Arif Hamzah Sps.tesis
-
Upload
safira-diniarti -
Category
Documents
-
view
233 -
download
5
description
Transcript of Arif Hamzah Sps.tesis
KONSEP ISHLÃH DALAM PERSPEKTIF FIKIH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)
Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009
Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2008
KONSEP ISHLÃH DALAM PERSPEKTIF FIKIH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)
Disusun oleh:
Arif Hamzah
01.2.00.1.01.01.0009
Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2008
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Arif Hamzah
NIM : 01.2.00.1.01.01.0009
Tmp./tgl. Lahir : Pati, 28 Mei 1976
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya berjudul “Konsep Ishlah Dalam
Perspektif Fikih” adalah benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara
akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis
ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk digunakan
sebagaimana mestinya.
Jakarta, 24 April 2008
Yang menyatakan,
Arif Hamzah
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis dengan judul Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diajukan pada sidang munaqasyah
tesis pada hari Jum’at, 28 Maret 2008. Tesis ini telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta diterima sebagai salah satu syarat menerima gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam (MA) Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 April 2008
Pembimbing/Penguji
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
Penguji Penguji/Ketua Sidang
Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA. Dr. Udjang Thalib, MA.
PEDOMAN TRANSLITERASI*
q ق= z ز= Tidak dibaca ا=
k ك= s س= b ب=
l ل= sy ش= t ت=
m م= sh ص= ts ث=
n ن= dh ض= j ج=
w و= th ط= h ح=
zh ĥ ظ= kh خ= ه=
.…’.… ء= ‘ ع= d د=
y ي= gh غ= dz ذ=
f ف= r ر=
Vokal Panjang
Vokal Pendek
= a =آ ã = i = ي ĩ
= u = و ũ
Hal-hal khusus: 1. Ta’ marbuthah (ة) mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya menjadi (h) 2. Alif lam (ال) selalu ditransliterasi dengan (al-) meskipun huruf yang menyertaimya
syamsiyah atau qamariyah, kecuali pada penggunaan nama penulis buku mengikuti tulisan yang sebenarnya.
3. Tasydid ( ) ditransliterasikan dengan mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan 4. Kata-kata yang sudah baku di tulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,kecuali
kata al-Qur’an 5. Kata ابن ditulis Ibn. 6. Diftong اي ditulis ai, dan او ditulis au
i
Abstrak:
Tesis ini diberi judul “Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih.” Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai konflik di Indonesia khususnya konflik sosial yang telah banyak merenggut korban. Oleh karena itu, penulis merasa perlu merumuskan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih demi turut serta mewujudkan kedamaian.
Fokus dan tujuan penelitian dalam tesis ini meliputi: pertama, Ingin mengetahui bagaimana Ishlãh di masa lalu berdasarkan sumber-sumber teks keagamaan dan sejarah. Kedua, bagaimana mendudukkan Ishlãh dalam wacana ushul fikih, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat. Ketiga, bagaimana mengembangkan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Dan keempat, Bagaimana penerapan Ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba menerapakannnya (membandingkannya) dalam penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat di Indonesia yang pernah dilakukan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ishlãh dapat dilacak akar sejarahnya dalam ajaran Islam, bahkan jauh sebelum datangnya risalah Islam. Ulama fikih hanya membahas ruang lingkup Ishlãh dalam hubungannya dengan jinayat qishãsh diyat. Mereka juga hanya membahas rukun Ishlãh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula Ishlãh belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
Dalam konteks ushul fikih, Ishlãh berkaitan erat dengan mashlahat yang merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam. Ishlãh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif dan integral. Rukun Ishlãh meliputi shighat, al-aqidain, dan muhal yang terdiri dari mushalih 'anh dan mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih dapat bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bersifat bendawi seperti membayar denda berupa harta atau uang, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah, menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling sabar dan memaafkan. Konsep Ishlãh –dalam perbandingannya dengan poin-poin dalam deklarasi Malino- jika diterapkan secara konprehensip, niscaya dapat secara signifikan menghentikan konflik dan menciptakan perdamaian yang lestari di Indonesia.
ii
Abstract
This Thesis is entitled "The Concept of Ishlãh In Fiqh perpective." It is based on the happening of various conflicts in Indonesia, especially social conflicts which effect so many victims. Therefore, writer is sure that it is important to formulate the concept of Ishlãh in fiqh perspective as a contribution for making peace.
The focus and the aims of this research covers: first, how to know about Ishlãh based on religious texts and history. Second, how to positionate Ishlãh in ushul fiqh, according to the significance of Ishlãh and its position before mashlahat. Third, how to formulate and develop the concept of Ishlãh in fiqh perspective. And fourth, How to implement Ishlãh to solve social conflicts in Indonesia
This is a qualitative research using the analytical and descriptive method that describes and systemizes factual and accurate data as well as the experts’ views on the Ishlãh concepts in the fiqh perspective. The validity of the discovered concepts is examined by trying to apply and compare it to solve the horizontal conflicts in society, especially in Indonesia, with the effort done.
This research concludes that Ishlãh is traceable on the history in Islamic teaching, even far before the coming of Islam. The fiqh scholars discuss about Ishlãh only on its relation with jinayat qishãsh diyat. They also discuss some pillars of it without mentioning some conditions comprehensively as well as the discourse of Ishlãh in ushul fiqh context. Meanwhile, in ushul fiqh, Ishlãh is related strongly with mashlahat in which it is the main objective of Islamic law. Ishlãh in fiqh perspective is a concept consisting of the pillars and conditions which are related to each other comprehensively. The pillars of Ishlãh cover the shighat, al-aqidain, and muhal comprising the mushalih 'anh and mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih can be materials such as giving some goods or money and immaterial like doing something. Mushalih ‘alaih which is in the form of doing something should cover some works such as avoiding the ugly prejudice, snubbing, and libel, creating justice in all areas of society, tightening silaturahmi in order to rehabilitate relations and conditions, willingness to taubat, patience and forgiveness. The ideal concept of Ishlãh, in comparison with some points in Malino’s Declaration, when it is comprehensively applied, significantly stop and end social conflicts and create the everlasting peace in Indonesia.
iii
الخـــالصـــة عن الباحث آتب. "اإلسالمي الفقه في اإلصالح منهج" العنوان تحت البحث هذا
اجتماعية مساءل في خاصة بإندونيسيا الموجودة القالقة بالحوادث وقع بما الموضوع هذا الفقه في اإلصالح منهج أهمية عن بكتابة الباحث قام ولذلك النفوس، قتل إلى تحمل التي
.اإلنسان سالمة تحصيلل اإلسالمي :يلي آما االبحاث اربعة فيشمل الموضوع، هذا في األبحاث أبرز ومن
.التاريخ في اإلصالح على بالمعلومات الباحث أراد -أوال بأهميتها المتعلقة الفقه اصول في االصالح مكانة على بالمعلومات الباحث أراد -ثانيا
.المصلحة في الملحة والحاجة -ثالثا .اإلسالمي الفقه في اإلصالح منهج عن الحديثة المهمة باالقتراحات لباحثا قام باندنيسا اجتماعية مائل عيالج في االصالح مهج بتنفيذ الباحث قام-رابعا
المصادر على والتحليلي االستقرائي منهج البحث هذا في الباحث واستخدم والمنهج. اإلسالمي لفقها في اإلصالح مفهوم عن والخبراء العلماء وآراء الموجودة باستعمال مقارنته و بتنفيذه تصحيحه على بالتجارب عرضه الباحث آتبه الذي المقترح .بإندونيسيا وخاصة والمجتمع الشعوب بين الموجودة المسائل لعيالج المنهج
التشريع في بوجوده الوصول يمكن اإلصالح أن البحث هذا من والخالصة الفقهاء بحث ما. اإلسالمية الشريعة نزول قبل وجدناه قد الحاإلص أن والسيما اإلسالمي
االصالح ارآان بحثوا و الجناية فى والدية بالقصاص عالقته فى اال االصالح مجال عن في. الفقه اصول ناحية فى تفصيال يبحثوااالصالح ولم شروطهاتفصيال عن بحث بغير التشريع فى االداف اهم هي التي والمصلة االصالح بين عالقة الفقه اصول ناحية
والشروط األرآان من المتكون المنهج هو اإلسالمي الفقه في واإلصالح. االسالمي والمحل والعقيدين الصيغة من يتكون اإلصالح وأرآان. شاملة عالقة بينهم المتعلقة ذاتي شيء من اما يتكون قد عليه ومصالح. "عليه مصالح" و "عنه مصالح" من المتكون الظن سوء من االجتناب وهي االعمال آاستعمال ذاتي غير او النقود او المال اعآاعط واإلرادة الخالصة النية األرحام، صلة المجتمع، في العدالة تكوين والفتنة، والغيبة
مقارنته فى- اإلسالمي الفقه في اإلصالح ومنهج. الناس والعفوعن الصبر، القويةللتوبة، االجتماعية المسائل يدفع فلسوف شاملة ناحياته آل على بتنفيذه قمنا اذا -مالنو باصالح .باندنيسا المجتمع فى والمصلحة السالمة ويحصل
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
iv
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah. Ridha dan rahmat-Nya telah
memberikan kesempatan dan kelancaran kepada penulis untuk menyelesasikan tesis
ini.
Terimakasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Abdul
Rahman Farid (al-Marhum) dan Ibunda Siti Munawiroh. Kasih sayang mereka tak
mungkin bisa kubalas. Juga untuk adikku, Abid Syaifullah. Terima kasih atas segala
motivasi dan kepercayaan. Tak lupa untuk istriku tercinta, Desi Arisanti.
Kesetiaanmu selalu mengilhamiku.
Terimakasih pula untuk Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM.
sebagai pembimbing sekaligus penguji dalam penulisan tesis ini. Juga untuk Prof. Dr.
Hasanuddin AF., MA., sebagai penguji, dan Dr. H. Udjang Thalib, MA. Sebagai
penguji sekaligus ketua sidang ujian. Saran-saran mereka sangat berharga dalam
memperbaiki berbagai kekurangan dalam tesis ini.
Para Pimpinan dan Dosen sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, khusus untuk Prof.
Dr. Suwito MA. dan Ibu Nilfa Yetty Tanjung, bimbingan, jeweran dan motivasinya
sungguh tak ternilai dengan apa pun. Juga para karyawan dan karyawati Pasca yang
terlalu sering penulis repoti.
Tak lupa kepada kawan-kawan Legoso, FAI UHAMKA, dan STIE Ahmad
Dahlan, dan khusus untuk kawa-kawan satu pesantren di Qom, spesial buat ustadz
Faris yang membantu memberikan bimbingan tesis tak resmi. Juga untuk semua
teman yang tak dapat disebut satu persatu namanya. Karena mereka hidup terasa lebih
berwarna.
Ciputat, 20 April 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Pedoman Transliterasi .................................................................................... i
v
Abstrak ........................................................................................................... ii
Abstract .......................................................................................................... iii
Al-Khulãshah .................................................................................................. iv
Kata Pengantar ............................................................................................... v
Daftar Isi ........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ......................................... 9
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ...................................... 9
D. Metode Penelitian .............................................................. 10
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan .................................. 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II KONSEP ISHLÃH
A. Definsi Ishlãh
1. Secara Bahasa ............................................................... 13
2. Secara Istilah ................................................................. 14
B. Ishlãh Dalam al-Qur’an Dan Hadis.................................... 20
C. Ishlãh Dalam Sejarah ........................................................ 30
1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam .......................................... 30
2. Ishlãh Pada Masa Islam ................................................ 32
D. Ruang Lingkup Ishlãh ....................................................... 37
BAB III DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH
A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah ............................... 39
B. Hukum Ishlãh .................................................................... 48
C. Signifikansi Ishlãh ............................................................. 50
D. Ishlãh Dalam Jinãyah ......................................................... 59
BAB IV FIKIH ISHLÃH
A. Obyek Ishlãh ..................................................................... 89
vi
vii
B. Subyek Ishlãh ..................................................................... 101
C. Rukun Ishlãh ...................................................................... 102
D. Syarat Ishlãh ...................................................................... 104
E. Penerapan Ishlãh Dalam Konflik Sosial di Indonesia ....... 149
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 152
B. Saran ................................................................................... 153
LEMBAR BUKTI PENYERAHAN TESIS
Tesis dengan judul Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh
Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diperbaiki sesuai petunjuk
pembimbing dan penguji serta telah diserahkan kepada para pembimbing dan penguji
masing-masing satu eksemplar hard copy tesis.
Jakarta, 29 Mei 2010
Pembimbing/Penguji
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
Penguji Penguji/Ketua Sidang
Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA. Dr. Udjang Thalib, MA.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya
berbagai kasus konflik bernuansa SARA yang berujung pada terjadinya
berbagai kerusuhan hebat dalam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Konflik tersebut telah memakan banyak sekali korban baik dari segi fisik
bahkan mental. Tidak sedikit harta benda bahkan nyawa melayang. Kerugian
yang dialami juga mencakup kerugian material maupun spiritual, seperti
hancurnya tatanan dalam masyarakat berupa terputusnya silaturrahmi antar
saudara, juga silaturahmi antar tetangga yang tadinya rukun dan damai, belum
lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh masyarakat dari yang sudah
tua sampai anak-anak. Bahkan ancaman serius bahaya hilangnya satu generasi
penerus pembangunan di wilayah bersangkutan.
Praktis bisa dikatakan, bahwa selama beberapa tahun kerusuhan
berlangsung, anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak, tanpa
pendidikan yang memadai, juga kondisi kesehatan yang kurang terawat,
mengingat sebagian besar dari mereka berada dalam pengungsian dengan
kondisi serba minim.1 Pendek kata, konflik tersebut telah menelan kerugian
tidak terhitung.
Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah
sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai
kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini
1 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, (Jakarta:
YAPPIKA, 2003), h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat termasuk anak-anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai putih. Mereka berkata:”Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang ketahuan.”
1
2
belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada
gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.
Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan
membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian
yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar
menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin
ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam
biasa disebut dengan istilah ishlãh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun
tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata
melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.
Dalam konteks pidana Islam, ishlãh dibicarakan berkaitan erat dengan
qishãsh, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada
pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini
secara otomatis menggugurkan hukuman qishãsh, terlepas dari keluarga
korban menuntut diyat (denda) atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan
dalam QS. al- Baqarah (2): 178.2
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di
atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah
biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena
kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.
2 Ayat itu berbunyi:
☺ ⌦ ⌧ ☺
☺ ☺
⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishãsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat (denda) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
3
Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah
membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya
terbunuh akan mengatakan: “Kami tidak akan membalas melainkan harus
membunuh orang merdeka dari mereka”. Begitu juga bila yang terbunuh
perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki
musuh. Maka turunlah ayat “orang-orang merdeka dengan orang-orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”3
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa
qishãsh adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishãsh diyakini akan
memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar
individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup
jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara
kehidupan seluruh umat.
Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka
wajib atas pelaku membayar diyat (denda) tanpa ditunda-tunda. Dengan
demikian, diyat (denda) dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti
qishãsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf
kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman
ta’zĩr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak
Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan
qishãsh.
Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishãsh, Allah
secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat
kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada
melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah
bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishãsh. Oleh karena itu,
mengingat qishãsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka
memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.
3 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj.
Mu’ammal Hamdi dan Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 123
4
Konsep ishlãh muncul sebagai ganti dari qishãsh yang tak jadi
dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini,
keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam
menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlãh
dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya konsep ishlãh digali hingga ditemukan sebuah formula
penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat
bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam.4
Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak
bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishãsh
saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlãh. Karena dalam sebuah
kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan
korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishãsh yang
diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara
jika perspektif ishlãh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan
masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat
menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi
ishlãh ditemukan. Sehingga, jika ishlãh menjadi suatu yang urgen untuk
kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera
dilaksanakan.
Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di
berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita
dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain.
Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh
tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai
kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.
4 Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu "Apabila terjadi
pelanggaran hukum maka di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba, sedangkan hak hamba itu lebih dominan". Berdasarkan kaidah di atas, dominasi hak hamba ini berimplikasi pada penyelesaian melalui jalan damai yaitu pihak yang dirugikan dapat memaafkan pihak yang merugikan. Hal ini akan secara lebih luas dibahas dalam bab selanjutnya.
5
Wakil-wakil pihak yang bertikai menandatangani kesepakatan perdamaian
berupa Deklarasi Malino pada Desember 2001. Sebagai hasil dari kesepakatan
tersebut dan berbagai upaya yang terus dilakukan kedua belah pihak, propinsi
tersebut kini mulai kondusif untuk rekonsiliasi dan pemulihan. Menanggapi
perkembangan positif yang dicapai melalui Deklarasi Malino, UNDP bekerja
sama dengan Menko Kesra memulai suatu proyek persiapan pada 2003.
Proyek tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan awal terhadap proses
pemulihan dan rekonsiliasi, serta melakukan kajian dan perencanaan untuk
merancang program jangka panjang untuk mendukung perdamaian dan
pembangunan berkelanjutan. 5
Begitu pula halnya yang terjadi di Ambon. Kesepakatan damai yang
diikuti oleh pembentukan komite bersama Baku Bae yang dipimpin secara
bersama oleh pihak muslim dan pihak Kristen telah memberikan efek positif
bagi perkembangan masyarakat maluku dan Ambon khususnya. Salah satu
kegiatan untuk mempertemukan pihak muslim dan kristen adalah kursus
komputer. Di sana, selain belajar untuk memperoleh keterampilan, mereka
juga bergaul antara satu sama lain, sehingga mereka dapat saling berinteraksi,
saling mengundang, bahkan timbul kembali persahabatan. Selain kegiatan
belajar, juga diadakan konseling.6
Di samping itu, dalam forum-forum tertentu, masyarakat yang semasa
konflik dulu saling menyelamatkan dipersilahkan mengekspos pengalaman
mereka. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semasa konflik terjadi, banyak
orang Kristen menyelamatkan orang Islam dan begitu juga sebaliknya. Cara
menyelamatkan itu antara lain dengan saling menyelundupkan atau
membocorkan rencana penyerangan. Dengan demikian calon korban bisa
menyelamatkan diri. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Media massa yang
dulu juga terlibat konflik, media Kristen misalnya, sempat memihak kelompok
5 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160 6 Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program Isu, 2003), h. 131
6
Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk
menggunakan media demi menegakkan perdamaian.7
Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang
dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus
konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan
dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut
tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang
setimpal dengan segala konsekuensinya.8 Dengan kata lain, dapat ditempuh
jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme
peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan.
Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa.
Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.
7 Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian
Jangka Panjang, h. 131 8 Munir, Transisi Politik dan Masa Depan HAM, ST. Sularto (ed.), (Jakarta: Kompas,
2000), cet. Ke-1, h. 16
7
Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.9
Menurut hemat penulis, pengusutan kejahatan akibat konflik horisontal
melalui jalur pengadilan adalah hal yang amat sulit dilakukan serta
membutuhkan energi dan pengorbanan yang luar biasa sedangkan hasilnya
belum tentu memuaskan semua pihak. Pendek kata, banyak yang harus
dikorbankan, sementara kita dituntut untuk juga menatap ke depan
membangun bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mata rakyat sendiri
dan dunia internasional. Oleh karena itu, penyelesaian melalui mekanisme
pengadilan meskipun tetap perlu dilakukan namun efektifitasnya sangat minim
dalam kondisi bangsa yang kurang stabil di segala bidang. Oleh karena itu,
jalur non pengadilan lebih baik untuk dikedepankan.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia
lain. Pemerintah akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM
dengan berupaya mendamaikan kecenderungan menghukum dan memberi
maaf. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil karena perangkat
hukum yang ada sebagian besar adalah hasil rezim lama yang tak memadai,
baik secara administratif maupun substantif.10 Berdasar kondisi tersebut,
pemerintahan biasanya menerapkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang
hanya diterapkan dalam waktu sementara pula. Di sini prinsip hukum yang
kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada.
Dalam konteks inilah wacana pencarian kebenaran dan pengupayaan
rekonsiliasi menjadi isu sentral yang realistis demi pembangunan.
Peristiwa menarik berkaitan dengan ishlãh di Indonesia adalah
munculnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui
rekonsiliasi dalam pendekatan Islam, seperti Ishlãh kasus Tanjung Priok.
Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangan, hal ini tentu saja
9 UU. No. 20 tahun 1999, Diktat, Tidak diterbitkan, h. 2-6 10 Contoh yang paling tepat untuk negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Afrika
Selatan dengan konsep rekonsiliasinya.
8
diharapkan bisa menjadi model penyelesaian terbaik terhadap berbagai kasus
di masa lalu, sambil terus berupaya melengkapi kekurangan yang ada.
Kesepakatan damai yang dituangkan dalam sebuah piagam ishlãh ini
adalah suatu penyelesaian secara damai terhadap kasus pelanggaran HAM
berat Tanjung Priok. Ishlãh ini terjadi pada tanggal 7 Maret 2001 antara
mantan Panglima Kodam Jaya Jend. (Purn.) Try Sutrisno dan pejabat
keamanan yang menjabat pada waktu tragedi terjadi pada tanggal 1 September
1984, dengan pihak keluarga korban.11
Peristiwa ini segera menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan,
khususnya praktisi hukum. Mereka berpendapat bahwa meskipun telah terjadi
ishlãh, namun penyelesaian melalui jalur hukum tetap harus dilakukan melalui
proses peradilan.12 Di samping itu, ketidaksetujuan ini juga didasarkan pada
kekhawatiran mandulnya sistem hukum yang berlaku, karena ishlãh yang
disepakati terkesan menganggap enteng kejahatan berat yang telah dilakukan
di masa lalu dengan memutuskannya tanpa melalui proses peradilan terlebih
dahulu.
Ketidaksetujuan ini senada dengan adanya kaedah dalam hukum Pidana
Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Satria Effendi M. Zein, bahwa apabila
bergabung hak individu dan hak publik, sementara hak individu lebih
dominan, maka meskipun hukum qishãsh bisa dimaafkan oleh keluarga
korban, namun pengadilan tetap berkewajiban mengenakan hukuman ta’zĩr
sebagai hukuman atas pelanggaran hak publik.13
Terlepas dari berbagai komentar baik yang pro maupun kontra, perlu
disadari bersama bahwa untuk merajut masa depan Indonesia baru dan
khususnya masyarakat yang didera konflik berkepanjangan, ishlãh dinilai
11 Al- Chaidar wa Iddatu Ashkhas Amilu Lihisabi Tapol, Mihnatul Islam Fi Indonesia, Terj. Muhammad Thalib, Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), cet. ke-5, h. 31. Lihat Juga Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, Kompas (Jakarta: 10 Juni 2001), h. 6. Juga Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok Berdamai, Kompas (Jakarta: 8 Maret 2001), h. 1
12 Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, h. 6 13 Satria Effendy M. Zein, Arbitrase Dalam Masyarakat Islam, dalam Arbitrase Islam di
Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat, 1994), h. 13-14. Lihat Juga Said Aqil Husin Al- Munawwar, Al- Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 275
9
mampu mengobati luka rakyat. Ishlãh dapat mencegah masyarakat membuka
luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan
menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga
tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, ishlãh lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi
menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir itu, berarti individu, kelompok, dan negara
“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. ishlãh dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau
melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di
masa depan. Singkatnya, ishlãh lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu
daripada penuntutan pidana.
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
Tesis ini ingin mengungkap beberapa masalah sebagaimana penulis
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ishlãh di masa lalu dengan mengutip sumber-sumber teks
keagamaan dan sejarah.
2. Bagaimana mendudukkan ishlãh dalam (wacana) ushul fikih, berkaitan
dengan signifikansinya dan kedudukannya dalam mashlahat.
3. Bagaimana pengembangan ishlãh dalam perspektif fikih
4. Bagaimana penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di
Indonesia
Untuk itu, penulis membatasi pembahasan rumusan masalah tersebut di
atas yaitu dalam lingkup konflik sosial, khususnya konflik sosial bernuansa
SARA yang terjadi di Indonesia bagian timur seperti Poso.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Penulisan tesis ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pelaksanaan ishlãh di masa lalu.
10
2. Menemukan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum ishlãh,
berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat.
3. Merumuskan konsep ishlãh dalam perspektif fikih
4. Menjajagi penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial bernuansa
SARA di Indonesia.
Adapun kegunaan tesis ini adalah:
1. Melengkapi persyaratan untuk dapat meraih gelar magister Agama
2. Memberikan deskripsi yang jelas tentang konsep ishlãh dan penerapannya,
sehingga bisa memberikan kontribusi secara intelektual kepada rekan
sejawat dan praktisi hukum pada umumnya.
3. Memberikan kontribusi kepada masyarakat muslim pada khususnya dan
seluruh rakyat Indonesia umumnya dalam membangun kehidupan yang
maju, damai dan beradab.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitis,14 yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta
sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep ishlãh, khususnya
dalam perspektif fikih.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dilakukan studi pustaka
dengan menelusuri berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Kemudian untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan
metode analisis isi dengan menilai, mengidentifikasi data, dan menganalisanya
sehubungan dengan rumusan masalah yang diteliti sehingga didapatkan
konsep ishlãh dalam perspektif fikih yang komprehensif. 15
Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba
membandingkannya dengan penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat
Indonesia yang pernah dilakukan. Dalam hal ini akan diambil satu contoh
penyelesaian konflik di Poso berupa deklarasi Malino. Dengan begitu,
14Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63-74 15 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1973), h.
76
11
pemahaman yang didapatkan dari konsep tersebut adalah pemahaman yang
komprehensif dan integral.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Beberapa kajian tentang ishlãh pernah dilakukan oleh beberapa orang
dalam beberapa bentuk tulisan ilmiah. Adapun yang sampai kepada penulis
adalah tesis Muhammad Adil yang berjudul "Ishlãh dalam Pelanggaran HAM
Berat". Tesis ini membahas permasalahan ishlãh antara dua kubu yang
berseteru dalam kasus pelanggaran HAM berat yaitu tragedi Tanjung Priok
dan tragedi Lampung. Pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus pada upaya
penyelesaian konflik dengan tetap berupaya menyelesaikannya secara hukum
melalui proses pengadilan, karena meskipun penulis mengakui bahwa
memang telah terjadi ishlãh antara kedua belah pihak, namun tetap
dipermasalahkan keabsahan ishlãh yang telah disepakati tersebut. Di samping
itu, penulis juga belum menemukan konsep ishlãh secara fikih itu sendiri
secara lebih gamblang dan sistematis.
Di samping itu, penulis juga menemukan tesis dengan judul "Ishlãh,
Suatu Tinjauan Tematik" karya Tuti Alawiyah. Tesis ini membahas ishlãh dari
segi bahasa dan dalam tinjauan ilmu tafsir. Adapun karya ilmiah yang
berkaitan dengan ishlãh dalam bentuk disertasi dan skripsi belum penulis
temukan.
Fakta bahwa baru dua tulisan ilmiah yang membahas tentang ishlãh
dengan stressing yang berbeda menyebabkan penulis tertarik untuk
mengelaborasi tema ini, tentunya dengan penekanan pembahasan yang
berbeda dari karya tulis ilmiah yang telah ada.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini meliputi bab kesatu (pendahuluan)
yang berisi latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, dan
sistematika penulisan.
12
Dilanjutkan dengan bab kedua (Ishlãh dalam Islam). Bab ini terdiri dari
pembahasan definisi ishlãh, Ishlãh dalam al-Qur’an, ishlãh dalam sejarah, dan
ruang ligkup ishlãh.
Bab ketiga (dasar-dasar hukum ishlãh), berisi kedudukan ishlãh dalam
mashlahat, hukum ishlãh, signifikansi ishlãh, dan ishlãh dalam jinayah.
Bab keempat (Konsep Ishlãh dalam Perspektif Fikih) berisi
pembahasan obyek ishlãh, subyek ishlãh, rukun ishlãh, syarat ishlãh yang
terdiri dari pembahasan muatan mushalih ‘alaih dan syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mediator, dan penerapan ishlãh dalam konflik
sosial di Indonesia yang berisi pembahasan dan pembandingan konsep
ishlãh yang telah ditemukan dengan konsep ishlãh yang dihasilkan dalam
deklarasi Malino yaitu perjanjian damai antar kelompok yang bertikai di
Poso.
Pembahasan ditutup dengan bab kelima (penutup) yang berisi
kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP ISHLÃH
A. Definisi Ishlãh
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, akar kata ishlãh berasal dari lafazh حا – يصلح – صلح
yang berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlãh صال
merupakan bentuk mashdar dari wazan إفعال yaitu dari lafazh يصلح – اصلح –
,yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan , إصالحا
(penyelesaian pertikaian). Kata صال ح merupakan lawan kata dari فساد / سيئة
(rusak).15 Sementara kata اصلح biasanya secara khusus digunakan untuk
menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan
tetapi, jika ishlãh tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka اهللا
mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan إصالح
dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan
menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah keberadaannya, dan
kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu
sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.16
Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata اصال حا sebagai antonim dari
kata فساد , dan biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi
kerusakan, sehingga terkadang dapat dimaknai dengan 17..إقامة Sementara
Ibrahim Madkur dalam mu’jamnya berpendapat bahwa إصالحا yang berasal
dari kata صلح mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta
terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan
15 Tim Penyusun Pustaka Azet, Kamus Leksikon Islam, (Jakarta: Pustazet Perkasa,. 1998)
h. 224. lihat juga, Peter Salim dkk., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), cet.I, h. 581
16 Al-Rãghib al-Ashfahani, al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 284-285
17 Ibn Manzhũr, Lisãn al-'Arab, (Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita’lĩf wa al-Tarjamah, t.th), Jil. 3-4, h. 348-349
13
14
Menurut Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, kata إصالحا
berasal dari kata صلح. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Shalãh menunjuk
pada arti yang berlawanan dengan kerusakan (al-fasãd). Ini berarti telah
memperbaiki dengan perbaikan. Dikatakan shalaha (yang di-fathah lam-
nya) sesuai dengan yang dihikayatkan oleh Ibnu al-Sukiyat bahwa shalaha
adalah shalaha-shulũhan bermakna memperbaiki, sesuatu perbaikan”.19
2. Secara Istilah
Secara istilah, term ishlãh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji
dalam kaitannya dengan perilaku manusia.20 Karena itu, dalam
terminologi Islam secara umum, ishlãh dapat diartikan sebagai suatu
aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi
keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan
jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki
semua amal perbuatannya dan segala urusannya.21
Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlãh mempunyai arti mengkondisikan
sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk
dimanfaatkan.22
18 Ibrãhĩm Madkũr, al-Mu’jam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad ‘Athiyyatullah, al-Qãmũs al-Islãmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4, h. 321
19 Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, Mu’jam Maqãyis al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Khabakhiy, 1981), Jil. 3, h. 303
20 E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil. IV, h. 141
21 Abd Salam, Mu’jam al-Wasĩth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522 22 Abu ‘Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma’ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-qur’an, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullãhi Mahmũd ibn
15
Kata ishlãh juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah
tajdĩd (pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah
pada kemajuan dan perbaikan keadaan.23 Dengan demikian, ishlãh
bertalian erat dengan tugas para Rasul yang terus ditindaklanjuti hingga
sekarang dan seterusnya.24 Walaupun zaman para Nabi telah berakhir,
namun pekerjaan ishlãh yakni perubahan ke arah perbaikan berlanjut terus
sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ishlãh merupakan
bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.25
Perubahan ini bukan semata-mata untuk menambah hasil guna atau
kemakmuran, akan tetapi lebih merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kebajikan masyarakat.
Jhon O.Voll mengemukakan bahwa dua dari pengertian-pengertian
utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata ishlãh dan
tajdĩd. Ishlãh biasa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaruan.
Secara bersama-sama, kedua kata tersebut mencerminkan satu tradisi
berkelanjutan, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam
beserta praktek-prakteknya dalam sejarah kamunitas kaum muslimin.26
Menurut Syafi’i Ma’arif, perkataan tajdĩd berarti pembaruan,
inovasi, restorasi, medernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain
yang berkaitan dengan makna itu. Maka bila dihubungkan dengan
Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70.
23 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42
24 Nabi Syuaib umpamanya, berkata kepada umatnya: “Saya hanya menginginkan ishlãh pada batas-batas kekuasaan saya” Lihat QS. 11: 88, dan mereka yang mengerjakan ishlãh (Muslihun), sering dipuji dalam al-Qur’an, yang dilukiskan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan kepada mereka pasti diberi pahala (QS. 33: 31). Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi, Islam Versus Barat, terj. Dari Ma’rakat al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, oleh Mushthalah Maufur, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 192-194
25 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 33
26 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 22. Pembahasan ishlãh dalam tesis ini tidak terfokus pada definisi ini.
16
pemikiran tajdĩd dalam Islam, tajdĩd adalah usaha dan upaya intelektual
Islami untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan
penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan
perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurutnya, kerja tajdĩd
adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaran-
ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu.27
Sementara menurut ulama fikih, kata ishlãh diartikan sebagai
perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan
persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun
kelompok.28 Sejalan dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan
bahwa ishlãh merupakan bentuk persoalan di antara para pihak yang
bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-
baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan,
peperangan dan lain-lain.29
Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlãh merupakan suatu jenis akad
untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan.
Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan
ishlãh tersebut dengan Mushãlih, adapun hal yang diperselisihkan disebut
dengan Mushãlih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak
terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushãlih
'alaih atau badal al- shulh.30
Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa,
meskipun kata ishlãh dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata
27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi),
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, h. 95 28 Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. Definisi ishlãh dalam konteks inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini.
29 Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496
30 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, (Bangdung: PT. Al-Ma'arif, 1988), jil. Ke-13, h. 189
17
ishlãh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak.
Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlãh
tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat juga
dinyatakan bahwa ishlãh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga
sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.
Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Selanjutnya perlu dijelaskan pula mengapa Sayyid Sabiq
menggunakan istilah mushãlih bagi para pihak yang hendak berishlãh, dan
tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushãlih
ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua
pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlãh, bukan
salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan
fã'ala mengandung arti musyãrakah atau resiprokal.
Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian
ishlãh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah
mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di
dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah,
urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik
perjuangan”.31 Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara
amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki
hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan
persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya
dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang
bersengketa dan berselisih itu.
Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlãh dengan perdamaian
antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-'adl (yang berdiri
di pihak kebenaran hukum) dengan ahl baghy (penyelewengan yang keluar
31 Hasbi al-Siddieqy, al-Islam II, (Jakarta: PT. Mutiara Bulan Bintang, 1952), cet. I, h. 448
18
dari hukum), juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi
perpecahan.32 Ibn Qudamah membagi ishlãh berdasarkan pihak-pihak
yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlãh antara ahl al- 'adl
dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim,
dan antara muslim dengan ahl al- harb.33
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih
juga membahas kata ishlãh dan menjadikannya sebagai salah satu metode
menemukan hukum dalam bentuk istishlãh/mashlahah. Al-Ghazali
menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madhãrat.34
Tujuan utama dari Syãri' (legislator) adalah mashlahah manusia,
demikian diungkapkan oleh al-Syãtibi.35 Lebih jauh ia mendefinisikan
mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,
yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan
pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi
mashlahah dalam tiga kategori; dharũriyyah, hãjjiyyah, dan tahsĩniyah.
Mahslahah kategori dharũriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus
terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat
dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat
kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas.36
32 Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj.
K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy, al-Islam II, h. 448-450.
33 Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-
4, h. 339 34 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil. 2, h. 324 35 Al- Syãthibi, al- Muwãfaqãt fĩ Ushũl al- Ahkãm, juz II, tt., t.th. h. 35-36 36 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 327
19
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan keserasian dan
kesejalanannya dengan nash, mashlahah dibagi dalam tiga kategori yang
meliputi: pertama, Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang sesuai
dan berdasarkan nash. Sebagai contoh mashlahah bentuk ini adalah
haramnya khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang
bertentangan dengan nash, contohnya adalah pembagian waris satu
banding satu (1:1) bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,
mashlahah mursalah, yaitu suatu cara penetapan hukum terhadap masalah
yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma’, hanya dengan
mendasarkan pada pemeliharaan Mashlahah dengan syarat sejalan dengan
kehendak syara’.37 Apabila ia diterapkan akan dapat memelihara
kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pemeliharaan agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta, serta dapat menghilangkan kesulitan.38
Oleh karena fungsi dan tujuannya untuk memelihara kebutuhan-
kebutuhan pokok dan dapat menghindarkan kesulitan, maka Mashlahah
merupakan tujuan syari’at secara umum karena mengarah pada
terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat
memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak
bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.
Berbagai variasi makna ishlãh di kalangan para ulama sesuai
spesialisasinya masing-masing tersebut pada dasarnya berkisar pada
anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek.
Untuk lebih luas dan dalam mengetahui konsep ishlãh, maka perlu kiranya
dideskripsikan perspektif al-Qur’an dan perspektif sejarah mengenai
ishlãh, agar didapatkan pengertian yang lebih komprehensip. Maka
pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan
37 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 329-330 38 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), cet. I. h. 41
20
dengan term ishlãh disertai penjelasan tentang sebab turun ayat-ayat
tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan singkat mengenai sejarah ishlãh
dalam rentang sejarah kemanusiaan, khususnya dalam sejarah Islam.
B. Ishlãh dalam al-Qur’an Dan Hadis
Dari berbagai ayat yang menjelaskan tentang ishlãh, akan penulis
deskripsikan beberapa ayat yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis
ini. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:
1. QS. al-Nisa’ (4): 114
⌧
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridla menjelaskan bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan dengan kasus Thu'mah ibn Ubairiq yang dititipi
baju besi oleh seorang Yahudi. Ketika tiba waktunya baju tersebut diambil
oleh pemiliknya, Thu'mah berkonspirasi untuk mengingkari orang Yahudi
tersebut bahkan meremehkannya. Karena terjadi keributan, maka akhirnya
peristiwa ini sampai kepada Nabi. Hampir-hampir saja Nabi membela
21
Thu'mah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal
yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya.39
Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu
mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam
batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi
hubungan kedua belah pihak.40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang
dibenarkan syara' adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang
semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa' di atas dapat diambil istinbãth
hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal
sedekah, amar ma'ruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil
walaupun kepada non muslim.
Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa' di atas -dalam
kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa
wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Thu'mah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan
Thu'mah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah
dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan
perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah
mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.
2. QS. al-An’am (6): 54 ⌧
⌧
☺ ☺
39 Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab,
1975), juz ke-2, h. 406-407 40 Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarĩr al- Thabari, Tafsĩr al- Thabari, (Mesir: Syirkah
Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373), jil. ke-4, juz ke-5, h. 276
22
⌧ ⌦ ⌧
Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu
datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan
ayat-ayat sebelumnya (QS. 6: 51, 52, 53) yang menerangkan tentang
larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat
terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa
pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk
bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr (mereka adalah
para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Mereka berkata: “Hai
Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah
mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya
engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah
menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi
Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin
untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih
mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para
pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu.
Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am(6): 54 sebagai
jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat
kesalahan karena ketidaktahuannya.41
41 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985), cet. V, h. 205-206
23
Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi
Hatim yang bersumber dari Mahan,42 ia berkata bahwa pada suatu waktu
datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:
“Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak
memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang
menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa
pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan
diterima oleh Allah swt.
3. QS. al-Ma’idah (5): 39 ☺
⌧ ⌦ ⌧
Artinya: ”Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebab turun ayat ini tidak lepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat 38,
bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan melakukan
pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana
yang diperintahkan Allah pada ayat 38 ini. Pada suatu waktu dia bertanya
kepada Rasulullah: “Adakah tobatku masih diterima wahai Rasulullah?”,
Sehubungan dengan pertanyaan perempuan itu Allah SWT. Menurunkan
ayat ke-39 yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah selalu menerima
taubat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia
untuk memperbaiki diri dan mengganti perbuatan jahat itu dengan
42 Abi al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wãhidy al-Nisabury, Asbãb al-Nuzũl, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), h. 122, lihat juga al-Imam Jalãluddĩn al-suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat suci Al-Qur’an, terj. H.A Musthafa, (Semarang: Penerbit CV. Sy-Syifa’, 1993), cet. I. h. 206-207
24
perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn
Amrin).43
4. QS. Ali Imran (3): 89
⌦ ⌧
Artinya: ”Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan
mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dikemukakan oleh al-Nasa’i, Ibn Hibban dan al-hakim yang
bersumber dari Ibn ’Abbas bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar
murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia
minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap Rasulullah
SAW. untuk menanyakan apakah diterima taubatnya. Maka turunlah ayat
tersebut di atas (QS. 3: 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya
sehingga ia Islam kembali.44
Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh Musaddad di dalam
musnadnya dan ’Abd al-Razzaq yang bersumber dari Mujahid menyatakan
bahwa al-Harts ibn Suwaid menghadap kepada Nabi SAW. dan masuk
Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah
ayat tersebut di atas. Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang
kaumnya. Maka berkata al-Harts: “Sesungguhnya Allah yang paling benar
43 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, (Jakarta: Rajawali
Press, 1989), cet. I, h. 21 44 Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63, Lihat juga
Qamarudin saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 101
25
di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang
muslim yang patuh.45
5. QS. al-Nisa’ (4): 35
☺ ☺
☯ ☺ ⌧
☺
Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan bahwa pada suatu
waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah untuk
mengadukan masalahnya, bahwa mukanya ditampar oleh suaminya.
Rasulullah bersabda: “Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”.
Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas
memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik
istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri.
Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak
menuntut qishash terhadap suaminya.46
Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa
suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar
menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada
Rasulullah: “Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku
sehingga terdapat bekas luka”. Rasulullah bersabda: “Suamimu tidak hak
45 Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63 46 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 238
26
untuk melakukan demikian, dia harus diqishash”. Sehubungan dengan itu
maka diturunkanlah ayat ke 35 dari surat al-Nisa’ sebagai ketegasan
hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan
demikian, hukum qishash yang hendak dijatuhkan Rasulullah menjadi
gugur, tidak jadi dilaksanakan.47
Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, ‘Abd al-Razzaq dari
‘Ubaidah bercerita: “Aku melihat ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. tatkala didatangi oleh seorang perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk mengadukan perpecahan (syiqaq) yang timbul antara dua orang suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili masing-masing untuk menjadi juru damai. Kepada kedua Hakam yang diajukan itu, Imam Ali ibn Abi Thalib berucap: “Apakah kamu berdua mengetahui apa kewajiban kalian?, kewajiban kalian ialah menyelidiki sebab perpecahan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan kalian, keduanya masih dapat dipertemukan kembali maka damaikanlah, dan sebaliknya jika kamu berdua berpendapat, untuk kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka perceraikanlah.”48
6. QS. al-Baqarah (2): 220
☺ ⌧
☺
⌧ ☺ ⌧
Artinya: ”Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu
tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
47 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 239 48 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 5-6, h. 54-55
27
mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Nasai, dan al-Hakim yang bersumber dari Ibn Abbas yang
berkata bahwa ketika turun ayat “walaa taqrabũ mãla al-yatĩmi illã billatĩ
hiya ahsan” (QS. Al-An’am (6): 152) dan ayat “innalladzĩna ya’kulũna
amwãla al-yatãmã zhulman”, sampai akhir ayat (QS. Al-Nisa’(4): 10),
orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan
minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim yang menjadi
tanggung jawabnya itu. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa
khawatir jangan-jangan mereka termasuk dalam kategori orang-orang yang
memakan harta milik anak-anak yatim. Demikian juga sisanya dibiarkan
begitu saja sampai membusuk kalau tidak dihabiskan olen anak-anak
yatim itu. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal
tersebut. Maka turunlah ayat (QS. Al-baqarah (2): 220) yang pada
pokoknya membenarkan men-tasarruf-kan harta benda anak-anak yatim
asal dengan ketentuan dan cara yang baik, yang tidak merugikan anak-
anak yatim tersebut kelak ketika sudah dewasa.49
7. QS. al-Baqarah (2): 224 ☺
⌧
Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlãh di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
49A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 99
28
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa
ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak
memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya
menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk
orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai
teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat
kebajikan.50
8. QS. al-Hujurat (49): 9 ⌧
☺ ☺
☺
☺
☺
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama,
diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta
mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama
Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay
berkata: ”Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.”
50 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 76.
29
Salah seorang sahabat yaitu Ibn Rawahah berkata: “Sesungguhnya baumu
lebih busuk dari bau keledai ini.” Maka salah seorang pengikut Ibn Ubay
membalas sehingga terjadi perang mulut yang akhirnya menimbulkan
perang dengan menggunakan tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini
sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan
perdamaian.51
Kedua, Menurut riwayat dari Ibn Jarir dari Ibn Abi Hatim dari al-
Sudi, dia berkata: ”Umran, salah seorang dari kalangan Anshar
mempunyai istri bernama Ummu Zaid. Istrinya ingin menjenguk
keluarganya tetapi tidak diizinkan oleh Umran, bahkan ia menyekap
istrinya. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan pembantunya
untuk melaporkan perihalnya kepada keluarganya. Maka datanglah
keluarga Ummu Zaid, menuntut agar ia dibebaskan. Tetapi Umran
mempertahankannya. Maka terjadilah dorong-mendorong dan
pertengkaran antara suami istri itu disertai oleh kaumnya masing-masing.
Maka turunlah ayat ini kepada Nabi untuk mendamaikan keduanya.52
9. QS. al-Anfal (8): 1 ⌧
⌧
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta
rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan
51 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa
Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 472.
52 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, h. 87
30
taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim
dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang
membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan
barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian
tertentu pula.” Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,
sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan
mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda:
“Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan
menjaga tempat kembali kalian”. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi
SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu
merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran.53
Adapun ishlãh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah
sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:
الصلح جائز بين المسلمين اال صلحا احل حراما او حرم حالال روىه ابوداود وحاآم وابن حبان وصححه عن ابي هريرة
Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlãh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. (H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya dari Abu Hurairah)
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:
من قتل عمدا دفع الى اولياء المقتول فئن شاؤوا قتلوا وان شاؤوا اخذوا الدية هم روىه ثالثين حقة وثالثين جذعة واربعين خلفة وما صولحوا عليه فهو ل
الترمذي وقال حديث حسن غريبArtinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali
terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.
53 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 219
31
C. Ishlãh dalam Sejarah
1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam
Ishlãh dalam arti perjanjian antar dua kelompok yang bertikai untuk
mengakhiri pertikaian sebenarnya telah dikenal jauh pada masa pra Islam.
Oleh karena itu, Majid Khadduri menyebutnya sebagai institusi yang
sangat tua lagi antik. Institusi ini bertujuan untuk menyelesaikan
permusuhan dengan cara damai, untuk merekonsiliasi antar pihak, dengan
berusaha mendamaikannya dengan mengadakan pernyataan persetujuan
yang bersifat kompromistis, tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak
yang lebih kuat terhadap lawannya yang lebih lemah. 54
Dikatakan tua karena institusi ini telah ada dan diterapkan prosedur-
prosedurnya sejak sekitar millenium keempat sebelum masehi atau
tepatnya tahun 3100 SM., yaitu perjanjian damai antara Ennatum, raja
Lagash, salah satu negara kota terbesar di Mesopotamia dengan
masyarakat Umma, satu negara kota lainnya di Mesopotamia. Perjanjian
damai itu dapat menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung
lama.55 Begitu juga yang terjadi di Mesir dan daerah sekitarnya.
Pada masa Arab pra Islam, para ketua suku dan ketua adat (dukun),
biasa memerankan diri sebagai penengah pertikaian dalam sukunya. Salah
satu yang terkenal adalah para tetua dari Bani Tamim yang mempunyai
reputasi cukup baik dalam menyelesaikan pertikaian antar suku. Orang-
orang dengan reputasi tinggi inilah yang biasa diminta atau berperan
sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar pihak. Mereka biasa
memanfaatkan momen budaya tahunan seperti perayaan pasar Ukãz, di
mana bangsa Arab dari berbagai suku berkumpul untuk bergembira dalam
54 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, (Clark, New Jersey: The Lawbook
Exchange Ltd., 2006), h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak yang berkonflik.
55 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 231
32
festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan
momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu.
Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh
para mediator handal ini adalah perang antara suku ‘Abs dan suku
Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn ‘Auf dan Kharija.
Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter
dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang
paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses
rehabilitasi Ka’bah selesai.56
Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah
tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian
mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan
suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi
kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya
permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya,
Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar
aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku
memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama.57
2. Ishlãh Pada Masa Islam
Dalam sejarah Islam, kita mengetahui beberapa peristiwa penting
dalam perkembangan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabat, khususnya dalam hal membuat perjanjian damai dengan pihak
luar Islam maupun mendamaikan antar pihak tertentu dalam Islam yang
sedang bertikai. Pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian, tepatnya
setelah isra’ mi'raj, Rasulullah berhasil mendamaikan dua suku Arab
56 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17 57 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 18
33
utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu ’Aus dan Khazraj. Peristiwa ini
menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian
berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah,
Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di
Madinah dan sekitarnya.58 Salah satu momen penting pada awal periode
Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani
Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak
mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang
dipilih dan disepakati kedua belah pihak.59
Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah
haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk
Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan
sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya
antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah
pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama
kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib
mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah.
Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang
kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan
senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang
ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas
melakukannya tanpa mendapat rintangan.60
Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa’ Rasyidun, sepeninggal
Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh
karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi
58 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983), h.
105 59 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234 60 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa,
1990), h. 403
34
permusuhan antar masyarakat Islam semakin parah dan memburuk, maka
diadakan perjanjian damai antara dirinya dengan Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan. Terlepas dari apa isi perjanjian tersebut dan bagaimana sikap para
pihak dalam melaksanakan isi perjanjian di masa sesudahnya, perjanjian
ini berhasil mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan yaitu
Mu’awiyah. Tahun dilaksanakannya perjanjian ini kemudian disebut
dengan ’am jamã’ah (tahun persatuan).61
Setelah masa sahabat, bahkan jauh pada masa sesudahnya, sejarah
juga merekam membaiknya hubungan antara kelompok Sunni dan Syi’ah
pada masa khilafah Umawiyah khususnya pada masa Khalifah Umar ibn
Abd al-’Aziz. Syi’ah -yang menjadi oposisi waktu itu- mulai berdekatan
kembali dengan pemerintah dan terjalin hubungan yang baik. Di samping
itu, berabad-abad sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 November 1192,
dibuat perjanjian antara tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin al-
Ayyubi dengan tentara salib yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam
perjanjian damai itu dinyatakan bahwa orang-orang Kristen yang hendak
berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.62
Khusus mengenai perdamaian antara suku ’Aus dan Khazraj yang
dimediasi oleh Rasulullah, diterangkan bahwa berawal dari pertemuan
Nabi dengan beberapa orang dari suku Khazraj yang sedang mengunjungi
Mekah untuk berhaji dan untuk sebuah misi tertentu.
Bahwa setiap musim haji, Rasulullah menggunakannya sebagai
kesempatan berdakwah, ia masuk dari satu kemah jama’ah haji ke kemah
jama’ah yang lain untuk berdakwah. Hal ini juga Rasulullah lakukan
dalam rangka mencari kemungkinan dukungan baru baginya, mengingat
kedudukannya di Mekah yang semakin terjepit oleh embargo Quraisy
61 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota
Kembang, 1989), h. 64 62 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 47, 78
35
sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib. Dalam misi dakwahnya itu,
Rasulullah bertemu dengan anggota suku Khazraj dari Yatsrib tersebut.
sekelompok orang Yatsrib tersebut berjumlah 6 orang, semuanya dari suku
Khazraj, yang membawa misi mencari bantuan kepada suku Quraisy
karena dalam peperangan terakhir dengan ’Aus, mereka mengalami
kekalahan.63
Dari percakapan mereka dengan Rasulullah, terlihat bahwa mereka
amat tertarik dengan ajaran agama baru yang disampaikan oleh Rasulullah,
hingga salah satu dari mereka berkata: ”Bangsa kami telah lama terlibat
dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ’Aus. Mereka benar-
benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka
kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran yang engkau bawa. Oleh
karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang
kami terima dari engkau ini.”64 Mereka juga sepakat untuk kembali dan
melapor kepada Rasulullah pada musim haji berikutnya.
Dari perkataan mereka di atas dapat disimpulkan bahwa
keterpesonaan dan kepercayaan mereka terhadap pribadi dan ajaran
Rasulullah telah membuat keenam orang dari suku khazraj ini berpindah
agama, dari agama berhala kepada agama tauhid sesuai ajaran Nabi. Lebih
dari itu, mereka juga berkeinginan kuat untuk menjadikan Rasulullah
sebagai penengah/mediator dalam menyelesaikan pertikaian antara mereka
dengan suku ’Aus. Mereka yakin kepada kenabian, ajaran, dan pribadi
Rasulullah, bahwa orang ini dapat melakukan tugas itu, bahkan lebih dari
itu, ia mampu menjadi pemimpin tertinggi bagi dua suku yang berseteru,
bahkan seluruh penduduk Yatsrib.
63 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 194 64 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24, Lihat juga Karen Armstrong, Muhammad
Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 195-196
36
Oleh karena itu, pada musim haji tahun 621 M., enam muslimin
baru dari Yatsrib tersebut kembali ke Mekah sesuai rencana, sambil
membawa tujuh orang, dua di antaranya dari suku ’Aus, mereka bertemu
dengan Nabi di ’Aqabah, tempat yang sama dengan pertemuan mereka
yang pertama, dan menyatakan sumpah resmi untuk menyembah Allah
dan sumpah setia kepada Rasulullah.
Isi dari sumpah setia itu, -selain bersyahadat tentunya- sebagaimana
diceritakan salah satu dari mereka adalah bahwa mereka bersumpah setia
kepada sang Rasul bahwa mereka tak akan menyembah selain kepada
Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak keturunan mereka,
membantai tetangga, akan patuh kepada Muhammad mengenai apa yang
benar. Juga, bahwa Jika mereka memenuhi sumpah ini surga akan menjadi
milik mereka. Jika mereka melakukan dosa-dosa itu maka Tuhan akan
menghukum atau memaafkan, sebagaimana Allah kehendaki.”65
Di sini terlihat kecerdasan Nabi dan juga tentunya orisinalitas ajaran
yang dibawanya dari Allah. Bahwa agama yang ia bawa tidak hanya
mensyaratkan ketundukan total kaum muslim kepada Tuhan yang satu dan
Rasul-Nya, tetapi juga menanamkan penghargaan pada orang lain sebagai
individu dengan berbagai hak yang melekat padanya. Ajaran yang
merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat Yatsrib -dan
masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi- menjadi masyarakat
baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa keberhasilan seseorang atau
suatu golongan tidak selalu berarti kerugian bagi orang atau kelompok
lain. Bahwa kemauan untuk secara bersama-sama menggapai keberadaban
dan kemajuan akan dapat menentramkan kehidupan.
Sumpah setia sekelompok masyarakat Yatsrib di ’Aqabah itu
kemudian biasa disebut dengan bai’ah al-Aqabah al-ula, dan menjadi
65 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200
37
tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah bai’ah al-
’aqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke
Yatsrib.
D. Ruang Lingkup Ishlãh
Berdasarkan uraian definisi, asbab al-nuzul ayat, dan ishlãh dalam
sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ishlãh dapat meliputi
ruang lingkup pribadi, keluarga, sosial (masyarakat), dan negara. Jika
dijabarkan lebih lanjut, maka ruang lingkup ishlãh tersebut dapat
dideskripsikan lebih luas lagi, yaitu bahwa para pihak yang terlibat konflik
dapat terdiri dari:
1. individu dengan Tuhan, individu dengan individu dalam keluarga dan
sosial, individu dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, individu
dengan sosial dalam sosial dan negara, dan individu dengan negara dalam
negara.
2. Keluarga dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, keluarga dengan
sosial dalam sosial, keluarga dengan negara dalam negara.
3. Sosial dengan sosial dalam sosial dan negara, sosial dengan negara dalam
negara.
4. negara dengan negara dalam internasional
Agaknya pembagian ruang lingkup ishlãh di atas cukup relevan jika disebut
sebagai ruang lingkup pelaku/subyek ishlãh.
Adapun pembagian ruang lingkup berdasarkan lapangan terjadinya
konflik/perihal konflik yang hendak diishlãhkan dapat meliputi:
1. Konflik individu
2. Konflik keluarga,
3. Konflik sosial, dan
4. Konflik negara
38
Agaknya relevan pula jika pembagian ruang lingkup ishlãh dalam konteks
lapangan/perihal konflik ini disebut sebagai obyek ishlãh.
Menurut penulis, ulama fikih terdahulu menekankan pembahasan
subyek dan obyek ishlãh hanya dalam ishlãh antar individu dalam masyarakat,
antar individu dalam keluarga, antar individu dalam hukum, dan antar negara.
Sementara mengenai konflik sosial yaitu konflik antar masyarakat atau antar
golongan yang berbeda suku, agama, dan pandangan belum dibahas.
Mengenai rukun dan syarat ishlãh, para ulama fikih hanya membahas
rukunnya saja, tanpa membahas syarat dari masing-masing rukun tersebut
secara lebih rinci, demikian pula kurangnya pembahasan ulama mengenai
ishlãh ini dalam konteks ushul fikih. Oleh karena itu pengembangan
pembahasan ishlãh dalam fikih dan ushul fikih perlu dilakukan.
BAB III
DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH
A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah
Pembahasan ini sangat berkait erat dengan pembahasan teori maqãshid
al-syarĩ’ah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fikih kontemporer,
pengetahuan tentang maqãshid al-syarĩ’ah mutlak diperlukan dalam rangka
memahami hakikat dan peranannya dalam penetapan hukum. Oleh karena itu
perlu dijelaskan tentang teori ini, yang kemudian diakhiri dengan melihat
hubungan antara teori ini dengan ishlãh dan pererapannya.
Secara bahasa, maqãshid al-syarĩ’ah berarti maksud atau tujuan
disyari'atkan hukum dalam Islam. maka bahasan utama dalam teori ini adalah
masalah hikmah dan 'illah ditetapkannya hukum.66 Kajian tentang tujuan
ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam
bidang ushul fikih. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini juga
merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa istilah maqãshid al-syari'ah identik dengan istilah filsafat
hukum Islam yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan
ditetapkannya suatu hukum.67
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengem-
bangkan pemikiran hukum Islam guna menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur'an dan
Hadis. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka menetapkan, apakah
terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum yang sama
atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial. Dengan demikian,
66 Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyal at-Maqdshid 'Inda al-Syathibi, (Rabath: Dar al-Aman,
1991), h. 67 67 Khalid Mas'ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Syathibi's Life and
Thought, (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), h. 325-326
39
40
pengetahuan tentang Maqãshid al-syarĩ’ah menjadi kunci bagi keberhasilan
ijtihad. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan persoalan hukum
disini adalah tentu persoalan hukum yang menyangkut bidang mu'amalah
yang dapat diketahui makna dan rahasianya oleh akal manusia.68 Dalam
penelusuran terhadap masalah-masalah mu'amalah ini, mujtahid perlu
mempertanyakan, mengapa Allah SWT. dan Rasul-Nya menetapkan hukum
tertentu dalam bidang mu'amalah. Untuk selanjutnya mempertanyakan,
apakah suatu aturan hukum tertentu masih dapat diterapkan terhadap kasus
hukum yang lain.
Lebih jelasnya, dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer,
perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap
kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam
menerapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash harus
diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari'atkan hukum tersebut.
Setelah itu perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan, apakah ayat
atau Hadis tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh
jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an dan Hadis, padahal setelah diadakan penelitian yang
seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak
dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber
hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan
umum disyari'atkan hukum dalam Islam sebagaiman telah dilakukan oleh para
ahli ushul fikih terdahulu.
68 Satria Efendi, "Maqashid al-Syari 'at dan Perubahan Sosial", dalam Dialog (Jakarta:
Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV, Januari, 1991), h. 29
41
Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam
Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-
perintah dan larangan-larangan, demikian ditegaskan oleh al-Juwaini.
Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqãshid al-syarĩ’ah itu dalam
kaitannya dengan pembahasan 'illah dalam qiyãs. Menurut pendapatnya,
dalam kaitannya dengan 'illat, ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu ashl yang masuk kategori dharuriyyah, hãjjiyah ãmmah, dan makramah.
Dalam istilah lain kategori ketiga biasa disebut tahsĩniyyah.69
Pemikiran al-Juwaini di atas agaknya dikembangkan dan diberi bentuk
oleh al-Ghazali. Ia menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan
pembahasan al-munãsabah al-mashlahiyyah70 dalam qiyãs, dan lebih jauh lagi
dalam pembahasan istishlãh.71 Baginya, mashlahah adalah memelihara
maksud al-Syãri'. Kemudian ia memerinci mashlahah itu kepada lima hal,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima aspek
mashlahah ini berada pada peringkat yang berbeda ditinjau dari segi
tujuannya, yaitu peringkat dharurah, hajah dan tahsinah. Agaknya, dari sini
teori Maqãshid al-syarĩ’ah sudah mulai terlihat bentuknya.
Selanjutnya, secara khusus aspek utama maqãshid al-syarĩ’ah
dikembangkan oleh 'Izzu al-Din ibn 'Abdi al-Salãm dalam kitabnya, Qawã'id
al-Ahkãm fi Mashãlih al-Anãm, ia mengejawantahkan mashlahah dalam
bentuk dar'u al-mafãsid wa jalbu al-manãfi'. Baginya mashlahah
dunyawiyyah tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu dharuriyyah,
hãjjiyah dan tatimmah atau takmilah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklĩf
bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.72
69 Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Anshar, 1400 H.), Jil. II, h. 923
70 al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta'lil, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), h. 159
71 al-Ghazali, al-Mustasyfa, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), juz I, h. 250 72 Ibn 'Abdi al-Salam,Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (K.airo: al-Istiqamat, tth.),
Jil. I, h. 9.
42
Adapun ahli ushul fikih yang membahas teori Maqãshid al-syarĩ’ah
secara lebih khusus, sistematis dan jelas adalah al-Syãthibi dari kalangan
mazhab Maliki. Ia secara tegas menyatakan, bahwa tujuan utama Allah SWT
mensyari'atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat. Karena itu, pembebanan dalam bidang hukum harus bermuara pada
tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi
peringkat mashlahah menjadi tiga peringkat, yaitu dharũriyyah, hãjjiyah dan
tahsĩniyyah. Yang dimaksud dengan mashlahah baginya adalah memelihara
lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.73
Berdasarkan pernyataan para ahli ushul fikih di atas dapat dipahami,
bahwa tujuan Allah SWT mensyari'atkan hukum adalah untuk memelihara
mashlahah manusia dan menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di
akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklĩf, yang pelaksanaannya
sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yaitu al-
Qur'an dan Hãdis. Untuk tujuan itu, berdasarkan penelitian para ahli ushul
fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta yang selanjutnya ia sebut sebagai al-kulliyyãt al-khams.
Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan jika ia dapat
memelihara kelima aspek pokok itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya
mafsadah, jika ia tidak dapat memeliharanya dengan baik. Menurut al-
Syãthibi, penetapan kelima pokok di atas didasarkan atas dalil-dalil al-Qur'an
dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawã'id al-kulliyyãt dalam
menetapkan al-kulliyyãt al-khams. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan dasar
pada umumnya adalah ayat-ayat Makiyyah yang tidak dinaskh dan ayat-ayat
Madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makiyyah. Di antara ayat-ayat itu
adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan
membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan
73 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt.: Dar-alFikr, tth.), Jil. II, h. 5
43
berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Ia berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk
menetapkan al-kulliyyãt al-khams termasuk dalil yang qath'i, maka ia juga
dapat dikelompokkan sebagai qath'i. Dalam artian, karena landasan hukum
untuk menetapkan al-kulliyãt al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia
dapat pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.74
Guna menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan
menjadi tiga peringkat, dharũriyyah, hãjjiyah, dan tahsĩniyyah.
Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya.
Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan
yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan.
Dalam hal ini peringkat dharũriyyah menempati urutan pertama, disusul oleh
peringkat hãjjiyah, kemudian disusul oleh tahsĩniyyah. Namun dari sisi lain
dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan
peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.
Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharũriyyah adalah
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan yang essensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai terancamnya eksistensi
kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-
kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas.
Berbeda dengan kelompok dharũriyyah, kebutuhan dalam kelompok hajiyah
tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang
dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak
terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok
di atas, tetapi hanya akan meniimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok
ini erat kaitannya dengan rukhshat atau keringanan dalam ilmu fikih.
74 Al-Syatibi, Jil. II, h. 34-70
44
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsĩniyyah adalah kebutuhan yang
menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan
Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.75
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqãshid al-
syarĩ’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan
peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok
kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian
masing-masing dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat
kepentingan atau kebutuhannya.
1. Memelihara Agama (Hifzh al-Dĩn)
Memelihara agama dalam peringkat dharũriyyah, yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer,
seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka
akan terancamlah eksistensi agama. Memelihara agama dalam peringkat
hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud
menghindari kesulitan, seperti shalat jama' dan qashar bagi orang yang
sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang
yang melakukannya. Memelihara agama dalam peringkat tahsĩniyyah,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan.
Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat,
membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya
dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak
pula akan mempersulit orang yang melakukannya.
75 al-Syatibi, h. 5
45
2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Memelihara jiwa dalam peringkat dharũriyyah, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi jiwa manusia. Memelihara jiwa dalam peringkat hãjjiyah,
seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. Memelihara jiwa
dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti ditetapkannya tatacara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket,
sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara Akal (Hifzh al-'Aql)
Memelihara akal dalam peringkat dharũriyyah, seperti diharamkan
meminum khamr. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan
berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat
hajjiyyat, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya
kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan. Memelihara akal dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.
4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan dalam peringkat dharũriyyah, seperti
disyari'atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan,
maka akan mengancam eksistensi keturunan. Memelihara keturunan dalam
peringkat hãjjiyah, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi
46
suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar
itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak
talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. Memelihara
keturunan dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti disyari'atkan khithbah
atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka
melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang
yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta (Hifzh al-Mãl)
Memelihara harta dalam peringkat dharũriyyah, seperti di-
syari'atkannya tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi harta. Memelihara harta dalam
peringkat hãjjiyah, seperti disyari'atkan jual beli dengan cara salam
(inden). Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam
eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal. Memelihara harta dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti adanya
ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya
dengan etika bermu'amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada kesahan jual beli itu, sebab peringkat ketiga ini juga
merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.
Jelas bahwa tujuan disyari'atkan hukum adalah untuk memelihara
mashlahah dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di
akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam
al-Qur'an dan Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik
tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan
47
dalam kedua sumber utama fikih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui
teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan
tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya.
Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa ishlãh yang berperan
sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi
individu dan masyarakat baik di dunia –yang meliputi pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta- maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan
memelihara ke mashlahahan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana
tujuan disyari'atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlãh sebagai
sebuah produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai
bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Qur'an
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yang oleh karena itu
dipastikan dapat memelihara al-kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di
atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula
untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian.
Di sinilah posisi strategis ishlãh dalam konteks mashlahah dan dalam
mewujudkan mashlahah itu sendiri.
Diterapkannya ishlãh dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat
memelihara kemuliaan agama. Bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan
keselamatan mengejawantahkan ajarannya dengan menciptakan kedamaian
antar anggota masyarakat di mana Islam dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula
ishlãh dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah yang dapat merusak dan
menghilangkan jiwa yang sangat berharga. Ishlãh juga dapat memelihara
harta individu dan masyarakat agar termanfaatkan secara maksimal bagi
peningkatan kebajikan individu dan masyarakat, daripada terhamburkan dalam
persengketaan yang berlarut-larut dan menghabiskan banyak biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan ishlãh akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena
pada dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan sedangkan Tuhan
48
B. Hukum ishlãh
Abu al-Walid ibn Rasy menyatakan bahwa apabila Ishlãh dilakukan
antara dua orang dalam masalah harta benda, maka hukumnya adalah sunnah
untuk menyelesaikannya atau mendamaikannya. Iishlãh itu dilakukan karena
adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa, akan tetapi
ishlãh bukanlah suatu keharusan, melainkan ishlãh itu dilakukan sesuai
dengan kebutuhan. Senada dengan Abu al-Walid, al-Khasyi dan Ibn Irfah
berpendapat sama bahwa ishlãh itu hukumnya adalah mandub. Ishlãh wajib
dilakukan apabila berkaitan dengan mashlahat umat.76
Dengan kata lain, Hukum pelaksanaan ishlãh adalah kondisional
tergantung pada tingkat urgensi penerapannya sebagaimana keterangan di atas.
Atau dalam konteks teori maqãshid al-syarĩ’ah, tingkat urgensi penerapan
ishlãh disesuaikan dengan tingkat krusial konflik yang hendak di ishlãhkan.
Jika konflik sudah mencapai taraf darurat atau perihal yang dikonflikkan
merupakan hal yang sangat esensial dalam masyarakat sehingga terjadinya
konflik dapat mencapai taraf maksimal maka hukum penerapan ishlãh menjadi
wajib. Jika konflik masih dalam taraf sedang atau perihal yang dipersilisihkan
merupakan hal yang kurang esensial dalam masyarakat sehingga
dimungkinkan tidak terjadi konflik dan perpecahan, maka hukum penerapan
ishlãh menjadi mandub. Jika perihal yang diperselisihkan merupakan hal yang
remeh-temeh, sehingga dapat diselesaikan dengan sendirinya dengan cukup
76 Naziyah Hammad, Aqdu al-Shulh fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 17
49
adanya saling pengertian antar pihak, maka hukum penerapan ishlãh hanya
sebatas mubah saja.
Selanjutnya, perlu diperhatikan rambu yang harus diperhatikan, bahwa
para ulama memposisikan ishlãh pada dua posisi diametral. Pertama, ishlãh
yang adil, yaitu ishlãh yang dibolehkan dan akan mendapat ridha Allah dan
juga oleh pihak yang sedang bersengketa, karena proses ishlãh dilakukan dan
didasari oleh adanya rasa keadilan, kearifan, serta keinginan yang tulus dari
kedua belah pihak. ishlãh seperti inilah yang dimaksud oleh firman Allah QS.
Al-Hujurat (49): 9.
Kedua, ishlãh yang ditolak (mardud), yaitu ishlãh yang menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal. Atau ishlãh dalam kasus
memakan harta riba, juga pada kasus meninggalkan yang wajib sehingga tidak
dikerjakan, juga ishlãh yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap
orang yang lemah secara zhalim yang mengakibatkan ishlãh dilakukan secara
terpaksa dan tidak didasarkan pada keikhlasan tiap pihak.77
Menurut al-Sarkhasi, ishlãh dengan maksud mengharamkan yang halal,
seperti suami yang membolehkan salah seorang istrinya untuk digauli
tetangganya adalah tertolak. Adapun contoh ishlãh yang menghalalkan yang
haram adalah seperti membolehkan minum khamr atau memakan daging babi.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaily, Syara’ menghendaki ishlãh
untuk sesuatu yang umum, seperti firman Allah “wa al-shulhu khair” atau pun
Hadis nabi الصلح جائز بين المسلمين اال صلحا احل حراما او حرم حالال ”
ishlãh/shulh itu boleh bagi orang Islam, kecuali ishlãh yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal” Sebagaimana Hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah.78
77 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz ke-2, h. 177 78 Al-Sarkhasi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), h. 134. Sunnah
menunjukkan bahwa ishlah adalah untuk menggugurkan qishas. Sebagaimana hadits nabi yang lain “Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali yang terbunuh, melakukan qishãsh atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 hilfah. Dan apa
50
C. Signifikansi ishlãh
Dalam ajaran Islam, Iman yang termanifestasi dalam bentuk ketaatan
kepada Tuhan mengandung arti keberpihakan kepada kebaikan dan kebenaran.
Ketaatan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk hubungan sosial yang baik
dengan sesama manusia. Dengan demikian akan tumbuh potensi kebaikan
yang secara kontinu merangsang perbaikan dalam masyarakat.
Prinsip iman sebagai bagian paling inti dalam agama ternyata tidak
cukup sebatas pengakuan dalam hati saja, tetapi mesti diimplementasikan
dalam hubungan kemanusian. Di sinilah doktrin amal saleh mendapatkan
tempatnya. Doktrin amal saleh yang terterapkan secara benar akan
menghasilkan ishlãh, yaitu perbaikan berkelanjutan dalam masyarakat.
Sebagai tindakan yang kontinu, ishlãh hendaknya mulai diterapkan
dalam keluarga, karena keluarga merupakan titik berangkat komunikasi antar
manusia dalam masyarakat. ishlãh diterapkan dalam bentuk kerukunan dan
kebersamaan seluruh anggota keluarga. Keluarga yang rukun dan damai akan
menlahirkan generasi yang baik dan berkualitas, karena kedamaian merupakan
iklim yang baik untuk menanamkan pendidikan dan pembinaan moral anak-
anak. Sebaliknya, keluarga yang penuh dengan perselisihan akan melahirkan
anak-anak yang kecewa dan penuh kebencian. Keluarga rukun, tenteram dan
damai merupakan tujuan perkawinan dalam ajaran Islam yang sering disebut
keluarga sakinah. Keluarga sakinah dimulai dari adanya pemahaman dan
pengertian antara suami dan istri, baik pemahaman fisik, karakter, dan
kebiasaan masing-masing. Dari pemahaman ini akan lahir pola komunikasi
yang saling dipahami oleh masing-masing pihak sehingga terjadi komunikasi
yang efektif di antara pihak-pihak dalam keluarga. Dari keluarga tersebut akan
yang disepakati dalam perdamaian itu adalah (baik) bagi mereka,. (HR. Turmudzi, dia mengatakan Hadits ini adalah Hadits Hasan gharib). Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Juz ke-6, h. 293
51
terbentuk masyarakat dengan karakteristik yang menggambarkan keluarga-
keluarga yang berada di dalamnya.
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama
dalam menata hubungan sosial di antara anggotanya. ishlãh sebagai salah satu
nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat
yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam
masyarakat.
Di antara indikasi persatuan dan kekompakan di antara individu dalam
masyarakat ialah terjalinnya hubungan sosial yang baik di antara tetangga. Hal
ini termasuk salah satu keutamaan yang diajarkan Islam kepada umatnya
dalam rangka menciptakan jalinan erat yang mendalam di hati anggota umat
untuk membentuk suatu komunitas yang terbaik di antara komunitas lainnya
di muka bumi.
Hubungan yang baik dengan tetangga merupakan jalinan paling utama
dalam menyatukan hati umat Islam dan memadukannya, agar mereka saling
mengasihi, menyayangi, dan saling mendukung. Tetangga dapat dipahami
dalam beberapa karakter: Pertama, tetangga dekat, baik karena ada hubungan
keturunan maupun karena tempat tinggalnya yang berdekatan. Kedua,
tetangga yang berjauhan, baik jauh hubungan keturunannya maupun jauh
tempat tinggalnya. Ketiga, teman sejawat, yaitu siapa saja yang berkumpul
bersama dalam satu profesi, tugas, persahabatan, atau pun satu lembaga
pendidikan, atau dengan ungkapan lain, ia adalah teman di saat menetap di
suatu tempat dan teman di kala bepergian. 79
79 Lihat QS. Al-Nisa’ (4): 36, ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
52
Allah memulai perintah itu dengan menyembah-Nya serta larangan
untuk menyekutukan-Nya. Kemudian, dilanjutkan dengan perintah-perintah
lain yang tak kalah pentingnya yang menghajatkan perhatian penuh dari siapa
saja yang termasuk dalam perintah itu, yaitu keharusan berbuat baik terhadap
kedua orang tua, lalu meluas kepada kaum kerabat, termasuk anak yatim dan
fakir miskin, lalu tetangga yang mempunyai hubungan kekerabatan
sebagaimana yang diterangkan di atas, lalu tetangga jauh, teman dekat, orang
yang terputus hubungan dengan kaum kerabatnya ketika sedang dalam
perjalanan dan tidak lagi mempunyai perbekalan, dan hamba sahaya yang
berada dalam tanggungan tuannya.
Urgensi tetangga dan keutamaan menjaga hubungan dengannya
merupakan tanggung jawab yang besar, sehingga Rasulullah menegaskan
bahwa Jibril senantiasa mengingatkan untuk selalu menjaga hubungan baik
dengan tetangga.
Karena persatuan dan rasa cinta merupakan karakter dasar seorang
mukmin terhadap siapa saja yang dipergaulinya, khususnya terhadap
saudaranya yang beriman, maka ada beberapa hak dan kewajiban yang harus
diketahuinya yang merupakan konsekuensi logis dari ikatan ukkhuwah itu.
Di antara hak tetangga itu ialah bahwa tetangga muslim mempunyai tiga
macam hak, yaitu hak ukhuwah Islam, hak bertetangga dan hak kekerabatan.
Sedangkan tetangga muslim yang jauh mempunyai hak ukhuwah Islam dan
hak bertetangga. Adapun tetangga non-muslim mempunyai hak bertetangga
dan hak kekerabatan dengan cara yang ma’ruf, selama tidak memusuhi Islam
dan kaum muslimin. Tetapi jika memusuhi Islam dan kaum muslimin, maka
terjadilah penyekat yang memisahkan antara keduanya. Dalam hal ini, Islam
telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga meskipun
53
ia bukan muslim. Hubungan baik dengan tetangga sebagaimana ditegaskan
Rasul adalah bukti dari keimanan itu sendiri.80
Memahami dan mengaplikasikan ishlãh dalam kehidupan masyarakat
tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. ishlãh dapat
diaplikasikan dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, ishlãh
merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa
ishlãh yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak
sosial yang lahir dari ishlãh dapat digunakan dan dirasakan oleh manusia
secara keseluruhan.81 Termasuk dalam konteks kehidupan antar bangsa, nilai
ishlãh sangat relevan untuk dijadikan nilai universal guna menyatukan umat
manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Dominasi salah satu etnis atas etnis lain atau negara atas masyarakatnya
merupakan pengingkaran terhadap makna ishlãh. Esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan pada kemanusian secara universal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian,
menghindari pertentangan dan perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam
maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa ishlãh menjadi dasar bagi
80 Hadits tersebut kurang lebih berarti “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya”. Demikian Rasulullah memberikan pedoman hidup bertetangga sekaligus sebagai tolok ukur keimanan.
81 QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, Allah berfirman“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” Ayat tersebut memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. Karena Allah Yang Maha Kuasa mungkin menjadikan hubungan kaum muslimin dan kaum kafirin yang tadinya bermusuhan menjadi hubungan yang lebih baik. Lihat juga QS. Al-Hujurat (49):1381
54
hubungan antar manusia secara universal. lintas suku, bangsa, dan agama.
Secara lebih rinci, ishlãh dapat berperan dalam beberapa hal berikut ini.
1. Menenangkan jiwa dalam kehidupan individu
Sebagaimana telah diungkapkan dalam pembahasan terdahulu
bahwa ishlãh berarti memperbaiki suatu kesalahan yang pernah dibuat,
perbaikan itu juga meliputi perbaikan kualitas diri dan sekaligus
memelihara diri dari kesalahan. Ketiga arti tersebut berkaitan dengan
upaya menghindarkan dan memperbaiki diri dari kesalahan, keburukan,
dan dosa serta meningkatkan kualitas kebaikan.
Kesalahan dan dosa merupakan perilaku yang menyimpang dari
nilai dan norma agama, sosial, maupun budaya. Kesalahan bisa
diakibatkan oleh kekhilafan maupun karena kesengajaan. Kesalahan yang
didorong oleh kesadaran dan kesengajaan melahirkan dosa, sedangkan
Setiap dosa yang dilakukan seseorang mengandung konsekuensi terhadap
dirinya berupa kecemasan dan ketakutan yang dapat mengganggu
ketenangan jiwa.
Sementara ishlãh merupakan konsep hidup dalam menyikapi suatu
kesalahan. Bagaimana seseorang yang bersalah menyadari kesalahannya,
orang yang baik meningkatkan kualitas kebaikannya, serta orang dapat
menjaga dirinya sehingga terhindar dari kesalahan dan keburukan. Ketiga
hal tersebut akan berpengaruh kuat kepada aspek kejiwaan seseorang,
yaitu dapat memberikan ketenangan dan ketenteraman hati yang berujung
pada kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap orang.
Ketenangan dan ketenteraman jiwa tergantung kepada sikap hidup
seseorang dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain.
Hubungan dengan dirinya sendiri dilakukan dengan mengelola hatinya
sebagai tempat di mana ketenangan dan ketenteraman itu berada.
55
Pengelolaan ini dilakukan antara lain dengan mengembangkan sikap sabar
dan syukur.
Sabar dalam konteks ishlãh, termasuk di dalamnya seperti sabar
untuk melaksanakan shalat, puasa dan sebagainya. Termasuk pula sabar
dalam menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemunkaran. Namun,
jika perbuatan dosa dan kemungkaran itu tejadi juga, maka secara otomatis
kesabaran akan menggerakkan hati untuk segera bertaubat.82
Sabar dalam hubungannya dengan orang lain seperti sabar terhadap
perlakuan buruk orang lain, yaitu dengan menahan diri untuk tidak
melakukan pembalasan dengan tindakan yang sama buruk. Meskipun pada
dasarnya ajaran Islam membolehkan untuk membalas, akan tetapi
kebolehan itu diikuti dengan ajaran yang lebih menganjurkan untuk
memaafkan orang yang berbuat salah. Dalam hal memaafkan orang lain
inilah hakikat sabar.
Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah dan
mengembalikannya kepada kehendak Allah, apabila musibah itu tidak bisa
dihindarkan lagi, sebagaimana firman Allah: “(yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa
ilaihi raaji'uun” (QS. Al-Baqarah (2): 156).
Syukur merupakan sikap seseorang terhadap anugerah yang
diberikan Allah kepadanya. Al-Raghrib al-Asfahani menyebutkan bahwa
kata syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan
menampakkannya ke permukaan.83 Hakekat syukur adalah menampakkan
nikmat, dan hakekat kufur adalah menyembunyikannya. Menampakkan
nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat yang sesuai
82 Lihat QS. al-An’am (6): 54; al-Maidah (5): 39; dan al-Baqarah (2): 160 83 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 216
56
dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat
dan pemberinya dengan indah.
Syukur dilakukan dengan tiga hal, yaitu bersyukur dengan hati,
lidah, dan perbuatan. Bersyukur dengan hati adalah kepuasan batin atas
anugerah yang diterima. Bersyukur dengan lidah adalah mengakui
anugerah dan memuji pemberinya. Sedangkan bersyukur dengan
perbuatan adalah memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan
tujuan yang menganugerahkan nikmat tersebut.84
Dengan demikian, syukur merupakan sikap yang menunjukkan
penerimaan terhadap suatu pemberian atau anugerah dalam bentuk
pemanfaatan sesuai dengan kehendak pemberinya. Orang yang bersyukur
akan merasakan ketenangan jiwa dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan
yang dapat membuat hati kecewa dan gelisah. Yang demikian ini, justru
akan menambah nikmat itu sendiri. Ketenangan dan ketenteraman dalam
hubungannya dengan orang lain adalah berlaku baik kepada orang lain,
meminta maaf apabila berbuat salah kepada orang lain, dan memaafkan
kesalahannya apa bila mereka bersalah.85
Sabar dan bersyukur merupakan konsep ishlãh terhadap diri sendiri,
sedangkan meminta dan memberi maaf kepada orang lain merupakan
penerapan ishlãh terhadap orang lain. Dengan demikian ishlãh dapat
membawa manusia kepada tujuan hidupnya, yaitu ketenangan dan
ketenteraman.
2. Mewujudkan persatuan umat
Dalam koteks sosial kemasyarakatan, ishlãh berarti mendamaikan
persengketaan dan menyatukan perpecahan. Karena itu, dalam konsep
ishlãh terdapat dorongan untuk mempererat dan memperkuat kesatuan.
84 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, , h. 216 85 Lihat QS. Ibrahim (14): 7 dan al-Syura (42): 40
57
Persatuan merupakan salah satu misi Islam yang harus dilaksanakan oleh
komunitas muslim dan manusia pada umumnya.
Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan
jama’ah yang merupakan konsep persaudaraan yang berintikan
kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan
muslim dikenal dengan istilah Ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan
yang diikat oleh kesamaan aqidah. Nabi menggambarkan eratnya
hubungan muslim dengan muslim sebagaimana anggota tubuh dengan
anggota tubuh lainnya, jika salah satu anggota tubuh terluka, maka
anggota tubuh lainnya merasakan juga sakitnya. Perumpamaan tersebut
mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu,
persengketaan antar muslim berarti mencederai wasiat Rasul. Tetapi
apabila hal tersebut tak dapat dihindarkan sehingga terjadi di kalangan
muslim, maka ishlãh menjadi solusi yang terbaik untuk mengatasinya.
Dalam hal ini, ishlãh berperan sangat penting untuk menyelesaikan
pertentangan yang terjadi sehingga tidak sampai menimbulkan
permusuhan. Apabila telah terjadi permusuhan, maka ishlãh dapat
berperan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau
kelompok yang saling bermusuhan tersebut.86 Dengan demikian, konsep
ishlãh dalam Islam dapat menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan
pertentangan di kalangan umat Islam dan sekaligus menguatkan tali
persatuan di kalangan mereka.
3. Stabilitas keamanan dan ketertiban
Keamanan dan ketertiban merupakan indikasi dari masyarakat
yang bahagia. Karena aman dan tertib merupakan tujuan adanya norma
dan hukum, maka mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib adalah
86LIhat QS. al-Hujarat (49): 9-10
58
meletakan masyarakat di atas tata nilai dan norma sosial agama yang
disepekati bersama.
Dalam ajaran Islam, dorongan untuk mewujudkan masyarakat yang
aman dan tertib menjadi salah satu tujuan bermasyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya doktrin sosial Islam yang menjadi bagian
penting dalam ajaran Islam, yaitu amal saleh. Wahana amal saleh adalah
masyarakat, sedangkan dampak dari amal saleh adalah terwujudnya
masyarakat yang aman dan tertib.
Masyarakat yang aman adalah masyarakat yang terlindung baik fisik
maupun jiwanya dari segala gangguan, sedangkan tertib adalah konsistensi
dan kedisiplinan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Kedua hal
tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, karena tanpa adanya keamanan, maka ketentraman dan
kedamaian menjadi hilang. Padahal, Islam sesuai dengan namanya adalah
agama yang mengajarkan kedamaian dan perdamaian. Karena itu, setiap
bentuk perselisihan atau pertentangan harus selalu dihindarkan.
Sebagai agama perdamaian, Islam meniscayakan tumbuh
kembangnya persaudaraan dan mengharamkan permusuhan, terutama di
kalangan sesama muslim lainnya. Maka, jika terjadi permusuhan di antara
sesama muslim, maka orang muslim dalam hal ini pihak ketiga,
mempunyai hak bahkan kewajiban untuk menciptakan kedamaian antar
saudaranya yang lain.
Bahkan, adanya perang dalam sejarah Islam selalu berkaitan dengan
pembelaan atas kaum lemah dan demi menegakkan keadilan dalam rangka
mewujudkan keamanan, ketertiban, dan perdamaian. Dengan demikian,
keamanan, ketertiban, dan perdamaian merupakan urgensi dari konsep
ishlãh dalam kehidupan masyarakat maupun negara.
59
D. Ishlãh Dalam Jinãyah
Dalam Jinãyah (hukum pidana) Islam terdapat istilah ‘uqubah
(hukuman). Fuqaha membagi ‘uqũbah (hukuman) menjadi beberapa bagian
dilihat dari berbagai macam segi dan sudut pandang. Paling tidak ada lima
tinjauan yang bisa dicermati.
Jika ditinjau dari segi esensi hukuman, hukuman dapat terdiri atas
pertama, ‘uqũbah ashliyyah (hukuman pokok), seperti hukuman qishas untuk
jarĩmah (kejahatan) pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarĩmah
pencurian. Kedua, ‘uqũbah badaliyah (hukuman pengganti), yaitu yang
mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan
karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti
hukuman qishash atau hukuman ta’zĩr sebagai pengganti hukuman hãd atau
hukuman qishãsh yang tidak dapat dijalankan. Sebenarnya hukuman diyat itu
sendiri adalah hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan semi sengaja (Qathlu
syibh al-‘amd), akan tetapi menjadi pengganti pula bagi hukuman qishãsh
(qathlu al-‘amd). Demikian pula hukuman ta’zĩr juga merupakan hukuman
pokok bagi jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr sendiri, tetapi menjadi hukuman pengganti
pula bagi jarĩmah-jarĩmah hudũd atau qishas-diyat yang tidak mendapat
hukuman yang sebenarnya karena ada alasan-alasan tertentu. Ketiga, ‘uqũbah
taba’iyyah (hukuman tambahan), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok tanpa memerlukan putusan secara tersendiri seperti larangan menerima
warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga, sebagai
tambahan dari hukuman qishãsh (mati), atau hukuman berupa dicabutnya hak
sebagai saksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarĩmah qadzaf
(menuduh orang baik-baik berzina) di samping hukuman pokoknya, yaitu di-
jilid (didera) delapan puluh kali. Keempat, ‘uqũbah takmiliyah (hukuman
pelengkap), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada
keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri
60
pemisahnya dengan hukuman tambahan. Misalnya mengalungkan tangan
pencuri yang telah dipotong di lehernya.
Jika ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat-
ringannya suatu hukuman, fuqaha membaginya menjadi dua macam hukuman,
yaitu pertama, Hukuman yang hanya mempunyai satu batas (satu ketentuan),
artinya tidak ada batas tertinggi atau terendah, seperti hukuman jilid sebagai
hukuman hãd (80 atau 100 kali jilid). Kedua, hukuman yang mempunyai batas
tertinggi dan batas terendah, hakim diberi kekuasaan untuk memilih hukuman
yang sesuai antara kedua batas tersebut. Seperti hukuman penjara atau jilid
pada jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr.
Jika dilihat dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, maka
hukuman terdiri atas pertama, hukuman yang telah ditentukan macam dan
besarnya, di mana hakim harus melaksanakannnya tanpa dikurangi atau
ditambah, atau diganti dengan hukuman lain. Hukuman jenis ini disebut
dengan ‘uqũbah lazimah. Kedua, Hukuman yang diserahkan kepada hakim
untuk dipilihnya dari sekumpulan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’
agar bisa disesuaikan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini
disebut ‘uqũbah makhayyarah (hukuman pilihan).
Jika ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka hukuman
terdiri atas pertama, hukuman badan, yaitu hukuman yang dijatuhkan atas
badan, seperti hukuman mati, dera, penjara, dan sebagainya. Kedua, hukuman
jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman,
peringatan dan tegoran. Ketiga, hukuman harta, yaitu yang dikenakan pada
harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta.
Adapun jika ditinjau dari segi jenis jarĩmah yang diancam dengan
hukuman, terdiri atas pertama, hukuman hudũd, yaitu hukuman yang
ditetapkan atas jarĩmah-jarĩmah hudũd. Kedua, hukuman qishãsh-diyat, yaitu
hukuman yang ditetapkan atas jarimaah-jarĩmah qishãsh-diyat. Ketiga,
61
Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarĩmah serta
beberapa jarĩmah qishãsh-diyat serta beberapa jarĩmah ta’zĩr. Keempat,
hukuman ta’zĩr, yaitu yang ditetapkan untuk jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr.87
Hukuman dalam Jinãyah ini merupakan cara pertanggungjawaban
pidana yang bertujuan untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam
suatu masyarakat. Hukuman juga merupakan sarana objektif-yuridis untuk
menegakkan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, berat ringannya
suatu hukuman yang akan diberikan kepada para pelaku kejahatan juga harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.
Penegakan supremasi hukum tidak boleh dilakukan sewenang-wenang
apalagi diiringi oleh rasa benci sehingga akan menimbulkan niat dan upaya
memberatkan, atau bahkan meringan-ringankan (mengurangi) suatu hukuman
dari yang semestinya, karena hukuman yang diberikan bertujuan untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hukuman bagi para pelaku kejahatan
dilakukan untuk membuat seseorang menjadi jera, sehingga di masa yang akan
datang pelaku kejahatan tidak punya keinginan untuk mengulangi
perbuatannya. Dengan demikian, tujuan menjaga ketertiban dalam masyarakat
dapat terwujud.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa hukuman diterapkan oleh Allah karena
-dan didasari oleh- rasa sayang kepada semua makhluk. Hukuman dilakukan
untuk mencegah manusia dari perbuatan munkar supaya mereka aman dan
tenteram, bukan untuk menimbulkan kebencian antara sesama manusia dan
berlaku sombong atas sesama makhluk. Seperti seorang ayah yang mendidik
anaknya, sekiranya ia tidak mau memberikan teguran atas anaknya -
sebagaimana yang diinginkan oleh para ibu, karena rasa sayang dan rasa
87 Lihat A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet.ke-2, h. 28-30. Juga Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-5, h. h. 260-262
62
kasihan-, maka akan rusaklah anak itu. Memberinya teguran atau jika perlu
sedikit pukulan adalah karena rasa sayang kepada si anak dan untuk kebaikan
dirinya sendiri di masa yang akan datang. Menjalankan hukuman tak ubahnya
juga seperti seorang dokter. Suntikan kepada pasiennya adalah untuk
memberikan kesembuhan. Sesaat ketika disuntik si pasien merasa sedikit
kesakitan, tapi setelah itu pasien akan berterima kasih kepada sang dokter
karena ia telah terobati.88
Untuk itulah, guna memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam
masyarakat, hukuman merupakan sarana yang mutlak diterapkan. Hukuman
yang sesuai dengan syari’at merupakan jawaban kongkret mengingat syari’at
datangnya dari Tuhan. Tuhan pula yang mengatur semuanya, dan sangat wajar
apabila manusia sebagai hamba ciptaan-Nya dituntut untuk menjalankan
syari’at-Nya.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa hukuman menjadi sarana ampuh
untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga apabila terjadi
persengketaan, orang cenderung menempuh jalur hukum untuk
menyelesaikannya, sehingga selalu pula diakhiri dengan vonis pengadilan
yang menjatuhkan hukuman kepada si pelaku.
Namun demikian, tidak semua vonis pengadilan selalu berakhir dengan
menimpakan suatu hukuman kepada si pelaku. Tidak jarang seorang pelaku
pembunuhan misalnya, mendapat ampunan (maaf) dari pihak korban. Hal
inilah yang oleh para fuqaha disebut sebagai ishlãh. Ketika ishlãh telah
dilakukan, maka masih adakah hukuman lain yang harus diberikan kepada si
pelaku pembunuhan, Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.
Berdasarkan pembagian Hukum Pidana Islam dari sisi kemaslahatan
sebagaimana diterangkan di atas, maka dengan adanya pemisahan yang jelas
88 Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al Syariyah fi ishlah al-Râ’i wa al-Ra’iyah, Terjemahan H.
Firdaus dengan judul “Politik Penguasa dan Rakyat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 137
63
antara mana yang menjadi hak Allah dan mana yang menjadi hak hamba, Ibn
Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-
Laist dan al-Auza’i telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan
oleh wali al-dam, maka dia dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu
tahun. Sedangkan al-Syafi’i, Ishak, Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. 89
Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah dalam
bukunya al-Tasyri’ al-Jinã’i al-Islãmi menegaskan bahwa jika pihak korban
memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan
(private rights) yaitu hukuman qishãsh atau diyat saja, sedangkan hak umum
(hak Allah) yang dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa
hukuman ta’zĩr, meskipun tetap saja hukuman seperti ini tidak dapat
dimaafkan begitu saja oleh keluarga korban.90
Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa di antara yang dapat menyebabkan
gugurnya ‘uqũbah (hukuman) dalam syari’at antara lain adalah: Pertama,
pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Meninggalnya pelaku menyebabkan
gugurnya ‘uqũbah. Karena yang melakukan tindak kejahatan adalah si jani,
maka apabila ia meninggal dunia tentu tidak ada lagi hukuman apapun. Akan
tetapi jika ‘uqũbah itu adalah ‘uqũbah maliyah seperti diyat, tentu saja tidak
dapat menggugurkan ‘uqũbah-nya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl al-
khata’ (pembunuhan tidak sengaja). Meskipun yang terkait dengan ‘uqũbah
ini adalah pelaku, maka walaupun pelaku meninggal dunia, hukuman -
terhadap hartanya- tetap harus dijalankan. Sedangkan pada ‘uqũbah qishãsh,
89 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al- Mughni, h. 199-204. Hal senada juga ditegaskan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid bahwa pendapat Malik dan al-Laist yaitu memenjarakan si jani setahun dan mencambuk 100 kali. Pendapat al-Syafi’i, Ahmad dan Ishak bahwa tidak membolehkan yang demikian itu, dan pendapat Abu Tsaur yang menghukum si jani apabila dia terkenal penjahat besar dan pelaksanaan ini terserah pada hakim. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-2
90 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, (Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.th.), h 260-261
64
masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika pelaku meninggal
dunia, masih wajib diyat baginya atau tidak terhadap hartanya. Imam Malik
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si pelaku meninggal sedang ia
tersangkut perkara qishãsh maka sudah barang tentu gugurlah ‘uqũbah
qishãsh baginya, dan tidak ada lagi diyat terhadap harta si pembunuh itu.
Karena melaksanakan hukuman qishãsh dalam perkara seperti ini adalah
wajib ‘aini, sedangkan diyat menjadi tidak wajib, karena ia merupakan
hukuman pengganti dari qishãsh, kecuali jika sebelum pelaku meninggal, ada
kerelaan darinya. Tegasnya, jika pelaku meninggal dunia, maka gugurlah
kewajiban qishãsh dan tidak diwajibkan lagi baginya diyat. Berbeda dengan
Imam Malik dan Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa
jika pelaku meninggal dunia, tentu saja tetap ada kewajiban diyat pada harta si
pelaku. Jika hukuman qishãsh tidak dapat dilakukan, maka ada kewajiban lain
yang harus dilakukan sebagai pengganti hukuman qishãsh, yakni dengan
melakukan diyat terhadap hartanya.91
Kedua, qishãsh dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak
melakukan ishlãh.92 Fuqaha sepakat bahwa qishãsh menjadi gugur jika kedua
belah pihak melakukan ishlãh. Untuk perkara qishãsh, jika terjadi ishlãh,
maka kadar pelaksanaan ishlãh boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih
ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta.
Namun, ishlãh dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang
telah diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai
riba.93
Adapun dasar pelaksanaan ishlãh ini, -menurut Abd al-Qadir Audah-
selain QS. Al-Baqarah (2):178, adalah Hadis dan ijmã’. Hadis yang
91Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 261 92 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 773 93 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 774
65
من قتل عمدا رفع الى اولياء المقتول فان شاؤوا قتلوا وان شاؤوا اخذوا الدية وما صولحوا عليه فهو لهم
Artinya: “Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si terbunuh apakah akan menuntut qishãsh atau akan mengambil diyat, hak ishlãh sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi)94
Sedangkan sumber dari ijma’ adalah ijma’ yang terjadi pada masa
Mu’awiyah, yakni pada kasus Hadbah ibn Hasyram yang telah melakukan
pembunuhan, lalu Said ibn al-Ash, Hasan, dan Husein memerintahkan untuk
membayar 7 diyat kepada anak si terbunuh sebagai konpensasi maaf yang
telah diberikan anak korban, karena Hadbah telah membunuh bapaknya.95
Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari
korban atau walinya. Adapun dalam perkara hudũd tidak boleh ada maaf,
karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh
korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah. Karena hudũd termasuk dalam
kategori hak Allah (hak jama’ah) secara murni, maka dilarang untuk
menggugurkan hukuman hudũd.
Tentang perkara qishãsh dan diyat -dengan memegangi pendapat
Hanafiah dan Malikiah-, syari’at membolehkan kepada korban atau walinya
untuk memaafkan atau melakukan hukuman qishãsh dan diyat. Hak untuk
memberi maaf dalam hal ini merupakah hak pihak korban, sedangkan hakim
hanya berhak melakukan hukuman ta’zĩr kepada si pelaku setelah terjadinya
maaf.96 Sedangkan menurut Syafi’i dan Ahmad, maaf dalam perkara qishãsh
94 Sulaiman ibn al-Asy’ast Abu Daud, Sunan Abu Daud, (tt.: Dar al-Fikr, tth.), Cet.ke-1,
Juz ke-4, h. 173 95 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 773-774 96 Untuk pembunuhan sengaja jika terjadi pemaafan dari wali terbunuh, maka menurut
Hanafiyah dan Malikiyah, menjadi hak sulthan atau penguasa untuk melakukan hukuman ta’zĩr. Karena dalam qishas terdapat dua hak, yakni hak Allah dan hak hamba. Dalam hal ta’zĩr ini, Malikiyah berpendapat, jika wali al-dam memberi maaf bagi pembunuhan sengaja, maka sulthan
66
merupakan konsekuensi dari qishãsh atau diyat, barang siapa yang tidak
menghendaki dilakukan qishãsh berarti ia telah memaafkan si pembunuh.97
Dalam menanggapi QS. Al-Baqarah (2): 178, fuqahã’ berbeda pendapat
dalam pemberian istilah. Sebagian ulama menggunakan istilah ‘afw (maaf),
sementara sebagian lagi menggunakan istilah ishlãh (perdamaian). Malik dan
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika terjadi maaf terhadap perkara qishãsh
atau diyat, maka sesungguhnya itu adalah ishlãh/shulh bukan maaf (‘afw),
karena pada dasarnya wajib dilakukan qishãsh atas pembunuh sengaja (qatl
al-amd). Sementara untuk perkara diyat adalah tidak wajib, kecuali jika jani
rela. Jika qishãsh tidak dilakukan, sementara para pihak memilih untuk
melakukan diyat, itu berarti antara mereka telah terjadi saling rela, maka hal
seperti ini menurut Malik dan Abu Hanifah adalah ishlãh bukan ‘afw.
Pendapat inilah yang dipegangi oleh Abd al-Qadir Audah. Adapun Syafi’i dan
Ahmad berpendapat bahwa maaf dalam perkara qishãsh dan diyat menjadi hak
pilih walinya, tanpa harus mendapat kerelaan terlebih dahulu dari si pelaku.
Qishãsh merupakan hukuman yang sangat berat jika dibandingkan dengan
diyat. Menggugurkan qishãsh lalu memilih diyat berarti kedua belah pihak
telah meninggalkan yang lebih berat dan mengambil yang lebih ringan, yakni
maaf. Boleh melakukan maaf dalam perkara qishãsh, maka boleh pula maaf
dalam perkara diyat, baik diyat merupakan hukuman yang asli seperti dalam
pembunuhan khaţa’ atau merupakan hukuman pengganti dari hukuman
qishãsh.98
Ketika menggunakan istilah ishlãh pada perkara qishãsh, maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa ishlãh akan menggugurkan qishãsh
tersebut dan tidak ada hubungan dengan diyat. Sedangkan ketika
mempunyai hak untuk menjilidnya 100 kali dan memenjarakannya selama satu tahun. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1980), h. 291
97 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 774 98 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 776
67
menggunakan istilah ‘afw (maaf), maka akan bersangkut paut dengan masalah
harta. Jika terjadi maaf dalam masalah qishãsh, tentu saja pihak pelaku harus
membayar diyat sebagai ganti qishãsh yang tidak jadi dilakukan. Atas dasar
inilah, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menggunakan istilah ishlãh tidak
menggunakan istilah ‘afw (maaf). Adapun alasan bagi ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah menggunakan istilah ‘afw adalah bahwa maaf yang diberikan
berkaitan erat dengan diyat sebagai ganti (badal) dari qishãsh yang tidak jadi
dilakukan.99
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada ishlãh
sama dengan hukum yang ada pada ‘afw. Barang siapa memberi maaf maka
dia telah melakukan ishlãh. Apa yang terjadi pada ishlãh juga sama dengan
yang terjadi pada ‘afw, yakni sama-sama menggugurkan qishãsh. Tentu saja
hal seperti ini dapat terjadi apabila dikehendaki oleh wali si terbunuh. Lebih
jauh ia menjelaskan bahwa wali mempunyai hak penuh untuk memaafkan.
Jika ia memberi maaf maka gugurlah qishãsh, jika kemudian ia menuntut
diyat, maka wajib bagi si jani untuk membayar diyat, tanpa harus meminta
kerelaan dari jani karena jani adalah terpidana. Diriwayatkan oleh Baihaqi
dari Mujahid, bahwa pada syari’at nabi Musa hanya ditetapkan qishãsh, pada
syari’at nabi Isa dengan diyat saja, dan Allah meringankan umat Nabi
Muhammad dengan memilih mana yang lebih baik di antara dua hal, yaitu
qishãsh atau diyat. Karena Pelaku dalam posisi orang yang terhukum, maka
tidak perlu lagi mendapatkan rela darinya.100
Dalam perkara tindak pidana hudũd, para ulama sepakat bahwa maaf
tidak bisa menggugurkan Hãd. Maaf dalam hal ini tidak bisa diberikan baik
oleh si majni’alaih maupun wali al-amr. Karena pada kasus Hãd adalah
menyangkut hak Allah secara murni. Maka mereka tidak berhak untuk
99 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, h. 293 100 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, h. 289
68
memberikan maaf. Itu berarti maaf tidak dapat menggugurkan hukuman Hãd.
Maaf dalam perkara ta’zĩr dapat dilakukan oleh wali al-amr. Karena ia yang
mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana
ta’zĩr.101
Berkaitan dengan hak atas pidana ini, para fuqaha membagi jarĩmah
secara umum kepada pidana yang melanggar hak Allah dan pidana yang
melanggar hak hamba.102 Untuk lebih jelasnya, penulis paparkan sebagai
berikut:
1. Hak Allah (Hak Publik atau Hak Jama’ah)
Yang dimaksud dengan hukum-hukum dalam kategori ini adalah
hukum-hukum yang disyariatkan untuk melindungi kepentingan umum.103
Oleh karena itu, hukum-hukum seperti ini disebut juga hukum-hukum
yang menyangkut hak-hak umum. Ketentuan-ketentuan hukum yang
termasuk kategori ini adalah hudũd, yaitu sanksi pidana yang ketentuan
mengenai macamnya, penerapan dan kadar sanksinya telah ditetapkan
dalam nash, baik al-Qur’an maupun Hadis .104 Kedudukan aparat hukum
101 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 776-777 102 Ali Hasballah, Ushul al-Tasyrĩ’ al-Islamĩ, (Mesir: Dar al-Ma’rif, 1964). Cet. Ke-3, h.
293-297, lihat juga Satria Efendi M. Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Mu’amalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Mu’amalat, 1994), h. 13-14. lihat pula Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi,(Beirut: Dar al-Ilmiyyah, t.th.), h. 204-206. Senada dengan pendapat di atas, setelah menyimpulkan berbagai pendapat para ulama, Hasbi Al-Shiddiqy menjelaskan bahwa para ulama membagi tindak kejahatan yang dinashkan syara’ kepada dua bagian yaitu: Pertama, yang mengandung pelanggaran terhadap hak Allah secara murni dan Kedua, yang mengandung pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih menonjol. Ia menambahkan, walau Islam memberi hak muthalabah dan hak memberi maaf kepada wali majni alaih, tidak memberi hak untuk memberi maaf kepada wali al-amar, namun wali al-amr mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman siyasah atas si jani walaupun wali al-dam memberi maaf, yaitu apabila si jani seorang penjahat ulung. Hal ini dilakukan atas dasar ‘Uqubah tafwidiyah. Ia mengatakan, yang dimaksud dengan hak Allah adalah segala yang berpautan dengan kemanfaatan umum manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan hak hamba adalah yang dengan dia berpautan manfaat yang khusus. Lihat Hasbi al-Shiddiqy, Fiqh Islam (Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 79-80.
103 Abd al-Qadir Audah menyamakan istilah hak Allah dengan hak jama’ah, lihat, Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, h. 205
104 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuhu, Juz ke-6, h. 12
69
hanya sebagai pihak yang memproses penyidikan, penyelidikan,
penuntutan, dan menyelenggarakan pengadilan terhadap pelaku kasus
hudũd, serta memutuskan sanksi/hukuman kepada para pelaku berdasarkan
ketetapan yang ada dalam nash.105 Jarĩmah hudũd dan sanksi hukumannya
meliputi:
a. Hãd Zina
Dalam QS. al-Nur (24): 2, Allah berfirman
☺
☺
☺ ⌧
⌧
☺ Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Dari dua ayat di atas, dapat diketahui bahwa zina merupakan
perbuatan keji dan harus dihindari. Bagi mereka yang berzina, baik
perempuan maupun laki-laki, sudah ‘aqil baliqh, merdeka (bukan
dalam tanggungan orang lain), dan tidak muhshan, wajib didera seratus
105 Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam, (Kairo: tpn., 1974), h.
129
70
kali dera, sebagai sanksi atas maksiat yang telah dilakukannya.
Sedangkan bagi para pezina muhshan, baik perempuan maupun laki-
laki, sanksi hukumnya ialah dengan dirajam (dilempari batu sampai
mati). 106
Meski demikian, syarat-syarat penjatuhan sanksi pidana zina ini
tidak mudah karena harus diketahui oleh empat orang saksi (tidak
boleh kurang) yang melihat dengan mata kepala sendiri. Syarat ini sulit
dipenuhi karena sangat jarang atau mustahil dapat menemukan orang
yang sedang melakukan perbuatan mesum disaksikan oleh empat
orang. Oleh karena itu, dalam masalah zina ini, yang harus dilakukan
adalah langkah ikhtiyath (berhati-hati) karena berkaitan dengan nama
baik seseorang, agar jika tuduhan tidak terbukti, nama baik seseorang
yang diduga berbuat zina itu tetap baik.
Perbuatan zina, di samping merupakan suatu perbuatan yang
sangat keji, juga merupakan perbuatan yang menyebabkan
pencampuradukan keturunan, merusak ketenangan hidup berumah
tangga, menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam
masyarakat. Selain itu, penzinahan akan merendahkan martabat
manusia dan menjadikannya sulit dibedakan dengan mahluk lain. Oleh
karena itu, perzinahan hendaknya tidak dibiarkan merajalela di tengah-
tengah masyarakat.
Dalam menafsirkan QS. Al-Isra’: 32 di atas, Sayyid Quthub
menyatakan bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam
berbagai segi. Pertama, penempatan sebab kehidupan (sperma) bukan
106 Tidak muhshan, maksudnya ialah perempuan yang tidak mempunyai suami yang sah
dan buan janda, atau laki-laki yang tidak mempunya istri yang sah dan bukan duda. Mengenai had Zina ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam., h. 81. Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, Juz ke-8, h. 109. al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1994), h. 31-56
71
pada tempatnya yang sah. Ini biasa disusul keinginan untuk
menggugurkan janin yang dikandung. Kedua, jika janin dilahirkan
hidup maka biasanya ia dibiarkan kurang terawat, baik fisiknya,
pendidikannya, maupun spiritualitasnya. Ketiga, perzinahan yang
merupakan keburukan, jika merajalela di masyarakat maka akan
membunuh masyarakat itu secara perlahan namun pasti. Keempat,
Mudahnya melampiaskan syahwat menyebabkan kematian rumah
tangga dan tatanan kekeluargaan berkaitan dengan kebersihan
keturunan dan lain-lain yang ternoda oleh zina.107
b. Hãd Qadzaf (Menuduh Orang Lain Berzina)
Seperti yang telah diuraikan dalam tindak pidana zina di atas,
seseorang tidak dapat dituduh berzina kecuali ada empat saksi. Tanpa
itu, orang yang melontarkan tuduhan itu dapat dituntut balik dengan
tuduhan menuduh orang lain berbuat zina.
Di sinilah bukti bahwa hukum Islam itu tidak dipraktekkan
secara sewenang-wenang. Setiap orang yang melakukan tindakan yang
berimplikasi hukum harus dapat bertanggung jawab di muka hukum.
Demikian diungkapkan dalam QS. al-Nur(24): 4-5:
☺
⌧
107 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 206
72
⌦ ⌧ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (muhshanat)
berzina, kemudian tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan
mereka dengan mengHãdirkan empat orang saksi yang adil yang
menyaksikan sendiri perbuatan zina itu, maka hukuman untuk mereka
ialah di dera 80 kali, karena mereka telah merusak nama baik yang
dituduh. Kemudian penuduh-penuduh itu tidak diterima kesaksiannya
selama-lamanya, kecuali, apabila melakukan taubat dengan taubat
nashuha, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan tidak lagi
digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih.108
c. Hãd Syurb al-Khamr (Meminum Minuman Keras)
Dalam sejarah Islam, sebelum Nabi Muhammad hijrah, orang-
orang Arab, khususnya suku Quraisy Mekah, memiliki kegemaran
minum arak atau khamr hingga mabuk. Bahkan, minum arak biasa
dijadikan sebagai tradisi perlombaan. Memahami kebiasaan orang-
orang Arab yang begitu dekat dengan khamr berakibat pada metode
108 Mengenai had Qazaf ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudud fi al-Islam. h. 85, Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, h. 111, juga al-Ruway ibn Rajih Al- Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 41. Lihat pula Abi Umar Yusuf al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-Maliki, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1992) Cet. Ke-2, h. 575-577
73
pelarangan khamr. Ayat khamr tidak diturunkan sekaligus dalam satu
ayat atau dalam satu peristiwa, melainkan diwahyukan secara bertahap
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika itu.
Pada mulanya diterangkan bahwa bagi orang yang mabuk akibat
minuman keras, dilarang mendekati salat (atau ibadah-ibadah lainnya).
Kemudian, pada tahap kedua diterangkan bahwa madharat yang
ditimbulkan oleh khamr lebih besar ketimbang manfaatnya. Baru pada
tahap berikutnya Allah menegaskan dengan jelas bahwa khamr adalah
perbuatan setan yang setingkat dengan penyembahan terhadap berhala,
judi dan sebagainya.109
Ayat tersebut di atas juga menegaskan bahwa Islam menolak
narkoba dan minuman beralkohol yang tersimpul dalam nama
“khamr”. Jika dianalisa lebih jauh, ayat tersebut di atas mengandung
beberapa hal yang sangat urgen berkaitan dengan keharaman “khamr”
yang harus kita perhatikan, yaitu pertama, “khamr” disejajarkan oleh
Allah dengan berhala dan tenung yang sangat bertentangan dengan
aqidah Islam karena merupakan amalan syirik, di samping juga
disejajarkan dengan judi sebagai akhlak yang tercela. Kedua, “khamr”
dinyatakan sebagai sesuatu yang keji dan harus dijauhi. Ketiga,
“khamr” dinyatakan sebagai salah satu perbuatan setan yang
merupakan musuh agama. Keempat, “khamr” diharamkan, dan kita
diperintahkan untuk menjauhinya. Kelima, “khamr” dinyatakan
sebagai pemicu permusuhan. Oleh karena itu banyak kasus
pembunuhan, perkosaan dan lain-lain dilakukan oleh orang yang
sedang dalam pengaruh minuman keras dan atau narkoba. Keenam,
“khamr” dinyatakan sebagai penghalang dari mengingat Allah dan
shalat yang seharusnya tidak boleh dilalaikan oleh seorang muslim,
109 Lihat Q.S. al-Nisa’ (4): 219, QS. al-Baqarah (2):219, dan Q.S. al-Maidah (5): 90
74
dan ketujuh, Allah menantang orang yang tidak mau berhenti
mengkonsumsi, memproduksi, dan menjualnya.110
Adapun sanksi pidana bagi para peminum khamr terdapat
perbedaan pendapat mengenai kadar jumlahnya. Mazhab Hanafiah
berpendapat bahwa peminum khamr diberi sanksi dera sebanyak 80
kali. Sementara Mazhab Syafi’i berpendapat, bahwa setiap pemabuk
karena khamr didera 40 kali.111
Hal ihwal terjadi perbedaan di antara mereka adalah dalam
memahami adanya perbedaan sanksi yang diberikan Nabi Muhammad
dan Abu Bakar di satu pihak, dengan Umar ibn al-Khatthab di pihak
lain, berdasarkan Hadis Anas: “Ia berkata: Rasulullah didatangi seorang peminum khamr, kemudian Nabi memukulnya dengan sandal sebanyak 40 kali. Lalu, pemabuk itu dibawa ke Abu Bakar, dan melakukan hal yang serupa (mendera 40 kali). Lantas, pria itu diajukan ke Umar, dan beliau menyebar luaskan kepada (seluruh) manusia. Hãd (hukuman) yang paling sedikit adalah 80 kali dera”.
Antara ketiga pemimpin Islam ini memang terjadi perbedaan
pendapat mengenai kualitas sanksi peminum minuman keras. Namun,
karena madharat yang ditimbulkannya, mulai dari mengganggu
kesehatan, merusak pikiran hingga merusak masa depan pengguna,
maka berapapun kuantitasnya adalah dalam rangka pencegahan tindak
pidana ini.
d. Hãd Sariqah (Mencuri)
Secara kebahasan sarqah berarti melakukan sesuatu tindakan
terhadap orang lain secara tersembunyi, misalnya, istaraqa al-sam’a
110 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, h. 234 111 Mengenai had khamr ini dapat di baca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah.,
al-hudũd fi al-Islam.h. 82, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 109, al-Ruway ibn Rajih Al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 32
75
(mencuri dengar) dan musaraqat al-nazhara (mencuri pandang).112
Abd al-Qadir Audah -dengan mempertimbangkan pengertian tersebut-
mendefenisikannya sebagai tindakan mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi-sembunyi.113
Dalam sudut pandang Islam, berkenaan dengan hak milik
seseorang, ada tiga rambu yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu
pertama, tidak boleh memanfaatkan benda milik orang lain tanpa izin
yang mempunyai, meski tidak mengurangi kadar dan manfaat benda
tersebut (ghashb), kedua, tidak boleh mengambil manfaat dan zatnya
secara bersamaan dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta
memanfaatkan kelemahan si empunya (pencurian), dan ketiga,
mengambil paksa terhadap harta milik orang secara terang-terangan,
bahkan terkadang disertai kekerasan dan pembunuhan (perampokan).
Dari ketiga tindakan negatif ini, hanya kategori kedua yang relevan
dalam sub bab ini. Sementara perampokan lebih tepat bila
dianalogikan dengan hirabah yang akan dibahas sebagai bagian
tersendiri dari hudũd. Sedangkan ghashb lebih dekat dengan masalah
tindakan bersalah yang ringan dan lebih dekat dengan masalah
pelanggaran etika moral.114
Masalah pencurian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-
Ma’idah (5): 38-39.
☺
☺ ⌧ ⌧
112 Ibnu al-Manzũr, Lisãn al-Arab. (Beirut: Dar al-Ma’rif, t.th), Juz ke-3, h. 1998 113 Abd al-Qãdir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 519 114 Lihat, Eggi Sujana, HAM dalam Perspektif Islam: Mencari Universalisme HAM bagi
Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nusantara Madani, 2002), h. 97
76
☺
⌧
⌦ ⌧ Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Jika seorang yang telah ‘ãqil-bãligh mengambil harta orang lain
dari tempat penyimpanannya tanpa seizin pemiliknya, sedangkan nilai
harta yang dicuri sekurang-kurangnya seperempat dinar, dengan
kemauannya sendiri dan tidak dipaksa, ia mengetahui bahwa
perbuatannya itu haram, maka ia telah memenuhi syarat dikenakan
hukuman potong tangan.115
Suatu pencurian baru dikenai hukuman hãd apabila minimal
memenuhi dua unsur. Pertama, tindakan mengambil harta orang lain
secara sembunyi-sembunyi. Bahwa benda yang diambil telah
dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang layak bagi jenisnya. Yang
dimaksud dengan penyimpanan yang layak seperti dikemukakan oleh
Ibn Rusyd adalah tempat yang pantas untuk menyimpan sejenis harta
sehingga sulit diambil orang, misalnya ditempat yang terkunci.116
Kedua, benda yang diambil adalah berupa harta, seperti dikemukakan
115 Mengenai had Sariqah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Hudũd fi al-Islãm.h. 83, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 110, dan al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 33
116 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid, h. 323
77
oleh Mustafa Ahmad Zarqa, adalah sesuatu yang dicenderungi oleh
tabi’at manusia, dan mungkin disimpan sampai waktu dibutuhkan.117
e. Hãd Hirãbah (Merampok)
Delik hirabah ini merupakan delik yang paling luas
interpretasinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dapat
dikategorikan delik ini adalah memerangi Allah dan Rasul-Nya
(termasuk agama dan panji-panji kebesarannya), membuat kekacauan
dan kerusakan di muka bumi, dan perbuatan-perbutan yang
membahayakan dan merugikan banyak orang seperti perampokan,
termasukdi dalamnya terorisme.
Seimbang dengan delik yang telah dilakukan, sanksi hirabah
juga sangat tegas, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ma’idah
(5): 33.
☺
⌧
⌧
117 Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubih al-Jadid, (Damaskus: Mathba’ah
Tharafain, 1965), Juz ke-2, h. 114
78
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
Orang-orang yang menggangu keamanan, mengacau
ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum dan keadilan, serta
merusak kepentingan umum seperti (merusak jalan, jembatan, irigasi,
dan lain-lain) dapat dikenai sanksi yang berat, mulai dari salib, potong
tangan dan kakinya secara bersilang, hingga diasingkan. Menurut
jumhur ulama, sanksi bunuh itu dapat diterapkan atas penggangu
keamanan yang disertai dengan pembunuhan. Sedangkan sanksi
hukum salib sampai mati dilakukan bagi pengganggu keamanan yang
disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta. Khusus sanksi
hukum potong tangan dikenakan bagi mereka yang melakukan
perampasan harta.118
f. Hãd Riddah (Keluar dari Agama Islam)
Hãd riddah didasarkan atas firman Allah dalam QS. al-Baqarah
(2): 217
☺ ⌦
☺
118 Mengenai had hirabah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Suhbah,
al-Hudud fi al-Islam.h. 89, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 115, al-Ruway inm Rajih Al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 56.
79
Artinya: ”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Definisi riddah adalah meninggalkan atau keluar dari agama
Islam (murtad). Konsep riddah hanya ada dalam Islam, dalam arti,
hanya seorang muslim yang keluar dari agamanya (Islam) yang masuk
dalam kategori pelaku jarĩmah riddah dan layak mendapatkan
hukuman hãd riddah. Adapun hukuman bagi muslim yang murtad
terbagi dalam dua kategori yaitu hukuman asli (‘uqũbah ashliyah)
yang dalam hal ini adalah hukuman mati, dan hukuman tambahan
(‘uqũbah thaba’iyah) yaitu penyitaan harta murtad untuk diserahkan
kepada baitul mal. Adapun mengenai jumlah harta murtad yang disita,
para fuqaha berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Syafi’i dan mayoritas
Hanbali menyatakan bahwa yang disita adalah seluruh harta murtad.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali menyatakan
bahwa harta yang disita hanya harta yang murtad dapatkan setelah ia
murtad saja. Adapun harta yang ia dapatkan sebelum murtad menjadi
warisan bagi keluarganya yang muslim.119
g. Hãd Baghy (Pemberontakan)
Hãd baghy didasarkan pada firman Allah QS. al-Hujurat (49): 9
⌧
☺
☺
☺
119 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 661-662
80
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.”
Baghy biasa diartikan sebagai pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah dan berhadap-hadapan dengan penegakan aturan
dan hukum dalam negara. Syari’ah menindak tegas pelaku baghy ini,
karena jika dibiarkan maka dapat mengakibatkan fitnah dan
kekacauan, serta hilangnya ketenteraman dalam kehidupan
masyarakat, bahkan jika berlarut-larut dapat menyebabkan hancur dan
berakhirnya masyarakat dalam sebuah Negara Islam. Oleh karena itu,
wajar jika pelakunya mendapatkan hukuman terberat yaitu hukuman
mati agar dapat membuat pelakunya menjadi sadar dan berhenti serta
memalingkan niat calon pelaku dan mengurungkan niatnya melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.120
2. Hak Allah dan Hak Hamba
Yang dimaksud dengan hak Allah dan hak hamba adalah
bergabungnya hak Allah dan hak hamba dalam satu tindak pidana, baik
hak Allah yang dominan maupun hak hamba yang dominan. Oleh karena
itu, pada bagian ini fuqaha membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama, bergabungnya hak Allah/hak publik dengan hak
hamba/perorangan sedangkan hak Allah/publik lebih dominan. Misalnya
menuduh orang lain berzina tanpa saksi. Meskipun ada unsur
membahayakan dan mengganggu kepentingan individu, yaitu karena
adanya resiko pencemaran kehormatan dan nama baik individu tersebut,
namun unsur pemeliharaan kepentingan masyarakat umum lebih dominan
120 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmia, h. 663
81
dan penting, yaitu mencegah terjadinya kerusakan moral dan kekacauan
keturunan antara anggota masyarakat.121
Kedua, bergabungnya hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan, misalnya hukuman qishãsh. Hak Allah dalam hal
ini terlihat pada hal menggangu kepentingan umum. Pembunuhan, bila
dibiarkan akan membuat masyarakat tidak tenteram dan setiap orang akan
merasa terancam jiwanya. Sedangkan yang menyangkut hak perorangan
dalam hal ini adalah bahwa di samping jiwa si terbunuh telah melayang
oleh kejahatan ini, juga peristiwa pembunuhan itu telah menimbulkan
kegoncangan dalam diri keluarganya. Oleh sebab itu, untuk
menghindarkan permusuhan dan balas dendam dari pihak keluarga yang
telah digoncangkan itu, maka disyari’atkan hukuman yang setimpal, yaitu
hutang nyawa dibayar dengan nyawa bagi pembunuhan yang disengaja.
Hukuman ini adalah hak perorangan. Artinya, keluarga korban
berhak untuk menuntut qishãsh atau memaafkannya, sehingga gugurlah
hukuman qishãsh, baik kemudian keluarga korban menuntut diyat atau
tidak. Namun, oleh karena kejahatan pembunuhan itu juga menyangkut
kepentingan umum, maka meskipun hukuman qishãsh bisa dimaafkan
oleh keluarga korban, hakim atau penguasa harus tetap bertindak
mengenakan hukuman ta’zĩr atas diri pembunuh. Dengan demikian,
hukum ta’zĩr ini merupakan hak umum.122
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan hukuman dalam jarĩmah
qishãsh-diyat maupun ta’zĩr.
a. Hukuman Qishãsh-Diyat
Qishãsh adalah hukuman yang dijatuhkan atas pembuat jarĩmah
setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau ia membunuh, dianiaya
121 Abd al-Qadir Audah., al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 206, Lihat pula, Ali Hasbalah, Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 294.
122 Lihat Ali Hasballah, Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 295.
82
Sumber hukum dari qishãsh ini adalah firman Allah dalam Q.S.
al-Baqarah (2): 178-179, diperkuat pula dengan Hadis Nabi:
من اعتبط مؤمنا بقتل فهو قود به االان يرضى ولي المقتول Artinya: “Barang siapa yang menyerang seorang mukmin dengan
pembunuhan, maka dia harus dijatuhi qishãshh karena pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban merelakannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)124
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah bersabda:
اص وان احبوا ان احبوا فالقود او القص: من له قتيل فاهله بين خيرتين فالعقل اي الدية
Artinya: “Barang siapa mempunyai keluarga terbunuh, maka
keluarganya ada di antara dua pilihan, kalau suka maka mereka mengambil qisas, dan kalau suka maka mereka menerima diyat”. (HR. al-Daruquthni)125
Islam memandang bahwa hukuman qishãsh adalah hukuman
yang terbaik, karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, di
mana pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya dalam rangka
terwujudnya jaminan keamanan dan ketertiban.
Korban atau walinya diberi wewenang untuk menuntut qishãsh
atas pelaku atau mengampuni, baik dengan ganti rugi diyat atau tidak.
Tetapi, meskipun qishãsh dan diyat dapat gugur, penguasa masih
mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zĩr yang sesuai.126
123 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 663. Lihat juga Abdurrahman I Doi, Shariah the Islamic Law, Terj. Hermaya dengan judul “Syari’ah dan Hukum Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 24. Lihat juga H.M.K. Bakry, Kitab Jinayat: Hukum Pidana dalam Islam, (Solo: AB. Siti Syamsiah, 1958), h. 19. Halimah, Hukum Pidana Syaria’t Islam Menurut Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 275
124 Muhammad ibn Abdullah Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ‘al ãal-Shahĩhain, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1990), cet. Ke-1, juz ke-1, h. 553
125 Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Daru Quthni, Sunan al-Dãruquthni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), Juz ke-3, h. 95
126 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-5, h. 282
83
Pada dasarnya, korban atau walinya tidak mempunyai wewenang
untuk memberikan pengampunan dalam soal-soal kepidanaan. Akan
tetapi, untuk jarĩmah qishãsh-diyat, ia diberi hak untuk memberikan
pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena jarĩmah
tersebut sangat erat hubungannya dengan pribadi korban. Pemakaian
hak tersebut tidak dikhawatirkan mempengaruhi keamanan dan
ketenteraman masyarakat, karena meskipun jarĩmah pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja adalah sangat berbahaya bagi
keselamatan perseorangan, namun tidak sama bahayanya untuk
ketenteraman masyarakat.
pembunuhan atau penganiayaan tidak dikerjakan kecuali atas
dorongan perorangan. Sedangkan pencuri ditakuti oleh setiap orang,
karena yang dicuri ialah harta di manapun ia berada, bukan harta
seseorang tertentu saja. Boleh jadi, pemakaian hak pengampunan
tersebut akan mempengaruhi ketenteraman, kalau sekiranya korban
berlebih-lebihan dalam memakai hak tersebut. Akan tetapi hal ini jauh
kemungkinannya, karena eratnya hubungan antara jarĩmah tersebut
dengan pribadi pelaku cukup menimbulkan sikap berhati-hati, sebab
sudah menjadi sikap manusia untuk senang melakukan pembalasan
terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dari pada
memberikan pengampunan. Jadi, eratnya hubungan jarĩmah dengan
diri pelaku cukup menjamin tidak dilebihkannya pemakaian hak
mengampuni sehingga hal ini tidak akan mengganggu keamanan
masyarakat. 127
Pada dasarnya, hukuman dijatuhkan untuk memberantas jarĩmah,
akan tetapi tidak selalu dapat menghalangi terjadinya jarĩmah.
Sedangkan pengampunan sering dapat menghalangi terjadinya jarĩmah
127 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 282
84
dalam jangka panjang, sebab pengampunan diberikan sebelum vonis
dijatuhkan, setelah pelaku dinyatakan bersalah di muka hakim,
kemudian terjadi perdamaian yang didasari oleh kebersihan hati nurani
dari unsur-unsur pembuat jarĩmah. Jadi, pengampunan mengisi tugas
hukuman dan mewujudkan akibat yang oleh hukuman itu sendiri tidak
bisa diwujudkan.
Tidak selamanya hukuman qishãsh dapat dijalankan, meskipun
tidak ada pengampunan dari korban, karena pelaksanaan hukuman
tersebut tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya (pelaku mati
misalnya). Dalam hal ini, maka hukuman diyat itulah yang dijatuhkan,
sebab penetapan hukuman diyat tidak tergantung kepada permintaan
perseorangan. Hukuman ta’zĩr baru dapat dijatuhkan, apabila dapat
terhindar sama sekali dari hukuman qishãsh. Qishãsh merupakan
hukuman pokok bagi jarĩmah pembunuhan dan penganiayaan sengaja,
sedangkan diyat dan ta’zĩr menjadi hukuman pengganti dan atau
hukuman tambahan.128
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan
penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.129 Ketentuan ini
bersumber pada firman Allah:
⌧ ☺
☺
128 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 667. 129Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668.
85
Artinya: “Tidak boleh bagi orang mukmin untuk membunuh orang mukmin, kecuai karena tidak sengaja. Barang siapa membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba mukmin dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka memberikannya”. (QS. al-Nisa, (4): 92).
dan sabda Nabi:
اال ان في قتيل عمدا خطأ قتيل السوط والعصى والحجر ماءة من االبل Artinya: “Ingatlah bahwa pada orang yang terbunuh karena sengaja
keliru (semi sengaja), yaitu korban pecut dan tongkat serta batu adalah seratus onta”. (HR. Ibn Majah).130
Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang
diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan negara. Dalam
hal ini, diyat lebih sebagai ganti rugi, apalagi besarnya bisa berbeda-
beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut
perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarĩmah.
Mungkin lebih tepat bila diyat dikatakan sebagai campuran dari
hukuman dan ganti rugi secara bersama-sama. Dikatakan hukuman
karena diyat merupakan balasan terhadap jarĩmah, karena jika si
korban memaafkan diyat tersebut, maka pelaku bisa dijatuhi hukuman
ta’zĩr. Sekiranya bukan hukuman, tentu tidak perlu diganti dengan
hukuman lain. Dikatakan ganti rugi, karena diyat diterima oleh korban
seluruhnya, dan apabila ia merelakannya maka diyat bisa
digugurkan.131
Meskipun diyat dapat berbeda-beda menurut perbedaan antara
semi sengaja dengan tidak sengaja, namun untuk tiap-tiap jarĩmah
adalah sama, baik untuk orang dewasa atau anak di bawah umur, baik
untuk golongan bangsawan atau orang biasa. Sementara bagi
perempuan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Yang
130 Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunnah Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 877
131 Abd al-Qadir Audah. al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 669
86
sudah disepakati ialah dalam kasus pembunuhan, diyat perempuan
(yang terbunuh) adalah separuh dari diyat laki-laki.
Akan tetapi, dalam kasus penganiayaan, menurut Imam Abu
Hanifah dan Syafi’i, untuk perempuan dikenakan separuh dari diyat
seorang laki-laki dalam semua keadaan. Menurut Imam Malik dan
Ahmad, perempuan disamakan dengan laki-laki sampai sepertiga diyat.
Kalau diyat melebihi sepertiga, maka dikenakan separuh dari laki-laki.
Sepuluh jari kaki (tangan) dikenakan diyat lengkap yaitu seratus onta,
yang berarti untuk tiap jari dikenakan sepuluh onta. Maka, jika
perempuan terpotong tiga jarinya, maka ia mendapat diyat 30 onta
sama dengan diyat untuk jari lelaki. Akan tetapi kalau perempuan itu
terpotong jarinya delapan, maka ia mendapat 40 onta, atau terpotong
empat jarinya, ia mendapat dua puluh onta, karena empat jari juga
sudah termasuk melebihi dari sepertiga.
Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara hukuman bagi
pembunuhan sengaja (Qatl al-Amd) dengan hukuman pembunuhan
semi sengaja (Syibh al-Amd). Untuk pelaku pembunuhan sengaja
dikenakan hukuman qishãsh, sedangkan untuk pelaku pembunuhan
semi sengaja dikenakan hukuman diyat. Perbedaan ini disebabkan
karena pada pembunuhan sengaja pelaku meniatkan matinya korban,
sedangkan pembunuhan semi sengaja, pelaku tidak meniatkan
demikian. Alasan lain ialah bahwa hukuman qishãsh menghendaki
adanya keseimbangan antara yang diperbuat oleh pelaku dengan yang
diperbuat terhadapnya, sedang keseimbangan itu tidak ada, sebab
pelaku sendiri pada pembunuhan semi sengaja tidak meniatkan
matinya korban.
Berkaitan dengan penanggung diyat, pada umumnya fuqaha
sepakat untuk mengikutsertakan keluarga pelaku yang disebut aqilah
87
dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud keluarga ialah sanak
saudaranya yang datang dari pihak ayah (‘ashabah). Keluarga yang
jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi ahli waris
(cadangan) jika keluarga dekat tidak ada. Keluarga dalam hal ini tidak
termasuk saudara-saudara seibu dan keturunannya, suami atau istri,
dan keluarga zawi al-arham (seperti cucu perempuan atau cucu laki-
laki dari anak perempuan), yakni keluarga yang tidak menerima
warisan.132
Diikutsertakannya keluarga dalam menanggung diyat, berarti
orang-orang yang tidak melakukan kejahatan ikut menanggung akibat
kejahatan pelaku. Hal ini adalah suatu pengecualian dari aturan pokok
syari’at yang umum, yaitu bahwa orang lain tidak dapat menanggung
akibat perbuatan orang lain. Sebagaimana firman Allah “Dan orang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”133
Akan tetapi, keadaan pelaku dan korban bersama-sama
menghendaki adanya pengecualian tersebut, bahkan harus diwujudkan
untuk menjamin rasa keadilan dan persamaan, dan untuk menjamin
sepenuhnya hak-hak korban. Ada beberapa alasan yang membenarkan
adanya pengecualian tersebut.134 Pertama, jika hanya memegangi
prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”, maka
hukuman, khususnya diyat hanya dapat dikenakan terhadap pelaku
jarĩmah yang kaya saja sedangkan jumlah mereka lebih sedikit. Diyat
tidak dapat dikenakan terhadap pelaku jarĩmah yang miskin,
sedangkan jumlah mereka lebih besar. Dengan kata lain, korban atau
walinya akan mendapat diyat yang lengkap apabila pelaku adalah
132 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668. Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, h. 287 133 Lihat QS. Al-Fathir (35): 18 134 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 289-291
88
orang kaya, atau hanya akan mendapat sebagian diyat, jika pelakunya
adalah orang yang sedang-sedang saja kekayaannya, atau apabila
pelaku miskin, dan memang demikianlah keadaan kebanyakan pelaku
jarĩmah, maka korban atau walinya tidak akan memperoleh diyat sama
sekali. Maka hilanglah keadilan antara pelaku dan korban atau
walinya.
Kedua, meskipun diyat merupakan hukuman, namun ia menjadi
hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pelaku saja yang
membayarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat
menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari
pada jumlah diyat, yaitu 100 onta. Jadi meninggalkan aturan umum
dapat menjamin diterimanya hak tersebut oleh orang yang berhak
menerimanya. Dengan demikian, korban jarĩmah pembunuhan sengaja
tidak akan teraniaya haknya. Seperti diketahui, bahwa hukuman pokok
untuk jarĩmah ini adalah qisas, dan qisas tidak akan diganti dengan
diyat, kecuali jika wali atau korban memaafkannya, sedangkan korban
atau wali tidak akan memaafkan kecuali apabila sudah mendapatkan
jaminan akan mendapatkan diyat. Kalau ternyata tidak ada harta yang
cukup untuk membayar diyat, sedangkan ia memaafkannya, maka ia
tidak akan merasa dirugikan dari keadaan yang dipilihnya itu.
Ketiga, Dasar hukuman dalam jarĩmah tidak sengaja ialah
kelalaian dan tidak berhati-hati, sedangkan kedua keadaan ini pada
umumnya disebabkan karena salah asuh atau salah didik. Orang yang
bertanggung jawab atas pendidikan seseorang ialah orang-orang yang
mempunyai pertalian darah dengan dia, sebagaimana lazimnya bahwa
seseorang mencerminkan tingkah laku keluarganya.
Keempat, kehidupan keluarga dan masyarakat menurut
tabi’atnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerjasama. Oleh
89
karena itu, menjadi kewajiban tiap anggota keluarga untuk menolong
anggota keluarga lainnya. Demikian pula kewajiban tiap anggota
dalam masyarakat.
Kelima, ketentuan pokok syari’at Islam ialah keharusan
memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakannya. Diyat
ditetapkan untuk menjadi pengganti dan memelihara jiwa. Kalau hanya
pelaku sendiri yang menanggung diyat dan harus
dipertanggungjawabkan kepadanya karena perbuatannya, sedang ia
tidak mampu membayarnya, hal itu berarti jiwa si korban akan disia-
siakan. Jadi, menyimpang dari aturan umum dalam hal ini justru
menjadi suatu keharusan agar jiwa seseorang tidak disia-siakan.
Perlu ditambahkan di sini, bahwa diyat yang harus dibayar oleh
pelaku dan keluarganya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu diyat
mughallazhah (diyat berat) dan diyat mukhaffafah (diyat ringan). Yang
termasuk dalam kategori berat adalah diyat atas pembunuhan sengaja
dan pembubunuhan semi sengaja. Hal ini disebabkan karena dalam
pembunuhan sengaja terdapat unsur maksud dan tujuan untuk
menghabisi nyawa korban, di samping adanya unsur perbuatan
(kekerasan) dalam mencapai maksud tersebut. Adapun dalam
pembunuhan semi sengaja, minimal terdapat unsur perbuatan
(kekerasan) membunuh meskipun perbuatan itu tidak dimaksudkan
untuk membunuh. Adapun diyat ringan berlaku atas pelaku
pembunuhan karena kesalahan (tidak sengaja).135
Adapun diyat yang harus dibayar dalam diyat berat berupa 30
hiqqah (unta yang berumur 4 tahun), 30 jadza’ah (unta yang berumur 5
tahun), dan 40 Khalifah/khilfah (unta yang sedang hamil), yang
pembayarannya harus kontan. Sedangkan yang harus dibayar dalam
135 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 670-674.
90
diyat ringan adalah 20 bint makhadh (unta betina yang induknya
hampir melahirkan), 20 Ibn Makhadh (unta jantan yang induknya
hampir melahirkan), 20 bint labun (anak unta berumur 2 tahun), 20
hiqqah (unta berumur 4 tahun), dan 20 jadza’ah (unta berumur 5
tahun).136
b. Hukuman Ta’zĩr
Hukuman ta’zĩr ialah hukuman yang dijatuhkan atas jarĩmah-
jarĩmah yang tidak dijatuhkan atasnya hukuman yang telah ditentukan
oleh hukum syari’at, yaitu hudũd dan qishãsh, dari hukuman yang
paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman
yang sesuai dengan jarĩmah yang dilakukan serta diri pelakunya.137
Di antara hukuman ta’zĩr itu meliputi:
1) Hukuman Mati (‘uqũbah al-qatl)
Pada dasarnya, menurut syari’at Islam, hukuman ta’zĩr
bertujuan memberi pengajaran, bukan untuk membinasakan. Oleh
karena itu, dalam hukuman ta’zĩr, tidak boleh ada pemotongan
anggota badan atau penghilangan nyawa.138
Dari aturan umum di atas, para ulama membuat suatu
pengecualian, yakni boleh melakukan hukuman mati terhadap
suatu tindak kejahatan yang akan membahayakan kepentingan
umum, atau suatu tindak kejahatan yang tidak dapat diberantas
kecuali dengan membunuh pelakunya. Seperti hukuman terhadap
mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya. Dengan
136 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, juz ke-6, h. 285 137 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 290-291 138Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 248, Lihat juga Muhammad Abu
Zahrah, al- Jarĩmah wa al-‘Uqũbah fi Fiqh Islãm, (al-Arab: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 26
91
demikian aspek pendidikan dalam kasus ini lebih ditujukan pada
masyarakat secara umum.139
Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian
dalam kasus hukuman ta’zĩr seperti di atas. Bahkan, apabila
menyangkut urusan nyawa manusia, maka hukuman mati tidak
boleh diserahkan sepenuhnya pada para hakim. Akan tetapi,
penguasa atau pemerintah harus menentukan jenis-jenis jarĩmah
mana saja yang dapat di jatuhi hukuman mati.
Dengan ketentuan di atas, maka hukuman mati sebagai
hukuman ta’zĩr tentu tidak banyak jumlahnya. Di luar ta’zĩr,
hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan zina,
gangguan keamanan, murtad, pemberontakan, dan pembunuhan
sengaja.140
2) Hukuman Jilid (Cambuk/Dera)
Hukuman jilid merupakan hukuman pokok dalam syariat
Islam, karena untuk jarĩmah-jarĩmah hudũd sudah ditentukan oleh
nash jumlahnya. Misalnya seratus kali untuk zina dan delapan
puluh kali untuk qadzaf, sedangkan untuk jarĩmah ta’zĩr belum
ditentukan jumlahnya. Bahkan untuk jarĩmah ta’zĩr yang
berbahaya, hukuman jilid lebih diutamakan.
Sebab diutamakannya hukuman tersebut, karena pertama,
hukuman jenis ini dianggap lebih efektif dan berhasil dalam
memberantas para pelaku tindak kejahatan. Kedua, hukuman jilid
mempunyai batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim bisa
memilih jumlah jilid yang terletak antara keduanya yang lebih
139 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 688 140 Ulama Hanafiyah dan Malikiyah menetapkan adanya hukuman mati dalam ta’zĩr, bagi
kasus tindak kejahatan yang membahayakan negara. Mereka memberi istilah dengan ‘al-ta’zĩr bi al-qatl al-siyasah. Dalam hal ini, hakim diberikan wewenang untuk menjaga kemaslahatan. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, juz ke-6, h. 200
92
sesuai dengan keadaan pelaku. Ketiga, dari segi pembiayaan, tidak
merepotkan keuangan negara dan tidak pula menghentikan aktifitas
ekonomi pelaku yang dapat menyebabkan keluarganya terlantar.
Sebab hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu
pelaku bisa bebas. Keempat, dengan hukuman jilid pelaku dapat
terhindar dari akibat-akibat buruk penjara seperti rusaknya akhlak,
memburuknya kesehatan, dan terhindar dari kebiasaan negatif
seperti menganggur dan bermalas-malasan. 141
Tentang batas tertinggi hukuman jilid, para fuqahã’ berbeda
pendapat. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama
Malikiyah, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa, karena
hukuman ta’zĩr didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
berat ringan jarĩmah. Oleh karena itu, penguasa bisa mengadakan
penelitian untuk kemudian menentukan jumlah jilid.. Sementara
Imam Malik membolehkan untuk menjatuhkan hukuman jilid
hingga 100 kali, meskipun dalam jarĩmah hudũd, hukuman
tersebut tidak lebih dari 100 kali.142
Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa
batas tertinggi hukuman jilid dalam jarĩmah ta’zĩr adalah 39 kali.
Adapun menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Perbedaan pendapat
tersebut berpangkal pada Hadis Nabi berikut:
افى غير حدفهو من المعتدينمن بلغ حد Artinya: “Barang siapa mencapai Hãd (batas tertinggi) bukan
pada jarĩmah hudũd, maka ia termasuk orang yang melampaui batas,” (HR. Baihaqi)143
141 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 249 142 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 689 143 Ahmad ibn al-Husain ibn Ali ibn Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-
Kubro, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Bazi, 1994), Juz Ke-8, h. 327
93
Sementara dalam mazhab Syafi’iyyah, terdapat tiga pendapat.
Pertama, sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
Muhammad. Kedua, sama dengan pendapat Abu Yusuf, dan ketiga,
hukuman jilid dalam ta’zĩr boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak
sampai 100 kali.144
3) Hukuman Penjara (al-habas)
Ada dua macam hukuman kurungan145 dalam syari’at Islam,
yaitu hukuman penjara terbatas dan hukuman penjara tidak
terbatas. Dalam hukuman penjara terbatas, batas terendah ialah
satu hari, sedangkan batas tertinggi tidak menjadi kesepakatan.
Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertinggi satu tahun karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarĩmah
zina. Fuqaha lainnya menyerahkan batas tertinggi tersebut kepada
penguasa.146
Mengenai hukuman penjara tidak terbatas, disepakati bahwa
hukuman ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat
sehingga dapat dijamin telah terjadi perbaikan dalam diri
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman tersebut ialah penjahat
yang berbahaya atau orang-orang yang berulang atau sering
melakukan kejahatan.147
4) Hukuman Pengasingan (al-taghrĩb)
Mengenai masa pengasingan dalam jarĩmah ta’zĩr, mazhab
Syafi’i dan Hanbali menetapkan tidak lebih dari satu tahun agar
144 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 694 145 Rasul pernah memenjarakan seorang laki-laki. Demikian pula, hal ini juga pernah
dilakukan Umar ibn al-Khattab, malah ia menetapkan hukuman penjara menjadi salah satu dari jenis hukuman ta’zĩr. Hal ini selanjutnya diikuti pula oleh Usman dan Ali. Lihat, Wahhab al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Juz ke-6, h. 198
146 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h.694 147 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 694-697
94
tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai
hukuman hãd. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam
Malik berdasarkan Hadis di atas.148
Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa
pengasingan bisa lebih dari satu tahun sebab pengasingan di sini
adalah hukuman ta’zĩr, bukan hukuman Hãd. Sedangkan mengenai
batas waktu, Imam Abu Hanifah menyerahkannya kepada
penguasa dalam mengakhiri masa tersebut.149
5) Hukuman pengucilan (al-ib’ad)
Pengucilan sebagai hukuman telah diterapkan terhadap istri
yang nusyuz sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah dalam
QS. al-Nisa, (4):34 “Istri-istri kalian yang kalian khawatirkan
nusyuz, maka nasehatilah mereka dan kucilkanlah dalam tidur.”
Rasulullah juga pernah menjatuhkan hukuman pengucilan
terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rubai’ah dan Hilal ibn Umayyah.
Mereka dikucilkan selama 50 hari tanpa diajak bicara150 sehingga
turun firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula dada mereka, serta mereka mengira bahwa tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali kepada-Nya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka, agar mereka bertaubat.” (QS. Al-Taubat, 9:48)
6) Hukuman Ancaman (tahdũd), Teguran, dan peringatan (wa’zh)
Ancaman (tahdũd) juga merupakan salah satu hukuman ta’zĩr
dengan syarat ancaman itu dapat memaksa pelaku menghentikan
kejahatannya, bukan sekedar ancaman kosong. Ancaman biasanya
148 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 699 149 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 699 150 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h.700
95
Teguran juga merupakan hukuman ta’zĩr. Hukuman tersebut
pernah dijatuhkan oleh Nabi terhadap sahabat Abu Dzar yang
memaki-maki dan menghinakan orang lain dengan menyebut-
nyebut ibunya, maka Nabi bersabda:
يا اباذر اعايرته بامه انك امرء فيك جاهلية Artinya: “Wahai Abu Zar engkau telah menghina ia dengan
ibunya, engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah.” (HR. Muslim)152
Hukuman peringatan ditetapkan dalam syari’at Islam dengan
jalan memberi nasihat. Hukuman ini dicantumkan dalam QS. al-
Nisa’ (4) :34, sebagai hukuman terhadap istri.153
3. Hak Hamba (Hak Privat atau Hak Individu)
Al-haqq al-khãlis li al-‘ibãd (hak perorangan secara penuh), yaitu
aturan-aturan hukum yang mengatur hak perorangan (individu) yang
berkaitan dengan harta bendanya. Misalnya, kewajiban mengganti rugi
atas seseorang yang telah merusak atau menghilangkan harta orang lain,
hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam
151 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 703 152 Muslim ibn al-Hajjaj, Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tth.), Juz ke-3, h. 1281 153 Di samping nasihat, boleh juga -kalau dipandang perlu- memukul istri dengan niat untuk
memperbaikinya adalah juga merupakan jenis dari hukuman ta’zĩr dalam rangka untuk mendidik istri di jalan yang benar. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, Juz ke-6, h. 211
96
Dari pembahasan di atas dapat ditarik garis merahnya bahwa dalam
hukum pidana Islam, ishlãh merupakan bagian dari qishãsh yang tidak
dilakukan karena pelaku mendapatkan maaf dari pihak wali/keluarga korban.
Dalam al-Qur’an, ayat tentang qishãsh yakni:
☺
⌦ ⌧
☺
☺
☺
⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
154 Abd. Al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h 206. Lihat juga Ali Hasballah,
Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, cet. Ke-3, h. 296
97
Ayat tersebut turun karena pertama, sebagaimana diriwayatkan dari
Qatadah bahwa apabila hamba suatu kabilah yang memiliki kekuatan terbunuh
oleh hamba dari kabilah lain, maka mereka menuntut balas dengan membunuh
seorang merdeka dari pihak musush. Hal ini mereka lakukan karena adanya
kesombongan dan merasa lebih utama atas yang lain. Demikian pula ketika
yang terbunuh seorang perempuan, mereka menuntut balas dengan membunuh
seorang laki-laki dari pihak musuh. Karena kebiasaan ini, maka turunlah ayat
“orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita.”155
Kedua, riwayat dari Sa’id ibn Zubair, bahwa pernah dua kabilah Arab di
masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam saling membunuh. Masing-masing
dari mereka ada korban yang meninggal dan luka-luka, termasuk di antaranya
wanita-wanita dan hamba-hamba. Kemudian sebelum mereka saling
membalas kembali, mereka masuk Islam. Kemudian salah satu kabilah yang
bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan perbekalan mereka, lalu
bersumpah tidak rela kalau tidak membalas pembunuhan yang dilakukan oleh
kabilah lawannya, seraya berkata: “Bagi seorang hamba kami yang terbunuh,
maka kami harus dapat membunuh seorang merdeka dari kalangan mereka,
dan bagi seorang wanita, kami harus membunuh seorang laki-laki sebagai
balasannya.” Kemudian turunlah ayat “hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepada kamu qishãsh berkenaan dengan orang-orang yang
terbunuh”.156
Istinbath hukum yang dapat diambil dari ayat di atas adalah, pertama,
qishãsh merupakan syariat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin
demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup mereka. Kedua, qishãsh diyakini
155 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i’ al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, terjemahan Mu’ammal Hamidi dan Imran A. Manan dnegan judul “Tafsir Ayat Ahkam”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet. Ke-1, h. 123
156 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, h. 123
98
akan memperkecil volume tindak kejahatan, menghilangkan rasa dendam bagi
manusia dan bersifat mendidik, yaitu mencegah orang yang akan melakukan
tindak kejahatan serupa. Ketiga, qishãsh mengandung makna kehidupan bagi
manusia, melindungi pribadi-pribadi dan masyarakat. Dan keempat, apabila
wali atau keluarga si terbunuh memberikan maaf dan mau menerima diyat,
maka si pembunuh dan keluarganya wajib menyerahkan diyat itu kepada
mereka tanpa ditunda-tunda atau diperlambat.
Disyariatkannya qishãsh oleh Allah tentu saja mengandung makna yang
amat dalam, yakni dalam rangka menjaga darah manusia dan memelihara
nyawa umat manusia, serta untuk membasmi benih-benih fitnah yang ada di
antara sesama manusia. Maka mengambil tindakan kepada pelaku kejahatan,
di samping bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya, juga
ditujukan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa, agar
semua manusia menjadi takut dan tidak mau melakukan suatu pembunuhan
atau kejahatan lainnya. Karena apabila mereka melakukan pembunuhan, ada
ancaman hukuman qishãsh yang akan mereka dapatkan. Dengan demikian,
penghargaan terhadap arti kehidupan adalah sesuatu yang diutamakan. Jika
pelaku pembunuhan itu tidak diqishãsh, maka akan timbul fitnah, ancaman
keamanan, dan secara tidak langsung membiarkan berkembangnya spirit untuk
saling mengalirkan darah demi membalas dendam. Qishãsh diharapkan dapat
memadamkan rasa dendam yang ada dalam hati korban maupun keluarganya
dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Meski demikian, Islam di samping mensyariatkan hukuman qishãsh juga
secara serentak menganjurkan bagi para pemeluknya untuk suka memaafkan.
Pemberian maaf itu dilakukan ketika vonis qishãsh akan dijatuhkan. Ajaran ini
semata-mata merupakan ajakan untuk berbuat kebaikan, bukan suatu
ketetapan yang mengesampingkan fitrah manusiawi, serta mendorong orang
99
untuk berbuat sesuatu di luar batas kemampuannya. Memaafkan adalah lebih
baik daripada melakukan pembalasan yang destruktif.
Karena adanya peluang untuk memberikan maaf ini, yaitu terjadinya
ishlãh antara kedua pihak yang berperkara, maka penulis menganggap bahwa
ishlãh merupakan bagian integral dari hukum pidana Islam (Jinãyah). Jadi,
melalui ishlãh, para pihak dianjurkan untuk lebih mengedepankan
perdamaian guna menghilangkan rasa dendam dan permusuhan yang
berkepanjangan. Para pihak lebih mengedepankan usaha-usaha persuasif
ketimbang usaha-usaha yang destruktif. Penegakan hukum bagi tindak
kejahatan dengan memberikan jaminan keadilan hukum bagi semua tanpa
mengenal kasta merupakan komitmen Islam untuk menjaga kemaslahatan
umat manusia di dunia, jauh dari kebencian dan permusuhan antar sesama
masyarakat. Maka, karena ishlãh berada pada ranah kemaslahatan umat, maka
ishlãh menjadi sesuatu yang relevan bahkan wajib untuk segera diwujudkan.
BAB IV
FIKIH ISHLÃH
A. Obyek ishlãh
Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai
ruang lingkup obyek ishlãh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan
diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlãh tersebut.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat
melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui
proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur
hukum, maka obyek ishlãh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana
(jinãyah) dan perdata (al-ahwãl al-syakhshiyah). Dalam konteks jinãyah,
khususnya qishãsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinãyah
dapat meliputi dilaksanakannya qishãsh, ditetapkannya diyat, atau hanya
ditetapkan ta'zĩr semata atas diri terpidana.
Khusus dalam kasus qatl al-‘amd yang dapat dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih
mengedepankan ishlãh, maka 'afw dari keluarga korban dapat merubah
putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman
mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau ta'zĩr atas terpidana dan
keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlãh dalam kasus pidana ini
memutlakkan adanya maaf dan atau denda/ganti rugi.
Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus
pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan
ishlãh dengan memaafkan pelaku, maka 'afw dari korban menyebabkan hakim
pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan
hukuman diyat atau ta'zir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup
panjang lebar dalam pembahasan ishlãh dalam jinãyah.
98
99
Dalam konteks hukum perdata, sebagaimana konflik baju besi antara
Thu'mah dengan teman Yahudinya yang diselesaikan oleh Rasulullah, dapat
disimpulkan bahwa keduanya didamaikan oleh Rasulullah dengan tambahan
denda atas Thu'mah untuk mengembalikan baju besi milik temannya tersebut.
Konflik individu seperti terjadinya perkelahian juga dapat diselesaikan
dengan ishlãh, yaitu dengan perantara seseorang yang dihormati kedua pihak
dan netral dapat mengajak keduanya untuk bersedia saling memahami dan
memaafkan, untuk kemudian bersedia saling memberi dan menerima demi
menyelesaikan konflik. Konflik individu dengan Tuhan dapat diselesaikan
antara individu tersebut dengan Tuhan melalui jalan taubat.
Dalam konteks keluarga, konflik yang biasa disebut dengan istilah
nusyũz dan syiqãq dapat terjadi antara suami dengan istri. Nusyũz dapat
diselesaikan dengan beberapa langkah yaitu pertama, suami memberikan
nasehat. Kedua, berpisah tempat tidur, dan jika tetap belum ada perbaikan
maka dilakukan upaya ketiga, boleh memukul dengan kadar pukulan sebagai
suatu bentuk pengajaran (Q.S. al- Nisa' (4): 34. Jika ketiga langkah ini tidak
berhasil, maka digunakan jasa hakam untuk memediasi keduanya dalam
rangka mencegah terjadinya syiqãq (35). Begitu pula ketika terjadi zhihãr oleh
suami terhadap istrinya, maka hukum Islam menentukan, bahwa untuk
memutus konflik antara keduanya yang disebabkan oleh zhihãr tersebut, maka
suami harus membayar kaffãrah.
Dalam konteks sosial, konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat
baik berupa konflik antar suku dan agama, juga konflik karena masalah
kepentingan ekonomi dan politik. Sebagaimana yang akan penulis bahas
dalam sub bab terakhir dari bab ini. Adapun konflik antar negara juga dapat
terjadi sehingga mengakibatkan peperangan antar negara. Hal ini dapat
diishlãhkan melalui pembuatan perjanjian damai antara keduanya.
100
Dengan demikian, obyek ishlãh dapat melingkupi beberapa hal
sebagaimana digambarkan secara ringkas dalam bagan sebagai berikut:
ISHLÃH
KONFLIK
INDIVIDU KELUARGA SOSIAL NEGARA
Kerusuhan sosial Perang
Nusyuz Syiqãq
Perkelahian
Dari pembahasan obyek ishlãh di atas dapat diambil kesimpulan lain,
yaitu bahwa inti dari pelaksanaan ishlãh dalam tiap obyek ishlãh adalah
adanya kesediaan memaafkan ('afw) oleh pihak yang merasa dirugikan
(korban) kepada pelaku dan kesediaan membayar/memberi ganti rugi atau
denda (diyat/kaffãrah) oleh pihak yang merugikan (pelaku) kepada pihak yang
dirugikan (korban). Sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa dalam kasus
pidana, terpidana diharuskan membayar diyat sebagai imbalan 'afw dari
korban. Dalam kasus perdata, pelaku harus membayar kaffarat sebagai
imbalan 'afw dari korban. Begitu pula dalam kasus-kasus lainnya. Singkat kata
'afw dan diyat/kaffarat adalah inti dari pelaksanaan ishlãh.
Perlu dijelaskan bahwa diyat/kaffarat/denda/ganti rugi yang biasanya
berupa materi berfungsi sebagai alat pemutus konflik yang harus ditunaikan
oleh pelaku, sementara korban menunaikan pemberian maaf yang sifatnya
immateri. Oleh karena itu pula, sudah semestinya denda atau apapun
istilahnya yang harus ditunaikan oleh pelaku, tidak hanya dalam bentuk materi
101
saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang
dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.
B. Subyek Ishlãh
Sebagaimana telah diterangkan pula dalam bab II bahwa para subyek
yang terlibat dalam ishlãh dapat terdiri dari Tuhan, individu, keluarga, sosial,
dan negara dengan perincian keberhadapan antar subyek sebagaimana
dijelaskan terdahulu. Oleh karena itu, secara ringkas para subyek ishlãh
tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel ruang lingkup ishlãh berdasarkan subyek konflik
SUBYEK
ISHLÃH VS
INDIVIDU KELUARGA SOSIAL NEGARA TUHAN
INDIVIDU √ √ √ √ √
KELUARGA √ √ √ √ √
SOSIAL √ √ √ √ √
NEGARA √ √ √ √ √
TUHAN √ √ √ √
Perlu digarisbawahi, bahwa selain para subyek di atas masih ada subyek
ishlãh, yang secara langsung atau tidak, sangat berperan dalam mewujudkan
ishlãh antara pihak yang berkonflik. Subyek tersebut adalah mediator yang
berperan menengahi dan menjadi perantara di antara para subyek ishlãh dalam
mewujudkan ishlãh. Mediator ini bisa hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim
dalam kasus hukum pidana atau perdata, hakam dalam kasus konflik rumah
tangga, dan arbiter dalam kasus konflik sosial, individu, maupun negara. Hal
ini sebagaimana telah diterangkan pula dalam pembahasan ishlãh dalam
konteks sejarah. Memang kehadiran mediator ini tidak selalu diperlukan
102
dalam setiap konflik, karena memang bisa saja konflik diselesaikan oleh kedua
pihak yang bersengketa saja tanpa memerlukan bantuan mediator dalam
berbagai kapasitasnya tersebut.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa subyek ishlãh pada dasarnya
meliputi dua pihak yang bersengketa sebagai inti dari subyek pelaksana ishlãh.
Adapun mediator, meskipun berperan sangat penting, namun karena
keberadaannya tidak selalu dibutuhkan, maka kedudukannya hanya sebagai
subyek pelengkap atau penyempurna terlaksananya ishlãh.
C. Rukum Ishlãh
Setiap akan melangsungkan suatu akad, maka harus diperhatikan rukun
dan syaratnya. Rukun dan syarat merupakan instrumen menentukan sahnya
pelaksanaan suatu akad termasuk saat akan melakukan ishlãh. Jika dalam
suatu akad tertinggal salah satu rukunnya, maka akad tersebut akan menjadi
tidak sah. Mengenai rukun ishlãh, terjadi perbedaan pendapat. Madzhab
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ishlãh itu hanya satu, yaitu adanya
shĩghah lafal ijab dan kabul saja.157 Sayyid Sabiq juga sependapat dengan
ulama Hanafiyah, bahwa menurutnya rukun ishlãh itu hanyalah ijab dan kabul
saja dengan lafal apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.158 Sedangkan
Mazhab Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah (merupakan kelompok
Jumhur) berpendapat bahwa, rukun ishlãh itu terdiri dari tiga yaitu: Shĩghah,
al-ãqidain, dan Muhal.159
Yang dimaksud dengan Shĩghah, yakni ijab dan qabul yang dilakukan
oleh dua orang (dua belah pihak) yang bermaksud untuk melakukan ishlãh.
157 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyah, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 1996), h. 30
158 Adapun lafazhnya seperti ucapan satu pihak “Aku berdamai denganmu”, “Aku bayar hutangku padamu yang lima puluh dengan seratus”, lalu pihak lain berkata “Telah aku terima”, dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu, lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., H. Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, h. 190
159 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23
103
Misalnya satu pihak berkata: “Aku berdamai denganmu tentang masalah
ini”. Sementara yang satu menerima dengan ucapan “aku terima atau aku
rela”. Apabila Shĩghah yang sederhana ini diucapkan maka telah terjadi ishlãh
antara dua orang (para pihak) yang sedang bersengketa tersebut.160
Adapun yang dimaksud dengan al-ãqidain (dua orang yang berakad)
yang merupakan subyek ishlãh dapat juga disebut mushãlih, Sayid Sabiq
menyatakan bahwa mushãlih adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah
secara hukum. Maka tidak sah apabila orang yang akan melakukan
perdamaian itu orang gila atau anak kecil. Namun, jika ishlãh itu dilakukan
oleh anak kecil yang sudah mumayyiz, hal seperti itu diperbolehkan.161 Para
mushãlih dapat terdiri atas individu atau kelompok sebagaimana telah
dijelaskan pada sub bab subyek ishlãh di atas.
Adapun berkaitan dengan muhal (meliputi mushãlih ‘anh dan mushãlih
‘alaih),162 fuqaha menjelaskan bahwa berkaitan dengan mushãlih 'anh, tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang tidak berlakunya ishlãh
dalam tindak pidana yang melanggar hak Allah. Untuk itu, menjadi tidak sah
apabila ishlãh dilakukan dalam perkara hudũd seperti had zina, sariqah, syurb
al-khamr, qadzaf dan lainnya, karena untuk hukuman hãd sudah ditentukan
batas-batas maupun kadar hukumannya oleh nash. Sedangkan dalam kasus
qishash diyat yang berkaitan dengan hak hamba, disepakati merupakan ranah
untuk melakukan ishlãh. 163 Begitu pula ishlãh berlaku untuk hal-hal yang
berkaitan dengan masalah mu'amalat duniawi. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam pembahasan ishlãh dalan jinayah, posisi ishlãh dalam mashlahah, dan
160 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23 161 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191 162 Syarat mushalih ‘anhu adalah pertama, bahwa ia dapat berbentuk harta yang mempunyai
nilai dan mempunyai manfaat. kedua, bahwa ia termasuk hak manusia yang boleh diganti sekalipun penggantian itu berupa harta, seperti kasus qishash. Adapun mushalih ‘alaih adalah hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan. Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 189
163 Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-4, jil. ke-7, h. 30
104
obyek ishlãh. Mengenai mushãlih ‘alaih akan di bahas lebih rinci dalam sub
bab berikutnya, yaitu syarat ishlãh.
Apabila ishlãh telah dilangsungkan, maka ia menjadi akad yang mesti
dipenuhi oleh kedua belah pihak. Salah satu dari mereka tidak boleh atau tidak
dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan mem-fasakh-nya. Tanpa terlebih
dahulu memberitahu kepada yang lainnya, serta harus ada kerelaan dari yang
bersangkutan. Pembatalan tidak boleh dilangsungkan sepihak.164
D. Syarat Ishlãh
Telah jelas bahwa rukun ishlãh terdiri atas tiga sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Telah jelas pula kiranya bahwa Shĩghah haruslah berisi
ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua orang (dua belah pihak) yang
bermaksud untuk melakukan ishlãh, bahwa Shĩghah bisa dalam kata-kata
sederhana asalkan jelas maknanya yaitu untuk mengadakan perdamaian.
Apabila Shĩghah yang sederhana ini diucapkan tentu saja telah terjadi ishlãh
antara dua orang mushãlih. Demikian pula telah jelas perihal para mushãlih.
Oleh karena itu kedua rukun ini tidak penulis bahas lebih lanjut, karena
agaknya telah cukup pembahasan mengenai syarat-syarat Shĩghah dan para
mushãlih, demikian juga telah jelas mengenai syarat mushãlih 'anh. Yang
perlu dibahas lebih lanjut adalah syarat-syarat mushãlih 'alaih karena ia
berkaitan langsung dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh para pihak
dalam rangka memutus konflik. Juga akan dijelaskan lebih luas tentang syarat-
syarat mediator.
Telah dijelaskan bahwa inti dari pelaksanaan ishlãh adalah 'afw dan
diyat/kaffarat. Maka isi mushãlih 'alaih haruslah berisi kedua hal tersebut.
Perlu dijelaskan pula, bahwa diyat/kaffarat dalam berbagai macam obyek
ishlãh tidak hanya berupa harta benda, akan tetapi termasuk pula perbuatan-
164 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191
105
perbuatan yang dapat memutuskan konflik. Demikian Sayyid Sabiq secara
umum menjelaskan pengertian mushãlih 'alaih. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan hal-hal yang perlu dilakukan para mushãlih dalam rangka
memutus konflik. Dengan sendirinya, hal-hal tersebut menjadi syarat minimal
isi dari mushãlih ‘alaih.
1. Muatan Mushãlih 'Alaih
a. Menjauhi Prasangka buruk, Hinaan, dan Fitnah
Ajaran ishlãh yang dibawa para Nabi adalah bercirikan
kedamaian dan berusaha terlebih dahulu membawa manusia –sebagai
agen ishlãh- menjadi shãlih. Manusia yang shãlih dapat ditandai
dengan semangatnya dalam memperbaiki diri dengan berbagai amalan
positif yang diperintahkan maupun yang dianjurkan. Dengan demikian,
keshãlihan manusia dengan sendirinya akan memelihara lestarinya
ishlãh. Berbagai amal kebajikan yang perlu dilakukan dalam rangka
memelihara lestarinya ishlãh ini dapat disarikan dari berbagai perintah
Allah yang mengiringi perintah berbuat ishlãh itu sendiri.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10
sebagai berikut.
⌧
☺
☺
☺
☺
106
107
Artinya: ”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil(9) Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat(10) Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim(11) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang(12) Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(13)
108
Ayat ini berisi beberapa hal yang harus dijauhi dalam rangka
memutus konflik dan melestarikan ishlãh yang meliputi larangan
saling menghina/mengolok-olok antar manusia dan kelompok,
larangan saling mencela, larangan memanggil orang lain dengan gelar
yang buruk dan memancing kemarahan apalagi dengan gelaran seperti
kafir, fasik, masuk neraka dan lain-lain yang menyakitkan hati.
Kemudian dalam ayat 12, Allah perintahkan untuk menjauhi terlalu
banyak berprasangka buruk, karena hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya kembali rasa saling curiga dan ketidaknyamanan dalam
pergaulan. Allah juga melarang untuk mencari-cari kesalahan orang
lain, dan menggunjingkan kekurangan orang lain. Bahkan Allah
mengumpamakan gunjingan itu seperti memakan bangkai manusia.
Dari ayat di atas, terlihat bahwa berbagai perintah dan larangan
yang mengiringi perintah berbuat ishlãh adalah perintah dan larangan
yang terkesan lebih teraksentuasi pada pembinaan kesalehan sosial.
Kesalehan individu secara otomatis tercakup di dalamnya. Kesan ini
semakin kuat dengan diakhirinya berbagai perintah di atas dengan ayat
13, yang menyatakan: “hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Dalam konteks hubungan antar manusia, nilai-nilai ishlãh
tercermin dalam keharmonisan hubungan antar mereka. Ini berarti, jika
hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka telah hilang atau
minimal berkurang kemanfaatan dan kebaikan dalam hubungan
keduanya dan masyarakat pada umumnya, sehingga terjadi kerugian
dalam masyarakat karena gagal memperoleh manfaat dari kebaikan
109
hubungan tersebut. Dalam keadaan seperti ini diperlukan ishlãh agar
perbaikan dan keharmonisan pulih, sehingga pulih juga hubungan
kedua kelompok, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat
dan kemashlahatan bagi kedua kelompok dan masyarakat secara lebih
luas.
Oleh karena itu, orang beriman dituntut untuk berperan aktif
dalam menyelesaikan konflik tersebut, khususnya bagi orang beriman
yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya
melibatkan dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua
kelompok masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish
Shihab, ketika menafsirkan QS. Al-Hujurat (49): 10. Dengan demikian
mendamaikan pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara
dua kelompok yang sedang berkonflik, dengan melakukan
musyawarah dan tawar menawar yang jujur dan sehat di antara semua
pihak, dalam rangka meredakan konflik adalah kewajiban atas orang
beriman.165
Di samping itu, ketika menafsirkan ayat sebelumnya (ayat 9),
Quraish Shihab menyatakan bahwa penggunaan kata kerja lampau
“iqtatalũ” tidak harus dipahami dalam arti telah bertikai, tetapi dapat
juga diartikan hampir bertikai. Dengan demikian, ayat di atas
menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan
perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan telah nampak di kalangan
mereka. Jangan menunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkan
api sebelum menjalar.166
Tafsiran ini mengedepankan upaya-upaya preventif yang harus
dilakukan sebelum pertikaian bahkan kerusuhan menghancurkan
165 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol. 13, h. 247
166 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, h. 244
110
masyarakat. Hal ni juga mengisyaratkan kepada orang beriman untuk
senantiasa memperhatikan kondisi masyarakat di sekitarnya dari waktu
ke waktu sehingga setiap saat, berbagai gerak dan gejolak negatif yang
timbul dapat segera diketahui dan segera diselesaikan sebelum menjadi
besar.
Seiring dengan tugasnya sebagai khalifah, pekerjaan memediasi
dalam mewujudkan ishlãh tidak berhenti hanya pada tahap
berdamainya dua kelompok yang bertikai yang ditandai dengan
salaman atau pelukan dan tidak terjadinya lagi letupan pertikaian
setelah pelukan itu saja. Demi menjaga ishlãh itu dalam jangka
panjang, perlu dilakukan upaya jangka panjang yang berkaitan dengan
merubah perilaku masyarakat tersebut menjadi shãlih.
Perlu disadari bersama bahwa dalam masyarakat yang pernah
mengalami pertikaian antar kelompok, tentu mengalami luka fisik
bahkan mental yang tidak mungkin hilang. Luka ini akan terus
membayangi sehingga luapan rasa dendam, benci, kemarahan dan lain-
lain ingin dilampiaskan.167 Dalam kenteks ini, dakwah untuk
membentuk masyarakat yang sabar dan pemaaf harus dilakukan.
Dengan kondisi mental masyarakat yang kuat dan stabil seperti ini
akan menjadi pijakan kokoh bagi lestarinya ishlãh yang telah
disepakati dalam jangka panjang. Masyarakat yang sabar dan pemaaf
harus terwujud karena secara psikologis, masyarakat yang pernah
167 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 101-102.
“Sebenarnya sakit sekali hati kami kalau mau diingat-ingat kejadian lalu. Sebab orang tua dan adik kami meninggal ketika terjadi kerusuhan. Tetapi saya sudah memaafkan”, Pernyataan masyarakat yang lain ”Sejujurnya saya masih ragu dengan kesungguhan orang-orang Kristen untuk berdamai, apalagi saat kerusuhan terjadi desa kami menjadi sasaran penyerangan mereka ..............”
111
berkonflik akan terus dihantui oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan
terhadap ”mantan lawan”.168
Secara spiritual, berbagai upaya di atas dilakukan dalam rangka
menunjukkan dan membuktikan iman dan taqwa kepada Allah. Karena
berbagai aktifitas yang menuju kepada perbaikan diri dan umat, lahir
dan batin, merupakan ciri-ciri dari takwa itu sendiri, sebagaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran (3): 133-136 dan QS. Al-Hujurat
(49): 9-13 sebagai berikut:
☺
☺
☺ ⌧ ⌧
☺
☺
⌧
168 Dalam sebuah dialog dengan wakil pemerintah dalam proses ishlah Poso, juru bicara
Kristen berkata: “Pak Menteri, kami akan bicara dan minta maaf, dan kami mohon teman-teman muslim juga harus minta maaf. Sebab kalau tidak, akan ada kesan oh….Cuma dorang yang salah karena dorang so minta maaf. Kedua, kami akan berdamai tanpa syarat”. Secara terpisah delegasi Muslim menjawab “menurut ajaran Islam yang saya tahu, bila ada orang salah minta maaf, maka wajib hukumnya untuk kita maafkan. Atas nama kelompok Islam, saya maafkan asal betul-betul sampai di hati, tidak sekedar di mulut.” Dari dialog ini terlihat bahwa kekhawatiran akan terulangnya kesalahan yang didasari oleh belum pulihnya kepercayaan masih menghantui antar kelompok. Lihat Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 77-78
112
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa(133) Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan(134) Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui(135) Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal(136)
b. Menegakkan Keadilan dalam Masyarakat
Konflik yang terjadi antar manusia dapat disebabkan oleh
beberapa hal dan salah satu yang utama adalah karena harta atau alasan
113
ekonomi.169 Begitu juga konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah
lain di Indonesia tidak terlepas dari faktor ekonomi dan politik.170 Oleh
karena itu, maka Allah pun berwasiat untuk menyelenggarakan hajat
hidup orang banyak ini dengan seadil-adilnya. Dapat dikemukakan
satu contoh dalam masalah ini yaitu kasus perebutan harta rampasan
perang di kalangan umat Islam sendiri yang menjadi sebab turunnya
QS. Al-Anfal (8): 1 sebagai berikut:
⌧
⌧
Artinya: “Mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang
rampasan perang. Katakanlah: rampasan perang itu untuk Allah dan Rasul. Maka takwalah kepada Allah dan perbaikilah keadaan di antara kamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa perang badar
sebagimana diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari Ibn Abbas.
Bahwa sebelum perang dimulai, Rasulullah -dalam rangka membakar
semangat pasukannya- bersabda: “Barang siapa berbuat begitu dan
begitu, dia akan mendapat rampasan sekian dan sekian.” Mendengar
perkataan Rasulullah itu, para pemuda dengan semangat menyerbu ke
garis depan, sedangkan yang tua-tua tinggal di sekeliling bendera
169 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, 170 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 41, 54
114
perang. Setelah selesai perang dan harta rampasan dikumpulkan,
datanglah yang muda-muda meminta bagian mereka. Lalu yang tua-tua
berkata: “Janganlah kami diabaikan, karena kamilah sebenarnya yang
melindungi kalian ketika kalian maju. Karena kalau pecah barisan
kalian, niscaya kepada kamilah kalian akan berlindung.” Maka
timbullah perselisihan, di saat itu turunlah ayat tersebut di atas.
Dengan turunnya ayat tersebut, maka selesailah pertengkaran di antara
mereka dan pembagian harta rampasan perang diserahkan kepada
keadilan Allah dan Rasul-Nya, dan umat Islam dilarang saling
memperebutkannya.171
Dari ayat di atas juga dapat disimpulkan bahwa pembagian
ekonomi sebagai hasil kerja bersama haruslah dapat dirasakan bersama
dengan seadil-adilnya. Ketidakadilan dalam pembagian ekonomi ini
akan berakibat sangat fatal bagi keutuhan persatuan dan kedamaian.
Dalam sebuah masyarakat yang baru mulai membangun kembali
pasca dilanda konflik, pembagian peran dalam pembangunan juga
perlu dilakukan sebijak dan seadil mungkin. Karena secara langsung
atau tidak, pembagian peran dalam pembangunan ini akan berpengaruh
pada pembagian hasilnya, kelak ketika buah pembangunan itu sudah
dapat dipetik hasilnya. Jadi, baik pembagian peran maupun hasil
pembangunan harus dilakukan serata mungkin sesuai kondisi,
kebutuhan, dan keahlian tiap segmen masyarakat.
c. Mempererat Silaturrahmi
171 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 9, h. 246-247. Lihat juga
Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 219
115
Silaturrahmi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan
dalam rangka memperbaiki keadaan. Allah memberikan perumpamaan
menarik sebagaiman difirmankan dalam QS. Al-Baqarah (2): 220
☺ ⌧
☺
⌧ ☺
⌧
Artinya: “Di dunia dan akhirat. Dan mereka akan bertanya kepadamu
tentang anak-anak yatim. Katakanlah: mengatur baik-baik keadaan mereka adalah lebih baik. Jika kamu bercampur gaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah mengetahui siapa yang merusak dan siapa yang suka memperbaiki. Sekiranya Allah menghendaki niscaya diberatiNya kamu. Sesungguhnya Allah maha gagah lagi maha bijaksana.”
Ayat ini turun berkaitan dengan “ketakutan” para sahabat
terhadap harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaan mereka akan
termakan oleh mereka. Sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak
menyenangkan karena terlalu banyak ancaman jika ada harta anak
yatim tersebut yang bercampur dan termakan, seperti dicap sebagai
pendusta agama atau dianggap seperti memakan bara api. Maka ada
sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana sebaiknya
memelihara mereka. Maka turunlah ayat tersebut.172
172 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-II, h. 190 Lihat juga A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman al-qur’an, h. 99
116
Meskipun ayat di atas turun ketika masyarakat Islam dalam
kondisi damai, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa
meningkatnya jumlah anak yatim itu disebabkan karena banyaknya
sahabat yang meninggal dalam berbagai peperangan sehingga
meninggalkan anak-anak yatim yang terlantar dan tidak terurus fisik,
mental, pendidikan, termasuk hartanya.
Dalam konteks konflik sosial di Indonesia, dengan berjatuhannya
ratusan bahkan ribuan korban dari kalangan dewasa dan orang tua,
tentu telah meninggalkan banyak sekali anak yatim yang butuh
perhatian, rehabilitasi, dan pemberdayaan. Rehabilitasi dan
pemberdayaan dalam hal ini tidak hanya secara fisik berkaitan dengan
ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, tapi juga dalam hal
psikis. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahmidy lasahido dkk. bahwa
kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat
termasuk anak-anak. Gambaran suramnya kondisi psikologis
masyarakat ini dapat dilukiskan, bahwa suatu ketika diselenggarakan
lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung
berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah,
maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang
menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan
sebagian diwarnai putih. ”Yang merah rumah orang Kristen, yang
putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang
ketahuan.” 173
Eratnya tali silaturahmi antar masyarakat akan dapat secara
langsung menumbuhkan empati terhadap berbagai ketimpangan sosial
dalam masyarakat yang selanjutnya menggerakkan anggota
masyarakat untuk melakukan rehabilitasi yang perlu dilakukan baik
173 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 85-87.
117
fisik maupun mental bagi seluruh lapisan masyarakat, Karena luka
fisik dan mental ini dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dari kedua
pihak yang bertikai.
d. Taubat Nashũha
Tentang Taubat Nashũhaini, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam QS. al-Tahrim (66): 8
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
Taubat Nashũhabiasa diartikan sebagai taubat yang semurni-
murninya sebagai pintu untuk masuk ke dalam surga, sekaligus –secara
fitrah- merupakan sesuatu yang menjadi kecenderungan hamba.
Nashũhamerupakan bentuk mubãlaghah dari kata nashaha yang
berarti kejernihan/kemurnian sesuatu dari kepalsuan dan noda-noda.
Maka Nashũha dalam taubat, ibadah, dan musyawarah berarti
memurnikannya dari semua kepalsuan, kecurangan, dan kerusakan,
118
kemudian menempatkannya pada sisi yang paling sempurna. Nashh
adalah lawan dari ghisysy (tipuan).174
Pengertian ini didasarkan atas riwayat Umar ibn Khathab dan
Ubay ibn Ka'ab yang berkata "Taubat Nashũha ialah bertaubat dari
dosa kemudian tidak mengulanginya lagi, seperti tidak kembalinya air
susu ke teteknya." Di samping itu, Hasan al-Bashri berkata, "Hamba
menyesali apa yang telah dilakukannya, dan bertekad bulat untuk
tidak mengulanginya lagi." Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazhi berkata,
"Taubat Nashũhameliputi empat perkara: beristighfar dengan lisan,
menghentikan tindakan dengan badan, bertekad dengan hati untuk
tidak mengulanginya, dan menjauhi teman yang buruk."175
Keinginan kuat untuk bertaubat ini dilukiskan Allah dalam QS.
Ali Imran (3): 135
“Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."
174 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, terj. Dari Madarij al-Salikin: Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 438
175 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438-439. Menurutnya taubat meliputi tiga perkara: Pertama, keumumannya meliputi dan mencakup semua dosa, dengan tidak ada satu pun dosa yang tidak dicakup oleh taubat itu. Kedua, membulatkan tekad, kemauan, dan kesungguhan secara menyeluruh, dengan tidak ada ragu-ragu lagi, tidak berandai-andai, dan tidak menunda-nunda. Bahkan seluruh kehendak dan kemauannya secara total dilaksanakan dengan serta-merta. Ketiga, memurnikan dan membersihkannya dari kotoran dan cacat yang menodai keikhlasannya, menimbulkan rasa takut kepada Allah, senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya. Tidak seperti orang yang bertaubat demi untuk memelihara pangkat dan kehormatannya, kedudukan dan kepemimpinannya, untuk menjaga keadaannya, untuk menjaga kekuatan dan hartanya, atau untuk menarik perhatian orang lain, atau untuk melepaskan diri dari celaan mereka, atau agar tidak dikuasai oleh orang-orang bodoh, atau untuk meraih keinginan duniawinya, atau karena bangkrut dan lemah, dan lain-lain alasan yang menodai ketulusan. Jadi lingkup yang pertama berhubungan dengan apa yang ditaubati, dan yang kedua berhubungan dengan dzat yang kepada-Nya ia bertaubat, sedang yang ketiga berhubungan dengan pribadi orang yang bertaubat itu sendiri. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, (Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1993), h. 55-59. Ia menyatakan bahwa lingkup taubat mencakup tiga segi, yaitu pengetahuan, kondisi kejiwaan, dan perbuatan.
119
Ayat ini menunjukkan toleransi yang diberikan Allah terhadap
makhluk.
Fãhisyah biasa diartikan sebagai perbuatan keji atau dosa yang
sangat buruk dan besar. Akan tetapi, rahmat Allah tidak mengusir
orang-orang yang terjatuh ke dalamnya, dan tidak menjadikan mereka
berada sebagai kaum marginal dari ummat. Bahkan, mereka masih
diangkat ke martabat yang sangat tinggi yaitu taqwa dengan syarat
ingat kepada Allah, lalu meminta ampun atas dosa-dosanya, dan tidak
meneruskan tindakannya dengan sepenuh kesadaran. Allah selalu
membuka kesempatan untuk kembali.176
Demikianlah Islam membimbing manusia yang lemah ini pada
saat-saat ia dalam kelemahannya. Karena, di samping kelemahan ada
kekuatan, di samping kelelahan ada semangat, dan di samping nafsu
kebinatangan terdapat kerinduan kepada Tuhan. Rahmat Allah
membimbing manusia untuk naik ke tempat yang tinggi asalkan ia mau
mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, serta tidak meneruskan
perbuatan dosanya setelah ia tahu bahwa itu adalah dosa.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab menyatakan
bahwa kedurhakaan yang dilakukan seseorang –selama ia
menyadarinya dan menginsyafi- tidak mencabut identitas
ketakwaannya. Allah tidak mengharuskan semua orang putih bersih
tanpa cela. Allah menerima hambanya yang berlumur dosa dan
memasukkannya dalam kelompok orang bertakwa –tentunya bukan
derajat takwa yang tertinggi- selama mereka menyadari kesalahannya.
176 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Jil. h. 245-247, Ia memberikan perumpamaan menarik berkaitan dengan rahmat Allah dalam membimbing hamba yang tersesat ini, bahwa jika anak berbuat salah dan ia melihat di rumahnya hanya ada cemeti, niscaya ia akan lari ketakutan dan tak akan kembali ke rumah lagi. Adapun jika ia mengetahui bahwa di samping cemeti ada tangan halus yang akan membelai dan mengusap kelemahannya ketika ia mengemukakan alasan berbuat dosa, dan menerima permintaan maafnya ketika ia meminta ampun atas dosa-dosanya, niscaya ia akan kembali ke rumah.
120
Firman Allah tentang taubat di atas yang meliputi aktifitas pertama,
ingat pada Allah, lalu mohon ampun, kedua, tidak meneruskan
perbuatan kejinya, dan ketiga, mereka mengetahui, ketiganya telah
mencakup makna taubat.177
Taubat seorang hamba kepada Allah diapit oleh dua penerimaan
taubat dari Allah, yaitu sebelum si hamba bertaubat dan sesudahnya.
Sehingga taubat hamba berada di antara dua penerimaan taubat dari
Tuhannya. Karena mula-mula Allah memberinya taubat berupa izin,
taufiq, hidayah dan ilham yang menarik minat dan kecenderungannya
untuk bertaubat, lalu hamba tersebut bertaubat, kemudian Allah
menerima taubatnya. Penerimaan taubat-Nya terhadap mereka telah
mendahului taubat mereka, dan penerimaan taubat inilah yang
menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bertaubat, sehingga
menjadi sebab bagi taubat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka tidak bertaubat sehingga Allah menerima taubat mereka.
Hukum tidak ada apabila tidak ada illat-nya. Hamba mendapatkan
petunjuk karena petunjuk-Nya. Petunjuk tersebut mengharuskan
petunjuk lain yang dengannya Allah memberinya ganjaran berupa
petunjuk di atas petunjuk-Nya, karena di antara ganjaran petunjuk
ialah petunjuk lagi sesudahnya, sebagaimana halnya di antara akibat
kesesatan ialah kesesatan lagi sesudahnya.178
Seiring dengan pendapat di atas, Abd al-Qadir al-Jilani,
menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk
177 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), vol. 2, h. 209, tiga hal yang merupakan lingkup taubat sebagaimana diungkapkan oleh Quraish Shihab ini seiring dengan pernyataan al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 55-59, dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438-439.
178 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 443-444
121
bertaubat, yaitu pertama, menyesali berbagai kesalahan yang telah
dilakukan. Inilah makna sabda Rasulullah "Penyesalan adalah taubat."
Tanda penyesalan yang benar adalah lembutnya hati dan
membanjirnya air mata. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk
menjadikan orang-orang yang bertaubat sebagai teman, karena mereka
adalah orang yang berhati lembut. Kedua. meninggalkan berbagai
kesalahan pada setiap keadaan dan tempat. Ketiga, keinginan keras
untuk tidak mengulangi kesalahan dan kejahatan yang telah dikerjakan
dengan terus memperbaiki diri.179
Di samping itu, ada beberapa amalan yang harus dilakukan dalam
rangka memperbaiki diri seperti menjaga lidah dari ghibah,
menghindari prasangka buruk, menundukkan pandangan, berlaku adil,
menyadari dan mensyukuri nikmat Allah agar tidak menyombongkan
diri, rajin berinfak, tidak membuat kerusakan, memelihara shalat, dan
berpegang teguh kepada sunnah dan jama’ah.180
Menurutnya, taubat ada dua macam, yaitu taubat dari kesalahan
antar sesama manusia dan taubat dari kesalahan serta dosa antara
manusia dengan Allah. Taubat yang kedua dilakukan dengan cara
bersitighfar secara lisan dan penyesalan dalam hati, serta berniat tidak
mengulanginva lagi. Orang yang bertaubat mesti berusaha dan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk memperbanyak kebaikan.
Selanjutnya memperbaiki serta membina diri agar menjadi Muslim
yang sejati dan utuh. Untuk tujuan inilah, ia menetapkan syarat-syarat
di atas.181
179 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, terj. Dari al-Ghunyah li Thalabi al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), h. 252
180 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 253-254 181 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, Di samping itu, al-Ghazali
menyatakan bahwa dosa antar sesama adalah dosa yang paling sukar dan berat, sebab hal itu timbul dari lima hal, yaitu menyangkut urusan harta seperti ghasab, memeras, pemalsuan dan lain-
122
Taubat dari kesalahan terhadap sesama manusia mesti dilakukan
dengan cara menemui untuk meminta diikhlaskan setelah
memberitahukannya, jika hak itu berkaitan dengan harta benda atau
berupa kejahatan terhadap dirinya atau diri pewarisnya. Sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi bahwa ia bersabda: "Barangsiapa pernah
melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik mengenai hartanya
maupun kehormatannya, maka hendaklah ia menyesaikannya hari ini
juga, sebelum dinar dan dirham tidak diperhitungkan lagi, kecuali
kebaikan dan kejelekan."
Jika kezhalimannya berupa mencela, mengumpat atau menuduh
berbuat zina, apakah di dalam bertaubat penuduh disyaratkan
memberitahukan kepada yang dituduh dan harus meminta kerelaannya
ataukah tidak perlu. Pendapat yang terkenal di kalangan madzhab
Syafi'i, Abu Hanifah, dan Malik mensyaratkan memberitahukan dan
meminta kerelaannya. Dengan alasan, bahwa di dalam kejahatan
terdapat dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia, maka bertaubat
darinya ialah dengan meminta pembebasan orang tersebut karena hal
itu merupakan haknya, dan menyesali apa yang terjadi antara dirinya
dengan Allah, karena ia juga merupakan hak Allah. Oleh karena itu,
taubat orang yang membunuh tidak akan sempurna melainkan dengan
memberikan wewenang mengambil tindakan terhadap dirinya kepada
ahli waris orang yang terbunuh tersebut. Jika suka ia bisa menuntut
qishas atau memaafkannya.
lain, masalah pribadi seperti membunuh, memfitnah, masalah perasaan seperti mengumpat, menggunjing, menuduh zina dan lain-lain, masalah kehormatan seperti mengkhianati kehormatan istri dan anak, dan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh sesat dan lain-lain. Kesemuanya hanya bisa diselesaikan dengan pengakuan terhadap orang tersebut, mengakui bahwa yang dituduhkan adalah kebohongan, meminta maaf dan mohon diikhlashkan, karena bersangkut paut dengan hak kemanusiaan. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66
123
Golongan kedua berpendapat tidak disyaratkan memberitahukan
apa yang dilakukannya itu, baik kezhaliman itu berupa menodai harga
dirinya, tuduhan, maupun umpatan, bahkan taubat itu cukup antara dia
dan Allah. Tetapi ia harus mencabut tuduhan dan membersihkan nama
baiknya di tempat-tempat yang pernah dipakai mengumpat atau
menuduh orang tersebut. Ia harus mengganti umpatan dengan pujian
dan sanjungan, atau menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Segala
tuduhan yang pernah dilontarkannya diralat atau dinyatakannya tidak
benar, kemudian meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah
dilakukannya tersebut. Demikian pendapat Ibn Taimiyah. Pendapat ini
didasarkan pada alasan bahwa pemberitahuan justru akan
menimbulkan mafsadat dan tidak mengandung maslahat sama sekali,
karena hanya akan menambah sakit hati, marah, dan sedih. Padahal
sebelum mendengar pemberitahuan itu, hati orang tersebut tidak
memper-masalahkannya. Tetapi setelah mendengarnya boleh jadi dia
tidak sabar menanggungnya, kemudian menimbulkan mafsadat pada
jiwa atau fisiknya. Pembuat syari'at tidak akan pernah membolehkan
hal seperti ini, apalagi mewajibkan dan memerintahkannya, karena
bertentangan dengan maksud pembuat syari'at untuk saling
menjinakkan antar hati manusia, saling mengasihi, saling menyayangi,
dan saling mencintai.182
Ada perbedaan antara hak yang bersangkut paut dengan
kejahatan non fisik seperti mengumpat dan lain-lain itu dengan hak
yang menyangkut harta benda dan kejahatan fisik. Memberitahukan
hak yang menyangkut harta benda, apabila –kemudian harta itu-
dikembalikan, kadang-kadang bisa mendatangkan manfaat. Maka tidak
182 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 411-412, Ia cenderung pada pendapat yang kedua. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66
124
boleh disembunyikan, karena ia murni haknya yang wajib dipenuhi.
Berbeda dengan mengumpat dan menuduh (berbuat zina atau
perbuatan jelek lainnya), karena memberitahukan hal itu tidak ada
manfaatnya sama sekali, melainkan hanya akan menimbulkan bahaya
dan membangkitkan kemarahan saja. Kedua hal tersebut jelas tak bisa
disamakan.183
e. Sabar Dan Memaafkan
Petunjuk yang senantiasa diberikan Allah kepada hambanya yang
tersesat, sehingga dengan petunjuk itu betrtaubatlah seorang hamba,
dan Allah pun menerima taubat itu, menunjukkan toleransi luar biasa
yang diberikan Allah kepada hambanya dan menunjukkan maha
pengampunnya Allah terhadap hambanya yang mau kembali. Oleh
karena itu, wajar jika kemudian Allah menuntut toleransi hamba
terhadap kesalahan hamba yang lain, dengan bersedia memberikan
maaf atas kejahatan yang diperbuat terhadap dirinya.
Allah berfirman dalam QS. Al-Syura (42): 37, "...Dan apabila
mereka marah, mereka memberi maaf.” Menurut Sayid Quthb, ayat ini
mendorong manusia bersikap toleran dan pemaaf serta menseyogyakan
kepada kaum mukminin agar apabila marah mereka memaafkan.
Namun demikian, Allah tidak membebani manusia melebihi
kekuatannya. Allah mengetahui bahwa marah merupakan emosi
manusia yang bersumber dari fitrahnya. Kemarahan bukan semata-
mata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama, kebenaran, dan
keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung
kebaikan. Karena itu, secara filosofis, esensi kemarahan tidak
diharamkan dan tidak dianggap sebagai kesalahan, bahkan
183 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan
Ruhani, h. 413,
125
eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui keberadaannya. Namun,
pada saat yang sama, manusia dituntut untuk dapat mengalahkan
kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Rasulullah, tidak
pernah marah demi dirinya sendiri, tetapi dia marah karena Allah.
Manusia hanya dituntut untuk memaafkan di saat marah,
membebaskan kesalahan orang tatkala mampu, dan mengatasi
keinginan untuk membalas selama persoalannya berada dalam tataran
pribadi yang berkaitan dengan masalah individual.184
Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam
hati menjadi mendidih. Jika gejolak ini sangat keras, maka ia berkobar
menjadi api kemarahan. Kalau mendidihnya darah dalam hati lebih
dahsyat lagi, seluruh urat syaraf dan otak terselimuti sehingga suasana
menjadi gelap gulita dan tidak ada tempat untuk berpikir.185
Oleh karena itu, menahan marah saja belum memadai. Karena,
adakalanya seseorang itu menahan marah tetapi masih dendam dan
benci. Sehingga, berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu
menjadi dendam yang terpendam dan tersembunyi. Padahal, sejatinya
kemarahan itu fitrah dan lebih bersih daripada dendam dalam hati.
Oleh karena itu, upaya menahan marah ini harus diikuti dan diakhiri
dengan memaafkan, berlapang dada, dan toleransi. Kemarahan akan
184 Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Jil. XIX, h. 328-330. Lihat juga Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1996), h. 62. Dengan mengutip Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ia menyatakan bahwa marah termasuk penyakit jiwa yang serius, walaupun pada situasi tertentu marah itu tidak tercela. Marah yang digolongkan penyakit jiwa yang serius adalah marah yang menyebabkan munculnya banyak sifat buruk dan perbuatan jahat.
185 Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, h. 62-66, Menurutnya, dengan mengutip al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk dapat menahan marah, pertama, dengan ilmu, yaitu dengan mengetahui pahalanya atau dosanya bila ia mampu atau tidak mampu menahan marah, mengetahui akibat marah akan memperbanyak musuh, mengetahui jeleknya orang marah yang seperti binatang, menyadari tidak ada gunanya balas dendam, dan menyadari bahwa marah terhadap sesuatu pada hakikatnya marah kepada Tuhan. Kedua, dengan amal perbuatan, yaitu membaca ta’awudz, jika belum reda, maka hendaknya duduk jika sedang berdiri, lalu merebahkan diri jika sedang duduk. Jika masih belum reda juga, maka hapuslah marah dengan berwudhu.
126
menyakitkan hati ketika ditahan dan kobarannya dapat menghanguskan
qalbu. Akan tetapi, ketika jiwa memaafkan dan hati mengampuni,
maka lepaslah ia dari sakit hati itu.
Secara historis, pada dasarnya watak bangsa Arab adalah keras,
namun dalam periode pertama dakwah, -karena faktor regional Mekah
dan karena adanya tuntutan untuk membina masyarakat muslim
generasi pertama- menuntut Nabi mengajarkan kepada para sahabat
agar menahan diri, meningkatkan kualitas pribadi dengan mendirikan
shalat, dan meningkatkan kualitas jamaah dengan menunaikan zakat.
Ada beberapa faktor yang mendorong dipilihnya cara berdamai
dan bersabar pada periode Mekah, di antaranya adalah pertama,
disakitinya kaum muslimin generasi pertama dan diujinya mereka agar
meninggalkan agama disebabkan oleh situasi politik dan sosial di
jazirah yang merupakan situasi kekabilahan. Karena itu, kelompok
yang menyakiti seorang muslim adalah keluarganya sendiri, jika dia
memiliki keluarga. Tidak ada keluarga, suku, dan kabilah lain yang
berani menyakiti seseorang dari keluarga, suku, dan kabilah lainnya.
Rasulullah tidak ingin terjadi pertengkaran dalam setiap keluarga
antara yang muslim dan yang non muslim. Maka, pendekatannya lebih
ditujukan pada pelunakan hati daripada mengasarinya.
Kedua, lingkungan masyarakat Arab merupakan masyarakat
yang satria yang siap membela pelaku kebenaran jika dia disakiti.
Sikap kaum muslimin yang tahan uji dalam memikul gangguan dan
keteguhan mereka dalam memegang akidahnya sangat menyentuh jiwa
satria dan menimbulkan simpati terhadap kaum muslimin. Ketiga,
lingkungan masyarakat Arab merupakan lingkungan perang dan cepat
menghunus pedang. Suku-suku yang istimewa tidak tunduk kepada
sistem. Keseimbangan individual yang ditekankan Islam menuntut
127
pengendalian emosi ini secara berkesinambungan, menaklukkannya
kepada tujuan, membiasakannya supaya bersabar, dan mengendalikan
suku serta memberinya rasa bangga karena memiliki akidah ini saat
meraih kemenangan dan keuntungan. Karena itu, seruan supaya
bersabar dalam menghadapi gangguan sangat sejalan dengan manhaj
pendidikan yang bertujuan menanamkan keseimbangan pribadi muslim
dan mendidiknya bersabar, teguh, dan pantang mundur. Faktor-faktor
di atas menuntut diterapkannya kebijakan berdamai dan bersabar di
Mekah serta pengokohan watak dasar masyarakat muslim secara
berkesinambungan.186
Khusus berkaitan dengan pelunakan sifat keras bangsa Arab dan
pengikisan kebiasaan berperang antar kabilah ini dengan ajaran sabar
dan maaf, Quraish Shihab, ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 134
"...Dan, orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan", menyatakan bahwa karena kesudahan peperangan adalah
gugurnya sekian banyak muslimin yang tentu saja mengundang
penyesalan bahkan kemarahan, maka sifat yang harus ditonjolkan
adalah mampu menahan marah, bahkan memaafkan kesalahan atau
kejahatan orang. Bahkan akan sangat terpuji bagi mereka yang berbuat
kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan, karena
Allah menyukai dan melimpahkan kebajikan bagi orang yang berbuat
kebajikan.187
Begitu pula ketika Rasulullah mengetahui gugurnya Hamzah Ibn
Abd al-Muthalib, apa lagi, setelah gugur, perutnya dibedah dan hatinya
dikunyah oleh Hind, Rasulullah bersabda: ”Jika Allah
186 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 331-331 187 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.
207
128
menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrik Quraisy
pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas dengan
kematian tiga puluh musyrik.” Ketika itu, Allah menegur Nabi dengan
firman-Nya dalam QS. Al-Nahl (16): 126 ”Jika kamu membalas, maka
balaslah dengan balasan yang persis sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” Kiranya ayat
tersebut tidak hanya berpesan kepada Rasulullah saja tetapi kepada
seluruh umat, mengingat yang sanak keluarganya terbunuh tidak hanya
sanak keluarga Rasulullah semata.188
Lebih lanjut, Quraish Shihab menerangkan bahwa dalam konteks
mengahadapi kesalahan orang lain, ayat di atas (ali Imran: 134)
menunjukkan tiga kelas manusia atas jenjang sikapnya. Pertama,
manusia yang mampu menahan amarah. Kata al-Kãzhimĩn
mengandung makna penuh dan menutupnya rapat-rapat, seperti wadah
air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini
mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati
yang bersangkutan, pikirannya masih ingin menuntut balas, tetapi hati
dan pikirannya itu tidak ia perturutkan dengan menahan marah
sehingga tidak keluar kata-kata buruk dan perbuatan negatif.
Kedua, di atas tingkat menahan marah adalah yang memaafkan.
Kata al-‘ãfĩn terambil dari kata dasar ‘afw yang biasa diterjemahkan
dengan maaf, selain dapat juga diterjemahkan dengan menghapus.
Seorang yang memaafkan orang lain berarti ia menghapus bekas luka
hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Jika
pada tingkatan pertama, orang yang bersangkutan mampu menahan
188 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.
207
129
marah meskipun hatinya masih sakit karena luka bahkan dendam,
maka pada tahap kedua ini, orang tersebut telah mampu menghapus
bekas luka itu, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Karena seolah-
olah tidak terjadi sesuatu, maka bisa jadi juga tidak lagi terjalin
hubungan di antara keduanya.
Maka tingkatan tertinggi adalah ketiga, orang yang tidak hanya
sekedar menahan marah dan memaafkan, tetapi justru berbuat baik
kepada orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya sehingga
terjalin kembali keharmonisan di antaranya. Demikianlah teladan dari
Rasulullah.189
Pada dasarnya, prinsip umum dalam kehidupan adalah "Balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” Inilah prinsip jinayat,
yakni keburukan dibalas dengan keburukan agar kejahatan tidak
melanda dan merajalela. Karena, manakala tidak ada pengekang yang
mencegah seseorang dari membuat kerusakan di bumi, maka dia dapat
melenggang dengan aman dan tenteram. Prinsip itu dibarengi dengan
anjuran memaafkan demi meraih pahala Allah, memperbaiki diri dari
kebencian, dan memperbarbaiki masyarakat dari kedengkian. Inilah
pengecualian dari prinsip di atas.
Perlu digarisbawahi, bahwa pemberian maaf hanya terjadi tatkala
seseorang mampu membalas keburukan dengan keburukan atau dalam
konteks peradilan adalah tatkala terpidana telah dinyatakan terbukti
bersalah di muka pengadilan dan tinggal menunggu vonis. Pada saat
itu, maaf memiliki bobot dan pengaruh dalam memperbaiki orang yang
melampaui batas. Tatkala orang yang melampaui batas mengetahui
bahwa maaf berubah menjadi toleransi dan bukan menjadi kelemahan
189 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.
207 208
130
yang mempermalukannya, dan dia merasa bahwa lawannya yang
memaafkan itu lebih mulia. Maka jiwa orang kuat yang memaafkan
menjadi bersih dan mulia dan jiwa yang dimaafkan terlunakkan oleh
maaf yang diberikan. Dalam kondisi ini, memberi maaf lebih baik
daripada membalas. Namun, tidak demikian jika dia lemah dan tidak
berdaya, maka maaf menjadi tidak ada artinya. Maaf justru menjadi
keburukan yang membuat pelakunya semakin ganas dan membuat
orang yang dizhaliminya semakin terhina, sehingga keburukan justru
semakin merebak di muka bumi.190
Yang penting dalam hal ini adalah sikap proporsional, yaitu
pengendalian diri, bersabar, dan toleransi dalam berbagai kondisi
ketika mampu membalas. Dengan demikian, bersabar dan toleransi
merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan dan kenistaan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Syura (42): 43 "Tetapi, orang
yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan."
2. Syarat-Syarat Mediator
Sebagaimana telah disinggung di muka ketika membahas tentang Qs.
Al-Hujurat:10-13, bahwa orang beriman dituntut untuk berperan aktif
dalam menyelesaikan konflik, khususnya bagi orang beriman yang tidak
terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya melibatkan
dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua kelompok
masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish Shihab, ketika
menafsirkan Qs. al-Hujurat: 10. Dengan demikian mendamaikan
pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara dua kelompok
yang sedang berkonflik, dengan melakukan musyawarah dan tawar
190 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 332-333. Lihat juga
bahasan bab III dari tesis ini tentang signifikansi ishlah dan posisi ishlah dalam jinayah.
131
menawar yang jujur dan sehat di antara semua pihak, dalam rangka
meredakan konflik adalah kewajiban atas orang beriman.191
Pada dasarnya, musyawarah adalah sifat khas umat Islam sejak awal
agama ini diajarkan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Syura
(42): 38"...Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di
antara mereka....".
Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum hijrah
yang berarti diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan
demikian, sifat suka bermusyawarah lebih melingkupi entitas seluruh
lapisan masyarakat muslim daripada sekadar melingkupi entitas
pemerintahan Islam saja. Musyawarah merupakan karakter masyarakat
Islam dalam segala kondisinya, sebelum maupun sesudah berdirinya
pemerintahan Islam dengan konsepnya yang khas di Madinah. Dan dalam
kenyataannya, dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali
pemunculan tabiat masyarakat Islam dan karakteristik individunya yang
demokratis. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya
dalam merealisasikan ajaran Islam dan melindungi kehidupan individu dan
masyarakat secara luas.192
Karena itu, oleh Nabi, watak musyawarah ditegakkan sejak dini
dalam masyarakat sehingga makna musyawarah lebih luas dan dalam dari
pada sekedar mencakup pemerintahan dan segala aspek hukumnya.
Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan indikator
istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain. Dan
watak inilah yang mendasari perlunya proses mediasi dalam mendamaikan
dan merukunkan kembali dua orang atau kelompok yang berselisih.
Dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10, Allah berfirman:
191 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13, h. 247
192 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 322
132
“Jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu dan bcrtakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."
Ayat ini mencerminkan kaidah umum yang ditetapkan untuk
memelihara kelompok Islam dan masyarakat secara umum dari
perpecahan dan perceraiberaian. Kaidah itu pun bertujuan meneguhkan
kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Yang menjadi pilar bagi semua ini
ialah ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan
menegakkan keadilan dan perdamaian.
Al-Qur'an menghadapi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya
perang antara dua kelompok mukmin. Mungkin salah satu kelompok itu
berlaku zhalim atas kelompok lain, bahkan mungkin keduanya berlaku
zhalim dalam salah satu segi. Namun, Allah mewajibkan kaum mukminin
lain, tentu saja bukan dari kalangan yang bertikai, supaya menciptakan
perdamaian di antara kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya
bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran,
misalnya kedua kelompok itu berlaku zhalim dengan menolak untuk
berdamai atau menolak unluk menerima hukum Allah dalam
menyelesaikan aneka masalah yang diperselisihkan, maka kaum mukminin
-dalam hal ini oleh penengah yang kuat, yang biasanya merupakan wakil
pemerintah- hendaknya menindak kelompok yang zhalim tersebut hingga
mereka kembali bersedia menghentikan permusuhan di antara kaum
mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang
mereka perselisihkan. Jika pihak yang zhalim telah menerima hukum
133
Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan per-
damaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai wujud
kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaan-Nya.
Penyelenggaraan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang
cermat ini perlu dilakukan mengingat telah terjadi penindakan oleh
mediator terhadap kelompok yang sempat membangkang. Penindakan ini,
di samping membuat pihak pembangkang tersebut “secara agak terpaksa”
mengikuti hukum yang diterapkan mediator, tentu telah menimbulkan efek
psikologis tertentu yang diakibatkan oleh ancaman bahkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh mediator dalam rangka membuatnya patuh.
Oleh karena itu, jika perdamaian kurang dilakukan dengan cermat
sehingga jaminan keadilan dan keterwakilan kepentingan kedua pihak
tidak terpenuhi sehingga muncul kembali kekecewaan, maka perdamaian
tersebut bisa jadi tidak akan bertahan lama, bahkan berulang kembali
pertikaian dalam skala yang lebih besar.
Kewajiban menjadi penengah dalam menyelesaikan pertikaian secara
damai ini dapat dilacak akar historisnya. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bab dua, bahwa sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah adalah
seorang arbiter, begitu pula setelah menerima wahyu. Dan bahwa ishlãh,
baik dalam bentuk arbitrase maupun yang lain tidak terbatas di antara
kaum muslimin saja tapi juga antara kaum muslim dengan non muslim.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Rasulullah pernah melakukan arbitrase
dengan Yahudi Bani Quraizhah dengan menunjuk seorang arbiter/mediator
yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, meskipun dapat disayangkan bahwa
di kemudian hari, arbitrase ini dilanggar oleh salah satu pihak yang
berbuntut pengusiran.193
193 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-234. Khadduri menyebutnya arbiter. Penulis menyamakan istilah arbiter dengan mediator, di samping menyamakan dua istilah ini dengan hakam. Karena inti pekerjaan mereka sama, yaitu
134
Berkaitan dengan posisi arbiter ini, Majid Khadduri menetapkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang arbiter, yaitu pertama,
harus orang yang jujur yang reputasinya diketahui secara luas. Kedua,
keadaan dan sasan-sarannya dapat diterima oleh kedua belah pihak yang
dibuktikan dengan dipilihnya ia oleh kedua belah pihak secara bebas dan
tanpa paksaan, dan ketiga, mampu berbuat atau memutuskan secara adil.
Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan memutuskan perkara yang
bersangkut paut dengan orang tua atau keluarganya.194
Secara konseptual, selain keterangan ayat di atas, dalam khazanah
hukum Islam, sebenarnya para juris Islam juga tidak membatasi wilayah
Negara hanya sebatas dãr al-Islãm dan dãr al-harb saja, tetapi juga
menawarkan sebuah konsep dãr al-‘Ahd atau dãr al-Shulh yaitu negara
yang sedang dalam perjanjian (damai) dengan Negara Islam. Meskipun
pada prinsipnya Negara bentuk ketiga ini tidak begitu diakui keberadaanya
oleh para ahli hukum Islam, namun karena Negara dalam bentuk ini
memang ada, maka secara faktual hal ini membuktikan adanya –apa yang
disebut oleh Khadduri sebagai- dãr al-hiyad atau world of neutrality.
Salah satu contohnya adalah Ethiopia yang merupakan Negara non-
muslim yang memiliki kategori Negara netral yang dengan demikian
memiliki kekebalan terhadap konsep jihad.195 Berangkat dari kriteria
arbiter/mediator yang diberikan oleh Khadduri, penulis akan
membahasnya lebih lanjut.
mendamaikan dua pihak yang berseteru secara damai dan musyawarah hingga tercipta ishlah, baik arbiter/mediator/hakam hanya seorang saja atau terdiri dari dua orang atau kalau perlu merupakan sebuah tim.
194 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 234. Menurut hemat penulis, ada beberapa syarat seorang arbiter atau mediator yang perlu diberikan penekanan, yaitu seperti syarat reputable mesti diberikan penekanan berupa kedudukan yang kuat secara politik maupun sosial -yang berupa jaringan yang luas di masyarakat- sehingga dihormati oleh kedua pihak, serta cerdas dan pandai dalam membaca situasi dalam rangka penyelesaian konflik secara lestari.
195 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 251-253
135
Meskipun kedudukannya dalam ishlãh bukan sebagai rukun, namun
keberadaannya dalam menyelesaikan konflik tertentu amatlah penting,
maka perlu dibahas mengenai syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh
mediator demi suksesnya ishlãh yang hendak dilakukan. Syatrat-syarat
mediator dapat terdiri atas:
a. Adil
Al-Thabari menerangkan bahwa di antara sikap adil adalah
pengakuan kepada Dzat yang memberikan segala anugerah kepada
kita, berterima kasih kepada-Nya dan meletakkan segala pujian
kepadanya. Sementara itu berhala-berhala tidak punya apa pun yang
menjadi alasan kita mengarahkan sikap-sikap tersebut kepada mereka.
Karena itu, syahadat (yang arti pertamanya adalah penafian segala
berhala atau tuhan model apa pun, dan arti keduanya peneguhan
keyakinan, itsbat, kepada Yang Satu) merupakan tindakan fair
pertama. Dengan demikian, adil bisa diartikan dalam pengertian
"seharusnya", "selayaknya", "semestinya". Seperti kalau kita
menganggap tidak adil orang yang menuntut seorang bocah
memecahkan masalah orang dewasa. Jadi, adil adalah meletakkan
sesuatu di tempatnya, yang merupakan kebalikan dari kata zhalim.
Dengan begitu, tindakan mencegah perbuatan keji, kemungkaran dan
tindak agresif termasuk tindakan adil. Dalam artian ini, dapat
dikatakan bahwa adil merupakan suatu keniscayaan hidup.196
Ibn al-'Arabi melihat keadilan dalam tiga posisi. Pertama, dalam
hubungan hamba dengan Tuhannya, ia tampak kalau si hamba
mengutamakan hak Allah dibanding haknya sendiri, mendahulukan
keridaan-Nya di atas hawa nafsunya, serta meninggalkan segala yang
196 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 345
136
dilarang dan menunaikan segala perintah. Kedua, dalam hubungan si
hamba dengan dirinya, adil berarti melarang diri sendiri dari semua
yang mengandung bahaya dan kebinasaan. Sedangkan ketiga, adil
dalam hubungan dengan makhluk lain teraplikasi dalam tindakan
seperti pemberian urun rembuk, penghindaran diri dari laku khianat,
ketulusan dalam segala hal, tidak berbuat buruk kepada seseorang baik
dengan kata-kata maupun tindakan, baik secara sembunyi maupun
terang-terangan, kesabaran menerima tindakan buruk mereka, dan
meninggalkan perbuatan yang mengganggu.197
Dengan demikian, adil tidak hanya menyangkut akidah,
keberislaman, dan akhlak, melainkan juga seluruh segi pelaksanaan
kehidupan duniawi –yang dalam lingkup jinayat- seperti dalam
keputusan Juris yang adil terhadap kasus yang dihadapinya, yaitu
berupa penjatuhan vonis yang benar. Maka, dalam konteks ishlãh,
seorang mediator harus dapat menempatkan sesuatu selayaknya, adil,
dan tidak berat sebelah.
Selain sebagai sebuah keniscayaan, adil adalah sikap berimbang
dalam segala sesuatu. Perimbangan alam ini sendiri berarti keadilan.
Keindahan musik, kecantikan wajah, mustahil mewujud tanpa
perhitungan yang cemerlang dan kerangka yang sempurna.
Khususnya dalam hal pembalasan jinayat. Jika baik, maka baik.
Jika buruk, maka buruk. Syafi'i melukiskan keadilan sebagai
perimbangan dalam konteks hukum ini dengan sangat tepat. Bahwa
seorang hakim wajib menyamakan perlakuan kepada para pihak dalam
lima hal, yaitu dari mulai cara masuk, derajat tempat duduk, cara
berdialog dengan hakim, pemberian perhatian hakim kepada masing-
masing pihak, dan dalam penjatuhan vonis. Di samping itu, hakim
197 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 347
137
tidak dibolehkan mempengaruhi salah satu pihak maupun saksi, tidak
pula mereka boleh mempengaruhi hakim. Tidak boleh hakim menjamu
salah satu pihak tanpa kehadiran yang lain atau menghadiri perjamuan
salah satunya selama mereka masih dalam perkara di pengadilannya.
Di situ terlihat, keadilan sebagai keseimbangan mewujud dalam
prosedur, dan selanjutnya dalam vonis. Vonis dikatakan adil jika
berdasarkan keberimbangan proses dan prosedur.198
Dalam sebuah kasus pidana maupun perdata, maka hakim
memegang peranan utama (dalam kasus ishlãh, maka mediator yang
memegang peran utama). Oleh karena posisi yang strategis itu, maka
tidak diperbolehkan terdapat sentimen pribadi kepada salah satu pihak
sehingga mendorong untuk berlaku tidak adil terhadap mereka, bahkan
lalu berbuat semena-mena.199
b. Reputabel
Reputasi yang baik dan didukung oleh kekuatan yang memadai
dapat memberi kekuatan tersendiri bagi mediator. Oleh karena itu, QS.
al-Hujurat (49): 9-10 di atas mengisyaratkan -jika perlu- pemerintah
yang langsung turun tangan dalam mendamaikan kedua belah pihak.
Sebagaimana telah diterangkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan
dengan terjadinya pertengkaran antara suami istri yang melibatkan
kabilah masing-masing. Ayat tersebut juga dalam rangka menanggapi
198 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 348-349 199 Muhammad Ali al-Shabuni, Cahaya al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-al-
An’am, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Jil. 1, h. 259-260
138
pertengkaran antara suku ‘Aus dan Khazraj yang dipicu oleh Ibn Ubay,
yang kemudian berhasil didamaikan oleh Rasulullah.200
Dalam beberapa hal, -jika diperlukan- mediator perlu bertindak
tegas dan jika perlu melakukan show of force terhadap salah satu pihak
yang “membandel” apalagi menyalahi kesepakatan. Salah satu contoh
ketegasan ini adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
terhadap pengingkaran perjanjian yang disepakati melalui arbitrase
antara Rasulullah dengan Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi
Madinah. Pengusiran adalah resiko yang mereka hadapi sebagai akibat
pengkhianatan mereka. 201
Dalam konteks Indonesia, ketika konflik Poso belum sepenuhnya
reda, panglima TNI memutuskan untuk menggelar latihan gabungan
pasukan pemukul reaksi cepat pada seluruh elemen pasukan TNI dan
Polri di Poso. Latihan tersebut, ternyata menimbulkan efek psikologis
yang positif. Bahwa masyarakat Poso dapat melihat dengan mata
telanjang, bagaimana jika pasukan reaksi cepat melakukan aksinya,
jauh lebih cepat, tangkas, dan mungkin lebih kejam dibandingkan
dengan aksi brutal yang telah mereka lakukan selama kerusuhan.
Demikian pula ketika mereka melihat hebatnya para penerjun dari
Kopassus dan pasukan khusus angkatan udara, serta dahsyatnya
gerakan dan gempuran pasukan marinir yang melakukan pendaratan di
pantai sekitar Poso.202
200 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13,
h. 246. Dalam kesempatan pertengkaran yang lain, gambaran sengitnya pertengkaran antara dua suku tersebut dilukiskan oleh ‘Aisyah RA. yang mengatakan: ”Dua kubu itu lalu bergerak (karena marah), Aus dan Khazraj, hingga mereka hampir saling membunuh, sementara Rarulullah berdiri di atas mimbar dan terus-menerus menurunkan emosi mereka hingga mereka diam (reda), dan ia pun diam.” Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 199
201 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234 202 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 71
139
Adapun contoh paling ideal tentang reputasi dan kecerdasan
seorang mediator adalah keberadaan Nabi mendamaikan dua suku
’Aus dan Khazraj. Dalam masa kurang dari 10 tahun, sejak awal
dakwah Nabi di Madinah sampai hari wafatnya, permusuhan dan
perang yang sudah 120 tahun di antara kedua kabilah boleh dikatakan
habis sama sekali.
Kecerdasan Nabi dalam hal ini adalah dalam melihat bahwa di
samping pada dasarnya mereka sendiri sudah capek dan bosan dengan
perseteruan yang tiada habisnya, juga strategi Nabi dengan membina
persaudaraan baru di antara mereka, bahwa seorang pendatang
(muhajir) dari Mekah dipertalikan dengan saudaranya yang baru,
anshar (penolong) di Madinah lewat suatu ikrar, dan dengan demikian
sang imigran memperoleh perlindungan. Maka, jika saudaranya yang
baru datang dari jauh mereka sambut dengan begitu mesra, apalagi
saudara mereka yang memang satu keturunan dan satu tanah air.203
Di samping itu, Nabi menetapkan bahwa agama yang ia bawa
mensyaratkan kaum muslim menanamkan penghargaan pada orang
lain sebagai individu dengan berbagai hak yang melekat padanya.
Ajaran yang merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat
Yatsrib -dan masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi-
menjadi masyarakat baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa
keberhasilan seseorang atau suatu golongan tidak selalu berarti
kerugian bagi orang atau kelompok lain. Hal ini dapat terbaca dari isi
sumpah setia mereka terhadap Nabi di ‘Aqabah.204
203 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 251. LIhat
juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 194
204 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200
140
Keadilan dan reputasi yang baik sebagaimana disebutkan di atas
sangat penting karena keputusan yang diambil oleh mediator memiliki
konsekuensi hukum tersendiri bagi para pihak, khususnya ketika
mediator berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.
Dalam hal mediator gagal mendamaikan kedua pihak, maka
menurut Malik dan Ahmad, mediator mempunyai hak untuk
menetapkan hukum, dan hukum yang ia tetapkan harus dipatuhi kedua
pihak, demikianlah Allah menamai mereka hakam (arbiter). Adapun
Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan yang ia ambil
tidak berkonsekuensi harus dipatuhi oleh kedua pihak. Hakam hanya
bertugas mendamaikan tidak lebih dan tidak kurang.205
E. Penerapan Ishlãh dalam Konflik Sosial di Indonesia
1. Sebab Konflik (Khususnya di Indonesia Timur)
Dalam konteks Indonesia pasca reformasi, baik negara maupun
komunitas sipil dalam keadaan lemah tidak berdaya. Sebagaimana
diketahui, bahwa pada masa orde baru keberadaan negara sangat dominan
sedangkan komunitas sipil terpinggirkan. Negara merambah segala aspek
kehidupan masyarakat dan berperan dominan di dalamnya dengan
meninggalkan lembaga-lembaga yang asli muncul dari masyarakat bawah
yang seharusnya terlibat secara langsung membina masyarakat termasuk
dalam mengelola konflik dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya
menjadi semacam bom waktu yang siap meledak, yaitu ketika kondisi
negara melemah maka komunitas sipil pun tidak lagi memiliki kekuatan
mengelola masyarakat dan berbagai konflik di dalamnya.
205 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13, h.
413
141
Berbagai bom waktu tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa
hal sebagai berikut.206 Pertama, ketidakadilan dan marjinalisasi ekonomi
yang berdimensi vertikal antara pusat dengan daerah (Aceh, Riau,
Kalimantan Timur dan Papua) dalam hal penjarahan surplus daerah baik
dari hasil SDA maupun dari hasil industri, dan juga ketidakadilan ekonomi
vertikal sekaligus horisontal antar kelas sosial dalam masyarakat.
Celakanya, ketidakadilan ekonomi ini melibatkan kelompok etnis dan atau
antar kelompok agama. Contoh konkret yang langsung dapat ditunjuk
adalah antara suku Dayak dengan non Dayak di Kalimantan yang
kemudian mengakibatkan tragedi Sampit, antara suku-suku pendatang
Muslim dengan penduduk asli baik di Poso Sulawesi Utara maupun di
Maluku Tengah khususnya Ambon.
Kedua, ketidakadilan dan marjinalisasi politik. Penggalangan
kekuatan politik di masa Orba hanya dilakukan di tingkat elit saja. Rakyat,
baik di kota apalagi di desa, biasanya diberi peran hanya jika ”diperlukan”
khususnya ketika menjelang Pemilu. Kelompok-kelompok suku dan
agama di Kalimantan, Poso, dan Ambon tersebut di atas juga tertimpa
marjinalisasi politik. Suku Dayak termajinalisasi dari posisi-posisi
strategis pemerintahan lokal dan politik lokal. Demikian juga umat Kristen
di Maluku mengalami hal yang serupa setelah Gubernur Akip Latuconsina
terpilih di tahun 1992. Di Poso, konflik komunal di wilayah ini berawal
dari dilanggarnya prinsip power sharing dalam pemerintahan yang
dipegang teguh sebelumnya.
Marjinalisasi politik berskala nasional yang sangat signifikan adalah
marjinalisasi kelompok Islam garis keras yang menolak asas tunggal.
206 Keterangan lengkap mengenai bom waktu ini, lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik
Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, dalam Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 12-15
142
Marjinalisasi politik yang disertai dengan penanganan tangan besi
tcrhadap kelompok ini mempunyai akibat buruk. Kelompok garis keras
ini beroperasi di bawah tanah atau mengungsi ke luar negeri dan
membangun jaringan regional yang lebih luas yang dikenal sekarang ini
dengan nama Jamaah Islamiyah.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam proses marjinalisasi politik dan
ekonomi ini, peran militer sangat dominan. Sebagaimana diketahui bahwa
aparat kepolisian, dan lebih-lebih lagi aparat militer berfungsi tidak lebih
sebagai "alat gebuk" rezim. Militer, khususnya Kopassus, pada saat yang
sama juga diperkuat posisi tawarnya di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan diizinkan untuk mendirikan berbagai yayasan untuk
tujuan penggalangan dana, juga adanya hadiah jabatan pangdam yang
kemudian biasanya dipromosikan menjadi gubernur. Hal ini terbukti
bahwa hampir semua pangdam dan gubernur di masa Orde Baru berasal
dari kesatuan khusus ini.
Ketiga, ketidakadilan dan marjinalisasi sosial budaya. Hal ini
mewujud dalam penghancuran sistem pemerintahan desa di luar jawa
dengan menyeragamkannya dengan model desa di jawa sehingga kaitan
yang erat antara struktur sosial desa dengan struktur pemerintahan desa
terputus. Sebagai contoh, struktur nagari di Sumatera Barat, Huta di
Sumatera Utara, dan negeri di Maluku Tengah lebih terkait ke atas
mengikuti jenjang pemerintahan dari pada ke bawah ke masyarakat
desa.207 Juga terjadi penghancuran lembaga adat sebagai perekat sosial
yang diakrabi warga, dan pengikisan identitas budaya dari suku-suku
tertentu.
207 Lihat Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan
Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program Isu, 2003)
143
Keselurunan bom waktu di atas mendapatkan momentumnya untuk
berkecamuk ketika negara melemah, sehingga tidak mampu menunaikan
tugasnya yang paling pokok, yaitu melindungi warganya. Celakanya,
berbagai lembaga pengelola konflik yang diasuh oleh masyarakat
(khususnya di Indonesia Timur) telah serta merta lemah sehingga negara
dan masyarakat gagal mendeteksi, mengantisipasi, dan mencarikan suatu
jalan keluar yang memuaskan bagi pihak-pihak yang bertikai.
2. Struktur Masyarakat di Indonesia Bagian Timur
a. Struktur kesukuan
Dari aspek struktur kesukuan, mozaik Nusantara ini terbagi
menjadi dua bagian utama, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia
Timur.208 Ada beberapa perbedaan mencolok antara dua daerah ini.
Pertama, dari 656 suku di seluruh nusantara, hanya 109 suku yang
berada di Indonesia bagian Barat, sementara 547 suku berada di
Indonesia bagian Timur dengan 300 suku di antaranya berada di
Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman
suku dan budaya di Indonesia Timur jauh lebih beragam. Kedua, Di
Indonesia terdapat beberapa suku besar dan dominan yang terdiri dari
Aceh, Batak, Minang, Sunda, Jawa, madura, Bali, dan Bugis. Dari
susu-suku itu, hanya suku Bugis yang berada di Indonesia Timur. Suku
208 Pernbelahan sosial budaya yang dilakukan di sini mengelompokkan Jawa dan Sumatera
ke dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Barat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua tercakup dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Timur. Klasifikasi ini didasarkan pada Wallace Line yang membagi Indonesia dalam dua hagian berdasarkan ciri-ciri fauna dan floranya. Indonesia Barat meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan mengikuti ciri-ciri fauna dan flora Asia, sedangkan Indonesia Timur meliputi Sulawesi ke arah Timur ke Maluku sampai dengan Papua yang sangat mirip dengan fauna dan flora Australia. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 17. Ia sedikit merubah Wallace Line ini dengan memasukkan Kalimantan ke dalam pola Indonesia Timur, karena yang dijadikan dasar pembagian adalah perbedaan pola sosial budayanya.
144
bugis inilah yang secara dominan mewarnai situasi khususnya politik
dan ekonomi di Indonesia Timur baik yang berakibat positif maupun
negatif. Ketiga, Setiap suku di Indonesia Barat minimal mendiami satu
propinsi secara dominan, sedangkan di Indonesia bagian Timur, dalam
satu kecamatan saja dapat ditemukan lebih dari sepuluh suku yang
hidup bersama. Kondisi ini menyebabkan potensi konflik antar suku
bahkan disintegrasi bangsa lebih mungkin terjadi di Indonesia bagian
Timur daripada di Indonesia bagian Barat. Jika disintegrasi benar-
benar terjadi, maka Indonesia bagian Barat akan berubah menjadi
bongkahan-bongkahan entitas baru sedangkan Indonesia bagian Timur
akan berubah menjadi serpihan-serpihan satuan politik. Akibat
selanjutnya dari disintegrasi di Indonesia Timur adalah upaya saling
menghabisi antar suku/agama demi penguasaan wilayah.209
b. Distribusi Wilayah Agama.
Distribusi umat beragama di Indonesia juga mengikuti suatu pola
tertentu. Indonesia Barat pada umumnya didiami oleh umat Islam
dengan beberapa kantong pemukiman umat Kristen seperti di wilayah
Tapanuli Utara, beberapa kantong di Kalimantan dan juga di Jawa
Tengah dan Timur. Wilayah umat Protestan utama terdapat di
Sulawesi Utara, Toraja, Maluku Tengah (sekitar 35%) serta di Papua
bagian utara. Umat Katholik lebih terkonsentrasi di bagian selatan dari
Indonesia Timur mulai dari pulau Flores dan Timor terus ke arah
Timur ke wilayah Maluku Tenggara dan akhirnya berhenti di Papua
bagian selatan. Baik di Indonesia Barat, dengan pengecualian suku
Jawa dan Batak, apalagi di Indonesia Timur, suku seseorang kadang-
209 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 19
145
kadang dapat secara langsung memberitahukan agama yang dianut
oleh orang tersebut, khususnya Maluku dan Sulawesi.
Para pendatang di Maluku dan Papua pada umumnya beragama
Islam sedangkan para pendatang di Poso terdiri dari mereka yang
beragama Protestan maupun mereka yang beragama Islam. Mereka
yang disebut pertama pada umumnya berasal dari wilayah Toraja yang
masuk ke Poso dari arah selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud
yang memasuki Poso dari arah utara. Pendatang Muslim memasuki
Poso baik dari arah selatan, yaitu suku Bugis yang telah mulai
bermigrasi ke Poso sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo
dari arah utara. Karena Itu, wifayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta
wilayah Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-
desa Islam berselang-seling bertetangga di satu pihak sedangkan
wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan
dengan baik wilayah Poso Pesisir maupun wilayah Kota Poso serta ke
Barat Utara ke wilayah Lore Utara dan Lore Selatan sangat didominasi
oleh mayoritas Protestan.
Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah
dari wilayah Poso terjepit baik dari arah utara maupun dari arah selatan
di mana proporsi umat Islam semakin membesar mendekati proporsi
umat Kristen. Keadaan ini paga gilirannya melahirkan rasa
keterancaman persis seperti yang dialami oleh umat Kristen di
Halmahera Utara. Konflik dengan kekerasan lebih banyak terjadi di
wilayah di mana tidak ada kelompok dominan dari segi suku maupun
agama, ataupun yang selisih antara kedua umat itu sangat tipis. 210
210 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 20. Mengenai kondisi sosial budaya, ekonomi, serta kondisi demografis yang mengakibatkan konflik di Halmahera, lihat Henry H. Sitohang dkk., Menuju Rekonsiliasi di Halmahera, (Jakarta: PPRP, 2003)
146
c. Tingkat Pendidikan
Dari segi tingkat pendidikan, tingkat pendidikan penduduk
Indonesia berkorelasi dengan aktif tidaknya misi-misi agama di
wilayah tertentu. Di wilayah di mana misi agama Islam, khususnya
Muhammadiyah sangat aktif seperti di Sumatera Barat, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Yogyakarta serta Sulawesi Selatan, tingkat
pendidikan umat Islam di sana sangat tinggi. Sebaliknya, di wilayah-
wilayah di mana Muhammadiyah tidak aktif seperti di jawa Barat,
tingkat pendidikan umat Islam di sana sangat rendah. Demikian juga
berlaku untuk wilayah-wilayah di mana misi Kristen, baik Protestan
maupun Katholik sangat aktif seperti wilayah Flores dan beberapa titik
di NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah serta Maluku Tengah,
tingkat pendidikan umat Kristen di sana sangat tinggi. Keadaan
sebaliknya tidak berlaku buat umat Kristen karena tidak ada wilayah
Kristen di mana misi Kristennya tidak aktif bergiat dalam bidang
pendidikan. Tidak ditemui kesenjangan tingkat pendidikan antara umat
Kristen dengan umat Islam di Sulawesi, dan Poso pada khususnya.211
Kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaran dari suku dan
agama (baik yang merupakan suku dan agama asli maupun pendatang)
yang kemudian berbagai kondisi itu saling berkait satu sama lain, dalam
jangka panjang telah merubah wajah masyarakat setempat di Indonesia
Timur, termasuk ketika menimbulkan efek negatif berupa konflik
horisontal antar anggota masyarakat yang berbeda suku dan agama.
3. Upaya Ishlãh yang Telah Dilakukan (Contoh Poso)
211 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 21
147
Upaya ishlãh ini diawali adanya perkembangan positif dalam
konteks lokal, yaitu munculnya kesadaran yang tulus dan inisitif
perdamaian dari kedua belah pihak untuk kemudian meminta kepada
pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) mengupayakan
perdamaian di Poso. Lobi ini disambut dan ditindaklanjuti oleh Menko
Polkam dan Menko Kesra, Yusuf Kalla. Di samping itu, dalam lingkup
nasional, kondisi pemerintahan telah mulai stabil.212 Lebih dari itu, pada
tataran internasional ada tekanan dari pihak Amerika Serikat agar
Indonesia segera menghentikan berbagai perang komunal yang dapat
dijadikan sebagai tempat latihan dan tempat rekrutmen anggota baru oleh
jaringan teroris regional yang digalang kelompok Islam garis keras. Dalam
bingkai berbagai konteks yang kondusif seperti diuraikan di atas barulah
upaya perdamain dalam pertemuan Malino dapat berlangsung.
Sebagai mediator dari pemerintah, Jusuf Kalla selain sebagai
pebisnis juga sekaligus seorang politisi Golkar asal Bugis yang telah
berhasil membangun sejumlah jaringan di wilayah Sulawesi. la
mempunyai jaringan bisnis, sosial, dan politik yang luas dan loyal -
termasuk di kalangan PPP- yang telah mengakar lama. Jaringan yang luas
dan kuat inilah yang dimanfaatkannya dalam proses perdamaian Malino.
Keberanian mengambil risiko yang melekat pada dirinya sebagai seorang
pebisnis berpengalaman, juga kemampuan berkomunikasi dengan bahasa
sederhana dengan para pemimpin lapangan kedua belah pihak, juga ikut
menyumbang suksesnya deklarasi Malino.
212 Hal ini ditandai dengan telah usainya pertarungan elit politik di Jakarta dengan
diturunkannya Abdurrachman Wahid sebagai presiden, dan militer telah merasa aman karena terakomodasi dalam kabinet Megawati pada posisi-posisi strategis, serta keinginan presiden Megawati kala itu yang menginginkan NKRI tetap utuh dan hanya militer yang dapat menjamin itu. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 29-30
148
Dalam proses perdamaian, delegasi muslim mengusulkan sembilan
item perdamaian yang harus dipatuhi kedua belah pihak, sementara
delegasi Kristen tidak mengusulkan poin apapun karena mereka memang
siap untuk berdamai tanpa syarat. Kesembilan item usulan dari delegasi
muslim itu diberi judul “Permufakatan Muslim Poso di Malino” yang
berisi pertama, menghentikan upaya provokasi dan penyerangan terhadap
umat Islam yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, harta benda dan
pengungsian. Kedua, menerima kehadiran aparat keamanan dalam rangka
menciptakan suasana yang kondusif. Ketiga, penegakan supremasi hukum.
Keempat, menghentikan campur tangan asing dan upaya mendatangkan
intervensi negara asing. Kelima, belum saatnya memberlakukan darurat
sipil dan tindakan represif. Keenam, Sinode GKST dan Crisis Center
segera menghentikan fitnah dan upaya pemutarbalikkan fakta terhadap
umat Islam. Ketujuh, mengembalikan hak-hak kaum muslimin termasuk
menjalankan ajaran agama dengan baik. Kedelapan, setiap warga negara
Republik Indonesia berhak untuk tinggal di mana saja dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk di bumi Poso. Kesembilan, apabila
permufakatan ini dilanggar maka umat Islam siap jihad fisabilillah.213
Pada 19 Desember 2001, semua delegasi menuju Malino yang
berada di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan wisata
yang berudara dingin dan sejuk, serta berjarak sekitar 80 Km dari Kota
Makassar itu berlangsung perundingan delegasi Muslim dan Kristen dalam
rangka mewujudkan perdamaian.214
213 Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 77
214 Mengenai proses perundingan itu secara sekilas, lihat foot note no. 164. Setelah delegasi
Islam membacakan “Permufakatan Muslim Poso di Malino”, Yusuf Kalla menanyakan tiga kali kepada delegasi Kristen, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia berkata: ”Sekarang anda semua sebagai anggota delegasi telah bersepakat merancang suatu upaya untuk mencapai perdamaian. Maka tiba saatnya untuk merancang naskah perdamaian .” Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 79
149
Kemudian dibentuk tim perumus untuk merancang naskah
perdamaian (Deklarasi Malino Untuk Poso). Tim Perumus itu berjumlah
tiga orang, Sulaeman Mamar mewakili pihak Islam, Pendeta J. Santo
mewakili pihak Kristen dan Hamid Awaludin mewakili pemerintah. Saat
itu pula dibentuk Komisi Keamanaan dan Penegakan Hukum yang
dipimpin oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjend. Zainal Abidin Ishak,
serta Komisi Sosial Ekonomi.
Tim perumus itu akhirnya menghasilkan 10 poin kesepakatan yang
diberi nama ”Deklarasi Malino Untuk Poso.” Sepuluh poin itu kemudian
dibacakan oleh Jusuf Kalla di hadapan seluruh delegasi untuk diberikan
persetujuan. Setelah semua delegasi setuju, maka diketoklah palu sidang
pertanda kesepakatan telah tercapai. Selanjutnya dilakukan
penandatanganan deklarasi yang dilakukan secara berpasang-pasangan
antara delegasi Muslim dan Kristen. Masing-masing delegasi berjabatan
tangan dan saling peluk sebagai simbol perdamaian.215
Sepuluh poin Deklarasi Malino itu berisi:
a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung
pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga
keamanan.
d. Untuk terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan
darurat sipil, serta campur tangan pihak asing.
e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua
.pihak dan menegakan sikap saling menghormati dan memaafkan satu
sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
215 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur, h. 80
150
f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal
secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan
perselisihan berlangsung.
h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing.
i. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana
ekonomi secara menyeluruh.
j. Menjalankan syariah agama masing-masing dengan cara dan prinsip
saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui,
baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan
ketentuan-ketentuan lainnya.
4. Peluang Ishlãh
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,
bahwa upaya ishlãh dalam Islam merupakan jalan panjang dalam
memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak khususnya karena konflik
dan permusuhan menuju tujuan akhir yaitu terwujudnya masharakat yang
shãlih dan bertakwa. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan demi
terciptanya ishlãh secara lestari –yang merupakan isi dari mushãlih 'alaih-
adalah meliputi menjauhi prasangka buruk dan hinaan antar anggota
masyarakat khususnya yang pernah berkonflik, menciptakan keadilan
dalam masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, mempererat
silaturrahmi dalam rangka rehabilitasi situasi, kemauan keras untuk
bertaubat dari segala kesalahan dan kejahatan dengan tidak mengulangi
perbuatan itu dan menggantinya dengan perbuatan yang lebih baik
(ishlãh), dan kesediaan untuk memaafkan pihak lain yang telah berlaku
151
salah dan jahat dengan (jika perlu) disertai kemauan untuk berbuat
kebajikan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan itu.
Di samping itu perlu diperhatikan pula terpilihnya mediator yang adil
dan kuat. Mediator hendaknya tidak hanya pihak yang ikhlas berkeinginan
untuk memediasi, tetapi juga harus memiliki kapasitas memadai sebagai
mediator yang baik dan handal. Kapasitas memadai ini tercermin dari
keadilan sikap, reputasi yang unggul dan terjaga, memiliki kekuatan baik
secara politis maupun sosial berupa jaringan yang luas, serta kecermatan
dalam bertindak. Tidak lupa, tentunya mediator ini dipilih oleh kedua
pihak yang berseteru secara sadar dan tanpa paksaan.
Di atas kerangka konsep ishlãh sebagaimana diuraikan di atas lah,
bangunan ishlãh bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi
masyarakat yang -baru saja- dilanda konflik komunal horisontal dapat
terwujud dengan lestari.
Dalam konteks ishlãh Poso, Deklarasi Malino Untuk Poso yang
berisi sepuluh poin kesepakatan perdamaian antara kedua pihak yang
berkonflik, secara garis besar telah memuat poin-poin penting ishlãh
dalam perspektif fikih sebagaimana telah dijabarkan di atas. Namun, -dari
hasil pengamatan penulis terhadap sepuluh poin tersebut- dirasa masih
perlu memberikan penekanan/penambahan terhadap poin-poin tertentu
yang penulis rasa kurang teraksentuasi dengan mantap. Hal ini perlu
mengingat isi perjanjian (mushãlih ‘alaih) haruslah dapat secara
meyakinkan menghentikan permusuhan dan menimbulkan/meningkatkan
kebaikan/kemanfaatan bagi kedua pihak secara kontinu. Secara lebih rinci,
penulis mencoba membahas sepuluh poin deklarasi Malino tersebut dalam
hubungannya dengan konsep ishlãh dalam perspektif fikih dan
membandingkannya dengan lima poin mushãlih ‘alaih dalam ishlãh
sebagai berikut.
152
Poin a dalam Deklarasi Malino (selanjutnya disingkat DM) sudah
cukup identik dengan poin a dalam mushãlih ‘alaih (selanjutnya disingkat
MA). Demikian juga poin b dalam DM sudah cukup identik dengan poin b
dalam MA. Poin c dan d dalam DM merupakan manivestasi dari ketaatan
‘aqidain terhadap mediator dari pemerintah yang telah mereka pilih
bersama.
Poin e dalam DM cukup identik dengan poin a dan c dalam MA.
Namun, klausul “menghilangkan fitnah dan ketidakjujuran” kurang
memiliki penekanan arti sehingga dirasa kurang pengaruhnya bagi
penghentian permusuhan itu sendiri. Apalagi, realitas di lapangan
menunjukkan bahwa yang terjadi bukan hanya sekedar fitnah dan dusta
tapi pembantaian, penjarahan, pengusiran, dan tindakan brutal lainnya.
Jadi kata yang lebih tepat dan lebih menjamin tidak terulangnya perbuatan
keji di atas adalah kesediaan bertaubat dari segala kejahatan yang telah
dilakukan dan memperbaiki diri dengan melakukan hal-hal yang positif
sebagai ganti dari perbuatan jahat itu. Begitu juga klausul “saling
menghormati dan memaafkan” harus ditambah dengan klausul “saling
berbuat kebajikan” demi lebih menjamin terwujudnya ishlãh dan
keharmonisan seperti sedia kala.
Poin f, g, dan h dalam DM cukup identik dengan poin 4 dan 5 yang
merupakan gambaran kondisi obyektif masyarakat setempat pasca konflik.
Oleh karena itu diupayakan secara serius adanya pemulihan kondisi
obyektif masyarakat setempat tersebut sebagaimana kondisi pra konflik.
Begitu juga dengan poin i dalam DM. Adapun poin j dalam DM cukup
identik dengan poin b dalam MA.
Perlu dicatat pula bahwa dalam konteks inisiatif, ternyata pemerintah
sebagai pihak yang paling layak dan kuat dalam upaya penghentian
153
konflik, kurang sigap dalam bersikap dan memprakarsai perdamaian.216
Dari paparan mengenai tiga hal kondusif yang mengawali dan menjadi
pijakan pelaksanaan ishlãh sebagaimana dijelaskan di atas, terbukti bahwa
pemerintah mulai aktif menggalang perdamaian justru setelah adanya
kekhawatiran bahwa kondisi chaos di Poso akan dimanfaatkan oleh
jaringan terorisme regional untuk merekrut anggota dan membangun
jaringan baru. Di samping itu, berkaitan dengan lambannya inisiatif
pemerintah ini, perlu dicatat pula hadirnya laskar jihad dari Jakarta yang
menyebabkan terjadinya perimbangan kekuatan antara kelompok Kristen
dan Islam.217 Setelah terjadinya perimbangan kekuatan inilah inisiatif
damai mulai keras disuarakan.
Dari paparan di atas terlihat bahwa pada dasarnya ishlãh yang
dilakukan di Poso sudah cukup identik dengan konsep ishlãh dalam
perspektif fikih. Bahwa masih ada sedikit kekurangan dalam hal isi
mushãlih ‘alaih sebagaimana diterangkan di atas merupakan kewajaran
selagi ada upaya perbaikan secara kontinu dalam penerapan isi mushãlih
‘alaih tersebut dalam masyarakat, khususnya ketika hendak menerapkan
konsep ishlãh dalam perspektif fikih dalam kasus konflik komunal
horisontal yang lain yang mungkin saja timbul kembali di masa yang akan
datang. Dengan demikian, terdapat peluang yang luas bagi konsep ishlãh
ini untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan masyarakat adil dan
makmur dalam ridha Allah. Ishlãh diharapkan dapat secara signifikan
216 Meskipun ada alasan bahwa dalam masa transisi demokrasi, pemerintah masih
disibukkan dengan konsolidasi ke dalam sehingga masalah kemasyarakatan khususnya yang jauh dari pusat pemerintahan kurang terperhatikan.
217 Menurut Tomagola, inisiatif perdamaian pada awalnya muncul dari pihak Kristen yang mulai terdesak oleh kekuatan kelompok Islam dengan hadirnya laskar jihad yang membantu kelompok Islam. Oleh karena itu, dalam konteks ini bisa dipahami mengapa kelompok Kristen siap terlebih dahulu meminta maaf dan bersedia untuk berdamai tanpa syarat. Lihat Tomagola h. 28-29
154
menciptakan masyarakat yang damai dan beradab dalam lingkup Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
BAB V
PENUTUP
155
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Di samping dalam aspek keluarga, dan hubungan antar negara, Ulama
fikih cenderung hanya membahas ishlãh dalam aspek hukum yaitu dalam
hubungannya dengan jinãyah qishãsh diyat. Fikih juga hanya membahas
rukun ishlãh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula ishlãh
belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.
2. Dalam konteks ushul fikih, ishlãh berkaitan erat dengan mashlahah yang
merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam.
3. Ishlãh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari
rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif
dan integral. Rukun ishlãh meliputi Shĩghah, al-ãqidain, dan muhal yang
terdiri dari mushãlih 'anh dan mushãlih 'alaih. Mushãlih 'alaih dapat
bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bendawi dapat berupa denda
dalam bentuk harta, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatan-
perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,
menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat
silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling
sabar dan memaafkan.
4. Ishlãh adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial. Hal ini
terbukti dari penerapan poin-poin ishlãh yang bersesuaian dengan poin-
poin yang disepakati dan dilaksanakan dalam deklarasi Malino.
B. Saran
Ishlãh dapat dijadikan solusi terbaik bagi penyelesaian konflik sosial.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai konsep ishlãh dalam perspektif fikih
152
156
yang penulis lakukan sangat penting dalam memberikan kontribusi akademis
bagi pengembangan konsep ishlãh dalam perspektif fikih di masa yang akan
datang. Juga dapat memberikan kontribusi secara praktis dalam penciptakan
tata kehidupan masyarakat yang lebih baik khususnya dalam mengatasi dan
mencegah terjadinya permusuhan bahkan kerusuhan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, hendaknya tulisan ini mendapat apresiasi dan tanggapan berupa
pengembangan konsep ishlãh yang lebih sempurna demi maksimalisasi
kontribusi yang dapat diberikan.