1 Hipertensi Dalam Kehamilan (Preeklamsia Dan Eklamsia)
-
Upload
arini-p-puteri -
Category
Documents
-
view
18 -
download
2
description
Transcript of 1 Hipertensi Dalam Kehamilan (Preeklamsia Dan Eklamsia)
PREEKLAMSIA
Definisi
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai
wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda utama
berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria
preeklampsia dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis
dan atau koma maka ia dikatakan mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil
tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi
sebelumnya.
Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi
vaskuler tersebut mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu,
sering pula dijumpai peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.
Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai "the disease of
theory".
Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
1. peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa
2. peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia
kehamilan
3. perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam
uterus
4. penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan
berikutnya
5. mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma
Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat
ini, yaitu:
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri
spiralis sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta
yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta. Implantasi plasenta
pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta normal yang
memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom
di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan
berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan
endotel dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran
pembuluh darah.
2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis
oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai
oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.
4. Genetik. Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta.
Namun, banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara
faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah
faktor penyebab atau merupakan akibat.
Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat (PEB):
1. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila :
a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah
b. Diastolik 90-110 mmHg
c. Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
d. Tidak disertai gangguan fungsi organ
2. Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila :
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 110 mmHg
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan
kuantitatif
c. Bisa disertai dengan :
1. Oliguria (urine 400 mL/24jam)
2. Keluhan serebral, gangguan
penglihatan
3. Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau
daerahepigastrium
4. Gangguan fungsi hati dengan
hiperbilirubinemia
5. Edema pulmonum,
sianosis
6. Gangguan perkembangan
intrauterine
7. Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia.
3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai
dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending
eclampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di
antaranya
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas.
Insidens dan Faktor Risiko
Insidens preeklampsia sebesar 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada
negara
m
aju.
D
i
negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6-10 kasus per 10.000
kelahiran hidup.
Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%. 1Angka
kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem
tubuh.
Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia adalah
perdarahan
intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar
antara 10-28%. Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas,
pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75% eklampsia
terjadi antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum. Hampir semua kasus
(95%) eklampsia antepartum
terjadi pada trimester ketiga.
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan
dan
12% pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada
primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada
multigravida.
Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia dilakukan
di
Rumah Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi preeklampsia/eklampsia lebih
tinggi
bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia pada primigravida
11,03%. Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka
kematian perinatal 27,42%.
Sedangkan pada periode Juli 1997 s/d Juni 2000 didapatkan 191 kasus (1,21%)
PEB
dengan 55 kasus di antaranya dirawat
konservatif.
Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya adalah:
1. nullipara
2. kehamilan ganda
3. obesitas
4. riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
5. riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada usia kandungan 18
dan 24
minggu
7. diabetes melitus gestasional
8. trombofilia
9. hipertensi atau penyakit ginjal
Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar
juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah
yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang
interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin
yang tinggi dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi
perifer
yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan
akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar
vasokonstriktor
seperti angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau menurunnya respon
terhadap zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi
vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan
terjadi peningkatan
tekanan darah yang normal seperti tekanan darah sebelum
hamil.
1. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat
mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak
dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema interstitial, volume
plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan
terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan
ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas
darah.
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan
wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3. Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di
otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%.
Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin
merupakan suatu
faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun
perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi
ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif
ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan
filtrasi glomerulus
berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi
penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada
sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin
perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma,
angiotensinogen, angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat nyata di
atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi
akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan
normal efek progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan aldosteron,
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah
iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta
yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih
banyak renin uterus yang mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya
kepekaan pembuluh darah. Di samping itu angiotensin menimbulkan
vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai mekanisme
kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas atau
sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat yang
menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada
GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula
peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada
kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah
bagian dari lesi morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel
intrakapiler glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada
preeklampsia.
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua.
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan
faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum
ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus
maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru.
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema
paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata.
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila
terjadi hal- hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat.
Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
f. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara,
asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat
organik dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan
karbonik dengan terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian
cadangan alkali dapat pulih kembali.
Manifestasi Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan
proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh
wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan
penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang
terjadi biasanya sudah berat.
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol
sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.
Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan
tekanan sistolik dan
tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan
abnormal.
Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan
kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia.
Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila
lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka kemungkinan
terjadinya preeklampsia harus dicurigai.
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama disebabkan
oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala edema
nondependen
yang terlihat jelas, seperti edema kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang
membesar.
Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu
penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria
mungkin
hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat,
proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir
selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi
setelah kenaikan berat
badan yang berlebihan.
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin
sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada
daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik
biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala
hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
merupakan
keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi
presiktor serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan
oleh regangan
kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di
antaranya
pandangan yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total.
Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada
korteks oksipital.
Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah:
1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat
trauma pada ibu maupun janin
2. kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau
diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu
untuk menurunkan risiko kematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri
dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB
umumnya
dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir,
sebuah
pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan
ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita
dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa
memperburuk keamanan
ibu.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara
lain
adalah:
a. tirah baring
b. oksigen
c. kateter menetap
d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa
kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan
berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan central venous
pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4
20% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer
laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan
dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.
Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium
glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg.
Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah
1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan
10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan.
Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu
tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%.
Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah
didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk
pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab15%
dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita
preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan
pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan
pematangan paru pada penderita preeklampsia.
Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang
oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan
yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976)
dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada
penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu,
Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama
hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap
kelangsungan hidup janin.
Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan
terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari
ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan.
Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal
dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila
dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid sampai kelahiran,
tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih
besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara
apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.
Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna insiden
RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan
interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan
Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat
pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari
dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling
tidak. jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan
paru janin.
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi sebelum
steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24-34 minggu yang dalam
persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk
pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis
dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis
intramuskular dengan interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama
tujuh hari. Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan di FK-USU yaitu
15 mg dalam sekali pemberian.
Penanganan Aktif
Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan
mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa
ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu.
Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah
progresifitas PEB. Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi
pada ibu maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:
• setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten
• setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b. tanda dan gejala impending eklampsia
c. gangguan fungsi hepar
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan
USG timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP
(hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB. Akan
tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara
Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi kehamilan
dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada
keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah
ditegakkan.
Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi
kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan
dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK juga
mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara
vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.
Penanganan Ekspektatif
Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan
pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang
usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau
sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi
syarat janin dapat dilahirkan
2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien PEB
yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih
diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya
perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34
minggu, penanganan ekspektatif lebih disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson dan
Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan usia
kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid mempercepat
pematangan paru.
Kemudian Rick34 dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dengan PEB
selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan
ketidakmatangan paru.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan ekspektatif ini
terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk35 yang melaporkan
hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB
dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan
kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin setelah 48
jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi kehamilannya
setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif melahirkan
pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal35 dkk juga menemukan penurunan
komplikasi perinatal pada kelompok dengan penanganan ekspektatif.
Penelitian lain yang dilakukan Witlin36 dkk melaporkan peningkatan angka
pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan selama
penanganan secara ekspektatif.
Sedangkan Haddad B37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia kehamilan
24-33 minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada kelompok
aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu
sama pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara
ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih
baik dengan risiko minimal pada ibu.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam dengan
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan
serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam
waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus disusul dengan
pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan
pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi
fetal distress, atau umur kehamilan <33 minggu.
Bila penderita sudah inpartu
a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
b. Memperpendek kala II
c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress.
d. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia umum
DAFTAR PUSTAKA
Angka kematian ibu belum ditangani serius. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015, Jakarta.
http://www.bkbn. go.id.
Arifin A, Rosmiati B, Soeparmanto P. Pengembangan Model Peningkatan Pemanfaatan
Pelayanan Antenatal dan Persalinan oleh Keluarga Miskin di Pedesaan. [Laporan
penelitian]. Surabaya: Badan Litbangkes; 2004.
Chaim SRP, Oliveira SMJV, Kimura AF. Pregnancy-induced hypertension and the neonatal
outcome. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015, Jakarta. Disitasi dari
http://www.scielo.br/scielo-php?pid.
Chen XK, Wen SW, Smith G, Yang Q, Walker M. Pregnancy- induced hypertension is
associated with lower infant mortality in preterm singletons. Br J Obstet Gynecol. 2006;
113(5): 544-51.
Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia
tahun 2007. Jakarta; Departemen Kesehatan RI; 2008.
Gibson, Paul; Carson Michael. Hipertension ang Pregnancy. Br. J. Obstet. Gynaecol.
Apr 1998; 105(4): 430-434
Gutsche BB. Anesthetic Consideration for Preeclampsia- eclampsia. In: Shinder SM,
Levenson G, editors. Anesthesia for obstetrics. Baltimore: The William's &Wilhims
Company; 1979. p. 224-34.
Hipertensi pada Kehamilan. Diunduh pada tanggal 24 Okt 2015. Disitasi dari
http://www.permatacibubur. com.
Hipertensi pada Kehamilan. http:abidinblog.blogspot.com diunduh 24 Okt 2015.