana objek tidur, bila

diberi rangsang nyeri tidak tegak.

4. Mencit betina

Pada mencit betina digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran ¼ inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I tidak diperoleh data karena mencit

mati. Untuk mencit II diperoleh onset 1 menit 55 detik dan durasi 14 menit 55 detik. Data

yang dapat digunakan adalah data pada mencit betina II yang menunjukkan bahwa mencit

jantan resisten yaitu menunjukkan respon tidak tidur tapi mengalami ataksia.

Hasil dari percobaan intra peritoneal diperoleh perbandingan :

Page 10: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

1. Onset

2. Durasi

Terakhir pada pemberian obat secara subkutan, Pada tikus dan mencit injeksi

dilakukan di bawah kulit pada daerah tengkuk. Angkat sebagian kulit dan tusukkan jarum

menembus kulit, sejajar dengan otot dibawahnya.

1. Tikus jantan

Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada tikus I diperoleh onset 11 menit 36 detik

dan durasi > 1 jam 30 menit. Untuk tikus II diperoleh onset 9 menit 34 detik dan durasi

36 menit jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 10

menit 35 detik dan durasi 1 jam.

2. Tikus betina

Pada tikus jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 1 inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan mencapai onset selama 12 menit dan durasi yang

dicapai > 1 jam. Respon yang timbul yaitu tidur, bila diberi rangsang nyeri tidak tegak

atau tergolong peka.

3. Mencit jantan

Pada mencit jantan digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 3/4 inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh onset 4 menit 26 detik

dan durasi 41 menit 6 detik. Untuk mencit II diperoleh onset 14 menit 50 detik dan durasi

> dari 1 jam. Rata-rata data dari kedua mencit jantan tersebut diperoleh data onset 9 menit

25 detik dan durasi 1 jam.

4. Mencit betina

tikus betina > mencit jantan > mencit betina > tikus jantan

tikus betina > mencit jantan > mencit betina > tikus jantan

Page 11: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

Pada mencit betina digunakan jarum dengan diameter 25 g dan ukuran 3/4 inci.

Hasilnya, kerja uretan yang disuntikkan pada mencit I diperoleh data onset 6 menit 20

detik dan durasi > 1 jam 21 menit. Respon menunjukkan mencit betina tergolong peka

karena efek yang ditimbulkan tidur, bila diberi rangsangan nyeri tidak bergerak.

Hasil dari percobaan intra peritoneal diperoleh :

1. Onset

2. Durasi

Data yang diperoleh dari pemberian uretan secara IP dan SC tidak sesuai dengan teori

yang telah dijelaskan di mana seharusnya untuk onset maupun durasi paling cepat

dimiliki oleh mencit betina kemudian mencit jantan, diikuti tikus betina, lalu tikus jantan.

Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :

1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji

diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill dan pengalaman yang

berbeda-beda pula . Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam

jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang

seharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak

sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.

2. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan

percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi lebih

cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupun

diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.

3. Kondisi hewan coba

tikus betina > tikus jantan > mencit jantan > mencit betina

mencit betina > tikus betina > tikus jantan > mencit jantan

Page 12: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

Distribusi dan efek kerja uretan dipengaruhi juga oleh kondisi psikis dan raga. Hewan

percobaan yang banyak mendapatkan perlakukan yang tidak sesuai bisa mengakibatkan

stress sehingga kinerja uretan terganggu (efek menjadi berkurang). Begitu pula juga

dengan kondisi kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.

4. Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan kesalahan pada

proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan uretan. Hewan uji yang terlalu

aktif sangat sukar untuk ditimbang sehingga mengakibatkan kesalahan pengukuran bobot.

Akibatnya dosis yang diberikan bisa saja berlebih atau kurang dari yang seharusnya.

Begitu juga apabila terjadi kesalahan penimbangan uretan dan pencukupan volumnya bisa

menjadikan penyimpangan kesalahan menjadi lebih besar.

VII. Kesimpulan

1. Pemberian peroral (melalui mulut), intravena (melalui vena ekor hewan coba),

intramuskular (melalui otot paha hewan coba), intraperitoneal (melalui perut

bagian kanan tengah), dan melalui subkutan (melalui bawah kulit di daerah

tengkuk) dengan dosis yang berbeda-beda sesuai dengan bobot hewan coba

masing-masing.

2. Berdasarkan percobaan, urutan onset dari yang cepat hingga yang lambat yaitu

ip > iv > sc > im > oral, (seharusnya sesuai teori) iv > ip > sc > im > oral.

3. Berdasarkan percobaan, urutan kepekaan antara betina dan jantan yaitu lebih

peka betina daripada jantan, dan urutan kepekaan antara tikus dan mencit yaitu

lebih peka mencit daripada tikus.

Page 13: 74599670 Laporan Percobaan Prakt Farmakologi Ke 2 Kelompok 4

VIII. Daftar Pustaka

Andrajati, Retnosari. 2010. Penuntun Praktikum Farmakologi. Depok: Laboratorium

Farmakologi dan Farmakokinetika Departemen Farmasi FMIPA-UI.

Syarif, Amir, et al.. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.