BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

35
121 BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN TENUN SONGKET BALI Komodifikasi songket Bali sebenarnya adalah bagian dari gejala sosial masyarakat Bali yang semakin modern. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab komodifikasi songket Bali antara lain perubahan struktur sosial masyarakat, pola konsumsi yang berubah, tingkat pendidikan, pengaruh media dengan ideologi globalisasinya dan perkembangan sektor pariwisata dan indutri kreatif di Bali. 6.1. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Struktur masyarakat dalam kelompok, dalam kegiatan dan pengawasan serta organisasinya selalu mengalami perubahan (Daldjoen, 1979). Perubahan sosial sebagai bagian dari proses sosial mencakup perubahan dalam struktur, fungsi dan budaya kelompok kemasyarakatan. Perubahan sosial berarti juga perubahan struktur, kontak kontak budaya yang menimbulkan akulturasi dan konflik budaya. Perubahan sosial dapat terjadi secara wajar maupun direncanakan. Secara jelas perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan. Menurut Todd (dalam Daldjoen, 1979) kemajuan yang diinginkan dalam sebuah perubahan sosial adalah semua peningkatan atau pertambahan dalam hal kemakmuran, kesehatan, jumlah penduduk, ketertiban, dan kesempatan bagi masyarakat. Dalam hal ini para sosiolog menyebutkan ada empat faktor penyebab perubahan sosial yaitu: lingkungan alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak

Transcript of BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

Page 1: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

121

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI

KAIN TENUN SONGKET BALI

Komodifikasi songket Bali sebenarnya adalah bagian dari gejala sosial

masyarakat Bali yang semakin modern. Ada beberapa faktor yang menjadi

penyebab komodifikasi songket Bali antara lain perubahan struktur sosial

masyarakat, pola konsumsi yang berubah, tingkat pendidikan, pengaruh media

dengan ideologi globalisasinya dan perkembangan sektor pariwisata dan indutri

kreatif di Bali.

6.1. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat

Struktur masyarakat dalam kelompok, dalam kegiatan dan pengawasan

serta organisasinya selalu mengalami perubahan (Daldjoen, 1979). Perubahan

sosial sebagai bagian dari proses sosial mencakup perubahan dalam struktur,

fungsi dan budaya kelompok kemasyarakatan. Perubahan sosial berarti juga

perubahan struktur, kontak kontak budaya yang menimbulkan akulturasi dan

konflik budaya. Perubahan sosial dapat terjadi secara wajar maupun

direncanakan. Secara jelas perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan.

Menurut Todd (dalam Daldjoen, 1979) kemajuan yang diinginkan dalam sebuah

perubahan sosial adalah semua peningkatan atau pertambahan dalam hal

kemakmuran, kesehatan, jumlah penduduk, ketertiban, dan kesempatan bagi

masyarakat. Dalam hal ini para sosiolog menyebutkan ada empat faktor penyebab

perubahan sosial yaitu: lingkungan alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak

Page 2: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

122

sosial, serta struktur suatu budaya. Dalam kaitannya dengan kebudayaan

Koentjaraningrat (1985) berpendapat bahwa perubahan sebuah kebudayaan

melalui proses internal yaitu evolusi kebudayaan dan proses eksternal yaitu proses

difusi dan komunikasi kebudayaan.

Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang terus menerus bergerak dalam

bingkai perubahan. Manuaba (dalam Supartha, 1999) mengatakan bahwa

masyarakat Bali termasuk kelompok masyarakat yang sangat dinamik dalam

perubahan. Saat ini menurut Geriya (2000) Bali berada pada fase transisi dimana

masyarakatnya menjadi semakin heterogen yang masih mendukung sekaligus

dikotomi kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Secara meluas terjadi

perubahan dimana struktur masyarakat yang dahulu berorientasi pada pertanian

atau agraris berubah menjadi masyarakat yang lebih industrialis dengan segala

bentuk karakter masyarakat yang mencirikannya.

6.1.1. Struktur Masyarakat Agraris ke Masyarakat Non Agraris

Profil kebudayaan Bali pasca-agraris berwajah ganda yaitu dengan wajah

tradisional dan wajah modern (Vickers dalam Geriya, 1996). Menurut Bagus

(1999) hasil penelitian Clifford Geertz keadaan Bali sebelum peristiwa G 30S/PKI

keadaan masyarakat belum berorientasi pasar dan sangat kental dengan kehidupan

kolektifnya. Baru stelah proses PJP I masyarakat Bali telah berubah secara

mendasar menjadi masyarakat berorientasi pasar.

Bali telah berabad-abad hidup mengandalkan sektor pertanian.

Kebudayaan tradisional Bali adalah kebudayaan tanah, kebudayaan pertanian.

Page 3: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

123

Jika jiwa setiap orang Bali melekat pada tanah nenek moyang mereka, pada desa

tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Tanah adalah pusat kehidupan orang

Bali, karena pertanian adalah mata pencaharian utama orang Bali. Seluruh seni

budaya yang lahir bahkan agama orang Bali berkaitan dengan tanah. Sektor

pertanian di Bali merupakan bagian dari kebudayaan Bali itu sendiri. Masyarakat

Bali adalah petani yang handal menanam padi. Pertanian sawah di Bali sudah

sangat terkenal karena sistem subak yang mengatur irigasi persawaan secara

efektif dan efisien karena menerapkan dimensi sosio religious masyarakat. Dapat

dikatakan seluruh kebudayaan yang tumbuh di Bali berhubungan dengan sikap

dan mental masyarakat agraris. Pada masyarakat Bali agraris ukuran kesejahteraan

adalah luas kepemilikan sawah dan panen yang dihasilkannya. Wilayah garapan

sawah yang luas ini dikerjakan bersama-sama dalam kelompok tani yang kuat

solidaritasnya. Waktu senggang dalam siklus menanam dua kali dalam setahun

dimamfaatkan dengan kegiatan sosial serta mengembangkan daya cipta dan karsa

dalam kreatifitas berkesenian dan berkebudayaan.

Gambar 6.1

Kesederhanaan Masyarakat Agraris Bali dalam Berbusana

Sumber: http://senja17.blogspot.com

Page 4: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

124

Sebagai masyarakat agraris masyarakat Bali adalah masyarakat yang

kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat. Adat istiadat ini sudah

mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan

atau perbuatan manusia Bali dalam kehidupan sosialnya. Secara tradisional orang

Bali melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-

kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kebiasaan-kebiasaan

yang diwariskan turun temurun tersebut adalah upaya untuk mengatasi fenomena

alam yang tidak dapat diramalkan (Van Peursen, 1994). Karena itu seluruh

kemampuan hidup atau kebudayaan masyarakat agraris hakikinya adalah jawaban

terhadap tantangan yang bersumber dari alam. Salah satu yang lahir dari budaya

agraris Bali adalah kerajinan tradisional Bali yang kini termasyur di

mancanegara.Tanpa pertanian budaya seni dan kerajinan masyarakat Bali sulit

berkembang.

Sampai tahun 1976 sektor pertanian Bali menyerap 67,5 persen tenaga

kerja. Kemudian menurun tiap-tiap tahunnya seiring dengan semakin menguatnya

keberadaan sektor pariwisata. Sampai tahun 2003 kontribusi sektor pertanian

dalam menyerap tenaga kerja mencapai 35,63 persen.

Tabel 6.1 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Periode 1995-

1999

No Lapangan Kerja 1995 1996 1997 1998 1999

1 Pertanian 666.214 643.532 661.199 590.096 601.007

2 Industri 203.42 205.751 223.570 186.846 256.255

3

Perdagangan, Hotel,

dan Restoran 297.877 306.863 330.268 352.793 378.261

4 Lain-lain 437.482 429.681 430.371 46.444 466.919

Jumlah 1.603.993 1.584.827

1.645.408

1.597.179

1.702.441

Sumber : BPS Bali

Page 5: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

125

Pergeseran sektor pertanian ke sektor industri pariwisata dalam kurun waktu

tigapuluh tahun ini dianggap sangat dramatis mengubah wajah provinsi Bali.

Salah seorang informan sambil lalu mengatakan:

“Masyarakat sekarang sudah meninggalkan pertanian khususnya yang

dekat perkotaan. Sekitar sepuluh tahun lalu kota Denpasar masih banyak

sawah disini, tapi sekarang bangunan kantor dan perumahan menggantikan

areal persawahan. Kegiatan bertanipun tersingkir. Bapak sayapun sekarang

tidak bertani lagi, sudah berusaha dibidang jasa.”

(Wawancara 8 Juni 2013).

Seiring dengan berubahnya mata pencaharian masyarakat ada beberapa aktivitas

masyarakat yang juga mulai di tinggalkan. Sang informan sambil lalu juga

mengatakan :

“Biasanya kalau sehabis bertani, atau saat menunggu masa tanam

selanjutnya petani mengerjakan ketrampilan-ketrampilan lain yang

bermamfaat. Misalnya dalam berkriya, mematung, melukis, menenun atau

berkesenian untuk kebutuhan upacara agama. Tapi sekarang banyak yang

tidak dilakukan lagi. Ibu saya dulu membuat kebaya sendiri, sekarang

banyak toko yang menjual kebaya jadi, lebih mudah membelinya.”

(Wawancara 8 Juni 2013)

Penuturan informan diatas menjelaskan bagaimana secara perlahan

perubahan kegiatan masyarakat agraris yang berubah menjadi non agraris

berdampak pada pilihan masyarakat untuk memperoleh kebutuhan mereka yakni

dengan cara membeli barang jadi dari pada membuatnya sendiri.

Pada era 1980 an hingga1990 an Bali ditandai dengan perubahan cukup

drastis dalam sistem ekonominya, yaitu mulai ditinggalkannya sektor pertanian di

pedesaan. Sektor pariwisata dan pasar industri kerajinan di perkotaan lebih

menjanjikan perolehan uang tunai yang lebih banyak dan cepat. Sebagai

gambaran, pada tahun 1970 an proporsi tenaga kerja pertanian mencapai 60-70

Page 6: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

126

persen, dan pada tahun 2009 tinggal 35 persen. Sektor ekonomi andalan telah

bergeser dari pertanian ke jasa (pariwisata) dan industri kerajinan.

Kini pertanian tertinggal dibelakang, padahal pertanian telah menjadi

sokoguru bagi budaya tradisional Bali. Tradisi mencari merta (mata pencaharian)

di sawah dan ladang yang dianggap kampungan telah ditinggalkan, sebaliknya

sektor pariwisata yang dianggap bergengsi menjadi favorit masyarakat karena

menjanjikan lebih banyak dollar (Bagus, 2002). Menurut Bagus kaum muda

sekarang merasa ngekoh dan “jatuh gengsi” mengusahakan lahan-lahan pertanian

yang kotor. Dari sisi moral, kaum spiritual Hindu menganggap Bali sedang

berjalan menuju kaliyuga, di mana masyarakat mengalami kemajuan yang pesat

dalam aspek-aspek material namun semakin miskin dalam aspek spiritual.

Masyarakat yang dinamis ini terperangkap pada masalah-masalah keduniawian.

Dalam kitab Parasara Dharmasastra 1.33 tertulis bentuk perubahan tersebut:

“Yuge ca ye dharmas tatra ca ye dvijah , tesam ninda na kattavya yuga rupa hi te

dvijah” (aturan dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda).

Tradisi menyakralkan berbagai tahapan kehidupan manusia yang penting,

seperti kehamilan, kelahiran, peralihan usia, pernikahan, dan kematian, tidak

dibiarkan berlalu begitu saja. Tradisi menahannya dengan upacara, yang berisi

persyaratan yang tak boleh ditawar seperti penggunaan kain tenun dalam ritual.

Tujuannya agar tertoreh dalam batin dan menimbulkan rasa hormat. Akan tetapi,

globalisasi dan modernisasi yang memuliakan efisiensi, efektivitas, dan

menghitung segalanya dari keuntungan telah membuat perubahan yang dahsyat.

Di semua sektor kehidupan telah terjadi pengekangan emosional dengan dalih

Page 7: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

127

penyesuaian yang menyebabkan terjadi erosi dan abrasi pada keutuhan tradisi.

Kaitannya dengan busana bahwa dalam keadaan masyarakat seperti ini aturan atau

pakem berbusana tradisional juga mulai dilupakan. Dalam kaitannya dengan hal

tersebut seorang informan mengatakan :

“Terus terang saya tidak banyak tahu tentang pakem berbusana tradisional

Bali. Pakem busana tradisional Bali itu banyak dan rumit. Jadi saya lebih

memilih mencari cara yang sederhana saja. Asalkan tidak terlalu jauh, saya

memakai apa yang saya mau saja dengan kreasi saya sendiri. Kadang

bertanya dahulu keorang-orang. Tapi banyak juga yang tidak mampu

memberi penjelasan yang memuaskan.”

(Wawancara )

Sejak 1960-an dan 1970-an pemerintah Indonesia secara aktif

mengkapitalisasi kebudayaan Bali yang terkenal sebagai tujuan mass tourism dan

membangun Bali dengan infrastruktur pendukung, Bali pun kian berkembang

dengan kultur pariwisatanya (Picard,1995). Sejak itu pula nilai-nilai budaya asing

masuk kian derasnya. Semakin longgarnya ikatan tradisi dalam masyarakat Bali

adalah dampak dari menguatnya sifat individualis yang yang menjadi penciri

masyarakat industrialis modern. Masyarakat mulai menghitung untung rugi atas

apapun.

Persaingan atau kompetisi menjadi sebuah norma baru menggantikan

ikatan solidaritas atau semangat kebersamaan. Ilmuan seperti Charles Darwin,

Thomas Hobbes, Sigmund Freud, dan Margaret Mead mendukung nilai-nilai

kapitalisme khususnya kompetisi antar individu sebagai norma yang terbaik

dalam membentuk jiwa wirausaha. Dari sisi budaya kapitalis, norma-norma baru

ini adalah lahan yang subur untuk menumbuhkan inovator-inovator dalam industri

dan budaya. Demikian juga masyarakat Bali di abad ke-21 ini menjadi masyarakat

Page 8: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

128

industrialis yang memegang nilai-nilai baru, dengan pergaulan baru dan cara

pandang yang baru.

Masyarakat Bali menjadi sedemikian terbuka dengan intrusi masyarakat

global, dan rentan dengan ide-ide internasionalisme. Percampuran berbagai

kebudayaan di Bali semakin menyeret Bali dalam proses homogenisasi

kebudayaan. Homegenisasi budaya yang diusung oleh gerakan internasionalisme,

identik dengan ideologi kapitalisme. Ritzer (1996) menyebutkan gejala

masyarakat seperti ini berada di bawah pengaruh Mc.Donaldisasi dimana nilai-

nilai kapitalisme seperti efficiency, calculability , predictability dan control

menjadi pegangan untuk mengatur hubungan antar masyarakat. Ide-ide baru

dicerminkan lewat berbusana terlihat pada Gambar 6.2 dibawah ini.

Gambar 6.2

Wanita Bali Pasca Agraris dengan Busana Kebaya Modern

Dokumentasi: Indonesia Fashion Week 2012

Struktur masyarakat industrialis Bali semakin mengedepankan prinsip-

prinsip efisiensi dalam ekonomi. Hal ini dikarenakan aspek ekonomi menjadi titik

pusat dari kemunculan modernisasi di setiap negara (Max Weber, 1996) dan hal

Page 9: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

129

yang sama terjadi pula di Bali. Dengan dorongan motif ekonomi yang kuat, setiap

individu menurut Alex Inkelex (1965) beorientasi pada imbalan atas jasa-jasanya.

Dengan tindakan-tindakan yang dianggap rasional ini, masyarakat

bergerak dengan sejumlah tindakan untuk memuaskan kebutuhannya, diantaranya

dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang atau jasa

tertentu. Hukum dan pranata sosial yang berlaku pada keadaaan ini adalah yang

bersifat mendorong masyarakat untuk mencapai tujuannya, seperti; keterbukaan,

kebebasan berekspresi, demokrasi, penghargaan terhadap teknologi dan informasi,

sikap terbuka untuk perubahan, dan sebagainya. Paralel dengan semua itu di

dalam masayarakat muncul selebrasi akan nilai-nilai individualis yang dianggap

relevan dengan budaya kapitalis tetapi sekaligus memiliki ekses negatif. Nilai

individualisme kemudian menekan nilai altruisme yang dianggap usang (Robert

Bellah dan Mac Intyre, 1987). Bellah setuju dengan pendapat Habermas mengenai

kolonisasi hidup modern, yaitu terlalu banyak struktur kontrak ekonomis dan

birokratis pada kehidupan modern menjadi model hidup yang dijadikan ideologis.

Keuntungan ekonomi dianggap menjadi alasan utama bagi seluruh tindakan

masyarakat dan sering mengorbankan suprastruktur seperti sosial budaya. Dari

titik ini maka komodifikasi menjadi sebuah keniscayaan dalam norma modern.

Kondisi sekarang ini dimana komodifikasi budaya begitu sarat di Bali.

Ardika (2008), mengatakan komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh

pelaku ekonomi, masyarakat lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak

untuk melakukannya. Hampir semua aspek budaya yang mampu dijual mengalami

komodifikasi. Yang menjadi komoditas tidak saja budaya tangible tapi juga

Page 10: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

130

merambah pada yang intangible. Terkait dalam penelitian ini, salah satu artefak

budaya Bali yaitu kain tenun tradisional Bali, khususnya songket juga mengalami

komodifikasi. Kelompok masyarakat industri kain Songket Bali, baik pengrajin

sebagai hulu sampai kehilir yaitu konsumen, juga terlibat secara langsung maupun

tidak langsung dalam proses komodifikasi kain songket Bali. Hal ini ditegaskan

juga oleh Tjokorda Abinanda Sukawati atau Tjok Abi seorang designer terkemuka

Denpasar:

“Sebenarnya, kami sebagai orang Bali punya rasa enggan, dan takut

membuat karya-karya dari bahan songket Bali, karena kami mengerti

bagaimana proses yang terjadi saat songket diproduksi, kami tahu latar

belakang sejarah dan konteks saat songket dihasilkan. Hanya saja,

kreativitas kami tergelitik untuk membuat karya-karya baru. Memang ada

beberapa kasus, karena adanya dorongan permintaan dari customer kami.

Tentu sebagai designer kami berusaha untuk memenuhi permintaan

mereka, tetapi sedapat mungkin kami memberikan panduan agar mereka

tidak terlalu banyak melakukan modifikasi, karena songket Bali selain

mahal juga motifnya yang bersifat sakral.”

(Wawancara 8 April 2013)

Dari penjelasan informan tersebut diatas, terungkap pula motif ekonomi

mendorong pelaku produksi membuat modifikasi terhadap songket Bali. Menurut

Tjok Abi nilai tambah dari sebuah karya desain berbahan songket dapat berkali-

kali lipat dari nilai bahan dasar songket itu sendiri. Produksi songket yang

diwakili oleh pengrajin tenun juga terjerumus dengan pesatnya permintaan

songket di pasar. Pengrajin juga memenuhi order yang menginginkan berbagai

perubahan tertentu dalam motif dan warna. Biasanya yang diinginkan adalah

warna dan motif yang lebih mengikuti selera pasar dan trend berbusana.

Page 11: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

131

Karakteristik masyarakat modern yang berorientasi pada peningkatan

akumulasi kekayaan diungkap oleh Max Weber (1996: 53-60) “Man is dominated

by the making of money, by the acquisition of wealth as the ultimate purpose of

his life…A man does not „by nature‟ wish to earn more and more money, but

simply to live as he is accustomed to live and to earn as much as is necessary for

that purpose”, Hal ini juga menjelaskan motivasi individual kapitalis fesyen

dalam memodifikasi artefak budaya seperti songket Bali. Dalam wawancara Rico

Ananta mengatakan :

“Desainer juga harus memperhitungkan untung ruginya, biaya yang kita

keluarkan untuk sebuah pagelaran busana tidak kecil. Kami harus

memikirkan biaya gedung yang baik dengan menjaga selera pelanggan

kami. Biasanya hotel, ballroom, convention hall atau restaurant. Kami

juga harus menyewa event organizer yang mengatur jalannya acara.Kami

juga harus menyediakan hidangan santap malam dan membuat iklan,

semuanya butuh biaya. Karena itu kami butuh dukungan sponsor. Sponsor

mau memberi kalau acara ini sukses mendatangkan publik fesyen, dan

kami mengharapkan mereka adalah pembeli potensial kami. Dengan

demikian semua mendapatkan keuntungan.”

(Wawancara 15 April 2013)

Apa yang disampaikan narasumber diatas menyingkapkan bahwa para

desainer adalah kapitalis fesyen yang sama halnya dengan pengusaha lainnya

mengejar keuntungan finansial. “Showrooms are where big business is done and

besides cosmetics and perfumes, it's bags, boots and shoes rather than clothes

that reap the greatest financial rewards for the men-in-suits behind LVMH and

Gucci Group, etc”. (http://www.thenational.ae/lifestyle/what-makes-money-in-

fashion).

Page 12: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

132

6.1.2. Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat

Perekonomian Bali bertumbuh seiring dengan meningkatnya citra Bali

sebagai tujuan wisata. Perputaran uang dalam transaksi ekonomi kian cepat terjadi

dengan kedatangan wisatwan yang membelanjakan uangnya selama berwisata.

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Region III, I Gde Made Sadguna,

kepada harian Bali Post 22 Januari 2013, menjelaskan menguatnya pertumbuhan

perekonomian Bali didorong oleh kuatnya konsumsi domestik seiring dengan

peningkatan kelompok kelas menegah ke atas.

Dari sisi ketenagakerjaan data statistik ketenagakerjaan provinsi Bali tahun

2007 menunjukkan dari jumlah total penduduk Bali sekitar 3.466.200 orang, yang

bekerja sebesar 1.911.700 orang atau sekitar 72,61 persen dari jumlah total

penduduk. Ini menunjukkan tingkat produktivitas penduduk di Bali tergolong

cukup tinggi. PDRB Bali tahun 2012 meningkat sebesar 6,65 persen dibanding

tahun 2011. Besaran PDRB Bali tahun 2012 mencapai Rp 83,94 trilyun. Gini

rasio provinsi Bali tahun 2011 yaitu 0.3820 yang artinya pemerataan pendapatan

penduduk Bali cukup moderat. Konsumsi non makanan perkapita penduduk Bali

tahun 2010 sebesar Rp. 319 571,- perbulan Dan meningkat pada tahun 2011

sebesar Rp 442 226,- perbulan. Dalam hal ini seorang informan dari Dekranasda

mengatakan:

“Masyarakat Bali memang semakin sejahtera dalam ekonomi. Income

masyarakat meningkat karena pertumbuhan sektor pariwisata Bali.

Naiknya income juga berarti kemampuan atau daya beli mereka naik.

Makanya sektor konsumsi di Bali luar biasa bertambah Kita lihat saja

pertumbuhan retail dan ramainya pasar dipenuhi oleh manusia. Toko

busana juga sangat menonjol.”

(Wawancara 20 Agustus 2013)

Page 13: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

133

Dampak pertumbuhan pendapatan terhadap tingkat konsumsi masyarakat

berkorelasi positif. Menurut pakar ekonomi John Maynard Keynes bahwa

pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh

pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak

tingkat konsumsinya pula. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow

(1959) masyarakat modern secara linear berada dalam tahap komsumsi tinggi

dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (linier stage of growth models). Tetapi

terjadi paradoksikal pada pola konsumsi masyarakat bahwa kebutuhan yang

ditunjukkan dalam ekspresi konsumsi bukanlah sebuah kebutuhan dasar (basic

needs). Lury (1988) mengatakan ada peningkatan dalam makna relatif ekspresif

dibandingkan dengan mamfaat fungsional atau instrumental barang-barang. Jadi

terlihat bahwa yang dikonsumsi masyarakat tidak hanya sekedar objek tetapi juga

makna-makna di dalamnya. Pierre Bordieu dan Richard Nice (1984) juga

menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat.Dalam

pandangannya barang-barang yang dikonsumsi mengalami prosses modifikasi

tertentu sehingga mampu menjadi simbol status seseorang. Saat ditanya mengapa

menggunakan songket seorang informan, Ni Luh Putu Suyeni, mengatakan:

“Saya menggunakan songket karena selain memang indah songket itu

mahal sehingga memberikan kesan mewah bagi yang memakainya.”

(Wawancara 26 Juni 2013)

Gorge Simmel (dalam Ritzer, 2008) berpendapat bahwa imajinasi

mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang tersebut.

Dalam hal ini terjadi sebuah konstruksi mengkonsumsi dalam masyarakat

sehingga memunculkan budaya. Menurut Don Slater (1997) konsumsi adalah

Page 14: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

134

bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya

berhubungan dengan sesuatu dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau

pengalaman. Jean Baudrillard (dalam Wijaya, 2007), menjelaskan fenomena era

Postmodern, dimana masyarakat lebih mengutamakan simbol dan citra sehingga

konsumsi adalah usaha memenuhi keinginan (want) ketimbang kebutuhan (need).

Kultur konsumerisme adalah sebuah propaganda kaum kapitalis. Ini

sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Adorno dalam The Culture Industry

bahwa kebudayaan juga diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi

industri. Penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme membangun

kesadaran palsu dalam mengkonsumsi barang dipertegas oleh Fairclough (1995)

bahwa proses konsumsi menyangkut bagaimana barang didistribusikan dan

dikonsumsi. Kaum kapitalis tidak lagi mencari keuntungan dari nilai guna (utility

value) suatu barang melainkan dari nilai tukarnya (exchange value). Victor Lebow

seorang Retail Analyst (dalam Boot, 2008) mengatakan bahwa budaya konsumsi

adalah agenda kaum kapitalis.

“Our enormously productive economy… demands that we make

consumption our way of life, that we convert the buying and using of

goods into rituals, that we seek our spiritual satisfaction, our ego

satisfaction, in consumption… we need things consumed, burned up,

replaced and discarded at an ever increasing rate.”

Konsumerisme merupakan sebuah trend global yang menyebar keseluruh

penjuru dunia melalui agen-agen kapitalis. Bahkan kekuatan konsumen menjadi

energi sosial yang sangat kuat dalam merubah struktur masyarakat. Konsumen

global saat ini memiliki bargain position yang mempengaruhi keputusan dalam

proses produksi. Oleh karena itu kaum kapitalis segera mengambil posisi untuk

Page 15: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

135

merekayasa struktur masyarakat konsumtif melalui manipulasi hasrat lewat

penciptaan citra dan imaji. Tujuannya adalah merangsang lahirnya kebutuhan-

kebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya

tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat

kontemporer. Menurut Piliang (2004) transformasi aktifitas ekonomi manufaktur

menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat bahkan

untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah konsepsi

yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial, berupa citraan,

status, kelas sosial, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial lainnya. Ekonomi

hasrat oleh Jean Baudrillard dijelaskan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan

perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat dimana apapuun diproduksi, apapun

normal, apapun nyata. Jean Francois Lyotard (1994) mengganggap bahwa

ekonomi libido dalam budaya konsumerisme memamfaatkan potensi kesenangan

dan gairah yang tersimpan dalam diri individu tanpa takut akan tabu dan adat;

gunakan dan pertotonkan sebebas bebasnya keindahan-keindahan penampilan,

busana, kepribadian, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran

modal.

Salah satu proyek kaum kapitalis dalam reproduksi citra dan hasrat adalah

melalui fesyen. Fesyen diciptakan sebagai medium pembentukan personalitas,

gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda.

Fesyen bekerja dengan logika ekonomi libido. Piliang menjelaskan bahwa fesyen

sebagai proyek kapitalisme memproduksi lebih banyak lagi konsep, lebih banyak

lagi produk, lebih banyak lagi kesenangan, lebih banyak lagi prestise, lebih

Page 16: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

136

banyak lagi tanda, lebih banyak lagi gairah (fashion for passion), segala sesuatu

berkembang biak berkali-kali lipat. Intensifikasi energi libido ini membuka ruang-

ruang untuk komodifikasi baik komodifikasi penampilan, komodifikasi tubuh dan

kegairahan.

Songket Bali adalah artefak budaya tradisional Bali yang pada awalnya

diproduksi dan dikonsumsi secara terbatas. Hal ini dapat dimengerti karena baik

kemampuan menenun dan bahan atau material yang digunakan juga mengandung

nilai scarcity yakni hanya terbatas pada kelas bangsawan. Namun dalam logika

kapitalisme tidak ada sesuatu yang tabu dan terlarang, maka komodifikasi bukan

hal yang tidak mungkin. Ekonomi Bali yang didorong oleh faktor konsumsi

merupakan ruang yang luas untuk terjadinya komodifikasi budaya. Songket Bali

ditengarai sudah terpengaruh dengan sentuhan modifikasi sejak awal tahun 2000-

an dimana ajang Bali Fashion Week yang pertama digelar.

6.2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan memiliki fungsi sosial yang menjadi agen perubahan dalam

masyarakat. Menurut Nordholt (2002) modernitas di Bali dimulai pada tahun

1920-an dan 1930-an ketika ada sekelompok orang terpelajar lokal dalam

masyarakat. Pada waktu itu pihak Belanda ingin membangun birokrasi ala Barat

yang modern dan rasional. Ini juga bagian dari upaya pemerintah Belanda untuk

menghapus sistem stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat pada saat itu

karena dianggap sebagai ganjalan bagi penerapan sistem birokrasi Barat. Saat ini

jumlah penduduk yang melek huruf provinsi Bali cukup tinggi. Pada tahun 2010

statistik menunjukkan jumlah penduduk laki-laki yang melek huruf sebesar 93.01

Page 17: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

137

persen dan kaum perempuan sebesar 83.79 persen atau rata-rata penduuduk Bali

yang melek huruf sebesar 88,40 persen.

Tabel 6.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Bali Tahun 2005 s.d. 2007

No. Tingkat

Pendidikan

Tahun

2005 2006 2007

1 SD kebawah 52,32 % 52.07% 50,17 %

2 SMTP 15,20 % 14, 97 % 14,22 %

3 SMU/SMK 24,17 % 23,70 % 25,20 %

4 Diploma 3,81 % 4,15 % 5,08 %

5 Universitas 4,50 % 5,11 % 5, 33 %

Sumber: BPS Bali

Persentase penduduk Bali usia 15 tahun keatas menurut ijazah tertinggi

yang ditamatkan tahun 2011, SD sederajat sebesar 24,30 persen, SLTP sederajat

sebesar 19,12 persen, SMA sederajat 31,62 persen, program diploma (D1,D2,D3)

sebesar 4,47 persen dan perguruan Tinggi (S1,S2,S3) sebesar 6,68 persen.

Pendidikan memiliki hubungan causal terhadap perubahan sosial.

Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan

yang luas serta dalam semua aspek masyarakat. Secara linear masyarakat lebih

terbuka dan peka terhadap hal-hal yang baru. Hal ini dapat berarti sebuah hal yang

positif atau sebaliknya. Menurut Tjok Istri Ratna Cora:

“Pertumbuhan industri fesyen di Bali tergantung pada keterbukaan

masyarakat akan ide-ide baru. Kuncinya adalah pendidikan. Saat ini

masyarakat Bali sudah lebih terdidik. Karena itu pula kami beranikan diri

membuka program studi fesyem di ISI Denpasar, karena kami merasa

harus mengantisipasi kemajuan masyarakat yang semakin terdidik.

Dengan demikian kami memberikan landasan akademis bagi

perkembangan fesyen di Bali.”

(Wawancara 26 Juli 2013)

Apa yang disampaikan informan diatas menegaskan bahwa fesyen adalah

konsumsi bagi orang-orang yang terdidik..

Page 18: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

138

Dalam pandangan kritis nya Samuel Hutington menyebutkan pendidikan

sebagai proses homogenisasi. Dimana melalui modernisasi, membentuk struktur

dan kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses

homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan

transportasi.

Pendidikan juga dianggap menyebarkan budaya barat atau westernisasi.

Melalui pendidikan Gramsci (dalam Patria, 1999) mengatakan telah terjadi

hegemoni budaya terhadap negara Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih

banyak mengadaptasi nilai-nilai gaya hidup Barat sebagai identitas modern

sehingga kecenderungannya menganggap budaya lokal terbelakang dan usang.

Selain itu pendidikan menanamkan faham sekularisme pada tingkatan yang

moderat. Sekularisme merupakan pandangan hidup yang memisahkan nilai-nilai

altruism seperti agama dengan kehidupan dunia atau sekuler. Rico Ananta

memberikan pandangannya tentang hubungan pendidikan dan fesyen:

“Fesyen yang ngerti adalah yang bersekolah saja, mereka sudah menerima

ide-ide baru, berwawasan luas dan mengikuti trend.”

(Wawancara 15 April 2013)

Pandangan Rico diatas menganggap bahwa fesyen lebih menarik bagi kalangan

yang sudah terdidik karena kemampuan mereka mendapatkan informasi yang

relatif lebih banyak.

Pendidikan juga menjadi medium penyebaran budaya konsumerisme.

Dalam keadaan ekonomi mengalami perkembangan, menurut Rostow (1995),

masyarakat modern berada dalam tahap komsumsi tinggi dengan pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit

Page 19: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

139

perubahan baik dibidang ekonomi maupun sosial budaya. Dalam hal ini

masyarakat mengalami perubahan pola konsumsinya, dimana kebutuhan simbolik

lebih menonjol dari kebutuhan instrumental dari suatu barang.

Masyarakat modern juga ditandai dengan budaya hedonisme atau cara

hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau gengsi tertentu.

Kesenjangan sosial dan ekonomi, yang terjadi karena ketidakadilan dalam proses

pembangunan, misalnya karena menekankan atau memprioritaskan daerah atau

golongan sosial tertentu. Kehidupan kota metropolitan yang gemerlap, panggung-

panggung fesyen, konser musik, kerumunan masa di mal, pub, kafe dan restaurant

adalah gaya hidup yang hedonis. Semuanya adalah buah dari propaganda kapitalis

melalui komodifikasi gairah atau intensifikasi dari ekonomi libidinal.

6.3. Media dan Globalisasi

Permukaan dunia saat ini berubah secara drastis dengan sedemikian cepat.

Perubahan ini dipacu oleh perkembangan teknologi media dan informasi.

Gambaran masyarakat dunia yang mampu melakukan transaksi ekonomi dan

memperoleh informasi dalam waktu sepersekian menit dan detik terjadi berkat

teknologi satelit dan komputer. Tidak dapat ditolak lagi semua orang pun masuk

pada sebuah era dimana semua masyarakat dunia terhubung satu sama lainnya.

Pada tahun 1964, Mc. Luhan membuat sebuah hipotesis bahwa dunia

berjalan menuju sebuah kondisi yang disebutnya dengan istilah “global village”

(Sztompka, 2007). Hampir semua negara di dunia telah masuk dalam ikatan

kebudayaan global. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi

informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses

Page 20: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

140

terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena

pengaruh kebudayaan global. Mereka dipengaruhi terutama melalui reproduksi

narasi yang dilakukan oleh media massa secara cepat. Media memberi kontribusi

yang cukup besar dalam mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi

tersebut tidak selamanya bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat,

media juga tak jarang kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas.

Salah seorang informan, pengajar fesyen dari ISI Denpasar, Tjok Istri Ratna Cora

mengatakan:

“Fesyen itu budaya dari luar, dari barat tepatnya, kemudia disebarluaskan

melalui media seperti televisi, majalah, koran, internet dan juga melalui

pergaulan internasional.”

(Wawancara 26 JUli 2013)

Kehadiran media memperpendek jarak dan waktu. Heideger (1971)

menyebutnya dengan istilah menghilangnya jarak atau abolition distance. Dalam

gobalisasi menurut Robertson (1992) terjadi kompresi waktu dan jarak sehingga

terjadilah sebuah kesadaran umum. Melalui media, lahirlah kelompok pemodal

untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur

budaya dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok partikular dapat

menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan

diekspresikan melalui media yang mereka miliki.

Media massa merupakan sarana penyebarluasan berita dan informasi

kepada khalayak luas, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini

selaras dengan fungsi media massa sebagai lembaga siaran yang berkepentingan

dengan penyebaran informasi dan bisnis serta upaya mempengaruhi opini publik

internasional (Shoelhi, 2009). Globalisasi terjadi ketika ada media yang

Page 21: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

141

memfasilitasi interaksi antara masyarakat. Media di sini dapat berwujud teknologi

informasi, teknologi dan transportasi (Levit, 1983) sehingga terjadi mobilisasi

informasi dan manusia ke seluruh dunia. Giddens (1984) interaksi yang terjadi

membentuk sistem sosial yang mencakup pelbagai pelaku atau aktor sosial

dimana mereka melakukan proses pertukaran barang, jasa, serta ide-ide.

Dalam era globalisasi ekonomi, teknologi, informasi dan kultural, budaya

lokal dalam hal ini budaya tradisional Bali mengalami kondisi tarik menarik atau

tension dengan konteks budaya global (Prasiasa, 2011). Ada dua pendapat yang

berseberangan tentang kondisi Bali akibat pengaruh globalisasi. Yang pertama

beranggapan bahwa pengaruh tersebut hanya merubah sisi-sisi permukaan dari

kebudayaan tradisional Bali. Pendapat ini didukung oleh sosiolog Selo Sumardjan

dan budayawan Bali I Made Bandem. Kelompok kedua beranggapan globalisasi

telah menjadi ancaman serius bagi budaya tradisional Bali yang sedang

mengalami distorsi, diskontinu dan disintergrasi. Pendapat ini didukung oleh

Naya Sujana.

Masyarakat adat Bali lebih mengutamakan kebersamaan dalam

menyelesaikan persoalan sesuai semboyan salunglung sabayantaka, briyug

sepanggul, tis panes bareng, duduk sama rendah-berdiri sama tinggi, sedangkan

masyarakat global menempatkan kebersamaan hanya sebagai acuan tetapi cara

mencapai tujuan bersama tersebut diserahkan kepada kemampuan individu dan

iklim persaingan (Putra, 1998). Menurut Putra masuknya unsur luar melalui

globalisasi baik orang, nilai maupun kegiatannya sulit dijangkau oleh sifat dan

kekuatan hukum adat di Bali. Globalisasi hakekatnya adalah proses yang wajar

Page 22: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

142

dan alamiah (Firmanzah, 2007) dimulai ketika masyarakat masyarakat memiliki

rasa ingin tahu dan mencoba keluar dari lingkungannya untuk memahami, belajar

dan membuka diri terhadap dunia luar. Kini tontonan televisi, situs-situs di

internete, majalah, surat khabar dan sebagainya lebih dominan menjadi panduan

menggantikan awig-awig dan ajaran-ajaran leluhur nenek moyang. Piliang (2003)

mengungkapkan bahwa pada era post-industri media terlibat dalam

mempengaruhi makna yang termuat dalam objek-objek seni melalui proses

komunikasi. Media bahkan disebut sebagai bagian dari kekuasaan yang

menentukan proses produksi-konsumsi objek-objek estetik. Objek-objek seni yang

merupakan bagian dari kebudayaan materi yang diproduksi dan dikonsumsi

kemudian dijadikan alat untuk menyampaikan makna-makna dan kepentingan-

kepentingan sosial yang ada di belakangnya.

Media berjasa memperkenalkan artefak budaya Bali seperti kain tenun

Songket Bali kepada masyarakat luas, sehingga sadar akan keindahan dan

keistimewaannya. Tetapi disisi yang lain media berperan dalam menyebarkan

diskursus konsumsi sehingga komodifikasi budaya di Bali sedemikian meluas

menjangkau artefak budaya. Diskursus Media dan Globalisasi menanamkan

kesadaran palsu dalam benak masyarakat. Dalam aspek psikoanalis konsumsi

dipandang sebagai fenomena tak sadar (unconscious) (Lacan dalam Althusser,

1996). Karena itu konsumsi juga dipandang sebagai reproduksi hasrat dan

reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Melalui citra baik

visual dan non visual yang diproduksi media, dan informasi yang terus menerus

menggempur masyarakat, akhirnya alam bawah sadar masyarakat tunduk pada

Page 23: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

143

rasionalitas yang dibangun oleh kaum kapitalis. Dalam bukunya yang berjudul

„The Culture Code‟, Clotaire Rapaille (2007) menjelaskan bahwa pengolahan

informasi ini, serta perbedaan tindakan yang diambil, dipengaruhi oleh suatu

pemahaman bawah sadar yang melekat pada suatu barang atau isu. Skema berikut

(Skema 6.1) menggambarkan bagaimana ideologi konsumsi bekerja.

Masyarakat Songket Bali

Kode Konsumsi

Informasi

Citraan

Skema 6.1

Pengaruh Media dan Globalisasi dalam Komodifikasi Songket Bali

Pemahaman bawah sadar ini ia namakan „kode‟. Kode ini dikemas dalam

format citra atau imaji-imaji dan informasi yang bekerja dialam bawa sadar, untuk

membangkitkan hasrat-hasrat yang tertidur.

Seorang narasumber sambil lalu mengatakan:

“Informasi fesyen bisa kita dapat di mana-mana, ada televisi, majalah,

surat khabar atau secara langsung melihat pagelaran fashion show. Dari

situ kita tahu trend yang berkembang, tahun ini warna apa yang paling

disukai?, musim ini modelnya yang gimana? Sedikit banyak saya

mengikuti pada trend tersebut. Supaya gak dibilang ketinggalan atau ga up

date gitulah.”

(Wawancara 6 Agustus 2013)

Diskursus

Media &

Globalisasi

Alam Bawah Sadar

Keputusan Rasional

Masyarakat Fesyen

Komodifikasi

Songket

Page 24: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

144

Tuturan narasumber mengungkapkan bahwa keputusan mereka untuk

menggunakan sebuah model busana sediki banyak dipengaruhi oleh informasi

tentang trend busana di media yang merupakan agen propaganda pengusaha atau

koporasi. Seorang feminis Elizabeth Wilson menganggap propaganda media di

semua ruang publik dengan mencitrakan perempuan sebagai makhluk fashionable

memiliki motif konsumsi.

“Now, feminists have begun to explore the meanings of fashionable and

other kinds of dress. This exploration has gone against the grain of

traditional feminist suspicion of fashionable dress: many feminists reject

fashion because of the way in which it reinforces the sexual objectification

of women; for it‟s association with conspicuous consumption and the

positioning of women as economic chattels, as property, and because it is

held to be uncomfortable to render women helpless (high heels and

pinched-in waists, for example, can impede movement).”

Wilson melihat, kode-kode yang digunakan di sini adalah explorasi

seksual tubuh wanita yang membangkitkan alam sadar untuk bereaksi dengan

tindakan-tindakan konsumsi akan produk-produk fesyen. Mass media sebagai

alat korporasi bekerja begitu eksesif untuk mendukung industri “fast fashion”

dan menghidupkan hasrat-hasrat wanita dalam fesyen tetap menyala.

6.4 Pariwisata dan Industri Kreatif

6.4.1 Perkembangan Pariwisata dan Industri Kreatif

Bali dan pariwisata adalah dua kata yang identik saat ini. Hal ini tidak

berlebihan karena kontribusi sektor pariwisata menjadi yang terbesar bagi

pendapatan asli daerah (PAD) Bali. Sumberdaya alam Bali adalah keindahan

landscape atau bentang alamnya. Karena itu Bali selain mengandalkan sektor

pertanian, juga mengedepankan sektor pariwisata. Bahkan akhir-akhir ini

Page 25: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

145

pariwisata menjadi sektor tulang punggung bagi perekonomian Bali. Peranan

pariwisata tidak saja dalam kontribusinya terhadap PDRB tetapi juga dalam

penyerapan tenaga kerja. Ini terlihat bagaimana perdagangan, hotel dan restoran

yang menjadi bahagaian pada sektor pariwisata menyumbang PDRB Bali 2001

sebesar 33.91 persen (Bappeda Bali 2002). Pada tahun 1998 industri pariwisata

menyumbang 51,6 persen terhadap pendapatan masyarakat Bali. Tenaga kerja

yang terserap pada sektor ini di tahun yang sama sebesar 38,0 persen dan terus

meningkat tiap tahunnya (Erawan dalam Pitana, 2006).

Pada awalnya kekhawatiran masyarakat Bali terhadap sektor pariwisata

cukup besar karena ada banyak studi yang menunjukkan sektor pariwisata

membawa dampak buruk terhadap keberlangsungan budaya tradisional Bali

(Picard, 1996).

“When tourism was accused of corrupting Balinese culture, the issues

were the desacralization of the temples and the profanation of religious

ceremonies, the monetarization of social relations and the weakening of

community ties, or the relaxing of moral standards and the rise of

mercantile attitudes. These days, whether they are worrying about the

commoditization of their culture or rejoicing in the creativity of their

artists, the Balinese authorities seem to be concerned above all about what

is likely to be shown and sold to tourists”.

Demikian juga Askovic (1988) beranggapan pula bahwa kekuatan

kapitalis melalui pariwisata mendesak element-element budaya di Bali menjadi

kebutuhan dalam ekonomi pariwisata. Tetapi sejak pencetusan Bali sebagai

Pariwisata Budaya sebagai hasil dari seminar Pariwisata tahun 1971 oleh Pemda

Bali, kekhawatiran tersebut mulai memudar. Pariwisata budaya yang dimaksud

adalah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun1974 dan 1991 yakni

Page 26: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

146

pariwisata yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan lokal yakni

kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu sebagai bagian yang diakui

sebagai kebudayaan nasional yang berdasarkan Pancasila.

Kekhawatiran akan dampak negatif pariwisata terhadap kebudayaan

tradisonal Bali seperti yang diungkapkan Picard berlawanan dengan apa yang

dikemukakan oleh Hanna dan McKean. Menurut mereka pariwisata melalui

proses komersialisasi serta dorongan motif-motif ekonomi dari aktor-aktor yang

terlibat justru merangsang kreatifitas. Dalam hal ini masyarakat pendukung

pariwisata termotivasi untuk mengembangkan seni budaya yang layak dijual

dengan memenuhi selera penikmatnya. Hal ini mengawali lahirnya kreativitas

seniman dan atau pelaku seni di Bali untuk berinovasi, mencari betuk-bentuk

baru, memodifikasi serta memadupadankan bentuk-bentuk seni yang pernah ada

baik dari dalam maupun dari unsur di luar Bali.

Berbagai bentuk seni budaya di Bali sekarang ini mengalami

komersialisasi secara gencar dan intens. Komodifikasi budaya begitu sarat di Bali,

dan sebagian besar berhubungan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi sektor

pariwisata (Ardika, 2007 dan Pitana, 2000). Misalnya seperti apa yang di katakan

oleh Sanger (1988) tentang tarian Bali yang secara estetika sekarang disesuaikan

dengan selera pengunjung atau turis. Budiarsa (2012) membahasnya dalam

komodifikasi Tari Gambuh, dalam seni arsitektur dan artefak budaya Setiawan

(2011) dalam komodifikasi Pura Tirta Empul, dalam seni lukis Arta (2010)

membahasnya dalam seni lukis klasik Wayang Kamasan dan sebagainya. Semua

ini dapat berdampak buruk dikemudian hari bila tidak terkontrol dengan baik. If

Page 27: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

147

they created cultural productions specifically for tourists, there would be

enormous potential for crass commercialisation (Picard 1996).

Hubungan antara pariwisata dan industri kreatif semakin menunjukkan

sebuah keterkaitan yang saling memperkuat terutama sejak konferensi WIPO

(World Intelectual Property Organization) tahun 2008 di Bali. Kemudian Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan nomenklatur baru Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang semula bernama Kementerian Kebudayan

dan Pariwisata. Melalui pencanangan ini pariwisata Indonesia dibangun

berlandaskan kreativitas sumber daya manusia serta berbasis pada komunitas

(Hermantoro, 2011). Sejak pariwisata mengambil alih kehidupan orang Bali,

maka seni budaya di Bali diciptakan semata-mata untuk pariwisata yang

menghasilkan uang. Howe (2005) mengatakan :

“People come to see Balinese culture, and therefore it must be accessible

and tailored to tourist requirements…This has fostered the notion that

kebudayaan is a kind of object which Balinese possess but over which they

no longer have sole control, because it is being shaped partly to suit the

interests of the market and foreign investors”.

Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Bali khususnya Denpasar yang

memiliki warisan budaya yang adiluhung, juga dikenal dengan kerajinan tekstil

dan industri kreatifnya. Burns dan Holden (1995) menyatakan bahwa pariwisata

menimbulkan proses komoditisasi terhadap budaya lokal. Kedatangan wisatawan

ke Bali menyebabkan meningkatnya kebutuhan barang-barang seni sebagai

souvenir dan berbagai atraksi budaya Bali seperti ngaben, odalan dan lain-lain

sebagai event daya tarik wisata (Ardika, 2007).

Page 28: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

148

Sebagai sebuah artefak budaya, songket Bali juga menjadi objek komoditi

oleh ekonomi pariwisata untuk dieksplorasi (Ramsayer, 1997). Keunikan motif

dan warna yang khas dari songket Bali mengundang kelompok designer untuk

mengembangkan lebih jauh disain-disain busana yang mewakili kehidupan kaum

urban. Pagelaran fesyen show, expo perdagangan, bahkan dalam rangkaian acara

pertemuan pemimpin negara (high summit) sering menampilkan songket Bali

dalam format desain baru (lihat Gambar 6.3)

Gambar 6.3

Songket Bali dalam pagelaran busana karya

Priyo Octaviano pada APEC 2013 Nusa Dua

Dokumentasi A3 Denpasar

Menurut Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, seorang pemerhati busana

sekaligus pengajar dalam studi fesyen ISI Denpasar, bahwa pertumbuhan sektor

industri fesyen di Bali cukup menjanjikan, dengan adanya even-even besar seperti

Bali Fashion Week dan Pesta Keseniaan Bali (PKB).

“Kini para designer Bali punya ajang tersendiri dan mampu menunjukkan

diri mereka sejajar dengan perancang busana dari kota-kota besar lainnya

seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Bahkan designer Bali punya

Page 29: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

149

kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan exposure ke tingkat

internasional, mengingat reputasi Bali sebagai tujuan wisata terkenal di

mancanegara. Menanggapi perkembangan fesyen di Bali, kini ISI

Denpasar juga membuka study fesyen. Diharapkan melalui fakultas ini,

lahir desainer-desainer Bali yang mampu mengangkat nama Bali dan kain

tradisionalnya”

(Wawancara 26 Juli 2013)

Senada dengan Tjok Istri Ratna Cora, designer Bali Rico Ananta

mengungkapkan bahwa para designer Bali merasa bangga karena Bali memiliki

budaya tenun yang sudah terkenal.

“Sebagai designer yang tinggal di Bali, kami merasa bangga karena Bali

memiliki budaya tenun yang cukup dipandang, sebut saja kain tenun

Gringsing yang mendunia, kain Endek yang magis, kain Prada dan

Songket Bali yang mewah, kain Cepuk, kain Poleng yang sakral, dan

banyak lagi. Kekayaan ini menjadi inspirasi designer untuk berkarya

menghasilkan busan-busana yang elegan dan cantik. Ide-ide tidak akan

habis untuk menciptakan busana-busana dengan inspirasi dari kain

tradisional Bali”

(Wawancara 15 April 2013)

Sangat disadari oleh para perancang busana, bahwa sektor pariwisata yang

dominan di Bali membantu mereka sekaligus mendorong industri kreatif fesyen

turut berkembang. Menurut panitia BFW 2008, sebuah sisi fenomena lokal turut

bermunculan seiring dengan meningkatnya permintaan wisatawan untuk

mengkonsumsi fesyen bertemakan etnik. Maka dengan latar belakang itu, Bali

Fashion Week menjadi tolok ukur para desainer Bali maupun nasional yang sudah

dikenal luas. Mereka juga memamfaatkan booming ekonomi khususnya dengan

meningkatnya jumlah masyarakat kelas ekonomi menengah yang menjadi motor

budaya konsumtif di Bali.

Page 30: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

150

6.4.2 Industri Kreatif Fesyen Bali

Kontribusi industri kreatif Indonesia pada PDB nasional cukup besar.

Menurut BPS tahun 2002 – 2006 rata-rata kontribusi PDB industri kreatif

Indonesia sebesar 6,3 persen dari total PDB Nasional dengan nilai Rp 104,6

triliun. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun dan berkontribusi

sebesar 9,13 persen terhadap total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga

kerja mencapai 5,4 juta pekerja. Dari data diatas PDB industri kreatif menduduki

peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri

kreatif saat ini masih didominasi oleh kelompok fesyen, kerajinan, periklanan, dan

desain. Secara khusus dalam industri fesyen Menteri Perdagangan Gita Wirjawan

dalam harian Tempo Minggu 19 Mei 2013 mengatakan Tahun 2012 industri

fashion telah menyumbang sebesar 0,5 persen dari total PDB (US$ 1 triliun)

Indonesia.Pada tahun 2011 industri fashion mencapai angka 2,3 persen sebagai

merupakan penyumbang ekspor atau sekitar US$203,6 miliar. Diperkirakan

sumbangan industri fashion terhadap ekspor hingga 2,5 persen setiap tahunnya.

Seniman-seniman Bali telah mendorongi industri kreatif Bali berkembang

dengan pesat. Sinergis terjadi antara komunitas kesenian atau artis Bali,

masyarakat dan pemerintah daerah Bali. Pertumbuhan UKM dalam sektor

industri kreatif tidak terlepas dari propaganda konsep basmasesa yang

dipopulerkan oleh Ida Pedande Sidamen yang merupakan sebuah kearifan lokal

yang diharapkan mampu mengobarkan semangat dalam keunggulan dan

persaingan (Bagus, 2002). Dukungan pranata sosial Bali seperti ini memberikan

Page 31: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

151

dorongan besar bagi para seniman untuk terus serius mengembangkan teknik,

mencari dan mendalami karakter yan memberikan pencirian bagi karya-karya

mereka. Hal yang sama disampaikan oleh Tjok Abi:

“Orang Bali itu memang dilahirkan untuk berkesenian. Kehidupan sehar-

hari kami adalah berkesenian. Saat membuat banten, me-ngaya di acara

adat dan agama, dan apapun aktivitasnya selalu berhubungan dengan seni

budaya. Saya sendiri berasal dari keluarga seni, ayah saya Tjokorda Raka

Sukawati sang penemu teknik konstruksi Sosrobahu adalah seorang arsitek

demikian juga ibu saya, juga mencintai senibudaya. Kecintaan saya

dibidang design juga adalah dorongan keluarga yang akhirnya membuat

saya memutuskan pergi menimbah ilmu design ke Inggris”.

(Wawancara 8 April 2013)

Penuturan Tjok Abi merupakan bukti bahwa latarbelakang seni budaya

orang Bali dan pemahaman estetika yang berdasar kuat dari seni budaya

tradisional merupakan modal besar bagi para desainer untuk berkembang dan

sekaligus mendukung perkembangan industri ini di Bali. Industri kreatif fesyen

Bali sangat diperhitungkan dalam ajang-ajang pertunjukkan adibusana nasional.

Bali sudah menggelar Bali Fashion Week sejak tahun 2000. Bali Fashion Week

menginspirasi berdirinya Yogyakarta Fashion Week dan Indonesi Fashion Week

beberapa tahun sesudahnya. Bahkan Jakarta Fashion Week baru dimulai sejak

Desember 2012. Kepada CNN Ika Mardiana inisiator Bali Fashion Week

mengatakan: We want to establish a strong platform for the Indonesian fashion

industry to get a foothold in the international fashion arena, and this event

provides those involved in the industry with facilities and the means to promote

their products.” Dalam kesempatan tersebut Ika Mardiana juga ikut menampilkan

karya-karyanya yang mengangkat kain tenun tradisional Bali termasuk songket ke

panggug cat walk.

Page 32: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

152

Pada pagelaran Bali Fashion Week (BFW) ke tiga tahun 2002, Ika

bereksperimen dengan Songket Bali yang didesignnya dengan begitu berani.

Sebelumnya, Ika Mardiana pada tahun 1985 mendirikan Yayasan Moda Bali.

Yayasan ini juga yang melatari berdirinya asosiasi designer Bali atau lebih

dikenal dengan Mobas (Moda Bali Association). Mobbas dan APPMI (Asosiasi

Perancang Pengusaha Indonesia) cabang Bali adalah organisasi yang mewadai

masyarakat fesyen Bali untuk berkreasi.

Keberadaan BFW menurut beberapa pihak, menjadi salah satu indikator

bagi Bali aman, setelah tragedi bom Bali yang meluluh lantakan image Bali

sebagai surga yang damai di mata dunia internasional.Sebuah majalah mode

Australia (http://fashion-magazine-style.blogspot.com) menulis keberadaan BFW

“Not only from the aspect of economics (the export of the thing), but also from the

aspect of tourism. Minimally, the foreigner learned that Indonesia was still safe to

be visited.”

Gambar 6.4

Ika Mardiana Inisiator Bali Fashion Week

Sumber: http://www.ikabutoni.com/designer-ika/biography.htm

Page 33: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

153

BFW dalam kurun waktu sepuluh tahun baru mengadakan lima kali show,

dengan hambatan yang dikeluhkan penyelenggara seperti mahalnya pembiayaan

dari sebuah show yang diadakan dan animo masyarakat Bali yang kurang untuk

menghadiri acara-acara seperti ini.

Gambar 6.5

Logo Bali Fashion Week IV

Dokumentasi Yayasan Moda Bali 2007

Tetapi menurut Tjok Abi dan Rico Ananta bahwa kecenderungan

kesadaran fesyen masyarakat menunjukkan trend positif seiring dengan perbaikan

kualitas ekonomi masyarakat. Hal ini di tunjukkan dengan besarnya permintaan

design dari masyarakat dan penjualan setiap butik. Dari sisi designer, appresiasi

masyarakat sudah membaik ditandai dengan munculnya designer-designer muda

dengan kreativitas mereka cukup membanggakan.

Fesyen seperti halnya industri seni yang lain, harus terus menerus

mengembangkan kreativitasnya. Menurut Hegel (dalam Piliang, 2004) dari sisi

subjek, para designer adalah korban objektivikasi dimana subjek mengalami rasa

ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaannya sehingga membangkitkan motivasi

Page 34: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

154

dan daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut dalam suatu

dialektika penciptaan. Tetapi baik pandangan Hegel dan Marx tentang

objektivikasi ini menyimpang ketika fenomena konsumerisme terjadi dalam

masyarakat dimana yang terjadi hanya relasi konsumer semata: consumer par

excellence (Piliang; 2004). Dalam hal ini penekanannya adalah gejala

komodifikasi. Bahkan menurut Bourdieu (1984) mereka tidak menemukan,

tetapi mengulang kembali apa yang sudah ada dalam format recycle. “After a

fashion dies, it may resurface. Designers often borrow ideas from past. It may

reappear in an interpreted way by changing fabric or silhouette. Its not totally

new but its never exactly the same.” Seperti pada penyelenggaraan BFW ke-4

,dengan tema Tri Hita Karana, designer Bali menggagas design-design bertajuk

recycle sebagai wujud pengamalan konsep konservasi lingkungan yang melekat

pada filsafat hidup Hindu Bali.

Para designer juga melalukan investigasi terhadap pelanggan mereka.

Mereka mempelajari karakteristik yang berbeda-beda dari setiap pelanggan

mereka, dengan demikian mereka dapat memuaskan keinginan customer. Tjok

Abi juga mengatakan hal yang sama:

“Biasanya para pelanggan kami adalah orang-orang yang kami kenal

secara baik. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah atas dari

kawasan Denpasar dan sekitarnya. Ada juga sebagian kecil berdomisili di

beberapa kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka adalah warga Bali.

Tidak sulit mengenali mereka apalagi bila mereka berasal dari keluarga

puri. Pergaulan kami dalam lingkungan puri sedikit membantu mengenal

karakter mereka sehingga lebih muda mengetahui apa yang mereka mau.”

(Wawancara 8 April 2013)

Kepuasan pelanggan menjadi motivasi yang besar bagi designer dalam

berkarya, walaupun terkadang ada idealisme tersendiri untuk menghasilkan

Page 35: BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...

155

sebuah produk bernilai estetika yang tinggi, namun projek seperti ini hanya

menjadi koleksi saja. Keputusan-keputusan untuk momodifikasi kain tenun

tradisional seperti songket sepenuhnya adalah pertimbangan pasar. Menurut

Manuaba (1999) di sektor industri kecil dan rumahtangga eksport kerajinan dan

garmen mengalami perubahan design dan bentuknya sesuai dengan keinginan

pembeli atau pelanggan. Kepentingan bisnis adalah alasan utama menjadikan

fesyen sebagai komoditas untuk mendatangkan profit, terlihat sebagai bahan

perhatian desainer Bali. Jadi fesyen adalah masalah konsumsi, masalah

komodifikasi.

Keberadaan industri fesyen di Bali sama halnya dengan industri fesyen

diseluruh dunia adalah warisan budaya barat. Sebagai budaya barat fesyen bersifat

elitis (high fashion), fesyen juga yang menggambarkan gaya hidup kelas borjuis

masyarakat Eropah.Ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Karl Marx

bahwa seni atau art terikat pada kelas masyarakat tertentu. Kritik Marx adalah

art atau seni berhubungan dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat.

Masyarakat fesyen adalah para pelaku atau aktor dari komodifikasi.