1645-3782-1-PB
-
Upload
dentist19031994 -
Category
Documents
-
view
23 -
download
2
Transcript of 1645-3782-1-PB
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
366
KECERDASAN SOSIAL GURU
Tiara Kusuma Pariosi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang membantu seseorang untuk
berhubungan baik dengan orang lain. Setiap individu yang melakukan
interaksi dengan orang lain membutuhkan kecerdasan sosial, salah satunya
adalah guru, guna membantu tugas utama guru dalam mengajar untuk
membentuk iklim belajar yang baik bagi para siswa. Penelitian ini
menggunakan metode non-eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat kecerdasan sosial guru. Sampel penelitian berjumlah 50 guru SDN
Kel. Gladak Anyar Kab. Pamekasan. Dengan skala kecerdasan sosial guru
yang terdiri dari 19 item, ditemukan hasil analisa Z-Score tingkat
kecerdasan sosial tinggi sebesar 50% atau 25 guru dan tingkat kecerdasan
sosial rendah sebesar 50% atau 25 guru. Berdasarkan klasifikasi jenis
kelamin, guru perempuan lebih banyak berada pada tingkat kecerdasan
sosial tinggi, yaitu sebesar 55% atau 16 guru dibandingkan pada tingkat
kecerdasan sosial rendah, yaitu sebesar 45% atau 13 guru. Sedangkan guru
laki-laki lebih banyak menduduki tingkat kecerdasan sosial rendah, yaitu
57% atau 12 guru dibandingkan berada di tingkat kecerdasan sosial tinggi,
yaitu 43% atau 9 guru.
Kata kunci: Kecerdasan social, guru
Social intelligence is the ability to help a person to get along with
others. Everyone who interacts with other requires social intelligence, one
is a teacher, social intelligence help main task of teacher in teaching to
create a good learning climate for students. This study used a non-
experiment method that aims to determine the level of social intelligence
teacher. There are 50 teacher in state primary school of Gladak Anyar,
Pamekasan as sampel in this study. Using social intelligence scale
consisting of 19 items. From Z-Score analysis result found 50% or 25
teacher with high levels of social intelligence and 50% or 25 teachers with
low levels of social intelligence. Based on gender classification, more
female teachers are at a high levels of social intelligence, which is by 55%
or 16 teachers compared to the low levels of social intelligence, which is
45% or 13 teachers. While male teachers were overrepresented in low
levels of social intelligence, which is 57% or 12 teachers than are high
levels of social intelligence, which is 43% or 9 teachers.
Keyword: Social intelligence, teacher
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
367
Manusia adalah makhluk sosial sehingga sebagian besar dari kehidupannya melibatkan
interaksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan adalah
manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya (Dayakisni & Yuniardi, 2004). Dengan demikian seseorang
akan selalu berinteraksi satu sama lain, dengan berbagai macam individu tentunya
dengan pola kepribadian, keunikan dan kekhasan masing-masing. Untuk itu seseorang
tidak hanya dituntut bisa berinteraksi dengan orang lain, tetapi cerdas berinteraksi
dengan orang lain, kecerdasan itu oleh Goleman disebut sebagai kecerdasan sosial
(Goleman 2006; Goleman 2007; Williamson, 2012). Bagi Goleman (2007) kecerdasan
sosial merupakan rujukan tepat bagi kecerdasan yang tak hanya tentang relasi kita
dengan orang lain namun dalam relasi itu. Bahkan kemampuan sosial menunjukkan
kemampuan terbesar yang berhubungan dengan banyak aspek yang sangat dekat pada
konstruk kecerdasan sosial (Riggio & Reichard, 2008). Kecerdasan sosial bisa
dikarakteristikkan sebagai sebuah kombinasi dari dasar mengerti orang, salah satu
strategi kesadaran sosial dan paket kemampuan untuk berinteraksi secara sukses dengan
orang lain (Albrecht, (tt); Albrecht, 2006). Lebih dari itu, Suyono (2007) berpendapat
bahwa kecerdasan sosial merupakan pencapaian kualitas manusia mengenai kesadaran
diri dan penguasaan pengetahuan yang bukan hanya untuk keberhasilan dalam
melakukan hubungan interpersonal, tetapi kecerdasan sosial digunakan untuk membuat
kehidupan manusia menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Seseorang yang memiliki kecerdasan sosial mengerti bagaimana menjalin komunikasi
yang baik dengan orang lain, bahkan dengan berbagai macam latar belakang seseorang.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Dong, Koper dan Collaco (2008) yang
menunjukkan bahwa kecerdasan sosial secara signifikan berhubungan dengan
sensitivitas komunikasi antar budaya. Studi lain menunjukkan bahwa pemimpin yang
cerdas secara sosial unggul dalam hal kinerja, keterlibatan, produktivitas dan
keuntungan perusahaan. Kecerdasan sosial pemimpin fokus pada orang, memotivasi
mereka untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi dan menolong mereka
mengembangkan potensi terbesarnya (Murray & Fortinberry, 2010). Hasil penelitian
Hooda, Sharma dan Yadava (2009) yang berjudul Social Intelligence as a Predictor of
Positive Psychological Health menunjukkan bahwa sebagian besar dimensi-dimensi
kecerdasan sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi-dimensi
kesehatan psikologis. Hasil penelitian tersebut semakin menguatkan kecerdasan sosial
pada posisi yang penting dalam diri seseorang dan oleh karena itu dalam tulisannya,
Buzan (2007) menyarankan agar kecerdasan sosial dimiliki oleh semua orang yang
memiliki kegiatan bertemu dengan orang lain seperti resepsionis, guru, dokter, pekerja
sosial, karyawan hotel, bahkan oleh siapa saja yang dalam kegiatan sehari-hari harus
berhubungan dengan orang lain.
Salah satu yang disarankan Buzan (2007) untuk memiliki kecerdasan sosial adalah guru.
Guru memiliki tanggung jawab untuk bertatap muka dengan siswa, relasi kerja dan
orang tua siswa yang membutuhkan kecerdasan sosial dalam setiap interaksinya,
utamanya untuk mencapai tugas seorang guru sebagai pendidik sebagaimana ditetapkan
oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita yaitu mengajar (Syah, 2008).
Mendukung hal tersebut, Goleman (2006) menyatakan bahwa kecerdasan sosial seorang
pemimpin, dalam hal ini adalah guru lebih banyak menolong misi utama mengajar.
Mengajar tidak hanya berarti ceramah di muka kelas, tetapi juga memberikan peluang
seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajarnya (Syah, 2008). Hasil
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
368
analisa Yamagishi dan Kikuchi (1999) menunjukkan bahwa seseorang yang
mengembangkan kecerdasan sosialnya mampu mengembangkan kepercayaannya
kepada orang lain, bukan menganggap tiap orang adalah orang yang buruk. Hal ini akan
mendorong seseorang guru untuk memberikan peluang-peluang yang baik bagi para
siswa dalam melakukan setiap aktivitas-aktivitas produktif belajarnya. Albrecht’s
(dalam Jeloudar, Yunus, Roslan, & Nor, 2011) menyatakan bahwa guru yang tingkat
kecerdasan sosialnya tinggi mampu mengatur perilaku kelas dengan baik.
Guru yang cerdas secara sosial, mengatur kelas melalui pembentukan hubungan yang
mendukung dan mendorong siswa, mengembangkan pelajaran yang didasarkan
kemampuan dan kekuatan siswa, menciptakan dan menerapkan pedoman perilaku
dalam cara-cara yang meningkatkan motivasi intrinsik, seperti diskusi, mengisyaratkan,
pengakuan dan keterlibatan (Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012).
Supaya kegiatan belajar mengajar diterima oleh siswa, guru perlu berusaha
membangkitkan gairah dan minat belajar mereka. Goleman (2007) percaya bahwa
secara umum kecerdasan sosial seorang guru dapat membentuk iklim belajar yang baik
dan meningkatkan kemampuan belajar siswa. Dengan kecerdasan sosial, guru akan
lebih mudah mengelola sebuah proses belajar mengajar, sebagaimana seorang guru
dituntut untuk menjadi figur sentral (tokoh inti) yang kuat dan berwibawa, namun tetap
bersahabat (Syah, 2008).
Sudah seharusnya seorang guru mampu memenuhi beberapa kriteria yang telah
disebutkan sebelumnya, salah satunya yaitu cerdas secara sosial. Namun beberapa
realita di dunia pendidikan kadang tidak sesuai dengan harapan. Tidak hanya segelintir
sekolah yang mengalaminya, beberapa sekolah di Indonesia memiliki guru yang kurang
sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, salah satunya cerdas secara
sosial. Dalam kurun waktu satu tahun, di tahun 2012 lebih dari 25 kasus yang terungkap
dan tertera di media on line mengenai guru yang kurang pantas seperti ringan tangan
terhadap siswa atau melakukan perbuatan asusila
(http://www.google.com/search?q=berita+guru+siswa&hl). Beberapa surat kabar online
tersebut menceritakan alasan guru melakukan tindakan ringan tangan karena siswa tidak
mengerjakan tugas, lupa membawa tugas dari guru, siswa berpenampilan yang tidak
sesuai dengan peraturan, siswa bersikap tidak sesuai dengan kehendak guru.
Di Kabupaten Pamekasan seorang guru memukul siswanya lantaran tersinggung karena
siswa masih menulis tugas rumah mata pelajaran lain di papan tepat sebelum guru
tersebut datang (http://jatim.tribunnews.com/2012/04/12/guru-pemukul-siswa-di-
pamekasan-akhirnya-dipecat).
Demikian halnya di Malang, seorang guru Sekolah Dasar Negeri Kota memberikan
hukuman yang dianggap berlebihan. Bahkan salah seorang wali murid membeberkan
bahwa sudah beberapa bulan bersabar menunggu perkembangan baik karena
menganggap kejadian tersebut merupakan kesalahan dari anaknya sendiri, namun sikap
guru tersebut tidak berubah dan semakin menjadi-jadi meski pihak wali murid telah
melaporkan peristiwa ini kepada pihak kepala sekolah. Tuturnya, anak-anak selalu
menjadi sasaran kemarahan maupun ringan tangan sang guru, di antaranya menampar,
memukul dengan penggaris, mencoret-coret wajah siswa, dan yang terakhir merobek
buku ulangan siswa.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
369
Guru tersebut mengakui, dirinya memang menyobek buku ulangan mata pelajaran
Bahasa Indonesia lima orang siswa kelas tiga. Dia menerangkan bahwa menyobek buku
siswa untuk memberikan shock therapy pada siswa agar menuruti instruksi yang
diberikan guru dan tidak ramai sendiri di kelas. Guru tersebut juga menjelaskan bahwa
dia terbiasa mengajar di sekolah yang siswanya pintar dan taat pada guru. Di Sekolah
Dasar Negeri yang dia ajar saat ini, jumlah siswa yang diajar oleh guru tersebut hanya
25 siswa tetapi terasa seperti mengajar 40 siswa dan merasa sangat kesulitan untuk
memberikan pengertian guna mendisiplinkan siswa-siswanya
(http://www.antarajatim.com/lihat/berita/99910/oknum-guru-sdn-tulusrejo-iv-aniaya-
siswa).
Melihat kasus-kasus di atas, beberapa guru tersebut kurang mampu mengolah informasi
situasi lingkungan terlebih dahulu, bersikap sesuai dengan kondisi, waktu dan tempat.
Padahal sebagai guru yang sekaligus juga sebagai direktur belajar yang artinya, setiap
guru diharapkan untuk pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar
mencapai keberhasilan belajar. Hal ini selaras dengan konsep bahwa guru berfungsi
sebagai perancang pengajaran, pengelola pengajaran dan penilai hasil pembelajaran
siswa (Syah, 2008). Guru yang cerdas secara sosial akan bersikap empati, membaca
pesan-pesan verbal dan non-verbal siswa dan juga membaca situasi lingkungan dengan
baik, mengambil tindakan sesuai dengan situasi dan lawan bicara, menggunakan
kemampuan komunikasi yang baik melalui komunikasi verbal maupun non verbal
dalam menerima dan menyampaikan pesan.
Pada kasus guru Sekolah Dasar, para siswa menjadi enggan kembali ke sekolah karena
takut peristiwa yang terjadi padanya terulang kembali. Hal ini mengakibatkan hubungan
guru dan siswa menjadi kurang baik. Padahal pada usia sekolah dasar, yaitu 6 sampai
dengan 13 tahun, siswa masih dalam masa perkembangan sosial untuk bersosialisasi dan
beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Guru Sekolah Dasar yang mengembangkan
kecerdasan sosial dalam kehidupannya dapat menjadi contoh dan panutan anak didiknya
dalam kecerdasan sosial. Dengan panutan atau guru yang telah mengembangkan
kecerdasan sosial dengan baik maka siswa akan lebih mudah mempelajari dengan cara
meneladani atau mengimitasi guru dan mengembangkan kecerdasan sosialnya pada
aktivitas sehari-hari sejak dini.
Berdasarkan uraian di atas, kecerdasan sosial merupakan aspek penting bagi guru dalam
menjalankan perannya sebagai pendidik. Guru yang cerdas secara sosial memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif yang mampu
meningkatkan prestasinya. Didukung dengan komunikasi yang baik, guru akan lebih
mudah menyampaikan berbagai informasi, khususnya pelajaran yang akan diajarkan
kepada siswa. Guru juga akan lebih mudah dalam memahami latar belakang siswa,
kebutuhan siswa dan juga hambatan-hambatan siswa yang dialami di kelas supaya guru
mampu merencanakan tindakan kelas yang tepat untuk siswa-siswanya sehingga
membentuk suasana belajar mengajar yang produktif dalam rangka meningkatkan
prestasi siswa.
Melihat akan pentingnya kecerdasan sosial bagi seorang guru, maka dari itu dalam
penelitian kali ini muncul pertanyaan bagaimana tingkat kecerdasan sosial guru? Yang
mana penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan sosial guru.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada setiap pihak yang membaca
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
370
dan berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa
memberikan sumbangan wacana dan informasi bagi psikologi secara umum, khususnya
psikologi pendidikan dan psikologi sosial, serta mampu memberikan sumbangan saran
dan tindakan yang berarti berkenaan dengan kecerdasan sosial pada guru sebagai upaya
peningkatan kompetensi sosial khususnya kecerdasan sosial. Penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan suatu rujukan atau pertimbangan bila akan mengadakan
penelitian lebih lanjut, khususnya masalah kecerdasan sosial guru agar mendapatkan
hasil yang lebih baik pada penelitiannya.
Kecerdasan Sosial
Thorndike pertama kali mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai kemampuan
seseorang untuk mengerti dan mengatur orang lain dan digunakan dalam interaksi sosial
(dalam Khilstrom & Cantor, 2000; Goleman, 2007). Vernon (dalam Suyono, 2007)
menyatakan kecerdasan sosial sebagai kemampuan pribadi yang relatif menetap dalam
diri seseorang untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan Moss dan Hunt
(dalam Suyono, 2007) berpendapat bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan
dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara terus menerus. Dan definisi
sederhana dari kecerdasan sosial menurut Albrecht adalah kemampuan untuk dapat
berhubungan baik dengan orang lain dan membuat mereka cooperate dengan kita
(Albrecht, (tt); Albrecht, 2006).
Kecerdasan sosial memiliki unsur-unsur yang menurut Goleman (2007) terbagi dalam
dua kategori besar, yaitu: kesadaran sosial dan fasilitas sosial.
Kesadaran sosial, merujuk pada spectrum yang merentang secara instan merasa keadaan
batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, untuk “mendapatkan”
situasi sosial yang rumit. Hal ini meliputi:
1. Empati dasar: perasaan dengan orang lain; merasakan isyarat-isyarat emosi non
verbal.
2. Penyelarasan mendengarkan dengan penuh reseptivitas; menyelaraskan diri pada
seseorang.
3. Ketepatan empatik: memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain.
4. Pengertian sosial: mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja.
Berbeda dengan Goleman, Silvera, Martinussen dan Dahl menyimpulkan unsur
kecerdasan sosial dari penelitiannya (Silvera et al., 2001; Gini, 2005; Berarducci, 2009;
Dogan & Cetin 2009) yaitu:
1. Pemprosesan informasi sosial: kemampuan untuk memahami pesan verbal dan non-
verbal dalam hubungan antar manusia, berempati dan membaca pesan tersembunyi
sebaik membaca pesan yang tersirat.
2. Kemampuan sosial: kemampuan dasar komunikasi seperti mendengar aktif, berani
bertindak, membangun, mempertahankan dan memutuskan hubungan.
3. Kesadaran sosial: kemampuan aktif berperilaku sesuai dengan situasi, tempat dan
waktu.
Kecerdasan sosial memiliki fungsi sebagai penentu kesuksesan dan perbaikan pada
pelaksanaan kewajiban-kewajiban seseorang (Goleman, 2006), menjadikan seseorang
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
371
bermanfaat bagi lingkungan sekitar (Suyono, 2007), sebagai prediktor popularitas
(Meijs, et al., 2008), sebagai prediktor kesehatan psikologis (Hooda et al., 2009),
sebagai kunci komunikasi dan inovasi di dunia kerja, sebagai dasar membantu
memfasilitasi efektivitas dan keberhasilan kepemimpinan (Beheshtifar & Roasaei,
2012).
Kecerdasan sosial memiliki manfaat untuk mengembangkan kepercayaan seseorang
terhadap orang lain (Yamagishi & Kikuchi, 1999), membentuk iklim sosial yang baik
(Goleman, 2007), memunculkan kebermaknaan hidup (Dong et al., 2008), membantu
mengembangkan potensi terbesar seseorang (Murray & Fortinberry, 2010), membantu
pemimpin meningkatkan kinerja orang-orang yang dipimpinnya, menolong seseorang
untuk mengatur emosinya, mengurangi konflik, mereduksi stress, memudahkan
mengatur orang lain, memudahkan mempengaruhi orang lain, memudahkan memotivasi
orang lain, (Beheshtifar & Roasaei, 2012).
Khilstrom dan Cantor (2000) mengusulkan ciri-ciri kecerdasan sosial sebagai berikut:
menerima orang lain apa adanya, tepat waktu dalam membuat perjanjian, mengakui
kesalahan yang diperbuatnya, menunjukkan perhatian pada dunia yang lebih luas,
mempunyai hati nurani sosial, berpikir, berbicara dan bertindak secara sistematik,
menunjukkan rasa ingin tahu, tidak membuat penilaian yang tergesa-gesa, membuat
penilaian secara objektif, meneliti informasi terlebih dahulu sebagai bahan
pertimbangan memecahkan masalah, peka terhadap kebutuhan dan hasrat orang lain dan
menunjukkan perhatian segera terhadap lingkungan. Campbell, L, Campbell, B. dan
Dickinson (dalam Wulandari, 2010) menyatakan ciri-ciri orang yang mempunyai
kecerdasan sosial yang bagus antara lain: terikat dengan orang tua dan berinteraksi
dengan orang lain, membentuk dan menjaga hubungan sosial, mengetahui dan
menggunakan cara-cara yang beragam dalam hubungan dengan orang lain,
mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain, merasakan perasaan, pikiran,
motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain, berpartisipasi dalam kegiatan
kolaboratif dan menerima bermacam peran yang perlu dilaksanakan oleh bawahan
sampai pimpinan dalam suatu usaha bersama, memahami dan berkomunikasi secara
efektif baik verbal maupun nonverbal, menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan grup
yang berbeda dan juga feedback dari orang lain, menerima perspektif yang bermacam-
macam dalam masalah sosial dan politik, mempelajari keterampilan yang berhubungan
dengan mediator, mengorganisir orang lain dari berbagai latar belakang dan usia,
tertarik pada karir yang berorientasi pada hubungan interpersonal, dan membentuk
model sosial atau model baru.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan non-eksperimental dengan jenis
penelitian deskriptif kuantitatif. Hal ini didasari perlakuan atau treatment yang akan
diberikan dari peneliti tidak sepenuhnya dilakukan sebagai sebuah eksperimental murni,
sebagaimana yang dilakukan pada studi kasus desain eksperimental.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
372
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah para guru Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Gladak Anyar
Kabupaten Pamekasan, Madura. Dalam penelitian ini mengambil sampel sejumlah 50
guru dari jumlah populasi 64 guru yang bekerja di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan
Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan, Madura. Adapun teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik quota sampling dengan menentukan jumlah subjek penelitian
yang akan diambil terlebih dahulu. Dipilih teknik quota sampling karena tidak semua
guru hadir disekolah, beberapa guru hadir hanya pada jam mengajar saja sehingga perlu
ditentukan jumlah sampel agar memudahkan penyebaran skala dan penentuan sampel.
Variabel dan Instrumen Penelitian
Penelitian ini mengkaji satu variable yaitu kecerdasan social dengan aspek yang
dikemukakan oleh Goleman, Silvera, Martinussen dan Dahl (Silvera et al., 2001; Gini,
2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin 2009) yaitu pemrosesan informasi, kemampuan
social, dan kesadaran social. Kecerdasan social adalah kemampuan berhubungan baik
dengan orang lain yang terdiri dari pemrosesan informasi sosial, kemampuan sosial,
kesadaran sosial dalam konteks hubungan guru dengan murid.
Untuk mengukur kecerdasan social digunakan skala yang disusun berdasarkan teori dan
pernyataan-pernyataan dalam the Tromso Social Intelligence Scale (TSIS) yang disusun
oleh Silvera et al. tahun 2001 dalam The Scandinavian Journal of Psychology yang
berjudul The Tromso Social Intelligence Scale, a self-report measure of social
intelligence. Dalam skala kecerdasan sosial guru ini terdapat 21 pernyataan yang
merupakan perwakilan dari tiga aspek kecerdasan sosial (Silvera et al., 2001; Gini,
2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin 2009), yaitu: pemprosesan informasi sosial,
kemampuan sosial dan kesadaran sosial. Masing-masing aspek tersebut akan memiliki
skor tinggi dan skor rendah sesuai respon masing-masing subjek penelitian. Misalnya
sebagai berikut:
Tabel 1. Indeks Validitas Skala Kecerdasan Sosial
Aspek kecerdasan sosial Validitas
Pemprosesan Informasi Sosial 0.344 – 0.809
Kemampuan Sosial 0.377 – 0.756
Kesadaran Sosial 0.464 – 0.736
Berdasarkan tabel 1 diatas, dapat disimpulkan bahwa dari 21 pernyataan yang
diujicobakan, hanya ada 19 pernyataan yang valid dan reliabel. Indeks validitas item
skala kecerdasan social dari aspek pemrosesan informasi social berkisar dari 0,344-
0,809; aspek kemampuan sosial indeks validitas dari 0,377-0,756; dan aspek kesadaran
social indeks validitas dari 0,464-0,736. Indeks validitas tertinggi dan terendah terdapat
pada item aspek pemrosesan informasi sosial.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
373
Tabel 2. Indeks Reliabilitas Skala Kecerdasan Sosial
Aspek kecerdasan sosial Alpha
Pemprosesan Informasi Sosial 0.802
Kemampuan Sosial 0.825
Kesadaran Sosial 0.838
Dari tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa item skala kecerdasan social dari masing-masing
aspek menunjukkan indeks reliabilitas yang memenuhi. Dimana untuk aspek
pemprosesan informasi indeks validitas sebesar 0,802, aspek kemampuan social 0,825,
dan aspek kesadaran social sebesar 0,838. Untuk uji reliabilitas ditemukan alfa skala
kecerdasan sosial dengan keseluruhan indikator adalah 0.862, yaitu reliabel, sehingga
skala memiliki keandalan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan criteria yang
dikemukakan oleh Ghozali (2009), dimana jika hasil uji reliabilitas menunjukkan diatas
0,60 dapat dikatakan reliabel.
Prosedur dan Analisa Data Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan tahap persiapan, yaitu peneliti membuat dan
mempersiapkan instrument yang digunakan sebagai alat ukur. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini skala kecerdasan social yang disusun oleh Silvera dalam
jurnal The Scandinavian Journal of Psychology yang berjudul The Tromso Social
Intelligence Scale, a self-report measure of social intelligence. Dalam skala kecerdasan
sosial guru ini terdapat 21 pernyataan yang merupakan perwakilan dari tiga aspek
kecerdasan sosial (Silvera et al., 2001; Gini, 2005; Berarducci, 2009; Dogan & Cetin
2009), yaitu: pemprosesan informasi sosial, kemampuan sosial dan kesadaran sosial.
Langkah yang dilakukan peneliti selanjutnya yaitu melakukan survey dan observasi ke
seluruh Sekolah Dasar Negeri Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan, Mempersiapkan
surat izin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang untuk
SD Negeri Gladak Anyar Kabupaten Pamekasan. Selanjutnya melakukan try out
terpakai (uji coba terpakai) dengan menyebarkan skala kecerdasan social yang berisi 21
item. Dengan menggunakan tryout terpakai, data yang telah lolos dari uji validitas dan
reliablitas langsung digunakan sebagai data hasil penelitian. Setelah melakukan uji
coba, data di uji validitas dan reliabilitas didapatkan hasil 19 item yang valid. Tahap
pelaksanaan dilakukan tanggal 22-23 Januari 2013, dimana penyebaran skala
dilaksanakan bergantian di seluruh SD Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri
Gladak Anyar V Kabupaten Pamekasan. Waktu penelitian mengambil jam masuk
sekolah, yaitu jam 09.00-12.00 wib. Penyebaran skala dengan cara menitipkan skala
kepada kepala sekolah dan menjelaskan cara pengisian, kemudian berangkat ke sekolah
selanjutnya untuk menitipkan skala kepada kepala sekolah yang lain untuk dibagikan
kepada guru. Setelah menitipkan ke kepala sekolah lainnya, peneliti kemudian kembali
ke sekolah sebelumnya untuk mengambil data penelitian yang telah diisi. Data hasil
penyebaran skala kemudian di skoring dan dianalisis dengan menggunakan SPSS.
Metode analisa data teknik analisa Z-Score untuk menentukan tingkat kecerdasan guru
dengan ketentuan nilai Z-Score yang menunjukkan angka minus (-), mulai dari angka -
0,00001 maka dinyatakan memiliki tingkat kecerdasan sosial rendah dan yang
menunjukkan angka positif (+), mulai dari angka 0,00001 maka dinyatakan memiliki
kecerdasan sosial tinggi.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
374
HASIL PENELITIAN
Berikut ini peneliti menggambarkan subjek penelitiannya yang berjumlah 50 guru di SD
Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri Gladak Anyar V Kabupaten Pamekasan dan
diklasifikasikan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pendidikan selengkapnya dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian
Kategori Frekuensi Prosentase
Umur
≤ 40 Tahun 25 50%
> 40 Tahun 25 50%
Jenis Kelamin
Perempuan 29 58%
Laki-laki 21 42%
Pendidikan
SMA 18 36%
D2 7 14%
S1 25 50%
Total 50 100%
Dari table 3 diatas dapat disimpulkan subjek penelitian sebanyak 50 guru yang tersebar
dari SD Negeri Gladak Anyar I sampai SD Negeri Gladak Anyar V Kabupaten
Pamekasan, baik yang merupakan guru tidak tetap, guru tetap, maupun pegawai negeri
sipil. Separuh (50%) dari subjek penelitian merupakan guru yang berumur lebih dari 40
tahun dan separuh sisanya (50%) berumur 40 tahun ke bawah. Dengan selisih yang
tipis, menurut kategori jenis kelamin, guru berjenis kelamin perempuan lebih banyak
(58%) dibandingkan laki-laki (42%). Sedangkan berdasarkan pendidikan guru, lulusan
D2 menempati angka terkecil (14%), jauh dibandingkan dengan guru lulusan S1 yang
menempati angka separuh (50%) dari jumlah subjek keseluruhan.
Tabel 4. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru
Kecerdasan Sosial Frekuensi Prosentase
Tinggi 25 50%
Rendah 25 50%
Total 50 100%
Sesuai dengan hasil analisa Z-Score yang pada tabel 4, perolehan prosentase pada
masing-masing tingkat kecerdasan sosial tinggi dan tingkat kecerdasan sosial rendah
50%:50%. Data tersebut menerangkan bahwa jumlah guru yang memiliki tingkat
kecerdasan sosial tinggi dan guru yang memiliki kecerdasan sosial rendah adalah sama.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
375
Tabel 5. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan Usia
Tingkat
Kecerdasan
Sosial
≤ 40 Tahun > 40 Tahun
Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase
Rendah 13 52% 12 48%
Tinggi 12 48% 13 52%
Total 25 100% 25 100%
Berdasarkan tabel 5, tingkat kecerdasan sosial guru jika ditinjau dari usia, saat berumur
≤ 40 tahun tingkat kecerdasan sosial guru cenderung lebih banyak yang menempati
posisi rendah dengan perbandingan 52%:48% dibandingkan dengan guru dengan tingkat
kecerdasan sosial rendah pada usia kurang dari 40 tahun. Ketika menginjak usia di atas
40 tahun, guru lebih banyak menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dibandingkan
berada di tingkat kecerdasan sosial rendah, dengan perbandingan 52%:48%.
Tabel 6. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Tingkat
Kecerdasan
Sosial
SMA D2 S1
Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase
Rendah 13 72% 3 43% 9 36%
Tinggi 5 28% 4 52% 16 64%
Total 18 100% 7 100% 25 100%
Pada tabel 6 dapat disimpulkan tingkat kecerdasan sosial guru yang memiliki tingkat
pendidikan SMA paling banyak menempati posisi tingkat kecerdasan sosial rendah
(72%). Pada guru dengan tingkat pendidikan S1 lebih banyak menempati tingkat
kecerdasan sosial tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya (64%). Pada guru
lulusan D2, 43% menempati posisi tingkat kecerdasan sosial rendah dan lebih banyak
57% menempati posisi tingkat kecerdasan sosial tinggi.
Tabel 7. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan Jenis
Kelamin
Tingkat
Kecerdasan Sosial
Laki-laki Perempuan
Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase
Tinggi 9 43% 16 55%
Rendah 12 57% 13 45%
Total 21 100% 29 100%
Merujuk pada tabel 7, tingkat kecerdasan sosial guru berjenis kelamin laki-laki yang
menempati posisi rendah (57%) lebih banyak dari tingkat kecerdasan sosial guru
berjenis kelamin laki-laki yang menempati posisi tinggi (43%). Berbanding terbalik
dengan laki-laki, perempuan justru lebih banyak berada pada tingkat kecerdasan sosial
tinggi (55%) dibandingkan berada pada tingkat kecerdasan sosial rendah (45%). Fakta
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
376
ini menjelaskan bahwa guru perempuan lebih banyak yang memiliki tingkat kecerdasan
sosial tinggi dibandingkan guru laki-laki.
Tabel 8. Hasil Analisa Z-Score Tingkat Kecerdasan Sosial Guru Berdasarkan
Ketiga Indikator Kecerdasan Sosial
Tingkat
Kecerdasan
Sosial
Pemrosesan Informasi
Sosial Kemampuan Sosial Kesadaran Sosial
Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase
Tinggi 31 62% 33 66% 33 66%
Rendah 19 18% 17 34% 17 34%
Total 50 100% 50 100% 50 100%
Tergambar pada tabel 8 ketiga indikator kecerdasan sosial guru. Dari ketiga indikator
kecerdasan sosial guru, yaitu pemrosesan informasi sosial, kemampuan sosial, dan
kesadaran sosial ketiga-tiganya menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Namun
indikator pemrosesan informasi sosial tertinggal sedikit, yaitu 62% dibandingkan
dengan indikator kemampuan sosial dengan perolehan angka 66% dan indikator
kesadaran sosial dengan perolehan 66%.
Tabel 9. Hasil Analisa Z-Score Indikator Kecerdasan Sosial Paling Dominan
Berdasarkan Jenis Kelamin
Tingkat
Kecerdasan
Sosial
Pemrosesan Informasi
Sosial Kemampuan Sosial Kesadaran Sosial
Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase
Perempuan 10 20% 6 12% 13 26%
Laki-laki 6 12% 9 18% 6 12%
Melihat gambaran tabel 9, guru perempuan lebih banyak dominan pada indikator
kesadaran sosial (26%), kemudian disusul oleh indikator pemrosesan informasi sosial
yang menempati angka 20% dan indikator yang paling kecil jumlahnya adalah
kemampuan sosial. Berbeda dengan guru perempuan yang minim pada kemampuan
sosialnya, guru laki-laki ternyata lebih banyak yang didominasi indikator kemampuan
sosial (18%) dibandingkan dengan indikator pemrosesan informasi sosial (12%) dan
indikator kesadaran sosial (12%) yang memiliki perolehan angka yang sama.
DISKUSI
Melihat hasil penelitian tingkat kecerdasan sosial guru yang menunjukkan hasil yang
seimbang antara tingkat kecerdasan sosial tinggi dan tingkat kecerdasan sosial rendah
menerangkan bahwa guru yang mampu menjalin hubungan yang baik dengan siswa
sama besarnya dengan guru yang kurang mampu menjalin hubungan baik dengan siswa.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
377
Dari hasil penelitian, hanya 50% guru dari keseluruhan subjek yang memiliki
kecerdasan sosial tinggi dan 50% sisanya memiliki kecerdasan sosial rendah.
Rendahnya kecerdasan sosial 50% subjek penelitian ini bisa dipengaruhi oleh berbagai
macam hal. Thorndike (dalam Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012) menyebutkan bahwa
kecerdasan sosial muncul ketika seseorang lahir dan semakin berkembang sesuai
dengan bertambahnya usia. Dari data demografis yang tercantum dalam instrumen
penelitian menggambarkan usia subjek yang beragam. Dalam klasifikasi usia tersebut,
terdapat separuh dari subjek penelitian berusia lebih dari 40 tahun dan separuh lainnya
berusia 40 tahun ke bawah. Pada usia 40 tahun ke bawah jumlah subjek yang
menempati kecerdasan sosial rendah lebih banyak (52%) dibandingkan dengan guru
yang menempati kecerdasan sosial tinggi (48%). Namun data ini menjadi berbanding
terbalik ketika masuk pada usia lebih dari 40 tahun. Guru dengan usia di atas 40 tahun
52% menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dan sisanya, 48% menempati tingkat
kecerdasan sosial rendah. Hal ini mencerminkan bahwa semakin bertambahnya usia
guru, maka lebih banyak yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Hal tersebut
dikarenakan berkembangnya usia sejalan dengan bertambahnya pengalaman-
pengalaman, termasuk di dalamnya merupakan pengalaman-pengalaman sosial yang
bisa mengasah kecerdasan sosial seseorang. Selain itu, Thorndike dan Stein (dalam
Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012) juga menyatakan bahwa kecerdasan sosial meningkat
sejalan dengan meningkatnya tingkat akademik dan pengalaman seseorang. Guru
dengan tingkat pendidikan sarjana dan master memiliki perbedaan kecerdasan sosial
(Jeloudar & Lotfi-Goodarzi, 2012). Dalam penelitian ini 50% dari keseluruhan subjek
merupakan lulusan sarjana dan sisanya merupakan lulusan SMA dan D2. 72% subjek
lulusan SMA menempati tingkat kecerdasan sosial rendah. Pada guru lulusan D2,
menyumbangkan angka 43% untuk tingkat kecerdasan sosial rendah dan guru lulusan
S1 hanya menyumbangkan 36% dari total jumlah subjek lulusan S1. Hal tersebut
menggambarkan bahwa perbedaan pengalaman-pengalaman sosial yang didapatkan dari
relasi jenjang pendidikan tertentu menentukan perkembangan kecerdasan sosial
seseorang. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin rendah jumlah subjek yang
menempati tingkat kecerdasan sosial rendah dan semakin meningkat jumlah subjek
yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi. Dari data yang terangkum,
beragamnya usia dan tingkat pendidikan yang menyebabkan tingkat kecerdasan sosial
guru 50% tinggi dan 50% rendah.
Guru yang menempati tingkat kecerdasan sosial tinggi dinyatakan mampu menjalin
hubungan baik dengan siswa karena sebagian besar guru yang memiliki tingkat
kecerdasan sosial tinggi memahami siswa dari bahasa verbal, ekspresi dan bahasa tubuh
siswa secara baik. Guru dengan tingkat kecerdasan tinggi juga memahami perilaku,
perasaan dan juga harapan-harapan siswa.
Guru yang menempati tingkat kecerdasan sosial rendah dinyatakan kurang mampu
menjalin hubungan baik dengan siswa karena sebagian besar guru kurang dalam
memahami pesan siswa dan kurang berempati. Guru yang menempati tingkat
kecerdasan sosial rendah kurang mengembangkan kemampuannya untuk memahami
siswa, memahami perasaan siswa, perilaku siswa dan harapan-harapan siswa. Sebagai
seseorang yang memimpin aktivitas-aktivitas belajar siswanya, guru dengan tingkat
kecerdasan sosial rendah kurang dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan bergaul dengan
siswa yang ditemui sehari-hari.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
378
Dalam penelitian kecerdasan sosial guru kali ini mendukung hasil penelitian Sembiyan
dan Visvanathan (2012), hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menempati
tingkat kecerdasan sosial tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang lebih banyak
menempati tingkat kecerdasan sosial rendah. Hal ini menggambarkan bahwa adanya
perbedaan kecerdasan sosial laki-laki dan perempuan juga berlaku pada subjek dengan
bidang pekerjaan guru. Guru perempuan yang lebih tinggi kecerdasan sosialnya
dibandingkan laki-laki menunjukkan efisiensi dalam mengajar dibandingkan dengan
guru laki-laki dalam hal dimensi akademik, profesional, emosional dan moral efektifitas
guru serta dalam hal efektivitas guru global (Agrawal, 2003).
Ada perbedaan perilaku antara Laki-laki dan perempuan. Perempuan umumnya
memusatkan perhatian dan menimbang-nimbang perasaan. Laki-laki terlihat buruk
dalam hal empati (Goleman, 2007). Perempuan lebih mengutamakan jalinan emosional
yang lebih besar dalam hubungan karibnya. Hubungan yang baik dapat menjadi sumber
utama kepuasan dan kesejahteraan sepanjang hidup bagi perempuan. Bagi laki-laki,
hubungan yang baik dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pentingnya pertumbuhan
pribadi atau kemandirian seseorang. Perempuan memiliki nurturan untuk pengasuhan
yang mana menegaskan bahwa perempuan lebih merasa bertanggung jawab untuk nasib
orang-orang yang mereka pedulikan. Perempuan juga lebih terbiasa dengan naik
turunnya hubungan dan emosional. Di bawah stres, otak perempuan mengeluarkan
oksitosin lebih dari seorang laki-laki yang memiliki efek menenangkan. Ketika
perempuan berteman, tubuh mereka melepaskan oksitosin tambahan yang
menenangkan mereka bahkan lebih. Ketika perempuan menghadapi ancaman,
perempuan cenderung mencari persahabatan, tidak seperti laki-laki yang cenderung
menghadapinya sendirian (Goleman, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, guru perempuan cenderung lebih banyak mengembangkan
indikator kemampuan sosialnya dibandingkan indikator pemrosesan informasi sosial
dan kesadaran sosial yang sama-sama juga dikembangkan oleh guru perempuan.
Kecenderungan guru perempuan dalam kecerdasan sosialnya ini menggambarkan
bahwa guru perempuan mampu melakukan adaptasi, berkomunikasi, bergaul dengan
siswa, memahami siswa baik itu memahami pesan yang disampaikan siswa, perasaan
siswa, maupun harapan-harapan siswa. Guru perempuan juga mampu membaca pesan-
pesan tersembunyi dari siswa, baik dari verbal, ekspresi, juga bahasa tubuh siswa.
Guru laki-laki yang cenderung menonjol pada indikator kesadaran sosial ternyata
rendah dalam mengembangkan indikator kemampuan sosial karena kurang dalam
menyesuaikan diri dan bergaul dengan siswa. Dalam berkomunikasi dengan siswa, guru
laki-laki kurang mengembangkan kemampuannya dalam menentukan topik yang tepat
dengan siswa sehingga siswa bisa merasa nyaman ketika melakukan interaksi verbal
dengan guru.
Ditinjau dari masing-masing indikator kecerdasan sosial pada seluruh subjek, sebagian
besar guru telah memiliki kemampuan dalam melakukan pemrosesan informasi (62%),
kemampuan sosial (66%), dan kemampuan aktif berperilaku sesuai dengan kondisi
lingkungan atau kemampuan sadar akan sosial (66%). Berdasarkan item pen-skalaan
dalam indikator pemrosesan informasi sosial, sebagian besar guru telah mampu
memahami perasaan siswa, mampu memahami keinginan siswa, memahami apa yang
siswa maksudkan melalui ekspresi dan bahasa tubuh siswa. Melihat indikator
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
379
kemampuan sosial dalam item pen-skalaan, sebagian besar guru telah mampu
menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, khususnya di dalam kelas dan tidak
mengalami kesulitan saat bergaul dengan siswa. Sedangkan indikator kesadaran sosial
dalam item pen-skalaan menunjukkan bahwa guru tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk mengenal siswa dengan baik dan menyadari setiap dampak perilakunya terhadap
siswa.
Dari seluruh pembahasan mengenai kecerdasan sosial guru, pada penelitian ini subjek
yang digunakan adalah guru sekolah dasar negeri yang terdapat di Kelurahan Gladak
Anyar, Kabupaten Pamekasan. Kecilnya ruang lingkup populasi yang digunakan dalam
penelitian ini menegaskan keterbatasan penggunaan hasil penelitian, sehingga hasil
penelitian ini hanya dapat digunakan dalam batas guru sekolah dasar, utamanya di
Kelurahan Gladak Anyar, Kabupaten Pamekasan.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan analisa data Z-Score dapat ditarik kesimpulan bahwa guru yang memiliki
kecerdasan sosial tinggi memiliki jumlah yang sama banyaknya dengan guru yang
memiliki kecerdasan sosial rendah. Tingkat kecerdasan sosial ditinjau dari indikator
menunjukkan bahwa kemampuan sosial dan kesadaran sosial menempati angka
tertinggi. Berdasarkan jenis kelamin, guru perempuan lebih banyak memiliki tingkat
kecerdasan tinggi dibandingkan laki-laki. Guru perempuan lebih unggul dalam indikator
kesadaran sosial dan laki-laki unggul dalam indikator kemampuan sosial.
Implikasi dari penelitian yang telah dilakukan yaitu bagi guru yang telah memiliki
kecerdasan sosial tinggi disarankan untuk tetap mempertahankan kecerdasan sosialnya.
Sedangkan guru dengan kecerdasan sosial rendah dikehendaki agar terus melatih
kecerdasan sosialnya supaya terjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan siswa.
Dalam melatih kecerdasan sosial, guru yang dikehendaki meningkatkan kecerdasan
sosial bisa mengikuti pelatihan-pelatihan ada. Bagi Dinas Pendidikan, data ini bisa
dijadikan rekomendasi dalam pembuatan program pelatihan dalam ragka menyukseskan
program sertifikasi guru, khususnya guru sekolah dasar. Data ini juga bisa dijadikan
masukan dalam daftar kompetensi sosial guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.
bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan variable yang sama
hendaknya menggunakan sampel yang memiliki cakupan lebih luas dan lebih
bervariatif, seperti guru SMP maupun guru SMA agar mampu memberikan gambaran
kecerdasan sosial guru yang lebih lengkap dan beragam sesuai dengan sampel penelitian
karena pada penelitian ini cakupan guru yang diambil hanya guru sekolah dasar.
REFERENSI
Agrawal, R. (2003). Social intelligence and teacher effectiveness. Bundelkhand
University. Diakses dari eduresearch.dauniv.ac.in/file.asp?ID=132.
Albrecht, K. (t.t). Sosial intelligence the new science of success. Diakses 14 Mei 2012
dari http://www.karlalbrecht.com/articles/pages/socialintelligence.htm.
___________ (2006). Social intelligence the new science of success. (Review: Lydia
Morris Brown). Bussiness Book Review 23, 1-11. Diakses 05 Juni 2012 dari
http://www.karlalbrecht.com/downloads/SocialIntelligence-BBR.pdf.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
380
Beheshtifar, M., & Roasaei, F. (2012). Role of social intelligence in organizational
leadership. European Journal of Social Science 28, (2), 197-203. ISSN 1450-
2267.
Berarducci, L. R. (2009). Traditional bullying victimization and new cyberbullying
behaviors. Thesis. The Collage of Art and Science of the University of Dayton.
Tempo, Berita guru siswa. http://www.google.com/search?q=berita+guru+siswa&hl
Buzan, T. (2007). The power of social intelligence sepuluh cara jadi orang yang pandai
bergaul (Terj. Eric Suryaputra). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dayaksini, T., & Yuniardi, S. (2004). Psikologi lintas budaya. Malang: UMM Press.
Dogan, T., & Cetin, B. (2009, Spring). The validity, reliability and factorial structure of
the Turkish version of the Tromso Social Intelligence Scale. Educational
Science: Theory & Practice 9 (2), 709-720.
Dong, Q., Koper, R. J., & Collaco, C. M. (2008). Social intelligence, and intercultural
communication sensitivity. Intercultural Communication Studies, 2, 162-172.
Gini, G. (2005). Brief report: adaptation of the Italian version of the Tromso Social
Intelligence Scale to the adolescent population. Journal of Adolescence , 29,
307-312.
Goleman, D. (2006, Juli). What is social intelligence?. Greater Good, hal 44. Diakses
15 Mei 2012 dari
http://www.nwacademy.nhs.uk/downloads/documents/43_1822011_what_is_soc
ial_intelligence.pdf.
___________ (2006, September) The socially intelligent leader. Educational
Leadership, hal. 76-81. Diakses 15 Mei 2012 dari
http://cmapspublic2.ihmc.us/rid=1207228817342_1390637911_7833/Goleman-
%20Socially%20Intelligent%20Leader.pdf.
___________ (2007, 1 Februari). Social intelligence for teachers: looking for some
help. Diakses 07 September 2012 dari http://danielgoleman.info/2007/social-
intelligence-for-teachers-looking-for-some-help/.
___________ (2007). Social intelligence ilmu baru tentang hubungan antar manusia
(Terj. H. S. Imam). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Guru pemukul siswa di Pamekasan akhirnya dipecat. (2012, 12 April).
http://jatim.tribunnews.com/2012/04/12/guru-pemukul-siswa-di-pamekasan-
akhirnya-dipecat.
Hooda, D., Sharma, N. R., & Yadava, A. (2009, Januari). Social intelligence as a
predictor of positive psychological health. Journal of the Indian Academic of
Applied Psychology, 35, (1), 143-150.
Jurnal Online Psikologi Vol. 01 No. 02, Thn. 2013 http://ejournal.umm.ac.id
381
Jeloudar, S., Y., & Lotfi-Goodarzi, F. (2012). The Relationship between social
intelligence and job satisfaction among MA and BA teachers. International
Journal of Education and Science, 3, 209-213.
Jeloudar, S., Y., Yunus, A., S., Roslan, S., & Nor, S., M. (2011, Desember). Exploring
the relationship between teachers’ social intelligence and classroom dicipline
stategies. International Journal of Psychological Studies, 3, 2, 149-155. DOI:
10.5539/ijps.v3n2p149.
Meijs, N., Cillessen, A. H. N., Scholte, R. H. J., Segers, E., & Spijkerman, R. (2008).
Social intelligence and academic achievement as predictor of adolescent
popularity. Journal of Youth Adolescense. DOI 10.1007/s10964-008-9373-9.
Murray, B., & Fortinberry, A. (2010, Juni). The social IQ of leadership. Human
Resources, 3, 13-14.
Oknum guru SDN Tulusrejo IV aniaya siswa. (2012, 29 Nopember).
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/99910/oknum-guru-sdn-tulusrejo-iv-
aniaya-siswa.
Riggio, R. E., & Reichard, R. (2008). The emotional and social intelligence of effective
leadership an emotional and social skill approach. Journal of Managerial
Psychology, 23 (9), 169-185. DOI 10.1108/02683940810850808.
Sembiyan, R., & Visvanathan, G. (2012, Januari). Study on social intelligence of
collage students. International Journal of Current Research. 04 (01), 231-232.
ISSN: 0975-833X.
Silvera, D. H., Martinussen, M., & Dahl, T. I. (2001). The tromso social intelligence
scale, a self-report measure of social intelligence. The Scandinavian Journal of
Psychology, 42, 313-319. ISSN: 0036-5564.
Khilstrom, J. F. & Cantor, N. (2000). Social intelligence. In: Sternberg, R. J. Handbook
of Intelligence, 2nd Ed. Hal. 359-379. Cambridge, U.K: Cambridge University
Press.
Suyono, H. (2007). Social intelligence. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Syah, M. (2008). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: Rosda.
Williamson, D. (2012, 26 Maret). The rise of social intelligence. HRReporter, 1-2.
Diakses 15 Mei 2012 dari
http://thebeacongroup.ca/cms/uploads/The%20rise%20of%20social%20intellige
nceHRReporter.pdf.
Wulandari, P. (2010). Hubungan antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada
siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Humaniora Universitas Islam Negeri Yogyakarta.
Yamagishi, T., & Kikuchi, M. (1999). Trush, gullibility, and social intelligence. Asian
Journal of Social Psychology, 2, 145-161.