repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF...

137
MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH (Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī) SKRIPSI Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag) Oleh: ARIF UBAIDILLAH NIM: 11140340000197 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH

(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)

SKRIPSI

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)

Oleh:

ARIF UBAIDILLAH

NIM: 11140340000197

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

i

MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH

(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)

SKRIPSI

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)

Oleh:

ARIF UBAIDILLAH

NIM: 11140340000197

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ii

MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH

(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)

Oleh:

Arif Ubaidillah

Dosen Pembimbing

Dr. Ahsin Sakho’ M. Asyrofuddin, MA

NIP: 19560821 199603 1 001

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Muwālāt al-Kuffār Dalam Q.S Al-Mumtahanah (Upaya

Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqasidi, telah diajukan dalam

Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag) pada

Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 09 Januari 2019

Sidang Munaqasyah

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Arif Ubaidillah

NIM : 11140340000197

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur'an dan Tafsir

Alamat Rumah : Margotuhu Kidul – Margoyoso - Pati

Judul Skripsi : MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-MUMTAHANAH

(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

PEDOMAN TRASLITERASI ARAB-LATIN

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K

Nomor: 158 Tahun 1987 Nomor: 0543 b/u/1987

1. Konsonan

No Arab Latin

Tidak dilambangkan ا .1

B ب .2

T ت .3

ṡ ث .4

J ج .5

ḥ ح .6

Kh خ .7

D د .8

Ż ذ .9

R ر .10

Z ز .11

S س .12

Sy ش .13

ṣ ص .14

ḍ ض .15

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vi

ṭ ط .16

ẓ ظ .17

‘ ع .18

g غ .19

f ف .20

q ق .21

k ك .22

l ل .23

m م .24

n ن .25

w و .26

h ه .27

’ ء .28

y ي .29

2. Vokal Pendek

= a ك ت ب kataba

= i سئ ل su’ila

= u ي ذه ب yażhabu

3. Vokal Panjang

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vii

qᾱla ق ال =… ا

= اي ق يل qīla

yaqūla ي قول = او

4. Diftong

kaifa ك يف ai = ا ي

ḥaula ح ول au = ا و

5. Kata Sandang (أل)

Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-‘, baik diikuti haruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah.

6. Tasydid (--- ---)

Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang

diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima

tanda syiddah tersebut terletak setelah huruf sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf al-syamsyiyyah. Misalnya, الشر ي ع ة tidak ditulis asy-syarī’ah,

tetapi ditulis al-syarī’ah.

7. Tā’ Marbuṭah

a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kata lain yang menjadi na‘t

atau sifat, ditulis h

Contoh:

jizyah: جزية

al-jāmi ‘ah al-islāmiyyah: اجلامعة اإلسالمية

b. Bila diharakati karena berkaitan dengan kata lain, ditulis t

Contoh:

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

viii

ni ‘mat Allāh : هللا نعمة

الفطر زكاة :zakāt al-fiṭr

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

ABSTRAK

ARIF UBAIDILLAH

MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-MUMTAHANAH (Upaya

Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam bangunan

toleransi dengan pendekatan maqāṣidī. Berusaha menjawab persoalan hubungan

antar umat beragama yang berangkat dari Q.S al-Mumtahanah, khususnya

menyangkut muwālāt al-kuffār. Dengan menggunakan metode tematik surah,

penulis menggunakan pendekatan Maqāṣidi untuk menganalisis ayat-ayat yang

dikaji. Dengan menggunakan pendekatan maqāṣidī sebagai basis interpertasinya,

peneltian ini juga berusaha mengungkap mana yang menjadi tujuan utama

(maqāṣid awaliyyah) dan mana tujuan sekunder (maqāṣid tābiiyyah) yang

mendasari pesan Tuhan. Juga untuk mengetahui apa illatnya. Penelitian ini

menemukan menemukan bahwa tafsir maqāṣidī memegang tiga prinsip utama,

yakni; prinsip pencarian al-maqṣūd ʻanhu, maksud yang ternarasikan dengan jelas

dalam naṣ. Prinsip kaidah al-ʻIbrah bi al-Maqāṣid dan prinsip kotekstualisasi

nalar teks yang menegaskan pentingnya reaktualisasi poin maqāṣid.

Berdasarkan hasil akhirnya, terkait analisis ayat muwālāt al-kuffār, penelitian ini menemukan: Pertama, nalar maqāṣid dan tujuan utama pelarangan

hubungan dengan non-Muslim itu karena permusuhan yang mereka lakukan pada

umat Islam, juga beberapa sifat buruk yang ada, sehingga dapat memberi dampak

negatif serta merugikan bagi umat Muslim. Kedua, adanya larangan ini guna

untuk menjaga kemaslahatan pribadi, maupun keseluruhan umat dan agama Islam,

juga pembangunan hubungan kemasyarakatan yang harmonis, Oleh karena itu jika

tidak ada indikasi demikian, maka hubungan kerjasama antar umat bergama itu

dipersilahkan, bahkan al-Qur’an menganjurkan persabahatan dengan mereka,

dalam kaitan pembinaan hubungan antar masyarakat. Ketiga, dari nalar ini

kemudian mengarahkan reaktualisasi poin maqāṣid bahwa pentingnya

menciptakan kemesraan antar umat beragama, pentingnya memantapkan

kesadaran pluralitas dan kemajemukan agama, budaya, suka bangsa dll,

melakukan tata kelola lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,

mengembangkan dialog antar pemeluk agama. Yang kesemuanya ini menjadi

kontruksi yang penting guna membangun paradigma toleransi dan persamaan

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan dengan ini semakin menegaskan

bahwa misi utama yang diusung al-Qur’an dalam kehidupan bermasayarakat

adalah persamaan, toleransi, egaliterisme, kemanusiaan serta persaudaraan.

Bahwa perbedaan yang ada tidak boleh mengalahkan prinsip-prinsip ini. Inilah

yang menjadi semboyan NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah menganugerhkan kepada

manusia potensi-potensi dasar agar mampu bersyukur kepada-Nya, yakni dengan

senantiasa mengasahnya sehingga mampu memahami ayat-ayat Allah demi

kemaslahatan umat. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi

Muhammad Saw., keluarga, para sahabat serta seluruh pengikut setianya sampai

hari kiamat.

Skripsi dengan judul MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-

MUMTAHANAH (Upaya Membangun Toleransi dengan Pendekatan

Maqāṣidī) ini dimaksudkan untuk mengungkap pentingnya sikap toleran dalam

kehidupan bermasyarakat, khsusunya mengenai hubungan antar umat beragama,

antar aliran, antar madzhab dll. Penelitian ini bukanlah akhir perjalanan akademis

penulis, justru ini merupakan titik awal untuk melakukan kajian-kajian lain

dibidang keagamaan, khususnya tafsir yang lebih berbobot.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis merasa berhutang budi kepada

semua pihak yang telah mengulurkan bantuan, baik moril maupun materiil,

sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu,

penulis perlu menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, secara

khusus, kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, H. Sudarto (alm) dan Hj. Masyfuatun yang

senantiasa melimpahkan kasih sayangnya dalam mendidik penulis, yang tidak

pernah lupa mendoakan, memberikan ridho, memotivasi penulis sehingga

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xi

bisa sampai titik seperti sekarang ini. Semoga selalu dalam limpahan rahmat

serta magfiroh Allah SWT. Tak lupa untuk adik-adik penulis, Ma’ruf

Syamsul Arifin dan Muhammad Luthfi Hakim yang selalu memberikan

supoortnya, semoga selalu kuat dalam mencari ilmu dimanapun berada.

2. Bapak Dr. Ahsin Sakho’ M Asyroffuddin, MA, sebagai pembimbing penulis,

yang telah memberikan arahan, nasehat, bimbingan, serta koreksian terhadap

skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

3. Seluruh pimpinan fakultas Ushuluddin, bapak Dekan, Prof. Dr. Masri

Mansoer, MA, besera seluruh jajarannya, khusunya kepada Ibu Dr. Lilik

Ummi Kaltsum, MA, selaku ketua program studi ilmu al-Qur’an dan tafsir,

yang telah banyak memberi arahan&nasehat pada penulis, ibu Banun

Binaningrum, M.Pd, selaku sekertaris jurusan ilmu al-Qur’an dan tafsir

4. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin, khususnya prodi di ilmu al-Qur’an dan

Tafsir yang telah mengajarkan dan memberikan ilmu serta informasi-

informasi ilmiah yang sangat berharga selama perkuliahan berlangsung.

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta segala kasih sayangnya

kepada beliau-beliau semua, agar selalu sabar dalam memberikan arahan

kepada kami semua.

5. Kepada seluruh para asātīẓ serta para masyāyīkh perguruan Islam Matho’liul

Falah yang telah banyak berjasa kepada penulis, karena kepada beliau-beliau

lah penulis belajar sejak kecil, selalu memberikan do’a serta ridho untuk

semua alumninya (termasuk penulis) untuk selalu mengembangkan khazanah

kelimuan, semoga senantiasa diberikan kesehatan lahir dan batin untuk

mengajar para santri-santrinya. Khusus kepada abah K.H Ahmad Zakki Fuad

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xii

Abdillah, selaku murabbi rūh, dimana penulis memulai ngaji dan setoran,

terima kasih tak terhingga atas segala nasihat yang selalu beliau sampaikan

kepada penulis, meski belum semua penulis bisa lakukan. Semoga Allah swt

selalu memberikan kesehatan dan menggangkat derajatnya. Jazākumullāh

ahsanaljazā.

6. Kepada Abah Dr. Ahmad Husnul Hakim MA, serta ibu Fadhilah Masrur MA,

yang nerupakan orang tua sosiologis, murabbi rūh, guru, dimana kepada

beliau berdualah penulis ngangsu kaweruh semenjak mulai sekolah di

Jakarta. Keuletan, kesabaran, uswah, nasihat serta wejangan-wejangan beliau

berdua sangat berarti bagi penulis, menjadikan penulis merasa sangat

beruntung dan tercover selama mondok di Elsiq. Untuk semua bentuk

kontribusi moril maupun materil semoga Allah memuliakan keduanya dan

mengangkat derajatnya. Jazākumullāh ahsanaljazā.

7. Bapak pimpinan Perpustakaan, khususnya di Perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi

al-Qur’an, yang telah memberikan banyak waktu bagi penulis sehinnga bisa

mengakses referensi-referensi yang berkitan dengan penelitian ini secara baik

dan lengkap.

8. Semua teman-teman serta saudara penulis yang ada dijakarta, khsusnya bulek

Iswatin, mbak Ainur, teman-teman KMF Jakarta, teman-teman Elsiq, teman-

teman peasntren bayt al-Qur’an, teman-teman IAT angkatan 2014, yang telah

memberikan masukan, ide, menjadi teman curhat, selalu ada saat suka dan

duka bagi penulis. Terima kasih atas segala support dan doanya, dan mohon

maaf atas kesalahan yang ada.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xiii

Akhirnya, sebagai kajian ilmiah, penulis sangat menyadari keterbatasan

kemampuan penulis, oleh karenya penulis sangat berharap adanya kritik yang

kontruktif agar kajian ini tidak melenceng dari nilai-nilai kebenarannya. Dan

kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik moril dan materil, penulis

hanya bisa mendo’akan semoga Allah memberi balasan yang setimpal. Amin

Ciputat, 17 Desember 2018

Arif Ubaidillah

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xiv

DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ v

ABSTRAK ........................................................................................................ ix

KATA PENGANTAR ....................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................ 10

C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12

F. Metodologi Penelitian .................................................................. 20

G. Sistematika Penulisan ....................................................................24

BAB II: TINJAUAN UMUM KONSEP TOLERANSI ................................ 26

A. Definisi Toleransi ........................................................................ 27

B. Term yang Menunjuk pada Toleransi dan Catatan Sejarahnya ..... 29

1. Dalam al-Qur’an .................................................................. 29

2. Dalam Hadis Nabi saw ......................................................... 33

3. Pada Masa Sahabat .............................................................. 39

C. Urgensi Toleransi dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ............. 41

D. Ayat-ayat yang Terkait dengan Toleransi ................................... 42

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

xv

BAB III: PENDEKATAN MAQĀṢῙD DALAM KAJIAN TAFSIR ............ 56

A. Maqāṣid al-Syarīʻah, Maqāṣid al-Qur’ān dan Tafsir Maqāṣīdī ... 56

B. Kajian Maqāṣid dalam Catatan Sejarahnya ................................. 61

C. Urgensi dan Manfaat Pendekatan Maqāṣīd dalam Kajian Tafsir .. 73

D. Alur Interpertasi Tafsir Maqāṣīdī ................................................ 77

E. Contoh AplikasiTafsir Maqāṣīdī ................................................ 85

BAB IV: ANALISIS MAQᾹṢID TERHADAP AYAT MUWĀLĀT AL-

KUFFĀR DALAM Q.S AL-MUMTAHANAH DAN POIN

REAKTUALISASINYA................................................................. 88

A. Analisis terhadap ayat muwālāt al-kuffār .................................... 89

a. Larangan bermuwālāt al-Kuffār ............................................. 89

b. Kebolehan bermuwālāt al-Kuffār ........................................... 98

B. Reaktualisasi poin Maqāṣid dalam konteks Indonesia ................ 105

a. Kebolehan bermuwālāt al-kuffār .......................................... 105

b. Menciptakan Hubungan Baik Antar Pemeluk Agama ........... 106

c. Pemantapan Kesadaran Pluralitas .......................................... 108

d. Tata Kelola lembaga Keagamaan .......................................... 109

e. Dialog Antar Pemeluk Agama ............................................... 110

BAB V: PENUTUP ........................................................................................ 113

A. Kesimpulan ................................................................................ 113

B. Saran-saran ................................................................................ 115

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 116

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam, sejatinya memiliki prinsip dan konsep tentang toleransi yang

kuat dan matang, yakni tentang keadilan (al-‘adᾱlah), keseimbangan (al-

tawᾱzun) dan toleransi (al-tasᾱmuh) adalah beberapa contohnya.1 Konsep

tersebut adalah bagian dari paham ahl al-sunnah wa al-jamᾱ’ah (Aswaja)2

yang dominan dianut oleh umat Islam Indonesia.3

1 Kata al-‘adl dalam al-Qur’an terdapat di beberapa ayat sebagai berikut: Q.S al-Naḥl: 90,

Q.S al-Nisᾱ’: 135, Q.S al-Mᾱidah: 8, dan lain sebagainya.

{90غي يعظكم لعلكم تذكرون }إن هللا يمر بلعدل واإلحسان وإيتآئ ذي القرب وي ن هى عن الفحشآء والمنكر والب

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi

kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil

pelajaran” (Q.S al-Naḥl: 90)

األق ربني إن يكن غنيا أو فقريا يأي ها الذين ءامنوا كونوا ق وامني بلقسط شهدآء هلل ولو علىأنفسكم أو الوالدين و {135بعوا الوى أن ت عدلوا وإن ت لوا أو ت عرضوا فإن هللا كان با ت عملون خبريا }فاهلل أول بما فال ت ت

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan

kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.

Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka

sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-

Nisᾱ’: 135)

أق رب للت قوى وات قوا هللا إن هللا ال ت عدلوا اعدلوا هو يأي ها الذين ءامنوا كونوا ق وامني هلل شهدآء بلقسط وال يرمنكم شن ئان ق وم على أ با ت عملون } {8خبري

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-

kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada

Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (Q.S al-

Mᾱidah: 8)

2 Sebuah paham keislaman Sunni yang bersumber dari apa yang dirumuskan oleh Imam

Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi di bidang akidah, mengikuti salah satu empat

madzhab di bidang syari’ah dan mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi dalam bidang

tawasuf. Kemenag RI, Tafsir Tematik, Moderasi Islam(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-

Qur’an, 2012), h. 20 3 Kemenag RI, Tafsir Tematik, Moderasi Islam, h, 20

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

Melalui konsep tersebut, Islam diharapkan mampu membangun,

memotori sekaligus menghadirkan masyarakat yang berperadaban tinggi dan

luhur, sehingga mampu menciptakan kehidupan yang harmonis dan sesuai

dengan selogannya, yakni rahmat li al-‘alᾱmīn. Untuk inilah, masyarakat

harusnya dapat menjunjung tinggi prinsip persaudaraan dan menghapus segala

bentuk fanatisme golongan, karena tujuan dari masing-masing agama adalah

menciptakan tatanan sosial yang utuh di bawah naungan ketuhanan.4

Tentu menjadi tugas semuas umat muslim, yakni menjelaskan kepada

masyarakat bahwa nilai dan ajaran Islam yang sesungguhya adalah saling

menghormati perbedaan dan keragaman. Dewasa ini, konsep tersebut mulai

pudar di kalangan umat Islam – Indonesia khususnya, disebabakan oleh

berbagai isu dan kepentingan yang ada.5 Dalam tradisi keagamaan, banyak

ditemukan klaim eksklusif yang menyatakan bahwa hanya paham mereka

yang paling benar.6

Pemahaman secara teksualis terhadap ayat-ayat al-Qur’an adalah salah

satu penyebab paling dominan dalam paham ini. Setidaknya, ada 3 ayat al-

Qur’an7 yang sering dijadikan sebagai pendukung paham eksklusif tersebut,

sehingga menyebabkan Islam seakan-akan tidak ramah dengan agama lain.8

4 Moeslim Abdurrahman, Islam Transformstif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h.148 5 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, (Ciputat:

Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013), h. 250 6 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme,

(Yogyakarta: Lkis, 2011), h. 324 7 Q.S Al-Imran:19 Misalnya,

ين عند ٱإن ٱلد ل ٱلل سإ تلف ٱوما م لإ ي ٱءهم بعإد ما جا ب إل من لإكت ٱ لذين أوتوا ٱخإ فرإ بـ ا بيإنهمإ لإعلإم بغإ فإن ٱت اي ومن يكإ لل

سريع ٱ لإحساب ٱلل

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-

orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai

sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)

pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan

sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.9

Sedangkan dalam Bahasa Arab modern, toleransi disebut dengan kata al-

tasᾱmuḥ atau al-samᾱḥah. Kata al-samᾱḥah, maknanya berkisar pada;

berbaik hati dan memberi secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah;

taat dan tunduk; kelapangan hati.10

Al-Tasᾱmuḥ adalah sikap toleran yang selalu menghargai perbedaan

cara pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.11 Sedangkan

prinsip toleransi, berfungsi untuk memastikan kehidupan yang damai dan

sejahtera. Hal ini merupakan cerminan dari kehendak Allah Swt,untuk

menjadikan Islam sebagai agama yang damai dan mampu mendamaikan;

kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka

sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Q.S Al-Imran: 85

ل ٱومن يبإتغ غيإر سإ ءاخرة من ٱا فلن يقإبل منإه وهو فى م دين لإ سرين لإخ ٱلإ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di

akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

dan Q.S Al-Maidah: 3

ت عليإكمإ نعإمتى ورضيت لكم ٱ ملإت لكمإ دينكمإ وأتإممإ م أكإ ل ٱلإيوإ سإ مصة غيإر متجانف ٱفمن ا م دين لإ طر فى مخإ ثإم ضإ فإن ل

غفور ٱ حيم لل ر

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 8 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap

Agama Lain, Terj. R.Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 84 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 1477 10 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, h,252 11 Soelaiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliyah-

Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), h. 13

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw., ketika mendamaikan

kaum al-Muhᾱjirīn dan al-Anṣᾱr12 dan antara suku Aus13 dan Khazrᾱj.14

Kata al-tasᾱmuḥ atau samaḥah dan segala derivasinya, tidak

ditemukan dalam al-Qur’an. Sedangkan dalam ḥadīṡ, dapat ditemukan dalam

ungkapan,“Ismaḥ yusmaḥ laka” (permudahlah, niscaya anda akan

dipermudah); juga dalam ungkapan “al-samaḥ rabaḥ” (memudahkan dalam

segala sesuatu akan menguntungkan pelakunya).15 Meskipun tidak ditemukan

dalam al-Qur’an, makna toleransi – seperti yang dikemukan sebelumnya, bisa

diidentifikasi dengan kata kunci seperti al-mawaddah, ar-raḥmah, al-‘afw,dan

lain-lain.16

Tidak kurang dari 6236 ayat 17 dan terbagi menjadi 114 surat,18 tidak

ada satupun teks yang secara tegas menyebut tentang toleransi, seperti yang

sudah penulis singgung di atas.Akan tetapi dapat diketahui melalui indikasi-

indikasi tentang toleransi yang biasa dipahami secara inplisit dari ayat-ayat

12 Merupakan sebutan untuk suatu kaum yang menerima hijrah Nabi Muhammad

Saw dari Makkah menuju Madinah. Sesampainya di Madinah, mereka menyambut Nabi dan

kaum Muhajirin dengan baik dan membantu perjuangannya. Hal ini karena sebelumnya telah ada

sebagian penduduk Madinah yang mengunjungi Makkah untuk menjadi pengikut Nabi

Muhammad. Lihat Juga M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan

Hadits-hadits Shahih(Jakarta: Lentera Hati, 2011) 13 Aus Dan Khazraj salah satu kabilah Arab yang tinggal di Madinah pada masa awal

penyebaran agama Islam. Nenek moyang Bani Aus berasal dari daerah Yaman, yang hijrah ke

Yathrib (nama lama Madinah) setelah terjadi bencana pecahnya bendungan Ma'rib. Sebelum

dipersaudarakan melalui piagam Madinah, kedua kabilah ini salinhg berlawanan satu dengan yang

lain, dan setelah masuk Islam keduanya disebut sebagai kaum Anshar. 14 Kemenag RI, Tafsir Tematik:Moderasi Islam, h. 36 15 Ibnu Atsir, al-Nihayah Fii Gharib al-Hadits wa al-atsar, (Beirut: Maktabah al-Ilmiah,

1979), v.2, h. 398 16 Mukhlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, h. 252 17 Moh Zahid,“Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jumlah Ayat Al-Qur’an dan

Implikasinya Terhadap Penertiban Mushaf Al-Qur’an di Indonesia,” Nuansa IX no. 1 (Januari-

Juni 2012), h. 27 18 Pendapat lain mengatakan bahwa jumlah surat dalam al-Qur’an berjumlah 113, yakni

dengan menggabungkan surat al-Anfᾱl dan surat al-Barᾱah menjadi satu. Lihat, Imam Jalᾱl al-Dīn

‘Abd al-Rahmᾱn bin Abī Bakr al-Suyūṭī, al-Itqᾱn Fī ‘Ulūm al-Qur’an (Bairut: Dᾱl al-Kuṭb al-

Ilmiyah, 1971), h. 100

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

tertentu dan juga dari pembacaan kata kunci terkait. Umumnya, yang sering

dijadikan rujukan adalah Q.S al-Baqarah:256,19 Q.S al-Hujurᾱt:13,20 dan Q.S.

al-Mumtahanah: 8-9.21 Meskipun ada ayat lain, tapi ayat-ayat inilah yang

sering muncul kepemurkaan jika terkait dengan topik ini.

Terkait penafsiran Q.S al-Mumtahanah, sudah banyak para mufassir

telah membahasnya secara luas dan terperinci.Sebagaimana dikutip oleh M.

Quraish Shihab,“...Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa Surat Al-Mumtahanah

merupakan salah satu rangkaian dari pendidikan al-Qur’an–guna membentuk

masyarakat Islam yang diridhai oleh Allah Swt. Dari sini ditemukan bahwa

uraian pertama, tentang bagaimana seharusnya sikap terhadap musuh

19Al-Qur’an menyatakan:

ين ٱراه في إك ل ش ٱد تبين ق لد ل ٱد من لر ٱب فر فمن يك غي فقد ٱب من غوت ويؤ لط ل قى وث ل ٱوة عر ل ٱسك ب تم س ٱلل

سميع عليم ٱو نفصام لها ٱ لل“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada

Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada

buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui”

20Al-Qur’an menyatakan:

ن ذكرن لناس إنا خلق ٱأيها ي أت ٱعند كم رم إن أك اإ ئل لتعارفو ا وقبا شعوب كم ن وجعل وأنثى كم م ٱإن كم قى لل لل

عليم خبير“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara

kamu disisi Allah ialah orang yan g paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

21Al-Qur’an menyatakan:

عن ٱكم هى ل ين ين ولم ٱفي تلوكم يق م لذين ل ٱلل ن دي يخ لد وهم ركم رجوكم م يحب ٱإن هم اإ إلي سطو وتق أن تبر لل

عن ٱكم هى إنما ين ٨سطين مق ل ٱ ين وأخ ٱفي تلوكم لذين ق ٱلل ن دي لد أن راجكم إخ هرواإ على وظ ركم رجوكم م

ومن يتولهم هم تولو ل ٱئك هم فأوإ

٩لمون لظ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang

yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang

yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu

(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,

maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

Allah⎯walaupun mereka adalah kerabat. Hal ini sengaja digarisbawahi

karena dalam tradisi Jahiliyah; dimana ikatan kekeluargaan dan kesukuan

sangat kental sampai-sampai dikenal ketika itu ungkapan yang menyatakan:

“Bantulah saudaramu, baik ia menganiaya maupun teraniaya.”22

Sementara itu, M. Quraish Shihab sendiri menyebut bahwa kasus

utama yang diuraikan surah ini adalah soal hubungan kasih sayang. Dalam

menafsirkan Q.S al-Mumtahanah, Shihab menggunkan metode tahlīlī,

memulai kajiannya dengan masuk ayat demi ayat, setiap ayat yang dipenggal,

teks arabnya ditulis lalu diterjemahkan. Di bawah teks terjemah diberikan

eksplorasi secara luas atas ayat yang di kaji, kemudian ayat-ayatnya

dikelompokkan pada beberapa kelompok ayat, di warnai dengan aspek

linguistik yang cukup kental serta munᾱsabah antar ayat.23

Salah satu ayat yang sering dikutip untuk bertindak intoleran terhadap

non-muslim adalah Q.S al-Fatḥ:29 yang berbunyi:

ن هم ت راهم ركعا سجدا ي رسول هللا والذين معه أشدآء على الكفار رحآء ب ي ت غون ف ممد ضال ب

اإلجنيل م ن هللا ورضوان سيماهم ف وجوههم م ن أثر السجود ذلك مث لهم ف الت وراة ومث لهم ف

م الكفار وعد كزرع أخرج شطئه ف ئازره فاست غلظ فاست وى على سوقه ي عجب الزراع ليغيظ ب

هم مغفرة وأجرا عظيما هللا الذين ءامنوا وعملوا الصالات من

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia

adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama

22 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.494 h. 570-580 23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, V.13

(Ciputat: Lentera Hati, 2011),, h. 583-587

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan

keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari

bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat

mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka

tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan

tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-

penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir

(dengan kekorang-orang mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang

yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka

ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S al-Fatḥ: 29)

Q.S al-Fatḥ turun dalam konteks Perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena

itu, memahaminya hanya terbatas pada ayat terkahir saja, sangat tidak cukup.

Hal ini dikarenakan untuk dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif,

harus memahami keseluruhan ayatnya, juga tentang perjanjian Hudaibiyah.

Inilah yang dilakukan oleh al-Alusi24 dalam tafsirnya,25 yang harus

menceritakan panjang lebar tentang perjanjian Hudaibiyah sebelum

menjelaskan potongan ayat 29 itu.

Kesalahpahaman akibat gagalnya memahami pesan utuh terhadap ayat

ini, serta terpakunya pada aspek tekstual, seringkali menjadi potensi timbulnya

gesekan sosial dalam masyarakat; khsususnya di Indonesia yang dikenal

dengan keberagamannya. Bahkan, ayat ini sering di salah artikan sebagai

keharusan bertindak keras terhadap orang kafir. Akhir-akhir ini sebuah

fenomena aneh banyak ditemui, bahwa sebagian Muslim memasang wajah

24 Nama lengkapnya adalah Mahmud bin Abdillah bin Muhammad bin Darwisy al-

Husaini al-Alusi Syihab al-Din al-Shana, salah satu mufassir klasik yang mu’tabar dijadikan

rujukan ulama sesudahnya 25 Ruh al-Maani, sebuah kitab tafsir dengan corak isyari (sebu ah pendekatan penfasiran

dengan cara menguak dimensi makna batin ayat al-Qur’an berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil

sufi. Lihat juga, Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 75

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

yang angker kepada non-Muslim atau kepada sesama Muslim yang mereka

anggap sudah keliru bahkan mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan sikap

ramah yang menjadi ciri khas orang Indonesia. Singkatnya, tindakan apa saja

yang dilakukan oleh orang kafir dicurigai dan ditolak dan semua hal yang –

yang mesikipun belum tentu benar – dari sesama Muslim diterima begitu

saja.26

Ini terjadi karena belakangan ini,muncul tradisi dalam pengambilan

hukum berupa penyandaran hukum hanya kepada lafal ẓahir al-Qur’an, tanpa

melibatkan substansi dan nalar wahyu, sehingga kesimpulan yang dihasilkan

terbatas dan cenderung kaku. Bahkan kadang bertentangan dengan akal dan

realitas. Model yang demikian ini dikenal dengan paham literalis. Model ini

tak hanya berwajah satu, tetapi bervariasi dan beragam sampai kepada model

yang paling ekstrem yang melahirkan radikalisme dan terorisme.27

Kenyataan inilah yang kemudian menjadi latar belakang para pemikir

Islam kontemporer bergerak dalam rangka me-reaktualisasi ajaran Islam,

dengan menawarkan sebuah metode pendekatan yang baru, salah satuya

dengan pendekatan teori maqᾱṣidī dalam memahami teks agama; sebuah

pendekatan dengan cara pandang pencarian nilai, maksud, dan ke-maṣlaḥat-an

dalam sebuah ayat atau mengalihkan pandangan pada pencarian maqᾱṣīd al-

Qur’an. Sebuah pendekatan penafsiran yang patut diketengahkan saat ini

karena menitikberatkan pada nalar maṣlaḥat daripada nalar teks. Dengan

26 Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an Di Medsos; Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat

Suci Pada Era Media Sosial,h,115 27 Kemenag RI, Maqasidusy-Syari’ah: Memahami Tujuan Utama Syari’ah, (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2013), h. 301

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

pemikiran yang seperti ini kemudian muncul inisiatif untuk memahami ayat-

ayat al-Qur’an sesuai dengan tujuan ketetapan syari’at (maqᾱṣīd al-syarī’ah).

Dari sini selanjutnya berkembang pemikiran perlunya tafsir yang sesuai

dengan maqᾱṣīd al-syarī’ah atau maqᾱṣīd al-Qur’an, yang kemudian disebut

tafsīr al-maqᾱṣīdī.28

Setidaknya ada tiga landasan penting dalam pendekatan maqᾱṣīdī,

Pertama, landasan keniscayaan teks. Setiap ayat atau doktrin teks selalu

memuat poin ‘illat-maqᾱṣīd. Poin ini hadir untuk mewadahi hukum tuhan dan

konsep moral, sehingga keduanya bisa dijembatani dengan baik. Pendekatan

maqᾱṣīd ini hadir dengan ruang kemanusiaan atau kemaslahatan hamba

sebagai acuannya. Kedua, landasan keniscayaan realitas. Tafsir maqᾱṣīdī

dilandasi pada kesadaran atas realitas yang majemuk dengan segala

kompleksitasnya yang menginginkan kebaruan hukum. Tiga, landasan

keniscayaan hukum alam. Landasan ini menekankan pada kesadaran atas

kesenjangan konteks dan perkembangan zaman dalam kajian al-Qur’an.29

Dari tiga landasan ini kemudian melahirkan prinsip tafsir maqᾱṣīdī

yang tercakup dalam beberapa poin berikut: Pertama, prinsip penafsiran. Bagi

tafsir maqᾱṣīdī, memahami al-Qur’an adalah mencari maksud Tuhan yang tak

terkatakan (al-maqṣud ‘anhu), yang tidak ternarasikan dengan jelas dalam

sebuah ayat. Kedua, prinsip kaidah tafsir. Sebagaimana terbangun dalam nalar

fiqh klasik, tafsir maqᾱṣīdī memegang teguh kaidah al-ibrah bi al-maqᾱṣīd lᾱ

bi al-alfᾱẓ. Ketiga, prinsip kontekstualisasi nalar teks. Prinsip ini menegaskan

28 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, Jurnal Suhuf, vol 9 No 2,

Desember 2016, h. 297 29 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h. 297-301

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

fungsi tafsir maqᾱṣīdī dalam merekontekstualisasi dan reaktualisasi ajaran al-

Qur’an. Prinsip ini dimulai dengan dekontekstualisasi30 terlebih dahulu,

setelah itu baru melakukan rekontekstualisai dengan melabuhkan prinsip-

prinsip dasar Islam ditempat dan kurun tertentu mufassir. Dengan prinsip

seperti ini tafsir dengan metode maqᾱṣīdī sebagai pendekatannya merupakan

pisau analisis untuk mengembangkan nilai-nilai naṣ yang terbatas, dan sebagai

doktrin, akan mewujudkan ajaran Islam yang memberi kedamaian bagi

pemeluknya.31

Dari landasan dan prinsip inilah penulis mencoba meneliti dan

menganalisis tema-tema hubungan antar umat bergama yang ada dalam Q.S

al-Mumtahanah yang berkahir pada tujuan pencapaian sikap toleran yang

harus dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, kajian yang penulis lakuakan terhadap ayat-ayat

muwālāt al-kuffār dalam Q.S al-Mumtanah dengan menggunakan pendekatan

maqāṣid melalui beberapa alur yang dibangun, diharapkan menghasilkan

sebuah penafsiran yang bisa mencerminkan Islam yang santun dan membawa

pada pemahaman yang inklusif.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar, penulis hanya

membatasi kajian ini pada toleransi dalam Q.S al-Mumtahanah. Sehingga

rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

30 Yaitu sebuah langkah yang melepaskan teks dari konteks kearabanya pada masa awal. 31 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h. 300-301

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

1. Bagaimana analisis maqāṣid terhadap ayat-ayat muwalālat al-

kuffār dalam Q.S al-Mumtahanah

2. Bagaiamana reaktualisasi poin maqᾱṣīdnya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini, di antaranya:

1. Mengetahui maksud utama, tujuan dari ayat yang terkandung dalam

Q.S. al-Mumtahanah dan nalar maqᾱṣīd -nya.

2. Mereaktualisasikan poin maqᾱṣīd yang terkandung dalam Q.S. al-

Mumtahanah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan mampu untuk menggali konsepsi toleransi dalam Q.S. al-

Mumtahanah

b. Menelusuri dan menggali nalar maqᾱṣīd dalam kajian tafsir,

khususnya pada tema muwalālat al-kuffār dalam Q.S. al-Mumtahanah.

2. Manfaat Praktis

Adapun secara praktik penelitian ini diharapkan mampu untuk

memberikan wawasan dan penngetahuan ilmiah kepada para akademisi

tentang kosepsi toleransi dalam Q.S. al-Mumtahanah. Diharapkan juga

skripsi ini bisa menjadi acuan dalam kajian tafsir dengan pendekatan

maqᾱṣīdī atau yang lebih dikenal dengan tafsir maqᾱṣīdī.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

E. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai konsep toleransi dalam kajian ini bukanlah hal

yang baru. Beberapa karya ilmiah baik berupa buku, jurnal, disertasi, tesis

telah memabahas toleransi sebagai kontribusi terciptanya sikap saling

memahami, mengenal, saling menghargai untuk mencapai cita-cita bersama

dalam lingkup kenegaraan. Kaitannya dengan pendekatan maqᾱsīdī memang

masih belum banyak ditemukan, tapi beberapa penelitian yang penulis

cantumkan berikut bisa dikatakan berkaitan dengan itu, di antaranya:

1. Skripsi Nur Lu’luil Maknunah, Konsep Toleransi Beragama dalam

al-Qur’an (Studi Komparatif Atas Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-

Nur) (2016).32 Skripsi ini berangkat dari maraknya ketimpangan

dalam hubungan umat bergama di Indonesia, yang mencakup

ketimpangan intra-agama dan antar-agama, sehingga menciptakan

citra buruk umat Islam Indonesia. Dari kenyataan seperti itu, ia

agaknya ingin memformulasikan ulang ajaran-ajaran toleransi

beragama melalui khazanah keilmuan Tafsir Nusantara. Dengan

pemilihan tafsir nusantara ini, diharapkan mampu menjawab

problem-problem yang ada di Indonesia dan relevansinya dengan

keberagamaan. Dalam penelitian ini, ia mengungkapkan semua

ayat-ayat tentang toleransi dalam al-Qur’an dari berbagi

aspeknya.Dengan menggunakan metode komparasi dua mufassir

nusantara, ia berhasil mengungkapkan bahwa konsep yang

32 Nur Lu’lu’il Maknunah, Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi

Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur), Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2016

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

ditawarkan oleh Buya Hamka dalam tafsirnya, lebih didasarkan

pada perilkau keseharian (mu’ᾱmalah). Toleransi yang dibangun

Hamka, tidak mencampuradukkan antar keyakinan keagamaan.

Menurutnya, Keyakinan dalam beragama; berbeda esensinya,

sehingga ia menekankan toleransi hanya ada dalam praktik

mu’ᾱmalah, seperti tolong menolong, menghargai pemeluk agama

lain, mengasihi sesama, dan lain-lain. Di sisi lain, Hasbi al-Ṣiddiqī

dalam tafsirnya mengemukakan bahwa toleransi meliputi etika

bergaul, hukum sosial serta ber-mu’ᾱmalah sesuai keyakinan

agama yang dianutnya. Nur mengungkapkan bahwa dalam

memutuskan konsep toleransi ini, Hasbi lebih detail karena sampai

pada tahap apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam

toleransi itu. Sehingga apa yang tercermin dari Hasbi, cenderung

lebih ketat dalam memutuskan konsep toleransi.

2. Rahmad Nurdin dalam tesisnya, Hubungan Antar Umat Beragama

Dalam Q.S. Al-Mumtahanah (2016).33 Raḥmat dari awal

menyadari bahwa Islam sebagai agama yang mayoritas dianut di

Indonesia, seharusnya mampu menjadi pemersatu, membangun

perdamaian,dan kerja sama antar masyarakat. Namun faktanya,

justru menunjukkan sebaliknya. Sikap itu menurutnya, muncul

karena masih ada umat Islam yang memahami teks al-Qur’an

hanya mencukupkan pada sisi tekstual, tanpa masuk lebih jauh ke

dalam makna dan maksud teks tersebut. Kajian ini mencoba untuk

33 Rahmat Nurdin, Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Q.S Al-Mumtahanah, Tesis

S2, UIN Kalijaga Yogyakarta, 2016

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

memahami masalah yang muncul dari hubungan antar umat

beragama, dengan menjadikan Q.S al-Mumtahanah sebagai

objeknya. Ia membahas secara tematik terkait surah ini, kemudian

menggunakan analisis kontekstual yang dikenalkan oleh Abdullah

Saeed, yang mempunyai empat dimensi, yakni analisis linguistik,

konteks sosio-historis, masa pewahyuan dan makna otentik ayat.

Kemudian dibahas juga relevansi makna otentik ayat dalam

konteks Indonesia. Dari sini ia menemukan bahwa pertama, dari

analisis linguistik atas beberapa ayat Q.S al-Mumtahanah,

mengarahkan dalam mengungkap makna otentik dari masing-

masing kata kunci, ditemukan bahwa ada makna otentik yang

menjadi spirit al-Qur’an terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam

hubungan antar umat beragama. Kedua, makna otentik ayat Q.S.

al-Mumtahanah, meliputi perkawinan beda agama, persahabatan

dengan non muslim dan toleransi, menunjukkan adanya larangan

nikah beda agama – guna menjaga kemaslahatan agama dan

membangunkeluarga yang harmonis dan penegasan bahwa tidak

ada larangan menjalin persahabatan dengan non muslim yang tidak

memusuhi Islam. Adanya hak kebebasan dalam memilih keyakinan

agama, serta kerja sama antar umat beragama merupakan sesuatu

yang diperbolehkan.

3. Buku Fikih Hubungan Anta ragama, karya Sayyid Agil Husain al-

Munawwar.34 Buku ini membahas beberapa hal pokok mengenai

34 Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antaragama, (Jakarta: Ciputat Press,

2003)

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

bagaimana wacana kerukunan umat beragama dapat tersebar pada

semua lapisan masyarakat, dan bagaimana menciptakan kemesraan

agama. Buku ini menjadi salah satu acuan penting penulis

bagaimana mengungkap dan mewujudkan nilai toleransi dalam

kehidupan kemasayarakatan dan kenegaraan yang kaya akan

kebhinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, suku dll.

4. Buku Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi

Berbasis al-Qur’an. Buku karya Abd. Moqsith Ghozali ini

mulanya adalah disertasi dengan judul Perspektif al-Qur’an

Tentang Pluralitas Umat Beragama tahun 2007. Dengan

pendekatan mauḍūī, dipadu dengan kajian ꞌuṣūl al-fiqh dan

hermeneutika, ia menjelaskan bagaimana menyikapi hal-hal yang

terkait dengan pluralitas agama, seperti kebebasan agama,

toleransi, perintah mencari titik temu, larangan mencela

sesembahan pemeluk agama lain, hubungan antar umat beragama

dll.

5. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikulturalisme. Buku karya Zuhairi Misrawi ini berisi tentang

pesan agung ak-Qur’an guna terwujudnya peradaban toleransi yang

berlandasakan al-Qur’an. Sangat relevan dalam konteks ke-

Indonesia-an, khususnya dalam memperkokoh dan memantapkan

spirit kebangsaan dan kenegaraan, serta memperkuat pandangan

bahwa Islam adalah agama yang hadir untuk memberi rahamt bagi

semesta.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

6. Disertasi dengan judul, Hubungan Antaragama dalam Tafsir al-

Qur’an (Studi Tafsir al-Misbah) oleh Karman.35 Dalam uraiannya

dia memaparkan bahwa, ada enam tema hubungan antarumat

beragama yang ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab, yakni

berkaitan dengan hakikat agama, keimanan, kebebasan beragama,

dialog dan kerjasama antarumat, serta perkawinan beda agama.

Dalam kesimpulan analisinya, ia menjelaskan bahwa penafsiran M.

Quraish Shihab belum sepenuhnya dapat mentransformasikan

kehidupan keagaman di Indonesia.

7. Skripsi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Suatu Kajian

Tahlili Terhadap Q.S. al-Mumtahanah:8-9), karya Arlan.36 Dari

penuturannya, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah,

pertama, menjelaskan esensi kerukunan beragama. Kedua,

menjelaskan wujud kerukunan beragama dalam ayat 8-9 Q.S al-

Mumtahanah. Ketiga, menjelaskan syarat dan urgensi kerukunan

beragama dalam surah itu. Ia kemudian memperoleh data bahwa

kerukunan meruapakan keadaan yang baik, yang damai, tentram,

saling toleransi antara masyarakat se-agama maupun berbeda

agama yang diwujudkan pada sikap saling menghargai,

menghormati, bersedia menerima perbedaan keyakinan orang dan

kelompok lain. Dengan konsen tahlīlī pada ayat 8-9, dalam

35 Karman, Hubungan Antaragama dalam Tafsir al-Qur’an (Studi Tafsir al-Misbah),

Disertasi, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012 36 Arlan, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Q.S.

al-Mumtahanah:8-9), Skripsi, UIN Alauddin Makassar, 2017

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

penelitian ini kurang hirau pada ayat lain dalam surah yang sama

yang mempunyai indikasi masalah yang sama.

8. Sementara terkait dengan pendekatan maqᾱsīdī penulis temukan

beberapa, diantaranya adalah, penelitian yang dilakukan oleh

seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakata bernama

Azmil Mufidah, dia menulis skripsi dengan judul: Tafsir

Maqᾱṣīdī: Pendekatan Maqᾱsīd Syarī’ah Thahir Ibn ‘Asyur dan

Aplikasinya Dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr.37 Dalam tulisan ini,

Azmil berusaha mengaplikasikan pendekatan maqasid dalam tafsir

Ibnu Asyur. Dia menemukan bahwa dalam tafsirnya, Ibnu Asyur

menafsirkan ayat memalui analisis teks hingga dapat diambil nilai-

nilai universalnya sebagai tujuan hukum, karena tak mungkin allah

mensyariatkan suatu hukum tanpa mengandung tujuan (maṣlaḥat).

Azmil kemudian menyatakan bahwa pendekatan maqᾱsīd

memberikan pengetahuan baru tentang metodologi pendektan

dalam kajian tafsir, sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya

sebagai jalan tengah pruduk tafsir yang selama ini tampak

ideologis menurutnya.

9. Jurnal Mutawatir vol 6, edisi Juli-Desember 2016, dengan judul

Epistimologi Tafsir maqāṣidī, karya Kusmana. Dalam tulisan ini ia

menjelaskan perkembangan Tafsir maqāṣidī yang mengikuti tradisi

hukum Islam sebagai induknya. Menurutnya maqāṣid dan Tafsir

memiliki perhatian yang sama, oleh karena itu ia ingin

37Azmil Mufidah, Tafsir Maqasidi (Pendekatan Maqasid Syari’ah Tahir Ibnu Asyur dan

Aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

mengintegrasi keduanya dalam metodologi dan aplikasi tafsir

sehingga bisa Nampak bangunan epistimologinya. Ia juga

memaparkan pemikiran empat orang sarjana kontemporer,

Muhammad Abduh, Rasyid Riḍā, Thāhir Ibn ʻAsyūr dan Jasser

Auda dalam upaya mereka melalukan konspetualisasi dan aplikasi

maqāṣid dalam ranah tafsir. Ia juga mengatakan bahwa pergerakan

pemikiran maqāṣid al-Syarīʻah yang termasuk didalamnya tafsir

maqāṣidī merupakan upaya kontruksi islamisasi ilmu pengetahuan.

Secara sumber menurutnya, tafsîr maqāṣidī dapat dikelompokkan

ke dalm kategori corak tafsîr bi al-ra’y yang berupaya untuk

mencari dasar dan mencari keleluasaan yang diperlukan untuk

kemandirian akal dalam konstruksi pemahaman sumber

keagamaan.38

10. Kemudian apa yang ditulis oleh Syamsul Wathani dalam jurnal

Suhuf kemenag RI yang terbit pada bulan Desember 2016 yang

berjudul “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqᾱṣīdī: Pendekatan Sistem

Interpertasi”, dalam penelitian ia memfokuskan bagaimana

bentuk, kerangka, struktur, dan paradigma tafsir maqāṣidī sehingga

bisa menajdi sebuah pisau analisis yang tajam. Penelitian ini

memberikan simpulan pada tiga garis pemahaman besar, salah

satunya adalah tentang: paradigma tafsir maqasidi merupakan cara

pandang terhadap al-Qur’an dan penafsirannya dengan konsep

maqāṣid al-Syarīʻah dengan titik berangkatnya. Tulisan menjadi

38 Kusmana, Epistimologi Tafsir maqāṣidī, Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,

Volume 6, nomor 2, Desember 2016

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

acuan utama dan penting bagi penulis karena alur interpertasi

maqāṣidī yang ditawarkan dalam tulisan ini penulis jadikan pijakan

utama untuk mengumgkap maqasid yang ada dalam Q.S al-

Mumtahanah.39

11. Buku Metodologi Studi al-Qur’an, buku yang ditulis oleh tiga

cendekiawan muslim kontemporer Indonesia, Abd. Moqsith

Ghozali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla. Buku ini

memuat beberpa pandangan baru dalam berinteraksi dengan kitab

suci, khusus dibagian akhir buku ini memuat tawaran baru tentang

metodologi penafsiran al-Qur’an, yakni bagaimana menjadikan

Maqᾱsīd Syarī’ah sebagai rujukan utama, juga bagaiamana

membumikan sebuah kaidah alternatif yakni, al-ʻIbrah bi al-

Maqāṣid lā bi al-Alfaẓ.40

12. Tesis dengan judul Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan (Suatu

Pendekatan Maqāṣid al-Syarīʻah). Karya Mamluatun Nafisah ini

membahas tentang konservasi lingkungan dalam perspektif al-

Qur’an. Dari penelitian ini ia ingin mengukuhkan bahwa

konservasi lingkungan merupakan bagian dari uṣūl al-syarīʻah

yang harus perhatikan dengan sungguh-sungguh bagi manuisa

sebagai mandataris Tuhan di Bumi ini. Dengan pendekatan yang ia

pakai ia ingin menatakan bahwa perusakan lingkungan merupakan

sama saja pengerusakan pada prinsip-prinsip Maqāṣid al-Syarīʻah,

39 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqāṣidī” Jurnal Suhuf, vol. 9 No.2,

Desember 2016 40 Abd. Moqsith Ghozali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2009)

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

apalagi dewasa ini hifẓ al-bī’ah sudah dimasukkan dalam

perkembangan Maqāṣid al-Syarīʻah kontemporer.

13. Disertasi yang ditulis oleh Arwani Syaerozi, di Universitas

Mohammed V Maroko tentang “al-Jᾱnib al-Maqᾱsīdī fī Istinbᾱṭ

al-Fiqh ‘inda Ilkiyᾱ al-Ḥarasi” (Maqᾱsīdal-Syarī’ah dalam proses

pengambilan hukum fikih: perspektif Ilkiya al-Ḥarasial-Syᾱfī’ī).

Secara detail, Syaerozi menguraikan pandangan Ali bin

Muhammad Ilkiya al-Ḥarasidalam maqᾱsīd al-syarī’ah, sejauh

mana ia menaruh menaruh perhatian pada sisi maqᾱsīd al-syarī’ah

saat menafsirkan al-Qur’an.

Dari beberapa keterangan diatas, sejauh ini belum banyak ditemui

sebuah kajian tentang toleransi yang berangkat dari penelitian dengan metode

tematik surah ini, apalagi penulis juga melakukan analisis ayat dengan

pendekatan maqᾱṣīd – yang dewasa ini mulai ramai diperbincangkan – yang

diharapkan mampu untuk memberikan penafsiran yang utuh dan menampilkan

paradigma baru yang sesuai dengan kemaslahatan universal yang jadi konsen

utama ajaran Islam itu sendiri.

F. Metodologi Penelitian

Ada enam aspek metodologi penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi

ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian dikenal dengan dua macam, yakni kuantitatif

dan kualitatif. Penelitian ini adalah termasuk yang terakhir disebut, yakni

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

kualitatif, yakni sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang

berasumsi bahwa penegtahuan yang benar adalah pengetahuan yang

didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui penginderaan.41

2. Sumber data

Adapun data-data yang hendak diteliti terdiri atas data primer dan

sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini mencakup informasi-

informasi terkait dengan permasalahan yang penulis kaji, yakni penafsiran

terhdapap terkait muwālāt al-kuffār dalam kitab-kitab tafsir, misalnya

Tafsīr Ibn Āsyūr, Tafsir al-Syaʻrāwī, Tafsīr Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Misbah

dan lain-lain.

Selain itu penulis juga menggunakan beberapa kitab bertema maqāṣid

sebagai sumber data primer. Seperti maqāṣid al-Syarīʻah al-Islāmiyyah

karya Ibn Āsyūr, Fiqh al-Maqāṣid karya Jasser Auda, Metodologi Studi al-

Qur’an karya Abd. Moqsith Ghozali dkk.

Selanjutnya, sumber data sekundernya adalah semua kitab, buku,

jurnal, disertasi, tesis, artikel yang dapat dijadikan penunjang dalam

penelitian ini untuk membantu menganalisa permasalahan yang dikaji.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Data yang tersaji dalam peneltian ini dikumpulkan berdasarkan tehnik

kepustakaan (library research), yakni sebuah tehnik pengumpulan data

dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literartur-

41 Eliys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In

Communication, (Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 5

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya

dengan masalah yang dietliti.42 Karena yang menjadi sumber penelitian

adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Maka

data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang

telah tersedia di ruangan perpustakaan.

4. Tehnik Analisis Data dan Langkah-langkah Penelitian

Untuk menganalisis data penelitian ini menggunakan metode tafsir

mauḍū’ī bi al-Surah (tematik surah), yakni model kajian tematik dengan

menjelaskan surah-surah tertentu, dengan menjelaskan penafsiran ayat-

ayat Q.S. al-Mumtahanah, dalam konteks apa, ayat tersebut turun, dan apa

pokok-pokok pikiran dalam Q.S. al-Mumtahanah, serta apa pesan

moralnya.43

Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan maqᾱsīd, yaitu

penelitian yang berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran

maqᾱsīd al-Qur’an atau nalar maṣlaḥat yang menjadi prinsip dan

landasan bagi tafsir dengan pendekatan maqᾱsīd. Dari penjelasan landasan

dan prinsip tafsir maqᾱsīdī yang penulis jelaskan diatas, maka akan

didapati beberapa alur interpertasi al-Qur’an perpekstif maqᾱsīdī sebagai

berikut:44

a. Analisis kebahasaan. Dimulai dengan fokus pada kajian bahasa,

seperti: qath’i-dzanni, mujmal-mufassar dan lainnya. Ini penting

42 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h.27 43 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press,

2014) h.61 44 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h.307-310

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

untuk melihat maqasid secara sekilas dan melihat bagaimana ayat

al-Qur’an menempatkan maksudnya.

b. Analisis tematik-holistik. Istilah ini berangkat dari pandangan

bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuansehingga memerlukan

semuanya untuk dianalisis. Analisis tenatik-holistik sangat

diperlukan guna untuk menemukan tema, prinsip bahkan values al-

Qur’an yang mendasari semua pesan-Nya.

c. Kaidah al-ʻIbrah bi al-Maqᾱsīd. Inilah yang menjadi ciri khas

tafsir maqasidi untuk menjembatani beberapa pandangan pencarian

makna dalam tafsir.

d. Kekuatan nalar. Dengan ini, penalaran dalam episteme tafsir

maqᾱsīdī tidak hanya diletakkan sebagai alat tafsir, tapi juga

sebagai instrumen telaah kritis dengan mempertimbangkan aspek-

aspek sosio-kultural, peristiwa yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat dan dengan mengedepankan tujuan teks tersirat.

e. Reorientasi nᾱsīkh-mansūkh. Dengan menafikan nᾱsīkh-mansūkh,

tafsir maqᾱsīdī menawarkan pandangan bahwa ayat al-Qur’an

sebagai respon Allah kepada hamba-Nya dalam keadaan tertentu.

f. Kontekstual-filosofis. Dalam kerangka ini sebenarnya sama dengan

alur tafsir kontekstual. Namun penekanannya sedikit menusuk pada

pengamatan secara spesifik realitas syari’at pada masa awal,

kemudian merumuskan pengaplikasiannya dimana sekarang.

5. Tehnik Penulisan

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

Dalam penulisan penelitian ini, tehnik penulisannya mengacu pada

buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

G. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai pembahasan yang sistematis maka penulisan terhadap

masalah yang disebutkan di atas, dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari:

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, kajian pustaka serta sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tinjauan tentang toleransi, term yang merujuk pada

toleransi, catatan sejarahnya serta ayat-ayat yang terkait tema ini.

Bab III berisi tentang penjelasan pendekatan maqᾱsīd dalam kajian

tafsir, yang terdiri dari lima sub-bab, pertama, pengertian tafsir maqᾱsīdī.

Kedua, Kajian maqasid dalam catatan sejarah, Ketiga, urgensi dan manfaat

pendektan maqᾱsīd dalam kajian tafsir, Keempat, Alur interpertasi Tafsir

pendekatan maqasid, Kelima, contoh apliksinya.

Bab IV berisi tentang analisis maqᾱsīd terhadap ayat-ayat Q.S al-

Mumtahanah beserta poin rekatualisasinya. Dalam bab ini terbagi menjadi dua

sub-bab, yakni pertama, , analisis maqāṣid yang tehadap ayat bermuwalāt al-

kuffār.. Kedua, poin rekontekstualisasi dan reaktualisasi nilai maqᾱsīd dengan

tiga poin penting, kontekstualisai, dekontekstualisai dan rekontekstualisasi.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

Bab V berisi penutup yang mencakup pokok-pokok penelitian yang

sekaligus menjadi jawaban bagi permasalahan yang menjadi inti dari kajian

ini. Bagian ini juga akan mengemukakan beberapa saran unutk penelitian

selanjutnya, serta daftar pustaka yang disusun secara alfabetis.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI

Toleransi merupakan visi dari akidah Islam, yang harus disadari dengan

penuh dan di aplikasikan dalam kehidupan beragama. Hal ini guna terciptanya

kerukunan, keamanan, kenyamanan, dan kedamaian antar umat beragama.1

Bagi sebagian orang, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk

mendiskusikan tentang toleransi. Sebab, untuk menghadapi berbagai gempuran

yang ada, penggunaan kekuatan dipandang lebih tepat, sedangkan sikap toleran

dianggap lemah dan tanda bahwa berkibarnya bendera putih (menyerah). Padahal

sebaliknya, toleransi merupkan salah satu hal yang paling penting dalam sejarah

agama Islam.2 Seperti firman Allah dalam Q.S Fuṣṣilᾱt: 343 yang menjelaskan

bagaimana sikap toleran itu dapat mengubah musuh kita menjadi kawan.

Berikut ini akan diungkap sedikit tentang makna toleransi dengan merujuk

sejumlah informasi dari al-Qur’an, hadis, serta fakta sejarah yang terjadi,

khususnya pada masa Rasulullah saw., dan para sahabatnya.

1 Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an,” Jurnal Ushuluddin, vol. xxii

No.2 Juli, 2014 2 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, (Ciputat:

Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013) h.249 3QS. Fuṣṣīlᾱt: [41]: 34

نه عداوة يم كأنه ول ح ول تستوي السنة ول السي ئة ادفع بلت هي أحسن فإذا الذي ب ي نك وب ي

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang

lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman

yang setia.”

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

A. Definisi Toleransi

Istilah ini berasal dari bahasa inggris “tolerance” yang berarti

membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa

memerlukan persetujuan.4 Sedang dalam KBBI, toleransi merupakan kata

yang mempunyai beberapa pengertian, yaitu: 1). Sikap atau sifat toleran,

2). Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih

diperbolehkan, 3). Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam

pengukuran kerja. Dalam bentuk yang tidak yang baku (toleran) bahkan

mempunyai makna yang lebih beragam, yaitu: bersikap atau bersifat

menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian

(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya

yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.5

Sedangkan dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, toleransi

disebut dengan al-tasᾱmuḥ (التسامح) atau al-samᾱḥah )السماحة(. Berasal dari

kata سمح ‘samaḥa’ yang maknanya meliputi: berbaik hati, memberi secara

dermawan, dan dengan niat mulia, mudah, taat, tunduk, kelapangan dada,

legitimasi.6

Secara terminologi, toleransi diartikan sebagai sebuah tindakan

pemberian kebebasan sesama manusia atau kepada masyarakat umum

untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidup dan mengatur nasibnya

4 Said Agil Husein al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Agama, (Ciputat: Ciputat

Press, 2005) h.13 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 1477 6 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. I;

Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996) h. 1083-1086.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu

tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan asas-asas terciptanya

ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.7

Ahmad Zaki Badawi mendefinisikan toleransi sebagai sikap yang

menunjukan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan dan perilaku

tanpa harus menyetujuinya. Kesiapan itu bisa berupa komitmen dan

penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain,

terlepas dari perbedaan warna kulit, ras, suku dan agama dan sebagainya.8

Dalam konteks pergaulan hidup antar umat beragama, toleransi

didasarkan pada kenyataan bahwa, setiap agama menjadi tanggung jawab

pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah tersendiri yang

dibebankan serta menajdi tanggung jawab orang yang memeluknya. Atas

dasar itulah, maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama

bukanlah dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan

sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara

orang yang tidak se-agama, baik dalam masalah-masalah kemasyarakatan

atau kemaslahatan umum.9

Alwi Shihab menyebutkan bahwa toleransi adalah sebuah upaya

untuk menahan diri agar tak terjadi konflik. Ia menekankan perlunya

membudayakan sikap keterbukaan, menghormati keberagaman agama dan

7 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai dasar

Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979) h. 22. 8 Ahmad Zaki Badawi, Mu’jam Musthalahat al-Ulum al-Ijtima’iyyah (Beirut: Maktabah

Lubnan, 1982) h. 22 9 Said Aqil Husin al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama, h. 14

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

menerima adanya berbagai perbedaan, yang dibarengi dengan loyalitas dan

komitmen terhadap agama masing-masing.10

Sedangkan seorang pemikir progersif muslim Timur Tengah,

Abeed Al-Jabiri berkata bahwa toleransi adalah sikap pemikiran dan

perilaku yang berlandaskan pada penerimaan terhadap pemikiran dan

perilaku orang lain, baik dalam keadaan bersepakat atau berbeda dengan

kita. Intinya toleransi adalah menghormati orang lain yang berbeda.11

Dalam salah satu ḥadīṡ Rasulullah Saw, sikap kebergaman yang

baik disebut dengan al-ḥanifiyyah al-samḥah, karena memberikan

kemudahan dan tidak mempersulit. Jadi jelas bahwa toleransi terjadi dan

berlaku karena adanya perbedaan prinsip dan menghormati perbedaan atau

prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.12 Dengan berbagai

definisi di atas, maka toleransi menunjuk pada sikap atau sifat kerelaan

dan mudah menerima perbedaan.

B. Term yang Merujuk pada Toleransi dan Catatan Sejarahya

1. Dalam al-Qur’an

Kata al-tasᾱmuḥ atau al-samᾱḥah beserta derivasinya, memang

tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Sedangkan dalam hadis terdapat

ungkapan “ismaḥ yusmaḥ laka” (Permudahlah, niscaya anda akan

dipermudah), “al-samaḥ rabah (memudahkan dalam segala urusan akan

10 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung:

Mizan, 1999) h.67 11 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: teologi Kerukunan Umat Beragama

(Bandung: Mizan, 2001), h. 60 12 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Agama, h.13

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

menguntungkan pelakunya). Meski tidak ditemukan dalam al-Qur’an,

makna toleransi yang mencakup makna-makna yang telah disebutkan di

atas, bisa dilacak melalui kata kunci atau term yang terkait seperti al-

raḥmah, al-‘afw, al-ṣafhu dan lain-lain.13 Berikut di antaranya:

i. Al-Raḥmah

Kata al-raḥmah terambil dari akar kata ra, ha dan mim yang

bermakna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan. Kasih

sayang (raḥmah) jika berasal dari manusia biasanya didahului oleh

rasa kasihan, iba, atau mungkin karena ingin mendapatkan sesuatu dari

yang dikasihinya. Berbeda jika itu berasal dari Allah, karena rahmat-

Nya diturunkan tanpa pandang bulu, kafir atau mukmin sama-sama

mendapat rahmat Allah. Kenabian itu pada hakikatnya adalah rahmat,

sebab misinya adalah membawakan ajaran langit yang penuh dengan

rahmat Allah untuk seluruh manusia.14 Allah berfirman: Dan Kami

tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi seluruh alam.15

ii. Al-‘Afw

Kata al-‘afw memiliki banyak makna dalam bahasa Arab, antara

lain: mengahapuskan atau menggugurkan yang berarti juga memberi

maaf, karena memaafkan berarti menghapus luka yang ada dalam hati.

Makna juga bisa berarti banyak dan berlebihan. Kata ini sendiri dengan

13 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.249 14 Al-Asfahani, Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012), h.212 لمين15 ل لع رحمة كإلا Q.S Al-Anbiya’ [21]:107 .وما أرسلن

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

berbagai derivasinya terulang sebanayak 34 kali dalam al-Qur’an. Dari

sekian banyak derivasi itu tidak ditemukan satupun ayat yang

menganjurkan unutk meminta maaf, yang ada justru perintah untuk

memberi maaf.16 Seperti dalam firman Allah berikut:

أ ٱو بى قرأ لأ ٱا أول ت و لسعة أن ي ؤأ ٱو ل منكمأ فضأ لأ ٱتل أولوا ول ي

ه ٱجرين ف سبيل مهى لأ ٱكني و مسى لأ لل

فحو يصأ فوا ولأ ي عأ ولأ لكمأ ٱفر ون أن ي غأ أل تب ا غفورٱو لل ٢٢رحيم لل

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan

kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan

memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan

orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka

memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa

Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha

Penyayang.” Q.S Al-Nur [24]: 22

iii. Al-Ṣafh

Kata al-ṣafh dalam berbagai derivasinya, terulang sebanyak

delapan kali dalam al-Qur’an yang pada mulanya bermakna lapang,

kemudian berkembang menjadi kelapangan dada. Sehingga, berjabat

tangan disebut dengan muṣafaḥah karena dengan melakukannya

menjadi simbol keduanya berlapang dada. Dari delapan kali

penyebutannya itu, empat di antaranya didahului dengan perintah

memberi maaf.17

16 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.253

Q.S al-nūr [24]:22

فحو يص ول فوايع ول ٱفريغ أنتحبونألا ٱولكم للا حيم غفور للا ٢٢را

“dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin

bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

Al-Asfahani mengatakan bahwa, al-ṣafh kedudukannya lebih

tinggi daripada al-‘afw. Jika al-‘afw berarti mengahapus kesalahan

yang ada dalam lembaran, maka al-ṣafh berarti membuka lembaran

baru.18 Tentu saja berbeda antara lembaran kertas yang ada bekas

hapusan dengan lembaran yang baru. Kenapa lembaran kertas disebut

ṣafaḥah atau ṣaḥifah, itu karena keluasan dan kelapangannya.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah menyebut kata al-ṣafh

berdampingan dengan salam.

هم وقل سلى ٱف م صفح عن

“Maka berpalinglah dari mereka dan katakanlah: Salam (selamat

tinggal)” Q.S al-Zukhrūf [43]: 89

Ayat ini adalah sebagai respon doa Nabi Muhammad yang

mengeluhkan kaumnya yang tidak beriman, “berlapang dadalah

mengadapi mereka, dan hindari segala sesuatu yang meyakitkan dari

mereka, serta katakan kepada mereka salam kedamaian unutk kalian.”

Ayat juga mengisyaratkan dengan jelas bahwa sikap lapang dada akan

Q.S al-Zukhrūf [43]: 89

م سل وقل هم عن فح ص ٱف ٨٩لمونيع ففسو “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat

tinggal)". Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).”

Q.S al-baqarah [2]: 109

ٱتييأ حتاى فحواص ٱوفواع ٱف ٱإناۦ رهبأم للا ١٠٩قدير ء شي ل كعلى للا“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Q.S al-hijr [14]: 85

ل لسااعةٱوإناف ٱفحص ٱفتية ٨٥جميلل ٱحلصا

“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka)

dengan cara yang baik.”

17 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h. 254 18 Al-Asfahani, Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012), h.311

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

kedamaian, terutama bagi pelakunya, sebab telah hilang darinya

perasaan dendam serta keinginan untuk membalas.19

Dengan berbagai fakta di atas, sejauh ini harus diamini bahwa, al-

Qur’an adalah kitab suci yang mengampanyekan, mendorong, serta

mendukung penuh toleransi. Al-Qur’an hadir sebagai petunjuk dan

cahaya bagi umat manusia, yang dimaksud petunjuk dan cahaya itu

adalah toleransi, kerukunan dan kedamaian. Dengan demikian juga,

paradigma toleransi mempunyai normatif yang kuat dari al-Qur’an.

Dan yang lebih penting dari itu adalah, al-Qur’an merupakan sebuah

kitab suci yang senantiasa terbuka dengan pemikiran dan paham

kontemporer, khususnya jika itu menyangkut kemaslahatan manusia.20

2. Dalam Hadis

Berbeda dalam al-Qur’an yang tak ditemui kata yang secara tegas

menunjuk makna toleransi, dalam hadis ada kata yang secara eksplisit

menjelaskan dan menunjuk pada toleransi. Tak bisa dipungkiri bahwa

kehidupan Nabi Muhammad saw., merupakan contoh paling nyata dari

ajaran al-Qur’an itu sendiri, terkait dengan toleransi. Beliau mengajarkan

umatnya untuk selalu bersikap dalam segala hal, baik kepada Muslim atau

Non-Muslim. Di antara hadis menegani toleransi adalah:

19 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam :Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.255 20Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikukturalisme, (Jakarta Selatan :Penerbit Fitrah, 2007) h. 218

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

الصني عن حدثنا عبد هللا حدثين أيب ثنا يزيد قال أان حممد بن إسحاق عن داود بنعكرمة عن بن عباس قال قيل لرسول هللا صلى هللا عليه و سلم : أي األداين أحب إىل هللا

21قال النيفية السمحة.

Lihatlah bagaimana jawaban Nabi melalui hadis diatas ketika

beliau ditanyai tentang sikap keberagaman yang paling dicinta Allah,

beliau menjawab “agama yang memudahkan dan tidak menyulitkan.”

Hadis di atas merupakan salah satu landasan utama toleransi dalam Islam.

Disebutkan bahwa toleransi adalah fundamen dan esensi Islam, seluruh

umat manusia, terutama umat Islam mengingikan agar menjadi kelompok

yang dicintai Tuhan, maka Tuhan menjawab agar toleransi itu dijadikan

sebagai bagian utama dalam keberagamaan.22

Dalam konteks hadis lain disebutkan dengan lafal yang berbeda,

namun memiliki makna yang sama. Rasulullah saw. bersabda:

حدثنا عبد هللا حدثين أب ثنا سليمان بن داود أان بن أب الزاند عن أب الزاند قال قال ل عروة ان عائشة قالت قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم : يومئذ لتعلم يهود ان ف ديننا

فسحة اىن أرسلت حبنيفية مسحة23

Melalui Nabi Muhammad Saw., Islam datang untuk menjadi

agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Lihatlah Nabi

Muhammad saw., saat menyikapi seorang Badui yang terkenal keras

wataknya dan terkadang ketika tiba di masjid ia kencing di situ. Ketika

21Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassisah Qurtubah, TT), juz

1, h.236 22Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikukturalisme, h. 177 23 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 1, h.233

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

semua orang memarahi dan menegurnya, Nabi Muhammad saw., justru

membiarkannya dan berkata pada sahabatnya, “fa innama bu’iṡtum

muyassirīn walam tub’aṡu mu’assirīn” (sesungguhnya kalian diutus untuk

memberi kemudahan, bukan untuk menyulitkan).24

Sikap toleran Nabi Muhammad terhadap mereka yang berbeda

agama terlihat dari pengakuan Nabi akan ajaran sebelumnya. Dalam

pandangan beliau, para Nabi utusan Allah itu seperti saudara satu bapak

lain ibu, agamanya satu tapi beragam syari’at. Pernyataan ini beliau

ungkapkan melanjutkan pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah

orang yang berhak menghormati Nabi Isa di dunia dan di akhirat.25

Rasulullah saw., bersabda:

ث نا حم ث نا سعيد بن ميناء عن جابر بن عبد الل رضي حد ث نا سليم بن حيان حد مد بن سنان حد الل عليه وسلم مثلي ومثل األنبياء كرجل بن دارا هما قال قال النب صلى الل فأكملها وأحسن ها إل موضع لبنة عن

فجعل الناس يدخلونا وي ت عجبون وي قولون لول موضع اللبنة

“perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi terdahulu, yaitu

seperti seorang yang membangun rumah lalu menyempurnakan

dan memperindahnya, kecuali sebuah batu dipojok rumah.

Kemudian orang-orang mengelilingi temapt tersebut. Mereka

bertanya: kenapa batu ini diletakkan? Rasululllah saw menjawab:

saya adalah batunya dan saya adalah penutup para Nabi.”26

Hadis diatas menjadi pijakan penting toleransi dalam konteks

agama-agama, yang menarik dicermati adalah bagaimana sikap teologis

Nabi Muhammad saw., dalam menyikapi agama-agama sebelum Islam,

khususnya Kristen dan Yahudi, disebutkan bahwa agama-agama ibarat

24 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.274 25 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.275 26 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (TK: Maktabah ilm

al-hadīṡ, 2005), h.776

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

sebuah rumah, rumah tersebut sudah dibangun dan bahkan megah dan

mentereng. Ajaran Islam yang dibawa Nabi bukan untuk mengahncurkan

rumah tersebut sebagaimana yang dipersepsikan kalangan Islam puritan,

Nabi meneguhkan kembali bahwa Islam hadir ke muka bumi untuk

menyempurnakan dan memperindah agama-agama sebelumnya, terutama

Yahudi dan Kristen yang diumpamakan dengan rumah yang megah, Nabi

datang dengan membawa sebuah batu yang diletakkan dibagian pojok

rumah. Nabi hadir untuk meneguhkan pesan tentang keesaan Tuhan dan

kemanusiaan.27

Di Madinah, Nabi Muhammad saw., telah mempraktikkan toleransi

dalam sikap keberagamaannya. Dikisahkan bahwa suatu hari ketika datang

delegasi Kristen Najran mengahadap Nabi saw, beliau menerima mereka

di Masjid Nabawi, saat itu Nabi saw sedang melakukan solat asar. Mereka

kemudian meminta izin untuk melakukan peribatan di Masjid. Nabi saw

pun membolehkannya, mereka pun melakukan kebaktian dalam Masjid

Nabawi sambil menghadap ke arah timur.28 Setelah menyatakan tunduk

pada kekuasan Islam, bersama mereka Nabi saw., membuat sebuah

perjanjian yang berisi tentang komitmen Islam menjaga keamanan

pemeluk agama lain. 29

27 Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikukturalisme, h. 219-220 28 Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikukturalisme, h. 220 29 Yang isinya sebagai berikut: Najran dan sekitarnya adalah tetangga Allah. Jiwa,

agama, tanah air, harta, seluruh penduduknya, keluarga, dan rumah-rumah ibadah mereka

berada dibawah tanggung jawab Nabi Muhammad saw. Mereka tidak boleh di ubah dari keadaan

mereka semula. Demikian pula hak dan agama mereka tak boleh diganti. Para pendetanya tak

boleh dicabut kependetaannya. Negeri mereka tak boleh dibiarkan diserang oleh pasukan tentara.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

Sikap dan perilaku yang toleran tidak hanya berlaku pada orang

lain, tapi juga berlaku pada diri sendiri, dan mestinya dimulai dari diri

sendiri. Ada satu cerita ketika Nabi Muhammad saw mengetahui salah satu

sahabatnya yang mantap untuk berpuasa di siang hari dan beribadah di

malam tanpa henti. Nabi Muhammad pun langsung mengingatkan agar ia

memperhatikan dirinya dan hendak memberi hak yang proposional pada

dirinya.30

Pun begitu terhadap orang yang murtad atau keluar dari Islam,

Nabi tak pernah menghukum orang yang seperti ini. Sekalipun ada hadis

yang menyuruh untuk membunuh orang yang pindah agama, sejarah

mencatat bahwa Nabi saw tak pernah mempraktekan hadis tersebut.

Menurut Abdul Moqsith Ghozali “…Ada tiga kemungkinan terkait hal ini,

pertama, mungkin pada zaman Nabi, persisinya di Madinah, tak ada orang

Islam yang pindah ke agama lain, sehingga hukum bunuh itu tak perlu

diberlakukan. Kedua, mungkin saja pada zaman Nabi ada orang Islam

yang pindah agama, tapi Nabi tak hendak menerapkan hukum itu karena

Allah dalam al-Qur’an tak menyatakan demikian. Hadis yang berkaitan

dengan perintah membunuh orang yang pindah agama itu kemungkinan

turun sebelum dua ayat al-Qur’an.31 Ketiga, mungkin pada zaman Nabi

Jika masih ada praktik riba yang sebelumny telah berlangsung saya (Nabi Muhammad) tidak

bertanggung jawab atas itu. Perjanjian ini berlaku selamanya, selama mereka masih berkomiten

dan masih memiliki niat baik. (lihat Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi

Berbasi Agama, h.278),lihat juga Al-Bayhaqi, Dalail al-Nubuwah juz 6, h.154 untuk teks aslinya. 30 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.268 31Q.S al-Mā’idah [5]:54 dan Q.S al-baqarah [2]: 217

افرين ياهدون ف عن دينه فسوف يت الل بقوم يب هم ويب ونه أذلة على المؤمنني أعزة على الك اي أي ها الذين آمنوا من ي رتد منكم ومن ي رتدد منكم عن دينه ف يمت وهو كافر (1واسع عليم ) سبيل الل ول يافون لومة لئم ذلك فضل الل ي ؤتيه من يشاء والل

ن يا والخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون ) (2فأولئك حبطت أعمالم ف الد

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

memang ada beberapa orang yang pindah agama, tapi hadis itu tak

diterapkan karena ia dimaksudkan unutk menjaga ketentraman dan

stabilitas umat Islam yang baru beberapa tahun memeluk agama Islam,

jadi hadis tersebut memiliki tujuan politik.”32

Senada dengan Abdul Moqsith, Muchlis Hanafi juga berpendapat

sama, hukum bunuh untuk orang yang pindah agama tak mungkin

direalisasikan kecuali dalam kasus yang disertai hirabah/gangguan

terhadap stabilitas keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan,

seperti yang terjadi dengan sekelompok orang yang merampas unta yang

diperuntukkan unutk sedekah (harta milik negara), dan membunuh anak-

anak penggembala unta (aparat negara). Mukhlis melanjutkan, jika riddah

itu menjadi pilihan pribadi maka itu bagian dari kebebasan beragama, dan

cara untuk “menyembuhkannya” adalah dengan ḥiwār (dialog), bukan

dengan menghukumnya.33

Demikian beberapa contoh keteladanan sikap toleran yang

ditunjukkan Nabi Muhammad saw pada sesama Muslim, juga kepada non-

Muslim; Yahudi, Kristen, musyrik, munafik dan murtad. Sebuah praktek

toleransi yang hampir tidak bisa dijumpai pada masyarakat modern

sekarang ini. Maka dari itu fenomena dewasa ini yang terjadi perihal

kecurigaan terhadap Muslim maupun non-Muslim tentu bertentangan

dengan keteladanan Nabi saw sendiri. Fenomena itu tentu harus mendapat

perhatian yang serius dalam rangka mengahadirkan kembali toleransi

32Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama

(Disertasi UIN Jakarta, 2007), h.185-187 33 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.280

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

dalam khazanah Islam sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad

saw.

3. Pada Masa Sahabat

Sebagai seorang yang sangat dekat dengan Nabi Saw., para sahabat

tentu menjadi garda terdepan unutk meneladani sikap juga perilaku Nabi

saw menyangkut segala sesuatu, termasuk toleransi itu sendiri. Berikut

beberapa contoh toleransi yang dipraktekan oleh para sabahat Nabi.

Sebuah wasiat ditulis oleh Abū Bakr kepada Usᾱmah bin Zaid,

panglima yang dikirim ke Syam: “…Kamu akan mendapatkan sekelompok

orang yang mendarmabaktikan dirinya untuk beribadah kepada Allah

sesuai keyakinannya. Biarkan mereka dan jangan ganggu keyakinan

mereka. Jangan bunuh perempuan, anak-anak dan orang yang lanjut usia.

Jangan rusak pepohonan dan bangunan. Jangan kau bunuh kambing dan

unta kecuali untuk dimakan. Jangan bakar pohon kurma dan jangan

tenggelamkan. Jangan bersikap curang terhadap harta rampasan dan

jangan pengecut.”34

Demikian juga apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattᾱb, ketika

berhasil merebut dan membebaskan Yerussalem dari pengusaan Romawi

pada tahun 15 H/635 M. Umar membuat perjanjian dengan penduduk

setempat yang berisikan jaminan keamanan untuk mereka. Jiwa, harta,

agama, salib dan semua agama yang ada di situ akan mendapat

perlindungan dari Umar. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki dan

34 Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik (dalam Maktabah Syamilah), h. 636

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

dihancurkan. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama

mereka. Kekhawatiran gereja akan dirubah menjadi Masjid sepeninggal

Umar nantilah yang mendasari Umar tidak melakukan sholat di dalam

gereja di Yerussalem saat itu, meski waktu shalat telah tiba, dan juga

meski pendeta memperkenankan hal itu. Umar khawatir sepeninggalnya

orang-orang akan menjadikan gereja itu sebagai Masjid hanya karena

Umar pernah solat disitu.35

Perlakuan serupa juga berlaku pada penganut Majusi, penyembah

api yang banyak tinggal di daerah Persia. Berdasarakan masukan tim 70,

Umar memberikan kepada penganut Majusi hak-hak seperti yang diterima

oleh Ahli Kitab. Ini sesuai sabda Nabi saw yang menyatakan,

“…Perlakukan mereka (majusi) seperti perlakuan terhadap Ahli kitab.”36

Di bawah kekuasaan Islam, para penganut non-Islam mendapat

kenyamaman, keamanan, kedamaian. Banyak di antara mereka yang

menduduki jabatan strategis pada masa dinasti Umayyah dan Abasiyyah.

Sir Thomas Arnold pernah mendata nama-nama menteri, gubernur, dan

dokter kepercayaan para khalifah dan berkesimpulan “Orang-orang

Kristen mendapat kekayaan yang luar biasa dan menggapai kesuksesan

pada masa awal Islam berkat kebebasan beragama dan kebebasan

kepemilikian yang dijamin oleh Islam. Sampai-sampai banyak di antara

mereka menduduki jabatan penting di istana para Khalifah.”37

35 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.282 36 Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik, (dalam Maktabah Syamilah) h. 395 37 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.284

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

C. Urgensi Toleransi dalam kehidupan Sosial Masyarakat

Agama ini berpesan bahwa hubungan antarmanusia adalah

hubungan persaudaraan, bukan hubungan take and give. Perlakukanlah

orang lain sebagai saudara. Persaudaraan ini menuntut hubungan yang

serasi dan jalinan kasih sayang.38

Keragaman makhluk, agama, budaya dan peradaban merupakan

illat (sebab) penciptaan, dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda.

Oleh karenanya, tanpa adanya toleransi tidak akan tercipta keharmonisan

dalam keragaman. Atas dasar itulah keragaman dan perbedaan merupakan

sebuah ketetapan Allah di alam semesta yang selamanya tak akan pernah

berubah. Keragaman tersebut menuntut adanya sikap harmonis antara

pihak-pihak yang berbeda. Disinilah menjadi sangat penting dalam

membangun antara kelompok manusia, budaya, peradaban,

aliran/madzhab, agama, syari’at, ras, suku, bangsa, warna kulit, bahasa,

kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu tentu hidup akan di penuhi dengan

kebencian, permusuhan dan menafikan satu dengan yang lain.39

Dalam konteks sosial-budaya, menurut Asyraf Abdul Wahab,

toleransi merupaka sebuah keniscayaan. Pada hakikatnya masyarakat yang

plural membutuhkan kedamaian dan perdamaian. Toleransi merupakan

ajaran semua agama, juga merupakan kehendak semua makhluk Tuhan

untuk hidup damai dan saling menghargai. Disini harus di pahami dengan

baik bahwa hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan

38 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:

Mizan, 2008) h. 367 39 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.265

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

saling menghargai dalam keragaman. Karena salah satu tujuan toleransi

adalah membangun hidup damai antara pelbagai kelompok masyarakat

dan pelbagai latar belakang kebudayaan, dan identitas, maka toleransi

harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain;

sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi

keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain

dan mendukung secara antusias berbagai perbedaan dan keragaman yang

diciptakan Tuhan.40

D. Ayat-ayat Terkait dengan Toleransi

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sikap toleran,

Zuhairi Misrawi bahkan menyebut ada 300-an ayat yang secara eksplisit

menyebutkan tentang toleransi dalam keaneragaman bahasan dan topiknya,

jalan menuju toleransi dalam al-Qur’an adalah jalan yang tertata rapi. berikut

akan disebutkan beberapa ayat tersebut:

1. Q.S al-Anbiyᾱʻ: [21]:107

ومآ أرسلناك إلرحة ل لعالمني

“Dan tiadalah kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad),

kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.” (Q.S. Al-Anbiyāʻ;

[21] :107)

Ayat ini menceritakan tentang tugas kerasulan Nabi Muhammad

saw., yang diutus untuk semua manusia dan untuk setiap zaman

sampai datangnya hari kiamat. Berbeda dengan risālah para Nabi

40Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi:Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikukturalisme, h. 182

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

terdahulu yang terbatas untuk masa tertentu dan kaum tertentu, risālah

Nabi saw., datang sebagai rahmat bagi alam semesta, oleh karena itu

ajarannya harus menyentuh menyentuh dan meluas bagi setiap

permaslahan kehidupan.41

Ibnu ʻAsyūr menegaskan bahwa ajaran yang dibawa Nabi

Muhammad saw, merupakan merupakan ajaran kasih sayang yang

lebih besar daripada kasih sayang para Nabi sebelumnya. Syari’at

kehanifan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim merupakan ajaran yang

khusus bagi dirinya, begitupun apa yang dibawa oleh Nabi Isa dan

Musa. Tapi ajaran kasih sayang yang dibawa Nabi Muhammad saw,

bersifat paripurna, kasih sayang terhadap seluruh makhluk yang ada di

alam semsesta, karenanya, dalam pesan tersebut terdapat hikmah

tuhan dalam mengatur urusan manusia agar syari’at yang dibawa oleh

umat Islam adalah syari’at kasih sayang hingga hari kiamat.42

2. Q.S. Al-Baqarah [2] :256

الر شد من الغي فمن يكفر بلطاغوت وي ؤمن بهلل ف قد ين قد ت بني لإكراه ف الد

يع عليم استمسك بلعروة الوث قى ل انفصام لا وهللا مس

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan

yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada

thagut dan beriman pada Allah, maka sesungguhnya ia

telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat yang

41 Mutawalli Sya’rawi, Tafsīr al-Syaʻrāwī, (TK: Dar Ikhbar al-yaum, 1991). v.16, h.9675 42 Muhammad Ṫāhir Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dᾱr al-

Tunisiyah, TT) v.7 h.168

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar dan lagi

maha mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :256).

Sayyid Quṭb memulai penjelasan ayat ini dengan berkata: bahwa

aqidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan

penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Islam datang kepada

manusia melaui kemampuan akal, intuisi dan perasaannya. Dengan

kata lain, Islam datang menekankan pada bukti dan penjelasan yang

sangat jelas, sehingga bisa dibedakan dengan jelas mana jalan yang

benar dan mana yang salah. Karena bukti itu sudah jelas, maka

manusia tak perlu lagi dipaksa, ditekan, diancam apalagi diteror untuk

memeluk agama Islam. Kata “la” dalam ayat ini menafikan semua

jenis pemaksaan (li al-nafī al-jins).43

Ada beberapa riwayat mengenai turunnya ayat ini, dan

semuanya menunjukkan pesan yang jelas, bahwa tidak perlu memaksa

keluarga, kolega maupun pihak lain untuk masuk Islam, Sayyid

Thanṭaḥawī dalam kitab tafsir al-Wasiṭ mengutip pendapat Ibnu

Abbas mengatakan bahwa, ayat ini turun berkenaan dengan lelaki

Anshor dari kalangan Bani Salim Ibnu ‘Auf yang dikenal dengan

panggilan al-Hushain. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang

memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri dalah seorang

Muslim. Maka, ia bertanya pada Nabi Muhammad saw, “bolehkan aku

memaksa keduanya untuk masuk Islam? Karena, sesungguhnya

43 Sayyid Quthb, Tafsir fii Dzilal al-Qur’an, (Beirut: TP, 1971), h. 235

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama

Nasrani.” Kemudian Allah menurunkan ayat ini.44

3. Q.S. Al-An’am; [6] :108

ف يسب وا هللا عدوا بغي علم كذلك زي نا لكل أمة ولتسب وا الذين يدعون من دون هللا

با كانوا ي عملون عملهم ث إىل رب م مرجعهم ف ي ن ب ئ هم

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang

mereka sembah selain Allah, maka akibatnya nanti mereka

akan memaki Allah dengan melampaui batas dan tanpa

pengetahuan. Demikianlah kami perindah bagi setiap umat

amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali,

lalu dia beritahukan kepada mereka apa yang dahulu

mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am; [6] :108)

Dalam penjelasan tafsirnya, Wahbah Zuhaili mengatakan

bahwa, Allah Swt melarang Rasul dan kaum beriman memaki Tuhan

kaum Musyrikin. Boleh jadi ada kemaslahatan dalam memaki Tuhan

mereka, tapi kemafsadatan yang ditimbulkannya jauh lebih besar,

yaitu mereka akan membalas dengan memaki Allah kelewat batas,

untuk melecehkan orang beriman, tanpa mereka memiliki

pengetahuan akan kebesaran Allah. Ini menunjukan bahwa ketaatan

atau kemaslahatan jika membawa pada kemaksiatan dan kerusakan

ahrus ditinggalkan.45

44 Jalaludin al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, 45 Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr Fī al-Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, (Beirut:

Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H) v.7, h.232

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

Manusia pada umumnya tidak akan pernah rela apa yang

disembah, dipuja, dikagumi dan diyakini dijelek-jelekan dan dihina

yang lain. Menyangkut apapun itu, oleh karena itu Allah

mengingatkan pada ayat diatas dengan tegas. Orang Musyrik

menganggap baik apa yang mereka sembah, dan kitapun demkian.

Karena itu janganlah saling mencaci.

4. Q.S. Yunus; [10] :99

يعا أفأنت تكره الناس حت يكونوا مؤمنني ولو شآء رب ك ألمن من ف األرض كل هم ج

{99}

“Jika Tuhanmu mengehendaki, tentu akan beriman semua

yang ada di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang

yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus; [10] :99).

Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah berkehendak agar

seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka hal itu akan mudah

terlaksana. Tetapi Dia tidak menghendaki demikian, Dia menghendaki

melaksanakan sunnah-Nya di alam raya ini, taka ada seorang pun

yang dapat mengubahnya kecuali Dia sendiri. Memberi akal, pikiran

serta perasaan bagi manusia adalah salah satu sunnah-Nya. Dengan itu

manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,

mana yang baik untuk dirinya, orang lain, maupun unutk alam raya

ini. Dengan itu pula manusia bisa menilai apa yang disampakan oleh

para utusan Allah, tidak ada paksaan bagi manusia dalam menentukan

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

pilihannya, baik atau buruk. Dan manusia akan dibalas sesuai apa

yang dipilihnya itu.46

5. Q.S. Al-Imron [3] :64

نكم أل ن عبد إل هللا ول نشرك ن نا وب ي به قل ايأهل الكتاب ت عالوا إىل كلمة سوآء ب ي

ئا ول ي تخذ ب هدوا بان مسلمون عضنا ب عضا أربب م ن دون هللا فإن ت ولوا ف قولوا اش شي

"Katakanlah (Muhammad),; wahai ahli kitab! Marilah

(kita)menuju kepada satu kaliat (pegangan) yang sama

antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain

Allah dan kita tidak mempersekutukannya dengan sesuatu

pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain

tuhan-tuhan selain Allah. jika mereka berpaling maka

katakanlah (kepada mereka) :saksikanlah bahwa kami

orang Muslim.” (Q.S. Al-Imron [3] :64)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi

Muhammd saw, agar mengajak Ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani

untuk berdialog secara adil dalam mencari asas-asas persamaan dari

ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul dan kitab-kitab yang diturunkan

Allah kepada mereka, yaitu Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Kemudian

Allah menjelaskan maksud ajakan itu agar mereka tidak menyembah

selain Allah yang mempunyai kekuasaan mutlak, yang berhak

menciptkan syari’at dan berhak menghalalkan dan mengharamkan

serta tidak mempersekutukan-Nya. Terhadap Ahli Kitab yang

bertempat tinggal di Madinah atau di daerah lain, bahkan sampai akhir

zaman, pesan ayat ini ditujukan, sedemikian besar kesungguhan dan

46 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI,

2007) h. 367

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

keinginan Nabi saw agar orang-orang Nasrani menerima ajakan Islam.

Penggalan terkahir ayat ini mengandaikan penolakan ajakan itu, dan

itu memberi penjelasan, meskipun kedua kubu (kubu Nabi saw dan

kubu Nasrani) mempunyai kepercayaan yang berbeda, mereka tetap

mengakui eksistensi satu sama lain tanpa memprcayainya.47

6. Q.S. Al-Hujurat [49] :13

عند هللا يأي ها الناس إان خلقناكم م ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوب وق بآئل إن أكرمكم

إن هللا عليم خبي أت قاكم

“Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptkan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian

kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling

mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

(Q.S. Al-Hujurat [49] :13)

Ada dua kisah mengenai turunnya ayat ini,48 yang memberi

pesan yang sangat agung dan universal. Pesannya adalah mengahpus

“kasta” dalam masyarakat Arab dan menegaskan kembali sebagai

hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau stastus sosial

maupun pekerjaan yang menentukan keutmaan seorang hamba, tetapi

47 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan,Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.2,

h.140-141 48 Kisah pertama terjadi saat fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas ka’bah dan

mengumandangkan azan. Maka, sebagian penduduk Mekah pun kaget. Sebagian mereka berkata:

budak hitam inikah yang adzan diatas ka’bah,. Sebagian yang lain berkata: jika Allah

membecinya, tentu akan menggantinya. Lalu turunlah ayat ini. Lalu kisah yang kedua dari ayat ini

berkaitan dengan Abi Hindun – yang besangkutan adalah bekas budak yang kemudian bekerja

sebagai tukang bekam – .oleh Nabi Muhammad saw, meminta kaum Bani Bayadhah menikahkan

putri mereka dengannya. Namun mereka mnolak dengan berkata: Ya Rasul, pantaskah kami

menikahkan putrid kami dengan mantan budak kami?. Kemudian turunlah ayat ini. Lihat Jalaludin

al-Suyuthi, Lubabun al-Nuqul Fii Asbab al-Nuzul, h.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

ketakwaannya. Ketakwaan tidak bisa diraih dengan harta, rupa, nasab

ataupun yang lain-lain, tetapi diraih dengan amal saleh.49 Allah

menciptkan manusia berbeda-beda suku, ras, bangsa untuk saling

mengenal. Melalui perkenalan ini mereka saling belajar, saling

memahami, saling mengerti dan saling memperoleh manfaat baik

moril maupun materil. Perkenalan ini niscaya akan menginspirasi

semua pihak unutk mejadi perbadi yang lebih baik dan berlomba-

lomba dalam kebaikan.

Manusia tidak bisa memilih untuk lahir dari siapa yang

beragama tertentu, keturunan siapa dan lahir di daerah mana.

Keragaman yang dimaksudkan al-Qur’an adalah untuk kita saling

mengenal satu sama lain, bukan untuk meneror, menakuti, memaksa

atau bahkan membunuh. Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa

belajar membangun peradaban, dengan mengerti perbedaan kita akan

lebih toleran. Karena kesalahpahaman yang sering terjadi itu akibat

kita belum saling mengenal keragaman antara kita.50

49 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāgī, (Mesir: Mustafa al-babi al-hilbi, 1946

M/1365 H), v.26, h.142 50 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an Di Medsos:Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci

Pada Era Media Sosial, h.148-149

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

7. Q.S al-Hujurat [49]:11

م ن هم ولنسآء م ن ق وم عسى أن يكونوا خيا م ن ايأ ي ها ال ذين ءامنوا ليسخر ق وم

م ن هن ولت لمزوا أنفسكم ولت ناب زوا بأللقاب بئس اإلسم ن سآء عسى أن يكن خيا

لئك هم الظالمون الفسوق ب عد اإلميان ومن ل ي تب فأو

“Hai orang-orang beriman, janganlah kaum lali-laki dan

perempuan mengolok-olok yang lain, boleh jadi yang

diolok-olok itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka

mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan

gelar yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan

adalah kefasikan setelah iman, dan barang siapa yang

tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang

dhzolim.” (Q.S al-Hujurat [49]:11).

Dalam masyarakat saat ini upaya untuk mendeskriditkan,

mengolok-olok atau membulyy – bahasa modernnya – individu,

kelompok maupun golongan lain dengan ungkapan yang tidak pantas

menjadi fenomena akhir-akhir ini yang semakin luas berkembang.

Nah ayat ini secara sederhana membahas mengenai larangan

melakukan hal itu. Ada beberapa riwayat yang terkait dengan

turunnya ayat ini.51 Ayat ini adalah ayat yang penting dalam

51 Riwayat pertama, bahwa ayat ini turun terkait dengan ejekan yang dilakukan kelompok

bani Tamim terhadap para sabahat Nabi saw, yang miskin seperti Bilal, Shuhaib, Salman al-Faris,

Salim Maula Abi Huzaifah, dan lin-lain. Riwayat lain menyebut bahwa ayat ini terkait dengan

ejekan sebagian perempuan terhdap Shafiyah binti Huyay Bin Akhtab (Istri Nabi saw) yang

ketrurunan Yahudi. Nabi saw, kemudian berkata kepada Shafiyah: “mengapa tidak kamu katakana

kepada mereka bahwa bapakku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku Nabi Muhammad

saw?!”. riwayat yang lain lagi menceritakan bahwa ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini

berkenaan dengan Tsabit bin Qais, seorang sahabat Nabi yang terganggu pendengarannya, dank

arena itu ia melangkahi begitu banyak orang di majelis Naabi saw, untuk bisa berdekatan dan

mendengar tausiah dari Nabi saw. Tsabit ditegus oleh seseorang, tetapi ia balas dengan bertanya,

“siapakah ini?” ketika orang itu menjawab, “saya Fulan”. Tsabit menyatakan bahwa orang itu anak

si A yang terkenal memliki aib pada masa jahiliyah. Maka malulah orang itu, dan kemudian

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

membangun tatanan masyarakat dan etika sosial, terutama dalam

kapasitas kita sebagai manusia. Dalam ranah sosial haruslah terbangun

keharmonisan, kedekatan sosial antara satu agama dengan agama lain,

antara satu kelompok dengan kelompok lain, antara satu paham

dengan pemahaman lain, antara satu etnis dengan etnis lain dan

seterusnya.

8. Q.S. An-Nahl [16] :125

بيل رىب كى بلكمىة وىالمىوعظىة الىسىنىة وىجىادلم بلت هيى أىحسىن إن ربك ادع إلى سى

أعلم بلمهتدين ه وهو هو أعلم بن ضل عن سبيل

“Serukanlah ke jalan Tuhanmu secara bijaksana, nasehat

yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara

yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih tau siapa

yang lebih tersesat dari jalan-Nya. Tuhan

MahaMengetahui atas orang-orang yang mendapat

petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16] :125)

Ayat ini menurut Sayyid Quṭb adalah fondasi pokok dalam

menetapkan kaidah dakwah, prinsipnya, media, caranya. Dakwah

dengan hikmah yakni dengan melihat keadaan situasi dan kondisi

mukhathab (sasaran), sesuai dengan apa yang bisa diterima oleh

mereka, tidak sampai memberatkan serta membebani dengan taklif-

taklif tertentu sebelum adanya kesiapan hati mereka.52

turunlah ayat ini menegur Tsabit. Lihat, Lihat Jalaludin al-Suyuthi, Lubabun al-Nuqul Fii Asbab

al-Nuzul, h. 44 52 Sayyid Quthb, Tafsir fii Dzilal al-Qur’an, (Beirut: TP, 1971), h.292

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

Quraish Shihab juga menjelaskan hal senada, bahwa menurut

sementara ulama, ayat ini menjelaskan tiga macam metode dakwah

yang harus disesuaikan dengan sasarannya. Jika sasarannya adalah

cendekiawan dengan pengehatuan yang mumpuni maka disampaikan

dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan

kemampuan mereka. Kemudian jika sasarannya adalah kaum awam,

maka disampaikan dengan mau’idhoz hasanah, yakni memberikan

nasihat yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka

yang sederhana. Sedang jika sasarannya, ahl al-Kitab dan penganut

agama-agama lain maka diterapkanlah perdebatan dengan cara yang

terbaik, yaitu dengan logika dan retrika yang halus, lepas dari

kekerasan dan umpatan.53

9. Q.S. Al-Ma’idah [5] :48

لوكم ف لك ل جعلنا منكم شرعة ومن هاجا ولو شآء هللا لعلكم أمة واحدة ولكن ل ي ب

يعا ف ي ن ب ئكم با لفون كنتم فيه تت مآءاتكم فاستبقوا اليات إىل هللا مرجعكم ج

“Untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan

jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya ka,u dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu

terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepada kamu,

maka berlomba-lomblah berbuat kebaikan. Hanya kepada

Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu

terhadap apa yang dulu kamu perselisihkan.” (Q.S. Al-

Ma’idah [5] :48)

53 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.6,

h.774-775

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

10. Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 1-3

اخذوالءامنوالاذينٱأيهاي يعدتت كم و ءكمجا بماكفرواوقد موداةل ٱبهمإلي قونتل ءليا أو وعدوا

ن سولٱرجونيخ حق ل ٱم ٱبمنواتؤ أنوإيااكم لرا سبيليفياد جه تم خرج كنتم إنرب كم للا

وني ضاتمر ءتغا ب ٱو فقد منكم هعل يف ومنلنتم أع وما تم في أخ بما لمأع وأنا موداةل ٱبهمإلي تسر

وأل ديهم أي كم إلي اسطو ويب ء دا أع لكم يكونواقفوكم يث إن ١لسابيلٱءسوا ضلا ءلسو ٱبهمسنت

ٱونكم بي صليف مةقي ل ٱميو دكم ل أو ول حامكم أر تنفعكم لن ٢فرونتك لو وودوا ملونتع بماللا

٣بصير

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku

dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada

mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal

sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang

kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu

beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk

berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat

demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad)

kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang

kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.” “Dan barangsiapa di

antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari

jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak

sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu

dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.”

“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu

pada Hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha

Melihat apa yang kamu kerjakan.”

11. Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 8-9

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

ٱكمهى ين لا ينٱفيتلوكم يق لم لاذينٱعنللا نرجوكميخ ولم لد وهأنركم دي م اسطو وتق م تبر

ٱإناهم إلي ٱكمهى ين إناما ٨سطينمق ل ٱيحبللا ينٱفيتلوكم ق لاذينٱعنللا نرجوكموأخ لد م

هرواوظ ركم دي يتولاهم ومنهم تولاو أنراجكم إخ على ٱهمئكفأول

٩لمونلظا

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak

(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berlaku adil.”,. “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu

menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena

agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk

mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka

mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Keragaman agama, budaya, dan peradaban merupakan sebab penciptaan,

dalam artian bahwa manusia itu diciptakan untuk berbeda. Oleh karena itu, tanpa

toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman. Atas dsar itu juga,

keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam raya ini

yang sampai kapanpun tidak akan berubah. Keragaman ini menuntut adanya

hubungan yang harmonis serta saling mengenal antara satu sama lain yang saling

berbeda, disinilah sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan

antara kelompok manusia, budaya, peradaban, aliran/madzhab, agama, syari’at,

suku, ras, bangsa, bahasa dan sebgainya. Tanpa itu kehidupan kita akan dipenuhi

dengan perseturuan, kebencian, permusuhan dan saling menafkan satu sama

lain.54

Demikianlah sekelumit dari begitu banyak ayat al-Qur’an yang

menyebutkan tentang sikap dan perilaku yang toleran dalam Islam. Dari sini

semakin jelas bahwa perbedaan h arus dipahami sebagai rahmat, ketauhidan

54 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.265

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

harus menjadi landasannya. Tuntutan bersikap adil dan objektif dalam

memandang orang lain karena Allah adalah Tuhan seluruh umat manusia dan

alam semesta yang telah memuliakan seluruh umat manusia tanpa melihat

perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan lainnya harus selalu didahulukan.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

BAB III

PENDEKATAN MAQĀSῙD DALAM KAJIAN TAFSIR

Pada awalnya, manhaj maqᾱṣidī dikembangkan dalam tradisi

hukum Islam yang kemudian memunculkan tawaran pemikiran yang

disebut dengan maqᾱṣid al-syarīʻah. Yakni, term yang dimaknai hanya

terbatas pada tujuan dan maksud sang pemberi syari’at (Tuhan) dalam

kontruksi hukum Islam. Dengan kata lain, maqᾱṣid al-syarīʻah merupakan

cara berpikir untuk mencari hikmah atau filosofi hukum yang didasarkan

pada alasan (‘illat) hukum. Sehingga, dalam perkembangannya dasar

penggalian hikmah atau filosof hukum itu berkembang ke dasar sumber

agama, untuk dibangun tawaran-tawaran yang lebih luas lagi.1

A. Maqaāṣid al-Syārīʻah, Maqāṣid al-Qur’ān dan Tafsir Maqᾱṣidī

Kata maqᾱṣid sendiri berasal dari bahasa arab dan merupakan

bentuk jamak dari kata maqṣad (مقصد), qaṣd (قصد,) maqṣid (مقصد) atau

quṣūd (قصود ) yang merupakan derivasi dari kata kerja qaṣada-yaqṣudu

yang mempunyai beragam makna, yakni menuju suatu arah, tujuan,

tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah

antara lurus dan berlebih-lebihan dan kekurangan.2 Makna-makna tersebut

dapat ditemui dalam penggunaan kata maqṣad dan berbagai derivasinya

dalam al-Qur’an.3 Sebab, kata tersebut sering dikaitkan dengan kata al-

1 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqashidi, dalam Jurnah Mutawatir, Vol 6, No 2, Juli-

Desember 2016, h.2017 2 Ibn Mandzur, Lisᾱn al-‘Arᾱb, (Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-‘Ilmiyyah, 2009), v.3, h.355 3 Seperti dalam Q.S al-Taubah: 42 لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا dengan makna “perjalanan

yang tidak seberapa jauh, mudah dan lurus,” Q.S. Fᾱṭir: 32 ومن هم مقتصد dengan makna “Dan

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

ḥadaf, al-garad, al-maṭlub, dan al-gayah, al-ḥikam, al-ma’ᾱni dan al-

asror.4 Sementara al-syarīʻah menurut al-Rasyūnī bermakna sejumlah

hukum ʻamaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik menyangkut

konsepsi aqidah maupun perundang-undangan hukumnya.5 Dengan

demikian maqᾱṣid al-syarīʻah secara etimologi memiliki makna tujuan

segala ketentuan agama yang disyari’atkan kepada manusia.

Sedangkan terminologi, definisi maqᾱṣid al-syarī’ah mengalami

perkembangan. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syāṭibī, definisi yang

kongkret dan jelas tentang maqᾱṣid al-syarīʻah belum ditemukan. Para

ulama klasik cenderung mengikuti makna bahasa dan padanan-padanan

maknanya.6 Sedangkan bagi para ulama uṣūl al-fiqh, maqᾱṣid adalah

pernyataan alternatif tentang maṣᾱliḥ (kemaslahatan-kemaslahatan). Di

antara tokoh-tokohnya adalah pertama, al-Juwainī (w.478 H/1185 M),

yang dinobatkan sebagai salah satu pencetus pertama konsep maqᾱṣid,

yakni menggunakan istilah maqᾱṣid dan maṣᾱliḥ al-‘ammah

(kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.7

sebagian mereka ada yang pertengahan atau seimbang,” Q.S. al-Naḥl: 9 وعلى الله قصد السهبيل ومن ها dengan makna “Dan hak bagi Allah menerangkan jalan yang lurus, dan diantara jalan-jalan جائر

yang bengkok,” Q.S Luqman:19 واقصد ف مشيك dengan makna “Dan sederhanalah (tengah-tengah)

kamu dalam berjalan.” 4 Abdul Karim Hamidi, al-Madkhᾱl Ilᾱ Maqᾱsīd al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-

Rusyd, 2007) h.21 5 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid al-

Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS,2010) h.180 6 Mislanya al-Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asmawi mengartikannya

dengan tujuan-tujuan hukum, lihat Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan

Evolusi Maqᾱṣid al-Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.180 7 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, (Bandung: Mizan, 2015) h. 33

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

Kedua, al-Gazāli (w. 505 H/1111 M) yang mengelaborasi

klasifikasi maqᾱṣid dan memasukkannya dalam al-Maṣᾱliḥ mursalah,

yakni kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung oleh nash (al-

Qur’an/hadis).8 Ketiga, Najm al-Dīn al-Tufī (w.716 H/1216 M) – tokoh

yang memberikan hak istimewa pada maqᾱṣid – mendefinisikan

kemaslahatan sebagai apa yang memenuhi tujuan dari sang pembuat

syari’at (Allah). Keempat, al-Qarrafi (w.1285 H/ 1868 M) yang

mengaitkan kemaslahatan dan maqᾱṣid melalui kaidah uṣūl al-fiqh yang

berbunyi: “…Suatu maksud tidak sah kalau tidak memenuhi mengantarkan

pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudaratan.”9 Dari berbagai

variasi definisi ini menunjukkan akan eratnya hubungan maqᾱṣid al-

syarī’ah dengan hikmah, illat, tujuan, niat dan kemaslahatan.10

Dalam perkembangannya, kata maqᾱṣīd tidak selalu disandingkan

dengan kata al-syarī’ah, tapi juga dengan kata ‘al-Qur’an’ yang

membentuk frase maqᾱṣīd al-Qur’an.11 Menurut sebagian peneliti, istilah

8 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Musytasyfa Min Ilm al-Uṣūl, (Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-

‘Ilmiyyah, TT), h.172 9 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 33 10 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid al-

Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.180 11 Beberpa ulama mempunyai klasifikasi sendiri tentang maqᾱṣīd al-Qur’an ini, di

antaranya adalah: Yusuf al-Qardhawi, ia menyimpulkan bahwa “...Maqᾱṣīd al-Qur’an terdiri dari

melestarikan keyakinan akidah, risalah yang benar, menjaga kemulian manusia dan hak-haknya,

khususnya orang-orang yang lemah, menyeru manusia untuk beribadah dan bertakwa pada Allah,

menyucikan diri, membangun keluarga yang harmonis dan memperlakukannya secara adil,

membangun bangsa yang kuat serta menyeru ke keadaan dunai yang lebih kondusif.” Lihat: Abdul

Moqsith Ghozali, Memahami Maqᾱṣīd al-Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium

General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2014.

Sementara itu, dalam Wahy al-Muhammady, Rasyid Rida merumuskan 10 poin penting

maqᾱṣīd al-Qur’an, pertama, pentingnya tiga rukun agama, yakni iman kepada Allah, iman akan

hari kebangkitan dan pembalasan, dan amal saleh sebagai init pesan dari tujuan diutusnya Nabi.

Kedua, berisi tentang kenabian, kerasulan dan tugas-tugas para rasul. Ketiga, menjelaskan bahwa

Islam adalah agama yang menyempurnakan manusia sebagai individu, kelompok dan bangsa.

Keempat, Islam adalah agama yang memeperhatikan perbaikan umat manusia dalam bidang sosial,

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

itu dianggap sebagai bentuk evolusi maqᾱṣīd, akibat beberapa keterbatasan

cakupan maqᾱṣīd syarī’ah sebagai frase lama yang tidak digali secara

menyeluruh dari sumber pertama syari’at.12 Sementara maqᾱṣīd al-Qur’an

yang memuat seluruh teks al-Qur’an memliki wilayah cakupan maqᾱṣīd

yang tidak hanya terbatas pada wilayah fikih saja, melainkan menyentuh

apa saja yang bisa dikatakan sebagai perintah dan larangan Tuhan, baik

dalam tataran tingkah laku manusia maupun akidah dan aspek-aspek

lainnya dalam kehidupan.13 Dengan ini maksud dari ungkapan maqᾱṣīd al-

Qur’an adalah tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-

hukum al-Qur’an.14

Dari dua definisi tentang maqᾱṣīd al-Syari’ah dan maqᾱṣīd al-

qur’an, hakikatnya secara tidak lansgung menunjukkan tidak perbedaan

politik dan kebangsaan dengan delapan pokok persatuan (umat, kemanusiaan, agama, undnag-

undang keagamaan, kebangsaan, ppengadilan dan persatuan bahasa. Kelima, hikmah dibalik

kewajiban dan larangan dalam Islam sebagai inti ajaran Islam yang mudah dan moderat. Keenam,

dasar-dasar Islam dalam bernegara dengan cirri memperhatikan keadilan dan persamaan, melarang

kezaliman, dan menjunjung keutamaan. Ketujuh, pesan al-Qur’an tentang perbaikan keuangan.

Kedelapan, Islam adalah agama perdamaian. Kesembilan, pemberian semua hak perempuan. Dan

yang Kesepuluh, anjuran untuk membebaskan perbudakan. Lihat: Kusmana, Epistimologi Tafsīr

Maqᾱṣidī, h. 217.

Sedangkan Thahir Ibn al-Asyur merumuskan beberapa poin, pertama, memperbaiki

akidah. Kedua, mengajarkan nilai akhlak. Ketiga, menetapkan hukum-hukum syrai’at. Keemapt,

mengajarkan dan menunjukkan jalan kebenaran pada umat. Kelima, memberikan pelajaran melaui

cerita-cerita yang baik dari umat terdahulu. Keenam, mengajarkan syari’at sesuai denga

perkembangan zaman. Ketujuh, memebrikan kabar gembira dan peringatan. Kedelapan,

membuktikan kemukjizatan al-Qur’an. Lihat: Abdul Moqsith Ghozali, Memahami Maqᾱṣīd al-

Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

Tahun 2014. h.3 12 Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqasidi,” Jurnal Rausyan Fikr, Vol 13 No.2 Desember

2017, h.326 13 Halil Thahir, Ijtihad Maqsidi: Rekontruski Hukum Islam berbasis Interkonesitas

Maslahah, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h.16 14 Abdul Karim Hamidi, al-Madkhᾱl Ila Maqᾱsīd al-Qur’an, h.27

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

yang begitu kontras antara kedua istilah itu. Sebagaimana apa yang

diyakini oleh Jasser Auda, yang tak membedakan kedua istilah ini.15

Di era kontemporer ini, sudah banyak sarjana yang menggunakan

pendekatan ini untuk memahami dan menafsirkan sumber agama Islam,

khususnya al-Qur’an. Rasyīd Ridā, Ibn Āsyūr, Muhammad al-Gazālī,

Yūsuf al-Qardāwī adalah beberapa di antaranya. Adapun penggunaan

istilah maqᾱṣīd dalam tradisi tafsir dimungkinkan karena keduanya, tafsir

dan maqᾱṣīd bukanlah sesuatu yang berbeda, justru memiliki kesamaan

tujuan, visi, cakupan dan batasan kontruksi penarikan pesan Ilahi.

Kesejatian konsep maqᾱṣīd yang dapat memelihara signifikansi Islam bagi

manusia, juga merupakan cita-cita ideal penafsiran al-Qur’an. Prinsip

dasar pendekatan maqāṣid adalah memelihara pesan universal al-Qur’an

untuk menjawab kekhususan dan perbedaan masalah yang dihadapi

manusia, sementara tafsir al-Qur’an juga merupakan perangkat

metodologis untuk mengungkap pesan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi

manusia.16

Dari beberapa keterangan di atas, bisa diambil benang merah,

bahwa tafsir maqᾱṣīdī merupakan salah satu corak tafsir yang

pemaknaannya mengarah pada visi al-Qur’an, baik universal maupun

parsial, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.17

Sementara itu, Jasser Auda mengatakan secara sederhana, bahwa tafsir

maqᾱṣīdī adalah tafsir yang mempertimbangkan faktor maqᾱṣīd yang

15 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqasidi, dalam Jurnal Rausyan Fikr, h.328 16 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqāṣidī, dalam Jurnah Mutawatir, h.208 17 Wasfi Asyur Abu Zaid, Tafsir al-Maqshid li Suwar al-Qur’an al- Karim, h.7

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

berdasar pada persepsi bahwa al-Qur’an suatu keseluruhan yang menyatu.

Berdasarkan pendekatan yang menyeluruh ini kemudian sejumlah ayat

yang berkaitan dengan hukum, akan meluas dari beberapa ayat menjadi

seluruh teks al-Qur’an, surah dan ayat yang membahas tentang keimanan,

kisah para Nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya menjadi

bagian dari sebuah “gambaran yang utuh.”18

Tafsir Maqāṣidī adalah tafsir dengan cara kerja menekankan cara

pandang pada pencarian nilai, maksud, dan ke-maṣlaḥat-an dalam sebuah

ayat atau mengalihkan arah pandangan dengan melakukan pencarian pada

maqasid al-Qur’an.19 Singkatnya, Tafsir Maqᾱṣīdī adalah tafsir yang

didedikasikan untuk mengungkap hikmah, maksud serta ‘illat dan

memelihara kesejatian dan kemenyeluruhan ajaran Islam yang sesuai

dengan apa yang diinginkan oleh Syᾱri’.

B. Kajian Maqᾱṣīd dalam Catatan Sejarah

Tafsir Maqᾱṣīdī merupakan wacana baru dalam dirkursrus

penafsiran al-Qur’an. Namun catatan sejarahnya bisa dilacak sesuai

dengan perkembangan ilmu maqᾱṣīd itu sendiri. Sejarah tentang maksud

atau tujuan tertentu yang mendasari perintah al-Qur’an dan hadis bisa

dilacak, bahkan sampai masa sahabat.20 Salah satu yang paling populer

18 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 299 19 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqāṣidī, dalam Jurnal ,Suhuf vol 9,

No.2, Desembr 2016, h.297 20 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 299

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

adalah hadis tentang ‘salat asar di Bani Quraiẓah’– dimana Nabi saw

mengutus sekelompok sahabat untuk pergi ke sana dan solat asar di sana.21

Batas waktu solat asar hampir habis sebelum para sahabat itu tiba

disana, kemudian mereka pun terpecah menjad dua kubu; kubu pertama,

tetap bersikukuh pada dalᾱlah al-naṣ, yakni bunyi literal ucapan Nabi

yang menyuruh mereka untuk solat asar di Bani Quraiẓah. Sedangkan

kubu kedua, memahaminya melalui dalᾱlah al-maqṣūd, yakni maksud

Nabi saw., adalah memerintahkan untuk bergegas dalam perjalanan ke

Bani Quraiẓah supaya bisa solat asar disana sebelum waktunya habis,

karena kemudian mereka kehabisan waktu asar, kubu kedua ini solat

sebelum sampai daerah itu. Menurut para perawi, setelah para sahabat itu

kembali ke Madinah dan melaporkannya pada Nabi, Nabi membenarkan

kedua kubu itu.22

Kejadian lain yang menunjukkan konsekuensi yang lebih penting

dari penerapan pendekatan maqᾱṣīd terhadap perintah Nabi saw adalah apa

yang terjadi pada masa khalifah Umar Ra. Dalam satu kejadian, para

sahabat meminta Umar unutk membagikan harta rampasan perang

(Ganīmah), dengan mengacu pada ayat al-Qur’an yang secara jelas

memang membolehkan hal itu. Akan tetapi, Umar menolak usulan para

sahabat itu juga dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang lain yang

maknanya lebih umum yang menyatakan bahwa Allah memiliki ‘maksud’

21 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhārī, Shahīh Bukhārī, (Beirut: Dār ibnu

kaṡīr, 1986), h.321 22 Jasser Ada, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 42

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

agar orang kaya itu tidak mendominasi kekayaannya.23 Model berpikir

Umar inilah yang didasari dengan pendekatan maqᾱṣīd, yakni untuk

menguarangi kesenjangan dan pemerataan ekonomi.24 Fenomena lain,

ketika Umar ra., menangguhkan hukuman pidana potong tangan pada

pencuri pada musim paceklik di Madinah.25 Menurutnya, penerapan

hukuman yang ditentukan dalam naṣ, dalam situasi ketika masyarakat

sedang dalam masa paceklik dan kesulitan bahan pokok untuk menjamin

keberlangsungan hidup, itu bertentangan dengan prinsip umum keadilan.26

Meski demikian, ijtihad Umar tersebut – pendekatan berbasis

maqᾱṣīd – tidak dapat diterapkan pada semua aspek hukum Islam. Imam

Bukhori meriwatkan bahwa suatu ketika sahabat Umar pernah ditanyai

suatu perkara: “…Mengapa kita masih tawaf mengelilingi ka’bah dengan

bahu terbuka, padahal Islam sudah menang di Mekah?” Pertanyaan ini

tidak diselesaikan Umar dengan pendekatan maqᾱṣīd seperti yang

sebelumnya, dia hanya menjawab: “Kita tidak akan pernah berhenti

23 Sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-Hasyr: 7

ا ه ٱ ء أفا م سهول و فلله قهرى ل ٱ ل أه من ۦرسهوله على لل ل ٱو بى قهر ل ٱ ولذي للر ٱ ن بي دهولة يكهون ل كي لسبيل ٱ ن ب ٱو كين مس ل ٱو مى يت ء نيا غ ل

سهوله ٱ كهمه ءاتى وما منكهم ذهوهه لر ه ٱ تقهوا ٱو نتههوا ٱف هه عن كهم نهى وما فخه ٱ إن لل ٧ عقاب ل ٱ يده شد لل

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang

berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak

yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan

beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,

maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

24 Jasser Ada, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 42 25 Muhammad Biltaji, Manhaj Umar bin al-Khattab fii Tasyri’, (Kairo: Dᾱr al-Salam,

2002) h, 190 26 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 42

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

64

melakukan apapun yang pernah kita lakukan pada masa Nabi.”27 Jadi,

Umar membuat perbedaan antara urusan-urusan ibadah dan muamalah.

Sebuah pembedaan yang kemudian dipedomani oleh al-Syatibī.28

Ijtihad yang disebutkan pada kasus-kasus diatas, menunjukkan

bahwa pemahaman dan pendekatan berpikir berdasar maqᾱṣīd memiliki

signifikansi penting. Yakni, para sahabat tidak selalu menerapkan dalᾱlah

al-lafẓ atau dalālah al-naṣ, yakni implikasi langsung sebuah naṣ (ayat

maupun teks hadis). Tapi dalam hal ini mereka menerapakam dalᾱlah al-

maqṣūd, yakni implikasi tujuan atau niat dibalik naṣ tertentu. Berdasarkan

implikasi niat ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam

memahami naṣ dan meletakkannya dalam situasi yang tepat.29

Setelah era sahabat, ide dan konsepsi tentang maqᾱṣīd mulai

berkembang, sekalipun belum mencapai titik tertentu menjadi kajian topik

yang mandiri. Al-Tirmiẓī al-Ḥakim pada akhir abad ke-3 H (w. 296 H/ 908

M) adalah orang pertama yang menjadikan istilah maqᾱṣīd menjadi sebuah

literatur yang mandiri dalam sebuah kajian ilmiyahnya dengan judul al-

Ṣalah wa maqṣiduhᾱ yang berisi sekumpulan hikmah dan rahasia

‘spiritual’ di balik gerakan solat dengan kecenderungan sufi. Abu Zaid al-

Bakhili (w. 322 H/ 933 M) pun menulis karya pertama tentang maqᾱṣīd

27 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 44. 28 Al-Syāṭībī juga mengungkapkan hal yang sama mengenai pembatasan wilayah kajian

maqāṣid, yakni pengamalan literal ada sesuatu yang pasti dalam urusan ibadah, sementara

pertimbangan maqāṣid adalah sesuatu yang pasti dalam urusan muʻāmalah. Lihat Husein

Muhammad, Gender Dalam Pendekatan Tafsir Maqāṣidī, makalah yang disampaikan pada

stadium general Fakults Ushuluddin UIN JAKARTA, 24 mei 2015. 29 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 44

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

65

muʻāmalah dalam bukunya al-Ibᾱnah an ‘Ilal al-Diyanah. Kemudian apa

yang ditulis oleh al-Qaffāl al-Kabīr (w. 365 H/ 965 M), menurut Auda, ia

menulis manuskrip terkuno tentang maqᾱṣīd, yakni Maḥᾱsīn al-Syarᾱi’ī

(Keindahan-keindahan hukum syari’ah). Kemudian Ibnu Babāwaih al-

Qummī (w, 381 H/991 M), salah seorang fᾱqīh yang populer dikalangan

Syi’ah yang berjudul Ilal al-Syara’ī’ (alasan-alasan dibalik hukum

syari’ah). Selanjutnya, al-ʻĀmirī al-Failasūf (w, 381 H/991 M), yang

berhasil memberikan klasifikasi pertama tentang konsep maqāṣid dalam

karyaya I’lam bi Manᾱqib al-Islam (pemberitauan tentang kebaikan-

kebaikan Islam), tetapi klasifikasinya hanya terbatas pada hukum pidana

dalam hukum Islam saja.30 Itulah beberapa ulama abad 3-4 H yang paling

awal mengkaji maqᾱṣīd namum belum sampai menawarkan maqᾱṣīd

sebagai sebuah konsep.

Sedangkan al-Raisyūnī menyimpulkan bahwa sepanjang

perkembangan uṣūl al-fiqh, maqᾱṣīd al-syarī’ah melalui perkembangan

yang signifikan pesat melalui tiga tokoh utama, Imam Haramain Abū al-

Maʻālī Abd al-Mālik bin Abdullah al-Juwaini (w, 478 H), Abū Ishāq al-

Syāṭibī (w, 790 H), dan Muhammad Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr (w, 1379 H/1973

M).31 Namun begitu menurut Imam Mawardi, penyebutan tiga tokoh

tersebut tidak serta merta mengahapuskan peran al-Gazālī dan yang lain

yang memiliki andil mengawali dan mengokohkan konsep maqāṣid itu

sendiri, namun yang penting adalah bahwa tiga tokoh diatas menjadi

30 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 44-49 31 Ahmad al-Raisyuni, al-Bahts Fii Maqasid al-Syari’ah, (TP, TT) h.4-5

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

66

tonggak penting dimana maqᾱṣīd al-syarī’ah betul-betul mengalami

pergerseran makna yang penting.32

Selanjutnya, mulai abad 5 H, Imam Haramain Adb al-Mālik al-

Juwainī (w, 478 H/1085 M) adalah nama yang harus disebut ketika

membahas konsep maqᾱṣīd. Meski yang bersangkutan tidak menulis satu

kitab khusus yang membahas maqᾱṣīd, namun ia berhasil

memperkenalkan teori “tingkatan keniscayaan” yang mirip dengan apa

yang ada saat ini.33

Dalam karyanya, Al-Burhᾱn Fī Uṣūl al-Fiqh ia menyatakan dengan

tegas, bahwa seseorang tidak akan bisa mampu menetapkan hukum Islam,

sebelum yang bersangkutan benar dalam memahami tujuan Allah

menetapkan perintah dan larangan-Nya. Kemudian ia menawarkan lima

tingkatan maqᾱṣīd, yaitu keniscayaan (ḍarūrah), kebutuhan publik (al-

hājjah al-‘āmmah), perilaku moral (makrumah), anjuran-anjuran (al-

Mandūbāt), dan ‘apa yang tidak dicantumkan pada alasan khusus,’ dia

melanjutkan bahwa maqᾱṣīd hukum Islam adalah al-Ismah atau penjagaan

keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.34

Kemudian ada Abū Ḥāmid al-Gazālī (w, 505 H/1111 M), murid al-

Juwainī ini berhasil menjabarkan al-Ḍarūriat sang guru menjadi al-

ḍarūriat al-khams, menjelaskan dan mengurutkannya secara memadai;

32 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-

Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.190 33 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h.50 34 Al-Juwaini, al-Burhan Fii Ushul al-Fiqh, Ed. Abd al-Adzim al-Diib, (Qatar: Jamī’ah

Qatar, 1399 H) v. 2, h.920-923

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

67

agama, jiwa, akal, keturunan, ia juga mencetuskan istilah “al-ḥifẓ”

(memelihara) dalam masing-masing kebutuhan itu.35 Al-Gazālī juga

menyarankan aturan penting bahwa jika ada pertentangan antara

kebutuhan yang lebih tinggi dan lebih rendah maka ia mempriotiskan yang

lebih tinggi dahulu.36 Penjabaran ini kemudian ditambahi oleh Syihāb al-

Dīn al-Qarrafi (w, 684 H/1285 M), yakni ḥifẓ al-‘irḍ (memelihara

kehormatan) meskipun menurut pengakuannya sendiri ini menjadi

perdebatan dikalangan ulama.37

Selain dua tokoh, ada beberapa ulama yang memliki andil yang

cukup positif dalam perkembangan maqasid, al-ʻIzz Ibn Abd al-Salām (w,

660 H/1209 M), melalui kitab al-Qawᾱid al-Aṣnām Fī Maṣᾱliḥ al-Anām,

ia menjelaskan secara detail tentang maṣlaḥah dan mafsadah yang

kemudian menjadi landasan konseptual maqᾱṣīd al-syarī’ah. Baginya,

maṣlaḥah duniawi tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan: ḍarūriat,

hajjiyat dan tahtimat/taklimat, ia mengatakan bahwa apapun yang terjadi

taklif itu harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia

maupun di akhirat.38

Puncaknya, teori maqᾱṣīd mengalami kematangan saat masa Abū

Ishāq al-Syāṭibī (w, 790 H/1338 M) melaui kitab al-Muwafaqᾱt fī Uṣūl al-

Syarī’ah, ia memprakarsai sistematisasi konsep maqᾱṣīd al-syarī’ah

35 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h.51 36 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h.52 37 Asmawi, Konseptulaisasi Teori Maslah}ah, dalam Jurnal Salam; Jurnal Filsafat dan

Budaya Hukum, h.320 38 Al-Izz Ibn Abd al-Salām, Qawāid al-Ahkām fī Maṣāalih al-Anām, (Kairo: al-Istiqomāt,

tt), v.1 h.9

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

68

dengan tiga prioritas kebutuhan (kemaslahatan) yakni, ḍarūriyyat, hajjiyat,

tahsiniyyat. Dikatakan ḍarūriyyat, karena maqāṣid ini tidak bisa

dihindarkan dalam menopang maṣālīḥ al-ḍīn, artinya jika ini dirusak,

maka akan berdampak negatif pada stabilitas kehidupan di dunia. Dalam

ḍarūriyyat ini terangkum lima hal, yaitu ḥifẓ al-dīn (menjaga agama), ḥifẓ

al-māl (menjaga harta), ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓ al-nasl (menjaga

keturunan), ḥifẓ al-ʻaql (menjaga akal). Dan cara untuk melestarikannya

adalah dengan 2 cara, pertama: ḥifẓuhā min nāhiyat al-wujūd (menjaga

hal-hal yang bisa melanggengkan keberadaannya). Kedua, ḥifẓuhā min nā

hiyat al-‘adam (menjaga/mencegah dari hal-hl yang dapat

menghilangkannya).39

Al-Syāṭibī mengembang maqᾱṣīd dengan tiga cara substansial

yakni pertama, maqᾱṣīd yang sebelumnya bagian dari maslaḥah

mursalah, menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Kedua, dari

‘hikmah dibalik hukum’ menjadi ‘dasar bagi hukum.’ Berdasarkan fondasi

keumuman maqᾱṣīd, al-Syatibi berpendapat bahwa sifat keumuman (al-

kulliyyat) dari keniscayaan (ḍarūriat), kebutuhan (ḥajiyyat), kelengkpan

(taḥsiniyyat) itu tak bisa dikalahkan oleh hukum parsial (juziyyat). Ketiga:

dari ketidakpastian (ẓanniyah) menuju kepastian (qaṭ’iyyah).40 Singkatnya,

pada era inilah maqāṣid al-syārīʻah menggambarkan sebuah hukum yang

lebih menekankan pada nilai substansial sebuah teks, yang kemudian

dihubungkan pada sebuah kasus dan relaita. Sehingga tidak berlebihan jika

39 Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat,(Kairo: Mustafa Ahmad) v.2 h.2-3 40 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im h.55, Lihat Juga Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan

Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.182

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

69

al-Syāṭibī kemudian didapuk menjadi ‘bapak’ ilmu maqāṣid karena

kemudian karyanya lah yang menjadi refrensi standar dikalangan ulama

hingga abad ke-20 M.

Kemudian muncul poros ke-3 dalam bahasa Imam Mawardi,

dengan hadirnya Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, sebagaimana pengakuannya sendiri

yang memang ingin mengenmbangkan apa yang sudah ditata oleh al-

Syāṭibī, ada beberapa perkembangan baru yang ditawarkan oleh Ibn

ʻĀsyūr. Ia mampu menghadirkan contoh yang jelas terkait aplikasi

pendekatan maqāṣid al-syarīʻah dalam beberapa bidang kajian hukum

Islam.41

Sejak masa Ibn ʻĀsyūr inilah kemudian para ulama kontemporer

mencoba membangun ulang konsep maqᾱṣīd lama yang bersifat

‘penjagaan dan perlindungan’ menuju teori yang mengacu pada

‘pengembangan dan hak asasi.’ Teori kontemporer mengkritik klasifikasi

Maqᾱṣīd Syarī’ah era klasik yang dianggap membatasai ruang geraknya

dan menyebutkan beberapa keterbatasannya sebagai berikut yakni

pertama, jangkauan maqᾱṣīd tradisonal meliputi seluruh hukum islam,

tetapi upaya para penggagas maqᾱṣīd tradisonal itu tidak memasukkan

maksud khsusus suatu/sekelempok naṣ/hukum yang meliputi topik fikih

tertentu. Kedua, maqᾱṣīd tradisional lebih berkaitan dengan individu

41 Sebagai contoh kajian yang belum pernah dilakukan oleh ulama sebelum Ibn ʻĀsyūr

adalah pembahasan tentang maqāṣid al-Tasyrīʻ al-Khaṣṣah bi anwāʻ al-muʻāmalāt bayn al-naṣ,

yang secara rinci membahas tentang maqāṣid al-syarīʻah dalam bidang hukum keluarga,

muʻāmalah, hukum ibadah sosial, bidang peradilan, persaksian dan pidana. Lihat Ahmad Imam

Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke

Pendekatan, h.195-196. Lihat juga Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah,

(Yordania: Dᾱr al-Nafᾱis, 2001), h.413-529

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

70

daripada masyarakat, bangsa atau umat manusia, Ketiga, klasifikasi

maqᾱṣīd tradisional tidak memasukan nilai yang paling umum seperti

keadilan dan kebebasan. Keempat, maqᾱṣīd tradisional lebih banyak

dideduksi dari literatur fikih dibandingkan sumber langsung syari’at (al-

Qur’an dan hadis). Singkatnya, pada abad 20M para cendekiawan muslim

ingin mengembangkan maqᾱṣīd klasik yang jangkauannya hanya bersifat

individu, menjadi lebih luas lagi, yaitu masyarkat, bangsa bahkan umat

manusia.42

Misalnya, Ibn ʻĀsyūr yang meletakkan hurriyyah (kebebasan)

yang berlandaskan prinsip egalitarianisme, toleransi, kebebasan dan

keadilan sebagai bagian dari aplikasi maqāṣid al-syarīʻah. Kebebasan

berbicara, berpendapat, beragama, bertindak merupakan hak asasi manusia

yang harus dilindungi.43 Ini tentu merupakan pengembangan dari ḍarūriat

al-khams yang digagas ulama terdahulu. Misalnya lagi, teori maqāṣid

klasik, ḥifẓ al-nasl berkembang menjadi toeri yang berorientasi keluarga.

Ibn ʻĀsyūr menjadikan ‘peduli keluarga’ sebagai maqāṣid hukum islam, ia

mengelaborasi maqāṣid yang berorientasi keluarga dan nilai-nilai moral

dalam hukum islam.44 Selanjutnya teori, ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal) yang

terbatas pada larangan minum minuman keras, berkembang menjadi

pengembangan pikiran ilmiah, kontinuitas dalam menuntut ilmu, serta

42 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 36 43 Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah, h.251-337 44 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 56

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

71

mencegah berlalihnya tenaga ahli ke luar negeri.45 Begitu pula ḥifẓ al-nafs

dan ḥifẓ al-‘ird, yang berada pada tingkatan keniscayan menurut al-Gazālī

dan al-Syāṭibī. Sebenarnya ḥifẓ al-‘ird sudah ada sejak dahulu, dimana

dalam hadis Nabi saw., menjelaskan bahwa “darah, harta dan kehormatan

setiap Muslim adalah haram, hal yang tidak boleh dilanggar. Dan akhir-

akhir ini ungkapan ini berkembang menjadi perlindungan harkat dan

martabat manusia, bahkan berkembang menjadi perlindungan hak asasi

manusia.46 Cakupan ḥifẓ al-dīn juga mengalami perkembangan, dari yang

dipahami sebagai perlindungan akan keyakinan yang benar, menjadi

kebebasan kepercayaan menurut Ibn Āsyūr. Terkahir, ḥifẓ al-māl (menjaga

harta), yang pada mulanya hanya dibatasi dengan hukuman bagi

pencurian, berkembang cakupannya menjadi pengembangan ekonomi,

seperti bantuan sosial, distribusi uang, masyarakat sejahtera dan

pengurangan perbedaan kelas sosial.47

Berdasarkan kritik yang kemudian diikuti dengan beberapa

perbaikan jangkauan di atas, para cendekiawan kontemporer berhasil

merumuskan klasifikasi modern tentang maqᾱṣīd. Seperti Ibn ʻĀsyūr,

Selain itu, mereka juga telah menjadikan ilmu maqᾱṣīd sebagai salah satu

media intelektual serta metodologi yang ‘segar’ yang penting untuk

reformasi Islam. Menurut Auda, ia merupakan metodologi dari dalam

45 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā,

(Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī lilfikr al-Islāmī, 2006), h. 24-25 46 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā, h. 22-23 47 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā, h.20

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

72

keilmuan Islam yang menunjukkan nalar dan agenda Islam.48 Pada posisi

ini maqᾱṣīd menjadi sebuah metode berpikir dalam dirkursus keagamaan,

termasuk dalam tafsir al-Qur’an yang kemudian lazim disebut Tafsīr

Maqaṣidī.49

Istilah tafsir maqᾱṣīdī mulai populer di abad modern pada

pertengahan april 2007, simposium ilmiah internasional mengusung tema

“metode alternative penafsiran al-Qur’an” yang diadakan kota Oujda,

Maroko. Kegiatan ini sengaja difokuskan pada pada kajian tafsir maqᾱṣīdī.

Sebenarnya topik ini pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath

dalam disertasi doktoralnya (di Universitas Muhammad V) yang

mengangkat tema tentang “tafsir maqᾱṣīdī menurut ulama Maghrib

Arabi,” begitu juga apa yang ditulis oleh profesor Jelal al-Merini dari

Universitas Qurawiyyun dalam bukunya Dhawᾱbīṭ al-Tafsīr al-Maqaṣīdī

li al-Qur’an al-Karim (ketentuan tafsir maqaṣidī terhadap al-Qur’an), dan

juga apa yang ditulis oleh Hasan Yasyfu, dosen senior di Oujda, Maroko

dalam bukunya al-Murtakazᾱt al-Maqaṣidiyyah Fī Tafsīr al-Naṣ al-Dīn

(penekanan sisi maqᾱṣīd dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai

pendongkrak ide yang ditulis mereka ini, kemudian para ulama,

cendekiawan, dan intelektual Maroko berusaha mensosialisasikannya pada

symposium internasional tersebut.50

48Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h. 40 49 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqashidi, h. 336 50 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqashidi, h. 337

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

73

C. Urgensi Pendekatan Maqāṣid Dalam Kajian Tafsir

Memahami tentang maqᾱṣīd al-syarī’ah atau maqᾱṣīd bagi

mufassir dinilai sangat penting karena maqᾱṣīd juga maqᾱṣīd al-syarī’ah

merupakan salah satu piranti yang tidak boleh diabaikan oleh penafsir al-

Qur’an. Hal ini senada apa yang di ungkapkan oleh al-Fasi dalam bukunya

Maqᾱṣīd al-Syarī’ah wa Makaramuha, sebagaimana disebut oleh

Muhammad Sa’ad bin Ahmad al-Yubi, “...Ketika seorang penafsir hendak

menfasirkan ayat al-Qur’an yang tidak di temukan penjelasannya baik dari

ayat itu sendiri, hadis Nabi, maupun pendapat sahabat, maka penafsir

tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam

memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “...Sang

penafsir yang dalam kondisi tersebut harus mempertimbangkan maqᾱṣīd

al-syarī’ah, bahkan ia harus berpijak darinya.51

Kontradiksi yang ada dalam al-Qur’an bukan sekedar pada lafalnya

saja tapi juga pada gagasan yang coba dibangunnya. Penyelesaian terhadap

kontradiksi yang berisfat lafẓiyyah sudah banyak dilakukan para uṣūuliyyīn

klasik, akan tetapi penyelesaian terhadap kontradiksi ide dan gagasan

belum banyak dicanangkan.52 Gagasan tentang pluralisme mislanya, dalam

satu sisi al-Qur’an mengungkapkan janji penyelamatan bagi pemeluk

agama-agama diluar Islam,53 sementara di sisi lain ada beberapa ayat yang

51 Muhammad Idris Masudi, dalam artikelnya “Mendialogkan Tradisi dan Modernitas,

Tafsir Maqashidi:Sebuah Tawaran Penafsiran”, diakses dari http:idrismuhhamd.blogspot.com 52 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2009), h.148-149 53 Q.S. al-Baqarah [2]: 62,

ين ب لص ٱو رى لنص ٱو هادهوا لذين ٱو ءامنهوا لذين ٱ إن ٱب ءامن من م ف الح ص وعمل خر ل ٱ م يو ل ٱو لل لهه

ههم أج ٦٢ زنهون يح ههم ول هم علي ف خو ول رب هم عند ره

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

74

secara ditegas umumnya dipahami sebagai dukungan bagi orientasi

teologis yang bersifat eksklusif.54 Kontradiksi seperti inilah yang harus

diselesaikan.

Berangkat dari sinilah diperlukannya sebuah gagasan perilah

sumber hukum Islam, bahwa maqᾱṣīd al-syarī’ah merupakan sumber

hukum pertama dalam Islam, baru kemudian diikuti secara beriringan al-

Qur’an dan al-Sunnah. Maqᾱṣīd al-Syarī’ah merupakan inti dari totalitas

ajaran Islam, ia menempati posisi yang lebih tinggi dari ketentuan-

ketentuan spesifik al-Qur’an. Ia merupakan sumber inspirasi tatkala al-

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan

orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari

kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada

kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

54 Q.S. al-Imran [3]: 19

ين ٱ إن ٱ عند لد ٱ لل س ل م بي اي بغ مه عل ل ٱ ءههمه جا ما د بع من إل ب كت ل ٱ أهوتهوا لذين ٱ تلف خ ٱ وما مه ل فهر يك ومن نهه

اي ب ٱ ت ٱ فإن لل ١٩ حساب ل ٱ سريعه لل“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih

orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,

karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah

maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya,”

Q.S. al-Imran [3]: 85

ٱ ر غي تغ يب ومن ٨٥ سرين خ ل ٱ من خرة ل ٱ في وههو هه من بل يهق فلن ادين م ل س ل “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan

diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

dan Q.S. al-Maidah [5]:3

مت ر ٱ ر لغي أههل ا وم خنزير ل ٱ مه ولح لدمه ٱو تةه مي ل ٱ كهمه علي حه ن ل ٱو ۦبه لل ه مو ل ٱو خنقةه مه يةه ل ٱو قهوذة ترد وما لنطيحةه ٱو مه

وا تق تس وأن لنصهب ٱ على ذهبح وما تهم ذكي ما إل لسبهعه ٱ أكل ٱب سمه ز ل وا ذين ل ٱ يئس م يو ل ٱ ق فس لكهم ذ م ل فل دينكهم من كفره

ٱ لكهمه ورضيته متينع كهم علي ته مم وأت دينكهم لكهم ته مل أك م يو ل ٱ ن شو خ ٱو ههم شو تخ ر غي مصة مخ في طهر ض ٱ فمن ا دين م ل س ل

تجانف ث مه ٱ فإن م ل حيم ر غفهو لل ٣ ر“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang

disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan

diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)

yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,

(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah

putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan

takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-

cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang

siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

75

Qur’an hendak menjalankan ketentuan legal-spesifik di masyarakat Arab.

Ia adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk

sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada

ketentuan-ketentuan baik dalam al-Qur’an maupun hadis yang bertolak

belakang secara substantif terhadap maqᾱṣīd maka ketentuan tersebut

harus batal atau dibatalkan demi logika maqᾱṣīd al-syarī’ah.55

Syamsul Waṭani menulis setidaknya ada tiga landasan penting

mengapa Tafsir Maqᾱṣīdī menjadi penting, yakni pertama, keniscayaan

teks. Setiap ayat atau doktrin hukum selalu memuat poin illat-maqᾱṣīd.

Poin ini hadir untuk mewadahi hukum Tuhan dan konsep moral. Sehingga

antara hukum dan konsep moral harus dijembatani dengan baik, dan tafsir

maqᾱsidī hadir dengan kedudukan kemanusian atau kemaslahtan hamba

yang menjadi acuannya. Kedua, keniscayaan realistis. Tafsir Maqᾱsidī

dilandasi pada kesadaran realitas yang majemuk dengan segala

kompleksitasnya yang menginginkan kebaruan hukum. Dilema yang

dihadapi kemudian adalah, antara rasionalitas agama secara murni atau

tetap pada kepakuan hukum yang terwarisi. Hashim Kamali kemudian

menulis bahwa dalam titik ini maqᾱṣīd al-syarī’ah mucul sebagai

kacamata baru.56 Apa yang ditulis oleh Hashim itu seolah menegaskan

bahwa maqᾱṣīd al-syarī’ah bisa dipahami sebagai salah satu model

55 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.150-151 56 Hashim Kamali menulis: “…Pada saatnya ketika doktrin penting dalam uṣūl fiqh

seperti ijma’, qiyas, dan juga ijtihad sepertinya menjadi beban dari kedaan yang sangat sulit,

keadaan yang yang mungkin terjadi dari kejanggalan pemberlakuan undang-undang dengan

realitas sosial politik yang berlaku di Negara Muslim sekarang. Teori maqasid muncul –menjadi

wacana pemahaman - dengan fokus pada perhatian sebagai pemelihara –jembatan hukum dan

realitas-, dengan menawarkan gagasan yang matang dan baik untuk mengakses syari’ah.” Lihat

Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī, h.300-301

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

76

pemahaman atau jalan yang bisa diandalkan dalam memformulasikan

hukum yang muncul terkait dengan realitas masyarakat. Ketiga,

keniscayaan hukum alam. Landasan ini menekankan pada kesadaran akan

kesenjangan konteks dan perkembangan zaman dalam kajian tafsir al-

Qur’an.57

Pada tataran teoritis, tafsir dengan pendektan maqᾱṣīd al-syarī’ah

tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk

pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab

metode ini juga mengakomodir kajian linguistik, sosiologi, antropologi

dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arab yang

membidangi tafsir maqshidi sepakat mengusungnya dengan terlebih

dahulu memposisikan ayat al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang tak bisa

diganggu gugat keistimewaannya dan tak bisa di sejajarkan dengan kalam

manusia.58

Pada saat yang sama, tafsir maqᾱṣīdī tidak sepenuhnya mengadopsi

model tafsir klasik yang selama ini ada – yakni yang lazim dikenal dengan

tafsīr bi al-ma’ṡūr – tapi lebih cenderung pada tafsīr bi al-ra’yi, yang

mengupayakan mencari keleluasaan untuk kemandirian akal dalam

kontruksi pemahaman sumber keagamaan.59 Nilai universal yang diusung

tafsir maqᾱṣīdī menjadikannya mampu berjalan seiring dengan semangat

zaman mengelilinginya, juga tidak menganl batas teritirial dan sekat-sekat

57 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī,” h.300-301 58 Arwani Syaerozi, dalam artikelnya “Memperkenalkan Tafsir Maqashidi”, diakses dari

http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqshidi.html 59 Kusmana, “Epistimologi Tafsir Maqāṣidī” h.228

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

77

kemanusiaan. Dengan demikian, tafsir ini menekankan pada upaya

pencarian metode yang tepat untuk menfasiri al-Qur’an sesuai dengan

peradaban manusia modern.

D. Alur Interpertasi Tafsir Maqāṣidī

Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa paradigma tafsir ini

mempunyai asumsi dasar bahwa pemahaman terhadap naṣ (al-Qur’an dan

Hadis) harus mewakili tujuan agung dari naṣ itu sendiri. Oleh karena itu

setiap mufassir dengan kecenderungan pendekatan ini dituntut untuk

menemukam hikmah, maksud dalam sebuah naṣ atau dengan kata lain

mengarahkan pencarian pada maqᾱṣīd al-Qur’an. Sebagaimana diketahui

bahwa para ulama sepakat akan adanya maskud, tujuan serta hikmah

dibalik setiap ketentuan syari’ah. Meski satu dengan yang lain kerap

berbeda merumuskan dan mengurai makna maqᾱṣīd al-syarī’ah, tapi

kesemuanya itu berkahir pada satu muara yang sama, yakni terciptnya

kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.

Selanjtunya, dalam perkembangannya sebagai sebuah pendekatan,

muncul dua pertanyaan penting pertama, bagaiamana maqᾱṣīd al-syarī’ah

itu diketahui atau dalam kalimat lain, bagaimana cara untuk menemukan

dan menetapkan maqᾱṣīd al-syarī’ah dari suatu nash atau ketetapan

syari’at. Kedua, bagaimana cara kerja berpikir menggunakan maqᾱṣīd al-

syarī’ah sebagai pendekatan. Secara umum tentang pertanyaan yang

pertama para ulama maqasid sepakat tentang 4 tahapan untuk menemukan

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

78

maqᾱṣīd al-syarī’ah, yakni melalui penegasan al-Qur’an, penegasan

Hadis, melalui istiqra’ (riset atau kajian induktif) dan al-ma’qul (logika).60

Susunan cara untuk menetapkan maqasid ini bukanlah susunan

yang baku, al-Syatibi sendiri merumuskan empat cara untuk mengetahui

maqᾱṣīd al-syarī’ah:61

1. Dari penegasan al-Qur’an sendiri (صريح اللفظ). Artinya bahwa harus

diperhatikan bunyi langsung nash itu sendiri, apa pengertian

tekstualnya, bagaimana bunyi mantūq-nya. Dari sinilah biasanya

seringkali al-Qur’an menyebut secara eksplisit alasan atau tujuan dari

disyari’atkannya suatu ketentuan.

2. Mempertimbangkan illat (اعتبار العلل). Dengan pengetahuan tentang illat

ini menjadi hal yang paling penting bagi pengetahuan tentang maqᾱṣīd

al-syarī’ah, apa, kenapa dan mengapa pengharaman, kewajiban

sesuatu itu bisa disyari’atkan. Pengetahuan tentang ini bisa mengantar

seseorang menjadi lebih mudah apa maksud dari pensyari’atan

tersebut.

3. Membedakan mana tujuan utama (مقاصد أولية) dan mana tujuan

sekunder (مقاصدالثانوية). Al-Syāṭibī dalam keterangannya mengenal dua

jenis maqᾱṣīd ini, dengan keberhasilan membedakan antara keduanya

60 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-

Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.209 61 Al-Syātibī, Al-Muwafaqaat fii Ushul al-Syari’ah, h. 20-25

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

79

maka akan semakin mudah pula untuk menemukan tujuan agung dari

pensyari’atan suatu hukum.

4. Diamnya Syᾱrī’ (Allah). Tak ada yang memungkiri bahwa al-Qur’an

seringkali menyebutkan tujuan dari pensyari’atan suatu hukum secara

eksplisit, tetapi di lain sisi, sering juga bahwa tujuan itu terbaca secara

implicit atau bahkan tak terbaca sama sekali, maka dari itu, diamnya

sang pemberi syari’at dalam hal ini menunjukkan adanya maksud

tertentu yang tentu harus ditemukan.

Tak jauh beda dengan al-Syatibi, Ibn Āsyūr juga punya beberapa

cara untuk bisa mencapai pemahaman akan maqᾱṣīd suatu naṣ, tapi

berbeda dengan kebanyakan ulama yang medudukan istiqra dicara yang

tengah-tengah, Ibn Āsyūr justru meletakkan istiqra’ sebagai cara yang

paling penting untuk mencapai pemahaman maqᾱṣīd. Ia kemudian

mengatakan bahwa setiap orang yang hendak memahami maqᾱṣīd dari

suatu syari’at harus melakukan penelitian secara istiqra’, yakni mengkaji

syari’at dari semua aspeknya. Menurutnya ada dua macam istiqra’ yang

diperlukan. Pertama, penelitian yang seksama tentang hukum-hukum yang

sudah diketahui illatnya yang mengantarkan pada istiqra’ atas illat yang

tetap. Kedua, adalah dengan penelitian atas dalil-dalil hukum yang

memliki illat yang sama, sehingga bisa meyakinkan bahwa illat itulah

yang sesungguhnya dikehendaki oleh Syᾱrī’.62 Cara berikutnya menurut

Ibn Āsyūr adalah dengan dalil-dalil al-Qur’an juga hadis mutawatir yang

dengan jelas menunjukkan illat dan tujuannya.

62 Thahir Ibn Asyur, Maqasid Al-Syari’ah al-Islmaiyah, h.190-193

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

80

Kemudian secara ringkas, Ibn Āsyūr menjelaskan bahwa maqᾱṣīd

al-syarī’ah bisa diketahui melalui tiga tahap:63

1. Cukup dari perintah dan larangan yang menjelaskan. Karena perintah

pasti menghendaki terlaksananya isi perintah, maka terlaksananya

perintah itu merupakan tujuan syᾱrī’, begitu juga larangan yang tidak

menghendaki terlaksananya apa yang dilarang.

2. Melihat dan memperhatikan illat-illat perintah dan larangan. Seperti

nikah yang illatnya untuk kemaslahatan keturunan, dan jual jual-beli

untuk kemaslahatan pemanfaatan barang yang dibeli.

3. Sesungguhnya dalam mensyari’atkan hukum, syᾱrī’ memiliki tujuan

asli (maqᾱṣīd aṣliyyah) serta tujuan yang menjadi pengikut (maqᾱṣīd

tābī’ah). Tujuan-tujuan ini ada yang eksplisit dari naṣ, ada yang

tersirat dan ada pula yang memerlukan penelitian dan pengamatan

yang seksama untuk mengetahuinya.

Dari beberapa langkah yang ditawarkan oleh ulama maqᾱṣīd

tentang pencarian tujuan agung naṣ diatas serta pembacaan problema

tafsir, maka alur interpertasi penafsiran berdasarkan pendektan maqᾱṣīd

bisa diurai sebagai berikut:64

1. Analisis kebahasaan yakni, tafsir maqᾱṣīdī memulai langkah awal

dengan memperhatikan konsensus kebahasaan, seperti: qaṭ’ī-ẓannī,

mujmal-mufassar dan lainnya. Langkah ini penting untuk melihat

maqᾱṣīd secara sekilas, dan melihat bagaimana ayat al-Qur’an

63 Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqasid Al-Syari’ah al-Islmaiyah, h.195-196 64 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī,” Jurnal Suhuf, h.307-310

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

81

menempatkan maksud dirinya. Selain itu analisis ini akan membantu

dalam memahami sekilas formulasi etik-moral hukum dari suatu ayat,

selain formulasi literalnya.65

2. Analisis tematik-holistik. Alur tematik dalam tafsir maqᾱṣīdī ini agak

berbeda dengan apa yang diusung oleh al-Farmawi. Dalam analisis ini,

tafsir maqᾱṣīdī memperhatikan konteks ayat, munᾱsabah, serta dua

konteks turunan ayat, yakni asbᾱb al-Nuzūl qadim dan asbᾱb al-Nuzūl

al-jadid. Istilah tematik-holistik ini berangkat dari pandangan bahwa

al-Qur’an merupakan satu kesatuan, sehingga perlu untuk

memeprsatukan semuanya untuk dianalisis. Analisis ini sangat efektik

untuk mengetahui tema, prinsip bahkan values al-Qur’an yang

mendasari kesemua pesan-Nya. Tafsir maqᾱṣīdī meyakini bahwa

dalam ayat al-Qur’an terdapat nilai kepercayaan, sejarah dan juga

hikmah yang semauanya membentuk kesatuan utuh.

Seperti yang dikatakan oleh Auda, penedekatan yang holistk dalam

tafsir maqᾱṣīdī, ini menegaskan bahwa surah-surah dan ayat-ayat al-

Qur’an mengenai keimanan, kisah-kisah kenabian, akhirat serta alam

semesta, semuanya merupkan bagian-bagian yang membentuk sebuah

ketunggalan yang utuh, sehingga semuanya memiliki peran dalam

tafsir yang berkesinambungan-berintegrasi dan terkait.66

3. Kaidah al-Ibroh bi al-maqᾱṣīd la bi al-Alfᾱẓ. Inilah yang menjadi

pembeda dan khas dari tafsir maqᾱṣīd. kaidah ini ditawarkan sebagai

alternatif pencarian makna dalam tafsir. Kaidah ini ditawarkan untuk

65 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.148-149 66 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, h.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

82

menjembatani beberapa kaidah lama yang antara lain berbunyi al-

Ibroh bi al-umum al-lafẓ, al-Ibroh bi khuṣūs al-sabᾱb, al-ibroh bi

umum al-lafadz la bi al-khuṣūṣ al-sabᾱb.67 Dengan kaidah alternatif ini

tafsir maqᾱṣīdī bisa menjembatani ketiganya. Sedangkan yang menjadi

fokus kaidah ini adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat, bukan

legal-spesifik atau formulasi literalnya.

Dalam tataran kongret, tafsir maqᾱṣīdī menawarkan langkah yang

bisa ditempuh untuk mengetahui maqᾱṣīd al-syarī’ah melalui al-

Qur’an. Yakni dengan empat cara; melalui ibārah al-naṣ, melalui

isyārah al-naṣ, melalui dalālah al-naṣ dan iqtiḍo’ al-naṣ. Sedangkan

melalui akal, dapat dilakukan melalui analisis atau tawaran dari

kekuatan berpikir mufassir sendiri. Maqᾱṣīd juga bisa ditemukan

melalui ijma’.68

4. Kekuatan nalar. Tafsir maqᾱṣīdī sejatinya memang dibangun atas

intelektualitas mufassir yang memainkan ijtihad dan kesungguhuan

berfikir dalam menemukan dan menyimpulkan maksud sebuah naṣ.

Dengan ini, penalaran dalam tafsir maqᾱṣīdī tidak hanya diletakkan

sebagai alat tafsir, tetapi juga sebagai instrumen telaah kritis dengan

mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural, peristiwa-peristiwa

67 Terdapat banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini, pertama; kaidah ini

dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantic dan menepikan peran

asbabun nuzul. Implikasinya para pengguna ini sering terjebak pada suatu kenaifan, bahwa

semakin tekstual seseorang memahami al-Qur’an maka ia semakin dekat dengan kebenaran, tapi

sebaliknya, semakin jauh seseorang itu dari makna literal maka semakin jauh pula ia terlempar dari

kebenaran. Kedua, dalam kaidah ini realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi literal teks.

Yang dituju adalah teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks yang mengitari. Lihat Abdul

Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.157-158 68 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqashidi, dalam Jurnal SUHUF, vol. 9,

No. 2, Desemeber, h.307-310

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

83

yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dan dengan

mengedepankan tujuan teks tersirat.69

Karena itu secara epistimologis, tafsir maqᾱṣīdī merupakan corak

tafsir bil-ra’yi yang mengedepankan keleluasaan untuk kemandirian

akal dalam kontruksi sumber keagamaan.70

5. Reorientasi nᾱsikh-mansūkh.71 Jika perdebatan ilmu tafsir masih

mengorientasikan ayat kontadiktif dalam tafsir, maka tafsir maqᾱṣīdī

tidak meyakini nᾱsikh-mansūkh sebagai penyelasaian ayat kontadiktif

itu. Pendekatan maqᾱṣīd lebih melihat bahwa ayat al-Qur’an itu

sebagai respon Allah terhadap hamba-Nya. Dengan menegasikan–

dalam artian tidak memakai, bukan tidak mengakui–nᾱsikh-mansūkh

tafsir maqᾱṣīdī menawarkan pandangan bahwa ayat al-Qur’an itu

terkadang merespon keadaan tertentu, sehingga ia lebih baik dilihat

sebagai sebuah pengajaran dan pembimbingan, daripada melihatnya

69 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqashidi, dalam Jurnal SUHUF, vol. 9,

No. 2, Desemeber, h.307-310 70 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqashidi, dalam jurnal Mutawatir: Jurnal Kelmuan

Tafsir Hadis, h.228 71 Selain reorinetasi nᾱsikh-mansūkh yang ditawarkan diatas, menarik melihat apa yang

ditulis oleh Abdul Moqsith Ghozali dan yang lain, ia menulis sesungguhnya syari’at (hukum)

Islam tidak punya tujuan lain selain mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal dan

menolak segala bentuk kemafsadatan. Prinsip ini harus menjadi dan substansi seluruh isi syari’at.

Ada satu pertanyaan klasik yang sering muncul, yakni bagaimana jika terjadi antara teks (naṣ) dan

maslahat, mana yang harus dimenangkan? Umumnya ulama uṣūl fiqh klasik bahwa yang

dimenangkan adalah naṣ. Bahkan, al-Thufi mengatakan tidak mungkin terjadi pertentangan

aantara nash dan maslahat, karena apa yang diujarkan oleh naṣ adalah maslahat itu sendiri.

Oleh karena itulah perlu dikemukakan pendirian bahwa maslahat memiliki otoritas untuk

menganulir ketentuan-ketentuan legal-spesifik teks suci. Inilah yang kemudian disebut dengan

“nashk nushush al-juz’iyyah bi al-maslahah”. Sebagai spirit dari teks al-Qur’an, kemaslahatan

merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks

yang sudah “aus” dan tidak relevan. Dengan cara ini, cita-cita kemaslahatan akan senantiasa

berkreasi untuk memproduksi formulasi teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan

kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama. Teks suci tanpa kemaslahatan tak berarti apa-apa

buat manusia, kecuali teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita-cita

kemsalahatan bagi umat manusia. Lihat Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an,

h.157-158

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

84

sebagai sesuatu yang harus dihapuskan (nasakh) sehingga ayat itu tak

berlaku lagi.

Auda mengatakan bahwa masing-masing ayat yang seolah

berkontradiksi itu tetap pada konteks yang berbeda-beda, sehingga

signifikansinya pun berbeda-beda. Inilah teori yang ditawarkan Jasser

Auda untuk menjembatani beragam aliran antara yang pro dan kontra

nᾱsikh-mansūkh.72

6. Kontekstual-fiosofis. Aksentuasi tafsir maqᾱṣīdī dalam kerangka ini

sebagaimana yang berlaku dalam alur tafsir kontekstual pada

umumnya, hanya saja penekananannya sedikit merambah pada

pengamatan secara spesifik realitas syari’at pada masa awal, kemudian

merumuskan pengaplikasiannya di masa sekarang.

Enam alur interpertasi yang ditawarkan oleh Syamsul Wathani di

atas menjadi langkah penting untuk merangkai kerangka tafsir dengan

pendekatan maqᾱṣīdī, meski bukan satu-satunya alur yang ditawarkan,73

tapi dilihat dengan seksama apa yang diatwarkan oleh Syamsul Wathani

layak untuk disebut sebagai manhaj maqᾱṣīdī.

E. Contoh Aplikasi Pendekatan Maqāṣidī

1. Poligami Dalam Pendekatan Tafsir Maqāṣidi

72 Teori ini dikenal dengan “Teori Lintas Batas” (نظرية تعدد األبعاد) 73 Misalnya, Abdul Moqsith Ghozali menulis dalam buku Metodologi Studi Al-Qur’an,

sebuah kaidah tafsir al-Qur’an al-ternatif dengan dengan tiga alur: 1. Al-Ibroh bi al-Maqᾱṣīd La bi

al-Alfᾱẓ, 2. Jawᾱz naskh al-Nuṣūuṣ (al-juziyyah) bi al-Maslaḥah, 3.Tanqih al-Nuṣūṣ bi Aql al-

Mujtama’ Yajuzu. Ketiga alur ini menurut penulis juga ditulis oleh Syamsul Wathani, tapi dengan

beberapa eksplorai dan perpaduan.

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

85

Pada dasarnya, praktek poligami sudah dilakukan dalam tradisi

pra-Islam (Arab), dimana kala itu seorang laki-laki bisa melakukan

perkawinan dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Laki-laki memiliki

hak penuh untuk memiliki dan memilih siapa dan berapa yang menjadi

istirnya. Untuk itu, dengan misi keadilan yang diusung, Islam datang

merubah praktek demikian dengan memberikan jumlah batasan yang dapat

dijadikan istri serta menekankan persyaratan yang mesti dipertimbangkan

bagi suami. Dalam Alquran, Q.S. an Nisa: 3 yang membicarakan tentang

ketentuan poligami beserta persyaratannya.

Memulai dengan analisis bahasa, pada ayat ini tidak terlalu

signifikan memunculkan perdebatan seputar kebahasaan, bahkan secara

dalalah lafal‘ (dilalah al-lafz) yang menunjukkan implikasi langsung dari

suatu bunyi bahasa atau nash dapat diterapkan pada ayat ini. Sehingga

wajar jika sebagian mufassir menjadikan ayat ini sebagai dasar hukum

poligami.74 Hanya saja mendasarkan pemahaman ayat pada langkah ini

tidaklah cukup.

Berlanjut pada analisis tematik-hilostik, pemahaman akan konteks

historis dan asbab al-nuzul merupakan unsur penting berikutnya. Ayat ke

3 ini sendiri turun berkaitan dengan seorang wali yang menikahi seroang

perempuan yatim yang berada di bawah perwaliannya. Ia menikahinya

bukan karena cinta, melainkan karena mengincar sebatang pohon kurma

74 Beberapa kitab tafsir, klasik maupun kontemporer sepakat akan hal ini. Wahbah Zuhaili

misalnya, mengatakan bahwa ayat ini mengandung pesan kebolehan berpoligami. Al-Maraghi juga

mengatakan hal sama, bahwa ayat ini memang membolehkan pligami. Lihat Wahbah Zuhaili,

Tafsir al-Munir Fi al-aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Dimsyak: Dar al-Fikr, 2009) v.2, h.

123. Lihat juga Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Hilbi,

1946 M), v.4 h.149

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

86

milik perempuan itu.75 Menarik melihat penjelas Rasyid Ridho dalam

tafsirnya, bahwa ayat ke 3 ini turun setelah perang uhud, dimana saat itu

banyak tentara muslim yang menjadi korban, Syahid di pertempuran.

Akibatnya, banyak anak yatim dan ibunya yang terabaikan dan

membutuhkan perlindungan dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah

kemudian Ridha mengatakan bahwa ayat itu menjelaskan masalah hukum

terkait status wanita-wanita yang berada dalam kekuasaan walinya.

Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a., bahwa “ada seorang pria

yang menajdi wali seorang perempuan yatim, lalu ia pun menikahinya.

Perempuan itu mempunyai sebuah pohon kurma (warisan dari orang

tuanya), pria itu menahan perempuan itu untuk dirinya, namun perempuan

itu tidak mendapat haknya sebagai istri sebagaimana mestinya. Terkait

peristiwa ini kemudian turunlah ayat ini.76 Ridha menambahkan bahwa

wali tersebut berniat menikahinya hanya mengincar harta dan

kecantikannya, tanpa ingin memberikan haknya sebagai istri. Maka

turunlah larangan ini, keculai kesanggupan untuk bersikap adil dan

memberikan haknya sebagaimana mestinya.77 Dilihat dari munasabahnya

bahwa ayat ini memiliki kaitan erat dengan ayat sebelumnya yang

membahas mengenai larangan pemanfaatan harta anak yatim dengan

semena-mena. Dengan demikian penekanan berlaku adil menjadi poin

utama dalam ayat ini.

75 Muchlis M. Hanafi (editor), Asbabun Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-

Qur’an, h.172 76 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, h.1124 77 Muhammad Rasyīd Ridā, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Kairo, Dar al-Manar, 1947), vol. 4,

h.344.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

87

Jika ingin dipahami dengan kaidah al-Ibroh bi al-maqasid maka

akan ditemui hal senada, bahwa poin illat-maqasidnya terletak pada nilai

keadilan dan anjuran keadilan.78 Bahwa ayat ini memuat kebolehan

poligami, itu hanya merupakan alternatif paling akhir dari begitu banyak

alternatif yang ada untuk menegakkan keadilan dalam mayarakat, itupun

dengan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat, khususnya bagi

perempuan-perempuan yatim.

Analisis ini mengantarkan pada pemahaman bahwa bukan hanya

sisi normatif dan legal-spesifik saja yang harus dilihat, tapi juga harus

memperhatikan wilayah praktis serta etik-moralnya. Berangkat dari

pengamatan situasi kondisi dilingkungan kita (Indonesia), bahwa masih

banyak ditemukan perlakuan kedzaliman dan ketidakadilan menimpa

perempuan, maka poligami sama sekali tidak dianjurkan.

Penfasiran diatas mengingtkan bahwa penafsiran terhadap nas harus

proporsional dan disesuaikan dengan konteksnya. Bahwa naṣ yang ada

memuat nilai dan tujuan yang harus diperjuangkan, yakni keadilan dan

kemaslahatan.

78 Selain Rasyīd Ridā, Penjelasan seperti ini banyak dikemukakan oleh para muffasir, al-

Maraghi dan Zuhaili punya pandangan yang senada, bahwa kebolehan poligami dalam ayat ini

diletakkan sebagai salah satu poin paling akhir. Bahkan Wahbah Zuhaili mengatakan diakhir

penjelasannya bahwa, perlakuan ketidakadilan itu menjadi sebab disyari’atkannya pembatasan

pada satu perempuan saja, dan ini mengisyaratkan bahwa keadilan emnajdi syarat mutlak yang

harsu dipenuhi dalam poligami, dia menambahkan bahwa kebolehan poligami dalam islam itu

didasarkan pada keadaan darurat, atau keadaan yang menuntut pada kemaslatahan umum. Lihat

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir Fi al-aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, h.568

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

88

BAB IV

ANALISIS MAQᾹSID TERHADAP AYAT QS AL-

MUMTAHANAH DAN POIN REAKTUALISASINYA

Sumber utama Islam, telah menyediakan dua kategori teks yakni yang

bersifat universal dan partikular. Teks universal adalah “...Teks yang mengandung

pesan-pesan kemanusiaan untuk semua orang, di segala ruang dan waktu.” Ia

memuat prinsip-prinsip fundamental–dalam bahasa sekarang disebut dengan

prinsip-prinsip kemanusian universal, sebagaimana yang tertuang dalam

DUHAM.1

Kedua adalah teks partikular “...Teks yang menunjukkan pada kasus-kasus

tertentu, yang muncul sebagai respon atas suatu peristiwa.”2 Sedangkan toleransi

merupakan inti dari agama Islam–yang sejajar dengan ajaran lain seperti kasih,

kebijaksanaan, keadilan dan kemsalahatan universal. Hal ini merupakan beberapa

inti ajaran yang bersifat qath’ī, sehingga ia tak bisa dibatalkan dengan nalar

apapaun, sebab universal bersifat ṣᾱlīḥ lī kullī zamᾱn wa makᾱn.3

Sebagai ajaran inti serta fundamental, toleransi telah ditegaskan dalam al-

Qur’an. Perbedaan agama bukan pengahalang untuk merajut tali persaudaraan

antar sesama manusia, karena sejatinya dakwah Nabi Muhammad saw bukan

untuk meng-Islamkan dunia ini, tapi untuk memberi rahmat pada alam semesta.

1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 2 Husein Muhammad, Gender Dalam Pendekatan Tafsir Maqashidi, makalah yang

disampaikan pada stadium general Fakults Ushuluddin UIN JAKARTA, 24 mei 2015 3 Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama

(Disertasi UIN Jakarta, 2007), h,169

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

89

Oleh sebab itu, penulis akan menyajikan analisis maqᾱsīd terhadap ayat-

ayat muwālāt al-kuffār yang dari analisis ini bisa mengantarkan pada pemahaman

akan pentingnya membangun kesadaran toleransi dengan merujuk pada beberapa

kitab tafsir klasik dan modern seperti Tafsīr Ibn Kaṡīr, Fi Dzilᾱl al-Qur’an, al-

Sya’rawī, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, dan beberapa tafsir lain untuk mendapatkan

gambaran komperenshif para mufassir dalam melihat nalar maqᾱsīd-nya.

A. Ayat-ayat Muwālāt al-Kuffār

1. Larangan ber-muwallah al-kuffᾱr

اي نوا لذين ٱ أ يه ام ي ت تخذوا ل ء كم ع دو ع دو ء لي ا أ و و دة ل ٱب همإل ي قون تل و ق د م ف روا و ا ك ا بم كمج ء

ن ق ل ٱ م سول ٱ رجون يخ ح إياكم لر ٱب منوا تؤ أ ن و ب كم لل ج كنتم إن ر ر بيلي في اد جه تم خ ر ء تغ ا ب ٱو س اتي م ض

ون دة م ل ٱب همإل ي تسر أ ن ا و ا ل م أ ع و ا تم ف ي أ خ بم م ن ل نتم أ ع و م ل ف ق د منكم ه ع ل ي ف و ا ض ق فوكم ي ث إن ١ لسبيل ٱ ء س و

ي ب ء د ا أ ع ل كم ي كونوا أ ل دي هم أ ي كم إل ي ا سطو و دوا ء لسو ٱب سن ت همو و امكم أ ر ت نف ع كم ل ن ٢ فرون ت ك ل و و ل ح دكم ل أ و و

ٱ م ي و ة قي ل ٱو ن كم ب ي صل ي ف م ا لل لون ت ع بم ٣ ب صير م

“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman

setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita

Muhammad), Karena rasa kasih sayang; padahal

Sesungguhnya mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang

datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir)

kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika

kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan

mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita

Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku

lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang

kamu nyatakan. dan barangsiapa di antara kamu yang

melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah tersesat dari

jalan yang lurus. 2. Jika mereka menangkap kamu, niscaya

mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan

tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu);

dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. 3. Karib

kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat

bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

90

dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-

Mumtaḥanah: 1-3)

Menurut banyak riwayat ayat ini turun berkenaan dengan surat

rahasia yang ditulis sahabat Nabi saw, Ḥaṭib bin Abi Balṭa’ah kepada

keluarganya di Mekkah untuk memberitahukan rencana Nabi saw,

menuju ke Mekkah.4 Ḥatib mengirim surat itu melalu wanita bernama

Sarah dan menyembunyikan surat tersebut di gelungan rambutya.

Dalam suratnya, Ḥatib menulis “…Dari Ḥatib kepada kaum Quraisy,

bahwa Muhammad saw., bermaksud untuk mengahadapi kalian dan

bersiaplah.” Mulanya, Nabi Muhammad saw tidak mengetahui perihal

surat tersebut hingga kemudian ia mengetahui melalui wahyu Allah.5

Setelah mendapat kabar tersebut, Nabi Muhammad Saw

mengutus ‘Alī, ‘Ammᾱr, ‘Umar, Thalḥah, dan Zubair menyusulnya

dengan mengendarai kuda. Nabi bersabda: “…Susul dan cegatlah

seorang perempuan, temui dia di Rauḍatu Khakh – suatu lembah yang

terletak antara Madinah dan Mekkah. Dia membawa surat untuk

Quraisy Mekkah, tangkaplah dan ambil suratnya” Ketika mereka

berhasil mencegatnya dan menanyaiya tentang surat itu, Sarah

4 Menurut Quraish Shihab, ada beberapa riwayat yang ada tidak jelas tentang tujuan Nabi

Saw ke Mekkah. Apakah untuk melaksanakan umrah atau untuk membuka (menyerang) kota

tersebut–setelah kaum Musyrik Mekkah melanggar perjanjian Hudaibiyah. Lihat: Quraish Shihab,

Tafsir al-Misbah:Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, h.585 Namun, Ibnu Asyur mengatakan

bahwa tujuannya adalah untuk umrah– lebih sahih daripada untuk menyerang Mekkah. Lihat:

Thahir Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar al-Tunisiah al-Nasyr), h. Sedangkan al-

Sya’rawi mengatakan bahwa Ḥatib mengetahui Nabi berisap-siap perjalanan itu memang untuk

menyerang Mekkah, karena Ḥatib menulis surat itu. Lihat juga Muhammad Mutawaali al-

Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, (Kairo: Dᾱr al-Nūr li al-ṭᾱb wa al-nasyr wa al-tauzi’) v.18, h.90 5 Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, (Kairo: Dᾱr al-Nūr li al-ṭᾱb

wa al-nasyr wa al-tauzi’) v.18, h.90

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

91

menjawab: “Aku tidak membawa apapun!.” Para sahabat kemudian

menyelidikinya, tapi tidak menemukan apapun. Bahkan, mereka

hampir kembali, namun ‘Alī bin Abī Thalīb bersikeras dan

mengancam dengan menghunuskan pedangnya. Akhirya, Sarah

mengaku dan mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya.6

Kemudian Nabi saw., memanggil Ḥatib dan menanyakan

mengapa ia mengirim surat itu, ia menjawab,7 “Ya Rasul, kaum

Muhajirin semuanya memliki orang-orang yang dapat melindungi

keluarga mereka di Mekkah, keuali aku, padahal keluargaku ada di

tengah masyarakat Mekkah. Aku ingin memberi mereka jasa dengan

harapan tidak mengganggu keluargaku di Mekkah.” Nabi saw

kemuian bersabda: “Dia berkata benar!.” ‘Umar kemudian meminta

izin untuk memenggal kepala Hatib, namun Nabi saw melarangnya

dan bersabda: “Bukaknkah dia salah satu ahl al-badr wahai Umar?.8

Dari analisis kebahasan, ada beberapa kata yang bisa

dijadikan kunci dalam melihat maqᾱsīd ayat ini. Misalnya, عدو ي

‘musuh-Ku, Ibn Asyur mengakatan bahwa lafadz itu bermakna,

menimbulkan permusuhan dalam agama. Selain itu, penyandaran kata

6 Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v.18, h.90 7 Quraish Shihab menulis, sebelum Hatib menjawab pertanyaan Nabi saw, ia memohon

agar Nabi saw, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan sambil bersumpah bahwa dia sama sekali

tidak murtad, juga tidak berkhianat. Lihat: Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: : Pesan, Kesan dan

Keserasian al-Qur’an. v. 13, h. 585 8 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatīr Imaniyyah, v. 18, h.89-90

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

92

itu pada ya’mutakkalim yang mengisyaratkan makna, “musuh agama-

Ku/musuh utusan-Ku.”9

Sementara itu, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa عدو ي

berkmakna, “Orang kafir atau orang yang menyekutukan Allah swt,’

tidak beriman terhadap apa yang diturunkan-Nya, musuh orang-orang

mukmin; yakni yang mengkhianati mereka dan memberi dampak

negatif (madharat) atas kemaslahatan orang mukmin.”10

Sedangkan al-Sya’rawi mengatakan bahwa, “Seandainya orang

mukmin itu menjadikan para musuh Allah sebagai auliyᾱ, maka

mereka akan memberikan kerusakan dalam kehidupan orang-orang

mukmin, karena konflik yang mereka ciptakan terhadap manhaj

Allah.”11

Selain itu, kata auliyᾱ’12 dalam ayat diatas, juga menjadi

penting karena pada ayat lain pun banyak digunakan. Meskipun

demikian, dalam hubungannya dengan ayat di atas, al-Qur’an

menggunakan dalam konteks yang sama, yakni larangan bermuwallat

9 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, ((Tunis: Dar al-Tunisiah

al-Nasyr,1984 H), v.28, h. 10 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut:

Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H) v.14, h.494 11 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v.18, h.86-87 12 Kata yang beberapa waktu lalu menjadi pro-kontra terkait makna yang dikandungnya,

karena gubernur DKI jakarta saat itu, Ahok yang dianggap telah menistakan agama Islam karena ia

membuat pernyataan; “jangan mau dibodohi pake ayat Q.S al-Mai’dah: 51”, dalam hal ini Ahok

seoalah-olah mengatakan bahwa ayat itu dipakai untuk membodohi umat Islam. Kemudian

muncullah gerakan melawan dirinya, dan bahkan menjadikan ayat itu sebagai dasar larangan bagi

warga (khususnya orang Islam) untuk memilihnya, karena nobatennya dia memang seorang non-

Muslim. Dan makna kata auliya’ sejak saat itu oleh para penentangnya menjadi pemimpin. Abdul

Bari Nasrudin, Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia Atas ayat-ayat hubungan Antarunat

Beragama, Skripsi UIN Jakarta, 2017. h.6-7

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

93

al-kuffᾱr.13 Kata ini sendiri memiliki makna dasar “dekat.” Sehingga,

dari sinilah kemudian berkembang makna-makna baru seperti,

pendukung, pembela, pelindung, lebih utama, yang mencitai dan lain-

lain–yang semuanya diikat dengan satu benang merah, yakni

kedekatan.14

Ketika Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, ia mengatakan bahwa

auliya’ memiliki arti berteman akrab, setia, dan kekasih. Ia juga

menyebut ayat-ayat lain yang maknanya hampir sama, dan

menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah “Kaum Musyrik dan orang-

orang kafir yang selalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, serta orang-

orang Mukmin. Allah memerintahkan agar mereka dimusuhi dan

diperangi. Allah telah melarang mengambil mereka menjadi auliya’,

13 Misalnya, Q.S. al-Nisa’ [4]: 139

ة ل ٱ عند هم ت غون أ ي ب منين مؤ ل ٱ دون من ء لي ا أ و فرين ك ل ٱ ي تخذون لذين ٱ ة ل ٱ ف إن عز عز ميع لل ١٣٩ اج “(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong

dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir

itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”

Q.S al-Nisa’:144

اأ ي ي نوا لذين ٱ ه ام ع لوا ت ج أ ن أ تريدون منين مؤ ل ٱ دون من ء لي ا أ و فرين ك ل ٱ ت تخذوا ل ء ل ي لل بينا ان ط سل كم ع ١٤٤ م”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi

wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata

bagi Allah (untuk menyiksamu).”

Q.S al-Maidah [5]: 51.

اي ۞ ام لذين ٱ أ يه ى لنص ٱو ي هود ل ٱ ت تخذوا ل نوا ء ن ض ب ع ء لي ا أ و ضهم ب ع ء لي ا أ و ر م لهم و نكم ي ت و إن هم من ۥف إنه م

ٱ م ق و ل ٱ ديي ه ل لل ٱ ٥١ لمين لظ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan

Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian

yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya

orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang zalim.”

Kesamaan konteks ini bisa dibaca dari beberapa penjelasan muffasir ketika menfasirkan

ayat al-Mumtahanah ini yang hampir selalu menyebutkan ayat-ayat ini ketika menafsirkan pertama

surah al-Mumtahanah. Selain itu kesamaan konteks itu juga bisa dilihat dari asbab al-nuzulnya

yang terkait dengan kondisi peperangan. Lihat Muchlis M. Hanafi, Asbᾱb al-Nuzul; Kronologi

Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, (Jakarta: Lajnah Pentashhihan Mushaf al-Qur’an Kemenag

RI, 2015) h.224-225 14 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.3, h.151

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

94

teman setia dan kekasih. ia menambahkan bahwa ini merupakan

peringatan dan janji yang pasti.”15

Kata رون berakar kata sarra-yasirru-sirran bermakna تس

perkataan yang disembunyikan di dalam hati. Ibnu Faris menyebut

bahwa kata ini memiliki berbagai makna cabang yang semuanya

menyatu dalam arti yang menunjuk pada arti “penyembunyian

sesuatu”.16 Kaitannya dengan ini Sya’rawi menjelaskan bahwa ini

memiliki penjelasan bahwa yang disampaikan, terkait dengan hal-

iḥwal mengenai Nabi serta umat Islam yang bila disampaikan akan

memberi dampak negatif bagi umat Islam. Terlebih, jika ditambah

dengan kata ودة yang berarti penyampaian rahasia itu dilakukan ابمل

dengan cinta kasih yang meluap.17

Dari beberapa analisis kebahasaan diatas, juga dengan melihat

mantuq ayat tersebut, maka akan didapati beberapa poin penting,

seperti; (1) bahwa yang dimaksud adalah orang kafir yang memang

ingin menghancurkan Islam, ingin memberi dampak negatif, ingin

memberi kerugian pada umat Islam. (2) Pelarangan itu karena ada

mereka (kafir) jelas memusuhi umat Islam dengan melanggar

penjanjian damai, juga adanya indikasi menyampaikan dan

memberitahu rahasia-rahasia yang tidak seharusnya disampaikan,

seperti rahasia menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Nabi

15 Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Maktabah Aulad) v.13, h.504 16 Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), v.3, h.920 17 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.87

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

95

dan umat Islam. (3) Auliya’, itu berarti teman akrab dan kekasih

karena mengandaikan hubungan yang sangat dekat, seperti dengan

kelaurga sendiri auliya’, sehingga berbagi rahasia itu dianggap biasa

saja.

Sementara itu, setelah menjelaskan tentang asbᾱb al-nuzūl-

nya, Ibn Asyur menyebut bahwa ayat ini memiliki tujuan untuk

memberi peringatan pada semua orang Islam agar tidak melakukan hal

yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Ḥatib, yakni

membocorkan rencana Nabi saw (berkhianat).18

Bahkan, al-Sya’rawi ketika menafsirkan ayat ini,

memaknainya “Janganlah kalian menjadikan mereka auliya’ karena

mereka adalah musuh, dan musuh tidak akan menjadi teman setia,

penolong selamanya, musuh itu memususi dan berlawanan dengan

kamu.” Ia kemudian mengutip ayat lain yang memiliki poin yang

sama dengan ayat ini, kaitannya kenapa menjadikan mereka auliyā’

itu dilarang.19

18 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, v-28 h.133 19 Q.S Al-Imron [3]: 118-120 misalnya,

اي نوا لذين ٱ أ يه ام ان ة ت تخذوا ل ء ن بط ب ال لون كم ي أ ل ونكم د م دوا خ ا و نتم م ا ب غ ل ٱ ب د ت ق د ع ا ههم و أ ف من ء ض م و

ل أ نتم ه ١١٨ قلون ت ع كنتم إن ت ي ل ٱ ل كم ب ينا ق د ب ر أ ك صدورهم فيتخ ل تحبون هم ء أو تؤ كم يحبون و ۦكل ه ب كت ل ٱب منون و

إذ ا نا ا ق الو ل قوكم و ام إذ ا ء ل و و ل ي ع ضوا ا خ ليم لل ٱ إن ظكم بغ ي موتوا قل ظ غ ي ل ٱ من ن امل ل ٱ كم ع دور ٱ بذ ات ع إن ١١٩ لص

ن ة كم س س ت م س إن هم ت سؤ ح ي ئ ة كم تصب و حوا ي ف س ا ر إن به ت تقوا بروا ت ص و كم ل و ي ي ضر ا ش ي دهم ك ا لل ٱ إن لون ي ع بم م

١٢٠ محيط “Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan

kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata

"Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah

bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena

kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.”. “Jika kamu memperoleh

kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira

karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak

mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

96

Sedangkan dari segi analisis tematik-holistiknya, menunjukkan

bahwa konteks pembicaraan ayatnya, terjadi dalam masa peperangan,

bukan dalam keadaan damai. Ini bisa dibaca dari konteks, riwayat

asbᾱb al-nuzūl dan munᾱsabah-nya–seperti yang sudah dijelaskan.20

Sehingga dalam ayat pertama ini bermuwalāt al-kuffᾱr

dilarang karena pada saat itu orang kafir memang jelas memusuhi

orang mukmin, apalagi konteksnya saat itu sedang dalam masa

peperangan dan orang kafir melanggar perjanjian damai yang telah

disepakati bersama, yang semua ini berdampak pada kemaslahatan

umat Islam. Selain itu, dilihat dari penjelasan beberapa mufassir,

mereka selalu mengkaitkannya dengan ayat lainnya, sehingga

mengindikasikan adanya korelasi dalam hal kesatuan tema, poin, dan

tujuannya.

Jika ingin dipahami dengan kaidah al-ʻibrah bi al-maqᾱsid,

akan ditemui hal yang senada yakni ditemukan dari ibarah al-nash

yang menginformasikan larangan tersebut, karena dilihat saat ayat itu

mereka kerjakan.”.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman

kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya

(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah

nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih

besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu

memahaminya.”

Dalam ayat-ayat diatas terkumpul rangkaian keburukan sifat orang kafir, dan sifat-sifat

iinilah yang menjadi alasan utama larangan bermuwalāt (bersekutu, bersekongkol, berkolaborasi).

Inilah yang Sya’rawi jelaskan dalam tafsirnya bahwa, larangan menjadikan non-Muslim menjadi

teman kepercayaan itu karena mereka tidak akan berhenti menyusahkan, tidak akan mengurangi

hal-hal buruk yang kalian kerjakan dan akan melemahkan kekuatan kalian. Lihat Mutawalli al-

Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.87 20 Beberapa diantaranya, ibnu Katsir menyerbut ayat Ini seperti yang difirmankan Allah

dalam ayat lain, yaitu al-Mai’dah [5]: 51 dan 57, al-Nisa’ [4]: 144 dan al-Imran [3]: 28, Al-

Sya’rawi menyebutkan ayat lain yang dianggap mempunyai kesamaan makna, salah satunya al-

Imran [3]: 28, 118, 119, al-Mai’dah [5]: 57,

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

97

diturunkan dalam suasana peperangan, jadi dalam suasana seperti

itulah dilarang untuk bersekutu, bersekongkol, berkoalisi dengan

orang kafir. Sedangkan dari analisis ‘illat, ditemukan bahwa

permusuhan yang ditimbulkan itulah yang menjadi ʻillat (sebab)

larang bermuwālāt dengan mereka.

Selain itu, poin maqᾱsid juga bisa dilihat dari pembedaan,

mana yang menjadi tujuan utama (maqᾱsid al-aṣliyyah) dan yang

menjadi tujuan pelengkap atau sekundernya (maqasid al-tābi’iyyah).

Dalam hal ini yang menjadi tujuan utama dalam ayat ini adalah

hurmatu muwālāt aʻdāi al-islām (larangan untuk saling bersekongkol

dengan musuh Islam). karena hal itu berbahaya, berbahaya bagi

keimanan seseorang, juga bagi kaum muslimin secara keseluruhan.

Adapun tujuan sekundernya, melalui peristiwa Hatib ini,

menunjukkan betapa manusia itu memiliki satu kelemahan yang

sangat nyata, yakni keluarga.21 Ḥatib yang sedimikian dekat dengan

Nabi saw., termasuk salah satu ahl al-badr, namun jatuh dalam satu

kesalahan. Allah memaafkannya, dan Nabi saw., juga memahami

21 Berkenaan dengan ini al-Sya’rawi menjelaskan bahwa, (kuatnya hubungan) keluarga

dan kerabat itu tidak selamanya membawa kita pada pengingkaran terhadap manhaj Allah, karena

kita tidak akan tahu dari mana datangnya kebaikan, karena itu Islam lebih tinggi hubungan

akidahnya daripada hubungan nasab. Ini artinya bahwa apa yang dilakukan oleh Hatib (untuk

melindungi keluragnya) tidak selamanya keliru. Lihat Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir

Imaniyyah, v-18, h.89-90.

Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa sebenarnya hubungan permusuham

mereka (antara orang Muslim dan non-Muslim) cukup jelas, tapi ada diantara kaum Muslim

(dalam hal ini Hatib) yang terperngaruh oleh hubungan kekerabatan sehingga mereka lengah.

Allah menegur dan memperingatkan bahwa, seandianya kerabat itu memberi sesuatu, itu hanya

dalam ranah kehidupan kemasyarakatan yang mengantar pada kebutuhan-kebutuhan duniawi.

Lihat Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. v-13, h. 587

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

98

motifnya.22 Ini artinya bahwa jangan sampai hubungan kedekatan,

kekerabatan, kekeluargaan dengan non-Muslim itu menyentuh hal-hal

yang merugikan dalam ranah keagamaan.

Analisis-analisis diatas mengantarkan pada keyakinan nalar

tafsir maqᾱsidī bahwa pelarangan menjadikan orang kafir sebagai

teman setia, penolong dan sejenisnya merupakan sesuatu yang

kontekstual pada awalnya; ini terlihat poin illat dan maqᾱsid yang

dapat dibaca dari rangkaian ayat serta penjelasan beberapa mufassir

diatas. Bahwa maskud larangan bermuwallat al-kuffar saat itu, agar

orang muslim tidak mendapatkan dampak berbahaya, negatif dan

merugikan mereka secara pribadi maupun secara keseluruhan akibat

hubungan itu.

Selain itu, maqᾱsid-nya juga bisa dipahami dari data sejarah

yang luas yang tersaji tentang ayat dan tema yang dikandungnya.23

Dengan demikian, values dan tujuan al-Qur’an yang mendasari hal ini

sudah dipahami. Apalagi kalau kita melihat Q.S al-Mumtaḥamnah: 8

dan 9 (ayat ini juga akan penulis bahas nanti), maka poin maqasid

akan semakin menguatkan penjelasan diatas

22 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.h. 587 23 Dalam catatan sejarah, beberapa kali umat Islam meminta bantuan kepada non-Muslim.

Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar kafir Quraisy Mekkah, Nabi Muhammad saw, mencari

perlindungan ke Raja Najasyi yang kristen. Ratusan sahabat Nabi saw, termasuk Usman bin Affan

dan istrinya, Abu Hudzaifah ibnu Utbah, Zubair ibnu Awwam, Abdurrahman bin Auf hijrah ke

Najasyah untuk menghindari pembunuhan dari kafir Quraisy. Di saat kafir Quraisy memaksanya

untuk mengembalikan umat Islam ke Mekkah, sang raja tetap pada pendiriannya, untuk

melindungi umat Islam dan tetap diberikan hak untuk menjalankan agamanya. Kedua, ketika Abu

Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dinasti Fathimiyyah yang pernah meminta nasehat pada

seorang kristen tentang lokasi yang cocok untuk dijadikan ibukota negara. Lihat Abdul Moqsith

Ghozali, Perspektif al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama, h.197-198

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

99

2. Kebolehan bermuwalāt al-Kuffār

ٱ ع س ى۞ ب ي ن كم ب ي ع ل ي ج أ ن لل ن تمع اد ي لذين ٱ ن و دة همم و ٱو م ٱو ق دير لل حيم غ فور لل ل ٧ ر

ى ي ن ٱ كم ه ين ٱ في تلوكم يق ل م لذين ٱ ع ن لل ل م لد ن رجوكميخ و وهم أ ن ركم دي م تق ت ب ر هم إل ي ا سطو و

ا ٨ سطين مق ل ٱ يحب لل ٱ إن ى ي ن إنم ٱ كم ه ين ٱ في ت لوكم ق لذين ٱ ع ن لل أ خ لد جوكمو ن ر ركم دي م

ظ روا و ل ى ه اجكم إخ ع لو أ ن ر ن هم ت و م لهم و ي ت و ل ٱ هم ئك ف أو

٩ لمون لظ

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu

dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah

adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan

berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena

agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya

Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah

hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang

yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu,

dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa

menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang

yang zalim.” (Q.S al-Mumtaḥanah: 7-9)

Tema ayat ini berhubungan erat dengan ayat pertama surat al-

Mumtahanah, dimana jika ayat yang pertama menerangkan larangan

tegas hubungan kasih sayang dengan non-muslim–apabila mereka

berkhianat, maka ayat ini justru menerangkan sebaliknya, yakni

menerangkan sikap seorang muslim terhadap non-muslim yang tidak

memusuhi, tidak berkhianat, tidak berpaling pada Muslim. Bahkan,

ayat ini menganjurkan untuk mengulurkan tali persaudaraan dan

menjalin hubungan yang baik terhadap mereka.24

Konsep maslaḥat ayat di atas, akan langsung terlihat dari entitas

munasabah-nya. Artinya, sebagai sesuatu yang dianjurkan, ayat ini

mengandung poin yang bisa dibaca secara jelas, yakni (1) Islam bukan

24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirya, (Jakarta: Departemen Agama RI,

2008), h. 96

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

100

agama yang menakutkan bagi non-Muslim. (2) Hubungan antara

muslim dan non-muslim itu sejatinya bisa sedemikian dekat dan

akrab. (3) Allah tidak melarang adanya hubungan baik dengan non-

muslim, bahkan Allah menganjurkan itu jika non-muslim tidak

tindakan-tindakan yang bisa merugikan umat Muslim.

Oleh sebab itu, melihat ayat ini cukup menarik, karena

keterikatan ayatnya menjelaskan tentang sikap terhadapa non muslim.

Yakni bagaimana perilaku yang dilarang dan dianjurkan. Hal ini

penting guna mewujudkan hubungan yang baik antar sesama manusia,

khususnya dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.

Ayat ini sendiri turun berkenaan dengan ipar Nabi Muhammad

saw, Asma’ binti Abu Bakar yang mempertanyakan bolehnya ia

menerima kunjungan ibunya yang saat itu masih kafir.25 Riwayat lain

menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan sekelompok muslim

yang mengadu dan bertanya: “Sesungguhnya kami mempunyai

saudara, kerabat yang tidak beriman, apakah kami bisa tetap

memperlakukan mereka secara baik?.”26

Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa Allah tidak melarang orang

muslim berbuat kebajikan dan kebaikan kepada non-Muslim. Namun

dengan syarat, mereka (non-Muslim) tidak membunuh, mengusir

kalian dari tempat tinggal, kota, ataupun negara kalian, maka tidak ada

25 Asma binti Abu Bakr berkata: “ketika Nabi saw masih hidup, ibuku (yang masih kafir)

datang ke rumahku karena rindu padaku. Aku lalu bertanya kepada beliau, ‘bolehkah aku

menerima kunjungannya?’ ‘boleh’ jawab Nabi saw, lalu turunlah ayat ini. Lihat Muchlis M.

Hanafi (editor), Asbabun Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, h.433 26 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.95

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

101

apapun yang memberatkan untuk berbuat baik dalam hal apapun pada

mereka.27

Sedangkan menurut Quraish Shihab: “....Kata (تبوهم) berarti

“kebijakan yang luas.” Dengan penggunaan kata, tercermin izin untuk

melakukan aneka kebajikan bagi non-Muslim selama tidak membawa

dampak negatif dan merugikan bagi umat Islam.”28

Senada dengan pendapat di atas, Wahbah Zuhaili menjelaskan

bahwa, maksud ayat ini adalah “Allah tidak melarang untuk berbuat

kebajikan kepada non-Muslim yang sudah berjanji untuk tidak

memerangi kaum Muslim, dan juga tidak melarang memperlakukan

mereka dengan adil.” Dua ayat ini, merupakan gambaran yang bisa

didapat dari hubungan non-Muslim dan Muslim, adakalanya itu

hubungan perdamaian, dan adakalanya itu hubungan permusuhan.

Hubungan perdamaian itu dianjurkan jika non-Muslim tidak

memerangi, tidak mengusir seperti yang dijeskan ayat ke-8, dan

hubungan itu dilarang jika mereka bekhianat, mengingkari janji

seperti yang dijelaskan ayat ke-9.29

Sementara Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa “Islam adalah

Agama damai serta akidah cinta. Ia satu sistem dan bertujuan untuk

menaungi seluruh alam dalam naungan cinta dan kedamaian, serta

bahwa semua manusia dihimpun dalam manhaj agama, serta dalam

27 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.96 28 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. h. 598 29 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, h.508-513

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

102

kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal satu sama lain

dan saling cinta-mencinta. Tidak ada yang menghalangi untuk menuju

arah tersebut kecuali musuh-Nya. Maka ketika non-muslim bersikap

damai, Islam tidak akan berniat melakukan permusuhan.30

Bahkan seandainya dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap

menerapkan faktor-faktor keharmonisan itu dalam hati, seperti

kejujuran tingkah laku serta perlakuan yang adil, menunggu satu hari

dimana mereka bisa menerima kebajikan yang ditawarkan. Sehingga,

mereka tertarik untuk bergabung dengan manhaj agama ini.31

Penjelasan di atas mengantarkan kepada nalar al-maqᾱsidī

bahwa Allah melarang bukan semata-mata hanya karena kekafirannya,

tapi juga pada sifat yang dimilikinya. Jika non-Muslim bisa berdamai,

maka hubungan antar sesama sebagai manusia sangat dianjurkan.

Namun jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang merugikan

orang Islam, maka hubungan itu dilarang.

Sedangkan jika menerapkan kaidah al-ibroh bi al-maqᾱsīd,

maka akan sama saja hasilnya karena secara ibarah al-naṣ, dua ayat

ini menjelaskan hal itu. Bahwa jika dalam suasan damai seperti

konteks ayat diatas, maka menerima kunjungan, hadiah dan saling

berbuat baik kepada orang kafir tidak dilarang. Pun begitu dengan

pemahaman ‘illat nya, karena dalam penjelasan di atas sudah

dijelaskan ʻillatnya adalah permusuhan itu sendiri.

30 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.503 31 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.505

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

103

Analisis di atas mengantarkan pada pencapaian tujuan utama

ayat ini, yakni tidak adanya larangan untuk bermuwālāt al-kuffār

selama itu terjadi dalam suasana damai dan tidak ada permusuhan

antara keduanya (muslim-kafir). Ini juga menunjukkan prinsip agama

Islam dalam menjalin hubungan persaudaraan, persahabatan dengan

non-Muslim. Kaum Muslim diwajibkan bersikap baik, bijak selama

mereka juga melakukan hal yang sama. Ini sekaligus menunjukkan

secara jelas bahwa misi utama al-Qur’an dalam kehidupan

bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persaudaraan

tersebut, serta mengikis segala bentuk fanatisme golongan, agama

maupun kelompok.

Dengan persaudaraan, sesama masyarakat dapat melakukan

kerjasama; meskipun dengan satu perbedaan yang mencolok, yakni

perbedaan akidah. Perbedaan itu ada, bukan untuk menunjukkan

kehebatan satu atas yang lain, tapi untuk saling mengenal dan

menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan

kebebasan.32

Anjuran untuk membangun persaudaraan dengan non-Muslim

yang menjadi poin maqᾱsid ayat ini juga bisa didapati dari ayat lain,

seperti Q.S al-Hujurat [49]: 1333 dan Q.S al-Nisa’ [4]: 1.34 Kedua ayat

32 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,

h.50-59 33 Q.S al-Hujurat [49]: 13

اي ل ق إنا لناس ٱ أ يه ن كمن خ أنث ى ذ ك ر م ع ل و ج ق ب ا اشعوب كم ن و فو ئل و كم أ ك إن ا لت ع ار م ٱ عند ر ليم لل ٱ إن كم ق ى أ ت لل ع

بير ١٣ خ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

104

ini adalah ayat madᾱniyah,35 dimana biasanya salah satu cirinya

adalah diawali dengan ءامنوالذينٱأي ها (ditujukan untuk orang-orang

beriman), tapi demi persaudaraan, persatuan juga kesatuan ayat ini

mengajak pada semua manusia ( لناسٱأي ها )–baik yang beriman atau

yang tidak agar saling membantu dan menyayangi.

Sebab, hakikat masing-masing manusia berasal dari satu

kesatuan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil

dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk saling

menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling

menghormati hak-hak asasi manusia.36

Selain itu, dari analisis ini juga kan didapati bukan hanya

mengantarkan pada pencapaian tujuan utama ayat ini, tapi pada tujuan

sekundernya, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Dengan persaudaraan, persahabatan serta persatuan yang terjadi antar

umat yang berbeda agama, maka upaya untuk mewujudkan kehidupan

saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah

orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Mengenal.”

34 Q.S al-Nisa’ [4]: 1

اي بكم تقوا ٱ لناس ٱ أ يه ل ق كم لذيٱ ر ن خ ل ق حد ة و س نف م خ امن و و ه از ه ب ج امن ث و ال هم ثير رج ا اك نس لذيٱ لل ٱ تقوا ٱو ء و

ا لون ت س ام ر ل ٱو ۦبه ء ل ي ك ان لل ٱ إن ح قيب كم ع ١ ار “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu

dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah

memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)

hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” 35 Ayat yang turun setelah Nabi Muhammad saw berhijjrah ke Madinah. Lihat Manna’ al-

Qaththan, al-Mabahis Fii Ulum al-Qur’an, 36 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,

(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h.54

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

105

masyarakat yang diliputi keadilan dan kemakmuran akan lebih mudah

untuk dicapai.

B. Reaktualisasi Poin Maqāṣid dalam konteks Indonesia

Jika pemahaman penuh illat dan maqᾱsid-nya sudah didapat, maka

seorang mufassir akan dihadapkan pada realitas yang dapat melahirkan

kegelisahan, merangsang upaya dekontekstualisai untuk kemudian

menggerakkan pada usaha reaktualisasi poin maqᾱsid dari ayat itu. Ini

senada dengan apa yang diungkapkan oleh Moqsith Ghozali, “Saat

maqᾱsid sudah didapat, teks harus dilepaskan dari konteks kearabannya

yang awal (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan

rekontekstualisai, yakni melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu

ditempat dan dibelahan bumi non-Arab.37

Apabila beberapa hal mengenai ayat-ayat diatas sudah selesai dibahas,

maka dengan kekuatan nalar, tafsir maqᾱsidī akan bergerak ke ranah yang

lebih urgen. Sehingga ayat ini memiliki ruang untuk ijtihad, dimana nalar

maqashidi masuk menjadi intrumen analisis, misalnya untuk

mendiskusikan:

a. Muwālāt al-kuffār dalam konteks, ruang dan waktu Indonesia.

Reaktualisasi nalar tafsir maqashidi pada ayat-ayat diatas memiliki

beberapa poin, salah satunya bolehnya menjalin hubungan

(bekerja sama, menjadikan atasan, bahkan memilih untuk

menduduki jabatan-jabatan publik tertentu) dengan non-Muslim

37 Abdul Moqsith Ghozali dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, h.155

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

106

selama mereka tidak memusuhi serta tidak memberika efek negatif

(maḍarat) pada umat Islam.

b. Menciptakan hubungan baik antar pemeluk agama dan anjuran

persaudaraan dengan umat agama lain. Pemahaman akan substansi

keberagaman merupakan upaya untuk menyadari hakikat

beragama bagi setiap pemeluk agama. Kesadaran ini merupakan

modal yang paling penting untuk bersikap wajar dan proporsional

dalam menghadapi perbedaan agama yang ada. Memahami

subtansi agama berarti menumbuhkan sikap saling menghormati

ajaran lain. Di sini umat beragama akan menyadari tiga kesadaran,

agree in disagreement, agree ini agreement dan agree in

different.38

Agree in disagreement adalah setuju untuk tidak setuju dalam hal-

hal yang prinsip yang menjadi dasar agama, misalnya tentang

akidah dan keimanan. Umat Islam pasti menyadari bahwa iman

yang benar baginya adalah ketauhidan dan ke-esaan Allah dengan

al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Umat kristiani mengakui bahwa

trinitas adalah iman kristen dan ijil sebagai kitab sucinya. Umat

Yahudi pun begitu, mengakui bahwa keberadaan Uzair beserta

kitab sucinya Taurat dan Talmud tidak bisa di ganggu gugat,

begitu seterusnya dalam agama-agama lain. Masing-masing agama

harus memantapkan posisi kepercayaan umatnya dan meyakinkan

bahwa agamanya berbeda dengan agama lain. Disinilah, kesadaran

38 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press,

2003), h. 208

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

107

eksklusifitas itu tidak harus ditonjolkan dalam rangka hubungan

antar pemeluk agama dalam hubungan antar agama secara

eksternal, tapi cukup hanya sebatas dalam relasi internal.39

Agree in agreement adalah setuju untuk saling setuju. Inklusifitas

juga merupakan doktrin agama yang penting, karena banyak

ditemukan doktrin yang semakna, satu tujuan, maupun satu misi.

Persamaan-persaman inilah yang harus diketengahkan dan

direnungkan. Misalny, dalam tiga agama samawi sama-sama

mengakui bahwa mereka keturunan keturunan dari manusia

pertama, yaitu Adam dan Hawa, mengakui tentang ketuhanan

Allah. Terkahir agree in different, yakni setuju dalam perbedaan.

Adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh berbagai pemeluk

agama meskipun dalam perbedaanya. Misalnya, Islam mengakui

keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan istimewa terhadap

pemeluknya, apresiasi ini bukan hanya sekedar pengkuan kosong

tapi juga dilegitimasi sendiri oleh naṣ al-Qur’ān. Legitimasi ini

diakui sebagai pengakuan, namun harus juga disadari adanya

perbedaan tentang pemahaman eksistensinya. Demikian juga,

umay Yahudi dan Kristen harus menyadari bahwa umat Islam

mempercayai Dawud dan Kristus (Isa), kendatipun dalam

pengertian, kedudukan yang berbeda dengan pemahaman

mereka.40

39 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama,h. 208 40 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 208-209

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

108

Dengan tiga kesadaran ini, maka sikap keberagaman masyarakat

secara objektif harus diarahkan pada penekanan usaha bersama

menggali, mengembangkan secara mendalam dan menyeluruh

terkait prinsip-prinsip kesamaan, persaudaraan dan persatun yang

signifikan dalam hubungan kemanusiaan, sosial dan

kemasyarakatan. Sebab, latarbelakang setiap manusia, selalu ingin

diperlakukan secara adil dan diposisikan sejajar dengan manusia

lain. Sehingga, seruan untuk berlaku adil, pasti dikumandangkan

oleh tiap-tiap agama sebagai seruan yang bersifat universal dan

abadi. Oleh karena itu, mengedepankan kesadaran seperti ini

mutlak diperlukan, bukan sekedar sebagai wawaan, tapi juga

sebagai aksi harus mulai dimulai dari pribadi masing-masing

pemeluk agama, yang nantinya akan berkahir menjadi kesadaran

kelompok, masayarakat, bahkan kesadaran nasional dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkait masalah-masalah

kemaslahatan umum yang merupakan sebuah keniscayaan,

sehingga kemesraan antar agama itu bisa tercapai.41

c. Pemantapan akan kesadaran pluralitas budaya juga agama.

Kemajemukan serta pluralitas bangsa Indonesia bukanlah sesuatu

kenyataan yang baru terbentuk. Kemajemukan etnis, budaya,

bahasa, agama, suku serta ras merupakan kenyataan sejarah yang

sudah mengakar di negeri ini. Oleh karena itu, kemajemukan dan

pluralitas ini menjadi hal yang penting untuk disadari dan tak bisa

41 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 209. Lihat juga,

Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, h.2261-269

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

109

diingkari. Pengingkaran terhadap hal ini merupakan penolakan

atas kebenaran sejarah, cita-cita berbangsa dan bernegara.

Pemahaman, kesadaran serta pemantapan nilai kemajemukan,

pluralitas dan keragaman yang ada, dalam rangka kesatuan

manusia Indonesia, bisa menuntun serta menciptakan sikap

moderat, menjunjung toleransi bagi individu dan masyarkat bahwa

adalah satu. Dalam kerangka ini, maka terwujudlah suasana

beragama yang sejuk, damai, saling meghargai, toleran antar

sesama umat dan bangsa.42

d. Melakukan tata kelola organisasi dan pelembagaan agama-agama

yang ada di Indonesia. Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

berasas “bhineka tunggal ika” harus selalu ada toleransi antar umat

beragama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh

karena itu negara wajib menjamin kemerdekaan agama dan

tumbuhnya toleransi. Kehidupan beragama di Indonesia tercermin

pada eksistensi lima agama besar: Islam, Kristen, Protestan,

Katholik, Hindu dan Budha, maka perbedaan yang ada tidak boleh

menghalangi hubungan antar warga negara dalam kehidupan

bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Tata kelola oragnisasi

dan tradisi pelembagaan agama-agama menjadi satu hal yang

penting, karena itu merupakan potensi yang sangat besar dalam

pembinaan mental, moral dan spiritual bangsa, seklaigus bisa

menjadi jembatan utama dalam mewujudkan masyarakat adil,

42 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 210-211. Lihat juga,

Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, h.322-323

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

110

makmur, yang merata secara material dan spiritual dalam suasanan

kehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis, serta

dalam lingkungan yang merdeka, damai dan bersabahat.

e. Mengembangkan pentingnya dialog antar pemeluk agama.

Sehingga dari semua ini bisa tercipata sikap toleran, saling

menghargai dan kerukukan hubungan dengan non-Muslim dalam

konteks warga negara Indonesia. Dialog meniscayakan

kesempatan yang sama bagi dua pihak untuk menyatakan

pendapatnya atau memberi tanggapan atas pendapat pihak lain.

Dengan demikian dialog diartikan sebagai bentuk komunikasi

antar umat beragama yang berbeda dimana masing-masing agama

mempunyai kedudukan yang setara dalam proses komunikasi.

Untuk menciptakan hubungan yang baik, mengedapankan

toleransi, menerima, menghormati dan menghargai perbedaan

yang ada, serta saling menjadikan ajaran masing-masing sebagai

dasar untuk menerima hak umat lain dalam sebuah komunitas

yang sama, maka dialog itu harus diusahakan kedua belah pihak.

Upaya-upaya untuk melakukan dialog inilah bisa menjadi jalan

penting demi terwujudnya sikap toleran, dan saling menghargai

antar sesama warga negara, serta dapat mengembangkan cara

berfikir yang positif satu sama lain.43

Inilah beberapa poin yang menjadi tujuan akhir dari nalar tafsir al-

maqᾱsidī, reaktualisasi maqᾱsid al-naṣ. Apalagi melihat salah satu tujuan

43 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,

h.2261-269

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

111

hidup yang diinginkan setiap manusia adalah terciptanya kedamaian,

ketenangan, keamanan dan kenyamanan sehingga setiap individu akan

berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh tujuan itu. Salah satu hal yang

dianggap bisa mendukung terciptanya tujuan diatas adalah sikap saling

memahami identitas, karena setiap manusai memiliki indentitasnya

masing-masing, tentu banyak sekali perbedaan antara satu dan yang lain,

kesadaran sikap ini harus senantiasa ditumbuhkan agar perbedaan yang

ada mengarah pada potensi positif dalam memperoleh kehidupan yang

damai dan aman.44

Tujuan utama hidup manusia adalah ketentraman dan kebahagiaan

batin. Dalam agama ketentraman dan kebahagiaan batin bukan hanya

untuk pribadi saja, tapi juga untuk seluruh manusia, ini biasa disebut

dengan kemaslahatan umum. Secara sosiologis, kemsalahatan umum

berhubungan erat dengan interkasi dan relasi sosial dalam masyarakat.

Oleh karena itu mewujudkan kerukukan serta toleransi dalam pergaulan

antar umat beragama merupakan satu upaya yang penting untuk

menciptakan kemaslahatan umum serta melancarkan hubungan antar

manusia yang berbeda agama satu dengan yang lainnya, sehingga setiap

golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan

agamanya masing-masing.45

Walhasil, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk membenci

orang lain karena menganut agama lain. Membiarkan orang lain untuk

tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri.

44 Departemen Agama RI, Tafsir Maudhu’i: Hubungan Antar Umat-Beragama, h. 70-71 45 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama, h.22

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

112

Toleransi yang ditunjukkan Islam sedemikian kuatnya, hingga umat Islam

dilarang memaki-maki Tuhan-tuhan yang disembah oleh orang Musyrik.46

Oleh karena semua inilah, tak berlebihan jika toleransi di katakan

sebagai kebutuhan/keharusan dalam hidup, selain sebagai kewajiban

agama yang sudah dijelaskan di atas. Dalam pandangan Islam toleransi

bukanlah pemberian dari orang atau kelompok yang kuat kepada yang

lemah, tapi sebuah nilai esensial yang diajarkan dan menjadi cirri yang

melekat dengan Islam itu sendiri.47

Akhirnya, reaktualisasi poin Maqāṣid berkahir pada misi utama yang

ingin diusung al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, yakni prinsip

toleransi, kemanusiaan dan persamaan (egaliterianisme). Bahwa dari

hakikat penciptaannya manusia itu sama, tidak ada perbedaan. Oleh karena

itu tidak ada kelebihan satu individu atas individu yang lain, satu golongan

atas golongan yang lain, satu ras atas ras lain. Maka, dengan prinsip

tersebut sesama anggota masyarakat bisa melakukan kerja sama,

kendatipun diantara mereka terdapat perbedaan prinsip, yakni akidah.

Perbedaan bukan untuk menunjukkan superioritas atas yang lain, tapi

untuk saling mengenal, mengerti, memahami, mencari titik temu untuk

mencapai prisnip kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, moderasi,

toleransi dan kebebasan.

46 Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama,

h.170 47 Muskhlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.265

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari serangkaian bab-bab yang sudah dijelaskan, penulis

menyimpulkan bahwa poin-poin berikut sebagai jawaban dari rumusan

masalah yang telah disusun sebelumnya, yaitu:

Setelah melakukan kajian tentang ayat-ayat muwalāt al-kuffār yang

ada dalam Q.S al-Mumtahanah yang dianalisis dengan pendekatan

maqāṣidī maka akan didapati beberapa kesimpulan berikut:

- Analisis maqāṣidī yang dilakukan atas beberapa ayat, khsusunya

mengenai muwalāt al-kuffār mengantarkan kepada penalaran,

bahwasanya larangan tersebut kontekstual pada masanya. Dan illatnya

adalah permusuhan yang ada. Dari analisis ini juga mengantrakan

pada pemahaman, anjuran untuk berbuat baik dan menjalin

persahabatan dengan non-Muslim selama mereka tidak memusuhi dan

tidak memberi dampak negatif, sehingga hubungan kerjasama antar

pemeluk agama ini bisa terlaksana dan tidak terlarang. Inilah yang

menjadi maksud utama dalam ayat-ayat tersebut.

- Dari penemuan poin maqāṣid ini, kemudian bisa direaktualisasikan

dalam konteks Indonesia, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara yang kaya akan kemajemukan dan

kebhinekaan, misi utama yang diusung al-Qur’an adalah prinsip

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

114

toleransi, kemanusiaan, persamaan, moderasi serta persaudaraan.

Prinsip-prinsip universal ini juga sejalan dengan perkembangan

Maqāṣid al-syarīʻah terbaru yang menjunjung tinggi hal-hal ini.

Perbedaan yang ada tidak akan bisa menganulir prinsip-prinsip ini

yang berisfat qaṭʻi serta universal. Hal ini juga sesuai dengan

semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”.

- Kajian ini memberi bukti nyata bahwa Islam sebagai agama yang

tekakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., bukanlah agama

yang mengajarkan pada sikap intoleran pada pemeluk agama lain.

Tapi Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

tolerasni, persamaan, kemanusiaan untuk dapat menciptakan sebuah

tatanan masyarakat dalam kesatuan dan perstauan. Sehingga tercipta

hubungan yang harmonis, romantis, damai, rukun dan bersatu dalam

perbedaan.

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

115

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan beberapa

hal sebagai berikut:

1. Penelitian ini hanya berangkat dari Q.S al-Mumtahanah saja,

sementara konsep toleransi masih bisa digali dari beberapa ayat lain

yang tentu saja masih sangat banyak.

2. Penelitian ini yang berangkat dengan analsis maqāṣid ini tentu belum

sampai pada tahap sempurna, namun diharapkan menjadi sumbangsih

ilmiah, meski hanya dalam bentuk yang singkat tentang membangun

konsep toleransi. Penelitian ini diharapakan bermanfaat bagi

pengembangan dunia keilmuan, khsususnya bidang tafsir, ulūm al-

qur’an dan pemikiran islam, sehingga bisa dijadikan pegangan dan

inspirasi dalam peneltian selanjutnya.

3. Untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman,

damai, tentram dan sejahtera rasanya sangat perlu untuk

menumbuhkan dan memantapkan kembali kesadaran toleransi demi

terwujudnya kehidupan yang harmonis, damai dan rukun dalam

bingkai perbedaan dan keragaman.

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

116

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformstif . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997

Abd. Bāqī, Muhammad Fuād. Al-Muʻjam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur’ān al-

karīm, Beirut: Dār al-Maʻrifah. 2015

Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia

(Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996

Al-Asfahani. Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an. Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012

Asmawi. Konseptualisasi Teori Maslahah, dalam jurnal salam: filsafat dan

Budaya

Atsir, Ibnu. al-Nihayah Fii Gharib al-Hadits wa al-atsar. Beirut: Maktabah al-

Ilmiah, 1979 v.2

Auda, Jasser. Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā.

Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī lilfikr al-Islāmī, 2006

, Maqāṣid al-Syarīʻah; Dalīl lilmubtadiīn. Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī

lilfikr al-Islāmī, 2006

, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan

Ali Abd Mun’im, Bandung: Mizan, 2015

Badawi, Ahmad Zaki. Mu’jam Musthalahat al-Ulum al-Ijtima’iyyah. Beirut:

Maktabah Lubnan, 1982

Biltaji, Muhammad. Manhaj Umar bin al-Khattab fii Tasyri’. Kairo: Dᾱr al-

Salam, 2002

Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. TK:

Maktabah ilm al-hadīṡ, 2005

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

117

Departemen Agama RI. Al-Quran Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI,

2007

Departemen Agama RI. Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat

Beragama. Jakarta: Departemen Agama RI, 2008

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2016

Fadeli, Soelaimandan dan Subhan, Muhammad. Antologi NU: Sejarah-Istilah-

Amaliyah-Uswah Surabaya: Khalista, 2007

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Musytasyfa Min Ilm al-Uṣūl. Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-

‘Ilmiyyah, TT

Ghozali, Abd. Moqsith, dkk. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2009

,. Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama. Disertasi UIN

Jakarta, 2007

, Memahami Maqᾱṣīd al-Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium

General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2014.

Hakim, Ahmad Husnul. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir. Depok: eLSiQ, 2013

Hamidi, Abdul Karim. al-Madkhᾱl Ilᾱ Maqᾱsīd al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-

Rusyd, 2007

Hanafi, Muchlis M. Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama,

Ciputat: Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013

, Asbᾱb al-Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, (Jakarta:

Lajnah Pentashhihan Mushaf al-Qur’an Kemenag RI, 2015

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

118

Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: Muassisah Qurtubah, TT

v.1

Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai

dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya:

Bina Ilmu, 1979

Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur’an Di Medsos; Mengkaji Makna dan Rahasia

Ayat Suci Pada Era Media Sosial. Yogyakarta, Bunyan (PT. Bentang

Pustaka), 2018

ʻIbn Āsyūr, Muhammad Ṫāhir. Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah. Yordania:

Dᾱr al-Nafᾱis, 2001

, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: Dᾱr al-Tunisiyah, TT. v.7

Al-Juwaini. al-Burhan Fii Ushul al-Fiqh, Ed. Abd al-Adzim al-Diib. Qatar:

Kastir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Maktabah Aulad al-syaikh li al-turas,

TT) v.13

Kemenag RI. Tafsir Tematik, Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf al-Qur’an, 2012

Kemenag RI. Maqasidusy-Syari’ah: Memahami Tujuan Utama Syari’ah (Tafsir

al-Qur’an Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2013

Kusmana. Epistimologi Tafsir Maqāṣidi. Mutawatir: Jurnal Kelimuan Tafsir-

Hadis, vol.6, no.2, Desember 2016

Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme.

Yogyakarta: Lkis, 2011

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

119

Maknunah, Nur Lu’lu’il. Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi

Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur), Skripsi S1 UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2016

Mandzur, Ibnu. Lisᾱn al-‘Arᾱb, Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-‘Ilmiyyah, 2009

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustafa al-Babi al-Hilbi,

1946 M

Masduqi, Irwan .Berislam Secara Toleran: teologi Kerukunan Umat Beragama.

Bandung: Mizan, 2001

Masudi, Muhammad Idris. dalam artikelnya “Mendialogkan Tradisi dan

Modernitas, Tafsir Maqashidi:Sebuah Tawaran Penafsiran”, diakses dari

http:idrismuhhamd.blogspot.com

Mawardi, Ahmad Imam .Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid

al-Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKiS,2010

Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikulturalisme. Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007

Al-Munawwar, Said Agil Husain. Fikih Hubungan Antaragama. Jakarta: Ciputat

Press, 2003

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea

Press, 2014

Nurdin, Rahmat. Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Q.S Al-Mumtahanah,

Tesis S2, UIN Kalijaga Yogyakarta, 2016

Quthb, Sayyid. Tafsir fii Dzilal al-Qur’an. Beirut: TP, 1971

Al-Raisyuni, Ahmad. al-Bahts Fii Maqasid al-Syari’ah. TP, TT

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

120

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Kairo, Dar al-Manar,

1947, vol. 4

Shihab, Alwi .Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:

Mizan, 1999

Shihab, M.Quraish ddk. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:

Lentera Hati, 2007, v.7

Shihab, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan

Hadits-hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati, 2011

, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan,

2008

, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:

Lentera Hati, 2011. V.13.

Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci, Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an

Terhadap Agama Lain, Terj. R.Cecep Lukman Yasin . Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2013

Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawaali. Khawatir Imaniyyah. Kairo: Dᾱr al-Nūr li

al-ṭᾱb wa al-nasyr wa al-tauzi’ v.18

Sutrisno. Paradigma Tafsir Maqāṣidī. Jurnal Rasuyan Fikr, vol.13, n0.2,

Desember 2017

Al-Suyuthi, Jalaludin. Asbabun Nuzul: Sebab turunnya ayat al-Qur’an. Terj. Tim

Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008

Syibromalisi, Ali, Faizah dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44273/1/ARIF UBAIDILLAH-FUF.pdfrepository.uinjkt.ac.id

121

Thahir, Halil. Ijtihad Maqsidi: Rekontruski Hukum Islam berbasis Interkonesitas

Maslahah, Yogyakarta: LKiS, 2015

Al-Ṫᾱbarī, Abī Jaʻfar Muhammad ibn Jarīr. Tᾱrikh al-Ṫabᾱri. Kairo: Maktabah

Ibnu Taimiyah,

Wathani, Syamsul. Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, Jurnal Suhuf, vol 9 No

2, Desember 2016

Yasir, Muhammad. “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an,” Jurnal Ushuluddin, vol.

xxii No.2 Juli, 2014

Al-Zamakhsyari, Abi Qasim Mahmud bin Umar. al-Kasyaf an Haqaiqi

Ghawamid al-Tanzil wa Uyun an Aqawil fi Wujuh al-ta’wil, (Riyadh:

Maktabah Abikan, 1998

Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,

Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H

Syaerozi, Arwani. “Memperkenalkan Tafsir Maqashidi”, diakses dari

http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-

maqshidi.html