58296123-MAKALAH
-
Upload
fajar-siradz -
Category
Documents
-
view
58 -
download
3
description
Transcript of 58296123-MAKALAH
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan mendorong penciptaan
teknologi baru dengan sangat cepat. Perkembangan yang semakin canggih dan
meningkatnya teknologi membutuhkan sumber energi dalam skala besar.
Secara sederhana dampak dari kemajuan teknologi adalah konsumsi energi
berlebih. Saat ini, sektor minyak bumi dan gas masih menjadi andalan bagi
pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan dunia. Berdasarkan data
ESDM (2006), minyak bumi mendominasi 52,5% pemakaian energi di
Indonesia, sedangkan gas bumi sebesar 19%, batu bara 21,5%, air 3,7%, panas
bumi 3%, dan energi terbarukan hanya sekitar 0.2% dari total penggunaan
energi. Padahal, cadangan minyak bumi Indonesia berdasarkan ESDM (2006)
hanya sekitar 9 miliar barel dan produksi Indonesia hanya sekitar 500 juta
barel per tahun. Hal ini berarti jika terus dikonsumsi dan tidak ditemukan
teknologi baru untuk meningkatkan recovery minyak bumi, diperkirakan
minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu dekat.
Teknologi konvensional menggunakan minyak bumi sebagai sumber
energi dipandang kurang efisien serta menimbulkan polusi udara. Pembakaran
minyak bumi menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbondioksida
(CO2) yang berbahaya. Sebagai solusi, baru-baru ini telah dikembangkan
teknologi fuel cell yang terus mengalami riset dan pengembangan di beberapa
negara maju. Teknologi fuel cell ini dipandang lebih efisien, tidak
menimbulkan polusi seperti halnya pembangkit energi tenaga minyak bumi.
Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan
dua ancaman serius. Pertama, faktor ekonomi yaitu berupa jaminan
ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah
suplai, harga, dan fluktuasinya. Kedua, polusi akibat emisi pembakaran bahan
bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan
2
bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat
kesehatan manusia dan gas rumah kaca yang dihasilkan (Granovskii, 2007).
Kesadaran terhadap ancaman krisis energi dan pencemaran lingkungan telah
mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber
energi (energy resource) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable)
dan lebih ramah lingkungan. Salah satu sumber energi alternatif yang sedang
dikembangkan saat ini adalah energi hidrogen yang bersumber dari air.
Permasalahan di dunia bukan hanya mengenai krisis energi dan
dampak penggunaan bahan bakar fosil saja. Salah satu permasalahan yang saat
ini mendapat perhatian khusus dari dunia adalah permasalahan mengenai
limbah sampah plastik. Sebagian besar penduduk di dunia memanfaatkan
plastik dalam menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan data Environmental
Protection Agency (EPA) Amerika Serikat dalam Justiana (2009), pada tahun
2001 penduduk Amerika Serikat menggunakan sedikitnya 25 juta ton plastik
setiap tahunnya. Salah satu jenis plastik yang banyak digunakan adalah
plastik LDPE (Low Density Poly-Ethylene) dan polistiren. LDPE tergolong
jenis plastik thermoplastik yang dibuat dari minyak bumi. LDPE dan
polistiren biasa dipakai untuk tempat makanan, bahan kemasan, dan botol-
botol fleksibel. Penggunaan plastik secara berlebih dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat terurai.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumber energy
non-konvensional seperti gas hydrogen
2. Bagaimana cara pemanfaatan polimer seperti plastik LDPE dan polistiren
sebagai membran pada gas hydrogen untuk menghasilkan energy listrik
dengan teknologi PEMFC
3. Bagaimana proses dan prinsip kerja pada pembentukan energy dari gas
hydrogen pada teknologi stack fuel cell secara sederhana
3
4. Bagaimana proses dan prinsip kerja pada pembentukan energy dari gas
hydrogen pada teknologi stack fuel cell untuk pembangkit listrik skala
besar
5. Apa saja sensor dan actuator yang digunakan pada pembangkit listrik skala
besar dan bagaimana prinsip kerjanya dalam mengontrol proses
pembentukan energi listrik.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
pemanfaatan limbah plastik LDPE dan polistiren dalam teknologi hidrogen
sebagai energi alternatif yang tepat guna dan ramah lingkungan dengan
penggunaan alat Hydrogen Energizer untuk menghasilkan energi listrik
dengan bahan bakar air tanpa emisi sehingga dapat mengurangi pencemaran
udara.
Manfaat penulisan ini ditujukan bagi mahasiswa, pemerintah, dan
masyarakat. Kegunaan bagi mahasiswa adalah sebagai bahan kajian yang
diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang penggunaan
dan manfaat bahan bakar dari teknologi hidrogen. Bagi pemerintah karya ini
dapat dijadikan sebagai masukan dalam merancang pembangkit listrik tenaga
hidrogen secara kontinyu. Bagi masyarakat penulisan karya tulis ini memiliki
kegunaan sebagai media informasi mengenai penggunaan salah satu energi
alternatif ramah lingkungan.
4
4
BAB II
TEKNOLOGI STACK FUEL CELL BERBAHAN BAKAR HIDROGEN
2.1 Sejarah Fuel Cell
Sir William Grove untuk pertama kali menemukan fuel cell pada tahun
1839. Grove mengetahui bahwa air dapat dipisahkan menjadi air dan oksigen
dengan mengalirkan arus listrik di dalamnya (sebuah proses yang disebut
elektrolisis). Dia membuat hipotesa bahwa dengan membalik prosedur anda
bias menghasilkan tenaga listrik dari air tawar dia menciptakan fuel cell
primitive dan menyebutnya sebagai suatu gas voltaic battery. Setelah
bereksperimen dengan temuannya yang baru, Grove dapat membuktikan
hipotesanya. Lima puluh tahun kemudian, ahli ilmu pengetahuan Ludwig
Mond dan Charles Langer mengubah istilahnya dengan fuel cell sambil
berusaha membuat contoh atau model yang nyata untuk menghasilkan energi
listrik.
Kemudian pada tahun 1930 Francis Bacon (1904-1992), pria lulusan
Cambridge University dan berkebangsaan Inggris mengadakan penilitiannya
mengenai fuel cell dan menemukan fuel cell yang menggunakan elektrolit
basa (KOH), yang kemudian disebut alkaline fuel cell (fuel cell tipe basa).
Berselang setelah ditemukan alkaline fuel cell, di tahun 1950-an, Perusahaan
Amerika, General Electic (GE), berhasil mengembangkan fuel cell tipe baru,
dengan polimer membran sebagai elektrolitnya, yang kemudian disebut
PEMFC. PEMFC yang ditemukan oleh GE mampu menghasilkan sekitar 1
KWatt, dan memiliki keunggulan pada design, lebih compact, bila
dibandingkan fuel cell yang ditemukan oleh F. Bacon saat itu.
2.2 Pengertian Fuel Cell
Fuel cell merupakan alat konversi energi elektrokimia yang mengubah
energi kimia dari hidrogen (H2) dan oksigen (O2) ke dalam energi listrik dan
panas melalui reaksi reduksi elektrokimia masing-masing anoda (kutub
5
positif) dan katoda (kutub negatif) dari sel dengan air (H2O) sebagai hasil
sampingnya. Struktur fisik dasarnya terdiri atas lapisan elektrolit yang salah
satu sisinya merupakan daerah kontak anoda berpori dengan katoda berpori
pada sisi lainnya. Sel bahan bakar dibagi atas beberapa kategori berdasarkan
kombinasi tipe bahan bakar dan oksidan, tipe elektrolit yang digunakan,
temperatur operasi, dan lain-lain.
Pada fuel cell, bahan gas oksigen didapat dari udara sedang gas
hidrogen dapat diperoleh dari reaksi reformer dari hidrokarbon. Gas hidrogen
mempunyai kesulitan untuk disimpan dan ditransport karena molekul yang
kecil sehingga sulit untuk dicairkan dan mudah terbakar. Usaha memperoleh
hidrogen dengan mudah sedang diusahakan dengan berbagai cara misalnya
memperkecil reaktor reformer dengan bahan baku LPG atau gas methane,
menguraikan metanol yang dibuat dari pabrik besar tetapi dalam bentuk cair
sehingga mudah untuk ditransport. Gas hidrogen dapat juga diperoleh dari
methanol setelah diuraikan menjadi gas CO dan hidrogen, kemudian gas CO
dioksidasi menjadi CO2 dan air.
Ion yang bemigrasi dapat sebagai hidrogen, oksigen atau hidroksida.
Sedang elektrolit dapat berupa membran polimer, garam karbonat cair, lapisan
oksida keramik, larutan alkali dan asam phospat. Elektroda biasanya terbuat
dari logam platina atau nikel.
Reaksi kimia pada fuel cell :
2H2 + O2 2H2O
Pada anoda hidrogen di oksidasi menjadi proton :
2H2 4H+ + 4 e-
Setiap molekul H2 terpecah menjadi dua atom H+(proton), sedang setiap atom
hidrogen melepaskan elektronnya. Proton ini akan bergerak menuju katoda
melewati membran. Yang menjadi sasaran dalam penulisan ini adalah
Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) yang bekerja pada
temperatur yang relatif rendah. Elektron yang terbentuk akan menghasilkan
6
arus listrik kalau dihubungkan dengan penghantar listrik menuju katoda. Pada
katoda oksigen dirubah :
O2 + 4H+ + 4 e- 2H2O
Molekul oksigen akan bergabung dengan empat elektron, menjadi ion oksigen
yang bermuatan negatif untuk selanjutnya bergabung lagi dengan proton yang
mengalir dari anoda. Setiap ion oksigen akan melepaskan kedua muatan
negatifnya dan bergabung dengan dua proton, sehingga terjadi oxidasi menjadi
air.
Karena energi yang diproduksi fuel cell merupakan reaksi kimia
pembentukan air, alat konversi energi elektrokimia ini tidak akan
menghasilkan efek samping yang berbahaya bagi lingkungan seperti alat
konversi energi konvensional (misalnya proses pembakaran pada mesin
mobil). Sedangkan dari segi efisiensi energi, penerapan fuel cell pada baterai
portable seperti pada handphone atau laptop akan sepuluh kali tahan lebih
lama dibandingkan dengan baterai litium. Dan untuk mengisi kembali energi
akan lebih cepat karena energi yang digunakan bukan listrik, tetapi bahan
bakar berbentuk cair atau gas.
2.3 Energi Hidrogen
Hidrogen (bahasa Latin: hydrogenium, dari bahasa Yunani; hydro: air,
genes: membentuk) adalah unsur kimia pada tabel periodik yang memiliki
simbol H dan nomor atom 1. Hidrogen adalah unsur yang paling ringan dan
paling banyak terdapat di alam semesta. Unsur ini dikandung oleh air dan
semua senyawa organik serta makhluk hidup. Hidrogen mampu bereaksi
secara kimia dengan kebanyakan unsur lain. Hidrogen dapat berfungsi sebagai
bahan bakar saat bereaksi dengan oksigen. Reaksi sederhana yang dapat
menggambarkan proses pembentukan energi pada pembakaran hidrogen
adalah sebagai berikut: (Wikipedia, 2006).
2H2 + O2 2H2O + Energi (entalpi)
7
Menurut Helmot (2007) menyebutkan bahwa hidrogen dapat
digunakan sebagai bahan bakar berbagai jenis kendaraan. Teknologi hidrogen
termasuk dalam kategori non-Internal Combustion Engine (ICE) yang
memerlukan baterai elektrik pada kendaraan. Linnemann (2006),
menyebutkan bahwa produksi hidrogen dapat menghasilkan listrik sebagai
salah satu solusi dalam pemenuhan kebutuhan energi. Hidrogen ini dapat
dijual dipasaran untuk bahan bakar kendaraan atau untuk dikonversi menjadi
tenaga listrik.
2.4 Polymer Electrolyte Membrane (PEM)
Polymer Electrolyte Membrane atau Proton Exchange Membrane
merupakan membran semipermeabel yang pada umumnya dibuat dari ionomer
dan dirancang agar dapat menghantar proton namun bersifat impermeable
terhadap gas seperti oksigen atau hidrogen. Sifat ini sangat berperan dalam
pemisahan reaktan dan proton yang terjadi pada sel elektrokimia (Wikipedia,
2009). PEM dapat dibuat dari beberapa macam polimer murni ataupun
komposit dimana gugus fungsi lain diikatkan pada matriks polimer. Sistem
membran ini menggunakan fase penghantar yang bersifat ionik berupa gugus
garam yang matriks polimernya bersifat polar seperti anion F-, Cl-, I-, SCN-,
ClO4-, CF3SO3-, BF4-, dan AsF6-. PEM dapat digunakan untuk proses
elektrolisis (PEM Electrolyzer) dan untuk elektokimia (PEM Fuel Cell)
(Fiona, 1997).
a. PEM Electrolyzer
PEM Electrolyzer merupakan jenis membran filter yang banyak
digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi seperti manufaktur dari
khlor dan soda api oleh elektrolisis garam, atau pabrik pembuat bahan
organik dengan cara elektolisis dari air laut atau yang lainnya. Unit
electrolyzer ditempatkan diantara ruang anode dan katoda yang berdekatan
dan saling terhubung. Gambar 1 menjelaskan mengenai proses elektrolisis
air. Secara garis besar proses pemecahan air mengalami beberapa tahap
yaitu pada anoda airdielektrolisis menjadi oksigen dan H+. Proton
8
mengalir menuju katoda dan menerima elektron sehingga membentuk
hidrogen. Hidrogen ini yang dimanfaatkan sebagi bahan bakar.
Gambar 2.1 Proses Elektrolisis Air
b. Plastik LDPE
Low Density Poly-Ethylene (LDPE) mempunyai masa jenis
antara 0,91–0,94 gram/mL dengan 50-60% strukturnya berbentuk kristalin
dengan kristalinitas 90%. LDPE memiliki titik leleh 1200 C (Billmeyer,
1971). LDPE memiliki sifat fisik yang fleksibel denngan kerapatan kecil
(Lenau, 2003). Sebagian besar LDPE dipakai sebagai kemasan komersial,
plastik, pembungkus sabun, dan beberapa botol fleksibel. Keunggulan
LDPE sebagai bahan kemasan adalah harganya yang murah, mudahnya
proses pembuatan, sifatnya yang fleksibel, dan mudah didaur ulang. Selain
itu, LDPE mempunyai daya perlindungan yang baik terhadap uap air,
namun kurang baik terhadap gas lainnya seperti oksigen. Jenis plastik ini
memiliki ketahanan kimia yang sangat tinggi, namun larut dalam benzena
dan tetrachlorocarbon (CCl4) (Billmeyer,1971).
Satu hal yang berbeda dari kebanyakan plastik bahwa LDPE mempunyai
nilai konstanta dielektrik yang kecil, sehingga memiliki sifat kelistrikan
9
yang lebih baik (Billmeyer, 1971). Sifat listrik tersebut semakin baik
dengan tingginya jumlah hidrogen atau klorida dan fluorida yang terikat
pada struktur polietilen (exceedmpe.com, 2009). Guna menghasilkan sifat
listrik yang lebih baik perlu dilakukan modifikasi pada LDPE. Modifikasi
LDPE dapat dilakukan dengan pencangkokan asam florida dengan sinar
UV (Jamal dkk, 2007). Metode pencangkokan untuk memodifikasi bahan
polimer telah banyak digunakan terutama untuk menghasilkan membran
selektif penukar ion. Akibat dari polimer yang diradiasi maka akan
terbentuk ikatan silang antara molekul polimer. Teknik iradiasi yang
digunakan untuk memodifikasi polimer menyebabkan terbentuknya
radikal polimer. Radikal polimer ini akan bereaksi dengan HF membentuk
LDPEg-F yang merupakan suatu rantai panjang yang baru (Jamal dkk,
2007).
Gambar 2.2 Struktur molekul Gambar 2.3 Struktur polistiren tersulfonasi.
polistiren.
c. Polistiren Tersulfonasi
Stiren merupakan suatu senyawa organik dengan rumus molekul
C6H5CH=CH2. Stiren dapat mengalami reaksi adisi kontinyu sehingga
akan terbentuk polimer yang tersusun dari monomer-monomer stiren.
Prepolimerizer merupakan awal proses dimulainya polimerisasi
stiren. Melalui proses tersebut, stiren akan dipolimerisasi (biasanya dengan
10
menggunakan peroksida sebagai oksidator) diaduk hingga campuran
reaksi terkonsentrasi menjadi polimer akibat adanya proses pencampuran
yang efisien dan perpindahan panas yang baik. Sulfonasi merupakan suatu
reaksi substitusi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus
-SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya.
Polistiren bersifat impermeabel terhadap proton, akan tetapi polistiren
yang telah tersulfonasi akan permeabel terhadap proton karena memiliki
gugus sulfonat (-SO3H). Gugus ini terbentuk akibat reaksi sulfonasi antara
polistiren dengan asetil sulfonat.
2.5 Jenis Fuel Cell
Jenis dari pada fuel cell ditentukan oleh material yang digunakan
sebagai elektrolit yang mampu menghantar proton. Ada enam tipe umum fuel
cell, yaitu Alkaline Fuel Cell (AFC), Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC),
Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Solid Oxide Fuel Cell (SOFC), Polymer
Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC), dan Direct Methanol Fuel Cell
(DMFC). Namun yang dibahas dalam makalah ini adalah Pengembangan fuel
cell tipe PEMFC, menggunakan material dengan bahan membrane polimer,
katalis elektroda dan graphite bi-polar plate.
Pada tabel berikut dapat dilihat jenis dari pada elektrolit untuk 6 jenis
fuel cell dan operasi temperatur, karakteristik dan penggunaannya.
11
2.5.1 PEM Fuel Cell
Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) disebut juga
Proton Exchange Membrane Fuel Cell. Membran ini berupa lapisan tipis
padat yang berfungsi sebagai elektrolit pemisah katoda dan anoda. Membran
ini secara selektif mengontrol transport proton dari anoda ke katoda dalam
fuel cell. PEMFC mengandung katalis platina. Untuk menghasilkan energi,
PEMFC hanya memerlukan hidrogen, oksigen dari udara, dan air untuk
mengoperasikannya. Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang
bersifat korosif seperti jenis lainnya.
PEMFC merupakan sebuah sistem bebas pelarut. Sistem fuel cell ini
menggunakan fasa penghantar bersifat ionik berupa gugus garam yang matriks
polimernya bersifat polar, seperti pada garam anion F-, Cl-, I-, SCN-, ClO4-,
CF3SO3-, BF4-, dan AsF6-. Semakin besar ukuran anion dan semakin
terdelokalisasi muatan, maka semakin sulit tersolvasi sehingga dapat terjadi
ikatan non permanen antara anion dan proton.
Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) dapat memberikan
densitas daya yang tinggi dan mempunyai kelebihan dalam hal berat dan
volume dibandingkan dengan sel bahan bakar jenis lain. PEMFC
menggunakan polimer padat sebagai elektrolit dan elektroda karbon berpori
(porous carbon electrodes) yang mengandung katalis platina. PEMFC hanya
membutuhkan hidrogen, oksigen dari udara, dan air untuk sistem operasinya
dan tidak membutuhkan cairan korosif seperti pada sel bahan bakar jenis lain.
Efisiensi PEMFC dapat mencapai 40–50%, suatu nilai yang jauh melampaui
efisiensi mesin bakar BBM yang kurang dari 20%.
12
Gambar 2.4 Skema Sel Bahan Bakar Membran Penghantar Proton
Sampai sekarang telah banyak dikembangkan berbagai basis elektrolit
dalam pembuatan sel elektrokimia. Basis elektrolit yang sudah dikembangkan
antara lain: padatan kristal, gelas, lelehan, dan elektrolit. Material berbasis
polimer ternyata memiliki beberapa keunggulan (yang salah satunya sudah
disebutkan di atas) sebagai material elektrolit polimer. Keunggulan tersebut
antara lain :
Mempunyai hantaran yang cocok untuk aplikasi sel elektrokimia
Mempunyai hantaran listrik yang rendah
Mempunyai sifat mekanik yang baik
Mempunyai kestabilan kimia, elektrokimia dan fotokimia yang baik
Murah dalam pembuatannya
PEM fuel cell bekerja pada temperatur yang relatif rendah, yaitu
sekitar 80°C (176°F). Rendahnya suhu operasi ini menyebabkan rendahnya
waktu pemanasan (warm-up time). Selain itu PEM memiliki kerapatan daya
yang cukup tinggi karena sifat-sifat inilah maka PEM banyak digunakan
sebagai sumber daya bagi alat-alat elektronik portable dan alat-alat
transportasi.
Peranan elektroda sangat penting pada proses pengubahan fluks difusi
proton menjadi energi listrik. Pada elektroda, perbedaan potensial kimia
13
dikonversi menjadi potensial listrik sesuai persamaan Nernst. Pada
perkembangan fuel cell terakhir, telah diteliti suatu cara perakitan yang baik
untuk menghasilkan energi listrik paling maksimal, yaitu dengan Membrane
Assembly Electrodes (MEA). Perakitan elektroda dilakukan dengan cara
pencangkokan elektrokatalis secara langsung pada waktu pembentukan
polimer TFPE.
Cara kerja suatu unit fuel cell dapat diilustrasikan dengan jenis
PEMFC (proton exchange membrane fuel cell). Jenis ini adalah jenis fuel cell
yang menggunakan reaksi kimia paling sederhana. PEMFC memiliki empat
elemen dasar seperti kebanyakan jenis fuel cell. Pertama, anoda sebagai kutub
negatif fuel cell. Anoda merupakan elektroda yang akan mengalirkan elektron
yang lepas dari molekul hidrogen sehingga elektron tersebut dapat digunakan
di luar sirkuit. Pada materialnya terdapat saluran-saluran agar gas hidrogen
dapat menyebar ke seluruh permukaan katalis. Kedua, katoda sebagai kutub
elektroda positif fuel cell yang juga memiliki saluran yang akan menyebarkan
oksigen ke seluruh permukaan katalis. Katoda juga berperan dalam
mengalirkan elektron dari luar sirkuit ke dalam sirkuit sehingga elektron-
elektron tersebut dapat bergabung dengan ion hidrogen dan oksigen untuk
membentuk air. Ketiga, elektrolit. Yang digunakan dalam PEMFC adalah
membran pertukaran proton (proton exchange membrane/PEM). Material ini
berbentuk seperti plastik pembungkus yang hanya dapat mengalirkan ion
bermuatan positif. Sedangkan elektron yang bermuatan negaif tidak akan
melalui membran ini. Dengan kata lain, membran ini akan menahan elektron.
Keempat, katalis yang digunakan untuk memfasilitasi reaksi oksigen dan
hidrogen. Katalis umumnya terbuat dari lembaran kertas karbon yang diberi
selapis tipis bubuk platina. Permukaan katalis selalu berpori dan kasar
sehingga seluruh area permukaan platina dapat dicapai hidrogen dan oksigen.
Lapisan platina katalis berbatasan langsung dengan membran penukar ion
positif, PEM.
Pada ilustrasi cara kerja PEMFC, diperlihatkan gas hidrogen yang
memiliki tekanan tertentu memasuki fuel cell di kutub anoda. Gas hidrogen ini
14
akan bereaksi dengan katalis dengan dorongan dari tekanan. Ketika molekul
H2 kontak dengan platinum pada katalis, molekul akan terpisah menjadi dua
ion H+ dan dua elektron (e-). Elektron akan mengalir melalui anoda, elektron-
elektron ini akan membuat jalur di luar sirkuit fuel cell dan melakukan kerja
listrik, kemudian mengalir kembali ke kutub katoda pada fuel cell.
Di sisi lain, pada kutub katoda fuel cell, gas oksigen (O2) didorong
gaya tekan kemudian bereaksi dengan katalis membentuk dua atom oksigen.
Setiap atom oksigen ini memiliki muatan negatif yang sangat besar. Muatan
negatif ini akan menarik dua ion H+ keluar dari membran PEM, lalu ion-ion
ini bergabung dengan satu atom oksigen dan elektron-elektron dari luar sirkuit
untuk membentuk molekul air (H2O).
Pada satu unit fuel cell terjadi reaksi kimia yang terjadi di anoda dan
katoda. Reaksi yang terjadi pada anoda adalah 2 H2 --> 4 H+ + 4 e-.
Sementara reaksi yang terjadi pada katoda adalah 2 + 4 H+ + 4e- --> 2 H2O.
Sehingga keseluruhan reaksi pada fuel cell adalah 2H2 + O2 --> 2 H2O. Hasil
samping reaksi kimia ini adalah aliran elektron yang menghasilkan arus listrik
serta energi panas dari reaksi. Satu unit fuel cell ini menghasilkan energi
kurang lebih 0,7 volt. Karena itu untuk memenuhi energi satu baterai
handphone atau menggerakkan turbin gas dan mesin mobil, dibutuhkan
berlapis-lapis unit fuel cell dikumpulkan menjadi satu unit besar yang disebut
sebagai stack fuel cell.
2.6 Membran Fuel Cell
Pada sistem fuel cell terdapat membran elektrolit yang merupakan
”jantung” dari sistem dan perangkat separator fuel. Fungsi dari membran pada
fuel cell adalah sebagai elektrolit dan pemisah dua gas reaktan. Sebagai
elektrolit, membran fuel cell menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang
dihasilkan oleh reaksi anoda menuju katoda, sehingga reaksi pada katoda yang
menghasilkan energi listrik dapat terjadi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli maka
telah dibuat membran fuel cell yang berasal dari material komposit bipolar
15
plate dengan matriks polimer yang akan diperkuat grafit. Graphite bipolar
plate akan menjadi lembar panel khusus, dalam alat pembangkit energi
berbahan bakar hidrogen.
Elektrolit yang digunakan dalam PEMFC adalah membran pertukaran
proton (proton exchange membrane/PEM). Material ini berbentuk seperti
plastik pembungkus yang hanya dapat mengalirkan ion bermuatan positif.
Sedangkan elektron yang bermuatan negaif tidak akan melalui membran ini.
Dengan kata lain, membran ini akan menahan elektron.
Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam
PEM fuel cell. Membran polimer ini dapat memisahkan reaktan dan menjadi
sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda
sehingga menghasilkan energi listrik. Persamaan reaksi yang terjadi di anoda
dan katoda dapat dituliskan sebagai berikut:
Gambar 2.5 Diagram Kerja PEMFC
Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem
fuel cell berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi
16
memberikan tingkat emisi yang mendekati zero emission. Penggunaan
hidrogen dengan tingkat kemurnian tinggi juga dapat memperpanjang waktu
hidup membran fuel cell dan mencegah pembentukan karbonmonoksida (CO)
yang beracun, pada permukaan katalis.
2.7 Kelebihan dan Kekurangan Fuel Cell
2.7.1 Kelebihan
a. Tidak Mengeluarkan Emisi Berbahaya (Zero Emision)
Sebuah sistem fuel cell hanya akan mengeluarkan uap air apabila memakai
hidrogen murni. Tetapi ketika memakai hidrogen hasil dari reforming
hidrokarbon/fosil (misal: batu bara, gas alam, dll) maka harus dilakukan
uji emisi untuk menentukan apakah sistem tersebut masih dapat
dikategorikan zero emission.
b. Efisiensi Tinggi
Oleh sebab fuel cell tidak menggunakan proses pembakaran dalam
konversi energi, maka efisiensinya tidak dibatasi oleh batas maksimum
temperatur operasional (tidak dibatasi oleh efisiensi siklus Carnot).
Hasilnya, efisiensi konversi energi pada fuel cell melalui reaksi
elektrokimia lebih tinggi dibandingkan efisiensi konversi energi pada
mesin kalor (konvensional) yang melalui reaksi pembakaran.
c. Cepat Mengikuti Perubahan Pembebanan
Fuel cell memperlihatkan karakteristik yang baik dalam mengikuti
perubahan beban. Sistem Fuel cell yang menggunakan hidrogen murni dan
digunakan pada sebagian besar peralatan mekanik (misal: motor listrik)
memiliki kemampuan untuk merespon perubahan pembebanan dengan
cepat.
d. Temperatur Operasional Rendah
Sistem fuel cell sangat baik diaplikasikan pada industri otomotif yang
beroperasi pada temperatur rendah. Keuntungannya adalah fuel cell hanya
memerlukan sedikit waktu pemanasan (warmup time), resiko operasional
17
pada temperatur tinggi dikurangi, dan efisiensi termodinamik dari reaksi
elektrokimia lebih baik.
e. Reduksi Transformasi Energi
Ketika fuel cell digunakan untuk menghasilkan energi listrik maka fuel
cell hanya membutuhkan sedikit transformasi energi, yaitu dari energi
kimia menjadi energi listrik. Bandingkan dengan mesin kalor yang harus
mengubah energi kimia menjadi energi panas kemudian menjadi energi
mekanik yang akan memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.
Fuel cell yang diaplikasikan untuk menggerakkan motor listrik memiliki
jumlah transformasi energi yang sama dengan mesin kalor, tetapi
transformasi energi pada fuel cell memiliki efisiensi yang lebih tinggi.
f. Waktu Pengisian Hidrogen Singkat
Sistem fuel cell tidak perlu penyetruman (recharge) layaknya baterai.
Tetapi sistem fuel cell harus diisi ulang dengan hidrogen, dimana
prosesnya lebih cepat dibandingkan penyetruman baterai. Selain itu,
baterai tidak dapat dipasang dalam jumlah besar pada mesin otomotif
untuk meningkatkan performance karena akan semakin menambah beban
pada kendaraan tersebut.
Gambar 2.6 Stasiun Pengisian Hidrogen
2.7.2 Kekurangan
18
a. Hidrogen
Hidrogen sulit untuk diproduksi dan disimpan. Saat ini proses produksi
hidrogen masih sangat mahal dan membutuhkan input energi yang besar
(artinya: efisiensi produksi hidrogen masih rendah). Untuk mengatasi
kesulitan ini, banyak negara menggunakan teknologi reforming
hidrokarbon/fosil untuk memperoleh hidrogen. Tetapi cara ini hanya
digunakan dalam masa transisi untuk menuju produksi hidrogen dari air
yang efisien.
b. Sensitif pada Kontaminasi Zat-asing
Fuel cell membutuhkan hidrogen murni, bebas dari kontaminasi zat-asing.
Zat-asing yang meliputi sulfur, campuran senyawa karbon, dll dapat
menonaktifkan katalisator dalam fuel cell dan secara efektif akan
menghancurkannya. Pada mesin kalor pembakaran dalam (internal
combustion engine), masuknya zat-asing tersebut tidak menghalangi
konversi energi melalui proses pembakaran.
c. Harga Katalisator Platinum Mahal
Fuel cell yang diaplikasikan pada industri otomotif memerlukan
katalisator yang berupa Platinum untuk membantu reaksi pembangkitan
listrik. Platinum adalah logam yang jarang ditemui dan sangat mahal.
Berdasarkan survei geologis ahli USA, total cadangan logam platinum di
dunia hanya sekitar 100 juta kg (Bruce Tonn and Das Sujit, 2001). Dan
pada saat ini, diperkirakan teknologi fuel cell berkapasitas 50 kW
memerlukan 100 gram platinum sebagai katalisator (DEO, 2000).
Misalkan penerapan teknologi fuel cell berjalan baik (meliputi:
penghematan pemakaian platinum pada fuel cell, pertumbuhan pasar fuel
cell rendah, dan permintaan platinum rendah) maka sebelum tahun 2030
diperkirakan sudah tidak ada lagi logam platinum (Anna Monis Shipley
and R. Neal Elliott, 2004). Untuk itulah diperlukan penelitian untuk
menemukan jenis katalisator alternatif yang memiliki kemampuan mirip
katalisator dari platinum.
d. Pembekuan
19
Selama beroperasi, sistem fuel cell menghasilkan panas yang dapat
berguna untuk mencegah pembekuan pada temperatur normal lingkungan.
Tetapi jika temperatur lingkungan terlampau sangat dingin (-10 s/d -20 C)
maka air murni yang dihasilkan akan membeku di dalam fuel cell dan
kondisi ini akan dapat merusak membran fuel cell (David Keenan,
10/01/2004). Untuk itu harus didesain sebuah sistem yang dapat menjaga
fuel cell tetap berada dalam kondisi temperatur normal operasi.
e. Teknologi Tinggi dan Baru
Perlu dikembangkan beberapa material alternatif dan metode konstruksi
yang baru sehingga dapat mereduksi biaya pembuatan sistem fuel cell
(harga komersial saat ini untuk pembangkit listrik dengan fuel cell
~$4000/kW) (Javit Drake, 29/03/2005). Diharapkan dimasa depan dapat
dihasilkan sebuah sistem fuel cell yang lebih kompetitif dibandingkan
mesin bakar/otomotif konvensional (harga saat ini: $20/kW) dan sistem
pembangkit listrik konvensional (harga saat ini: $1000/kW) (Matthew M.
Mench, 24/05/2001). Teknologi baru tersebut akan mampu menghasilkan
reduksi biaya, reduksi berat dan ukuran, sejalan dengan meningkatnya
kehandalan dan umur operasi (lifetime) sistem fuel cell. Penggunaan
sistem fuel cell dalam industri otomotif minimal harus memiliki umur
operasi 4.000 jam (ekivalen 100.000 mil pada kecepatan 25 mil per jam)
dan dalam industri pembangkit listrik minimal harus memiliki umur
operasi 40.000 jam (Matthew M. Mench, 24/05/2001).
f. Ketiadaan Infrastruktur
Infrastruktur produksi hidrogen yang efektif belum tersedia. Tersedianya
teknologi manufaktur dan produksi massal yang handal merupakan kunci
penting usaha komersialisasi sistem fuel cell.
2.8 Pengembangan Fuel Cell di Indonesia
20
Para peneliti terus mengembangkan teknologi fuel cell agar lebih
efisien, tidak mahal, dan mudah digunakan. Sistem fuel cell banyak
mengalami pengembangan pada jenis elektrolitnya. Adanya perubahan jenis
elektrolit juga merekayasa jenis material dan sistem elektrodanya. Beberapa
jenis elektrolit yang telah dikembangkan para penemu antara lain cairan alkali
(alkali fuel cell/AFC), cairan karbonat (molten carbonate fuel cells/MCFC),
asam fosfat (phosphoric acid fuel cells/PAFC), membran pertukaran proton
(proton exchange membrane fuel cells/PEMFC), serta oksida padat (solid
oxide fuel cells/SOFC).
Kebutuhan bahan bakar fuel cell juga bergantung pada jenis elektrolit
tersebut, beberapa membutuhkan gas hidrogen murni. Sehingga dibutuhkan
suatu alat yang disebut reformer untuk memurnikan bahan bakar hidrogen.
Sedangkan pada elektrolit yang tidak membutuhkan gas hidrogen murni, dapat
bekerja efisien pada temperatur tinggi. Dan pada beberapa elektrolit cair,
membutuhkan tekanan tertentu untuk mendorong gas hidrogen.
Bahan bakar yang biasanya menggunakan gas hidrogen bertekanan
tinggi atau hidrogen cair bagi fuel cell, mulai mengalami perubahan seiring
berkembangnya teknologi reformer. Sehingga tak perlu membawa tabung gas
hidrogen atau hidrogen cair yang mudah meledak serta mahal. Salah satu jenis
bahan bakar yang digunakan adalah metanol yang diubah reformer menjadi
gas hidrogen.
Teknologi reformer terbaru adalah menggunakan natrium borohidrida
cair untuk menghasilkan gas hidrogen murni. Seperti yang dikembangkan
perusahaan Millenium Cell. Reaksi kimia teknologi ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
NaBH4 (aqueous solution) + 2H2O katalis 4H2 + NaBO2 (aqueous
solution) + panas.
Teknologi perusahaan ini menunjukkan beberapa potensi kelebihan
antara lain, natrium borohidrida (sodium borohydride/SBH) adalah material
tidak mudah terbakar pada suhu dan tekanan ruang, dan tidak perlu murni dan
dapat dilarutkan dengan air, sehingga mudah dibawa, dapat mengontrol
21
produksi hidrogen, waktu beroperasi lebih lama. Katalis itu juga tidak
menunjukkan kerusakan selama lebih dari 600 jam operasi reformer sehingga
lebih tahan lama, gas hidrogen bebas dari produksi sulfur atau karbon, serta
natrium borat yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk membentuk
natrium borohidrida pada energi tertentu.
Saat ini, penerapan fuel cell sebagai sumber energi sudah banyak
digunakan di seluruh belahan dunia, antara lain pada mesin mobil, bus, baterai
portable untuk handphone, laptop, PDA, pembangkit energi listrik, atau
generator-generator pada gedung-gedung, rumah sakit, bandara, dan rumah
tangga. Sementara di Indonesia, pengembangan fuel cell baru memasuki tahap
pengembangan pembangkit listrik skala kecil atau sekira 2 kW. Konsorsium
fuel cell di Indonesia saat ini telah menghimpun berbagai lembaga dan
institusi penelitian konversi energi, dan mulai melibatkan kalangan industri
seperti Pertamina dan Medco group. Peran industri dan kebijakan pemerintah
sangat berpengaruh bagi pengembangan teknologi fuel cell dalam rangka
pasokan energi bagi masyarakat Indonesia. Sangat dibutuhkan strategi
pemasaran serta investasi bagi riset dan pengembangan alat konversi energi
ini.
Kesempatan Indonesia untuk menerapkan fuel cell dalam rangka
meningkatkan sektor industri tanpa merusak sektor pertanian dan perkebunan.
Bayangkan berjuta-juta mobil lalu-lalang tanpa menghasilkan asap beracun,
melainkan uap air yang mampu melestarikan dan menghijaukan.
BAB III
22
22
SISTEM KONTROL PADA PEMBANGKIT STACK FUEL CELL
3.1 Teknologi Sederhana
Salah satu sumber energi alternatif yang sedang dikembangkan saat ini
adalah energi hidrogen yang bersumber dari air. Energi hidrogen memegang
peranan penting bagi umat manusia dalam pemenuhan kebutuhan energi.
Berbagai peralatan listrik dapat memanfaatkan hidrogen sebagai sumber
energinya. Penggunaan hidrogen sebagai penghasil energi listrik terhambat
oleh mahalnya teknologi untuk pembuatan membran polimer Nafion® yang
dapat memisahkan oksigen dan hidrogen hasil elektrolisis air serta bersifat
permeable terhadap proton (Febrina, 2007). Hydrogen Energizer (H2
Energizer) merupakan sebuah inovasi teknologi dalam dunia energi. Alat ini
berfungsi mengubah air menjadi hidrogen dan memanfaatkan hidrogen
tersebut sebagai bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Membran yang
digunakan pada H2 Energizer mampu memisahkan H2O menjadi H2 dan O2.
Memban ini juga mampu mengkonversi H2 menjadi energi listrik. Membran
yang telah dibuat dari limbah plastik LDPE dan polistiren tersulfonasi.
Membran pada H2 Energizer dibuat dari modifikasi limbah plastik
LDPE dan polistiren yang berlimpah sebagai sampah. Satu hal yang berbeda
dari kebanyakan plastik bahwa LDPE mempunyai nilai konstanta dielektrik
yang kecil, sehingga memiliki sifat kelistrikan yang lebih baik (Billmeyer,
1971). Sifat listrik tersebut semakin baik dengan tingginya jumlah hidrogen
atau klorida dan fluorida yang terikat pada struktur polietilen sehingga dapat
dijadikan membrane electrolyzer dan fuel cell dalam pembangkit energi
tenaga hydrogen (exceedmpe.com, 2009).
23
Gambar 3.1 Hydrogen Energizer
H2 Energizer (Gambar 6) memiliki beberapa bagian utama yaitu Solar
cell (1), penampung H2O (2), membran inovasi electrolyzer (3), tabung
penyimpan hidrogen (4), membran inovasi fuel cell (5), dan Indikator Listrik
(6). H2 Energizer adalah pembangkit listrik dengan memanfaatkan membran
komposit LDPE terflorinasi dengan polistiren tersulfonasi sehingga permeabel
terhadap proton. Mekanisme alat ini adalah dengan cara mengelektrolisis air
pada membrane electrolyzer menjadi gas hidrogen dan oksigen. Energi untuk
proses elektrolisis dihasilkan dari solar sel. Gas hidrogen hasil elektrolisis
dipisahkan menuju katoda, kemudian dialirkan ke tabung penyimpanan. Dari
tabung penyimpanan, hidrogen dialirkan dengan laju tertentu menuju
membran fuel cell. Pada unit membran fuel cell, hidrogen ditangkap di anoda
menghasilkan proton (H+) dan elektron (e-). Adanya gradien elektrokimia
menyebabkan elektron mengalir dari anoda ke katoda melalui kabel,
sementara proton melewati membran menuju katoda. Aliran elektron inilah
yang kemudian menyalakan lampu yang terhubung dengan katoda dan anoda
dari membran fuel cell. Pada bagian katoda membrane fuel cell, proton (H+)
1
2
3
4
5 6
24
kemudian bereaksi dengan oksigen yang disuplai dari udara membentuk uap
air.
3.1.1 Sintesis
Pemanfaatan limbah plastik LDPE sebagai sebagai membran
electrolyzer dan fuel cell dalam pembangkit energi tenaga hidrogen dilakukan
melalui proses florinasi dan iradiasi yang bertujuan untuk memodifikasi
polimer LDPE. Asam florida (HF) akan bereaksi dengan polimer LDPE
sehingga dihasilkan LDPE yang tercangkok F- membentuk rantai polimer
dengan gugus fungsi yang baru. Teknik ini membuat LDPE selektif terhadap
proton (H+). Polistiren yang digunakan terlebih dahulu disulfonasi untuk
mengubah struktur dari polistiren. Pada polistiren yang tersulfonasi akan
terbentuk PS-SO3H. Gugus ini dapat menghantarkan proton. Tetapi karena
sifat fisiknya yang rapuh membran tersebut harus dikombinasikan dengan
LDPE yang telah diflorinasi. Pembuatan PEM Electrolyzer dan PEM Fuel
Cell berbahan dasar limbah plastik LDPE dan polistiren tersulfonasi melalui
beberapa tahapan (Gambar 7).
Polimer LDPE melalui teknik florinasi dengan larutan HF dan disinari
dengan sinar γ sehingga didapatkan LDPE-g-F. Sintesis polistiren tersulfonasi
merupakan tahap yang terdiri dari pembuatan larutan asetil sulfat yang
dilanjutkan dengan proses sulfonasi polistiren pada suhu 40oC sampai
homogen. Selanjutnya, larutan tersebut dimurnikan dengan cara
menambahkan aquades mendidih dandisaring dengan kertas saring. Tahap
berikutnya polistiren tersulfonasi (PSS) dikeringkan dalam vakum dan
desikator. PSS murni telah siap untuk dilaminasi membentuk membran.
Reaksi pembentukan polistiren tersulfonasi (Gambar 8) dan dilanjutkan
dengan proses pencetakan.
25
Gambar 3.2 Reaksi pembentukan PSS
Pembuatan PEM Electrolyzer dan PEM Fuel Cell diawali dengan
pembuatan plat penutup membran dengan menggunakan resin. Bahan resin
dicampurkan dengan katalis H2O2 yang selanjutnya campuran resin dicetak
membentuk sebuah balok. Membran komposit LDPE-g-F dan polistiren
tersulfonasi yang telah dibuat disisipkan diantara dua elektoda tadi. Pada
sintesis membran electrolyzer, Hidrogen dihasilkan di elektoda negatif
(katoda) sedangkan untuk menghasilkan listrik di membran fuel cell, hidrogen
disalurkan ke elektoda positif (anoda).
Proses perakitan Hydrogen Energizer dimulai dengan memasang solar
cell (atau dapat digantikan dengan sumber listrik lain seperti aki) yang
dihubungkan dengan elektroda nikel pada membran electrolyzer yang terbuat
dari limbah plastik LDPE dan polistiren tersulfonasi. Pada bagian tangki air
(H2O Storage) yang terbuat dari plastik polyethylene terepthalat (PET)
dihubungkan dengan selang/pipa berdiameter kurang lebih 0,5 cm ke
elektroda positif (anoda) dari membran electrolizer. Sedangkan pada bagian
elektroda negatif (katode) dihubungkan ke penampung hidrogen (H2 Storage)
yang terbuat dari PET. Wadah penampung ini berfungsi untuk menyimpan
hidrogen hasil elektrolisis. Wadah ini terdiri dari dua ruang (ruang bagian atas
untuk air dan ruang bawah untuk penampungan hidrogen).
Pada sisi lain dari penampung hidrogen dihubungkan ke fuel cell
menggunakan selang/pipa. Elektroda nikel fuel cell yang kontak dengan gas
hidrogen dari penampung H2 adalah elektroda positif (anoda), sedangkan pada
26
elektroda negatif (katoda) fuel cell dikontakkan dengan oksigen dari udara.
Kedua elektroda pada fuel cell dihubungkan dengan indikator atau peralatan
listrik seperti lampu.
Gambar 3.3 Hydrogen Energizrer
Secara garis besar, membrane elektrolyzer mengubah H2O menjadi H2
dan O2. Pada unit elektrolyzer terjadi elektrolisis H20 menurut reaksi
2H20 4H+ + 4e+ + O2 (Anoda)
4H+ + 4e- 2H2 (Katoda)
27
Gambar 3.4 Proses elektrolisis air pada electrolyzer.
Pada proses elektrolisis dihasilkan gas H2 dan O2. Gas H2 akan
mengalir ke tabung penyimpan (H2 storage) dan O2 akan dilepaskan ke
lingkungan. Masuknya gas H2 dari bagian bawah tabung penyimpanan H2 akan
mendorong air yang sebelumnya telah mengisi ruang bawah tabung tersebut.
Air pada ruang bawah ini akan terdorong ke bagian atas ruang tabung. Gas H2
dari tabung penyimpanan akan mengalir menuju membran fuel cell. Laju alir
gas H2 yang memasuki membran fuel cell dapat diatur dengan alat pengatur
yang terdapat pada selang/pipa penghubung antara tabung penyimpanan H2
dengan fuel cell. Pada unit membran fuel cell, molekul hidrogen dipisahkan
dan ditangkap oleh anoda dan dioksidasi menjadi proton (H+). Lintasan
elektron melalui lintasan luar dan bersifat melawan muatan. Proton yang
terbentuk menyebar melalui bagian bawah membran fuel cell akibat gradien
elektrokimia ke arah katoda. Kemudian molekul oksigen dari udara diserap
oleh katoda dan direduksi. Selanjutnya O2 akan bereaksi dengan proton untuk
menghasilkan uap air. Uap air yang terbentuk dibuang kelingkungan. Pada
keadaan standar, proses elektrolisis air memerlukan tegangan sebesar 1,23
volt. Nilai tegangan ini mampu menghasilkan hidrogen yang nantinya
28
dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik sebesar 0,8 volt (dengan asumsi 1
lapis membran). Selisih tegangan sebesar 0,43 volt terlihat tidak hemat energi.
Namun, apabila menggunakan membran Fuel Cell Stack (menggunakan
membran lebih dari 1 lapis) akan menghasilkan energi 1,23 volt
(minihidrogen.com). Untuk menambah nilai ekonomis penggunaan, maka
sebaiknya listrik yang digunakan untuk proses elektrolisis adalah listrik yang
berasal dari energi terbarukan seperti energy matahari (solar cell), energi
angin, panas bumi, dan gelombang laut.
3.2 Sistem Kontrol Pada Pembangkit Energi Stack Fuel Cell
Dalam perkembangan teknologi dunia saat ini, hydrogen fuel cell
merupakan salah satu pembangkit listrik alternatif yang ramah lingkungan dan
sedang dikembangkaan di seluruh dunia. Alat ini dikembangkan karena
memiliki kelebihan seperti dapat mengurangi polusi udara sebab hasil proses
alat ini berupa H2O atau uap air, sedangkan beberapa pembangkit listrik lain
mengeluarkan CO2. Dalam tugas ini penulis menjelaskan alat monitoring dan
pengendalian tekanan hidrogen yang akan diproses menjadi daya listrik, untuk
memantau proses yang terjadi pada hydrogen fuel cell alat ukur yang
digunakan sebagai alat ukur tekanan adalah difrensial preassure transmitter
untuk monitoring yang menghasilkan angka digital dan preasure gauge yang
mengukur tekanan secara analog untuk mengukur tekanan hidrogen yang akan
diproses.
Salah satu keberhasilan dalam mengoptimalkan kinerja fuel cell
terletak pada pengendalian jumlah hidrogen dan oksigen yang masuk pada
stack fuel cell serta kondisi suhunya. Fungsi pengendalian pada stack
digunakan mikrokontroler tipe AVR yaitu ATMega 8535 sebagai pengendali
utama, katup solenoid untuk pengaturan aliran, dan DS1820 sebagai sensor
suhu. Untuk melihat unjuk kerja sistem disimulasikan dengan air yang
dipompa dengan kecepatan aliran diatur melalui katup solenoid berdasarkan
fungsi tunda oleh mikrokontroler. Kontrol suhu digunakan sensor DS1820 dan
kipas pendingin 12 V sebagai umpan baliknya. Besaran kecepatan aliran dan
29
suhu yang terukur ditampilkan secara visual dalam LCD. Unjuk kerja
kesetabilan berdasarkan uji kuadrat kai menunjukkan kecepatan aliran bernilai
0,36 untuk n = 10 dan unjuk kerja suhu memiliki overshoot 2,3 persen dari
batas suhu maksimum, sehingga kestabilan fungsi pengendalian tercapai untuk
variabel aliran dan suhu.
Sistem control teknologi stack fuel cell ini merupakan susunan dari
beberapa plant kemudian di jadikan satu dengan plant penghasil hidrogen dan
plant fuel cell. Pada plant penghasil higrogen ini menggunakan media ethanol
sebagai penghasil gas hidrogen dengan cara di beri arus mencapai 10A,
setelah itu hasilnya (gas hidrogen) akan di kompres dengan menggunakan
kopresor kulkas berukuran ¼ pk kemudian di simpan ke dalam tabung
refrigerant (tabung freon) kosong dengan tujuan tekanan yang di keluarkan
supaya maksimal menuju fuel cell. Kemudian plant fuel cell untuk
mengesktrak gas hidrogen menjadi listrik dengan mengambil muatan ion
positif dengan cara di lewatkan ke plat besing yang di dalamnya terdapat karet
(seal) yang sudah di beri katalis (pemisah) listrik di peroleh dengan cara
melewatkan oksigen masuk bersama hidrogen sehingga ion positif dari
hidrogen dan ion negatif dari oksigen akan di ambil melalui salah satu
konektor kabel sehingga timbul beda potensial (E) dan keluaran beda potensial
tersebut dapat di gunakan untuk keperluan listrik sehari hari. Output dari plant
ini bertegangan DC arus searah dan untuk mengembalikan ke arus bolak –
balik perlu adanya inverter DC to AC.
3.2.1 Hardware
Prinsip kerja hardware pada fuel cell di lakukan dua tahap, tahap
pertama yaitu proses pada hardware dari plant hidrogen dengan menggunakan
aki mobil (solar sel) inilah metanol akan di ekstrak menjadi hidrogen yang di
beri arus mencapai 10A, setelah itu hasilnya (gas hidrogen) akan di kompres
dengan menggunakan kopresor kulkas berukuran ¼ pk kemudian di simpan ke
dalam tabung refrigerant (tabung freon) kosong dengan tujuan tekanan yang di
keluarkan supaya maksimal menuju fuel cell.
30
Kemudian proses selanjutnya adalah proses pada plant fuel cell. Plant
ini menghasilkan arus listrik serta energi panas dalam bentuk gas uap dengan
cara mengesktrak gas hidrogen menjadi listrik dengan mengambil muatan ion
positif dengan cara di lewatkan ke plat besing yang di dalamnya terdapat karet
(seal) yang sudah di beri katalis (pemisah). Listrik di peroleh dengan cara
melewatkan oksigen masuk bersama hidrogen sehingga ion positif dari
hidrogen dan ion negatif dari oksigen akan di ambil melalui salah satu
konektor kabel sehingga timbul beda potensial (E) dan keluaran beda potensial
tersebut dapat di gunakan untuk keperluan listrik sehari hari.
Satu unit fuel cell ini menghasilkan energi kurang lebih 0,7 volt.
Karena itu untuk memenuhi energi satu baterai handphone atau menggerakkan
turbin gas dan mesin mobil, dibutuhkan berlapis-lapis unit fuel cell
dikumpulkan menjadi satu unit besar yang disebut sebagai stack fuel cell.
Untuk lebih jelasnya pembangkit tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.5
dibawah ini :
31
Gambar 3.5 Diagram Pembangkit Stack Fuel Cell
Besarnya kapasitas hydrogen yang mengalir pada stack fuel cell diatur
melalui sebuah actuator hidrolik yaitu katup solenoid yang akan membuka
dan menutup katup sesuai dengan jumlah enegri gas / panas yang dibutuhkan
untuk menggerakkan turbin. Aktuator hidrolik terdiri dari sebuah tabung yang
di dalamnya terdapat piston dengan aksi double atau dapat bekerja dalam dua
arah yang berlawanan. Aktuator ini akan dihubungkan dengan
electrohydraulic servo valve melalui dua buah pipa hidrolik sebagai jalur
aliran oli hidrolik selama proses kontrol. Solenoid valve (katup solenoid)
adalah salah satu alat atau komponen kontrol yang salah satu kegunaannya
yaitu untuk menggerakan tabung cylinder, sv adalah katup listrik yang
mempunyai koil sebagai penggeraknya yang mana ketika koil mendapat
supply tegangan maka koil tersebut akan berubah menjadi medan magnet
sehingga menggerakan piston pada bagian dalamnya ketika piston berpindah
posisi maka pada lubang keluaran A atau B dari sv akan keluar udara yang
berasal dari P atau supply, pada umumnya sv mempunyai tegangan kerja
100/200 VAC namun ada juga yang mempunyai tegangan kerja DC.
Posisi fisik dari aktuator dideteksi oleh LVDT (Linear Variable
Differential Transformer) dan diubah ke dalam sinyal tegangan yang
diumpanbalikkan ke kontroler. Jika sistem belum setimbang (aktuator hidrolik
tidak berada pada posisi setpoint), sinyal kontroler ke servo valve akan
memposisikan valve di posisi yang seharusnya, mengembalikan
kesetimbangan sistem dengan mereposisikan aktuator hidrolik.
Regulator yang digunakan untuk mengatur umpan balik posisi
diprogram melalui konfigurator <Q> TCQA I/O. Regulator yang digunakan
memiliki tipe 64. Angka ”6” menunjukkan bahwa regulator ini mengendalikan
input flow yang dalam hal ini flow bahan bakar dari magnetic pickup.
Sedangkan, angka ”4” yang merupakan sub tipenya maksudnya input flow
yang digunakan adalah input flow yang pertama dan umpan balik yang
digunakan adalah yang bernilai maksimum dari dua buah LVDT.
32
Pada stack dipasang sensor suhu DS1820 yang digunakan untuk
mendeteksi besarnya suhu pada valve yang dihasilkan dari panas gas hydrogen
karena kita ketahui gas hydrogen sangat mudah sekali terbakar jadi untuk
menghindari terjadinya kebakaran pada stack. Selain itu juga dipasang sensor
tekanan difrensial preassure transmitter untuk monitoring yang menghasilkan
angka digital dan preasure gauge yang mengukur tekanan secara analog untuk
mengukur tekanan hidrogen yang akan diproses. Keseluruhan proses dalam
stack fuel cell ini dikontrol oleh mikrokontroler tipe AVR yaitu ATMega
8535. Jadi, mikorokontroler ini mengendalikan kerja sensor dan actuator yang
bekerja yang kemudian ditampilkan pada layar LCD.
Untuk mengantisipasi kelebihan jumlah energi yang masuk, maka
dipasang beberapa komponen hardware yaitu sebagai berikut :
1. Sebuah valve yang berfungsi sebagai valve keluar masuk bahan bakar.
2. Sebuah silinder hidrolik sebagai tabung aktuator penggerak valve ke arah
menutup dimana tekanan gas hidrolik sebagai tenaga penggeraknya.
3. Sebuah pegas yang berfungsi sebagai pembalik arah dari aktuator penutup
valve yang akan membuka sepenuhnya valve bypass bila tidak ada tekanan
gas didalam silinder hidrolik.
4. Electrohydraulic servovalve ( 65 FP – 1 )
5. Dua buah sensor LVDT ( 96FP-1 dan -2 ).
Pembukaan bypass bahan bakar gas yang dikembalikan disesuaikan
dan dikontrol oleh signal FSR yang dibangkitkan oleh system control
SpeedtronikTM Mark V. Fuel Stroke Reference (FSR) adalah sinyal perintah
untuk aliran bahan bakar. Nilai minimum gerbang logika menghubungkan
output dari keenam mode kontrol ke FSR kontroler. Nilai output paling rendah
dari keenam kontrol loop yang diijinkan untuk melewati gerbang logika
pemilih ke sistem kontrol bahan bakar sebagai pengontrol nilai FSR. Nilai
FSR akan menentukan input bahan bakar ke turbin pada tingkat yang
diperlukan turbin selama beroperasi. Pengendalian electrohydraulic servo
valve dengan menggunakan sistem kontrol SPEEDTRONICTM MARK V
berfungsi untuk mengatur besar kecilnya bukaan bypass valve sehingga
33
mempengaruhi jumlah bahan bakar yang dialirkan ke ruang pembakaran.
Besar kecilnya bahan bakar yang dialirkan ke ruang pembakaran akan
menentukan cepat atau lambatnya kecepatan putar turbin pada Gas Turbin
Generator (GTG).
3.2.2 Software
Prinsip kerja software pada stack fuel cell ini ada dua tahap, tahap
pertama yaitu proses software mikrokontroller yang di tujukan untuk membuat
monitoring serta kontrol otomatis dengan menggunakan sensor temperature
dan pressure. Pada tahap pertama software ini di gunakan untuk
mengendalikan dan mengukur temperatur gas hidrogen saat keluar ke plant
fuel cell dan tahap dua yaitu proses pada software mikrokontroller yang di
tujukan untuk mengukur dan mengendalikan pressure yang keluar melalui
selang besi sehingga ketika terjadi kebococoran maka solenoid valve akan
menutup dan tidak terjadi kebakaran karena sifat dari gas hidrogen ini adalah
mudah terbakar.
Ketika di operasikan posisi plant hidrogen harus mencapai pressure
yang di inginkan sehingga saat melewati plant fuel cell, tegangan yang di
hasilkan tidak naik turun supaya konstan plant hidrogen harus memproduksi
terlebih dahulu gas tersebut kemudian di simpan ke dalam tabung refrigerant
yang sudah di modifikasi. Setelah mencapai tingkat pressure yang di inginkan
maka valve manual akan di buka selanjutnya plant fuel cell dapat bekerja dan
menghasilkan tegangan yang konstan.
34
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah disusun, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa gas hidrogen sangat besar potensinya untuk
menggantikan bahan bakar fosil karena ketersediaannya melimpah, dapat
diperbaharui, serta tidak menimbulkan emisi gas yang berbahaya. Untuk lebih
mengoptimalkan pemakaian hidrogen sebagai pembangkit energi listrik
dilakukan dengan memanfaatkan membran seperti limbah plastik LPDE dan
polistiren. Berdasarkan karakteristik struktur LDPE dan polistiren yang
mampu dimodifikasi, ternyata penggabungan kedua jenis plastik modifikasi
ini mampu menggantikan fungsi Nafion.
Untuk membangkitkan energi listrik dari gas hidrogen dalam jumlah
kecil digunakan peralatan stack fuel cell sederhana yang disebut dengan H2
Energizer. H2 Energizer adalah pembangkit listrik dengan memanfaatkan
membran komposit LDPE terflorinasi dengan polistiren tersulfonasi sehingga
permeabel terhadap proton. Mekanisme alat ini adalah dengan cara
mengelektrolisis air pada membran electrolyzer menjadi gas hidrogen dan
oksigen. Energi untuk proses elektrolisis dihasilkan dari solar sel. Gas
hidrogen hasil elektrolisis dipisahkan menuju katoda, kemudian dialirkan ke
tabung penyimpanan. Dari tabung penyimpanan, hidrogen dialirkan dengan
laju tertentu menuju membran fuel cell. Pada unit membran fuel cell, hidrogen
ditangkap di anoda menghasilkan proton (H+) dan elektron (e-). Adanya
gradien elektrokimia menyebabkan elektron mengalir dari anoda ke katoda
melalui kabel, sementara proton melewati membran menuju katoda. Aliran
elektron inilah yang kemudian menyalakan lampu yang terhubung dengan
katoda dan anoda dari membran fuel cell. Pada bagian katoda membran fuel
34
35
cell, proton (H+) kemudian bereaksi dengan oksigen yang disuplai dari udara
membentuk uap air. Hasil samping pada proses pembakaran H2 hanya berupa
uap air sehingga mampu mengurangi tingkat pencemaran udara dan
pemanasan global.
Untuk mendapatkan energi yang lebih besar untuk keperluan listrik
sehari-hari, gas hydrogen bisa di manfaatkan sebagai sumber energy pada
pembangkit listrik tenaga gas uap. Jumlah gas yang diperlukan untuk
menggerakkan turbin di control oleh mikrokontroler tipe AVR yaitu ATMega
8535. Aktuator hidrolik digunakan untuk membuka dan menutup katup tempat
keluar masuknya aliran gas hydrogen. Besarnya tekanan yang dihasilkan gas
diukur menggunakan sensor tekanan difrensial preassure transmitter untuk
monitoring yang menghasilkan angka digital dan preasure gauge yang
mengukur tekanan secara analog untuk mengukur tekanan hidrogen yang akan
diproses untuk menggerakkan turbin. Untuk kontrol suhu digunakan sensor
DS1820 dan kipas pendingin 12 V sebagai umpan baliknya. Besaran
kecepatan aliran dan suhu yang terukur ditampilkan secara visual dalam LCD.
4.2 Saran
Berdasarkan makalah yang telah disusun mengenai teknologi stack
fuel cell ini, maka penulis menyarankan bahwa perlu adanya pengembangan
teknologi ini di Indonesia. Untuk itu diharapkan supaya pemerintah,
masyarakat, dan pihak yang berkecimpung dalam teknologi tersebut untuk
saling bekerja sama untuk mengembangkannya. Kemudian penulis juga
menyarankan adanya penelitian mengenai teknologi ini kedepannya sehingga
bisa dijadikan sebagai sumber energy alternatif yang ramah lingkungan.
36
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Fuel_cell
http://en.wikipedia.org/wiki/Solid_oxide_fuel_cell
http://id.wikipedia.org/wiki/Sel_bahan_bakar
http://fuelcel2.blogspot.com/
http://www.elektro.undip.ac.id/el_kpta/upload/L2F607007_MKP.pdf
http://winaryo.tripod.com/blog/index.blog?start=1184731379
http://nonoharyono.blogspot.com/2009/12/solenoid-valve.html