Arif Hamzah Sps.tesis

170
KONSEP ISHLÃH DALAM PERSPEKTIF FIKIH TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA) Disusun oleh: Arif Hamzah 01.2.00.1.01.01.0009 Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

description

ok

Transcript of Arif Hamzah Sps.tesis

Page 1: Arif Hamzah Sps.tesis

KONSEP ISHLÃH DALAM PERSPEKTIF FIKIH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:

Arif Hamzah

01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2008

Page 2: Arif Hamzah Sps.tesis

KONSEP ISHLÃH DALAM PERSPEKTIF FIKIH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (MA)

Disusun oleh:

Arif Hamzah

01.2.00.1.01.01.0009

Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2008

Page 3: Arif Hamzah Sps.tesis

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Arif Hamzah

NIM : 01.2.00.1.01.01.0009

Tmp./tgl. Lahir : Pati, 28 Mei 1976

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya berjudul “Konsep Ishlah Dalam

Perspektif Fikih” adalah benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara

akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis

ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk digunakan

sebagaimana mestinya.

Jakarta, 24 April 2008

Yang menyatakan,

Arif Hamzah

Page 4: Arif Hamzah Sps.tesis

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh

Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diajukan pada sidang munaqasyah

tesis pada hari Jum’at, 28 Maret 2008. Tesis ini telah diperbaiki sesuai petunjuk

pembimbing dan penguji serta diterima sebagai salah satu syarat menerima gelar

Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam (MA) Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2008

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji Penguji/Ketua Sidang

Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA. Dr. Udjang Thalib, MA.

Page 5: Arif Hamzah Sps.tesis

PEDOMAN TRANSLITERASI*

q ق= z ز= Tidak dibaca ا=

k ك= s س= b ب=

l ل= sy ش= t ت=

m م= sh ص= ts ث=

n ن= dh ض= j ج=

w و= th ط= h ح=

zh ĥ ظ= kh خ= ه=

.…’.… ء= ‘ ع= d د=

y ي= gh غ= dz ذ=

f ف= r ر=

Vokal Panjang

Vokal Pendek

= a =آ ã = i = ي ĩ

= u = و ũ

Hal-hal khusus: 1. Ta’ marbuthah (ة) mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya menjadi (h) 2. Alif lam (ال) selalu ditransliterasi dengan (al-) meskipun huruf yang menyertaimya

syamsiyah atau qamariyah, kecuali pada penggunaan nama penulis buku mengikuti tulisan yang sebenarnya.

3. Tasydid ( ) ditransliterasikan dengan mengetik ganda huruf yang di-tasydid-kan 4. Kata-kata yang sudah baku di tulis tanpa mengikuti pedoman transliterasi,kecuali

kata al-Qur’an 5. Kata ابن ditulis Ibn. 6. Diftong اي ditulis ai, dan او ditulis au

i

Page 6: Arif Hamzah Sps.tesis

Abstrak:

Tesis ini diberi judul “Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih.” Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai konflik di Indonesia khususnya konflik sosial yang telah banyak merenggut korban. Oleh karena itu, penulis merasa perlu merumuskan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih demi turut serta mewujudkan kedamaian.

Fokus dan tujuan penelitian dalam tesis ini meliputi: pertama, Ingin mengetahui bagaimana Ishlãh di masa lalu berdasarkan sumber-sumber teks keagamaan dan sejarah. Kedua, bagaimana mendudukkan Ishlãh dalam wacana ushul fikih, berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat. Ketiga, bagaimana mengembangkan konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Dan keempat, Bagaimana penerapan Ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep Ishlãh dalam perspektif fikih. Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba menerapakannnya (membandingkannya) dalam penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat di Indonesia yang pernah dilakukan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ishlãh dapat dilacak akar sejarahnya dalam ajaran Islam, bahkan jauh sebelum datangnya risalah Islam. Ulama fikih hanya membahas ruang lingkup Ishlãh dalam hubungannya dengan jinayat qishãsh diyat. Mereka juga hanya membahas rukun Ishlãh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula Ishlãh belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.

Dalam konteks ushul fikih, Ishlãh berkaitan erat dengan mashlahat yang merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam. Ishlãh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif dan integral. Rukun Ishlãh meliputi shighat, al-aqidain, dan muhal yang terdiri dari mushalih 'anh dan mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih dapat bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bersifat bendawi seperti membayar denda berupa harta atau uang, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah, menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling sabar dan memaafkan. Konsep Ishlãh –dalam perbandingannya dengan poin-poin dalam deklarasi Malino- jika diterapkan secara konprehensip, niscaya dapat secara signifikan menghentikan konflik dan menciptakan perdamaian yang lestari di Indonesia.

ii

Page 7: Arif Hamzah Sps.tesis

Abstract

This Thesis is entitled "The Concept of Ishlãh In Fiqh perpective." It is based on the happening of various conflicts in Indonesia, especially social conflicts which effect so many victims. Therefore, writer is sure that it is important to formulate the concept of Ishlãh in fiqh perspective as a contribution for making peace.

The focus and the aims of this research covers: first, how to know about Ishlãh based on religious texts and history. Second, how to positionate Ishlãh in ushul fiqh, according to the significance of Ishlãh and its position before mashlahat. Third, how to formulate and develop the concept of Ishlãh in fiqh perspective. And fourth, How to implement Ishlãh to solve social conflicts in Indonesia

This is a qualitative research using the analytical and descriptive method that describes and systemizes factual and accurate data as well as the experts’ views on the Ishlãh concepts in the fiqh perspective. The validity of the discovered concepts is examined by trying to apply and compare it to solve the horizontal conflicts in society, especially in Indonesia, with the effort done.

This research concludes that Ishlãh is traceable on the history in Islamic teaching, even far before the coming of Islam. The fiqh scholars discuss about Ishlãh only on its relation with jinayat qishãsh diyat. They also discuss some pillars of it without mentioning some conditions comprehensively as well as the discourse of Ishlãh in ushul fiqh context. Meanwhile, in ushul fiqh, Ishlãh is related strongly with mashlahat in which it is the main objective of Islamic law. Ishlãh in fiqh perspective is a concept consisting of the pillars and conditions which are related to each other comprehensively. The pillars of Ishlãh cover the shighat, al-aqidain, and muhal comprising the mushalih 'anh and mushalih 'alaih. Mushalih 'alaih can be materials such as giving some goods or money and immaterial like doing something. Mushalih ‘alaih which is in the form of doing something should cover some works such as avoiding the ugly prejudice, snubbing, and libel, creating justice in all areas of society, tightening silaturahmi in order to rehabilitate relations and conditions, willingness to taubat, patience and forgiveness. The ideal concept of Ishlãh, in comparison with some points in Malino’s Declaration, when it is comprehensively applied, significantly stop and end social conflicts and create the everlasting peace in Indonesia.

iii

Page 8: Arif Hamzah Sps.tesis

الخـــالصـــة عن الباحث آتب. "اإلسالمي الفقه في اإلصالح منهج" العنوان تحت البحث هذا

اجتماعية مساءل في خاصة بإندونيسيا الموجودة القالقة بالحوادث وقع بما الموضوع هذا الفقه في اإلصالح منهج أهمية عن بكتابة الباحث قام ولذلك النفوس، قتل إلى تحمل التي

.اإلنسان سالمة تحصيلل اإلسالمي :يلي آما االبحاث اربعة فيشمل الموضوع، هذا في األبحاث أبرز ومن

.التاريخ في اإلصالح على بالمعلومات الباحث أراد -أوال بأهميتها المتعلقة الفقه اصول في االصالح مكانة على بالمعلومات الباحث أراد -ثانيا

.المصلحة في الملحة والحاجة -ثالثا .اإلسالمي الفقه في اإلصالح منهج عن الحديثة المهمة باالقتراحات لباحثا قام باندنيسا اجتماعية مائل عيالج في االصالح مهج بتنفيذ الباحث قام-رابعا

المصادر على والتحليلي االستقرائي منهج البحث هذا في الباحث واستخدم والمنهج. اإلسالمي لفقها في اإلصالح مفهوم عن والخبراء العلماء وآراء الموجودة باستعمال مقارنته و بتنفيذه تصحيحه على بالتجارب عرضه الباحث آتبه الذي المقترح .بإندونيسيا وخاصة والمجتمع الشعوب بين الموجودة المسائل لعيالج المنهج

التشريع في بوجوده الوصول يمكن اإلصالح أن البحث هذا من والخالصة الفقهاء بحث ما. اإلسالمية الشريعة نزول قبل وجدناه قد الحاإلص أن والسيما اإلسالمي

االصالح ارآان بحثوا و الجناية فى والدية بالقصاص عالقته فى اال االصالح مجال عن في. الفقه اصول ناحية فى تفصيال يبحثوااالصالح ولم شروطهاتفصيال عن بحث بغير التشريع فى االداف اهم هي التي والمصلة االصالح بين عالقة الفقه اصول ناحية

والشروط األرآان من المتكون المنهج هو اإلسالمي الفقه في واإلصالح. االسالمي والمحل والعقيدين الصيغة من يتكون اإلصالح وأرآان. شاملة عالقة بينهم المتعلقة ذاتي شيء من اما يتكون قد عليه ومصالح. "عليه مصالح" و "عنه مصالح" من المتكون الظن سوء من االجتناب وهي االعمال آاستعمال ذاتي غير او النقود او المال اعآاعط واإلرادة الخالصة النية األرحام، صلة المجتمع، في العدالة تكوين والفتنة، والغيبة

مقارنته فى- اإلسالمي الفقه في اإلصالح ومنهج. الناس والعفوعن الصبر، القويةللتوبة، االجتماعية المسائل يدفع فلسوف شاملة ناحياته آل على بتنفيذه قمنا اذا -مالنو باصالح .باندنيسا المجتمع فى والمصلحة السالمة ويحصل

Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

iv

Page 9: Arif Hamzah Sps.tesis

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah. Ridha dan rahmat-Nya telah

memberikan kesempatan dan kelancaran kepada penulis untuk menyelesasikan tesis

ini.

Terimakasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Abdul

Rahman Farid (al-Marhum) dan Ibunda Siti Munawiroh. Kasih sayang mereka tak

mungkin bisa kubalas. Juga untuk adikku, Abid Syaifullah. Terima kasih atas segala

motivasi dan kepercayaan. Tak lupa untuk istriku tercinta, Desi Arisanti.

Kesetiaanmu selalu mengilhamiku.

Terimakasih pula untuk Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM.

sebagai pembimbing sekaligus penguji dalam penulisan tesis ini. Juga untuk Prof. Dr.

Hasanuddin AF., MA., sebagai penguji, dan Dr. H. Udjang Thalib, MA. Sebagai

penguji sekaligus ketua sidang ujian. Saran-saran mereka sangat berharga dalam

memperbaiki berbagai kekurangan dalam tesis ini.

Para Pimpinan dan Dosen sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, khusus untuk Prof.

Dr. Suwito MA. dan Ibu Nilfa Yetty Tanjung, bimbingan, jeweran dan motivasinya

sungguh tak ternilai dengan apa pun. Juga para karyawan dan karyawati Pasca yang

terlalu sering penulis repoti.

Tak lupa kepada kawan-kawan Legoso, FAI UHAMKA, dan STIE Ahmad

Dahlan, dan khusus untuk kawa-kawan satu pesantren di Qom, spesial buat ustadz

Faris yang membantu memberikan bimbingan tesis tak resmi. Juga untuk semua

teman yang tak dapat disebut satu persatu namanya. Karena mereka hidup terasa lebih

berwarna.

Ciputat, 20 April 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Pedoman Transliterasi .................................................................................... i

v

Page 10: Arif Hamzah Sps.tesis

Abstrak ........................................................................................................... ii

Abstract .......................................................................................................... iii

Al-Khulãshah .................................................................................................. iv

Kata Pengantar ............................................................................................... v

Daftar Isi ........................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ......................................... 9

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ...................................... 9

D. Metode Penelitian .............................................................. 10

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan .................................. 11

F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11

BAB II KONSEP ISHLÃH

A. Definsi Ishlãh

1. Secara Bahasa ............................................................... 13

2. Secara Istilah ................................................................. 14

B. Ishlãh Dalam al-Qur’an Dan Hadis.................................... 20

C. Ishlãh Dalam Sejarah ........................................................ 30

1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam .......................................... 30

2. Ishlãh Pada Masa Islam ................................................ 32

D. Ruang Lingkup Ishlãh ....................................................... 37

BAB III DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH

A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah ............................... 39

B. Hukum Ishlãh .................................................................... 48

C. Signifikansi Ishlãh ............................................................. 50

D. Ishlãh Dalam Jinãyah ......................................................... 59

BAB IV FIKIH ISHLÃH

A. Obyek Ishlãh ..................................................................... 89

vi

Page 11: Arif Hamzah Sps.tesis

vii

B. Subyek Ishlãh ..................................................................... 101

C. Rukun Ishlãh ...................................................................... 102

D. Syarat Ishlãh ...................................................................... 104

E. Penerapan Ishlãh Dalam Konflik Sosial di Indonesia ....... 149

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 152

B. Saran ................................................................................... 153

Page 12: Arif Hamzah Sps.tesis

LEMBAR BUKTI PENYERAHAN TESIS

Tesis dengan judul Konsep Ishlãh Dalam Perspektif Fikih yang ditulis oleh

Arif Hamzah NIM. 01.2.00.1.01.01.0009, telah diperbaiki sesuai petunjuk

pembimbing dan penguji serta telah diserahkan kepada para pembimbing dan penguji

masing-masing satu eksemplar hard copy tesis.

Jakarta, 29 Mei 2010

Pembimbing/Penguji

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Penguji Penguji/Ketua Sidang

Prof. Dr. Hasanuddin AF., MA. Dr. Udjang Thalib, MA.

Page 13: Arif Hamzah Sps.tesis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya

berbagai kasus konflik bernuansa SARA yang berujung pada terjadinya

berbagai kerusuhan hebat dalam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.

Konflik tersebut telah memakan banyak sekali korban baik dari segi fisik

bahkan mental. Tidak sedikit harta benda bahkan nyawa melayang. Kerugian

yang dialami juga mencakup kerugian material maupun spiritual, seperti

hancurnya tatanan dalam masyarakat berupa terputusnya silaturrahmi antar

saudara, juga silaturahmi antar tetangga yang tadinya rukun dan damai, belum

lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh masyarakat dari yang sudah

tua sampai anak-anak. Bahkan ancaman serius bahaya hilangnya satu generasi

penerus pembangunan di wilayah bersangkutan.

Praktis bisa dikatakan, bahwa selama beberapa tahun kerusuhan

berlangsung, anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak, tanpa

pendidikan yang memadai, juga kondisi kesehatan yang kurang terawat,

mengingat sebagian besar dari mereka berada dalam pengungsian dengan

kondisi serba minim.1 Pendek kata, konflik tersebut telah menelan kerugian

tidak terhitung.

Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah

sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai

kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini

1 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, (Jakarta:

YAPPIKA, 2003), h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat termasuk anak-anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai putih. Mereka berkata:”Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang ketahuan.”

1

Page 14: Arif Hamzah Sps.tesis

2

belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada

gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.

Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan

membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian

yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar

menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin

ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam

biasa disebut dengan istilah ishlãh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun

tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata

melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.

Dalam konteks pidana Islam, ishlãh dibicarakan berkaitan erat dengan

qishãsh, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada

pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini

secara otomatis menggugurkan hukuman qishãsh, terlepas dari keluarga

korban menuntut diyat (denda) atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan

dalam QS. al- Baqarah (2): 178.2

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di

atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah

biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena

kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.

2 Ayat itu berbunyi:

☺ ⌦ ⌧ ☺

☺ ☺

⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishãsh berkenaan

dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat (denda) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.

Page 15: Arif Hamzah Sps.tesis

3

Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah

membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya

terbunuh akan mengatakan: “Kami tidak akan membalas melainkan harus

membunuh orang merdeka dari mereka”. Begitu juga bila yang terbunuh

perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki

musuh. Maka turunlah ayat “orang-orang merdeka dengan orang-orang

merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”3

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa

qishãsh adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishãsh diyakini akan

memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar

individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup

jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara

kehidupan seluruh umat.

Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka

wajib atas pelaku membayar diyat (denda) tanpa ditunda-tunda. Dengan

demikian, diyat (denda) dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti

qishãsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf

kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman

ta’zĩr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak

Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan

qishãsh.

Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishãsh, Allah

secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat

kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada

melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah

bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishãsh. Oleh karena itu,

mengingat qishãsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka

memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.

3 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj.

Mu’ammal Hamdi dan Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 123

Page 16: Arif Hamzah Sps.tesis

4

Konsep ishlãh muncul sebagai ganti dari qishãsh yang tak jadi

dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini,

keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam

menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlãh

dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena

itu, sudah sepantasnya konsep ishlãh digali hingga ditemukan sebuah formula

penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat

bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam.4

Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak

bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishãsh

saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlãh. Karena dalam sebuah

kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan

korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishãsh yang

diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku,

bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara

jika perspektif ishlãh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan

masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat

menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi

ishlãh ditemukan. Sehingga, jika ishlãh menjadi suatu yang urgen untuk

kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera

dilaksanakan.

Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di

berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita

dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain.

Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh

tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai

kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.

4 Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu "Apabila terjadi

pelanggaran hukum maka di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba, sedangkan hak hamba itu lebih dominan". Berdasarkan kaidah di atas, dominasi hak hamba ini berimplikasi pada penyelesaian melalui jalan damai yaitu pihak yang dirugikan dapat memaafkan pihak yang merugikan. Hal ini akan secara lebih luas dibahas dalam bab selanjutnya.

Page 17: Arif Hamzah Sps.tesis

5

Wakil-wakil pihak yang bertikai menandatangani kesepakatan perdamaian

berupa Deklarasi Malino pada Desember 2001. Sebagai hasil dari kesepakatan

tersebut dan berbagai upaya yang terus dilakukan kedua belah pihak, propinsi

tersebut kini mulai kondusif untuk rekonsiliasi dan pemulihan. Menanggapi

perkembangan positif yang dicapai melalui Deklarasi Malino, UNDP bekerja

sama dengan Menko Kesra memulai suatu proyek persiapan pada 2003.

Proyek tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan awal terhadap proses

pemulihan dan rekonsiliasi, serta melakukan kajian dan perencanaan untuk

merancang program jangka panjang untuk mendukung perdamaian dan

pembangunan berkelanjutan. 5

Begitu pula halnya yang terjadi di Ambon. Kesepakatan damai yang

diikuti oleh pembentukan komite bersama Baku Bae yang dipimpin secara

bersama oleh pihak muslim dan pihak Kristen telah memberikan efek positif

bagi perkembangan masyarakat maluku dan Ambon khususnya. Salah satu

kegiatan untuk mempertemukan pihak muslim dan kristen adalah kursus

komputer. Di sana, selain belajar untuk memperoleh keterampilan, mereka

juga bergaul antara satu sama lain, sehingga mereka dapat saling berinteraksi,

saling mengundang, bahkan timbul kembali persahabatan. Selain kegiatan

belajar, juga diadakan konseling.6

Di samping itu, dalam forum-forum tertentu, masyarakat yang semasa

konflik dulu saling menyelamatkan dipersilahkan mengekspos pengalaman

mereka. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semasa konflik terjadi, banyak

orang Kristen menyelamatkan orang Islam dan begitu juga sebaliknya. Cara

menyelamatkan itu antara lain dengan saling menyelundupkan atau

membocorkan rencana penyerangan. Dengan demikian calon korban bisa

menyelamatkan diri. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Media massa yang

dulu juga terlibat konflik, media Kristen misalnya, sempat memihak kelompok

5 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160 6 Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian

Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program Isu, 2003), h. 131

Page 18: Arif Hamzah Sps.tesis

6

Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk

menggunakan media demi menegakkan perdamaian.7

Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang

dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus

konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan

dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut

tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang

setimpal dengan segala konsekuensinya.8 Dengan kata lain, dapat ditempuh

jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme

peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan.

Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa.

Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata

maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa

klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat

para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri

yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang

bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga

arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang

diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah

badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan

putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan

pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal

belum timbul sengketa.

7 Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian

Jangka Panjang, h. 131 8 Munir, Transisi Politik dan Masa Depan HAM, ST. Sularto (ed.), (Jakarta: Kompas,

2000), cet. Ke-1, h. 16

Page 19: Arif Hamzah Sps.tesis

7

Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,

yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.9

Menurut hemat penulis, pengusutan kejahatan akibat konflik horisontal

melalui jalur pengadilan adalah hal yang amat sulit dilakukan serta

membutuhkan energi dan pengorbanan yang luar biasa sedangkan hasilnya

belum tentu memuaskan semua pihak. Pendek kata, banyak yang harus

dikorbankan, sementara kita dituntut untuk juga menatap ke depan

membangun bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mata rakyat sendiri

dan dunia internasional. Oleh karena itu, penyelesaian melalui mekanisme

pengadilan meskipun tetap perlu dilakukan namun efektifitasnya sangat minim

dalam kondisi bangsa yang kurang stabil di segala bidang. Oleh karena itu,

jalur non pengadilan lebih baik untuk dikedepankan.

Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia

lain. Pemerintah akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM

dengan berupaya mendamaikan kecenderungan menghukum dan memberi

maaf. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil karena perangkat

hukum yang ada sebagian besar adalah hasil rezim lama yang tak memadai,

baik secara administratif maupun substantif.10 Berdasar kondisi tersebut,

pemerintahan biasanya menerapkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang

hanya diterapkan dalam waktu sementara pula. Di sini prinsip hukum yang

kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada.

Dalam konteks inilah wacana pencarian kebenaran dan pengupayaan

rekonsiliasi menjadi isu sentral yang realistis demi pembangunan.

Peristiwa menarik berkaitan dengan ishlãh di Indonesia adalah

munculnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui

rekonsiliasi dalam pendekatan Islam, seperti Ishlãh kasus Tanjung Priok.

Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangan, hal ini tentu saja

9 UU. No. 20 tahun 1999, Diktat, Tidak diterbitkan, h. 2-6 10 Contoh yang paling tepat untuk negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Afrika

Selatan dengan konsep rekonsiliasinya.

Page 20: Arif Hamzah Sps.tesis

8

diharapkan bisa menjadi model penyelesaian terbaik terhadap berbagai kasus

di masa lalu, sambil terus berupaya melengkapi kekurangan yang ada.

Kesepakatan damai yang dituangkan dalam sebuah piagam ishlãh ini

adalah suatu penyelesaian secara damai terhadap kasus pelanggaran HAM

berat Tanjung Priok. Ishlãh ini terjadi pada tanggal 7 Maret 2001 antara

mantan Panglima Kodam Jaya Jend. (Purn.) Try Sutrisno dan pejabat

keamanan yang menjabat pada waktu tragedi terjadi pada tanggal 1 September

1984, dengan pihak keluarga korban.11

Peristiwa ini segera menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan,

khususnya praktisi hukum. Mereka berpendapat bahwa meskipun telah terjadi

ishlãh, namun penyelesaian melalui jalur hukum tetap harus dilakukan melalui

proses peradilan.12 Di samping itu, ketidaksetujuan ini juga didasarkan pada

kekhawatiran mandulnya sistem hukum yang berlaku, karena ishlãh yang

disepakati terkesan menganggap enteng kejahatan berat yang telah dilakukan

di masa lalu dengan memutuskannya tanpa melalui proses peradilan terlebih

dahulu.

Ketidaksetujuan ini senada dengan adanya kaedah dalam hukum Pidana

Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Satria Effendi M. Zein, bahwa apabila

bergabung hak individu dan hak publik, sementara hak individu lebih

dominan, maka meskipun hukum qishãsh bisa dimaafkan oleh keluarga

korban, namun pengadilan tetap berkewajiban mengenakan hukuman ta’zĩr

sebagai hukuman atas pelanggaran hak publik.13

Terlepas dari berbagai komentar baik yang pro maupun kontra, perlu

disadari bersama bahwa untuk merajut masa depan Indonesia baru dan

khususnya masyarakat yang didera konflik berkepanjangan, ishlãh dinilai

11 Al- Chaidar wa Iddatu Ashkhas Amilu Lihisabi Tapol, Mihnatul Islam Fi Indonesia, Terj. Muhammad Thalib, Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), cet. ke-5, h. 31. Lihat Juga Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, Kompas (Jakarta: 10 Juni 2001), h. 6. Juga Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok Berdamai, Kompas (Jakarta: 8 Maret 2001), h. 1

12 Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, h. 6 13 Satria Effendy M. Zein, Arbitrase Dalam Masyarakat Islam, dalam Arbitrase Islam di

Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat, 1994), h. 13-14. Lihat Juga Said Aqil Husin Al- Munawwar, Al- Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 275

Page 21: Arif Hamzah Sps.tesis

9

mampu mengobati luka rakyat. Ishlãh dapat mencegah masyarakat membuka

luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan

menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga

tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

Dengan demikian, ishlãh lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi

menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara

berkelanjutan. Untuk tujuan akhir itu, berarti individu, kelompok, dan negara

“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf

untuk pelaku. ishlãh dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau

melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di

masa depan. Singkatnya, ishlãh lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu

daripada penuntutan pidana.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Tesis ini ingin mengungkap beberapa masalah sebagaimana penulis

rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana ishlãh di masa lalu dengan mengutip sumber-sumber teks

keagamaan dan sejarah.

2. Bagaimana mendudukkan ishlãh dalam (wacana) ushul fikih, berkaitan

dengan signifikansinya dan kedudukannya dalam mashlahat.

3. Bagaimana pengembangan ishlãh dalam perspektif fikih

4. Bagaimana penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial di

Indonesia

Untuk itu, penulis membatasi pembahasan rumusan masalah tersebut di

atas yaitu dalam lingkup konflik sosial, khususnya konflik sosial bernuansa

SARA yang terjadi di Indonesia bagian timur seperti Poso.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Penulisan tesis ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pelaksanaan ishlãh di masa lalu.

Page 22: Arif Hamzah Sps.tesis

10

2. Menemukan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum ishlãh,

berkaitan dengan signifikansi dan kedudukannya dalam mashlahat.

3. Merumuskan konsep ishlãh dalam perspektif fikih

4. Menjajagi penerapan ishlãh dalam menyelesaikan konflik sosial bernuansa

SARA di Indonesia.

Adapun kegunaan tesis ini adalah:

1. Melengkapi persyaratan untuk dapat meraih gelar magister Agama

2. Memberikan deskripsi yang jelas tentang konsep ishlãh dan penerapannya,

sehingga bisa memberikan kontribusi secara intelektual kepada rekan

sejawat dan praktisi hukum pada umumnya.

3. Memberikan kontribusi kepada masyarakat muslim pada khususnya dan

seluruh rakyat Indonesia umumnya dalam membangun kehidupan yang

maju, damai dan beradab.

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode

deskriptif analitis,14 yaitu mendeskripsikan secara faktual dan akurat serta

sistematis data-data dan pandangan ahli tentang konsep ishlãh, khususnya

dalam perspektif fikih.

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dilakukan studi pustaka

dengan menelusuri berbagai sumber yang relevan dengan permasalahan yang

dibahas. Kemudian untuk menganalisis data yang terkumpul, digunakan

metode analisis isi dengan menilai, mengidentifikasi data, dan menganalisanya

sehubungan dengan rumusan masalah yang diteliti sehingga didapatkan

konsep ishlãh dalam perspektif fikih yang komprehensif. 15

Konsep yang ditemukan akan dijajagi kevalidannya dengan mencoba

membandingkannya dengan penyelesaian konflik horisontal dalam masyarakat

Indonesia yang pernah dilakukan. Dalam hal ini akan diambil satu contoh

penyelesaian konflik di Poso berupa deklarasi Malino. Dengan begitu,

14Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63-74 15 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1973), h.

76

Page 23: Arif Hamzah Sps.tesis

11

pemahaman yang didapatkan dari konsep tersebut adalah pemahaman yang

komprehensif dan integral.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Beberapa kajian tentang ishlãh pernah dilakukan oleh beberapa orang

dalam beberapa bentuk tulisan ilmiah. Adapun yang sampai kepada penulis

adalah tesis Muhammad Adil yang berjudul "Ishlãh dalam Pelanggaran HAM

Berat". Tesis ini membahas permasalahan ishlãh antara dua kubu yang

berseteru dalam kasus pelanggaran HAM berat yaitu tragedi Tanjung Priok

dan tragedi Lampung. Pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus pada upaya

penyelesaian konflik dengan tetap berupaya menyelesaikannya secara hukum

melalui proses pengadilan, karena meskipun penulis mengakui bahwa

memang telah terjadi ishlãh antara kedua belah pihak, namun tetap

dipermasalahkan keabsahan ishlãh yang telah disepakati tersebut. Di samping

itu, penulis juga belum menemukan konsep ishlãh secara fikih itu sendiri

secara lebih gamblang dan sistematis.

Di samping itu, penulis juga menemukan tesis dengan judul "Ishlãh,

Suatu Tinjauan Tematik" karya Tuti Alawiyah. Tesis ini membahas ishlãh dari

segi bahasa dan dalam tinjauan ilmu tafsir. Adapun karya ilmiah yang

berkaitan dengan ishlãh dalam bentuk disertasi dan skripsi belum penulis

temukan.

Fakta bahwa baru dua tulisan ilmiah yang membahas tentang ishlãh

dengan stressing yang berbeda menyebabkan penulis tertarik untuk

mengelaborasi tema ini, tentunya dengan penekanan pembahasan yang

berbeda dari karya tulis ilmiah yang telah ada.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam tesis ini meliputi bab kesatu (pendahuluan)

yang berisi latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, dan

sistematika penulisan.

Page 24: Arif Hamzah Sps.tesis

12

Dilanjutkan dengan bab kedua (Ishlãh dalam Islam). Bab ini terdiri dari

pembahasan definisi ishlãh, Ishlãh dalam al-Qur’an, ishlãh dalam sejarah, dan

ruang ligkup ishlãh.

Bab ketiga (dasar-dasar hukum ishlãh), berisi kedudukan ishlãh dalam

mashlahat, hukum ishlãh, signifikansi ishlãh, dan ishlãh dalam jinayah.

Bab keempat (Konsep Ishlãh dalam Perspektif Fikih) berisi

pembahasan obyek ishlãh, subyek ishlãh, rukun ishlãh, syarat ishlãh yang

terdiri dari pembahasan muatan mushalih ‘alaih dan syarat-syarat yang

harus dimiliki oleh seorang mediator, dan penerapan ishlãh dalam konflik

sosial di Indonesia yang berisi pembahasan dan pembandingan konsep

ishlãh yang telah ditemukan dengan konsep ishlãh yang dihasilkan dalam

deklarasi Malino yaitu perjanjian damai antar kelompok yang bertikai di

Poso.

Pembahasan ditutup dengan bab kelima (penutup) yang berisi

kesimpulan dan saran.

Page 25: Arif Hamzah Sps.tesis

BAB II

KONSEP ISHLÃH

A. Definisi Ishlãh

1. Secara Bahasa

Secara bahasa, akar kata ishlãh berasal dari lafazh حا – يصلح – صلح

yang berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlãh صال

merupakan bentuk mashdar dari wazan إفعال yaitu dari lafazh يصلح – اصلح –

,yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan , إصالحا

(penyelesaian pertikaian). Kata صال ح merupakan lawan kata dari فساد / سيئة

(rusak).15 Sementara kata اصلح biasanya secara khusus digunakan untuk

menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. Akan

tetapi, jika ishlãh tersebut dilakukan oleh Allah pada manusia, maka اهللا

mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan إصالح

dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-kadang dengan

menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah keberadaannya, dan

kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu

sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.16

Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata اصال حا sebagai antonim dari

kata فساد , dan biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi

kerusakan, sehingga terkadang dapat dimaknai dengan 17..إقامة Sementara

Ibrahim Madkur dalam mu’jamnya berpendapat bahwa إصالحا yang berasal

dari kata صلح mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta

terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan

15 Tim Penyusun Pustaka Azet, Kamus Leksikon Islam, (Jakarta: Pustazet Perkasa,. 1998)

h. 224. lihat juga, Peter Salim dkk., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), cet.I, h. 581

16 Al-Rãghib al-Ashfahani, al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 284-285

17 Ibn Manzhũr, Lisãn al-'Arab, (Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita’lĩf wa al-Tarjamah, t.th), Jil. 3-4, h. 348-349

13

Page 26: Arif Hamzah Sps.tesis

14

Menurut Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, kata إصالحا

berasal dari kata صلح. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Shalãh menunjuk

pada arti yang berlawanan dengan kerusakan (al-fasãd). Ini berarti telah

memperbaiki dengan perbaikan. Dikatakan shalaha (yang di-fathah lam-

nya) sesuai dengan yang dihikayatkan oleh Ibnu al-Sukiyat bahwa shalaha

adalah shalaha-shulũhan bermakna memperbaiki, sesuatu perbaikan”.19

2. Secara Istilah

Secara istilah, term ishlãh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji

dalam kaitannya dengan perilaku manusia.20 Karena itu, dalam

terminologi Islam secara umum, ishlãh dapat diartikan sebagai suatu

aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi

keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan

jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki

semua amal perbuatannya dan segala urusannya.21

Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam

tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlãh mempunyai arti mengkondisikan

sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk

dimanfaatkan.22

18 Ibrãhĩm Madkũr, al-Mu’jam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad ‘Athiyyatullah, al-Qãmũs al-Islãmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid 4, h. 321

19 Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, Mu’jam Maqãyis al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Khabakhiy, 1981), Jil. 3, h. 303

20 E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990), Jil. IV, h. 141

21 Abd Salam, Mu’jam al-Wasĩth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522 22 Abu ‘Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma’ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-qur’an, (Beirut:

Dar al-Ma’rifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullãhi Mahmũd ibn

Page 27: Arif Hamzah Sps.tesis

15

Kata ishlãh juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah

tajdĩd (pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah

pada kemajuan dan perbaikan keadaan.23 Dengan demikian, ishlãh

bertalian erat dengan tugas para Rasul yang terus ditindaklanjuti hingga

sekarang dan seterusnya.24 Walaupun zaman para Nabi telah berakhir,

namun pekerjaan ishlãh yakni perubahan ke arah perbaikan berlanjut terus

sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ishlãh merupakan

bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.25

Perubahan ini bukan semata-mata untuk menambah hasil guna atau

kemakmuran, akan tetapi lebih merupakan suatu upaya untuk

meningkatkan kebajikan masyarakat.

Jhon O.Voll mengemukakan bahwa dua dari pengertian-pengertian

utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata ishlãh dan

tajdĩd. Ishlãh biasa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaruan.

Secara bersama-sama, kedua kata tersebut mencerminkan satu tradisi

berkelanjutan, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam

beserta praktek-prakteknya dalam sejarah kamunitas kaum muslimin.26

Menurut Syafi’i Ma’arif, perkataan tajdĩd berarti pembaruan,

inovasi, restorasi, medernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain

yang berkaitan dengan makna itu. Maka bila dihubungkan dengan

Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70.

23 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42

24 Nabi Syuaib umpamanya, berkata kepada umatnya: “Saya hanya menginginkan ishlãh pada batas-batas kekuasaan saya” Lihat QS. 11: 88, dan mereka yang mengerjakan ishlãh (Muslihun), sering dipuji dalam al-Qur’an, yang dilukiskan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan kepada mereka pasti diberi pahala (QS. 33: 31). Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi, Islam Versus Barat, terj. Dari Ma’rakat al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, oleh Mushthalah Maufur, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 192-194

25 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 33

26 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 22. Pembahasan ishlãh dalam tesis ini tidak terfokus pada definisi ini.

Page 28: Arif Hamzah Sps.tesis

16

pemikiran tajdĩd dalam Islam, tajdĩd adalah usaha dan upaya intelektual

Islami untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan

penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan

perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurutnya, kerja tajdĩd

adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaran-

ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu.27

Sementara menurut ulama fikih, kata ishlãh diartikan sebagai

perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan

persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun

kelompok.28 Sejalan dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan

bahwa ishlãh merupakan bentuk persoalan di antara para pihak yang

bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-

baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan,

peperangan dan lain-lain.29

Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlãh merupakan suatu jenis akad

untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan.

Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan

ishlãh tersebut dengan Mushãlih, adapun hal yang diperselisihkan disebut

dengan Mushãlih 'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak

terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushãlih

'alaih atau badal al- shulh.30

Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa,

meskipun kata ishlãh dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata

27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah refleksi),

(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), cet. I, h. 95 28 Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah,

(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. Definisi ishlãh dalam konteks inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tesis ini.

29 Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve, 1982), h. 1496

30 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, (Bangdung: PT. Al-Ma'arif, 1988), jil. Ke-13, h. 189

Page 29: Arif Hamzah Sps.tesis

17

ishlãh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak.

Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlãh

tersebut yaitu berupa shulh (perdamaian/kedamaian). Dapat juga

dinyatakan bahwa ishlãh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga

sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.

Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.

Selanjutnya perlu dijelaskan pula mengapa Sayyid Sabiq

menggunakan istilah mushãlih bagi para pihak yang hendak berishlãh, dan

tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushãlih

ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua

pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlãh, bukan

salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan

fã'ala mengandung arti musyãrakah atau resiprokal.

Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian

ishlãh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah

mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di

dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah,

urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik

perjuangan”.31 Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara

amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki

hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan

persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya

dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang

bersengketa dan berselisih itu.

Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlãh dengan perdamaian

antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-'adl (yang berdiri

di pihak kebenaran hukum) dengan ahl baghy (penyelewengan yang keluar

31 Hasbi al-Siddieqy, al-Islam II, (Jakarta: PT. Mutiara Bulan Bintang, 1952), cet. I, h. 448

Page 30: Arif Hamzah Sps.tesis

18

dari hukum), juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi

perpecahan.32 Ibn Qudamah membagi ishlãh berdasarkan pihak-pihak

yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlãh antara ahl al- 'adl

dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim,

dan antara muslim dengan ahl al- harb.33

Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih

juga membahas kata ishlãh dan menjadikannya sebagai salah satu metode

menemukan hukum dalam bentuk istishlãh/mashlahah. Al-Ghazali

menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang

mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madhãrat.34

Tujuan utama dari Syãri' (legislator) adalah mashlahah manusia,

demikian diungkapkan oleh al-Syãtibi.35 Lebih jauh ia mendefinisikan

mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,

yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan

pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan

intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi

mashlahah dalam tiga kategori; dharũriyyah, hãjjiyyah, dan tahsĩniyah.

Mahslahah kategori dharũriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus

terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat

dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan

lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat

kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas.36

32 Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj.

K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy, al-Islam II, h. 448-450.

33 Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-

4, h. 339 34 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Jil. 2, h. 324 35 Al- Syãthibi, al- Muwãfaqãt fĩ Ushũl al- Ahkãm, juz II, tt., t.th. h. 35-36 36 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 327

Page 31: Arif Hamzah Sps.tesis

19

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan keserasian dan

kesejalanannya dengan nash, mashlahah dibagi dalam tiga kategori yang

meliputi: pertama, Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang sesuai

dan berdasarkan nash. Sebagai contoh mashlahah bentuk ini adalah

haramnya khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang

bertentangan dengan nash, contohnya adalah pembagian waris satu

banding satu (1:1) bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga,

mashlahah mursalah, yaitu suatu cara penetapan hukum terhadap masalah

yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma’, hanya dengan

mendasarkan pada pemeliharaan Mashlahah dengan syarat sejalan dengan

kehendak syara’.37 Apabila ia diterapkan akan dapat memelihara

kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pemeliharaan agama, jiwa, keturunan,

akal, dan harta, serta dapat menghilangkan kesulitan.38

Oleh karena fungsi dan tujuannya untuk memelihara kebutuhan-

kebutuhan pokok dan dapat menghindarkan kesulitan, maka Mashlahah

merupakan tujuan syari’at secara umum karena mengarah pada

terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat

memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak

bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.

Berbagai variasi makna ishlãh di kalangan para ulama sesuai

spesialisasinya masing-masing tersebut pada dasarnya berkisar pada

anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek.

Untuk lebih luas dan dalam mengetahui konsep ishlãh, maka perlu kiranya

dideskripsikan perspektif al-Qur’an dan perspektif sejarah mengenai

ishlãh, agar didapatkan pengertian yang lebih komprehensip. Maka

pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan

37 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 329-330 38 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1994), cet. I. h. 41

Page 32: Arif Hamzah Sps.tesis

20

dengan term ishlãh disertai penjelasan tentang sebab turun ayat-ayat

tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan singkat mengenai sejarah ishlãh

dalam rentang sejarah kemanusiaan, khususnya dalam sejarah Islam.

B. Ishlãh dalam al-Qur’an Dan Hadis

Dari berbagai ayat yang menjelaskan tentang ishlãh, akan penulis

deskripsikan beberapa ayat yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis

ini. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah:

1. QS. al-Nisa’ (4): 114

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,

kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridla menjelaskan bahwa ayat

ini diturunkan berkenaan dengan kasus Thu'mah ibn Ubairiq yang dititipi

baju besi oleh seorang Yahudi. Ketika tiba waktunya baju tersebut diambil

oleh pemiliknya, Thu'mah berkonspirasi untuk mengingkari orang Yahudi

tersebut bahkan meremehkannya. Karena terjadi keributan, maka akhirnya

peristiwa ini sampai kepada Nabi. Hampir-hampir saja Nabi membela

Page 33: Arif Hamzah Sps.tesis

21

Thu'mah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal

yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya.39

Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu

mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam

batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi

hubungan kedua belah pihak.40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang

dibenarkan syara' adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut

menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang

semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa' di atas dapat diambil istinbãth

hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal

sedekah, amar ma'ruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil

walaupun kepada non muslim.

Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa' di atas -dalam

kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa

wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan

yang dilakukan oleh Thu'mah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan

Thu'mah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah

dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan

perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah

mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.

2. QS. al-An’am (6): 54 ⌧

☺ ☺

39 Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, (Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- 'Ammah al- Kitab,

1975), juz ke-2, h. 406-407 40 Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarĩr al- Thabari, Tafsĩr al- Thabari, (Mesir: Syirkah

Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373), jil. ke-4, juz ke-5, h. 276

Page 34: Arif Hamzah Sps.tesis

22

⌧ ⌦ ⌧

Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu

datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan

ayat-ayat sebelumnya (QS. 6: 51, 52, 53) yang menerangkan tentang

larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat

terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa

pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk

bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr (mereka adalah

para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan). Mereka berkata: “Hai

Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah

mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya

engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah

menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi

Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin

untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih

mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para

pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu.

Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am(6): 54 sebagai

jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat

kesalahan karena ketidaktahuannya.41

41 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis

Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), (Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985), cet. V, h. 205-206

Page 35: Arif Hamzah Sps.tesis

23

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi

Hatim yang bersumber dari Mahan,42 ia berkata bahwa pada suatu waktu

datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:

“Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak

memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang

menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa

pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan

diterima oleh Allah swt.

3. QS. al-Ma’idah (5): 39 ☺

⌧ ⌦ ⌧

Artinya: ”Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu)

sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebab turun ayat ini tidak lepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat 38,

bahwa pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan melakukan

pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong tangannya sebagaimana

yang diperintahkan Allah pada ayat 38 ini. Pada suatu waktu dia bertanya

kepada Rasulullah: “Adakah tobatku masih diterima wahai Rasulullah?”,

Sehubungan dengan pertanyaan perempuan itu Allah SWT. Menurunkan

ayat ke-39 yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah selalu menerima

taubat seseorang yang telah melakukan kejahatan, asalkan dia bersedia

untuk memperbaiki diri dan mengganti perbuatan jahat itu dengan

42 Abi al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wãhidy al-Nisabury, Asbãb al-Nuzũl, (Beirut: Dar al-

Fikr, 1994), h. 122, lihat juga al-Imam Jalãluddĩn al-suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat suci Al-Qur’an, terj. H.A Musthafa, (Semarang: Penerbit CV. Sy-Syifa’, 1993), cet. I. h. 206-207

Page 36: Arif Hamzah Sps.tesis

24

perbuatan yang baik (H.R. Ahmad dan yang lain dari Abdillah ibn

Amrin).43

4. QS. Ali Imran (3): 89

⌦ ⌧

Artinya: ”Kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan

mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dikemukakan oleh al-Nasa’i, Ibn Hibban dan al-hakim yang

bersumber dari Ibn ’Abbas bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar

murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia

minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap Rasulullah

SAW. untuk menanyakan apakah diterima taubatnya. Maka turunlah ayat

tersebut di atas (QS. 3: 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya

sehingga ia Islam kembali.44

Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh Musaddad di dalam

musnadnya dan ’Abd al-Razzaq yang bersumber dari Mujahid menyatakan

bahwa al-Harts ibn Suwaid menghadap kepada Nabi SAW. dan masuk

Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah

ayat tersebut di atas. Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang

kaumnya. Maka berkata al-Harts: “Sesungguhnya Allah yang paling benar

43 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, (Jakarta: Rajawali

Press, 1989), cet. I, h. 21 44 Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63, Lihat juga

Qamarudin saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 101

Page 37: Arif Hamzah Sps.tesis

25

di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang

muslim yang patuh.45

5. QS. al-Nisa’ (4): 35

☺ ☺

☯ ☺ ⌧

Artinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan bahwa pada suatu

waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah untuk

mengadukan masalahnya, bahwa mukanya ditampar oleh suaminya.

Rasulullah bersabda: “Suamimu itu harus diqishash (dibalas)”.

Sehubungan dengan sabda itu, maka turunlah ayat 35 yang dengan tegas

memberikan ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik

istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri.

Setelah mendengar keterangan ayat ini, wanita itu pulang dengan tidak

menuntut qishash terhadap suaminya.46

Diriwatkan pula oleh Ibn Mardawaih dan Ali ibn Abi Thalib bahwa

suatu waktu datang seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar

menghadap Rasululah bersama istrinya. Istrinya mengadu kepada

Rasulullah: “Wahai Rasulullah suamiku ini telah memukul mukaku

sehingga terdapat bekas luka”. Rasulullah bersabda: “Suamimu tidak hak

45 Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidy al-Nisabury, Asbab al-Nuzul, h. 63 46 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 238

Page 38: Arif Hamzah Sps.tesis

26

untuk melakukan demikian, dia harus diqishash”. Sehubungan dengan itu

maka diturunkanlah ayat ke 35 dari surat al-Nisa’ sebagai ketegasan

hukum, bahwa seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan

demikian, hukum qishash yang hendak dijatuhkan Rasulullah menjadi

gugur, tidak jadi dilaksanakan.47

Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, ‘Abd al-Razzaq dari

‘Ubaidah bercerita: “Aku melihat ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. tatkala didatangi oleh seorang perempuan bersama suaminya, yang masing-masing diantar oleh sekelompok orang dari golongannya. Mereka datang untuk mengadukan perpecahan (syiqaq) yang timbul antara dua orang suami-istri itu. Kedua golongan menunjuk orang yang mewakili masing-masing untuk menjadi juru damai. Kepada kedua Hakam yang diajukan itu, Imam Ali ibn Abi Thalib berucap: “Apakah kamu berdua mengetahui apa kewajiban kalian?, kewajiban kalian ialah menyelidiki sebab perpecahan kedua suami-istri ini, jika menurut pandangan kalian, keduanya masih dapat dipertemukan kembali maka damaikanlah, dan sebaliknya jika kamu berdua berpendapat, untuk kemaslahatan mereka berdua lebih baik bercerai, maka perceraikanlah.”48

6. QS. al-Baqarah (2): 220

☺ ⌧

⌧ ☺ ⌧

Artinya: ”Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu

tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang

47 A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 239 48 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 5-6, h. 54-55

Page 39: Arif Hamzah Sps.tesis

27

mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu

Dawud, al-Nasai, dan al-Hakim yang bersumber dari Ibn Abbas yang

berkata bahwa ketika turun ayat “walaa taqrabũ mãla al-yatĩmi illã billatĩ

hiya ahsan” (QS. Al-An’am (6): 152) dan ayat “innalladzĩna ya’kulũna

amwãla al-yatãmã zhulman”, sampai akhir ayat (QS. Al-Nisa’(4): 10),

orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanan dan

minumannya dari makanan dan minuman anak-anak yatim yang menjadi

tanggung jawabnya itu. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa

khawatir jangan-jangan mereka termasuk dalam kategori orang-orang yang

memakan harta milik anak-anak yatim. Demikian juga sisanya dibiarkan

begitu saja sampai membusuk kalau tidak dihabiskan olen anak-anak

yatim itu. Lalu mereka menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal

tersebut. Maka turunlah ayat (QS. Al-baqarah (2): 220) yang pada

pokoknya membenarkan men-tasarruf-kan harta benda anak-anak yatim

asal dengan ketentuan dan cara yang baik, yang tidak merugikan anak-

anak yatim tersebut kelak ketika sudah dewasa.49

7. QS. al-Baqarah (2): 224 ☺

Artinya: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlãh di antara manusia. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

49A. Mudjab Mahalli, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an, h. 99

Page 40: Arif Hamzah Sps.tesis

28

Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa

ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sumpah Abu Bakar untuk tidak

memberi nafkah lagi kepada Misthah (seorang fakir miskin yang hidupnya

menjadi tanggungannya). Hal ini ia lakukan lantaran Misthah termasuk

orang yang ikut serta memfitnah Siti Aisyah. Ayat tersebut turun sebagai

teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat

kebajikan.50

8. QS. al-Hujurat (49): 9 ⌧

☺ ☺

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

Ada beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini. Pertama,

diriwayatkan oleh al-Syaikhan dari Anas, bahwa Nabi diminta

mengunjungi Ibn Ubay. Ketika Nabi sampai di suatu tempat bernama

Sabikhah, keledai yang dikendarai Nabi kencing. Melihat itu, Ibn Ubay

berkata: ”Jauhkan keledaimu dariku, sesungguhnya baunya menyakitiku.”

50 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis

Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 76.

Page 41: Arif Hamzah Sps.tesis

29

Salah seorang sahabat yaitu Ibn Rawahah berkata: “Sesungguhnya baumu

lebih busuk dari bau keledai ini.” Maka salah seorang pengikut Ibn Ubay

membalas sehingga terjadi perang mulut yang akhirnya menimbulkan

perang dengan menggunakan tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini

sebagai perintah untuk menghentikan perkelahian dan menciptakan

perdamaian.51

Kedua, Menurut riwayat dari Ibn Jarir dari Ibn Abi Hatim dari al-

Sudi, dia berkata: ”Umran, salah seorang dari kalangan Anshar

mempunyai istri bernama Ummu Zaid. Istrinya ingin menjenguk

keluarganya tetapi tidak diizinkan oleh Umran, bahkan ia menyekap

istrinya. Kemudian istrinya mengutus seorang perempuan pembantunya

untuk melaporkan perihalnya kepada keluarganya. Maka datanglah

keluarga Ummu Zaid, menuntut agar ia dibebaskan. Tetapi Umran

mempertahankannya. Maka terjadilah dorong-mendorong dan

pertengkaran antara suami istri itu disertai oleh kaumnya masing-masing.

Maka turunlah ayat ini kepada Nabi untuk mendamaikan keduanya.52

9. QS. al-Anfal (8): 1 ⌧

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta

rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan

51 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Mesir: Muhammad Ali Shubaih wa

Auladuh, 1953), h. 87, lihat juga Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul(Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 472.

52 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, h. 87

Page 42: Arif Hamzah Sps.tesis

30

taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim

dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang

membunuh (musuh), ia akan mendapat sejumlah bagian tertentu dan

barang siapa yang menawan musuh, ia pun akan mendapat bagian

tertentu pula.” Pada waktu itu orang-orang tua tinggal menjaga bendera,

sedang para pemuda maju ke medan jihad menyerbu musuh dan

mengangkut ghanimah. Berkatalah orang-orang tua kepada para pemuda:

“Jadikanlah kami sekutu kalian, karena kami pun turut bertahan dan

menjaga tempat kembali kalian”. Hal ini mereka tujukan kepada Nabi

SAW. maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa ghanimah itu

merupakan ketetapan Allah dan jangan menjadi bahan pertengkaran.53

Adapun ishlãh sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. adalah

sebagaimana diriwayatan oleh Abu Dawud sebagai berikut:

الصلح جائز بين المسلمين اال صلحا احل حراما او حرم حالال روىه ابوداود وحاآم وابن حبان وصححه عن ابي هريرة

Artinya: Perdamaian itu boleh (dilakukan) di antara muslimin, kecuali ishlãh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. (H.R. Abu Dawud, Hakim, dan Ibn Majah dan ia menshahihkannya dari Abu Hurairah)

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:

من قتل عمدا دفع الى اولياء المقتول فئن شاؤوا قتلوا وان شاؤوا اخذوا الدية هم روىه ثالثين حقة وثالثين جذعة واربعين خلفة وما صولحوا عليه فهو ل

الترمذي وقال حديث حسن غريبArtinya: Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali

terbunuh, melakukan qishash atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 khalifah. Apa-apa yang disepakati dalam perdamaian, maka hal itu bagi mereka.

53 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis

Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 219

Page 43: Arif Hamzah Sps.tesis

31

C. Ishlãh dalam Sejarah

1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam

Ishlãh dalam arti perjanjian antar dua kelompok yang bertikai untuk

mengakhiri pertikaian sebenarnya telah dikenal jauh pada masa pra Islam.

Oleh karena itu, Majid Khadduri menyebutnya sebagai institusi yang

sangat tua lagi antik. Institusi ini bertujuan untuk menyelesaikan

permusuhan dengan cara damai, untuk merekonsiliasi antar pihak, dengan

berusaha mendamaikannya dengan mengadakan pernyataan persetujuan

yang bersifat kompromistis, tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak

yang lebih kuat terhadap lawannya yang lebih lemah. 54

Dikatakan tua karena institusi ini telah ada dan diterapkan prosedur-

prosedurnya sejak sekitar millenium keempat sebelum masehi atau

tepatnya tahun 3100 SM., yaitu perjanjian damai antara Ennatum, raja

Lagash, salah satu negara kota terbesar di Mesopotamia dengan

masyarakat Umma, satu negara kota lainnya di Mesopotamia. Perjanjian

damai itu dapat menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung

lama.55 Begitu juga yang terjadi di Mesir dan daerah sekitarnya.

Pada masa Arab pra Islam, para ketua suku dan ketua adat (dukun),

biasa memerankan diri sebagai penengah pertikaian dalam sukunya. Salah

satu yang terkenal adalah para tetua dari Bani Tamim yang mempunyai

reputasi cukup baik dalam menyelesaikan pertikaian antar suku. Orang-

orang dengan reputasi tinggi inilah yang biasa diminta atau berperan

sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar pihak. Mereka biasa

memanfaatkan momen budaya tahunan seperti perayaan pasar Ukãz, di

mana bangsa Arab dari berbagai suku berkumpul untuk bergembira dalam

54 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, (Clark, New Jersey: The Lawbook

Exchange Ltd., 2006), h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak yang berkonflik.

55 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 231

Page 44: Arif Hamzah Sps.tesis

32

festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan

momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu.

Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh

para mediator handal ini adalah perang antara suku ‘Abs dan suku

Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn ‘Auf dan Kharija.

Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter

dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang

paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses

rehabilitasi Ka’bah selesai.56

Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah

tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian

mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan

suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi

kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya

permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya,

Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar

aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku

memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama.57

2. Ishlãh Pada Masa Islam

Dalam sejarah Islam, kita mengetahui beberapa peristiwa penting

dalam perkembangan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah dan para

sahabat, khususnya dalam hal membuat perjanjian damai dengan pihak

luar Islam maupun mendamaikan antar pihak tertentu dalam Islam yang

sedang bertikai. Pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian, tepatnya

setelah isra’ mi'raj, Rasulullah berhasil mendamaikan dua suku Arab

56 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri

Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17 57 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 18

Page 45: Arif Hamzah Sps.tesis

33

utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu ’Aus dan Khazraj. Peristiwa ini

menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian

berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah,

Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di

Madinah dan sekitarnya.58 Salah satu momen penting pada awal periode

Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani

Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak

mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang

dipilih dan disepakati kedua belah pihak.59

Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah

haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk

Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan

sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya

antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah

pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama

kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib

mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah.

Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang

kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan

senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang

ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas

melakukannya tanpa mendapat rintangan.60

Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa’ Rasyidun, sepeninggal

Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh

karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi

58 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983), h.

105 59 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234 60 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa,

1990), h. 403

Page 46: Arif Hamzah Sps.tesis

34

permusuhan antar masyarakat Islam semakin parah dan memburuk, maka

diadakan perjanjian damai antara dirinya dengan Mu’awiyah ibn Abi

Sufyan. Terlepas dari apa isi perjanjian tersebut dan bagaimana sikap para

pihak dalam melaksanakan isi perjanjian di masa sesudahnya, perjanjian

ini berhasil mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan yaitu

Mu’awiyah. Tahun dilaksanakannya perjanjian ini kemudian disebut

dengan ’am jamã’ah (tahun persatuan).61

Setelah masa sahabat, bahkan jauh pada masa sesudahnya, sejarah

juga merekam membaiknya hubungan antara kelompok Sunni dan Syi’ah

pada masa khilafah Umawiyah khususnya pada masa Khalifah Umar ibn

Abd al-’Aziz. Syi’ah -yang menjadi oposisi waktu itu- mulai berdekatan

kembali dengan pemerintah dan terjalin hubungan yang baik. Di samping

itu, berabad-abad sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 November 1192,

dibuat perjanjian antara tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin al-

Ayyubi dengan tentara salib yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam

perjanjian damai itu dinyatakan bahwa orang-orang Kristen yang hendak

berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.62

Khusus mengenai perdamaian antara suku ’Aus dan Khazraj yang

dimediasi oleh Rasulullah, diterangkan bahwa berawal dari pertemuan

Nabi dengan beberapa orang dari suku Khazraj yang sedang mengunjungi

Mekah untuk berhaji dan untuk sebuah misi tertentu.

Bahwa setiap musim haji, Rasulullah menggunakannya sebagai

kesempatan berdakwah, ia masuk dari satu kemah jama’ah haji ke kemah

jama’ah yang lain untuk berdakwah. Hal ini juga Rasulullah lakukan

dalam rangka mencari kemungkinan dukungan baru baginya, mengingat

kedudukannya di Mekah yang semakin terjepit oleh embargo Quraisy

61 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota

Kembang, 1989), h. 64 62 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 47, 78

Page 47: Arif Hamzah Sps.tesis

35

sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib. Dalam misi dakwahnya itu,

Rasulullah bertemu dengan anggota suku Khazraj dari Yatsrib tersebut.

sekelompok orang Yatsrib tersebut berjumlah 6 orang, semuanya dari suku

Khazraj, yang membawa misi mencari bantuan kepada suku Quraisy

karena dalam peperangan terakhir dengan ’Aus, mereka mengalami

kekalahan.63

Dari percakapan mereka dengan Rasulullah, terlihat bahwa mereka

amat tertarik dengan ajaran agama baru yang disampaikan oleh Rasulullah,

hingga salah satu dari mereka berkata: ”Bangsa kami telah lama terlibat

dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ’Aus. Mereka benar-

benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka

kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran yang engkau bawa. Oleh

karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang

kami terima dari engkau ini.”64 Mereka juga sepakat untuk kembali dan

melapor kepada Rasulullah pada musim haji berikutnya.

Dari perkataan mereka di atas dapat disimpulkan bahwa

keterpesonaan dan kepercayaan mereka terhadap pribadi dan ajaran

Rasulullah telah membuat keenam orang dari suku khazraj ini berpindah

agama, dari agama berhala kepada agama tauhid sesuai ajaran Nabi. Lebih

dari itu, mereka juga berkeinginan kuat untuk menjadikan Rasulullah

sebagai penengah/mediator dalam menyelesaikan pertikaian antara mereka

dengan suku ’Aus. Mereka yakin kepada kenabian, ajaran, dan pribadi

Rasulullah, bahwa orang ini dapat melakukan tugas itu, bahkan lebih dari

itu, ia mampu menjadi pemimpin tertinggi bagi dua suku yang berseteru,

bahkan seluruh penduduk Yatsrib.

63 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah,

(Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 194 64 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24, Lihat juga Karen Armstrong, Muhammad

Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 195-196

Page 48: Arif Hamzah Sps.tesis

36

Oleh karena itu, pada musim haji tahun 621 M., enam muslimin

baru dari Yatsrib tersebut kembali ke Mekah sesuai rencana, sambil

membawa tujuh orang, dua di antaranya dari suku ’Aus, mereka bertemu

dengan Nabi di ’Aqabah, tempat yang sama dengan pertemuan mereka

yang pertama, dan menyatakan sumpah resmi untuk menyembah Allah

dan sumpah setia kepada Rasulullah.

Isi dari sumpah setia itu, -selain bersyahadat tentunya- sebagaimana

diceritakan salah satu dari mereka adalah bahwa mereka bersumpah setia

kepada sang Rasul bahwa mereka tak akan menyembah selain kepada

Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak keturunan mereka,

membantai tetangga, akan patuh kepada Muhammad mengenai apa yang

benar. Juga, bahwa Jika mereka memenuhi sumpah ini surga akan menjadi

milik mereka. Jika mereka melakukan dosa-dosa itu maka Tuhan akan

menghukum atau memaafkan, sebagaimana Allah kehendaki.”65

Di sini terlihat kecerdasan Nabi dan juga tentunya orisinalitas ajaran

yang dibawanya dari Allah. Bahwa agama yang ia bawa tidak hanya

mensyaratkan ketundukan total kaum muslim kepada Tuhan yang satu dan

Rasul-Nya, tetapi juga menanamkan penghargaan pada orang lain sebagai

individu dengan berbagai hak yang melekat padanya. Ajaran yang

merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat Yatsrib -dan

masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi- menjadi masyarakat

baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa keberhasilan seseorang atau

suatu golongan tidak selalu berarti kerugian bagi orang atau kelompok

lain. Bahwa kemauan untuk secara bersama-sama menggapai keberadaban

dan kemajuan akan dapat menentramkan kehidupan.

Sumpah setia sekelompok masyarakat Yatsrib di ’Aqabah itu

kemudian biasa disebut dengan bai’ah al-Aqabah al-ula, dan menjadi

65 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200

Page 49: Arif Hamzah Sps.tesis

37

tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah bai’ah al-

’aqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke

Yatsrib.

D. Ruang Lingkup Ishlãh

Berdasarkan uraian definisi, asbab al-nuzul ayat, dan ishlãh dalam

sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ishlãh dapat meliputi

ruang lingkup pribadi, keluarga, sosial (masyarakat), dan negara. Jika

dijabarkan lebih lanjut, maka ruang lingkup ishlãh tersebut dapat

dideskripsikan lebih luas lagi, yaitu bahwa para pihak yang terlibat konflik

dapat terdiri dari:

1. individu dengan Tuhan, individu dengan individu dalam keluarga dan

sosial, individu dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, individu

dengan sosial dalam sosial dan negara, dan individu dengan negara dalam

negara.

2. Keluarga dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, keluarga dengan

sosial dalam sosial, keluarga dengan negara dalam negara.

3. Sosial dengan sosial dalam sosial dan negara, sosial dengan negara dalam

negara.

4. negara dengan negara dalam internasional

Agaknya pembagian ruang lingkup ishlãh di atas cukup relevan jika disebut

sebagai ruang lingkup pelaku/subyek ishlãh.

Adapun pembagian ruang lingkup berdasarkan lapangan terjadinya

konflik/perihal konflik yang hendak diishlãhkan dapat meliputi:

1. Konflik individu

2. Konflik keluarga,

3. Konflik sosial, dan

4. Konflik negara

Page 50: Arif Hamzah Sps.tesis

38

Agaknya relevan pula jika pembagian ruang lingkup ishlãh dalam konteks

lapangan/perihal konflik ini disebut sebagai obyek ishlãh.

Menurut penulis, ulama fikih terdahulu menekankan pembahasan

subyek dan obyek ishlãh hanya dalam ishlãh antar individu dalam masyarakat,

antar individu dalam keluarga, antar individu dalam hukum, dan antar negara.

Sementara mengenai konflik sosial yaitu konflik antar masyarakat atau antar

golongan yang berbeda suku, agama, dan pandangan belum dibahas.

Mengenai rukun dan syarat ishlãh, para ulama fikih hanya membahas

rukunnya saja, tanpa membahas syarat dari masing-masing rukun tersebut

secara lebih rinci, demikian pula kurangnya pembahasan ulama mengenai

ishlãh ini dalam konteks ushul fikih. Oleh karena itu pengembangan

pembahasan ishlãh dalam fikih dan ushul fikih perlu dilakukan.

Page 51: Arif Hamzah Sps.tesis

BAB III

DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH

A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah

Pembahasan ini sangat berkait erat dengan pembahasan teori maqãshid

al-syarĩ’ah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fikih kontemporer,

pengetahuan tentang maqãshid al-syarĩ’ah mutlak diperlukan dalam rangka

memahami hakikat dan peranannya dalam penetapan hukum. Oleh karena itu

perlu dijelaskan tentang teori ini, yang kemudian diakhiri dengan melihat

hubungan antara teori ini dengan ishlãh dan pererapannya.

Secara bahasa, maqãshid al-syarĩ’ah berarti maksud atau tujuan

disyari'atkan hukum dalam Islam. maka bahasan utama dalam teori ini adalah

masalah hikmah dan 'illah ditetapkannya hukum.66 Kajian tentang tujuan

ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam

bidang ushul fikih. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini juga

merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat

dikatakan bahwa istilah maqãshid al-syari'ah identik dengan istilah filsafat

hukum Islam yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan

ditetapkannya suatu hukum.67

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengem-

bangkan pemikiran hukum Islam guna menjawab persoalan-persoalan hukum

kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur'an dan

Hadis. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka menetapkan, apakah

terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum yang sama

atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial. Dengan demikian,

66 Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyal at-Maqdshid 'Inda al-Syathibi, (Rabath: Dar al-Aman,

1991), h. 67 67 Khalid Mas'ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Syathibi's Life and

Thought, (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), h. 325-326

39

Page 52: Arif Hamzah Sps.tesis

40

pengetahuan tentang Maqãshid al-syarĩ’ah menjadi kunci bagi keberhasilan

ijtihad. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan persoalan hukum

disini adalah tentu persoalan hukum yang menyangkut bidang mu'amalah

yang dapat diketahui makna dan rahasianya oleh akal manusia.68 Dalam

penelusuran terhadap masalah-masalah mu'amalah ini, mujtahid perlu

mempertanyakan, mengapa Allah SWT. dan Rasul-Nya menetapkan hukum

tertentu dalam bidang mu'amalah. Untuk selanjutnya mempertanyakan,

apakah suatu aturan hukum tertentu masih dapat diterapkan terhadap kasus

hukum yang lain.

Lebih jelasnya, dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer,

perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap

kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian

terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam

menerapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash harus

diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari'atkan hukum tersebut.

Setelah itu perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan, apakah ayat

atau Hadis tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Boleh

jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat

dalam Al-Qur'an dan Hadis, padahal setelah diadakan penelitian yang

seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak

dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber

hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan

umum disyari'atkan hukum dalam Islam sebagaiman telah dilakukan oleh para

ahli ushul fikih terdahulu.

68 Satria Efendi, "Maqashid al-Syari 'at dan Perubahan Sosial", dalam Dialog (Jakarta:

Badan Litbang Depag, No, 33 tahun XV, Januari, 1991), h. 29

Page 53: Arif Hamzah Sps.tesis

41

Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam

Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-

perintah dan larangan-larangan, demikian ditegaskan oleh al-Juwaini.

Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqãshid al-syarĩ’ah itu dalam

kaitannya dengan pembahasan 'illah dalam qiyãs. Menurut pendapatnya,

dalam kaitannya dengan 'illat, ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,

yaitu ashl yang masuk kategori dharuriyyah, hãjjiyah ãmmah, dan makramah.

Dalam istilah lain kategori ketiga biasa disebut tahsĩniyyah.69

Pemikiran al-Juwaini di atas agaknya dikembangkan dan diberi bentuk

oleh al-Ghazali. Ia menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan

pembahasan al-munãsabah al-mashlahiyyah70 dalam qiyãs, dan lebih jauh lagi

dalam pembahasan istishlãh.71 Baginya, mashlahah adalah memelihara

maksud al-Syãri'. Kemudian ia memerinci mashlahah itu kepada lima hal,

yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima aspek

mashlahah ini berada pada peringkat yang berbeda ditinjau dari segi

tujuannya, yaitu peringkat dharurah, hajah dan tahsinah. Agaknya, dari sini

teori Maqãshid al-syarĩ’ah sudah mulai terlihat bentuknya.

Selanjutnya, secara khusus aspek utama maqãshid al-syarĩ’ah

dikembangkan oleh 'Izzu al-Din ibn 'Abdi al-Salãm dalam kitabnya, Qawã'id

al-Ahkãm fi Mashãlih al-Anãm, ia mengejawantahkan mashlahah dalam

bentuk dar'u al-mafãsid wa jalbu al-manãfi'. Baginya mashlahah

dunyawiyyah tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu dharuriyyah,

hãjjiyah dan tatimmah atau takmilah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa taklĩf

bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.72

69 Abd. Al-Malik Ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Anshar, 1400 H.), Jil. II, h. 923

70 al-Ghazali, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Shibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta'lil, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), h. 159

71 al-Ghazali, al-Mustasyfa, (Baghdad: Mathba'at al-Irsyad, 1971), juz I, h. 250 72 Ibn 'Abdi al-Salam,Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (K.airo: al-Istiqamat, tth.),

Jil. I, h. 9.

Page 54: Arif Hamzah Sps.tesis

42

Adapun ahli ushul fikih yang membahas teori Maqãshid al-syarĩ’ah

secara lebih khusus, sistematis dan jelas adalah al-Syãthibi dari kalangan

mazhab Maliki. Ia secara tegas menyatakan, bahwa tujuan utama Allah SWT

mensyari'atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan

di akhirat. Karena itu, pembebanan dalam bidang hukum harus bermuara pada

tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi

peringkat mashlahah menjadi tiga peringkat, yaitu dharũriyyah, hãjjiyah dan

tahsĩniyyah. Yang dimaksud dengan mashlahah baginya adalah memelihara

lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.73

Berdasarkan pernyataan para ahli ushul fikih di atas dapat dipahami,

bahwa tujuan Allah SWT mensyari'atkan hukum adalah untuk memelihara

mashlahah manusia dan menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di

akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklĩf, yang pelaksanaannya

sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yaitu al-

Qur'an dan Hãdis. Untuk tujuan itu, berdasarkan penelitian para ahli ushul

fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta yang selanjutnya ia sebut sebagai al-kulliyyãt al-khams.

Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan jika ia dapat

memelihara kelima aspek pokok itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya

mafsadah, jika ia tidak dapat memeliharanya dengan baik. Menurut al-

Syãthibi, penetapan kelima pokok di atas didasarkan atas dalil-dalil al-Qur'an

dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawã'id al-kulliyyãt dalam

menetapkan al-kulliyyãt al-khams. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan dasar

pada umumnya adalah ayat-ayat Makiyyah yang tidak dinaskh dan ayat-ayat

Madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makiyyah. Di antara ayat-ayat itu

adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan

membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan

73 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt.: Dar-alFikr, tth.), Jil. II, h. 5

Page 55: Arif Hamzah Sps.tesis

43

berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.

Ia berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-dalil yang digunakan untuk

menetapkan al-kulliyyãt al-khams termasuk dalil yang qath'i, maka ia juga

dapat dikelompokkan sebagai qath'i. Dalam artian, karena landasan hukum

untuk menetapkan al-kulliyãt al-khams dapat dipertanggungjawabkan, maka ia

dapat pula dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.74

Guna menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan

menjadi tiga peringkat, dharũriyyah, hãjjiyah, dan tahsĩniyyah.

Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya.

Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan

yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan.

Dalam hal ini peringkat dharũriyyah menempati urutan pertama, disusul oleh

peringkat hãjjiyah, kemudian disusul oleh tahsĩniyyah. Namun dari sisi lain

dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan

peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.

Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dharũriyyah adalah

memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan

manusia. Kebutuhan yang essensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai terancamnya eksistensi

kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-

kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas.

Berbeda dengan kelompok dharũriyyah, kebutuhan dalam kelompok hajiyah

tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang

dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak

terpeliharanya kelompok ini tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok

di atas, tetapi hanya akan meniimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok

ini erat kaitannya dengan rukhshat atau keringanan dalam ilmu fikih.

74 Al-Syatibi, Jil. II, h. 34-70

Page 56: Arif Hamzah Sps.tesis

44

Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsĩniyyah adalah kebutuhan yang

menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan

Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.75

Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqãshid al-

syarĩ’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan

peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok

kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian

masing-masing dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat

kepentingan atau kebutuhannya.

1. Memelihara Agama (Hifzh al-Dĩn)

Memelihara agama dalam peringkat dharũriyyah, yaitu memelihara

dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer,

seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka

akan terancamlah eksistensi agama. Memelihara agama dalam peringkat

hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud

menghindari kesulitan, seperti shalat jama' dan qashar bagi orang yang

sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan

mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang

yang melakukannya. Memelihara agama dalam peringkat tahsĩniyyah,

yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat

manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan.

Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat,

membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya

dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal itu tidak dilakukan, karena tidak

memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak

pula akan mempersulit orang yang melakukannya.

75 al-Syatibi, h. 5

Page 57: Arif Hamzah Sps.tesis

45

2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)

Memelihara jiwa dalam peringkat dharũriyyah, seperti memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau

kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya

eksistensi jiwa manusia. Memelihara jiwa dalam peringkat hãjjiyah,

seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal.

Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi

manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. Memelihara jiwa

dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti ditetapkannya tatacara makan dan

minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket,

sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun

mempersulit kehidupan seseorang.

3. Memelihara Akal (Hifzh al-'Aql)

Memelihara akal dalam peringkat dharũriyyah, seperti diharamkan

meminum khamr. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan

berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat

hajjiyyat, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya

kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan

mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu

pengetahuan. Memelihara akal dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti

menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang

tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan

mengancam eksistensi akal secara langsung.

4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)

Memelihara keturunan dalam peringkat dharũriyyah, seperti

disyari'atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan,

maka akan mengancam eksistensi keturunan. Memelihara keturunan dalam

peringkat hãjjiyah, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi

Page 58: Arif Hamzah Sps.tesis

46

suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar

itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami

kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus

talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak

talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. Memelihara

keturunan dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti disyari'atkan khithbah

atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka

melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan

mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang

yang melakukan perkawinan.

5. Memelihara Harta (Hifzh al-Mãl)

Memelihara harta dalam peringkat dharũriyyah, seperti di-

syari'atkannya tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta

orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka

akan berakibat terancamnya eksistensi harta. Memelihara harta dalam

peringkat hãjjiyah, seperti disyari'atkan jual beli dengan cara salam

(inden). Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam

eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan

modal. Memelihara harta dalam peringkat tahsĩniyyah, seperti adanya

ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya

dengan etika bermu'amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan

berpengaruh kepada kesahan jual beli itu, sebab peringkat ketiga ini juga

merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.

Jelas bahwa tujuan disyari'atkan hukum adalah untuk memelihara

mashlahah dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di

akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam

al-Qur'an dan Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik

tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan

Page 59: Arif Hamzah Sps.tesis

47

dalam kedua sumber utama fikih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui

teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan

tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya.

Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa ishlãh yang berperan

sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi

individu dan masyarakat baik di dunia –yang meliputi pemeliharaan agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harta- maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan

memelihara ke mashlahahan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana

tujuan disyari'atkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlãh sebagai

sebuah produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai

bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Qur'an

sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yang oleh karena itu

dipastikan dapat memelihara al-kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di

atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula

untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian.

Di sinilah posisi strategis ishlãh dalam konteks mashlahah dan dalam

mewujudkan mashlahah itu sendiri.

Diterapkannya ishlãh dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat

memelihara kemuliaan agama. Bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan

keselamatan mengejawantahkan ajarannya dengan menciptakan kedamaian

antar anggota masyarakat di mana Islam dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula

ishlãh dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah yang dapat merusak dan

menghilangkan jiwa yang sangat berharga. Ishlãh juga dapat memelihara

harta individu dan masyarakat agar termanfaatkan secara maksimal bagi

peningkatan kebajikan individu dan masyarakat, daripada terhamburkan dalam

persengketaan yang berlarut-larut dan menghabiskan banyak biaya dan tenaga.

Begitu pula dengan ishlãh akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena

pada dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan sedangkan Tuhan

Page 60: Arif Hamzah Sps.tesis

48

B. Hukum ishlãh

Abu al-Walid ibn Rasy menyatakan bahwa apabila Ishlãh dilakukan

antara dua orang dalam masalah harta benda, maka hukumnya adalah sunnah

untuk menyelesaikannya atau mendamaikannya. Iishlãh itu dilakukan karena

adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa, akan tetapi

ishlãh bukanlah suatu keharusan, melainkan ishlãh itu dilakukan sesuai

dengan kebutuhan. Senada dengan Abu al-Walid, al-Khasyi dan Ibn Irfah

berpendapat sama bahwa ishlãh itu hukumnya adalah mandub. Ishlãh wajib

dilakukan apabila berkaitan dengan mashlahat umat.76

Dengan kata lain, Hukum pelaksanaan ishlãh adalah kondisional

tergantung pada tingkat urgensi penerapannya sebagaimana keterangan di atas.

Atau dalam konteks teori maqãshid al-syarĩ’ah, tingkat urgensi penerapan

ishlãh disesuaikan dengan tingkat krusial konflik yang hendak di ishlãhkan.

Jika konflik sudah mencapai taraf darurat atau perihal yang dikonflikkan

merupakan hal yang sangat esensial dalam masyarakat sehingga terjadinya

konflik dapat mencapai taraf maksimal maka hukum penerapan ishlãh menjadi

wajib. Jika konflik masih dalam taraf sedang atau perihal yang dipersilisihkan

merupakan hal yang kurang esensial dalam masyarakat sehingga

dimungkinkan tidak terjadi konflik dan perpecahan, maka hukum penerapan

ishlãh menjadi mandub. Jika perihal yang diperselisihkan merupakan hal yang

remeh-temeh, sehingga dapat diselesaikan dengan sendirinya dengan cukup

76 Naziyah Hammad, Aqdu al-Shulh fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 17

Page 61: Arif Hamzah Sps.tesis

49

adanya saling pengertian antar pihak, maka hukum penerapan ishlãh hanya

sebatas mubah saja.

Selanjutnya, perlu diperhatikan rambu yang harus diperhatikan, bahwa

para ulama memposisikan ishlãh pada dua posisi diametral. Pertama, ishlãh

yang adil, yaitu ishlãh yang dibolehkan dan akan mendapat ridha Allah dan

juga oleh pihak yang sedang bersengketa, karena proses ishlãh dilakukan dan

didasari oleh adanya rasa keadilan, kearifan, serta keinginan yang tulus dari

kedua belah pihak. ishlãh seperti inilah yang dimaksud oleh firman Allah QS.

Al-Hujurat (49): 9.

Kedua, ishlãh yang ditolak (mardud), yaitu ishlãh yang menghalalkan

yang haram dan mengharamkan yang halal. Atau ishlãh dalam kasus

memakan harta riba, juga pada kasus meninggalkan yang wajib sehingga tidak

dikerjakan, juga ishlãh yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap

orang yang lemah secara zhalim yang mengakibatkan ishlãh dilakukan secara

terpaksa dan tidak didasarkan pada keikhlasan tiap pihak.77

Menurut al-Sarkhasi, ishlãh dengan maksud mengharamkan yang halal,

seperti suami yang membolehkan salah seorang istrinya untuk digauli

tetangganya adalah tertolak. Adapun contoh ishlãh yang menghalalkan yang

haram adalah seperti membolehkan minum khamr atau memakan daging babi.

Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaily, Syara’ menghendaki ishlãh

untuk sesuatu yang umum, seperti firman Allah “wa al-shulhu khair” atau pun

Hadis nabi الصلح جائز بين المسلمين اال صلحا احل حراما او حرم حالال ”

ishlãh/shulh itu boleh bagi orang Islam, kecuali ishlãh yang menghalalkan

yang haram atau mengharamkan yang halal” Sebagaimana Hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah.78

77 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz ke-2, h. 177 78 Al-Sarkhasi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), h. 134. Sunnah

menunjukkan bahwa ishlah adalah untuk menggugurkan qishas. Sebagaimana hadits nabi yang lain “Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali yang terbunuh, melakukan qishãsh atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 hilfah. Dan apa

Page 62: Arif Hamzah Sps.tesis

50

C. Signifikansi ishlãh

Dalam ajaran Islam, Iman yang termanifestasi dalam bentuk ketaatan

kepada Tuhan mengandung arti keberpihakan kepada kebaikan dan kebenaran.

Ketaatan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk hubungan sosial yang baik

dengan sesama manusia. Dengan demikian akan tumbuh potensi kebaikan

yang secara kontinu merangsang perbaikan dalam masyarakat.

Prinsip iman sebagai bagian paling inti dalam agama ternyata tidak

cukup sebatas pengakuan dalam hati saja, tetapi mesti diimplementasikan

dalam hubungan kemanusian. Di sinilah doktrin amal saleh mendapatkan

tempatnya. Doktrin amal saleh yang terterapkan secara benar akan

menghasilkan ishlãh, yaitu perbaikan berkelanjutan dalam masyarakat.

Sebagai tindakan yang kontinu, ishlãh hendaknya mulai diterapkan

dalam keluarga, karena keluarga merupakan titik berangkat komunikasi antar

manusia dalam masyarakat. ishlãh diterapkan dalam bentuk kerukunan dan

kebersamaan seluruh anggota keluarga. Keluarga yang rukun dan damai akan

menlahirkan generasi yang baik dan berkualitas, karena kedamaian merupakan

iklim yang baik untuk menanamkan pendidikan dan pembinaan moral anak-

anak. Sebaliknya, keluarga yang penuh dengan perselisihan akan melahirkan

anak-anak yang kecewa dan penuh kebencian. Keluarga rukun, tenteram dan

damai merupakan tujuan perkawinan dalam ajaran Islam yang sering disebut

keluarga sakinah. Keluarga sakinah dimulai dari adanya pemahaman dan

pengertian antara suami dan istri, baik pemahaman fisik, karakter, dan

kebiasaan masing-masing. Dari pemahaman ini akan lahir pola komunikasi

yang saling dipahami oleh masing-masing pihak sehingga terjadi komunikasi

yang efektif di antara pihak-pihak dalam keluarga. Dari keluarga tersebut akan

yang disepakati dalam perdamaian itu adalah (baik) bagi mereka,. (HR. Turmudzi, dia mengatakan Hadits ini adalah Hadits Hasan gharib). Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Juz ke-6, h. 293

Page 63: Arif Hamzah Sps.tesis

51

terbentuk masyarakat dengan karakteristik yang menggambarkan keluarga-

keluarga yang berada di dalamnya.

Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama

dalam menata hubungan sosial di antara anggotanya. ishlãh sebagai salah satu

nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat

yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya

persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam

masyarakat.

Di antara indikasi persatuan dan kekompakan di antara individu dalam

masyarakat ialah terjalinnya hubungan sosial yang baik di antara tetangga. Hal

ini termasuk salah satu keutamaan yang diajarkan Islam kepada umatnya

dalam rangka menciptakan jalinan erat yang mendalam di hati anggota umat

untuk membentuk suatu komunitas yang terbaik di antara komunitas lainnya

di muka bumi.

Hubungan yang baik dengan tetangga merupakan jalinan paling utama

dalam menyatukan hati umat Islam dan memadukannya, agar mereka saling

mengasihi, menyayangi, dan saling mendukung. Tetangga dapat dipahami

dalam beberapa karakter: Pertama, tetangga dekat, baik karena ada hubungan

keturunan maupun karena tempat tinggalnya yang berdekatan. Kedua,

tetangga yang berjauhan, baik jauh hubungan keturunannya maupun jauh

tempat tinggalnya. Ketiga, teman sejawat, yaitu siapa saja yang berkumpul

bersama dalam satu profesi, tugas, persahabatan, atau pun satu lembaga

pendidikan, atau dengan ungkapan lain, ia adalah teman di saat menetap di

suatu tempat dan teman di kala bepergian. 79

79 Lihat QS. Al-Nisa’ (4): 36, ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-

Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Page 64: Arif Hamzah Sps.tesis

52

Allah memulai perintah itu dengan menyembah-Nya serta larangan

untuk menyekutukan-Nya. Kemudian, dilanjutkan dengan perintah-perintah

lain yang tak kalah pentingnya yang menghajatkan perhatian penuh dari siapa

saja yang termasuk dalam perintah itu, yaitu keharusan berbuat baik terhadap

kedua orang tua, lalu meluas kepada kaum kerabat, termasuk anak yatim dan

fakir miskin, lalu tetangga yang mempunyai hubungan kekerabatan

sebagaimana yang diterangkan di atas, lalu tetangga jauh, teman dekat, orang

yang terputus hubungan dengan kaum kerabatnya ketika sedang dalam

perjalanan dan tidak lagi mempunyai perbekalan, dan hamba sahaya yang

berada dalam tanggungan tuannya.

Urgensi tetangga dan keutamaan menjaga hubungan dengannya

merupakan tanggung jawab yang besar, sehingga Rasulullah menegaskan

bahwa Jibril senantiasa mengingatkan untuk selalu menjaga hubungan baik

dengan tetangga.

Karena persatuan dan rasa cinta merupakan karakter dasar seorang

mukmin terhadap siapa saja yang dipergaulinya, khususnya terhadap

saudaranya yang beriman, maka ada beberapa hak dan kewajiban yang harus

diketahuinya yang merupakan konsekuensi logis dari ikatan ukkhuwah itu.

Di antara hak tetangga itu ialah bahwa tetangga muslim mempunyai tiga

macam hak, yaitu hak ukhuwah Islam, hak bertetangga dan hak kekerabatan.

Sedangkan tetangga muslim yang jauh mempunyai hak ukhuwah Islam dan

hak bertetangga. Adapun tetangga non-muslim mempunyai hak bertetangga

dan hak kekerabatan dengan cara yang ma’ruf, selama tidak memusuhi Islam

dan kaum muslimin. Tetapi jika memusuhi Islam dan kaum muslimin, maka

terjadilah penyekat yang memisahkan antara keduanya. Dalam hal ini, Islam

telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga meskipun

Page 65: Arif Hamzah Sps.tesis

53

ia bukan muslim. Hubungan baik dengan tetangga sebagaimana ditegaskan

Rasul adalah bukti dari keimanan itu sendiri.80

Memahami dan mengaplikasikan ishlãh dalam kehidupan masyarakat

tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. ishlãh dapat

diaplikasikan dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, ishlãh

merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa

ishlãh yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak

sosial yang lahir dari ishlãh dapat digunakan dan dirasakan oleh manusia

secara keseluruhan.81 Termasuk dalam konteks kehidupan antar bangsa, nilai

ishlãh sangat relevan untuk dijadikan nilai universal guna menyatukan umat

manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.

Dominasi salah satu etnis atas etnis lain atau negara atas masyarakatnya

merupakan pengingkaran terhadap makna ishlãh. Esensi ajaran Islam terletak

pada penghargaan pada kemanusian secara universal yang berpihak kepada

kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian,

menghindari pertentangan dan perselisihan, baik ke dalam intern umat Islam

maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa ishlãh menjadi dasar bagi

80 Hadits tersebut kurang lebih berarti “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari

kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya”. Demikian Rasulullah memberikan pedoman hidup bertetangga sekaligus sebagai tolok ukur keimanan.

81 QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, Allah berfirman“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” Ayat tersebut memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin. Karena Allah Yang Maha Kuasa mungkin menjadikan hubungan kaum muslimin dan kaum kafirin yang tadinya bermusuhan menjadi hubungan yang lebih baik. Lihat juga QS. Al-Hujurat (49):1381

Page 66: Arif Hamzah Sps.tesis

54

hubungan antar manusia secara universal. lintas suku, bangsa, dan agama.

Secara lebih rinci, ishlãh dapat berperan dalam beberapa hal berikut ini.

1. Menenangkan jiwa dalam kehidupan individu

Sebagaimana telah diungkapkan dalam pembahasan terdahulu

bahwa ishlãh berarti memperbaiki suatu kesalahan yang pernah dibuat,

perbaikan itu juga meliputi perbaikan kualitas diri dan sekaligus

memelihara diri dari kesalahan. Ketiga arti tersebut berkaitan dengan

upaya menghindarkan dan memperbaiki diri dari kesalahan, keburukan,

dan dosa serta meningkatkan kualitas kebaikan.

Kesalahan dan dosa merupakan perilaku yang menyimpang dari

nilai dan norma agama, sosial, maupun budaya. Kesalahan bisa

diakibatkan oleh kekhilafan maupun karena kesengajaan. Kesalahan yang

didorong oleh kesadaran dan kesengajaan melahirkan dosa, sedangkan

Setiap dosa yang dilakukan seseorang mengandung konsekuensi terhadap

dirinya berupa kecemasan dan ketakutan yang dapat mengganggu

ketenangan jiwa.

Sementara ishlãh merupakan konsep hidup dalam menyikapi suatu

kesalahan. Bagaimana seseorang yang bersalah menyadari kesalahannya,

orang yang baik meningkatkan kualitas kebaikannya, serta orang dapat

menjaga dirinya sehingga terhindar dari kesalahan dan keburukan. Ketiga

hal tersebut akan berpengaruh kuat kepada aspek kejiwaan seseorang,

yaitu dapat memberikan ketenangan dan ketenteraman hati yang berujung

pada kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap orang.

Ketenangan dan ketenteraman jiwa tergantung kepada sikap hidup

seseorang dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain.

Hubungan dengan dirinya sendiri dilakukan dengan mengelola hatinya

sebagai tempat di mana ketenangan dan ketenteraman itu berada.

Page 67: Arif Hamzah Sps.tesis

55

Pengelolaan ini dilakukan antara lain dengan mengembangkan sikap sabar

dan syukur.

Sabar dalam konteks ishlãh, termasuk di dalamnya seperti sabar

untuk melaksanakan shalat, puasa dan sebagainya. Termasuk pula sabar

dalam menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemunkaran. Namun,

jika perbuatan dosa dan kemungkaran itu tejadi juga, maka secara otomatis

kesabaran akan menggerakkan hati untuk segera bertaubat.82

Sabar dalam hubungannya dengan orang lain seperti sabar terhadap

perlakuan buruk orang lain, yaitu dengan menahan diri untuk tidak

melakukan pembalasan dengan tindakan yang sama buruk. Meskipun pada

dasarnya ajaran Islam membolehkan untuk membalas, akan tetapi

kebolehan itu diikuti dengan ajaran yang lebih menganjurkan untuk

memaafkan orang yang berbuat salah. Dalam hal memaafkan orang lain

inilah hakikat sabar.

Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah dan

mengembalikannya kepada kehendak Allah, apabila musibah itu tidak bisa

dihindarkan lagi, sebagaimana firman Allah: “(yaitu) orang-orang yang

apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa

ilaihi raaji'uun” (QS. Al-Baqarah (2): 156).

Syukur merupakan sikap seseorang terhadap anugerah yang

diberikan Allah kepadanya. Al-Raghrib al-Asfahani menyebutkan bahwa

kata syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan

menampakkannya ke permukaan.83 Hakekat syukur adalah menampakkan

nikmat, dan hakekat kufur adalah menyembunyikannya. Menampakkan

nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat yang sesuai

82 Lihat QS. al-An’am (6): 54; al-Maidah (5): 39; dan al-Baqarah (2): 160 83 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 216

Page 68: Arif Hamzah Sps.tesis

56

dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat

dan pemberinya dengan indah.

Syukur dilakukan dengan tiga hal, yaitu bersyukur dengan hati,

lidah, dan perbuatan. Bersyukur dengan hati adalah kepuasan batin atas

anugerah yang diterima. Bersyukur dengan lidah adalah mengakui

anugerah dan memuji pemberinya. Sedangkan bersyukur dengan

perbuatan adalah memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan

tujuan yang menganugerahkan nikmat tersebut.84

Dengan demikian, syukur merupakan sikap yang menunjukkan

penerimaan terhadap suatu pemberian atau anugerah dalam bentuk

pemanfaatan sesuai dengan kehendak pemberinya. Orang yang bersyukur

akan merasakan ketenangan jiwa dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan

yang dapat membuat hati kecewa dan gelisah. Yang demikian ini, justru

akan menambah nikmat itu sendiri. Ketenangan dan ketenteraman dalam

hubungannya dengan orang lain adalah berlaku baik kepada orang lain,

meminta maaf apabila berbuat salah kepada orang lain, dan memaafkan

kesalahannya apa bila mereka bersalah.85

Sabar dan bersyukur merupakan konsep ishlãh terhadap diri sendiri,

sedangkan meminta dan memberi maaf kepada orang lain merupakan

penerapan ishlãh terhadap orang lain. Dengan demikian ishlãh dapat

membawa manusia kepada tujuan hidupnya, yaitu ketenangan dan

ketenteraman.

2. Mewujudkan persatuan umat

Dalam koteks sosial kemasyarakatan, ishlãh berarti mendamaikan

persengketaan dan menyatukan perpecahan. Karena itu, dalam konsep

ishlãh terdapat dorongan untuk mempererat dan memperkuat kesatuan.

84 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, , h. 216 85 Lihat QS. Ibrahim (14): 7 dan al-Syura (42): 40

Page 69: Arif Hamzah Sps.tesis

57

Persatuan merupakan salah satu misi Islam yang harus dilaksanakan oleh

komunitas muslim dan manusia pada umumnya.

Dalam hubungan sosial, Islam mengenalkan konsep ukhuwwah dan

jama’ah yang merupakan konsep persaudaraan yang berintikan

kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan

muslim dikenal dengan istilah Ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan

yang diikat oleh kesamaan aqidah. Nabi menggambarkan eratnya

hubungan muslim dengan muslim sebagaimana anggota tubuh dengan

anggota tubuh lainnya, jika salah satu anggota tubuh terluka, maka

anggota tubuh lainnya merasakan juga sakitnya. Perumpamaan tersebut

mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu,

persengketaan antar muslim berarti mencederai wasiat Rasul. Tetapi

apabila hal tersebut tak dapat dihindarkan sehingga terjadi di kalangan

muslim, maka ishlãh menjadi solusi yang terbaik untuk mengatasinya.

Dalam hal ini, ishlãh berperan sangat penting untuk menyelesaikan

pertentangan yang terjadi sehingga tidak sampai menimbulkan

permusuhan. Apabila telah terjadi permusuhan, maka ishlãh dapat

berperan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau

kelompok yang saling bermusuhan tersebut.86 Dengan demikian, konsep

ishlãh dalam Islam dapat menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan

pertentangan di kalangan umat Islam dan sekaligus menguatkan tali

persatuan di kalangan mereka.

3. Stabilitas keamanan dan ketertiban

Keamanan dan ketertiban merupakan indikasi dari masyarakat

yang bahagia. Karena aman dan tertib merupakan tujuan adanya norma

dan hukum, maka mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib adalah

86LIhat QS. al-Hujarat (49): 9-10

Page 70: Arif Hamzah Sps.tesis

58

meletakan masyarakat di atas tata nilai dan norma sosial agama yang

disepekati bersama.

Dalam ajaran Islam, dorongan untuk mewujudkan masyarakat yang

aman dan tertib menjadi salah satu tujuan bermasyarakat. Hal ini

ditunjukkan dengan adanya doktrin sosial Islam yang menjadi bagian

penting dalam ajaran Islam, yaitu amal saleh. Wahana amal saleh adalah

masyarakat, sedangkan dampak dari amal saleh adalah terwujudnya

masyarakat yang aman dan tertib.

Masyarakat yang aman adalah masyarakat yang terlindung baik fisik

maupun jiwanya dari segala gangguan, sedangkan tertib adalah konsistensi

dan kedisiplinan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Kedua hal

tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat, karena tanpa adanya keamanan, maka ketentraman dan

kedamaian menjadi hilang. Padahal, Islam sesuai dengan namanya adalah

agama yang mengajarkan kedamaian dan perdamaian. Karena itu, setiap

bentuk perselisihan atau pertentangan harus selalu dihindarkan.

Sebagai agama perdamaian, Islam meniscayakan tumbuh

kembangnya persaudaraan dan mengharamkan permusuhan, terutama di

kalangan sesama muslim lainnya. Maka, jika terjadi permusuhan di antara

sesama muslim, maka orang muslim dalam hal ini pihak ketiga,

mempunyai hak bahkan kewajiban untuk menciptakan kedamaian antar

saudaranya yang lain.

Bahkan, adanya perang dalam sejarah Islam selalu berkaitan dengan

pembelaan atas kaum lemah dan demi menegakkan keadilan dalam rangka

mewujudkan keamanan, ketertiban, dan perdamaian. Dengan demikian,

keamanan, ketertiban, dan perdamaian merupakan urgensi dari konsep

ishlãh dalam kehidupan masyarakat maupun negara.

Page 71: Arif Hamzah Sps.tesis

59

D. Ishlãh Dalam Jinãyah

Dalam Jinãyah (hukum pidana) Islam terdapat istilah ‘uqubah

(hukuman). Fuqaha membagi ‘uqũbah (hukuman) menjadi beberapa bagian

dilihat dari berbagai macam segi dan sudut pandang. Paling tidak ada lima

tinjauan yang bisa dicermati.

Jika ditinjau dari segi esensi hukuman, hukuman dapat terdiri atas

pertama, ‘uqũbah ashliyyah (hukuman pokok), seperti hukuman qishas untuk

jarĩmah (kejahatan) pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarĩmah

pencurian. Kedua, ‘uqũbah badaliyah (hukuman pengganti), yaitu yang

mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan

karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti

hukuman qishash atau hukuman ta’zĩr sebagai pengganti hukuman hãd atau

hukuman qishãsh yang tidak dapat dijalankan. Sebenarnya hukuman diyat itu

sendiri adalah hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan semi sengaja (Qathlu

syibh al-‘amd), akan tetapi menjadi pengganti pula bagi hukuman qishãsh

(qathlu al-‘amd). Demikian pula hukuman ta’zĩr juga merupakan hukuman

pokok bagi jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr sendiri, tetapi menjadi hukuman pengganti

pula bagi jarĩmah-jarĩmah hudũd atau qishas-diyat yang tidak mendapat

hukuman yang sebenarnya karena ada alasan-alasan tertentu. Ketiga, ‘uqũbah

taba’iyyah (hukuman tambahan), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman

pokok tanpa memerlukan putusan secara tersendiri seperti larangan menerima

warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga, sebagai

tambahan dari hukuman qishãsh (mati), atau hukuman berupa dicabutnya hak

sebagai saksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarĩmah qadzaf

(menuduh orang baik-baik berzina) di samping hukuman pokoknya, yaitu di-

jilid (didera) delapan puluh kali. Keempat, ‘uqũbah takmiliyah (hukuman

pelengkap), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada

keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri

Page 72: Arif Hamzah Sps.tesis

60

pemisahnya dengan hukuman tambahan. Misalnya mengalungkan tangan

pencuri yang telah dipotong di lehernya.

Jika ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat-

ringannya suatu hukuman, fuqaha membaginya menjadi dua macam hukuman,

yaitu pertama, Hukuman yang hanya mempunyai satu batas (satu ketentuan),

artinya tidak ada batas tertinggi atau terendah, seperti hukuman jilid sebagai

hukuman hãd (80 atau 100 kali jilid). Kedua, hukuman yang mempunyai batas

tertinggi dan batas terendah, hakim diberi kekuasaan untuk memilih hukuman

yang sesuai antara kedua batas tersebut. Seperti hukuman penjara atau jilid

pada jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr.

Jika dilihat dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, maka

hukuman terdiri atas pertama, hukuman yang telah ditentukan macam dan

besarnya, di mana hakim harus melaksanakannnya tanpa dikurangi atau

ditambah, atau diganti dengan hukuman lain. Hukuman jenis ini disebut

dengan ‘uqũbah lazimah. Kedua, Hukuman yang diserahkan kepada hakim

untuk dipilihnya dari sekumpulan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’

agar bisa disesuaikan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini

disebut ‘uqũbah makhayyarah (hukuman pilihan).

Jika ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka hukuman

terdiri atas pertama, hukuman badan, yaitu hukuman yang dijatuhkan atas

badan, seperti hukuman mati, dera, penjara, dan sebagainya. Kedua, hukuman

jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman,

peringatan dan tegoran. Ketiga, hukuman harta, yaitu yang dikenakan pada

harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan harta.

Adapun jika ditinjau dari segi jenis jarĩmah yang diancam dengan

hukuman, terdiri atas pertama, hukuman hudũd, yaitu hukuman yang

ditetapkan atas jarĩmah-jarĩmah hudũd. Kedua, hukuman qishãsh-diyat, yaitu

hukuman yang ditetapkan atas jarimaah-jarĩmah qishãsh-diyat. Ketiga,

Page 73: Arif Hamzah Sps.tesis

61

Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarĩmah serta

beberapa jarĩmah qishãsh-diyat serta beberapa jarĩmah ta’zĩr. Keempat,

hukuman ta’zĩr, yaitu yang ditetapkan untuk jarĩmah-jarĩmah ta’zĩr.87

Hukuman dalam Jinãyah ini merupakan cara pertanggungjawaban

pidana yang bertujuan untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam

suatu masyarakat. Hukuman juga merupakan sarana objektif-yuridis untuk

menegakkan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, berat ringannya

suatu hukuman yang akan diberikan kepada para pelaku kejahatan juga harus

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.

Penegakan supremasi hukum tidak boleh dilakukan sewenang-wenang

apalagi diiringi oleh rasa benci sehingga akan menimbulkan niat dan upaya

memberatkan, atau bahkan meringan-ringankan (mengurangi) suatu hukuman

dari yang semestinya, karena hukuman yang diberikan bertujuan untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Hukuman bagi para pelaku kejahatan

dilakukan untuk membuat seseorang menjadi jera, sehingga di masa yang akan

datang pelaku kejahatan tidak punya keinginan untuk mengulangi

perbuatannya. Dengan demikian, tujuan menjaga ketertiban dalam masyarakat

dapat terwujud.

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa hukuman diterapkan oleh Allah karena

-dan didasari oleh- rasa sayang kepada semua makhluk. Hukuman dilakukan

untuk mencegah manusia dari perbuatan munkar supaya mereka aman dan

tenteram, bukan untuk menimbulkan kebencian antara sesama manusia dan

berlaku sombong atas sesama makhluk. Seperti seorang ayah yang mendidik

anaknya, sekiranya ia tidak mau memberikan teguran atas anaknya -

sebagaimana yang diinginkan oleh para ibu, karena rasa sayang dan rasa

87 Lihat A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet.ke-2, h. 28-30. Juga Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-5, h. h. 260-262

Page 74: Arif Hamzah Sps.tesis

62

kasihan-, maka akan rusaklah anak itu. Memberinya teguran atau jika perlu

sedikit pukulan adalah karena rasa sayang kepada si anak dan untuk kebaikan

dirinya sendiri di masa yang akan datang. Menjalankan hukuman tak ubahnya

juga seperti seorang dokter. Suntikan kepada pasiennya adalah untuk

memberikan kesembuhan. Sesaat ketika disuntik si pasien merasa sedikit

kesakitan, tapi setelah itu pasien akan berterima kasih kepada sang dokter

karena ia telah terobati.88

Untuk itulah, guna memelihara ketenteraman dan ketertiban dalam

masyarakat, hukuman merupakan sarana yang mutlak diterapkan. Hukuman

yang sesuai dengan syari’at merupakan jawaban kongkret mengingat syari’at

datangnya dari Tuhan. Tuhan pula yang mengatur semuanya, dan sangat wajar

apabila manusia sebagai hamba ciptaan-Nya dituntut untuk menjalankan

syari’at-Nya.

Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa hukuman menjadi sarana ampuh

untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga apabila terjadi

persengketaan, orang cenderung menempuh jalur hukum untuk

menyelesaikannya, sehingga selalu pula diakhiri dengan vonis pengadilan

yang menjatuhkan hukuman kepada si pelaku.

Namun demikian, tidak semua vonis pengadilan selalu berakhir dengan

menimpakan suatu hukuman kepada si pelaku. Tidak jarang seorang pelaku

pembunuhan misalnya, mendapat ampunan (maaf) dari pihak korban. Hal

inilah yang oleh para fuqaha disebut sebagai ishlãh. Ketika ishlãh telah

dilakukan, maka masih adakah hukuman lain yang harus diberikan kepada si

pelaku pembunuhan, Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.

Berdasarkan pembagian Hukum Pidana Islam dari sisi kemaslahatan

sebagaimana diterangkan di atas, maka dengan adanya pemisahan yang jelas

88 Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al Syariyah fi ishlah al-Râ’i wa al-Ra’iyah, Terjemahan H.

Firdaus dengan judul “Politik Penguasa dan Rakyat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 137

Page 75: Arif Hamzah Sps.tesis

63

antara mana yang menjadi hak Allah dan mana yang menjadi hak hamba, Ibn

Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-

Laist dan al-Auza’i telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan

oleh wali al-dam, maka dia dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu

tahun. Sedangkan al-Syafi’i, Ishak, Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat

bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. 89

Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah dalam

bukunya al-Tasyri’ al-Jinã’i al-Islãmi menegaskan bahwa jika pihak korban

memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan

(private rights) yaitu hukuman qishãsh atau diyat saja, sedangkan hak umum

(hak Allah) yang dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa

hukuman ta’zĩr, meskipun tetap saja hukuman seperti ini tidak dapat

dimaafkan begitu saja oleh keluarga korban.90

Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa di antara yang dapat menyebabkan

gugurnya ‘uqũbah (hukuman) dalam syari’at antara lain adalah: Pertama,

pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Meninggalnya pelaku menyebabkan

gugurnya ‘uqũbah. Karena yang melakukan tindak kejahatan adalah si jani,

maka apabila ia meninggal dunia tentu tidak ada lagi hukuman apapun. Akan

tetapi jika ‘uqũbah itu adalah ‘uqũbah maliyah seperti diyat, tentu saja tidak

dapat menggugurkan ‘uqũbah-nya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl al-

khata’ (pembunuhan tidak sengaja). Meskipun yang terkait dengan ‘uqũbah

ini adalah pelaku, maka walaupun pelaku meninggal dunia, hukuman -

terhadap hartanya- tetap harus dijalankan. Sedangkan pada ‘uqũbah qishãsh,

89 Ibn Qudamah al-Maqdisi, al- Mughni, h. 199-204. Hal senada juga ditegaskan oleh Ibn

Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid bahwa pendapat Malik dan al-Laist yaitu memenjarakan si jani setahun dan mencambuk 100 kali. Pendapat al-Syafi’i, Ahmad dan Ishak bahwa tidak membolehkan yang demikian itu, dan pendapat Abu Tsaur yang menghukum si jani apabila dia terkenal penjahat besar dan pelaksanaan ini terserah pada hakim. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-2

90 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, (Beirut: Dar al-Ilmiyah, t.th.), h 260-261

Page 76: Arif Hamzah Sps.tesis

64

masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika pelaku meninggal

dunia, masih wajib diyat baginya atau tidak terhadap hartanya. Imam Malik

dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si pelaku meninggal sedang ia

tersangkut perkara qishãsh maka sudah barang tentu gugurlah ‘uqũbah

qishãsh baginya, dan tidak ada lagi diyat terhadap harta si pembunuh itu.

Karena melaksanakan hukuman qishãsh dalam perkara seperti ini adalah

wajib ‘aini, sedangkan diyat menjadi tidak wajib, karena ia merupakan

hukuman pengganti dari qishãsh, kecuali jika sebelum pelaku meninggal, ada

kerelaan darinya. Tegasnya, jika pelaku meninggal dunia, maka gugurlah

kewajiban qishãsh dan tidak diwajibkan lagi baginya diyat. Berbeda dengan

Imam Malik dan Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa

jika pelaku meninggal dunia, tentu saja tetap ada kewajiban diyat pada harta si

pelaku. Jika hukuman qishãsh tidak dapat dilakukan, maka ada kewajiban lain

yang harus dilakukan sebagai pengganti hukuman qishãsh, yakni dengan

melakukan diyat terhadap hartanya.91

Kedua, qishãsh dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak

melakukan ishlãh.92 Fuqaha sepakat bahwa qishãsh menjadi gugur jika kedua

belah pihak melakukan ishlãh. Untuk perkara qishãsh, jika terjadi ishlãh,

maka kadar pelaksanaan ishlãh boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih

ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta.

Namun, ishlãh dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang

telah diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai

riba.93

Adapun dasar pelaksanaan ishlãh ini, -menurut Abd al-Qadir Audah-

selain QS. Al-Baqarah (2):178, adalah Hadis dan ijmã’. Hadis yang

91Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 261 92 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 773 93 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 774

Page 77: Arif Hamzah Sps.tesis

65

من قتل عمدا رفع الى اولياء المقتول فان شاؤوا قتلوا وان شاؤوا اخذوا الدية وما صولحوا عليه فهو لهم

Artinya: “Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si terbunuh apakah akan menuntut qishãsh atau akan mengambil diyat, hak ishlãh sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi)94

Sedangkan sumber dari ijma’ adalah ijma’ yang terjadi pada masa

Mu’awiyah, yakni pada kasus Hadbah ibn Hasyram yang telah melakukan

pembunuhan, lalu Said ibn al-Ash, Hasan, dan Husein memerintahkan untuk

membayar 7 diyat kepada anak si terbunuh sebagai konpensasi maaf yang

telah diberikan anak korban, karena Hadbah telah membunuh bapaknya.95

Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari

korban atau walinya. Adapun dalam perkara hudũd tidak boleh ada maaf,

karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh

korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah. Karena hudũd termasuk dalam

kategori hak Allah (hak jama’ah) secara murni, maka dilarang untuk

menggugurkan hukuman hudũd.

Tentang perkara qishãsh dan diyat -dengan memegangi pendapat

Hanafiah dan Malikiah-, syari’at membolehkan kepada korban atau walinya

untuk memaafkan atau melakukan hukuman qishãsh dan diyat. Hak untuk

memberi maaf dalam hal ini merupakah hak pihak korban, sedangkan hakim

hanya berhak melakukan hukuman ta’zĩr kepada si pelaku setelah terjadinya

maaf.96 Sedangkan menurut Syafi’i dan Ahmad, maaf dalam perkara qishãsh

94 Sulaiman ibn al-Asy’ast Abu Daud, Sunan Abu Daud, (tt.: Dar al-Fikr, tth.), Cet.ke-1,

Juz ke-4, h. 173 95 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 773-774 96 Untuk pembunuhan sengaja jika terjadi pemaafan dari wali terbunuh, maka menurut

Hanafiyah dan Malikiyah, menjadi hak sulthan atau penguasa untuk melakukan hukuman ta’zĩr. Karena dalam qishas terdapat dua hak, yakni hak Allah dan hak hamba. Dalam hal ta’zĩr ini, Malikiyah berpendapat, jika wali al-dam memberi maaf bagi pembunuhan sengaja, maka sulthan

Page 78: Arif Hamzah Sps.tesis

66

merupakan konsekuensi dari qishãsh atau diyat, barang siapa yang tidak

menghendaki dilakukan qishãsh berarti ia telah memaafkan si pembunuh.97

Dalam menanggapi QS. Al-Baqarah (2): 178, fuqahã’ berbeda pendapat

dalam pemberian istilah. Sebagian ulama menggunakan istilah ‘afw (maaf),

sementara sebagian lagi menggunakan istilah ishlãh (perdamaian). Malik dan

Abu Hanifah berpendapat bahwa jika terjadi maaf terhadap perkara qishãsh

atau diyat, maka sesungguhnya itu adalah ishlãh/shulh bukan maaf (‘afw),

karena pada dasarnya wajib dilakukan qishãsh atas pembunuh sengaja (qatl

al-amd). Sementara untuk perkara diyat adalah tidak wajib, kecuali jika jani

rela. Jika qishãsh tidak dilakukan, sementara para pihak memilih untuk

melakukan diyat, itu berarti antara mereka telah terjadi saling rela, maka hal

seperti ini menurut Malik dan Abu Hanifah adalah ishlãh bukan ‘afw.

Pendapat inilah yang dipegangi oleh Abd al-Qadir Audah. Adapun Syafi’i dan

Ahmad berpendapat bahwa maaf dalam perkara qishãsh dan diyat menjadi hak

pilih walinya, tanpa harus mendapat kerelaan terlebih dahulu dari si pelaku.

Qishãsh merupakan hukuman yang sangat berat jika dibandingkan dengan

diyat. Menggugurkan qishãsh lalu memilih diyat berarti kedua belah pihak

telah meninggalkan yang lebih berat dan mengambil yang lebih ringan, yakni

maaf. Boleh melakukan maaf dalam perkara qishãsh, maka boleh pula maaf

dalam perkara diyat, baik diyat merupakan hukuman yang asli seperti dalam

pembunuhan khaţa’ atau merupakan hukuman pengganti dari hukuman

qishãsh.98

Ketika menggunakan istilah ishlãh pada perkara qishãsh, maka

konsekuensi logisnya adalah bahwa ishlãh akan menggugurkan qishãsh

tersebut dan tidak ada hubungan dengan diyat. Sedangkan ketika

mempunyai hak untuk menjilidnya 100 kali dan memenjarakannya selama satu tahun. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1980), h. 291

97 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 774 98 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 776

Page 79: Arif Hamzah Sps.tesis

67

menggunakan istilah ‘afw (maaf), maka akan bersangkut paut dengan masalah

harta. Jika terjadi maaf dalam masalah qishãsh, tentu saja pihak pelaku harus

membayar diyat sebagai ganti qishãsh yang tidak jadi dilakukan. Atas dasar

inilah, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menggunakan istilah ishlãh tidak

menggunakan istilah ‘afw (maaf). Adapun alasan bagi ulama Syafi’iyah dan

Hanabilah menggunakan istilah ‘afw adalah bahwa maaf yang diberikan

berkaitan erat dengan diyat sebagai ganti (badal) dari qishãsh yang tidak jadi

dilakukan.99

Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada ishlãh

sama dengan hukum yang ada pada ‘afw. Barang siapa memberi maaf maka

dia telah melakukan ishlãh. Apa yang terjadi pada ishlãh juga sama dengan

yang terjadi pada ‘afw, yakni sama-sama menggugurkan qishãsh. Tentu saja

hal seperti ini dapat terjadi apabila dikehendaki oleh wali si terbunuh. Lebih

jauh ia menjelaskan bahwa wali mempunyai hak penuh untuk memaafkan.

Jika ia memberi maaf maka gugurlah qishãsh, jika kemudian ia menuntut

diyat, maka wajib bagi si jani untuk membayar diyat, tanpa harus meminta

kerelaan dari jani karena jani adalah terpidana. Diriwayatkan oleh Baihaqi

dari Mujahid, bahwa pada syari’at nabi Musa hanya ditetapkan qishãsh, pada

syari’at nabi Isa dengan diyat saja, dan Allah meringankan umat Nabi

Muhammad dengan memilih mana yang lebih baik di antara dua hal, yaitu

qishãsh atau diyat. Karena Pelaku dalam posisi orang yang terhukum, maka

tidak perlu lagi mendapatkan rela darinya.100

Dalam perkara tindak pidana hudũd, para ulama sepakat bahwa maaf

tidak bisa menggugurkan Hãd. Maaf dalam hal ini tidak bisa diberikan baik

oleh si majni’alaih maupun wali al-amr. Karena pada kasus Hãd adalah

menyangkut hak Allah secara murni. Maka mereka tidak berhak untuk

99 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, h. 293 100 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, h. 289

Page 80: Arif Hamzah Sps.tesis

68

memberikan maaf. Itu berarti maaf tidak dapat menggugurkan hukuman Hãd.

Maaf dalam perkara ta’zĩr dapat dilakukan oleh wali al-amr. Karena ia yang

mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana

ta’zĩr.101

Berkaitan dengan hak atas pidana ini, para fuqaha membagi jarĩmah

secara umum kepada pidana yang melanggar hak Allah dan pidana yang

melanggar hak hamba.102 Untuk lebih jelasnya, penulis paparkan sebagai

berikut:

1. Hak Allah (Hak Publik atau Hak Jama’ah)

Yang dimaksud dengan hukum-hukum dalam kategori ini adalah

hukum-hukum yang disyariatkan untuk melindungi kepentingan umum.103

Oleh karena itu, hukum-hukum seperti ini disebut juga hukum-hukum

yang menyangkut hak-hak umum. Ketentuan-ketentuan hukum yang

termasuk kategori ini adalah hudũd, yaitu sanksi pidana yang ketentuan

mengenai macamnya, penerapan dan kadar sanksinya telah ditetapkan

dalam nash, baik al-Qur’an maupun Hadis .104 Kedudukan aparat hukum

101 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 776-777 102 Ali Hasballah, Ushul al-Tasyrĩ’ al-Islamĩ, (Mesir: Dar al-Ma’rif, 1964). Cet. Ke-3, h.

293-297, lihat juga Satria Efendi M. Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Mu’amalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Mu’amalat, 1994), h. 13-14. lihat pula Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi,(Beirut: Dar al-Ilmiyyah, t.th.), h. 204-206. Senada dengan pendapat di atas, setelah menyimpulkan berbagai pendapat para ulama, Hasbi Al-Shiddiqy menjelaskan bahwa para ulama membagi tindak kejahatan yang dinashkan syara’ kepada dua bagian yaitu: Pertama, yang mengandung pelanggaran terhadap hak Allah secara murni dan Kedua, yang mengandung pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih menonjol. Ia menambahkan, walau Islam memberi hak muthalabah dan hak memberi maaf kepada wali majni alaih, tidak memberi hak untuk memberi maaf kepada wali al-amar, namun wali al-amr mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman siyasah atas si jani walaupun wali al-dam memberi maaf, yaitu apabila si jani seorang penjahat ulung. Hal ini dilakukan atas dasar ‘Uqubah tafwidiyah. Ia mengatakan, yang dimaksud dengan hak Allah adalah segala yang berpautan dengan kemanfaatan umum manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan hak hamba adalah yang dengan dia berpautan manfaat yang khusus. Lihat Hasbi al-Shiddiqy, Fiqh Islam (Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 79-80.

103 Abd al-Qadir Audah menyamakan istilah hak Allah dengan hak jama’ah, lihat, Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, h. 205

104 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuhu, Juz ke-6, h. 12

Page 81: Arif Hamzah Sps.tesis

69

hanya sebagai pihak yang memproses penyidikan, penyelidikan,

penuntutan, dan menyelenggarakan pengadilan terhadap pelaku kasus

hudũd, serta memutuskan sanksi/hukuman kepada para pelaku berdasarkan

ketetapan yang ada dalam nash.105 Jarĩmah hudũd dan sanksi hukumannya

meliputi:

a. Hãd Zina

Dalam QS. al-Nur (24): 2, Allah berfirman

☺ ⌧

☺ Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka

deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

Dari dua ayat di atas, dapat diketahui bahwa zina merupakan

perbuatan keji dan harus dihindari. Bagi mereka yang berzina, baik

perempuan maupun laki-laki, sudah ‘aqil baliqh, merdeka (bukan

dalam tanggungan orang lain), dan tidak muhshan, wajib didera seratus

105 Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam, (Kairo: tpn., 1974), h.

129

Page 82: Arif Hamzah Sps.tesis

70

kali dera, sebagai sanksi atas maksiat yang telah dilakukannya.

Sedangkan bagi para pezina muhshan, baik perempuan maupun laki-

laki, sanksi hukumnya ialah dengan dirajam (dilempari batu sampai

mati). 106

Meski demikian, syarat-syarat penjatuhan sanksi pidana zina ini

tidak mudah karena harus diketahui oleh empat orang saksi (tidak

boleh kurang) yang melihat dengan mata kepala sendiri. Syarat ini sulit

dipenuhi karena sangat jarang atau mustahil dapat menemukan orang

yang sedang melakukan perbuatan mesum disaksikan oleh empat

orang. Oleh karena itu, dalam masalah zina ini, yang harus dilakukan

adalah langkah ikhtiyath (berhati-hati) karena berkaitan dengan nama

baik seseorang, agar jika tuduhan tidak terbukti, nama baik seseorang

yang diduga berbuat zina itu tetap baik.

Perbuatan zina, di samping merupakan suatu perbuatan yang

sangat keji, juga merupakan perbuatan yang menyebabkan

pencampuradukan keturunan, merusak ketenangan hidup berumah

tangga, menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan dalam

masyarakat. Selain itu, penzinahan akan merendahkan martabat

manusia dan menjadikannya sulit dibedakan dengan mahluk lain. Oleh

karena itu, perzinahan hendaknya tidak dibiarkan merajalela di tengah-

tengah masyarakat.

Dalam menafsirkan QS. Al-Isra’: 32 di atas, Sayyid Quthub

menyatakan bahwa dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam

berbagai segi. Pertama, penempatan sebab kehidupan (sperma) bukan

106 Tidak muhshan, maksudnya ialah perempuan yang tidak mempunyai suami yang sah

dan buan janda, atau laki-laki yang tidak mempunya istri yang sah dan bukan duda. Mengenai had Zina ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Hudud fi al-Islam., h. 81. Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, Juz ke-8, h. 109. al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1994), h. 31-56

Page 83: Arif Hamzah Sps.tesis

71

pada tempatnya yang sah. Ini biasa disusul keinginan untuk

menggugurkan janin yang dikandung. Kedua, jika janin dilahirkan

hidup maka biasanya ia dibiarkan kurang terawat, baik fisiknya,

pendidikannya, maupun spiritualitasnya. Ketiga, perzinahan yang

merupakan keburukan, jika merajalela di masyarakat maka akan

membunuh masyarakat itu secara perlahan namun pasti. Keempat,

Mudahnya melampiaskan syahwat menyebabkan kematian rumah

tangga dan tatanan kekeluargaan berkaitan dengan kebersihan

keturunan dan lain-lain yang ternoda oleh zina.107

b. Hãd Qadzaf (Menuduh Orang Lain Berzina)

Seperti yang telah diuraikan dalam tindak pidana zina di atas,

seseorang tidak dapat dituduh berzina kecuali ada empat saksi. Tanpa

itu, orang yang melontarkan tuduhan itu dapat dituntut balik dengan

tuduhan menuduh orang lain berbuat zina.

Di sinilah bukti bahwa hukum Islam itu tidak dipraktekkan

secara sewenang-wenang. Setiap orang yang melakukan tindakan yang

berimplikasi hukum harus dapat bertanggung jawab di muka hukum.

Demikian diungkapkan dalam QS. al-Nur(24): 4-5:

107 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam

Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 206

Page 84: Arif Hamzah Sps.tesis

72

⌦ ⌧ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-

baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (muhshanat)

berzina, kemudian tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan

mereka dengan mengHãdirkan empat orang saksi yang adil yang

menyaksikan sendiri perbuatan zina itu, maka hukuman untuk mereka

ialah di dera 80 kali, karena mereka telah merusak nama baik yang

dituduh. Kemudian penuduh-penuduh itu tidak diterima kesaksiannya

selama-lamanya, kecuali, apabila melakukan taubat dengan taubat

nashuha, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan tidak lagi

digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah Maha

Pengampun lagi Maha Pengasih.108

c. Hãd Syurb al-Khamr (Meminum Minuman Keras)

Dalam sejarah Islam, sebelum Nabi Muhammad hijrah, orang-

orang Arab, khususnya suku Quraisy Mekah, memiliki kegemaran

minum arak atau khamr hingga mabuk. Bahkan, minum arak biasa

dijadikan sebagai tradisi perlombaan. Memahami kebiasaan orang-

orang Arab yang begitu dekat dengan khamr berakibat pada metode

108 Mengenai had Qazaf ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,

al-Hudud fi al-Islam. h. 85, Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Muqni, h. 111, juga al-Ruway ibn Rajih Al- Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 41. Lihat pula Abi Umar Yusuf al-Qurtubi, al-Kafi fi Fiqh ahl al-Madinah al-Maliki, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1992) Cet. Ke-2, h. 575-577

Page 85: Arif Hamzah Sps.tesis

73

pelarangan khamr. Ayat khamr tidak diturunkan sekaligus dalam satu

ayat atau dalam satu peristiwa, melainkan diwahyukan secara bertahap

disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika itu.

Pada mulanya diterangkan bahwa bagi orang yang mabuk akibat

minuman keras, dilarang mendekati salat (atau ibadah-ibadah lainnya).

Kemudian, pada tahap kedua diterangkan bahwa madharat yang

ditimbulkan oleh khamr lebih besar ketimbang manfaatnya. Baru pada

tahap berikutnya Allah menegaskan dengan jelas bahwa khamr adalah

perbuatan setan yang setingkat dengan penyembahan terhadap berhala,

judi dan sebagainya.109

Ayat tersebut di atas juga menegaskan bahwa Islam menolak

narkoba dan minuman beralkohol yang tersimpul dalam nama

“khamr”. Jika dianalisa lebih jauh, ayat tersebut di atas mengandung

beberapa hal yang sangat urgen berkaitan dengan keharaman “khamr”

yang harus kita perhatikan, yaitu pertama, “khamr” disejajarkan oleh

Allah dengan berhala dan tenung yang sangat bertentangan dengan

aqidah Islam karena merupakan amalan syirik, di samping juga

disejajarkan dengan judi sebagai akhlak yang tercela. Kedua, “khamr”

dinyatakan sebagai sesuatu yang keji dan harus dijauhi. Ketiga,

“khamr” dinyatakan sebagai salah satu perbuatan setan yang

merupakan musuh agama. Keempat, “khamr” diharamkan, dan kita

diperintahkan untuk menjauhinya. Kelima, “khamr” dinyatakan

sebagai pemicu permusuhan. Oleh karena itu banyak kasus

pembunuhan, perkosaan dan lain-lain dilakukan oleh orang yang

sedang dalam pengaruh minuman keras dan atau narkoba. Keenam,

“khamr” dinyatakan sebagai penghalang dari mengingat Allah dan

shalat yang seharusnya tidak boleh dilalaikan oleh seorang muslim,

109 Lihat Q.S. al-Nisa’ (4): 219, QS. al-Baqarah (2):219, dan Q.S. al-Maidah (5): 90

Page 86: Arif Hamzah Sps.tesis

74

dan ketujuh, Allah menantang orang yang tidak mau berhenti

mengkonsumsi, memproduksi, dan menjualnya.110

Adapun sanksi pidana bagi para peminum khamr terdapat

perbedaan pendapat mengenai kadar jumlahnya. Mazhab Hanafiah

berpendapat bahwa peminum khamr diberi sanksi dera sebanyak 80

kali. Sementara Mazhab Syafi’i berpendapat, bahwa setiap pemabuk

karena khamr didera 40 kali.111

Hal ihwal terjadi perbedaan di antara mereka adalah dalam

memahami adanya perbedaan sanksi yang diberikan Nabi Muhammad

dan Abu Bakar di satu pihak, dengan Umar ibn al-Khatthab di pihak

lain, berdasarkan Hadis Anas: “Ia berkata: Rasulullah didatangi seorang peminum khamr, kemudian Nabi memukulnya dengan sandal sebanyak 40 kali. Lalu, pemabuk itu dibawa ke Abu Bakar, dan melakukan hal yang serupa (mendera 40 kali). Lantas, pria itu diajukan ke Umar, dan beliau menyebar luaskan kepada (seluruh) manusia. Hãd (hukuman) yang paling sedikit adalah 80 kali dera”.

Antara ketiga pemimpin Islam ini memang terjadi perbedaan

pendapat mengenai kualitas sanksi peminum minuman keras. Namun,

karena madharat yang ditimbulkannya, mulai dari mengganggu

kesehatan, merusak pikiran hingga merusak masa depan pengguna,

maka berapapun kuantitasnya adalah dalam rangka pencegahan tindak

pidana ini.

d. Hãd Sariqah (Mencuri)

Secara kebahasan sarqah berarti melakukan sesuatu tindakan

terhadap orang lain secara tersembunyi, misalnya, istaraqa al-sam’a

110 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam

Kontemporer di Indonesia, h. 234 111 Mengenai had khamr ini dapat di baca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah.,

al-hudũd fi al-Islam.h. 82, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 109, al-Ruway ibn Rajih Al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 32

Page 87: Arif Hamzah Sps.tesis

75

(mencuri dengar) dan musaraqat al-nazhara (mencuri pandang).112

Abd al-Qadir Audah -dengan mempertimbangkan pengertian tersebut-

mendefenisikannya sebagai tindakan mengambil harta orang lain

dalam keadaan sembunyi-sembunyi.113

Dalam sudut pandang Islam, berkenaan dengan hak milik

seseorang, ada tiga rambu yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu

pertama, tidak boleh memanfaatkan benda milik orang lain tanpa izin

yang mempunyai, meski tidak mengurangi kadar dan manfaat benda

tersebut (ghashb), kedua, tidak boleh mengambil manfaat dan zatnya

secara bersamaan dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta

memanfaatkan kelemahan si empunya (pencurian), dan ketiga,

mengambil paksa terhadap harta milik orang secara terang-terangan,

bahkan terkadang disertai kekerasan dan pembunuhan (perampokan).

Dari ketiga tindakan negatif ini, hanya kategori kedua yang relevan

dalam sub bab ini. Sementara perampokan lebih tepat bila

dianalogikan dengan hirabah yang akan dibahas sebagai bagian

tersendiri dari hudũd. Sedangkan ghashb lebih dekat dengan masalah

tindakan bersalah yang ringan dan lebih dekat dengan masalah

pelanggaran etika moral.114

Masalah pencurian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-

Ma’idah (5): 38-39.

☺ ⌧ ⌧

112 Ibnu al-Manzũr, Lisãn al-Arab. (Beirut: Dar al-Ma’rif, t.th), Juz ke-3, h. 1998 113 Abd al-Qãdir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 519 114 Lihat, Eggi Sujana, HAM dalam Perspektif Islam: Mencari Universalisme HAM bagi

Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nusantara Madani, 2002), h. 97

Page 88: Arif Hamzah Sps.tesis

76

⌦ ⌧ Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika seorang yang telah ‘ãqil-bãligh mengambil harta orang lain

dari tempat penyimpanannya tanpa seizin pemiliknya, sedangkan nilai

harta yang dicuri sekurang-kurangnya seperempat dinar, dengan

kemauannya sendiri dan tidak dipaksa, ia mengetahui bahwa

perbuatannya itu haram, maka ia telah memenuhi syarat dikenakan

hukuman potong tangan.115

Suatu pencurian baru dikenai hukuman hãd apabila minimal

memenuhi dua unsur. Pertama, tindakan mengambil harta orang lain

secara sembunyi-sembunyi. Bahwa benda yang diambil telah

dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang layak bagi jenisnya. Yang

dimaksud dengan penyimpanan yang layak seperti dikemukakan oleh

Ibn Rusyd adalah tempat yang pantas untuk menyimpan sejenis harta

sehingga sulit diambil orang, misalnya ditempat yang terkunci.116

Kedua, benda yang diambil adalah berupa harta, seperti dikemukakan

115 Mengenai had Sariqah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,

al-Hudũd fi al-Islãm.h. 83, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 110, dan al-Ruway ibn Rajih al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 33

116 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid, h. 323

Page 89: Arif Hamzah Sps.tesis

77

oleh Mustafa Ahmad Zarqa, adalah sesuatu yang dicenderungi oleh

tabi’at manusia, dan mungkin disimpan sampai waktu dibutuhkan.117

e. Hãd Hirãbah (Merampok)

Delik hirabah ini merupakan delik yang paling luas

interpretasinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dapat

dikategorikan delik ini adalah memerangi Allah dan Rasul-Nya

(termasuk agama dan panji-panji kebesarannya), membuat kekacauan

dan kerusakan di muka bumi, dan perbuatan-perbutan yang

membahayakan dan merugikan banyak orang seperti perampokan,

termasukdi dalamnya terorisme.

Seimbang dengan delik yang telah dilakukan, sanksi hirabah

juga sangat tegas, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ma’idah

(5): 33.

117 Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubih al-Jadid, (Damaskus: Mathba’ah

Tharafain, 1965), Juz ke-2, h. 114

Page 90: Arif Hamzah Sps.tesis

78

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.

Orang-orang yang menggangu keamanan, mengacau

ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum dan keadilan, serta

merusak kepentingan umum seperti (merusak jalan, jembatan, irigasi,

dan lain-lain) dapat dikenai sanksi yang berat, mulai dari salib, potong

tangan dan kakinya secara bersilang, hingga diasingkan. Menurut

jumhur ulama, sanksi bunuh itu dapat diterapkan atas penggangu

keamanan yang disertai dengan pembunuhan. Sedangkan sanksi

hukum salib sampai mati dilakukan bagi pengganggu keamanan yang

disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta. Khusus sanksi

hukum potong tangan dikenakan bagi mereka yang melakukan

perampasan harta.118

f. Hãd Riddah (Keluar dari Agama Islam)

Hãd riddah didasarkan atas firman Allah dalam QS. al-Baqarah

(2): 217

☺ ⌦

118 Mengenai had hirabah ini dapat dibaca pada Muhammad ibn Muhammad Abu Suhbah,

al-Hudud fi al-Islam.h. 89, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, h. 115, al-Ruway inm Rajih Al-Ruhaily, Fiqh Umar ibn Khattab Muwazzinah bi Fiqhi Asyhuri al-Mujtahidin, h. 56.

Page 91: Arif Hamzah Sps.tesis

79

Artinya: ”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Definisi riddah adalah meninggalkan atau keluar dari agama

Islam (murtad). Konsep riddah hanya ada dalam Islam, dalam arti,

hanya seorang muslim yang keluar dari agamanya (Islam) yang masuk

dalam kategori pelaku jarĩmah riddah dan layak mendapatkan

hukuman hãd riddah. Adapun hukuman bagi muslim yang murtad

terbagi dalam dua kategori yaitu hukuman asli (‘uqũbah ashliyah)

yang dalam hal ini adalah hukuman mati, dan hukuman tambahan

(‘uqũbah thaba’iyah) yaitu penyitaan harta murtad untuk diserahkan

kepada baitul mal. Adapun mengenai jumlah harta murtad yang disita,

para fuqaha berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Syafi’i dan mayoritas

Hanbali menyatakan bahwa yang disita adalah seluruh harta murtad.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali menyatakan

bahwa harta yang disita hanya harta yang murtad dapatkan setelah ia

murtad saja. Adapun harta yang ia dapatkan sebelum murtad menjadi

warisan bagi keluarganya yang muslim.119

g. Hãd Baghy (Pemberontakan)

Hãd baghy didasarkan pada firman Allah QS. al-Hujurat (49): 9

119 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 661-662

Page 92: Arif Hamzah Sps.tesis

80

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.”

Baghy biasa diartikan sebagai pemberontakan terhadap

pemerintah yang sah dan berhadap-hadapan dengan penegakan aturan

dan hukum dalam negara. Syari’ah menindak tegas pelaku baghy ini,

karena jika dibiarkan maka dapat mengakibatkan fitnah dan

kekacauan, serta hilangnya ketenteraman dalam kehidupan

masyarakat, bahkan jika berlarut-larut dapat menyebabkan hancur dan

berakhirnya masyarakat dalam sebuah Negara Islam. Oleh karena itu,

wajar jika pelakunya mendapatkan hukuman terberat yaitu hukuman

mati agar dapat membuat pelakunya menjadi sadar dan berhenti serta

memalingkan niat calon pelaku dan mengurungkan niatnya melakukan

pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.120

2. Hak Allah dan Hak Hamba

Yang dimaksud dengan hak Allah dan hak hamba adalah

bergabungnya hak Allah dan hak hamba dalam satu tindak pidana, baik

hak Allah yang dominan maupun hak hamba yang dominan. Oleh karena

itu, pada bagian ini fuqaha membaginya menjadi dua bagian, yaitu:

Pertama, bergabungnya hak Allah/hak publik dengan hak

hamba/perorangan sedangkan hak Allah/publik lebih dominan. Misalnya

menuduh orang lain berzina tanpa saksi. Meskipun ada unsur

membahayakan dan mengganggu kepentingan individu, yaitu karena

adanya resiko pencemaran kehormatan dan nama baik individu tersebut,

namun unsur pemeliharaan kepentingan masyarakat umum lebih dominan

120 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmia, h. 663

Page 93: Arif Hamzah Sps.tesis

81

dan penting, yaitu mencegah terjadinya kerusakan moral dan kekacauan

keturunan antara anggota masyarakat.121

Kedua, bergabungnya hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak

hamba lebih dominan, misalnya hukuman qishãsh. Hak Allah dalam hal

ini terlihat pada hal menggangu kepentingan umum. Pembunuhan, bila

dibiarkan akan membuat masyarakat tidak tenteram dan setiap orang akan

merasa terancam jiwanya. Sedangkan yang menyangkut hak perorangan

dalam hal ini adalah bahwa di samping jiwa si terbunuh telah melayang

oleh kejahatan ini, juga peristiwa pembunuhan itu telah menimbulkan

kegoncangan dalam diri keluarganya. Oleh sebab itu, untuk

menghindarkan permusuhan dan balas dendam dari pihak keluarga yang

telah digoncangkan itu, maka disyari’atkan hukuman yang setimpal, yaitu

hutang nyawa dibayar dengan nyawa bagi pembunuhan yang disengaja.

Hukuman ini adalah hak perorangan. Artinya, keluarga korban

berhak untuk menuntut qishãsh atau memaafkannya, sehingga gugurlah

hukuman qishãsh, baik kemudian keluarga korban menuntut diyat atau

tidak. Namun, oleh karena kejahatan pembunuhan itu juga menyangkut

kepentingan umum, maka meskipun hukuman qishãsh bisa dimaafkan

oleh keluarga korban, hakim atau penguasa harus tetap bertindak

mengenakan hukuman ta’zĩr atas diri pembunuh. Dengan demikian,

hukum ta’zĩr ini merupakan hak umum.122

Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan hukuman dalam jarĩmah

qishãsh-diyat maupun ta’zĩr.

a. Hukuman Qishãsh-Diyat

Qishãsh adalah hukuman yang dijatuhkan atas pembuat jarĩmah

setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau ia membunuh, dianiaya

121 Abd al-Qadir Audah., al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 206, Lihat pula, Ali Hasbalah, Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 294.

122 Lihat Ali Hasballah, Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 295.

Page 94: Arif Hamzah Sps.tesis

82

Sumber hukum dari qishãsh ini adalah firman Allah dalam Q.S.

al-Baqarah (2): 178-179, diperkuat pula dengan Hadis Nabi:

من اعتبط مؤمنا بقتل فهو قود به االان يرضى ولي المقتول Artinya: “Barang siapa yang menyerang seorang mukmin dengan

pembunuhan, maka dia harus dijatuhi qishãshh karena pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban merelakannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)124

Dalam Hadis yang lain, Rasulullah bersabda:

اص وان احبوا ان احبوا فالقود او القص: من له قتيل فاهله بين خيرتين فالعقل اي الدية

Artinya: “Barang siapa mempunyai keluarga terbunuh, maka

keluarganya ada di antara dua pilihan, kalau suka maka mereka mengambil qisas, dan kalau suka maka mereka menerima diyat”. (HR. al-Daruquthni)125

Islam memandang bahwa hukuman qishãsh adalah hukuman

yang terbaik, karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, di

mana pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya dalam rangka

terwujudnya jaminan keamanan dan ketertiban.

Korban atau walinya diberi wewenang untuk menuntut qishãsh

atas pelaku atau mengampuni, baik dengan ganti rugi diyat atau tidak.

Tetapi, meskipun qishãsh dan diyat dapat gugur, penguasa masih

mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zĩr yang sesuai.126

123 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 663. Lihat juga Abdurrahman I Doi, Shariah the Islamic Law, Terj. Hermaya dengan judul “Syari’ah dan Hukum Islam”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 24. Lihat juga H.M.K. Bakry, Kitab Jinayat: Hukum Pidana dalam Islam, (Solo: AB. Siti Syamsiah, 1958), h. 19. Halimah, Hukum Pidana Syaria’t Islam Menurut Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 275

124 Muhammad ibn Abdullah Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ‘al ãal-Shahĩhain, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1990), cet. Ke-1, juz ke-1, h. 553

125 Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Daru Quthni, Sunan al-Dãruquthni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), Juz ke-3, h. 95

126 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-5, h. 282

Page 95: Arif Hamzah Sps.tesis

83

Pada dasarnya, korban atau walinya tidak mempunyai wewenang

untuk memberikan pengampunan dalam soal-soal kepidanaan. Akan

tetapi, untuk jarĩmah qishãsh-diyat, ia diberi hak untuk memberikan

pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena jarĩmah

tersebut sangat erat hubungannya dengan pribadi korban. Pemakaian

hak tersebut tidak dikhawatirkan mempengaruhi keamanan dan

ketenteraman masyarakat, karena meskipun jarĩmah pembunuhan

sengaja dan penganiayaan sengaja adalah sangat berbahaya bagi

keselamatan perseorangan, namun tidak sama bahayanya untuk

ketenteraman masyarakat.

pembunuhan atau penganiayaan tidak dikerjakan kecuali atas

dorongan perorangan. Sedangkan pencuri ditakuti oleh setiap orang,

karena yang dicuri ialah harta di manapun ia berada, bukan harta

seseorang tertentu saja. Boleh jadi, pemakaian hak pengampunan

tersebut akan mempengaruhi ketenteraman, kalau sekiranya korban

berlebih-lebihan dalam memakai hak tersebut. Akan tetapi hal ini jauh

kemungkinannya, karena eratnya hubungan antara jarĩmah tersebut

dengan pribadi pelaku cukup menimbulkan sikap berhati-hati, sebab

sudah menjadi sikap manusia untuk senang melakukan pembalasan

terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dari pada

memberikan pengampunan. Jadi, eratnya hubungan jarĩmah dengan

diri pelaku cukup menjamin tidak dilebihkannya pemakaian hak

mengampuni sehingga hal ini tidak akan mengganggu keamanan

masyarakat. 127

Pada dasarnya, hukuman dijatuhkan untuk memberantas jarĩmah,

akan tetapi tidak selalu dapat menghalangi terjadinya jarĩmah.

Sedangkan pengampunan sering dapat menghalangi terjadinya jarĩmah

127 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 282

Page 96: Arif Hamzah Sps.tesis

84

dalam jangka panjang, sebab pengampunan diberikan sebelum vonis

dijatuhkan, setelah pelaku dinyatakan bersalah di muka hakim,

kemudian terjadi perdamaian yang didasari oleh kebersihan hati nurani

dari unsur-unsur pembuat jarĩmah. Jadi, pengampunan mengisi tugas

hukuman dan mewujudkan akibat yang oleh hukuman itu sendiri tidak

bisa diwujudkan.

Tidak selamanya hukuman qishãsh dapat dijalankan, meskipun

tidak ada pengampunan dari korban, karena pelaksanaan hukuman

tersebut tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya (pelaku mati

misalnya). Dalam hal ini, maka hukuman diyat itulah yang dijatuhkan,

sebab penetapan hukuman diyat tidak tergantung kepada permintaan

perseorangan. Hukuman ta’zĩr baru dapat dijatuhkan, apabila dapat

terhindar sama sekali dari hukuman qishãsh. Qishãsh merupakan

hukuman pokok bagi jarĩmah pembunuhan dan penganiayaan sengaja,

sedangkan diyat dan ta’zĩr menjadi hukuman pengganti dan atau

hukuman tambahan.128

Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan

penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.129 Ketentuan ini

bersumber pada firman Allah:

⌧ ☺

128 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 667. 129Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668.

Page 97: Arif Hamzah Sps.tesis

85

Artinya: “Tidak boleh bagi orang mukmin untuk membunuh orang mukmin, kecuai karena tidak sengaja. Barang siapa membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba mukmin dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka memberikannya”. (QS. al-Nisa, (4): 92).

dan sabda Nabi:

اال ان في قتيل عمدا خطأ قتيل السوط والعصى والحجر ماءة من االبل Artinya: “Ingatlah bahwa pada orang yang terbunuh karena sengaja

keliru (semi sengaja), yaitu korban pecut dan tongkat serta batu adalah seratus onta”. (HR. Ibn Majah).130

Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang

diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan negara. Dalam

hal ini, diyat lebih sebagai ganti rugi, apalagi besarnya bisa berbeda-

beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut

perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarĩmah.

Mungkin lebih tepat bila diyat dikatakan sebagai campuran dari

hukuman dan ganti rugi secara bersama-sama. Dikatakan hukuman

karena diyat merupakan balasan terhadap jarĩmah, karena jika si

korban memaafkan diyat tersebut, maka pelaku bisa dijatuhi hukuman

ta’zĩr. Sekiranya bukan hukuman, tentu tidak perlu diganti dengan

hukuman lain. Dikatakan ganti rugi, karena diyat diterima oleh korban

seluruhnya, dan apabila ia merelakannya maka diyat bisa

digugurkan.131

Meskipun diyat dapat berbeda-beda menurut perbedaan antara

semi sengaja dengan tidak sengaja, namun untuk tiap-tiap jarĩmah

adalah sama, baik untuk orang dewasa atau anak di bawah umur, baik

untuk golongan bangsawan atau orang biasa. Sementara bagi

perempuan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Yang

130 Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunnah Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-2, h. 877

131 Abd al-Qadir Audah. al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 669

Page 98: Arif Hamzah Sps.tesis

86

sudah disepakati ialah dalam kasus pembunuhan, diyat perempuan

(yang terbunuh) adalah separuh dari diyat laki-laki.

Akan tetapi, dalam kasus penganiayaan, menurut Imam Abu

Hanifah dan Syafi’i, untuk perempuan dikenakan separuh dari diyat

seorang laki-laki dalam semua keadaan. Menurut Imam Malik dan

Ahmad, perempuan disamakan dengan laki-laki sampai sepertiga diyat.

Kalau diyat melebihi sepertiga, maka dikenakan separuh dari laki-laki.

Sepuluh jari kaki (tangan) dikenakan diyat lengkap yaitu seratus onta,

yang berarti untuk tiap jari dikenakan sepuluh onta. Maka, jika

perempuan terpotong tiga jarinya, maka ia mendapat diyat 30 onta

sama dengan diyat untuk jari lelaki. Akan tetapi kalau perempuan itu

terpotong jarinya delapan, maka ia mendapat 40 onta, atau terpotong

empat jarinya, ia mendapat dua puluh onta, karena empat jari juga

sudah termasuk melebihi dari sepertiga.

Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara hukuman bagi

pembunuhan sengaja (Qatl al-Amd) dengan hukuman pembunuhan

semi sengaja (Syibh al-Amd). Untuk pelaku pembunuhan sengaja

dikenakan hukuman qishãsh, sedangkan untuk pelaku pembunuhan

semi sengaja dikenakan hukuman diyat. Perbedaan ini disebabkan

karena pada pembunuhan sengaja pelaku meniatkan matinya korban,

sedangkan pembunuhan semi sengaja, pelaku tidak meniatkan

demikian. Alasan lain ialah bahwa hukuman qishãsh menghendaki

adanya keseimbangan antara yang diperbuat oleh pelaku dengan yang

diperbuat terhadapnya, sedang keseimbangan itu tidak ada, sebab

pelaku sendiri pada pembunuhan semi sengaja tidak meniatkan

matinya korban.

Berkaitan dengan penanggung diyat, pada umumnya fuqaha

sepakat untuk mengikutsertakan keluarga pelaku yang disebut aqilah

Page 99: Arif Hamzah Sps.tesis

87

dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud keluarga ialah sanak

saudaranya yang datang dari pihak ayah (‘ashabah). Keluarga yang

jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi ahli waris

(cadangan) jika keluarga dekat tidak ada. Keluarga dalam hal ini tidak

termasuk saudara-saudara seibu dan keturunannya, suami atau istri,

dan keluarga zawi al-arham (seperti cucu perempuan atau cucu laki-

laki dari anak perempuan), yakni keluarga yang tidak menerima

warisan.132

Diikutsertakannya keluarga dalam menanggung diyat, berarti

orang-orang yang tidak melakukan kejahatan ikut menanggung akibat

kejahatan pelaku. Hal ini adalah suatu pengecualian dari aturan pokok

syari’at yang umum, yaitu bahwa orang lain tidak dapat menanggung

akibat perbuatan orang lain. Sebagaimana firman Allah “Dan orang

yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”133

Akan tetapi, keadaan pelaku dan korban bersama-sama

menghendaki adanya pengecualian tersebut, bahkan harus diwujudkan

untuk menjamin rasa keadilan dan persamaan, dan untuk menjamin

sepenuhnya hak-hak korban. Ada beberapa alasan yang membenarkan

adanya pengecualian tersebut.134 Pertama, jika hanya memegangi

prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”, maka

hukuman, khususnya diyat hanya dapat dikenakan terhadap pelaku

jarĩmah yang kaya saja sedangkan jumlah mereka lebih sedikit. Diyat

tidak dapat dikenakan terhadap pelaku jarĩmah yang miskin,

sedangkan jumlah mereka lebih besar. Dengan kata lain, korban atau

walinya akan mendapat diyat yang lengkap apabila pelaku adalah

132 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668. Ahmad Hanafi, Asas-asas

Hukum Pidana Islam, h. 287 133 Lihat QS. Al-Fathir (35): 18 134 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 289-291

Page 100: Arif Hamzah Sps.tesis

88

orang kaya, atau hanya akan mendapat sebagian diyat, jika pelakunya

adalah orang yang sedang-sedang saja kekayaannya, atau apabila

pelaku miskin, dan memang demikianlah keadaan kebanyakan pelaku

jarĩmah, maka korban atau walinya tidak akan memperoleh diyat sama

sekali. Maka hilanglah keadilan antara pelaku dan korban atau

walinya.

Kedua, meskipun diyat merupakan hukuman, namun ia menjadi

hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pelaku saja yang

membayarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat

menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari

pada jumlah diyat, yaitu 100 onta. Jadi meninggalkan aturan umum

dapat menjamin diterimanya hak tersebut oleh orang yang berhak

menerimanya. Dengan demikian, korban jarĩmah pembunuhan sengaja

tidak akan teraniaya haknya. Seperti diketahui, bahwa hukuman pokok

untuk jarĩmah ini adalah qisas, dan qisas tidak akan diganti dengan

diyat, kecuali jika wali atau korban memaafkannya, sedangkan korban

atau wali tidak akan memaafkan kecuali apabila sudah mendapatkan

jaminan akan mendapatkan diyat. Kalau ternyata tidak ada harta yang

cukup untuk membayar diyat, sedangkan ia memaafkannya, maka ia

tidak akan merasa dirugikan dari keadaan yang dipilihnya itu.

Ketiga, Dasar hukuman dalam jarĩmah tidak sengaja ialah

kelalaian dan tidak berhati-hati, sedangkan kedua keadaan ini pada

umumnya disebabkan karena salah asuh atau salah didik. Orang yang

bertanggung jawab atas pendidikan seseorang ialah orang-orang yang

mempunyai pertalian darah dengan dia, sebagaimana lazimnya bahwa

seseorang mencerminkan tingkah laku keluarganya.

Keempat, kehidupan keluarga dan masyarakat menurut

tabi’atnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerjasama. Oleh

Page 101: Arif Hamzah Sps.tesis

89

karena itu, menjadi kewajiban tiap anggota keluarga untuk menolong

anggota keluarga lainnya. Demikian pula kewajiban tiap anggota

dalam masyarakat.

Kelima, ketentuan pokok syari’at Islam ialah keharusan

memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakannya. Diyat

ditetapkan untuk menjadi pengganti dan memelihara jiwa. Kalau hanya

pelaku sendiri yang menanggung diyat dan harus

dipertanggungjawabkan kepadanya karena perbuatannya, sedang ia

tidak mampu membayarnya, hal itu berarti jiwa si korban akan disia-

siakan. Jadi, menyimpang dari aturan umum dalam hal ini justru

menjadi suatu keharusan agar jiwa seseorang tidak disia-siakan.

Perlu ditambahkan di sini, bahwa diyat yang harus dibayar oleh

pelaku dan keluarganya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu diyat

mughallazhah (diyat berat) dan diyat mukhaffafah (diyat ringan). Yang

termasuk dalam kategori berat adalah diyat atas pembunuhan sengaja

dan pembubunuhan semi sengaja. Hal ini disebabkan karena dalam

pembunuhan sengaja terdapat unsur maksud dan tujuan untuk

menghabisi nyawa korban, di samping adanya unsur perbuatan

(kekerasan) dalam mencapai maksud tersebut. Adapun dalam

pembunuhan semi sengaja, minimal terdapat unsur perbuatan

(kekerasan) membunuh meskipun perbuatan itu tidak dimaksudkan

untuk membunuh. Adapun diyat ringan berlaku atas pelaku

pembunuhan karena kesalahan (tidak sengaja).135

Adapun diyat yang harus dibayar dalam diyat berat berupa 30

hiqqah (unta yang berumur 4 tahun), 30 jadza’ah (unta yang berumur 5

tahun), dan 40 Khalifah/khilfah (unta yang sedang hamil), yang

pembayarannya harus kontan. Sedangkan yang harus dibayar dalam

135 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 670-674.

Page 102: Arif Hamzah Sps.tesis

90

diyat ringan adalah 20 bint makhadh (unta betina yang induknya

hampir melahirkan), 20 Ibn Makhadh (unta jantan yang induknya

hampir melahirkan), 20 bint labun (anak unta berumur 2 tahun), 20

hiqqah (unta berumur 4 tahun), dan 20 jadza’ah (unta berumur 5

tahun).136

b. Hukuman Ta’zĩr

Hukuman ta’zĩr ialah hukuman yang dijatuhkan atas jarĩmah-

jarĩmah yang tidak dijatuhkan atasnya hukuman yang telah ditentukan

oleh hukum syari’at, yaitu hudũd dan qishãsh, dari hukuman yang

paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang

untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman

yang sesuai dengan jarĩmah yang dilakukan serta diri pelakunya.137

Di antara hukuman ta’zĩr itu meliputi:

1) Hukuman Mati (‘uqũbah al-qatl)

Pada dasarnya, menurut syari’at Islam, hukuman ta’zĩr

bertujuan memberi pengajaran, bukan untuk membinasakan. Oleh

karena itu, dalam hukuman ta’zĩr, tidak boleh ada pemotongan

anggota badan atau penghilangan nyawa.138

Dari aturan umum di atas, para ulama membuat suatu

pengecualian, yakni boleh melakukan hukuman mati terhadap

suatu tindak kejahatan yang akan membahayakan kepentingan

umum, atau suatu tindak kejahatan yang tidak dapat diberantas

kecuali dengan membunuh pelakunya. Seperti hukuman terhadap

mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya. Dengan

136 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, juz ke-6, h. 285 137 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 290-291 138Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 248, Lihat juga Muhammad Abu

Zahrah, al- Jarĩmah wa al-‘Uqũbah fi Fiqh Islãm, (al-Arab: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 26

Page 103: Arif Hamzah Sps.tesis

91

demikian aspek pendidikan dalam kasus ini lebih ditujukan pada

masyarakat secara umum.139

Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian

dalam kasus hukuman ta’zĩr seperti di atas. Bahkan, apabila

menyangkut urusan nyawa manusia, maka hukuman mati tidak

boleh diserahkan sepenuhnya pada para hakim. Akan tetapi,

penguasa atau pemerintah harus menentukan jenis-jenis jarĩmah

mana saja yang dapat di jatuhi hukuman mati.

Dengan ketentuan di atas, maka hukuman mati sebagai

hukuman ta’zĩr tentu tidak banyak jumlahnya. Di luar ta’zĩr,

hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan zina,

gangguan keamanan, murtad, pemberontakan, dan pembunuhan

sengaja.140

2) Hukuman Jilid (Cambuk/Dera)

Hukuman jilid merupakan hukuman pokok dalam syariat

Islam, karena untuk jarĩmah-jarĩmah hudũd sudah ditentukan oleh

nash jumlahnya. Misalnya seratus kali untuk zina dan delapan

puluh kali untuk qadzaf, sedangkan untuk jarĩmah ta’zĩr belum

ditentukan jumlahnya. Bahkan untuk jarĩmah ta’zĩr yang

berbahaya, hukuman jilid lebih diutamakan.

Sebab diutamakannya hukuman tersebut, karena pertama,

hukuman jenis ini dianggap lebih efektif dan berhasil dalam

memberantas para pelaku tindak kejahatan. Kedua, hukuman jilid

mempunyai batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim bisa

memilih jumlah jilid yang terletak antara keduanya yang lebih

139 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 688 140 Ulama Hanafiyah dan Malikiyah menetapkan adanya hukuman mati dalam ta’zĩr, bagi

kasus tindak kejahatan yang membahayakan negara. Mereka memberi istilah dengan ‘al-ta’zĩr bi al-qatl al-siyasah. Dalam hal ini, hakim diberikan wewenang untuk menjaga kemaslahatan. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, juz ke-6, h. 200

Page 104: Arif Hamzah Sps.tesis

92

sesuai dengan keadaan pelaku. Ketiga, dari segi pembiayaan, tidak

merepotkan keuangan negara dan tidak pula menghentikan aktifitas

ekonomi pelaku yang dapat menyebabkan keluarganya terlantar.

Sebab hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu

pelaku bisa bebas. Keempat, dengan hukuman jilid pelaku dapat

terhindar dari akibat-akibat buruk penjara seperti rusaknya akhlak,

memburuknya kesehatan, dan terhindar dari kebiasaan negatif

seperti menganggur dan bermalas-malasan. 141

Tentang batas tertinggi hukuman jilid, para fuqahã’ berbeda

pendapat. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama

Malikiyah, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa, karena

hukuman ta’zĩr didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas

berat ringan jarĩmah. Oleh karena itu, penguasa bisa mengadakan

penelitian untuk kemudian menentukan jumlah jilid.. Sementara

Imam Malik membolehkan untuk menjatuhkan hukuman jilid

hingga 100 kali, meskipun dalam jarĩmah hudũd, hukuman

tersebut tidak lebih dari 100 kali.142

Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa

batas tertinggi hukuman jilid dalam jarĩmah ta’zĩr adalah 39 kali.

Adapun menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Perbedaan pendapat

tersebut berpangkal pada Hadis Nabi berikut:

افى غير حدفهو من المعتدينمن بلغ حد Artinya: “Barang siapa mencapai Hãd (batas tertinggi) bukan

pada jarĩmah hudũd, maka ia termasuk orang yang melampaui batas,” (HR. Baihaqi)143

141 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 249 142 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 689 143 Ahmad ibn al-Husain ibn Ali ibn Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-

Kubro, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Bazi, 1994), Juz Ke-8, h. 327

Page 105: Arif Hamzah Sps.tesis

93

Sementara dalam mazhab Syafi’iyyah, terdapat tiga pendapat.

Pertama, sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan

Muhammad. Kedua, sama dengan pendapat Abu Yusuf, dan ketiga,

hukuman jilid dalam ta’zĩr boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak

sampai 100 kali.144

3) Hukuman Penjara (al-habas)

Ada dua macam hukuman kurungan145 dalam syari’at Islam,

yaitu hukuman penjara terbatas dan hukuman penjara tidak

terbatas. Dalam hukuman penjara terbatas, batas terendah ialah

satu hari, sedangkan batas tertinggi tidak menjadi kesepakatan.

Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertinggi satu tahun karena

mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarĩmah

zina. Fuqaha lainnya menyerahkan batas tertinggi tersebut kepada

penguasa.146

Mengenai hukuman penjara tidak terbatas, disepakati bahwa

hukuman ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan

dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat

sehingga dapat dijamin telah terjadi perbaikan dalam diri

pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman tersebut ialah penjahat

yang berbahaya atau orang-orang yang berulang atau sering

melakukan kejahatan.147

4) Hukuman Pengasingan (al-taghrĩb)

Mengenai masa pengasingan dalam jarĩmah ta’zĩr, mazhab

Syafi’i dan Hanbali menetapkan tidak lebih dari satu tahun agar

144 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 694 145 Rasul pernah memenjarakan seorang laki-laki. Demikian pula, hal ini juga pernah

dilakukan Umar ibn al-Khattab, malah ia menetapkan hukuman penjara menjadi salah satu dari jenis hukuman ta’zĩr. Hal ini selanjutnya diikuti pula oleh Usman dan Ali. Lihat, Wahhab al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Juz ke-6, h. 198

146 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h.694 147 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 694-697

Page 106: Arif Hamzah Sps.tesis

94

tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai

hukuman hãd. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam

Malik berdasarkan Hadis di atas.148

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa

pengasingan bisa lebih dari satu tahun sebab pengasingan di sini

adalah hukuman ta’zĩr, bukan hukuman Hãd. Sedangkan mengenai

batas waktu, Imam Abu Hanifah menyerahkannya kepada

penguasa dalam mengakhiri masa tersebut.149

5) Hukuman pengucilan (al-ib’ad)

Pengucilan sebagai hukuman telah diterapkan terhadap istri

yang nusyuz sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah dalam

QS. al-Nisa, (4):34 “Istri-istri kalian yang kalian khawatirkan

nusyuz, maka nasehatilah mereka dan kucilkanlah dalam tidur.”

Rasulullah juga pernah menjatuhkan hukuman pengucilan

terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu

Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rubai’ah dan Hilal ibn Umayyah.

Mereka dikucilkan selama 50 hari tanpa diajak bicara150 sehingga

turun firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula dada mereka, serta mereka mengira bahwa tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali kepada-Nya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka, agar mereka bertaubat.” (QS. Al-Taubat, 9:48)

6) Hukuman Ancaman (tahdũd), Teguran, dan peringatan (wa’zh)

Ancaman (tahdũd) juga merupakan salah satu hukuman ta’zĩr

dengan syarat ancaman itu dapat memaksa pelaku menghentikan

kejahatannya, bukan sekedar ancaman kosong. Ancaman biasanya

148 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 699 149 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 699 150 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h.700

Page 107: Arif Hamzah Sps.tesis

95

Teguran juga merupakan hukuman ta’zĩr. Hukuman tersebut

pernah dijatuhkan oleh Nabi terhadap sahabat Abu Dzar yang

memaki-maki dan menghinakan orang lain dengan menyebut-

nyebut ibunya, maka Nabi bersabda:

يا اباذر اعايرته بامه انك امرء فيك جاهلية Artinya: “Wahai Abu Zar engkau telah menghina ia dengan

ibunya, engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah.” (HR. Muslim)152

Hukuman peringatan ditetapkan dalam syari’at Islam dengan

jalan memberi nasihat. Hukuman ini dicantumkan dalam QS. al-

Nisa’ (4) :34, sebagai hukuman terhadap istri.153

3. Hak Hamba (Hak Privat atau Hak Individu)

Al-haqq al-khãlis li al-‘ibãd (hak perorangan secara penuh), yaitu

aturan-aturan hukum yang mengatur hak perorangan (individu) yang

berkaitan dengan harta bendanya. Misalnya, kewajiban mengganti rugi

atas seseorang yang telah merusak atau menghilangkan harta orang lain,

hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam

151 Abd al Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 703 152 Muslim ibn al-Hajjaj, Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:

Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tth.), Juz ke-3, h. 1281 153 Di samping nasihat, boleh juga -kalau dipandang perlu- memukul istri dengan niat untuk

memperbaikinya adalah juga merupakan jenis dari hukuman ta’zĩr dalam rangka untuk mendidik istri di jalan yang benar. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, Juz ke-6, h. 211

Page 108: Arif Hamzah Sps.tesis

96

Dari pembahasan di atas dapat ditarik garis merahnya bahwa dalam

hukum pidana Islam, ishlãh merupakan bagian dari qishãsh yang tidak

dilakukan karena pelaku mendapatkan maaf dari pihak wali/keluarga korban.

Dalam al-Qur’an, ayat tentang qishãsh yakni:

⌦ ⌧

⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

154 Abd. Al-Qadir Audah, al-Tasyrĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h 206. Lihat juga Ali Hasballah,

Ushũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, cet. Ke-3, h. 296

Page 109: Arif Hamzah Sps.tesis

97

Ayat tersebut turun karena pertama, sebagaimana diriwayatkan dari

Qatadah bahwa apabila hamba suatu kabilah yang memiliki kekuatan terbunuh

oleh hamba dari kabilah lain, maka mereka menuntut balas dengan membunuh

seorang merdeka dari pihak musush. Hal ini mereka lakukan karena adanya

kesombongan dan merasa lebih utama atas yang lain. Demikian pula ketika

yang terbunuh seorang perempuan, mereka menuntut balas dengan membunuh

seorang laki-laki dari pihak musuh. Karena kebiasaan ini, maka turunlah ayat

“orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita

dengan wanita.”155

Kedua, riwayat dari Sa’id ibn Zubair, bahwa pernah dua kabilah Arab di

masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam saling membunuh. Masing-masing

dari mereka ada korban yang meninggal dan luka-luka, termasuk di antaranya

wanita-wanita dan hamba-hamba. Kemudian sebelum mereka saling

membalas kembali, mereka masuk Islam. Kemudian salah satu kabilah yang

bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan perbekalan mereka, lalu

bersumpah tidak rela kalau tidak membalas pembunuhan yang dilakukan oleh

kabilah lawannya, seraya berkata: “Bagi seorang hamba kami yang terbunuh,

maka kami harus dapat membunuh seorang merdeka dari kalangan mereka,

dan bagi seorang wanita, kami harus membunuh seorang laki-laki sebagai

balasannya.” Kemudian turunlah ayat “hai orang-orang yang beriman,

diwajibkan kepada kamu qishãsh berkenaan dengan orang-orang yang

terbunuh”.156

Istinbath hukum yang dapat diambil dari ayat di atas adalah, pertama,

qishãsh merupakan syariat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin

demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup mereka. Kedua, qishãsh diyakini

155 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i’ al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, terjemahan Mu’ammal Hamidi dan Imran A. Manan dnegan judul “Tafsir Ayat Ahkam”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), cet. Ke-1, h. 123

156 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, h. 123

Page 110: Arif Hamzah Sps.tesis

98

akan memperkecil volume tindak kejahatan, menghilangkan rasa dendam bagi

manusia dan bersifat mendidik, yaitu mencegah orang yang akan melakukan

tindak kejahatan serupa. Ketiga, qishãsh mengandung makna kehidupan bagi

manusia, melindungi pribadi-pribadi dan masyarakat. Dan keempat, apabila

wali atau keluarga si terbunuh memberikan maaf dan mau menerima diyat,

maka si pembunuh dan keluarganya wajib menyerahkan diyat itu kepada

mereka tanpa ditunda-tunda atau diperlambat.

Disyariatkannya qishãsh oleh Allah tentu saja mengandung makna yang

amat dalam, yakni dalam rangka menjaga darah manusia dan memelihara

nyawa umat manusia, serta untuk membasmi benih-benih fitnah yang ada di

antara sesama manusia. Maka mengambil tindakan kepada pelaku kejahatan,

di samping bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya, juga

ditujukan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa, agar

semua manusia menjadi takut dan tidak mau melakukan suatu pembunuhan

atau kejahatan lainnya. Karena apabila mereka melakukan pembunuhan, ada

ancaman hukuman qishãsh yang akan mereka dapatkan. Dengan demikian,

penghargaan terhadap arti kehidupan adalah sesuatu yang diutamakan. Jika

pelaku pembunuhan itu tidak diqishãsh, maka akan timbul fitnah, ancaman

keamanan, dan secara tidak langsung membiarkan berkembangnya spirit untuk

saling mengalirkan darah demi membalas dendam. Qishãsh diharapkan dapat

memadamkan rasa dendam yang ada dalam hati korban maupun keluarganya

dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Meski demikian, Islam di samping mensyariatkan hukuman qishãsh juga

secara serentak menganjurkan bagi para pemeluknya untuk suka memaafkan.

Pemberian maaf itu dilakukan ketika vonis qishãsh akan dijatuhkan. Ajaran ini

semata-mata merupakan ajakan untuk berbuat kebaikan, bukan suatu

ketetapan yang mengesampingkan fitrah manusiawi, serta mendorong orang

Page 111: Arif Hamzah Sps.tesis

99

untuk berbuat sesuatu di luar batas kemampuannya. Memaafkan adalah lebih

baik daripada melakukan pembalasan yang destruktif.

Karena adanya peluang untuk memberikan maaf ini, yaitu terjadinya

ishlãh antara kedua pihak yang berperkara, maka penulis menganggap bahwa

ishlãh merupakan bagian integral dari hukum pidana Islam (Jinãyah). Jadi,

melalui ishlãh, para pihak dianjurkan untuk lebih mengedepankan

perdamaian guna menghilangkan rasa dendam dan permusuhan yang

berkepanjangan. Para pihak lebih mengedepankan usaha-usaha persuasif

ketimbang usaha-usaha yang destruktif. Penegakan hukum bagi tindak

kejahatan dengan memberikan jaminan keadilan hukum bagi semua tanpa

mengenal kasta merupakan komitmen Islam untuk menjaga kemaslahatan

umat manusia di dunia, jauh dari kebencian dan permusuhan antar sesama

masyarakat. Maka, karena ishlãh berada pada ranah kemaslahatan umat, maka

ishlãh menjadi sesuatu yang relevan bahkan wajib untuk segera diwujudkan.

Page 112: Arif Hamzah Sps.tesis

BAB IV

FIKIH ISHLÃH

A. Obyek ishlãh

Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai

ruang lingkup obyek ishlãh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan

diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlãh tersebut.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat

melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui

proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur

hukum, maka obyek ishlãh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana

(jinãyah) dan perdata (al-ahwãl al-syakhshiyah). Dalam konteks jinãyah,

khususnya qishãsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinãyah

dapat meliputi dilaksanakannya qishãsh, ditetapkannya diyat, atau hanya

ditetapkan ta'zĩr semata atas diri terpidana.

Khusus dalam kasus qatl al-‘amd yang dapat dijatuhi hukuman

maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih

mengedepankan ishlãh, maka 'afw dari keluarga korban dapat merubah

putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman

mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau ta'zĩr atas terpidana dan

keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlãh dalam kasus pidana ini

memutlakkan adanya maaf dan atau denda/ganti rugi.

Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus

pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan

ishlãh dengan memaafkan pelaku, maka 'afw dari korban menyebabkan hakim

pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan

hukuman diyat atau ta'zir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup

panjang lebar dalam pembahasan ishlãh dalam jinãyah.

98

Page 113: Arif Hamzah Sps.tesis

99

Dalam konteks hukum perdata, sebagaimana konflik baju besi antara

Thu'mah dengan teman Yahudinya yang diselesaikan oleh Rasulullah, dapat

disimpulkan bahwa keduanya didamaikan oleh Rasulullah dengan tambahan

denda atas Thu'mah untuk mengembalikan baju besi milik temannya tersebut.

Konflik individu seperti terjadinya perkelahian juga dapat diselesaikan

dengan ishlãh, yaitu dengan perantara seseorang yang dihormati kedua pihak

dan netral dapat mengajak keduanya untuk bersedia saling memahami dan

memaafkan, untuk kemudian bersedia saling memberi dan menerima demi

menyelesaikan konflik. Konflik individu dengan Tuhan dapat diselesaikan

antara individu tersebut dengan Tuhan melalui jalan taubat.

Dalam konteks keluarga, konflik yang biasa disebut dengan istilah

nusyũz dan syiqãq dapat terjadi antara suami dengan istri. Nusyũz dapat

diselesaikan dengan beberapa langkah yaitu pertama, suami memberikan

nasehat. Kedua, berpisah tempat tidur, dan jika tetap belum ada perbaikan

maka dilakukan upaya ketiga, boleh memukul dengan kadar pukulan sebagai

suatu bentuk pengajaran (Q.S. al- Nisa' (4): 34. Jika ketiga langkah ini tidak

berhasil, maka digunakan jasa hakam untuk memediasi keduanya dalam

rangka mencegah terjadinya syiqãq (35). Begitu pula ketika terjadi zhihãr oleh

suami terhadap istrinya, maka hukum Islam menentukan, bahwa untuk

memutus konflik antara keduanya yang disebabkan oleh zhihãr tersebut, maka

suami harus membayar kaffãrah.

Dalam konteks sosial, konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat

baik berupa konflik antar suku dan agama, juga konflik karena masalah

kepentingan ekonomi dan politik. Sebagaimana yang akan penulis bahas

dalam sub bab terakhir dari bab ini. Adapun konflik antar negara juga dapat

terjadi sehingga mengakibatkan peperangan antar negara. Hal ini dapat

diishlãhkan melalui pembuatan perjanjian damai antara keduanya.

Page 114: Arif Hamzah Sps.tesis

100

Dengan demikian, obyek ishlãh dapat melingkupi beberapa hal

sebagaimana digambarkan secara ringkas dalam bagan sebagai berikut:

ISHLÃH

KONFLIK

INDIVIDU KELUARGA SOSIAL NEGARA

Kerusuhan sosial Perang

Nusyuz Syiqãq

Perkelahian

Dari pembahasan obyek ishlãh di atas dapat diambil kesimpulan lain,

yaitu bahwa inti dari pelaksanaan ishlãh dalam tiap obyek ishlãh adalah

adanya kesediaan memaafkan ('afw) oleh pihak yang merasa dirugikan

(korban) kepada pelaku dan kesediaan membayar/memberi ganti rugi atau

denda (diyat/kaffãrah) oleh pihak yang merugikan (pelaku) kepada pihak yang

dirugikan (korban). Sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa dalam kasus

pidana, terpidana diharuskan membayar diyat sebagai imbalan 'afw dari

korban. Dalam kasus perdata, pelaku harus membayar kaffarat sebagai

imbalan 'afw dari korban. Begitu pula dalam kasus-kasus lainnya. Singkat kata

'afw dan diyat/kaffarat adalah inti dari pelaksanaan ishlãh.

Perlu dijelaskan bahwa diyat/kaffarat/denda/ganti rugi yang biasanya

berupa materi berfungsi sebagai alat pemutus konflik yang harus ditunaikan

oleh pelaku, sementara korban menunaikan pemberian maaf yang sifatnya

immateri. Oleh karena itu pula, sudah semestinya denda atau apapun

istilahnya yang harus ditunaikan oleh pelaku, tidak hanya dalam bentuk materi

Page 115: Arif Hamzah Sps.tesis

101

saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang

dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.

B. Subyek Ishlãh

Sebagaimana telah diterangkan pula dalam bab II bahwa para subyek

yang terlibat dalam ishlãh dapat terdiri dari Tuhan, individu, keluarga, sosial,

dan negara dengan perincian keberhadapan antar subyek sebagaimana

dijelaskan terdahulu. Oleh karena itu, secara ringkas para subyek ishlãh

tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel ruang lingkup ishlãh berdasarkan subyek konflik

SUBYEK

ISHLÃH VS

INDIVIDU KELUARGA SOSIAL NEGARA TUHAN

INDIVIDU √ √ √ √ √

KELUARGA √ √ √ √ √

SOSIAL √ √ √ √ √

NEGARA √ √ √ √ √

TUHAN √ √ √ √

Perlu digarisbawahi, bahwa selain para subyek di atas masih ada subyek

ishlãh, yang secara langsung atau tidak, sangat berperan dalam mewujudkan

ishlãh antara pihak yang berkonflik. Subyek tersebut adalah mediator yang

berperan menengahi dan menjadi perantara di antara para subyek ishlãh dalam

mewujudkan ishlãh. Mediator ini bisa hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim

dalam kasus hukum pidana atau perdata, hakam dalam kasus konflik rumah

tangga, dan arbiter dalam kasus konflik sosial, individu, maupun negara. Hal

ini sebagaimana telah diterangkan pula dalam pembahasan ishlãh dalam

konteks sejarah. Memang kehadiran mediator ini tidak selalu diperlukan

Page 116: Arif Hamzah Sps.tesis

102

dalam setiap konflik, karena memang bisa saja konflik diselesaikan oleh kedua

pihak yang bersengketa saja tanpa memerlukan bantuan mediator dalam

berbagai kapasitasnya tersebut.

Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa subyek ishlãh pada dasarnya

meliputi dua pihak yang bersengketa sebagai inti dari subyek pelaksana ishlãh.

Adapun mediator, meskipun berperan sangat penting, namun karena

keberadaannya tidak selalu dibutuhkan, maka kedudukannya hanya sebagai

subyek pelengkap atau penyempurna terlaksananya ishlãh.

C. Rukum Ishlãh

Setiap akan melangsungkan suatu akad, maka harus diperhatikan rukun

dan syaratnya. Rukun dan syarat merupakan instrumen menentukan sahnya

pelaksanaan suatu akad termasuk saat akan melakukan ishlãh. Jika dalam

suatu akad tertinggal salah satu rukunnya, maka akad tersebut akan menjadi

tidak sah. Mengenai rukun ishlãh, terjadi perbedaan pendapat. Madzhab

Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ishlãh itu hanya satu, yaitu adanya

shĩghah lafal ijab dan kabul saja.157 Sayyid Sabiq juga sependapat dengan

ulama Hanafiyah, bahwa menurutnya rukun ishlãh itu hanyalah ijab dan kabul

saja dengan lafal apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.158 Sedangkan

Mazhab Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah (merupakan kelompok

Jumhur) berpendapat bahwa, rukun ishlãh itu terdiri dari tiga yaitu: Shĩghah,

al-ãqidain, dan Muhal.159

Yang dimaksud dengan Shĩghah, yakni ijab dan qabul yang dilakukan

oleh dua orang (dua belah pihak) yang bermaksud untuk melakukan ishlãh.

157 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyah, (Beirut: Dar al-Syamiyah, 1996), h. 30

158 Adapun lafazhnya seperti ucapan satu pihak “Aku berdamai denganmu”, “Aku bayar hutangku padamu yang lima puluh dengan seratus”, lalu pihak lain berkata “Telah aku terima”, dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu, lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., H. Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, h. 190

159 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23

Page 117: Arif Hamzah Sps.tesis

103

Misalnya satu pihak berkata: “Aku berdamai denganmu tentang masalah

ini”. Sementara yang satu menerima dengan ucapan “aku terima atau aku

rela”. Apabila Shĩghah yang sederhana ini diucapkan maka telah terjadi ishlãh

antara dua orang (para pihak) yang sedang bersengketa tersebut.160

Adapun yang dimaksud dengan al-ãqidain (dua orang yang berakad)

yang merupakan subyek ishlãh dapat juga disebut mushãlih, Sayid Sabiq

menyatakan bahwa mushãlih adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah

secara hukum. Maka tidak sah apabila orang yang akan melakukan

perdamaian itu orang gila atau anak kecil. Namun, jika ishlãh itu dilakukan

oleh anak kecil yang sudah mumayyiz, hal seperti itu diperbolehkan.161 Para

mushãlih dapat terdiri atas individu atau kelompok sebagaimana telah

dijelaskan pada sub bab subyek ishlãh di atas.

Adapun berkaitan dengan muhal (meliputi mushãlih ‘anh dan mushãlih

‘alaih),162 fuqaha menjelaskan bahwa berkaitan dengan mushãlih 'anh, tidak

ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang tidak berlakunya ishlãh

dalam tindak pidana yang melanggar hak Allah. Untuk itu, menjadi tidak sah

apabila ishlãh dilakukan dalam perkara hudũd seperti had zina, sariqah, syurb

al-khamr, qadzaf dan lainnya, karena untuk hukuman hãd sudah ditentukan

batas-batas maupun kadar hukumannya oleh nash. Sedangkan dalam kasus

qishash diyat yang berkaitan dengan hak hamba, disepakati merupakan ranah

untuk melakukan ishlãh. 163 Begitu pula ishlãh berlaku untuk hal-hal yang

berkaitan dengan masalah mu'amalat duniawi. Sebagaimana telah dijelaskan

dalam pembahasan ishlãh dalan jinayah, posisi ishlãh dalam mashlahah, dan

160 Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syarĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23 161 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191 162 Syarat mushalih ‘anhu adalah pertama, bahwa ia dapat berbentuk harta yang mempunyai

nilai dan mempunyai manfaat. kedua, bahwa ia termasuk hak manusia yang boleh diganti sekalipun penggantian itu berupa harta, seperti kasus qishash. Adapun mushalih ‘alaih adalah hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan. Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 189

163 Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994), juz ke-4, jil. ke-7, h. 30

Page 118: Arif Hamzah Sps.tesis

104

obyek ishlãh. Mengenai mushãlih ‘alaih akan di bahas lebih rinci dalam sub

bab berikutnya, yaitu syarat ishlãh.

Apabila ishlãh telah dilangsungkan, maka ia menjadi akad yang mesti

dipenuhi oleh kedua belah pihak. Salah satu dari mereka tidak boleh atau tidak

dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan mem-fasakh-nya. Tanpa terlebih

dahulu memberitahu kepada yang lainnya, serta harus ada kerelaan dari yang

bersangkutan. Pembatalan tidak boleh dilangsungkan sepihak.164

D. Syarat Ishlãh

Telah jelas bahwa rukun ishlãh terdiri atas tiga sebagaimana telah

dipaparkan di atas. Telah jelas pula kiranya bahwa Shĩghah haruslah berisi

ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua orang (dua belah pihak) yang

bermaksud untuk melakukan ishlãh, bahwa Shĩghah bisa dalam kata-kata

sederhana asalkan jelas maknanya yaitu untuk mengadakan perdamaian.

Apabila Shĩghah yang sederhana ini diucapkan tentu saja telah terjadi ishlãh

antara dua orang mushãlih. Demikian pula telah jelas perihal para mushãlih.

Oleh karena itu kedua rukun ini tidak penulis bahas lebih lanjut, karena

agaknya telah cukup pembahasan mengenai syarat-syarat Shĩghah dan para

mushãlih, demikian juga telah jelas mengenai syarat mushãlih 'anh. Yang

perlu dibahas lebih lanjut adalah syarat-syarat mushãlih 'alaih karena ia

berkaitan langsung dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh para pihak

dalam rangka memutus konflik. Juga akan dijelaskan lebih luas tentang syarat-

syarat mediator.

Telah dijelaskan bahwa inti dari pelaksanaan ishlãh adalah 'afw dan

diyat/kaffarat. Maka isi mushãlih 'alaih haruslah berisi kedua hal tersebut.

Perlu dijelaskan pula, bahwa diyat/kaffarat dalam berbagai macam obyek

ishlãh tidak hanya berupa harta benda, akan tetapi termasuk pula perbuatan-

164 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191

Page 119: Arif Hamzah Sps.tesis

105

perbuatan yang dapat memutuskan konflik. Demikian Sayyid Sabiq secara

umum menjelaskan pengertian mushãlih 'alaih. Oleh karena itu, perlu

dirumuskan hal-hal yang perlu dilakukan para mushãlih dalam rangka

memutus konflik. Dengan sendirinya, hal-hal tersebut menjadi syarat minimal

isi dari mushãlih ‘alaih.

1. Muatan Mushãlih 'Alaih

a. Menjauhi Prasangka buruk, Hinaan, dan Fitnah

Ajaran ishlãh yang dibawa para Nabi adalah bercirikan

kedamaian dan berusaha terlebih dahulu membawa manusia –sebagai

agen ishlãh- menjadi shãlih. Manusia yang shãlih dapat ditandai

dengan semangatnya dalam memperbaiki diri dengan berbagai amalan

positif yang diperintahkan maupun yang dianjurkan. Dengan demikian,

keshãlihan manusia dengan sendirinya akan memelihara lestarinya

ishlãh. Berbagai amal kebajikan yang perlu dilakukan dalam rangka

memelihara lestarinya ishlãh ini dapat disarikan dari berbagai perintah

Allah yang mengiringi perintah berbuat ishlãh itu sendiri.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10

sebagai berikut.

Page 120: Arif Hamzah Sps.tesis

106

Page 121: Arif Hamzah Sps.tesis

107

Artinya: ”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil(9) Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat(10) Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim(11) Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang(12) Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(13)

Page 122: Arif Hamzah Sps.tesis

108

Ayat ini berisi beberapa hal yang harus dijauhi dalam rangka

memutus konflik dan melestarikan ishlãh yang meliputi larangan

saling menghina/mengolok-olok antar manusia dan kelompok,

larangan saling mencela, larangan memanggil orang lain dengan gelar

yang buruk dan memancing kemarahan apalagi dengan gelaran seperti

kafir, fasik, masuk neraka dan lain-lain yang menyakitkan hati.

Kemudian dalam ayat 12, Allah perintahkan untuk menjauhi terlalu

banyak berprasangka buruk, karena hal ini dapat mengakibatkan

timbulnya kembali rasa saling curiga dan ketidaknyamanan dalam

pergaulan. Allah juga melarang untuk mencari-cari kesalahan orang

lain, dan menggunjingkan kekurangan orang lain. Bahkan Allah

mengumpamakan gunjingan itu seperti memakan bangkai manusia.

Dari ayat di atas, terlihat bahwa berbagai perintah dan larangan

yang mengiringi perintah berbuat ishlãh adalah perintah dan larangan

yang terkesan lebih teraksentuasi pada pembinaan kesalehan sosial.

Kesalehan individu secara otomatis tercakup di dalamnya. Kesan ini

semakin kuat dengan diakhirinya berbagai perintah di atas dengan ayat

13, yang menyatakan: “hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”

Dalam konteks hubungan antar manusia, nilai-nilai ishlãh

tercermin dalam keharmonisan hubungan antar mereka. Ini berarti, jika

hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka telah hilang atau

minimal berkurang kemanfaatan dan kebaikan dalam hubungan

keduanya dan masyarakat pada umumnya, sehingga terjadi kerugian

dalam masyarakat karena gagal memperoleh manfaat dari kebaikan

Page 123: Arif Hamzah Sps.tesis

109

hubungan tersebut. Dalam keadaan seperti ini diperlukan ishlãh agar

perbaikan dan keharmonisan pulih, sehingga pulih juga hubungan

kedua kelompok, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat

dan kemashlahatan bagi kedua kelompok dan masyarakat secara lebih

luas.

Oleh karena itu, orang beriman dituntut untuk berperan aktif

dalam menyelesaikan konflik tersebut, khususnya bagi orang beriman

yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya

melibatkan dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua

kelompok masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish

Shihab, ketika menafsirkan QS. Al-Hujurat (49): 10. Dengan demikian

mendamaikan pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara

dua kelompok yang sedang berkonflik, dengan melakukan

musyawarah dan tawar menawar yang jujur dan sehat di antara semua

pihak, dalam rangka meredakan konflik adalah kewajiban atas orang

beriman.165

Di samping itu, ketika menafsirkan ayat sebelumnya (ayat 9),

Quraish Shihab menyatakan bahwa penggunaan kata kerja lampau

“iqtatalũ” tidak harus dipahami dalam arti telah bertikai, tetapi dapat

juga diartikan hampir bertikai. Dengan demikian, ayat di atas

menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan

perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan telah nampak di kalangan

mereka. Jangan menunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkan

api sebelum menjalar.166

Tafsiran ini mengedepankan upaya-upaya preventif yang harus

dilakukan sebelum pertikaian bahkan kerusuhan menghancurkan

165 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol. 13, h. 247

166 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, h. 244

Page 124: Arif Hamzah Sps.tesis

110

masyarakat. Hal ni juga mengisyaratkan kepada orang beriman untuk

senantiasa memperhatikan kondisi masyarakat di sekitarnya dari waktu

ke waktu sehingga setiap saat, berbagai gerak dan gejolak negatif yang

timbul dapat segera diketahui dan segera diselesaikan sebelum menjadi

besar.

Seiring dengan tugasnya sebagai khalifah, pekerjaan memediasi

dalam mewujudkan ishlãh tidak berhenti hanya pada tahap

berdamainya dua kelompok yang bertikai yang ditandai dengan

salaman atau pelukan dan tidak terjadinya lagi letupan pertikaian

setelah pelukan itu saja. Demi menjaga ishlãh itu dalam jangka

panjang, perlu dilakukan upaya jangka panjang yang berkaitan dengan

merubah perilaku masyarakat tersebut menjadi shãlih.

Perlu disadari bersama bahwa dalam masyarakat yang pernah

mengalami pertikaian antar kelompok, tentu mengalami luka fisik

bahkan mental yang tidak mungkin hilang. Luka ini akan terus

membayangi sehingga luapan rasa dendam, benci, kemarahan dan lain-

lain ingin dilampiaskan.167 Dalam kenteks ini, dakwah untuk

membentuk masyarakat yang sabar dan pemaaf harus dilakukan.

Dengan kondisi mental masyarakat yang kuat dan stabil seperti ini

akan menjadi pijakan kokoh bagi lestarinya ishlãh yang telah

disepakati dalam jangka panjang. Masyarakat yang sabar dan pemaaf

harus terwujud karena secara psikologis, masyarakat yang pernah

167 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 101-102.

“Sebenarnya sakit sekali hati kami kalau mau diingat-ingat kejadian lalu. Sebab orang tua dan adik kami meninggal ketika terjadi kerusuhan. Tetapi saya sudah memaafkan”, Pernyataan masyarakat yang lain ”Sejujurnya saya masih ragu dengan kesungguhan orang-orang Kristen untuk berdamai, apalagi saat kerusuhan terjadi desa kami menjadi sasaran penyerangan mereka ..............”

Page 125: Arif Hamzah Sps.tesis

111

berkonflik akan terus dihantui oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan

terhadap ”mantan lawan”.168

Secara spiritual, berbagai upaya di atas dilakukan dalam rangka

menunjukkan dan membuktikan iman dan taqwa kepada Allah. Karena

berbagai aktifitas yang menuju kepada perbaikan diri dan umat, lahir

dan batin, merupakan ciri-ciri dari takwa itu sendiri, sebagaimana

firman Allah dalam QS. Ali Imran (3): 133-136 dan QS. Al-Hujurat

(49): 9-13 sebagai berikut:

☺ ⌧ ⌧

168 Dalam sebuah dialog dengan wakil pemerintah dalam proses ishlah Poso, juru bicara

Kristen berkata: “Pak Menteri, kami akan bicara dan minta maaf, dan kami mohon teman-teman muslim juga harus minta maaf. Sebab kalau tidak, akan ada kesan oh….Cuma dorang yang salah karena dorang so minta maaf. Kedua, kami akan berdamai tanpa syarat”. Secara terpisah delegasi Muslim menjawab “menurut ajaran Islam yang saya tahu, bila ada orang salah minta maaf, maka wajib hukumnya untuk kita maafkan. Atas nama kelompok Islam, saya maafkan asal betul-betul sampai di hati, tidak sekedar di mulut.” Dari dialog ini terlihat bahwa kekhawatiran akan terulangnya kesalahan yang didasari oleh belum pulihnya kepercayaan masih menghantui antar kelompok. Lihat Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 77-78

Page 126: Arif Hamzah Sps.tesis

112

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu

dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa(133) Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan(134) Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui(135) Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal(136)

b. Menegakkan Keadilan dalam Masyarakat

Konflik yang terjadi antar manusia dapat disebabkan oleh

beberapa hal dan salah satu yang utama adalah karena harta atau alasan

Page 127: Arif Hamzah Sps.tesis

113

ekonomi.169 Begitu juga konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah

lain di Indonesia tidak terlepas dari faktor ekonomi dan politik.170 Oleh

karena itu, maka Allah pun berwasiat untuk menyelenggarakan hajat

hidup orang banyak ini dengan seadil-adilnya. Dapat dikemukakan

satu contoh dalam masalah ini yaitu kasus perebutan harta rampasan

perang di kalangan umat Islam sendiri yang menjadi sebab turunnya

QS. Al-Anfal (8): 1 sebagai berikut:

Artinya: “Mereka bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang

rampasan perang. Katakanlah: rampasan perang itu untuk Allah dan Rasul. Maka takwalah kepada Allah dan perbaikilah keadaan di antara kamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa perang badar

sebagimana diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari Ibn Abbas.

Bahwa sebelum perang dimulai, Rasulullah -dalam rangka membakar

semangat pasukannya- bersabda: “Barang siapa berbuat begitu dan

begitu, dia akan mendapat rampasan sekian dan sekian.” Mendengar

perkataan Rasulullah itu, para pemuda dengan semangat menyerbu ke

garis depan, sedangkan yang tua-tua tinggal di sekeliling bendera

169 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, 170 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 41, 54

Page 128: Arif Hamzah Sps.tesis

114

perang. Setelah selesai perang dan harta rampasan dikumpulkan,

datanglah yang muda-muda meminta bagian mereka. Lalu yang tua-tua

berkata: “Janganlah kami diabaikan, karena kamilah sebenarnya yang

melindungi kalian ketika kalian maju. Karena kalau pecah barisan

kalian, niscaya kepada kamilah kalian akan berlindung.” Maka

timbullah perselisihan, di saat itu turunlah ayat tersebut di atas.

Dengan turunnya ayat tersebut, maka selesailah pertengkaran di antara

mereka dan pembagian harta rampasan perang diserahkan kepada

keadilan Allah dan Rasul-Nya, dan umat Islam dilarang saling

memperebutkannya.171

Dari ayat di atas juga dapat disimpulkan bahwa pembagian

ekonomi sebagai hasil kerja bersama haruslah dapat dirasakan bersama

dengan seadil-adilnya. Ketidakadilan dalam pembagian ekonomi ini

akan berakibat sangat fatal bagi keutuhan persatuan dan kedamaian.

Dalam sebuah masyarakat yang baru mulai membangun kembali

pasca dilanda konflik, pembagian peran dalam pembangunan juga

perlu dilakukan sebijak dan seadil mungkin. Karena secara langsung

atau tidak, pembagian peran dalam pembangunan ini akan berpengaruh

pada pembagian hasilnya, kelak ketika buah pembangunan itu sudah

dapat dipetik hasilnya. Jadi, baik pembagian peran maupun hasil

pembangunan harus dilakukan serata mungkin sesuai kondisi,

kebutuhan, dan keahlian tiap segmen masyarakat.

c. Mempererat Silaturrahmi

171 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz 9, h. 246-247. Lihat juga

Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), h. 219

Page 129: Arif Hamzah Sps.tesis

115

Silaturrahmi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan

dalam rangka memperbaiki keadaan. Allah memberikan perumpamaan

menarik sebagaiman difirmankan dalam QS. Al-Baqarah (2): 220

☺ ⌧

⌧ ☺

Artinya: “Di dunia dan akhirat. Dan mereka akan bertanya kepadamu

tentang anak-anak yatim. Katakanlah: mengatur baik-baik keadaan mereka adalah lebih baik. Jika kamu bercampur gaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah mengetahui siapa yang merusak dan siapa yang suka memperbaiki. Sekiranya Allah menghendaki niscaya diberatiNya kamu. Sesungguhnya Allah maha gagah lagi maha bijaksana.”

Ayat ini turun berkaitan dengan “ketakutan” para sahabat

terhadap harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaan mereka akan

termakan oleh mereka. Sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak

menyenangkan karena terlalu banyak ancaman jika ada harta anak

yatim tersebut yang bercampur dan termakan, seperti dicap sebagai

pendusta agama atau dianggap seperti memakan bara api. Maka ada

sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana sebaiknya

memelihara mereka. Maka turunlah ayat tersebut.172

172 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-II, h. 190 Lihat juga A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul:

Studi Pendalaman al-qur’an, h. 99

Page 130: Arif Hamzah Sps.tesis

116

Meskipun ayat di atas turun ketika masyarakat Islam dalam

kondisi damai, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa

meningkatnya jumlah anak yatim itu disebabkan karena banyaknya

sahabat yang meninggal dalam berbagai peperangan sehingga

meninggalkan anak-anak yatim yang terlantar dan tidak terurus fisik,

mental, pendidikan, termasuk hartanya.

Dalam konteks konflik sosial di Indonesia, dengan berjatuhannya

ratusan bahkan ribuan korban dari kalangan dewasa dan orang tua,

tentu telah meninggalkan banyak sekali anak yatim yang butuh

perhatian, rehabilitasi, dan pemberdayaan. Rehabilitasi dan

pemberdayaan dalam hal ini tidak hanya secara fisik berkaitan dengan

ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, tapi juga dalam hal

psikis. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahmidy lasahido dkk. bahwa

kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat

termasuk anak-anak. Gambaran suramnya kondisi psikologis

masyarakat ini dapat dilukiskan, bahwa suatu ketika diselenggarakan

lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung

berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah,

maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang

menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan

sebagian diwarnai putih. ”Yang merah rumah orang Kristen, yang

putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang

ketahuan.” 173

Eratnya tali silaturahmi antar masyarakat akan dapat secara

langsung menumbuhkan empati terhadap berbagai ketimpangan sosial

dalam masyarakat yang selanjutnya menggerakkan anggota

masyarakat untuk melakukan rehabilitasi yang perlu dilakukan baik

173 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 85-87.

Page 131: Arif Hamzah Sps.tesis

117

fisik maupun mental bagi seluruh lapisan masyarakat, Karena luka

fisik dan mental ini dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dari kedua

pihak yang bertikai.

d. Taubat Nashũha

Tentang Taubat Nashũhaini, sebagaimana firman Allah SWT.

dalam QS. al-Tahrim (66): 8

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah

dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”

Taubat Nashũhabiasa diartikan sebagai taubat yang semurni-

murninya sebagai pintu untuk masuk ke dalam surga, sekaligus –secara

fitrah- merupakan sesuatu yang menjadi kecenderungan hamba.

Nashũhamerupakan bentuk mubãlaghah dari kata nashaha yang

berarti kejernihan/kemurnian sesuatu dari kepalsuan dan noda-noda.

Maka Nashũha dalam taubat, ibadah, dan musyawarah berarti

memurnikannya dari semua kepalsuan, kecurangan, dan kerusakan,

Page 132: Arif Hamzah Sps.tesis

118

kemudian menempatkannya pada sisi yang paling sempurna. Nashh

adalah lawan dari ghisysy (tipuan).174

Pengertian ini didasarkan atas riwayat Umar ibn Khathab dan

Ubay ibn Ka'ab yang berkata "Taubat Nashũha ialah bertaubat dari

dosa kemudian tidak mengulanginya lagi, seperti tidak kembalinya air

susu ke teteknya." Di samping itu, Hasan al-Bashri berkata, "Hamba

menyesali apa yang telah dilakukannya, dan bertekad bulat untuk

tidak mengulanginya lagi." Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazhi berkata,

"Taubat Nashũhameliputi empat perkara: beristighfar dengan lisan,

menghentikan tindakan dengan badan, bertekad dengan hati untuk

tidak mengulanginya, dan menjauhi teman yang buruk."175

Keinginan kuat untuk bertaubat ini dilukiskan Allah dalam QS.

Ali Imran (3): 135

“Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

174 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan

Ruhani, terj. Dari Madarij al-Salikin: Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 438

175 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438-439. Menurutnya taubat meliputi tiga perkara: Pertama, keumumannya meliputi dan mencakup semua dosa, dengan tidak ada satu pun dosa yang tidak dicakup oleh taubat itu. Kedua, membulatkan tekad, kemauan, dan kesungguhan secara menyeluruh, dengan tidak ada ragu-ragu lagi, tidak berandai-andai, dan tidak menunda-nunda. Bahkan seluruh kehendak dan kemauannya secara total dilaksanakan dengan serta-merta. Ketiga, memurnikan dan membersihkannya dari kotoran dan cacat yang menodai keikhlasannya, menimbulkan rasa takut kepada Allah, senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya. Tidak seperti orang yang bertaubat demi untuk memelihara pangkat dan kehormatannya, kedudukan dan kepemimpinannya, untuk menjaga keadaannya, untuk menjaga kekuatan dan hartanya, atau untuk menarik perhatian orang lain, atau untuk melepaskan diri dari celaan mereka, atau agar tidak dikuasai oleh orang-orang bodoh, atau untuk meraih keinginan duniawinya, atau karena bangkrut dan lemah, dan lain-lain alasan yang menodai ketulusan. Jadi lingkup yang pertama berhubungan dengan apa yang ditaubati, dan yang kedua berhubungan dengan dzat yang kepada-Nya ia bertaubat, sedang yang ketiga berhubungan dengan pribadi orang yang bertaubat itu sendiri. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, (Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1993), h. 55-59. Ia menyatakan bahwa lingkup taubat mencakup tiga segi, yaitu pengetahuan, kondisi kejiwaan, dan perbuatan.

Page 133: Arif Hamzah Sps.tesis

119

Ayat ini menunjukkan toleransi yang diberikan Allah terhadap

makhluk.

Fãhisyah biasa diartikan sebagai perbuatan keji atau dosa yang

sangat buruk dan besar. Akan tetapi, rahmat Allah tidak mengusir

orang-orang yang terjatuh ke dalamnya, dan tidak menjadikan mereka

berada sebagai kaum marginal dari ummat. Bahkan, mereka masih

diangkat ke martabat yang sangat tinggi yaitu taqwa dengan syarat

ingat kepada Allah, lalu meminta ampun atas dosa-dosanya, dan tidak

meneruskan tindakannya dengan sepenuh kesadaran. Allah selalu

membuka kesempatan untuk kembali.176

Demikianlah Islam membimbing manusia yang lemah ini pada

saat-saat ia dalam kelemahannya. Karena, di samping kelemahan ada

kekuatan, di samping kelelahan ada semangat, dan di samping nafsu

kebinatangan terdapat kerinduan kepada Tuhan. Rahmat Allah

membimbing manusia untuk naik ke tempat yang tinggi asalkan ia mau

mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, serta tidak meneruskan

perbuatan dosanya setelah ia tahu bahwa itu adalah dosa.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab menyatakan

bahwa kedurhakaan yang dilakukan seseorang –selama ia

menyadarinya dan menginsyafi- tidak mencabut identitas

ketakwaannya. Allah tidak mengharuskan semua orang putih bersih

tanpa cela. Allah menerima hambanya yang berlumur dosa dan

memasukkannya dalam kelompok orang bertakwa –tentunya bukan

derajat takwa yang tertinggi- selama mereka menyadari kesalahannya.

176 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Jil. h. 245-247, Ia memberikan perumpamaan menarik berkaitan dengan rahmat Allah dalam membimbing hamba yang tersesat ini, bahwa jika anak berbuat salah dan ia melihat di rumahnya hanya ada cemeti, niscaya ia akan lari ketakutan dan tak akan kembali ke rumah lagi. Adapun jika ia mengetahui bahwa di samping cemeti ada tangan halus yang akan membelai dan mengusap kelemahannya ketika ia mengemukakan alasan berbuat dosa, dan menerima permintaan maafnya ketika ia meminta ampun atas dosa-dosanya, niscaya ia akan kembali ke rumah.

Page 134: Arif Hamzah Sps.tesis

120

Firman Allah tentang taubat di atas yang meliputi aktifitas pertama,

ingat pada Allah, lalu mohon ampun, kedua, tidak meneruskan

perbuatan kejinya, dan ketiga, mereka mengetahui, ketiganya telah

mencakup makna taubat.177

Taubat seorang hamba kepada Allah diapit oleh dua penerimaan

taubat dari Allah, yaitu sebelum si hamba bertaubat dan sesudahnya.

Sehingga taubat hamba berada di antara dua penerimaan taubat dari

Tuhannya. Karena mula-mula Allah memberinya taubat berupa izin,

taufiq, hidayah dan ilham yang menarik minat dan kecenderungannya

untuk bertaubat, lalu hamba tersebut bertaubat, kemudian Allah

menerima taubatnya. Penerimaan taubat-Nya terhadap mereka telah

mendahului taubat mereka, dan penerimaan taubat inilah yang

menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bertaubat, sehingga

menjadi sebab bagi taubat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa

mereka tidak bertaubat sehingga Allah menerima taubat mereka.

Hukum tidak ada apabila tidak ada illat-nya. Hamba mendapatkan

petunjuk karena petunjuk-Nya. Petunjuk tersebut mengharuskan

petunjuk lain yang dengannya Allah memberinya ganjaran berupa

petunjuk di atas petunjuk-Nya, karena di antara ganjaran petunjuk

ialah petunjuk lagi sesudahnya, sebagaimana halnya di antara akibat

kesesatan ialah kesesatan lagi sesudahnya.178

Seiring dengan pendapat di atas, Abd al-Qadir al-Jilani,

menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk

177 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2000), vol. 2, h. 209, tiga hal yang merupakan lingkup taubat sebagaimana diungkapkan oleh Quraish Shihab ini seiring dengan pernyataan al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 55-59, dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438-439.

178 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 443-444

Page 135: Arif Hamzah Sps.tesis

121

bertaubat, yaitu pertama, menyesali berbagai kesalahan yang telah

dilakukan. Inilah makna sabda Rasulullah "Penyesalan adalah taubat."

Tanda penyesalan yang benar adalah lembutnya hati dan

membanjirnya air mata. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk

menjadikan orang-orang yang bertaubat sebagai teman, karena mereka

adalah orang yang berhati lembut. Kedua. meninggalkan berbagai

kesalahan pada setiap keadaan dan tempat. Ketiga, keinginan keras

untuk tidak mengulangi kesalahan dan kejahatan yang telah dikerjakan

dengan terus memperbaiki diri.179

Di samping itu, ada beberapa amalan yang harus dilakukan dalam

rangka memperbaiki diri seperti menjaga lidah dari ghibah,

menghindari prasangka buruk, menundukkan pandangan, berlaku adil,

menyadari dan mensyukuri nikmat Allah agar tidak menyombongkan

diri, rajin berinfak, tidak membuat kerusakan, memelihara shalat, dan

berpegang teguh kepada sunnah dan jama’ah.180

Menurutnya, taubat ada dua macam, yaitu taubat dari kesalahan

antar sesama manusia dan taubat dari kesalahan serta dosa antara

manusia dengan Allah. Taubat yang kedua dilakukan dengan cara

bersitighfar secara lisan dan penyesalan dalam hati, serta berniat tidak

mengulanginva lagi. Orang yang bertaubat mesti berusaha dan

mengerahkan seluruh tenaganya untuk memperbanyak kebaikan.

Selanjutnya memperbaiki serta membina diri agar menjadi Muslim

yang sejati dan utuh. Untuk tujuan inilah, ia menetapkan syarat-syarat

di atas.181

179 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, terj. Dari al-Ghunyah li Thalabi al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), h. 252

180 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 253-254 181 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, Di samping itu, al-Ghazali

menyatakan bahwa dosa antar sesama adalah dosa yang paling sukar dan berat, sebab hal itu timbul dari lima hal, yaitu menyangkut urusan harta seperti ghasab, memeras, pemalsuan dan lain-

Page 136: Arif Hamzah Sps.tesis

122

Taubat dari kesalahan terhadap sesama manusia mesti dilakukan

dengan cara menemui untuk meminta diikhlaskan setelah

memberitahukannya, jika hak itu berkaitan dengan harta benda atau

berupa kejahatan terhadap dirinya atau diri pewarisnya. Sebagaimana

diriwayatkan dari Nabi bahwa ia bersabda: "Barangsiapa pernah

melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik mengenai hartanya

maupun kehormatannya, maka hendaklah ia menyesaikannya hari ini

juga, sebelum dinar dan dirham tidak diperhitungkan lagi, kecuali

kebaikan dan kejelekan."

Jika kezhalimannya berupa mencela, mengumpat atau menuduh

berbuat zina, apakah di dalam bertaubat penuduh disyaratkan

memberitahukan kepada yang dituduh dan harus meminta kerelaannya

ataukah tidak perlu. Pendapat yang terkenal di kalangan madzhab

Syafi'i, Abu Hanifah, dan Malik mensyaratkan memberitahukan dan

meminta kerelaannya. Dengan alasan, bahwa di dalam kejahatan

terdapat dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia, maka bertaubat

darinya ialah dengan meminta pembebasan orang tersebut karena hal

itu merupakan haknya, dan menyesali apa yang terjadi antara dirinya

dengan Allah, karena ia juga merupakan hak Allah. Oleh karena itu,

taubat orang yang membunuh tidak akan sempurna melainkan dengan

memberikan wewenang mengambil tindakan terhadap dirinya kepada

ahli waris orang yang terbunuh tersebut. Jika suka ia bisa menuntut

qishas atau memaafkannya.

lain, masalah pribadi seperti membunuh, memfitnah, masalah perasaan seperti mengumpat, menggunjing, menuduh zina dan lain-lain, masalah kehormatan seperti mengkhianati kehormatan istri dan anak, dan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh sesat dan lain-lain. Kesemuanya hanya bisa diselesaikan dengan pengakuan terhadap orang tersebut, mengakui bahwa yang dituduhkan adalah kebohongan, meminta maaf dan mohon diikhlashkan, karena bersangkut paut dengan hak kemanusiaan. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66

Page 137: Arif Hamzah Sps.tesis

123

Golongan kedua berpendapat tidak disyaratkan memberitahukan

apa yang dilakukannya itu, baik kezhaliman itu berupa menodai harga

dirinya, tuduhan, maupun umpatan, bahkan taubat itu cukup antara dia

dan Allah. Tetapi ia harus mencabut tuduhan dan membersihkan nama

baiknya di tempat-tempat yang pernah dipakai mengumpat atau

menuduh orang tersebut. Ia harus mengganti umpatan dengan pujian

dan sanjungan, atau menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Segala

tuduhan yang pernah dilontarkannya diralat atau dinyatakannya tidak

benar, kemudian meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah

dilakukannya tersebut. Demikian pendapat Ibn Taimiyah. Pendapat ini

didasarkan pada alasan bahwa pemberitahuan justru akan

menimbulkan mafsadat dan tidak mengandung maslahat sama sekali,

karena hanya akan menambah sakit hati, marah, dan sedih. Padahal

sebelum mendengar pemberitahuan itu, hati orang tersebut tidak

memper-masalahkannya. Tetapi setelah mendengarnya boleh jadi dia

tidak sabar menanggungnya, kemudian menimbulkan mafsadat pada

jiwa atau fisiknya. Pembuat syari'at tidak akan pernah membolehkan

hal seperti ini, apalagi mewajibkan dan memerintahkannya, karena

bertentangan dengan maksud pembuat syari'at untuk saling

menjinakkan antar hati manusia, saling mengasihi, saling menyayangi,

dan saling mencintai.182

Ada perbedaan antara hak yang bersangkut paut dengan

kejahatan non fisik seperti mengumpat dan lain-lain itu dengan hak

yang menyangkut harta benda dan kejahatan fisik. Memberitahukan

hak yang menyangkut harta benda, apabila –kemudian harta itu-

dikembalikan, kadang-kadang bisa mendatangkan manfaat. Maka tidak

182 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 411-412, Ia cenderung pada pendapat yang kedua. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66

Page 138: Arif Hamzah Sps.tesis

124

boleh disembunyikan, karena ia murni haknya yang wajib dipenuhi.

Berbeda dengan mengumpat dan menuduh (berbuat zina atau

perbuatan jelek lainnya), karena memberitahukan hal itu tidak ada

manfaatnya sama sekali, melainkan hanya akan menimbulkan bahaya

dan membangkitkan kemarahan saja. Kedua hal tersebut jelas tak bisa

disamakan.183

e. Sabar Dan Memaafkan

Petunjuk yang senantiasa diberikan Allah kepada hambanya yang

tersesat, sehingga dengan petunjuk itu betrtaubatlah seorang hamba,

dan Allah pun menerima taubat itu, menunjukkan toleransi luar biasa

yang diberikan Allah kepada hambanya dan menunjukkan maha

pengampunnya Allah terhadap hambanya yang mau kembali. Oleh

karena itu, wajar jika kemudian Allah menuntut toleransi hamba

terhadap kesalahan hamba yang lain, dengan bersedia memberikan

maaf atas kejahatan yang diperbuat terhadap dirinya.

Allah berfirman dalam QS. Al-Syura (42): 37, "...Dan apabila

mereka marah, mereka memberi maaf.” Menurut Sayid Quthb, ayat ini

mendorong manusia bersikap toleran dan pemaaf serta menseyogyakan

kepada kaum mukminin agar apabila marah mereka memaafkan.

Namun demikian, Allah tidak membebani manusia melebihi

kekuatannya. Allah mengetahui bahwa marah merupakan emosi

manusia yang bersumber dari fitrahnya. Kemarahan bukan semata-

mata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama, kebenaran, dan

keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung

kebaikan. Karena itu, secara filosofis, esensi kemarahan tidak

diharamkan dan tidak dianggap sebagai kesalahan, bahkan

183 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan

Ruhani, h. 413,

Page 139: Arif Hamzah Sps.tesis

125

eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui keberadaannya. Namun,

pada saat yang sama, manusia dituntut untuk dapat mengalahkan

kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Rasulullah, tidak

pernah marah demi dirinya sendiri, tetapi dia marah karena Allah.

Manusia hanya dituntut untuk memaafkan di saat marah,

membebaskan kesalahan orang tatkala mampu, dan mengatasi

keinginan untuk membalas selama persoalannya berada dalam tataran

pribadi yang berkaitan dengan masalah individual.184

Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam

hati menjadi mendidih. Jika gejolak ini sangat keras, maka ia berkobar

menjadi api kemarahan. Kalau mendidihnya darah dalam hati lebih

dahsyat lagi, seluruh urat syaraf dan otak terselimuti sehingga suasana

menjadi gelap gulita dan tidak ada tempat untuk berpikir.185

Oleh karena itu, menahan marah saja belum memadai. Karena,

adakalanya seseorang itu menahan marah tetapi masih dendam dan

benci. Sehingga, berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu

menjadi dendam yang terpendam dan tersembunyi. Padahal, sejatinya

kemarahan itu fitrah dan lebih bersih daripada dendam dalam hati.

Oleh karena itu, upaya menahan marah ini harus diikuti dan diakhiri

dengan memaafkan, berlapang dada, dan toleransi. Kemarahan akan

184 Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Jil. XIX, h. 328-330. Lihat juga Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1996), h. 62. Dengan mengutip Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ia menyatakan bahwa marah termasuk penyakit jiwa yang serius, walaupun pada situasi tertentu marah itu tidak tercela. Marah yang digolongkan penyakit jiwa yang serius adalah marah yang menyebabkan munculnya banyak sifat buruk dan perbuatan jahat.

185 Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, h. 62-66, Menurutnya, dengan mengutip al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk dapat menahan marah, pertama, dengan ilmu, yaitu dengan mengetahui pahalanya atau dosanya bila ia mampu atau tidak mampu menahan marah, mengetahui akibat marah akan memperbanyak musuh, mengetahui jeleknya orang marah yang seperti binatang, menyadari tidak ada gunanya balas dendam, dan menyadari bahwa marah terhadap sesuatu pada hakikatnya marah kepada Tuhan. Kedua, dengan amal perbuatan, yaitu membaca ta’awudz, jika belum reda, maka hendaknya duduk jika sedang berdiri, lalu merebahkan diri jika sedang duduk. Jika masih belum reda juga, maka hapuslah marah dengan berwudhu.

Page 140: Arif Hamzah Sps.tesis

126

menyakitkan hati ketika ditahan dan kobarannya dapat menghanguskan

qalbu. Akan tetapi, ketika jiwa memaafkan dan hati mengampuni,

maka lepaslah ia dari sakit hati itu.

Secara historis, pada dasarnya watak bangsa Arab adalah keras,

namun dalam periode pertama dakwah, -karena faktor regional Mekah

dan karena adanya tuntutan untuk membina masyarakat muslim

generasi pertama- menuntut Nabi mengajarkan kepada para sahabat

agar menahan diri, meningkatkan kualitas pribadi dengan mendirikan

shalat, dan meningkatkan kualitas jamaah dengan menunaikan zakat.

Ada beberapa faktor yang mendorong dipilihnya cara berdamai

dan bersabar pada periode Mekah, di antaranya adalah pertama,

disakitinya kaum muslimin generasi pertama dan diujinya mereka agar

meninggalkan agama disebabkan oleh situasi politik dan sosial di

jazirah yang merupakan situasi kekabilahan. Karena itu, kelompok

yang menyakiti seorang muslim adalah keluarganya sendiri, jika dia

memiliki keluarga. Tidak ada keluarga, suku, dan kabilah lain yang

berani menyakiti seseorang dari keluarga, suku, dan kabilah lainnya.

Rasulullah tidak ingin terjadi pertengkaran dalam setiap keluarga

antara yang muslim dan yang non muslim. Maka, pendekatannya lebih

ditujukan pada pelunakan hati daripada mengasarinya.

Kedua, lingkungan masyarakat Arab merupakan masyarakat

yang satria yang siap membela pelaku kebenaran jika dia disakiti.

Sikap kaum muslimin yang tahan uji dalam memikul gangguan dan

keteguhan mereka dalam memegang akidahnya sangat menyentuh jiwa

satria dan menimbulkan simpati terhadap kaum muslimin. Ketiga,

lingkungan masyarakat Arab merupakan lingkungan perang dan cepat

menghunus pedang. Suku-suku yang istimewa tidak tunduk kepada

sistem. Keseimbangan individual yang ditekankan Islam menuntut

Page 141: Arif Hamzah Sps.tesis

127

pengendalian emosi ini secara berkesinambungan, menaklukkannya

kepada tujuan, membiasakannya supaya bersabar, dan mengendalikan

suku serta memberinya rasa bangga karena memiliki akidah ini saat

meraih kemenangan dan keuntungan. Karena itu, seruan supaya

bersabar dalam menghadapi gangguan sangat sejalan dengan manhaj

pendidikan yang bertujuan menanamkan keseimbangan pribadi muslim

dan mendidiknya bersabar, teguh, dan pantang mundur. Faktor-faktor

di atas menuntut diterapkannya kebijakan berdamai dan bersabar di

Mekah serta pengokohan watak dasar masyarakat muslim secara

berkesinambungan.186

Khusus berkaitan dengan pelunakan sifat keras bangsa Arab dan

pengikisan kebiasaan berperang antar kabilah ini dengan ajaran sabar

dan maaf, Quraish Shihab, ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 134

"...Dan, orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan

(kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat

kebajikan", menyatakan bahwa karena kesudahan peperangan adalah

gugurnya sekian banyak muslimin yang tentu saja mengundang

penyesalan bahkan kemarahan, maka sifat yang harus ditonjolkan

adalah mampu menahan marah, bahkan memaafkan kesalahan atau

kejahatan orang. Bahkan akan sangat terpuji bagi mereka yang berbuat

kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan, karena

Allah menyukai dan melimpahkan kebajikan bagi orang yang berbuat

kebajikan.187

Begitu pula ketika Rasulullah mengetahui gugurnya Hamzah Ibn

Abd al-Muthalib, apa lagi, setelah gugur, perutnya dibedah dan hatinya

dikunyah oleh Hind, Rasulullah bersabda: ”Jika Allah

186 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 331-331 187 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.

207

Page 142: Arif Hamzah Sps.tesis

128

menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrik Quraisy

pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas dengan

kematian tiga puluh musyrik.” Ketika itu, Allah menegur Nabi dengan

firman-Nya dalam QS. Al-Nahl (16): 126 ”Jika kamu membalas, maka

balaslah dengan balasan yang persis sama dengan siksaan yang

ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya

itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” Kiranya ayat

tersebut tidak hanya berpesan kepada Rasulullah saja tetapi kepada

seluruh umat, mengingat yang sanak keluarganya terbunuh tidak hanya

sanak keluarga Rasulullah semata.188

Lebih lanjut, Quraish Shihab menerangkan bahwa dalam konteks

mengahadapi kesalahan orang lain, ayat di atas (ali Imran: 134)

menunjukkan tiga kelas manusia atas jenjang sikapnya. Pertama,

manusia yang mampu menahan amarah. Kata al-Kãzhimĩn

mengandung makna penuh dan menutupnya rapat-rapat, seperti wadah

air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini

mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati

yang bersangkutan, pikirannya masih ingin menuntut balas, tetapi hati

dan pikirannya itu tidak ia perturutkan dengan menahan marah

sehingga tidak keluar kata-kata buruk dan perbuatan negatif.

Kedua, di atas tingkat menahan marah adalah yang memaafkan.

Kata al-‘ãfĩn terambil dari kata dasar ‘afw yang biasa diterjemahkan

dengan maaf, selain dapat juga diterjemahkan dengan menghapus.

Seorang yang memaafkan orang lain berarti ia menghapus bekas luka

hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Jika

pada tingkatan pertama, orang yang bersangkutan mampu menahan

188 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.

207

Page 143: Arif Hamzah Sps.tesis

129

marah meskipun hatinya masih sakit karena luka bahkan dendam,

maka pada tahap kedua ini, orang tersebut telah mampu menghapus

bekas luka itu, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Karena seolah-

olah tidak terjadi sesuatu, maka bisa jadi juga tidak lagi terjalin

hubungan di antara keduanya.

Maka tingkatan tertinggi adalah ketiga, orang yang tidak hanya

sekedar menahan marah dan memaafkan, tetapi justru berbuat baik

kepada orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya sehingga

terjalin kembali keharmonisan di antaranya. Demikianlah teladan dari

Rasulullah.189

Pada dasarnya, prinsip umum dalam kehidupan adalah "Balasan

suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” Inilah prinsip jinayat,

yakni keburukan dibalas dengan keburukan agar kejahatan tidak

melanda dan merajalela. Karena, manakala tidak ada pengekang yang

mencegah seseorang dari membuat kerusakan di bumi, maka dia dapat

melenggang dengan aman dan tenteram. Prinsip itu dibarengi dengan

anjuran memaafkan demi meraih pahala Allah, memperbaiki diri dari

kebencian, dan memperbarbaiki masyarakat dari kedengkian. Inilah

pengecualian dari prinsip di atas.

Perlu digarisbawahi, bahwa pemberian maaf hanya terjadi tatkala

seseorang mampu membalas keburukan dengan keburukan atau dalam

konteks peradilan adalah tatkala terpidana telah dinyatakan terbukti

bersalah di muka pengadilan dan tinggal menunggu vonis. Pada saat

itu, maaf memiliki bobot dan pengaruh dalam memperbaiki orang yang

melampaui batas. Tatkala orang yang melampaui batas mengetahui

bahwa maaf berubah menjadi toleransi dan bukan menjadi kelemahan

189 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.

207 208

Page 144: Arif Hamzah Sps.tesis

130

yang mempermalukannya, dan dia merasa bahwa lawannya yang

memaafkan itu lebih mulia. Maka jiwa orang kuat yang memaafkan

menjadi bersih dan mulia dan jiwa yang dimaafkan terlunakkan oleh

maaf yang diberikan. Dalam kondisi ini, memberi maaf lebih baik

daripada membalas. Namun, tidak demikian jika dia lemah dan tidak

berdaya, maka maaf menjadi tidak ada artinya. Maaf justru menjadi

keburukan yang membuat pelakunya semakin ganas dan membuat

orang yang dizhaliminya semakin terhina, sehingga keburukan justru

semakin merebak di muka bumi.190

Yang penting dalam hal ini adalah sikap proporsional, yaitu

pengendalian diri, bersabar, dan toleransi dalam berbagai kondisi

ketika mampu membalas. Dengan demikian, bersabar dan toleransi

merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan dan kenistaan,

sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Syura (42): 43 "Tetapi, orang

yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang

demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan."

2. Syarat-Syarat Mediator

Sebagaimana telah disinggung di muka ketika membahas tentang Qs.

Al-Hujurat:10-13, bahwa orang beriman dituntut untuk berperan aktif

dalam menyelesaikan konflik, khususnya bagi orang beriman yang tidak

terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya melibatkan

dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua kelompok

masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish Shihab, ketika

menafsirkan Qs. al-Hujurat: 10. Dengan demikian mendamaikan

pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara dua kelompok

yang sedang berkonflik, dengan melakukan musyawarah dan tawar

190 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 332-333. Lihat juga

bahasan bab III dari tesis ini tentang signifikansi ishlah dan posisi ishlah dalam jinayah.

Page 145: Arif Hamzah Sps.tesis

131

menawar yang jujur dan sehat di antara semua pihak, dalam rangka

meredakan konflik adalah kewajiban atas orang beriman.191

Pada dasarnya, musyawarah adalah sifat khas umat Islam sejak awal

agama ini diajarkan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Syura

(42): 38"...Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di

antara mereka....".

Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum hijrah

yang berarti diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan

demikian, sifat suka bermusyawarah lebih melingkupi entitas seluruh

lapisan masyarakat muslim daripada sekadar melingkupi entitas

pemerintahan Islam saja. Musyawarah merupakan karakter masyarakat

Islam dalam segala kondisinya, sebelum maupun sesudah berdirinya

pemerintahan Islam dengan konsepnya yang khas di Madinah. Dan dalam

kenyataannya, dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali

pemunculan tabiat masyarakat Islam dan karakteristik individunya yang

demokratis. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya

dalam merealisasikan ajaran Islam dan melindungi kehidupan individu dan

masyarakat secara luas.192

Karena itu, oleh Nabi, watak musyawarah ditegakkan sejak dini

dalam masyarakat sehingga makna musyawarah lebih luas dan dalam dari

pada sekedar mencakup pemerintahan dan segala aspek hukumnya.

Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan indikator

istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain. Dan

watak inilah yang mendasari perlunya proses mediasi dalam mendamaikan

dan merukunkan kembali dua orang atau kelompok yang berselisih.

Dalam QS. Al-Hujurat (49): 9-10, Allah berfirman:

191 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13, h. 247

192 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 322

Page 146: Arif Hamzah Sps.tesis

132

“Jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu dan bcrtakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."

Ayat ini mencerminkan kaidah umum yang ditetapkan untuk

memelihara kelompok Islam dan masyarakat secara umum dari

perpecahan dan perceraiberaian. Kaidah itu pun bertujuan meneguhkan

kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Yang menjadi pilar bagi semua ini

ialah ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan

menegakkan keadilan dan perdamaian.

Al-Qur'an menghadapi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya

perang antara dua kelompok mukmin. Mungkin salah satu kelompok itu

berlaku zhalim atas kelompok lain, bahkan mungkin keduanya berlaku

zhalim dalam salah satu segi. Namun, Allah mewajibkan kaum mukminin

lain, tentu saja bukan dari kalangan yang bertikai, supaya menciptakan

perdamaian di antara kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya

bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran,

misalnya kedua kelompok itu berlaku zhalim dengan menolak untuk

berdamai atau menolak unluk menerima hukum Allah dalam

menyelesaikan aneka masalah yang diperselisihkan, maka kaum mukminin

-dalam hal ini oleh penengah yang kuat, yang biasanya merupakan wakil

pemerintah- hendaknya menindak kelompok yang zhalim tersebut hingga

mereka kembali bersedia menghentikan permusuhan di antara kaum

mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang

mereka perselisihkan. Jika pihak yang zhalim telah menerima hukum

Page 147: Arif Hamzah Sps.tesis

133

Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan per-

damaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai wujud

kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaan-Nya.

Penyelenggaraan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang

cermat ini perlu dilakukan mengingat telah terjadi penindakan oleh

mediator terhadap kelompok yang sempat membangkang. Penindakan ini,

di samping membuat pihak pembangkang tersebut “secara agak terpaksa”

mengikuti hukum yang diterapkan mediator, tentu telah menimbulkan efek

psikologis tertentu yang diakibatkan oleh ancaman bahkan tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh mediator dalam rangka membuatnya patuh.

Oleh karena itu, jika perdamaian kurang dilakukan dengan cermat

sehingga jaminan keadilan dan keterwakilan kepentingan kedua pihak

tidak terpenuhi sehingga muncul kembali kekecewaan, maka perdamaian

tersebut bisa jadi tidak akan bertahan lama, bahkan berulang kembali

pertikaian dalam skala yang lebih besar.

Kewajiban menjadi penengah dalam menyelesaikan pertikaian secara

damai ini dapat dilacak akar historisnya. Sebagaimana telah dijelaskan

pada bab dua, bahwa sejak sebelum masa kenabian, Rasulullah adalah

seorang arbiter, begitu pula setelah menerima wahyu. Dan bahwa ishlãh,

baik dalam bentuk arbitrase maupun yang lain tidak terbatas di antara

kaum muslimin saja tapi juga antara kaum muslim dengan non muslim.

Hal ini dapat dibuktikan, bahwa Rasulullah pernah melakukan arbitrase

dengan Yahudi Bani Quraizhah dengan menunjuk seorang arbiter/mediator

yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, meskipun dapat disayangkan bahwa

di kemudian hari, arbitrase ini dilanggar oleh salah satu pihak yang

berbuntut pengusiran.193

193 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-234. Khadduri menyebutnya arbiter. Penulis menyamakan istilah arbiter dengan mediator, di samping menyamakan dua istilah ini dengan hakam. Karena inti pekerjaan mereka sama, yaitu

Page 148: Arif Hamzah Sps.tesis

134

Berkaitan dengan posisi arbiter ini, Majid Khadduri menetapkan

beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang arbiter, yaitu pertama,

harus orang yang jujur yang reputasinya diketahui secara luas. Kedua,

keadaan dan sasan-sarannya dapat diterima oleh kedua belah pihak yang

dibuktikan dengan dipilihnya ia oleh kedua belah pihak secara bebas dan

tanpa paksaan, dan ketiga, mampu berbuat atau memutuskan secara adil.

Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan memutuskan perkara yang

bersangkut paut dengan orang tua atau keluarganya.194

Secara konseptual, selain keterangan ayat di atas, dalam khazanah

hukum Islam, sebenarnya para juris Islam juga tidak membatasi wilayah

Negara hanya sebatas dãr al-Islãm dan dãr al-harb saja, tetapi juga

menawarkan sebuah konsep dãr al-‘Ahd atau dãr al-Shulh yaitu negara

yang sedang dalam perjanjian (damai) dengan Negara Islam. Meskipun

pada prinsipnya Negara bentuk ketiga ini tidak begitu diakui keberadaanya

oleh para ahli hukum Islam, namun karena Negara dalam bentuk ini

memang ada, maka secara faktual hal ini membuktikan adanya –apa yang

disebut oleh Khadduri sebagai- dãr al-hiyad atau world of neutrality.

Salah satu contohnya adalah Ethiopia yang merupakan Negara non-

muslim yang memiliki kategori Negara netral yang dengan demikian

memiliki kekebalan terhadap konsep jihad.195 Berangkat dari kriteria

arbiter/mediator yang diberikan oleh Khadduri, penulis akan

membahasnya lebih lanjut.

mendamaikan dua pihak yang berseteru secara damai dan musyawarah hingga tercipta ishlah, baik arbiter/mediator/hakam hanya seorang saja atau terdiri dari dua orang atau kalau perlu merupakan sebuah tim.

194 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 234. Menurut hemat penulis, ada beberapa syarat seorang arbiter atau mediator yang perlu diberikan penekanan, yaitu seperti syarat reputable mesti diberikan penekanan berupa kedudukan yang kuat secara politik maupun sosial -yang berupa jaringan yang luas di masyarakat- sehingga dihormati oleh kedua pihak, serta cerdas dan pandai dalam membaca situasi dalam rangka penyelesaian konflik secara lestari.

195 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 251-253

Page 149: Arif Hamzah Sps.tesis

135

Meskipun kedudukannya dalam ishlãh bukan sebagai rukun, namun

keberadaannya dalam menyelesaikan konflik tertentu amatlah penting,

maka perlu dibahas mengenai syarat-syarat yang perlu dimiliki oleh

mediator demi suksesnya ishlãh yang hendak dilakukan. Syatrat-syarat

mediator dapat terdiri atas:

a. Adil

Al-Thabari menerangkan bahwa di antara sikap adil adalah

pengakuan kepada Dzat yang memberikan segala anugerah kepada

kita, berterima kasih kepada-Nya dan meletakkan segala pujian

kepadanya. Sementara itu berhala-berhala tidak punya apa pun yang

menjadi alasan kita mengarahkan sikap-sikap tersebut kepada mereka.

Karena itu, syahadat (yang arti pertamanya adalah penafian segala

berhala atau tuhan model apa pun, dan arti keduanya peneguhan

keyakinan, itsbat, kepada Yang Satu) merupakan tindakan fair

pertama. Dengan demikian, adil bisa diartikan dalam pengertian

"seharusnya", "selayaknya", "semestinya". Seperti kalau kita

menganggap tidak adil orang yang menuntut seorang bocah

memecahkan masalah orang dewasa. Jadi, adil adalah meletakkan

sesuatu di tempatnya, yang merupakan kebalikan dari kata zhalim.

Dengan begitu, tindakan mencegah perbuatan keji, kemungkaran dan

tindak agresif termasuk tindakan adil. Dalam artian ini, dapat

dikatakan bahwa adil merupakan suatu keniscayaan hidup.196

Ibn al-'Arabi melihat keadilan dalam tiga posisi. Pertama, dalam

hubungan hamba dengan Tuhannya, ia tampak kalau si hamba

mengutamakan hak Allah dibanding haknya sendiri, mendahulukan

keridaan-Nya di atas hawa nafsunya, serta meninggalkan segala yang

196 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 345

Page 150: Arif Hamzah Sps.tesis

136

dilarang dan menunaikan segala perintah. Kedua, dalam hubungan si

hamba dengan dirinya, adil berarti melarang diri sendiri dari semua

yang mengandung bahaya dan kebinasaan. Sedangkan ketiga, adil

dalam hubungan dengan makhluk lain teraplikasi dalam tindakan

seperti pemberian urun rembuk, penghindaran diri dari laku khianat,

ketulusan dalam segala hal, tidak berbuat buruk kepada seseorang baik

dengan kata-kata maupun tindakan, baik secara sembunyi maupun

terang-terangan, kesabaran menerima tindakan buruk mereka, dan

meninggalkan perbuatan yang mengganggu.197

Dengan demikian, adil tidak hanya menyangkut akidah,

keberislaman, dan akhlak, melainkan juga seluruh segi pelaksanaan

kehidupan duniawi –yang dalam lingkup jinayat- seperti dalam

keputusan Juris yang adil terhadap kasus yang dihadapinya, yaitu

berupa penjatuhan vonis yang benar. Maka, dalam konteks ishlãh,

seorang mediator harus dapat menempatkan sesuatu selayaknya, adil,

dan tidak berat sebelah.

Selain sebagai sebuah keniscayaan, adil adalah sikap berimbang

dalam segala sesuatu. Perimbangan alam ini sendiri berarti keadilan.

Keindahan musik, kecantikan wajah, mustahil mewujud tanpa

perhitungan yang cemerlang dan kerangka yang sempurna.

Khususnya dalam hal pembalasan jinayat. Jika baik, maka baik.

Jika buruk, maka buruk. Syafi'i melukiskan keadilan sebagai

perimbangan dalam konteks hukum ini dengan sangat tepat. Bahwa

seorang hakim wajib menyamakan perlakuan kepada para pihak dalam

lima hal, yaitu dari mulai cara masuk, derajat tempat duduk, cara

berdialog dengan hakim, pemberian perhatian hakim kepada masing-

masing pihak, dan dalam penjatuhan vonis. Di samping itu, hakim

197 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 347

Page 151: Arif Hamzah Sps.tesis

137

tidak dibolehkan mempengaruhi salah satu pihak maupun saksi, tidak

pula mereka boleh mempengaruhi hakim. Tidak boleh hakim menjamu

salah satu pihak tanpa kehadiran yang lain atau menghadiri perjamuan

salah satunya selama mereka masih dalam perkara di pengadilannya.

Di situ terlihat, keadilan sebagai keseimbangan mewujud dalam

prosedur, dan selanjutnya dalam vonis. Vonis dikatakan adil jika

berdasarkan keberimbangan proses dan prosedur.198

Dalam sebuah kasus pidana maupun perdata, maka hakim

memegang peranan utama (dalam kasus ishlãh, maka mediator yang

memegang peran utama). Oleh karena posisi yang strategis itu, maka

tidak diperbolehkan terdapat sentimen pribadi kepada salah satu pihak

sehingga mendorong untuk berlaku tidak adil terhadap mereka, bahkan

lalu berbuat semena-mena.199

b. Reputabel

Reputasi yang baik dan didukung oleh kekuatan yang memadai

dapat memberi kekuatan tersendiri bagi mediator. Oleh karena itu, QS.

al-Hujurat (49): 9-10 di atas mengisyaratkan -jika perlu- pemerintah

yang langsung turun tangan dalam mendamaikan kedua belah pihak.

Sebagaimana telah diterangkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan

dengan terjadinya pertengkaran antara suami istri yang melibatkan

kabilah masing-masing. Ayat tersebut juga dalam rangka menanggapi

198 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 348-349 199 Muhammad Ali al-Shabuni, Cahaya al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-al-

An’am, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Jil. 1, h. 259-260

Page 152: Arif Hamzah Sps.tesis

138

pertengkaran antara suku ‘Aus dan Khazraj yang dipicu oleh Ibn Ubay,

yang kemudian berhasil didamaikan oleh Rasulullah.200

Dalam beberapa hal, -jika diperlukan- mediator perlu bertindak

tegas dan jika perlu melakukan show of force terhadap salah satu pihak

yang “membandel” apalagi menyalahi kesepakatan. Salah satu contoh

ketegasan ini adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah

terhadap pengingkaran perjanjian yang disepakati melalui arbitrase

antara Rasulullah dengan Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi

Madinah. Pengusiran adalah resiko yang mereka hadapi sebagai akibat

pengkhianatan mereka. 201

Dalam konteks Indonesia, ketika konflik Poso belum sepenuhnya

reda, panglima TNI memutuskan untuk menggelar latihan gabungan

pasukan pemukul reaksi cepat pada seluruh elemen pasukan TNI dan

Polri di Poso. Latihan tersebut, ternyata menimbulkan efek psikologis

yang positif. Bahwa masyarakat Poso dapat melihat dengan mata

telanjang, bagaimana jika pasukan reaksi cepat melakukan aksinya,

jauh lebih cepat, tangkas, dan mungkin lebih kejam dibandingkan

dengan aksi brutal yang telah mereka lakukan selama kerusuhan.

Demikian pula ketika mereka melihat hebatnya para penerjun dari

Kopassus dan pasukan khusus angkatan udara, serta dahsyatnya

gerakan dan gempuran pasukan marinir yang melakukan pendaratan di

pantai sekitar Poso.202

200 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13,

h. 246. Dalam kesempatan pertengkaran yang lain, gambaran sengitnya pertengkaran antara dua suku tersebut dilukiskan oleh ‘Aisyah RA. yang mengatakan: ”Dua kubu itu lalu bergerak (karena marah), Aus dan Khazraj, hingga mereka hampir saling membunuh, sementara Rarulullah berdiri di atas mimbar dan terus-menerus menurunkan emosi mereka hingga mereka diam (reda), dan ia pun diam.” Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 199

201 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234 202 Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 71

Page 153: Arif Hamzah Sps.tesis

139

Adapun contoh paling ideal tentang reputasi dan kecerdasan

seorang mediator adalah keberadaan Nabi mendamaikan dua suku

’Aus dan Khazraj. Dalam masa kurang dari 10 tahun, sejak awal

dakwah Nabi di Madinah sampai hari wafatnya, permusuhan dan

perang yang sudah 120 tahun di antara kedua kabilah boleh dikatakan

habis sama sekali.

Kecerdasan Nabi dalam hal ini adalah dalam melihat bahwa di

samping pada dasarnya mereka sendiri sudah capek dan bosan dengan

perseteruan yang tiada habisnya, juga strategi Nabi dengan membina

persaudaraan baru di antara mereka, bahwa seorang pendatang

(muhajir) dari Mekah dipertalikan dengan saudaranya yang baru,

anshar (penolong) di Madinah lewat suatu ikrar, dan dengan demikian

sang imigran memperoleh perlindungan. Maka, jika saudaranya yang

baru datang dari jauh mereka sambut dengan begitu mesra, apalagi

saudara mereka yang memang satu keturunan dan satu tanah air.203

Di samping itu, Nabi menetapkan bahwa agama yang ia bawa

mensyaratkan kaum muslim menanamkan penghargaan pada orang

lain sebagai individu dengan berbagai hak yang melekat padanya.

Ajaran yang merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat

Yatsrib -dan masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi-

menjadi masyarakat baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa

keberhasilan seseorang atau suatu golongan tidak selalu berarti

kerugian bagi orang atau kelompok lain. Hal ini dapat terbaca dari isi

sumpah setia mereka terhadap Nabi di ‘Aqabah.204

203 Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, h. 251. LIhat

juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 194

204 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200

Page 154: Arif Hamzah Sps.tesis

140

Keadilan dan reputasi yang baik sebagaimana disebutkan di atas

sangat penting karena keputusan yang diambil oleh mediator memiliki

konsekuensi hukum tersendiri bagi para pihak, khususnya ketika

mediator berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.

Dalam hal mediator gagal mendamaikan kedua pihak, maka

menurut Malik dan Ahmad, mediator mempunyai hak untuk

menetapkan hukum, dan hukum yang ia tetapkan harus dipatuhi kedua

pihak, demikianlah Allah menamai mereka hakam (arbiter). Adapun

Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan yang ia ambil

tidak berkonsekuensi harus dipatuhi oleh kedua pihak. Hakam hanya

bertugas mendamaikan tidak lebih dan tidak kurang.205

E. Penerapan Ishlãh dalam Konflik Sosial di Indonesia

1. Sebab Konflik (Khususnya di Indonesia Timur)

Dalam konteks Indonesia pasca reformasi, baik negara maupun

komunitas sipil dalam keadaan lemah tidak berdaya. Sebagaimana

diketahui, bahwa pada masa orde baru keberadaan negara sangat dominan

sedangkan komunitas sipil terpinggirkan. Negara merambah segala aspek

kehidupan masyarakat dan berperan dominan di dalamnya dengan

meninggalkan lembaga-lembaga yang asli muncul dari masyarakat bawah

yang seharusnya terlibat secara langsung membina masyarakat termasuk

dalam mengelola konflik dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya

menjadi semacam bom waktu yang siap meledak, yaitu ketika kondisi

negara melemah maka komunitas sipil pun tidak lagi memiliki kekuatan

mengelola masyarakat dan berbagai konflik di dalamnya.

205 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13, h.

413

Page 155: Arif Hamzah Sps.tesis

141

Berbagai bom waktu tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa

hal sebagai berikut.206 Pertama, ketidakadilan dan marjinalisasi ekonomi

yang berdimensi vertikal antara pusat dengan daerah (Aceh, Riau,

Kalimantan Timur dan Papua) dalam hal penjarahan surplus daerah baik

dari hasil SDA maupun dari hasil industri, dan juga ketidakadilan ekonomi

vertikal sekaligus horisontal antar kelas sosial dalam masyarakat.

Celakanya, ketidakadilan ekonomi ini melibatkan kelompok etnis dan atau

antar kelompok agama. Contoh konkret yang langsung dapat ditunjuk

adalah antara suku Dayak dengan non Dayak di Kalimantan yang

kemudian mengakibatkan tragedi Sampit, antara suku-suku pendatang

Muslim dengan penduduk asli baik di Poso Sulawesi Utara maupun di

Maluku Tengah khususnya Ambon.

Kedua, ketidakadilan dan marjinalisasi politik. Penggalangan

kekuatan politik di masa Orba hanya dilakukan di tingkat elit saja. Rakyat,

baik di kota apalagi di desa, biasanya diberi peran hanya jika ”diperlukan”

khususnya ketika menjelang Pemilu. Kelompok-kelompok suku dan

agama di Kalimantan, Poso, dan Ambon tersebut di atas juga tertimpa

marjinalisasi politik. Suku Dayak termajinalisasi dari posisi-posisi

strategis pemerintahan lokal dan politik lokal. Demikian juga umat Kristen

di Maluku mengalami hal yang serupa setelah Gubernur Akip Latuconsina

terpilih di tahun 1992. Di Poso, konflik komunal di wilayah ini berawal

dari dilanggarnya prinsip power sharing dalam pemerintahan yang

dipegang teguh sebelumnya.

Marjinalisasi politik berskala nasional yang sangat signifikan adalah

marjinalisasi kelompok Islam garis keras yang menolak asas tunggal.

206 Keterangan lengkap mengenai bom waktu ini, lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik

Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, dalam Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 12-15

Page 156: Arif Hamzah Sps.tesis

142

Marjinalisasi politik yang disertai dengan penanganan tangan besi

tcrhadap kelompok ini mempunyai akibat buruk. Kelompok garis keras

ini beroperasi di bawah tanah atau mengungsi ke luar negeri dan

membangun jaringan regional yang lebih luas yang dikenal sekarang ini

dengan nama Jamaah Islamiyah.

Perlu digarisbawahi bahwa dalam proses marjinalisasi politik dan

ekonomi ini, peran militer sangat dominan. Sebagaimana diketahui bahwa

aparat kepolisian, dan lebih-lebih lagi aparat militer berfungsi tidak lebih

sebagai "alat gebuk" rezim. Militer, khususnya Kopassus, pada saat yang

sama juga diperkuat posisi tawarnya di dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara dengan diizinkan untuk mendirikan berbagai yayasan untuk

tujuan penggalangan dana, juga adanya hadiah jabatan pangdam yang

kemudian biasanya dipromosikan menjadi gubernur. Hal ini terbukti

bahwa hampir semua pangdam dan gubernur di masa Orde Baru berasal

dari kesatuan khusus ini.

Ketiga, ketidakadilan dan marjinalisasi sosial budaya. Hal ini

mewujud dalam penghancuran sistem pemerintahan desa di luar jawa

dengan menyeragamkannya dengan model desa di jawa sehingga kaitan

yang erat antara struktur sosial desa dengan struktur pemerintahan desa

terputus. Sebagai contoh, struktur nagari di Sumatera Barat, Huta di

Sumatera Utara, dan negeri di Maluku Tengah lebih terkait ke atas

mengikuti jenjang pemerintahan dari pada ke bawah ke masyarakat

desa.207 Juga terjadi penghancuran lembaga adat sebagai perekat sosial

yang diakrabi warga, dan pengikisan identitas budaya dari suku-suku

tertentu.

207 Lihat Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan

Penyelesaian Jangka Panjang, (Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Kompetitif LIPI/Program Isu, 2003)

Page 157: Arif Hamzah Sps.tesis

143

Keselurunan bom waktu di atas mendapatkan momentumnya untuk

berkecamuk ketika negara melemah, sehingga tidak mampu menunaikan

tugasnya yang paling pokok, yaitu melindungi warganya. Celakanya,

berbagai lembaga pengelola konflik yang diasuh oleh masyarakat

(khususnya di Indonesia Timur) telah serta merta lemah sehingga negara

dan masyarakat gagal mendeteksi, mengantisipasi, dan mencarikan suatu

jalan keluar yang memuaskan bagi pihak-pihak yang bertikai.

2. Struktur Masyarakat di Indonesia Bagian Timur

a. Struktur kesukuan

Dari aspek struktur kesukuan, mozaik Nusantara ini terbagi

menjadi dua bagian utama, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia

Timur.208 Ada beberapa perbedaan mencolok antara dua daerah ini.

Pertama, dari 656 suku di seluruh nusantara, hanya 109 suku yang

berada di Indonesia bagian Barat, sementara 547 suku berada di

Indonesia bagian Timur dengan 300 suku di antaranya berada di

Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman

suku dan budaya di Indonesia Timur jauh lebih beragam. Kedua, Di

Indonesia terdapat beberapa suku besar dan dominan yang terdiri dari

Aceh, Batak, Minang, Sunda, Jawa, madura, Bali, dan Bugis. Dari

susu-suku itu, hanya suku Bugis yang berada di Indonesia Timur. Suku

208 Pernbelahan sosial budaya yang dilakukan di sini mengelompokkan Jawa dan Sumatera

ke dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Barat, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua tercakup dalam Pola Sosial Budaya Indonesia Timur. Klasifikasi ini didasarkan pada Wallace Line yang membagi Indonesia dalam dua hagian berdasarkan ciri-ciri fauna dan floranya. Indonesia Barat meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan mengikuti ciri-ciri fauna dan flora Asia, sedangkan Indonesia Timur meliputi Sulawesi ke arah Timur ke Maluku sampai dengan Papua yang sangat mirip dengan fauna dan flora Australia. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 17. Ia sedikit merubah Wallace Line ini dengan memasukkan Kalimantan ke dalam pola Indonesia Timur, karena yang dijadikan dasar pembagian adalah perbedaan pola sosial budayanya.

Page 158: Arif Hamzah Sps.tesis

144

bugis inilah yang secara dominan mewarnai situasi khususnya politik

dan ekonomi di Indonesia Timur baik yang berakibat positif maupun

negatif. Ketiga, Setiap suku di Indonesia Barat minimal mendiami satu

propinsi secara dominan, sedangkan di Indonesia bagian Timur, dalam

satu kecamatan saja dapat ditemukan lebih dari sepuluh suku yang

hidup bersama. Kondisi ini menyebabkan potensi konflik antar suku

bahkan disintegrasi bangsa lebih mungkin terjadi di Indonesia bagian

Timur daripada di Indonesia bagian Barat. Jika disintegrasi benar-

benar terjadi, maka Indonesia bagian Barat akan berubah menjadi

bongkahan-bongkahan entitas baru sedangkan Indonesia bagian Timur

akan berubah menjadi serpihan-serpihan satuan politik. Akibat

selanjutnya dari disintegrasi di Indonesia Timur adalah upaya saling

menghabisi antar suku/agama demi penguasaan wilayah.209

b. Distribusi Wilayah Agama.

Distribusi umat beragama di Indonesia juga mengikuti suatu pola

tertentu. Indonesia Barat pada umumnya didiami oleh umat Islam

dengan beberapa kantong pemukiman umat Kristen seperti di wilayah

Tapanuli Utara, beberapa kantong di Kalimantan dan juga di Jawa

Tengah dan Timur. Wilayah umat Protestan utama terdapat di

Sulawesi Utara, Toraja, Maluku Tengah (sekitar 35%) serta di Papua

bagian utara. Umat Katholik lebih terkonsentrasi di bagian selatan dari

Indonesia Timur mulai dari pulau Flores dan Timor terus ke arah

Timur ke wilayah Maluku Tenggara dan akhirnya berhenti di Papua

bagian selatan. Baik di Indonesia Barat, dengan pengecualian suku

Jawa dan Batak, apalagi di Indonesia Timur, suku seseorang kadang-

209 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia

Bagian Timur, h. 19

Page 159: Arif Hamzah Sps.tesis

145

kadang dapat secara langsung memberitahukan agama yang dianut

oleh orang tersebut, khususnya Maluku dan Sulawesi.

Para pendatang di Maluku dan Papua pada umumnya beragama

Islam sedangkan para pendatang di Poso terdiri dari mereka yang

beragama Protestan maupun mereka yang beragama Islam. Mereka

yang disebut pertama pada umumnya berasal dari wilayah Toraja yang

masuk ke Poso dari arah selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud

yang memasuki Poso dari arah utara. Pendatang Muslim memasuki

Poso baik dari arah selatan, yaitu suku Bugis yang telah mulai

bermigrasi ke Poso sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo

dari arah utara. Karena Itu, wifayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta

wilayah Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-

desa Islam berselang-seling bertetangga di satu pihak sedangkan

wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan

dengan baik wilayah Poso Pesisir maupun wilayah Kota Poso serta ke

Barat Utara ke wilayah Lore Utara dan Lore Selatan sangat didominasi

oleh mayoritas Protestan.

Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah

dari wilayah Poso terjepit baik dari arah utara maupun dari arah selatan

di mana proporsi umat Islam semakin membesar mendekati proporsi

umat Kristen. Keadaan ini paga gilirannya melahirkan rasa

keterancaman persis seperti yang dialami oleh umat Kristen di

Halmahera Utara. Konflik dengan kekerasan lebih banyak terjadi di

wilayah di mana tidak ada kelompok dominan dari segi suku maupun

agama, ataupun yang selisih antara kedua umat itu sangat tipis. 210

210 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia

Bagian Timur, h. 20. Mengenai kondisi sosial budaya, ekonomi, serta kondisi demografis yang mengakibatkan konflik di Halmahera, lihat Henry H. Sitohang dkk., Menuju Rekonsiliasi di Halmahera, (Jakarta: PPRP, 2003)

Page 160: Arif Hamzah Sps.tesis

146

c. Tingkat Pendidikan

Dari segi tingkat pendidikan, tingkat pendidikan penduduk

Indonesia berkorelasi dengan aktif tidaknya misi-misi agama di

wilayah tertentu. Di wilayah di mana misi agama Islam, khususnya

Muhammadiyah sangat aktif seperti di Sumatera Barat, Bengkulu,

Sumatera Selatan, Yogyakarta serta Sulawesi Selatan, tingkat

pendidikan umat Islam di sana sangat tinggi. Sebaliknya, di wilayah-

wilayah di mana Muhammadiyah tidak aktif seperti di jawa Barat,

tingkat pendidikan umat Islam di sana sangat rendah. Demikian juga

berlaku untuk wilayah-wilayah di mana misi Kristen, baik Protestan

maupun Katholik sangat aktif seperti wilayah Flores dan beberapa titik

di NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah serta Maluku Tengah,

tingkat pendidikan umat Kristen di sana sangat tinggi. Keadaan

sebaliknya tidak berlaku buat umat Kristen karena tidak ada wilayah

Kristen di mana misi Kristennya tidak aktif bergiat dalam bidang

pendidikan. Tidak ditemui kesenjangan tingkat pendidikan antara umat

Kristen dengan umat Islam di Sulawesi, dan Poso pada khususnya.211

Kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaran dari suku dan

agama (baik yang merupakan suku dan agama asli maupun pendatang)

yang kemudian berbagai kondisi itu saling berkait satu sama lain, dalam

jangka panjang telah merubah wajah masyarakat setempat di Indonesia

Timur, termasuk ketika menimbulkan efek negatif berupa konflik

horisontal antar anggota masyarakat yang berbeda suku dan agama.

3. Upaya Ishlãh yang Telah Dilakukan (Contoh Poso)

211 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia

Bagian Timur, h. 21

Page 161: Arif Hamzah Sps.tesis

147

Upaya ishlãh ini diawali adanya perkembangan positif dalam

konteks lokal, yaitu munculnya kesadaran yang tulus dan inisitif

perdamaian dari kedua belah pihak untuk kemudian meminta kepada

pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) mengupayakan

perdamaian di Poso. Lobi ini disambut dan ditindaklanjuti oleh Menko

Polkam dan Menko Kesra, Yusuf Kalla. Di samping itu, dalam lingkup

nasional, kondisi pemerintahan telah mulai stabil.212 Lebih dari itu, pada

tataran internasional ada tekanan dari pihak Amerika Serikat agar

Indonesia segera menghentikan berbagai perang komunal yang dapat

dijadikan sebagai tempat latihan dan tempat rekrutmen anggota baru oleh

jaringan teroris regional yang digalang kelompok Islam garis keras. Dalam

bingkai berbagai konteks yang kondusif seperti diuraikan di atas barulah

upaya perdamain dalam pertemuan Malino dapat berlangsung.

Sebagai mediator dari pemerintah, Jusuf Kalla selain sebagai

pebisnis juga sekaligus seorang politisi Golkar asal Bugis yang telah

berhasil membangun sejumlah jaringan di wilayah Sulawesi. la

mempunyai jaringan bisnis, sosial, dan politik yang luas dan loyal -

termasuk di kalangan PPP- yang telah mengakar lama. Jaringan yang luas

dan kuat inilah yang dimanfaatkannya dalam proses perdamaian Malino.

Keberanian mengambil risiko yang melekat pada dirinya sebagai seorang

pebisnis berpengalaman, juga kemampuan berkomunikasi dengan bahasa

sederhana dengan para pemimpin lapangan kedua belah pihak, juga ikut

menyumbang suksesnya deklarasi Malino.

212 Hal ini ditandai dengan telah usainya pertarungan elit politik di Jakarta dengan

diturunkannya Abdurrachman Wahid sebagai presiden, dan militer telah merasa aman karena terakomodasi dalam kabinet Megawati pada posisi-posisi strategis, serta keinginan presiden Megawati kala itu yang menginginkan NKRI tetap utuh dan hanya militer yang dapat menjamin itu. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 29-30

Page 162: Arif Hamzah Sps.tesis

148

Dalam proses perdamaian, delegasi muslim mengusulkan sembilan

item perdamaian yang harus dipatuhi kedua belah pihak, sementara

delegasi Kristen tidak mengusulkan poin apapun karena mereka memang

siap untuk berdamai tanpa syarat. Kesembilan item usulan dari delegasi

muslim itu diberi judul “Permufakatan Muslim Poso di Malino” yang

berisi pertama, menghentikan upaya provokasi dan penyerangan terhadap

umat Islam yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, harta benda dan

pengungsian. Kedua, menerima kehadiran aparat keamanan dalam rangka

menciptakan suasana yang kondusif. Ketiga, penegakan supremasi hukum.

Keempat, menghentikan campur tangan asing dan upaya mendatangkan

intervensi negara asing. Kelima, belum saatnya memberlakukan darurat

sipil dan tindakan represif. Keenam, Sinode GKST dan Crisis Center

segera menghentikan fitnah dan upaya pemutarbalikkan fakta terhadap

umat Islam. Ketujuh, mengembalikan hak-hak kaum muslimin termasuk

menjalankan ajaran agama dengan baik. Kedelapan, setiap warga negara

Republik Indonesia berhak untuk tinggal di mana saja dalam wilayah

Republik Indonesia termasuk di bumi Poso. Kesembilan, apabila

permufakatan ini dilanggar maka umat Islam siap jihad fisabilillah.213

Pada 19 Desember 2001, semua delegasi menuju Malino yang

berada di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan wisata

yang berudara dingin dan sejuk, serta berjarak sekitar 80 Km dari Kota

Makassar itu berlangsung perundingan delegasi Muslim dan Kristen dalam

rangka mewujudkan perdamaian.214

213 Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 77

214 Mengenai proses perundingan itu secara sekilas, lihat foot note no. 164. Setelah delegasi

Islam membacakan “Permufakatan Muslim Poso di Malino”, Yusuf Kalla menanyakan tiga kali kepada delegasi Kristen, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia berkata: ”Sekarang anda semua sebagai anggota delegasi telah bersepakat merancang suatu upaya untuk mencapai perdamaian. Maka tiba saatnya untuk merancang naskah perdamaian .” Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 79

Page 163: Arif Hamzah Sps.tesis

149

Kemudian dibentuk tim perumus untuk merancang naskah

perdamaian (Deklarasi Malino Untuk Poso). Tim Perumus itu berjumlah

tiga orang, Sulaeman Mamar mewakili pihak Islam, Pendeta J. Santo

mewakili pihak Kristen dan Hamid Awaludin mewakili pemerintah. Saat

itu pula dibentuk Komisi Keamanaan dan Penegakan Hukum yang

dipimpin oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjend. Zainal Abidin Ishak,

serta Komisi Sosial Ekonomi.

Tim perumus itu akhirnya menghasilkan 10 poin kesepakatan yang

diberi nama ”Deklarasi Malino Untuk Poso.” Sepuluh poin itu kemudian

dibacakan oleh Jusuf Kalla di hadapan seluruh delegasi untuk diberikan

persetujuan. Setelah semua delegasi setuju, maka diketoklah palu sidang

pertanda kesepakatan telah tercapai. Selanjutnya dilakukan

penandatanganan deklarasi yang dilakukan secara berpasang-pasangan

antara delegasi Muslim dan Kristen. Masing-masing delegasi berjabatan

tangan dan saling peluk sebagai simbol perdamaian.215

Sepuluh poin Deklarasi Malino itu berisi:

a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung

pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.

c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga

keamanan.

d. Untuk terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan

darurat sipil, serta campur tangan pihak asing.

e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua

.pihak dan menegakan sikap saling menghormati dan memaafkan satu

sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama.

215 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia

Bagian Timur, h. 80

Page 164: Arif Hamzah Sps.tesis

150

f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu,

setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal

secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.

g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada

pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan

perselisihan berlangsung.

h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing.

i. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana

ekonomi secara menyeluruh.

j. Menjalankan syariah agama masing-masing dengan cara dan prinsip

saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui,

baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan

ketentuan-ketentuan lainnya.

4. Peluang Ishlãh

Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,

bahwa upaya ishlãh dalam Islam merupakan jalan panjang dalam

memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak khususnya karena konflik

dan permusuhan menuju tujuan akhir yaitu terwujudnya masharakat yang

shãlih dan bertakwa. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan demi

terciptanya ishlãh secara lestari –yang merupakan isi dari mushãlih 'alaih-

adalah meliputi menjauhi prasangka buruk dan hinaan antar anggota

masyarakat khususnya yang pernah berkonflik, menciptakan keadilan

dalam masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, mempererat

silaturrahmi dalam rangka rehabilitasi situasi, kemauan keras untuk

bertaubat dari segala kesalahan dan kejahatan dengan tidak mengulangi

perbuatan itu dan menggantinya dengan perbuatan yang lebih baik

(ishlãh), dan kesediaan untuk memaafkan pihak lain yang telah berlaku

Page 165: Arif Hamzah Sps.tesis

151

salah dan jahat dengan (jika perlu) disertai kemauan untuk berbuat

kebajikan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan itu.

Di samping itu perlu diperhatikan pula terpilihnya mediator yang adil

dan kuat. Mediator hendaknya tidak hanya pihak yang ikhlas berkeinginan

untuk memediasi, tetapi juga harus memiliki kapasitas memadai sebagai

mediator yang baik dan handal. Kapasitas memadai ini tercermin dari

keadilan sikap, reputasi yang unggul dan terjaga, memiliki kekuatan baik

secara politis maupun sosial berupa jaringan yang luas, serta kecermatan

dalam bertindak. Tidak lupa, tentunya mediator ini dipilih oleh kedua

pihak yang berseteru secara sadar dan tanpa paksaan.

Di atas kerangka konsep ishlãh sebagaimana diuraikan di atas lah,

bangunan ishlãh bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi

masyarakat yang -baru saja- dilanda konflik komunal horisontal dapat

terwujud dengan lestari.

Dalam konteks ishlãh Poso, Deklarasi Malino Untuk Poso yang

berisi sepuluh poin kesepakatan perdamaian antara kedua pihak yang

berkonflik, secara garis besar telah memuat poin-poin penting ishlãh

dalam perspektif fikih sebagaimana telah dijabarkan di atas. Namun, -dari

hasil pengamatan penulis terhadap sepuluh poin tersebut- dirasa masih

perlu memberikan penekanan/penambahan terhadap poin-poin tertentu

yang penulis rasa kurang teraksentuasi dengan mantap. Hal ini perlu

mengingat isi perjanjian (mushãlih ‘alaih) haruslah dapat secara

meyakinkan menghentikan permusuhan dan menimbulkan/meningkatkan

kebaikan/kemanfaatan bagi kedua pihak secara kontinu. Secara lebih rinci,

penulis mencoba membahas sepuluh poin deklarasi Malino tersebut dalam

hubungannya dengan konsep ishlãh dalam perspektif fikih dan

membandingkannya dengan lima poin mushãlih ‘alaih dalam ishlãh

sebagai berikut.

Page 166: Arif Hamzah Sps.tesis

152

Poin a dalam Deklarasi Malino (selanjutnya disingkat DM) sudah

cukup identik dengan poin a dalam mushãlih ‘alaih (selanjutnya disingkat

MA). Demikian juga poin b dalam DM sudah cukup identik dengan poin b

dalam MA. Poin c dan d dalam DM merupakan manivestasi dari ketaatan

‘aqidain terhadap mediator dari pemerintah yang telah mereka pilih

bersama.

Poin e dalam DM cukup identik dengan poin a dan c dalam MA.

Namun, klausul “menghilangkan fitnah dan ketidakjujuran” kurang

memiliki penekanan arti sehingga dirasa kurang pengaruhnya bagi

penghentian permusuhan itu sendiri. Apalagi, realitas di lapangan

menunjukkan bahwa yang terjadi bukan hanya sekedar fitnah dan dusta

tapi pembantaian, penjarahan, pengusiran, dan tindakan brutal lainnya.

Jadi kata yang lebih tepat dan lebih menjamin tidak terulangnya perbuatan

keji di atas adalah kesediaan bertaubat dari segala kejahatan yang telah

dilakukan dan memperbaiki diri dengan melakukan hal-hal yang positif

sebagai ganti dari perbuatan jahat itu. Begitu juga klausul “saling

menghormati dan memaafkan” harus ditambah dengan klausul “saling

berbuat kebajikan” demi lebih menjamin terwujudnya ishlãh dan

keharmonisan seperti sedia kala.

Poin f, g, dan h dalam DM cukup identik dengan poin 4 dan 5 yang

merupakan gambaran kondisi obyektif masyarakat setempat pasca konflik.

Oleh karena itu diupayakan secara serius adanya pemulihan kondisi

obyektif masyarakat setempat tersebut sebagaimana kondisi pra konflik.

Begitu juga dengan poin i dalam DM. Adapun poin j dalam DM cukup

identik dengan poin b dalam MA.

Perlu dicatat pula bahwa dalam konteks inisiatif, ternyata pemerintah

sebagai pihak yang paling layak dan kuat dalam upaya penghentian

Page 167: Arif Hamzah Sps.tesis

153

konflik, kurang sigap dalam bersikap dan memprakarsai perdamaian.216

Dari paparan mengenai tiga hal kondusif yang mengawali dan menjadi

pijakan pelaksanaan ishlãh sebagaimana dijelaskan di atas, terbukti bahwa

pemerintah mulai aktif menggalang perdamaian justru setelah adanya

kekhawatiran bahwa kondisi chaos di Poso akan dimanfaatkan oleh

jaringan terorisme regional untuk merekrut anggota dan membangun

jaringan baru. Di samping itu, berkaitan dengan lambannya inisiatif

pemerintah ini, perlu dicatat pula hadirnya laskar jihad dari Jakarta yang

menyebabkan terjadinya perimbangan kekuatan antara kelompok Kristen

dan Islam.217 Setelah terjadinya perimbangan kekuatan inilah inisiatif

damai mulai keras disuarakan.

Dari paparan di atas terlihat bahwa pada dasarnya ishlãh yang

dilakukan di Poso sudah cukup identik dengan konsep ishlãh dalam

perspektif fikih. Bahwa masih ada sedikit kekurangan dalam hal isi

mushãlih ‘alaih sebagaimana diterangkan di atas merupakan kewajaran

selagi ada upaya perbaikan secara kontinu dalam penerapan isi mushãlih

‘alaih tersebut dalam masyarakat, khususnya ketika hendak menerapkan

konsep ishlãh dalam perspektif fikih dalam kasus konflik komunal

horisontal yang lain yang mungkin saja timbul kembali di masa yang akan

datang. Dengan demikian, terdapat peluang yang luas bagi konsep ishlãh

ini untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan masyarakat adil dan

makmur dalam ridha Allah. Ishlãh diharapkan dapat secara signifikan

216 Meskipun ada alasan bahwa dalam masa transisi demokrasi, pemerintah masih

disibukkan dengan konsolidasi ke dalam sehingga masalah kemasyarakatan khususnya yang jauh dari pusat pemerintahan kurang terperhatikan.

217 Menurut Tomagola, inisiatif perdamaian pada awalnya muncul dari pihak Kristen yang mulai terdesak oleh kekuatan kelompok Islam dengan hadirnya laskar jihad yang membantu kelompok Islam. Oleh karena itu, dalam konteks ini bisa dipahami mengapa kelompok Kristen siap terlebih dahulu meminta maaf dan bersedia untuk berdamai tanpa syarat. Lihat Tomagola h. 28-29

Page 168: Arif Hamzah Sps.tesis

154

menciptakan masyarakat yang damai dan beradab dalam lingkup Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

BAB V

PENUTUP

Page 169: Arif Hamzah Sps.tesis

155

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Di samping dalam aspek keluarga, dan hubungan antar negara, Ulama

fikih cenderung hanya membahas ishlãh dalam aspek hukum yaitu dalam

hubungannya dengan jinãyah qishãsh diyat. Fikih juga hanya membahas

rukun ishlãh tanpa membahas syaratnya secara rinci. Demikian pula ishlãh

belum dibahas secara lebih rinci dalam konteks ushul fikih.

2. Dalam konteks ushul fikih, ishlãh berkaitan erat dengan mashlahah yang

merupakan tujuan utama dari penetapan hukum dalam agama Islam.

3. Ishlãh dalam perspektif fikih merupakan suatu konsep yang terdiri dari

rukun dan syarat yang saling berkait satu sama lain secara konprehensif

dan integral. Rukun ishlãh meliputi Shĩghah, al-ãqidain, dan muhal yang

terdiri dari mushãlih 'anh dan mushãlih 'alaih. Mushãlih 'alaih dapat

bersifat bendawi dan non bendawi. Yang bendawi dapat berupa denda

dalam bentuk harta, sedangkan yang non bendawi dapat berupa perbuatan-

perbuatan yang meliputi menjauhi prasangka buruk, hinaan, dan fitnah,

menciptakan keadilan di segala bidang dalam masyarakat, mempererat

silaturahmi dalam rangka rehabilitasi, kemauan keras bertaubat, dan saling

sabar dan memaafkan.

4. Ishlãh adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial. Hal ini

terbukti dari penerapan poin-poin ishlãh yang bersesuaian dengan poin-

poin yang disepakati dan dilaksanakan dalam deklarasi Malino.

B. Saran

Ishlãh dapat dijadikan solusi terbaik bagi penyelesaian konflik sosial.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai konsep ishlãh dalam perspektif fikih

152

Page 170: Arif Hamzah Sps.tesis

156

yang penulis lakukan sangat penting dalam memberikan kontribusi akademis

bagi pengembangan konsep ishlãh dalam perspektif fikih di masa yang akan

datang. Juga dapat memberikan kontribusi secara praktis dalam penciptakan

tata kehidupan masyarakat yang lebih baik khususnya dalam mengatasi dan

mencegah terjadinya permusuhan bahkan kerusuhan dalam masyarakat. Oleh

karena itu, hendaknya tulisan ini mendapat apresiasi dan tanggapan berupa

pengembangan konsep ishlãh yang lebih sempurna demi maksimalisasi

kontribusi yang dapat diberikan.