4. isi

72
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit tidak menular merupakan penyebab utama kematian di dunia. Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia, dua per tiganya atau 70% disebabkan oleh penyakit tidak menular (Kementrian kesehatan RI, 2012). Diabetes melitus merupakan salah satu contoh penyakit tidak menular yang sering dialami masyarakat selain penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan kanker (Kementrian kesehatan RI, 2012). Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American 1

description

uuuuu

Transcript of 4. isi

Page 1: 4. isi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit tidak menular merupakan penyebab utama kematian di dunia.

Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data WHO (World Health

Organization) menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di

dunia, dua per tiganya atau 70% disebabkan oleh penyakit tidak menular

(Kementrian kesehatan RI, 2012). Diabetes melitus merupakan salah satu

contoh penyakit tidak menular yang sering dialami masyarakat selain penyakit

jantung dan pembuluh darah, stroke dan kanker (Kementrian kesehatan RI,

2012).

Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan

tingginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat

gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes

Association, 2010). Menurut data dari International Diabetes Federation

(2012) menyebutkan bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia menderita

penyakit diabetes. Di Indonesia sendiri prevalensi diabetes melitus tahun 2013

adalah 2,1% lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%) (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data mengenai prevalensi diabetes melitus yang cukup

tinggi maka dibutuhkan tatalaksana serius untuk penderita diabetes melitus.

Beberarapa tatalaksana untuk penderita diabetes melitus yaitu penggunaan

insulin, obat antidiabetik oral dan diet. Dari ketiga jenis tatalaksana itu, diet

1

Page 2: 4. isi

masih merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes, terutama

pada diabetes melitus tipe dua. Salah satu tujuan khusus perencanaan makan

untuk pasien diabetes adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa

darah dan lemak darah normal (Warpadji dan Sarwono, 2002).

Salah satu cara perencanaan pola makan untuk diet penderita diabetes

melitus yaitu dengan penggunaan alternatif makanan pengganti nasi putih

karena jenis pangan ini memiliki indeks glikemik yang tinggi sehingga tidak

baik untuk dikonsumsi bagi penderita diabetes melitus (Powell et al., 2002).

Beberapa contoh makanan pengganti itu adalah kentang dan umbi talas.

Kentang sendiri sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai

makanan pengganti nasi untuk penderita diabetes melitus, sementara umbi talas

baru dikenal. Umbi talas dan kentang mengandung pati resisten. Pati resisten

didefinisikan sebagai sejumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat

diserap oleh usus halus manusia yang sehat ( Perez et al., 2005).

Jenis pati resisten yang terdapat pada umbi talas dan kentang adalah pati

resisten tipe III. Pati resisten tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang

terbentuk akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan disusul dengan

penyimpanan pada suhu rendah (Gonzales et al., 2004). Di dalam 100 gram

nasi putih adalah 0,97% (Li et al., 2010), di dalam 100 gram kentang rebus

mengandung 1,3% pati resisten (Murphy et al., 2008) sedangkan di dalam 100

gram talas kukus mengandung 3.76% pati resisten (Chen et al., 2010).

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pati resisten memiliki nilai

fungsional bagi penderita diabetes karena kemampuannya menurunkan glukosa

2

Page 3: 4. isi

darah postprandial, meningkatkan sensitivitas insulin dan memberikan rasa

kenyang lebih lama (Li et al., 2010; Hasjim et al., 2010). Li et al. (2010)

melakukan eksperimen dengan tujuan membandingkan kadar insulin dan

glukosa postprandial di 16 subyek sehat setelah konsumsi nasi putih yang

mengandung pati resisten (8 g dalam 40 g karbohidrat), nasi putih wild type,

dan glukosa. Nasi putih yang mengandung pati resisten memiliki kadar

glukosa postprandial dan kadar insulin lebih rendah dibandingkan dengan nasi

putih wild type dan glukosa. Selain itu terdapat juga penelitian lain dari Hasjim

et al. (2010) yang membandingkan kadar insulin dan glukosa postprandial

antara konsumsi roti yang mengandung 50 gram pati resisten dan roti putih

tanpa pati resisten sebagai kontrol. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

hasil penelitian Li et al. (2010) bahwa kadar glukosa darah postprandial dan

kadar insulin pada subjek penelitian yang mengonsumsi roti yang mengandung

pati resisten lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi roti

putih tanpa pati resisten.

Kandungan amilosa dan cara pengolahan juga dapat mempengaruhi

indeks glikemik suatu makanan. Makanan yang mengandung amilosa yang

tinggi cenderung memiliki indeks glikemik yang lebih rendah (Rimbawan dan

Siagian, 2004). Cara pengolahan dapat mengubah sifat fisikokimia suatu bahan

pangan seperti kadar lemak dan protein, daya cerna, serta ukuran pati maupun

zat gizi lainnya. Proses pengolahan dapat menyebabkan nilai indeks glikemik

pangan meningkat karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi

3

Page 4: 4. isi

lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa

darah meningkat dengan cepat (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Belum ada sumber penelitian yang membandingkan kadar glukosa darah

postprandial setelah mengonsumsi kentang rebus, talas kukus dan nasi putih

sebagai kontrol sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

perbandingan kadar glukosa darah postprandial antara konsumsi kentang rebus

(Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta

L. Schoot) sehingga diharapkan kentang rebus dan umbi talas Bogor rebus

dapat dijadikan makanan pengganti nasi dan dapat diketahui manakah yang

lebih baik diantara keduanya. Selain itu kedua jenis umbi-umbian ini sudah

cukup lazim dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan cukup muda untuk

dijumpai, sehingga jika kedua umbi ini dapat dijadikan makanan pengganti

untuk penderita diabetes melitus maka akan lebih muda diterima dan

diterapkan pada masyarakat luas.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial

antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas

Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

2. Apakah kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dan umbi talas Bogor kukus

(Colocasia esculenta L. Schoot) dapat digunakan sebagai alternatif makanan

pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus

4

Page 5: 4. isi

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

a. Mengetahui perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial

antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dan umbi talas

Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) dengan nasi putih pada

mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Bengkulu.

b. Mengetahui perbandingan peningkatan kadar glukosa darah postprandial

antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi

talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui manakah yang lebih baik sebagai alternatif makanan

pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus antara kentang rebus

(Solanum tuberosum L.) dan umbi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta

L. Schoot).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teori

Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu mengenai

perbandingan peningkatan kadar glukosa darah antara konsumsi kentang

rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi talas Bogor kukus (Colocasia

esculenta L Schoot).

5

Page 6: 4. isi

2. Secara Praktis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti sebagai informasi

bermanfaat mengenai perbandingan kadar glukosa darah postprandial

antara konsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) dengan umbi

talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot).

b. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi mahasiswa untuk

dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.

c. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan membantu memberikan alternatif

makanan pokok pengganti untuk penderita diabetes melitus.

6

Page 7: 4. isi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karbohidrat

1. Pengertian Karbohidrat

Karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom karbon,

hidrogen dan oksigen. Karbohidrat ini memiliki fungsi utama yaitu

menghasilkan energi, dimana dalam satu gram karbohidrat menghasilkan

4,18 kalori. Karbohidrat banyak dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan

makanan pokok, terutama pada negara berkembang yaitu sekitar 70-80%

dari total kalori (Hutagulung, 2004).

2. Klasifikasi Karbohidrat

a. Monosakarida

Monosakarida adalah karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis

menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Monosakarida dapat

diklasifikasikan sebagai triosa, tetrosa, pentosa, heksosa atau heptosa.

Monosakarida yang penting adalah gula yang memiliki enam karbon

(heksosa) yaitu glukosa, fruktosa dan galaktosa (Murray et al., 2009).

1) Glukosa

Glukosa adalah gula terpenting bagi metabolisme tubuh dikenal

sebagai gula fisiologis. Glukosa ditemukan terutama pada buah-

buahan, sayur-sayuran, madu, sirup jagung, dan tetes tebu sementara

di dalam tubuh glukosa didapat dari hasil akhir pencemaan amilum,

7

Page 8: 4. isi

sukrosa, maltosa, dan laktosa. Glukosa yang terdapat di dalam

sirkulasi darah, disebut kadar gula darah (Suhardjo dan Kusharto,

1992; Hutagulung, 2004).

2) Fruktosa

Fruktosa disebut juga gula buah atau levulosa. Gula jenis ini

merupakan hasil hidrolisis sukrosa. Perubahaan fruktosa menjadi

glukosa terjadi di hati kemudian dioksidasi sempurna menjadi energi

(Hutagulung, 2004).

3) Galaktosa

Galaktosa tidak dijumpai dalam bentuk bebas di alam. Galaktosa

yang ada di dalam tubuh merupakan hasil hidrolisis dari laktosa.

Melalui proses metabolisme galaktosa akan diubah menjadi glukosa

yang dapat memasuki siklus Krebs untuk menghasilkan energi

(Hutagulung, 2004).

b. Disakarida

Disakarida adalah produk kondensasi dua unit monosakarida

contohnya sukrosa, maltosa, dan laktosa (Murray et al., 2009).

1) Sukrosa

Sukrosa adalah gula pasir yang kita pergunakan sehari-hari.

Melalui proses pencernaan sukrosa akan dipecah menjadi fruktosa dan

glukosa (Hutagulung, 2004).

8

Page 9: 4. isi

2) Maltosa

Maltosa adalah molekul monosakarida yang terdiri dari dua

molekul glukosa. Maltosa tidak ditemui bebas di alam tetapi berasal

dari pencernaan pati dengan bantuan enzim diastase (Suhardjo dan

Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).

3) Laktosa

Laktosa mempunyai dua molekul monosakarida yang terdiri dari

satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa. Laktosa kurang

larut di dalam air. Laktosa hanya terdapat pada susu sehingga disebut

juga gula susu. Susu sapi mengandung 4-5% laktosa dan ASI

mengandung 4-7% laktosa (Hutagulung, 2004).

c. Oligosakarida

Oligosakarida adalah produk kondensasi tiga sampai sepuluh

monosakarida. Sebagian besar oligosakarida tidak dicerna oleh enzim

dalam tubuh manusia (Murray et al., 2009).

d. Polisakarida

Polisakarida adalah produk kondensasi lebih dari sepuluh unit

monosakarida, contohnya pati dan dekstrin yang mungkin merupakan

polimer linier atau bercabang. Selain pati dan dekstrin terdapat juga

polisakarida nonpati, zat ini tidak dicerna oleh enzim manusia dan

merupakan komponen utama serat dalam makanan contohnya selulosa

dari dinding sel tumbuhan dan inulin yaitu simpanan karbohidrat pada

beberapa tumbuhan (Murray et al., 2009).

9

Page 10: 4. isi

1) Pati

Pati merupakan sumber energi utama yang biasa dikonsumsi

bagi orang dewasa di seluruh penduduk dunia, terutama di negara

berkembang. Bahan pangan ini banyak mengandung amilum, protein,

vitamin, serat, dan beberapa zat gizi penting lainnya. Pati merupakan

karbohidrat dalam bentuk simpanan bagi tumbuh-tumbuhan dalam

bentuk granul yang dijumpai pada biji-bijian, umbi, dan akarnya. Pati

tidak larut di dalam air dingin, tetapi larut di dalam air panas

membentuk cairan yang sangat pekat seperti pasta. Peristiwa ini

disebut gelatinisasi (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).

2) Dekstrin

Dekstrin merupakan hasil antara pencernaan pati yang akan

diubah menjadi maltosa. Jika direaksikan dengan iodium akan

berubah menjadi wama merah (Hutagulung, 2004)

3) Glikogen

Glikogen disimpan di dalam hati dan jaringan otot sebagai

cadangan energi yang sewaktu-waktu dapat diubah kembali menjadi

glukosa bila dibutuhkan. Saat latihan dan bekerja keras glikogen akan

diubah menjadi glukosa untuk disirkulasikan ke berbagai bagian tubuh

(Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).

4) Selulosa

Hampir 50% karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan

adalah selulosa. Selulosa merupakan bagian yang terpenting dari

10

Page 11: 4. isi

dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa tidak dapat dicerna oleh tubuh

manusia karena tidak ada enzim untuk memecah selulosa. Meskipun

tidak dapat dicerna, selulosa berfungsi sebagai sumber serat yang

dapat memperbesar volume dari faeces, sehingga akan memperlancar

defekasi (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Hutagulung, 2004).

5) Pektin

Polisakarida koloid yang tidak dapat dicerna ditemukan dalam

buah-buahan yang fungsinya memberikan ketebalan kulit buah. Pektin

berfungsi sebagai laksatif, pengental, pengikat, dan pembentuk gel

makanan (Suhardjo dan Kusharto, 1992).

6) Inulin

Inulin biasa digunakan dalam uji fungsi ginjal (Suhardjo dan

Kusharto, 1992).

3. Fungsi Karbohidrat

Menurut Suhardjo (1992) dan Hutagulung (2004) karbohidrat

memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Karbohidrat sebagai sumber energi utama

Sel-sel tubuh membutuhkan ketersediaan energi siap pakai yang

konstan terutama glukosa serta hasil antaranya. Lemak juga merupakan

sumber energi, tetapi cadangan lemak tidak dapat segera dipergunakan

sebagai sumber energi siap pakai. Satu gram karbohidrat menyediakan 4

kalori. Sebagian dari karbohidrat diubah langsung menjadi energi untuk

11

Page 12: 4. isi

aktivitas tubuh, dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen di hati

dan di otot.

b. Pengatur metabolisme lemak

Karbohidrat mencegah terjadinya oksidasi lemak yang tidak

sempurna. Saat energi tidak cukup maka akan terjadi peningkatan

katabolisme lemak yang menghasilkan benda keton. Benda keton yang

menumpuk akan mengakibatkan terjadinya asidosis.

c. Penghemat fungsi protein

Energi merupakan kebutuhan utama bagi tubuh, sehingga jika

karbohidrat dari makanan tidak mencukupi maka tubuh akan mengubah

protein menjadi glukosa. Protein sendiri mempunyai fungsi yang lebih

utama yaitu sebagai zat pembangun dan memperbaiki jaringan yang

rusak.

d. Karbohidrat sebagai sumber energi utama bagi otak dan susunan syaraf

Otak dan susunan syaraf hanya dapat mempergunakan glukosa

sebagai sumber energi, sehingga ketersediaan glukosa yang konstan

harus tetap terjaga. Jika terjadi kekurangan glukosa maka akan

menyebabkan kerusakan otak dan jaringan syaraf yang tidak dapat

diperbaiki.

e. Simpanan Karbohidrat sebagai Glikogen

Glikogen menyediakan energi siap pakai. Di dalam hati dan otot

tersimpan 355 gram glikogen yang mampu menyediakan energi untuk

melakukan aktivitas sedang selama 3 jam.

12

Page 13: 4. isi

f. Pengatur peristaltik usus dan pemberi muatan pada sisa makanan

Selulosa merupakan polisakarida yang tidak dapat dicerna, tetapi

mempunyai fungsi penting bagi kesehatan yaitu mengatur peristaltik usus

(memungkinkan terjadinya gerakan usus yang teratur) dan mencegah

terjadinya konstipasi. Hemiselulosa dan pektin juga memberi fungsi yang

serupa yaitu memberi dan menyerap sejumlah air di usus besar.

4. Pencernaan karbohidrat

Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam

mulut. Saat makanan dikunyah makanan bercampur dengan saliva yang

mengandung enzim ptialin (suatu α-amilase) yang disekresikan oleh

kelenjar parotis. Enzim ini menghidrolisis karbohidrat rantai panjang seperti

amilum dan dekstrin menjadi maltosa (Hutagulung, 2004; Guyton dan Hall,

2007).

Pencernaan Karbohidrat berlanjut di dalam korpus dan fundus

lambung selama 1 jam sebelum makanan bercampur dengan sekresi asam

lambung. Kemudian aktivitas enzim amilase saliva dihambat oleh asam

yang berasal dari sekresi lambung, karena amilase tidak aktif bila pH di

bawah 4 (Guyton dan Hall, 2007).

Setelah melewati lambung, karbohidrat dihidrolisis kembali oleh α-

amilase pankreas yang lebih kuat daripada α-amilase saliva. Pada umumnya,

hampir semua karbohidrat diubah menjadi maltosa dan polimer-polimer

glukosa yang sangat kecil lainnya sebelum keduanya melewati duodenum

atau jejunum bagian atas (Guyton dan Hall, 2007).

13

Page 14: 4. isi

Pencernaan karbohidrat berlanjut di dalam usus halus. Enterosit yang

terletak pada vili usus halus mengandung empat enzim yaitu laktase,

sukrase, maltase, dan α dekstrinase yang mampu memecahkan disakarida

laktosa, sukrosa dan maltosa ditambah polimer polimer glukosa kecil

lainnya menjadi unsur monosakarida. Laktosa dihidrolisis oleh laktase

menjadi satu molekul galaktosa dan satu molekul glukosa. Sukrosa

dihidrolis oleh sukrase menjadi dua molekul glukosa sementara maltosa dan

polimer polimer glukosa lainnya semua dihidrolisis oleh maltase dan α-

dekstrinase menjadi molekul molekul glukosa (Guyton dan Hall, 2007).

Gambar 2.1. Proses Pencernaan dan penyerapan karbohidrat (Sherwood, 2011)

14

Page 15: 4. isi

5. Penyerapan Karbohidrat

Glukosa dan galaktosa diserap oleh transpor aktif sekunder. Pembawa

kotranspor di membran luminal memindahkan monosakarida dan Na+ dari

lumen kedalam interior sel usus. Kotranspor ini tidak menggunakan energi

secara langsung tetapi bergantung pada gradien konsentrasi Na+ yang

tercipta oleh pompa Na+-K+ basolateral yang menggunakan energi. Glukosa

atau galaktosa diikat oleh kotranspor meninggalkan sel menuruni gradien

konsentrasi melalui pembawa pasif di membran basolateral untuk masuk ke

darah di dalam vilus. Selain terjadi penyerapan glukosa melalui sel oleh

pembawa kotranspor, glukosa juga melintasi sawar epitel melalui taut erat

yang bocor diantara sel-sel epitel. Fruktosa diserap ke dalam darah hanya

dengan difusi terfasilitasi (Sherwood, 2011)

6. Metabolisme karbohidrat

Produk akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan

hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, galaktosa dan fruktosa, dengan

glukosa mewakili rata-rata sekitar 80% dari produk-produk akhir tersebut.

Segera setelah masuk ke dalam sel, glukosa mengalami fosoforilasi menjadi

glukosa-6-fosfat oleh glukokinase atau heksokinase (Guyton dan Hall,

2007). Glukosa dalam bentuk glukosa-6-fosfat akan mengalami glikolisis

menghasilkan asam piruvat. Jaringan aerob memetabolisme piruvat menjadi

asetil-KoA yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk dioksidasi

sempurna menjadi CO2 dan H2O yang berkaitan dengan pembentukan ATP

15

Page 16: 4. isi

dalam proses fosforilasi oksidatif. Glikolisis juga dapat berlangsung secara

anerob dengan produk akhir berupa laktat (Muray et al., 2009).

B. Kadar Glukosa Darah

Menurut konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)

(2011) dalam pengendalian dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 diagnosis

diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:

1. Jika keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), maka pemeriksaan glukosa

plasma sewaktu >200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

diabetes melitus.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik

3. Dua jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ) ≥200 mg/dL.

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko

diabetes melitus namun tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus.

Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan

penyaring dapat dilihat pada Tabel 2.1

16

Page 17: 4. isi

Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dL)

(PERKENI, 2011)

C. Regulasi Kadar Glukosa Darah

Memelihara homeostasis glukosa darah merupakan salah satu fungsi

penting pankreas. Konsentrasi glukosa darah ditentukan oleh keseimbangan

proses-proses berikut yaitu penyerapan glukosa dari saluran cerna, perpindahan

glukosa kedalam sel dan produksi glukosa oleh hati. Terdapat dua hormon

utama yang mengatur kadar glukosa dalam darah yaitu hormon insulin yang

dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas dan glukagon yang dihasilkan

sel α pulau langerhans pankreas (Sherwood, 2011).

Insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong

penyimpanan karbohidrat melalui beberapa cara yaitu mempermudah transpor

glukosa ke dalam sebagian besar sel, merangsang glikogenesis, menghambat

glikogenolisis, dan menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan

menghambat glukoneogenesis (Sherwood, 2011).

17

Page 18: 4. isi

Pengangkutan glukosa ke dalam sel dilakukan oleh GLUT (Glucose

Transporter). Terdapat enam bentuk pengangkut glukosa yang dinamai sesuai

urutan penemuannya. GLUT-1 berfungsi memindahkan glukosa menembus

sawar darah otak. GLUT-2 memindahkan glukosa yang masuk ke sel ginjal dan

usus ke aliran darah sekitar. GLUT-3 adalah pengangkut utama glukosa ke

dalam neuron. GLUT-4 merupakan pengangkut glukosa yang paling dominan.

GLUT-4 terdapat di jaringan yang paling banyak membutuhkan glukosa yaitu

otot rangka dan sel jaringan lemak (Sherwood, 2011).

GLUT-4 hanya dapat bekerja jika berikatan dengan insulin, sehingga jika

insulin sedikit atau tidak ada maka GLUT-4 tidak dapat mengangkut glukosa

ke dalam sel yang pada akhirnya meningkatkan kadar glukosa darah. Meskipun

insulin berperan kunci dalam mengatur kadar glukosa darah, namun ada

hormon lain yang juga memiliki peran yang besar dalam mengatur kadar

glukosa darah yaitu hormon glukagon (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood,

2011).

Glukagon yaitu suatu hormon yang disekresikan oleh sel α pulau

langherhans pankreas sewaktu kadar glukosa darah menurun. Hormon ini

mempunyai beberapa fungsi yang bertentangan dengan fungsi insulin. Efek

utama glukagon terhadap metabolisme glukosa darah adalah pemecahan

glikogen hati (glikogenolisis) dan meningkatkan glukoneogenesis di hati.

Kedua efek ini akan meningkatkan persediaan glukosa di organ-organ tubuh

lainnya (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2011).

18

Page 19: 4. isi

Pada orang normal pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah sangat

sempit, biasanya antara 80 dan 90 mg/100 ml darah pada orang yang sedang

berpuasa, konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 mg/100 ml darah

selama kira-kira satu jam pertama setelah makan. Pada saat terjadi peningkatan

kadar glukosa darah tersebut hormon insulin bekerja menurunkan kadar

glukosa darah. Sebaliknya pada kedaan kelaparan hormon glukagon bekerja

(Guyton dan Hall, 2007). Demikianlah terdapat hubungan umpan balik negatif

langsung antara konsentrasi glukosa darah dan laju sekresi sel β dan sel α,

tetapi dalam arah berlawanan. Peningkatan kadar glukosa darah merangsang

sekresi insulin tetapi menghambat sekresi glukagon, sementara penurunan

glukosa darah menyebabkan penurunan sekresi insulin dan peningkatan sekresi

glukagon (Sherwood, 2011).

Selain hormon insulin dan glukagon terdapat hormon lain yang juga

berperan dalam pengaturan kadar glukosa darah yaitu hormon epinefrin,

kortisol, hormon pertumbuhan dan yang lebih lemah progesteron dan

esterogen. Peningkatan hormon epinefrin dapat memicu terjadinya peningkatan

glikogenolisis, glukoneogenesis, penurunan sekresi insulin, dan peningkatan

sekresi glukagon. Peningkatan sekresi kortisol dapat meningkatkan terjadinya

glukoneogenesis dan penurunan penyerapan glukosa darah oleh jaringan selain

otak. Peningkatan sekresi hormon pertumbuhan dapat menurunkan penyerapan

glukosa oleh otot (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2011).

D. Kentang (Solanum tuberosum L.)

Kentang merupakan tanaman sayuran semusim berumur pendek kurang

19

Page 20: 4. isi

lebih hanya 90-180 hari dan berbentuk perdu atau semak (Samadi, 2007).

Menurut Rukmana (1997) dalam sistematika taksonomi tumbuhan kentang

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Class : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Familia : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum tuberosum Linn

Umbi kentang terbentuk dari cabang samping diantara akar-akar. Proses

pembentukan umbi ditandai dengan terhentinya pertumbuhan memanjang dari

rhizome atau stolon yang diikuti pembesaran. Umbi berfungsi menyimpan

bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, dan air. Kentang

mengandung 83,49% amilopektin dan 16,5% amilosa (Samadi, 2007). Di

dalam 100 gram kentang rebus mengandung 1,3% pati resisten (Murphy et al.,

2008). Adapun kandungan gizi dalam kentang rebus dapat dilihat pada Tabel

2.2.

20

Page 21: 4. isi

Tabel 2.2 Kandungan gizi dalam 100 gram kentang rebusKandungan gizi Jumlah

Energi (Kal)Protein (g)Lemak (g)Total karbohidrat (g)Ca (mg)P (mg)Asam askorbat (mg)

871.870.1

20,1354413

(FAO, 2008)

E. Talas Bogor (Colocasia esculenta L. Schoott)

Talas merupakan tanaman monokotil asli daerah tropis tanaman ini

berasal dari india dan cina kemudian menyebar ke seluruh dunia (Lingga et al.,

1989). Menurut Dalimarta (2000) taksonomi talas Bogor adalah sebagai berikut

:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Arecales

Famili : Araceae

Genus : Colocasia

Spesies : Colocasia esculenta Schoott

Jenis talas ini mempunyai daun yang berbentuk hati dengan ujung

pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah. Warna

pelepah bermacam-macam. Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol.

Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga jantan di sebelah atasnya,

sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit. Pada ujung tongkolnya

terletak bunga-bunga yang mandul, umbinya berbentuk silinder sampai agak

21

Page 22: 4. isi

membulat. Umbi talas terletak di bagian bawah pokok batang talas. Umbi talas

dapat mencapai berat 4 kg atau lebih dengan bentuk silinder atau bulat,

berukuran 30 cm x 15 cm dengan warna kulit luar umumnya cokelat (Lingga et

al., 1989).

Komposisi kimia talas bervariasi tergantung pada jenis, usia, keadaan

tempat tumbuh, dan tingkat kematangan. Talas Bogor mengandung 21%

amilosa dan 79 amilopektin (Kusnandar, 2007). Dalam 100 gram talas kukus

mengandung 3.76% pati resisten (Chen et al., 2010). Kandungan gizi talas

kukus dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kandungan gizi dalam 100 gram talas kukusKandungan gizi Jumlah

Energi (Kal)Protein (g)Lemak (g)Total karbohidrat (g)Abu (g)Ca (mg)P (mg)Fe (mg)Asam askorbat (mg)

1201.50.328.20.828.063.00.72.0

(Koswara, 2008)

Kebanyakan jenis talas dapat menyebabkan rasa gatal pada rongga mulut,

iritasi pada bibir, mulut dan kerongkongan jika kita memakan umbi mentah

dari talas tersebut (Bradbury dan Nixon,1998). Rasa gatal yang merangsang

rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil berbentuk jarum

halus yang tersusun atas kalsium oksalat yang disebut raphide (Bradbury dan

Nixon,1998). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk

mengurangi rasa gatal pada talas. Di dalam air, NaCl akan terionisasi menjadi

ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk

22

Page 23: 4. isi

natrium oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium diklorida dengan

reaksi sebagai berikut:

CaC2O4 + 2 NaCl Na2C2O4 + CaCl2

Perendaman dalam larutan garam selama 30 menit dilaporkan dapat

menurunkan kadar oksalat secara maksimal (Rahmawati et al., 2012).

F. Indeks Glikemik

Indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap

gula darah. Indeks glikemik diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu

indeks glikemik rendah <55, indeks glikemik sedang 55-70, dan indeks

glikemiks tinggi >70 (Rimbawan dan Siagian, 2004)

Pangan yang memiliki indeks glikemik rendah mengalami proses

pencernaan lambat, sehingga laju pengosongan lambung pun berlangsung

lambat. Hal ini menyebabkan suspensi pangan (chyme) lebih lambat mencapai

usus halus, sehingga penyerapan glukosa pada usus halus menjadi lambat.

Akhirnya, fluktuasi kadar glukosa darah pun relatif kecil. Sebaliknya, pangan

yang memiliki indeks glikemik tinggi mencirikan laju pengosongan lambung,

pencernaan karbohidrat, dan penyerapan glukosa yang berlangsung cepat,

sehingga fluktuasi kadar glukosa darah juga relatif tinggi (Rimbawan dan

Siagian, 2004). Faktor-faktor yang memengaruhi indeks glikemik pada pangan

antara lain adalah kadar serat, perbandingan amilosa dan amilopektin

(Rimbawan dan Siagian, 2004), daya cerna pati, kadar lemak dan protein, dan

cara pengolahan (Ragnhild et al., 2004).

23

Page 24: 4. isi

1. Serat Pangan

Serat pangan merupakan komponen utama penyusun dinding sel

tanaman seperti pada buah-buahan, sayuran, serealia, dan aneka umbi.

Komponen serat pangan meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna,

seperti selulosa, hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum, dan waxes

(Astawan dan Wresdiyati, 2004). Peran serat pangan dalam membantu

menurunkan nilai indeks glikemik diduga berkaitan dengan fungsi fisiologis

dari komponen-komponennya. Komponen serat pangan dapat

dikelompokkan menjadi serat larut dan tidak larut, atau terfermentasi dan

tidak terfermentasi (Muchtadi, 2001).

Fungsi serat pangan larut terutama adalah memperlambat pencernaan

di dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, dan memperlambat

laju peningkatan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk

mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan mengubahnya menjadi

energi semakin sedikit (Guevarra dan Panlasigui, 2000)

2. Kadar Amilosa dan Amilopektin

Granula pati terdiri atas dua fraksi, yakni amilosa dan amilopektin.

Amilosa disebut sebagai fraksi terlarut, sedangkan amilopektin sebagai

fraksi tidak larut. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menyebabkan

pencernaan menjadi lebih lambat karena amilosa merupakan polimer

glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang (struktur lebih kristal

dengan ikatan hidrogen yang lebih ekstensif) (Behall dan Hallfrisch, 2002;

Meyer,1973)

24

Page 25: 4. isi

Amilosa mempunyai ikatan hidrogen yang lebih kuat dibandingkan

dengan amilopektin, sehingga lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim

pencernaan. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat

lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna

(Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, amilosa mudah bergabung dan

mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit

untuk dicerna (Behall dan Hallfrisch, 2002; Meyer,1973)

3. Daya Cerna Pati

Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk

dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana

. Proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik

dan faktor ekstrinsik (Mercier dan Colonna 1988).

Faktor intrinsik menyebabkan pati dicerna pada usus halus. Faktor

intrinsik berkaitan erat dengan sifat alami pati, seperti ukuran granula,

keberadaannya pada matrik pangan, serta jumlah dan ukuran pori pada

permukaan pati. Ukuran granula pati berkaitan dengan luas penampang

permukaan totalnya. Semakin kecil ukuran granula pati, semakin besar luas

permukaan total granula pati tersebut. Luas permukaan yang lebih besar

akan mengakibatkan enzim pemecah pati memiliki area yang lebih luas

untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa. Faktor ekstrinsik yang

memengaruhi pencernaan pati antara lain adalah lamanya waktu pencernaan

dalam lambung (transit time), aktivitas amilase pada usus, jumlah pati, dan

keberadaan komponen pangan lainnyaseperti zat antigizi. Faktor-faktor

25

Page 26: 4. isi

ekstrinsik tersebut saling berinteraksi sangat kompleks (Tharanthan dan

Mahadevamma 2003).

4. Kadar lemak dan protein

Pangan dengan kadar lemak yang tinggi cenderung memperlambat

laju pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan makanan pada usus

halus juga lambat. Sementara itu, kadar protein yang tinggi diduga

merangsang sekresi insulin sehingga glukosa dalam darah tidak berlebih dan

terkendali. Oleh karena itu, pangan dengan kandungan lemak dan protein

tinggi cenderung memiliki indeks glikemik lebih rendah dibandingkan

dengan pangan sejenis yang berkadar lemak dan protein rendah (Jenkins et

al,. 1981; Rimbawan dan Siagian, 2004).

5. Cara Pengolahan

Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu

produk pangan adalah cara pengolahan, seperti pemanasan (pengukusan,

perebusan, penggorengan) dan penggilingan (penepungan) untuk

memperkecil ukuran partikel. Pangan dengan jenis yang sama pun dapat

memiliki indeks glikemik berbeda bila diolah atau dimasak dengan cara

yang berbeda. Proses pengolahan dapat menyebabkan nilai indeks glikemik

pangan meningkat karena melalui proses pengolahan struktur pangan

menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan

kadar glukosa darah meningkat dengan cepat (Rimbawan dan Siagian,

2004).

26

Page 27: 4. isi

Tingkat gelatinisasi mempengaruhi nilai indeks glikemik karena

proses gelatinisasi pati dapat menyebabkan granula pati mengembang.

Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah

dicerna karena enzim pencernaan di usus mendapat permukaan yang lebih

luas untuk dapat kontak dengan molekul pati (Jenkins et al., 2002)

G. Pati

Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan yang biasanya

ditemukan dalam biji-bijian dan umbi-umbian. Pati adalah bentuk penting

polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam

kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al., 2006).

Pati tersusun dari dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa dan

amilopektin. Amilosa merupakan polimer berantai lurus yang mengandung

sekitar 99% ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin terdiri dari

struktur dengan rantai bercabang tersusun atas sekitar 95% ikatan α-(1,4)-D-

glukosa dan 5% α-(1,6)-D-glukosa (Sajilata et al., 2006). Amilosa sangat

berperan pada saat proses gelatinisasi. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi

mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai

lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang besar

untuk gelatinisasi (Okoniewska et al., 2007). Perbandingan struktur antara

amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2.

27

Page 28: 4. isi

Gambar 2.2. Struktur amilosa (Cui, 2005)

Gambar 2.3. Struktur amilopektin (Cui, 2005)

Amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan struktur yang

menyebabkan perbedaan ketahanan terhadap enzim pencernaan. Rantai

bercabang dari amilopektin mempunyai sifat yang mudah sekali didegradasi

oleh enzim-enzim pencernaan, sedangkan amilosa tidak mudah didegradasi

oleh enzim pencernaan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

1. Pati Resisten

Pati dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat daya

cerna dari pati, yaitu pati yang dapat dicerna dan pati yang tidak bisa

dicerna (pati resisten). Pati yang dapat dicerna terbagi dua menjadi pati yang

dicerna secara cepat dan pati yang dicerna secara lambat. Pati yang cepat

dicerna adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim

28

Page 29: 4. isi

amilase sedangkan pati yang lambat dicerna dihidrolisis secara lambat oleh

enzim amilase (Sajilata et al., 2006).

Pati resisten adalah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat

diserap oleh usus halus manusia yang sehat (Perez et al., 2005). Pati resisten

memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering direkomendasikan

penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya.

Pati resisten terbagi menjadi empat tipe. Pati resisten tipe I adalah

jenis pati yang secara fisik terperangkap dalam matriks sel, seperti pada

jenis biji-bijian. Pati resisten tipe II adalah pati yang secara alami tahan

terhadap enzim pencernaan amilase, biasanya ditemukan pada jenis

makanan mentah seperti pisang mentah dan kentang mentah. Pati resisten

tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan

dengan suhu tinggi dan dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu

rendah. Pada pembentukan Pati resisten tipe III, pati mengalami gelatinisasi.

Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada saat bahan makanan dipanaskan

diatas suhu gelatinisasinya. Suhu gelatinisasi dari kentang adalah 58-650C

(Swinkles, 1985) sedangkan suhu gelatinisasi dari talas Bogor adalah 80,60C

(Acevado et al., 2011). Gelatinisasi membuat molekul pati dapat

sepenuhnya dicerna. Jika pati yang telah tergelatinisasi itu didinginkan

maka molekul-molekul amilosa dari pati akan berikatan kembali satu sama

lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir luar granula

pati. Proses pembentukan struktur kembali pati yang telah mengalami

gelatinisasi tersebut disebut retrogradasi. Struktur ini biasanya sangat stabil,

29

Page 30: 4. isi

tahan terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase. Pati

resisten tipe IV merupakan jenis pati resisten yang terbentuk akibat

modifikasi secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi yang akan

mempengaruhi aksi dari enzim amilase (Gonzales et al., 2004).

Pati resisten tipe III merupakan tipe pati yang paling sering digunakan

sebagai bahan baku pangan dari keempat pati resisten yang ada hal ini

disebabkan karena pati resisten tipe ini dapat mempertahankan karakteristik

organoleptik suatu makanan dan relatif tahan panas sehingga dapat

mempertahankan sifatnya selama proses pengolahan pangan (Lehmann et

al., 2002). Kadar pati resisten pada beberapa jenis makanan dapat dilihat

pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Kadar pati resisten dalam beberapa jenis makanan (g/100 makanan )

Jenis makanan Kadar pati resisten (g)Kentang rebus 1,3Kentang panggang 1,0Kentang goreng 2,8Kentang rebus* 3,2Kentang kukus* 5,8Pisang 4,0Ubi jalar ungu kukus 1,13Ubi jalar kuning kukus 1,41Talas kukusNasi putih

3,760,97

* Didinginkan selama 24 jam pada suhu 40C

(Murphy et al., 2008; Chen et al., 2010, Lie et al., 2010)

2. Pengaruh pati resisten terhadap kadar glukosa darah

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pati resisten memiliki nilai

fungsional bagi penderita diabetes terutama terkait dengan kemampuannya

untuk membantu menurunkan level gula darah setelah makan dan

30

Page 31: 4. isi

meningkatkan sensitivitas insulin. Makanan yang banyak mengandung pati

resisten akan lebih lama dicerna sehingga berimplikasi pada penurunan

glukosa darah postprandial, menurunkan respon insulin dan memberikan

rasa kenyang lebih lama (Li et al., 2010; Hasjim et al., 2010).

Efek pati resisten terhadap glukosa darah dapat dijelaskan melalui tiga

mekanisme yaitu penghambatan aktivitas enzim α-amilase yang fungsinya

mengubah pati menjadi glukosa di usus halus, meningkatkan visikositas di

usus halus sehingga menghambat penyerapan glukosa dan peningkatan

produksi asam lemak rantai pendek yaitu asam lemak propianat yang

dihasilkan oleh bakteri anaerob di usus besar (Ou et al., 2001). Asam lemak

rantai pendek jenis propionat dapat menghambat glukoneogenesis melalui

konversi HMG CoA (3 hidroksi 3 metil glutarit koenzim A) mejadi

metilmalonil CoA dan suksinil CoA serta mereduksi asam lemak bebas

tingkat plasma. Asam lemak bebas yang tinggi dapat menurunkan utilisasi

glukosa dan menyebabkan resistensi insulin di jaringan adiposa. Kerja dari

propionat tersebut mengakibatkan peningkatan seksresi insulin dan

sensitivitas insulin di jaringan adiposa (Todesco et al., 1991).

31

Page 32: 4. isi

H. Kerangka teori penelitian

Kerangka teori penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian

32

Asupan Karbohidrat

Pati

Pati resisten Pati yang dapat dicerna

Pati yang cepat dicerna

Pati yang lambat dicerna

Penurunan absorbsi glukosa di usus halus

Penurunan glukosa darah postprandial

aktivitas enzim α-amilase di usus halus

viskositas di usus halus

Produksi asam lemak propionat

(-)

(+)

(+)

Mengalami absorbsi dalam bentuk glukosa di usus halus

Serat Pangan Kadar Amilosa dan amilopektin Daya cerna pati Kadar Lemak dan protein Cara Pengolahaan

(+)

Page 33: 4. isi

I. Kerangka Konsep penelitian

Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian

J. Hipotesis

H1: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang

mengonsumsi kentang rebus (Solanum tuberosum L.) lebih rendah

daripada kelompok yang mengonsumsi nasi putih.

H2: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang

mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih

rendah daripada kelompok yang mengonsumsi nasi putih.

H3: Peningkatan kadar glukosa darah postprandial antara kelompok yang

mengonsumsi talas Bogor kukus (Colocasia esculenta L. Schoot) lebih

rendah daripada kelompok yang mengonsumsi kentang rebus (Solanum

tuberosum L.).

33

Kelompok III (Perlakuan II ): Konsumsi talas Bogor kukus

Kelompok II (Perlakuan I ): Konsumsi kentang

Peningkatan kadar glukosa darah postprandial

Proses pemasakan dengan cara direbus dan dikukus

Page 34: 4. isi

BAB 3

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis studi eksperimental dengan desain

pararel dengan 2 kelompok; kelompok yang pertama disebut kelompok

eksperimental atau kelompok perlakuan, sedangkan kelompok lainnya disebut

kelompok kontrol (Sastroasmoro, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di lingkungan sekitar Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Bengkulu.

2. Waktu Penelitian

Pengumpulan data akan dilakukan pada bulan Mei 2015.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu. Pengambilan sampel penelitian

menggunakan teknik consecutive sampling.

34

Page 35: 4. isi

Perkiraan besar sampel minimum:

Perhitungan besar sampel menggunakan rumus data kontinu independen

sebagai berikut (Wahyuni, 2007) :

Dimana :

n : besar sampel minimum

Z1-α/2 : nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu.

Z1-β : nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu.

σ2 : harga varians di populasi (literatur)

μ0-μa : perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di populasi

Berdasarkan literatur diketahui varian kenaikan glukosa darah postprandial

pada kelompok kontrol 4,51 dengan mean kelompok perlakuan 131,67 dan

mean grup kontrol 125 (Raguparan et al., 2008)

n=2 (4,51 )2 (1,960+1,282 )2

¿¿= 9,6 ≈ 10

Jadi, sampel minimal dalam satu kelompok adalah 10 orang dengan total

sampel minimal adalah 30 orang. Tingkat kepercayaan yang diinginkan

sebesar 95% dan tingkat kemaknaan 0,05. Nilai power yang digunakan

sebesar 90%.

35

Page 36: 4. isi

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Mahasiswa FKIK Universitas Bengkulu (laki-laki dan perempuan)

berusia 18-35 tahun

b. Memiliki indeks masa tubuh normal 18,5kg/m2 -25,0 kg/m2 .

c. Kadar glukosa darah puasa dalam batas normal <90 mg/dl.

d. Memiliki pola aktivitas fisik yang ringan (≤ 4 METS).

e. Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan

penelitian.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Mengalami penyakit diabetes melitus (PERKENI, 2011).

b. Mengalami penyakit metabolik yang dapat mempengaruhi kadar glukosa

darah seperti cushing syndrome, addison disease, akromegali,

insufisiensi adrenokorteks sekunder.

c. Mengalami sirosis hati, kanker hati, hemofilia, adenokarsinoma duktus

pankreas, dan karsinoma bronkus sel kecil.

d. Menggunakan obat-obatan seperti insulin, obat antidiabetik oral, obat

hiperglikemia dan kontrasepsi oral.

e. Mempunyai riwayat gangguan pencernaan setelah mengonsumsi talas

atau kentang.

36

Page 37: 4. isi

3. Kriteria pengeluaran

Kriteria pengeluaran dalam penelitian ini adalah:

a. Subjek menolak melanjutkan penelitian.

b. Subjek tidak mengikuti prosedur penelitian dan tidak menjalani

pemeriksaan secara lengkap.

c. Subjek mengalami sakit berat selama periode penelitian.

E. Instrumen Pengumpulan Data

1. Alat dan Bahan

a. Jarum lancet

b. Glucometer (Accu-chek Active® Alat monitor gula darah dengan

sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%) yang telah dikalibrasi

c. Alkohol 70%, kapas, dan sarung tangan

d. Timbangan makanan digital BEL dengan ketelitian 0,1 mg

e. Timbangan Camry dengan ketelitian 0,1 kg

f. Stadiometer dalam cm

g. Nasi putih sebagai kontrol

h. Kentang rebus

i. Talas Bogor kukus

2. Spesimen

Darah perifer jari tangan sebanyak 1 µl

F. Cara Kerja

Setelah mendapat persetujuan penelitian dari bagian kemahasiswaan

FKIK Universitas Bengkulu, dilakukan pengumpulan data. Subjek dipilih

37

Page 38: 4. isi

dengan cara conseutive sampling pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

1. Pelaksanaan pra- penelitian

Mahasiswa FKIK Unib yang bersedia menjadi subjek penelitian

mengisi dan menandatangani lembar persetujuan (lampiran 1) yang akan

dikembalikan pada peneliti sebagai bukti turut serta dalam penelitian,

kemudian dilakukan seleksi subjek dengan memperhatikan kriteria

penelitian berupa indeks masa tubuh (subjek penelitian menggunakan

pakaian lengkap tanpa alas kaki), aktivitas fisik, riwayat kesehatan, terapi

obat, dan kadar glukosa darah puasa yang akan dicatat (lampiran 2).

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak diperbolehkan melakukan

aktivitas yang berat satu hari sebelum hari pengambilan data sampai

pengambilan data selesai.

2. Periode run in

Pada sampel penelitian yang terpilih akan diminta untuk berpuasa

selama 10 -12 jam. Selama puasa subjek hanya diperbolehkan minum air

putih.

3. Pelaksanaan penelitian

a. Pengolahan makanan

1) Pengolahan kentang

Kentang didapatkan dari petani lokal di desa Sumber Urip

Kabupaten Rejang Lebong. Kentang dicuci bersih dan dikupas

38

Page 39: 4. isi

kulitnya lalu direbus selama 15 menit dan didinginkan dalam suhu

ruang selama satu jam.

2) Pengolahan talas Bogor

Talas Bogor didapatkan di Desa Tangsi Baru Kabupaten

Kepahiang. Talas Bogor dicuci bersih dan dikupas kulitnya lalu

dipotong menjadi beberapa bagian kemudian direndam dengan air

garam selama 30 menit dan dicuci kembali setelahnya. Talas Bogor

akan dikukus selama 15 menit dan didinginkan dalam suhu ruang

selama satu jam.

3) Pengolahan nasi putih

Beras putih mengandung 77 gram karbohidrat per 100 gram

berat beras. Beras ini diproduksi oleh PT. Subur Jaya Indonesia.

Setiap hari saat penelitian akan dimasak sebanyak 200 gram beras

yang ditambahkan 240 ml air. Beras akan dimasak dengan

menggunakan rice cooker dan disajikan pada subjek penelitian dalam

keadaan masih panas.

b. Pengambilan data kadar glukosa darah

Pengambilan data untuk kadar glukosa darah akan dilakukan

selama satu minggu yang setiap harinya akan diambil sampel dengan

jumlah yang sama pada masing-masing kelompok. Pengukuran kadar

glukosa darah akan dilakukan secara duplo menggunakan glucometer

(Accu-chek Active® Alat monitor gula darah) yang telah dikalibrasi.

Subjek penelitian akan dibagi menjadi tiga kelompok dengan cara

39

Page 40: 4. isi

pengambilan nomor undian. Kelompok pertama mengonsumsi nasi putih,

kelompok kedua mengonsumsi kentang rebus, kelompok ketiga

mengonsumsi talas Bogor kukus.

Makanan yang diberikan peneliti harus habis dalam waktu sepuluh

menit. Setelah mengonsumsi makanan dari peneliti, subjek penelitian

tidak diizinkan beraktivitas berat. Tiga puluh menit kemudian dilakukan

pengukuran kembali untuk mengetahui kadar glukosa darah postprandial

pada masing-masing subjek sebanyak dua kali (duplo) sehingga

didapatkan variasi data untuk kemudian ditentukan rata-rata.

G. Prosedur Pengambilan Data

1. Wawancara

Wawancara dilakukan oleh peneliti. Wawancara dilakukan untuk

mendapatkan subjek penelitian yang memenuhi kriteria. Dari wawancara

diperoleh pula data mengenai data dasar yaitu riwayat penyakit, aktivitas

fisik dan pemakaian obat yang akan dicatat pada lampiran 2.

2. Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Definisi : indeks masa tubuh sampel

Cara ukur : pengukuran berat badan dan tinggi badan sampel

Alat ukur : rumus IMT

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2014) cara

menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus:

IMT = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m2)

40

Page 41: 4. isi

Hasil ukur : lembar pemeriksaan antropometri

Tabel 3.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT IndonesiaKategori IMT (Kg/m2)

Kurus sekali < 17,0Kurus 17,0 – 18,4Normal 18,5-25,0Gemuk 25,1– 27,0Gemuk sekali >27

(Departemen Kesehatan RI, 2003)

3. Penilaian Aktivitas Fisik

Penilaian aktivitas fisik berdasarkan kriteria Metabolic Equivalents

(METS). METS menggambarkan metabolisme basal seseorang yaitu 3,5

mL O2/Kg/menit. Jenis aktivitas fisik berdasarkan kriteria METS dapat

dilihat pada Tabel 3.2:

Tabel 3.2. Jenis Aktivitas fisik berdasarkan kriteria METS No Jenis Contoh1 Ringan (≤ 4 METS) Makan, berpakaian, bekerja dengan

computer, memasak, jalan menuruni tangga, berkebun

2 Sedang (5‒8 METS) Menari, bermain tenis tunggal, bermain golf, bersepeda santai, menaiki tangga dengan cepat, jogging

3 Berat (> 8 METS) Berenang dengan cepat, aerobik, berlari dengan cepat dan jauh, bermain basket 1 lapangan penuh, lompat tali, berlari

(Jette et al., 2009).

4. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan postprandial

Metode pemeriksaan menggunakan metode finger prick, dimana darah

perifer di ujung jari tangan subjek akan diambil menggunakan lancet dan

akan diukur mengunakan glucometer (Accu-chek Active® Alat monitor gula

darah) untuk mengetahui kadar glukosa darahnya. Pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa dan postprandial masing masing dilakukan sebanyak

41

Page 42: 4. isi

dua kali menggunakan dua glucometer Accu-chek Active. Pemeriksaan

menggunakan dua glucometer ini dilakukan secara bersamaan.

H. Identifikasi variabel penelitian

Variabel terikat : Peningkatan kadar glukosa darah postprandial

Variabel bebas : konsumsi nasi putih, kentang rebus dan talas kukus, proses

pemasakan dengan cara direbus dan dikukus.

I. Definisi OperasionalVariabel Definisi operasional Cara ukur Alat

ukurHasil ukur

Skala ukur

Pekerjaan Mahasiswa FKIK UNIB

Wawancara - - Katagorik

Usia Mahasiswa FKIK UNIB yang berusia 18-35 tahun

Wawancara - - Numerik

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Mahasiswa FKIK UNIB dengan IMT 18,5 kg/m2 – 25,0 kg/m2

Menghitung tinggi badan subjek penelitian dengan stadiometer dan, mengukur berat badan subjek penelitian dengan timbangan Camry. Kemudian dihitung IMTnya dengan menggunakan rumus.

Stadiometer dan Timbangan Camry

- Numerik

Asupan nasi putih

Yang dimaksud dengan nasi putih dalam penelitian ini adalah beras yang telah direbus menjadi nasi putih yang mengandung 40 gram karbohidrat

Mencari jumlah nasi putih yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan

Hasil perhitungandan timbangan makanan

51,9 gram

Numerik

42

Page 43: 4. isi

Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur

Hasil ukur

Skala ukur

Asupan kentang

Yang dimaksud dengan kentang dalam penelitian ini adalah kentang yang direbus selama 15 menit kemudian didinginkan dalam suhu ruang selama 1 jam yang mengandung 40 gram karbohidrat

Mencari jumlah kentang yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan

Hasil perhitungan dan timbangan makanan

198,7 gram

Numerik

Asupan talas

Yang dimaksud dengan talas bogor yang dikukus selama 15 menit kemudia didinginkan dalam suhu ruang selama 1 jam yang mengandung 40 gram karbohidrat

Mencari jumlah kentang yang mengandung 40 gram karbohidratlalu menimbangnya dengan timbangan makanan

Hasil perhitungan dan timbangan makanan

141,8 Numerik

Kadar glukosa darah posprandial

Yang dimaksud dengan kadar glukosa darah postprandial adalah kadar glukosa darah yang dihitung 30 menit setelah mengonsumi makanan

Menggunakan alat ukur glucometer

Glucometer(Accu-chek Active®)

.... mg/dL

Numerik

43

Page 44: 4. isi

J. Pengolahan, Analisis, Interpretasi, dan Penyajian Data

1. Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah menggunakan

software Statistical Program for Social Science (SPSS) for windows version

16 dan Microsoft excel 2010.

2. Analisis dan interpretasi data

Uji statistik yang akan digunakan menurut Dahlan (2012) adalah:

a. Untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak, peneliti menggunakan

uji Shapiro-Wilk. Data yang memiliki sebaran normal, jika nilai p > 0,05.

Bila distribusi normal, digunakan rerata dan simpang baku, bila distribusi

tidak normal, digunakan nilai median dan rentang maksimum-minumum.

b. Untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah postprandial pada

ketiga kelompok dilakukan uji one way ANOVA, jika tidak normal maka

digunakan Kruskal-Wallis.

c. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 5% yang artinya ketentuan

bermakna jika nilai p < 0,05 dan tidak bermakna apabila nilai p ≥ 0.05.

d. Untuk membandingkan perbedaan kadar glukosa darah postprandial pada

setiap kelompok maka dilakukan uji Post Hoc LSD.

e. Bermakna jika nilai p< 0,05 dan tidak bermakna apabila nilai p ≥ 0.05.

3. Penyajian data

Data disajikan dalam bentuk teks, tabular, dan grafik.

44

Page 45: 4. isi

K. Jadwal Kegiatan Penelitian

Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian

NO Kegiatan2015

Januari Februari Maret April Mei juni juli1 Studi

pendahuluan

2 Pengajuan judul

3 Penyusunan proposal penelitian

4 Persiapan alat dan bahan

5 Pengumpulan data

6 Analisis data dan pembahasan

7 Konsultasi laporan penelitian

8 Pelaporan hasil penelitian

45

Page 46: 4. isi

L. Alur penelitian

Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur Penelitian

46

Subjek puasa 10-12 jam

Tes glukosa darah puasa

dilakukan dua

Kelompok I (kontrol)

Kelompok I (perlakuan I )

Kelompok III (perlakuan II)

Pemberian nasi putih

Pemberian kentang rebus

Pemberian talas Bogor kukus

Tes glukosa darah postprandial

Tes glukosa darah postprandial

Tes glukosa darah postprandial

Setelah 30 menit

Hasil

Analisis

Kesimpulan

Dilakukan Duplo

Page 47: 4. isi

M. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, tentu memerlukan subjek sebagai bahan

penelitian. Mengingat subjek yang akan digunakan adalah manusia, maka

peneliti akan menggunakan etika yang mengatur akan prinsip-prinsip etis

dalam melakukan riset, yaitu sebagai berikut:

1. Subjek penelitian telah diberi penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan

manfaat penelitian.

2. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian diminta untuk

menandatangani informed consent dan identitas subjek penelitian akan

dirahasiakan.

3. Subjek berhak menolak untuk diikutsertakan tanpa ada konsekuensi

apapun

4. Subjek berhak untuk keluar dari penelitian dengan alasan untuk

kepentingan subjek.

5. Segala biaya yang berhubungan dengan penelitian ini menjadi tanggung

jawab peneliti.

6. Bila terjadi efek samping yang tidak diharapkan mengenai keadaan subjek

penelitian, seperti alergi, perdarahan yang berlebihan, pingsan setelah

pengambilan darah akan menjadi tanggung jawab peneliti.

47