4.1. Statistik Deskriptif -...
Transcript of 4.1. Statistik Deskriptif -...
33
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab IV ini akan disajikan hasil analisis dan
pembahasan untuk menjawab masalah penelitian.
Software statistik SPSS 20 dipakai untuk menghitung dan
menguji pengaruh kondisi bisnis dan perilaku window
dressing terhadap cash holding.
4.1. Statistik Deskriptif
Tabel 4.1 menunjukkan statistik deskriptif sebagai
gambaran secara kuantitatif tentang obyek pengamatan
berdasarkan nilai minimum, maksimum, rata-rata (mean)
dan standar deviasi. Data terdiri atas growth opportunity,
cashflow volatility, capital expenditure, dividend dan
leverage sebagai variabel independen, sedangkan firm
size adalah variabel control dan cash holding adalah
variabel dependen. Data-data tersebut diperoleh dari 25
perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2009-2014.
Dari perhitungan statistik deskriptif pada tabel
4.1, nilai rata-rata growth opportunity adalah 4,512 yang
berarti bahwa nilai perusahaan manufaktur pada periode
2010-2014 rata-rata 4,512 kali lipat dari book value total
asset di pasar modal. Rasio growth opportunity
menunjukan perbandingan nilai pasar suatu saham
(stock’s market value) terhadap nilai buku perusahaan.
34
Rasio yang semakin besar mencerminkan bahwa
perusahaan dinilai pasar lebih tinggi daripada nilai
kekayaan dalam neraca, oleh karena perusahaan-
perusahaan tersebut dianggap memiliki prospek
pertumbuhan yang baik dimasa depan.
Tabel 4. 1 Statistik Deskriptif Variabel-variabel Penelitian Periode 2009-2014
Sumber : data sekunder diolah, 2016
Market to book value sebagai proksi growth
opportunity menunjukkan bahwa semakin tinggi harga
saham maka value perusahaan semakin tinggi dan
semakin berpeluang menggunakan modal sendiri untuk
mendanai pengeluaran investasi dan operasionalnya di
masa depan. PT.Unilever Indonesia Tbk pada tahun 2013
nilai growth opportunity mengalami peningkatan tertinggi
diantara perusahaan sampel hingga 15,543 kali lipat dari
total aset perusahaan oleh karena peningkatan harga
Variabel N Min Max Mean Std.
Deviasi
Growth Opportunity (X1) 121 0.510 15.543 4.512 3.819
Cashflow Volatility (X2) 121 0.140 3.026 0.773 0.517
Capital Expenditure (X3) 121 -0.322 0.909 0.159 0.199
Dividen (X4) 121 0.059 1.803 0.512 0.334
Leverage (X5) 121 0.130 0.740 0.385 0.161
Firm Size (X6) Trilyun Rp 121 0.204 453.000 71.323 118.089
Cash Holding (Y) 121 0.005 0.508 0.145 0.129
35
saham dari Rp. 21.200 per lembar saham pada tahun 2012
menjadi Rp. 26.000 per lembar saham. Sementara growth
opportunity terendah terjadi pada perusahaan PT. Sumi
Indo Kabel Tbk. Harga saham perusahaan tersebut turun
dari Rp. 1.530 pada tahun 2012 menjadi Rp. 920 per
lembar saham pada tahun 2013, sehingga mengakibatkan
growth opportunity perusahaan tersebut mengalami
penurunan sebesar 0,510 dari total nilai asetnya. Variasi
nilai pertumbuhan perusahaan yang tertinggi dan yang
terendah secara umum tidak jauh berbeda dengan nilai
rata-rata. Hal ini ditunjukkan dengan standar deviasi di
sekitar rata-rata per tahun sebesar 3,819 (381,9%).
Tabel 4.2 menggambarkan nilai pertumbuhan dari
variable kondisi bisnis perusahaan sektor manufaktur
periode 2010-2014. Pada tabel tersebut terlihat rata-rata
growth opportunity mengalami perubahan dari tahun 2010
sebesar 4,413 menjadi 4,314 ditahun 2011 dan
pertumbuhan relatif stabil hingga tahun 2014.
Tabel 4. 2 Nilai Pertumbuhan Variabel Kondisi Bisnis Periode 2010-2014
Tahun Growth Opp
Cash Flow Volatility
Capex Dividen Leverage Firm Size (Trilyun Rp)
2010 4.413 0.691 0.102 0.523 0.362 53.241
2011 4.314 0.973 0.142 0.560 0.387 66.465
2012 4.911 0.730 0.178 0.531 0.397 77.523
2013 4.717 0.666 0.212 0.497 0.396 76.843
2014 4.192 0.805 0.162 0.446 0.368 82.520
Rata-rata 4.512 0.773 0.159 0.512 0.385 71.323
Sumber : data sekunder diolah, 2016
36
Cash flow volatility menunjukkan rata-rata sebesar
0,773 yang berarti bahwa cash flow perusahaan manufaktur
di Indonesia selama kurun waktu 2010-2014 rata-rata
berfluktuasi 77,3%. Cash flow volatility merupakan variabel
penting dalam memprediksi risiko arus kas sehingga
tingginya fluktuasi cash flow secara tidak langsung
menunjukkan ketidakpastian cash flow di masa depan. Arus
kas yang berfluktuasi umumnya dianggap lebih berisiko
karena berpotensi terjadinya cash shortfall. Cash flow
volatility tertinggi terjadi pada PT. Sumi Indo Kabel Tbk
tahun 2010 sebesar 3.026 (302,6%). Sedangkan cashflow
volatility terendah pada PT. Mustika Ratu Tbk pada tahun
2011 sebesar 0,140 (14%). Oleh karena standar deviasi yang
kecil di bawah nilai rata-rata yakni sebesar 0,517 (51,7%)
maka cash flow yang terjadi selama kurun waktu 2009-
2013 kurang volatile atau berfluktuasi. Tabel 4.2
menunjukkan bahwa cash flow dari tahun ke tahun
berfluktuasi di kisaran 66,6% hingga 97,3%.
Dalam deskriptif penelitian ini diketahui bahwa rata-
rata CAPEX perusahaan manufaktur di Indonesia tahun
2009-2014 sebesar 0,159. Angka tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata aset tetap perusahaan meningkat 15,9%
setiap tahunnya. Perusahaan dengan nilai CAPEX yang
besar adalah perusahaan yang memiliki pertumbuhan
investasi besar. Pada tahun 2010 PT. Semen Gresik Tbk
memiliki pertumbuhan CAPEX tertinggi sebesar 0,909
37
(90,0%). Sedangkan nilai minimal terjadi pada PT.
Champion Pacific Indonesia Tbk tahun 2010 yang mana
mengalami divestasi sehingga jumlah aset tetap menurun
hingga -0,322 (-32,2%). CAPEX pada perusahaan
manufaktur di Indonesia cukup bervariasi hal ini di
tunjukkan dari nilai standar deviasi berkisar pada nilai rata-
rata sebesar 0,199 (19,9%). Tabel 4.2 menjelaskan bahwa
capital expenditure dari tahun 2010 mengalami peningkatan
terus menerus hingga tahun 2013. Permintaan akan capital
expenditure yang meningkat menggambarkan bahwa rata-
rata perusahaan manufaktur di Indonesia periode 2010-
2014 terus melakukan ekspansi.
Dividend payout ratio menujukkan rata-rata sebesar
0,512 artinya bahwa perusahaan manufaktur membagi
dividen rata-rata 51,2% dari jumlah laba bersih selama
tahun 2009 – 2013. Semakin besar dividend payout ratio
berarti semakin besar porsi laba bersih perusahaan yang
dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham.
Pembagian dividen yang besar mengindikasikan
pembatasan kesempatan ekspansi perusahaan karena
perusahaan tidak menggunakan laba bersih perusahaan
untuk alternatif investasi yang lain. Kondisi demikian
terjadi pada perusahaan PT. Champion Pacific Indonesia
Tbk yang mana pada tahun 2010 perusahaan membagi
dividen tertinggi diantara perusahaan sampel sebesar
1,803 atau sebesar 180,3% dari laba bersih perusahaan,
38
sementara disisi capital expenditure menunjukkan
divestasi sebesar -0,170 (17%). Dividend payout ratio
terendah terjadi pada PT. Selamat Sempurna Tbk sebesar
0,059 (5,9%). Secara keseluruhan perbedaan pembagian
dividen antara perusahaan dengan dividen payout ratio
tinggi dan yang terendah cukup rendah. Hal ini dapat
dilihat dari nilai standar deviasi di bawah rata-rata sebesar
0,334 (33,4%). Tabel 4.2 memberikan gambaran bahwa
selama periode 2010-2014 perusahaan manufaktur
membagikan dividen berkisar antara 44% hingga 56% dari
laba bersih perusahaan.
Rata-rata leverage adalah sebesar (0,385) 38,5 %.
Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan sektor
manufaktur lebih banyak menggunakan pendanaan
internal daripada menggunakan hutang. Leverage yang
tinggi tidak semata-mata mencerminkan kondisi financial
distress, tetapi justru menunjukkan kemampuan
perusahaan mendatangkan sumber pendanaan melalui
instrumen hutang. Perusahaan yang memiliki hutang
tinggi bisa jadi memiliki credit rating yang bagus oleh
karena dapat meyakinkan pihak kreditur bahwa hutang
menjadi sumber pendanaan yang produktif. Dalam
penelitian ini leverage paling tinggi adalah 0,740 (87%)
yaitu PT. Malindo Feedmill tahun 2010. Sedangkan PT.
Mustika Ratu pada tahun 2010 memiliki nilai leverage
paling minimum sebesar 0,130 (13%). Kisaran leverage
39
rendah dan tinggi secara umum tidak jauh berbeda.
Kondisi ini ditunjukkan dengan variasi data yang kecil
sebesar 0,161 (16,1%). Tabel 4.2. menjelaskan bahwa ratio
total hutang terhadap total aset perusahaan manufaktur di
Indonesia berkisar antara 36% hingga 39% selama 2009-
2013. Ratio leverage ini cenderung naik dari tahun ke
tahun.
Dari perhitungan statistik deskriptif, rata-rata size
perusahaan adalah sebesar Rp. 71.323 trilyun. Oleh
karena obyek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang
telah go public, firm size diukur dari nilai kapitalisasi
(market capitalization) perusahaan dipasar modal. Market
capitalization mencerminkan nilai kekayaan perusahaan
pada tahun tersebut. Faktor yang menentukan tinggi
rendahnya nilai kapitalisasi di pasar modal adalah harga
saham perusahaan. Saham yang dihargai semakin tinggi
oleh pasar maka menghasilkan kapitalisasi yang semakin
besar pula sehingga firm size perusahaan menjadi semakin
besar. Market capitalization diperoleh dari perhitungan
harga saham dikalikan jumlah saham yang diterbitkan
(outstanding share). Pada penelitian ini nilai tertinggi firm
size sebesar Rp. 453 trilyun yaitu PT. Astra International
Tbk pada tahun 2012. Sementara itu firm size perusahaan
terrendah adalah PT. Ekadharma International Tbk sebesar
Rp. 204 milyar pada tahun 2010. Standar deviasi untuk
variabel firm size cukup tinggi sebesar 118,089 hal ini
40
dapat dipahami karena ukuran perusahaan sektor
manufaktur sangat variatif. Pada table 4.2 size perusahaan
manufaktur di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan
dari tahun 2010 hingga 2014.
Berdasarkan tabel statistik deskriptif 4.2 dapat
dilihat bahwa rata-rata perusahaan memegang kas dan
setara kas sebesar 0,145 (14,5%) dari total asetnya. Kas
dan setara kas menunjukkan jumlah asset likuid yang
tersedia untuk mendanai kebutuhan operasional
perusahaan. Pada table 4.3. menggambarkan tren cash
holding perusahaan manufaktur di Indonesia tahun 2009 –
2013. Pada tahun 2009 hingga 2011 rasio kas dan setara
kas menunjukkan nilai yang stabil yaitu berkisar 15%.
Sementara tahun 2012 dan 2013 menujukkan tren
penurunan rasio kas menjadi rata-rata 13%.
Tabel 4. 3 Rasio kas dan Setara Kas
Tahun Rasio Kas & Setara Kas (%)
2009 15,0
2010 15,1
2011 15,4
2012 13,1
2013 13,8
Rata-rata 14,5
Sumber : data sekunder diolah, 2016
Dalam penelitian ini perusahaan cenderung
menempatkan aset pada kas dan setara kas berkisar
antara 13,1% - 15,0% dibandingkan total aset yang
41
dimiliki. Kisaran angka tersebut dapat dipahami bahwa
karakteristik perusahaan yang diteliti adalah perusahaan
pengolahan bahan baku menjadi barang jadi untuk dijual
sehingga sarat dengan modal kerja, peralatan dan mesin-
mesin produksi. Penempatan aset perusahaan pada kas
yang demikian menujukkan bahwa perusahaan
menggunakan modalnya pada aset produktif. PT. Sepatu
Bata Tbk menempatkan kas dan setara kas paling
minimum pada tahun 2013 sebesar 0,005 (0,5%) dari total
aset. Namun terdapat perusahaan yang memegang kas
dan setara kas mencapai 0,508 (50,8%) dari total assetnya
yakni PT. Delta Djakarta Tbk pada Desember 2009. Secara
umum perbedaan rasio cash holding yang tinggi dengan
rasio cash holding yang rendah adalah cukup besar.
Namun standar deviasi yang penyimpangannya mendekati
rata-rata ratio cash holding setiap tahunnya sebesar 0,129
(12,9%) menunjukkan bahwa cash holding perusahaan
manufkatur tidak terlalu bervariasi.
4.2. Uji Asumsi Klasik
4.2.1.Uji Normalitas
Uji Kolmogorov-Smirnov dipakai dalam penelitian ini
untuk melihat bahwa data terdistribusi secara normal
atau tidak. Jika hasil uji menunjukkan nilai p-value <
0,05 berarti data terdistribusi tidak normal (Supramono
dan Utami, 2004). Berdasarkan uji normalitas dengan
42
menggunakan SPSS diperoleh nilai Uji Kolmogorov-
Smirnov sebesar 0,715 ( lampiran 4 ) atau p-value > 0,05
. Maka dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian
ini terdisitribusi secara normal.
4.2.2. Uji Multikolinieritas
Untuk mendeteksi apakah terdapat gejala kolerasi
antar variabel independen satu dengan variabel
independen yang lain, pertama-tama peneliti
melakukan pengujian dengan matrix correlations. Tabel
4.4. Menunjukkan matrix correlation antara variabel
independen dari 25 perusahaan sampel selama tahun
2010-2014. Dengan melihat nilai pearson correlation
maka nampak bahwa terdapat korelasi antar variable
yaitu x1 (growth opportunity) dengan x5 (firm size) yang
cukup kuat. Hal ini memungkinkan terjadi oleh karena
secara definisi operasional terdapat data untuk
pengukuran perusahaan berdasarkan nilai kapitalisasi
pasar yang dipergunakan pada variable growth
opportunity dan firm size. Oleh karena variabel-variabel
tersebut adalah variabel penting dalam menjelaskan
determinan cash holding, maka variabel growth
opportunity dan firm size tetap dipergunakan dalam
pengujian regresi.
43
Tabel 4. 4 Matrix Correlations
X1 X2 X3 X4 X5 X6
X1 Pearson Correlation 1
Sig. (2-tailed)
X2 Pearson Correlation .192* 1
Sig. (2-tailed) .032
X3 Pearson Correlation .012 -.035 1
Sig. (2-tailed) .896 .697
X4 Pearson Correlation -.002 .086 .002 1
Sig. (2-tailed) .983 .341 .984
X5 Pearson Correlation .692** .093 -.038 -.040 1
Sig. (2-tailed) .000 .302 .672 .661
X6 Pearson Correlation .083 -.017 .121 -.115 .106 1
Sig. (2-tailed) .359 .850 .177 .200 .239
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
X1=growth opp, X2=cashflow vol, X3=Capital Exp, X4=dividen, X5=firmsize, X6=leverage
44
Penelitian ini juga melakukan pengujian
multikolinieritas dengan melihat nilai Variance
Inflation Factor (VIF) dan tolerance. Multikolinieritas
terjadi apabila nilai VIF berada diatas 10 dan nilai
tolerance dibawah 0,1 (Hair,et al,1995).
Tabel 4. 5 Uji Multikolinieritas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
X1 0.475 2.105
X2 0.878 1.139
X3 0.938 1.066
X4 0.844 1.185
X5 0.921 1.086
X6 0.504 1.984
Predictors: X1=growth opp, X2=cashflow vol, X3=Capital Exp, X4=dividen, X5=leverage, X6=firm size
Berdasarkan table 4.6. dapat diketahui bahwa
variabel independen memiliki nilai VIF dibawah 10
dan nilai tolerance di atas 0,1. Dengan demikian
berdasarkan table 4.6. tidak terjadi Multikolinieritas
antara variable independen satu dengan yang lain.
4.2.3. Uji Autokolerasi
Uji Autokolerasi dipakai untuk mendeteksi
gejala kolerasi antara data yang satu dengan dengan
yang lain atau dikenal dengan serial korelasi
(Supramono dan Utami, 2004). Jika nilai Durbin-
45
Watson (DW) tersebut dibawah < 2, maka dapat
disimpulkan tidak terdapat gejala autokorelasi.
Berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan
SPSS diperoleh nilai DW sebesar 1.435 (lampiran 5)
atau lebih kecil dari 2. Maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi.
4.2.4.Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk
mengetahui apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual pengamatan
ke pengamatan yang lain atau tidak. Untuk
mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat
menggunakan metode grafik scatterplot (Santoso,
2000). Berdasarkan hasil mengolahan data dengan
menggunakan SPSS 20 diperoleh grafik scatterplot
seperti pada gambar 4. 1.
Gambar 4. 1 Uji Heteroskedastisitas
46
Gambar 4.1. menunjukkan bahwa grafik
scatterplot terlihat titik-titik menyebar secara acak dan
data menyebar di atas maupun dibawah angka 0 pada
sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi.
4.3. Pengujian Hipotesis
Setelah lolos melalui empat uji asumsi klasik (uji
normalitas, uji multikolinieritas, uji autokolerasi dan uji
heteroskedastisitas) pada tahap pertama dilakukan
pengujian hipotesis seperti yang telah dirumuskan
dalam Bab II, yaitu pengaruh growth opportunity,
cashflow volatility, capital expenditur, dividen dan
leverage terhadap cash holding. Uji hipotesis dilakukan
dengan mengujian pengaruh variabel independen
(kondisi bisnis) terhadap variabel dependen (cash
holding). Tahap kedua, metodologi yang diungkapkan
oleh Allen dan Saunders (1992) digunakan untuk
menghitung tingkat persentase tahunan window
dressing dan reversibilitas dalam kepemilikan kas
untuk menguji apakah peningkatan kas dan setara kas
pada akhir tahun fiskal mencerminkan secara periodik
perilaku window dressing.
47
4.3.1.Pengaruh Kondisi Bisnis terhadap Ketersediaan
Cash Holding.
Tabel 4.6 menunjukkan hasil analisis regresi
berganda terkait pengujian hipotesis; H1, H2, H3, H4
dan H5. Hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa
variabel kontrol firm size memiliki nilai beta = 0,005
dengan sig = 0,373, p > 0,10. Dari pengujian tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara firm size dengan cash holding. Dengan
demikian diharapkan perubahan variabel dependen
(cash holding) dipengaruhi oleh variabel kondisi bisnis
dan bukan variabel diluar variabel independen seperti
firm size.
Tabel 4. 6 Hasil Analisis Regresi Berganda Variabel Penelitian Periode 2010 – 2014
Variabel Independen
Unstandardized Coefficients t Sig.
B Std. Error
(Constant) 0.096 0.166 0.577 0.565
Growth Opp (X1) 0.001 0.004 -0.092 0.927
Cashflow Vol (X2) 0.004 0.02 0.207 0.836
Capital Exp. (X3) 0.009 0.051 0.169 0.866
Dividen (X4) 0.101 0.032 3.15 0.002*
Leverage (X5) -0.415 0.064 -6.536 0.000*
Firm Size (X6) 0.005 0.006 0.894 0.373
Adj R2 0.312
F Stat 10.089
Sig F 0.000
N 121
Sumber : data sekunder diolah, 2016 Keterangan : *masing-masing signifikan pada tingkat 1%
48
Pada pengujian hipotesis 1 menunjukkan
bahwa nilai beta growth opportunity= 0,001 dengan sig
= 0,927, p > 0,10. Hal ini berarti terdapat pengaruh
positif tetapi tidak sigifikan antara gowth opportunity
dengan cash holding. Dengan demikian Ho diterima
dan Ha ditolak, sehingga hipotesis 1 yang menyatakan
bahwa growth opportunity berpengaruh positif terhadap
dengan tingkat cash holding perusahaan adalah
ditolak.
Hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa
nilai beta cash flow volatility = 0,004 dengan sig =
0,836, p > 0,10. Hal ini berarti bahwa terdapat
pengaruh positif tetapi tidak signifikan antara cash flow
volatility dengan cash holding. Oleh karena itu Ho
diterima dan Ha ditolak, sehingga hipotesis 2 yang
menyatakan cash flow volatility berpengaruh positif
terhadap tingkat cash holding perusahaan adalah
ditolak.
Pengujian regresi menunjukkan bahwa nilai
beta capital expenditure = 0,009 dengan sig = 0,866, p
> 0,10. Hal ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh
positif tetapi tidak signifikan antara capital expenditure
dengan cash holding. Maka dari itu Ho diterima dan Ha
ditolak, sehingga Hipotesis 3 yang menyatakan capital
expenditure berpengaruh positif terhadap tingkat cash
holding perusahaan ditolak.
49
Hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa
nilai beta dividend = 0,101 dengan sig = 0,002, p <
0,01. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh positif
dan signifikan antara dividen dengan cash holding.
Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga
Hipotesis 4 yang menyatakan bahwa dividen
berpengaruh positif terhadap tingkat cash holding
perusahaan adalah diterima.
Pengujian regresi menunjukkan bahwa nilai
beta leverage = -0,415 dengan sig = 0,000, p < 0,01.
Hal ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh negatif
dan signifikan antara leverage dengan cash holding.
Maka dari itu Ho terima dan Ha ditolak, sehingga
Hipotesis 5 yang menyatakan leverage berpengaruh
positif terhadap tingkat cash holding perusahaan
adalah ditolak.
Uji-uji statistik dibutuhkan untuk mengetahui
apakah parameter atau penduga hasil regresi
memenuhi kaidah statistik (Goodness of fit). Uji yang
dilakukan adalah nilai Adjusted R Square dan Uji F.
Adjusted R Square (Adj R2) sebagai uji statistik untuk
mengukur seberapa besar model yang digunakan
dalam analisis regresi yaitu variabel independen dalam
menjelaskan variabel dependen. Berdasarkan table 4.6
diketahui nilai Adj R2 adalah 0,312. Artinya bahwa
31,2% variabel cash holding mampu dijelaskan oleh
50
variabel growth opportunity, capital expenditure, cash
flow volatility, dividend, leverage dan firm size.
Sedangkan sisanya 68,8% dijelaskan faktor-faktor lain
diluar model penelitian ini.
Uji F dipakai untuk mengetahui pengaruh
variabel independen yaitu growth opportunity, capital
expenditure, cash flow volatility, dividend, leverage dan
variabel kontrol firm size secara bersama-sama
mempengaruhi variabel dependen cash holding. Dari
hasil analisis yang ditunjukkan pada table 4.6, nilai
uji F adalah 10.089 dan tingkat probabilitas 0.000
atau signifikan dibawah taraf kepercayaan 0,01. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa secara bersama-
sama, variabel growth opportunity, capital expenditure,
cash flow volatility, dividend dan leverage memiliki
pengaruh dan signifikan terhadap cash holding.
4.3.2. Perilaku Window Dressing dalam Keputusan Cash
Holding
Tingkat window dressing pada perusahaan
manufaktur di Indonesia selama periode sampel 2009–
2013 menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan kas
dan setara kas kuartal keempat adalah 34,878% lebih
tinggi dari kuartal sebelumnya. Kenaikan kas dan
setara kas pada kwartal keempat tersebut terjadi
disepanjang periode penelitian. Kemudian kas dan
setara kas membalik sekitar dua per tiga pada kuartal
51
tahun berikutnya dari kuartal keempat tahun
sebelumnya. Rata-rata Tingkat reversibilitas sebesar -
21,40%. Nilai reversibilitas negatif ini terjadi hampir
disemua periode sampel. Hasil yang demikian
mencerminkan potensi terjadinya window dressing
dalam ketersediaan cash holding.
Tabel 4. 7 Tingkat Persentase Window Dressing dan Reversibilitas
TAHUN WD (%) REV (%)
2009 3.443 -7.178
2010 78.387 -69.247
2011 58.207 6.103
2012 8.180 -25.717
2013 26.175 -10.973
Rata-rata 34.878 -21.402
Sumber : data sekunder diolah, 2016
Kenaikan kas dan setara kas pada kuartal
keempat sepanjang periode penelitian kemungkinan
disebabkan oleh perubahan kondisi bisnis diakhir
tahun sehingga berdampak pada meningkatnya cash
holding. Sebagai contoh, meningkatnya sales, leverage,
cashflow, size perusahaan, perubahan working capital
dan juga penurunan capital expenditure dan dividen
dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan cash
holding di akhir tahun fiskal. Dengan demikian adalah
penting meneliti lebih lanjut faktor-faktor tersebut
untuk memverifikasi apakah terjadinya peningkatan
52
kas dan setara kas mencerminkan terjadinya window
dressing.
4.4. Pembahasan
Pengujian hipotesis 1 menujukkan bahwa
growth opportunity memiliki pengaruh positif namun
tidak signifikan terhadap cash holding. Meskipun
menunjukkan arah positif hasil penelitian ini tidak
dapat memberikan bukti adanya pengaruh growth
opportunity terhadap cash holding. Tidak
signifikannya growth opportunity terhadap cash
holding dapat disebabkan karena tingkat growth
opportunity perusahaan manufaktur relatif sama. Hal
ini dapat dibuktikan pada analisis deskriptif pada nilai
standar deviasi yang lebih kecil dari rata-rata
mengindikasikan bahwa tingkat growth opportunity
perusahaan manufakatur relatif sama sehingga tidak
berdampak terhadap cash holding. Variasi peluang
pertumbuhan yang relatif sama ini disebabkan
perusahaan manufaktur rata-rata memiliki peluang
pertumbuhan yang cukup rendah di pasar modal. Hal
ini dapat disebabkan karena perusahaan memiliki
banyak alternatif sumber pendanaan eksternal
sehingga kemudahan tersebut tidak berdampak pada
cash holding perusahaan. Bagaimanapun juga
perusahaan perlu memperhatikan transaction motives
bahwa semakin besarnya growth opportunity maka
53
semakin tinggi pula cash holding perusahaan agar
tidak kehilangan kesempatan akibat keterlambatan
menangkap peluang di masa mendatang. Penelitian
ini tidak mendukung hasil temuan yang membuktikan
bahwa growth opportunity berpengaruh positif
terhadap cash holding seperti penelitian yang
dilakukan oleh Opler,et al (1999), Ferreira and Vilela
(2004), Kim et al. (2011).
Pada uji hipotesis 2 cash volatility memiliki
pengaruh positif terhadap cash holding tetapi tidak
signifikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
selama periode pengamatan, perusahaan manufaktur
dengan cash flow yang berfluktuasi tidak memiliki
pengaruh yang kuat terhadap cash holding.
Berdasarkan analisis deskriptif nilai standar deviasi
variabel cashflow volatility ternyata lebih kecil
daripada nilai rata-ratanya. Hal demikian
mengindikasikan bahwa tingkat volatilitas cashflow
perusahaan manufaktur selama periode 2010-2014
yang rendah. Cashflow volatility yang rendah
berdampak pada kebutuhan cash holding yang tidak
terlalu besar. Ada kemungkinan variasi tingkat
volatilitas cashflow yang rendah mengakibatkan
perusahaan manufaktur di Indonesia kurang
memperhatikan tingkat cash holding perusahaan.
54
Kondisi perusahaan di Indonesia yang sudah go
public biasanya mendapatkan kemudahaan untuk
memperoleh dana eksternal berupa hutang. Hal
demikian menyebabkan pendanaan internal kurang
berpengaruh bagi perusahaan manufaktur. Hasil
temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Saddour (2006) dan Rahmawati (2013) bahwa
cashflow volatility tidak berpengaruh terhadap cash
holding.
Temuan pada hipotesis 3 menunjukkan bahwa
capital expenditure memiliki pengaruh positif namun
tidak signifikan terhadap cash holding. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi pembelanjaan capital yang
terjadi maka semakin tinggi cash holding, sebaliknya
semakin kecil pembelanjaan untuk capital maka
semakin kecil kas yang dipegang perusahaan.
Berdasarkan analisis deskriptif adanya pengaruh
positif namun tidak signifikan ini kemungkinan
disebabkan karena standar deviasi variabel capital
expenditure relatif sama dengan nilai rata-ratanya.
Bagi perusahaan manufaktur sebagian besar investasi
dapat dibiayai oleh pinjaman atau dana eksternal oleh
karena itu kegiatan investasi tidak mempengaruhi
kebijakan cash holding perusahaan. Penelitian ini
sejalan dengan bukti yang dikemukakan oleh Kim et
al. (2011); Dewi dan Anas (2013), bahwa capital
55
expenditure tidak berpengaruh secara signifikan di
negera Filipina. Hal ini berarti bahwa variabel capital
expenditure tidak menjadi faktor yang
dipertimbangkan oleh manajer dalam keputusan cash
holding.
Bedasarkan hasil uji hipotesis 4 dividen
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
cash holding. Hal ini membuktikan bahwa keputusan
pembagian dividen perusahaan pada tahun tertentu
membuat perusahaan mencadangkan sejumlah kas
untuk pencairan pembayaran dividen. Dengan
demikian kebutuhan pembayaran dividen dalam
kaitannya dengan precautionary motives semakin
memperkuat argumen bahwa perusahaan yang
membayar dividen berada dalam keadaan
mengakumulasi kas yang lebih besar daripada
perusahaan yang tidak membayar dividen
dikarenakan mereka berusaha menghindari situasi
dimana kekurangan kas dalam memenuhi kewajiban
pembayaran dividen. Hal demikian dilakukan guna
menjaga kelancaran pembayaran dividen dan menjaga
lukuiditas perusahaan tetap baik setelah
pembayaraan dividen. Penelitian ini tidak mendukung
hasil penelitian yang dilakukan oleh Opler et al (1999),
Kim et al (2011), Suen (2011) di Belanda yang
56
membuktikan bawah dividen berpengaruh negatif
terhadap cash holding.
Pengujian hipotesis 5 menunjukkan leverage
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap cash
holding. Kondisi tersebut berarti bahwa perusahaan
yang memiliki rasio hutang terhadap total asetnya
semakin tinggi maka cash holding semakin rendah,
demikian sebaliknya. Hubungan leverage dengan
cash holding adalah berlawanan. Leverage yang tinggi
mencerminkan kemudahaan perusahaan mendapat-
kan dana eksternal. Cash holding yang terlalu tinggi
merupakan aset yang tidak produktif bagi
perusahaan. Kas menjadi tidak optimal dan
kehilangan keuntungan marginal oleh karena
memegang kas.
Pada perusahaan manufaktur di Indonesia
selama periode 2010 – 20014 leverage digunakan
untuk membiayai berbagai kegiatan atau investasi
perusahaan sehingga hubungan antara cash dan
leverage adalah negatif. Namun demikian perusahaan
tetap harus menjaga ketersediaan cadangan kas guna
menjaga kelancaran pembayaran hutang dan
likuiditas. Seperti diketahui bahwa pinjaman adalah
double edge sword yang di satu sisi dapat membantu
pertumbuhan perusahaan tetapi di lain sisi dapat
mengganggu likuiditas perusahaan (Jinkar, 2013).
57
Penelitian ini mendukung Ferreira & Viela (2004);
Couderc (2005); Teruel et al (2009); Ginglinger dan
Saddour (2007) menyebutkan bahwa jumlah kas yang
berlebih dalam neraca adalah hal yang tidak produktif
bagi perusahaan.
Mengingat nilai Adjusted R Square yang kecil
(dibawah 0,50) hal ini berarti bahwa masih terdapat
variabel-variabel lain diluar model ini yang dapat
menjelaskan pengaruhnya terhadap cash holding.
Pertama, macro economic variable, utamanya terkait
dengan variabel seperti equity market index return,
tingkat bunga jangka pendek, inflasi. Cust´odio,C et al
(2005) meneliti macro economic variable dan hasilnya
membuktikan bahwa equity market index return, the
relative Treasury bills rate of return (RTB) dan default
spread berpengaruh terhadap cash holding pada
perusahaan yang mengalami financial constrain.
Kedua managerial charachteristic, karakteristik
manajer memainkan peran dalam menentukan
tingkat cash holding. Demikian penelitian yang
dilakukan oleh Eekelen (2014) yang menemukan bukti
kuat bahwa CFO perusahaan adalah orang paling
utama yang men-setting tingkat kas. Variabel
kompensasi, masa kerja, ownership share berpenga-
ruh secara signifikan terhadap cash holding.
Sementara usia dan gender tidak berpengaruh secara
58
signifikan terhadap cash holding. Ketiga corporate
governance, pemerintah Indonesia telah melakukan
reformasi tata kelola perusahaan agar pemegang
saham minoritas mendapat perlindungan hak
pemegang saham minoritas dalam perusahaan yang
semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Poluan (2013)
membuktikan bahwa reformasi tata kelola
perusahaan yang mewajibkan perusahaan publik
harus memiliki komisaris independen sehingga
membuat tata kelola perusahaan menjadi bagus
karena semakin besar proporsi komisaris independen
dalam perusahaan membuat proporsi cash holding
perusahaan menjadi kecil sehingga masalah agensi di
antara pemegang saham mayoritas dan minoritas
berkurang. Variabel-variabel tata kelola perusahaan
yang lain seperti struktur kepemilikan manajerial,
struktur kepemilikan asing, struktur kepemilikan
keluarga menjadi bagian corporate governance yang
dapat diteliti pengaruhnya terhadap cash holding.