210053553-REFERAT-EPISTAKSIS FIX.doc

16
BAB I PENDAHULUAN Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau Inggris: mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hi Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluha penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat men mengganggu, dan dapat pula mengancam nyaa. !aktor etiologi harus dicari dan dik untuk mengobati epistaksis secara e"ekti". Epistaksis berat, alaupun jarang dij mengancam keselamatan jia pasien, bahkan dapat berakibat "atal, bilatidak segera ditolong.#i $merika, epistaksis dilaporkan terjadi pada %&' populasinya. (a sekali menyebabkan kematian. #istribusinya bermacam)macam dengan insiden t pada usia kurang dari *& tahun dan lebih dari +& tahun. Kasus ini terbanyak ter laki dibanding anita. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dariPleksus Kiesselbach atau dariarteri Ethmoidalis anterior. edangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri dan arteri ethmoid posterior. Kasus) kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada da septum nasi, dan dapatdiatasi dengan kauterisasi. (amun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresi" termasuk metode posterior nasal pa endoscopic cauterization. Epistaksis biasanya terjadi tiba)tiba. Perdarahan mun bisa juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan seh memanggil dokter. ebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. #ikutip dari #ear, -itchell menemukan ,+' dari /0 orang yang diraat de hipertensi, memiliki riayat epistaksis. edangkan Herkner dkk melaporkan dari 1 pasien yang datang ke unit gaat darurat dengan epistaksis, ditemukan 2*+,+'3 dengan peningkatan tekanan darah. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suat kontro4ersial. $danya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada p hipertensi yang lama dan hipertro"i 4entrikel kiri. 5etapi sebagian pen sebaliknya. 6ubianca dkk 2*7773, menyatakan tidak ditemukan hubungan yang bermak antara peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis. Padgham dkk, dikuti 1

Transcript of 210053553-REFERAT-EPISTAKSIS FIX.doc

PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS

BAB IPENDAHULUAN

Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau Inggris: epistaxis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong.Di Amerika, epistaksis dilaporkan terjadi pada 60% populasinya. Namun jarang sekali menyebabkan kematian. Distribusinya bermacam-macam dengan insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Kasus ini terbanyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita.Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri Ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus- kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic cauterization. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis. Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis. Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara hipertensi dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus medius, tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk melaporkan common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului terjadinya epistaksis.Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis. Dari Lubianca mengatakan ada tiga faktor lain yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hemostasis. Artinya, tidak semua orang dengan riwayat hipertensi memiliki resiko epistaksis walaupun pada dasarnya hipertensi adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya epistaksi.BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. ANATOMI HIDUNGA. Mukosa hidungMembran mucosa melapisi cavum nasi , kecuali vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membrana mucosa, yaitu 1) Mucosa OlfactoriusOlfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoetmhoidalis; juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan atap. Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mucosa memiliki sel penghidu khusus. Akson sel sel ini (serabut N. Olfactorius) berjalan melalui lubang lubang pada lamina cribosa ossis ethmoidalis dan ber akhir pada bulbus olfactorius. Permukaan membrana mucosa tetep basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah banyak.2) Respiratorius Membran Mucosa

Membrana mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi. Fungsinya adalah menghangatkan , melembabkan dan membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh pleksus venosus di dalam jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mucus yang diproduksi oleh kelenjar kelenjar dan sel sel goblet. Partikel debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa yang basah dan lengket . mucus yang tercemar ini terus menerus didorong ke belakang oleh kerja cilia dari sel- sel silindris bercilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di pharinx mucus ini ditelan.B. Persyarafan cavum nasiN.Olfactorius berasal dari sel sel olfactorius khusus yang terdapat pada membrana mucosa yang telah di bicarakan sebelumnya . saraf ini ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf saraf sensasi umum berasal dari divisi ophtalmica dan maxillaris n. Trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n.ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dai ramus nasalis, ramus nasopalatinus dan ramus palatius ganglion pterygopalatinum.C. Pendarahan cavum nasiRongga hidung adalah tempat yang kaya akan vaskularisasi, dengan suplai darah berasal dari arteri karotis internal dan eksternal.

Sistem karotis eksternal membagi dan berakhir sebagai :

arteri temporal superfisial

arteri maxillaris internal.

Gambar:Percabangan arteri dari caroris externa- a.maxilaris interna- pem.darah hidung.

i. Arteri Sphenopalatina

Cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.ii. Arteri palatina desenden

Memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang memperdarahi septum dan dinding lateral superior.

Plexus Kisselbachs(anterior): a. Ethomid anterior , a.palatina mayor , a.sphenopalatina, a.labialis superior.Posterior: a. Ethmoid posterior, a.SphenopalatinaB. EPISTAKSIS1. DefinisiEpistaksis berasal dari bahasa Yunani yaitu epistazo, yang artinya perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan posterior. Perdarahan dari hidung ini dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).2. EtiologiPada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis. Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu, faktor lokal dan faktor sistemik.a. Faktor LokalBeberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis, antara lain : Trauma nasal, dapat berupa mengeluarkan ingus terlalu kuat, bersin yang terlalu kuat, mengorek hidung dan masuknya benda asing ke hidung. Obat semprot hidung (nasal spray)Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa. Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum. Tumor intranasal atau sinonasal.

Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang. Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain. Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Kelainan vaskuler ( seperti kelainan yang dikenal dengan Wageners granulomatosis (kelainan yang didapat) Infeksi lokal ( infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik,seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis

b. Faktor SistemikPenyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain: Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous Infeksi sistemik akut ( Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.

Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel).

Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis

Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah.

Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism3. PatofisiologiRongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles area).

Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.4. KlasifikasiEpistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.5. Penegakan diagnosisa. Anamnesis Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan danbelakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinyaperdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yangberkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokokdan minum-minuman keras. b. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptysis atau hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untukmenghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehinggaperdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.6. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan.Akibat dari epistaksis yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah(bloody tears)karena darah mengalir secara retrograd melaluiduktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.C. HIPERTENSI1. DefinisiHipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.2. Klasifikasi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik

berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik.

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,

feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.

3. Patofisiologi

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek

kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.

Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.

1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.

Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.2) Sistem renin-angiotensinMekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

4. Diagnosis Hipertensi

Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni 1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita

Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.2) Mengisolasi penyebabnya

Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.3) Pencarian faktor risiko tambahan

Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor -faktor risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.

4) Pemeriksaan dasar

Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.5) Tes khusus

Tes yang dilakukan antara lain adalah :

a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.

b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).

5. Komplikasi HipertensiHipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya

sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-).

Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:

1) Jantung

- hipertrofi ventrikel kiri

- angina atau infark miokardium

- gagal jantung

2) Otak

- stroke atau transient ishemic attack

3) Penyakit ginjal kronis

4) Penyakit arteri perifer

5) RetinopatiBAB IIIPEMBAHASAN DAN KESIMPULANA. PEMBAHASANBerdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior dikarenakan berbagai sebab seperti trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik seperti adanya riwayat hipertensi. Terjadinya epistaksis dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach merupakan daerah dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah ini mempunyai pembuluh darah yang kecil dan rapuh. Hipertensi dapat menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah tersebut.Terdapat dua hipotesis yang menerangkan keterkaitan antara epistaksis dengan hipertensi:

1. Pasien dengan hipertensi yang lama memilki kerusakan pembuluh darah yang kronis, hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.

2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persyarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.

Keterkaitan antara epistaksis dan hipertensi masih menjadi suatu hal yang kontroversial. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perubahan endotel pembuluh darah pada orang hipertensi dapat menjadi faktor resiko epistkasis. Hipertensi dapat menjadi pemberat epistaksis jika sebelumnya ditemukan lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnasi aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lain yang menyebabkan rapuhnya dinding endotel pembuluh darah. Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis. Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara hipertensi dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus medius, tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk melaporkan common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului terjadinya epistaksis.

Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis. Dari Lubianca mengatakan ada tiga faktor lain yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan hemostasis. Artinya, tidak semua orang dengan riwayat hipertensi memiliki resiko epistaksis walaupun pada dasarnya hipertensi adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya epistaksi. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada penderita epistaksis dengan hipertensi tidak serta merta hipertensi menjadi pemicu terjadinya epistaksis, namun pemeriksa harus memperhatikan aspek lain yang tidak kalah penting sebagai penyebab epistaksi seperti infeksi yang menyebabkan sagnan pembulih darah, adanya commond cold, stress dan kelelahan, kelainan anatomi hidung, kerusakan fungsional organ target dan kelainan hemostatis. Penelitian yang dilakukan herkner dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis mempunyai tekanan darah sistolik rata-rata 161 (157-165) mmHg, dan diastolic 84 (82-86) mmHg. Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis. Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah. Mengacu pada penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hipertensi mempengaruhi terjadinya epistaksis pada beberapa kasus. Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang menghancurkan dinding pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dalam memperberat epistaksis. Pada penelitian lain dijelaskan adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Dari pemaparan di atas, dapat dijelaskan diantara faktor predisposisi hipertensi hingga menyebabkan epistaksis antara lain hipertensi yang disebabkan oleh dislipidemia, lamanya menderita hypertensi yang disertai left ventrikel hipertropi.B. KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus,skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah: Epistaksis Anterior : Kauterisasi, pemasangan tamon anterior; Epistaksis Posterior: Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan Balloon tamponade dan ligasi arteri.Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok.Hubungan antara Epistaksis dengan Hipertensi masih belum jelas, tetapi perubahan endotel pembuluh darah arteri menjadi dasar adanya hubungan tersebut.DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.2. Cumming, W Charles. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 3rd edition. 1999. Mosby. Chapter : 45. Page : 852-643. Arif,Mansjoer, et al, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta..4. Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta5. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-96. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal 118-9; 155-9

7. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns Otolaryngology. olume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 119.16