4. isi
-
Upload
ica-palensina -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of 4. isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit tidak menular merupakan penyebab utama kematian di dunia.
Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data WHO (World Health
Organization) menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di
dunia, dua per tiganya atau 70% disebabkan oleh penyakit tidak menular
(Kementrian kesehatan RI, 2012). Diabetes melitus merupakan salah satu
contoh penyakit tidak menular yang sering dialami masyarakat selain penyakit
jantung dan pembuluh darah, stroke dan kanker (Kementrian kesehatan RI,
2012).
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat
gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes
Association, 2010). Menurut data dari International Diabetes Federation
(2012) menyebutkan bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia menderita
penyakit diabetes. Di Indonesia sendiri prevalensi diabetes melitus tahun 2013
adalah 2,1% lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan data mengenai prevalensi diabetes melitus yang cukup
tinggi maka dibutuhkan tatalaksana serius untuk penderita diabetes melitus.
Beberarapa tatalaksana untuk penderita diabetes melitus yaitu penggunaan
insulin, obat antidiabetik oral dan diet. Dari ketiga jenis tatalaksana itu, diet
1
masih merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes, terutama
pada diabetes melitus tipe dua. Salah satu tujuan khusus perencanaan makan
untuk pasien diabetes adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa
darah dan lemak darah normal (Warpadji dan Sarwono, 2002).
Salah satu cara perencanaan pola makan untuk diet penderita diabetes
melitus yaitu dengan penggunaan alternatif makanan pengganti nasi putih
karena jenis pangan ini memiliki indeks glikemik yang tinggi sehingga tidak
baik untuk dikonsumsi bagi penderita diabetes melitus (Powell et al., 2002).
Beberapa contoh makanan pengganti itu adalah kentang dan umbi talas.
Kentang sendiri sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai
makanan pengganti nasi untuk penderita diabetes melitus, sementara umbi talas
baru dikenal. Umbi talas dan kentang mengandung pati resisten. Pati resisten
didefinisikan sebagai sejumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat
diserap oleh usus halus manusia yang sehat ( Perez et al., 2005).
Jenis pati resisten yang terdapat pada umbi talas dan kentang adalah pati
resisten tipe III. Pati resisten tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang
terbentuk akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan disusul dengan
penyimpanan pada suhu rendah (Gonzales et al., 2004). Di dalam 100 gram
nasi putih adalah 0,97% (Li et al., 2010), di dalam 100 gram kentang rebus
mengandung 1,3% pati resisten (Murphy et al., 2008) sedangkan di dalam 100
gram talas kukus mengandung 3.76% pati resisten (Chen et al., 2010).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pati resisten memiliki nilai
fungsional bagi penderita diabetes karena kemampuannya menurunkan glukosa
2
darah postprandial, meningkatkan sensitivitas insulin dan memberikan rasa
kenyang lebih lama (Li et al., 2010; Hasjim et al., 2010). Li et al. (2010)
melakukan eksperimen dengan tujuan membandingkan kadar insulin dan
glukosa postprandial di 16 subyek sehat setelah konsumsi nasi putih yang
mengandung pati resisten (8 g dalam 40 g karbohidrat), nasi putih wild type,
dan glukosa. Nasi putih yang mengandung pati resisten memiliki kadar
glukosa postprandial dan kadar insulin lebih rendah dibandingkan dengan nasi
putih wild type dan glukosa. Selain itu terdapat juga penelitian lain dari Hasjim
et al. (2010) yang membandingkan kadar insulin dan glukosa postprandial
antara konsumsi roti yang mengandung 50 gram pati resisten dan roti putih
tanpa pati resisten sebagai kontrol. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Li et al. (2010) bahwa kadar glukosa darah postprandial dan
kadar insulin pada subjek penelitian yang mengonsumsi roti yang mengandung
pati resisten lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi roti
putih tanpa pati resisten.
Kandungan amilosa dan cara pengolahan juga dapat mempengaruhi
indeks glikemik suatu makanan. Makanan yang mengandung amilosa yang
tinggi cenderung memiliki indeks glikemik yang lebih rendah (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Cara pengolahan dapat mengubah sifat fisikokimia suatu bahan
pangan seperti kadar lemak dan protein, daya cerna, serta ukuran pati maupun
zat gizi lainnya. Proses pengolahan dapat menyebabkan nilai indeks glikemik
pangan meningkat karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi
3
lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa
darah meningkat dengan cepat (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Belum ada sumber penelitian yang membandingkan kadar glukosa darah
postprandial setelah mengonsumsi kentang rebus, talas kukus dan nasi putih
sebagai kontrol sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
perbandingan kadar glukosa darah postprandial antara konsumsi kentang rebus
(Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta
L. Schoot) sehingga diharapkan kentang rebus dan umbi talas Bogor rebus
dapat dijadikan makanan pengganti nasi dan dapat diketahui manakah yang
lebih baik diantara keduanya. Selain itu kedua jenis umbi-umbian ini sudah
cukup lazim dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan cukup muda untuk
dijumpai, sehingga jika kedua umbi ini dapat dijadikan makanan pengganti
untuk penderita diabetes melitus maka akan lebih muda diterima dan
diterapkan pada masyarakat luas.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial
antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas
Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
2. Apakah kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dan umbi talas Bogor kukus
(Colocasia esculenta L. Schoot) dapat digunakan sebagai alternatif makanan
pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus
4
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
a. Mengetahui perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial
antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dan umbi talas
Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) dengan nasi putih pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Bengkulu.
b. Mengetahui perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial
antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi
talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui manakah yang lebih baik sebagai alternatif makanan
pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus antara kentang rebus
(Solanum tuberosum L.) dan umbi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta
L. Schoot).
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teori
Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu mengenai
perbandingan peningkatan kadar glukosa darah antara konsumsi kentang
rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas Bogor kukus (Colocasia
esculenta L Schoot).
5
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti sebagai informasi
bermanfaat mengenai perbandingan kadar glukosa darah postprandial
antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi
talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot).
b. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi mahasiswa untuk
dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
c. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan membantu memberikan alternatif
makanan pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karbohidrat
1. Pengertian Karbohidrat
Karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom karbon,
hidrogen dan oksigen. Karbohidrat ini memiliki fungsi utama yaitu
menghasilkan energi, dimana dalam satu gram karbohidrat menghasilkan
4,18 kalori. Karbohidrat banyak dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan
makanan pokok, terutama pada negara berkembang yaitu sekitar 70-80%
dari total kalori (Hutagulung, 2004).
2. Klasifikasi Karbohidrat
a. Monosakarida
Monosakarida adalah karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis
menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Monosakarida dapat
diklasifikasikan sebagai triosa, tetrosa, pentosa, heksosa atau heptosa.
Monosakarida yang penting adalah gula yang memiliki enam karbon
(heksosa) yaitu glukosa, fruktosa dan galaktosa (Murray et al., 2009).
1) Glukosa
Glukosa adalah gula terpenting bagi metabolisme tubuh dikenal
sebagai gula fisiologis. Glukosa ditemukan terutama pada buah-
buahan, sayur-sayuran, madu, sirup jagung, dan tetes tebu sementara
di dalam tubuh glukosa didapat dari hasil akhir pencemaan amilum,
7
sukrosa, maltosa, dan laktosa. Glukosa yang terdapat di dalam
sirkulasi darah, disebut kadar gula darah (Suhardjo dan Kusharto,
1992; Hutagulung, 2004).
2) Fruktosa
Fruktosa disebut juga gula buah atau levulosa. Gula jenis ini
merupakan hasil hidrolisis sukrosa. Perubahaan fruktosa menjadi
glukosa terjadi di hati kemudian dioksidasi sempurna menjadi energi
(Hutagulung, 2004).
3) Galaktosa
Galaktosa tidak dijumpai dalam bentuk bebas di alam. Galaktosa
yang ada di dalam tubuh merupakan hasil hidrolisis dari laktosa.
Melalui proses metabolisme galaktosa akan diubah menjadi glukosa
yang dapat memasuki siklus Krebs untuk menghasilkan energi
(Hutagulung, 2004).
b. Disakarida
Disakarida adalah produk kondensasi dua unit monosakarida
contohnya sukrosa, maltosa, dan laktosa (Murray et al., 2009).
1) Sukrosa
Sukrosa adalah gula pasir yang kita pergunakan sehari-hari.
Melalui proses pencernaan sukrosa akan dipecah menjadi fruktosa dan
glukosa (Hutagulung, 2004).
8
2) Maltosa
Maltosa adalah molekul monosakarida yang terdiri dari dua
molekul glukosa. Maltosa tidak ditemui bebas di alam tetapi berasal
dari pencernaan pati dengan bantuan enzim diastase (Suhardjo dan
Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).
3) Laktosa
Laktosa mempunyai dua molekul monosakarida yang terdiri dari
satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa. Laktosa kurang
larut di dalam air. Laktosa hanya terdapat pada susu sehingga disebut
juga gula susu. Susu sapi mengandung 4-5% laktosa dan ASI
mengandung 4-7% laktosa (Hutagulung, 2004).
c. Oligosakarida
Oligosakarida adalah produk kondensasi tiga sampai sepuluh
monosakarida. Sebagian besar oligosakarida tidak dicerna oleh enzim
dalam tubuh manusia (Murray et al., 2009).
d. Polisakarida
Polisakarida adalah produk kondensasi lebih dari sepuluh unit
monosakarida, contohnya pati dan dekstrin yang mungkin merupakan
polimer linier atau bercabang. Selain pati dan dekstrin terdapat juga
polisakarida nonpati, zat ini tidak dicerna oleh enzim manusia dan
merupakan komponen utama serat dalam makanan contohnya selulosa
dari dinding sel tumbuhan dan inulin yaitu simpanan karbohidrat pada
beberapa tumbuhan (Murray et al., 2009).
9
1) Pati
Pati merupakan sumber energi utama yang biasa dikonsumsi
bagi orang dewasa di seluruh penduduk dunia, terutama di negara
berkembang. Bahan pangan ini banyak mengandung amilum, protein,
vitamin, serat, dan beberapa zat gizi penting lainnya. Pati merupakan
karbohidrat dalam bentuk simpanan bagi tumbuh-tumbuhan dalam
bentuk granul yang dijumpai pada biji-bijian, umbi, dan akarnya. Pati
tidak larut di dalam air dingin, tetapi larut di dalam air panas
membentuk cairan yang sangat pekat seperti pasta. Peristiwa ini
disebut gelatinisasi (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).
2) Dekstrin
Dekstrin merupakan hasil antara pencernaan pati yang akan
diubah menjadi maltosa. Jika direaksikan dengan iodium akan
berubah menjadi wama merah (Hutagulung, 2004)
3) Glikogen
Glikogen disimpan di dalam hati dan jaringan otot sebagai
cadangan energi yang sewaktu-waktu dapat diubah kembali menjadi
glukosa bila dibutuhkan. Saat latihan dan bekerja keras glikogen akan
diubah menjadi glukosa untuk disirkulasikan ke berbagai bagian tubuh
(Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).
4) Selulosa
Hampir 50% karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
adalah selulosa. Selulosa merupakan bagian yang terpenting dari
10
dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa tidak dapat dicerna oleh tubuh
manusia karena tidak ada enzim untuk memecah selulosa. Meskipun
tidak dapat dicerna, selulosa berfungsi sebagai sumber serat yang
dapat memperbesar volume dari faeces, sehingga akan memperlancar
defekasi (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).
5) Pektin
Polisakarida koloid yang tidak dapat dicerna ditemukan dalam
buah-buahan yang fungsinya memberikan ketebalan kulit buah. Pektin
berfungsi sebagai laksatif, pengental, pengikat, dan pembentuk gel
makanan (Suhardjo dan Kusharto, 1992).
6) Inulin
Inulin biasa digunakan dalam uji fungsi ginjal (Suhardjo dan
Kusharto, 1992).
3. Fungsi Karbohidrat
Menurut Suhardjo (1992) dan Hutagulung (2004) karbohidrat
memiliki beberapa fungsi yaitu:
a. Karbohidrat sebagai sumber energi utama
Sel-sel tubuh membutuhkan ketersediaan energi siap pakai yang
konstan terutama glukosa serta hasil antaranya. Lemak juga merupakan
sumber energi, tetapi cadangan lemak tidak dapat segera dipergunakan
sebagai sumber energi siap pakai. Satu gram karbohidrat menyediakan 4
kalori. Sebagian dari karbohidrat diubah langsung menjadi energi untuk
11
aktivitas tubuh, dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen di hati
dan di otot.
b. Pengatur metabolisme lemak
Karbohidrat mencegah terjadinya oksidasi lemak yang tidak
sempurna. Saat energi tidak cukup maka akan terjadi peningkatan
katabolisme lemak yang menghasilkan benda keton. Benda keton yang
menumpuk akan mengakibatkan terjadinya asidosis.
c. Penghemat fungsi protein
Energi merupakan kebutuhan utama bagi tubuh, sehingga jika
karbohidrat dari makanan tidak mencukupi maka tubuh akan mengubah
protein menjadi glukosa. Protein sendiri mempunyai fungsi yang lebih
utama yaitu sebagai zat pembangun dan memperbaiki jaringan yang
rusak.
d. Karbohidrat sebagai sumber energi utama bagi otak dan susunan syaraf
Otak dan susunan syaraf hanya dapat mempergunakan glukosa
sebagai sumber energi, sehingga ketersediaan glukosa yang konstan
harus tetap terjaga. Jika terjadi kekurangan glukosa maka akan
menyebabkan kerusakan otak dan jaringan syaraf yang tidak dapat
diperbaiki.
e. Simpanan Karbohidrat sebagai Glikogen
Glikogen menyediakan energi siap pakai. Di dalam hati dan otot
tersimpan 355 gram glikogen yang mampu menyediakan energi untuk
melakukan aktivitas sedang selama 3 jam.
12
f. Pengatur peristaltik usus dan pemberi muatan pada sisa makanan
Selulosa merupakan polisakarida yang tidak dapat dicerna, tetapi
mempunyai fungsi penting bagi kesehatan yaitu mengatur peristaltik usus
(memungkinkan terjadinya gerakan usus yang teratur) dan mencegah
terjadinya konstipasi. Hemiselulosa dan pektin juga memberi fungsi yang
serupa yaitu memberi dan menyerap sejumlah air di usus besar.
4. Pencernaan karbohidrat
Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam
mulut. Saat makanan dikunyah makanan bercampur dengan saliva yang
mengandung enzim ptialin (suatu α-amilase) yang disekresikan oleh
kelenjar parotis. Enzim ini menghidrolisis karbohidrat rantai panjang seperti
amilum dan dekstrin menjadi maltosa (Hutagulung, 2004; Guyton dan Hall,
2007).
Pencernaan Karbohidrat berlanjut di dalam korpus dan fundus
lambung selama 1 jam sebelum makanan bercampur dengan sekresi asam
lambung. Kemudian aktivitas enzim amilase saliva dihambat oleh asam
yang berasal dari sekresi lambung, karena amilase tidak aktif bila pH di
bawah 4 (Guyton dan Hall, 2007).
Setelah melewati lambung, karbohidrat dihidrolisis kembali oleh α-
amilase pankreas yang lebih kuat daripada α-amilase saliva. Pada umumnya,
hampir semua karbohidrat diubah menjadi maltosa dan polimer-polimer
glukosa yang sangat kecil lainnya sebelum keduanya melewati duodenum
atau jejunum bagian atas (Guyton dan Hall, 2007).
13
Pencernaan karbohidrat berlanjut di dalam usus halus. Enterosit yang
terletak pada vili usus halus mengandung empat enzim yaitu laktase,
sukrase, maltase, dan α dekstrinase yang mampu memecahkan disakarida
laktosa, sukrosa dan maltosa ditambah polimer polimer glukosa kecil
lainnya menjadi unsur monosakarida. Laktosa dihidrolisis oleh laktase
menjadi satu molekul galaktosa dan satu molekul glukosa. Sukrosa
dihidrolis oleh sukrase menjadi dua molekul glukosa sementara maltosa dan
polimer polimer glukosa lainnya semua dihidrolisis oleh maltase dan α-
dekstrinase menjadi molekul molekul glukosa (Guyton dan Hall, 2007).
Gambar 2.1. Proses Pencernaan dan penyerapan karbohidrat (Sherwood, 2011)
14
5. Penyerapan Karbohidrat
Glukosa dan galaktosa diserap oleh transpor aktif sekunder. Pembawa
kotranspor di membran luminal memindahkan monosakarida dan Na+ dari
lumen kedalam interior sel usus. Kotranspor ini tidak menggunakan energi
secara langsung tetapi bergantung pada gradien konsentrasi Na+ yang
tercipta oleh pompa Na+-K+ basolateral yang menggunakan energi. Glukosa
atau galaktosa diikat oleh kotranspor meninggalkan sel menuruni gradien
konsentrasi melalui pembawa pasif di membran basolateral untuk masuk ke
darah di dalam vilus. Selain terjadi penyerapan glukosa melalui sel oleh
pembawa kotranspor, glukosa juga melintasi sawar epitel melalui taut erat
yang bocor diantara sel-sel epitel. Fruktosa diserap ke dalam darah hanya
dengan difusi terfasilitasi (Sherwood, 2011)
6. Metabolisme karbohidrat
Produk akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan
hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, galaktosa dan fruktosa, dengan
glukosa mewakili rata-rata sekitar 80% dari produk-produk akhir tersebut.
Segera setelah masuk ke dalam sel, glukosa mengalami fosoforilasi menjadi
glukosa-6-fosfat oleh glukokinase atau heksokinase (Guyton dan Hall,
2007). Glukosa dalam bentuk glukosa-6-fosfat akan mengalami glikolisis
menghasilkan asam piruvat. Jaringan aerob memetabolisme piruvat menjadi
asetil-KoA yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk dioksidasi
sempurna menjadi CO2 dan H2O yang berkaitan dengan pembentukan ATP
15
dalam proses fosforilasi oksidatif. Glikolisis juga dapat berlangsung secara
anerob dengan produk akhir berupa laktat (Muray et al., 2009).
B. Kadar Glukosa Darah
Menurut konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
(2011) dalam pengendalian dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 diagnosis
diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:
1. Jika keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), maka pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu >200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik
3. Dua jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ) ≥200 mg/dL.
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko
diabetes melitus namun tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan
penyaring dapat dilihat pada Tabel 2.1
16
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dL)
(PERKENI, 2011)
C. Regulasi Kadar Glukosa Darah
Memelihara homeostasis glukosa darah merupakan salah satu fungsi
penting pankreas. Konsentrasi glukosa darah ditentukan oleh keseimbangan
proses-proses berikut yaitu penyerapan glukosa dari saluran cerna, perpindahan
glukosa kedalam sel dan produksi glukosa oleh hati. Terdapat dua hormon
utama yang mengatur kadar glukosa dalam darah yaitu hormon insulin yang
dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas dan glukagon yang dihasilkan
sel α pulau langerhans pankreas (Sherwood, 2011).
Insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong
penyimpanan karbohidrat melalui beberapa cara yaitu mempermudah transpor
glukosa ke dalam sebagian besar sel, merangsang glikogenesis, menghambat
glikogenolisis, dan menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis (Sherwood, 2011).
17
Pengangkutan glukosa ke dalam sel dilakukan oleh GLUT (Glucose
Transporter). Terdapat enam bentuk pengangkut glukosa yang dinamai sesuai
urutan penemuannya. GLUT-1 berfungsi memindahkan glukosa menembus
sawar darah otak. GLUT-2 memindahkan glukosa yang masuk ke sel ginjal dan
usus ke aliran darah sekitar. GLUT-3 adalah pengangkut utama glukosa ke
dalam neuron. GLUT-4 merupakan pengangkut glukosa yang paling dominan.
GLUT-4 terdapat di jaringan yang paling banyak membutuhkan glukosa yaitu
otot rangka dan sel jaringan lemak (Sherwood, 2011).
GLUT-4 hanya dapat bekerja jika berikatan dengan insulin, sehingga jika
insulin sedikit atau tidak ada maka GLUT-4 tidak dapat mengangkut glukosa
ke dalam sel yang pada akhirnya meningkatkan kadar glukosa darah. Meskipun
insulin berperan kunci dalam mengatur kadar glukosa darah, namun ada
hormon lain yang juga memiliki peran yang besar dalam mengatur kadar
glukosa darah yaitu hormon glukagon (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood,
2011).
Glukagon yaitu suatu hormon yang disekresikan oleh sel α pulau
langherhans pankreas sewaktu kadar glukosa darah menurun. Hormon ini
mempunyai beberapa fungsi yang bertentangan dengan fungsi insulin. Efek
utama glukagon terhadap metabolisme glukosa darah adalah pemecahan
glikogen hati (glikogenolisis) dan meningkatkan glukoneogenesis di hati.
Kedua efek ini akan meningkatkan persediaan glukosa di organ-organ tubuh
lainnya (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2011).
18
Pada orang normal pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah sangat
sempit, biasanya antara 80 dan 90 mg/100 ml darah pada orang yang sedang
berpuasa, konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 mg/100 ml darah
selama kira-kira satu jam pertama setelah makan. Pada saat terjadi peningkatan
kadar glukosa darah tersebut hormon insulin bekerja menurunkan kadar
glukosa darah. Sebaliknya pada kedaan kelaparan hormon glukagon bekerja
(Guyton dan Hall, 2007). Demikianlah terdapat hubungan umpan balik negatif
langsung antara konsentrasi glukosa darah dan laju sekresi sel β dan sel α,
tetapi dalam arah berlawanan. Peningkatan kadar glukosa darah merangsang
sekresi insulin tetapi menghambat sekresi glukagon, sementara penurunan
glukosa darah menyebabkan penurunan sekresi insulin dan peningkatan sekresi
glukagon (Sherwood, 2011).
Selain hormon insulin dan glukagon terdapat hormon lain yang juga
berperan dalam pengaturan kadar glukosa darah yaitu hormon epinefrin,
kortisol, hormon pertumbuhan dan yang lebih lemah progesteron dan
esterogen. Peningkatan hormon epinefrin dapat memicu terjadinya peningkatan
glikogenolisis, glukoneogenesis, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan
sekresi glukagon. Peningkatan sekresi kortisol dapat meningkatkan terjadinya
glukoneogenesis dan penurunan penyerapan glukosa darah oleh jaringan selain
otak. Peningkatan sekresi hormon pertumbuhan dapat menurunkan penyerapan
glukosa oleh otot (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2011).
D. Kentang (Solanum tuberosum L.)
Kentang merupakan tanaman sayuran semusim berumur pendek kurang
19
lebih hanya 90-180 hari dan berbentuk perdu atau semak (Samadi, 2007).
Menurut Rukmana (1997) dalam sistematika taksonomi tumbuhan kentang
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum tuberosum Linn
Umbi kentang terbentuk dari cabang samping diantara akar-akar. Proses
pembentukan umbi ditandai dengan terhentinya pertumbuhan memanjang dari
rhizome atau stolon yang diikuti pembesaran. Umbi berfungsi menyimpan
bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, dan air. Kentang
mengandung 83,49% amilopektin dan 16,5% amilosa (Samadi, 2007). Di
dalam 100 gram kentang rebus mengandung 1,3% pati resisten (Murphy et al.,
2008). Adapun kandungan gizi dalam kentang rebus dapat dilihat pada Tabel
2.2.
20
Tabel 2.2 Kandungan gizi dalam 100 gram kentang rebusKandungan gizi Jumlah
Energi (Kal)Protein (g)Lemak (g)Total karbohidrat (g)Ca (mg)P (mg)Asam askorbat (mg)
871.870.1
20,1354413
(FAO, 2008)
E. Talas Bogor (Colocasia esculenta L. Schoott)
Talas merupakan tanaman monokotil asli daerah tropis tanaman ini
berasal dari india dan cina kemudian menyebar ke seluruh dunia (Lingga et al.,
1989). Menurut Dalimarta (2000) taksonomi talas Bogor adalah sebagai berikut
:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Araceae
Genus : Colocasia
Spesies : Colocasia esculenta Schoott
Jenis talas ini mempunyai daun yang berbentuk hati dengan ujung
pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah. Warna
pelepah bermacam-macam. Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol.
Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga jantan di sebelah atasnya,
sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit. Pada ujung tongkolnya
terletak bunga-bunga yang mandul, umbinya berbentuk silinder sampai agak
21
membulat. Umbi talas terletak di bagian bawah pokok batang talas. Umbi talas
dapat mencapai berat 4 kg atau lebih dengan bentuk silinder atau bulat,
berukuran 30 cm x 15 cm dengan warna kulit luar umumnya cokelat (Lingga et
al., 1989).
Komposisi kimia talas bervariasi tergantung pada jenis, usia, keadaan
tempat tumbuh, dan tingkat kematangan. Talas Bogor mengandung 21%
amilosa dan 79 amilopektin (Kusnandar, 2007). Dalam 100 gram talas kukus
mengandung 3.76% pati resisten (Chen et al., 2010). Kandungan gizi talas
kukus dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kandungan gizi dalam 100 gram talas kukusKandungan gizi Jumlah
Energi (Kal)Protein (g)Lemak (g)Total karbohidrat (g)Abu (g)Ca (mg)P (mg)Fe (mg)Asam askorbat (mg)
1201.50.328.20.828.063.00.72.0
(Koswara, 2008)
Kebanyakan jenis talas dapat menyebabkan rasa gatal pada rongga mulut,
iritasi pada bibir, mulut dan kerongkongan jika kita memakan umbi mentah
dari talas tersebut (Bradbury dan Nixon,1998). Rasa gatal yang merangsang
rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil berbentuk jarum
halus yang tersusun atas kalsium oksalat yang disebut raphide (Bradbury dan
Nixon,1998). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk
mengurangi rasa gatal pada talas. Di dalam air, NaCl akan terionisasi menjadi
ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk
22
natrium oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium diklorida dengan
reaksi sebagai berikut:
CaC2O4 + 2 NaCl Na2C2O4 + CaCl2
Perendaman dalam larutan garam selama 30 menit dilaporkan dapat
menurunkan kadar oksalat secara maksimal (Rahmawati et al., 2012).
F. Indeks Glikemik
Indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
gula darah. Indeks glikemik diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu
indeks glikemik rendah <55, indeks glikemik sedang 55-70, dan indeks
glikemiks tinggi >70 (Rimbawan dan Siagian, 2004)
Pangan yang memiliki indeks glikemik rendah mengalami proses
pencernaan lambat, sehingga laju pengosongan lambung pun berlangsung
lambat. Hal ini menyebabkan suspensi pangan (chyme) lebih lambat mencapai
usus halus, sehingga penyerapan glukosa pada usus halus menjadi lambat.
Akhirnya, fluktuasi kadar glukosa darah pun relatif kecil. Sebaliknya, pangan
yang memiliki indeks glikemik tinggi mencirikan laju pengosongan lambung,
pencernaan karbohidrat, dan penyerapan glukosa yang berlangsung cepat,
sehingga fluktuasi kadar glukosa darah juga relatif tinggi (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Faktor-faktor yang memengaruhi indeks glikemik pada pangan
antara lain adalah kadar serat, perbandingan amilosa dan amilopektin
(Rimbawan dan Siagian, 2004), daya cerna pati, kadar lemak dan protein, dan
cara pengolahan (Ragnhild et al., 2004).
23
1. Serat Pangan
Serat pangan merupakan komponen utama penyusun dinding sel
tanaman seperti pada buah-buahan, sayuran, serealia, dan aneka umbi.
Komponen serat pangan meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna,
seperti selulosa, hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum, dan waxes
(Astawan dan Wresdiyati, 2004). Peran serat pangan dalam membantu
menurunkan nilai indeks glikemik diduga berkaitan dengan fungsi fisiologis
dari komponen-komponennya. Komponen serat pangan dapat
dikelompokkan menjadi serat larut dan tidak larut, atau terfermentasi dan
tidak terfermentasi (Muchtadi, 2001).
Fungsi serat pangan larut terutama adalah memperlambat pencernaan
di dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, dan memperlambat
laju peningkatan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk
mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan mengubahnya menjadi
energi semakin sedikit (Guevarra dan Panlasigui, 2000)
2. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Granula pati terdiri atas dua fraksi, yakni amilosa dan amilopektin.
Amilosa disebut sebagai fraksi terlarut, sedangkan amilopektin sebagai
fraksi tidak larut. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menyebabkan
pencernaan menjadi lebih lambat karena amilosa merupakan polimer
glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang (struktur lebih kristal
dengan ikatan hidrogen yang lebih ekstensif) (Behall dan Hallfrisch, 2002;
Meyer,1973)
24
Amilosa mempunyai ikatan hidrogen yang lebih kuat dibandingkan
dengan amilopektin, sehingga lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat
lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna
(Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, amilosa mudah bergabung dan
mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit
untuk dicerna (Behall dan Hallfrisch, 2002; Meyer,1973)
3. Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk
dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana
. Proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik (Mercier dan Colonna 1988).
Faktor intrinsik menyebabkan pati dicerna pada usus halus. Faktor
intrinsik berkaitan erat dengan sifat alami pati, seperti ukuran granula,
keberadaannya pada matrik pangan, serta jumlah dan ukuran pori pada
permukaan pati. Ukuran granula pati berkaitan dengan luas penampang
permukaan totalnya. Semakin kecil ukuran granula pati, semakin besar luas
permukaan total granula pati tersebut. Luas permukaan yang lebih besar
akan mengakibatkan enzim pemecah pati memiliki area yang lebih luas
untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa. Faktor ekstrinsik yang
memengaruhi pencernaan pati antara lain adalah lamanya waktu pencernaan
dalam lambung (transit time), aktivitas amilase pada usus, jumlah pati, dan
keberadaan komponen pangan lainnyaseperti zat antigizi. Faktor-faktor
25
ekstrinsik tersebut saling berinteraksi sangat kompleks (Tharanthan dan
Mahadevamma 2003).
4. Kadar lemak dan protein
Pangan dengan kadar lemak yang tinggi cenderung memperlambat
laju pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan makanan pada usus
halus juga lambat. Sementara itu, kadar protein yang tinggi diduga
merangsang sekresi insulin sehingga glukosa dalam darah tidak berlebih dan
terkendali. Oleh karena itu, pangan dengan kandungan lemak dan protein
tinggi cenderung memiliki indeks glikemik lebih rendah dibandingkan
dengan pangan sejenis yang berkadar lemak dan protein rendah (Jenkins et
al,. 1981; Rimbawan dan Siagian, 2004).
5. Cara Pengolahan
Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu
produk pangan adalah cara pengolahan, seperti pemanasan (pengukusan,
perebusan, penggorengan) dan penggilingan (penepungan) untuk
memperkecil ukuran partikel. Pangan dengan jenis yang sama pun dapat
memiliki indeks glikemik berbeda bila diolah atau dimasak dengan cara
yang berbeda. Proses pengolahan dapat menyebabkan nilai indeks glikemik
pangan meningkat karena melalui proses pengolahan struktur pangan
menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan
kadar glukosa darah meningkat dengan cepat (Rimbawan dan Siagian,
2004).
26
Tingkat gelatinisasi mempengaruhi nilai indeks glikemik karena
proses gelatinisasi pati dapat menyebabkan granula pati mengembang.
Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah
dicerna karena enzim pencernaan di usus mendapat permukaan yang lebih
luas untuk dapat kontak dengan molekul pati (Jenkins et al., 2002)
G. Pati
Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan yang biasanya
ditemukan dalam biji-bijian dan umbi-umbian. Pati adalah bentuk penting
polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam
kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al., 2006).
Pati tersusun dari dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa merupakan polimer berantai lurus yang mengandung
sekitar 99% ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin terdiri dari
struktur dengan rantai bercabang tersusun atas sekitar 95% ikatan α-(1,4)-D-
glukosa dan 5% α-(1,6)-D-glukosa (Sajilata et al., 2006). Amilosa sangat
berperan pada saat proses gelatinisasi. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi
mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai
lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang besar
untuk gelatinisasi (Okoniewska et al., 2007). Perbandingan struktur antara
amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2.
27
Gambar 2.2. Struktur amilosa (Cui, 2005)
Gambar 2.3. Struktur amilopektin (Cui, 2005)
Amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan struktur yang
menyebabkan perbedaan ketahanan terhadap enzim pencernaan. Rantai
bercabang dari amilopektin mempunyai sifat yang mudah sekali didegradasi
oleh enzim-enzim pencernaan, sedangkan amilosa tidak mudah didegradasi
oleh enzim pencernaan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
1. Pati Resisten
Pati dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat daya
cerna dari pati, yaitu pati yang dapat dicerna dan pati yang tidak bisa
dicerna (pati resisten). Pati yang dapat dicerna terbagi dua menjadi pati yang
dicerna secara cepat dan pati yang dicerna secara lambat. Pati yang cepat
dicerna adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim
28
amilase sedangkan pati yang lambat dicerna dihidrolisis secara lambat oleh
enzim amilase (Sajilata et al., 2006).
Pati resisten adalah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat
diserap oleh usus halus manusia yang sehat (Perez et al., 2005). Pati resisten
memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering direkomendasikan
penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya.
Pati resisten terbagi menjadi empat tipe. Pati resisten tipe I adalah
jenis pati yang secara fisik terperangkap dalam matriks sel, seperti pada
jenis biji-bijian. Pati resisten tipe II adalah pati yang secara alami tahan
terhadap enzim pencernaan amilase, biasanya ditemukan pada jenis
makanan mentah seperti pisang mentah dan kentang mentah. Pati resisten
tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan
dengan suhu tinggi dan dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu
rendah. Pada pembentukan Pati resisten tipe III, pati mengalami gelatinisasi.
Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada saat bahan makanan dipanaskan
diatas suhu gelatinisasinya. Suhu gelatinisasi dari kentang adalah 58-650C
(Swinkles, 1985) sedangkan suhu gelatinisasi dari talas Bogor adalah 80,60C
(Acevado et al., 2011). Gelatinisasi membuat molekul pati dapat
sepenuhnya dicerna. Jika pati yang telah tergelatinisasi itu didinginkan
maka molekul-molekul amilosa dari pati akan berikatan kembali satu sama
lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir luar granula
pati. Proses pembentukan struktur kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi tersebut disebut retrogradasi. Struktur ini biasanya sangat stabil,
29
tahan terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase. Pati
resisten tipe IV merupakan jenis pati resisten yang terbentuk akibat
modifikasi secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi yang akan
mempengaruhi aksi dari enzim amilase (Gonzales et al., 2004).
Pati resisten tipe III merupakan tipe pati yang paling sering digunakan
sebagai bahan baku pangan dari keempat pati resisten yang ada hal ini
disebabkan karena pati resisten tipe ini dapat mempertahankan karakteristik
organoleptik suatu makanan dan relatif tahan panas sehingga dapat
mempertahankan sifatnya selama proses pengolahan pangan (Lehmann et
al., 2002). Kadar pati resisten pada beberapa jenis makanan dapat dilihat
pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Kadar pati resisten dalam beberapa jenis makanan (g/100 makanan )
Jenis makanan Kadar pati resisten (g)Kentang rebus 1,3Kentang panggang 1,0Kentang goreng 2,8Kentang rebus* 3,2Kentang kukus* 5,8Pisang 4,0Ubi jalar ungu kukus 1,13Ubi jalar kuning kukus 1,41Talas kukusNasi putih
3,760,97
* Didinginkan selama 24 jam pada suhu 40C
(Murphy et al., 2008; Chen et al., 2010, Lie et al., 2010)
2. Pengaruh pati resisten terhadap kadar glukosa darah
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pati resisten memiliki nilai
fungsional bagi penderita diabetes terutama terkait dengan kemampuannya
untuk membantu menurunkan level gula darah setelah makan dan
30
meningkatkan sensitivitas insulin. Makanan yang banyak mengandung pati
resisten akan lebih lama dicerna sehingga berimplikasi pada penurunan
glukosa darah postprandial, menurunkan respon insulin dan memberikan
rasa kenyang lebih lama (Li et al., 2010; Hasjim et al., 2010).
Efek pati resisten terhadap glukosa darah dapat dijelaskan melalui tiga
mekanisme yaitu penghambatan aktivitas enzim α-amilase yang fungsinya
mengubah pati menjadi glukosa di usus halus, meningkatkan visikositas di
usus halus sehingga menghambat penyerapan glukosa dan peningkatan
produksi asam lemak rantai pendek yaitu asam lemak propianat yang
dihasilkan oleh bakteri anaerob di usus besar (Ou et al., 2001). Asam lemak
rantai pendek jenis propionat dapat menghambat glukoneogenesis melalui
konversi HMG CoA (3 hidroksi 3 metil glutarit koenzim A) mejadi
metilmalonil CoA dan suksinil CoA serta mereduksi asam lemak bebas
tingkat plasma. Asam lemak bebas yang tinggi dapat menurunkan utilisasi
glukosa dan menyebabkan resistensi insulin di jaringan adiposa. Kerja dari
propionat tersebut mengakibatkan peningkatan seksresi insulin dan
sensitivitas insulin di jaringan adiposa (Todesco et al., 1991).
31
H. Kerangka teori penelitian
Kerangka teori penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian
32
Asupan Karbohidrat
Pati
Pati resisten Pati yang dapat dicerna
Pati yang cepat dicerna
Pati yang lambat dicerna
Penurunan absorbsi glukosa di usus halus
Penurunan glukosa darah postprandial
aktivitas enzim α-amilase di usus halus
viskositas di usus halus
Produksi asam lemak propionat
(-)
(+)
(+)
Mengalami absorbsi dalam bentuk glukosa di usus halus
Serat Pangan Kadar Amilosa dan amilopektin Daya cerna pati Kadar Lemak dan protein Cara Pengolahaan
(+)
I. Kerangka Konsep penelitian
Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian
J. Hipotesis
H1: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang
mengonsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) lebih rendah
daripada kelompok yang mengonsumsi nasi putih.
H2: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang
mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih
rendah daripada kelompok yang mengonsumsi nasi putih.
H3: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang
mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih
rendah daripada kelompok yang mengonsumsi kentang rebus (Solanum
tuberosum L.).
33
Kelompok III (Perlakuan II ): Konsumsi talas Bogor kukus
Kelompok II (Perlakuan I ): Konsumsi kentang
Peningkatan kadar glukosa darah postprandial
Proses pemasakan dengan cara direbus dan dikukus
BAB 3
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis studi eksperimental dengan desain
pararel dengan 2 kelompok; kelompok yang pertama disebut kelompok
eksperimental atau kelompok perlakuan, sedangkan kelompok lainnya disebut
kelompok kontrol (Sastroasmoro, 2010).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di lingkungan sekitar Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Bengkulu.
2. Waktu Penelitian
Pengumpulan data akan dilakukan pada bulan Mei 2015.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu. Pengambilan sampel penelitian
menggunakan teknik consecutive sampling.
34
Perkiraan besar sampel minimum:
Perhitungan besar sampel menggunakan rumus data kontinu independen
sebagai berikut (Wahyuni, 2007) :
Dimana :
n : besar sampel minimum
Z1-α/2 : nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu.
Z1-β : nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu.
σ2 : harga varians di populasi (literatur)
μ0-μa : perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di populasi
Berdasarkan literatur diketahui varian kenaikan glukosa darah postprandial
pada kelompok kontrol 4,51 dengan mean kelompok perlakuan 131,67 dan
mean grup kontrol 125 (Raguparan et al., 2008)
n=2 (4,51 )2 (1,960+1,282 )2
¿¿= 9,6 ≈ 10
Jadi, sampel minimal dalam satu kelompok adalah 10 orang dengan total
sampel minimal adalah 30 orang. Tingkat kepercayaan yang diinginkan
sebesar 95% dan tingkat kemaknaan 0,05. Nilai power yang digunakan
sebesar 90%.
35
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Mahasiswa FKIK Universitas Bengkulu (laki-laki dan perempuan)
berusia 18-35 tahun
b. Memiliki indeks masa tubuh normal 18,5kg/m2 -25,0 kg/m2 .
c. Kadar glukosa darah puasa dalam batas normal <90 mg/dl.
d. Memiliki pola aktivitas fisik yang ringan (≤ 4 METS).
e. Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan
penelitian.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Mengalami penyakit diabetes melitus (PERKENI, 2011).
b. Mengalami penyakit metabolik yang dapat mempengaruhi kadar glukosa
darah seperti cushing syndrome, addison disease, akromegali,
insufisiensi adrenokorteks sekunder.
c. Mengalami sirosis hati, kanker hati, hemofilia, adenokarsinoma duktus
pankreas, dan karsinoma bronkus sel kecil.
d. Menggunakan obat-obatan seperti insulin, obat antidiabetik oral, obat
hiperglikemia dan kontrasepsi oral.
e. Mempunyai riwayat gangguan pencernaan setelah mengonsumsi talas
atau kentang.
36
3. Kriteria pengeluaran
Kriteria pengeluaran dalam penelitian ini adalah:
a. Subjek menolak melanjutkan penelitian.
b. Subjek tidak mengikuti prosedur penelitian dan tidak menjalani
pemeriksaan secara lengkap.
c. Subjek mengalami sakit berat selama periode penelitian.
E. Instrumen Pengumpulan Data
1. Alat dan Bahan
a. Jarum lancet
b. Glucometer (Accu-chek Active® Alat monitor gula darah dengan
sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%) yang telah dikalibrasi
c. Alkohol 70%, kapas, dan sarung tangan
d. Timbangan makanan digital BEL dengan ketelitian 0,1 mg
e. Timbangan Camry dengan ketelitian 0,1 kg
f. Stadiometer dalam cm
g. Nasi putih sebagai kontrol
h. Kentang rebus
i. Talas Bogor kukus
2. Spesimen
Darah perifer jari tangan sebanyak 1 µl
F. Cara Kerja
Setelah mendapat persetujuan penelitian dari bagian kemahasiswaan
FKIK Universitas Bengkulu, dilakukan pengumpulan data. Subjek dipilih
37
dengan cara conseutive sampling pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
1. Pelaksanaan pra- penelitian
Mahasiswa FKIK Unib yang bersedia menjadi subjek penelitian
mengisi dan menandatangani lembar persetujuan (lampiran 1) yang akan
dikembalikan pada peneliti sebagai bukti turut serta dalam penelitian,
kemudian dilakukan seleksi subjek dengan memperhatikan kriteria
penelitian berupa indeks masa tubuh (subjek penelitian menggunakan
pakaian lengkap tanpa alas kaki), aktivitas fisik, riwayat kesehatan, terapi
obat, dan kadar glukosa darah puasa yang akan dicatat (lampiran 2).
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak diperbolehkan melakukan
aktivitas yang berat satu hari sebelum hari pengambilan data sampai
pengambilan data selesai.
2. Periode run in
Pada sampel penelitian yang terpilih akan diminta untuk berpuasa
selama 10 -12 jam. Selama puasa subjek hanya diperbolehkan minum air
putih.
3. Pelaksanaan penelitian
a. Pengolahan makanan
1) Pengolahan kentang
Kentang didapatkan dari petani lokal di desa Sumber Urip
Kabupaten Rejang Lebong. Kentang dicuci bersih dan dikupas
38
kulitnya lalu direbus selama 15 menit dan didinginkan dalam suhu
ruang selama satu jam.
2) Pengolahan talas Bogor
Talas Bogor didapatkan di Desa Tangsi Baru Kabupaten
Kepahiang. Talas Bogor dicuci bersih dan dikupas kulitnya lalu
dipotong menjadi beberapa bagian kemudian direndam dengan air
garam selama 30 menit dan dicuci kembali setelahnya. Talas Bogor
akan dikukus selama 15 menit dan didinginkan dalam suhu ruang
selama satu jam.
3) Pengolahan nasi putih
Beras putih mengandung 77 gram karbohidrat per 100 gram
berat beras. Beras ini diproduksi oleh PT. Subur Jaya Indonesia.
Setiap hari saat penelitian akan dimasak sebanyak 200 gram beras
yang ditambahkan 240 ml air. Beras akan dimasak dengan
menggunakan rice cooker dan disajikan pada subjek penelitian dalam
keadaan masih panas.
b. Pengambilan data kadar glukosa darah
Pengambilan data untuk kadar glukosa darah akan dilakukan
selama satu minggu yang setiap harinya akan diambil sampel dengan
jumlah yang sama pada masing-masing kelompok. Pengukuran kadar
glukosa darah akan dilakukan secara duplo menggunakan glucometer
(Accu-chek Active® Alat monitor gula darah) yang telah dikalibrasi.
Subjek penelitian akan dibagi menjadi tiga kelompok dengan cara
39
pengambilan nomor undian. Kelompok pertama mengonsumsi nasi putih,
kelompok kedua mengonsumsi kentang rebus, kelompok ketiga
mengonsumsi talas Bogor kukus.
Makanan yang diberikan peneliti harus habis dalam waktu sepuluh
menit. Setelah mengonsumsi makanan dari peneliti, subjek penelitian
tidak diizinkan beraktivitas berat. Tiga puluh menit kemudian dilakukan
pengukuran kembali untuk mengetahui kadar glukosa darah postprandial
pada masing-masing subjek sebanyak dua kali (duplo) sehingga
didapatkan variasi data untuk kemudian ditentukan rata-rata.
G. Prosedur Pengambilan Data
1. Wawancara
Wawancara dilakukan oleh peneliti. Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan subjek penelitian yang memenuhi kriteria. Dari wawancara
diperoleh pula data mengenai data dasar yaitu riwayat penyakit, aktivitas
fisik dan pemakaian obat yang akan dicatat pada lampiran 2.
2. Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Definisi : indeks masa tubuh sampel
Cara ukur : pengukuran berat badan dan tinggi badan sampel
Alat ukur : rumus IMT
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2014) cara
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus:
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m2)
40
Hasil ukur : lembar pemeriksaan antropometri
Tabel 3.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT IndonesiaKategori IMT (Kg/m2)
Kurus sekali < 17,0Kurus 17,0 – 18,4Normal 18,5-25,0Gemuk 25,1– 27,0Gemuk sekali >27
(Departemen Kesehatan RI, 2003)
3. Penilaian Aktivitas Fisik
Penilaian aktivitas fisik berdasarkan kriteria Metabolic Equivalents
(METS). METS menggambarkan metabolisme basal seseorang yaitu 3,5
mL O2/Kg/menit. Jenis aktivitas fisik berdasarkan kriteria METS dapat
dilihat pada Tabel 3.2:
Tabel 3.2. Jenis Aktivitas fisik berdasarkan kriteria METS No Jenis Contoh1 Ringan (≤ 4 METS) Makan, berpakaian, bekerja dengan
computer, memasak, jalan menuruni tangga, berkebun
2 Sedang (5‒8 METS) Menari, bermain tenis tunggal, bermain golf, bersepeda santai, menaiki tangga dengan cepat, jogging
3 Berat (> 8 METS) Berenang dengan cepat, aerobik, berlari dengan cepat dan jauh, bermain basket 1 lapangan penuh, lompat tali, berlari
(Jette et al., 2009).
4. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan postprandial
Metode pemeriksaan menggunakan metode finger prick, dimana darah
perifer di ujung jari tangan subjek akan diambil menggunakan lancet dan
akan diukur mengunakan glucometer (Accu-chek Active® Alat monitor gula
darah) untuk mengetahui kadar glukosa darahnya. Pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan postprandial masing masing dilakukan sebanyak
41
dua kali menggunakan dua glucometer Accu-chek Active. Pemeriksaan
menggunakan dua glucometer ini dilakukan secara bersamaan.
H. Identifikasi variabel penelitian
Variabel terikat : Peningkatan kadar glukosa darah postprandial
Variabel bebas : konsumsi nasi putih, kentang rebus dan talas kukus, proses
pemasakan dengan cara direbus dan dikukus.
I. Definisi OperasionalVariabel Definisi operasional Cara ukur Alat
ukurHasil ukur
Skala ukur
Pekerjaan Mahasiswa FKIK UNIB
Wawancara - - Katagorik
Usia Mahasiswa FKIK UNIB yang berusia 18-35 tahun
Wawancara - - Numerik
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Mahasiswa FKIK UNIB dengan IMT 18,5 kg/m2 – 25,0 kg/m2
Menghitung tinggi badan subjek penelitian dengan stadiometer dan, mengukur berat badan subjek penelitian dengan timbangan Camry. Kemudian dihitung IMTnya dengan menggunakan rumus.
Stadiometer dan Timbangan Camry
- Numerik
Asupan nasi putih
Yang dimaksud dengan nasi putih dalam penelitian ini adalah beras yang telah direbus menjadi nasi putih yang mengandung 40 gram karbohidrat
Mencari jumlah nasi putih yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan
Hasil perhitungandan timbangan makanan
51,9 gram
Numerik
42
Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur
Hasil ukur
Skala ukur
Asupan kentang
Yang dimaksud dengan kentang dalam penelitian ini adalah kentang yang direbus selama 15 menit kemudian didinginkan dalam suhu ruang selama 1 jam yang mengandung 40 gram karbohidrat
Mencari jumlah kentang yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan
Hasil perhitungan dan timbangan makanan
198,7 gram
Numerik
Asupan talas
Yang dimaksud dengan talas bogor yang dikukus selama 15 menit kemudia didinginkan dalam suhu ruang selama 1 jam yang mengandung 40 gram karbohidrat
Mencari jumlah kentang yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan
Hasil perhitungan dan timbangan makanan
141,8 Numerik
Kadar glukosa darah posprandial
Yang dimaksud dengan kadar glukosa darah postprandial adalah kadar glukosa darah yang dihitung 30 menit setelah mengonsumi makanan
Menggunakan alat ukur glucometer
Glucometer(Accu-chek Active®)
.... mg/dL
Numerik
43
J. Pengolahan, Analisis, Interpretasi, dan Penyajian Data
1. Pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah menggunakan
software Statistical Program for Social Science (SPSS) for windows version
16 dan Microsoft excel 2010.
2. Analisis dan interpretasi data
Uji statistik yang akan digunakan menurut Dahlan (2012) adalah:
a. Untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak, peneliti menggunakan
uji Shapiro-Wilk. Data yang memiliki sebaran normal, jika nilai p > 0,05.
Bila distribusi normal, digunakan rerata dan simpang baku, bila distribusi
tidak normal, digunakan nilai median dan rentang maksimum-minumum.
b. Untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah postprandial pada
ketiga kelompok dilakukan uji one way ANOVA, jika tidak normal maka
digunakan Kruskal-Wallis.
c. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 5% yang artinya ketentuan
bermakna jika nilai p < 0,05 dan tidak bermakna apabila nilai p ≥ 0.05.
d. Untuk membandingkan perbedaan kadar glukosa darah postprandial pada
setiap kelompok maka dilakukan uji Post Hoc LSD.
e. Bermakna jika nilai p< 0,05 dan tidak bermakna apabila nilai p ≥ 0.05.
3. Penyajian data
Data disajikan dalam bentuk teks, tabular, dan grafik.
44
K. Jadwal Kegiatan Penelitian
Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian
NO Kegiatan2015
Januari Februari Maret April Mei juni juli1 Studi
pendahuluan
2 Pengajuan judul
3 Penyusunan proposal penelitian
4 Persiapan alat dan bahan
5 Pengumpulan data
6 Analisis data dan pembahasan
7 Konsultasi laporan penelitian
8 Pelaporan hasil penelitian
45
L. Alur penelitian
Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Alur Penelitian
46
Subjek puasa 10-12 jam
Tes glukosa darah puasa
dilakukan dua
Kelompok I (kontrol)
Kelompok I (perlakuan I )
Kelompok III (perlakuan II)
Pemberian nasi putih
Pemberian kentang rebus
Pemberian talas Bogor kukus
Tes glukosa darah postprandial
Tes glukosa darah postprandial
Tes glukosa darah postprandial
Setelah 30 menit
Hasil
Analisis
Kesimpulan
Dilakukan Duplo
M. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, tentu memerlukan subjek sebagai bahan
penelitian. Mengingat subjek yang akan digunakan adalah manusia, maka
peneliti akan menggunakan etika yang mengatur akan prinsip-prinsip etis
dalam melakukan riset, yaitu sebagai berikut:
1. Subjek penelitian telah diberi penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan
manfaat penelitian.
2. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian diminta untuk
menandatangani informed consent dan identitas subjek penelitian akan
dirahasiakan.
3. Subjek berhak menolak untuk diikutsertakan tanpa ada konsekuensi
apapun
4. Subjek berhak untuk keluar dari penelitian dengan alasan untuk
kepentingan subjek.
5. Segala biaya yang berhubungan dengan penelitian ini menjadi tanggung
jawab peneliti.
6. Bila terjadi efek samping yang tidak diharapkan mengenai keadaan subjek
penelitian, seperti alergi, perdarahan yang berlebihan, pingsan setelah
pengambilan darah akan menjadi tanggung jawab peneliti.
47