117333203 Asma Dalam Kehamilan 2

download 117333203 Asma Dalam Kehamilan 2

of 34

Transcript of 117333203 Asma Dalam Kehamilan 2

ASMA DALAM KEHAMILANI. PENDAHULUANAsma adalah suatu gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif terjadi karena adanya bronkokonstriksi dan peradangan. Gambaran klinik asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Asma yang terkendali dengan baik tidak memiliki efek yang berarti pada wanita yang hamil, melahirkan ataupun menyusui. Asma mungkin membaik, memburuk atau tetap tidak berubah selama masa hamil, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Pengaruh kehamilan pada asma bervariasi pada tiap individu, bahkan untuk kehamilan berbeda dari individu yang sama. Frekuensi dan beratnya serangan akan mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin. Penegakan diagnosis serupa dengan asma di luar kehamilan.1,3,4 Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama kehamilan.2 Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Acuan penanganan penyakit saluran pernafasan seperti asma sering berubah seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dipahami penyakit saluran pernapasan dan pengaruhnya terhadap kehamilan serta penatalaksanaannya berdasarkan evidence based selama kehamilan, persalinan, dan nifas.2II. INSIDENSI DAN PREVALENSIPrevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Asma mempengaruhi 5-10% penduduk dunia atau sekitar 23,4 juta orang. Setiap tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 15 juta kecacatan berdasarkan tahun hidup yang hilang dan 250.000 kematian akibat asma dilaporkan di seluruh dunia.3Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minimnya ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien asma difasilitas kesehatan.4Di Amerika Serikat, prevalensi asma, terutama morbiditas dan kematian, lebih tinggi pada orang kulit hitam dari dalam putih. Meskipun faktor genetik penting dalam menentukan kecenderungan untuk pengembangan asma, faktor lingkungan memainkan peran yang lebih besar daripada faktor rasial dalam onset asma. Asma umum terjadi di negara-negara industri seperti Kanada, Inggris, Australia, Jerman, dan Selandia Baru, di mana banyak asma data telah dikumpulkan. Tingkat prevalensi asma parah di negara maju berkisar antara 2-10%. Faktor-faktor yang telah terlibat termasuk urbanisasi, polusi udara, merokok pasif, dan perubahan paparan alergen lingkungan.7Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 4- 5 % dari populasi. Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5 1 % dari seluruh kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24 36 minggu, jarang pada akhir kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 6 % dari populasi. Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.2,3

Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung , sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan. Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum.2,3Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. 2,3Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam. 2,3Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria. 2,3,6III. DEFINISIDari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa asma bukan penyakit spesifik tetapi suatu sindrom yang berasal dari mekanisme precipitatory multiple dan menyebabkan kompleks klinis yang sering seperti obstruksi saluran napas.1 Secara praktis, para ahli berpendapat asma adalah penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang reversible / parsial baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).4

Definisi yang menurut National Institute Of Health (Nih) National Heart, Lung, And Blood Institute (NHLBI). Menurut NHLBI (Expert Panel Report 3: Guidelines for The Diagnose and Managemenr of Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu rentan, proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa penuh (chest tightness) dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering reversibel spontan atau dengan pengobatan inflamasi juga menyebabkan hiperesponsif saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Reversibilitas hambatan udara bisa inkomplit pada beberapa pasien asma.1IV. ETIOLOGISesuatu yang dapat memicu serangan asma adalah sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rhinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastroesofageal dan kehamilan.6,7Asma terdiri dari berbagai fenotip heterogen yang berbeda dalam presentasi, etiologi, dan patofisiologi. Faktor risiko untuk setiap fenotip termasuk genetik, faktor lingkungan, dan host. Peningkatan substansial dalam kejadian asma selama beberapa dekade terakhir dan variasi geografis dalam tingkat dasar prevalensi dan besarnya peningkatan mendukung tesis bahwa perubahan lingkungan memainkan peran besar dalam epidemi asma saat ini.1,4V. GEJALA KLINIKPenilaian secara subjektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat asma. Gejala klinik bervariasi dari wheezing ringan sampai bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi hiperventilasi, ditandai dengan PO2 normal, penurunan PCO2 dan alkalosis respirasi. Namun bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi CO2 akibat hiperventilasi, ditandai dengan PCO2 yang kembali normal. Bila terjadi gagal napas, ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.2Gambaran klinik asma klasik adalah serangan episode batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret, baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.5Pada asma alergik sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus nonalergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.5Pedoman terbaru dari National Asthma Education and Prevention Program menyoroti pentingnya mendiagnosa asma dengan benar, dengan menentukan yang berikut:8 Gejala episodik obstruksi aliran udara yang ada

Obstruksi aliran udara atau gejala setidaknya sebagian reversibel

Pengecualian dari diagnosis alternative.Manifestasi dari Episode akut

Episode akut dapat ringan, sedang berat, berat, atau ditandai dengan serangan pernapasan dekat.

Manifestasi Nonpulmonary

Tanda rhinitis atopi atau alergi, seperti kongesti konjungtiva dan peradangan, shiners mata, lipatan melintang pada hidung karena menggosok konstan berhubungan dengan rhinitis alergi, dan pucat lembayung mukosa hidung karena rhinitis alergi, dapat hadir dalam ketiadaan episode akut, seperti selama kunjungan rawat jalan antara episode akut. Turbinates mungkin eritematosa atau berlumpur. Polip mungkin hadir.5 Pemeriksaan kulit dapat mengungkapkan dermatitis atopik, eksim, atau manifestasi lain dari kondisi kulit alergi. Clubbing jari-jari bukan merupakan fitur asma dan menunjukkan kebutuhan untuk evaluasi yang lebih luas dan hasil pemeriksaan untuk menyingkirkan kondisi lain, seperti cystic fibrosis.8Gejala nokturnalSebagian besar pasien dengan asma mengalami gejala nokturnal sekali atau dua kali sebulan. Beberapa pasien hanya mengalami gejala di malam hari dan memiliki fungsi paru normal di siang hari. Hal ini disebabkan, sebagian, dengan respon berlebihan terhadap variasi sirkadian normal dalam aliran udara. Bronkokonstriksi tertinggi antara jam 04:00 dan 06:00 (morbiditas tertinggi dan kematian dari asma yang diamati selama waktu ini). Pasien-pasien ini mungkin memiliki penurunan yang lebih signifikan dalam tingkat kortisol atau nada vagal meningkat di malam hari. Studi juga menunjukkan peningkatan peradangan dibandingkan dengan kontrol dan dengan pasien dengan asma siang hari.8VI. PATOFISIOLOGIAsma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan komponen herediter mayor, terkait pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, 16, dan reseptor IgE dengan afinitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan ini juga dihubungkan dengan mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek kromosom 20 pada individu yang terpapar rokok, influenza (stimulasi alergi akibat lingkungan).2,3Peningkatan respons inflamasi menyebabkan obstruksi reversibel akibat kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus, dan edema mukosa pada saluran pernapasan. Adanya iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga dapat menstimulasi respons inflamasi ini. Terjadi aktivasi sel mast oleh sitokin mediates bronkokonstriksi akibat pelepasan histamin, prostaglandin D, dan leukotriens. Prostaglandin F dan ergonovin harus dihindari karena dapat menyebabkan eksaserbasi asma.2,3Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran napas seperti berikut3:1. Bronkokonstriksi

Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgE dependent release of mediator dari sel mast. Juga ada mekanisme non IgE dalam pelepasan mediator.

1. Edema saluran napas

Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor lain yang menghambat aliran udara antara lain : edema, hipersekresi mukus, mukus plug, hipertropi dan hyperplasia otot polos saluran napas.

2. Hiperesponsif saluran napas

Mekanisme hiperesponsif saluran napas bersifat multipel, termasuk inflamasi, disfungsi neuroregulasi dan perubahan struktural.

3. Airway remodeling

Airway remodeling menyebabkan perubahan struktural yang meningkatkan hambatan aliran udara saluran napas dan hiperesponsif saluran napas dan menyebabkan pasien kurang responsive terhadap pengobatan.

Mekanisme Patofisiologi Timbulnya Inflamasi Saluran Napas

Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Pola inflamasi saluran napas asma tidak harus bervariasi tergantung pada keparahan, persistensi, dan durasi penyakit.3,6

Sel-sel inflamasi saluran napas meliputi sel mast, eosinofil, sel limfosi T, sel dendritik, makrofag, dan neurofil. Sel struktural saluran napas yang terlibat patogenesi asma meliputi sel epitel saluran napas, sel otot polos saluran napas, sel endotel, fibroblast dan miofibroblast. Mediator asma meliputi kemokin, sitokin, cysteinyl leukotriene, histamin, nirit oxide, prostaglandin D2.6

Gambar 1. Penyebab dan gejala asma. Presentasi antigen oleh sel dendritik dengan limfosit dan respon sitokin yang menyebabkan peradangan saluran napas dan gejala asma.

(dikutip dari kepustakaan 5)

Expert Panel Report 3 (EPR-3) of the National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) tahun 2007 mencatat beberapa perubahan kunci dalam memahami patofisiologi asma.5 Peran penting inflamasi telah dibenarkan, tetapi bukti-bukti yang muncul untuk variabilitas yang cukup besar dalam pola peradangan, sehingga menunjukkan perbedaan fenotipik yang dapat mempengaruhi respon pengobatan.5 Dari faktor lingkungan, reaksi alergi tetap penting. Bukti-bukti juga menunjukkan kunci dan peran yang luas infeksi virus pernapasan dalam proses ini.5 Onset asma untuk sebagian besar pasien dimulai pada awal kehidupan, dengan pola penyakit ditentukan oleh mengenali secara awal faktor risiko termasuk penyakit atopik, mengi berulang, dan riwayat orang tua asma.5 Pengobatan asma saat ini dengan terapi anti-inflamasi tidak untuk mencegah perkembangan penyakit yang mendasari keparahan5VII. DIAGNOSIS Asma adalah suatu sindroma klinik, jadi tidak ada gold standard dalam mendiagnosanya. Diagnose asma ditegakkan secara klinik biasanya berdasarkan gejala khas dan dipastikan dengan bukti objektif hambatan aliran udara yang bervariasi.11. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan faal paru

Tes fungsi paru untuk diagnosis, menilai keparahan penyakit, dan evaluasi pengobatan. Diagnosis asma dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran napas pada pemeriksaan spirometri. Ditemukan perbaikan yang bermakna dari FEV1 setelah terapi bronkodilator atau pada pengulangan di waktu lain. Dikatakan obstruksi saluran napas reversibel bila ditemukan peningkatan FEV1 > 12% pascabronkodilator.1

Pemeriksaan faal paru yang sering digunakan untuk diagnosis dan pemantauan adalah pemeriksaan forced expiratory volume 1 second (FEV1) dengan spirometri dan peak expiratory flow (FEF) dengan alat peak flow meter.1

3. Uji kulit

Uji kulit dengan alergen merupakan alat diagnostik untuk asma alergi. Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji prick merupakan uji kulit yang sering digunakan. Karakteristik : cepat, mudah, dan sensitivitas tinggi tetapi bila pelaksanaan tidak tepat akan timbul positif atau negatif palsu. Pemeriksaan IgE spesifik serum tidak lebih baik dari uji kulit juga harganya lebih mahal. Kelemahan utama cara pemeriksaan status alergi adalah uji + tidak selalu berarti penyakitnya bersiifat alergi, seperti beberapa orang mempunyai IgE spesifik tetapi tidak ada keluhan. IgE total tidak mempunyai nilai diagnostik untuk uji diagnostik atopi.1,4

4. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma, seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. Pada sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi.1,4

5. Tes provokasi bronkus

Pemeriksaan provokasi bronkus memberi beberapa manfaat antara lain sebagai alat diagnostik asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat sensitif, sehingga kalau tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas harus memacu untuk mengulangi pemeriksaan dari awal dan memikirkan diagnosis penyakit selain asma.1

Uji provokasi bronkus dapat dibagi 2 kategori, yaitu uji farmakologi (histamin, adenosine, dan metacholine) dan uji nonfarmakologi (salin hipertonis, exercise). Demikian juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada uji nonfarmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan di saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang serabut saraf dan proses keradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sebagai prasyarat keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan FEV1 > 70%.1

Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20 yaitu : konsentrasi zat inhalasi yang menimbulkan penurunan FEV1 20% dibanding FEV1 sebelum provokasi. Penurunan FEV1 > 20% umumnya diterima sebagai titik akhir unuk membedakan antara individu normal dengan hiperakif. Spesifitas tes farmakologi berkisar 90% bila PC20 8 mg/ml digunakan sebagai nilai ambang diagnosis.1

6. Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal Characot-Leyden, dan Spiral-Churschamann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.17. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputumKegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.18. Analisis gas darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.2Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas, yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) berpendapat bahwa pasien asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan. Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas, serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta faal paru.2,3Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi. Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama.Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi wanita dengan asma terkontrol, wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32, dan wanita setelah pulih dari serangan asma berat.2Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal, ventilasi, keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran FEV sekuensial merupakan gold standard yang menggambarkan derajat asma. FEV < 20 % menggambarkan asma berat. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) berkorelasi erat dengan FEV, dan dapat diukur dengan spirometri dengan mudah.2,3StadiumPO2PCO2pHFEV (%)

Alkalosis respirasi ringanNormal65 80

Alkalosis respirasi50 64

Zona BahayaNormalNormal35 49

Asidosis respirasi< 35

Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nd ed, 2005

Tabel 1. Stadium Klinik Asma ( Kepustakaan 2 )

VIII. KLASIFIKASI ASMA

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.4Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

1. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: a. Intermitten

b. Persisten ringan

c. Persisten sedang

d. Persisten berat42. Asma saat serangan, terdiri dari:

a. Asma serangan ringan

b. Asma serangan sedang

c. Asma serangan berat

Tabel 2. Derajat asma saat tanpa serangan

(dikutip dari kepustakaan 4)

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.4

Tabel 3. Derajat Asma saat serangan

(dikutip dari kepustakaan 4)

IX. PENATALAKSANAAN ASMA DALAM KEHAMILAN Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi. Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah kematian, kegagalan pernapasan, status asmatikus, perawatan di ruang emergensi, dan cacat wheezing.1,8,,9Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut. Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 550 liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.2Menghindari faktor pencetus asma

Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal. Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi. Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk kecoa.4,7

Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.

Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya.

Edukasi

Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor pencetus asma.

Terapi farmakologi selama kehamilan

Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, 2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontraindikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan. Terapi asma modern dengan teofilin, kortikostreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.

Tahap 1: Asma Intermitten

Bronkodilator kerja singkat, terutama 2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama 2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus 2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah 2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang membuktikan kejadian cedera janin pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui.8,9Tahap 2 : Asma Persisten Ringan

Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas. Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi. Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan.

Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol.

Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan resiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah. Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan. Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat.

Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid.

Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan.

Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan.

Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten ringan.8,9Tahap 3 : Asma Persisten Sedang

Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan 2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektifan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan 2 agonis inhalasi kerja lama pada kortikosteroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid.

Profil farmakologi dan toksikologi 2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa 2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil keamanan yang sama dengan salbutamol, dan 2 agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh 2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol. Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan 2 agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan.8,9Tahap 4 : Asma Persisten Berat

Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik.

Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut: Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi hospitaliyy threshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemberian masker oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran FEV1 (forced expiratory volume in one second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.2,3Penanganan lini pertama adalah adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading dose 4 6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 20 g/ml, Dan kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil terapi.

Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas.2 Sebelum kehamilan Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi fungsi respirasi,

Hindari factor pencetus, alergen.

Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.

Selama kehamilanPenyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila terjadi serangan.

Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek sistemik pada janin.

Pemeriksaan fungsi paru ibu.

Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester II/awal trimester III.

Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.

Saat persalinanPemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang bila timbul gejala.

Pemberian oksigen adekuat.

Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam) diberika 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance diberikan selama persalinan.

Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan. Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGE dapat merangsang bronkospasme.

Pascapersalinan Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis, mnulai pemberian terapi maintenance.

Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat antiasma termasuk prednisone.

Tabel 4. Langkah Penanganan Asma Pada Kehamilan

(Dikutip dari: Williams Obstetrics 22nd ed, 2005)Jenis-jenis obat asma

Pada prinsipnya terapi serangan adalah membuka kembali jalan nafas dengan bronko dilator dan menghilangkan serta mencegah berlanjutnya reaksi inflamasi dengan anti inflamasi . Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran nafas, terdiri dari obat controller dan reliever.OBAT CONTROLLER

Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang dengan tujuan untuk mencapai dan menjaga asma persisten yang terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan bronkodilator long acting. Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif. Obat controller juga sering disebut sebagai obat profilaksis, preventif atau maintenance. Obat controller termasuk Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan sodium nedokromil, teofilin lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi dan oral, dan mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.

1.Kortikosteroid Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral). Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa leukotrien dan prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran nafas.

Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping sistemik.

Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.

Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang batuk. Efek samping sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di usus, metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg perhari beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit dan mudah luka,supresi adrenal dan penurunan metabolisme tulang. Efek sistemik pemakaian jangka panjang kortikosteroid oral adalah osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes melitus, supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan kulit dan kelemahan otot.

Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai berikut:

1.

Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek.

2.

Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.

3.

Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari

4.

Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.

Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama 1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit.

Kortikosteroid

MacamPotensiAntiinflamasiPotensiEkuivalen (mg)PotensiRetensi NaWaktu ParuhBiologikCortisol1

20

2+

8-12

Cortison0.8

25

2+

8-12

Prednison3.5

5

1+

18-36

Prednisolon4

5

1+

18-36

Methylprednisolone5

4

0

18-36

Triamcinolon5

4

0

18-36

Parametason10

2

0

36-54

Betametason25

0.6

0

36-54

Dexamethason30

0.75

0

36-54

3. Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil

Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.

Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.3. Teofilin Lepas Lambat Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.

Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.

Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.

Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.

Dosis golongan methyl xantine adalah5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading dose dan20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam. Adapun therapeutic dose adalah 10-20mg/dl.

4. (2 Agonis Reseptor

Pada dosis kecil kerja obat ini pada reseptor (2 jauh lebih kuat dibandingkan kerjanya pada reseptor (1. Tetapi pada dosis tinggi selektifitas ini hilang. Misalnya pada penderita asma salbutamol sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronko dilator (bila di berikan sebagai aerosol) tetapi jauh lebih lemah efeknya sebagai simultan jantung. Tetapi jika dosis salbutamol ditingkatkan sampai 10 kali lipat, di peroleh efek stimulasi jantung yang sama kuatnya dengan isoproterenol.

Agonis reseptor (2 menghasilkan stimulasi jantung sangat lemah ((1) dan hanya sedikit sekali mempengaruhi tekanan darah sehingga obat-obat golongan ini dikembangkan penggunaannya sebagai anti asma. Selektifitas obat agonis reseptor (2 ini berbeda satu sama lain, misalnya metaproterenol kurang selektif di banding salbutamol. Fenoterol lebih selektif di banding isoprenalin tetapi lebih rendah jika di banding terbutalin dan salbutamol.Efek agonis reseptor (2 pada saluran nafas :

( Relaksasi otot polos.

Agonis reseptor (2 dapat diberikan peroral atau parenteral, pada pemberian secara inhalasi meskipun hanya sedikit saja obat yang dapat mencapai paru tetapi efektif menghasilkan bronko dilatasi dengan efek sistemik yang terkecil. Inhalasi salbutamol dengan dosis 100-400 (g memberikan respon bronkodilatasi yang meningkat sesuai dengan peningkatan dosis tetapi dapat terjadi variasi respon yang luas antar individu., pemberian dosis lebih dari 500 (g menghasilkan di latasi maksimal, pada keadaan ini tidak ada lagi hubungan antar dosis dan respon. Di duga reseptor (2 pada penderita asma kurang sensitif terhadap salbutamol yang di berikan secara inhalasi tetapi sulit untuk membandingkan respon bronko dilatasi pada bronkus normal dan asmatis karena adanya perbedaan geometri dan pola respon.Kemungkinan lain obat sulit mencapai reseptor (2 karena adanya inflamasi pada mukosa saluran nafas penderita asma.

( Menurunkan hiper aktifitas bronkus, menghambat pelepasan mediator.

( agonis menghambat pelepasan histamin dari sel paru dari basofil , sel mast, neutrofil chemotactic, platelet derived factor dan eosinofil kationic protein pada latihan fisik dan paparan anti gen in vivo.( Menghambat transmisi kolinergik dan meningkatkan klirens mukosiliaris.

( agonis menghambat transmisi kolinergik invitro. Bronkokonstriksi pada penggunaan ( bloker di duga melalui mekanisme ini. (2 agonis juga bermanfaat pada asma karena meningkatkan klirens mukosiliaris.

( Menurunkan permeabilitas kapiler, mengurangi odema.

( agonis menurunkan permeabilitas kapiler dan edema sebagai respon terhadap mediator-mediator histamin, lekotrien pada binatang tertentu, tetapi hal ini tidaklah konsisten.

Efek Sistemik

Aktivasi reseptor (2 akan mempengaruhi berbagai organ dalam tubuh. Efek akhir pada pembuluh darah di pengaruhi oleh aktivasi reseptor ( dan (, juga anatomi dan inervasi pada pembuluh darah tersebut. Peningkatan tekanan darah mungkin dapat terjadi karena ikut teraktivasinya reseptor (1 akan menimbulkan efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung, meningkatkan sekresi renin pada ginjal, dan sekresi ADH dari adenohipofise.

Terjadinya relaktasi otot polos siliaris akan menurunkan daya akomodasi, pada otot polos saluran cerna dan genitourinarius. Pada otot rangka, terjadinya peningkatan glikogenolisis dan ambilan kalium ke dalam sel akan menurunkan kalium plasma, sehingga dapat mencegah peningkatan kalium selama olahraga.Pada hati terjadi peningkatan glikogenesis, akan meningkatkan kadar glukosa darah.

Efek Samping Dan ToksisitasEfek samping dan toksisitas agonis (2 inhalasi merupakan perluasan dari efek reseptornya pada organ-organ ekstra pulmoner terutama terhadap sistem kardiovaskular. Agonis (2 mungkin mengakibatkan takikardi dan bisa membangkitkan aritmia ventrikel yang serius.

Beberapa studi epidemiologis melaporkan adanya peningkatan resiko kematian karena penggunaan fenoterol di USA juga di New Zealand Karena penggunaan isoprenalin aerosol konsentrasi tinggi di Inggris dan Wales .

Belum dapat di ketahui secara pasti bagaimana mekanismenya, di duga karena sensitisasi miokardium terhadap katekolamin dan hidrofluorokarbon atau takifilaksis pada isoprenalin . Tetapi beberapa studi terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara resiko kematian pada asma dengan penggunaan agonis (2 oral maupun inhalasi.

Penelitian lain membuktikan adanya penurunan tekanan oksigen (Pa O2) pada pemakaian agonis (2 inhalasi terutama jika rasio ventilasi-perfusi memburuk. Karena itu di anjurkan untuk memberikan suplai oksigen pada penderita yang mendapat terapi agonis (2 inhalasi. Karena dapat meningkatkan frekwensi dan kuat kontraksi jantung, serta meningkatkan sekresi renin dan ADH maka agonis (2 inhalasi mungkin akan meningkatkan tekanan darah, sehingga dapat memperberat hipertensi. Pemberian agonis (2 inhalasi pada penderita diabetes mellitus juga harus berhati-hati karena dapat meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis. Demikian juga pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal (ekskresi terbesar melalui ginjal) dan wanita hamil (dapat menembus plasenta).

Agonis (2 inhalasi dapat mengurangi efektifitas obat anti hipertensi, anti angina, anti aritmia dan anti diabet. Isoproterenol iv meningkatkan klirens teofilin. Pemakaian bitolterol inhalasi dengan metered dose inhaler pada anak cukup efektif dan aman, meskipun pada anak-anak eliminasi obat ini lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.Secara farmakologis untuk kontroler digunakan Beta2-Agonis Long Acting.

Beta2-Agonis Long Acting

Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin. Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi klinis mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor gejala, menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi pemakaian beta2-agonis inhalasi short acting. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan hipokalemi.

5. Reseptor Leukotrien Antagonis Merupakan suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA) dengan nama kimia 4-(5-cyclopentyloxy-carbonylamino-1-mathyl-indol-3l methylll) -3-methoxy-N-o-tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul 575,7 dengan rumus empiriknya C31H33N3O6S. Dibuat secara sintetis dengan nama Zafirlikast. LTRA adalah suatu reseptor leukotrien (LTD4dan LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana LTD4dan LTE4adalah komponen dari SRS-A yang berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang menimbulkan bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi otot polos dan aktivasi sel-sel radang sehingga terbentuk mediator inflamasi yang menimbulkan keluhan pada penderita asma. Penderita asma mempunyai kepekaan terhadap LTD425 sampai 100 kali disbanding orang normal. Diserap cepat bila diberikan peroral, konsentrasi dalam darah mencapai puncak setelah 3 jam, 99% terikat pada albumin, disekresi lewat feses setelah melewati proses enzimatik pada jalur cytocrome P450 2c9 (CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita dengan gangguan faal hati, waktu paruhnya menjadi lebih panjang. LTRA bukanlah bronkodilator dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan. Kemasan berupa tablet 20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari. Indikasinya untuk pencegahan dan pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan pada saat serangan akut dan saat terjadi status asmatikus, namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi. Dapat dipakai untuk mencegah terjadinya exercise induce asthma

.OBAT RELIEVERObat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut lain yang menyertai. Yang termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi beta2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik, antikolinergik inhalasi, teofilin short acting dan beta2-agonis oral short acting

1. B2 Agonis Inhalasi Short Acting

Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan pencegahan exercise induced asthma. Juga dipakai untuk mengontrol bronkokonstriksi episodik. Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma jangka panjang tidak dapat mengontrol gejala asma secara memadai, juga terhadap variabilitas peak flow atau hiperrespon saluran nafas. Hal ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan meningkatkan kebutuhan obat antiinflamasi.

2. Kortikosteroid Sistemik

Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati eksaserbasi akut yang berat karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjunganke UGD dan menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau ditappering.

3. Obat Antikolinergik

Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga memblokade refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Obat ini mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah exercise. Dibanding beta2-agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk mencapai efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan mulut kering dan rasa tidak enak.

4. Teofilin Short Acting

Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten karena fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta2-agonis short acting.

5. Beta 2 Agonis Oral Short Acting

Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat dipakai pada pasien yang tidak dapat menggunakan obatinhalasi

Walaupun obat asma yang telah diteliti tidak memiliki efek teratogenik atau efek yang dapat menimbulkan kecacatan kepada bayi, akan tetapi seorang ibu hamil harus tetap memperhatikan jenis obat-obatan yang akan dikonsumsinya. Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat membuat sitem klasifikasi obat yang membantu dalam memahami risk-benefit ratio sebuah obat sesuai kategori klasifikasinya.

Obat Kategori A

Golongan obat yang pada studi (terkontrol) pada kehamilan tidak menunjukkan resiko bagi janin pada trimester 1 dan trimester berikutnya. Obat dalam kategori ini amat kecil kemungkinannya bagi keselamatan janin.

Obat Kategori BGolongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan tidak menunjukkan resiko bagi janin. Belum ada studi terkontrol pada wanita hamil yang menunjukkan adanya efek samping, kecuali adanya penurunan fertilitas pada kehamilan trimester pertama, sedangkan pada trimester berikutnya tidak didapatkan bukti adanya resiko.

Obat Kategori C:

Golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan pada wanita hamil belum ada study terkontrol. Obat golongan ini hanya dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar ketimbang resiko yang mungkin terjadi pada janin.

Obat Kategori DGolongan obat yang menunjukkan adanya resiko bagi janin. Pada keadaan khusus obat ini digunakan jika manfaatnya kemungkinan lebih besar dibanding resikonya. Penggunaan obat golongan ini terutama untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa atau jika tidak ada obat lain yang lebih aman.

Obat Kategori XGolongan obat yang pada studi terhadap binatang percobaan maupun pada manusia menunjukkan bukti adanya resiko bagi janin. Obat golongan ini tidak boleh dipergunakan (kontra indikasi) untuk wanita hamil, atau kemungkinan dalam keadaan hamil.X. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN

Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi ibu maupun janin.11Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibuAsma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu. Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk : 1. Preeklampsia (11 %), ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria2. Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan3. Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit4. Perdarahan pervaginam5. Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan.7,11Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang mengancam nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara substantive meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi mekanis.11

Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin

Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan janin, termasuk :

1. Kematian perinatal

2. IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya

3. Kehamilan preterm (12 %)

4. Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel

5. Berat bayi lahir rendah. 10,11Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain faktor lingkungan, faktor genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan. 10,11DAFTAR PUSTAKA

1. Maranatha, Daniel. Asma bronchial. Dalam: Wibisono, J., eds. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: departemen ilmu penyakit paru fakultas kedokteran unair RSUD dr. soetomo; 2010. h.37-55.

2. Abdul BS, Gulardi HW,eds. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: Pt Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. H.800-813.

3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Pulmonary Disorders. Dalam: Williams Obstetrics 22nd Edition. New York: McGraw-Hill. 2007. chapter 46, p.1059 4. Lampiran keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma. [tanggal 3 november 2008] URL: http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMKz201023-pengendalianasma.pdf5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Barunwald E, et all. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition. New York: McGraw-Hill. 2008. p.1596-16066. William C, Shiel Jr, eds. Asthma in Pregnancy. [online]. February 12th, 2012. [citied August 3rd, 2011]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/296301.7. Markus L MD,Pamela L Dyne MD. Asthma in Pregnancy. [online]. March 8, 2012.[citied March 17, 2007].Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/796274.8. DeCherney AD, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. California: The McGraw-Hill Companies, 2007.

9. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics Normal and Problems Pregnancies, 5th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2007.[chapter 35] 10. Subbarao, Padmaja MD MSc,eds. Asthma: epidemiology, etiology and risk factors. . In: Canadian medical association journal. [online]. October 27th, 2009. [citied September, 9th 2011]. Available from URL : http://ecmaj.ca/content/181/9/E181.full.11. Namazy JA, Schatz M, eds. Pregnancy and Asthma: Recent Developements. [online]. Posted: June 1st, 2005. San Diego: Lippincott Williams & Wilkins. Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/496583Tabel 1. Agonis reseptor (2 yang umum digunakan sebagai bronko dilator

(JG Douglas, JS Legge, JAR Frienf & JC Patrie, Respiratory

Deseasein Avery Drug Treatment 4th Edition, p 1027, 1997)

ObatDosis dewasaEfek samping

Short acting

RimiterolMDI : 200-400 (gsemua obat :

Tremor, kramp,

Takikardi, Hipokalemi

Intermediate acting

BilolterolMDI : 370-740 (g

FenoterolMDI : 100-200 (g

Neb : 5 mg

MetaproterenolMDI : 750-1500 (g

(orchiprenalin)Po : 20 mg (3-4x)

PirbuterolMDI : 200-400 (g

Po : 15 mg (3-4x)

ReproterolMDI : 500-1000 (g

Salbutamol (albuterol)MDI : 100-200 (g

Neb : 2,5-5 mg

DPD : 200-400

Po : 2-8 mg (3-4x)

TerbutalinMDI : 250-500 (g

Neb : 5-10 mg

DPD : 200-400 (g

Po : 2,5-5 mg (3-4x)

TulobuterolPo : 2 mg (2-3x)

Long acting

BambuterolPo : 10-20 mg (1x)

FormoterolMDI : 12-24 (g (2x)sda, sakit kepala

SalmeterolMDI : 50 (g(2x)

DPD : 50 (g(2x)

Tabel 1. Efek agonis (2 pada berbagai organ

(British Journal of Clinical Pharmacology, 1992 vol 33 p 131)

Jaringan ReseptorEfek

Jantung(1, (2inotropik, kronotropik.

Pembuluh darah(2vasodilatasi.

Paru(2pelepasan mediator inflamasi dari sel

mast menurun.

Otot rangka(2ambilan K+ meningkat, tremor,

Hipokalemia.

Uterus(2 relaksasi.

Sel-sel darah(2?

Hati, pankreas(2peningkatan glukosa, laktosa, piruvat,

Insulin, dan HDL.

Ginjal(2peningkatan ekskresi : Mg, Ca, PO4 .

Jar. Lemak(3 lipolisis, thermogenesis.

33