3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

13

description

a

Transcript of 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

Page 1: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar
Page 2: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

URNA, Jurnal Seni Rupa merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Pen-didikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. URNA berisikan artikel konsep-tual, resume penelitian, dan tinjauan buku. Bertujuan untuk mengembangkan dan mengomunikasikan secara luas perkembangan seni rupa dan pendidikan seni rupa baik yang sifatnya teoretis maupun pragmatis. Terbit dua kali setahun, tiap bulan Juni dan Desember.

Penanggung Jawab : Eko A.B. Oemar

Ketua Penyunting : I Nyoman Lodra

Wakil Ketua Penyunting : Asy Syams Elya Ahmad

Penyunting Ahli : Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya) Martadi (Universitas Negeri Surabaya) Sofyan Salam (Universitas Negeri Makassar) Tjetjep Rohendi Rohidi (Universitas Negeri Semarang)

Penyunting Pelaksana : Salamun Kaulam Asidigisianti Surya Patria Muhajir Nadhiputro Marsudi

Sekretaris : Nova Kristiana

Administrasi : Fera Ratyaningrum

Alamat Redaksi:Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri SurabayaGedung T3 Lt. 2, Kampus Lidah Wetan Surabaya 64732Telp/Fax. 031-7530865 | E-mail: [email protected]@gmail.com | Website: http://www.urna-jurnalsenirupa.org

ISSN 2301–8135© 2012 Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya

Gambar sampul depan: Wajah. Lukisan karya Salamun Kaulam (2007).

Page 3: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

ISSN 2301–8135

Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105

d a f t a r i s i

Artikel:

PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS DALAMPEMBELAJARAN SENI BUDAYA

Martadi (Universitas Negeri Surabaya)

PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN PRAKTIK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

I Nyoman Lodra (Universitas Negeri Surabaya)

NILAI ESTETIKA DALAM KOMODIFIKASI WADAHDI MASYARAKAT HINDU BALI

I Ketut Side Arsa (Institut Seni Indonesia Denpasar)

PROSES APRESIASI DAN KREASIDALAM TRITUNGGAL SENI

M. Sattar (Universitas Negeri Surabaya)

PENGGUNAAN UNSUR-UNSUR BUDAYA BALIDALAM BOG-BOG BALI CARTOON MAGAZINE

I Wayan Swandi (Institut Seni Indonesia Denpasar)

CITRA WANITA DALAM KARYA SENI RUPAMuhajir Nadhiputro (Universitas Negeri Surabaya)

MAKNA SIMBOLIS RAGAM HIASPENDAPA TERAS CANDI PANATARAN

Rustarmadi (Universitas Negeri Surabaya)

1

11

21

30

42

50

63

Page 4: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

ISSN 2301–8135

Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 1–105

Resume Penelitian:

PERSEPSI GENDER GAMBAR ILUSTRASIDALAM BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK

PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIALSEKOLAH DASAR KELAS I – III

Asidigisianti Surya Patria (Universitas Negeri Surabaya)

PENGEMBANGAN MEDIA DIGITALKRIYA TOPENG MALANG UNTUK PEMBELAJARAN

SENI BUDAYA SEKOLAH MENENGAH PERTAMAMarsudi (Universitas Negeri Surabaya)

Tinjauan Buku:

BUKU PENTING DI TENGAHDUNIA SENI RUPA YANG GENTING

Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya)

76

89

101

Page 5: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

NILAI ESTETIKA DALAM KOMODIFIKASI WADAH DI MASYARAKAT HINDU BALI

I Ketut Sida Arsa

Abstrak: Persinggungan globalisasi dengan budaya lokal melahirkan kebu-dayaan baru dengan unsur-unsur estetik dikemas menjadi serba instan dan mendatangkan keuntungan dengan cepat, tidak peduli dengan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. Estetika dipandang tidak lebih dari hasil suatu proses lo-gis sesuai kebutuhan dan teknik operasional, di antaranya adalah wadah. Wadah dipandang hanya sebagai ekspresi logika dan rasionalitas fungsi, dengan ben-tuk “estetika komoditi”. Ekspresi estetis dalam pembuatannya hanya sebagai pelengkap semata. Proses komodifikasi wadah telah melahirkan sebuah prinsip estetika yang homogen.

Abstract: Global intersection with local culture has delivered new culture with aestheti-cal elements wrapped into instant with quick profit. It does not consider valuing which sticks with it. Aesthetic is considered not more than a logical process according to needs and operational technique, one of the cultural products is wadah. Wadah is only consid-ered as logical expression and function rationality in the shape of commodity aesthetics. Aesthetic expression of the making is only as a compilation. The comodification process of wadah has delivered a homogeny aesthetic principal.

Kata kunci: nilai estetika, komodifikasi, wadah

Sejak beberapa dasawarsa terakhir globalisasi menjadi wacana yang sangat intens. Globalisasi sering dipersepsikan orang dengan perkembangan di segala bidang. Ruang dan waktu sudah tidak menjadi hambatan besar bagi umat manusia untuk bisa berkomunikasi. Mobilitas manusia semakin tinggi, pertukaran kebu-dayaan berlangsung intens. Gejalanya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga wajar bila sebagian kalangan menganggap globalisasi merupakan kenis-cayaan sejarah.

Menurut Piliang (2004: 19) globalisasi merupakan suatu proses terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam sebuah sistem dunia tunggal. Globa-lisasi mengarah kepada pembentukan monokulturalisme, karena arus globalisasi

I Ketut Sida Arsa adalah Staf Pengajar pada Program Studi Kriya Seni, Institut Seni Indonesia Denpasar. e-mail: [email protected]

21

Page 6: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

dapat menghancurkan kehidupan nilai-nilai kebudayaan tradisional. Dengan han-curnya kehidupan budaya tradisional, suatu masyarakat akan kehilangan tempat untuk berpijak sehingga sangat mudah digilas oleh arus globalisasi.

Masuknya arus globalisasi ke Bali membawa dampak yang sangat besar terh-adap perkembangan budaya masyarakat Bali. Globalisasi mengakibatkan terjadinya suatu proses pembauran kebudayaan yang mendatangkan nilai positif dan negatif. Di satu sisi globalisasi dapat memperkaya budaya dalam suatu daerah, namun di sisi lain globalisasi juga dapat menghancurkan kebudayaan dan menimbulkan suatu masalah kependudukan yang sangat kompleks (Sztompka, 2007: 101–108). Pengaruh globalisasi yang sangat pesat membuat Bali mengalami erosi atau pal-ing tidak terjadi perubahan pada nilai-nilai kulturalnya. Salah satunya terlihat dari upacara pembakaran mayat (ngaben) yang sarat dengan aroma komersial. Seakan-akan demi uang, nilai budaya dan tatanan nilai kemasyarakatan menjadi luntur dan berubah keasliannya (Stoddart dalam Putra, 2008: 13). Masuknya pengaruh globalisasi membuat masyarakat Bali yang humanis dan religius bergeser ke arah yang lebih individual dan mengarah pada pola hidup yang konsumtif. Budaya masyarakat yang mengarah ke pola hidup konsumtif menyebabkan Bali bisa di-ibaratkan sebagai sebuat perahu yang sudah compang-camping dan penuh sesak dengan muatan. Kebutuhan akan materi telah membuat masyarakat Bali berkom-petisi untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Mereka tidak peduli lagi dengan lingkungan di sekeliling, apakah hal yang mereka lakukan bertentangan dengan etika kesopanan ataupun tidak, karena hal itu sudah tidak terlalu dipedu-likan lagi.

Di tengah-tengah himpitan persoalan yang sangat kompleks tersebut kehidu-pan masyarakat Hindu Bali di Kelurahan Kesiman nampak mengalami pergeseran bentuk dan nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya. Hal itu tercermin pada budaya masyarakatnya yang sudah mulai bersifat individualisme. Pergese-ran pola pikir yang dialami masyarakat di Kelurahan Kesiman berdampak pada kehidupan budaya masyarakatnya. Di mana pengaruh global yang menuntut se-galanya serba cepat dan mudah memaksa sebagian besar masyarakat di Kelurahan Kesiman untuk sedikit demi sedikit mulai merubah tatanan nilai dan tradisi yang telah mereka warisi secara turun-temurun. Tiap individu berupaya untuk mem-bangun sesuatu yang bisa dikembangkan dan dijadikan suatu komoditas untuk di-jual guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal-hal yang dijadikan komoditas tidak hanya terbatas pada kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan sudah sampai pada hal-hal yang bersifat ritual, seperti tempat usungan jenasah atau yang sering dis-ebut bade/wadah. Dalam hal ini berarti wadah telah mengalami proses komodifikasi. Komodifikasi wadah di Kelurahan Kesiman adalah suatu proses menjadikan wadah sebagai sebuah komoditi, di mana sebelumnya wadah bukanlah sebuah komoditi. Dalam proses komodifikasi bentuk wadah mengalami beberapa modifikasi, baik dari bentuk maupun media yang digunakan, sehingga melahirkan suatu nilai-nilai

22 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 21–29

Page 7: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

estetika baru. Proses komodifikasi membawa peralihan yang sangat besar terha-dap persoalan seni dan budaya Bali secara umum, yang menciptakan kecenderu-ngan homogenisasi estetik. Hal tersebut nampak pada bentuk estetik wadah hasil proses komodifikasi. Komodifikasi melahirkan budaya massa, sehingga muncul masyarakat konsumen yang pada akhirnya melahirkan budaya populer.

ARTI DAN MAKNA WADAH BAGI MASYARAKAT HINDU BALIKata wadah pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Bali. Wadah

merupakan salah satu sarana yang dipakai umat Hindu di Bali sebagai tempat usungan jenasah waktu upacara ngaben. Menurut Wiana (2004: 73) wadah juga di sebut dengan bade, kata bade berasal dari kata wadah karena huruf p, b, dan w adalah satu warga yaitu sama-sama Aksara Labial. Dengan demikian istilah wadah dapat berubah menjadi kata badah. Dari kata badah menjadi kata bada yang artinya juga tempat, dari kata bada inilah menjadi bade.

Menurut jenisnya wadah dapat dibagi berdasarkan bentuk dan kelompok sosial yang menggunakan/klan orang yang diaben. Jenis wadah berdasarkan ben-tuknya ada empat jenis yaitu padma, bade, joli dan pepage. Sedangkan jenis wadah berdasarkan kelompok sosialnya ada empat yaitu; kelompok brahmana, ksatriya, waisya dan sudra. Wadah jenis padma bentuknya sangat mendekati bentuk padma capah yang dipakai sebagai tempat pemujaan yang disebut penyawangan. Hiasan terpenting pada wadah berbentuk padma ini adalah hiasan acitya. Hiasan ini dile-takkan pada bagian depan dari dinding belakang pada bagian atas dari wadah padma. Wadah berbentuk padma umumnya hanya dipakai oleh golongan yang sudah suci seperti Pandita/Sulinggih. Bentuk kedua adalah wadah atau bade, secara umum masyarakat hindu Bali membedakan antara wadah dan bade. Masyarakat umumnya menganggap bade adalah wadah yang menggunakan atap bertingkat, palih, dan kekarangan yang lengkap, ada yang bertingkat sebelas, sembilan, dan tujuh. Se-dangkan yang disebut wadah pada bagian atapnya tidak bertumpang. Pada badan-nya hanya menggunakan palih bebaturan (badannya hanya satu tingkat) atau meng-gunakan palih batur sari (badannya terdiri dari dua tingkat). Bentuk ketiga adalah joli berbentuk bale-balean saja yang sangat sederhana. Bentuk joli dapat digunakan oleh umat dengan tidak memandang tingkatan wangsa/golongan. Bentuk keempat disebut pepage, para ahli wadah mengatakan bentuk pepage ini merupakan bentuk sarana usungan jenasah yang paling tua di Bali (Wiana, 2004: 78–79).

Pembuatan wadah tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Wadah harus dibuat dengan pimpinan seorang tukang yang sudah bergelar undagi. Undagi adalah orang yang memiliki ketrampilan membuat bangunan (rumah manusia), juga da-pat membuat bangunan keagamaan termasuk wadah atau bade. Dalam masyarakat Hindu Bali diyakini bahwa orang yang menjadi seorang undagi bukanlah orang biasa melainkan orang yang merasa terpanggil secara rohani dan memiliki bakat bawaan untuk menjadi seorang undagi. Orang yang sudah merasa terpanggil

I KETUT SIDA ARSA, Nilai Estetika dalam Komodifikasi Wadah… • 23

Page 8: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

sangat sulit untuk menolak, jiwanya tidak akan merasa tenang kalau tidak dapat mengembangkan bakatnya sebagai undagi. Orang-orang yang sudah terpanggil secara rohani umumnya tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar dan latihan menjadi seorang undagi, dan begitu juga sebaliknya.

Wadah adalah lambang bhuwana agung, sebagai sarana perjuangan untuk membebaskan diri dari penderitaan menuju pembebasan dari ikatan kehidupan duniawi. Wadah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bebaturan atau gegunungan se-bagai simbol bhur loka/alam bawah berada pada bagian paling bawah, kemudian bale-balean sebagai lambang bhuwah loka/alam tengah, berada di tengah-tengah, dan tumpang atau atap wadah sebagai lambang swah loka/alam atas. Pada bagian belakang wadah diletakkan hiasan garuda untuk membangkitkan semangat rohani keluarga yang mengabenkan keluarganya agar bebas dari perbudakan ikatan duniawi. Sim-bol garuda tersebut adalah sarana untuk membangkitkan semangat keluarga yang masih hidup, bahwa seseorang akan mendapatkan kebebasan dari ikatan duniawi apabila dalam hidup selalu berjuang seperti garuda yang dapat membebaskan diri dari perbudakan para naga. Naga adalah lambang benda-benda duniawi yang da-pat memperbudak manusia dalam kehidupannya di dunia. Tujuan upacara ngaben secara umum adalah untuk membebaskan atman dari belenggu perbudakan dunia materi. Dunia materi dilambangkan dengan seribu naga yang terus berusaha mem-belenggu manusia agar menjadi budak materi (Wikarman, 1999).

Selain ada hiasan garuda di bagian belakang wadah juga terdapat hiasan bu-rung angsa yang berada di atas burung garuda. Hiasan tersebut memilki makna pendidikan spiritual karena angsa disimbolkan sebagai cerminan tingkah laku yang patut dijadikan sebagai panutan yang mampu membedakan baik dan buruk. Angsa pada wadah mengandung makna simbolis untuk memvisualisasikan bentuk pengetahuan yang selalu berpikir jernih (Wikarman, 1999). Dari simbol-simbol hiasan pada wadah dapat dikatakan bahwa wadah merupakan suatu lambang ke-hidupan alam dan sarana mencapai kehidupan yang lebih indah. Dalam hal ini bermakna sebagai suatu simbol untuk mengingatkan manusia agar dalam hidup-nya selalu memperindah alam ini karena alam ini adalah badan/raga Hyang Widhi Wasa. Hidup disimbolkan dengan wadah yang bermakna hasil perjuangan hidup untuk memperindah alam ini. Mati adalah lepasnya atman dari badan kasar meni-nggalkan bhuana agung menuju alam niskala. Betapapun indahnya bhuana agung pasti akan ditinggalkan oleh manusia saat mati. Wadah sebagai lambang bhuana agung yang diindahkan sebagai hasil manusia selama hidupnya. Saat mati keinda-han bhuana agung pasti kita tinggalkan, karena itu wadah yang dibuat indah, sampai di kuburan dibakar. Ini berarti betapapun perjuangan hidup yang dilakukan di dunia ini hendaknya diikhlaskan untuk ditinggalkan.

NILAI ESTETIKA WADAH DALAM PERSPEKTIF KAPITALISMasuknya pengaruh globalisasi ke Bali telah memberikan angin segar kepada

24 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 21–29

Page 9: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

para kapitalis, untuk merambah dan memanfaatkan budaya Bali sebagai sebuah komoditas (Muriawan, 2008). Di mana unsur estetik di dalam setiap kebudayaan dikemas menjadi sesuatu yang serba instan dan bisa mendatangkan keuntungan. Semua ingin disajikan serba cepat, tidak peduli dengan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. Karena estetika dipandang tak lebih dari hasil suatu proses logis, dalam hal ini kebutuhan dan teknik-teknik operasional dipadukan sehingga menghasil-kan sebuah bentuk karya akhir. Seni dalam hal ini tidak lagi menjadi perjuangan sosial melainkan menjadi arena perjuangan kapital.

Wadah merupakan salah satu hasil budaya yang menjadi incaran kapitalis lokal, karena wadah dilihat sebagai sebuah objek yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sebuah komoditas. Wadah dipandang para kapitalis sebagai sebuah lahan yang siap digarap dan memiliki nilai kapital. Konsep komoditas oleh Marx pada prinsipnya merupakan upaya analisis untuk membedakan penyesuaian produksi antara masyarakat tradisional dan modern. Ia membuat distingsi antara produksi dan komoditas. Produksi adalah sesuatu untuk dimanfaatkan langsung bagi pembuatnya sendiri, sedangkan komoditas adalah produksi yang semata-mata untuk dijual di pasar.

Di dalam wadah terkandung berbagai macam simbol, indeks, dan nilai yang bisa dikemas menjadikan sebuah komoditas melalui proses komodifikasi. Dalam hal ini kapitalis memandang wadah hanya sebagai ekspresi logika dan rasionalitas fungsi saja. Sehingga wadah hanya dijadikan sebagai objek untuk meraih keuntu-ngan semata. Nilai estetika dan nilai religius yang terkandung di dalamnya tidak lagi menjadi sesuatu yang penting. Hal itu nampak dari wujud wadah yang dihasil-kan melalui proses komodifikasi, jika dicermati hampir semuanya memiliki bentuk yang sama, berarti telah terjadi suatu proses produksi massal di dalamnya. Proses inilah yang melahirkan suatu bentuk “estetika komoditi” yang dikendalikan oleh prinsip komersial dan kapitalisme, yang disebut oleh Adorno sebagai industri ke-budayaan (culture industry). Bentuk estetika yang dibangun dalam komodifikasi wadah yang terjadi di Kesiman semuanya berpatokan pada prinsip dasar komersial yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sehingga ekspresi estetis dalam pembuatannya tidaklah menjadi sesuatu yang utama, melainkan hanya sebagai pemanis saja. Wadah yang dikonstruksi sebagai sebuah komoditas sudah barang tentu akan melahirkan suatu bentuk estetika yang tidak ekspresif. Wadah diproduksi dengan pola yang telah ditentukan, sehinga ekspresi estetis di dalam pembuatannya menjadi sirna. Keindahan estetis wadah yang lahir dari proses ko-modifikasi tidak lagi menampilkan keindahan yang mampu memberikan pengala-man estetik saat dinikmati sebagai sebuah karya seni. Keindahan yang ditampilkan ibarat keindahan semu, karena semuanya merupakan suatu pengulangan saja.

Secara umum proses komodifikasi wadah menolak setiap bentuk kemajemu-kan estetika yang akan menambah biaya produksi, sehingga proses komodifikasi wadah secara berangsur-angsur akan menghasilkan sebuah prinsip estetika yang

I KETUT SIDA ARSA, Nilai Estetika dalam Komodifikasi Wadah… • 25

Page 10: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

homogen dan terstandarkan, baik pada elemen-elemen garis, bidang, bentuk, dan warna. Estetika yang terbangun merupakan bentuk pengulangan saja tanpa ada sentuhan ekspresi seni, karena semua telah ditentukan baik dari struktur maupun pola ornamennya.

Komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada dinding makna kebudayaan apalagi ketika memanfaatkan simbol-simbol, ikon-ikon hingga indeks-indeks seni, budaya dan agama. Dengan penggunaan teknologi, komodifikasi wadah sudah menjadi suatu ritual usaha ekonomi sempurna. Dalam hal ini kapitalis mengemas wadah dengan balutan komodifikasi, dan menjadikan-nya sebuah objek permainan hasrat (citra, dan gaya hidup) yang bersifat material, imanen, dan sekuler, yang tidak menyediakan ruang bagi pencerahan, karena per-mainan tersebut dikendalikan oleh motivasi pemenuhan hasrat, maka ia mudah menjadi tempat bagi dekontruksi dan permainan moral (Piliang, 2009: 26). Untuk menguatkan dunianya para kapitalis tidak mengenal batasan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh ditampilkan, dipertotonkan, dan dijual hal inilah menyebab-kan dunia kapitalis disebut dunia ketelanjangan. Di mana semua hal yang memiliki potensi nilai kapital dikemas dengan sentuhan komodifikasi yang mengarah ke-pada monopoli pasar.

Melalui komodifikasi, wadah dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki daya tarik yang kuat untuk menarik calon konsumen (masyarakat) keluar dari tatanan tradisi yang telah mereka jalani. Contoh konkrit yang marak dapat dilihat khususnya di daerah-daerah perkotaan di Bali akhir-akhir ini adalah tersedianya jasa yang melayani pembuatan berbagai macam sarana upacara ngaben dari proses ”A–Z” konsumen tinggal memesan seberapa besar upacara yang ingin dibuat, para penyedia jasa akan dengan senang hati menyediakannya dan tidak tanggung-tanggung sampai pendeta yang menyelesaikan upacara tersebut menjadi satu paket dalam jasa yang disediakan. Hal ini merupakan suatu bentuk ancaman bagi keberlangsungan tradisi yang ada.

Dalam hal ini, masyarakat Bali khususnya generasi muda tidak akan memilki rasa penghormatan yang tinggi kepada para pendeta karena mereka menganggap mereka telah membayar jasa yang diberikan untuk menyelasaikan upacara yang mereka buat. Di sisi lain juga terjadi suatu jarak yang makin jauh antara generasi muda dengan para pendeta, karena secara umum generasi muda Hindu Bali tidak mampu menggunakan bahasa Bali halus ketika berkomunikasi dengan para pen-deta. Kondisi ini merupakan suatu bentuk dari pengaruh dunia konsumerisme yang ditebar kapitalis secara halus untuk menutup akses para generasi muda bisa berkomunikasi dengan para pendeta, sehingga tidak ada kesempatan bagi me-reka untuk mempelajari bahasa Bali halus dengan baik. Dimana sebelum sarana upacara menjadi sebuah komoditas generasi muda tidak perlu belajar bahasa Bali secara khusus mereka secara tidak langsung telah belajar melalui interaksi sosial yang terjadi ketika sebuah upacara digelar. Lama kelamaan hal ini akan melahir-

26 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 21–29

Page 11: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

kan suatu penguasaan akses tunggal terhadap hal-hal yang dikomodifikasi salah satunya adalah wadah.

Melalui komodifikasi wadah para kapitalis telah berhasil menggiring masyarakat Bali yang akan melaksanakan upacara ngaben ke dalam sebuah dunia yang dipenuhi oleh iring-iringan objek sebagai tanda-tanda yang membawa jutaan pesan-pesan, yang menyuguhkan jutaan makna, melalui bentuk wadah yang dita-warkan para kosumen dikondisikan untuk menjadi konsumer tanda-tanda, menjadi apresiator dan menjadi penanda dengan berbagai mediumnya yang baru. Dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen telah terjebak pada jerat-jerat ekonomi yang ditebar para kapitalis melalui pencitraan dan makna wadah yang selalu diusung sebagai jargon.

NILAI ESTETIKA WADAH DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN Masyarakat Kesiman dewasa ini memandang wadah tidak lagi hanya sebagai

sebuah sarana dalam upacara ngaben melainkan wadah dipandang sebagai sebuah objek yang dapat mengangkat prestise, dan simbol-simbol sosial pada pemakaian-nya. Wadah diibaratkan sebagai sebuah mahkota yang dipakai pada waktu upacara ngaben, karena wadah dipersepsikan secara berlebihan yaitu sebagai suatu yang mampu memberikan suatu pencitraan kepada setiap individu yang melaksanakan upacara ngaben. Wadah dipandang begitu penting dalam setiap upacara ngaben, sehingga setiap orang yang akan melaksanakan ngaben berupaya sebisa mungkin agar mampu menyediakan sebuah wadah. Hal ini dilakukan bukanlah karena sim-bol-simbol atau makna-makna religius yang terkandung di dalamnya melainkan hanya untuk menunjukkan sebuah gengsi. Padahal jika kita kembali ke esensi dasar dari upacara ngaben, tanpa wadah sekalipun ngaben bisa dilakukan tanpa mengurangi arti dan maknanya. Yang lebih parah lagi bahwa ada anggapan bahwa semakin besar dan semakin megah wadah yang dipakai ketika melaksanakan upa-cara ngaben semakin tinggi pula derajat orang tersebut. Hal ini dapat dipandang sebagai sebuah fenomena bawah sadar masyarakat dalam mengonsumsi wadah.

Pemahaman pola hidup yang salah semacam itu disadari atau tidak, telah me-lumpuhkan kepekaan nilai-nilai keagamaan. Sikap dan pola hidup masyarakat da-lam menyikapi upacara ngaben dewasa ini cenderung mengarah ke hyper-reality of ritual atau hiperitual, yaitu realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk realitas-realitas ritual artfisial dimana berbagai budaya materi dan gaya hidup yang menyertai justu ber-tentangan dengan hakikat ritual itu sendiri. Seperti contoh untuk melaksanakan sebuah upacara ngaben seseorang tidak jarang akan menjual berbagai macam aset vital yang dimiliki seperti tanah, mobil, dan hal-hal lainnya agar bisa melaksanakan ngaben secara besar-besar tanpa melihat esensi dasar dari pada upacara tersebut, sehinga tidak jarang terdengar ketika selesai melaksanakan upacara ngaben ba-nyak yang terbelit hutang. Karena, kegiatan ritual di mata masyarakat/konsumen

I KETUT SIDA ARSA, Nilai Estetika dalam Komodifikasi Wadah… • 27

Page 12: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

justru berkembang ke arah menjadikan kegiatan ritual keagamaan sebagai ruang pemanjaan jiwa, lewat berbagai macam tanda, citra, ilusi, pretise, gaya hidup dan pesona objek yang ditawarkan di dalamnya. Pertumbuhan budaya komoditi di da-lam masyarakat konsumen menggiring kegiatan ritual keagaaam ke arah jagat ko-moditas atau komodifikasi ritual, sehingga menciptakan masyarakat konsumeris.

Komodifikasi wadah menjadi sesuatu yang “didewakan” karena dianggap sangat membantu mengatasi kesulitan setiap orang dalam penyediaan wadah pada upacara ngaben. Komodifikasi wadah dijadikan sebagai sebuah solusi di tengah-tengah kompleksitas aktivitas kehidupan sehari-hari. Dengan adanya penyedia wa-dah, orang yang akan melaksanakan ngaben tidak perlu lagi berpikir keras karena harus meminta pertolongang kepada warga banjar atau mediolasan, akan tetapi mereka hanya perlu menyediakan uang maka masalahnyapun beres.

Terjadinya “pendewaan” terhadap uang dan pasar dalam penyediaan sarana upacara ngaben kususnya wadah, telah membuka peluang tumbuhnya sifat-sifat individual. Dengan tumbuhnya sifat individu yang makin kuat menyebabkan ter-jadinya pola konsumeris terhadap hal-hal yang bersifat ritual semakin meningkat, dan menjadikan pasar sebagai tempat penyelamat. Bersinarnya budaya individua-listik mengakibatkan semakin memudarnya budaya kolektivistik yang menyebab-kan orang Bali kehilangan kepeduliannya untuk saling menolong antar sesamanya. Bahkan terjadi hal yang sebaliknya, mereka malah “memakan” sesamanya. Hal ini menyebabkan komodifikasi wadah di Kelurahan Kesiman semakin mendapatkan posisi yang mapan dalam masyarakat, karena dengan berkembangnya pemikiran “pendewaan” terhadap uang menyebabkan konsumsi terhadap wadah menjadi suatu tren yang dianggap mampu memberikan pengakuan identitas sosial bagi pemakainya.

KESIMPULANGlobalisasi berpengaruh dan membawa perubahan yang cukup besar ter-

hadap perkembangan budaya masyarakat Bali. Hal tersebut mengakibatkan ter-jadinya suatu proses pembauran kebudayaan dari berbagai etnis sehingga dapat memperkaya budaya daerah, atau sebaliknya mendangkalkan nilai-nilai budaya yang bisa menghancurkan kebudayaan lokal.

Pengaruh globalisasi ke Bali sebagai tanda kemenangan kaum kapitalis, un-tuk merambah dan memanfaatkan budaya Bali sebagai sebuah komoditi yang lebih menawarkan keuntungan yang besar. Komodifikasi dengan memanfaatkan unsur estetik dikemas menjadi sesuatu produk yang sifatnya serba instan dan bisa men-datangkan keuntungan. Komodifikasi pada nilai-nilai budaya lokal secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada dinding kedalaman makna kebu-dayaan ketika menyentuh ranah simbol-simbol, terkait dengan nilai-nilai agama. Menjangkitnya kapitalisme pada masyarakat Bali berdampak maraknya budaya individualistik dan semakin redupnya budaya kolektif.

28 • URNA, Jurnal Seni Rupa: Vol. 1, No. 1 (Juni 2012): 2 1–29

Page 13: 3 Nilai Estetika Dalam Komodifikasi Wadah i Ketut Side Arsa Isi Denpasar

DAFTAR PUSTAKAPiliang, Yasraf Amir. 2009. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogya-

karta: Jalasutra. __________________. 2004. Dunia yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra.Putra, Agus Muriawan. 2008. “Identitas dan Komodifikasi Budaya dalam Pariwisata Bu-

daya Bali”. Jurnal Analisis Pariwisata: Vol. 8, No.2, hlm. 7–24. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita.Wikarman, I Nyoman Singgih. 1999. Ngaben Sederhana. Surabaya: Paramita.

I KETUT SIDA ARSA, Nilai Estetika dalam Komodifikasi Wadah… • 29