247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf...
-
Upload
mauluddin-febri -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf...
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 1/15
1
ISI
Pendahuluan
Pada beberapa tahun terakhir, isu mengenai masalah energi tak terbarukan
semakin merebak. Harga energi tak terbarukan semakin mahal karena terjadi
penurunan supply yang diakibatkan oleh kelangkaannya. Masalah ini paling
dicerminkan oleh energi tak terbarukan yang berupa minyak, dan hasil olahannya
yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM). Masalah yang dapat timbul dari penggunaan
yang terus-menerus meningkat ini adalah kelangkaan BBM yang semakin parah.
Selain itu, masalah lain yang timbul juga adalah isu pemanasan global
dikarenakan oleh emisi kendaraan bermotor yang mengandung gas CO2.
Seperti yang kita ketahui, BBM sudah sangat familiar di lingkungan
masyarakat di seluruh dunia melalui penggunaannya pada kendaraan bermotor,
terutama kendaraan bermotor milik pribadi. Di Indonesia sendiri, jumlah
kendaraan bermotor milik pribadi untuk penumpang (mobil dan sepeda motor)
yang ada di Indonesia pada tahun 2012 berjumlah 86,8 juta kendaraan, dengan
pertumbuhan rata-rata dalam 5 tahun terakhir sebesar 12,2%, (Tabel 1). Dengan
semakin banyaknya kendaraan bermotor, semakin banyak pula penggunaan BBM.
Padahal, cadangan BBM jumlahnya terbatas.
Melihat hal ini, pemerintah negara-negara di seluruh dunia mulai
menerapkan kebijakan yang dapat berdampak pada pemeliharaan cadangan dan
pengurangan pemakaian BBM. Negara-negara kaya ada yang memilih untuk
mengimpor minyak, bukannya memproduksi dari sumur sendiri. Selain itu, ada
juga kebijakan untuk menggunakan energi alternatif selain minyak sebagai
pengganti BBM. Pemerintah Indonesia juga telah mengambil berbagai kebijakanuntuk mengatasi permasalahan BBM ini, salah satunya melalui Low-Cost Green
Car (LCGC).
Dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang
Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi
dan Harga Terjangkau, LCGC adalah mobil yang memiliki kapasitas isi silinder
maksimal 1.200 cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter. Ditinjau
dari konsumsi BBM, LCGC merupakan salah satu langkah efektif untuk
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 2/15
2
mengurangi pemakaian BBM. Masyarakat Indonesia diharapkan dapat beralih dari
mobil konvensional ke LCGC. Untuk mendorong peralihan ini, LCGC harus
dibuat memikat masyarakat sebagai konsumen mobil, dan pemikat utamanya,
selain konsumsi BBM, adalah harganya yang terjangkau. Dalam Permen tersebut,
diatur bahwa harga jual on the road (sudah termasuk pajak) LCGC ke konsumen
maksimalnya Rp 95 juta, sekalipun dalam realisasinya sekarang ini masih ada
yang mencapai Rp 120 juta. Harga yang relatif rendah ini dapat diraih melalui
fasilitas fiskal yang diterima oleh LCGC, yaitu pembebasan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM).
Dasar Teori
Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. PPnBM dikenakan hanya satu kali,
yaitu pada saat penyerahan BKP yang bersangkutan dari pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impornya. Tarif PPnBM bervariasi, ditentukan
berdasarkan jenis dari BKP yang tergolong mewah tersebut. Tarif tersebut paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%.
BKP yang tergolong mewah digolongkan menjadi dua jenis, yaitu BKP
yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan BKP yang tergolong
mewah selain kendaraan bermotor. Di dalam BKP yang tergolong mewah berupa
kendaraan bermotor sendiri, pengenaan tarif bervariasi, berkisar antara 10%
hingga 75%, dan pengenaannya didasarkan pada jenis kendaraan bermotor yang
bersangkutan serta kriteria lainnya. Kriteria lainnya yang paling mencolok adalah
kapasitas mesin.
Pada prakteknya, PPnBM dibebankan kepada konsumen. Untuk BKP yang
tergolong mewah, produsen biasanya membebankan PPnBM kepada konsumen
dengan cara sudah menentukan harga jual sebelum pajak terlebih dahulu,
kemudian menambahkan PPN dan PPnBM untuk menentukan besaran yang harus
dibayarkan oleh konsumen. Menurut Parkin (2012), pemungutan pajak yang
dibebankan pada konsumen akan menurunkan permintaan dan menggeser kurva
permintaan ke sebelah kiri di dalam sebuah kurva fungsi permintaan-penawaran
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 3/15
3
(Grafik 1). Dengan pergeseran kurva permintaan ke sebelah kiri, titik
keseimbangan pasar juga akan bergeser ke sebelah kiri bawah. Hal ini
menggambarkan bahwa PPnBM akan menurunkan kuantitas penjualan dan harga
yang diterima oleh produsen. Akan tetapi, harga yang harus dibayarkan oleh
konsumen akan bertambah. Dengan menarik garis lurus ke atas dari kurva
permintaan setelah pajak ke kurva penawaran, akan ditemukan harga yang harus
dibayarkan oleh konsumen termasuk pajak. Jarak antara kurva permintaan dan
kurva penawaran ini adalah penerimaan pajak bagi pemerintah.
Untuk mengatasi penurunan permintaan agregat yang diakibatkan oleh
pajak, pemerintah dapat mengatasinya dengan berbagai kebijakan fiskal. Menurut
OSullivan, kebijakan fiskal adalah fungsi dari penerimaan dan pengeluaran
pemerintah dengan cara menaikkan atau menurunkannya agar memberi dampak
pada permintaan agregat dan aktivitas ekonomi. Menurut Parkin (2012), kebijakan
fiskal terbagi dua berdasarkan stimulannya, yaitu kebijakan fiskal otomatis dan
kebijakan fiskal diskresioner. Kebijakan fiskal otomatis adalah kebijakan fiskal
yang dipicu oleh kondisi perekonomian tanpa aksi dari pemerintah, sedangkan
kebijakan fiskal diskresioner adalah kebijakan fiskal yang diakibatkan oleh aksi
pemerintah. Kebijakan fiskal diskresioner memerlukan perubahan pada anggaran
belanja pemerintah atau pada hukum perpajakan.
Lanjut Parkin, jika pada kebijakan fiskal diskresioner pemerintah
memutuskan untuk mengurangi pendapatan pajaknya (tax cut), akan muncul tax
multiplier. Tax multiplier adalah dampak kuantitatif sebuah perubahan pada
perpajakan terhadap PDB riil. Pada tax cut, permintaan agregat akan bertambah
akibat bertambahnya jumlah pendapatan disposibel. Akan tetapi, pendapatan
pemerintah akan berkurang sehingga memicu pembiayaan yang lebih besar padaanggaran pendapatan dan pengeluran pemerintah pada anggaran defisit, atau
mengurangi jumlah yang dapat dipinjamkan oleh pemerintah pada anggaran
surplus. Hal ini akan berdampak pada naiknya tingkat bunga riil dan biaya
investasi meningkat sehingga investasi akan berkurang.
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 4/15
4
Tinjauan Literatur
Menurut Bagwell dan Bernheim (1996), Veblen effectsada ketika konsumen
menunjukkan keinginan untuk membayarkan harga yang lebih mahal untuk
sebuah barang yang fungsionalitasnya sama. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan oleh Bagwell dan Bernheim, konsumen tidak ingin membayar lebih
murah kepada produsen barang Veblen (barang mewah). Jika harga barang
Veblen diturunkan, penjualan akan naik drastis pada awalnya, tetapi setelah itu
akan turun drastis melebihi penjualan pada harga sebelum harga diturunkan.
Miller (1975) juga berpendapat demikian, bahwa fungsionalitas sebuah barang
sulit diukur karena konsumen sering kali kurang informasi dalam menilai sebuah
barang yang kompleks dan akhirnya konsumen berasumsi bahwa harga yang
tinggi menunjukkan kualitas yang tinggi pula. Akan tetapi, untuk barang mewah,
harga bukan hanya sebagai alat pembantu dalam menilai sebuah barang,
melainkan bagian dari nilai kegunaan barang itu sendiri.
Menurut Rosdiana (2004), PPnBM dikenakan pada suatu BKP berdasarkan
empat pertimbangan, yaitu:
1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen berpenghasilan tinggi
2.
perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong
mewah
3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
4.
perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Menurut Raharja (2006), yang dimaksud BKP yang tergolong mewah
adalah:
1.
barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau2. barang tersebut dikonsumsi masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat,
seperti minuman beralkohol.
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 5/15
5
Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), pajak mempunyai dua fungsi dasar
terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, yaitu:
1. fungsi budgetair: pajak sebagai intrumen untuk memasukkan dana
secara optimal ke kas negara
2. fungsi regulerend: pajak merupakan instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah
Menurut Djohantinar (2009), pengenaan PPnBM lebih condong sebagai
fungsi regulerend perpajakan. Tujuan pengenaan PPnBM yang utama adalah
mengendalikan konsumsi barang mewah dalam negeri dan mengurangi dampak
regresif dari kebijakan fiskal pemerintah yang lainnya yaitu dampak regresif dari
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pembahasan
LCGC diharapkan menjadi jawaban atas beberapa permasalahan yang
dialami Indonesia, khususnya dalam bidang otomotif. Permasalahan pertama
adalah defisit neraca ekspor-impor barang otomotif yang bisa kita lihat dari sisi
ekspor-impor kendaraan jadi maupun suku cadangnya. Indonesia memiliki
kemampuan produksi suku cadang, yang beberapa tahun terakhir ini berkembang
cukup pesat. Ekspor suku cadang dari Indonesia cukup berkembang sejak tahun
2005, dan pada tahun 2010 serta 2011 menunjukkan angka ekspor mendekati US$
1,4 milyar (Grafik 2), hampir dua kali lipat ekspor suku cadang kendaraan pada
tahun 2005. Walaupun, neraca ekspor-impor suku cadang kendaraan Indonesia
masih defisit akibat suku cadang tertentu yang masih harus diimpor.
Pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak hanya meningkatkan kebutuhan
dan produksi bahan baku seperti suku cadang kendaraan, tetapi juga produksibarang siap pakainya, yaitu kendaraan jadi. Produksi kendaraan jadi Indonesia
pertumbuhannya tidak menentu yaitu sudah menyentuh angka US$ 1 milyar pada
tahun 2005, kemudian turun hampir 60% pada tahun berikutnya, lalu berhasil
kembali hingga US$ 1,3 milyar pada 2008, kemudian turun kembali lebih dari
50% tahun 2009, dan akhirnya pada 2011 dapat tumbuh hingga US$ 1,5 milyar
(Grafik 3). Pertumbuhan ekspor suku cadang kendaraan juga naik turun, tetapi
lebih stabil dibandingkan ekspor kendaraan jadi.
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 6/15
6
Sekalipun pada 2009-2011 menunjukkan pertumbuhan yang pesat sebesar
140% dari US$ 642 juta hingga menjadi US$ 1,54 milyar, pertumbuhan ini tidak
dapat mengimbangi pertumbuhan impor kendaraan jadi yang diakibatkan oleh
pertumbuhan kebutuhan pasar kendaraan jadi Indonesia yang disokong
pertumbuhan perekonomian secara menyeluruh. Kekosongan pada kebutuhan
pasar kendaraan jadi yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri diisi
oleh impor kendaraan jadi sehingga pada kurun waktu yang sama, impor
kendaraan jadi ke Indonesia tumbuh signifikan, yaitu sebesar 165% dan dari US$
2,2 milyar menjadi US$ 5,83 milyar. Jumlah impor yang begitu besar ini
membuat defisit neraca ekspor-impor kendaraan jadi terus bertambah, dari US$
1,5 milyar hingga menjadi US$ 4,2 milyar.
Pemerintah melihat defisit neraca ekspor-impor suku cadang kendaraan dan
kendaraan jadi ini sebagai ruang bagi Indonesia untuk bertumbuh pesat. Defisit
neraca ekspor-impor suku cadang menunjukkan bahwa impor suku cadang terus
bertambah. Pertumbuhan impor suku cadang dilakukan jika produksi kendaraan
jadi dalam negeri juga bertumbuh, ditunjukkan oleh jumlah ekspor kendaraan jadi
yang juga bertumbuh. Selain itu, defisit neraca ekspor-impor kendaraan jadi
menunjukkan bahwa impor kendaraan jadi juga terus bertumbuh. Ini
menunjukkan bahwa kebutuhan pasar Indonesia akan kendaraan jadi bertumbuh
pesat. Pertumbuhan ini juga dapat dilihat pada pertumbuhan jumlah kendaraan per
tahunnya (Tabel 1), yang pada periode 2009 berjumlah 67,3 juta hingga menjadi
85,6 juta pada tahun 2011 dan 94,3 juta pada tahun 2012. Akan tetapi,
pertumbuhan ini didominasi oleh pertumbuhan sepeda motor (2009-2012: 23,6
juta), sedangkan mobil hanya mendapat porsi 2,5 juta. Oleh karena itu, pemerintah
ingin memaksimalisasi kesempatan tersebut dengan menumbuhkan produksimobil dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri melalui
LCGC.
Produksi LCGC dilaksanakan untuk dengan beberapa tujuan, di antaranya
adalah memajukan industri otomotif dan mengurangi defisit neraca ekspor-impor
kendaraan jadi Indonesia. Kesuksesan pencapaian keduanya sangat dipengaruhi
oleh permintaan pasar Indonesia terhadap LCGC. Sesuai dengan teori permintaan,
kuantitas permintaan akan bertambah jika harganya menurun, begitu pula
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 7/15
7
sebaliknya. Oleh karena itu, dalam rangka menurunkan harga LCGC, pemerintah
menentukan kebijakan untuk memberikan fasilitas fiskal terhadap LCGC, yaitu
pembebasan PPnBM.
LCGC dibebaskan dari PPnBM karena pemerintah tidak menganggapnya
sebagai barang Veblen (mewah), melainkan barang yang tidak hanya akan
dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi saja. LCGC tidak dikonsumsi
untuk menunjukkan status karena peruntukannya memang bagi masyarakat
berpenghasilan relatif rendah, untuk pemenuhan fungsionalitas mobil yang selama
ini tidak dapat dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah tersebut.
Pembebasan PPnBM pada LCGC diharapkan meningkatkan permintaan
pasar Indonesia terhadap LCGC. Dengan iming-iming demikian, pabrikan
otomotif di Indonesia diajak untuk berinvestasi dalam produksi LCGC. Melalui
publikasi LCGC, Kementerian Perindustrian mengusulkan jumlah investasi
mencapai US$ 1,6 milyar yang berasal dari pabrikan-pabrikan mobil yang
memegang total empat merk mobil Jepang (Tabel 2). Rencananya, hasil dari
investasi tersebut (Tabel 3) adalah produksi LCGC pada 2012 sebanyak 80 ribu,
2014 sebanyak 300 ribu, dan 2016 sebanyak 600 ribu, guna memenuhi permintaan
dalam negeri. Akan tetapi, realisasinya ternyata baru dimulai sejak September
2013, dengan penjualan LCGC pada 2013 sebanyak 52 ribu mobil.
Penjualan LCGC menjadi pendorong industri manufaktur, khususnya
otomotif, karena LCGC, yang termasuk ke dalam kategori city car, hanya
mengambil sedikit pangsa pasar city car, dan mengambil pangsa pasar yang
sekarang dikuasainya dari pasar lainnya, yaitu masyarakat yang belum memiliki
kendaraan pribadi dan masyarakat yang hanya memiliki sepeda motor pribadi,
dengan penghasilan relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat yang menjadipasar mobil non-LCGC. Terbukti pada bulan Januari dan Februari 2014, mobil
city car non-LCGC seperti Toyota Etios dan Mitsubishi Mirage tetap mencatat
pertumbuhan penjualan dibandingkan periode yang sama pada 2013.
LCGC juga mendorong industri manufaktur dalam negeri dengan peraturan
minimal jumlah ideal komponen hasil pabrikan dalam negeri di dalam mobil
LCGC sebanyak 80-85%. Pada LCGC yang sudah beredar di pasaran, komponen
dari dalam negeri baru mencapai sekitar 40% karena pabrik produsen komponen
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 8/15
8
dan suku cadang dalam negeri hanya berjumlah 70 pabrik, dan direncanakan pada
2015 jumlah pabrik komponen dapat mencapai 100-110. Sedangkan, jika ingin
komponen LCGC 100% hasil dalam negeri, jumlah pabrik komponen yang
dibutuhkan mencapai 500-600 pabrik. Kebutuhan akan pabrik komponen ini
diharapkan dapat merangsang investasi pada pabrik produsen komponen dan suku
cadang dalam negeri.
Masalah kedua yang diharapkan dapat diatasi melalui LCGC adalah
penggunaan BBM bersubsidi. Pada APBNP 2013, anggaran belanja subsidi BBM
dan BBN mencapai Rp 149 triliun, dan pada APBN 2014 menurun menjadi Rp
147 triliun. Sekalipun pada APBN kelihatannya mengalami peningkatan, faktanya
tidaklah demikian. APBN dibuat dengan asumsi pelaksanaan peraturan bahwa
LCGC hanya diperbolehkan menggunakan BBM dengan Research Octane
Number (RON) minimal 92, sedangkan BBM bersubsidi, yaitu Premium,
memiliki RON 88 sehingga LCGC tidak diperbolehkan menggunakan BBM
bersubsidi. Tetapi, kenyataannya masalah BBM ini mungkin tidak dapat diatasi.
Lembaga riset Frost dan Sullivan memprediksi penjualan LCGC akan
mencapai 125 ribu unit, bertumbuh 144% dari angka penjualan 2013. Dalam
proyeksi ini, LCGC dapat mengambil sedikit pangsa pasar mobil konvensional
non-LCGC dan dapat membuat masyarakat yang ingin membeli mobil pertama
kalinya menjadi konsumen LCGC. Dengan proyeksi perkembangan pangsa pasar
LCGC, BBM bersubsidi diharapkan dapat dikurangi penggunaannya jika regulasi
penggunaan BBM RON 92 pada LCGC berhasil diterapkan. Tetapi, pada
kenyataan di lapangan, pengguna LCGC masih dapat mengonsumsi BBM
bersubsidi. Sekalipun memiliki rasio konsumsi BBM yang lebih hemat
dibandingkan mobil konvensional lainnya, jumlah LCGC yang akan terusbertambah tetap akan menambah jumlah konsumsi BBM bersubsidi.
PPnBM memang merupakan fungsi regulerend perpajakan sehingga
seharusnya tidak terlalu memengaruhi jumlah pendapatan pajak negara,
diperlihatkan melalui anggaran pendapatan PPN dan PPnBM yang menunjukkan
pertumbuhan dari APBN 2013 yang sebesar Rp 423 triliun menjadi Rp 492 triliun
pada APBN 2014, dan defisit anggaran yang berkurang dari Rp 224 triliun pada
APBN-P 2013 menjadi Rp 175 triliun pada APBN 2014 (Grafik 4). Akan tetapi,
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-gr 9/15
9
asumsi APBN 2014 dibuat berdasarkan pelaksanaan penggunaan BBM dengan
RON minimal 92 pada LCGC berhasil. Jika melihat kenyataan di lapangan, ada
kemungkinan akan ada revisi belanja subsidi BBM pada APBN-P 2014 yang
bertambah drastis sehingga menyebabkan defisit anggaran semakin besar.
Pembengkakan defisit anggaran ini juga didukung dari kinerja penerimaan
pendapatan PPnBM Januari 2014 sebesar Rp 476 miliar, turun drastis dari
penerimaan PPnBM Januari 2013 sebesar Rp 894 miliar (Tabel 4). Penurunan
drastis penerimaan PPnBM ini diakibatkan oleh adanya fasilitas PPnBM untuk
LCGC.
Defisit anggaran yang semakin besar akan membutuhkan pembiayaan yang
lebih besar dan dapat menghabiskan supply of loanable fundsuntuk kepentingan
investasi masyarakat. Sesuai dengan teori ekonomi menurut Parkin (2012),
berkurangnya pendapatan negara melalui tax cut dapat menimbulkan crowding-
out investasi yang diakibatkan oleh naiknya tingkat bunga riil, akibat dari
berkurangnya supply of loanable funds. Akibat fasilitas PPnBM, jumlah investasi
pada berbagai sektor akan berkurang. Sekalipun investasi pada sektor industri
otomotif bertambah, pada perhitungan PDB, jumlahnya dapat di-offset dengan
penurunan investasi pada berbagai sektor lainnya akibat crowding-out sehingga
pertambahan PDB Indonesia melalui investasi menjadi sedikit.
Kesimpulan
Melalui produksi LCGC, permasalahan defisit neraca ekspor-impor barang
kendaraan diharapkan dapat diatasi dengan penurunan impor kendaraan jadi
akibat pemenuhan kebutuhan pasar dengan hasil produksi sendiri, kenaikan
ekspor kendaraan jadi dengan bertambahnya varian hasil produksi mobilkendaraan jadi dari Indonesia yang dapat memikat pasar internasional, serta
kenaikan ekspor dan penurunan impor suku cadang kendaraan sebagai hasil dari
investasi pabrik komponen. Fasilitas PPnBM pada LCGC dapat merangsang
permintaan terhadap LCGC karena harga on the road LCGC yang murah, dan
pada akhirnya membantu Indonesia dalam proses tranformasi industrialisasi
melalui investasi pabrik-pabrik LCGC dan komponennya sehingga daya saing
produk Indonesia dapat meningkat di pasar lokal maupun internasional, dan PDB
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 10/15
10
Indonesia dapat bertambah melalui peningkatan ekspor dan pengurangan impor
barang otomotif. Selain itu, pabrik-pabrik tersebut, yang membutuhkan produksi
secara masal demi pemenuhan kebutuhan pasar, juga membutuhkan tenaga kerja,
dan jumlah yang dapat diserap melalui investasi pabrik ini akan sangat besar
sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran.
Tetapi, fasilitas PPnBM pada LCGC juga dapat menjadi bumerang bagi
perekonomian Indonesia, melalui penggunaan BBM bersubsidi oleh LCGC dan
crowding-out investasi pada sektor selain otomotif. Oleh sebab itu, fasilitas
PPnBM ini perlu dibarengi dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan
earmarking tax, yaitu penggunaan pendapatan pajak tertentu untuk dipakai
sebagai dana bagi belanja tertentu. Pendapatan dari PPnBM kendaraan selain
LCGC, PKB, dan BBNKB seharusnya digunakan untuk membangun dan
memperbaiki sarana dan prasarana transportasi publik seperti penambahan
transportasi masal serta pelebaran, perbaikan, dan penambahan jalan. Melalui
earmarking tax dari pendapatan pajak yang berasal dari kendaraan bermotor, dana
belanja fasilitas transportasi publik akan memiliki sumber pendanaan yang sudah
pasti dan banyak jumlahnya, serta pendapatan pajak yang berasal dari kendaraan
bermotor akan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan belanja fasilitas
transportasi publik sehingga seharusnya pembangunannya dapat berjalan lancar
tanpa hambatan dana.
Dengan pembangunan yang lancar, fasilitas transportasi publik akan selesai
relatif cepat. Jalanan di kota-kota besar bertambah banyak dan semakin lebar
sehingga kemacetan, yang sangat menguras BBM, dapat dikurangi. Transportasi
masal juga bertambah banyak dan semakin bagus sehingga masyarakat beralih
dari menggunakan transportasi pribadi ke transportasi masal. Hal ini akanmembuat penggunaan BBM bersubsidi dapat ditekan. Pada dampak jangka
panjangnya, dengan menurunnya penggunaan BBM bersubsidi, defisit anggaran
dan pembiayaannya dalam APBN dapat dikurangi, tingkat bunga riil menurun
akibat bertambahnyasupply of loanable fundsbertambah, dan investasi serta PDB
Indonesia pun meningkat.
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 11/15
11
APPENDIX
Tabel
Tabel 1
TahunMobil
PenumpangBis Truk Sepeda Motor Jumlah
2007 6877229 1736087 4234236 41955128 54802680
2008 7489852 2059187 4452343 47683681 61685063
2009 7910407 2160973 4452343 52767093 67336644
2010 8891041 2250109 4687789 61078188 76907127
2011 9548866 2254406 4958738 68839341 85601351
2012 10432259 2273821 5286061 76381183 94373324
Sumber : bps.go.id
Tabel 2
Tabel 3
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 12/15
12
Tabel 4
Sumber: Evaluasi Penerimaan Pajak DJP Periode 1 Januari S.D 31 Januari 2014
kemenkeu.go.id
Grafik
Grafik 1
Sumber: Michael
Parkin,Economics,
10thedition(2012)
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 13/15
13
Grafik 2
Grafik 3
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 14/15
14
Grafik 4
Sumber: Infografis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2014
-
7/26/2019 247828912-Pengaruh-Kebijakan-Fiskal-Fasilitas-Perpajakan-PPnBM-untuk-Kendaraan-Low-Cost-Green-Cars.pdf
http:///reader/full/247828912-pengaruh-kebijakan-fiskal-fasilitas-perpajakan-ppnbm-untuk-kendaraan-low-cost-g 15/15
15
Daftar Pustaka
Buku:
Parkin, Michael.Economics, 10thedition. Boston: Pearson, 2012.
Rosdiana, Haula, Rasin Tarigan. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Rosdiana, Haula.Pajak Pertambahan Nilai dan Aplikasi. Jakarta: 2004.
Raharja, Firman. Dampak PPnBM Mobil Terhadap Kesejahteraan Produsen,
Konsumen, dan Pemerintah. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
OSullivan, Arthur, Steven M. Sheffrin. Economics: Principles in Action. New
Jersey: Pearson Prentice Hall, 2003.
Karya Ilmiah:
Miller, Edward. Status Goods and Luxury Taxes. American Journal of Economics
and Sociology, 1975.
Bagwell, Laurie Simon, B. Douglas Bernheim. Veblen Effects in Theory of
Conspicuous Consumption. American Economic Association, 1996.
Djohantinar, Rizaldy. Analisis Kebijakan Tarif Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) pada Industri Otomotif Sesuai dengan Prinsip-Prinsip
Perjanjian Perdagangan World Trade Organization (WTO). Depok: 2009.
Lain-Lain:
DDTC Tax Newsletter, www.dannydarussalam.com, diunduh tanggal 3 Juni 2014,
15:12
Kebijakan Insentif PPnBM untuk Pengembangan Mobil Harga Terjangkau dan
Hemat Energi, www.fiskal.kemenkeu.go.id, diunduh tanggal 3 Juni 2014,15:20
Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang
Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat
Energi dan Harga Terjangkau
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah