6.SKRIPSI HASIL

download 6.SKRIPSI HASIL

of 75

Transcript of 6.SKRIPSI HASIL

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sensitivitas merupakan suatu keadaan yang menunjukkan bahwa mikroorganisme sensitif terhadap kerja antibiotik pada konsentrasi tertentu (Ryan & Drew, 2004). Penurunan sensitivas bakteri terhadap antibiotik menjadi masalah global yang mengancam keberhasilan terapi penyakit infeksi karena menyebabkan infeksi lebih berat sehingga infeksi hanya dapat diobati antibiotik alternatif yang terbatas dan cenderung lebih mahal. Penurunan sensitivitas bakteri menjadi resisten dapat disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti pemberian antibiotik pada keadaan tanpa infeksi bakteri, kesalahan pemilihan antibiotik, dosis yang tidak tepat, penggunaan antibiotik berlebih untuk profilaksis (Sundsfjord et al., 2008; Widodo, 2010). Survey penggunaan antibiotik oleh Hadi et. al., (2008) di Semarang dan Surabaya menyebutkan bahwa penggunaan penisilin (ampisilin maupun amoksisilin) pada anak dan dewasa mencapai 71%. Ampisilin termasuk antibiotik yang banyak dikonsumsi karena memiliki beberapa kelebihan antara lain memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram negatif dan positif, toksisitas rendah, dapat diabsorbsi baik peroral, harga lebih ekonomis dibanding antibiotik lain (Chambers, 2004). Penggunaan antibiotik tersebut secara luas berhubungan dengan perilaku self medication. Survey Hadi et. al., (2008) melaporkan bahwa 17% self medication terjadi karena pembelian antibiotik tanpa resep di beberapa

2 apotek. Perilaku self medication pada antibiotik berhubungan kuat dengan faktor demografi yaitu masyarakat di daerah perifer atau pedesaan. Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi pada bakteri gram negatif dan gram positif. Resistensi bakteri gram negatif dapat terjadi karena produksi enzim Extended Spectrum Beta-lactamase (ESBL) (Taneja, 2008). ESBL merupakan enzim yang mempunyai kemampuan hidrolisis penisilin, sefalosporin generasi ketiga (cefotaksim, ceftriaxone, dan ceftazidim) dan keempat serta monobactam (aztreonam) (Paterson, 2005; Wanutsanun, 2006; Ankur, 2009). Pada Enterobacteriaceae ESBL dapat dihasilkan oleh Proteus sp., Klebsiella sp., Escherichia coli, Citrobacter, Morganella, Providencia, Salmonella, dan Serratia (Tzelepi, 2000; Mohanty, 2010). Penelitian Luzzaro (2006) di Italia menyebutkan bahwa Proteus sp. dapat

menghasilkan ESBL sebesar 25.7%. Oleh karena ESBL diperantarai plasmid, gen resisten dapat ditransfer antar dan berbeda spesies sehingga bakteri penghasil ESBL dapat menimbulkan Multidrug Resistance (MDR) pada beberapa golongan antibiotik (Giamarellou, 2005). Penelitian Ho et al. (2005) di Hongkong menyebutkan bahwa resistensi ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL mencapai 100% dan pada bukan penghasil ESBL sebesar 62,8%. Penelitian Mshana et al. (2008) di Tanzania menyebutkan bahwa Proteus sp. juga dapat menyebabkan resistensi pada antibiotik lain. Resistensi gentamisin pada Proteus sp. penghasil ESBL mencapai 100 % dan pada bukan

3 penghasil ESBL mencapai 16.3%. Prevalensi MDR pada Proteus sp. penghasil ESBL sebesar 46.2 % sedangkan pada bukan penghasil ESBL sebesar 22.1% (Ho et al., 2005). Infeksi akibat bakteri penghasil ESBL di rumah sakit banyak terjadi di ruang perawatan intensif, bangsal bedah, neonatologi dan urologi (Lautenbach et al, 2001). Faktor risiko yang mempengaruhi infeksi tersebut adalah lama perawatan di rumah sakit dan penggunaan instrumen medis invasif seperti kateter uretra (Paterson dan Bonomo, 2005; Al-Jaser, 2006). Penggunaan kateter uretra menjadi predisposisi Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI). Sekitar 40% CAUTI merupakan infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit dan 80% terjadi setelah penggunaan kateter uretra (Domingo et al., 1999). Penelitian Verhaz (2000) di Bosnia menyebutkan bahwa Proteus sp. sebagai salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial terkait kateter dan ditemukan pada isolat urin pasien dengan CAUTI sebesar 12,9%. Infeksi akibat bakteri penghasil ESBL memberikan banyak dampak negatif pada aspek klinis dan ekonomi. Meta-analisis Schwaber (2007) menyebutkan beberapa dampak klinik yang terjadi akibat infeksi bakteri penghasil ESBL antara lain sulitnya mencapai terapi yang efektif akibat MDR sehingga infeksi dapat berkembang menjadi bakteremia serta terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Dampak ekonomi yang dapat terjadi antara lain lamanya perawatan di rumah sakit dan terbatasnya pemilihan antibiotik alternatif yang cenderung lebih mahal sehingga meningkatan biaya rumah sakit (Pitout, 2010).

4 Kejadian resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap antibiotik masih belum diketahui secara luas di Indonesia. Data mengenai sensitivitas antibiotik pada bakteri penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL di Rumah Sakit Kabupaten Banyumas juga belum ada karena penelitian terkait belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai sensitivitas antibiotik pada bakteri penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL untuk menekan angka resistensi bakteri.

B. Perumusan Masalah Bagaimana perbandingan tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dengan bukan penghasil ESBL pada urin kateter pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Mengetahui perbandingan sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL sebagai penyebab infeksi nosokomial di RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 2. Tujuan khususa.

Mengetahui sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL pada urin kateter pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto .

5b. Mengetahui sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp.

bukan

penghasil ESBL pada urin kateter pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.c.

Mengetahui perbandingan sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada urin kateter pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Teoritika.

Memberikan informasi ilmiah mengenai sensitivitas ampisilin pada Proteus sp. sebagai penyebab infeksi nosokomial di rumah sakit.

b. Memberi

informasi

mengenai

perbandingan

sensitivitas

ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL. 2. Manfaat Aplikatifa. Memberikan informasi mengenai bahaya penggunaan antibiotik

tanpa resep dokter melalui self medication.b. Sebagai salah satu acuan dalam pemberian terapi sehingga dapat

meningkatkan

pelayanan

kesehatan

khususnya

dalam

memberikan terapi antibiotik yang rasional terutama di daerah perifer.

6c. Sebagai informasi ilmiah bagi penelitian selanjutnya mengenai

sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. sebagai penghasil ESBL. II. TINJAUAN PUSTAKA

bakteri

A.

Tinjauan Pustaka

A.1. Ampisilin Ampisilin termasuk salah satu antibiotik golongan beta-laktam dengan jenis penisilin, subkelompok aminopenisilin. Penisilin merupakan antibiotik yang efektif dan paling luas kegunaanya (Kasmar & Hooper, 2008). Semua penisilin memiliki struktur dasar yang sama (Gambar 2.1) yaitu terdiri dari cincin beta-laktam (B) yang mengikat cincin tiazolidin (A) dan membawa satu grup amino sekunder (R-NH) yang dapat melekatkan radikal/zat pengganti (Chamber, 2004). Struktur ampisilin terdiri dari struktur dasar penisilin dan radikal berupa alfa-aminobenzilpenisilin (Gambar 2.2). Struktur cincin beta-laktam (B) tersebut bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba dengan menghambat biosintesis dinding sel bakteri, khususnya sintesis peptidoglikan (Siqueira et al., 2005)

B

A

Gambar 2.1. Struktur umum antibiotik beta-laktam (Siqueira et al., 2005)

7

Gambar 2.2. Struktur antibiotik ampisilin (Siqueira et al., 2005) Ampisilin termasuk antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme kerja yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja antibiotik tersebut antara lain:1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat

transpeptidasi

sintesis

peptidoglikan

pada

aksi

enzim

transpeptidase bakteri. Transpeptidase merupakan enzim yang bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida dalam membentuk senyawa peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir pembentukan dinding sel (Essack, 2001; Chamber, 2004). Proses Cross linking tersebut digunakan dalam integritas struktur dinding sel bakteri (Rice, 2004).2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau

Penicillin-Binding Protein (PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri.3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat

pada PBP. Aktivasi tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri (Jawetz, 1997; Dzen et. al., 2003). Ampisilin termasuk obat yang masih sering diresepkan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain harga ekonomis

8 dibandingkan antibiotik lain, efek samping dan toksisitas yang rendah, memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif serta dapat diabsorbsi baik dengan pemberian oral (Chamber, 2004; Wilke, 2005). Perkembangan dekade terakhir menyebutkan bahwa telah terjadi resistensi bakteri terhadap ampisilin. Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik beta-laktam tersebut (Gambar 2.4), antara lain:1. Inaktivasi beta-laktam oleh beta-laktamase yang dihasilkan

bakteri dan terjadi perubahan pada PBP. Produksi beta-laktamase merupakan mekanisme resistensi yang umum terjadi pada bakteri gram negatif dengan cara hidrolisis ikatan amin cincin betalaktam secara enzimatis (Essack, 2001). Hidrolisis cincin beta laktam oleh beta-laktamase yang bersifat irreversibel (Gambar 2.3) mengubah penisilin menjadi asam penisiloat. Perubahan struktur tersebut mempengaruhi integritas struktur yang penting bagi aktivitas biologi senyawa ini sehingga berkurang aktivitas antibakterinya (Dzen et. al., 2003; Chamber, 2004).

Penisilin

Asam penisiloat

Gambar 2.3. Hidrolisis cincin beta-laktam dari penisilin menjadi bentuk asam penisiloat (Greenwood et al., 2007).

9 Beta-laktamase secara struktural berhubungan dengan PBP (Poole, 2004). Bakteri yang resisten terhadap beta-laktam menghasilkan PBP yang berafinitas rendah dalam mengikat betalaktam sehingga antibiotik tidak dapat dihambat kecuali pada konsentrasi yang relatif tinggi (Chambers, 2004).2. Kerusakan penetrasi obat ke dalam target PBP.

Mekanisme resistensi akibat kerusakan penetrasi antibiotik pada target PBP spesies gram negatif disebabkan oleh impermeabilitas membran luar bakteri gram negatif. Beta-laktam melintasi membran luar dan memasuki bakteri melalui saluran protein (porin) membran luar. Tidak adanya saluran yang tepat dapat menghambat maupun mengurangi masuknya obat ke dalam sel. Kerusakan penetrasi umumnya tidak cukup untuk

menghasilkan resistensi, karena pada akhirnya terdapat cukup antibiotik yang masuk ke dalam sel untuk menghambat pertumbuhan. Rintangan tersebut menjadi penting bila terdapat beta-laktamase yang menghidrolisis antibiotik saat memasuki sel secara perlahan (Chambers, 2004).3. Efflux pump menyebabkan bakteri mengeluarkan beta-laktam dari

sel. Bakteri gram negatif dapat menghasilkan pompa aliran keluar yang terdiri dari komponen protein sitoplasma dan periplasma yang secara efisien mentranspor beta-laktam tertentu dari periplasma kembali melintasi membran luar (Chambers, 2004).

10

Gambar 2.4. Mekanisme resistensi beta-laktam (Linde, 2008) Tingkat Sensitivitas ampisillin menurut Clinical Laboratory Standard yaitu: a. Sensitif Ampisilin dikategorikan sensitif apabila menghasilkan diameter zona jernih atau zona hambat 17 mm. b. Intermediet Ampisilin dikategorikan intermediet apabila menghasilkan diameter zona jernih atau zona hambat 14-16 mm. c. Resisten Ampisilin dikategorikan resisten apabila menghasilkan diameter zona jernih atau zona hambat 13 mm (CLSI, 2008) Institute (CLSI) dapat dibedakan menjadi tiga kategori,

.A.2. Proteus sp. Proteus pertama kali diidentifikasi dan diberi nama oleh Hauser pada tahun 1885 (Dworkin et al., 2006). 1. Klasifikasi Filum Divisio : Proterobacteria : Protophyta

11 Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacterriaceae : Proteus : P. vulgaris P. mirabilis P. myxofaciens P. pennerie (Jawetz et al., 2005; Penner, 2007) 2. Morfologi a. Morfologi mikroskopis Genus Proteus sp. berasal dari famili

Enterobacteriaceae yang memiliki ukuran sel 0.40.8x1.03.0 m. Sel termasuk gram negatif yang berbentuk batang, lurus, pendek-panjang, tersusun satu-satu, berpasangan dapat juga berkelompok. Bakteri ini bersifat motil karena dapat bergerak menggunakan flagel peritrik. Bakteri ini tidak berspora dan tidak berkapsul (Jawetz et al., 2005; Penner, 2007).b. Morfologi makroskopis 1)

Sifat koloni pada medium agar darah dan agar coklat dapat membentuk lapisan tembus pandang,

bergelombang (transulent sheet). Fenomena ini disebut swarming (Gambar 2.5) (Dzen et. al., 2003; Engelkirk & Duben Engelkirk, 2008).2)

Karakteristik koloni Proteus sp. pada medium Mac conkey (MC) (Gambar 2.6) yaitu tidak berwarna, tembus

12 cahaya, berbentuk bulat, datar, permukaanya halus, beberapa strain akan menunjukkan adanya penyebaran dan tampak kasar. Ukuran diameter koloni Proteus sp. yaitu 2-3 mm (Soemarno, 2003).

Gambar 2.5. Gambaran swarming Proteus sp. pada medium agar darah (Hart T & Shears P, 1997).

Gambar 2.6. Koloni Proteus sp.pada medium MC (Struble, 2009)3. Sifat Pertumbuhan a. Tumbuh anaerob fakultatif.

Proteus sp.dapat tumbuh pada keadaan aerob sampai anaerob. Pada keadaan aerob bakteri menggunakan siklus asam trikarboksilat dan sistem transpor elektron untuk

13 menghasilkan energi sedangkan pada keadaan anaerob bakteri dapat meragikan karbohidrat (Dzen et. al, 2003).b. Proteus sp.dapat tumbuh pada temperatur 370 C (Dzen et. al,

2003; Penner, 2007).

4. Struktur Antigen

Antigen genus Proteus sp. digunakan untuk membedakan serovar dari antigen lipopolisakarida (O), antigen flagel (H), dan antigen kapsul (K). a. Antigen O Antigen O merupakan bagian terluar dari lipopolisakarida (LPS) dinding sel dan terdiri atas unit polisakarida. LPS dari dinding sel bakteri terdiri atas tiga region 1. Region I adalah antigen O-spesifik atau antigen dinding sel dari unit oligosakarida. 2. Region II yang melekat pada antigen O terdiri atas core polysaccharide. 3. Region III merupakan lipid A yang melekat pada region II. Unit dasar lipid A adalah disakarida yang melekat pada lima atau enam asam lemak. Secara struktural, lipid A mengikatkan LPS ke lapisan murein-lipoprotein dari dinding sel. Selain dapat digunakan untuk petanda serologik, LPS juga berperan sebagai faktor virulensi karena memiliki endotoksin yang mampu meningkatkan

14 perlekatan organisme pada hospes khususnya pada karbohidrat region I LPS (Dzen et. al, 2003).b. Antigen K

Antigen K berada di luar antigen O yang berperan sebagai kapsul polisakarida (Dzen et.al., 2003). Penelitian terkini menyebutkan bahwa kapsul Proteus sp. berperan pada proses swarming dan karakteristik kimia polisakarida LPS. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kapsul polisakarida berperan dalam pembentukan biofilm selama terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). Biofilm merupakan faktor virulensi utama karena meningkatkan adesi bakteri, melindungi bakteri dengan cara mengelilingi bakteri dari paparan antibiotik dan menyediakan lingkungan kondusif dalam pembentukan batu (Penner, 2007). c. Antigen H Antigen H atau antigen flagel terdiri dari protein yang dapat didenaturasi atau dihilangkan dengan pemanasan atau alcohol (Jawetz, 2005). Bukti penelitian menyebutkan bahwa fimbriae berhubungan dengan kolonisasi daerah atas dari saluran kemih. Proteus sp. memiliki antigen Manose Resistant atau

hemaglutinin yang berafinitas tinggi terhadap bahan kateter dan hal tersebut merupakan faktor terjadinya ISK kronis akibat penggunaan kateter (Penner, 2007).

15 A.3. Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) merupakan enzim yang memiliki kemampuan hidrolisis dan inaktivasi antibiotik spektrum luas golongan beta-laktam seperti sefalosporin generasi tiga (cefotaksim, ceftazidim dan seftriakson), penisilin (ampisilin dan amoksisilin) serta monobaktam (aztreonam) (Mascaretti, 2003; Chaudary, 2004). Pada beberapa antibiotik seperti sefamisin, sefoksitin, sefotetan, generasi empat sefalosporin (sefepim, sefpirom) dan karbapenem (imipenem dan meropenem) masih stabil terhadap sebagian besar ESBL (Mascaretti, 2003; Changjong, 2006). Faktor genetik memegang peran penting dalam terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Gen penyebab resistensi terletak pada elemen genetik yaitu kromosom, plasmid (Gambar 2.7), transposon dan integron. Elemen genetik khususnya transposon, plasmid dan integron dapat bertukar bebas antar bakteri secara horizontal melalui proses konjugasi, transduksi, dan transformasi. Proses tersebut menyebabkan terjadinya MDR pada beberapa antibiotik (Gambar 2.8) (Willey et al., 2008). ESBL termasuk plasmid mediated betalactamase yang dapat menyebar secara horizontal melalui konjugatif plasmid dan integron (Bradford, 2001). Organisasi integron sebagai bagian dari MDR tidak hanya menyebabkan resistensi terhadap beta laktam, tetapi juga pada antibiotik golongan lain seperti aminoglikosid, makrolid, sulfonamid and kloramfenikol (Wilke et al., 2005).

16 ESBL menurut klasifikasi Ambler yang membagi betalaktamase berdasarkan homologi asam amino termasuk dalam Kelas A, subkelompok 2be dan kelas D, subkelompok 2d (Harada, Ishii, &Yamaguchi, 2008). Penamaan 2be menunjukkan bahwa enzim tersebut berasal dari derivat kelompok 2b beta-laktamase (TEM dan SHV) dan e yang berarti beta-laktamase yang memiliki aktivitas extended spectrum.

Gambar 2.7. Mekanisme resistensi antibiotik melalui plasmid (Shnayerson & Plotkin, 2003)

Gambar 2.8.

Pertukaran materi genetik bakteri secara horizontal. Bakteri dapat bertukar elemen genetik seperti gen resisten melalui konjugasi, transduksi dan transformasi (Willey, 2004)

17 Enzim Kelompok 2be dapat menghidrolisis penisilin termasuk ampisilin dan tidak dapat menghidrolisis Extended-Spectrum

Cephalosporin (ESC) maupun aztreonam. Namun mutasi betalaktamase menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik betalaktamase sehingga enzim ini dapat menghidrolisis antibiotik chepalosporin generasi III dan aztreonam (Paterson & Bonomo, 2005). Jacoby-Madeiros-Bush mentabulasikan ESBL berdasarkan

sekuen asam amino menjadi TEM, SHV, CTX-M, OXA dan tipe ESBL lain (Mascaretti, 2003). Beberapa tipe ESBL tersebut antara lain : 1. TEM Varian TEM memiliki lebih dari 150 tipe TEM dan mayoritas memiliki aktivitas ESBL (Al-Jaseer, 2006 ; Harada, Ishii, & Yamaguchi, 2008). ESBL tipe TEM merupakan plasmid encode serine dan sebagian besar ditemukan pada isolat E.coli dan K. pneumonia (Mascaretti, 2003). Namun dapat juga ditemukan pada E. aerogenes, Morganella sp., Proteus sp. dan Salmonella sp. (Shah, 2004). TEM dapat menghidrolisis ampisilin lebih kuat dibandingkan dengan carbenicillin, oxacillin, dan cephalothin. Mutasi TEM dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik ceftazidim dan sefotaxim (Poole, 2004). 2. SHV

18 Kelompok plasmid mediated SHV betalaktamase mayoritas memiliki aktivitas melawan ESC seperti cefotaksim dan ceftazidim. (Mascaretti, 2003). Tipe SHV termasuk dalam klasifikasi Ambler kelas A, kelompok 2be pada klasifikasi Bush-Jacoby-Madeiros. Mutasi pada beberapa posisi asam amino berperan penting terhadap hidrolisis ceftazidim dan cefotaksim (Al-Jasser, 2006). ESBL tipe SHV dapat ditemukan pada beberapa bakteri misalnya Klebsiella sp. Citrobacter diversus, Eschericia coli, dan P. aeruginosa (Bradford, 2001). 3. OXA OXA merujuk pada kemampuan hidrolisis oxacillin lebih baik daripada terhadap penisilin. Tipe enzim OXA termasuk kelas D pada skema Ambler dan kelompok 2d skema fungsional BushJacoby-Madeiros. Berbeda dengan SHV, TEM dan CTX-M dalam kelompok ESBL karena enzim tersebut tidak dapat dihambat inhibitor asam klavulanat. Tipe OXA termasuk plasmid mediated maupun kromosomal dan tidak berhubungan dengan integron. OXA dapat menyebabkan resistensi terhadap ampisilin dan cephalothin. (Bradford, 2001).4. CTX-M

Enzim yang merupakan plasmid-mediated diberi nama CTXM karena menunjukkan aktivitas hidrolisis yang lebih baik pada cefotaksim dan ceftriaxone dibandingkan melawan ceftazidim (AlJaser, 2006; Pitout, 2010). Enzim yang dapat ditemukan pada

19 Proteus sp. juga memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih baik pada cephalothin atau cephaloridine daripada penisilin termasuk ampisilin. Terdapat lebih dari 80 enzim CTX-M yang dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan homologi sekuen asam amino. Pembagian kelompok enzim tersebut adalah CTX-M-1, CTX-M-2, CTX-M-8, CTX-M-9 dan CTX-M-25, CTX-M-45 (Bradford, 2001; Harada, Ishii, & Yamaguchi, 2008; Pitout, 2010).5. ESBL lain

Baru-baru ini ditemukan beberapa jenis ESBL lain yang juga bersifat plasmid-mediated (Al-Jasser, 2006). Enzim yang

dilaporkan dapat menghidrolisis ESC tersebut misalnya ESBL tipe PER. PER efektif menghidrolisis penisilin dan cephalosporin serta sensitif terhadap inhibitor asam klavulanat. PER dapat ditemukan pada Proteus sp., Pseudomonas aeruginosa, Salmonella sp., Acinetobacter baumanii, dan Vibrio cholera (Paterson & Bonomo, 2005; Al-Jaser, 2006).

A.4. Proteus sp. sebagai penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL Genus Proteus sp. merupakan salah satu famili

Enterobacteriaceae yang dapat menghasilkan ESBL. Mayoritas infeksi bakteri penghasil ESBL yang berhubungan dengan infeksi nosokomial terjadi di ruang perawatan intensif, bangsal bedah, neonatologi dan urologi (Maczynska & Kalemba, 2007). Proteus sp. termasuk bakteri patogen yang sering menyebabkan infeksi saluran

20 kemih dan berhubungan dengan infeksi nosokomial akibat

penggunaan kateter atau disebut Catheter-associated urinary tract infections (CAUTI) (Jacobsen et al., 2008). Penelitian Hafeez (2009) di Pakistan menyebutkan bahwa prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL berada pada urutan ketiga sebanyak 31,6% setelah Escherichia coli sebesar 44.8%, dan Klebsiella sp. sebesar 38.6%. Hal tersebut didukung penelitian Luzzaro (2006) di Italia yang menyebutkan bahwa prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL sebesar 25.7% dan penelitian Spanu (2002) sebesar 25.9 %. Sensitivitas ampisilin pada isolat Proteus sp. yang berasal dari sampel urin mencapai 28,6% (Alhambra dkk, 2004). Penelitian Ho (2005) di Hongkong menyebutkan bahwa resistensi ampisilin pada Proteus sp. penghasil ESBL mencapai 100% sedangkan pada Proteus sp. bukan penghasil ESBL mencapai 62,8%. Hal tersebut serupa dengan penelitian Selvakumar (2007) di India yang menyebutkan bahwa resistensi ampisilin pada Proteus sp. penghasil ESBL mencapai 100%. Peningkatan resistensi ampisilin pada Proteus sp. dihubungkan dengan ESBL tipe TEM, CTX-M dan PER (Essack, 2001; Ho dkk, 2005,). Namun resistensi tidak terjadi dengan adanya inhibitor asam klavulanat (Ling et al., 2003). Infeksi akibat bakteri penghasil ESBL memberikan banyak dampak negatif pada aspek klinis dan ekonomi. Meta-analisis Schwaber (2007) menyebutkan beberapa dampak klinik yang terjadi

21 akibat infeksi bakteri penghasil ESBL antara lain sulitnya mencapai terapi yang efektif akibat terjadi MDR sehingga infeksi dapat berkembang menjadi bakteremia serta terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Dampak ekonomi yang terjadi antara lain tingginya biaya pengobatan akibat lamanya perawatan di rumah sakit serta terbatasnya antibiotik alternatif yang cenderung lebih mahal (Pitout, 2010).

A.5. Kateterisasi Uretra terhadap infeksi nosokomial Kateterisasi uretra merupakan prosedur medis dengan

memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih secara langsung (The Royal Marsden Hospital, 2005; Thomsen & Setnik, 2006). Kateter yang saat ini paling populer dan banyak digunakan di rumah sakit adalah kateter folley karena memiliki keunggulan antara lain mudah didapat, bersifat menetap (indwelling catheter), tidak iritatif, tersedia berbagai ukuran dan bercabang tiga (three way catheter). Kateter folley dapat dipasang menetap karena memiliki balon yang dapat dikembangkan pada saat pangkal kateter sampai di kandung kemih (Jacobsen, 2008; Purnomo, 2009). Penggunaan Kateter selain bertujuan diagnosis juga untuk tindakan terapi. Tindakan kateterisasi untuk tujuan diagnosis dan terapi antara lain ; 1. Memonitor produksi urin untuk memantau keseimbangan cairan

222. Memasukkan bahan kontras dalam pemeriksaan radiologi 3. Mengukur tekanan

kandung kemih seperti pada sindrom

kompartemen abdomen4. Mengetahui perbaikan atau perburukan pada trauma ginjal

melalui perubahan warna urin yang bertambah merah atau jernih5. Mengeluarkan urin pada keadaan retensi urin 6. Membilas atau irigasi kandung kemih setelah operasi batu

kandung kemih, tumor buli dan prostat7. Memasukkan obat ke kandung kemih, misalnya pada carcinoma

kandung kemih (Stoller, 2004; Purnomo, 2009). Prevalensi penggunaan kateter folley di rumah sakit mencapai 21-50% dan beberapa pasien berisiko terjadi komplikasi akibat penggunaan kateter menetap yaitu terjadinya Catheter-associated urinary tract infections (CAUTI) (Jacobsen et al., 2008). CAUTI merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi akibat penggunaan alat medis invasif (kateter uretra). Penelitian Verhaz (2000) di Bosnia menyebutkan bahwa dari 265 isolat urin yang berasal dari pasien dengan CAUTI didapatkan beberapa bakteri antara lain E. coli (31.0%), Pseudomonas aeruginosa (13.8%), Proteus sp. (12.9%), Klebsiella-Enterobacter (12.3%), Enterococcus sp. (5.2%),

Pseudomonas sp. (4.3%), Serratia sp. (4.0%). Infeksi nosokomial juga disebut Hospital-Acquired Infections merupakan infeksi yang terjadi setelah 48 jam atau setelah mendapat perawatan rumah sakit dengan masa inkubasi saat masuk rumah sakit

23 (Girard et al., 2002). Kejadian infeksi nosokomial pada penggunaan kateter terkait dengan metode, durasi kateterisasi dan kualitas perawatan kateter yang dilakukan (Pellowe, 2001). Sekitar 10-50% pasien yang menggunakan kateter dalam jangka pendek (1 minggu) berkembang menjadi infeksi. Sedangkan pada pasien dengan kateterisasi jangka panjang (lebih dari 1 bulan) infeksi dapat berkembang menjadi bakteriuri meskipun dengan perawatan yang standar (Stickler, 2002).

24

B.

Kerangka TeoriKateterisasi uretrain Escherichia coliProteus sp. Infeksi Nosokomial

Penghasil Extended Spectrum Beta LactamaseESBL Menghasilkan ESBL tipe TEM, PER, dan CTX-M type ESBL sehingga dapat meningkatkan meningkatkan resistensi terhadap Peniscilin, sefalosporin generasi ketiga dan aztreonam dan menghidrolisis beberapa macam AB beta lactam

Bukan Penghasil Non Extended Spectrum Beta LactamaseESBL Tidak menghasilkan ESBL tipe TEM, CTX-M dan PER sehinggaTidak Dapat tidak meningkatkan resistensi terhadap Penisilin, sefalosporin generasi ketiga dan aztreonam menghidrolisis beberapa macam golongan beta lactam seperti cephalosporin generasi III, IV, penisilin dan monobactam

Ampisilin

Sensitif

Intermediet Gambar 2.9. Kerangka Teori

Resisten

25

C.

Kerangka Konsep

Proteus sp. sebagai : 1. Penghasil ESBL 2. Bukan Penghasil ESBL

Sensitivitas Ampisilin 1. Sensitif 2. Intermediet 3. Resisten

Gambar 2.10. Kerangka Konsep

D.

Hipotesis Ampisilin lebih sensitif terhadap Proteus sp. bukan penghasil ESBL

daripada penghasil ESBL pada urin kateter.

26

III. METODE PENELITIAN

A. 1. Alat

Materi Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan elektrik, magnetic strirrer (Barnstead International HP131220-33), tabung Erlenmeyer (Pyrex), gelas beker (Pyrex), autoklaf (All American Model 25X), label, kapas bertangkai, wrapping, tabung reaksi (Pyrex), cawan petri (Normax 20x100 mm), rak tabung reaksi, mikropipet (Brand Transferpette TM fix 100-1000 mikro liter), laminar flow cabinet, pembakar Bunsen, pinset, yellow tip/blue tip, drugal sky, incubator (Memmert BE 500), touch mixer (Fisher Scientific Model 231), jarum ose (ose Germany Handle 23 cm), gelas objek, mikroskop, pipet tetes, dan colony counter (Bel-art 378620000). 2. Bahan Bahan yang digunakan antara lain urin kateter, medium Nutrient Broth (NB) (OXOID), medium Mac Conkey (MC) (OXOID), medium Mueller Hinton Agar (MHA) (OXOID), medium nutrien gelatin, akuades, cakram antibiotik ampisilin 10 g (OXOID), ceftazidim 30g (OXOID), cefotaksim 30g (OXOID), alkohol 70%, agar, pewarna kristal ungu, safranin, larutan kalium iodida, pewarna safranin, alkohol aseton, glucose bacteriological (OXOID), dan lactose bacteriological (OXOID).

27

B.

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan

desain penelitian cross sectional.

C. 1. a)

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi target Populasi target adalah pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang menggunakan kateter uretra dan dirawat di bangsal bedah serta ruang perawatan intensif.

b)

Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang menggunakan kateter uretra dan dirawat di bangsal bedah serta ruang perawatan intensif pada periode waktu satu bulan. 2. Sampel Sampel pada penelitian ini adalah urin kateter yang berasal dari pasien RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang dirawat di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif serta memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. 3. Kriteria inklusi dan eksklusi a. Kriteria inklusii. ii.

Pasien berjenis kelamin laki-laki Berusia lebih dari 19 tahun

28iii.

Pasien menggunakan kateter uretra dan telah dirawat minimal 2 hari

iv.

Pasien menyetujui informed consent

b.

Kriteria eksklusi Pasien dengan diagnosis Infeksi saluran kemih ketika masuk RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.

D.

Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu

mengambil sampel dari semua urin kateter yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdapat di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo selama satu bulan.

E.

Definisi Operasional Urin Kateter Proteus sp. diperoleh dari hasil isolasi urin kateter pada pasien yang dirawat minimal 2 hari di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo, Purwokerto kemudian ditumbuhkan pada medium MC. Proteus sp. dilakukan Initial Screen Test menggunakan metode Disk Diffusion Test pada medium MHA. Proteus sp. dikategorikan sebagai penghasil ESBL apabila pada Initial Screen Test dengan Ceftazidim menghasilkan diameter zona hambat 22 mm dan cefotaksim 27 mm. Proteus sp dikategorikan sebagai bukan penghasil ESBL apabila pada Initial Screen Test dengan

1. Proteus sp. sebagai Penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada

29 Ceftazidim menghasilkan diameter zona hambat > 22 mm dan Cefotaksim > 27 mm (CLSI, 2008).2. Tingkat Sensitivitas terhadap ampisilin

Uji sensitivitas ampisilin dilakukan dengan menggunakan metode Disk Diffusion Test pada medium MHA. Medium MHA diinkubasi dalam waktu 16-18 jam dan diamati pembentukan diameter zona hambat. Tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Sensitif Ampisilin dikategorikan sensitif apabila menghasilkan diameter zona jernih atau zona hambat 17 mm.b. Intermediet

Ampisilin

dikategorikan

intermediet

apabila

menghasilkan

diameter zona jernih atau zona hambat 14-16 mm. c. Resisten Ampisilin dikategorikan resisten apabila menghasilkan diameter zona jernih atau zona hambat 13 mm (CLSI, 2008).

F.

Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung

Tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. terdiri dari tiga ketegori yaitu sensitif, intermediet, dan resisten. Skala yang digunakan adalah ordinal (kategorik).

302. Variabel bebas

Proteus sp. sebagai penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL. Skala yang digunakan yaitu skala nominal (kategorik).

G. A.

Prosedur Kerja

Pra penelitian1. Pengambilan sampel urin dari pasien pengguna kateter uretra. 2. Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 1210C bertekanan 2 atmosfer selama 30 menit (Soemarno, 2003).3. Pembuatan Medium a) Medium MC (Bridson,1998). b) Medium NB (Bridson,1998). c) Medium MHA (Bridson,1998). d) Medium nutrien gelatin (Bridson,1998). e) Medium SIM (Bridson,1998) f) Medium urea agar base (Bridson,1998).

B.

Penelitian1. Isolasi Proteus sp. (Soemarno, 2003) a) Sampel urin sebanyak 1 ml diencerkan sampai 10-6, pada dua

pengenceran terakhir (10-5 dan 10-6) diambil 0,1 ml dengan mikropipet.b) Sampel dimasukkan ke dalam medium MC dengan drugal sky.

31c) Medium diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu 370C. d) Amati pembentukan koloni yang tidak berwarna, tembus cahaya,

berbentuk bulat, datar, dan permukaanya halus.2. Identifikasi Proteus sp. (Soemarno, 2003)

a) Uji Pewarnaan Gram1) Gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan. 2) Preparat apus dibuat dan difikasasi. 3) Preparat ditetesi dengan pewarna kristal ungu, dibiarkan

selama 30 detik.4) Preparat dicuci dengan akuades dan dikeringkan.

5) Preparat ditetesi dengan larutan kalium iodide dan dibiarkan selama 45 detik.6) Preparat dicuci dengan akuades dan dikeringkan. 7) Preparat dicuci dengan alkohol aseton sampai warna merah

keunguan menghilang dan dikeringkan.8) Preparat ditetesi dengan pewarna safranin dan dibiarkan

selama 30 detik.9) Preparat diamati di bawah mikroskop. Pewarnaan gram pada

Proteus sp.. akan terbentuk dinding sel berwarna merah.b) Uji Biokimia (Bridson,1998)

i. Uji IMVIC1) Hasil positif koloni diinokulasikan ke medium Indole

Methyl Red Voges Proskauer Cimon Citrate (IMViC).

322) Medium IMViC dikelompokkan menjadi empat medium

yaitu :a. Tripton Broth (TB) b. Methyl Red Voges Proskauer 1 (MRVP1) c. Methyl Red Voges Proskauer 2 (MRVP2) d. Cimon Citrate (CC) 3) Medium TB dan MRVP1 diinkubasi selama 2x24 jam

dengan suhu 370C.4) Medium MRVP 2 dan CC diinkubasi selama 4x24 jam

dengan suhu 370C.5) Medium TB diberi Covack Indole Reagent (CIR) dan

terbentuk cincin warna merah (Indol positif).6) Medium MRVP 2 diberi Methyl Red indicator

dan

terbentuk warna merah (MR positif).7) Medium MRVP 1 diberi 10 tetes KOH 40% dan 15 tetes

naftol serta tabung tersebut dikocok sampai terlihat buih kemudian terbentuk warna merah (VP positif). 8) Medium CC terbentuk kekeruhan (CC positif).9) Uji biokimia ini dilakukan di dekat pembakar Bunsen. ii. Uji Gelatinase (Bridson,1998) 1) Siapkan 2 tabung yang berisi nutrient gelatin. 2) Tabung pertama diinokulasi dengan Proteus sp.. Tabung

kedua tanpa diinokulasi (kontrol).

333) Inkubasikan pada suhu 37 C selama 2-7 hari atau sampai

reaksi positif muncul.4) Tabung dibenamkan pada air es selama 10 menit, jangan

dikocok atau di goyang.5) Amati, hasil positif apabila pada media nutrien gelatin

masih cair.iii. Uji urease (Bridson,1998) a) Siapkan 2 tabung yang berisi medium urea agar base. b) Tabung pertama diinokulasi dengan Proteus sp. Tabung

kedua tanpa diinokulasi (kontrol).c) Inkubasikan pada suhu 35 selama 3-5 jam. d) Amati, hasil positif apabila warna medium berubah menjadi

merah keunguan.iv. Uji SIMA 1. Uji H2S (Bridson,1998) a. Siapkan 2 tabung yang berisi medium SIM. b. Tabung

pertama

diinokulasi

dengan

menusukkan

Proteus sp. sampai 1/3 tinggi medium.c. Inkubasikan pada suhu 35 selama 18 jam. d. Amati, hasil positif apabila terdapat warna hitam pada

daerah inokulum.2. Uji Indol (Bridson,1998) a. Tambahkan 0,2 ml reagen kovacs ke dalam tabung yang berisi medium

sima.

34 b. Tabung ditegakkan selama 10 menit.c. Amati, hasil positif apabila terdapat perubahan warna menjadi merah tua. 3. Uji motilitas (Bridson,1998) a. Siapkan 2 tabung yang berisi medium SIM. b. Tabung

pertama

diinokulasi

dengan

menusukkan

Proteus sp. sampai 1/3 tinggi medium.c. Inkubasikan pada suhu 35 selama 18 jam. d. Amati, hasil positif apabila terdapat penyebaran dari

inokulum

pada

seluruh

medium

atau

terlokalisir

berbentuk nodul. v. Uji fermentasi1. Fermentasi glukosa (Soeroso, 2000) a. Ambil tabung medium cair glukosa. Tabung diinokulasi

dengan Proteus sp.b. Inkubasikan pada suhu 370C selama 24-48 jam. c. Amati hasil perubahan warna. Hasil positif apabila

terjadi perubahan warna indikator BCP warna merah (pada ph 6,8) menjadi kuning (pada ph 5,2) yang berarti telah terbentuk asam hasil penguraian karbohidrat.2. Fermentasi laktosa (Soeroso, 2000) a. Ambil tabung medium cair laktosa. Tabung diinokulasi

dengan Proteus sp.b. Inkubasi medium pada suhu 370C selama 24-48 jam.

35c. Amati hasil perubahan warna. Hasil positif apabila

terjadi perubahan warna indikator BCP warna merah (pada ph 6,8) menjadi kuning (pada ph 5,2) yang berarti telah terbentuk asam hasil penguraian karbohidrat.3. Fermentasi mannitol (Soeroso, 2000) a. Ambil 2 tabung medium cair manitol. Tabung pertama

diinokulasi dengan proteus sp dan tabung kedua tidak diinokulasi (kontrol).b. Kemudian dilakukan Inkubasi pada suhu 370C selama

24-48 jam.c. Amati hasil perubahan warna. Hasil positif apabila

terjadi perubahan warna indikator BCP warna merah (pada ph 6,8) menjadi kuning (pada ph 5,2) yang berarti telah terbentuk asam hasil penguraian karbohidrat.4. Fermentasi sukrosa (Soeroso, 2000) a. Ambil 2 tabung medium cair sukrosa. Tabung pertama

diinokulasi dengan proteus sp dan tabung kedua tidak diinokulasi (kontrol).b. Kemudian dilakukan Inkubasi pada suhu 370C selama

24-48 jam. Amati hasil perubahan warna. Hasil positif apabila terjadi perubahan warna indikator BCP warna merah (pada ph 6,8) menjadi kuning (pada ph 5,2) yang berarti telah terbentuk asam hasil penguraian karbohidrat.

36 Tabel 3.1. Sifat Biokimia Proteus sp. No. Media Positif Negatif 1. MR V 2. VP V 3. Indol V CC V 4. Motilitas V H2S V 5. Phenylalaine atau V trytophan deaminase 6. ONPG V 7. Fermentasi laktosa V 8. Fermentasi glukosa V 9. Fermentasi manitol V 10. Fermentasi sukrosa V 11. Malonate broth V 12. Urease V (Soemarno 2003; Penner, 2007) Tabel 3.2. Perbedaan Spesies Proteus sp. No Media /uji Proteus Proteus mirabilis vulgaris 1. Indol + 2. MR + + 3. VP 4. Urease + + 5. H2S + + 6. Gelatinase + + 7. Citrate +/+/8. Fermentasi + maltose Fermentasi 9. mannitol 10. Fermentasi + + glukosa 11. Fermentasi laktosa 12. Motilitas + + 13. Ornithine + decarboxylase 14. Pertumbuhan + + pada KCN 15. Oksidase 16. Hidrolisis ONPG

Proteus penneri + + -/+ + + + + -

Proteus myxofaciens + + + + + + + + + -

37

3. Peremajaan Proteus sp (Soeroso, 2000) a) Koloni Proteus sp. diambil menggunakan jarum ose. b) Jarum ose berisi koloni Proteus sp dilakukan streak pada medium

MC.c) Inkubasikan medium MC pada suhu 370C selama 2x24 jam. 4. Pembuatan Suspensi Bakteri Proteus sp (Soeroso, 2002) a. Sebanyak 10 ml Nutrient Broth (NB) steril pada tabung reaksi

dicampur dengan jarum ose koloni Proteus sp.b. Tabung reaksi diinkubasi pada suhu 370C selama 1x24 jam. 5. Pengujian Proteus sp. sebagai Penghasil ESBL (CLSI, 2008)

38 Initial Screen Test pada ESBL menggunakan Metode Disk Diffusion Test.a. Kapas tangkai dicelupkan ke dalam suspensi Proteus sp. pada

medium NB.b. Pembuatan biakan Lawn yaitu kapas tangkai yang telah dicelupkan

ke dalam suspensi kuman dioleskan pada cawan yang berisi medium MHA sehingga terbentuk apusan.c. Kertas cakram (disk) antibiotik cefotaksim 30g dan ceftazidim

30g ditempatkan dengan jarak 30 mm.d. Kertas

pada permukaan lempengan medium MHA

cakram ditekan dengan menggunakan pinset pada

permukaan lempengan, sehingga terdapat kontak yang baik antara cakram dan lempengan agar. Cakram tidak perlu ditekan kuat-kuat sehingga melukai permukaan lempengan agar.e. MHA Diinkubasi selama 16-18 jam pada suhu 3520C. f. Diameter

wilayah jernih atau zona hambat diukur untuk

menentukan Proteus sp. sebagai penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL. Tabel 3.3. Hasil Deteksi Initial Screen Test untuk ESBL No Antibiotik Potency Diameter Zona Hasil . Disc Hambat (mm) Interpretasi 1. Cefotaksim 30 g 27 ESBL + > 27 ESBL 2. Ceftazidim 30 g 22 ESBL + >22 ESBL (CLSI, 2008)6. Pengujian Daya Hambat (Uji Sensitivitas) (CLSI, 2008)

a) Kapas tangkai dicelupkan ke dalam suspensi kuman pada NB.

39b) Pembuatan biakan Lawn yaitu kapas tangkai yang telah dicelupkan

ke dalam suspensi kuman dioleskan pada cawan yang berisi medium MHA sehingga terbentuk apusan.c) Kertas cakram antibiotik ampisillin 10g ditempatkan

pada

permukaan lempengan medium MHA.d) Kertas

cakram ditekan dengan menggunakan pinset pada

permukaan lempengan, sehingga terdapat kontak yang baik antara cakram dan lempengan agar. Cakram tidak perlu ditekan kuat-kuat sehingga melukai permukaan lempengan agar.e) Inkubasikan pada suhu 350 C selama 1x24 jam. f) Diameter wilayah jernih atau zona hambat Ampisilin diukur.

Tabel. 3.4. Tingkat Sensitifitas Ampisilin Antibiotik Potency Diameter Zona Hambatan (mm) Disc Resisten Intermediet Sensitif Ampisilin 10 g 13 14-16 17 (CLSI, 2008) H. Analisis Data

1. Analisis univariat Analisis univariat merupakan analisis setiap variabel yang dinyatakan dengan sebaran distribusi dan frekuensi secara angka mutlak maupun persentase. Data akan disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. 2. Analisis Bivariat Analisis data yang digunakan adalah analisis bivariat komparatif yaitu chi -square untuk mengetahui perbandingan sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dengan bukan penghasil ESBL pada

40 urin kateter. Analisis dengan menggunakan chi-square berdasarkan pada variabel-variabel yang diteliti. Rumus Chi-square:

Berlaku pada derajat kebebasan tertentu (degree of freedom) dan nilai alfa tertentu df = (r-1) (c-1) Keterangan: Oi = Observed Count Ei = Expected Count r = Row c = Collumn df = Degree of Freedom Syarat uji chi-square yaitu mempunyai nilai expected count < 5, atau maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka digunakan uji hipotesis alternatif yaitu uji Kolmogorov Smirnov (Dahlan, 2009). Program komputer yang digunakan untuk menganalisis data yaitu dengan SPSS 15.0.0.2499. I. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2010 sampai dengan bulan Oktober 2011. Penelitian ini dilakukan di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto untuk pengambilan sampel. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengambilan sampel dilakukan di Bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Sampel penelitian adalah semua pasien pengguna kateter uretra yang telah dirawat minimal dua hari di Bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto dalam kurun waktu bulan September 2010 sampai Oktober 2010. Selama periode penelitian didapatkan 51 pasien pengguna kateter uretra yang dirawat inap minimal 2 hari. Dari 51 pasien pengguna kateter uretra hanya 50 yang masuk kriteri inklusi dan didapatkan hasil kultur positif Proteus sp. sebanyak 14 sampel. Riwayat penggunaan antibiotik pada 14 sampel seperti terlihat pada tabel 4.1. Data penggunaan antibiotik lebih lengkap seperti tercantum pada lampiran 6. Tabel 4.1. Data riwayat penggunaan antibiotik pada pasien pengguna kateter uretra yang dirawat di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif periode September-Oktober 2010. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Kode sampel 15 5 25 2 23 13 27 31 41 36 38 44 43 Riwayat penggunaan antibiotik Ceftriaxon Ceftazidim Ceftriaxon Cefotaxim Ceftriaxon Cefotaxim Ceftriaxon Cefotaxim Ceftriaxon dan Metronidazol Ceftriaxon Ceftriaxon

42

Bakteri Proteus sp. yang diisolasi dari pasien pengguna kateter uretra kemudian ditumbuhkan pada medium MC. Koloni yang tumbuh pada suhu 37C memiliki ciri-ciri berbentuk bulat, permukaan datar, tepi halus, tidak berwarna, serta tembus cahaya. Hasil identifikasi selanjutnya dengan uji pewarnaan gram menunjukkan jenis gram (-) dengan ciri sel berwarna merah, berbentuk batang lurus. Pada uji biokimia didapatkan hasil positif pada Indol (+), MR (+), CC (+), gelatinase (+), urease (+), motilitas (+), fermentasi glukosa (+), sukrosa (+), manitol (+). Hasil negatif uji biokimia didapatkan pada VP (-) dan lactosa (-). Bakteri Proteus sp. yang didapat kemudian dilakukan Initial Screen Test untuk mengetahui Proteus sp. sebagai penghasil ESBL dengan antibiotik ceftazidim dan cefotaxim. Hasil Initial Screen Test dapat dilihat pada tabel 4.2 dan gambar 4.1. Tabel 4.2. Prosentase Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL Keterangan Jumlah (n) Persentase (%) Proteus sp. Penghasil ESBL 5 38% Proteus sp. Bukan Penghasil ESBL 8 62%

43

Gambar 4.1. Distribusi Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL Tabel 4.2. dan gambar 4.1. menunjukkan bahwa Proteus sp. penghasil ESBL memiliki prosentase lebih sedikit sebesar 38% (5 sampel) dibandingkan Proteus sp. bukan penghasil ESBL sebesar 62% (8 sampel). Uji terhadap Proteus sp. dilanjutkan uji sensitivitas dengan metode Disk Diffusion Test dan menggunakan ampisilin 10g. Tingkat sensitivitas ampisilin diketahui dengan mengukur diameter zona hambat yang dihasilkan koloni Proteus sp. Sensitivitas antibiotik ditentukan berdasarkan Clinical Laboratory Standard Institute (CLSI, 2008). Proteus sp. disebut penghasil ESBL jika terbentuk diameter zona hambat dengan cefotaksim sebesar < 27 mm, dan ceftazidim sebesar 22 mm. Sensitivitas ampisilin dikategorikan menjadi sensitif jika menghasilkan diameter zona hambat > 17 mm, Resisten 13mm, dan Intermediet 14-16 mm. Hasil uji sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL seperti terlihat pada tabel 4.3. dan gambar 4.2. Tabel 4.3. Prosentase Tingkat Sensitivitas Ampisilin terhadap Proteus sp. Penghasil ESBL dan bukan ESBL pada Urin Kateter Tingkat Sensitivitas Ampisilin Sensitif Intermediet Resisten n % n % n % Proteus sp. 0 0 0 0 5 38,46 Penghasil ESBL Proteus sp. Bukan 3 23,07 1 7,69 4 30,76 Penghasil ESBL Keterangan : n = jumlah % = persentase

44

Gambar 4.2. Grafik Tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL Tabel 4.3. dan gambar 4.2. menunjukkan bahwa Proteus sp. penghasil ESBL memiliki prosentase resistensi terhadap ampisilin yang lebih tinggi sebesar 38,46% daripada bukan penghasil ESBL sebesar 30,76%. Hasil intermediet terhadap ampisilin lebih tinggi pada Proteus sp. bukan penghasil ESBL sebesar 7,69% daripada penghasil ESBL sebesar 0%. Sedangkan Hasil sensitif terhadap ampisilin lebih tinggi pada Proteus sp. bukan penghasil ESBL 23,07% daripada penghasil ESBL sebesar 0%. Tingkat sensitivitas ampisilin dapat dinilai dari terbentuknya zona jernih di sekitar kertas cakram antibiotik. Tabel 4.4. Tabel hasil uji Kolmogorov-Smirnov Kolmogorov smirnov Z 0,877 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,425

digunakan karena terdapat nilai expected count < 5 atau > 20% sehingga digunakan uji hipotesis alternatif yaitu uji Kolmogorov Smirnov. Hasil uji

ProsentaseHasil analisis bivariat dengan chi-square pada penelitian ini tidak dapat

45 hipotesis alternatif dengan Uji Kolmogorov Smirnov didapatkan nilai p=0,425 (p>0,05) seperti terlihat pada tabel 4.4. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara proporsi, hipotesis nol dapat diterima yaitu ampisilin lebih sensitif terhadap Proteus sp. bukan penghasil ESBL daripada penghasil ESBL pada urin kateter. Namun, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dengan bukan penghasil ESBL pada urin kateter.

B. Pembahasan Sebanyak 50 sampel yang dikultur menggunakan medium Mac Conkey, 36 sampel dinyatakan tidak tumbuh Proteus sp. Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri antara lain temperatur, kontaminasi kuman lain, jumlah kuman yang tidak adekuat serta konsumsi antibiotik sebelumnya (Pelczar, 2001; Winkens, 2003; APIC, 2008; Lliffe, 2010). Proteus sp. termasuk famili Enterobacteriaceae yang menjadi penyebab terbesar kedua infeksi nosokomial khususnya CAUTI serta memiliki kemampuan untuk memproduksi ESBL (Tzelepi, 2000; Maczynska et.al, 2007; Mohanty, 2010). Distribusi Proteus sp. sebagai penghasil ESBL telah tersebar di beberapa negara dengan prevalensi yang berbeda. Hasil Initial Screen Test pada penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL sebesar 38%, sedangkan Proteus sp. bukan penghasil ESBL sebesar 62%. Prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL yang berjumlah lebih sedikit daripada bukan penghasil ESBL pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Luzzaro (2006) di Italia yang menyebutkan bahwa prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL sebesar 25.7% dan pada bukan penghasil ESBL

46 sebesar 74,3%. Sedangkan pada penelitian Hafeez (2009) di Pakistan sebesar 31.6% pada Proteus sp. penghasil ESBL dan pada bukan penghasil ESBL sebesar 68,4%. Prevalensi Proteus sp. penghasil ESBL yang lebih tinggi dibanding beberapa penelitian lain karena sampel berasal dari pasien rawat inap di Rumah Sakit. Pasien yang dirawat inap di rumah sakit dalam jangka waktu lama dan mendapat instrumen medis invasif (kateter uretra, endotracheal tube, kateter vena) memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri penghasil ESBL (Paterson DL, 2005). Selain faktor diatas, penggunaan antibiotik yang berat menjadi faktor risiko terhadap infeksi bakteri penghasil ESBL. Lee et. al (2004) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan

sefalosporin generasi ketiga dengan kejadian infeksi bakteri penghasil ESBL. Hasil uji sensitivitas dengan metode Disk Diffusion Test menunjukkan bahwa Proteus sp. penghasil ESBL yang sensitif terhadap ampisilin sebesar 0% sedangkan pada bukan penghasil ESBL sebesar 23,07%. Hal ini menunjukkan bahwa sifat bakterisidal ampisilin dapat berefek terhadap Proteus sp. bukan penghasil ESBL. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Selvakumar (2007) di India yang menyebutkan bahwa Proteus sp. bukan pengasil ESBL lebih sensitif daripada penghasil ESBL. Hasil uji sensitivitas yang menunjukkan intermediet terhadap ampisillin lebih tinggi pada Proteus sp. bukan penghasil ESBL sebesar 7,69% daripada penghasil ESBL sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat populasi Proteus sp. yang masih sensitif dan populasi Proteus sp. yang resisten terhadap ampisilin. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Wielders et al.,

47 (2002) yang melaporkan bahwa hasil intermediet memiliki kecenderungan tiga kali lebih besar untuk menjadi resisten dibandingkan dengan spesies yang sensitif. Kecenderungan resistensi pada bakteri terjadi karena bakteri tidak akan mengalami resistensi secara tunggal. Gen resisten dapat dengan mudah berpindah dari bakteri resisten terhadap bakteri lain yang masih sensitif. Sehingga kecenderungan terjadinya resistensi akan lebih besar dibandingkan kecenderungan bakteri tetap mempertahankan sifat sensitifnya (Levy, 1998). Hasil uji sensitivitas yang menunjukkan resisten terhadap ampisilin lebih tinggi pada Proteus sp. penghasil ESBL sebesar 38,46% dari pada bukan penghasil ESBL sebesar 30, 76%. Hal ini sesuai dengan penelitian Ho (2005) di Hongkong dan Selvakumar (2007) di India yang menyebutkan bahwa resistensi ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL lebih tinggi dibanding bukan penghasil ESBL. Resistensi yang terjadi pada Proteus sp. terjadi karena bakteri ini memiliki gen penyebab resisten yaitu TEM, CTXM, PER yang dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik (Essack, 2001). Mekanisme peningkatan resistensi dapat terjadi secara genetik yaitu melalui penyebaran gen resisten bakteri secara horizontal dalam proses konjugasi, transduksi, dan transformasi (Willey, 2004). Penyebaran TEM, CTX-M dan PER terjadi melalui elemen genetik yang bersifat mobile yaitu konjugatif plasmid dan transposon. Penyebaran gen resisten pada Proteus sp. penghasil ESBL khususnya terjadi melalui proses konjugasi (Szabo, 2002). Gen resisten yang telah berpindah antar bakteri kemudian terintegrasi dalam kromosom maupun plasmid dapat bertahan dan memberikan efek resisten

48 terhadap antibiotik. Mekanisme resistensi yang terjadi pada bakteri antara lain terjadinya effluks pump yang menyebabkan antibiotik tidak dapat masuk ke dalam sel bakteri, peningkatan kerja enzim degradasi terhadap antibiotik, serta perubahan kimiawi dan inaktivasi obat (Levy, 1998). Faktor lain non genetik yang menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti pemberian antibiotik pada keadaan tanpa infeksi bakteri, kesalahan pemilihan antibiotik, dosis yang tidak tepat, penggunaan antibiotik berlebih untuk profilaksis, serta perilaku self medication akibat penjualan antibiotik secara bebas di masyarakat (Sundsfjord et al., 2008; Widodo, 2010; Hadi, 2008). Faktor non genetik diatas semakin mendorong pertumbuhan strain resisten bakteri (Levy, 1998). Pengukuran diameter zona hambat dilakukan dalam dua kali pengkuran yaitu mengukur diameter pendek dan diameter panjang zona hambat, kemudian dihitung rerata dari hasil pengukuran keduanya. Faktor yang berpengaruh terhadap diameter zona hambat antara lain kekeruhan suspensi. Suspensi yang kurang keruh akan menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar, dan semakin keruh maka zona hambat yang dihasilkan akan semakin sempit. Hal tersebut akan memberikan hasil yang bias sehingga resisten dilaporkan sensitif begitu pula sebaliknya. Faktor lain yang berpengaruh adalah temperatur inkubasi dan waktu inkubasi. Pertumbuhan yang optimal, dapat dilakukan dengan cara inkubasi pada suhu yang sesuai bagi masing-masing bakteri. Suhu optimal untuk Proteus sp. adalah 37 0C.

49 Pada penelitian ini pengukuran diameter zona hambat dilakukan sesuai dengan masa inkubasinya yaitu 18 jam. Jika pengukuran zona hambat dilakukan melebihi masa inkubasi maka bakteri akan beradaptasi dengan antibiotik sehingga akan mempersempit ukuran diameter zona hambat. Penyebab lain kecilnya ukuran diameter zona hambat karena pengukuran dilakukan kurang dari 18 jam sehingga efek obat antimikroba belum maksimal. Pada penelitian ini pengukuran zona hambat dilakukan sesuai dengan ketentuan, sehingga hasilnya akurat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil secara statistik, tidak terdapat perbedaan sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan ESBL pada urin kateter dengan nilai p = 0,425 meskipun secara proporsi ampisilin lebih sensitif terhadap Proteus sp. bukan penghasil ESBL daripada penghasil ESBL pada urin kateter. Hal ini dapat terjadi karena terlalu sedikitnya sampel positif Proteus sp. yang berjumlah 13 sampel.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki kekurangan dalam pemilihan sampel karena terdapat kesulitan dalam memasukkan riwayat konsumsi antibiotik ke dalam kriteria eksklusi. Hal ini dikarenakan 45 dari 50 sampel pasien pengguna kateter uretra yang telah dirawat di bangsal bedah dan ruang perawatan intensif Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo sudah mengkonsumsi antibiotik sebagai usaha preventif mencegah terjadinya CAUTI. Selain itu metode penelitian yang digunakan dalam menentukan ESBL baru sampai pada Initial Screen Test.

50 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan :1.

Sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL yaitu

sensitif 0%, intermediet 0%, dan resisten 38, 46%2.

Sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. bukan penghasil ESBL

yaitu sensitif 23,07%, intermediet 7,69%, dan resisten 30,76%3.

Secara proporsi ampisilin lebih sensitif terhadap Proteus sp. bukan

penghasil ESBL. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tingkat sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dengan bukan penghasil ESBL pada urin kateter. B. Saran1. Dilakukan penelitian mengenai perbandingan sensitivitas ampisilin

terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada urin kateter menggunakan uji Initial Screen Test dilanjutkan uji Phenotypic Confirmatory.2. Perlu dilakukan penelitian mengenai mengenai perbandingan sensitivitas

ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada urin kateter dengan jumlah sampel positif Proteus sp. yang lebih banyak.3. Pihak rumah sakit sebaiknya melakukan tes sensitivitas antibiotik

terhadap pasien sebelum diberikan terapi dengan antibiotik.

51 DAFTAR PUSTAKA Alhambra, A., J. A.Cuadros, J.Cacho, J. L.Gmez-Garcs, J. I. Als. 2004. In Vitro Susceptibility Of Recent Antibiotic-Resistant Urinary Pathogens To Ertapenem And 12 Other Antibiotics. Journal of Antimicrobial Chemotherapy . 53: 10901094. Al-Jasser, A. M. 2006. Extended-Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs): A Global Problem. Kuwait Medical Journal. 38 (3): 171-185. Ankur, K. P. G. 2009. Extended Spectrum Beta-Lactamases In Escherichia Coli & Klebsiella Pneumoniae & Associated Risk Factors. Indian Journal Med Res. 129: 695-700. APIC, 2008. Guide to the Elimination of Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTIs) Developing and Applying Facility-Based Prevention Interventions in Acute and Long-Term Care Settings. Guideline. Washington: Association for Professional in Infection Control and Epidemiology. Bauernfeind, A., I. Stemplinger, R. Jungwirth, P. Mangold, S. Amann, E. Akalin, O. Ang, C. Bal, and J. M. Casellas. 1996. Characterization Of BetaLactamase Gene Blaper-2, Which Encodes An Extended-Spectrum Class A Beta-Lactamase. Antimicrobe Agents Chemotherapy. 40: 616620. Bradford, P. 2001. Extended Spectrum Beta Lactamase In The 21th Century: Characterization, Epidemiology And Detection Of This Important Resistance Threat. Clinical Microbiology Rev .14(4): 933-951. Bridson, E.Y., 1998. Mac Conkey. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited England. pp.2-138. _______________. Mueller Hinton Agar. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited. pp.2-156. ________________. Nutrient Broth. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited England. pp.2-161. ________________. Nutrient gelatin. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited England. pp.2-162. ________________.Medium SIM. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited England. pp.2-190. ________________.Medium urea agar base. In OXOID Manual. 8th ed. London: OXOID Limited England. pp.2-212.

52 Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. 8th ed. Jakarta: Salemba Medika. Chaudhary U, A. R. 2004. Extended spectrum Beta-Lactamases (ESBL)-an emerging threat to clinical therapeutics. Indian Journal Med Microbiol. 22 (2): 75-80. Chiangjong, W., 2006. Study of Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL)Producing Klebsiella pneumoniae: Genotypic and Phenotypic Characteristics. PhD Thesis. Mahidol University. CLSI. 2008. Performane Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing. In CLSI Document M100-S18. Pennsylvania: Clinical Laboratory Standard Institute. Pp 98-162. Dahlan, M. S. 2009. Uji Hipotesis Variabel Kategorik Tidak Berpasangan. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Pp 129. _______________. Menggunakan Rumus Besar Sampel Secara Benar. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Pp 57. Domingo, K. B., M. T. Mendoza, T Tan Torres. 1999. Catheter-Related Urinary Tract Infections: Incidence, Risk Factors And Microbiologic Profile. Phil Journal Microbiol Infect Disease. 28 (4): 133-138. Dworkin, M., Falkow, S., Rosenberg, E., Schleifer, K.-H., & Stackebrandt, E. 2006. The Prokaryotes: A Handbook on the Biology of Bacteria: Proteobacteria : Gamma Subclass. 3rd ed. USA: Springer. Dzen, Sjoekoer M; Roekistiningsih; Santoso, Sanarto; Winarsih, Sri; Sumarno; Islam, Samsul, A.S. Noorhamdani; Murwani, Sri; Santosaningsih, Dewi. 2003. Bakteri Bentuk Batang. Bakteriologi Medik. Malang: Bayumedia. Pp 189 Engelkirk, P. G., J. L. Duben Engelkirk. 2008. Laboratory Diagnosis Of Infectious Diseases: Essentials Of Diagnostic. Philadelpia: Lippincott Williams&Wilkins. Essack, S.Y., 2001. The Development of Beta-Lactam Antibiotics in Response to the Evolution of-Lactamases. Pharmaceutical Research. 18(10): 1391-99. Giamarellou, H., 2005. Multidrug Resistance In Gram-Negative Bacteria That Produce Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBLs). Clinical Microbiology Infect. 11: 1-16.

53

Girard, R., M. Perraud, A. Prss, A. Savey, E. Tikhomirov, M. Thuriaux, P. Vanhems. 2002. Prevention Of Hospital-Acquired Infections A Practical Guide 2 Nd Edition. World Health Organization. Pp 3-72. Greenwood, D., R. Finch, P. Davey, M. Wilcox. 2007. Mechanisms of Acquired Resistance. In D. Greenwood, R. Finch, P. Davey, & M. Wilcox, Antimicrobial Chemotherapy. Oxford: Oxford University Press. 130-34. Hadi, U., D., O. Duerink, E.S. Lestari, N. J. Nagelkerke, S. Werter, M. Keuter, E. Suwandojo, E. Rahardjo, P.V.D. Broek , I.C. Gyssens. 2008. Survey Of Antibiotic Use Of Individuals Visiting Public Healthcare Facilities In Indonesia. International Journal of Infectious Diseases. Pp 44-64. Hafeez, Rubeena. 2009. Frequency Of Extended Spectrum Beta Lactamase Producing Gram Negative Bacilli Among Clinical Isolates. Frequency Of Extended Spectrum Beta Lactamase Producing Gram Negative Bacilli Among Clinical Isolates. Biomedica , 25, P.112 115. Harada, S., Y. Ishii, K Yamaguchi. 2008. Extended-spectrum -Lactamases: Implications for the Clinical Laboratory and Therapy. Korean J Lab Med. 28: 401-12. Hart, T., P. Shears. 1970. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Hipokrates. Ho, P. L., Y. M. Alex, K.H. Chow, R.C. Wong., R. S Duan, W. L. Ho. 2005. Occurrence And Molecular Analysis Of Extended-Spectrum B-LactamaseProducing Proteus Mirabilis In Hong Kong 19992002. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 55: 840845. Jacobsen, S.M., D.J. Stickler, H.L.T. Mobley, M. E. Shirtliff. 2008. Complicated Catheter-Associated Urinary Tract Infections Due to Escherichia coli and Proteus Mirabilis. Clinical Microbiology Reviews. 21 (1): 2659. Jawetz, E. 1997. Penisilin dan Sefalosporin. In B. G. Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC. Pp 708-714. Jawetz, Melnick, Adelberg's, G.F. Brooks, J.S. Butel, S.A. Morse. 2005. Bakteri Gram Negatif Berbentuk Batang (Enterobacteriaceae). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Pp 351-360. Kasmar, A.G., D. Hooper. 2008. Pharmacology of Bacterial Infections: Cell Wall Synthesis. In Kasmar, A.G., Hooper, D., Tashjian, A.H.A.E.J. & Armstrong, A. Principles of Pharmacology: The Pathophysiologic Basic of Drug therapy. Philadelpia: Lippincot William and Wilkins. Pp 603.

54 Lautenbach, E., J. Patel, W. Bilker, P. Edelstein, N. Fishman. 2001. ExtendedSpectrum -Lactamases Producing Escherichia Coli And Klebsiella Pneumoniae : Risk Factors For Infection And Impact Of Resistance On Outcomes. Clin Infect Dis. 32: 1162-1171. Lee, S., O., E. S. Lee, S. Y. Park, S. Y. Kim, Y. H. Seo, and Y. K. Cho. 2004. Reduced Use Of Third-Generation Cephalosporins Decreases The Acquisition Of Extended-Spectrum Beta-Lactamase-Producing Klebsiella pneumoniae. Infect. Control Hospital Epidemiology. 25:832837. Levy, S. 1998. The Challenge of Antibiotic Resistance. Scientific American; Scientific American, Inc. Lliffe, A., 2010. Factors that may affect results. In Microbiology Laboratory Users Handbook. University Hospital of North Stafordshire. p.17. Linde, H., J. 2008. Current Trends In Resistance To -Lactams And Fluoroquinolones In Enterobacteriaceae. In European Society Of Clinical Microbiology And Infectious Disease. Regensburg, Germany, 2008. European Society Of Clinical Microbiology And Infectious Disease. Ling, J., M., A. W. Lam, E., W. Chan, A. F. Cheng. 2003. What Have We Learnt From Community-Acquired Infections In Hongkong. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 51: 895904. Luzzaro, Francesco. 2006. Trends in Production of Extended-Spectrum Beta Lactamases among Enterobacteria of Medical Interest: Report of the Second Italian Nationwide Survey. Journal Of Clinical Microbiology, 44(5),Pp. 16591664. Maczynska, I., S., G. Kalemba. 2007. Antibiotic Susceptibility And Molecular Characterisation Of Proteus Mibarilis Isolates In Hospitals From The West Pemeranian Area Of Poland. Polish Journal of Microbiology. 56 (3): 16973. Mascaretti, O., A. 2003. Bacterial Resistance to Beta-Lactam Antibiotics and Beta-Lactam Inhibitors of Beta-Lactamases. In O. A. Mascaretti, Bacteria versus Antibacterial Agents an Integrated Approach. United State: American Society for Microbiology. Pp 171. Mohanty, Srujana R., G. 2010. Use Of The Cefepime-Clavulanate ESBL Etest For Detection Of Extended-Spectrum Beta-Lactamases In Ampc Co-Producing Bacteria. J Infect Dev Ctries. 4 (1): 24-29. Mshana, S., E., Erasmus K., Mariam M., T. Chakraborty, E.F. Lyamuya, 2008. Prevalence Of Multiresistant Gram-Negative Organisms In A Tertiary Hospital In Mwanza, Tanzania. Biomed Central. 49(2): 1-6.

55

Neelam Taneja, P., R. 2008. Occurrence Of ESBL & Amp-C B-Lactamases & Susceptibility To Newer Antimicrobial Agents In Complicated UTI. Indian J Med Res. 127: 85-88. Paterson, D., L., Bonomo, Robert A., 2005. Extended-spectrum lactamases: a clinical update. Clin Microbiol Rev. 18 (4): 657-86. Pelczar, M., J. & Chan, E.C.S.K.N.R., 2001. Cultivation and Growth of Microorganism. In Microbiology an applicaton Based Approach. New Delhi: McGraw Hill. p.156. Pellowe, C. 2001. Preventing Infections From Short Term Indwelling Catheters. Nursing Times , 9 (32). Penner, J., L., 2007. Proteus. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology Proteobacteria Part B The Gammaproteobacteria. 2nd Ed. USA: Springer Pitout, J., D. 2010. Infections With Extended-Spectrum Beta-LactamaseProducing Enterobacteriaceae Changing Epidemiology And Drug Treatment Choices. Drugs. 70 (3): 313-333. Poole, K., 2004. Resistance To Beta-Lactam Antibiotics. Cellular And Molecular Life Sciences, 61: 2200-23. Purnomo, Basuki B. 2009. Kateterisasi dan Sirkumsisi. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta; Sagung Seto: 227-34. Rice, L., B. 2004. Mechanisms of Bacterial Resistance. In Hospital Epidemiology and Infection Control. Lippincott Williams & Wilkins. Pp. 1594-1599. Ryan, K., J; Drew, W Lawrence, 2004. Antimicrobial Resistance. In Ryan, K.J. & Ray, C.G. Sherris Medical Microbiology An Introduction To Infectious Diseases 4th Edition. New York: Mcgraw-Hill. Pp 215. Schwaber, M., J., Carmeli, Yehuda. 2007. Mortality And Delay In Effective Therapy Associated With Extended-Spectrum B-Lactamase Production In Enterobacteriaceae Bacteraemia: A Systematic Preview And MetaAnalysis. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 60: Pp 913920. Selvakumar, B., N., & Jasmine, R., 2007. Antibiotic Susceptibility of ESBLProducing Urinary Isolates at a Tetiary Care Hospital in Tiruchipalli South India. Journal of Medical Science, 7 (3), pp.443-46.

56 Shah, A., A., F., Hasan, S. Ahmed, A. Hameed. 2004. Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBLs): Characterization, Epidemiology and Detection. 30(1): 25-33. Shnayerson & Plotkin, 2003. Ecology of Infectious Disease. Available at: http://microvet.arizona.edu/Courses/MIC438/decker/AntibioticRes/A ntibioticResistance.html. Diakses tanggal 9 Januari 2011. Siqueira, A., K., P., B. et al., 2005. Ampicillin Synthesis Catalyzed By Penicillin Acylase:Effect Of Ph And Type Of Carriers On Selectivity And Yield. In 4th Mercosur Congress on Process Systems Engineering and 2nd Mercosur Congress on Chemical Engineering. Brasil, 2005. ENPOMER. Soemarno. 2003. Genus Proteus. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Depkes RI. Pp 22-54. Soeroso, L. 2000. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Dasar. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto. Pp 9. Spanu, T., F. Luzzaro, M. Perilli, G. Amicosante, A. Toniolo, G. Fadda. 2002.Occurrence Of Extended-Spectrum Beta-Lactamases In Members Of The Family Enterobacteriaceae In Italy: Implications For Resistance To Beta-Lactams And Other Antimicrobial Drugs. Antimicrobial Agents And Chemotherapy. Pp 196202. Stickler, D. 2002. Susceptibility Of Antibiotic-Resistant Gram-Negative Bacteria To Biocides: A Perspective From The Study Of Catheter Biofilms. Journal Of Applied Microbiology Symposium Supplement. 92: 163170. Stoller, M., L. 2004. Retrograde`Instrumentation of the Urinary Tract. In E. A. Tanagho, J.W. McAninch. Smith's general urology. North America: McGraw-Hill. Pp 163. Struble, K. Proteus Infections: Differential Diagnoses & Workup. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/226434-diagnosis. Diakses tanggal 10 Desember 2010. Sundsfjord A., S., G. 2008. Broad-Spectrum Beta-Lactamases In Gram-Negative Bacteria. Tidsskr Nor Laegeforen. 4 (128): 2741-5. Szabo, Dora. 2002. Molecular-Epidemiology And In Vitro And In Vivo Antibiotic Susceptibility Of Extended-Spectrum -Lactamase Producing Klebsiella Pneumoniae. Disertation. Semmelweis University The Royal Marsden, H. 2005. In Manual of Clinical Nursing Procedures (6th ed). Cambridge: Blackwell Science. Pp. 330-347

57 Thomsen, T., G. Setnik. 2006. Male urethral catheterization. N Engl J Med , 354 (21). Tzelepi, E., G. Panagiota, D. Sofianou, V. Loukova, A. Kemerglou, and A. Tsakris. 2000. Detection Of Extended-Spectrum Beta-Lactamases In Clinical Isolates Of Enterobacter cloacae And Enterobacter aerogenes. J. Clin. Microbiol. 38:542546. In Spanu, T. F. L. 2002. Antimicrobial Agents And Chemotherapy. 196202. Verhaz, A., R. krbi, M. R. Musi. 2005. Resistance Of Catheter-Associated Urinary Tract Infections. Vojnosanit Pregl. 62 (3): 181187. Wanutsanun Tunyapanit, P., P. 2006. Extended-Spectrum Beta-Lactamases In Escherichia coli Isolated From Patients With Community-Acquired Acquired. J Infect Dis Antimicrob Agents. 23 (2): 51-56. Widodo, D. 2010. Kebijakan Penggunaan Antibiotika Bertujuan Meningkatkan Kualitas Pelayana Pasien dan Mencegah Peningkatan Resistensi Kuman. Cermin Dunia Kedokteran. 37(1): 7-10. Wielders, C., L., C, Fluit, A., Verhoef, & Schmitz F., 2002, Mec Gen is widely disseminated in Staphylococcus aureus Population, Journal of Clinical Mikrobiology , vol.40, no.911, pp.3970-3975. Wilke, M., S., A.L Lovering, N., C., Strynadka. 2005. Beta-Lactam Antibiotic Resistance: A Current Structural Perspective. Current Opinion In Microbiology. 525533. Willey, J., 2004. Bacterial Drug Resistance. Available at: http://www.wiley.com/college/pratt/0471393878/student/activities/bacte rial_drug_resistance/index.html. Diakses tanggal 9 januari 2011. Willey, H., Sherwood, L.M. & Woolverton, C.J., 2008. Microbial Disease and theri Control. In Presscott, Harley, and Klein's Microbiology. 7th ed. New York: Mac Graw Hill. Pp 850-53. Winkens R, N., A., H., S., E., 2003. Validity of urine dipslides under daily practice conditions. Fam Pract, 410-2(4), p.20.

58

LAMPIRAN Lampiran 1. Urutan Tata Kerja Pra penelitian A. Pengambilan sampel urin dari pasien pengguna kateter uretra 1. Tangan dicuci dan digunakan hand scoen. 2. Kateter urin didesinfeksi dengan alkohol 70% sebelum pengambilan sampel urin. 3. sampel urin diambil sebanyak minimal 2 ml dengan membuka cabang kateter yang mengalirkan urin dari kandung kemih. Urin yang tidak keluar disedot dengan menggunakan spuit 5cc dari cabang tersebut. 4. Sampel urin yang keluar ditampung di dalam pot urin dan diberi label identitas. 5. Pot yang berisi urin tersebut disimpan dalam termos es sebagai sarana transportasi untuk membawa urin yang akan dikultur. 6. Kateter urin didesinfeksi kembali.B. Pembuatan medium 1. Pembuatan Medium Mac Conkey

a) Bahan : 1) Peptone 20 gr/l 2) Lactose 10 gr/l 3) Bile salt 5 gr/l 4) Sodium Chloride 5 gr/l 5) Neutral Red 0,075 gr/l 6) Agar 12 gr/l b) Cara Pembuatan : 1) Sebanyak 52 gr bahan di atas dicampurkan dengan 1 liter akuades. 2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan. 3) Agar dilarutkan ke dalam campuran tersebut. 4) Larutan tersebut di masukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup kapas dan dibungkus dengan kertas payung. 5) Erlenmeyer disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1210C bertekanan 2 atmosfer selama 15 menit (Bridson, 1998).2. Pembuatan Medium Nutrient Broth

a) Bahan : 1) Lab-lemco powder 300 gr/l 2) Yeast extract 17,5 gr/l 3) Peptone 1,5 gr/l 4) Sodium chloride 17 gr/l b) Cara Pembuatan : 1) Sebanyak 13 gr bahan di atas dicampurkan dengan 1 liter akuades. 2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan. 3) Agar dilarutkan ke dalam campuran tersebut.

594) Larutan tersebut di masukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup kapas

dan dibungkus dengan kertas payung.5) Erlenmeyer disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1210C

bertekanan 2 atmosfer selama 15 menit (Bridson, 1998).3. Pembuatan Medium Mueller Hinton Agar

a) Bahan : 1) Beef dehydrated infusion from 300 gr/l 2) Casei hydrolysate 17,5 gr/l 3) Starch 1,5 gr/l 4) Agar 17 gr/l b) Cara Pembuatan : 1) Sebanyak 38 gr bahan di atas dicampurkan dengan 1 liter akuades. 2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan. 3) Agar dilarutkan ke dalam campuran tersebut. 4) Larutan tersebut di masukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup kapas dan dibungkus dengan kertas payung. 5) Erlenmeyer disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1210C bertekanan 2 atmosfer selama 15 menit (Bridson, 1998).4. Pembuatan nutrient gelatin a) Bahan 1) Lab-Lemco powder 3 gr/l 2) Peptone 5 gr/l 3) Gelatin 120 gr/l b) Cara pembuatan 1) Sebanyak 128 gr bahan di atas dicampurkan dengan 1 liter akuades.

2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan 3) Disterilkan pada suhu 1210 C selama 15 menit dengan menggunakan autoklaf 4) Campurkan dan didinginkan pada suhu < 200 C atau simpan dalam lemari es (Bridson, 1998).5. Pembuatan medium SIM a) Bahan 1) Tryptone 20 gr/l 2) Pepton 10 gr/l 3) Gelatin 150 gr/l 4) Peptone 6,1 g/l 5) Ferrous ammonium sulphate 0,2 g/l 6) Sodium thiosulphate 0,2 g/l 7) Agar 3,5 g/l b) Cara pembuatan 1) Sebanyak 30 gr bahan di atas dicampurkan dengan 1 liter akuades.

2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan. 3) Agar dilarutkan ke dalam campuran tersebut. 4) Larutan tersebut di masukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup kapas dan dibungkus dengan kertas payung.

605) Erlenmeyer disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1210C

bertekanan 2 atmosfer selama 15 menit (Bridson, 1998).6. Pembuatan medium urea agar base

a) Bahan 1) Peptone 1 g/l 2) Glucose 1 g/l 3) Sodium chloride 5 g/l 4) Disodium phosphate 1,2 g/l 5) Potassium dihydrogen phosphate 0,8 g/l 6) Phenol red 0,012 g/l 7) Agar 15 g/l b) Cara pembuatan 1) Sebanyak 2,4 gr bahan di atas dicampurkan dengan 95 ml akuades. 2) Campuran tersebut dididihkan dan dihomogenkan. 3) Agar dilarutkan ke dalam campuran tersebut. 4) Larutan tersebut di masukkan ke dalam Erlenmeyer, ditutup kapas dan dibungkus dengan kertas payung. 5) Erlenmeyer disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1150C selama 20 menit 6) Larutan tersebut didinginkan sampai 500C dan dicampurkan dengan 5 ml larutan urea (SR 20) 40% 7) Campurkan dan masukkan 10 ml larutan di atas ke dalam tabung steril dan diletakkan slope position (Bridson, 1998).

61 Lampiran 2. Lembar Informed ConsentKEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTOKsmpus Unsoed Berkoh Jalan dr. Gumbreg 1 Purwokerto 53146 Telepon (0281) 641522, Faximile (0281) 631208

Lembar Informed Consent Nama Peneliti : Fatimah Fitriani NIM : G1A007102 Contact Person : 085742204531 Judul Penelitian : Perbandingan Sensitivitas Ampisilin terhadap Proteus sp. Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) dan bukan penghasil ESBL pada Urin Kateter. Gambaran Penelitian: Pada penelitian ini, tingkat sensitivitas ampisilin akan dibandingkan dengan Proteus sp. penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) dan bukan penghasil ESBL. ESBL merupakan ezim yang dapat menghidrolisis berbagai macam antibiotik golongan beta laktam sehingga menyebabkan peningkatan resistensi. Tujuan Penelitian : Mengetahui perbandingan sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada urin kateter. Prosedur Penelitian : Sampel urin diambil dengan cara mengambil urin dari kateter uretra pasien bangsal bedah dan ruang perawatan intensif RSUD Prof. dr Margono Soekarjo, Purwokerto. Pengambilan sampel urin menggunakan spuit melalui salah satu cabang kateter. Hasil urin kateter dikultur kemudian diuji sensitivitasnya terhadap ampisilin. Saran : Kesedian saudara sebagai subjek penelitian akan memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai Proteus sp. sebagai penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL. Risiko : Tidak ada risiko yang membahayakan pasien manakala urin kateter diambil dengan cara baik. Pernyataan Persetujuan Nama : Usia : Alamat: Saya bersedia menjadi subjek penelitian. Tanda Tangan Tanggal: (..............................)

62 Lampiran 3. Hasil analisis data menggunakan chi-square. CrosstabsCase Processing Summary Cases Missing N Percent 0 ,0%

Valid N ESBL dan non ESBL * tingkat sensitivitas ampisilin 14 Percent 100,0%

Total N 14 Percent 100,0%

Proteus sp.penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL * sensitivitas ampisilin Crosstabulation tingkat sensitivitas ampisilin sensitif intermediet resisten 0 0 5 1,2 ,4 3,5 3 1 4 1,8 ,6 5,5 3 1 9 3,0 1,0 9,0 Total sensitif 5 5,0 8 8,0 13 13,0

ESBL dan non ESBL

ESBL non ESBL

Total

Count Expected Count Count Expected Count Count Expected Count

Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2-sided) ,164 ,084 ,080

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value 3,611(a) 4,958 3,062 13

df 2 2 1

a 5 cells (83,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,38.

63

Lampiran 4. Hasil analisis data menggunakan Kolmogorov-Smirnov Two-Sample Kolmogorov-Smirnov TestFrequencies ESBL dan non ESBL ESBL non ESBL Total N 5 8 13

tingkat sensitivitas ampisilin

Test Statistics(a) tingkat sensitivitas ampisilin ,500 ,500 ,000 ,877 ,425

Most Extreme Differences

Absolute Positive Negative

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Grouping Variable: ESBL dan non ESBL

64

Lampiran 5. Data penelitian sensitivitas ampisilin terhadap Proteus sp. penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL No. Kode sampel Ruangan Bakteri Diameter Zona Hambat Ceftazidim (mm) 13,2 (ESBL) 22,5 (Non-ESBL) 28,5 (Non-ESBL) 9 (ESBL) 23 (Non-ESBL) 24 (Non-ESBL) 25,2 (Non-ESBL) 0 (ESBL) 27,7 (Non-ESBL) 25 (Non-ESBL) 27,5 (Non-ESBL) 21,5 (ESBL) 9 (ESBL) Diameter Zona Hambat Cefotaxim (mm) 12 (ESBL) 14 (ESBL) 33,5 (Non-ESBL) 15 (ESBL) 32 (ESBL) 29,5 (Non-ESBL) 35,5 (Non-ESBL) 8 (ESBL) 31,7 (Non-ESBL) 19,2 (ESBL) 19 (ESBL) 10,5 (ESBL) 0 (ESBL) Diameter Zona Hambat Ampisilin (mm) 0 (Resisten) 9 (Resisten) 14,5 (Intermediete ) 10 (Resisten) 24,5 (Sensitif) 10,6 (Resisten) 18 (Sensitif) 0 (Resisten) 25 (Sensitif) 0 (Resisten) 0 (Resisten) 0 (Resisten) 0 Resisten)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

15 5 25 2 23 13 27 31 41 36 38 44 43

Kenanga 8 Kenanga 8 ICU ICU Kenanga 8 ICU ICU Kenanga 8 Kenanga 8 ICU ICU Kenanga 8 ICU

Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp. Proteus sp.

ESBL : Cefotaksim 27 Ceftazidim 22

Keterangan ESBL + : Tingkat Sensitivitas ampisilin Cefotaksim 27 Resisten 13 Ceftazidim 22 Intermediet 14-16 Sensitif 17

65

66 Lampiran 6. Data Subjek Penelitian di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

No Tanggal . Pengambilan 1. 29 September 2010

Ruangan Kenanga 7

Kode sampel 1

Usia (tahun) 56

Tanggal Awal Rawat 25 September 2010

Diagnosis Peritonitis generalisata e.c perforasi ileum trauma tumpul abdomen Stroke haemorrhagik CHF dan IHD Post Cholelitectomi Retensio Urin e.c BPH Post op. BPH Post op. BPH BPH DM UTI BPH Post TVP Post Laparotomi Eksplorasi Ileum Obstruktif CHF Cumbotio (luka Bakar 90%) Combutio (Grade II-III) Retentio Urin e.c BPH H+5 post TVP e.c BPH CHF, N.STEMI CPC Suspect Stroke Haermorrhagic BPH Dehidrasi sedang Syok Kardiogenik

Terapi Ceftriaxon, Metronidazol Infus RL dan D5% 67 Loop diuretic, Infuse Manitol dan RL Ceftriaxon, Infus RL Ceftriaxon, Tramadol Ranitidin, Vit K, Infus D5% Ceftazidim, Infus D5 dan RL Amoxicilin, Tramadol Infus RL Amoxicilin, Tramadol Infus RL Ceftriaxon, Infus PRC Infus D5 Ceftriaxon, Metronidazol Tramadol, Ranitidin Infus RL, Infus D5 Omeprazol, Ceftriaxon Infus Asering Ceftriaxon Ceftriaxon Ceftriaxon, Infus RL Ceftriaxon, Infus D5% Ceftriaxon, Captopril Infus NaCl Ceftriaxon, Infus D5% Ceftriaxon, Infus D5% Cefotaxim, Ciprofloxacin Infus RL Metronidazol

Keterangan

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

30 September 2010 30 September 2010 1 Oktober 2010 1 Oktober 2010 1 Oktober 2010 1 Oktober 2010 1 Oktober 2010 1 Oktober 2010

ICU ICU Kenanga 8 Kenanga 8 Kenanga 8 Kenanga 8 Kenanga 8 Kenanga 7 Kenanga 7 ICU ICU ICU Kenanga 8 Kenanga 8 ICU ICU ICU Kenanga 8 ICU

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

66 64 30 70 63 63 55 70 20 55 52 25 45 63 50 56 50 63 50

27 September 2010 27 September 2010 21 September 2010 25 September 2010 29 September 2010 19 September 2010 22 September 2010 29 September 2010 27 September 2010 1 Oktober 2010 30 September 2010 29 September 2010 29 September 2010 23 September 2010 1 Oktober 2010 2 Oktober 2010 1 Oktober 2010 30 September 2010 5 Oktober 2010

Eksklusi

10. 1 Oktober 2010 11. 2 Oktober 2010 12. 2 Oktober 2010 13. 14. 15. 16. 2 Oktober 2010 3 Oktober 2010 3 Oktober 2010 4 Oktober 2010

17. 4 Oktober 2010 18. 4 Oktober 2010 19. 6 Oktober 2010 20. 7 Oktober 2010

68

69

70 Lampiran 7. Dokumentasi alat dan bahan

Gambar 4.3. Dokumentasi Alat dan Bahan Penelitian

71

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian Glukosa Lactosa Manitol Sukrosa Terbentuk Tidak Terbentuk terbentuk perubahan perubahan perubahan warna menjadi warna menjadi warna.muda kuning. Hasil lebih Hasil negatif positif dari kontrol. (kontrol) Hasil positif

Gambar 4.4. Dokumentasi Uji Fermentasi glukosa, Sukrosa, manitol, dan laktosa

Terbentuk cincin berwarna merah pada tabung perlakuan. Hasil ini menunjukkan

Tidak terbeantuk warna merah pada tabung perlakuan. Hasil ini menunjukkan VP negatif

72 Gambar 4.5. Uji IMViC dengan medium TB Gambar 4.6. Uji IMViC dengan medium MRVP

Terbentuk kekeruhan pada tabung perlakuan dengan warna yang lebih biru dari pada kontrol. Hasil ini Gambar 4.7. Uji IMViC dengan medium CC

Terbentuk warna merah keunguan pada tabung perlakuan. Hasil ini menunjukkan Gambar 4.8. Uji urease dengan medium urea agar base

Tabung perlakuan nutrient gelatin masih cair setelah dibenamkan di air es. Hasil ini menunjukkan reaksi gelatinase positif

Terbentuk nodul dari daerah inokulum pada tabung perlakuan. Hasil ini menunjukkan motilitas positif

73 Gambar 4.9. Uji gelatinase dengan medium nutrient gelatin Gambar 4.10. Uji Indol, motilitas, dan H2S dengan medium SIM

Sel berbentuk batang, lurus, berwarna merah. Hasil ini menunjukkan gram negatif

Gambar 4.11. Dokumentasi Uji pewarnaan gram pada Proteus sp.

74

Proteus sp. bukan penghasil ESBL karena terbentuk Diameter zona jernih dengan : ceftazidim >22mm cefotaxim >27mm

Tingkat sensitivitas Proteus sp. bukan penghasil ESBl menunjukkan hasil sensitif dengan pembentukan diameter zona cefotaxim

ampisillin

ceftazidim

Gambar 4.12. Dokumentasi Zona hambat Proteus bukan penghasil ESBL dan tingkat sensitivitas ampisilin

75

Tingkat sensitivitas Proteus sp. penghasil ESBl menunjukkan hasil resisten dengan pembentukan diameter zona hambat < 13 mm.

ampisillin cefotaxim Proteus sp. penghasil ESBL karena terbentuk Diameter zona jernih dengan : ceftazidim 22mm cefotaxim 27mm

ceftazidim

Gambar 4. 13. Dokumentasi zona hambat Proteus sp. penghasil ESBL dan ampisilin

Tingkat sensitivitas Proteus sp. bukan ampisillin penghasil menunjukkan intermediet dengan pembentukan diameter zona hambat 14-16 mm.

cefotaxim Proteus sp. bukan penghasil ESBL karena terbentuk diameter zona hambat dengan : ceftazidim >22mm cefotaxim >27mm

ceftazidim

Gambar 4.14. Dokumentasi zona hambat Proteus sp. penghasil ESBL dan ampisilin