Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

31

Click here to load reader

description

melihat dampak kepopuleran batik dalam waca kebudayaan dan kekuasaan

Transcript of Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

Page 1: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER1

BATIK POPULER: KOMODIFIKASI DAN JUAL BELI IDENTITAS

“Tinjauan Batik Trusmi, Cirebon”

Ayub Wahyudi 2

I. Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang terkenal dengan keanekaragamannya, baik dari

dari segi flora dan fauna hingga suku, bahasa dan budaya. Salah satu budaya yang menjadi ciri

khas Indonesia adalah batik. Pada tanggal 2 Oktober 2009, di kota Abu Dhabi – Uni Emirat

Arab, UNESCO resmi menetapkan Batik yang berasal dari tanah air Indonesia sebagai Warisan

Budaya Dunia. Peresmian tersebut merupakan merupakan momentum puncak dari sejumlah

rangkaian sidang The Committee for the Safeguarding of the Intangible Heritage UNESCO yang

telah dimulai sejak tanggal 28 September 2009 yang lalu. Ini merupakan tonggak awal dari

sejarah perjuangan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa, maka dari itu momentum

tanggal 02 Oktober ditetapkan sebagai momentum peringatan “Hari Batik Internasional”. Sejak

peresmian tersebut masyarakat Indonesia merayakan peristiwa tersebut dengan kegembiraan

yang luar biasa. Bahkan hingga muncul peristiwa yang lebih intensif yaitu “Jum’at adalah hari

batik” dan hal tersebut menjadi regulasi yang wajib dipatuhi bagi instansi negara dan beberapa

instansi swasta lainnya.

Kepopuleran batik seharusnya kita tanggapi dengan melihat dua sisi mata uang. Tidak

hanya melihat apa yang muncul atas populernya batik secara global tapi juga apa yang telah

hilang. Batik secara singkat dapat diartikan sebagai suatu cara atau tekhnik penutupan bagian-

bagian tertentu pada kain untuk memperoleh gambar atau motif hiasa yang berwarna setelah

proses pencelupan (lihat Purwanto dan Sekimoto, 2005: 33). Akan tetapi kita perlu memahami

batik lebih dari itu, sebuah karya kriya batik tidak sekedar kain yang bertuliskan ragam hias

dengan pewarnaan dan tekniknya yang khas. Akan tetapi lebih jauh dari itu ragam hias dan juga

pewarnaan yang dituangkan pada batik merupakan refleksi estetis simbolik dari masyarakat

pendukungnya. Batik sebagai salah satu seni tradisional Indonesia menyimpan konsep artistik

yang dibuat semata-mata untuk keindahan, akan tetapi sebagai benda pakai dan tidak benda

pakai (untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari/upacara/sosial/kepercayaan/agama) yang hanya

1 Mata Kuliah: Media, Budaya dan Masyarakat, Dikumpulkan pukul 10.00, Jum’at, 10 Juni 2011. Dosen Pengajar: A.G. Eka Wenats W.2 Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Univ. paramadina. 209000012.

Page 2: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

bisa dipakai, benda tersebut pasti indah. Indahnya bukan hanya sekedar pemuas mata melainkan

melebur dengan kaidah moral, adat, tabu, agama, dan sebagainya hingga selain bermakna,

sekaligus indah (lihat Costa dan Taruna, 2007: 45).

Keberadaan batik selama ini selalu memenuhi standar “indah” dan “bermakna” sesuai

dengan konteks masyarakat pendukungnya. Popularitas batik tidak pernah bisa menjamin kedua

standar tersebut terpenuhi. Dewasa ini batik tidak hanya sekedar sebuah refleksi pengungkapan

estetik dan simbolik yang mengusung nilai budaya masyarakat pendukungnya, lebih jauh dari itu

batik telah dimaknai sebagai suatu produk budaya material yang memiliki nilai ekonomis (Costa

dan Taruna, 2007: 46). Bahkan lebih dari itu, nilai ekonomis telah mulai menggeser batik

sebagai media budaya.

Salah satu batik populer, dalam konteks motif, adalah Batik Trusmi yang berasal dari

Desa Trusmi, penghasil batik dengan motifnya yang terkenal, mega mendung. Desa ini berada

pada wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa barat. Industri batik merupakan sektor ekonomi yang

dominan di Trusmi. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Cirebon mencatat 30 buah usaha

batik (showroom batik) yang mendaftarkan izin usaha industri di Desa Trusmi. Data dari

kelurahan menyebutkan jumlah pemilik usaha kerajinan sebanyak 628 orang dengan jumlah

buruh sekitar 350 orang. Penduduk Trusmi yang terlibat dalam sektor batik berprofesi sebagai

pengalap3, pengeber4, pengrajin5 dan pemilik showroom batik. Pengalap merupakan profesi yang

paling banyak digeluti dengan jumlah sekitar 544 orang, kemudian penrajin sebanyak 393 orang,

pengeber 67 orang, tukang cap batik 42 orang, pemilik showroom batik 30 orang dan bandar6

batik sebanyak 17 orang (Purwanto dan Sekimoto, 2005: 8).

. Proses komodifikasi batik sebenarnya telah dimulai jauh sebelum peresmian yang

dilakukan oleh UNESCO-PBB. Meningkatnya usaha batik Trusmi mengakibatkan pada tahun

1936, Lurah Rum dan dua pembatik Pak Sayaman dan Pak Anwar Sasro mendirikan “Koperasi

3 Pengalap adalah istilah setempat untuk orang yang membuat batik untuk orang lain dengan upah borongan (subkontrak). Biasanya mereka mngerjakan pekerjaannya di rumah atau bengkel batiknya sendiri. Segala keperluan dan modal untuk membuat batik berasal dari orang lain (principal). Terdapat dua macam pengalap yaitu pengalap yang mengerjakan tahap-tahapan tertentu saja dalam membuat batik seperti nembok atau ngisen, dan pengalap yang membuat batik dari tahap awal sampai selesai4 Istilah setempat untuk menyebut pekerjaan pedagang perantara atau middleman.5 Masyarakat setempat mengkategorikan pengrajin batik sebagai orang yang mngerjakan batik dari tahap awal sampai akhir (selesai) dengan modal sendiri. Selain itu, seorang pengrajin juga mempunyai pekerja—baik itu anggota keluarga maupun buruh batik. Mereka lebih memilih istilah “pengrajin” daripada “pengusaha” untuk menyebut pekerjaan ini. 6 Bandar batik adalah istilah setempat yang memperdagangkan batik lewat jalur pengeber. Bandar memperoleh batik lewat proses subkontrak dengan pengrajin dan menjual lagi ke showroom-showroom lewat pengeber.

Page 3: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

Batik Trusmi (Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81). Mendirikan koperasi berarti menginginkan

kesejahteraan seluruh anggota masyarakat yang ikut dalam koperasi menjadi lebih baik dari segi

ekonomis. Dinas perindustrian dan perdagangan menggolongkan industri batik di Trusmi sebagai

industri berskala kecil dan rumah tangga. Penggolongan ini berdasarkan jumlah tenaga kerja

yang dimiliki7( Purwanto dan Sekimoto, 2005: 8). Soetrisno (James, 1992: xxi; Purwanto dan

Sekimoto, 2005: 81) mengemukakan bahwa industri kecil (pendesaan) batik di Indonesia banyak

yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan indistri batik kapitalis. Industri batik kapitalis ini

mampu menghasilkan produk-produk batik yang bermutu sehingga praktis mereka juga

menguasai pasaran kain batik di Indonesia. Keseriusan masyarakat Trusmi untuk

memperdagangkan batik Trusmi membutuhkan kreatifitas dan inovasi baik dari segi modal dan

strategi dagang.

Keberadaan kata populer di setiap budaya sebenarnya mempunyai makna yang kritis.

Defenisi populer dalam kajian budaya lebih bersentuhan dengan kekuasaan. Tidak dapat kita

pungkiri bahwa batik pun telah berubah menjadi produk budaya yang bernilai ekonomis tinggi

sesuai dengan proses yang memang sangat membutuhkan keterampilan tinggi. Akan tetapi

kebutuhan masyarakat akan batik mendorong batik pada pengertian yang hanya sekedar motif

yang indah dan mulai kehilangan makna. Batik sebagai identitas bangsa Indonesia dan sebagai

media budaya masyarakat yang mendukungnya mulai kehilangan ideologi yang terkandung

didalam motif batik. Maka dari itu, penulis ingin mencoba menjelaskan batik sebagai budaya

populer yang menjadi batasan tentang tema kebudayaan dan kekuasaan, menggambarkannya

dalam sistematika yang ilmiah dengan kajian literature tentang bagaimana industri budaya

melakukan hegemoni dengan mengubah kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kata “indah”

dan “bermakna” pada batik menjadi komoditi yang pada dasarnya telah membuat kita

memperjualbelikan identitas bangsa Indonesia.

II. Pembahasan

Mengkaji tentang kebudayaan dan kekuasaan adalah mengkaji ranah teori tentang

kebudayaan dan kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi kedua kajian tersebut adalah wacana yang

sangat luas sehingga perlu untuk dibatasi, yaitu pada wacana dengan fokus yang terarah , dan

pembatasan ini tidak bertujuan untuk membatasi dengan sah atau menghasilkan asumsi bahwa 7 Industri berskala menengah memiliki tenaga kerja sebanayak 20-50 orang, industri kecil sebanyak 5-19, sementara industri rumah tangga kurang dari 5 orang. Industri kecil dan menengah masih dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya surat izin usaha, yaitu industri formal dan nonformal. (Dinas Perindustrian dan Perdagangah Kab. Cirebon, 2002)

Page 4: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

kita telah mengkhultuskan salah satu teori dari kedua kajian, apalagi dengan menggunakan satu

kajian. Kita perlu memahami bersama bahwa melakukan kajian tentang kebudayaan dan

kekuasaan adalah hal yang membutuhkan perhatian dan penelitian yang sangat luas dan

memakan waktu yang lama. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu dilakukan. Kita hanya perlu

mencari wacana yang akan kita kaji terkait dengan kebudayaan dan kekuasaan. Dengan begitu,

selain alasan sebelumnya, kita bisa menegaskan bahwa kedua wacana teori tidak bersifat

pragmatis.

Mengkaji wacana kebudayaan saat ini berarti masuk pada ranah kebudayaan

kontemporer. Kebudayaan kontemporer – dalam istilah posmodernisme sebagai bentuk

penjelasan dominan – adalah sebuah perubahan penting yang sekarang ini sedang terjadi dan

salah satu bidang dimana perubahan-perubahan ini terjadi adalah budaya populer (Bignell, 2000:

1). Selain dalam kajian wacana kebudayaan, budaya populer adalah pusat tema untuk kajian

kekuasaan (Scannel, 1994: 17). Budaya populer, yang dulunya dianggap sebagai low culture,

sering dihubungkan – sebagai istilah – dengan hasil dari kendali kesadaran palsu. Pendekatan

neo-Marxist – Adorno (dan Horkheimer), mengatakan bahwa relasi kuasa terhadap ekonomi –

barang dan permintaan – terletak pada kemampuan industri untuk melakukan komodifikasi

terhadap budaya atau lebih dikenal sebagai Industri budaya. Tujuan industri budaya adalah

menciptakan kepatuhan kepada masyarakat terhadap hirarki yang telah ada dengan cara

membentuk gaya hidup masyrakat. Hal ini membutuhkan penyesuaian. Dan menurut Adorno,

penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara memberikan sumbangsih berupa kenikmatan

sementara agar kesadaran masyarakat menjadi kurang kritis, atau dengan kata lain masyarakat

menikmati realita palsu – kesadaran palsu (Babe, 2009: 26). Budaya populer adalah bidang

dimana perubahan-perubahan dalam budaya kontemporer yang sedang terjadi akan selalu

dipengaruhi oleh relasi kuasa ekonomi – komodifikasi. Dengan kata lain, kedua wacana –

kebudayaan dan kekuasaan – akan mengkaji budaya populer.

Budaya populer mempunyai hubungan dengan dua krisis modernitas yang membuatnya

menjadi menjadi pusat utama dari kajian kekuasaan (Scannel, 1994: 1). Pertama terkait krisis

hegemoni, yaitu tentang kesulitan yang dihadapi oleh negara untuk mendapatkan pengakuan dan

kesepakatan bersama dari masyarakat kontemporer. Kehadiran gerakan populer ternyata mampu

mengatasi krisis ini dan membentuk pilihan hegemoni baru dan betul-betul bekerja. Kemampuan

industri budaya untuk melakukan penyesuaian merupakan senjata utama. Meskipun terjadi

Page 5: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

pemberontakan dari mereka yang sadar bahwa industri budaya hanya selalu berbicara tentang

keuntungan industri. Salah satunya adalah anggapan bahwa budaya populer sebenarnya adalah

cerminan dari masyarakat yang tersiksa. Akan tetapi Industri budaya mampu melakukan

penyesuaian dengan cara menerima “pemberontakan” itu dan memanfaatkannya sebagai

keuntungan. Sekali lagi industri budaya melakukan penyesuaian (Babe, 2009: 27). Penyesuaian

tersebut adalah kehadiran budaya populer yang sesuai dengan “pemberontakan” untuk sekali lagi

membuat manusia patuh, bahkan bertindak kurang kritis, dan menikmati kesadaran palsu. Kedua,

budaya populer terkait pada krisis epistimologis, dasar nilai untuk melihat sebuah pengetahuan.

Krisis tersebut berupa kelelahan paradigma ekonomik karena gagal ditegaskan sebagai dasar

budaya sebuah kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – dan terganti oleh kebutuhan atau kepentingan

yang bersifat non – ekonomis dan mampu menggerakkan orang. Dengan kata lain, pemikiran

Marx bahwa segala tindakan manusia akan selalu didasari pada motif ekonomi tidak bisa

digunakan karena kehadiran budaya populer justru memberikan gambaran yang sangat berarti

untuk menentang pemikiran tersebut.

Budaya populer pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan sebagai sebuah fenomena

dalam kajian wacana kebudayaan dan kekuasaan. Kehadirannya dianggap sebagai dialektika

pengetahuan khususnya dalam konsep hegemoni budaya – budaya populer adalah bentuk baru

hegemoni – dan epistimologis kajian wacana kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – menggunakan

pendekatan ekonomi politik kritis. Untuk pertama kalinya kebudayaan tidak hanya sekedar

menjadi alasan untuk refleksi spekulatif dalam tinjauan secara harafiah, tapi lebih kepada sebuah

tema utama dalam beberapa ilmu pengetahuan sosial dan dijadikan sumber analisa terhadap

hubungannya dengan perkembangan dan kekuasaan (Scannel, 2009: 18). Sejarah budaya populer

juga bisa membantu proses pengkajian tapi tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Kita akan membahas tantangan budaya populer, sebelum nantinya kita tiba pada

pemahamannya. Amerika Latin adalah negara yang juga mengalami krisis hegemoni dan

epistimologi dalam mengkaji kebudayaan dan kekuasaan, tapi ada satu perbedaan antara

Amerika Latin dari negara-negara lainnya – khususnya negara-negara metropolitan, yaitu

sebenarnya tidak ada krisis karena, pertama, tidak ada paradigma yang cocok dengan

pengetahuan tentang masyarakat mereka dan, kedua, tidak memiliki kelas yang melakukan

hegemoni atau negara yang telah berdiri dalam jangka waktu yang lama (Scannel, 2009: 17).

Konsep hegemoni memang menjelaskan tentang adanya penanaman ideologi dari negara

Page 6: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

terhadap budaya asli suatu masyarakat melalui media dengan relasi kuasa ekonomi tapi tidak

memberikan penjelasan tentang budaya dominan yang melakukan hegemoni, budaya digunakan

sebagai alat hegemoni oleh negara. Konsep hegemoni juga menjelaskan tentang proses hegemoni

secara struggle, perlawanan, dalam melakukan hegemoni tapi di Amerika Latin melakukan

“hegemoni” dengan cara yang sangat berlawanan dengan konsep hegemoni: budaya dominan

berhasil menghalangi bodaya yang terdominasi untuk mengembangkan diri atau membentuk

budaya baru yang bisa mengancam budaya dominan. Maka dari itu, sudah tentu, pemahaman

seperti ini memerlukan paradigma baru dengan epistimologi berbeda dari yang sebelumnya –

relasi kuasa ekonomi. akan tetapi, dibalik krisis epistimologi tersebut ada kesempatan ilmu

pengetahuan untuk menemukan pengetahuan tentang masyarakat Amerika Latin dan

menciptakan karya dasar yang bisa dihubungkan dengan pengetahuan tersebut serta dibalik krisis

hegemony, kita berhadapan dengan tugas membentuk negara dan masyarakat dengan tujuan

utama demokrasi yang dibagikan kepada semua orang, dimana perpecahan menjadi

keberagaman, dan ketidaksamarataan kelas, etnis dan wilayah berubah menjadi perbedaan

(Scannel, 2009: 19). Tantangan budaya populer adalah bagaimana bertindak terhadap krisis

modernitas yang ada di Amerika Latin – dengan “krisis” yang berbeda – sebagaimana yang ada

di negara-negara lain, yaitu menciptakan dialektika pengetahuan.

Melihat hubungan budaya populer dan kondisi unik di Amerika Latin dapat membuat kita

memahami dan melakukan uji coba, sejauh mana budaya populer dapat melaksanakan tugasnya

untuk memberikan kajian terhadap krisis modernitas yang tanpa hegemoni dan epistimologi,

sebagaimana bidang ini memecahkan masalah krisis modernitas dengan adanya hegemoni dan

epistimologi. Media Amerika Latin, pada 1990-an, telah mengalami perubahan. Pada awalnya

kekuasaan budaya dominan dari negara tetangga – Amerika Utara – sangat mempengaruhi semua

unsur media dari segi ekonomi hingga dengan tanpa peringatan media Amerika Latin bangkit

dan menjadi budaya domianan di wilayah mereka sendiri. Media Amerika Latin mampu

memperoleh pasar mereka sendiri, antara lain: film dan surat kabar. Pasar tersebut di bentuk

karakternya oleh dua fenomena penting (McPhail, 2006: 6). Fenomena penting pertama, bahasa

lokal, sisi positif dari dominasi bahasa spanyol. Hampir semua negara di Amerika Latin, kecuali

Brazil – bahasa nasional adalah portugis, menggunakan bahasa spanyol. Hal inilah yang

membuat masyarakat Amerika Latin tidak siap dibanjiri oleh budaya Amerika Utara yang

bedasarkan pada bahasa inggris. Perbedaan bahasa ini membawa fenomena penting kedua pada

Page 7: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

media Amerika Latin, setelah terbebas dari dominasi kebijakan militer dan pemerintah. Dengan

kondisi hambatan bahasa, tekanan untuk membuat program yang memenuhi permintaan pasar

serta harus bersaing dengan industri media Amerika Utara – Hollywood dan MTV – yang telah

mendominasi pasar jauh sebelumnya pada akhirnya menghasilkan sebuah budaya populer baru

yang mewakili identitas budaya Amerika Latin hingga sekarang ini. Program tersebut adalah

drama seri opera sabun yang disebut dengan “telenovela”. Program yang sangat terkenal,

menguntungkan dan mampu menciptakan efek global yang sangat luar biasa ini dihasilkan secara

kreatif dengan biaya yang sangat rendah tapi menghasilkan popularitas seperti halnya pemain

bola yang ada di Amerika Latin – brazil dan argentina. Selain industri film, industri media cetak

– surat kabar – juga mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan surat kabar ditempat

budaya dominan berasal, Amerika Utara, surat kabar Amerika Latin mempunyai distribusi yang

lebih besar dari Amerika Utara. Kondisi tersebut adalah terbentuknya dua jenis pasar – baru dan

lama – yang sedang berkembang ditambah lagi kepemilikan saham yang bersifat individual,

terdiri dari orang yang mendukung terjadinya demokrasi, maka proses demokrasi di Amerika

Latin jalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dan kendali lagi dari militer dan pemerintah.

Penjelasan industri “telenovela” sebelumnya memberikan gambaran bahwa posisi budaya

populer, meskipun marxian memasukkannya sebagai budaya rendahan, membantu sebuah

masyarakat untuk membentuk sebuah identitas budaya nasional.

Kemampuan budaya populer menghadapi krisis modernitas, seperti yang jelaskan

sebelumnya, dapat dipahami sebagai “sesuatu” yang melampaui wacana modernitas itu sendiri.

Modernitas adalah sebuah bentuk waktu sejarah yang menambah nilai “yang baru” sebagai

sebuah hasil dinamika sementara dari penolakan diri secara tetap. Malah bentuk abstrak

sementaranyalah yang tetap membuka perlombaan keragaman artikulasi. Secara khusus, dengan

menghasilkan “yang lama” secara kejam, sekejam dia menghasilkan “yang baru”, dan dalam

ukuran yang seimbang, modernitas mengganggu bentuk tradisionalisme logika sementara yang

agak berbeda dari tradisi yang diterima secara konvensional (Bignell, 2000: 6). Paradoks tentang

modernitas tapi membuat kita lebih mudah untuk memahami Posmodernitas. Dengan

menganggap modernitas sebagai sebuah proses waktu maka keberadaan posmodernitas bisa

dijelaskan sebagai suatu keadaan waktu yang lebih fleksibel dari pada modernitas itu sendiri.

Posmodernitas menegaskan bahwa waktu adalah abstraksi yang hanya bisa dijelaskan secara

tidak menyeluruh dari suatu kejadian dalam hal ini perubahan masyarakat kontemporer dan

Page 8: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

konsep tersebut bisa membantu kita memahami kebudayaan dan kekuasaan kontemporer sebagai

wacana postmodern, begitupun dengan budaya populer. Mencoba melihat secara dangkal inti

utama dari budaya populer akan selalu menjelaskan tentang bagaimana industri budaya

memberikan makna “baru” yang dilekatkan kepada sebuah budaya yang sebenarnya telah ada

sebelumnya sebagai akibat dari penyesuaian pergolakan budaya yang ada di masyarakat

kontemporer. Ketika ada pergolakan budaya di masyarakat kapitalis, wacana tersebut

menandakan adanya peningkatan pemikiran kritis, budaya populer hanya perlu muncul sebagai

kesenangan sementara dan pergolakan pun reda serta kendali kesadaran tetap berada di tangan

kelompok elit.

Kondisi krisis modernitas yang dihadapi oleh Amerika Latin menjadi kajian utama

tentang pemahaman akan kajian budaya populer itu sendiri. Bentuk pemahaman terhadap budaya

populer bisa dikelompokkan menjaadi dua prinsip strategi teoritis: deduktivisme dan

induktivisme (Scannel, 2000: 20). Para pemikir deduktif mengartikan budaya populer dengan

bergerak dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus, menurut ciri-ciri yang mereka

bebankan kepada budaya populer: antara lain model produksi, imperalisme, kelas dominan,

apparatus ideologi atau media massa. Deduktivisme adalah pendekatan konseptual, dimana

segala aspek kehidupan populer muncul dari kekuatan atau kekuasaan sosial makro, yang telah

membentuk karakter dari sosiologi, komunikasi massa dan pendidikan. Dalam bidang sosiologi,

untuk melakukan penguraian terhadap budaya sama seperti menggambarkan pergerakan dari

kekuatan dominan. Teori ketergantungan menyediakan alat kritis terhadap dominasi,

menghilangkan proses mistis dalam paham imperialisme dan manipulasi kesadaran yang

menghalangi revolusi massa. Dalam bidang komunikasi massa sebagai salah satu bidang yang

paling bersemangat akan berbicara tentang kekuatan komunikatif sebagai atribut sistem

monopolis. Keberhasilan sistem ini dilihat dari, bukan hanya penyebaran pesan dominan secara

luas dengan menggunakan media massa, tapi juga manipulasi ketidaksadaran masyarakat. Untuk

menghadirkan tanggapan politis yang baru, massa tetap butuh pimpinan yang mempunyai

pengaruh. Dalam bidang pendidikan dianggap sebagai wadah reproduksi tatanan kelas dengan

alat kualifikasi perbedaan untuk tenaga buruh. Pandangan deduktif melihat semua aspek makro

dalam bentuk khusus – budaya populer. Pandangan induktivisme sebagai alat kaji budaya

populer yang paling memberi perhatian yang cukup besar, mencoba menjelaskan dengan berawal

dari peralatan khusus yang merupakan bagian dari dalam kelas-kelas subordinate, atau dengan

Page 9: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

kejeniusan mereka, atau dengan sebuah kreativitas bahwa sektor lain dari populasi telah hilang,

atau dengan kekuatan oposisi sebagai dasar perlawanan mereka. Salah satunya adalah

antropologi dan cerita rakyat. Pandangan relasi kebudayaan yang lebih sensitive terhadap

kelompok dan hubungannya, mengatakan bahwa kecenderungan sebuah pemikiran untuk

membahas tentang perbedaan tanpa menjelaskan ketidak seimbangan yang mengikuti perbedaan

tersebut. Pada dasarnya semua budaya itu sama saja, bernilai dengan cara mereka sendiri,

membentuk sebuah kebanggaan. Populisme juga konsep induktif yang menjelaskan tentang

bagaimana menggunakan kebudayaan untuk membangun kekuasaan – salah satunya adalah

dengan menggunakan gerakan populer. Dengan kata lain pandangan ini memahami budaya

populer sebagai dasar perlawanan yang merupakan hasil pemikiran dari populasi yang sudah

tidak memiliki pegangan politis apapun (Scannel, 2000: 20-30).

Berbicara tentang bagaimana cara “mempopulerkan budaya” akan selalu mencari

relevansi kepada pendekatan ekonomi politik. Salah satunya adalah pembahasan tentang industri

budaya yang dapat dijelaskan dengan komodifikasi, spasialisasi dan massifikasi. Ketiga proses

tersebut dianggap sebagai proses utama yang dilakukan oleh industri budaya. Popularitas sebuah

kebudayaan akan selalu bertentangan dengan nilai estetik, mistis dan moral yang ada pada

budaya. Alasan ini bisa dijadikan asumsi kenapa para pengikut Marxis membedakan menjadi

budaya tinggi, budaya yang masih menjaga nilai yang bersifat laten dan mempunyai nilai guna,

dan budaya rendah, budaya yang tidak mempunyai nilai laten dan lebih menonjolkan nilai tukar.

Pemahaman yang selama ini ada adalah budaya populer sebagai sebuah budaya rendah tidak

mempunyai fungsi kecuali fungsi nilai tukar. Akan tetapi, kasus Amerika Latin menegaskan

bahwa budaya populer mempunyai fungsi yang membantu negara tersebut dalam menghadapi

krisis modernitas. Kemudian ditambah pemahaman bahwa sebagai bidang dimana perubahan

masyarakat terjadi justru terlihat bahwa budaya populerlah yang memungkinkan perubahan

tersebut terjadi.

Amerika Latin adalah sebuah kumpulan dari kelompok liberal yang membentuk sebuah

negara, mereka mengakui telah membentuk budaya nasional, tapi terlihat lebih membangun

kebudayaan elit, meninggakan sejumlah besar populasi pribumi dan petani yang mendaftarkan

semua hasil bumi mereka untuk alat ribuan pemberontakan dan oleh sebuah migrasi yang

mengubah kota menjadi ibukota negara. Orang populis mengakui bahwa merekalah yang

menggabungkan sektor pengeluaran, memperbaiki gerakan populer dan budaya massa (Scannel,

Page 10: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

2000: 18). Pengakuan ini cukup mendasar melihat bukti dari populisme dan budaya populer yang

berhasil membentuk kebudayaan untuk dijadikan identitas nasional sebuah bangsa.

Indonesia adalah negara dengan berbagai macam budaya yang tidak hanya sekadar

“indah” tapi juga “bermakna”. Para marxis menyebutnya budaya tinggi (high culture). Akan

tetapi kapitalisme dengan industri budaya mempunyai kemampuan yang dapat mengubahnya

menjadi sebuah budaya rendah (low culture) yang mungkin hanya sekedar indah tapi tanpa

makna apa-apa. Tidak mempunyai ideologi dan nilai lagi kecuali nilai ekonomis. Ekonomis

dalam artian menguntungkan industri tapi masih dapat dijangkau oleh masyarakat. sebagai

negara berkembang, Indonesia dan Amerika Latin mempunyai kesamaan dalam kajian budaya.

Kita sama-sama mempunyai budaya populer yang menjadi identitas bangsa hanya saja Amerika

Latin mampu mempertahankan telenovela dengan cara hanya mereka yang mampu

memproduksinya sedangkan Indonesia mempunyai batik yang di produksi negara lain. Dimana

letak kebanggaan kita yang menyerukan batik sebagai identitas budaya nasional jika tidak hanya

diproduksi oleh kita tapi juga oleh negara lain, seperti RRC dan Malaysia. Kita tanpa sadar telah

terhegemoni dengan kebanggaan palsu padahal yang sebenarnya terjadi kita telah membuat batik

menjadi bukan lagi sepenuhnya milik Indonesia tapi juga milik negara yang lain mampu

mengambil keuntungan dari euphoria atas kebanggan palsu tersebut dan tentunya yang dapat

melakukan itu adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan batik yang

“indah” tapi karena mereka bukan orang Indonesia makan mereka tidak akan memperdulikan

lagi “makna” yang ada pada setiap motif batik. Jika Amerika latin bisa memanfaatkan budaya

populer yang tidak hanya sekedar bernilai ekonomis tapi juga “indah” dan “bermakna” maka kita

juga bisa melakukan hal yang sama. Kepopuleran batik di Desa Trusmi adalah langkah awal

untuk merebut kembali kekuasaan atas kebudayaan kita.

Penulis akan mencoba menjelaskan tentang teori-teori yang terkait dengan budaya

populer dalam wacana kebudayaan dan kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan analisa

yang menggambarkan bagaimana para elit dari industri budaya mengambil alih batik sebagai

identitas budaya nasional kita. Teori-teori tersebut antara lain hegemoni budaya yang berasal dari

pemikiran kritis mahzab Frankfurt yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci dan teori

ketergantungan yang memberikan penjelasan tentang bagaiman yang di “pinggiran” bergantung

pada yang di “pusat”.

Page 11: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

Kalau melacak jejak konsepsi hegemoni didalam literature sosiologis, khususnya dalam

pemikiran mazhab kritis, hegemoni dipandang sebagai pendekatan teoritis yang penting (the key

teoritical approach) terutama dalam kajian budaya (cultural study) (Ibrahim dan Malik, 1997:

xiii). Sebelum memahami hegemoni kita harus mengetahui dua konsepsi awal yang perlu kita

ketahui yaitu. Ideologi dan kesadaran. Ideologi adalah sistem ide yang diungkapkan dalam

komunikasi, kesadaran adalah esensi atau totalitas dari sikap, pendapat, dan perasaan yang

dimiliki oleh individu atau kelompok, dan hegemoni adalah proses dimana ideologi “dominan”

disampaikan, kesadaran dibentuk dan kuasa sosial dijalankan (Sobur, 2009: 61). Dalam

analisanya Gramsci menekankan pentingnya peran ideologi (Ibrahim dan Malik, 1997: xiii).

Ideologi, menurut Althusser mewakili hubungan imajiner individu terhadap kondisi

keberadaanya yang sebenarnya. Ideologi seolah-olah cara individu memandang kehidupan

mereka. Ideologi, pada hakikatnya mempunyai tiga arti (Sobur, 2009: 67); kesadaran palsu, arti

netral dan keyakinan yang tidak ilmiah.

Ideologi sebagai kesadaran palsu adalah arti yang selalu dipegang teguh oleh para

pemikir kritis, khususnya mahzab Frankfurt. Meskipun terkesan dengan konotasi negatif tapi

penjelasan itu bisa diterima jika melihat bagaimana hegemoni budaya menggunakan peran

ideologi untuk melakukan dominasi. Artinya secara sistematis, ideologi hegemonic mencekcoki

orang dengan pikiran-pikiran tertentu, doktrin-doktrin tertentu, bias-bias tertentu, sistem-sitem

tertentu bahkan “tuhan-tuhan” tertentu dan ini akan jauh lenih menentukan dari pada memaksa

mereka melakukan sesuatu dengan tendangan sepatu lars atau dibawah ancaman bayonet. Dalam

ungkapan Alan O’Connor, sistem hegemoni yang beroperasi dalam negara yang relative stabil

biasanya “domination is achieved culturally, not but direct violence.” Dari sini ada dua kata

kunci bagi beroperasinya hegemoni budaya; “dicapai secara budaya” dan “kekerasan tidak

langsung” (Ibrahim dan Malik, 1997: xvi).

Dalam konteks hegemoni budaya dengan analisis gramsci, meskipun sepakat dengan

Althusser tentang pentingnya ideologi, dia lebih menekankan pada struggle atau pemberontakan.

Dia melihat adanya kesempatan pada mereka yang melakukan pemberontakan untuk melakukan

counter hegemony atau hegemony balasan terhadap ideologi dominan yang telah memepengaruhi

kesadaran kita yang sebenarnya dan mengubahnya menjadi kesadaran palsu yang biasanya

berbasis ekonomis atau lebih dikenal istilah economic determinism.

Page 12: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

Teori ketergantungan adalah teori yang muncul untuk menjelaskan sebuah fenomena

umum, yaitu yang besar selalu bergantung kepada yang kecil. Dalam tesis yang di keluarkan oleh

Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, ada beberapa konsep yang harus dipahami:

Teori ini adalah antitesa atau kritik terhadap teori modernisasi. Asumsi teori ini adalah

selama sebuah negara masih bergantung terhadap negara lain yang lebih maju dan tidak

bisa mandiri maka pembangunan di negara tersebut tidak akan maju.

Teori ini mengenal istilah “pusat” (center) dan “pinggiran” (periphery). Negara maju

dianggap sebagai “pusat” dan negara yang sedang berkembang dianggap sebagai

“pingiran”. Fenomena umum yang terjadi adalah “pinggiran” selalu bergantung pada

yang “pusat”

Ada tiga jenis ketergantungan; ketergantungan koloni, ketergantungan industri keuangan

dan ketergantungan teknologi industri.

Teori ini mempunyai kemiripan dengan dampak kapitalisme yang selama ini selalu di kritik oleh

Karl Marx dan pemikir-pemikir kritis lainnya. Karl Marx sangat dikenal dengan pembagian

kelasnya, kelas borjuis dan kelas buruh. Dalam kapitalisme pembagian kelas adalah hal yang

umum. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan akses terhadap sumber daya alam dan alat

produksi. Hal tersebut jelas ditentukan oleh mereka yang mempunyai capital atau modal.

Konsepsi masyarakat tanpa kelas dapat dijadikan pernyataan yang radikal dari konsep ini.

Kita bisa mengandaikan bahwa “pusat” adalah kelas majikan dengan segala akses yang

dimilikinya dan “pinggiran” adalah buruh yang bergantung kepada majikan. Akan tetapi,

ketergantungan ini hanyalah kesadaran palsu yang ditanamkan kepada “pinggiran” bahwa

mereka bergantung kepada “pusat”. Jika kita melakukan radikalisasi dengan konsep masyarakat

tanpa kelas maka “pinggiran” dapat melepaskan diri dari “pusat” dan mulai mandiri.

III.Analisis

Asal mula batik tidak diketahui secara pasti. Tidak terdapat catatan sejarah mengenai

waktu dan tempat pertama kali manusia mulai menggunakan lilin, kanji atau lumpur untuk

membuat ragam hias pada tenunan yang kemudian dicat, sehingga bagian yang tertutupi tidak

terkena cat. Kain yang dibuat dengan tehnik demikian ditemukan pula di Cina, Jepang, India,

Thailand, bahkaan juga di Afrika dan Eropa. Akan tetapi, di Jawa dan Maduralah batik

berkembang menjadi seni budaya yang tinggi dan mempunyai makna spiritual. Batik digunakan

Page 13: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

oleh penduduk tidak hanya dikehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam upacara adat (Purwanto

dan Sekimoto, 2005: 33)

Batik Cirebon sebagai salah satu refleksi kebudayaan Cirebon kemudian memiliki

kekhasan tersendiri baik ditinjau dari aspek intraestetik maupun ekstraestetiknya. Pada

perkembangan lebih lanjut, batik tidak sekedar sebagai benda kriya yang merefleksikan nilai-

nilai budaya, akan tetapi juga memiliki nilai ekonomis. Seiring dengan fungsinya yang

berkembang sebagai benda estetik yang dapat digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan estetik,

maka batik memiliki nilai tukar tersendiri yang berdimensi ekonomis. Kriya batik disamping

sebagai media ekspresi estetik simbolik masyarakat pendukungnya nyatanya juga dapat

memberikan ladang kegiatan ekonomis sebagai salah satu bentuk mata pencaharian penduduk,

meskipun pada tilikan ain seringkali para konsumen batik ada yang tertarik justru karena sistem

penandaan simbolis yang terkandung didalam motif batik. Akhirnya memang fungsi menyimpan

simbol budaya, pemenuhan kebutuhan estetis, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi sering

berjalan seirama dalam denyut pertumbuhan dan perkembangan batik nusantara. Pemakaian kain

batik yang semula dipandang sebagai salah satu unsur busana tradisional, sebagai salah satu

sarana kegiatan ritual, seremonial, dan merupakan simbol status sosial, kini telah bergeser hingga

difungsikan untuk berbagai pemenuhan kebutuhan yang tidak memperhatikan fungsi

didalamnya. Masuknya peran modal (industri) dalam perbatikan semakin menguatkan pencitraan

batik seperti di atas (Julianita, 1997: 2; Costa dan Taruna, 2007: 89)

Kenyataan seperti di paparkan di atas juga terjadi pada realitas empiris perbatikan

Cirebon dewasa ini yang bersentra di Desa Trusmi Kab. Cirebon. Dahulu di Cirebon sentra-

sentra kegiatan membatik ditemui dikeraton, desa Trusmi, desa plumbon, kampung panjunan

(kampung pecinan), dan kalitengah (paramita, 1986; Costa dan Taruna, 2007: 89). Dewasa ini

pertumbuhan dan perkembangan batik Cirebon hanyalah tinggal di Desa Trusmi dan Kalitengah,

namun kemudian Trusmilah yang lebih dikenal sebagai sentra batik Cirebon. Pertumbuhan dan

perkembangan batik Trusmi-Cirebon tidak dapat didudukkan pada wacana tradisional yang ketat,

yang ditandai dengan nilai-nilai estetika yang cenderung statis dan ketatnya pewarisan nilai

estetis antargenerasi dalam suatu tatanan masyarakat. perbatikan di Trusmi berada konstruk

budaya masyarakat pendukungnya yang dalam konteks tingkat kebudayaan berada pada tataran

budaya pedagang (lihat: Wiyoso, 1993; Costa dan Taruna, 2007: 90). Pada tataran ini kemudian

perbatikan Trusmi-Cirebon ditandai dengan keterbukaan untuk mensintesa budaya baru melalui

Page 14: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

berbagai strategi adaptifnya, termasuk di dalamnya kesediaan menerima pranata-pranata sosial

baru di bidang perbatikan. Perkembangan batik Trusmi-Cirebon pun semakin semarak. Da dalam

ruang budaya masyarakat Trusmi-Cirebon kemudian seringkali terjadi tarik menarik antara

pilihan untuk berkutat pada tradisi dan mengadopsi kecenderungan pasar (Costa dan Taruna,

2007: 90).

Sangat jelas terlihat bagaimana fleksibilitas yang terjadi kepada masyarakat di Desa

Trusmi-Cirebon. Jika kita menilik batik secara terminolog, batik berasal dari kata ambatik yang

maknanya menggambar atau menulis (lihat: Purwanto dan Sekimoto, 2005: 50). Menurut

Mustaqim Asteja8, kegiatan membatik adalah proses memberikan titik dan garis pada sehelai

kain mori sebelum dicelupkan. Dia menambahkan bahwa batik yang yang bisa disebut batik

adalah batik tulis, selain itu bukanlah batik. Hal itu juga berlaku pada batik cetak dan batik

printing. penyebutan sebagai batik printing dianggap di proporsional. “yang disebut batik itu

harus ada proses pelilinan dan pewarnaan yang dilakukan dengan cara pencelupan,” (Marsina,

1998; Costa dan Taruna, 2007: 76). Jika kedua argument defenisi batik ini kita gunakan sebagai

standar keaslian batik maka klaim nama kain batik artinya dibatasi oleh proses dan teknik yang

tinggi membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, semakin populer batik dan meledaknya

permintaan pasar akan kebutuhan batik membuat produksi batik dituntut lebih cepat. Melihat

kondisi tersebut, kita sudah dapat melihat bagaimana hegemoni budaya telah beroperasi. Dan itu

dimulai pada saat kita tidak lagi memaknai batik sebagai sesuatu yang “bermakna” tapi hanya

sekedar “indah”. Dampak dari hegemoni dapat kita lihat dalam dua bentuk. Pertama, dalam

bentuk regulasi pemerintah yang mewajibkan kepada seluruh institusinya untuk menggunakan

batik setiap hari jumat yang kemudian menjadi himbauan kepada seluruh masyarakat. regulasi

tersebut dibuat setelah peresmian batik sebagai warisan dunia yang berasal dari dunia. Jika kita

menganalisa dengan cermat, karakter regulasi adalah bersifat mengikat dan memaksa maka

masyarakat sebenarnya telah dipaksa untuk menggunakan batik padahal kita tahu tidak semua

orang Indonesia senang menggunakan batik. Akan tetapi, dengan memanfaatkan momen

peresmian batik, kita tidak merasa terpaksa menggunakannya karena berarti kita mendukung

batik sebagai warisan dunia. Dengan alasan mendukung tersebut, masyarakat Indonesia telah

merasa berpartisipasi dengan hanya menggunakan batik pda hari jumat. Akan tetapi partisipasi

tersebut hanya menjadi sekedar memakai tanpa mengetahui ideologi yang terkandung didalam

8 Narasumber wawancara, beliau adalah penggiat sejarah dan budaya Cirebon.

Page 15: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

batik. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan batik sesuai keinginan pengguna dan jika ditarik ke

akibat yang lebih jauh, hal tersebut yang menjadi salah satu sebab batik menjadi bernilai

ekonomis. Inilah yang disebut standar kesuksesan hegemoni, “berhasil secara budaya” dan “

tidak menggunakan kekerasan”. Hegemoni akan selalu menggunakan budaya sebagai jalur

melakukan dominasi tanpa kekerasan. Kedua, bentuk tersebut tersimpan dalam keputusan

UNESCO-PBB. Kita harus mengetahui bahwa kalimat “batik ditetapkan dari Indonesia sebagai

warisan budaya dunia” adalah bentuk hegemoni yang lebih jelas jika kita analisa lebih dalam.

Dengan melakukan kajian intertekstual atau meminjam makna teks yang satu untuk dijadikan

makna teks yang lain, UNESCO-PBB mencoba mengatakan bahwa “ batik berasal dari Indonesia

tapi milik dunia” atau analogi yang mungkin lebih tepat adalah “baju dari kamu adalah milik

semua orang”. Kalimat dari UNSECO-PBB pada dasarnya menciptakan hegemoni dan kita

bangga akan kalimat tersebut. Seni budaya yang bernilai tinggi dan telah menjadi identitas

budaya kita dengan proses yang memakan waktu berabad-abad serta mempunyai makna yang

hanya dapat dimengerti oleh kita bangsa Indonesia dengan mudahnya kita serahkan kepada dunia

untuk dijadikan komoditas yang akan diperjualbelikan secara massa bahkan dengan harga yang

murah. Jika para pemikir mahzab Frankfurt mengatakan dampak dari hegemoni terhadap batik

adalah sebuah “kesadaran palsu” maka penulisan ini menggunakan istilah “kebanggaan palsu”.

Pada dasarnya komodifikasi batik adalah dimulai jauh sebelum peresmian yang

dilakukan oleh UNESCO-PBB. Nyaris tidak ada bukti tertulis yang sampai tentang pertumbuhan

dan perkembangan batik Cirebon sejak rentang waktu 1940-an secara terperinci dan itupun

ditandai dengan berdirinya koperasi. Meningkatnya usaha batik Trusmi mengakibatkan pada

tahun 1936, Lurah Rum dan dua pembatik Pak Sayaman dan Pak Anwar Sasro mendirikan

“Koperasi Batik Trusmi (Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81). Mendirikan koperasi berarti

menginginkan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat yang ikut dalam koperasi menjadi lebih

baik dari segi ekonomis. Soetrisno (James, 1992: xxi; Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81)

mengemukakan bahwa industri kecil (pendesaan) batik di Indonesia banyak yang gulung tikar

karena kalah bersaing dengan industri batik kapitalis.

Pada tahun 1955-1960 merupakan masa kejayaan Koperasi Budi Tresna9 yang berhasil

membangun pabrik tenun, memiliki kendaraan truk dan tangki minyak tanah. Kajayaan koperasi 9 Merupakan koperasi batik yang merupakan gabungan “Koperasi Batik Trusmi” dan “Koperasi Batik Boemi Poetra” dari kali tengah pada tahun 1955. Hal ini terjadi karena dalam aturan GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) bahwa tidak boleh ada lebih dari satu koperasi batik dalam satu wilayah (lihat: Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81)

Page 16: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

ini karena pada masa itu GKBI mendapat hak monopili impor bahan dari pemerintah. Akan

tetapi pada tahun 1964, hak tersebut dicabut oleh pemerintah yang mengeluarkan SK

No.54/WPB/KOTOE/1964 (Dwiningrum, 1995; Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81). Dengan

dikeluarkannya ketetapan tersebut, maka peran GKBI menjadi lemah dan ini merupakan salah

satu faktor penyebab koperasi-koperasi batik di Indonesia mengalami kebangkrutan dan anggota

koperasinya juga terus merosot (Purwanto dan Sekimoto, 2005: 81).

Dari aspek pemasaran batik Trusmi pada masa akhir tahun ‘80-an tampaknya tergolong

periode lesu. Koperasi batik pun nyaris tidak terdengar denyutnya lagi kecuali sekedar rapat

tahunan yang tidak pernah membicarakan kembali usaha perbatikan. Kehidupan Koperasi Batik

Budi Tresna tinggal dari SHU yang modalnya dititipkan melalui GKBI (Costa dan Taruna, 2007:

77). Dengan melihat perkembangan batik sebelum peresmian yang dilakukan oleh UNESCO-

PBB, khususnya batik Trusmi-Cirebon, batik ternyata telah menjadi komoditas.

Perkembangan dan penurunan industri batik di Trusmi-Cirebon dapat dikaji dengan

menggunakan teori ketergantungan. Teori ketergantungan adalah teori yang muncul untuk

menjelaskan sebuah fenomena umum, yaitu yang besar selalu bergantung kepada yang kecil.

Dalam tesis yang di keluarkan oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, ada

beberapa konsep yang harus dipahami, salah satunya adalah ada tiga jenis ketergantungan, yaitu:

ketergantungan koloni;

ketergantungan industri keuangan;

ketergantungan teknologi industri;

Ketergantungan yang terjadi pada perkembangan atau naik turunnya Industri batik Trusmi

Cirebon dari tahun 1940 sampai sekarang yaitu ketergantungan industri teknologi industri.

Kebanyakan industri batik di Indonesia merupakan industri rumah tangga dan industri berskala

kecil yang harus bersaing dengan industri batik capital yang berskala besar dengan segala

kecanggihan teknologinya. Hal tersebut meyebabkan ketimpangan kesejahteraan antara industri

batik rumahan dan industri batik kapital. Ketergantungan tersebut muncul dalam bentuk

standarisasi bahwa untuk sukses dalam industri batik harus mempunyai teknologi industri yang

memadai.

Kemunculan para pengrajin batik dan sekaligus pemiliki showroom berskala besar pada

pertengahan tahun 1990-an telah mengakibatkan munculnya golongan kaya baru dalam struktur

masyarakat Trusmi. Kemunculan kelompok yang bermodal kuat ini telah menimbulkan

Page 17: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

kekhawatiran di kalangan para pembatik bermodal kecil (Purwanto dan Sekimoto, 2005: 80).

Akan tetapi, perkembangan batik setelah peresmian yang dilakukan oleh UNESCO-PBB

memberikan batik kesempatan yang lebih luas, khususnya pada batik tulis yang seringnya

menggunakan modal kecil sehingga tidak mampu bersaing karena kalah teknologi industri.

Dengan kata lain peresmian yang dilakukan oleh UNESCO-PBB membuat lapangan kerja yang

lebih sportif bagi para pengrajin dan seniman batik.

IV. Kesimpulan

Pembahasan tentang kebudayaan dan kekuasaan masih sangat luas dan untuk membahas

keduanya membutuhkan sebuah kesetiaan yang empiris dengan interpretasi yang komperhensif

seoptimal mungkin. Analisa parsial menunjukkan bahwa kebudayaan sedang berada pada

konteks masyarakat kontemporer dengan gema posmodernisme sedangkan wacana kebudayaan

sedang berkutat dengan citra yang bermakna dangkal sehingga kita tiba pada wacana budaya

populer. Dalam pandangan kritis, budaya populer adalah budaya yang merupakan refleksi

masyarakat yang tersiksa dengan hantaman budaya massa yang ciptakan oleh industri budaya

dan di perkenalkan dengan media massa untuk membentuk suatu masyarakat massa. Rasa

tersiksa tersebut mendorong masyarakat untuk menghasil budaya yang “memberontak”. Dengan

kata lain, pada awalnya budaya populer adalah budaya yang mengandung makna perlawanan

terhadap industri budaya. Akan tetapi, sekuat apapun makna perlawanan yang terkandung dalam

sebuah budaya populer, tetap tidak akan sanggup mempertahankan makna tersebut. Hal ini

disebabkan oleh kemampuan budaya populer untuk melakukan penyesuaian terhadap makna

perlawanan tersebut. Dengan demikian, budaya populer dan “pemberontakannya dapat diredam.

Batik pada awalnya adalah sebuah budaya populer dengan segala sistem nilai dan

ideologi, baik dalam proses maupun motif dan corak pada kain batik. Kemampuan penyesuaian

industri budaya telah membuat batik menjadi semakin populer dan telah berhasil melakukan

hegemoni terhadap batik itu sendiri. Industri budaya telah menambahkan nilai ekonomis dalam

batik, sebagaimana yang selama ini mereka lakukan terhadap budaya populer yang lainnya.

Konsep hegemoni dapat dipahami dengan sebuah analogi, hegemoni dapat digambarkan dengan

mencampurkan setitik pewarna merah pada susu putih yang diletakkan pada wadah kemudian

mengaduknya hingga tercampur rata maka yang kita dapatkan adalah susu berwarna merah

muda, bukan merah apalagi putih. Begitulah hegemoni yang terjadi pada batik. Hegemoni

tersebut dapat terjadi karena adanya ketergantungan masyarakat Indonesia sebagai bangsa

Page 18: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

sebuah negara berkembang terhadap negara-negara maju dengan harapan ketika bergantung

kepada mereka kita juga akan ikut mampu. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, kita

semakin mundur secara ekonomi dan pada akhirnya menjual batik yang merupakan identitas

budaya bangsa Indonesia.

Kita harus mengakui kita telah menjual identitas kita secara euphoria dengan telah

melakukan komodifikasi terhadap nilai guna batik yang merupakan hasil budaya bangasa

menjadi nilai tukar secara ekonomi yang dapat didiskon hingga 70% dari harga awal. Dengan

kata lain kita telah terlanjur melakukannya. Akan tetapi kita juga tidak bisa tinggal diam dan

membiarkan hal tersebut berlangsung selamanya. Jika kita memang harus menjual batik paling

tidak batik harus kita jual dengan tangan kita sendiri, bukan dengan tangan bangsa lain, dan

mampu menentukan harganya dengan harga kita sendiri, yaitu harga diri bangsa Indonesia.

Amerika latin telah berhasil melakukan counter hegemoni dengan telenovela maka kita juga bisa

melakukan pemberontakan terhadap industri budaya dengan batik. Dengan demikian kita bisa

menggunakan batik bukan karena sebagai warisan dunia tapi sebagai warisan budaya yang

merupakan milik Indonesia.

Page 19: Batik Populer : Komodifikasi dan Jual Beli Identitas

DAFTAR PUSTAKA

1. Babe, Robert T, 2009, Cultural Studies and Political Economy: Toward a New Integration,

Rowman and Littlefield: New York.

2. Bignell, Jonathan, 2000, Postmodern Media Culture, Edinburgh University Press:

Edinburgh.

3. McPhail, Thomas, 2006, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends.

Blackwell: Malden.

4. Scannell, Paddy, 1994, Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader, Sage

Publication:London.

5. Sobur, Alex, 2009, Analisis Teks Media: Sebuah Pengantar Untuk Analsis Wacana,

Analisis Semiotika Dan Analisis Framing, Rosda: Bandung

6. Rakhmat, Jalaluddin dkk, 1997, Hegemoni Budaya, Bentang Budaya: Yogyakarta

7. Costa, Made Dan Taruna, 2007, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi Motif Dan

Makna Simboliknya, Badan Komunikasi, Kebudayaan Dan Pariwisata: Cirebon

8. Purwanto, Sentiarso Aji Dan Teruo Sekomoto, 2005, Trusmi, Desa Batik Cirebon: Studi

Sosial Budaya Mengenai Keberadaan Kerajinan Batik Tradisional, PSJ-UI: Depok