1.heru-2

28
Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 6 Nomor 2 Agus Danar dan Heru Subiyantoro PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN TERHADAP KEPUTUSAN INVESTASI PROYEK PANASBUMI 1 Agus Danar 2 dan Heru Subiyantoro 3 Abstraksi Pembangunan berbasis energi yang tidak ramah lingkungan menimbulkan emisi gas rumah kaca, yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global dan perubahan iklim, yang sangat mengganggu lingkungan kehidupan manusia di bumi. Untuk mencegah kerusakan bumi yang semakin parah, negara-negara maju menganjurkan penghematan energi dan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan melalui sustainable development; dan yang terakhir melalui clean development mechanism yang diusulkan oleh Protokol Kyoto. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan panasbumi yang terbesar di dunia memiliki peluang yang besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, namun ironisnya pemanfaatan sumber daya panasbumi (untuk pembangkitan tenaga listrik) baru mencapai 5% dari total supply yang ada. Berbagai upaya perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong pengusahaan sumber daya panasbumi secara optimal di masa mendatang. Salah satu faktor yang cukup strategis untuk mendorong pengusahaan sumber daya panasbumi adalah melalui sistem perpajakan. Memang harus diakui bahwa pemberian berbagai insentif perpajakan panasbumi dapat 1 Pandangan dalam tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak harus mencerminkan pendapat lembaga tempat penulis bekerja. 2 Analis Investasi dan Mantan Perunding Panasbumi Pertamina, dapat dihubungi di [email protected] 3 Kepala Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan Republik Indonesia dan Staff Pengajar pada Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dapat dihubungi di [email protected] Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Keputusan Investasi Proyek Panasbumi Desember 2003 1

Transcript of 1.heru-2

Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Keputusan Investasi

Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 6 Nomor 2

Agus Danar dan Heru Subiyantoro

PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN TERHADAP KEPUTUSAN INVESTASI PROYEK PANASBUMI

Agus Danar dan Heru Subiyantoro

Abstraksi

Pembangunan berbasis energi yang tidak ramah lingkungan menimbulkan emisi gas rumah kaca, yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global dan perubahan iklim, yang sangat mengganggu lingkungan kehidupan manusia di bumi. Untuk mencegah kerusakan bumi yang semakin parah, negara-negara maju menganjurkan penghematan energi dan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan melalui sustainable development; dan yang terakhir melalui clean development mechanism yang diusulkan oleh Protokol Kyoto.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan panasbumi yang terbesar di dunia memiliki peluang yang besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, namun ironisnya pemanfaatan sumber daya panasbumi (untuk pembangkitan tenaga listrik) baru mencapai 5% dari total supply yang ada. Berbagai upaya perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong pengusahaan sumber daya panasbumi secara optimal di masa mendatang.

Salah satu faktor yang cukup strategis untuk mendorong pengusahaan sumber daya panasbumi adalah melalui sistem perpajakan. Memang harus diakui bahwa pemberian berbagai insentif perpajakan panasbumi dapat menurunkan penerimaan Pemerintah dari pajak panasbumi, namun harus dipertimbangkan pula manfaat yang lebih besar, yaitu adanya penurunan harga listrik panasbumi dan multiplier effect yang ditimbulkannya (bertumbuh kembangnya industri-industri baru karena meningkatnya penyedian tenaga listrik) yang pada gilirannya dapat meningkatkan penerimaan Pemerintah dari sektor pajak. Dalam paper ini dilihat pengaruh dari perubahan peraturan (sistem) perpajakan terhadap keputusan investasi proyek panasbumi, khususnya evaluasi terhadap Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012/1981 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 766/KMK.04/1992.

I. Pendahuluan

Menurut beberapa pemberitaan yang sering dimuat dalam berbagai media cetak dan elektronik dikabarkan bahwa Indonesia pada saat ini sedang menghadapi krisis tenaga listrik yang serius. Pertumbuhan rata-rata kebutuhan tenaga listrik di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (sejak tahun 2000) diperkirakan akan mencapai 8,9% per tahun, sehingga setiap tahun diperlukan tambahan daya terpasang pembangkit listrik sekitar 2000 MW, yang memerlukan dana investasi sekitar US$ 1,2 s/d 2 milyar per tahun (belum termasuk biaya investasi untuk jaringan transmisi, distribusi dan perlengkapan kelistrikan lainnya)

PT. PLN (PERSERO) sebagai salah satu BUMN yang memiliki kekuatan monopoli dalam bidang ketenagalistrikan, jelas tidak mungkin menanggung beban biaya investasi yang demikian besar tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, peranan pengusaha listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) dalam penyediaan tenaga listrik mutlak diperlukan. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang menariknya investasi di bidang ketenaga-listrikan di Indonesia pada saat ini, diantaranya adalah country risk yang masih tinggi dan adanya kesenjangan antara harga keekonomian tenaga listrik (sekitar US$ cent 7 per kWh) dan daya beli PLN (sekitar US$ cent 4.5 per kWh). Kesenjangan harga ini tidak terlepas dari adanya kenyataan bahwa PLN harus membayar tenaga listrik yang dibeli dari IPP dengan US$, tetapi harus menjualnya kepada masyarakat dalam rupiah.

Salah satu sumber daya energi yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik adalah panasbumi, yang merupakan sumber daya energi terbarukan yang ramah lingkungan dan dapat mendukung pemba-ngunan berkelanjutan (sustainable develop-ment). Indonesia memiliki cadangan panas-bumi yang terbesar di dunia (sekitar 16.000 MW), namun yang telah dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik baru mencapai sekitar 5%. Salah satu faktor penyebab kurang berkembangnya investasi di bidang panasbumi diantaranya adalah harga tenaga listrik yang dinilai oleh para investor kurang menarik. Dari sudut pandang investor panasbumi, harga tenaga listrik harus dapat menghasilkan tingkat pengembalian yang menarik sesuai dengan risiko bisnis yang tinggi (khususnya di sektor hulu).

Untuk mendorong pengembangan sumber daya panasbumi di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan kebijak-sanaan di bidang perpajakan, diantaranya adalah sistem perpajakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012/1981 tahun 1981 (selanjutnya disebut KMK 746) dan Keputusan Menteri Keuangan No. 766/ KMK.04/1992 tahun 1992 (selanjutnya disebut KMK 766). KMK 766 memang mampu mendorong iklim investasi panasbumi karena adanya penu-runan tarif panasbumi cukup signifikan.

Dengan menggunakan kasus total proyek panasbumi yang terdiri dari pengembangan lapangan panasbumi dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) berkapasitas 110 MW, paper ini dimaksudkan untuk memban-dingkan pengaruh dari perubahan peraturan perpajakan panasbumi diatas (KMK 746 dan KMK 766) dan terhadap Internal Rate Return (IRR) serta penenentuan harga listrik panasbumi.

II. Metodologi

2.1 Model Studi Kelayakan Investasi Proyek Panasbumi

Keputusan investasi proyek panas-bumi merupakan keputusan investasi yang sangat strategis, karena proyek panasbumi memerlukan waktu pembangunan yang lama (multi years project), melibatkan dana yang besar, menggunakan teknologi yang canggih dan menghadapi risiko yang tinggi (terutama pada kegiatan hulu, khususnya pada tahap eksplorasi).

Untuk menghindari kegagalan yang tidak diharapkan, setiap keputusan investasi harus didukung dengan suatu studi kelayakan proyek, yang terdiri dari identifikasi proyek, analisis pasar (market analysis) dan analisis tekno-ekonomi seperti yang terlihat pada Gambar 1, yang terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Penyusunan Model Reservoir Panas-bumi

Tahapan ini dilakukan untuk menda-patkan gambaran mengenai karakteristik dan kedalaman reservoir panasbumi serta potensi sumber daya panasbumi, yang sangat diperlukan untuk menen-tukan lokasi pemboran sumur-sumur eksplorasi.

b. Perencanaan dan Penjadualan ProyekTahapan ini dilakukan untuk men-dapatkan gambaran mengenai ruang lingkup proyek dan jadwal kegiatan proyek.

c. Estimasi BiayaTahapan ini dilakukan untuk mendapat-kan gambaran mengenai total biaya investasi proyek panasbumi selama masa preproduksi, termasuk IDC (Interest During Construction) apabila proyek menggunakan debt financing.

d. Analisis Cash FlowTahapan ini dilakukan untuk men-dapatkan gambaran mengenai proyeksi arus kas proyek sejak proyek dimulai sampai dengan berakhirnya masa produksi.

e. Penilaian Kelayakan ProyekPenilaian kelayakan proyek dilakukan dengan menggunakan profitability indi-cators.

2.2 Sistem Perpajakan Panasbumi

Sampai saat ini di Indonesia sudah dikenal dua sistem perpajakan panasbumi, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012 /1981 tahun 1981 (SP1) dan Keputusan Menteri Keuangan No. 766/KMK.04 /1992 tahun 1992 (SP2) dengan perbedaan sebagai berikut :

SP1

SP2

Tarif Pajak

46%

34%

Masa depresiasi

6 tahun

7 tahun

Tarif depresiasi

12.5% *)

25%

Metode depresiasi

Switching

Declining BalanceInvestment Tax Credit

5% per tahun **)Tidak adaCatatan :

*) Kecuali pada tahun ketiga, yaitu sebesar 37,5%.

**) Selama 4 tahun.

2.3 Profitability IndicatorsKeputusan investasi adalah suatu keputusan yang berkaitan dengan pengadaan aktiva tetap pada masa sekarang untuk memperoleh serangkaian keuntungan dalam jangka panjang di masa yang akan datang, yang melibatkan penggunaan sumber daya dan dana yang besar yang dapat menimbulkan implikasi jangka panjang dimasa yang akan datang. Oleh karena ada kesenjangan antara masa sekarang dan masa yang akan datang, maka dalam menilai kelayakan usulan investasi diperlukan suatu indikator yang dapat menjembatani perbedaan antara nilai uang pada masa yang akan datang dengan nilai uang pada masa sekarang, yang disebut Profitability Indi-cators, yang berbasis pada present value of money.

2.3.1 Net Present Value (NPV)NPV adalah jumlah dari rangkaian present value of cash flow mulai dari awal proyek sampai dengan akhir proyek

(1)

dimana :

CFt = Cash flow pada tahun ke t, $.

r= Discount rate, %.

n= Umur proyek.

(2)

dimana

CIt = Cash inflow pada tahun ke t, $,

terdiri dari revenue.

COt = Cash outflow pada tahun ke t, $,

terdiri dari biaya investasi, biaya

operasi dan pajak.

Kriteria penilaian kelayakan usulan proyek berdasarkan NPV :

Jika NPV > 0, maka usulan proyek layak untuk dilaksanakan (feasible).

Jika NPV < 0, maka usulan proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

2.3.2 Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol.

(3)Kriteria penilaian kelayakan usulan proyek berdasarkan IRR :

Jika IRR > required rate of return, maka usulan proyek layak untuk dilaksanakan (feasible).

Jika IRR < required rate of return, maka usulan proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

2.3.3 Pro dan Kontra Antara NPV dan IRRPada umumnya pengambilan kepu-tusan investasi berdasarkan NPV dan IRR akan memberikan hasil yang sama, artinya apabila suatu usulan investasi dinilai layak berdasarkan NPV, maka usulan investasi tersebut juga dinilai layak ber-dasarkan IRR. Namun demikian, menurut kalangan akademisi, NPV dianggap lebih unggul dibandingkan IRR, karena NPV dapat mengatasi fenomena multiple IRR dan conflict ranking projects, sedangkan IRR tidak dapat mengatasi fenomena tersebut. Meskipun demikian, NPV juga memiliki kelemahan, yaitu NPV tidak memiliki safety margin (sedangkan IRR memiliki safety margin) dan NPV kalah populer diban-dingkan dengan IRR (para investor pada umumnya lebih tertarik menggunakan IRR, karena IRR dapat segera dibandingkan dengan cost of capital). Di samping itu, dengan ditemukannya metode Modified IRR (MIRR), MIRR juga dapat digunakan untuk mengatasi fenomena multiple IRR dan conflict ranking projects, sehingga issue tradisional yang mengunggulkan NPV tidak relevan lagi.

2.3.4 Payback Period (PBP)

Payback period adalah waktu yang diperlukan untuk memperoleh kembali seluruh biaya dan kewajiban yang telah dikeluarkan dalam suatu proyek.

(4)

dimana :

PBP = Payback Period, tahun.

m = Tahun dengan CCF negatif sebelum CCF positif

m+1 = Tahun dengan CCF positif setelah CCF negatif

CCFm = Cumulative Cash Flow pada tahun m (< 0), $.

CCFm+1 = Cumulative Cash Flow pada tahun m+1 (> 0), $.Meskipun PBP tidak mencerminkan Profitability Indicators suatu usulan investasi dan metode perhitungannya tidak memper-timbangkan present value of money, namun PBP sering digunakan untuk melengkapi indikator kelayakan usulan Iinvestasi, karena PBP dapat mencerminkan likuiditas suatu usulan investasi dan secara rule of thumb dapat digunakan untuk menebak IRR adalah

III. Gambaran Umum Proyek Panasbumi XYZ dan Asumsi3.1 Karakteristik Reservoir Panasbumi

Proyek panasbumi XYZ adalah proyek pengembangan lapangan panas-bumi dan pembangunan PLTP (total proyek) yang dilakukan di area prospek panasbumi XYZ yang memiliki karakteristik reservoir panasbumi sebagai berikut :

Temperatur reservoir : 2500C

Tekanan reservoir : 45 bar

Permeabilitas : 12 mD

Porositas : 10%

Jenis fluida panasbumi : Uap basah (kandungan air 40%)

Kandungan gas : 1.5%

Kedalaman reservoir : 1500 m

Potensi sumber daya panasbumi : 150 MW x 30 tahun.3.2 Ruang Lingkup Proyek

Ruang lingkup proyek panasbumi XYZ terdiri dari ruang lingkup pengem-bangan lapangan panasbumi (sektor hulu) dan pembangunan PLTP (sektor hilir). Penyusunan ruang lingkup sektor hulu baru dapat dilakukan setelah ada model reservoir dan prospek panasbumi meng-indikasikan adanya cadangan panasbumi yang komersiil, sedangkan penyusunan ruang lingkup sektor hilir baru dapat dilakukan secara lebih akurat apabila pengembangan lapangan panasbumi sudah menunjukkan tanda-tanda mampu memasok energi panasbumi sesuai dengan kapasitas terpasang PLTP.

Asumsi yang digunakan dalam penyusunan ruang lingkup proyek panas-bumi XYZ diantaranya adalah sebagai berikut:

Skala pengusahaan sumber daya panasbumi : 110 MW.

Jenis fluida panasbumi: uap basah (kandungan air 40%).

Ekses kapasitas pemasokan uap panasbumi: 10%.

Rata-rata kapasitas produksi per sumur: 100 ton uap panasbumi per jam.

Kebutuhan uap panasbumi per MW: 10 ton per jam.

Kedalaman rata-rata sumur eksplorasi adalah 2200 m, sumur produksi dan sumur make up adalah 1700 m dan sumur reinjeksi adalah 2000 m.

Rasio keberhasilan pemboran sumur eksplorasi adalah 50% dan sumur produksi adalah 80%.

Rata-rata decline rate produksi sumur adalah 3% per tahun.

Kondensasi air di PLTP: 20%.

Average water reinjection per sumur reinjeksi: 182 ton per jam.

Jumlah sumur dalam satu lokasi sumur:

Di setiap lokasi sumur maksimum terdapat 5 sumur,

Dalam satu lokasi sumur tidak boleh terdapat lebih dari satu sumur eksplorasi atau satu sumur reinjeksi,

Pemboran sumur produksi dapat dilakukan di lokasi sumur eksplorasi yang berhasil,

Pemboran sumur reinjeksi dapat dilakukan di lokasi sumur eksplorasi yang gagal.

Dari asumsi tersebut, dapat disusun ruang lingkup proyek panasbumi XYZ sebagai berikut :

Jenis proyek : Total proyek (proyek hulu + proyek hilir).

Skala proyek : 110 MW.

Area panasbumi : XYZ (luas area + 25 km2). Pengusaha panasbumi : Perusahaan ABC.

Kontrak panasbumi : Joint Operation Contract dan Energy Sales Contract.

Masa kontrak : 35 tahun.

Masa pre produksi : 5 tahun.

Masa produksi : 30 tahun.

Jalan dan lokasi :

Jalan: 25 km.

Lokasi: 9 lokasi sumur dan 1 lokasi PLTP.

Jumlah sumur panasbumi sebanyak 34 sumur, terdiri dari: 4 sumur eksplorasi (2 gagal, 2 sukses), 13 sumur produksi konvensional (2 gagal, 11 sukses), 6 sumur reinjeksi dan 11 sumur make-up.

Jaringan pipa produksi (244 inchi-km) dan jaringan pipa reinjeksi (227 inchi-km). Fasilitas produksi dan fasilitas umum hulu dan hilir.

Dua unit PLTP @ 55 MW

3.3 Jadwal Kegiatan ProyekJadwal kegiatan proyek baru dapat disusun setelah dipunyai ruang lingkup proyek, yaitu suatu diagram balok datar (bar chart) yang menggambarkan hubungan antar kegiatan proyek dengan waktu pelaksanaan (duration) kegiatan-kegiatan tersebut. Dari jadwal kegiatan proyek pada Gambar 2 terlihat bahwa umur proyek panasbumi XYZ (masa pre produksi) adalah 5 tahun, dengan perincian sebagai berikut :

Tahun 1: survei eksplorasi, jalan, lokasi dan sumur eksplorasi;

Tahun 2: jalan, lokasi, studi lingkungan, sumur eksplorasi, studi reservoir, sumur produksi dan sumur reinjeksi;

Tahun 3: jalan, lokasi, sumur produksi, sumur reinjeksi, desain jaringan pipa & fasilitas produksi proyek hulu dan desain engineering proyek hilir;

Tahun 4: sumur reinjeksi, jaringan pipa, fasilitas produksi proyek hulu dan PLTP;

Tahun 5: jaringan pipa, fasilitas produksi proyek hulu, PLTP, gedung perkantoran dan commissioning;

Tahun 6: operasi komersiil PLTP dimulai pada awal tahun.

Jadwal kegiatan proyek tersebut tidak termasuk kegiatan pemboran sumur make-up yang dilakukan pada masa produksi, yaitu pada tahun produksi ke-3, 6, 8, 11, 14, 16, 19, 22, 24, 27 dan 30.

3.4 Estimasi Biaya Proyek

Biaya proyek terdiri dari biaya investasi (biaya pre produksi) dan biaya operasi (biaya pada masa produksi). Dalam menyusun estimasi biaya proyek panasbumi, seorang cost estimator pada umumnya belum memiliki data yang akurat tentang aspek teknis (khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup proyek hulu) dan aspek keuangan (yang berkaitan dengan unit cost). Oleh karena itu, dalam menentukan estimasi biaya satuan investasi kita harus mengacu pada historical of costs data dari proyek yang sejenis. Dari Tabel 1 terlihat bahwa biaya operasi proyek hulu per tahun adalah 3.5% dari kumulatif biaya kapital, sedangkan biaya operasi proyek hilir adalah US$ 4 per MWh.

Setelah itu, dengan menggunakan data ruang lingkup proyek, estimasi biaya satuan investasi (Tabel 1) dan jadwal kegiatan proyek (Gambar 2), maka dapat disusun skedul biaya investasi seperti yang terlihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa estimasi biaya investasi proyek hulu (38,7%) lebih rendah dibandingkan dengan estimasi biaya investasi proyek hilir (61.3%), sedangkan biaya investasi yang terbesar adalah biaya sumur panasbumi untuk proyek hulu dan biaya PLTP untuk proyek hilir. Namun karena tingkat resiko proyek hulu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat resiko proyek hilir, maka perbandingan realisasi biaya investasi antara kedua proyek tersebut dapat berubah drastis.

Perlu diingat bahwa biaya investasi proyek panasbumi (khususnya proyek hulu) sifatnya site specific, diantaranya sangat tergantung pada karakteristik reservoir panasbumi, letak lokasi area panasbumi dan faktor kesulitan dipermukaan ataupun dibawah permukaan bumi. Oleh karena itu, proyek panasbumi yang memiliki ukuran proyek yang sama belum tentu memiliki biaya investasi yang sama.

IV. Hasil dan Diskusi4.1.Proyeksi Cash FlowProyeksi cash flow disusun mulai dari masa pre produksi (tahun 1 s/d tahun 5) sampai dengan berakhirnya masa produksi (tahun 6 s/d tahun 35) dengan menggunakan Rumus 2, dan menggunakan data sebagai berikut:

Cash Inflow

Elemen cash inflow hanya terdiri dari revenue tahun 6 sampai dengan tahun 35 yang dihitung dengan menggunakan asumsi sebagai berikut :

Kapasitas terpasang PLTP: 110 MW.

Faktor Kapasitas: 80%.

Jumlah jam dalam setahun: 365 x 24 = 8760 jam.

Harga listrik panasbumi: US$ 45 s/d US$ 70 per MWh.

Cash Outflow

Elemen cash inflow terdiri dari :

Biaya investasi pada tahun 1 sampai dengan tahun 5 (lihat Tabel 2) dan biaya investasi sumur-sumur make up pada masa produksi beserta fasilitas produksi yang terkait.

Pajak perseroan yang dihitung dengan menggunakan sistem per-pajakan panasbumi sebagai berikut :

SP1 : Keputusan Menteri Keu-angan No. 746/KMK.012 /1981 tahun 1981 (lihat sub bab 2.2).

SP2 : Keputusan Menteri Keu-angan No. 766/KMK.04 /1992 tahun 1992 (lihat sub bab 2.2).

SP3 : Menggunakan metode depresiasi SP2 (ceteris paribus SP1).

SP4 : Tidak ada investment allowance (ceteris paribus SP1).

SP5 : Menggunakan tarif pajak 34% (ceteris paribus SP1).

Biaya operasi pada masa produksi dihitung dengan menggunakan asumsi pada Tabel 1.

4.2.Penilaian Kelayakan Proyek Dengan menggunakan sistem per-pajakan SP1 dan SP2, serta discount rates 15% (low return), 17% (medium return) dan 20% (high return), dari Tabel 3 terlihat bahwa:

a. Pada Harga Listrik Panasbumi US$ 45 per MWh

Proyek panasbumi tidak feasible, karena menghasilkan NPV (dihitung dengan menggunakan Rumus 1) < 0 dan IRR (dihitung dengan menggunakan Rumus 3) < low return.

PBP proyek panasbumi (dihitung dengan menggunakan Rumus 4) relatif cepat, karena tidak lebih lama dari 7 tahun setelah operasi komersial.

b. Pada Harga Listrik Panasbumi US$ 70 per MWh

Jika menggunakan SP1, proyek panasbumi akan feasible jika meng-gunakan discount rate 15%, tetapi tidak feasible jika menggunakan discount rate di atas 16,30%.

Jika menggunakan SP2, proyek panasbumi akan feasible jika meng-gunakan discount rate tidak lebih dari 17,17%.

PBP proyek panasbumi relatif sangat cepat, karena sekitar 4 tahun setelah operasi komersial.

4.3. Perbandingan antara Peraturan Lama (SP1) dan Peraturan Baru (SP2)Dari Tabel 4 terlihat bahwa pada kisaran harga listrik antara US$ 45 sampai dengan US$ 70 per MWh, IRR proyek panasbumi akan berkisar antara 10.28% sampai dengan 16.30% untuk SP1 dan 10.79% sampai dengan 17.17% untuk SP2. Dari hasil tersebut terlihat bahwa meskipun pajak pada peraturan baru lebih rendah sebesar 12% (dari 46% menjadi 34%) namun perbaikan IRR proyek tidak cukup signifikan, yaitu hanya sekitar 0.51% sampai dengan 0.87% pada kisaran harga listrik antara US$ 45 sampai dengan US$ 70 per MWh. Kenapa hal ini dapat terjadi? Marilah kita simak pada diskusi berikutnya.

4.4. pengaruh dari Metode Depresiasi yang BaruDari Tabel 4 terlihat bahwa apabila metode depresiasi yang lama diganti dengan yang baru (SP3), maka IRR proyek panasbumi akan berkisar antara 10.28% sampai dengan 16,29% pada kisaran harga listrik antara US$ 45 sampai dengan US$ 70 per MWh. Dari hasil tersebut terlihat bahwa penerapan SP3 tidak akan menimbulkan perbaikan terhadap IRR proyek panas-bumi, bahkan menimbulkan penurunan meskipun tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat dimengerti karena masa depresiasi yang baru (7 tahun) lebih lama dibandingkan dengan yang lama (6 tahun), sehingga tidak dapat menimbulkan tax saving effect.

4.5 pengaruh dari Penghapusan Invest-ment AllowanceInvestment allowance merupakan salah satu insentif perpajakan yang sangat pen-ting, yang diberikan pada suatu bidang usaha tertentu agar dapat mendorong pertumbuhan investasi. Penerapan invest-ment allowance tersebut dapat menimbulkan tax saving effect, yang pada gilirannya akan dapat memperbaiki keekonomian proyek. Dari Tabel 4 terlihat bahwa pengha-pusan investment allowance pada peraturan yang lama (SP4) akan menimbulkan disincentive effect, sehingga IRR proyek panasbumi akan berkisar antara 9,87% sampai dengan 15,57% dengan marginal IRR sebesar 0,23% per US$/MWh pada kisaran harga listrik antara US$ 45 sampai dengan US$ 70 per MWh, yang berarti ada penurunan IRR yang cukup drastis. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pencabutan investment allowance tidak dapat memberikan dukungan ter-hadap iklim investasi yang kondusif.

4.6 pengaruh dari Penurunan Tarif PajakDari Tabel 4 terlihat bahwa apabila tarif pajak pada peraturan lama diturunkan dari 46% menjadi 34% (SP5), maka pada kisaran harga listrik antara US$ 45 sampai dengan US$ 70 per MWh, IRR proyek panasbumi akan berkisar antara 11,10% sampai dengan 17,63% dengan marginal IRR sebesar 0,26% per US$/MWh. Dari hasil tersebut terlihat bahwa penurunan tarif pajak (ceteris paribus terhadap peraturan lama) akan dapat mendongkrak IRR proyek panasbumi secara signifikan, yaitu dapat meningkatkan IRR sebesar 0,82% (harga listrik antara US$ 45 per MWh) sampai dengan 1,33% (harga listrik antara US$ 70 per MWh).

4.7 harga Listrik PanasbumiDari Tabel 5 terlihat bahwa harga listrik panasbumi adalah sekitar US$ 63,49 per MWh (low return), US$ 74,05 per MWh (medium return) dan US$ 88,58 per MWh (high return) berdasarkan SP1, sekitar US$ 60,79 per MWh (low return), US$ 69,23 per MWh (medium return) dan US$ 82,92 per MWh (high return) berdasarkan SP2 dan sekitar US$ 58,90 per MWh (low return), US$ 66,95 per MWh (medium return) dan US$ 80,84 per MWh (high return) berdasarkan SP5. Dari hasil tersebut terlihat bahwa :

a. Harga listrik panasbumi yang paling murah adalah harga listrik berdasarkan sistem perpajakan SP5, sedangkan yang paling mahal adalah harga listrik berda-sarkan sistem perpajakan yang lama.

b. Apabila investor menginginkan mini-mum IRR sebesar 15% (low return), maka harga listrik panasbumi tidak akan feasible.

c. Apabila ceiling price yang disetujui pembeli adalah sebesar US$ 70 per MWh, maka IRR sebesar 20% (high return) tidak akan tercapai.

d. Ceiling price sebesar US$ 70 per MWh tercapai diatas low return (SP1) dan di bawah high return (SP2 dan SP5).

4.8 IRR Proyek Panasbumi Dikaitkan dengan HPP PT. PLN (PERSERO)

Dengan mempertimbangkan Harga Pokok Penjualan (HPP) PT. PLN (PERSERO) yang menjadi acuan TDL tahun 2003 adalah Rp. 667,- per kWh dan nilai tukar US$ sebesar Rp.8500,- per US$ asumsi harga listrik panasbumi adalah sebesar 70%, 80% dan 90% dari HPP PT. PLN (PERSERO), maka dari Tabel 6 terlihat bahwa pengusaha panasbumi akan memperoleh:

a. IRR sebesar 12,94% (peraturan lama), 13,51% (peraturan baru) dan 13,94% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 54,93 per MWh (70% dari HPP).

b. IRR sebesar 14.83% (peraturan lama), 15,48% (peraturan baru) dan 15,98% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 62,78 per MWh (80% dari HPP).

c. IRR sebesar 16.41% (peraturan lama), 17,32% (peraturan baru) dan 17,76% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 70,62 per MWh (90% dari HPP).

Dari hasil tersebut, terlihat bahwa:

a. Apabila harga listrik panasbumi sebesar 70% dari HPP, maka investor panasbumi tidak akan tertarik, karena akan menghasilkan IRR dibawah low return.

b. Apabila harga listrik panasbumi sebesar 80% dari HPP, maka peraturan lama menjadi tidak menarik, karena akan menghasilkan IRR dibawah low return, sedangkan apabila menggu-nakan peraturan baru dan SP5, maka investor panas bumi akan memperoleh IRR diatas low return.

c. Apabila harga listrik panasbumi sebesar 90% dari HPP, maka investor panasbumi akan memperoleh IRR dibawah medium return apabila menggunakan peraturan lama, akan tetapi akan memperoleh IRR diatas medium return apabila meng-gunakan peraturan baru dan SP5.

V. Penutup5.1 Kesimpulan Meskipun peraturan perpajakan yang baru (SP2) menawarkan insentif berupa penurunan tarif pajak, namun tidak dapat memperbaiki keekonomian proyek secara optimal, karena beberapa insentif perpajakan pada peraturan yang lama (SP1) seperti metode depresiasi dan investment allowance diganti atau dihilangkan. Investor panasbumi tidak akan pernah memperoleh IRR high return, apabila ceiling price yang disepakati adalah US$ 70 per MWh. Floor price sebesar US$ 45 per MWh tidak akan menarik bagi investor panasbumi, karena akan memperoleh IRR dibawah low return. SP5 adalah sistem perpajakan yang dapat memberikan hasil yang optimal bagi pengusaha panasbumi dari USA yang menggunakan tarif pajak sebesar 34%. Karena PLN membeli listrik panas-bumi dari pengusaha swasta asing dalam US$, sedangkan HPP dan TDL ditetapkan dalam Rupiah, maka daya beli PLN terhadap listrik panasbumi yang dihasilkan oleh pengusaha swasta asing sangat tergantung pada nilai tukar US$ terhadap Rupiah.5.2 Saran Agar harga listrik dapat terjangkau oleh rakyat banyak, maka Pemerintah se-baiknya menetapkan IRR maksimum proyek panasbumi (dalam constant US$ costs), misalnya 17% untuk total project dan 15% untuk down-stream project. Untuk menekan harga listrik panas-bumi dapat dilakukan beberapa cara sebagai berikut : Menggunakan sumur produksi big hole yang meskipun lebih mahal dari sumur produksi konvensional, namun memiliki kemampuan produksi yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi jumlah sumur produksi, yang pada gilirannya dapat mengu-rangi total biaya sumur produksi. Menggunakan pembangkit listrik bukan dari merek unggulan yang harganya murah, Menggunakan pembangkit listrik berukuran kecil (modular) sehingga dapat mempercepat waktu start up, Mengundang peran serta pengusaha swasta nasional dalam pengembangan sumber daya panasbumi, agar dapat memanfaatkan tarif pajak 30% secara efektif dan mungkin ada yang bersedia menggunakan Rupiah financing. Untuk mendorong iklim investasi panasbumi yang kondusif, Peme-rintah perlu menawarkan insentif perpajakan yang menarik (misalnya seperti sistem perpajakan SP5). Jika dianggap perlu, Pemerintah memberikan subsidi terhadap perbedaan nilai tukar US$ antara yang berlaku pada saat berjalan dan pada saat ditandatanganinya Kontrak Penjualan Energi Panasbumi (subsidi diambil dari pajak panasbumi).VI. Daftar Pustaka

Akmal, Firdaus dan Djuwarno, (2002), Peluang dan Tantangan Investasi Bisnis Pembangkitan Tenaga Lis-trik, Pertemuan Tahunan Penge-lolaan Energi Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.Brigham, E.F. and Houston, J.F., (1998, Eight Edition): Fundamentals of Financial Management.Clifton, David S. Jr. And Fiffe, David E., (1977): Project Feasibility Analysis, A Guide To Profitable New Ventures, A Wiley Interscience Publication, New York. Danar, Agus (2003): "Model Keputusan Investasi dan Analisis Sensitivitas Proyek Panasbumi di Indonesia", Tesis Program Magister Mana-jemen, Universitas Borobudur, Jakarta.Danar, Agus (2002): Upaya Mendorong Pengusahaan Sumber daya Panas-bumi Melalui Fasilitas Perpajakan, Asosiasi Panasbumi Indonesia, Jakarta.

Danar, Agus (2001): Evaluasi Keekonomian Proyek Panasbumi, Kursus Singkat, Pertemuan Ilmiah Tahunan V Asosiasi Panasbumi Indonesia, Yogyakarta.

Danar, Agus (1996): Peraturan Keuangan dan Perpajakan Panasbumi di Indonesia, Amoseas Indonesia Inc., Jakarta.

Danar, Agus; dan Pudyastuti, Kris (1995): Economic Evaluation of Geothermal Project Based on the Old and New Geothermal Tax Regulation, The 17th New Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland, Auckland.

Danar, Agus dan Suryadi, Dicky, (1992), Evaluasi Keekonomian Total Proyek Panasbumi, Seminar Energi Nasional IV, Komite Nasional Indonesia World Energy Council, Jakarta.

Danar, Agus, (1991), An Economic Comparison Between Conventional and Modular Geothermal Develop-ment Models, The 13th New Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland, Auckland.

Danar, Agus (1984): Investment Decision Dalam Bidang Eksplorasi dan Pengembangan Minyak Bumi di Indonesia Berdasarkan Kontrak Production Sharing, Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi, Extension Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Electroconsult, (1992): Geothermal Steam Pricing Study Indonesia, Asian Development Bank, Manila.

Geothermal Energy New Zealand Ltd, (1988), Seminar Notes on Engineering Economics for Geothermal Projects, Jakarta.

Levy, H, and Samat, M, (1978), Capital Investment and Financial Decisions, Prentice Hall International, Inc.

Sudarman, Sayogi; and Danar, Agus (1992): Development of Geothermal Energy in Indonesia, PERTAMINA, Jakarta.

Takhyan, Iin A.; Yusgiantoro, Purnomo; and Danar, Agus, (1990): Economic Aspects of Geothermal Development in Indonesia, The 12th New Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland, Auckland.

The World Bank and USAID; (1994): Submission and Evaluation of Proposals for Private Power Generation Projects in Developing Countries, The World Bank and USAID, Washington DC.

LAMPIRAN

Sumber Data : Danar, Agus; (2003): "Model Keputusan Investasi Dan Analisis Sensitivitas Proyek

Panasbumi Di Indonesia", Tesis Program MM, Universitas Borobudur, Jakarta.

Gambar 3. Profil IRR Proyek Panasbumi XYZ (110 MW)

EMBED Unknown

Pandangan dalam tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak harus mencerminkan pendapat lembaga tempat penulis bekerja.

Analis Investasi dan Mantan Perunding Panasbumi Pertamina, dapat dihubungi di [email protected]

Kepala Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan Republik Indonesia dan Staff Pengajar pada Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dapat dihubungi di [email protected]

Ir. Firdaus Akmal & Ir. Djuwarno, MM (2003): Peluang dan Tantangan Investasi Bisnis Pembangkitan Tenaga Listrik, Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

Tentang Tatacara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya atas hasil Pengusahaan Sumber Daya Panasbumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik.

Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Keputusan Investasi Proyek Panasbumi

Desember 2003

12

_1137521347.unknown

_1137521350.unknown

_1137522550.unknown

_1137521352.vsd

_1137521349.unknown

_1137521346.unknown