1645-3782-1-PB

16
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id 366 KECERDASAN SOSIAL GURU Tiara Kusuma Pariosi Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang [email protected] Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang membantu seseorang untuk berhubungan baik dengan orang lain. Setiap individu yang melakukan interaksi dengan orang lain membutuhkan kecerdasan sosial, salah satunya adalah guru, guna membantu tugas utama guru dalam mengajar untuk membentuk iklim belajar yang baik bagi para siswa. Penelitian ini menggunakan metode non-eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan sosial guru. Sampel penelitian berjumlah 50 guru SDN Kel. Gladak Anyar Kab. Pamekasan. Dengan skala kecerdasan sosial guru yang terdiri dari 19 item, ditemukan hasil analisa Z-Score tingkat kecerdasan sosial tinggi sebesar 50% atau 25 guru dan tingkat kecerdasan sosial rendah sebesar 50% atau 25 guru. Berdasarkan klasifikasi jenis kelamin, guru perempuan lebih banyak berada pada tingkat kecerdasan sosial tinggi, yaitu sebesar 55% atau 16 guru dibandingkan pada tingkat kecerdasan sosial rendah, yaitu sebesar 45% atau 13 guru. Sedangkan guru laki-laki lebih banyak menduduki tingkat kecerdasan sosial rendah, yaitu 57% atau 12 guru dibandingkan berada di tingkat kecerdasan sosial tinggi, yaitu 43% atau 9 guru. Kata kunci: Kecerdasan social, guru Social intelligence is the ability to help a person to get along with others. Everyone who interacts with other requires social intelligence, one is a teacher, social intelligence help main task of teacher in teaching to create a good learning climate for students. This study used a non- experiment method that aims to determine the level of social intelligence teacher. There are 50 teacher in state primary school of Gladak Anyar, Pamekasan as sampel in this study. Using social intelligence scale consisting of 19 items. From Z-Score analysis result found 50% or 25 teacher with high levels of social intelligence and 50% or 25 teachers with low levels of social intelligence. Based on gender classification, more female teachers are at a high levels of social intelligence, which is by 55% or 16 teachers compared to the low levels of social intelligence, which is 45% or 13 teachers. While male teachers were overrepresented in low levels of social intelligence, which is 57% or 12 teachers than are high levels of social intelligence, which is 43% or 9 teachers. Keyword: Social intelligence, teacher

Transcript of 1645-3782-1-PB

Page 1: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

366

KECERDASAN SOSIAL GURU

Tiara Kusuma Pariosi

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

[email protected]

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang membantu seseorang untuk

berhubungan baik dengan orang lain. Setiap individu yang melakukan

interaksi dengan orang lain membutuhkan kecerdasan sosial, salah satunya

adalah guru, guna membantu tugas utama guru dalam mengajar untuk

membentuk iklim belajar yang baik bagi para siswa. Penelitian ini

menggunakan metode non-eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui

tingkat kecerdasan sosial guru. Sampel penelitian berjumlah 50 guru SDN

Kel. Gladak Anyar Kab. Pamekasan. Dengan skala kecerdasan sosial guru

yang terdiri dari 19 item, ditemukan hasil analisa Z-Score tingkat

kecerdasan sosial tinggi sebesar 50% atau 25 guru dan tingkat kecerdasan

sosial rendah sebesar 50% atau 25 guru. Berdasarkan klasifikasi jenis

kelamin, guru perempuan lebih banyak berada pada tingkat kecerdasan

sosial tinggi, yaitu sebesar 55% atau 16 guru dibandingkan pada tingkat

kecerdasan sosial rendah, yaitu sebesar 45% atau 13 guru. Sedangkan guru

laki-laki lebih banyak menduduki tingkat kecerdasan sosial rendah, yaitu

57% atau 12 guru dibandingkan berada di tingkat kecerdasan sosial tinggi,

yaitu 43% atau 9 guru.

Kata kunci: Kecerdasan social, guru

Social intelligence is the ability to help a person to get along with

others. Everyone who interacts with other requires social intelligence, one

is a teacher, social intelligence help main task of teacher in teaching to

create a good learning climate for students. This study used a non-

experiment method that aims to determine the level of social intelligence

teacher. There are 50 teacher in state primary school of Gladak Anyar,

Pamekasan as sampel in this study. Using social intelligence scale

consisting of 19 items. From Z-Score analysis result found 50% or 25

teacher with high levels of social intelligence and 50% or 25 teachers with

low levels of social intelligence. Based on gender classification, more

female teachers are at a high levels of social intelligence, which is by 55%

or 16 teachers compared to the low levels of social intelligence, which is

45% or 13 teachers. While male teachers were overrepresented in low

levels of social intelligence, which is 57% or 12 teachers than are high

levels of social intelligence, which is 43% or 9 teachers.

Keyword: Social intelligence, teacher

Page 2: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

367

Manusia adalah makhluk sosial sehingga sebagian besar dari kehidupannya melibatkan

interaksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan adalah

manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk

memenuhi kebutuhannya (Dayakisni & Yuniardi, 2004). Dengan demikian seseorang

akan selalu berinteraksi satu sama lain, dengan berbagai macam individu tentunya

dengan pola kepribadian, keunikan dan kekhasan masing-masing. Untuk itu seseorang

tidak hanya dituntut bisa berinteraksi dengan orang lain, tetapi cerdas berinteraksi

dengan orang lain, kecerdasan itu oleh Goleman disebut sebagai kecerdasan sosial

(Goleman 2006; Goleman 2007; Williamson, 2012). Bagi Goleman (2007) kecerdasan

sosial merupakan rujukan tepat bagi kecerdasan yang tak hanya tentang relasi kita

dengan orang lain namun dalam relasi itu. Bahkan kemampuan sosial menunjukkan

kemampuan terbesar yang berhubungan dengan banyak aspek yang sangat dekat pada

konstruk kecerdasan sosial (Riggio & Reichard, 2008). Kecerdasan sosial bisa

dikarakteristikkan sebagai sebuah kombinasi dari dasar mengerti orang, salah satu

strategi kesadaran sosial dan paket kemampuan untuk berinteraksi secara sukses dengan

orang lain (Albrecht, (tt); Albrecht, 2006). Lebih dari itu, Suyono (2007) berpendapat

bahwa kecerdasan sosial merupakan pencapaian kualitas manusia mengenai kesadaran

diri dan penguasaan pengetahuan yang bukan hanya untuk keberhasilan dalam

melakukan hubungan interpersonal, tetapi kecerdasan sosial digunakan untuk membuat

kehidupan manusia menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Seseorang yang memiliki kecerdasan sosial mengerti bagaimana menjalin komunikasi

yang baik dengan orang lain, bahkan dengan berbagai macam latar belakang seseorang.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Dong, Koper dan Collaco (2008) yang

menunjukkan bahwa kecerdasan sosial secara signifikan berhubungan dengan

sensitivitas komunikasi antar budaya. Studi lain menunjukkan bahwa pemimpin yang

cerdas secara sosial unggul dalam hal kinerja, keterlibatan, produktivitas dan

keuntungan perusahaan. Kecerdasan sosial pemimpin fokus pada orang, memotivasi

mereka untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi dan menolong mereka

mengembangkan potensi terbesarnya (Murray & Fortinberry, 2010). Hasil penelitian

Hooda, Sharma dan Yadava (2009) yang berjudul Social Intelligence as a Predictor of

Positive Psychological Health menunjukkan bahwa sebagian besar dimensi-dimensi

kecerdasan sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi-dimensi

kesehatan psikologis. Hasil penelitian tersebut semakin menguatkan kecerdasan sosial

pada posisi yang penting dalam diri seseorang dan oleh karena itu dalam tulisannya,

Buzan (2007) menyarankan agar kecerdasan sosial dimiliki oleh semua orang yang

memiliki kegiatan bertemu dengan orang lain seperti resepsionis, guru, dokter, pekerja

sosial, karyawan hotel, bahkan oleh siapa saja yang dalam kegiatan sehari-hari harus

berhubungan dengan orang lain.

Salah satu yang disarankan Buzan (2007) untuk memiliki kecerdasan sosial adalah guru.

Guru memiliki tanggung jawab untuk bertatap muka dengan siswa, relasi kerja dan

orang tua siswa yang membutuhkan kecerdasan sosial dalam setiap interaksinya,

utamanya untuk mencapai tugas seorang guru sebagai pendidik sebagaimana ditetapkan

oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita yaitu mengajar (Syah, 2008).

Mendukung hal tersebut, Goleman (2006) menyatakan bahwa kecerdasan sosial seorang

pemimpin, dalam hal ini adalah guru lebih banyak menolong misi utama mengajar.

Mengajar tidak hanya berarti ceramah di muka kelas, tetapi juga memberikan peluang

seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajarnya (Syah, 2008). Hasil

Page 3: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

368

analisa Yamagishi dan Kikuchi (1999) menunjukkan bahwa seseorang yang

mengembangkan kecerdasan sosialnya mampu mengembangkan kepercayaannya

kepada orang lain, bukan menganggap tiap orang adalah orang yang buruk. Hal ini akan

mendorong seseorang guru untuk memberikan peluang-peluang yang baik bagi para

siswa dalam melakukan setiap aktivitas-aktivitas produktif belajarnya. Albrecht’s

(dalam Jeloudar, Yunus, Roslan, & Nor, 2011) menyatakan bahwa guru yang tingkat

kecerdasan sosialnya tinggi mampu mengatur perilaku kelas dengan baik.

Guru yang cerdas secara sosial, mengatur kelas melalui pembentukan hubungan yang

mendukung dan mendorong siswa, mengembangkan pelajaran yang didasarkan

kemampuan dan kekuatan siswa, menciptakan dan menerapkan pedoman perilaku

dalam cara-cara yang meningkatkan motivasi intrinsik, seperti diskusi, mengisyaratkan,

pengakuan dan keterlibatan (Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012).

Supaya kegiatan belajar mengajar diterima oleh siswa, guru perlu berusaha

membangkitkan gairah dan minat belajar mereka. Goleman (2007) percaya bahwa

secara umum kecerdasan sosial seorang guru dapat membentuk iklim belajar yang baik

dan meningkatkan kemampuan belajar siswa. Dengan kecerdasan sosial, guru akan

lebih mudah mengelola sebuah proses belajar mengajar, sebagaimana seorang guru

dituntut untuk menjadi figur sentral (tokoh inti) yang kuat dan berwibawa, namun tetap

bersahabat (Syah, 2008).

Sudah seharusnya seorang guru mampu memenuhi beberapa kriteria yang telah

disebutkan sebelumnya, salah satunya yaitu cerdas secara sosial. Namun beberapa

realita di dunia pendidikan kadang tidak sesuai dengan harapan. Tidak hanya segelintir

sekolah yang mengalaminya, beberapa sekolah di Indonesia memiliki guru yang kurang

sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, salah satunya cerdas secara

sosial. Dalam kurun waktu satu tahun, di tahun 2012 lebih dari 25 kasus yang terungkap

dan tertera di media on line mengenai guru yang kurang pantas seperti ringan tangan

terhadap siswa atau melakukan perbuatan asusila

(http://www.google.com/search?q=berita+guru+siswa&hl). Beberapa surat kabar online

tersebut menceritakan alasan guru melakukan tindakan ringan tangan karena siswa tidak

mengerjakan tugas, lupa membawa tugas dari guru, siswa berpenampilan yang tidak

sesuai dengan peraturan, siswa bersikap tidak sesuai dengan kehendak guru.

Di Kabupaten Pamekasan seorang guru memukul siswanya lantaran tersinggung karena

siswa masih menulis tugas rumah mata pelajaran lain di papan tepat sebelum guru

tersebut datang (http://jatim.tribunnews.com/2012/04/12/guru-pemukul-siswa-di-

pamekasan-akhirnya-dipecat).

Demikian halnya di Malang, seorang guru Sekolah Dasar Negeri Kota memberikan

hukuman yang dianggap berlebihan. Bahkan salah seorang wali murid membeberkan

bahwa sudah beberapa bulan bersabar menunggu perkembangan baik karena

menganggap kejadian tersebut merupakan kesalahan dari anaknya sendiri, namun sikap

guru tersebut tidak berubah dan semakin menjadi-jadi meski pihak wali murid telah

melaporkan peristiwa ini kepada pihak kepala sekolah. Tuturnya, anak-anak selalu

menjadi sasaran kemarahan maupun ringan tangan sang guru, di antaranya menampar,

memukul dengan penggaris, mencoret-coret wajah siswa, dan yang terakhir merobek

buku ulangan siswa.

Page 4: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

369

Guru tersebut mengakui, dirinya memang menyobek buku ulangan mata pelajaran

Bahasa Indonesia lima orang siswa kelas tiga. Dia menerangkan bahwa menyobek buku

siswa untuk memberikan shock therapy pada siswa agar menuruti instruksi yang

diberikan guru dan tidak ramai sendiri di kelas. Guru tersebut juga menjelaskan bahwa

dia terbiasa mengajar di sekolah yang siswanya pintar dan taat pada guru. Di Sekolah

Dasar Negeri yang dia ajar saat ini, jumlah siswa yang diajar oleh guru tersebut hanya

25 siswa tetapi terasa seperti mengajar 40 siswa dan merasa sangat kesulitan untuk

memberikan pengertian guna mendisiplinkan siswa-siswanya

(http://www.antarajatim.com/lihat/berita/99910/oknum-guru-sdn-tulusrejo-iv-aniaya-

siswa).

Melihat kasus-kasus di atas, beberapa guru tersebut kurang mampu mengolah informasi

situasi lingkungan terlebih dahulu, bersikap sesuai dengan kondisi, waktu dan tempat.

Padahal sebagai guru yang sekaligus juga sebagai direktur belajar yang artinya, setiap

guru diharapkan untuk pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar

mencapai keberhasilan belajar. Hal ini selaras dengan konsep bahwa guru berfungsi

sebagai perancang pengajaran, pengelola pengajaran dan penilai hasil pembelajaran

siswa (Syah, 2008). Guru yang cerdas secara sosial akan bersikap empati, membaca

pesan-pesan verbal dan non-verbal siswa dan juga membaca situasi lingkungan dengan

baik, mengambil tindakan sesuai dengan situasi dan lawan bicara, menggunakan

kemampuan komunikasi yang baik melalui komunikasi verbal maupun non verbal

dalam menerima dan menyampaikan pesan.

Pada kasus guru Sekolah Dasar, para siswa menjadi enggan kembali ke sekolah karena

takut peristiwa yang terjadi padanya terulang kembali. Hal ini mengakibatkan hubungan

guru dan siswa menjadi kurang baik. Padahal pada usia sekolah dasar, yaitu 6 sampai

dengan 13 tahun, siswa masih dalam masa perkembangan sosial untuk bersosialisasi dan

beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Guru Sekolah Dasar yang mengembangkan

kecerdasan sosial dalam kehidupannya dapat menjadi contoh dan panutan anak didiknya

dalam kecerdasan sosial. Dengan panutan atau guru yang telah mengembangkan

kecerdasan sosial dengan baik maka siswa akan lebih mudah mempelajari dengan cara

meneladani atau mengimitasi guru dan mengembangkan kecerdasan sosialnya pada

aktivitas sehari-hari sejak dini.

Berdasarkan uraian di atas, kecerdasan sosial merupakan aspek penting bagi guru dalam

menjalankan perannya sebagai pendidik. Guru yang cerdas secara sosial memberikan

kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif yang mampu

meningkatkan prestasinya. Didukung dengan komunikasi yang baik, guru akan lebih

mudah menyampaikan berbagai informasi, khususnya pelajaran yang akan diajarkan

kepada siswa. Guru juga akan lebih mudah dalam memahami latar belakang siswa,

kebutuhan siswa dan juga hambatan-hambatan siswa yang dialami di kelas supaya guru

mampu merencanakan tindakan kelas yang tepat untuk siswa-siswanya sehingga

membentuk suasana belajar mengajar yang produktif dalam rangka meningkatkan

prestasi siswa.

Melihat akan pentingnya kecerdasan sosial bagi seorang guru, maka dari itu dalam

penelitian kali ini muncul pertanyaan bagaimana tingkat kecerdasan sosial guru? Yang

mana penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan sosial guru.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada setiap pihak yang membaca

Page 5: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

370

dan berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa

memberikan sumbangan wacana dan informasi bagi psikologi secara umum, khususnya

psikologi pendidikan dan psikologi sosial, serta mampu memberikan sumbangan saran

dan tindakan yang berarti berkenaan dengan kecerdasan sosial pada guru sebagai upaya

peningkatan kompetensi sosial khususnya kecerdasan sosial. Penelitian ini juga

diharapkan dapat dijadikan suatu rujukan atau pertimbangan bila akan mengadakan

penelitian lebih lanjut, khususnya masalah kecerdasan sosial guru agar mendapatkan

hasil yang lebih baik pada penelitiannya.

Kecerdasan Sosial

Thorndike pertama kali mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai kemampuan

seseorang untuk mengerti dan mengatur orang lain dan digunakan dalam interaksi sosial

(dalam Khilstrom & Cantor, 2000; Goleman, 2007). Vernon (dalam Suyono, 2007)

menyatakan kecerdasan sosial sebagai kemampuan pribadi yang relatif menetap dalam

diri seseorang untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan Moss dan Hunt

(dalam Suyono, 2007) berpendapat bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan

dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara terus menerus. Dan definisi

sederhana dari kecerdasan sosial menurut Albrecht adalah kemampuan untuk dapat

berhubungan baik dengan orang lain dan membuat mereka cooperate dengan kita

(Albrecht, (tt); Albrecht, 2006).

Kecerdasan sosial memiliki unsur-unsur yang menurut Goleman (2007) terbagi dalam

dua kategori besar, yaitu: kesadaran sosial dan fasilitas sosial.

Kesadaran sosial, merujuk pada spectrum yang merentang secara instan merasa keadaan

batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, untuk “mendapatkan”

situasi sosial yang rumit. Hal ini meliputi:

1. Empati dasar: perasaan dengan orang lain; merasakan isyarat-isyarat emosi non

verbal.

2. Penyelarasan mendengarkan dengan penuh reseptivitas; menyelaraskan diri pada

seseorang.

3. Ketepatan empatik: memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain.

4. Pengertian sosial: mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja.

Berbeda dengan Goleman, Silvera, Martinussen dan Dahl menyimpulkan unsur

kecerdasan sosial dari penelitiannya (Silvera et al., 2001; Gini, 2005; Berarducci, 2009;

Dogan & Cetin 2009) yaitu:

1. Pemprosesan informasi sosial: kemampuan untuk memahami pesan verbal dan non-

verbal dalam hubungan antar manusia, berempati dan membaca pesan tersembunyi

sebaik membaca pesan yang tersirat.

2. Kemampuan sosial: kemampuan dasar komunikasi seperti mendengar aktif, berani

bertindak, membangun, mempertahankan dan memutuskan hubungan.

3. Kesadaran sosial: kemampuan aktif berperilaku sesuai dengan situasi, tempat dan

waktu.

Kecerdasan sosial memiliki fungsi sebagai penentu kesuksesan dan perbaikan pada

pelaksanaan kewajiban-kewajiban seseorang (Goleman, 2006), menjadikan seseorang

Page 6: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

371

bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Suyono, 2007), sebagai prediktor popularitas

(Meijs, et al., 2008), sebagai prediktor kesehatan psikologis (Hooda et al., 2009),

sebagai kunci komunikasi dan inovasi di dunia kerja, sebagai dasar membantu

memfasilitasi efektivitas dan keberhasilan kepemimpinan (Beheshtifar & Roasaei,

2012).

Kecerdasan sosial memiliki manfaat untuk mengembangkan kepercayaan seseorang

terhadap orang lain (Yamagishi & Kikuchi, 1999), membentuk iklim sosial yang baik

(Goleman, 2007), memunculkan kebermaknaan hidup (Dong et al., 2008), membantu

mengembangkan potensi terbesar seseorang (Murray & Fortinberry, 2010), membantu

pemimpin meningkatkan kinerja orang-orang yang dipimpinnya, menolong seseorang

untuk mengatur emosinya, mengurangi konflik, mereduksi stress, memudahkan

mengatur orang lain, memudahkan mempengaruhi orang lain, memudahkan memotivasi

orang lain, (Beheshtifar & Roasaei, 2012).

Khilstrom dan Cantor (2000) mengusulkan ciri-ciri kecerdasan sosial sebagai berikut:

menerima orang lain apa adanya, tepat waktu dalam membuat perjanjian, mengakui

kesalahan yang diperbuatnya, menunjukkan perhatian pada dunia yang lebih luas,

mempunyai hati nurani sosial, berpikir, berbicara dan bertindak secara sistematik,

menunjukkan rasa ingin tahu, tidak membuat penilaian yang tergesa-gesa, membuat

penilaian secara objektif, meneliti informasi terlebih dahulu sebagai bahan

pertimbangan memecahkan masalah, peka terhadap kebutuhan dan hasrat orang lain dan

menunjukkan perhatian segera terhadap lingkungan. Campbell, L, Campbell, B. dan

Dickinson (dalam Wulandari, 2010) menyatakan ciri-ciri orang yang mempunyai

kecerdasan sosial yang bagus antara lain: terikat dengan orang tua dan berinteraksi

dengan orang lain, membentuk dan menjaga hubungan sosial, mengetahui dan

menggunakan cara-cara yang beragam dalam hubungan dengan orang lain,

mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain, merasakan perasaan, pikiran,

motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain, berpartisipasi dalam kegiatan

kolaboratif dan menerima bermacam peran yang perlu dilaksanakan oleh bawahan

sampai pimpinan dalam suatu usaha bersama, memahami dan berkomunikasi secara

efektif baik verbal maupun nonverbal, menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan grup

yang berbeda dan juga feedback dari orang lain, menerima perspektif yang bermacam-

macam dalam masalah sosial dan politik, mempelajari keterampilan yang berhubungan

dengan mediator, mengorganisir orang lain dari berbagai latar belakang dan usia,

tertarik pada karir yang berorientasi pada hubungan interpersonal, dan membentuk

model sosial atau model baru.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan non-eksperimental dengan jenis

penelitian deskriptif kuantitatif. Hal ini didasari perlakuan atau treatment yang akan

diberikan dari peneliti tidak sepenuhnya dilakukan sebagai sebuah eksperimental murni,

sebagaimana yang dilakukan pada studi kasus desain eksperimental.

Page 7: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

372

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah para guru Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Gladak Anyar

Kabupaten Pamekasan, Madura. Dalam penelitian ini mengambil sampel sejumlah 50

guru dari jumlah populasi 64 guru yang bekerja di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan

Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan, Madura. Adapun teknik pengambilan sampel

dilakukan dengan teknik quota sampling dengan menentukan jumlah subjek penelitian

yang akan diambil terlebih dahulu. Dipilih teknik quota sampling karena tidak semua

guru hadir disekolah, beberapa guru hadir hanya pada jam mengajar saja sehingga perlu

ditentukan jumlah sampel agar memudahkan penyebaran skala dan penentuan sampel.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini mengkaji satu variable yaitu kecerdasan social dengan aspek yang

dikemukakan oleh Goleman, Silvera, Martinussen dan Dahl (Silvera et al., 2001; Gini,

2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin 2009) yaitu pemrosesan informasi, kemampuan

social, dan kesadaran social. Kecerdasan social adalah kemampuan berhubungan baik

dengan orang lain yang terdiri dari pemrosesan informasi sosial, kemampuan sosial,

kesadaran sosial dalam konteks hubungan guru dengan murid.

Untuk mengukur kecerdasan social digunakan skala yang disusun berdasarkan teori dan

pernyataan-pernyataan dalam the Tromso Social Intelligence Scale (TSIS) yang disusun

oleh Silvera et al. tahun 2001 dalam The Scandinavian Journal of Psychology yang

berjudul The Tromso Social Intelligence Scale, a self-report measure of social

intelligence. Dalam skala kecerdasan sosial guru ini terdapat 21 pernyataan yang

merupakan perwakilan dari tiga aspek kecerdasan sosial (Silvera et al., 2001; Gini,

2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin 2009), yaitu: pemprosesan informasi sosial,

kemampuan sosial dan kesadaran sosial. Masing-masing aspek tersebut akan memiliki

skor tinggi dan skor rendah sesuai respon masing-masing subjek penelitian. Misalnya

sebagai berikut:

Tabel 1. Indeks Validitas Skala Kecerdasan Sosial

Aspek kecerdasan sosial Validitas

Pemprosesan Informasi Sosial 0.344 – 0.809

Kemampuan Sosial 0.377 – 0.756

Kesadaran Sosial 0.464 – 0.736

Berdasarkan tabel 1 diatas, dapat disimpulkan bahwa dari 21 pernyataan yang

diujicobakan, hanya ada 19 pernyataan yang valid dan reliabel. Indeks validitas item

skala kecerdasan social dari aspek pemrosesan informasi social berkisar dari 0,344-

0,809; aspek kemampuan sosial indeks validitas dari 0,377-0,756; dan aspek kesadaran

social indeks validitas dari 0,464-0,736. Indeks validitas tertinggi dan terendah terdapat

pada item aspek pemrosesan informasi sosial.

Page 8: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

373

Tabel 2. Indeks Reliabilitas Skala Kecerdasan Sosial

Aspek kecerdasan sosial Alpha

Pemprosesan Informasi Sosial 0.802

Kemampuan Sosial 0.825

Kesadaran Sosial 0.838

Dari tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa item skala kecerdasan social dari masing-masing

aspek menunjukkan indeks reliabilitas yang memenuhi. Dimana untuk aspek

pemprosesan informasi indeks validitas sebesar 0,802, aspek kemampuan social 0,825,

dan aspek kesadaran social sebesar 0,838. Untuk uji reliabilitas ditemukan alfa skala

kecerdasan sosial dengan keseluruhan indikator adalah 0.862, yaitu reliabel, sehingga

skala memiliki keandalan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan criteria yang

dikemukakan oleh Ghozali (2009), dimana jika hasil uji reliabilitas menunjukkan diatas

0,60 dapat dikatakan reliabel.

Prosedur dan Analisa Data Penelitian

Prosedur penelitian diawali dengan tahap persiapan, yaitu peneliti membuat dan

mempersiapkan instrument yang digunakan sebagai alat ukur. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini skala kecerdasan social yang disusun oleh Silvera dalam

jurnal The Scandinavian Journal of Psychology yang berjudul The Tromso Social

Intelligence Scale, a self-report measure of social intelligence. Dalam skala kecerdasan

sosial guru ini terdapat 21 pernyataan yang merupakan perwakilan dari tiga aspek

kecerdasan sosial (Silvera et al., 2001; Gini, 2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin

2009), yaitu: pemprosesan informasi sosial, kemampuan sosial dan kesadaran sosial.

Langkah yang dilakukan peneliti selanjutnya yaitu melakukan survey dan observasi ke

seluruh Sekolah Dasar Negeri Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan, Mempersiapkan

surat izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang untuk

SD Negeri Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan. Selanjutnya melakukan try out

terpakai (uji coba terpakai) dengan menyebarkan skala kecerdasan social yang berisi 21

item. Dengan menggunakan tryout terpakai, data yang telah lolos dari uji validitas dan

reliablitas langsung digunakan sebagai data hasil penelitian. Setelah melakukan uji

coba, data di uji validitas dan reliabilitas didapatkan hasil 19 item yang valid. Tahap

pelaksanaan dilakukan tanggal 22-23 Januari 2013, dimana penyebaran skala

dilaksanakan bergantian di seluruh SD Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri

Gladak Anyar V Kabupaten Pamekasan. Waktu penelitian mengambil jam masuk

sekolah, yaitu jam 09.00-12.00 wib. Penyebaran skala dengan cara menitipkan skala

kepada kepala sekolah dan menjelaskan cara pengisian, kemudian berangkat ke sekolah

selanjutnya untuk menitipkan skala kepada kepala sekolah yang lain untuk dibagikan

kepada guru. Setelah menitipkan ke kepala sekolah lainnya, peneliti kemudian kembali

ke sekolah sebelumnya untuk mengambil data penelitian yang telah diisi. Data hasil

penyebaran skala kemudian di skoring dan dianalisis dengan menggunakan SPSS.

Metode analisa data teknik analisa Z-Score untuk menentukan tingkat kecerdasan guru

dengan ketentuan nilai Z-Score yang menunjukkan angka minus (-), mulai dari angka -

0,00001 maka dinyatakan memiliki tingkat kecerdasan sosial rendah dan yang

menunjukkan angka positif (+), mulai dari angka 0,00001 maka dinyatakan memiliki

kecerdasan sosial tinggi.

Page 9: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

374

HASIL PENELITIAN

Berikut ini peneliti menggambarkan subjek penelitiannya yang berjumlah 50 guru di SD

Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri Gladak Anyar V Kabupaten Pamekasan dan

diklasifikasikan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pendidikan selengkapnya dapat

dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian

Kategori Frekuensi Prosentase

Umur

≤ 40 Tahun 25 50%

> 40 Tahun 25 50%

Jenis Kelamin

Perempuan 29 58%

Laki-laki 21 42%

Pendidikan

SMA 18 36%

D2 7 14%

S1 25 50%

Total 50 100%

Dari table 3 diatas dapat disimpulkan subjek penelitian sebanyak 50 guru yang tersebar

dari SD Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri Gladak Anyar V Kabupaten

Pamekasan, baik yang merupakan guru tidak tetap, guru tetap, maupun pegawai negeri

sipil. Separuh (50%) dari subjek penelitian merupakan guru yang berumur lebih dari 40

tahun dan separuh sisanya (50%) berumur 40 tahun ke bawah. Dengan selisih yang

tipis, menurut kategori jenis kelamin, guru berjenis kelamin perempuan lebih banyak

(58%) dibandingkan laki-laki (42%). Sedangkan berdasarkan pendidikan guru, lulusan

D2 menempati angka terkecil (14%), jauh dibandingkan dengan guru lulusan S1 yang

menempati angka separuh (50%) dari jumlah subjek keseluruhan.

Tabel 4. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru

Kecerdasan Sosial Frekuensi Prosentase

Tinggi 25 50%

Rendah 25 50%

Total 50 100%

Sesuai dengan hasil analisa Z-Score yang pada tabel 4, perolehan prosentase pada

masing-masing tingkat kecerdasan sosial tinggi dan tingkat kecerdasan sosial rendah

50%:50%. Data tersebut menerangkan bahwa jumlah guru yang memiliki tingkat

kecerdasan sosial tinggi dan guru yang memiliki kecerdasan sosial rendah adalah sama.

Page 10: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

375

Tabel 5. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan Usia

Tingkat

Kecerdasan

Sosial

≤ 40 Tahun > 40 Tahun

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

Rendah 13 52% 12 48%

Tinggi 12 48% 13 52%

Total 25 100% 25 100%

Berdasarkan tabel 5, tingkat kecerdasan sosial guru jika ditinjau dari usia, saat berumur

≤ 40 tahun tingkat kecerdasan sosial guru cenderung lebih banyak yang menempati

posisi rendah dengan perbandingan 52%:48% dibandingkan dengan guru dengan tingkat

kecerdasan sosial rendah pada usia kurang dari 40 tahun. Ketika menginjak usia di atas

40 tahun, guru lebih banyak menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dibandingkan

berada di tingkat kecerdasan sosial rendah, dengan perbandingan 52%:48%.

Tabel 6. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan

Tingkat Pendidikan

Tingkat

Kecerdasan

Sosial

SMA D2 S1

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

Rendah 13 72% 3 43% 9 36%

Tinggi 5 28% 4 52% 16 64%

Total 18 100% 7 100% 25 100%

Pada tabel 6 dapat disimpulkan tingkat kecerdasan sosial guru yang memiliki tingkat

pendidikan SMA paling banyak menempati posisi tingkat kecerdasan sosial rendah

(72%). Pada guru dengan tingkat pendidikan S1 lebih banyak menempati tingkat

kecerdasan sosial tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya (64%). Pada guru

lulusan D2, 43% menempati posisi tingkat kecerdasan sosial rendah dan lebih banyak

57% menempati posisi tingkat kecerdasan sosial tinggi.

Tabel 7. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan Jenis

Kelamin

Tingkat

Kecerdasan Sosial

Laki-laki Perempuan

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

Tinggi 9 43% 16 55%

Rendah 12 57% 13 45%

Total 21 100% 29 100%

Merujuk pada tabel 7, tingkat kecerdasan sosial guru berjenis kelamin laki-laki yang

menempati posisi rendah (57%) lebih banyak dari tingkat kecerdasan sosial guru

berjenis kelamin laki-laki yang menempati posisi tinggi (43%). Berbanding terbalik

dengan laki-laki, perempuan justru lebih banyak berada pada tingkat kecerdasan sosial

tinggi (55%) dibandingkan berada pada tingkat kecerdasan sosial rendah (45%). Fakta

Page 11: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

376

ini menjelaskan bahwa guru perempuan lebih banyak yang memiliki tingkat kecerdasan

sosial tinggi dibandingkan guru laki-laki.

Tabel 8. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan

Ketiga Indikator Kecerdasan Sosial

Tingkat

Kecerdasan

Sosial

Pemrosesan Informasi

Sosial Kemampuan Sosial Kesadaran Sosial

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

Tinggi 31 62% 33 66% 33 66%

Rendah 19 18% 17 34% 17 34%

Total 50 100% 50 100% 50 100%

Tergambar pada tabel 8 ketiga indikator kecerdasan sosial guru. Dari ketiga indikator

kecerdasan sosial guru, yaitu pemrosesan informasi sosial, kemampuan sosial, dan

kesadaran sosial ketiga-tiganya menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Namun

indikator pemrosesan informasi sosial tertinggal sedikit, yaitu 62% dibandingkan

dengan indikator kemampuan sosial dengan perolehan angka 66% dan indikator

kesadaran sosial dengan perolehan 66%.

Tabel 9. Hasil Analisa Z-Score Indikator Kecerdasan Sosial Paling Dominan

Berdasarkan Jenis Kelamin

Tingkat

Kecerdasan

Sosial

Pemrosesan Informasi

Sosial Kemampuan Sosial Kesadaran Sosial

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

Perempuan 10 20% 6 12% 13 26%

Laki-laki 6 12% 9 18% 6 12%

Melihat gambaran tabel 9, guru perempuan lebih banyak dominan pada indikator

kesadaran sosial (26%), kemudian disusul oleh indikator pemrosesan informasi sosial

yang menempati angka 20% dan indikator yang paling kecil jumlahnya adalah

kemampuan sosial. Berbeda dengan guru perempuan yang minim pada kemampuan

sosialnya, guru laki-laki ternyata lebih banyak yang didominasi indikator kemampuan

sosial (18%) dibandingkan dengan indikator pemrosesan informasi sosial (12%) dan

indikator kesadaran sosial (12%) yang memiliki perolehan angka yang sama.

DISKUSI

Melihat hasil penelitian tingkat kecerdasan sosial guru yang menunjukkan hasil yang

seimbang antara tingkat kecerdasan sosial tinggi dan tingkat kecerdasan sosial rendah

menerangkan bahwa guru yang mampu menjalin hubungan yang baik dengan siswa

sama besarnya dengan guru yang kurang mampu menjalin hubungan baik dengan siswa.

Page 12: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

377

Dari hasil penelitian, hanya 50% guru dari keseluruhan subjek yang memiliki

kecerdasan sosial tinggi dan 50% sisanya memiliki kecerdasan sosial rendah.

Rendahnya kecerdasan sosial 50% subjek penelitian ini bisa dipengaruhi oleh berbagai

macam hal. Thorndike (dalam Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012) menyebutkan bahwa

kecerdasan sosial muncul ketika seseorang lahir dan semakin berkembang sesuai

dengan bertambahnya usia. Dari data demografis yang tercantum dalam instrumen

penelitian menggambarkan usia subjek yang beragam. Dalam klasifikasi usia tersebut,

terdapat separuh dari subjek penelitian berusia lebih dari 40 tahun dan separuh lainnya

berusia 40 tahun ke bawah. Pada usia 40 tahun ke bawah jumlah subjek yang

menempati kecerdasan sosial rendah lebih banyak (52%) dibandingkan dengan guru

yang menempati kecerdasan sosial tinggi (48%). Namun data ini menjadi berbanding

terbalik ketika masuk pada usia lebih dari 40 tahun. Guru dengan usia di atas 40 tahun

52% menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dan sisanya, 48% menempati tingkat

kecerdasan sosial rendah. Hal ini mencerminkan bahwa semakin bertambahnya usia

guru, maka lebih banyak yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Hal tersebut

dikarenakan berkembangnya usia sejalan dengan bertambahnya pengalaman-

pengalaman, termasuk di dalamnya merupakan pengalaman-pengalaman sosial yang

bisa mengasah kecerdasan sosial seseorang. Selain itu, Thorndike dan Stein (dalam

Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012) juga menyatakan bahwa kecerdasan sosial meningkat

sejalan dengan meningkatnya tingkat akademik dan pengalaman seseorang. Guru

dengan tingkat pendidikan sarjana dan master memiliki perbedaan kecerdasan sosial

(Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012). Dalam penelitian ini 50% dari keseluruhan subjek

merupakan lulusan sarjana dan sisanya merupakan lulusan SMA dan D2. 72% subjek

lulusan SMA menempati tingkat kecerdasan sosial rendah. Pada guru lulusan D2,

menyumbangkan angka 43% untuk tingkat kecerdasan sosial rendah dan guru lulusan

S1 hanya menyumbangkan 36% dari total jumlah subjek lulusan S1. Hal tersebut

menggambarkan bahwa perbedaan pengalaman-pengalaman sosial yang didapatkan dari

relasi jenjang pendidikan tertentu menentukan perkembangan kecerdasan sosial

seseorang. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin rendah jumlah subjek yang

menempati tingkat kecerdasan sosial rendah dan semakin meningkat jumlah subjek

yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Dari data yang terangkum,

beragamnya usia dan tingkat pendidikan yang menyebabkan tingkat kecerdasan sosial

guru 50% tinggi dan 50% rendah.

Guru yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dinyatakan mampu menjalin

hubungan baik dengan siswa karena sebagian besar guru yang memiliki tingkat

kecerdasan sosial tinggi memahami siswa dari bahasa verbal, ekspresi dan bahasa tubuh

siswa secara baik. Guru dengan tingkat kecerdasan tinggi juga memahami perilaku,

perasaan dan juga harapan-harapan siswa.

Guru yang menempati tingkat kecerdasan sosial rendah dinyatakan kurang mampu

menjalin hubungan baik dengan siswa karena sebagian besar guru kurang dalam

memahami pesan siswa dan kurang berempati. Guru yang menempati tingkat

kecerdasan sosial rendah kurang mengembangkan kemampuannya untuk memahami

siswa, memahami perasaan siswa, perilaku siswa dan harapan-harapan siswa. Sebagai

seseorang yang memimpin aktivitas-aktivitas belajar siswanya, guru dengan tingkat

kecerdasan sosial rendah kurang dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan bergaul dengan

siswa yang ditemui sehari-hari.

Page 13: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

378

Dalam penelitian kecerdasan sosial guru kali ini mendukung hasil penelitian Sembiyan

dan Visvanathan (2012), hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menempati

tingkat kecerdasan sosial tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang lebih banyak

menempati tingkat kecerdasan sosial rendah. Hal ini menggambarkan bahwa adanya

perbedaan kecerdasan sosial laki-laki dan perempuan juga berlaku pada subjek dengan

bidang pekerjaan guru. Guru perempuan yang lebih tinggi kecerdasan sosialnya

dibandingkan laki-laki menunjukkan efisiensi dalam mengajar dibandingkan dengan

guru laki-laki dalam hal dimensi akademik, profesional, emosional dan moral efektifitas

guru serta dalam hal efektivitas guru global (Agrawal, 2003).

Ada perbedaan perilaku antara Laki-laki dan perempuan. Perempuan umumnya

memusatkan perhatian dan menimbang-nimbang perasaan. Laki-laki terlihat buruk

dalam hal empati (Goleman, 2007). Perempuan lebih mengutamakan jalinan emosional

yang lebih besar dalam hubungan karibnya. Hubungan yang baik dapat menjadi sumber

utama kepuasan dan kesejahteraan sepanjang hidup bagi perempuan. Bagi laki-laki,

hubungan yang baik dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pentingnya pertumbuhan

pribadi atau kemandirian seseorang. Perempuan memiliki nurturan untuk pengasuhan

yang mana menegaskan bahwa perempuan lebih merasa bertanggung jawab untuk nasib

orang-orang yang mereka pedulikan. Perempuan juga lebih terbiasa dengan naik

turunnya hubungan dan emosional. Di bawah stres, otak perempuan mengeluarkan

oksitosin lebih dari seorang laki-laki yang memiliki efek menenangkan. Ketika

perempuan berteman, tubuh mereka melepaskan oksitosin tambahan yang

menenangkan mereka bahkan lebih. Ketika perempuan menghadapi ancaman,

perempuan cenderung mencari persahabatan, tidak seperti laki-laki yang cenderung

menghadapinya sendirian (Goleman, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian, guru perempuan cenderung lebih banyak mengembangkan

indikator kemampuan sosialnya dibandingkan indikator pemrosesan informasi sosial

dan kesadaran sosial yang sama-sama juga dikembangkan oleh guru perempuan.

Kecenderungan guru perempuan dalam kecerdasan sosialnya ini menggambarkan

bahwa guru perempuan mampu melakukan adaptasi, berkomunikasi, bergaul dengan

siswa, memahami siswa baik itu memahami pesan yang disampaikan siswa, perasaan

siswa, maupun harapan-harapan siswa. Guru perempuan juga mampu membaca pesan-

pesan tersembunyi dari siswa, baik dari verbal, ekspresi, juga bahasa tubuh siswa.

Guru laki-laki yang cenderung menonjol pada indikator kesadaran sosial ternyata

rendah dalam mengembangkan indikator kemampuan sosial karena kurang dalam

menyesuaikan diri dan bergaul dengan siswa. Dalam berkomunikasi dengan siswa, guru

laki-laki kurang mengembangkan kemampuannya dalam menentukan topik yang tepat

dengan siswa sehingga siswa bisa merasa nyaman ketika melakukan interaksi verbal

dengan guru.

Ditinjau dari masing-masing indikator kecerdasan sosial pada seluruh subjek, sebagian

besar guru telah memiliki kemampuan dalam melakukan pemrosesan informasi (62%),

kemampuan sosial (66%), dan kemampuan aktif berperilaku sesuai dengan kondisi

lingkungan atau kemampuan sadar akan sosial (66%). Berdasarkan item pen-skalaan

dalam indikator pemrosesan informasi sosial, sebagian besar guru telah mampu

memahami perasaan siswa, mampu memahami keinginan siswa, memahami apa yang

siswa maksudkan melalui ekspresi dan bahasa tubuh siswa. Melihat indikator

Page 14: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

379

kemampuan sosial dalam item pen-skalaan, sebagian besar guru telah mampu

menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, khususnya di dalam kelas dan tidak

mengalami kesulitan saat bergaul dengan siswa. Sedangkan indikator kesadaran sosial

dalam item pen-skalaan menunjukkan bahwa guru tidak membutuhkan waktu yang lama

untuk mengenal siswa dengan baik dan menyadari setiap dampak perilakunya terhadap

siswa.

Dari seluruh pembahasan mengenai kecerdasan sosial guru, pada penelitian ini subjek

yang digunakan adalah guru sekolah dasar negeri yang terdapat di Kelurahan Gladak

Anyar, Kabupaten Pamekasan. Kecilnya ruang lingkup populasi yang digunakan dalam

penelitian ini menegaskan keterbatasan penggunaan hasil penelitian, sehingga hasil

penelitian ini hanya dapat digunakan dalam batas guru sekolah dasar, utamanya di

Kelurahan Gladak Anyar, Kabupaten Pamekasan.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan analisa data Z-Score dapat ditarik kesimpulan bahwa guru yang memiliki

kecerdasan sosial tinggi memiliki jumlah yang sama banyaknya dengan guru yang

memiliki kecerdasan sosial rendah. Tingkat kecerdasan sosial ditinjau dari indikator

menunjukkan bahwa kemampuan sosial dan kesadaran sosial menempati angka

tertinggi. Berdasarkan jenis kelamin, guru perempuan lebih banyak memiliki tingkat

kecerdasan tinggi dibandingkan laki-laki. Guru perempuan lebih unggul dalam indikator

kesadaran sosial dan laki-laki unggul dalam indikator kemampuan sosial.

Implikasi dari penelitian yang telah dilakukan yaitu bagi guru yang telah memiliki

kecerdasan sosial tinggi disarankan untuk tetap mempertahankan kecerdasan sosialnya.

Sedangkan guru dengan kecerdasan sosial rendah dikehendaki agar terus melatih

kecerdasan sosialnya supaya terjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan siswa.

Dalam melatih kecerdasan sosial, guru yang dikehendaki meningkatkan kecerdasan

sosial bisa mengikuti pelatihan-pelatihan ada. Bagi Dinas Pendidikan, data ini bisa

dijadikan rekomendasi dalam pembuatan program pelatihan dalam ragka menyukseskan

program sertifikasi guru, khususnya guru sekolah dasar. Data ini juga bisa dijadikan

masukan dalam daftar kompetensi sosial guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.

bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan variable yang sama

hendaknya menggunakan sampel yang memiliki cakupan lebih luas dan lebih

bervariatif, seperti guru SMP maupun guru SMA agar mampu memberikan gambaran

kecerdasan sosial guru yang lebih lengkap dan beragam sesuai dengan sampel penelitian

karena pada penelitian ini cakupan guru yang diambil hanya guru sekolah dasar.

REFERENSI

Agrawal, R. (2003). Social intelligence and teacher effectiveness. Bundelkhand

University. Diakses dari eduresearch.dauniv.ac.in/file.asp?ID=132.

Albrecht, K. (t.t). Sosial intelligence the new science of success. Diakses 14 Mei 2012

dari http://www.karlalbrecht.com/articles/pages/socialintelligence.htm.

___________ (2006). Social intelligence the new science of success. (Review: Lydia

Morris Brown). Bussiness Book Review 23, 1-11. Diakses 05 Juni 2012 dari

http://www.karlalbrecht.com/downloads/SocialIntelligence-BBR.pdf.

Page 15: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

380

Beheshtifar, M., & Roasaei, F. (2012). Role of social intelligence in organizational

leadership. European Journal of Social Science 28, (2), 197-203. ISSN 1450-

2267.

Berarducci, L. R. (2009). Traditional bullying victimization and new cyberbullying

behaviors. Thesis. The Collage of Art and Science of the University of Dayton.

Tempo, Berita guru siswa. http://www.google.com/search?q=berita+guru+siswa&hl

Buzan, T. (2007). The power of social intelligence sepuluh cara jadi orang yang pandai

bergaul (Terj. Eric Suryaputra). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dayaksini, T., & Yuniardi, S. (2004). Psikologi lintas budaya. Malang: UMM Press.

Dogan, T., & Cetin, B. (2009, Spring). The validity, reliability and factorial structure of

the Turkish version of the Tromso Social Intelligence Scale. Educational

Science: Theory & Practice 9 (2), 709-720.

Dong, Q., Koper, R. J., & Collaco, C. M. (2008). Social intelligence, and intercultural

communication sensitivity. Intercultural Communication Studies, 2, 162-172.

Gini, G. (2005). Brief report: adaptation of the Italian version of the Tromso Social

Intelligence Scale to the adolescent population. Journal of Adolescence , 29,

307-312.

Goleman, D. (2006, Juli). What is social intelligence?. Greater Good, hal 44. Diakses

15 Mei 2012 dari

http://www.nwacademy.nhs.uk/downloads/documents/43_1822011_what_is_soc

ial_intelligence.pdf.

___________ (2006, September) The socially intelligent leader. Educational

Leadership, hal. 76-81. Diakses 15 Mei 2012 dari

http://cmapspublic2.ihmc.us/rid=1207228817342_1390637911_7833/Goleman-

%20Socially%20Intelligent%20Leader.pdf.

___________ (2007, 1 Februari). Social intelligence for teachers: looking for some

help. Diakses 07 September 2012 dari http://danielgoleman.info/2007/social-

intelligence-for-teachers-looking-for-some-help/.

___________ (2007). Social intelligence ilmu baru tentang hubungan antar manusia

(Terj. H. S. Imam). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Guru pemukul siswa di Pamekasan akhirnya dipecat. (2012, 12 April).

http://jatim.tribunnews.com/2012/04/12/guru-pemukul-siswa-di-pamekasan-

akhirnya-dipecat.

Hooda, D., Sharma, N. R., & Yadava, A. (2009, Januari). Social intelligence as a

predictor of positive psychological health. Journal of the Indian Academic of

Applied Psychology, 35, (1), 143-150.

Page 16: 1645-3782-1-PB

Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id

381

Jeloudar, S., Y., & Lotfi-Goodarzi, F. (2012). The Relationship between social

intelligence and job satisfaction among MA and BA teachers. International

Journal of Education and Science, 3, 209-213.

Jeloudar, S., Y., Yunus, A., S., Roslan, S., & Nor, S., M. (2011, Desember). Exploring

the relationship between teachers’ social intelligence and classroom dicipline

stategies. International Journal of Psychological Studies, 3, 2, 149-155. DOI:

10.5539/ijps.v3n2p149.

Meijs, N., Cillessen, A. H. N., Scholte, R. H. J., Segers, E., & Spijkerman, R. (2008).

Social intelligence and academic achievement as predictor of adolescent

popularity. Journal of Youth Adolescense. DOI 10.1007/s10964-008-9373-9.

Murray, B., & Fortinberry, A. (2010, Juni). The social IQ of leadership. Human

Resources, 3, 13-14.

Oknum guru SDN Tulusrejo IV aniaya siswa. (2012, 29 Nopember).

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/99910/oknum-guru-sdn-tulusrejo-iv-

aniaya-siswa.

Riggio, R. E., & Reichard, R. (2008). The emotional and social intelligence of effective

leadership an emotional and social skill approach. Journal of Managerial

Psychology, 23 (9), 169-185. DOI 10.1108/02683940810850808.

Sembiyan, R., & Visvanathan, G. (2012, Januari). Study on social intelligence of

collage students. International Journal of Current Research. 04 (01), 231-232.

ISSN: 0975-833X.

Silvera, D. H., Martinussen, M., & Dahl, T. I. (2001). The tromso social intelligence

scale, a self-report measure of social intelligence. The Scandinavian Journal of

Psychology, 42, 313-319. ISSN: 0036-5564.

Khilstrom, J. F. & Cantor, N. (2000). Social intelligence. In: Sternberg, R. J. Handbook

of Intelligence, 2nd Ed. Hal. 359-379. Cambridge, U.K: Cambridge University

Press.

Suyono, H. (2007). Social intelligence. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Syah, M. (2008). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: Rosda.

Williamson, D. (2012, 26 Maret). The rise of social intelligence. HRReporter, 1-2.

Diakses 15 Mei 2012 dari

http://thebeacongroup.ca/cms/uploads/The%20rise%20of%20social%20intellige

nceHRReporter.pdf.

Wulandari, P. (2010). Hubungan antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada

siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Humaniora Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Yamagishi, T., & Kikuchi, M. (1999). Trush, gullibility, and social intelligence. Asian

Journal of Social Psychology, 2, 145-161.