achmadqurony.files.wordpress.com · Web viewMenurut M. Umar DM (2008; 1) Secara umum hambatan...
Transcript of achmadqurony.files.wordpress.com · Web viewMenurut M. Umar DM (2008; 1) Secara umum hambatan...
0
,MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI ADAFTIF UNTUK
OPTIMALISASI GERAK MOTORIK HALUS (FINE MOTOR SKILLS)BAGI ANAK TUNA GRAHITA SEDANG DI SLB NEGERI
PEMBINA MATARAMTAHUN 2013
RANCANGAN TESIS
(Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Penelitian Kependidikan Dr. Wahyu Lestari, MPd))
Disusun Oleh :
NAMA : AHMAD QURONI
NIM : 0602511063
PRODI : S2 PENDIDIKAN OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara telah menjamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada
Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran”. Ayat ini memiliki beberapa implikasi terhadap
pembangunan dalam bidang pendidikan, antara lain adalah: (1) pengajaran
merupakan hak bagi setiap warga negara, maka ada suatu kewajiban (dari
pemerintah, masyarakat, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan pendidikan ;
dan (2) pengajaran merupakan hak bagi setiap warga negara, maka tidak ada
deskriminasi atau pembedaan atau pengkastaan bagi tiap warga negara dalam
mendapatkan pengajaran. Semua anak termasuk anak yang mempunyai
kebutuhan khusus, sama-sama memiliki hak yang sama dalam memperoleh
pengajaran dan pendidikan, yang implikasinya dituangkan dalam bentuk
bagaimana upaya dalam memberikan pelayanan yang adil dan fair terhadap
semua anak.
Efektivitas pengajaran sangat ditentukan oleh pendekatan pengajaran
yang dipilih guru atas dasar pengetahuan guru terhadap sifat keterampilan atau
tugas gerak yang akan dipelajari oleh siswa. Penyelenggaraan pendidikan bagi
anak dengan kebutuhan khusus dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
melalui pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Manfaat pendidikan
jasmani dan olahraga telah teruji dalam upaya memberdayakan manusia.
Diperlukan adanya model sebagai upaya pengembangan pemberdayaan anak
2
dengan kebutuhan khusus melalui pendidikan jasmani. Salah satu bentuk program
pendidikan jasmani yang sesuai dengan anak dengan kebutuhan khusus adalah
program pendidikan jasmani adaptif (disesuaikan).
Arma Abdullah (1996 : 3) mengemukakan bahwa pendidikan jamani
adapatif adalah pendidikan melalui program aktivitas jasmani yang dimodifikasi
untuk memungkinkan individu dengan kelainan memperoleh kesempatan untuk
berpartisipasi dengan aman, sukses, dan memperoleh kepuasan. Secara mendasar
pendidikan jasmani adaptif adalah sama dengan pendidikan jasmani biasa.
Pendidikan jasmani merupakan salah satu aspek dari seluruh proses pendidikan
secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem
penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang
untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah
psikomotor.
Pendidikan jasmani memiliki peran dan makna yang sangat berharga bagi
anak dengan kebutuhan khusus. Manfaat pendidikan jasmani bagi anak dengan
kebutuhan khusus bukan hanya pada aspek fisik atau psikomotor, melainkan juga
bermanfaat pada pengembangan aspek kognitif, afektif maupun sosial. Bucher
(1979:114) mengemukakan manfaat pendidikan jasmani bagi anak dengan
kebutuhan khusus, yaitu: (1) membantu mengenali kelainannya dan
mengarahkannya pada penanganan yang sesuai; (2) memberi kebahagiaan bagi
orang yang tidak normal; (3) memberi pengalaman bermain yang menyenangkan;
(4) membantu anak mencapai kemampuan dan latihan fisik sesuai dengan
keterbatasannya; (5) memberi banyak kesempatan mempelajari keterampilan
3
yang sesuai dengan anak-anak yang memiliki kelainan untuk meraih sukses; dan
(6) berperan bagi kehidupan yang lebih produktif bagi anak dengan kebutuhan
khusus dengan mengembangkan kualitas fisik yang diperlukan untuk memenuhi
tuntutan hidup sehari-hari.
Bucher (1979: 123-134) mengklasifikasikan anak yang memerlukan
penanganan melalui pendidikan jasmani dan olahraga berdasarkan kebutuhannya
ke dalam: (1) siswa yang berhambatan secara fisik; (2) siswa yang terhambat
secara mental; (3) siswa bergangguan emosional; (4) siswa yang tidak
diuntungkan secara kultural; (5) siswa yang tidak memiliki koodinasi yang baik;
dan (6) siswa yang berbakat dan kreatif
Ada kebutuhan untuk memikirkan metode-metode apa yang paling
efektif dalam mengajar anak dengan kebutuhan khusus. Metode ini juga beragam
sesuai dengan sifat hambatan siswa. Puthoff dalam Bucher (1979: 123)
mengemukakan bahwa empat strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam
mengajar pendidikan jasmani kepada siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu (1)
modifikasi Isi; (2) modifikasi tingkat belajar; (3) pilihan gaya mengajar/belajar;
(4) mengatur latar lingkungan kelas internal
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual,
sosial, emosional) dalam proses pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga anak yang mempunyai kebutuhan
khusus (ABK) memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang dalam
permasalahan ini adalah anak tunagrahita.
4
Anak tunagrahita memerlukan layanan pembelajaran yang mengacu
kepada kebutuhannya yang lebih khusus karena mempunyai karateristik
kemampuan atau keterbatasan belajar dan adaptasi sosialnya berada dibawah
rata-rata kemampuan anak pada umumnya. Identifikasi terhadap keadaan anak
tunagrahita dipandang perlu guna untuk mengetahui tingkat keterbatasannya,
dengan mengetahui keterbatasan anak tunagrahita seorang guru dapat
melakukan tindakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Anak tunagrahita adalah anak yang cacat pikiran, lemah daya tangkap,
idiot (KBBI, 2002 : 1223). Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental
adalah kemampuan mental yang berada di bawah normal, tolak ukur yang sering
digunakan adalah tingkat kecerdasan atau IQ (intelegency quotion). Anak yang
secara signifikann mempunyai IQ di bawah normal dikelompokkan sebagai anak
tunagrahita, sebagaimana halnya dengan kecacatan yang lain bahwa anak
tunagrahita dikelompokkan dalam beberapa tingkatan yaitu, tunagrahita ringan,
tunagrahita sedang, tunagrahita berat (Wardani dkk, 2007:1.9).
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh dibawah rata-rata
sedemikian rupa, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan
khusus. (Identifikasi Anak Berkebutuhan khusus. Direktorat Pendidikan Luar
Biasa 1999), atau dengan pengertian yang lain bahwa tuna grahita merupakan
suatu bentuk hambatan fungsi intelektual umum dibawah rata-rata disertai dengan
ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama
5
pertumbuhan. Anak tuna grahita berdasarkan hasil dari pengukuran inteligensi,
merupakan anak yang memiliki IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki
keterampilan sosial atau menunjukan perilaku yang tidak sesuai dengan usia anak
(Supratiknya, 1995).
Sebagai bagian dari anak kurang beruntung, mereka memerlukan layanan
pendidikan yang mampu membentuk rasa percaya diri dan mengantar mereka
sebagai manusia yang sama dengan manusia pada umumnya serta mampu
melakukan kegiatan keseharian mereka atau mampu memandirikan mereka.
Kemandirian mereka merupakan tujuan dalam pendidikan yang diberikan kepada
penyandang tunagrahita. Kemandirian tersebut dimaksudkan melalui proses
pendidikan tunagrahita yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Kemandirian bagi anak tunagrahita memberikan harapan bagi keluarga dan
masyarakat, harapan ini akan terwujud apabila layanan dan pendidikan yang
diberikan dengan tepat.
Adapun alasan diberikannya pelayanan pendidikan kepada anak
tunagrahita adalah karena pendidikan merupakan hak asasi manusia (human
right) yang paling mendasar bagi setiap manusia , tidak terkecuali bagi anak luas
biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam UUD 1945 antara lain dijelaskan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Hal ini berarti anak dengan kebutuhan khusus juga mempunyai hak
dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Pengakuan atas hak
pendidikan bagi setiap warga negara, juga diperkuat dalam berbagai deklarasi
internasional pada tahun 1948 Deklarasi Hak Asasi Manusia mengeluarkan
6
pernyataan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar
(basic human right). Deklarasi tersebut diperkuat lagi dalam Convention On The
Right Of The Child yang diselenggarakan oleh PBB (1989) dan telah diratifikasi
oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu hasil identifikasi terhadap keterbatasan anak tunagrahita,
khususnya tunagrahita sedang adalah adanya gangguan motorik halus.
Gangguan motorik halus merupakan gejala yang umum ditunjukan oleh anak
tuna grahita sedang, diantaranya gerak merespon berupa kemampuan untuk
menangkap dan gerak aktif melempar. Gangguan motorik halus pada anak
tunagrahita sedang dapat ditangani melalui kegiatan pembelajaran pendidikan
jasmani adaptif (penjas adaptif), yaitu pendidikan jasmani yang telah
disesuaikan dengan keadaan atau kekhususan anak tunagrahita sedang,
diantaranya keterbatasan dalam gerak motorik halus. (Hasil wawancara dengan
pembina mata pelajaran Penjas SLB Negeri Pembina Mataram, Winarna, 2011)
Perkembangan motorik pada anak normal sangat dipengaruhi oleh
bertambahnya usia anak. Motorik itu sendiri terdiri dari motorik kasar dan halus,
motorik kasar adalah kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot besar yang
merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali dengan kemampuan
berjalan, kemudian lari, lompat dan lempar. Motorik halus adalah kemampuan
anak dalam melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu
dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat
seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis.
7
Seorang anak yang memiliki kelainan dalam kecerdasan IQ, atau juga
memiliki kecerdasan yang dibawah normal (rata-rata) biasa dikenal dengan
tunagrahita, dalam perkembangan motorik yang dimilikinya tidak sebanding
dengan bertambahnya usia mereka. Tunagrahita mengacu pada tidak
berfungsinya intelektual yang disertai ketidakmampuan adaptasi perilaku dan
terjadi selama masa perkembangan.
Motorik halus merupakan perkembangan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi.
Motorik halus merupakan pengendalian kelompok otot yang lebih kecil dan dapat
digunakan untuk menggenggam, menulis, dan mempergunakan alat. Gerakan
terampil belum dapat dikuasai sebelum mekanisme otot anak berkembang. Anak
harus mempelajari kemampuan motorik agar mampu melakukan sesuatu bagi diri
anak sendiri.
Optimalisasi kemampuan anak tunagrahita dengan tingkat kecacatan
sedang yang mempunyai gangguan motorik halus melalui pembelajaran
penjas adaptif yang harus dirancang secara khusus baik dalam aspek strategi
maupun aspek model pembelajaran. Fokus permasalahan penelitian ini adalah
“Bagaimanakah model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif yang efektif
digunakan untuk menangani gangguan motorik halus pada anak tunagrahita
sedang?” merupakan masalah yang dipilih penulis, karena permasalahan ini
dianggap penting dan berkaitan dengan posisi tugas penulis sebagai guru
Pendidikan Jasmani dan Pengurus Propinsi SOINA (Special Olympic Indonesia)
NTB yang menangani anak-anak tuna grahita pada khususnya.
8
Berdasarkan penerapan dan kenyataan pelaksanaan pembelajaran yang
ada, maka timbul pertanyaan, apakah program-program pembelajaran pendidikan
jasmani yang digunakan untuk anak berkebutuhan khusus (tuna grahita) sudah
tepat atau tidak? apa sajakah dan penangan seperti apa yang dibutuhkan dalam
pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus (tuna
grahita)? atau aspek-aspek apa saja yang belum mendapat penekanan atau
perhatian dalam pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan
khusus (tuna grahita) ?
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada hasil observasi awal, penulis membatasi kajian pada
fokus permasalahan yang akan diteliti berkaitan dengan pembelajaran
pendidikan jasmani adaptif untuk menangani gangguan motorik halus pada
anak tunagrahita tingkat sedang, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif yang efektif untuk
optimalisasi gerak motorik halus (fine motor skill) bagi tunagrahita tingkat
sedang, di SLB Negeri Pembina Mataram?
2. Seberapa besar kontribusi pendidikan jasmani adaptif terhadap optimalisasi
gerak motor halus (fine motor skill) pada anak tunagrahita tingkat sedang di
SLB Negeri Pembina Mataram?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi optimalisasi gerak motor halus
(fine motor skill) pada anak tunagrahita tingkat sedang di SLB Negeri
Pembina Mataram?
9
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang terdapat dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif yang
efektif untuk optimalisasi gerak motorik halus (fine motor skill) pada
anak tunagrahita tingkat sedang, di SLB Negeri Pembina Mataram.
2. Mengetahui seberapa besar kontribusi pembelajaran pendidikan
jasmani adaptif yang tepat pada anak tunagrahita untuk optimalisasi
gerak motor halus (fine motor skill) di SLB Negeri Pembina Mataram
4. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
optimalisasi gerak motor halus (fine motor skill) pada anak tunagrahita
di SLB Negeri Pembina Mataram.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian diharapkan akan memberikan kontribusi dan manfaat
teoritis dan manfaat praktis bagi penyusun dan sekolah yang dalam hal ini SLB
Negeri Pembina Mataram.
1. Manfaat Teoritis
Sebagai refrensi ilmiah, kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan
terutama dalam bidang pendidikan jasmani (adaptif) yang dikhususkan untuk
anak tunagrahita sedang.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. Peneliti
10
1. Untuk memperoleh inspirasi, persepsi dan wawasan dalam menggali
dan mengekspresikan pengetahuan melalui penulisan ilmiah yang
praktis untuk meningkatkan pembelajaran.
2. Memberikan deskripsi tentang pelayanan dan pembelajaran yang
efektif kepada anak tunagrahita dalam meningkatkan gerak motor
halus (fine motor skill)
3. Memberikan dorongan dan motivasi untuk belajar lebih banyak serta
mendapatkan pengalaman yang berharga berkaitan dengan kajian
keilmuan dalam bidang pendidikan jasmani adaptif di masa yang akan
datang.
b. Sekolah
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi ilmiah kepada
sekolah terutama untuk para guru dalam hal :
1. Memberikan masukan kepada para guru tentang bagaimana
pendekatan model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif yang
efektif untuk penanganan anak tunagrahita.
2. Mengembangkan model pendidikan jasmani adaftif yang efektif untuk
menangani masalah gerak motor halus (fine motor skill) pada anak
tuna grahita.
3. Memberikan masukan kepada instansi terkait untuk meningkatkan
mutu pembelajaran melalui penerapan model-model pembelajaran
yang efektif untuk penanganan masalah pembelajaran bagi anak tuna
grahita.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada dasarnya tidak ada anak manusia yang diciptakan sama yang satu
dengan lainnya. Tidak ada satu anak manusia tidak memiliki kekurangan. Tidak
ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang
kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang Ibu
yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan. Maka sejak
kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus
(ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila
ABK akan menghadapi banyak tantangan dan permasalahan mualai dari
lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.
Kelahiran dan keberadaan anak yang mempunyai kelainan tidak mengenal
apakah mereka dari keluarga kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak
berpendidikan, apabila Tuhan Yang Maha Kuasa telah menggariskan dan
menghendaki suatu keluarga untuk dititipi seorang ABK maka kemungkinan
semua itu bisa terjadi, akan tetapi perlu diingat bahwa Tuhan tidak melihat
manusia dari segi fisik atau dari kecacatan yang dimiliki, Tuhan melihat manusia
itu dari segi ketaqwaan dan kepatuhan kepada-Nya.
Keberadaan anak yang mempunyai kebutuhan khusus bukan berarti
sebagai sebuah kutukan dan akhir dari segalanya, tapi merupakan ladang amal
untuk selalu memberikan yang terbaik bagi mereka yang mempunyai kebutuhan
khusus, terutama mereka yang selalu terpinggirkan dari segi perhatian dan
kesempatan meraih pendidikan. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk
12
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakatdan bangsa.
Mereka memiki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan yang sama seperti
saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.
Sebelum tahun 1959 anak-anak yang tergolong tunagrahita akan
dimasukkan kedalam isntitusi yang amat membatasi perkembangan anak
tunagrahita . Apabila anak tunagrahita telah mamasuki institusi tersebut tidak
akan mengalami perkembangan-perkembangan yang memuaskan. Pendidikannya
pun amat terbatas sehingga kemampuan dan keterampilan anak tunagrahita tidak
berkembang.
Setelah tahun 1959 mengenai hak asasi manusia berubah pandangan
mengenai hak asasi anak tunagrahita berubah. Hal ini tampil dalam cara
penanganan anak tunagrahita. Bersamaan dengan itu semenjak tahun 1959
dengan berkembangnya konsep-konsep behavioral berkembang pula teknik-
teknik dalam pengajaran yang dilandasi oleh prinsip-prinsip belajar tersebut.
Khusus untuk anak tunagrahita berkembang pula Metode Analisis Tingkah Laku,
Analisis Instruksional, Analisis Tugas, dan lain sebagainya yang dirancang untuk
meningkatkan kemampuan tingkah lakunya.
Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar
(SD) umum dimanapun adanya, melarang ABK untuk masuk di sekolah tersebut.
Bersama Guru Pembimbing Khusus yang telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan PLB (Pendidikan Luar Biasa), Sekolah dapat merancang pelayanan
PLB bagi anak tersebut yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak.
13
Apakah anak tersebut membutuhkan kelas khusus, program khusus dan atau
layanan khusus tergantung dari tingkat kemampuan dan kondisi kecacatan anak.
Semakin dini diberi kesempatan berinteraksi dengan anak seusianya,
semakin kuat dan berkembang mental ABK menghadapi tantangan lingkungan
sosial. Anak dengan kebutuhan khusus juga akan jauh lebih berkembang bila
dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan. Semakin
dini mendapatkan layanan pendidikan semakin baik hasil yang diperoleh. Sesuai
dengan pengalaman, keuntungan PLB di lingkungan sekolah biasa ini tidak hanya
diperoleh anak saja saja tetapi juga dialami oleh orang lain anak lainnya.
Banyak orang awam yang berpandangan dan berpendapat yang salah
tentang pendidikan bagi ABK. Seolah olah Pendidikan Luar Biasa itu hanya ada
di Sekolah Luar Biasa. Sehingga sering orang bila menemukan anak menyandang
kelainan atau ABK ia langsung menyuruh untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa
(SLB). Hal ini merupkan hal yang keliru, sebab SLB bukanlah lingkungnnya.
Lingkungan Anak yang mempunyai kebutuhan khusus sama dengan lingkungan
anak pada umumnya yang normal. Ia berada dilingkungan SLB bila di Sekolah
Biasa sudah tidak dapat menangani pendidikannya, atau memang kehendak dan
hak dari anak itu sendiri.
Mengacu pada perkembangan Paradigma baru tentang PLB dan hak asasi
anak , maka Pendidikan Luar Biasa bergerak dari pendidikan yang bersifat
terpisah atau bersifat segregasi kearah pendidikan bersifat integrasi (terpadu).
Kenyataan di Indonesia yang tidak bisa disangkal, SLB masih dominan sebagai
tempat pendidikan formal anak berkebutuhan khusus. Dimanapun ABK
14
bersekolah pembelajaran adaptif tetap dibutuhkan. Untuk itu maka pembahasan
tentang pembelajaran adaptif ini dirancang untuk dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pembelajaran oleh guru PLB pada ABK.
2.1 Hakekat Pendidikan Adaptif
Pada dasarnya pembelajaran adaptif atau biasa disebut dengan istilah
Special Education merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari, dilaksanakan dan
memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dengan
demikian pembelajaran adaptif bagi anak yang mempunyai kebutuhan khusus
pada hakekatnya adalah Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab didalam
pembelajaran pendidikan adaptif bagi ABK yang dirancang adalah pengelolaan
kelas, program dan layanannya.
Pendidikan Luar Biasa adalah pendidikan biasa yang dirancang,
diadaptasikan sesuai dengan karakteristik masing-masing kelainan anak sehingga
memenuhi kebutuhan pendidikan ABK. Rancangan Pendidikan Luar Biasa terdiri
tiga komponen pokok kelas, program dan layanan. Ketiga komponen tersebut bila
dirancang dengan baik dan sempurna akan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi
Anak Berkebutuhan Khusus. Dengan demikian Pendidikan Luar Biasa adalah
Pembelajaran yang dirancang untuk merespon atau memenuhi kebutuhan anak
dengan karakteristik yang unik dan tidak dapat dipenuhi kurikulum sekolah biasa,
sehingga perlu diadaptasi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dengan uraian tentang Hakekat Pembelajaran adaptif di atas, maka secara
operasional di lapangan pengertian Pendidikan Luar Biasa dapat diartikan sebagai
15
kelas khusus, program khusus dan atau layanan khusus yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
2.2 Pengertian Pendidikan Jasmani Adaptif
Pengertian pendidikan jasmani adaptif pada dasarnya merupakan
pendidikan jasmani seperti pada umumnya atau sama dengan pendidikan jasmani
biasa. Pendidikan jasmani merupakan salah satu aspek dari seluruh proses
pendidikan secara keseluruhan.
Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan
yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui,
menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor.
Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam ranah psikomotor.
Masalah psikomotor sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan sensomotorik,
keterbatasan dalam kemampuan belajar. Sebagian ABK bermasalah dalam
interaksi sosial dan tingkah laku. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar
dan akan mampu mengembangkan dan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan
tersebut.ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning
Disabilities) dalam Lovitt, (1989) Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi
kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu
perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal
atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi tergolong rata-
rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk belajar. Mereka
tidak memilikigangguan sistem sensoris.
16
Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut
ini: Klasifikasi kesulitan belajar yang bersifat perkembangan (Praakademik)
meliputi beberapa hal yaitu :
a. Gangguan Perkembangan Motorik (Gerak)
Gangguan pada kemampuan melakukan gerak dan koordinasi alat gerak.
Bentuk-bentuk gangguan perkembangan motorik meliputi; motorik kasar
(gerakan melimpah, gerakan canggung), motorik halus (gerakan jari jemari),
penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan lateralisasi (arah).
b. Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat
indera. Gangguan tersebut mencakup pada proses:
- Penglihatan,
- Pendengaran,
- Perabaan,
- Penciuman, dan
- Pengecap.
17
c. Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang
diinderai)
Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari
proses penginderaan sehingga menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-
bentuk gangguan tersebut meliputi:
- Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek
yang didengarkan.
- Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang
dilihat.
- Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami
objek yang bergerak atau digerakkan.
- Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek.
- Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
- Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.
d. Gangguan Perkembangan Perilaku
Gangguan pada kemampuan menata dan mengendalikan diri yang bersifat
internal dari dalam diri anak. Gangguan tersebut meliputi:
- ADD (Attention Deficit Disorder) atau gangguan perhatian
- ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan
perhatian yang disertai hiperaktivitas.
18
2.3 Deskripsi Tunagrahita
Beberapa pandangan yang salah (mitos) kenyataan yang ada (fakta) tentang
anak tuna grahita
1. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual seumur hidup. Fungsi
intelektual tidak statis. Khususnya bagi anak dengan perkembangan
kemampuan yang ringan dan sedang, perintah atau tugas yang terus
menerus dapat membuat perubahan yang besar untuk dikemudian hari.
2. Anak tunagrahita hanya dapat mempelajari hal-hal tertentu saja. Belajar
dan berkembang dapat terjadi seumur hidup bagi semua orang. Jadi
siapapun dapat mempelajari sesuatu, begitu juga dengan anak tunagrahita.
3. Anak tunagrahita secara fisik kelihatan berbeda dengan anak-anak lain.
Kelompok tertentu, termasuk beberapa dari Down syndrom, memiliki
kelainan fisik dibanding teman-temannya, tetapi mayoritas dari anak
tunagrahita terutamayang tergolong ringan, terlihat sama seperti yang
lainnya.
4. Sebagian besar anak dengan keterbelakangan perkembangan sudah
teridentifikasi pada saat bayi. Dari kebanyakan kasus banyak anak
tunagrahita terdeteksi setelah masuk sekolah.
5. Tidak mungkin menggabungkan anak tunagrahita dalam satu lingkungan
belajar dengan anak reguler. Siswa/i dengan masalah intelektual selalu
belajar lebih keras dan belajar lebih baik jika mereka berintegrasi dengan
siswa reguler.
19
6. Dari segi tahapan, pekembangan tunagrahita sangat berbeda pada tingkat
pemahamannya dibanding dengan & orang normal. Mereka berkembang
pada jenjang yang sama, tetapi tak jarang lebih lambat.
7. Hasil tes tunagrahita biasanya mempunyai kemampuan paling tidak pada
garis batas antara IQ rata-rata dan IQ dibawah rata-rata (borderline), dan
tentu kemampuan adaptifnya juga dibawah normal. Tes IQ mungkin bisa
dijadikan indikator dari kemampuan mental seseorang. Kemampuan
adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Latihan,
pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya
pada kemampuan adaptif seseorang.
8. Siswa-siswi Down Syndrome menyenangkan dan penurut. Banyak
penyandang Down Syndrome menyenangkan dan penurut, tetapi seperti
orang kebanyakan baik dengan kelainan atau tanpa kelainan, mereka juga
mengalami stres dan bereaksi karena suatu penyebab. 9 Seseorang anak
yang telah ter- diagnosa tunagrahita tingkat tertentu, tidak akan berubah
selama hidupnya Tingkat fungsi mental mungkin saja dapat berubah
terutama pada anak tunagrahita yang tergolong ringan.
2.4 Peristilahan Dan Batasan-Batasan Tunagrahita
Peristilahan Tunagrahita (B3PTKSM, p. 19) Tunagrahita merupakan kata
lain dari Retardasi Mental (mental retardation) Tuna berarti merugi. Grahita
berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti
terbelakang mental.
20
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah fikiran ( feeble-minded);
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded);
3. Bodoh atau dungu (Idiot);
4. Pandir (Imbecile);
5. Tolol (moron);
6. Oligofrenia (Oligophrenia);
7. Mampu Didik (Educable);
8. Mampu Latih (Trainable);
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat;
10. Mental Subnormal;
11. Defisit Mental;
12. Defisit Kognitif;
13. Cacat Mental;
14. Defisiensi Mental;
15. Gangguan Intelektual
American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p.
20), mendefinisikan Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi
intelektual umum di bawah ratarata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah
berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan
hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut
Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22)
sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan
21
tes inteligensi baku. Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa
perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Anak yang
mengalami tunagrahita adalah mereka yang mengalami penyimpangan 2 (dua)
standar deviasi, yaitu: mereka yang ber IQ 70 ke bawah menurut skala Wechsler,
sedangkan mereka yang ber IQ antara 71 & ndash; 85 termasuk tunagrahita
borderline (Brown) et. Al., 1996). Pendapat lain mengatakan, bahwa anak
tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ 70 ke bawah. Hallahan, 1988,
mengestimasikan jumlah penyandang tunagrahita adalah 2,3 %.
Namun pada tahun 1984, Annual Report to Congress menyebutkan 1,92 %
anak usia sekolah menyandang tunagrahita dengan perbandingan laki-laki 60%
dan perempuan 40% atau 3 : 2. Pada Data Pokok Sekolah Luar Biasa (p.11, 2003),
dilihat dari kelopok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang
menyandang kelainan adalah 48.100.548 orang, jadi estimasi jumlah penduduk di
Indonesia yang menyandang tunagrahita adalah 2 % X 48.100.548 orang =
962.011 orang.
Difinisi yang dikembangkan oleh WHO sebagai mana dikutip Widati
(2007 ; 261) mengemukakan bahwa tunagrahita adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh
kendala keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada
semua tingkatan intelegensi, kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.
Anak tunagrahita sedang disebut juga anak terbelakang mental sedang atau
imbesil. Anak tunagrahita sedang menunjukan kecerdasan di bawah rata- rata,
kelompok ini diidentifikasi memiliki IQ 36-51 pada skala Binet dan 40-54
22
menurut Skala Weschler (Sucihati 2007; 107). Sesungguhnya anak
tunagrahita sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai
kurang lebih 7 tahun usia anak dengan kecerdasan normal.
Anak tunagrahita terutama tunagrahita sedang mempunyai beberapa
dari fungsi tubuhnya yaitu fisik maupun psikisnya tidak dapat bekerja
secara wajar. Oleh karena itu untuk mengatasi atau membantu anak-anak
tunagrahita bukanlah dengan jalan medis, tetapi diberikan latihan-latihan
gerak dengan pengawasan dan pembinaan yang lebih seksama serta penuh
kesabaran dan ketekunan
Latihan-latihan gerak dapat diberikan dalam proses pembelajaran
pendidikan jasmani adaptif, yaitu pendidikan jasmani yang telah
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak tunagrahita. Untuk mengetahui
kebutuhan belajar anak tunagrahita khususnya anak tunagrahita sedang harus
dilakukan identifikasi hambatan-hambatan belajar yang dihadapi mereka.
Mengidentifikasi hambatan-hambatan ini penting artinya, karena dari
hambatan itulah kita akan melihat secara nyata aspek dan lingkup yang mana
kebutuhan itu dapat kita lokalisir secara jelas.
2.5 Hambatan-Hambatan Belajar Pada Anak Tuna Grahita Sedang
Hambatan belajar pada anak tunagrahita sedang sangat esensial,
menurut Mulyono A (2003 : 143 - 149), ada dua macam keterbatasan atau
gangguan belajar, yaitu keterbatasan atau gangguan belajar yang bersifat
perkembangan (developmental learning disabilitas). Dan bersifat akademik
(academic learning disabilitas). Kesulitan belajar yang bersifat
23
perkembangan mencakup berbagai kesulitan yang berkaitan dengan
penguasaan prasyarat (prerequisite skills) yang diperlukan oleh anak untuk
belajar berbagai bidang akademik.
Menurut M. Umar DM (2008; 1) Secara umum hambatan belajar
yang dihadapi anak tunagrahita mencakup hambatan yang berkebutuhan
dengan masalah perkembangan (1) kognitif, (2) motorik, dan (3) perilaku
adaptif. Hasil penelitian Hardman dan Drew sebagai mana dikutip M. Umar
DM menunjukkan adanya korelasi yang positif antara derajat
ketunagrahitaan dengan masalah-masalah fisik. Semakin berat ketunagrahitaan
seseorang, semakin besar kemungkinan terjadinya masalah-masalah yang
berkaitan dengan fisik.
Lebih lanjut Harman dan Drew mengemukakan bahwa penampilan
fisik pada anak tunagrahita berat nampak semakin nyata, sementara
penampilan fisik pada anak tunagrahita ringan hampir tidak menunjukkan
perbedaan dari keberadaan fisik anak-anak pada umumnya. Kondisi fisik erat
kaitannya dengan masalah motorik, pada anak tunagrahita gangguan dalam
motorik seringkali muncul dan menghambat belajar mereka.
Berkenaan dengan hal ini. Newell. C Kephart (1982:34) meyakini
bahwa segala perbuatan manusia mempunyai dasar, yaitu motorik. Dari
motorik-motorik inilah manusia membuat generalisasi-generalisasi untuk
melakukan perbuatan-perbuatan selanjutnya. Kephart (dalam Suhaeri
HN:1987) mendasarkan teori belajar pada 4 generalisasi motor, yaitu (1)
Postur dan keseimbangan, (2) kontak, (3) lokomotor, (4) menerima dan
24
mendorong.
Menurut Piaget seperti dikutip oleh Lerner (1981 : 189), belajar
sensorimotor pada masa dini merupakan bangunan dasar bagi perkembangan
perceptual dan kognitif yang lebih kompleks. Sensorimotor adalah
gabungan antara masukan sensasi (input of sensation) dengan keluaran aktivitas
motorik (output of motor activity).
Menurut Myers (1986 : 1400) sensasi (sensasion) adalah proses
dirasakan dan dialaminya energi rangsangan tertentu oleh indra kita. Adanya
sensasi tersebut menunjukan adanya suatu proses yang terjadi di dalam system
saraf pusat. Manusia memiliki enam indra sebagai saluran penerima data
dasar dari lingkungannya, yaitu penglihatan (visual), pendengaran (auditory),
perabaan (tactile), kinestetik (knesthetik), penciuman (olfactory) dan pengecap
(gustatory).
Menurut Lerner (1981 : 189), ada beberapa penulis menyebut
sensorimotor dengan perceptual-motor. Perseptual-motor merupakan interaksi
dari berbagai macam saluran persepsi dengan aktivitas motorik. Menurut
Myers (1986 : 140), persepsi adalah organisasi dan interpretasi infomasi
sensoris, yang memungkinkan kita menyadari berbagai objek dan peristiwa
dengan penuh arti. (Lerner, 1981:189) mendefinisikan persepsi sebagai proses
pengorganisasian data kasar yang dicapai melalui berbagai indra dan
interpretasi makna mereka; sedangkan informasi perceptual adalah perbaikan
dari informasi sensoris.
25
Dalam proses belajar motorik, beberapa saluran sensasi atau persepsi
terintegrasi satu sama lain dan terkait dengan aktivitas motorik, yang pada
gilirannya menyediakan informasi balikan untuk mengoreksi persepsi.
2.6 Gangguan Motorik Anak Tuna Grahita Sedang
Anak tunagrahita sedang menunjukan gejala kurang koordinasi dalam
aktivitas motorik, termasuk hambatan dalam koordinasi motorik halus yang
ditunjukan dalam respon gerak dan otot dengan pola rendah dan kurang
bervariasi sebagai mana disebutkan N. Kephart ( dalam Lerner 1988:
276 ), kesulitan belajar bagi anak tunagrahita sedang terjadi karena respon
motorik anak tidak berkembang kedalam pola-pola motorik, akibatnya
keterampilan motorik anak tunagrahita sedang rendah dan kurang bervariasi.
Keterampilan motorik adalah kegiatan motorik yang mungkin
memiliki derajat ketelitian yang tinggi, yang bertujuan untuk menampilkan
suatu perbuatan khas atau menyelesaikan suatu tujuan tertentu. Sedangkan
Pola motorik mungkin memiliki derajat ketelitian yang lebih rendah tetapi
memiliki variabilitas yang tinggi. Kegunaan pola motorik lebih luas, tidak
hanya untuk penampilan, tetapi juga menyediakan umpan balik dan
informasi yang lebih banyak kepada individu. Sebagai contoh, melemparkan
bola kesasaran tertentu adalah suatu keterampilan motorik, tetapi kemampuan
menggunakan keterampilan tersebut sebagai permainan dari bola basket
adalah suatu pola motorik.
Larnet mengemukakan bahwa kurang koordinasi dalam aktivitas
motorik, hambatan dalam koordinasi motorik halus (Y, Suherman, 2005:47)
26
merupakan gejala yang ditunjukan oleh anak tunagrahita sedang. Gangguan
perkembangan motorik sering diperlihatkan dalam bentuk adanya gerakan
melimpah (overflow movements) (ketika anak ingin menggerakan tangan
kanan, tangan kiri ikut bergerak tanpa sengaja), kurang koordinasi dalam
aktivitas motorik, kesulitan dalam koordinasi dalam motorik halus, kurang
dalam penghayatan tubuh), kekurangan pemahaman dalam hubungan
keruangan atau arah, dan bingung lateralitas (Lerner, 1981: 189). Berbagai
gejala gangguan perkembangan motorik tersebut sering dengan mudah dapat
dikenali pada saat anak berolah raga, menari, atau belajar menulis.
Keterampilan-keterampilan gerak manipulatif seperti; melilit (throwing),
menusukkan atau memasukkan (striking), dan menarik (catching).
Aktivitas ini dikatagorikan ke dalam motorik halus. Seseorang yang
mengalami hambatan dalam motorik halus, seringkali menghadapi masalah
ketika mereka belajar menulis atau menggambar dan ketika melakukan
pekerjaan seperti, mengancingkan baju, menalikan tali sepatu, menarik
sleting, memegang sendok dan garpu. Kesulitan ini akan lebih nampak terutama
pada mereka yang derajat ketunagrahitaannya tergolong sedang dan berat.
Pendidikan olah raga yang disesuaikan (adaptif) atau pendidikan jasmani adaptif
merupakan program yang dirancang untuk anak berkebutuhan khusus dalam
upaya mengoptimalkan kurang koordinasi dalam aktivitas motorik,
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Setting Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SLB Negeri Pembina Mataram
Propinsi NTB. SLB Negeri Pembina Mataram ini dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan mempertimbangkan dan memperhatikan model pelayanan gerak yang
diberikan dalam hal pendidikan jasmani untuk meningkatkan gerak motor halus
anak tunagrahita, karena anak tunagrahita merupakan anak–anak yang terlahir
tidak sempurna dan mengalami keterbelakangan mental yang perlu pelayanan
khusus.
Penelitian ini diperkirakan memerlukan waktu selama enam bulan dengan
rincian : satu bulan pertama untuk proses pengurusan ijin dan penyusunan
isntrumen, bulan kedua revisi, empat bulan untuk proses pengumpulan data dan
pemeriksaan keabsahan dat, serta analisis dan penyusunan laporan.
3.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Beberapa alasan kenapa penilitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, antara lain; (1) karena fokus penelitian ini
adalah bagaimana pendekatan model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif
yang efektif untuk meningkatkan gerak motor halus (fine motor skill) pada anak
tunagrahita di SLB Negeri Pembina Mataram, (2) data yang di peroleh baik
berupa informasi, gejala amatan, keterangan, dan hasil-hasil pengamatan lainnya
28
tentang pelaksanan model pembelajaran pendidikan jasmani adaptif di SLB
Negeri Pembina Mataram
3.3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita tingkat sedang yang
berstatus sebagai siswa SLB Negeri Pembina Mataram Propinsi Nusa Tenggara
Barat dari semua angkatan. Sebagai bahan acuan dan untuk melengkapi data
penelitian ini peneliti juga memilih subjek penelitian mencakup orang tua murid
tunagrahita.
3.4. Data dan Sumber Penelitian
Sumber data dalam penelitian yang akan dilakukan adalah (1) subjek
penelitian yaitu anak tunagrahita sedang pada tahun pelajaran 2012-2013
duduk di kelas 2 SLB, (2) Partisipan yang terdiri atas orang tua siswa, guru, (3)
dokumen program pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, (4) dokumen pendukung yang terdiri dari, biodata siswa, dan hasil
asesmen siswa.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
1) Pengamatan
Pengamatan dilakukan kepada proses pembelajaran yang dilakukan oleh
guru pelayanan gerak kepada anak tunagrahita. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh data tentang bagaimana proses pelayanan gerak yang diberikan
kepada anak tunagrahita tingkat sedang
2) Wawancara
29
Wawancara atau interview merupakan metode pengumpulan data yang
menghendaki komunikasi langsung antara peneliti dengan subyek atau
responden. Wawancara dipandang sebagai teknik pengumpulan data dengan cara
tanya jawab lisan yang dilakukan oleh dia orang atau lebih, satu pihak sebagai
pencari data (interviewer) pihak yang lain sebagai sumber data (interviewee)
dengan memanfaatkan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar
(Anwar Sutoyo, 2009 : 135)
Wawancara dilakukan kepada guru pembina gerak dan orang tua murid.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai pembinaan dan proses
pembelajaran yang diberikan kepada anak tunagrahita tingkat sedang untuk
meningkatkan gerak motor halus (fine motor skill)
3) Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk melengkapi dan menambah validitas yang
diperoleh melalui wawancara dan observasi. Sumber informasi yang
didokumentasikan adalah sumber informasi yang sangat penting dan dapat
menggambarkan kegiatan secara aktual. Sumber primer yang didokumentasikan
dalam penelitian adalah dokumen secara tertulis yang telah ditetapkan oleh
Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam memberikan pelayanan kepada anak-anak
penyandang keterbelakangan mental. Data tersebut berupa
4) Telaah Pustaka
Sumber bahan bacaan yang menjadi rujukan meliputi buku-buku,
jurnal, majalah dan rujukan lainnya yang berhubungan dengan tujuan
pendidikan agar dapat membantu dalam proses penajaman konsep dan teori
30
dalam penelitian ini. Pentingnya bahan bacaan bagi peneliti karena akan
mempermudah dalam mengungkapkan dan menganalisis setiap peristiwa atau
hal-hal yang diteliti. dengan memahami dan menguasai konsep serta teori
yang berhubungan dengan kajian penelitian,
3.6. Keabsahan Data
Pengujian keabsahan data hasil penelitian dilakukan melalui
pengecekan, pemeriksaan, hal ini sebagai mana dikemukakan oleh (Moleong,
2000) “merupakan tahapan pemeriksaan keabsahan data hasil penelitian untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut“
Kriteria untuk menguji keabsahan data dilakukan melalui pengujian :
1. Derajat Kepercayaan.
Berfungsi untuk menunjukan kepercayaan hasil penemuan penelitian
melalui pembuktian pada kenyataan ganda
2. Keteralihan
Berfungsi untuk menunjukan kesamaan data antara pengirim (responden)
dan penerima data (peneliti)
3. Kebergantungan
Berfungsi untuk mengecek apakah hasil penelitian itu benar atau salah
dengan cara mengenali konsep-konsep yang dihasilkan dari lapangan
melalui diskusi dengan pembimbing secara bertahap. Pada tahap ini dilakukan
pengecekan, pemeriksaan dari data yang telah diperoleh dari lapangan
terutama untuk memperoleh keabsahan data dilakukan cara-cara sebagai
berikut :
31
1. Membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara.
2. Membandingkan informasi dari orangtua dengan informasi dari anak
atas masalah yang sama.
3.7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, pengolahan data dikenal dengananalisis
data, yang bertujuan untuk mensistematisasi dan memilih data yang telah
didapatkan dari lapangan untuk selanjutnya data tersebut ditafsirkan.
Pekerjaan analisis data dalam penelitian kualitatif ini berupa mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, mereduksi, menyajikan, memverifikasi yang
bertujuan untuk menemukan tema dan menarik kesimpulan akhir yang dapat
diangkat menjadi teori substantif. (Moleong, 2000). Teknik analisis data adalah
upaya untuk meneliti dan menelaah kembali, apakah aspek dan fokus serta
pertanyaan yang akan rumuskan oleh peneliti didukung oleh data atau tidak ?
proses tersebut akan mengkondisikan peneliti untuk melihat kembali berbagai
aspek dan fokus serta pertanyaan penelitian yang telah dibuat sebelumnya.
Teknik analisis data (Matthew dan Michen dalam Hamid P, 2005 : 98) hasil
penelitian yang hendak dilakukan penulis sebagai berikut :
1. Reduksi data, bertujuan untuk menajamkan (membuat
ringkasan,menelusuri tema, membuat gugus-gugus tema) ,
menggolongkan (memberikan kode, mengelompokan), mengarahkan,
membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data.
32
2. Penyajian data, bertujuan untuk menyusun data agar teratur, ada
keterhubungan dan tidak terpencar-pencar sehingga memudahkan
untuk menganalisis, menafsirkan, menyusun kesimpulan.
3. Verifikasi dan penarikan kesimpulan, bertujuan untuk menemukan
arti, pola-pola, penjelasan, alur sebab-akibat dan proposisi
33
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Arma (1996). Pendidikan Jasmani Adapif. (Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan, Diretora Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik).
Arma Abdullah dan Agusmahadji. (1994). Dasar-dasar Pendidikan Jasmani. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anwar Sutoyo, 2009 Pemahaman Individu. Semarang : CV. Widya Karya
Bucher, Charles A. (1979). Administration of Physical Education & Athletics Programs. St. Louis: The C.V. Mosby Company
Hosni Irham. (2003). “Pembelajaran adaptif Untuk Sekolah Luar Biasa”. Jakarta. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan
I.G.A.K. Wardani, Tati Hernawaati dan Astati. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka
Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Peneltian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya
Miles and Huberman, 1992 Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) press
Pate, Russell R., Robert Rotella, and Bruce McClenaghan, Scientific Foundations of Coaching (New York: Saunders College Publishing, 1984).
Papalia, Diana E. (2009) Human Development (Jakarta: Salemba Humanika)
Supratiknya, (1999) (Identifikasi Anak Berkebutuhan khusus. Direktorat Pendidikan Luar Biasa
Tri Rahayuningsih. 2009. Pelayanan Pendidikan Anak Tuna Grahita Berbasis Visi Sekolah (Studi Kasus di SDLB Negeri Jepon Blora), Tesis PPS UNNES
.