repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PARTAI POLITIK DAN...
-
Upload
nguyenquynh -
Category
Documents
-
view
241 -
download
0
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PARTAI POLITIK DAN...
PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN
(Studi atas Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-
2016 terhadap Dukungan Pada Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
NIM: 1113112000017
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN
(Studi atas Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-
2016 Terhadap Dukungan Pada Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla)
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
NIM: 1113112000017
Dosen Pembimbing,
Idris Thaha, M.Si
NIP: 19660805 200112 1 001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN (Studi atas Dampak
Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-2016 terhadap Dukungan pada
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 November 2017
Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
NIM : 1113112000017
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN (Studi atas Dampak
Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-2016 terhadap Dukungan Pada
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)
dan telah diuji.
Jakarta, 17 November 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rosyidin, M.Si Idris Thaha, M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003 NIP: 19660805 200112 1 001
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PARTAI POLITIK DAN PENGUATAN KOALISI (Studi atas Dampak
Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-2016 terhadap Dukungan Pada
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)
Oleh
Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
1113112000017
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
17 November 2017 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si Suryani, M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003 NIP: 19770424 200710 2 003
Penguji I, Penguji II,
Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si Suryani, M.Si
NIP: 19720412 200312 1 002 NIP: 19770424 200710 2 003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 17 November
2017
Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003
v
ABSTRAKSI
Nama :Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
Judul : PARTAI POLITIK DAN PENGUATAN KOALISI
(Studi atas Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun 2014-
2016 terhadap Dukungan Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla)
Penelitian ini berusaha melakukan analisis pada dinamika konflik Partai
GOLKAR terhadap pandangan serta sikap yang diambil dalam koalisi
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.Terbentuknya sebuah koalisi partai
merupakan hasil keputusan bersama para elite partai politik. Namun, dalam hal ini
pada awal mula pembentukan koalisi pendukung calon presiden 2014 terjadi
perbedaan arah dukungan pada tataran elite Partai GOLKAR. Hingga kemudian
konflik ini membawa pada perpecahan dalam Partai GOLKAR, di mana terdapat
dua kubu pemisah yakni Kubu Munas Bali yang menghasilkan keputusan
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR dan Kubu Munas Ancol
yang menghasilkan keputusan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai
GOLKAR. Dalam perjalanannya upaya rekonsiliasi Partai GOLKAR untuk
mencapai titik temu konflik elite menjadi menarik, karena bagaimanapun hasil
rekonsiliasi ini akan berpengaruh pada pemerintahan Jokowi-JK kedepannya.
Untuk memahami dinamika yang terjadi serta dampak-dampak terjadiya
konflik dalam elite Partai GOLKAR maka penelitian ini menggunakan
pendekatan teori partai politik, konflik dan koalisi. Penelitian ini menjabarkan
beberapa dampak yang ditimbulkan dari konflik elite Partai GOLKAR. Antar satu
dampak dan dampak lain saling berkaitan, baik itu di internal maupun eksternal
partai, yakni pemerintahan Jokowi-JK. Konflik terlama dalam sejarah Partai
GOLKAR diselesaikan dengan berupaya membangun kembali cita-cita kekaryaan
partai dalam pemerintahan, hal ini tidak hanya menguntungkan bagi partai, namun
juga pemerintahan Jokowi-JK. Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
elite Partai GOLKAR dan Pengamat Politik mengikuti pedoman wawancara yang
ada, agar nantinya wawancara yang dilakukan tidak keluar dari fokus penelitian.
Kata kunci: Partai GOLKAR, Elite, Resolusi Konflik, Dualisme Kepemimpinan,
koalisi pemerintahan.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad
SAW, rasul yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang
terang benderang hingga saat ini.
Skripsi yang berjudul “PARTAI POLITIK DAN KOALISI
PEMERINTAHAN (Studi atas Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR Tahun
2014-2016 terhadap Dukungan Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)”
disusun dalam rangka mmenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjanan Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna,
dan masih banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, penulis menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan,
kritikan dan dorongannya selama ini.
vii
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan
dorongannya selama ini.
5. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini,
Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama
penelitian ini.
6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.
7. T.B. Ace Hasan, Firman Soebagyo dan Siti Zuhro yang telah bersedia
meluangkan waktu untu diwawancara dan memberikan masukkan pada
penelitian ini.
8. Orang tua tercinta Bustanuddin Jamal dan Sukmayeti, serta kedua
kakak (Taqiyul Mubarak dan Kasyful Qulub) yang selalu memeberikan
do'a, dukungan dan dorongan kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
9. Muhamad Alvi Saputra, terima kasih banyak untuk waktu, do'a,
dukungan dan dorongan yang diberikan pada penulis untuk dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
10. Sahabat seperjuangan penulis sejak awal kuliah Rowdoh, Erika, Putri,
Yuni, Faizah, Ica, Uul, Ka Ifah dan Teteh Novi.
11. Sahabat sedari kecil yang selalu mendo’akan, menemani dan
mendukung, Rizny, Nabilah, Sarah, Jehan, Ami, Nanda, Ica, Dyah,
Hanana dan Amanda.
12. Teman-teman di Program Studi Ilmu Politik A 2013, Resti, Diah, Amel,
Anis, Tiara, dan banyak lainnya yang telah mewarnai kehidupan kuliah
penulis selama 4 tahun lebih.
13. KKN TEROPONG 177, Ummi, Naya, Yulia, Ica, Lia, Alvi, Satrio,
Anhar, Dandy, Ardi, terima kasih atas dukungan dan hubungan
keluarga yang tetap terjalin setelah KKN selesai.
14. Kanda, Yunda, Adinda di HMI Komfisip yang selalu menjadi motivasi
penulis agar terus menjadi insan yang lebih baik lagi.
viii
15. Yunda dan adinda-adinda di Kohati Komfisip dan Kohati Cab. Ciputat.
Lini, Ghayda, Hilda, Zahra, Tami, Azizah, dan banyak yang tidak bisa
disebutkan. Terima kasih atas waktu yang berharga selama ini.
16. Teman kerja di Akreditasi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Putri,
Ka Ara, Ka Rizka, Ka Renggi, Ka Rahmi dan Ka Ivan.
Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai
dengan baik. Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT
membalas kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggungjawab penuh
atas segala kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Depok, 1 November 2017
Quwatul Mudrikatiz Zakiyah
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... iiii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................................ ivii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iv
ABSTRAKSI .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah ..................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................................. 10
C.1. Tujuan ................................................................................................. 10
C.2. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 11
E. Metode Penelitian....................................................................................... 15
E.1. Jenis Penelitian ................................................................................... 16
E.2. Sumber dan Jenis Data ........................................................................ 17
E.3. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 17
E.4. Teknik Analisis ................................................................................... 19
F. Sistematika Penelitian ................................................................................ 19
BAB II KERANGKA TEORETIS .................................................................... 20
A. Teori Partai Politik ..................................................................................... 20
A.1. Pembentukan Partai Politik ................................................................. 20
A.2. Fungsi Partai Politik............................................................................ 22
B. Koalisi Pemerintahan ................................................................................. 25
B.1. Divided Govenment ................................................................................ 28
x
C. Elite Partai Politik ...................................................................................... 29
C.1. Elite Partai........................................................................................... 29
C.2. Konflik Elite ........................................................................................... 33
BAB III GAMBARAN UMUM.......................................................................... 35
A. Sejarah Partai GOLKAR dalam Pemerintahan di Indonesia ..................... 35
B. Pola Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR ........ 38
B.1. Sejarah Kepemimpinan Partai GOLKAR ........................................... 38
B.2. Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR ......................................... 40
C. Konflik Elite Partai GOLKAR Pasca Reformasi ....................................... 42
BAB IV KONFLIK ELITE PARTAI GOLKAR ............................................. 46
A. Dampak Konflik Elite terhadap Internal Partai GOLKAR ........................ 47
A.1. Kaderisasi Partai yang Tidak Berjalan................................................ 47
A.2. Krisis Kepemimpinan Partai GOLKAR ............................................. 50
A.3. Dualisme Kepemimpinan Partai GOLKAR ....................................... 55
A.4. Pemecatan Kader dan Pencopotan Jabatan ......................................... 60
A.5. Ketidakpastian Arah dukungan Politik Partai GOLKAR ................... 62
A.6. Kegagalan dalam Pilkada.................................................................... 64
B. Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR terhadap Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla ... ............................................................................... 66
B.1. Penyelesaian Konflik Elite Partai GOLKAR ........................................ 66
B.2. Keterlibatan Pemerintah terhadap Upaya Penyelesaian Konflik
Internal Partai GOLKAR .................................................................... 75
B.3. Perubahan Arus Koalisi Partai GOLKAR pada Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla............ ................................................................ 79
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 93
A. Kesimpulan ................................................................................................ 93
B. Saran ........................................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 95
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1 Perolehan Suara Partai GOLKAR dalam Pileg 2014 ……..3
Tabel III.A.1 Perolehan Suara Partai GOLKAR dalam Pemilu Legislatif
Tahun 1999-2014 ..............................................................42
Tabel IV.A.2.1 Faktor-Faktor Kegagalan ARB Memimpin Partai
GOLKAR Menurut SOKSI ..............................................53
Tabel IV.A.3.1 Kepengurusan Hasil Munas Bali dan Munas Ancol..........59
Tabel IV.A.4.1 Nama-Nama Kader Partai GOLKAR yang Dipecat pada
Munas Partai GOLKAR di Bali .......................................61
Tabel IV.A.6.1 Perbandingan Perolehan Kemenangan Partai Politik
dalam Pileg dan Pilkada Serentak 2015 ............................64
Tabel IV.B.1 Tabel Pengurus Partai GOLKAR tahun 2016-2021..........71
Tabel IV.B.3.1 Tabel Perolehan Suara Partai Politik Nasional Pemilu
2014………………………………………………………82
Tabel IV.B.3.2 Tabel Peta Koalisi Menjelang Pilpres 2014……………...87
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.B.2.1 Mekanisme Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR.....42
xiv
DAFTAR SINGKATAN
AL : Agung Laksono
ARB : Aburizal Bakrie
Capre/ cawapres : Calon presiden dan calon wakil presiden
DPD : Dewan Pimpinan Daerah
DPP : Dewan Pimpinan Pusat
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
Jokowi-JK : Joko Widodo dan Jusuf Kalla
KIH : Koalisi Indonesia Hebat
KMP : Koalisi Merah Putih
KPPP : Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah
Munas : Musyawarah Nasional
Munaslub : Musyawarah Nasional Luar Biasa
Partai GOLKAR : Partai Golongan Karya
PDI Perjuangan : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Pileg : Pemilihan Umum Legislatif
Pilpres : Pemilihan Umum Presiden
PPPG : Presidium Penyelamat Partai GOLKAR
Rapimnas : Rapat Pimpinan Nasional
Sekjen : Sekretaris Jendral
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika konflik dalam perpolitikan Partai Golongan Karya (GOLKAR)1
selalu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih dalam. Seperti ketika perbedaan
pandangan para elite Partai GOLKAR dalam bersikap dan menentukan arah
dukungan terhadap pemerintahan yang ada kemudian menghadirkan friksi dalam
tataran elite partai.
Friksi yang hadir dalam tataran elite Partai GOLKAR seringkali hadir pada
dua momentum besar partai, yakni pemilihan umum (pemilu) dan Musyawarah
Nasional (Munas) Partai GOLKAR. Menyoroti Partai GOLKAR ketika menjelang
Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 friksi yang hadir dalam tataran elite ini
kemudian melebar pada konflik berkepanjangan hingga melahirkan dualisme
kepemimpinan dalam partai pada Desember 2014.
Kepemimpinan pusat Partai GOLKAR mengalami perpecahan menjadi dua
(dualisme kepemimpinan). Kedua kubu sama-sama berasal hasil dari forum
pengambilan keputusan tertinggi partai yang berbeda, yakni Musyawarah
Nasional (Munas) Partai Golkar. Kubu pertama menyelenggarakan Munas di Bali
dengan menghasilkan calon tunggal, Aburizal Bakrie (ARB) sebagai ketua. Kubu
kedua menyelenggarakan Munas di Ancol dengan menghasilkan keputuan Agung
Laksono (AL) menang sebagai ketua umum mengalahkan dua calon lainnya.
1 Penggunaan nama GOLKAR berdasarkan pada AD/ART Partai Golkar BAB I Pasal 1
yang berbunyi:
“Pasal 1 Partai ini bernama Partai Golongan Karya disingkat Partai GOLKAR.”
2
Kubu Munas Bali menilai pelaksanaan Munas Ancol oleh Agung Laksono
dan kawan-kawan tidak legitimated (sah) lantaran hanya diikuti sebagian kecil
pemilik suara dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan DPD II. Di sisi lain, kubu
Munas Ancol menilai Munas Bali yang dilaksanakan kubu ARB cacat karena
berjalan tidak demokratis. Saat itu, pendukung ARB dituding sengaja
mengondisikan agar tidak muncul calon ketua umum lain demi terpilihnya ARB
secara aklamasi.2
Kehadiran dua kubu yang berbeda ini kemudian membentuk lebih banyak
lagi perbedaan-perbedaan, seperti halnya pasca terselenggaranya Pilpres 2014.
Perbedaan yang hadir dari kedua kubu yakni pada keputusan kedua kubu yang
saling bertentangan, di mana Kubu Munas Bali menginginkan untuk tetap berada
dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi pemerintahan dan Kubu Munas
Ancol yang mendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Melihat pada eksistensi Partai GOLKAR hingga saat ini yang tetap berada
dalam posisi tiga besar perolehan suara partai politik terbanyak pada Pemilihan
Umum Legislatif (Pileg) Tahun 2014, tentu menjadikan Partai GOLKAR sebagai
sebuah partai yang dianggap mapan dan dewasa dalam perpolitikan di Indonesia.
Hal ini dikarenakan Partai GOLKAR mampu bertahan menjadi sebuah partai
besar dan tetap memenangkan pemilu hingga saat ini, meskipun sejak reformasi
Partai GOLKAR beberapa kali menghadapi konflik.
2 Scipto, “Beda Munas Bali dan Munas Ancol”, nasional.sindonews.com, 17 Maret 2015.
3
Tabel I.A.13
Perolehan Suara Partai GOLKAR dalam Pileg 2014
No Partai Politik Presentase
1 PDI Perjuangan 18,95%
2 Partai GOLKAR 14,75%
3 Partai Gerindra 11,81%
Jumlah presentase perolehan suara Partai GOLKAR dalam Pileg 2014
sebesar 14,75% yakni dengan menghasilkan sebanyak 18.432.312 jumlah suara
dalam pemilu,4 menjadikan Partai GOLKAR sebagai pemenang pemilu kedua
setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Menjadi sebuah
peluang besar bagi Partai GOLKAR memenangkan suara dalam Pilpres 2014.
Keputusan ARB untuk tidak mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 menjadi
titik awal friksi dalam tataran elite semakin berkembang. Dukungan Partai
GOLKAR melalui ARB diberikan secara resmi kepada Prabowo Subianto pada
20 Mei 2014. AL dan sebagian elite menolak keputusan ARB untuk mendukung
Prabowo dan secara terang-terangan menyatakan mendukung Jokowi-JK.5
Menjelang pemilihan umum presiden dan wakil Presiden 2014 terjadi
perbedaan arah dukungan dalam Partai GOLKAR6, hal ini kemudian menjadi
awal mula dinamika konflik elite yang terjadi dalam tubuh Partai GOLKAR.
3 Diolah dari data KPU, “SK KPU Nomor 411/kpts/KPUTAHUN2014 tentang Penetapan
Hasil Pemilu Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota secara Nasional
dalam Pemilu Tahun 2014. 4 KPU, “Keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan
Suara Sah”. 5 Rahmat Fiansyah, “Akan Ada Pertarungan Besar JK Memperebutkan Gerbong
GOLKAR”, nasional.kompas.com, 20 Mei 2014, 6 Armin, “Konflik Partai GOLKAR ”, www.kompasiana.com, 2014.
4
Friksi-friksi yang muncul dalam internal Partai GOLKAR ini bermula ketika ARB
dinilai oleh beberapa elite tidak mampu menghadirkan kader partai untuk maju
dalam pemilu, ketika pada saat Pileg 2014 itu Partai GOLKAR mampu meraih
suara tinggi kedua. Beberapa elite ini kemudian menilai ARB telah gagal menjadi
ketua umum karena proses kaderisasi partai yang tidak berjalan dengan
semestinya.
Tidak berapa lama setelah pernyataan resmi ARB mendukung Prabowo,
friksi dalam tataran elite Partai GOLKAR semakin terlihat ketika Wakil Ketua
Umum Partai GOLKAR Agung Laksono menyatakan dukungan sebaliknya dan
malah memberikan dukungan terhadap pasangan Jokowi-JK. Dukungan yang
diberikan Agung Laksono berlandaskan pada kekecewaan pada ARB untuk tidak
maju dalam Pilpres maupun mendukung kader lain (Jusuf Kalla).
Perbedaan mengenai arah dukungan ini kemudian menyebabkan Partai
GOLKAR terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu ARB yang memberikan
dukungannya terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
Prabowo-Hatta, serta kubu Agung Laksono yang memberikan dukungan terhadap
Jokowi-JK sebagai calon presiden dan wakil presidan.
Setelah beralangsungnya Pemilihan Umum Presiden 2014 dan terpilihnya
Jokowi-JK sebagai pasangan presiden dan wakil presiden, situasi ini lantas
semakin memperkeruh suasana di tataran elite Partai GOLKAR. ARB tetap
berupaya mempertahankan dukungannya terhadap KMP, dan menyatakan bahwa
Partai GOLKAR berada pada posisi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Ketidaksepahaman kemudian muncul dari Kubu AL dan beberapa kalangan elite
5
Partai GOLKAR, mereka menyatakan diri siap mendukung pemerintahan di mana
dalam pemerintahan terdapat JK yang tidak lain merupakan salah satu elite senior
Partai GOLKAR.
ARB dinilai telah gagal membawa Partai GOLKAR pada kemenangan
Pilpres 2014. Beberapa elite menilai bahwa keputusan ARB terlalu gegabah untuk
tidak masuk dalam pemerintahan Jokowi-JK. Elite-elite yang menolak kemudian
menegaskan kembali mengenai ideologi kekaryaan Partai GOLKAR yang harus
diwujudkan dalam pemerintahan dan tidak bisa berjalan maksimal jika
dilaksanakan dalam oposisi pemerintahan.
Konflik elite yang berkepanjangan di internal Partai GOLKAR berdampak
pada kehadiran dualisme kepemimpinan partai. Kedua kubu yang saling
bertentangan sama-sama melaksanakan Munas Partai GOLKAR di dua lokasi
berbeda. Kehadiran dua kubu antar munas ini semakin memperjelas bahwa dalam
tataran elite partai terjadi suatu krisis kepemimpinan, yakni setiap keputusan yang
diambil oleh ARB selalu mendapat pertentangan. Elite yang berkuasa (ARB)
berupaya mempertahankan kedudukannya dan elite yang menentang (Kubu AL)
berupaya menggantikan kedudukan elite yang berkuasa.
Upaya penyelesaian konflik dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR yang
terjadi sejak tahun 2014 berakhir dengan diselenggarakannya Musyawarah
Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai GOLKAR di Bali, 15-17 Mei 2016. Hasil
Munaslub merekomendasikan Partai GOLKAR keluar dari Koalisi Merah Putih
dan bergabung dengan koalisi pemerintahan. Hasil Musyawarah menetapkan
Setya Novanto sebagai nahkoda baru Partai GOLKAR. ARB kemudian
6
ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pembina yang nantinya bisa memberi
rekomendasi calon presiden yang akan dicalonkan Partai GOLKAR.7
Jika melihat pada sejarahnya, Partai GOLKAR dan pemerintahan
merupakan gambaran yang sulit untuk dipisahkan. Selama lebih dari tiga
dasawarsa, Partai GOLKAR menjadi salah satu kekuatan utama pemerintahan
rezim Orde Baru. Ketika runtuhnya rezim Orde Baru tidak lantas kemudian turut
menumbangkan Partai GOLKAR dalam perpolitikan di Indonesia.
Pasca reformasi, beberapa kali Partai GOLKAR sempat memutuskan untuk
menolak bergabung pada posisi pemerintahan dan memilih tetap mempertahankan
koalisi sebelum pemilu yakni berada pada oposisi pemerintahan setelah
kekalahannya dalam pemilu. Seperti halnya pada pemilu 2004, pada saat itu Partai
GOLKAR di bawah pimpinan Akbar Tandjung pasca kekalahan Wiranto dan
Salahuddin Wahid dalam putaran pertama dan di putaran kedua mendukung
Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi. Keputusan untuk tidak
mendukung Susilo Bambang Yudhoyono dan JK menghadirkan friksi dalam
tataran elite partai pada saat itu.
Hingga pada saat kekalahan Megawati-Hasyim, Partai GOLKAR di bawah
pimpinan Akbar Tandjung sepakat membentuk koalisi oposisi pemerintahan.
Namun, Keputusan untuk berada pada koalisi oposisi pemerintahan ternyata tidak
terbentuk dengan permanen. Ketika pergantian kekuasaan berlangsung, dan JK
terpilih menggantikan Akbar Tandjung, maka berubah pula arah dukungan Partai
GOLKAR menjadi partai pendukung pemerintahan.
7 Angga Sukma,“Jadi Ketum Partai GOLKAR Setya Novanto akan bela Jokowi”,
nasional.tempo.co, 19 Mei 2016.
7
Pembentukkan koalisi-koalisi partai politik dilakukan guna memenangkan
pemilu. Gabungan koalisi partai-partai besar dianggap mampu merepresentasikan
kemenangan dalam Pilpres. Hingga kemudian tarik-menarik dukungan Partai
GOLKAR menjadi penting untuk merepresentasikan koalisi mana yang
diperkirakan akan memenangkan pemilu.
Upaya-upaya penguatan koalisi kemudian tidak hanya dilakukan pada saat
proses menuju pemilihan umum akan berlangsung, namun juga tatkala
pemerintahan sudah terbentuk dan sudah berjalan. Pada saat proses pembentukan
dukungan calon presiden dan wakil presiden, koalisi dibentuk untuk menguatkan
dan memperbesar kemungkinan menang pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Pasca berlangsungnya pemilihan, bentuk koalisi partai politik ini yang
menentukan mana koalisi yang akan menjadi pendukung pemerintah dan berada
di pihak oposisi. Semakin besar dukungan partai terhadap pemerintah terpilih,
semakin besar kemungkinan keberlangsungan jalannya pemerintahan tanpa
hambatan.
Perubahan arah dukungan Partai GOLKAR sebelum dan sesudah terjadinya
konflik ellite menjadi sorotan panjang di Indonesia selama beberapa tahun, sejak
2014 hingga 2016. Sebelum terjadi konflik Partai GOLKAR, di bawah
kepemimpinan ARB, Partai GOLKAR menyatakan dukungan terhadap KMP
yang merupakan koalisi pendukung Prabowo-Hatta. Namun, perubahan arah
koalisi Partai GOLKAR berubah setelah dilaksanakannya Munaslub Partai
GOLKAR dan menghasilkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum
Partai GOLKAR. Partai GOLKAR di bawah kepemimpinan Setya Novanto
8
menyatakan perubahan sikap partai dengan memberikan dukungan terhadap
pemerintah Jokowi-JK.
Setelah terpilihnya Setya Novanto, dan pernyataan dukungan Partai
GOLKAR terhadap pemerintah Jokowi-JK. Dukungan yang diberikan Partai
GOLKAR terhadap pemerintah semakin jelas pada perombakan kabinet jilid 2.
Pada perombakan kabinet jilid 2, Presiden Jokowi memasukkan sejumlah nama
tokoh yang berasal dari partai-partai yang baru bergabung dalam koalisi
pemerintahan, seperti Erlangga Hartanto dari Partai GOLKAR dan Asman Abnur
dari PAN.8 Masuknya Erlangga Hartanto yang berasal dari Partai GOLKAR
sebagai Menteri Perindustrian menggantikan Saleh Husein yang berasal dari
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dalam jajaran Kabinet Kerja Joko Widodo
dan Jusuf Kalla merupakan indikasi kuat bergabungnya Partai GOLKAR dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang saat ini menjadi koalisi pendukung
pemerintahan.
Sebagai salah satu partai tertua di Indonesia dan telah banyak mengalami
pasang-surut dalam perpolitikan di Indonesia, Partai GOLKAR dianggap lebih
matang dalam menghadapi konflik dibanding dengan partai-partai lainya yang
sebagian besar lahir pasca reformasi. Pada dasarnya konflik bukanlah sesuatu
yang dapat dihindari oleh tiap-tiap individu maupun organisasi manapun,
termasuk Partai GOLKAR.
Konflik berkepanjangan dalam tataran elite Partai GOLKAR beberapa
waktu lalu berdampak besar bagi kehidupan partai hingga dampak terbesar yang
8 NN, “Perombakan Kabinet Figure Goklkar dan PAN Jadi Menteri ”, www.bbc.com, 27
Juli 2016.
9
terjadi adalah dualisme kepemimpinan selama satu tahun lebih. Dampak lainnya
akibat konflik elite Partai GOLKAR yang berkepanjangan adalah ketidakpastian
mengenai arah dukungan Partai GOLKAR terhadap Pemerintahan Jokowi-JK
yang baru berjalan pada saat itu.
Hal ini merupakan titik fokus peneliti, bagaimana dinamika konflik yang
terjadi di dalam tubuh Partai GOLKAR serta perbedaan pandangan para elite
Partai GOLKAR menempatkan partai dalam posisi pemerintahan atau dalam
oposisi pemerintahan. Oleh karenanya penelitian ini berjudul Partai GOLKAR
dan Penguatan Koalisi Pemerintahan (Studi atas Dampak Konflik Elite
Partai GOLKAR terhadap Dukungan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla).
B. Pertanyaan Masalah
Fokus penelitian ini adalah berupaya melihat dinamika konflik yang terjadi
serta mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan dari konflik berkepanjangan
internal Partai GOLKAR tahun 2014-2016, adapun pertanyaan penelitiannya
adalah
1. Apa dampak yang dihadirkan dari konflik elite Partai GOLKAR terhadap
internal partai?
2. Apa pengaruh konflik elite Partai GOLKAR terhadap pemerintahan
Jokowi-JK?
10
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas konflik elite Partai Golkar tahun
2014-2016 merupakan konflik terlama yang terjadi dalam internal Partai
GOLKAR. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah melihat secara
jelas apa saja dampak yang ditimbulkan akibat konflik elite Partai GOLKAR, baik
itu di internal partai maupun eksternal partai. Bagaimana Partai GOLKAR tetap
mempertahankan posisinya di perpolitikan Indonesia dan tetap mengupayakan
agar selalu berada dalam pemerintahan. Meskipun sempat beberapa kali Partai
GOLKAR menyatakan berada pada oposisi pemerintah, namun tidak berapa lama
Partai GOLKAR menyatakan diri berada pada barisan pendukung pemerintah.
Perubahan sikap dan pandangan Partai GOLKAR sebelum dan sesudah terjadinya
konflik dualisme kepemimpinan dalam menyikapi posisi di pemerintahan ini
kemudian menjadi fokus utama peneliti lebih lanjut dalam penulisan.
C.2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis, diharapkan memberikan gambaran untuk memahami
bagaimana dinamika yang terjadi dalam Partai GOLKAR, dan mengetahui
faktor-faktor penyebab konflik pada suatu partai yang di kemudian hari hal
ini bisa diantisipasi.
2. Manfaat Praktis, untuk memenuhi tugas akademik sebagai syarat dan
kewajiban untuk mendapatkan gelar sarjana Strata 1 (S1) Program Studi
ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uiniversitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, terdapat banyak sekali
penelitian yang membahas mengenai Partai GOLKAR dan kiprah
perpolitikannya. Dari sekian banyak penelitian tersebut, beberapa penelitian yang
berfokus pada sistem kepartaian dan dinamika konflik dirasa sesuai dengan
bahasan dalam penelitian ini dan dapat jadikan sebagai tinjauan pustaka,
diantaranya adalah:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Riska Zakiah.9 Penelitian ini ingin
melihat faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan Partai GOLKAR
dalam mengusung Aburizal Bakrie sebagai calon presiden pada bursa Pemilihan
Umum tahun 2014 lalu. Penelitian ini juga ingin melihat bagaimana eksistensi
Partai GOLKAR dalam perpolitikan di Indonesia.
Penelitian tersebut menggunakan teori behavioralisme, teori kepemimpinan,
dan teori konflik elite. Metode penelitian yang digunakan dalam metode
penelitian kualitatif, yang didasari pada hasil wawancara, dokumentasi,
penelusuran literatur-literatur yang sesuai. Dalam menguatkan data, penelitian
tersebut melakukan wawancara dengan dua tokoh Partai GOLKAR yaitu Indra J.
Piliang dan Sabil Rachman.
Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan kegagalan Partai GOLKAR dalam mengusung Aburizal Bakrie
sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Presiden tahun 2014,
dibatasi ke dalam sebab yang berlandaskan pada faktor internal dan faktor
9 Riska Zakiah, “Kegagalan Partai GOLKAR dalam Mengusung Aburizal Bakrie sebagai
Calon Presiden RI dalam Pilpres Tahun 2014”, (Program Sarjana Ilmu Politik, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2015).
12
eksternal. Faktor internal pertama yang menjadi penyebab ialah gaya
kepemimpinan Aburizal Bakrie yang tergolong otokrat, sehingga dalam
pengambilan kebijakan Partai GOLKAR dirasa banyak yang tidak sesuai. Faktor
internal kedua, konflik internal Partai GOLKAR sebelum dan sesudah Pemilihan
Umum Presiden tahun 2014. Faktor eksternal pertama, lemahnya strategi
marketing (pemasaran) politik terlihat pada lemahnya dua aspek utama yaitu
produk dan promosi dengan tidak mempertimbangkan elektabilitas produk dan
keinginan pasar. Faktor eksternal kedua, kurangnya pengaruh Partai GOLKAR
dalam Koalisi Merah Putih.
Sedikit banyak penelitian ini memiliki benang merah dengan penelitian
yang dilakukan Riska Zakiah. Penelitian ini berusaha menjelaskan lebih dalam
mengenai salah satu faktor yang menjadi penyebab gagalnya Aburizal Bakrie
sebagai presiden, dan akhirnya menjadi salah satu faktor mengapa sempat terjadi
perpecahan di dalam Partai GOLKAR. Peneliti berupaya mengembangkan
penelitian ini dan menggali lebih jauh faktor apa yang menyebabkan terjadinya
perpecahan dalam menentukan dukungan pada pemerintah Jokowi-JK.
Kedua, Penelitian Iswarizona Purba yang menyoroti signifikansi
kepemimpinan Akbar Tandjung sehingga Partai GOLKAR mengalami kemajuan
yang cukup pesat.10
Banyak kalangan yang percaya pada kinerja Akbar Tandjung
sehingga Partai GOLKAR mengalami kemajuan dan menjadi partai yang begitu
10
Iswarizona Purba, 2009, “Kiprah Partai GOLKAR dalam Pentas Politik Nasional di
bawah Kepemimpinan Akbar Tandjung”, Program Sarjana Universitas Sumatra Utara, Jurusan
Ilmu Politik.
13
diperhitungkan pada masanya. Dalam tulisan ini objek yang menjadi fokus
penelitian adalah Partai GOLKAR secara nasional.
Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa kepemimpinan Akbar
Tandjung dalam Partai GOLKAR mampu membawa perubahan internal dan
konsolidasi organisasi dengan baik. Meskipun jika melihat pada proses pemilihan
Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum mengalami konflik internal di dalam tubuh
Partai GOLKAR, hingga mengakibatkan hengkangnya beberpa elite partai.
Namun, pada saat itu Akbar Tandjung dianggap mampu membawa Partai
GOLKAR melalui masa transisi yang sulit pasca reformasi. Partai GOLKAR di
bawah kepemimpinan Akbar Tandjung juga dianggap mampu mempertahankan
eksistensinya dalam Pemilu 1999 dan 2004.
Menelaah dari penelitian ini, dapat disimpulkan bagaimana peran elite
memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan dalam diri partai. Partai
GOLKAR yang di masa awal kepemimpinan Akbar Tandjung sedang mangalami
masa transisi menuju partai yang lebih demokratis. Konflik internal juga sempat
menghampiri tataran elite Partai GOLKAR pada waktu itu, di mana perebutan
kekuasaan tetap tidak bisa dihindari hingga mengakibatkan hengkangnya
beberapa elite Partai GOLKAR dan membentuk partai baru.
Berbeda dengan penelitian ini, peneliti berusaha lebih dalam mengkaji dan
menelisik siapa-siapa saja elite yang berperan dalam upaya penyelesaian konflik
dualisme kepemimipinan Partai GOLKAR beberapa waktu lalu. Lebih dalam,
peneliti berusaha mengaitkan peran ganda yang dijalani Jusuf Kalla sebagai elite
14
Partai GOLKAR dan juga sebagai pemerintah, dalam upaya penyelesaian konflik
dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR.
Ketiga, Penelitian yang dilakukan Hendra Sunandar.11
Penelitian ini
merupakan hasil analisis terjadinya divided government pada pemerintahan
Jokowi-JK yang dipandang sebagai sebuah dampak dari perpaduan sistem
presidensialisme-mulitpartai di Indonesia yang menurut beberapa ilmuan dinilai
sebagai sebuah wujud kombinasi sistem pemerintahan yang menyulitkan bagi
efektivitas pemerintahan. Terlebih, jika kombinasi tersebut menghasilkan
pemerintahan yang terbelah (divided government) yang diasumsikan akan memicu
kebuntuan dan kesulitan antara eksekutif dengan legislatif untuk mencapai
keputusan bersama. Penelitian ini kemudian dilakukan sebagai bentuk uji asumsi
teoritik divided government pada pemerintahan Jokowi-JK.
Hasil penelitian ini kemudian menemukan bahwa divided government yang
terjadi dalam pemerintahan Jokowi-JK disebabkan oleh faktor ketidakmampuan
eksekutif dalam membangun koalisi presidensial yang mencapai perolehan
mayoritas dalam legislatif. Diungkapkan bahwa situasi divided government yang
terjadi di Indonesia hanya terjadi dalam ranah struktural dan bukan sebagai
sebuah fenomena yang akan menghambat eksekutif untuk dapat membangun
kesepakatan dengan legislatif. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
dinamika dalam partai yang berubah-ubah dapat berpengaruh pada situasi divided
government yang tidak kuat. Dalam artian, konflik internal partai seringkali
11
Hendra Sunandar, “Analisis Ssitem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia (Studi atas
Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)”,,
(Program Sarjana Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).
15
menjadi faktor yang menyebabkan perubahan-perubahan arah koalisi partai
politik.
Berdasarkan hasil penelitian ini, menjadi argumen kuat peneliti untuk lebih
jauh peneliti kembangkan bagaimana keterkaitan konflik internal Partai GOLKAR
hingga kemudian melahirkan dualisme kepemimpinan berdampak pada efektivitas
dan keberlangsungan sistem pemerintahan Jokowi-JK. Bahwa perubahan-
peruahan arah koalisi partai akibat konflik elite dapat mempengaruhi apakah
sistem pemerintahan akan mengalami divided government secara terus menerus
atau tidak.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Kata 'metode' dan
'metodologi' sering dicampuradukkan dan disamakan. Padahal keduanya memiliki
arti yang berbeda. Kata 'metodologi' berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang
berarti 'teknik' atau 'prosedur'. Metodologi sendiri merujuk kepada alur pemikiran
umum atau menyeluruh (general logic) dan gagasan teoritis (theoretic
perspectives) suatu penelitian. Sedangkan kata 'metode' menunjuk pada teknik
yang digunakan dalam penelitian seperti survei, wawancara dan obeservasi.12
Dalam sebuah penelitian, sebaiknya dapat memadupadankan antara teknik
yang digunakan dan alur pemikiran umum serta gagasan teoretis yang baik.
Penulis yakin bahwa baik metode maupun metodologi, dalam konteks penelitian
kualitatif, saling mengandalkan satu sama lain. Seperti misalnya dalam uraian-
uraian ke depan akan dijelaskan bahwa tujuan penggunaan metode kualitatif
12
J.R. Raco. Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteritis dan Keunggulannya).
(Jakarta: PT. Grasindo, 2010). hal, 1-2.
16
adalah mencari pengertian yang mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realita.
Fakta, realita, masalah, gejala serta peristiwa hanya dapat dipahami bila peneliti
menelusurinya secara mendalam dan tidak hanya terbatas pada pandangan di
permukaan saja. Kedalaman ini mencirikan metode kualitatif, sekaligus sebagai
faktor unggulan. Seperti fenomena gunung es di mana yang nampak di permukaan
hanya kecil, tetapi yang berada di bawahnya justru yang besar dan kuat.13
Menurut Lexy J. Meleong penelitian kualitatif adalah suatu penelitian
ilmiah, yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial
secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang
mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. 14
E.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan jenis penelitian kualitatif
dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dan kajian
pustaka (Library Research) yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian kualitaif
merupakan sebuah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis dalam penelitiannya. Dengan menggunakan penelitian kualitatif jauh
lebih subjektif dibandingkan dengan penelitian kuantitatif. Kajian pustaka
merupakan langkah awal dalam metode pengumpulan data. Kajian pustaka
merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian data dan
informasi melalui dekumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar,
maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan.
13
Ibid. 14
Haris Herdiansyah. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. (Jakarta:
Salemba Humanika, 2010), hal.9.
17
Adapun teknik penulisan penelitian ini penulis berpedoman pada aturan
aturan penulisan yang ditetapkan oleh pihak Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E.2. Sumber dan Jenis Data
E.2.1. Data Primer
Data primer adalah data atau keterangan yang diperoleh peneliti berasal
dari sumbernya. Data Primer ini dapat berupa bentuk verbal atau kata-kata yang
dilakukan oleh subyek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adanya informan yang
berkenaan dengan variabel yang diteliti.15
Data ini diperoleh langsung oleh pihak-
pihak yang mempunyai informasi lengkap sesuai dengan kebutuhan peneliti yaitu
seperti mendapatkan informasi langsung dari pihak pemerintah dan para elite yang
terlibat dalam pengambilan keputusan koalisi antar Partai GOLKAR dan
pemerintahan Jokowi-JK.
E.2.2. Data Sekunder
Data sekunder dapat berupa keterangan maupun data yang diperoleh dari
pihak kedua, baik berupa dokumen-dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat),
foto-foto, film, rekaman video dan lain-lain yang dapat memperkaya data
primer.16
E.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori,
tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan,
oleh karena itu “analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 2010) hal. 22. 16
Ibid, hal. 22.
18
fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau
teori.”
E.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan upaya pengumpulan data yang dilakukan kepada
narasumber terkait objek yang diteliti melalui tanya jawab. Informan yang
menjadi narasumber ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Yaitu,
sumber yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria yang diinginkan.17
Dalam
penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa elite Partai
GOLKAR yang menjabat di internal partai dan pemerintahan seperti Firman
Soebagyo dan T.B Ace Hasan. Peneliti juga melakukan wawancara dengan
pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro untuk
lebih mendalami fakta-fakta di lapangan.
E.3.2. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan hasil studi kepustakaan melalui buku, jurnal,
surat kabar serta internet. Hal ini ditempuh guna memperoleh panduan serta
informasi lebih mengenai objek yang sedang diteliti. Dokumentasi sendiri
merupakan upaya pelengkap dari wawancara dalam penelitian kualitatif.
Dokumen merupakan catatan mengenai peristiwa yang sudah berlalu. Peneliti
mengumpulkan dokumen yang dapat berupa tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang.18
Dalam hal ini peneliti menggunakan buku-buku
yang ditulis oleh elite partai dan kader Partai GOLKAR.
17
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif kuantitatif R&D (Bandung: Alfabeta, 2012),
hal.68. 18
Ibid, hal. 240.
19
E.4. Teknik Analisis
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum peneliti
terjun ke lapangan, selama di lapangan dan setelah peneliti terjun lapangan.
Dalam penelitian ini analisa data lebih difokuskan pada proses di lapangan dan
pada proses pengumpulan data. Sehingga pada kenyataannya, analisa data
kualitatif sudah berlangsung sejak pengumpulan data dimulai hingga selesai.
F. Sistematika Penelitian
Penulisan penelitian ini akan dibagi kedalam lima bab, berikut adalah
sistematika penulisan dalam penulisan penelitian ini:
Pada BAB I, penulis memaparkan pernyataan masalah dan pertanyaan
masalah yang menjadi titik fokus dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya
yang dirasa memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, metode penelitian serta
sistematika penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan penelitian ini.
Pada BAB II, penulis lebih mengkaji lebih dalam mengenai kerangka teori
yang penulis gunakan sebagai acuan dalam penulisan dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini.
Pada BAB III, penulis berfokus pada sejarah Partai GOLKAR dan
Pemerintahan serta beberapa konflik yang sempat terjadi dalam Partai GOLKAR.
Hal ini penulis lakukan guna memahami latar belakang pandangan dan sikap
Partai GOLKAR terhadap Koalisi di dalam pemerintahan.
Pada BAB IV, penulis melakukan sebuah analisa terhadap dampak yang
timbul dari konflik elite internal Partai GOLKAR yang berkepanjangan dan
20
berdampak pada seluruh lini kehidupan partai baik itu yang berkaitan dengan
fungsi partai politik sebagai sarana kaderisasi dan juga berdampak pada aspek
eksternal yakni penentuan sikap koalisi partai yang tidak pasti selama masa
konflik berlangsung.
Pada BAB V, penulis memaparkan kembali hasil temuan dalam bab IV
untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah kesimpulan dalam penelitian ini, serta
memberikan pemaparan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
20
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Dalam bab ini akan menjelaskan beberapa teori pendukung yang digunakan
dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori partai politik, konflik elite
dan koalisi pemerintahan. Beberapa teori ini digunakan sebagai bahan dasar
penguat argumentasi dan menganalisis lebih jauh mengenai dinamika politik
Partai GOLKAR dan melihat bagaimana pola dukungan Partai GOLKAR
terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK).
A. Teori Partai Politik
A.1. Pembentukan Partai Politik
Gagasan tentang GOLKAR muncul pertama kali pada perkiraan tahun
1956-1957 oleh Soekarno. Pada waktu itu Soekarno merasa tidak terkesan dengan
sistem kepartaian politik gaya Barat. Soekarno kemudian mengembangkan
gagasan untuk “mengubur partai-partai” dan menggantikan partai-partai tersebut
dengan GOLKAR, atau yang pada waktu itu Soekarno sebut dengan “golongan
fungsionil”.1
Terbentuknya suatu partai politik secara sederhana dapat dilihat pada tiga
teori dasar yang diungkapkan oleh Yoseph Lapalombara dan Myron Weiner
dalam buku mereka yang berjudul Political Parties and Political Development.2
Teori pertama berusaha melihat bahwa partai politik dibentuk pemerintah
(eksekutif dan legislatif), agar dapat menjadi media penghubung pemerintah pada
1 David Reeve, GOLKAR Sejarah yang Hilang (Akar Pemikiran & Dinamika), (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013), hal. xviii-xix. 2 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politiki (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hal. 113.
21
masyarakat. Setelah terjadinya pembentukan partai awal ini, barulah disusul
dengan terbentuknya partai-partai lain yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Teori kedua berupaya melihat pembentukan partai politik hadir pada saat
terjadinya krisis sistem politik dalam masyarakat transisi tradisional menuju
modern. Pada masa transisi ini terjadi pertambahan penduduk yang memunculkan
gerakan-gerakan populis, hingga kemudian memunculkan sebuah krisis
legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Untuk mengatasi tiga krisis yang dialami
pada masa transisi, maka dibentuklah partai politik. Kehadiran partai politik
diharapkan dapat mengakomodasi masyarakat dari berbagai etnis, agama, daerah
dan sosial ekonomi. Selanjutnya, kehadiran partai politik juga dijadikan sebagai
saluran partisipasi politik oleh masyarakat. 3
Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi sebagai pendorong utama
lahirnya partai politik. Ketika sebuah negara mengalami modernisasi dan
perubahan yang signifikan, maka negara akan menuntut hadirnya sebuah
organisasi yang dapat memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi yang
hadir dalam masyarakat. Terdapat kesamaan antara teori kedua dan teori ketiga, di
mana perubahan menjadi faktor pendorong hadirnya partai politik di masyarakat.
Namun, menjadi pembeda di mana pada teori kedua menjelaskan bahwa
perubahan menghadirkan krisis-krisis di dalam masyarakat, maka dibentuklah
partai politik. Sedangkan, pada teori ketiga menjelaskan bahwa perubahan itu
3 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal.113-114.
22
sendirilah yang menghadirkan kesadaran dalam masyarakat akan perlunya sebuah
organisasi yang mengakomodir kepentingan dan aspirasi mereka. 4
A.2. Fungsi Partai Politik
Partai politik telah menjadi ciri penting dalam sebuah politik modern karena
memiliki fungsi yang strategis. Para ahli pun telah banyak merumuskan fungsi-
fungsi dari partai politik. Partai politik memiliki fungsi utama mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program partai yang
direncanakan berdasarkan ideologi partai. Cara partai politik untuk memperoleh
kekuasaan tersebut adalah dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut (memperoleh kekuasaan) partai politik
melakukan tiga hal yang umum dilakukan oleh partai politik yaitu
menyeleksi calon-calon, setelah calon-calon mereka terpilih selanjutnya
ialah melakukan kampanye, setelah kampanye dilaksanakan dan calon
terpilih dalam pemilihan umum selanjutnya yang dilakukan oleh partai
politik ialah melaksanakan fungsi pemerintahan (legislatif maupun
eksekutif).5
Ramlan Surbakti menyebutkan beberapa fungsi partai politik.6 Pertama,
partai politik sebagai sosialisasi politik, partai politik berupaya membentuk sikap
dan orientasi politik masyarakat. Melalui beberapa cara, partai politik memberikan
pengenalan serta pemahaman akan politik yang ada di lingkungan masyarakat.
Kedua sebagai rekrutmen politik. Dalam hal ini partai politik berperan
melahirkan para kader muda yang kelak akan menggantikan estafet pemerintahan
selanjutnya. Tanpa adanya rekrutmen politik, keberlangsungan suatu sistem
politik akan terancam. Hal tersebut dapat terjadi karena tanpa adanya rekrutmen
4 Ibid, hal. 114.
5 Mumadam Labolo, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Teori,
Konsep dan Isu Strategis) (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 15. 6 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 117-121.
23
yang baik makan tidak akan ada elite politik yang melaksanakan tugas dalam
memimpin.
Gabriel Almond mengungkapkan bahwa proses rekrutmen merupakan
kesempatan rakyat untuk menyeleksi kegiatan-kegiatan politik dan jabatan
pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota
organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan pelatihan.7
Sistem rekrutmen partai politik menjadi penting karena pada tahap inilah
merupakan tahap awal untuk mendapatkan sumber daya manusia yang baik dan
berpotensi. Melalui sistem rekrutmen yang baik, nantinya akan dapat diseleksi
kesesuaian antara karakteristik orang-orang yang memiliki sistem nilai dan
ideologi yang sama serta memiliki potensi untuk dikembangkan. 8
Ketiga sebagai partisipasi politik, partai politik menjembatani pemerintah
dan masyarakat dalam suatu sistem politik. Melalui partai politik, masyarakat
turut terlibat dalam mempengaruhi suatu kebijakan umum dan ikut menentukan
pemimpin dalam pemerintahan. Fungsi partisipasi ini lebih tinggi jika
ditempatkan pada sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Hal ini
dikarenakan melalui partai politik, suara dan aspirasi masyarakat dapat sampai ke
pemerintah.
Keempat, sebagai pemandu kepentingan. Pada kenyataannya di dalam
masyarakat terdapat berbagai bentuk kepentingan yang berbeda antar individu
maupun kelompok yang saling bertentangan. Oleh karena itu, untuk menampung
7 Almond, Studi Perbandingan Sistem Politik, dalam Mochtar Mas’ud dan Colin Mac
Andrews (Eds.), Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978),
hal. 29. 8 Labolo, Partai Politik dan Sisrem Pemilihan, hal. 18.
24
dan memadukan berbagai kepentingan yang ada, dibutuhkanlah sebuah partai
politik. Partai politik ini dibentuk untuk menampung, menganalisis dan
memadukan kepentingan yang berbeda menjadi berbagai alternatif kebijakan
umum.9
Kelima, sebagai sarana komunikasi politik. Komunikasi politik merupakan
sebuah proses penyampaian pesan dan informasi politik dari pemerintah kepada
masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam proses penyampaian
yang berlangsung, partai politik tidak lantas menerima dan menyampaikan pesan
yang ada, melainkan harus melalui beberapa tahap seleksi dan penyaringan agar
sesuai dan mudah diterima oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. 10
Keenam, sebagai sarana pengendalian konflik. Partai politik sebagai salah
satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara
berdialog engan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan
berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan
membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk
mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik bersama. 11
Ketujuh, sebagai kontrol politik. Kontrol politik di sini dimaknai sebagai
kegiatan yang dilakukan untuk menunjukkan kelemahan, penyimpangan dalam isi
suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat oleh
pemerintah. Dalam upaya kontrol politik ini diperlukan sebuah tolak ukur yang
9 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 119.
10 Ibid, hal. 119-120.
11 Ibid, hal. 120.
25
jelas agar kegiatan kontrol politik dapat dilaksanakan secara objektif tanpa adanya
campur tangan kepentingan dari berbagai pihak.12
Partai GOLKAR sebagai salah satu partai yang menempati kursi legislatif
terbanyak kedua tentu saja memiliki pengaruh yang besar dalam upaya kontrol
politik terhadap pemerintahan. Ketika Partai GOLKAR menyatakan tidak
mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan tetap memilih berada dalam Koalisi
Merah Putih (KMP) sebagai koalisi oposisi, menjadi sebuah kekhawatiran
tersendiri bagi kelancaran pemerintahan Jokowi-JK.
B. Koalisi Pemerintahan
Fenomena koalisi antarpartai politik tidak hanya terjadi di DPR dan Kabinet
Pemerintahan, tetapi juga pada masa menjelang pemilihan presiden akan
berlangsung. Namun, selama ini koalisi yang terjadi menjelang pemilu bukanlah
sebuah bentuk koalisi yang permanen melainkan hanya sementara dan dapat
berubah.
Andrew Heywood menjelaskan bahwa koalisi merupakan bentuk
pengelompokan aktor-aktor politik yang terbentuk baik itu atas kesamaan persepsi
tentang musuh bersama (common threat), atau atas dasar keyakinan bahwa tujuan
mereka tidak dapat tercapai jika berjalan sendiri-sendiri. Maka pemerintahan
koalisi (coalition government) merupakan kesepakatan formal antara dua atau
12
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 121.
26
lebih partai politik yang mencakup distribusi kursi kementerian lintas partai di
kabinet pemerintahan.13
Teori koalisi partai telah lama berkembang di negara-negara Eropa
khususnya pada negara-negara dengan sistem parlementer. Dalam sistem
pemerintahan presidensial yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan
untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk
membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan
lama (durable).14
Dalam sistem politik yang bersifat multipartai, koalisi merupakan suatu
bentuk keniscayaan. Michael Laver melihat perspektif teori pilihan-rasional
melalui dua pendekatan umum yang menjelaskan mengapa partai-partai politik
melakukan koalisi, yaitu office-seeking dan policy-seeking. Lalu, Karee Storm
menambahkan satu perspektif lagi yaitu vote-seeking. Sedangkan William Riker
berasumsi bahwa koalisi partai politik didorong oleh hasrat untuk mendapat
kekuasaan baik dari ranah eksekutif maupun legislatif (office seeking). 15
Pada dasarnya pembentukan sebuah koalisi politik akan lebih banyak
memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan terhadap efektivitas
kebijakan. Substansi politik adalah sarana bagi pencapaian tujuan bersama, yang
berarti semakin kita dapat mengagregasikan dukungan, antara lain dalam suatu
bentuk koalisi “permanen” (tetap) yang tidak oportunistis akan semakin besar
13
Salvatore Simarmata, Media dan Politik (Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di
Indonesia) (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesie, 2014), hal. 12. 14
Ibid, hal. 22. 15
R. Widya S. Sumadinata, “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia Menjelang
dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”, Jurnal Wacana Politik Vol. 1, No.2,Oktober 2016,
hal. 183.
27
kemungkinan untuk mencapai tujuan bersama itu serta menjalankan roda
pemerintahan yang kuat, guna memajukan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Setelah Kekalahan Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden 2014, koalisi
pendukung Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP)
yang sejak awal bertekad akan menjadi koalisi oposisi penyeimbang pemerintah
pada saat ini tidak lagi bisa mempertahankan komitmennya. Satu persatu partai
yang tergabung dalam KMP mulai memisahkan diri dan turut bergabung dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau yang sekarang disebut Koalisi Partai Politik
Pendukung Pemerintahan (KPPP) Jokowi-JK.
Bambang Cipto mengungkapkan hingga detik ini, rasanya koalisi antara
partai politik tidak ada yang ideal. Tidak satu pun koalisi yang digalang para elit
yang menghasilkan paduan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan
lama (durable). Namun seringkali koalisi yang dibangun membingungkan.
Kompleksnya kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang
menyulitkan. Secara teoretis, koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun di
atas landasan pemikiran yang realistis dan layak. 16
Koalisi yang banyak terbangun di Indonesia merupakan koalisi yang cair
dan rapuh (dapat berubah-ubah). Koalisi yang kuat seharusnya terbangun adalah
koalisi yang permanen, di mana koalisi permanen yaitu koalisi yang terbentuk dari
adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus
16
Bambang Cipto, Partai, Kekuasaan dan militerisme, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
2000), hal.22.
28
dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang
hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.
Ketika pada awal pembentukannya KMP dipimpin oleh Partai GOLKAR,
dengan ARB sebagai ketua KMP. Pada akhir konflik dualisme kepemimpinan,
dan bergulirnya kekuasaan Partai GOLKAR di tangan Setya Novanto yang
kemudian menyatakan bahwa Partai GOLKAR siap mendukung pemerintahan
Jokowi-JK. Namun kembali lagi, bisa dikatakan koalisi yang ada di Indonesia
merupakan koalisi yang rapuh dan cair, sehingga bentuk formasi dan keanggotaan
dari koalisi yang ada dapat dengan mudah berubah.
B.1. Divided Govenment
Banyak ahli menyampaikan perpaduan sistem presidensial dengan sistem
multipartai merupakan perpaduan yang tidak baik, hal ini dinilai karena kedua
kekuasaan tersebut akan saling mengalami benturan hingga mengakibatkan
pemerintahan terbelah (devided government). Efektivitas kinerja pemerintah
menjadi terhambat akibat terjadinya divided government, tidak sedikit nantinya
program-program pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan dari parlemen
mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan mungkin mengalami penolakan. Hal ini
kemudian mengakibatkan program-program yang direncanakan oleh pemerintah
tidak akan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Menurut Elgie17
mendefinisikan divided government secara aritmatika
menjadi tiga bentuk. Pertama, menurutnya, divided govenrment dalam sistem
presidensial yang dwi atau multipartai yaitu ketika kondisi partai oposisi menjadi
17
Elgie, R. Divided Government ini Comparative Perspective, (New York: Oxford
University Press, 2001), hal. 105.
29
mayoritas dalam parlemen. Dalam kondisi ini menjelaskan tidak adanya dukungan
mayoritas partai di parlemen.
Kedua, dalam sistem parlementer menurut Elgie yaitu partai pemerintahan
baik itu single maupun koalisi yang telah gagal meraih dukungan mayoritas.
Ketiga, Elgie mengungkapkan gabungan sistem parlementer dan sistem
presidensial merupakan divided governement.
C. Elite Partai Politik
C.1. Elite Partai
Dalam struktur kepengurusan Partai GOLKAR, kelompok elite partai ini
terdapat pada tataran kepengurusan tingkat pusat, provinsi, kota/kabupaten,
kecamatan, kelurahan/desa.18
Elite ini yang kemudian mejadi penentu arah tujuan
partai. Pasca turunnya Soeharto sebagai presiden dan pimpinan Partai GOLKAR,
partai ini sudah mengalami beberapa kali sirkulasi elite melalui Musyawarah
Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai GOLKAR.
Teori elite politik percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh
sekelompok kecil orang yang memiliki kualitas yang diperlukan bagi kehadiran
mereka pada kekuasaan sosial yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada
kekuasaan sosial politik yang penuh. Elite politik adalah mereka yang mampu
18
Berdasarkan sumber (AD/ART Partai GOLKAR , di akses dari situs
https://partaiGOLKAR .or.id/ad-art/ pada tanggal 17 Januari 2017) Anggaran Dasar Rumah
Tangga (AD/ART) Partai GOLKAR BAB VIII tentang Struktur Organisasi Serta Wewenang dan
Kewajuban Pimpinan Pasal 17 yaitu:
Struktur Organisasi Partai GOLKAR terdiri atas tingkat Pusat, tingkat Provinsi, tingkat
Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan tingkat Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya, yang
masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah
Provinsi, Dewan Pinpinan Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Kecamatan dan Pimpinan
Desa/Kelurahan atau sebutan lain.
30
menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah
yang disebut sebagai elite. Elite sendiri merupakan orang-orang berhasil yang
mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam masyarakat. Teori ini lahir dari
para ilmuan sosial Amerika Serikat diantaranya Vilvredo Paretto (1848-1923),
Gaetano Mosca (1858-1941), Robert Michels (1876-1936) dan Joseph Ortega Y.
Gasset. 19
Para elite ini merupakan segelintir kelompok minoritas superior yang
memiliki posisi dalam mengendalikan perekonomian, politik, dan tatanan sosial di
masyarakat. Maka dari itu, kelompok minoritas yang menempati strata atas ini
biasanya memiliki posisi yang dihormati dalam masyarakat atau kelompok.
Mereka dipercaya dalam mengambil sebuah keputusan penting dalam masyarakat.
Pandangan Mills mengenai elite adalah mereka yang menempati posisi-
posisi amat penting dalam institusi-institusi tertinggi dalam bidang ekonomi dan
politik. Dalam karyanya The Power Elite, Mills menghubungkan kekuatan
ekonomi, politik dan militer sebagai kekuatan yang saling berhubungan. Dalam
suatu negara jika ketiga kekuatan ini sudah tergabung dalam tataran elite
pemerintahan, negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang kokoh.20
Dalam bukunya Ramlan Surbakti mengutip pernyataan Gaentano Mosca
yang menggambarkan bahwa terdapat dua bentuk distribusi kekuasaan dalam
masyarakat. Pertama, kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang,
melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-
keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah,
19
P.Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 82. 20
C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University Press, 2000), hal.269.
31
yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan
cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan.21
Elite digolongkan berdasarkan perspektif: posisi, reputasi, dan pembuatan
keputusan.22
Perbedaan ketiga perspektif antara lain sebagai berikut: Analisa
posisi mengandaikan bahwa : pertama, orang yang berkuasa di antara sekelompok
elite adalah orang yang menduduki posisi puncak dari organisasi formal tersebut.
Kedua, kekuasaan berkorelasi sepenuhnya dengan posisi kelembagaan. Ketiga
analisa posisi merupakan teknik analisa yang mudah dan paling umum
dipergunakan untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang yang berkuasa di
lembaga tersebut. Keempat, asumsi analisis ini beranggapan sudah diketahui
lembaga-lembaga mana yang secara politis penting dan lembaga-lembaga mana
yang mempunyai pengaruh semu. Kelima, analisa posisi hanya efektif diterapkan
dalam kondisi masyarakat/organisasi yang memiliki distribusi kekuasaan yang
timpang, sementara dalam masyarakat dan organisasi yang distribusi
kekuasaannya merata analisis ini tidak efektif. Singkatnya analisa ini berasumsi:
“siapa menduduki posisi puncak di suatu organisasi, orang itulah yang memiliki
peran utama dan mempunyai pengaruh besar dalam gerak organisasi”.23
Analisis reputasi berasumsi bahwa: pertama, individu yang oleh sesama
warga dianggap memiliki pengaruh, memang yang bersangkutan benar-benar
memiliki pengaruh. Kedua, individu yang oleh orang dianggap memiliki
kekuasaan, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki kekuasaan. Ketiga,
21
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 75. 22
Haryanto, Kekuasaan Elite : Suatu Bahasan Pengantar, (PLOD UGM, Yogyakarta,
2005), hal. 45-134. 23
Jainuri, Orang Kuat Partai di Aras Politik Lokal, (Malang: Citra Mentari Press, 2012),
hal. 21-38.
32
analisa reputasi dilakukan dengan tidak mendasarkan pada lembaga-lembaga
formal tetapi mendasarkan kepada reputasi kekuasaan secara informal yang
dimiliki elite.
Analisis pembuatan keputusan menekankan bahwa: pertama, dalam
mengetahui siapa yang berkuasa di antara para elite dengan cara mempelajari
proses pembuatan keputusan, perhatian utama dari analisa ini adalah siapa yang
banyak berinisiatif dan memberi kontribusi terhadap pembuatan keputusan
organisasi. Kedua, dari proses ini juga diketahui siapa saja yang menjadi
penentang dari proses pembuatan keputusan tersebut, analisa ini menurut
sementara kalangan lebih efektif dibanding analisa posisi dan reputasi. Singkatnya
perhatian analisa ini mencari individu-individu yang memainkan peran kunci atau
elite penentu menurut Keller dalam pembuatan keputusan.24
Menurut Mosca hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu oligarki. Mosca
menolak klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk monarki, demokrasi,
dan Aristokrasi. Menurutnya, selalu muncul kelas yang pertama, yang biasanya
jumlahnya sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara
kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili, serta
mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya,
dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalis organisme politik. 25
24
Ibid, hal. 38. 25
P.Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal 202
33
C.2. Konflik Elite
Terjadinya perbedaan arah dukungan terhadap calon presiden 2014 lalu di
dalam tubuh elite Partai GOLKAR menimbulkan konflik elite yang
berkepanjangan hingga kemudian memunculkan dualisme kepemimpinan Partai
GOLKAR pada 2014-2016. Konflik elite yang terjadi ini tidak hanya
menghambat pergerakan Partai GOLKAR dalam pemilihan umum presiden 2014,
namun juga pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015.
Di dalam sebuah negara yang demokratis, munculnya konflik merupakan
suatu hal yang tidak bisa dielakkan. Hal ini disebabkan karena semakin
majemuknya masyarakat dan meningkatnya daya kritis dari setiap individu untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan. Konflik yang tidak bisa dikendalikan
dan diakomodasi dengan benar maka akan menimbulkan chaos yang mengarah
kepada aksi-aksi fisik antar individu atau kelompok.26
Jika melihat pada ungkapan Lewis Coser bahwasanya pasca terjadinya
sebuah konflik dapat menghadirkan ikatan yang semakin kuat.27
Dalam penelitian
ini mencoba menggambarkan bagaimana upaya intervensi pemerintah dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi dalam tubuh Partai GOLKAR sebagai upaya
penguatan hubungan para elite partai serta penguatan dukungan terhadap
pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik diartikan sebagai sebuah
perselisihan, percekcokan, dan pertentangan.28
Kartini Kartono mengutip
26
Labolo, Partai Politik dan Sisrem Pemilihan , hal. 24. 27
“Kamus Besar Bahasa Indonesia”, kbbi.kemdikbud.go.id, 25 Januari 2017. 28
Bernard Roho, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007) hal.
82-83.
34
pengertian konflik menurut Clinton F. Fink, bahwasanya konflik merupakan
relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang
tidak bisa disesuaikan, ketertarikan-ketertarikan ekslusif dan tidak bisa
dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai
yang berbeda.29
Carsten K.W De Drew dan Laurie R. Weingart yang menjelaskan konflik
sebagai proses yang timbul sebagai akibat dari ketegangan anggota kelompok
karena adanya perbedaan-perbedaan yang nyata atau dipersepsikan.30
Perbedaan-
perbedaan yang hadir ini bisa hadir dikarenakan perbedaan-perbedaan yang
memang sudah ada di dalam masyarakat atau perbedaan yang ada disebabkan
persepsi.
Menurut Andrew Heywood konflik tidak dapat dipisahkan dari politik, oleh
karena politik berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sosial.31
Hal ini
menggambarkan bahwa konflik akan selalu hadir di dalam aktifitas sosial
kehidupan di masyarakat. Maswadi Rauf menyatakan bahwa konflik dan
konsensus (kesepakatan) akan selalu hadir di dalam masyarakat. Kehadiran
konflik tidak dapat dihapuskan dan juga sebaliknya kehadiran konsensus tidak
selamanya dapat dipertahankan.32
29
Kartono, k., Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001) , hal. 213.
30 Carsten K.W. De Drew and Laurie R. Weingart, “Task versus Relationship Conflict,
Team Performance, and Team Member Satisfaction: A Meta-Analysis,” (Journal of Applied
Psychology, 2003, Vol. 88 No. 4), hal. 741-749. 31
Andrew Heywood, Politic Theory: An Introduction, (New York: Palgrave, 2004) , hal.
52. 32
Maswadi Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Panjajagan teoritis, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 1.
35
Konflik politik merupakan konflik yang bersifat lebih spesifik, sehingga
dapat dengan mudah dibedakan dari konflik-konflik sosial lainnya. Konflik politik
memiliki kaitan dengan pemerintahan, kebijakan, atau isu-isu publik lainnya.
Konflik politik ini bisa terjadi antar individu hingga antar kelompok kepentingan.
Seperti halnya yang terjadi pada konflik Partai GOLKAR beberapa waktu lalu,
konflik ini berpusat pada tataran elite partai yang kemudian terpecah menjadi dua
kubu.
Pada tataran elite, konflik yang sering terjadi dikarenakan perebutan
kekuasaan dan pengaruh. Dalam bukunya Robert Michels mengungkapkan bahwa
pertarungan yang timbul antara para pemimpin, serta kecemburuan yang terdapat
sesama mereka mendorong mereka untuk mengambil tindakan aktif dan sering
harus berusaha melumpuhkan lawan-lawan mereka di dalam partai.33
Seperti yang diungkapkan oleh Carsten K.W De Drew dan Laurie R.
Weingart, bahwasannya konflik tidak akan selamanya dan konsensus tidak selalu
menjadi jalan keluar. Dalam konflik dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR
pada tahun 2014-2016 lalu, tergambar bahwa ketika konflik terjadi antar dua
kubu, dua kubu tersebut sebenarnya tidak menginginkan konflik yang
berkepanjangan terus terjadi dalam tubuh partai. Meskipun terjadi pertentangan-
pertentangan antar dua kubu, pada akhirnya dua kubu tersebut saling berusaha
menemukan jalan tengah dan solusi dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
Jika melihat pada kenyataannya saat ini bahwa Ketua Umum Partai GOLKAR
Setya Novanto merupakan perwakilan dari salah satu kubu, namun kubu yang
33
Robert Michels, Partai Politik (Kecendrungan Oligarki dalam Birokrasi), (Jakarta:
Rajawali, 1984), hal.185.
36
kalah kemudian memutuskan untuk menerima dan turut serta bergabung dalam
kepemimpinan Setya Novanto.
Konflik yang terjadi seringkali dianggap sebagai suatu hal yang
menyimpang dan merusak tatanan sistem yang telah ada, baik konflik yang terjadi
antar individu, antar kelompok, maupun antar institusi. Namun, konflik juga
memiliki sisi positif jika dapat dikelola dengan baik. Seperti halnya teori
sosiologis konflik yang dikemukakan Lewis Coser yang lebih menitikberatkan
pada fungsi konflik. Lewis Coser menjelaskan bahwasanya konflik juga memiliki
sisi atau fungsi positif seperti: konflik dapat lebih mempererat hubungan dalam
suatu kelompok ketika kelompok tersebut mengalami konflik dengan kelompok
lain, konflik dapat menghasilkan solidaritas antar anggota kelompok, dan lain-
lain.34
C.2.1. Resolusi Konflik
Yulius Hermawan mengutip pemikiran Johan Galtung yang membagi tiga
cara dalam penyelesaian konflik. Pertama, Peacekeeping, Cara ini adalah upaya
menghentikan atau mengurangi kekerasan melalui intervensi militer yang
menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kedua, Peacemaking.
Merupakan proses yang memiliki tujuan mempertemukan atau merekonsiliasi
sikap politik dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi,
arbitrasi terutama pada level elite atau pimpinan. Ketiga, Peacebuilding.
34
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007) hal. 82-
83
37
Merupakan suatu proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik
dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng.35
Hendri Bakri36
dalam jurnal berjudul “Resolusi Konflik melalui
Pendekatan Kearifan Lokal Pela Gandong di Kota Ambon” mengutip pemikiran
Ralf Dahrendrof yakni, penyelesaian konflik yang efektif sangat bergantung pada
tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik
diantara mereka. Kedua, kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir
sehingga masing-masing pihak memahami tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua
pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dalam hubungan interaksi
diantara mereka
35
Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan
Metodologi (Yogyakarta: Graha Ilmu,2007), hal. 93. 36
Hendri Bakri, “Resolusi Konflik melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pela Gandong di
Kota Ambon”, The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu POlitik Universitas Hasanuddin, Volume 1,
No. 1, Januari 2015, hal. 52.
35
BAB III
GAMBARAN UMUM
PARTAI GOLKAR DAN PEMERINTAHAN
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai sejarah, pola kepemimpinan
dan pengambilan keputusan Partai GOLKAR. Sejarah Partai GOLKAR sejak
berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber GOLKAR) hingga
perubahan menjadi sebuah Partai Politik. Melalui pembahasan singkat, peneliti
akan menggali lebih dalam sejauhmana keterikatan Partai GOLKAR dengan
pemerintahan semenjak Orde Lama hingga pasca Reformasi saat ini. Peneliti
berupaya menggambarkan pola kepemimpinan elite di Partai GOLKAR dan
menjelaskan bagaimana sistematika pengambilan keputusan yang terjadi di
internal partai.
A. Sejarah Partai GOLKAR dalam Pemerintahan di Indonesia
Partai GOLKAR dengan dinamikanya selalu memiliki posisi tersendiri
dalam perpolitikan di Indonesia. Partai GOLKAR yang hingga saat penelitian ini
dilakukan merupakan partai besar dan masih menempati posisi teratas partai
politik di Indonesia. Partai GOLKAR sendiri bukanlah satu-satunya partai yang
bertahan sejak masa Orde Baru, melainkan juga terdapat Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI
Perjuangan). Namun, untuk tetap bisa berada di jajaran partai teratas merupakan
prestasi tersendiri yang dimiliki Partai GOLKAR.
Keberhasilan GOLKAR selama 32 tahun sebagai partai dengan suara
mayoritas dalam pemilu, menjadikan GOLKAR sebagai raksasa politik pada masa
36
Orde Baru. Pada saat itu Soeharto dan GOLKAR merupakan satu kesatuan pilar
utama kekuatan Orde Baru, ditambah birokrasi dan ABRI, terbukti dalam
kemenangan GOLKAR yang selalu tampil menjadi mayoritas tunggal dalam
pemilu dan dalam parlemen pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. 1
Pencapaian keberhasilan GOLKAR terus berlanjut selama masa Orde Baru
berlangsung, hingga pada akhirnya terjadi krisis ekonomi yang meruntuhkan
kejayaan Orde Baru dan menuntut diturunkannya Soeharto beserta jajarannya.
Runtuhnya Orde Baru berdampak besar terhadap keberlangsungan eksistensi
GOLKAR pada waktu itu. Terjadi sebuah gejolak yang berasal dari luar dan
dalam tubuh GOLKAR. Tuntutan dari luar agar GOLKAR dibubarkan pun marak
disuarakan pada pemerintah, hingga gejolak elite dalam tubuh partai pun tak dapat
dihindari.
Untuk tetap eksis dalam pentas politik, GOLKAR mau tidak mau harus
menyesuaikan diri dengan agenda reformasi nasional. Maka dari itu menjelang
Pemilu 1999 GOLKAR yang selama Orde Baru tidak mau disebut partai politik
(UU No. 3 Tahun 1975 tentang GOLKAR dan Partai Politik) mereposisi diri
menjadi partai politik melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub)
GOLKAR Juli 1998. Melalui Munaslub GOLKAR memasuki paradigma baru
dengan misi, visi, dan platform perjuangan yang baru pula.2
Pengembangan orientasi paradigma baru diawali pertama, Munaslub. Pada
saat pemilihan ketua umum baru dilakukan dengan pemilihan secara langsung.
1 Femi Adi Soempeno, Mereka Mengkhianati Saya (Jakarta: GalangPress Group,
2008), Hal. 27. 2 Ibnu Ahmad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta: Granit, 2004), hal. 99.
37
Kedua, GOLKAR menyatakan diri tidak lagi berkaitan dengan sistem kekuasaan
lama yang berhubungan dengan segelintir orang yang berkuasa pada Orde Baru.
Ketiga, GOLKAR melakukan penghapusan Lembaga Dewan Pembina, Dewan
Pertimbangan dan Dewan Penasehat. Penghapusan ini dilakukan karena
GOLKAR ingin tampil lebih mandiri dan demokratis tanpa adanya intervensi dari
berbagai pihak.3
Dalam Munaslub Juli 1998, terpilihlah Ir. Akbar Tandjung sebagai Ketua
Umum yang mengalahkan Edi Sudradjat pada pemungutan suara Ketua Umum
Partai GOLKAR. Sejak terpilihnya Akbar Tandjung, Partai GOLKAR berusaha
tampil dengan wajah baru sebagai partai yang terbukam non diskriminasi,
berwawasan kebangsaan dan sadar penuh terhadap realitas kemajemukan bangsa.
GOLKAR juga berusaha tampil sebagai partai mandiri, demokratis, moderat, serta
solid dan mengakar. 4
Dinamika yang terjadi dalam tubuh Partai GOLKAR sendiri mulai
bermunculan pasca reformasi di Indonesia, dan setelah Partai GOLKAR
mengalami perubahan-perubahan mengikuti tuntutan reformasi, yakni demokrasi.
Di masa awal transisi perubahan partai, banyak sekali pihak yang memperkirakan
GOLKAR tidak akan bertahan dan akan turut tenggelam bersamaan dengan
jatuhnya Rezim Orde Baru dan Soeharto. Hal tersebut kemudian tidak terjadi
pada Partai GOLKAR, terbukti jika melihat eksistensi Partai GOLKAR dalam
pemilihan umum di Indonesia yang selalu memasuki posisi tiga besar teratas
3 Ibnu Ahmad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, hal. 99-100.
4 Ibid, hal. 100.
38
semenjak pemilu 1999. Seperti yang tergambar pada tabel perolehan Partai
GOLKAR di bawah ini:
Tabel III.A.1
Perolehan suara Partai GOLKAR dalam Pemilu Legislatif
Tahun 1999-20145
Tahun Perloehan
Suara
Presentase Jumlah
Kursi
Peringkat
1999 23.741.749 22,44% 120 2
2004 24.480.757 21,58% 128 1
2009 15.037.757 14,45% 107 2
2014 18.432.312 14,75% 91 2
Di antara peserta Pemilu 1999, GOLKAR merupakan partai yang paling
banyak mendapat serangan dari hampir semua lapisan masyarakat Indonesia.
Wajar saja jika hal ini terjadi jika melihat sejarah GOLKAR yang merupakan the
rulling party dan selalu tampil sebagai mayoritas sejak pemilu 1971 hingga 1997.
Tuntutan untuk membubarkan GOLKAR ramai terdengar setelah runtuhnya rezim
Orde Baru. Namun, GOLKAR mampu bangkit dan melakukan perubahan dalam
internal partai mengikuti tuntutan reformasi yang lebih demokratis.
B. Pola Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR
B.1. Sejarah Kepemimpinan Partai GOLKAR
Sejak berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber GOLKAR)
hingga saat penelitian ini dilakukan, Partai GOLKAR telah mengalami sebanyak
sepuluh kali pergantian kepemimpinan. Jika melihat Partai GOLKAR dalam
5 Diolah dari data KPU, “SK KPU Nomor 411/kpts/KPUTAHUN2014 tentang
Penetapan Hasil Pemilu Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota secara
Nasional dalam Pemilu Tahun 2014”.
39
wujud perpolitikan di Indonesia, yakni ketika Sekber GOLKAR beralih menjadi
GOLKAR dan pertama kali mengikuti pemilu di tahun 1971.
Pada saat itu peralihan Sekber GOLKAR menjadi GOLKAR dibarengi
dengan reorganisasi. Terjadi perubahan struktur dan komposisi GOLKAR, terjadi
perubahan pada susunan organisasi yang pada awalnya terdiri dari sebuah Dewan
Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang merupakan pada eksekutifnya,
dan Mayjen Sokowati merupakan ketua umum. Pada Musyawaran Nasional
(Munas) 1973, struktur GOLKAR mengalami perubahan, yang mana Dewan
Pimpinan sebagai badan eksekutifnya. Dewan Pimpinan ini kemudian terdiri dari
Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah Tingkat (DATI) I (DPD
tingkat 1), dan Dewan Pimpinan Dati II, dan ketua umumnya pada saat itu masih
di ketuai oleh Mayjen Sokowati.6 Kepemimpinan GOLKAR setelah Mayjen
Sokowati kemudian pada masa Orde Baru dilanjutkan oleh Amir Moetono (1973-
1983), Sudarmono (1083-1988), Wahono (1988-1993), dan Harmoko (1993-
1998).
Terjadinya friksi pada saat pengambilan keputusan partai dalam tataran elite
seringkali berujung pada konflik dan perpecahan Partai GOLKAR. Melihat ke
belakang sebelum terjadinya konflik elite Partai yang mengakibatkan hadirnya
dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR tahun 2014-2016, telah terjadi berbagai
bentuk konflik dalam Partai GOLKAR. Konflik-konflik yang terjadi dalam
internal partai seringkali ditemui pada saat pergantian kepemimpinan
berlangsung. Pergantian kepemimpinan Partai GOLKAR sendiri telah melewati
6 Leo Suryadinata, GOLKAR dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, (Jakarta: PT
Pustaka LP3ES, 1992), hal. 51-56.
40
tiga masa (Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi) tidak mengikis eksistensi Partai
GOLKAR dalam perpolitikan di Indonesia.
B.2. Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR
Perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi dalam tubuh Partai tentu
menuntut segera diambilnya keputusan partai, agar nantinya perbedaan-perbedaan
tersebut tidak berujung pada konflik dan kemudian menghambat
keberlangsungan partai di kancah perpolitikan kemudian hari. Mekanisme
pengambilan keputusan dalam Partai GOLKAR pasca-Munaslub 1998 merupakan
hasil perubahan-perubahan ke arah yang lebih demokratis mengikuti perombakan
struktur organisasi.
Perubahan struktur organisasi partai yang dilakukan juga merupakan respon
atas situasi politik yang berubah pada saat itu. GOLKAR kermudian
bertransformasi menjadi Partai GOLKAR, setelah reformasi tidak lagi
mendapatkan dukungan politik dari kalangan militer dan birokrasi, karena kedua
lembaga tersebut telah menetapkan prinsip netralitas dalam politik.7 Transformasi
ini dibarengi dengan reorganisasi dan perubahan struktur kepengurusan.
Perubahan struktur kepengurusan GOLKAR pasca-Munaslub 1998
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam mekanisme pengambilan keputusan
yakni bersifat lebih demokratis, di mana Musyawarah Nasional (Munas)
merupakan instansi pengambilan keputusan tertinggi organisasi. Sementara itu,
dihilangkannya struktur Dewan Pembina yang memiliki kewenangan amat
istimewa membuat pola pengambilan keputusan internal partai menjadi
7 Akbar Tandjung, The GOLKARWay (Survival Partai GOLKAR di Tengah Turbulensi
Politik Era Transisi), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 93.
41
demokratis. Pola ini dilakukan melalui forum-forum pengambilan keputusan yang
partisipatif dengan mengakomodasi berbagai masukan dari pengurus partai. 8
Mengikuti arus tuntutan reformasi, mekanisme pengambilan keputusan
dalam Partai GOLKAR dilakukan secara demokratis. Mekanisme yang dilakukan
pasca reformasi ini berbeda dengan masa Orde Baru, di mana pada saat itu proses
pemilihan Ketua Umum Partai GOLKAR ditentukan oleh Ketua Dewan Pembina,
sedangkan dalam Munaslub 1998 hak suara untuk memilih ketua umum diberikan
pada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I (Provinsi) GOLKAR. Dalam
perkembangan selanjutnya, pada Munas ke-VII 2004 Partai GOLKAR ingin lebih
melibatkan struktur partai yang lebih rendah dalam proses penentuan ketua umum
partai. Untuk itulah pada Munas ke-VII tersebut hak suara diberikan juga pada
DPD II (Kabupaten/Kota) Partai GOLKAR. 9
8 Akbar Tandjung, The GOLKAR Way, hal 118
9 Ibid, hal 118-119.
42
Gambar III.B.2.1 Mekanisme Pengambilan Keputusan Partai GOLKAR10
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa forum Munas merupakan
forum tertinggi pengambilan keputusan dalam Partai GOLKAR. Sedangkan
struktur Dewan Pimpinan Pusat memiliki wewenang yakni menentukan kebijakan
Tingkat Nasional sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART), Keputusan Munas/Munaslub dan Rapat Pimpinan Nasional serta
peraturan Partai GOLKAR.11
C. Konflik Elite Partai GOLKAR Pasca Reformasi
Melihat pada sejara konflik-konflik yang pernah terjadi dalam tubuh Partai
GOLKAR pasca reformasi, jika diamati dengan lebih seksama persamaan yang
10
Rekonstruksi berdasarkan AD/ART Partai GOLKAR oleh Akbar Tandjung. 11
AD/ART Partai GOLKAR.
43
terjadi adalah konflik-konflik yang terjadi selalu bermula pada saat menjelang
Munas Partai GOLKAR. Pasca turunnya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia dan semenjak saat itu resmilah GOLKAR bukan lagi menjadi satu-
satunya kekuatan penopang pemerintahan. Pasca reformasi Partai Golkar telah
mengalami beberapa kali pergantian pemimpin dan perombakan sistem
organisasi. Sejak reformasi, GOLKAR telah empat kali melakukan Munas, yakni
1998, 2004, 2009, dan 2014. Hampir pada setiap Munas dilaksanakan terjadi
perpecahan yang pada akhirnya melahirkan partai-partai baru di Indonesia.
Jika melihat pada proses pemilihan Akbar Tandjung sebagai ketua umum,
Partai GOLKAR pada saat itu mengalami goncangan dari eksternal. Di mana
Partai GOLKAR mendapat banyak tuntutan untuk dibubarkan, serta mengalami
pergolakkan dari internal tubuh partai, yakni terjadi konflik elite. Ketika terjadi
friksi pada saat pencalonan Akbar Tandjung yang berasal dari golongan sipil dan
Jenderal Edi Sudrajat yang berasal dari golongan militer. Setelah hasil pemilihan
ketua umum, Akbar Tandjung dinyatakan sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR,
perpecahan semakin tidak dapat dihindari. Edi Sudrajat dan beberapa elite lainnya
menyatakan diri keluar dari Partai GOLKAR dan mendirikan partai baru yang
bernama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) di tahun 1999.
Konflik elite juga terjadi ketika pemilihan presiden putaran pertama tahun
2004. Pada saat itu Partai GOLKAR mengusung pasangan Wiranto-Salahuddin
Wahid untuk dicalonkan, sementara disaat yang bersamaan Jusuf Kalla (JK) maju
sebagai pasangan calon dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Situasi ini
kemudian memunculkan perpecahan elite dalam tubuh partai GOLKAR. Selang
44
beberapa waktu, JK dan sembilan pengurus Partai GOLKAR yang mendukung
penjalonannya dipecat dengan alasan tidak mematuhi keputusan rapat pimpinan
partai.
Setelah hasil Pilpres 2004 menyatakan kemenangan pasangan SBY-JK,
terlihat perubahan arus politik Partai GOLKAR. Pada saat Munas ke-VII Partai
GOLKAR di Bali, 16-19 Desember 2004 menyatakkan kemenangan JK sebagai
Ketua Umum Partai GOLKAR periode 2004-2009 mengalahkan Akbar Tandjung.
Perubahan arah dukungan ini tidak lain didasari atas kemenangan JK sebagai
Wakil Presiden.
Pada Munas VIII Partai GOLKAR di Riau, Oktober 2009, Aburizal Bakrie
(ARB) terpilih sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR periode 2009-2014
mengalahkan Surya Paloh. Kekalahan Surya Paloh mengakibatkan dirinya dan
beberapa elite hengkang dari Partai GOLKAR dan tak lama setelahnya
menyatakan diri dengan partai baru, yakni Nasiona Demokrat (Nasdem).
Gejolak-gejolak dalam tubuh Partai GOLKAR terjadi ketika pelolehan suara
hasil pemilu legislatif kian tahun kian menurun. Tingkat rasa kepercayaan para
elite terhadap kepemimpinan Aburizal Bakrie semakin menurun. Penurunan
jumlah perolehan suara terus terjadi setelah kepemimpinan Jusuf Kalla.
Perpecahan dalam tubuh Partai GOLKAR kembali tidak dapat terelakan
ketika menjelang pemlihan presiden. Partai GOLKAR yang semenjak reformasi
seakan tidak lagi memiliki figur ketokohan dan setelah gagal mencalonkan
Wiranto-Salahuddin Wahid, tidak pernah lagi maju dalam pencalonan. Pada
Pilpres 2014, lalu rendahnya elektabilitas masyarakat terhadap ARB juga menjadi
45
pemicu terjadinya konflik elite partai dan tidak majunya Partai GOLKAR dalam
pencalonan presiden.
Menjelang pemilihan presiden 2014 lalu, terjadi kembali perbedaan arah
dukungan dalam tubuh elite Partai GOLKAR. Pada saat itu ARB sebagai Ketua
Umum Partai GOLKAR telah menyatakan dukungan terhadap pasangan Prabowo-
Hatta, namun sebagaian para elite mneyatakan dukungannya terhadap pasangan
Jokowi-JK. Kejadian ini serupa seperti pada saat Pilpres 2004, di mana JK
dicalonkan bukan berdasarkan hasil musyawarah partai.
46
BAB IV
KONFLIK ELITE PARTAI GOLKAR
DAN KOALISI PARTAI POLITIK PENDUKUNG
PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA
Bab ini merupakan analisis dari hasil penelitian terhadap upaya
penyelesaian konflik elite Partai Golongan Karya (GOLKAR) yang menghadirkan
dualisme kepemimpinan partai. Konflik yang berkepanjangan tidak saja
berdampak pada internal partai seperti kaderisasi, namun juga berdampak pada
eksternal yakni keputusan untuk ikut serta melakukan pembangunan di dalam
posisi pemerintahan atau berada pada oposisi pemerintahan.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf kalla (Jokowi-JK) sendiri pada mulanya
bukanlah hasil perolehan kemenangan yang didukung oleh Partai GOLKAR,
karena pada saat menjelang pemilihan akan berlangsung, Partai GOLKAR yang
pada saat itu masih diketuai oleh Aburizal Bakrie menyatakan dukungan terhadap
pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dampak konflik elite Partai
GOLKAR terhadap perubahan arus koalisi Partai GOLKAR pasca konflik
menjadi fokus yang peneliti lakukan melalui sebuah pengamatan mendalam.
Upaya resolusi konflik elite internal Partai GOLKAR yang terjadi dari tahun
2014 hingga 2016 berakhir ditandai dengan dilaksakannya Musyawarah Nasional
Luar Biasa (Munaslub) Partai GOLKAR dan terpilihnya Setya Novanto sebagai
Ketua Umum. Selesainya konflik elite ini diperkuat denganmeleburnya kedua
kubu dalam satu susunan kepengurusan.
47
A. Dampak Konflik Elite terhadap Internal Partai GOLKAR
Setiap konflik yang terjadi pada elite partai politik pasti akan berdampak
pada setiap lini kehidupan partai politik itu sendiri. Seperti halnya apa yang terjadi
pada konflik elite Partai GOLKAR tahun 2014-2016. Konflik ini merupakan
konflik terlama dalam sejarah Partai GOLKAR sejak reformasi. Tidak hanya
berdampak bagi internal partai, konflik ini juga berdampak bagi eksternal Partai
GOLKAR.
Dalam segi internal dampak terbesar dari konflik elite Partai GOLKAR
adalah kehadiran dualisme kepemimpinan di dalam partai. Kedua kubu dalam
beberapa sisi saling memperebutkan kekuasaan namun banyak sisi yang kemudian
terabaikan dan berdampak buruk bagi partai. Di segi eksternal dampak konflik
elite Partai GOLKAR ini mengakibatkan banyak kader elite partai yang tidak
dapat turut serta dalam pemerintahan, baik itu berupa dukungan maupun dalam
pemilu. Berikut merupakan dampak yang ditimbulkan oleh konflik internal Partai
GOLKAR tahun 2014-2016:
A.1. Kaderisasi Partai yang Tidak Berjalan
Salah satu fungsi partai politik adalah sebagai rekrutmen politik, dalam hal
ini partai politik berperan melahirkan para kader muda yang kelak akan
menggantikan estafet pemerintahan selanjutnya. Tanpa adanya rekrutmen politik,
keberlangsungan suatu partai politik akan terancam. Dalam hal ini kemudian
partai politik yang melakukan rekrutmen haruslah melakukan kaderisasi guna
menjalankan sistem dan membentuk karakteristik pemimpin-pemimpin
selanjutnya.
48
Sistem rekrutmen partai politik menjadi penting karena pada tahap inilah
merupakan tahap awal untuk mendapatkan sumber daya manusia yang baik dan
berpotensi. Melalui sistem rekrutmen yang baik, nantinya akan dapat diseleksi
kesesuaian antara karakteristik orang-orang yang memiliki sistem nilai dan
ideologi yang sama serta memiliki potensi untuk dikembangkan. 1 Berjalannya
sistem rekrutmen yang baik tentu akan berdampak pada berjalannya fungsi
kaderisasi yang baik pula.
Dalam konflik berkepanjangan Partai GOLKAR berdampak besar bagi
berlangsungnya fungsi kaderisasi partai. Indikasi utama tidak berjalannya fungsi
kaderisasi partai politik adalah, kegagalan Partai GOLKAR mengusung calon
dalam Pilpres 2014 dan terjadinya dualisme kepemimpinan partai. Berdasarkan
pada hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VI Partai GOLKAR. Rapimnas
yang diselenggarakan pada 18 Mei 2014 di Jakarta menetapkan beberapa hasil
keputusan terkait Pilpres 2014. Dalam agenda Rapimnas yang berlangsung
tertutup itu diadakan satu pembicaraan dan pandangan umum dari seluruh peserta
Rapimnas yaitu 33 DPD Partai GOLKAR provinsi dan 8 ormas yang mendirikan
dan didirikan Partai GOLKAR serta 2 organisasi sayap Partai GOLKAR. 2
Rapimnas VI Partai GOLKAR menghasilkan tiga keputusan yang berisikan,
pertama, adalah menetapkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden
(capres) sekaligus calon wakil presiden (cawapres) dari Partai GOLKAR. Kedua,
memberikan mandat sepenuhnya kepada ARB untuk mengambil kebijakan
1 Labolo, Partai Politik dan Sisrem Pemilihan, hal. 18.
2 Hasanudin Aco, “Keputusan Rapimnas Partai GOLKAR , Ical Boleh Capres Maupun
Cawapres” , http://www.tribunnews.com/, 18 Mei 2014.
49
politik. Ketiga, keputusan Rapimnas VI sebagai penganti hasil keputusan
Rapimnas sebelumnya.3
ARB menegaskan bahwa hanya dirinya yang dapat maju dalam Pilpres 2014
dari Partai GOLKAR, dan jika ada yang ingin mengajukan dan diminta partai lain,
maka mereka tidak bisa menggunakan organisasi ataupun atribut Partai
GOLKAR, serta harus menangalkan semua jabatannya di legislatif maupun dalam
struktural Partai GOLKAR. Keputusan yang diambil ARB menurutnya sudah
diambil secara demokratis dan berpijak pada Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART) Partai Golkar.
Hasil keputusan ini ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh elite Partai
GOLKAR mengingat beberapa faktor personal terkait ARB. Pertama, terkait
dengan perusahaan dan bisnisnya yaitu kasus mengenai lumpur Lapindo di
Sidoardjo, Jawa Timur dan pajak-pajak anak perusahaan PT. Bakrie yang belum
melakukan pembayaran. 4 Kedua, tersebarnya video plesiran ARB dengan seorang
artis. Ketiga, Hasil survei Lembaga Klimatologi Politik (LKP) memperlihatkan
rendahnya elektabilitas ARB yang berada pada angka 9,2%,5 lebih rendah
dibanding dengan dengan Jokowi dan Prabowo Subianto. Berdasarkan beberapa
pertimbangan di atas, menjadi faktor kuat mengapa ARB kemudian tidak ikut
bertarung dalam pilpres 2014.
3 AL Amin, “Rapimnas Golkar Menetapkan Ical Capres atau Cawapres”,
https://www.merdeka.com/, 18 Mei 2014. 4 Riska Zakiah, “Kegagalan Partai GOLKAR dalam Mengusung Aburizal Bakrie sebagai
Calon Presiden RI dalam Pilpres Tahun 2014”, (Program Sarjana Ilmu Politik, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2015), hal. 4. 5 Rakhmatullah, “Fraksi Partai GOLKAR Keukeuh usung ARB dalam Pilpres 2014”,
https://nasional.sindonews.com/, 28 September 2013.
50
Sehari setelah dilaksanakannya Rapimnas VI Partai GOLKAR tahun 2014,
melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai GOLKAR, Idrus Marham
mengungkapan bahwa Partai GOLKAR mantap mendukung pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Dukungan ini bersasal dari arahan
ARB selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai GOLKAR dalam
Rapimnas VI Partai GOLKAR. 6 Alasan yang diungkapkan ARB mengapa Partai
GOLKAR mendukung Prabowo-Hatta adalah:
Kalah dan menang di dalam pemilu bukan soal, apapun hasilnya yang harus
menang adalah seluruh rakyat Indonesia. Bagi saya pribadi, saya memberikan
dukungan kepada saudara Prabowo. Beliau bisa memimpin Indonesia ke depan.
Orang muda tentu mengharapkan Indonesia yang lebih baik, orang muda
membutuhkan Indonesia yang sangat dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia,
itulah yang bisa diberikan oleh prabowo. Indonesia yang lebih sejahtera, Indonesia
yang lebih mandiri, serta Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga Indonesia
akan dihormati oleh seluruh bangsa di Dunia. 7
Pernyataan yang diungkapkan ARB di atas menegaskan bahwa kalah dan
menang Partai Golkar dalam Pileg tidak lantas menjadikan Partai Golkar dapat
maju dalam Pilpres. Dalam hal ini faktor kemenangan tidak lagi ditentukan oleh
partai, melainkan berdasarkan faktor penokohan. Jelas dirinya tidak dapat maju
jika melihat pada faktor-faktor di atas. Namun, sangat disayangkan jika ternyata
keputusan untuk mendukung calon dari partai lain harus diambil, sedangkan
pasangan calon lain mengusung kader partai, yakni JK.
A.2. Krisis Kepemimpinan Partai GOLKAR
Partai politik memiliki fungsi pemandu kepentingan, di mana dalam
masyarakat terdapat berbagai bentuk kepentingan yang berbeda antar individu
6 Mansyur Faqih, “Alasan Partai GOLKAR Dukung Prabowo-Hatta”,
http://www.republika.co.id/, 19 Mei 2014. 7 Aburizal Bakrie, “Dukungan ARB Untuk Prabowo”, https://www.youtube.com/. 25 Juli
2014.
51
maupun kelompok yang saling bertentangan. Maka dari itu, untuk menampung
dan memadukan berbagai kepentingan yang ada, dibutuhkan sebuah partai
politik.8 Melalui partai politik, kepentingan-kepentingan yang yang berasal dari
individu maupun kelompok-kelompok digabungkan menjadi suatu alternatif-
alternatif kebijakan.
Kebijakan-kebijakan alternatif snediri merupakan hasil pertimbangan-
pertimbangan para elite. Tidak jarang keputusan elite politik dalam memutuskan
suatu kebijakan seringkali menghadirkan friksi dan penolakan. Meskipun
demikian, elite yang berkuasa dapat menggunakan posisinya untuk tetap
menetapkan suatu kebijakan dan mempengaruhi orang-orang agar dapat
mengikuti keputusannya. Seperti halnya yang terjadi dalam Partai GOLKAR
pasca pemilu 2014.
Dinamika konflik yang terjadi dalam Partai GOLKAR kemudian
berkembang pasca kekalahan Prabowo-Hatta. Kekecewaan beberapa elite dan
kader partai ketika ARB memutuskan untuk mendukung Prabowo-Hatta semakin
bertambah ketika hasil pemilu menyatakan bahwa Jokowi-JK merupakan
pemenang. Elite senior Partai GOLKAR yang turut terlibat dalam
penyelenggaraan Munas Riau tahun 2009 kemudian mengingatkan mengenai
perbedaan yang terdapat dalam rekomendasi pelaksanaan Munas yang tidak sesuai
dengan AD/ART Partai GOLKAR, yakni pelaksanaan munas yang dilakukan
8 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politiki (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hal. 119.
52
setiap lima tahun sekali. 9 Seperti yang disampaikan oleh Zainal Bintang, politisi
senior Partai GOLKAR:
Banyak kader Partai GOLKAR di daerah mempertanyakan mengapa Aburizal
tampak lebih sibuk dibandingkan dengan Hatta Rajasa yang menjadi cawapres
Prabowo. Saat Prabowo memutuskan untuk menarik diri dari tahapan pilpres, Hatta
Rajasa tak mendampingi Prabowo. Banyak Kader Partai GOLKAR di daerah
menyatakan kekecewaannya dengan langkah politik ical. Langkah terbaik yang
harus ditunjukkan ical saat ini adalah menerima masukan untuk menggelar munas
atau memilih untuk mengundurkan diri sebagai Pimpinan Partai GOLKAR.10
Tuntutan untuk mempercepat penyelenggaraan Munas kemudian muncul
dari beberapa kalangan karena melihat ARB yang terlalu sibuk mengurus KMP
ketimbang menyelenggarakan Munas. Tuntutan ini juga dilayangkan oleh Sentral
Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).11
Hal ini juga berkaitan dengan beberapa
kegagalan ARB sebagai Ketua Umum yang dinilai oleh SOKSI sebagai berikut:
9 Dalam AD/ART Partai Partai GOLKAR Pasal 30 Ayat (2) poin (a) berbunyi
Musyawarah Nasonal adalah pemegang kekuasaan tertinggi Partai yang diadakan sekali dalam 5
(lima) tahun. 10
Metro TV. “Wawancara dengan Zainal Bintang”, https://www.youtube.com/, 24 Juli
2014. 11
SOKSI adalah organisasi yang merupakan cikal bakal Partai GOLKAR . SOKSI sendiri
merupakan organisasi buruh atau pekerja seluruh Indonesia yang awal mulanya didirikan oleh
militer untuk mengimbangi keberadaan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia yang
dainggap radikal dan kekiri-kirian.
53
Tabel VI.A.2.1
Faktor-Faktor Kegagalan ARB Memimpin Partai GOLKAR
Menurut SOKSI12
No Faktor Kegagalan
1 ARB gagal membawa Partai GOLKAR mencapai target perolehan pileh sebesar
30% dan hanya memperoleh suara sebesar 14,4%.
2 ARB gagal mempertahankan dominasi kursi di DPR RI dengan berkurangnya
perolehan kursi dari 106 menjadi 91 kursi.
3 ARB gagal menjadi capres karena rendahnya elektabilitasnya dibanding dengan
calon lainnya.
4 ARB gagal menjadi cawapres karena tidak berhasil melakukan koalisi dengan
capres kuat dari partai lain.
5 Kebijakan ARB sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR berkoalisi dengan
pasangan Prabowo-Hatta telah gagal memenangkan pemilu.
6 Usul Ketua Dewan Pertimbangan Patai Partai GOLKAR Akbar Tandjung
kepada Prabowo-Hatta untuk mengundurkan diri pada proses pilpres merupakan
usulan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden dan dianggap telah menciderai demokrasi.
7 ARB dinilai telah gagal dalam mengelola partai, dan di bawah kepemimpinan
ARB, Partai GOLKAR dinilai telah dijadikan alat untuk memperjuangkan dan
mempertahankan kepentingan pribadi, korporasi dan kroni-kroninya.
8 ARB dinilai telah berbohong lantaran tidak menepati jajinya saat Munas ke-VIII
Partai GOLKAR di Pekanbaru, Riau, yakni janji akan membangun gedung DPP
Partai GOLKAR sebanyak 25 tingkat dan menyediakan dana abadi sebesar satu
triliun rupiah untuk Partai GOLKAR
9 Keputusan ARB dan beberapa partai untuk mejadikan Partai GOLKAR sebagai
partai oposisi dinilai telah naif dan tidak sesuai dengan ideologi kekaryaan
partai.
10 Keputusan ARB untuk berada pada oposisi pemerintahan dainggap sangat
merugikan kader partai yang duduk dalam pemerintahan.
11 Pemecatan kader partai yang bukan didasari pada pertimbangan prestasi,
dedikasi, loyalitas dan tidak tercela (PDLT).
12 Kebijakan Ketua Umum Partai GOLKAR yang memecat kader-kader Partai
GOLKAR karena mendukung pasangan Jokowi-JK dainggap merupakan suatu
upaya untuk memecah belah kader-kader Partai GOLKAR, mengingat bahwa
Jusuf Kalla merupakan kader partai dan Mantan Ketua Umum Partai.
Partai GOLKAR di bawah kepemimpinan ARB dinilai oligarki dan tidak
demokratis. Setiap keputusan yang diambil dinilai berdasarkan kepentingan
pribadi dan segelintir elite saja. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Mosca
bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu oligarki. Mosca menolak
12
Robinson, “Tuntutan SOKSI atas Kegagalan ARB Pimpin GOLKAR”, ,
www.rmolsumsel.com, 3 Agustus 2014.
54
klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk monarki, demokrasi, dan
aristokrasi. Menurutnya, selalu muncul kelas yang pertama, yang biasanya
jumlahnya sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara
kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili, serta
mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya,
dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalis organisme politik. 13
Jika melihat ke belakang konflik internal yang terjadi pada Partai GOLKAR
berakar pada melembaganya oligarki dalam kepemimpinan dan tidak berjalannya
fungsi partai yakni menghasilkan kader yang berintegritas. Fenomena konflik ini
mulai tampak dalam kepengurusan Partai GOLKAR hasil Munas Riau 2009 yang
kurang mengakomodasi para lawan politik Aburizal Bakrie, ketua umum terpilih.
Salah seorang di antaranya adalah Surya Paloh yang pada akhirnya memutuskan
untuk keluar dari Partai GOLKAR dan mendirikan Partai Nasdem, mengikuti
jejak beberapa elite partai, seperti Edi Sudrajat yang mendirikan Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI), Wiranto yang mendirkan Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura), dan Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra).
Pengelolaan sistem partai yang tidak demokratis terus melembaga dan
mewarnai kepemimpinan ARB dalam setiap kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan seringkali menghadirkan perbedaan dan kekecewaan bagi para elite
dan kader partai. Persoalan ini terus berlanjut hingga pada proses penyelenggaraan
13
P.Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal 202
55
Munas Bali pada 30 November hingga 3 Desember 2014. Para calon ketua umum
yang ingin berkompetisi dalam Munas Bali tidak memperoleh akses yang setara,
fair, dan terbuka. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan kekecewan
sebagain jajaran elite Partai GOLKAR sehingga mendorong berlangsungnya
Munas Partai GOLKAR di Jakarta yang berselang seminggu kemudian, yakni
pada 6 hingga 8 Desember 2014. 14
A.3. Dualisme Kepemimpinan Partai GOLKAR
Dualisme kepemimpinan dalam Partai GOLKAR merupakan salah satu
dampak yang hadir setelah konflik berkepanjangan dalam tataran elite Partai
GOLKAR. Konflik elite internal Partai GOLKAR bukanlah sebuah bentuk
fenomena baru yang terjadi pada Partai GOLKAR pasca reformasi. Jika melihat
ke belakang, konflik-konflik yang hadir seringkali dikaitkan dengan dua
momentum besar bagi partai, yakni Musyawarah Nasional Partai GOLKAR dan
pemilihan umum. Jika pada konflik internal Partai GOLKAR menghadirkan
wujud fragmentasi partai dengan keluarnya beberapa elite dan membentuk Partai-
partai “replika” dari Partai GOLKAR.15
Pada awalnya berdasarkan hasil rapat pleno disepakati bahwa Munas
Partai GOLKAR akan diselenggarakan pada bulan Januari tahun 2015. Namun,
tidak berapa lama keputusan ini mengalami perubahan dan menghasilkan
keputusan bahwa Munas Partai GOLKAR dipercepat di bulan November 2014.
Berdasarkan Hasil Rapimnas Partai GOLKAR pada tanggal 17-19 November,
14
Syamsuddin Haris, Tantangan Munaslub Partai GOLKAR , Harian Kompas tanggal 18
Februari 2016, hal. 6. 15
M. Toto Suryaningtyas, “Dinamika Partai Politik (Merunut Sejarah Konflik Partai Partai
GOLKAR)”, http://kompas.com/, 13 September 2017.
56
diumumkan bahwa Munas Partai GOLKAR akan dipercepat mengingat bahwa di
bulan Januari akan ada agenda penting di DPR RI dan APBN-P (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan) yang harus segera dibahas, hingga
kemudian keputusan mempercepat munas dilakukan untuk mempercepat status
Fraksi Partai GOLKAR di bulan Januari 2015.16
Beberapa elite menolak hasil Rapimnas Partai GOLKAR yang
mempercepat penyelenggaraan Munas Partai GOLKAR, dikarenakan
pertimbangan singkatnya jeda waktu yang membuat bakal calon ketua umum akan
kesulitan untuk mempersiapkan persyaratan hingga pendapat yang menilai bahwa
mempercepat munas merupakan strategi ARB agar dirinya dapat maju kembali
sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR dengan cara aklamasi.17
Dalam rapat pleno yang diselenggarakan 25 November Tahun 2014
membicarakan mengenai Munas Partai GOLKAR berakhir ricuh dan tidak
menemukan titik kesepakatan mengenai penyelenggaraan Munas. ARB dan
beberapa elite tetap bersikukuh untuk menyenggarakan munas pada tanggal 30
November, di lain sisi Agung Laksono dan beberapa elite tetap menolak
penyelenggaraan munas dipercepat. Rapat Pleno Partai GOLKAR yang dipimpin
oleh Agung Laksono tersebut kemudian menghadirkan keputusan pembentukan
Presidium Penyelamat Partai GOLKAR (PPPG) yang dipimpin oleh Agung
Laksono.
16
Aisyahani Tiara Puspita, “Lahirnya Kembali Partai Baru Pasca Munas?”, ,
http://www.kompasiana.com/, 27 November 2014. 17
Githa Farahdina, “Munas Partai GOLKAR dipercepat, Agun: Ini Desain Lama”,
http://news.metrotvnews.com/, 20 November 2014.
57
Agung Laksono mengungkapkan, tujuannya membentuk PPPG adalah
sebagai perwujudan upaya mempertahankan eksistensi Partai GOLKAR dan
melakukan perubahan di dalam internal partai.18
Pembentukkan PPPG dibarengi
dengan tugas PPPG untuk menyelenggarakan munas paling lambat bulan Januari
tahun 2015. Jika melihat lebih jauh pembentukkan PPPG sendiri merupakan
sebuah bentuk kesinambungan dari dampak krisis kepemimpinan yang terjadi di
dalam Partai GOLKAR. Krisis yang terjadi kemudian mengakibatkan terjadinya
friksi-friksi pada setiap pengambilan keputusan partai yang terus berkembang di
dalam tataran elite Partai GOLKAR.
Munas Partai GOLKAR di Bali kemudian tetap diselenggarakan pada 30
November 2014. Hasil Munas Partai GOLKAR di Bali ini menyatakan ARB
terpiliha secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR periode 2014-
2019. Manuver politik tetap dilakukan oleh PPPG yang diketuai oleh Agung
Laksono. Pada 4 Desember PPG mengajukan gugatan ke pengadilan guna
melaporkan keabsahan hasil munas di Bali. PPPG, melalui Lauren Siburian
mengungkapkan:
Munas di Bali itu tidak sah, karena kalau bukan dilaksanakan pada tanggal 8
Oktober sesuai dengan Anggaran Dasar Partai GOLKAR atau pada Januari 2015
sesuai dengan rekomndasi Munas Riau dan Rapat Pleno DPP Partai GOLKAR
tanggal 13 November 2014. Itu munas yang sah, kalau tidak 8 Oktober ya Januari
2015. Sikap PPPG menanggapi Munas Bali adalah dengan menyelenggarakan
munas sendiri.
Selang beberapa hari dari penyelenggaraan Munas Bali, diadakan pula
Munas tandingan oleh PPPG di Ancol pada tanggal 6-8 Desember 2014. Dalam
munas ini menghadirkan tiga nama bakal calon Ketua Umum Partai GOLKAR
18
Mandra Pradipta, “Agung Laksono bentuk Presidium Penyelamat Partai Partai
GOLKAR ”, http://www.teropongsenayan.com/, 20 November 2014.
58
yakni Agung Laksono, Priyo Budi Santoo, dan Agung Gumiwang Kartosasmita.
Beberapa hari sebelumnya, Agung Laksono dan Agung Gumiwang menemui
Jusuf Kalla untuk meminta restu menyelenggarakan munas. Munas Ancol
kemudian mengeluarkan hasil voting yang menyatakan kemenangan Agung
Laksono sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR periode 2014-2019.
Kedua kubu pun sama-sama saling mendeklarasikan kemenangannya dan
saling mengumumkan kepengurusan versi munas masing-masing. Pada tanggal 8
Desember kedua kubu kemudian mendaftarkan kepengurusan versi munas
masing-masing ke Kementerian Hukum dan HAM. Berikut merupakan susunan
kepengurusan hasil Munas Partai GOLKAR di Bali dan Munas Partai GOLKAR
di Ancol:
59
Tabel VI.A.3.1
Kepengurusan Hasil Munas Bali dan Munas Ancol1
Munas Bali Munas Ancol
Jabatan Nama Jabatan Nama
Ketua Dewan
Pertimbangan
Akbar Tandjung Ketua Dewan
Pertimbangan
Siswono Yudho Husodo
Ketua Umum Aburizal Bakrie
Ketua Umum Agung Laksono
Wakil Ketua
Umum
Nurdin Halid
Theo L Sambuaga
Setya Novanto
Syarif Cicip
Sutaradjo
Fadel Muhammad
Siti Hediadi (Titiek
Soeharto)
Ahmadi Nur Supit
Ade Komarudin
Aziz Syamsuddin
Wakil Ketua
Umum
Pariyo Budi
Santoso
Agus Gumiwang
Kartasasmita
Yorrys Raweyai
Sekretaris
Jenderal
Idrus Marham Sekretaris
Jenderal
Zainuddin Amali
Bendahara
Umum
Bambang Soesatyo Bendahara
Umum
Sari Yuliati
Jika melihat pada fenomena kehadiran dualisme kepemimpinan Partai
GOLKAR, pada hakikatnya konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses
terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi dari aktor-aktor yang
berkepentingan.2 Kubu ARB berupaya mempertahankan posisi dalam Partai
GOLKAR dan Kubu Agung Laksono berupaya agar ARB tidak lagi berkuasa dan
mengininkan terjadinya perubahan dalam internal partai.
Perebutan kekuasaan antar kedua kubu merupakan suatu upaya untuk
memperoleh kedudukan dan pengakuan. Seperti yang diungkapkan Lasswell dan
1 Diolah dari media berita www.detiknews.com, www.kompas.com dan www.repulika.com.
2 Syamsul Hadi, Disintegrasi pasa Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika
Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 272.
60
Kaplan mengenai kekuasaan yakni “a relationship in wich one person or grup is
able to determie the actions of another in the direction of the former’s own ends”
3 (sebuah hubungan di mana satu orang atau kelompok dapat menentukan
tindakan orang lain ke arah tujuan awal sendiri). Maka tidak heran jika friksi
berkepanjangan dalam tataran elite berupaya untuk saling mempengaruhi elite-
elite serta kader-kader lainnya agar mengikuti keinginan segelintir orang dalam
partai.
Konflik yang terjadi dalam Partai GOLKAR sejak tahun 2014 ini menarik,
karena berbeda dari konflik-konflik elite sebelumnya. Jika sebelumnya konflik-
konflik yang terjadi pasca Orde Baru selalu melahirkan partai-partai baru, dalam
konflik ini kedua kubu sama-sama memepertahankan posisinya dalam internal
partai. Konflik kedua kubu kemudian menghadirkan dualisme kepemimpinan di
dalam partai.
A.4. Pemecatan Kader dan Pencopotan Jabatan
Perpecahan Partai GOLKAR semakin meruncing karena Munas Partai
GOLKAR di Bali melakukan pemecatan terhadap kader Partai GOLKAR yang
dianggap tidak patuh pada keputusan partai. Pemecatan tersebut bahkan diikuti
dengan pencabutan hak kepengurusan periode 2014-2015 dan penarikan
keanggotaan mereka dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
3 Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan, A Framework for Political Inquiry (New
Haven: Yale University Press, 1950), hal. 74.
61
(DPR RI).4 Berikut adalah nama-nama kader partai yang dipecat pada Munas
Bali:
Tabel. VI.A.4.1
Nama-Nama Kader Partai GOLKAR yang Dipecat pada Munas Partai
GOLKAR di Bali5
No Nama No Nama
1 T.B. Ace Hasan Syadzily 9 Leo Nababan
2 Lamhot Sinaga 10 Agung Laksono
3 Melchias Markus Mekeng 11 Priyo Budi Santoso
4 Andi Sinulingga 12 Yorrys Raweyai
5 Djasri Marin 13 Ibnu Munzier
6 Laurens Siburian 14 Ricky Rahmadi
7 Zainuddin Amali 15 Agun Gunandjar
8 Justin Nasution
Beberapa elite partai yang berseberangan dengan keputusan Partai
GOLKAR untuk mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa harus mengalami
pemecatan keanggotannya sebagai kader Partai GOLKAR. Seperti yang dialami
Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Mereka adalah kader partai yang terpilih menjadi anggota DPR fraksi Partai
GOLKAR. Selain harus menerima putusan pemecatan, mereka juga harus
menanggalkan jabatan mereka sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019.
Pemecatan yang dilakukan berdasarkan pada pernyataan ARB tentang
keputusan hasil Rapimnas ke-VI yang mengatakan “jika ada kader partai yang
ingin mengajukan dan diminta partai lain maka mereka tidak dapat menggunakan
organisasi ataupun atribut Partai GOLKAR, dan harus menanggalkan semua
jabatannya di legislatif maupun dalam struktural Partai GOLKAR.” Namun,
4 Debora Sanur L, “Dinamika Internal Partai Partai GOLKAR dan Dampaknya terhadap
Kinerja DPR RI”, Jurnal Info Singkat Pemerintahan dalam Negeri: Kajian Singkat terhadap Isu-
Isu Terkini Vol. VI, No.23/I/P3DI/Desember 2014, hal. 18-19. 5 Diolah dari media berita www.detiknews.com, www.kompas.com dan www.repulika.com
.
62
keputusan pemecatan dan pencopotan jabatan dinilai tidak berdasarkan hasil
musyawarah kesepakatan bersama.
A.5. Ketidakpastian Arah dukungan Politik Partai GOLKAR
Ketidakjelasan kekuasaan Partai GOLKAR mengakibatkan keputusan-
keputusan politik partai menjadi tidak jelas dan seringkali berhenti di tengah jalan.
Kegamangan ini sempat terjadi tatkala pengambilan keputusan untuk penempatan
Partai GOLKAR yang berada pada oposisi pemerintahan atau dalam posisi
pemerintahan menjadi tidak tentu.
Keputusan Partai GOLKAR untuk mendukung Prabowo diambil oleh ARB
selaku Ketua Umum Partai GOLKAR setelah melakukan serangkaian pendekatan
dengan beberapa partai politik. Sebelum memutuskan untuk mendukung Prabowo,
ARB sempat mendatangi Partai Demokrat melalui Susilo Bambang Yudhoyono
dan PDI Perjuangan melalui Megawati, namun dirasa tidak memiliki titik temu
dengan dua partai tersebut.
Setelah sebelumnya melihat tidak ada lagi kesempatan untuk dirinya
menjadi cawapres, ARB kemudian melakukan upaya-upaya konsolidasi politik
dengan partai yang sekiranya kemudian hari jika menang dapat memberikan ruang
bagi Partai GOLKAR di pemerintahan. Upaya yang dilakukan ARB ini
merupakan suatu cara mencari kubu mana yang sekiranya lebih menguntungkan.
Upaya pragmatis yang dilakukan ARB dengan menjatuhkan pilihan pada
Prabowo, didasari pada hasil kesepakatan dengan Prabowo yang akan menjadikan
ARB sebagai salah satu menteri utama di dalam kabinetnya jika terpilih dalam
63
Pilpres 2014 .6 Seperti halnya yang diungkapkan oleh Peneliti Ilmu Politik LIPI,
Siti Zuhro:
Ya kita sudah terbiasa dengan Partai GOLKAR, dia itu bermain di banyak kaki,
dan setiap pemilu seperti itu. Dia akan hadir di detik-detik terakhir, dan detik-detik
terakhir itu dia ingin menghadirkan dengan jumlah suara yang dia miliki. Jadi
adalah dengan jumlah suara yang mereka miliki yang adalah pemenang pemilu
kedua. Karen pemilu itu selalu berkaitan dengan dukungan, tapi kita lupa juga yang
dipilih di pilpres itu bukan partai tapi sosok calon, itu yang harus ditekankan.7
Sikap penolakan kemudian hadir dari berbagai elite serta kader Partai
GOLKAR tatkala Partai GOLKAR melalui ARB menyatakan dukungannya
terhadap pasangan Prabowo-Hatta pada pemilu presiden dan wakil presiden 2014.
Keputusan Partai GOLKAR untuk tidak mencalonkan kadernya dan lebih
memilih bergabung mendukung pasangan Prabowo-Hatta menghadirkan friksi di
dalam internal partai. Kritik yang hadir juga muncul dari politikus muda Partai
GOLKAR Tubagus Ace Hasan Syadzily selaku kader Partai GOLKAR, dirinya
mengungkapkan:
Sebagai partai pemenangan pemilu legislatif tahun 2014 dengan menempati posisi
kedua, rasanya tidak pantas jika Partai GOLKAR justru mendukung capres dan
cawapres yang diusung dari partai lain, bukan dari Partai GOLKAR. Pada saat itu
saya pribadi berharap Partai GOLKAR dapat mempersilahkan kader untuk
mendukung Jokowi-JK, tentu karena di sana terdapat kader Partai GOLKAR yakni
JK.8
Konflik yang terjadi tidak hanya menghadirkan dilema dalam tata para elite
partai, namun juga dalam tataran kader. Di mana para kader mengalami
kegamangan kubu mana yang kebijakannya harus mereka patuhi. Di satu sisi,
6 Van, “Jabatan Kunci yang diberikan Prabowo ke Ical: Menteri Utama”,
http://news.detik.com/, 19 Mei 2014. 7 Wawancara dengan Siti Zuhro, Peneliti Ilmu Politik LIPI dan Pengamat Politik, di
Gedung Widya Graha LIPI lantai 3 pada 5 September 2017 pukul 13.00 WIB. 8 Wawancara dengan T.B Ace Hasan Syadzily, Anggota DPR RI dari Partai GOLKAR
dan Wakil Sekretaris Jenderal Partai GOLKAR, di Gedung DPR RI pada 12 Mei 2017 Pukul
13.30 WIB.
64
posisi kedudukan ARB masih menjadi dominasi di tataran kader bawah. Namun,
di satu sisi tidak sedikit para kader yang masih menghormati dan mengagumi
sosok JK yang juga notabennya adalah mantan ketua umum.
A.6. Kegagalan dalam Pilkada
Akibat hadirnya dualisme kepemimpinan partai, dan tidak ada kepengurusan
yang benar-benar disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)
mengakibatkan banyak kader potensial yang tidak bisa mengikuti Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015, bahkan ada beberapa kader yang
akhirnya menyebrang ke partai lain agar dapat ikut serta dalam Pilkada 2015.
Prestasi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pileg 2014 merosot jauh jika melihat
pada hasil Pilkada Serentak 2015 sebagai berikut:
Tabel. VI.A.6.1
Perbandingan Perolehan Kemenangan Partai Politik
dalam Pileg dan Pilkada Serentak 20159
No Partai
Perolehan
Pileg 2014 No Partai
Perolehan
Pilkada
2015
1 PDI Perjuangan 23.681.471 1 PDI Perjuangan 105 Daerah
2 Partai GOLKAR 18.432.312 2 Partai Gerindra 87 Daerah
3 Partai Gerindra 14.760.371 3 Parta Nasdem 85 Daerah
4 Partai Demokrat 12.728.913 4 PAN 80 Daerah
5 PKB 11.198.957 5 PKS 75 Daerah
6 PAN 9.481.621 6 Partai Demokrat 68 Daerah
7 PKS 8.480.104 7 PKB 65 Daerah
8 Partai Nasdem 8.402.812 8 Partai Hanura 63 Daerah
9 Diolah dari data KPU, “SK KPU Nomor 411/kpts/KPUTAHUN2014 tentang Penetapan
Hasil Pemilu Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota secara Nasional
dalam Pemilu Tahun 2014”.
65
9 PPP 8.157.488 9 Partai GOLKAR 49 Daerah
10 Partai Hanura 8.157.488 10 PBB 32 Daerah
11 PBB 1.825.750 11 PKPI 31 Daerah
12 PPP 1.143.094 12 PPP 28 Daerah
Perolehan kursi pemerintahan yang diperoleh Partai GOLKAR dalam
Pilkada 49 daerah merupakan sebuah keterpurukan bagi Partai GOLKAR. Jika
melihat posisi Partai GOLKAR dalam Pemilu 2014 yang menempati posisi teratas
kedua setelah PDI Perjuangan, dan dalam Pilkada Serentak 2015 Partai GOLKAR
merosot berada pada posisi sembilan setelah Hanura.
Situasi posisi partai Partai GOLKAR yang sempat tidak mendapatkan
legalisasi kepengurusan menjadi faktor utama kegagalan dalam Pilkada Serentah
2015. Hingga pada akhirnya Partai GOLKAR dapat ikut serta dalam Pilkada 2015
merupakan hasil keputusan PTUN kepengurusan partai dikembalikan kepada hasil
Munas Riau tahun 2009.10
Keputusan tersebut membuat Partai GOLKAR dapat
mengikuti Pilkada Serentak 2015 meskipun dalam situasi internal partai yang
masih terpecah dua kubu. Meskipun dapat mengikuti Pilkada Serentak 2015,
namun hasil yang diperoleh Partai GOLKAR dalam pilkada tidak dapat menutupi
situasi konflik internal yang sedang terjadi dalam partai.
Kegagalan Partai GOLKAR dalam Pilkada Serentak 2015 merupakan buah
dari konflik elite partai yang berkepanjangan. Partai yang seharusnya menjalankan
fungsinya sebagai pengendali konflik bahkan tidak mampu menyelesaikan konflik
internal partainya sendiri dengan segera. Dualisme kepemimpinan yang berakibat
10
M. Iqbal, “Putusan PTUN: Kepengurusan Golkar Kembali ke Hasil Munas Riau”,
www.detik.com, 18 Mei 2015.
66
pada tidak adanya kubu yang sah secara hukum juga sempat terancam membuat
Partai GOLKAR tidak dapat ikut serta dalam Pilkada Serentak 2015.
B. Dampak Konflik Elite Partai GOLKAR terhadap Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla
B.1. Penyelesaian Konflik Elite Partai GOLKAR
Upaya penyelesaian konflik dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR
antara Kubu Munas Bali dan Munas Ancol dilakukan oleh berbagai pihak, baik itu
berasal dari kedua kubu yang berkonflik maupun melalui pihak ketiga. Kedua
kubu yang saling memperebutkan kekuasaan berupaya mengesahkan
kepengurusan masing-masing dengan melakukan berbagai cara, dari mulai
mendaftarkan kepengurusan ke Kemenkumham hingga mengajukan tuntutan ke
pengadilan.
Dalam menganalisis peran elite partai dalam konflik dualisme Partai
GOLKAR dan upaya penyelesaian konflik itu sendiri, melihat konflik ini perlu
dipahami bahwa terdapat dua elemen yang tidak bisa dipisahkan, yakni elite dan
kekuasaan. Kedua hal ini merupakan suatu bentuk keterikatan, karena elite sendiri
merupakan segelintir orang yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan
kekuasaan merupakan salah satu faktor terbentuknya elite.
Seperti yang diungkapkan oleh Gaetano Mosca, bahwa dalam masyarakat
terdapat dua kelas manusia, yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai.11
Elite merupakan orang-orang yang mampu menduduki jabatan dan meraih
kekuasaan di dalam masyarakat. Elite Partai GOLKAR sendiri merupakan orang-
11
S.P. Varma, Teori Politik Modern. Penyunting Tohir Efendi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), hal. 200.
67
orang yang menduduki jabatan dalam internal partai dan pemerintahan. seperti
yang dikemukakan Wakil Badan Legislasi Firman Soebagyo yang juga
merupakan kader Partai GOLKAR, yaitu elite merupakan orang-orang yang
berada di pemerintahan dan di dalam struktural organisasi (Partai GOLKAR).12
Konflik bersifat omnipresent, kejadian setiap relasi sosial di manapun dalam
dunia hidup masyarakat manusia. Konflik merupakan proses perbedaan,
pertentangan, dan atau perbenturan di antara berbagai aktor kepentingan sumber
daya material maupun nonmaterial pada konteks sosial tertentu.13
Tidak terkecuali
konflik yang terjadi dalam tataran elite khususnya Partai GOLKAR, di mana para
elite saling berusaha mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan demi
kepentingan pribadi maupun kelompok masing-masing.
Dalam upaya penyelesaian konflik dualisme kepemimpinan yang terjadi
dalam Partai GOLKAR dilakukan pertemuan-pertemuan agar diupayakan untuk
dapat mencapai rekonsiliasi atau perdamaian, pemecahan perselisihan, dan
penyelesaian bersama. Pada kesempatan tersebut dapat pula dilakukan proses-
proses lain seperti mediasi, fasilitasi, dan negosiasi. 14
Keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaiakn konflik diperlukan sebagai
pihak penengah. Dalam hal ini pihak ketiga yang berperan sebagai penengah
haruslah memiliki empati, kemauan untuk mendengarkan, mengikuti proses
12
Wawancara dengan Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI dan Elite
Partai GOLKAR, di gedung Nusantara 1 DPR RI pukul 13.00 WIB. 13
Anis Farida, “Jalan Panjang Penyelesaian Konflik Kasus Lumpur Lapindo”, JSP:
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 17, No. 2, November 2013, hal. 148. 14
Fredian Tonny Nasdian, Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), hal. 2013.
68
pembicaraan, melihat sesuatu secara jernih, tidak langsung secara gegabah
menentukan keputusan.
Upaya penyelesaian konflik menurut Jhon Galtung Peacemaking.
Merupakan proses yang memiliki tujuan mempertemukan atau merekonsiliasi
sikap politik dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi,
arbitrasi terutama pada level elite atau pimpinan. Di mana dalam hal ini elite yang
berkonflik terlebih dahulu menyelesaikan konflik melalui upaya-upaya mediasi
dalam tataran elite itu sendiri.
Setelah kedua kubu mendaftarkan kepengurusan masing-masing ke
Kemenkumham tanggal 16 Desember 2014. Menteri Hukum dan HAM Yasonna
Laoly menolak untuk mengesahkan kepengurusan dari kedua kubu, baik itu Kubu
Munas Bali maupun Kubu Munas Ancol. Keputusan ini mengarah pada UU No. 2
Tahun 2011 Pasal 32 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik.15
Menurut Yasonna Laoly kedua kubu sama-sama sah karena
berkas dan persyaratan kedua kubu sudah lengkap.
Pada saat yang bersamaan Kubu Munas Ancol yang diketuai Agung
Laksono langsung membentuk tim islah (musyawarah antara kedua belah pihak)
yang akan menjadi juru runding antara Kubu Munas Bali dan Kubu Munas Ancol.
Kedua Kubu sama-sama sudah memiliki mahkamah partai. Kubu Munas Bali
terdapat Andi dan Muladi dan di Kubu Munas Ancol mahkamah partai diketuai
15
UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 32 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik Berbunyi “(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik
sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksudkan pada ayat
(1) dilakukan oleh suatu mahkama Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai
Politik. dst
69
oleh Andi Mattalatta.16
Sementara di Kubu Munas Bali lebih memilih untuk
melayangkan gugatan ke pengadilan. ARB menyampaikan, “Secara singkat, saya
mengatakan tentang Partai GOLKAR, bahwa perundingan jalan terus. Tetapi
kemarin kami telah menyampaikan kepada pengadilan Jakarta Barat untuk tetap
menyelesaikan persmasalahan sehingga ada keputusan”.17
Pada islah 11 Januari 2014 Mahkamah Kubu Munas Bali tidak menghadiri
islah tersebut dan lebih memutuskan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Jalan hukum ditempuh dengan alasan agar mempercepat kepastian hukum dan
pertimbangan bahwa upaya perundingan islah hanya akan memperkeruh keadaan.
Sebelumnya pada 5 Desember Kubu Agung Agung Laksono yang pada waktu itu
melalui Presidium Penyelamat Partai GOLKAR telah melayangkan guagatan ke
Pengadilan Jakarta Pusat.18
Agenda islah kemudian kembali dilaksanakan pada 3 Maret 2015. Putusan
Mahkamah Partai GOLKAR yang dibacakan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) Partai GOLKAR, Slipi, condong memenangkan kepengurusan hasil
Musyawarah Nasional Ancol yang diketuai Agung Laksono. Alasannya, dalam
sidang yang dipimpin Muladi itu, dua anggota Mahkamah Partai GOLKAR
memenangkan kubu Agung, sedang dua lainnya memilih tak menyimpulkan
keabsahan salah satu kubu. Dua anggota mahkamah lainnya, Andi Mattalata dan
Djasri Marin dengan tegas memenangkan kubu Agung Laksono. Dalam
16
Muhyidin, “Kubu Agung Bentuk Tim Negosiasi untuk Islah”,
https://nasional.tempo.co/, 16 Desember 2014. 17
Sabrina Asril, “Bertemu Jokowi, Aburizal Bakrie Nyatakan Islah Partai GOLKAR
Bergantung Pengadilan”, http://nasional.kompas.com/, 13 Januari 2014. 18 Van, “Gugat Agung Cs, Kubu Ical: Tak Perlu Lagi Islah Basa-Basi!”,
https://news.detik.com/, 13 Januari 201.
70
pertimbangannya Djasri dan Andi mengatakan pelaksanaan Munas Bali yang
memenangkan ARB tidak berjalan demokratis.19
Berdasarkan hasil islah, rekomendasi yang diberikan Hakim Muladi dan
Natabaya adalah sebagai berikut:20
1. Menghindari the winner takes all.
2. Rehabilitasi kader yang dipecat.
3. Apresiasi pihak yang kalah dalam kepengurusan.
4. Pihak yang kalah berjanji tidak akan membentuk partai baru.
Rekomendasi-rekomendasi yang diberikan terlihat bahwa terdapat upaya
mengoreksi kebijakan-kebijakan yang dilakukan ARB selama memimpin. Seperti
ketika di masa awal kepemimpinannya, ARB dinilai tidak memberikan ruang bagi
kubu lawan ketika dirinya menang. Rekomendasi tersebut juga berusaha
memperbaiki situasi ketika ARB memecat kader partai secara sepihak karena
tidak mengikuti keputusannya untuk mendukung Prabowo-Hatta.
Bisa dikatakan konflik elite Partai GOLKAR pada saat itu merupakan
konflik terpanjang dan terparah dalam sejarah politik Partai GOLKAR. Melihat
pada lamanya kurun waktu dan alotnya upaya-upaya menyelesaikan konflik
membuat Partai GOLKAR dalam kurun waktu 2014-2016 awal merupakan masa
terkelam partai.
Terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR
merupakan titik akhir konflik dualisme kepemimpinan yang terjadi dalam internal
partai sejak tahun 2014. Dalam kepungurusannya sebagai bentuk mempersatukan
kedua pengurusan yang saling berkonflik, Setya Novanto berusaha menyatukan
19
Ira Guslina Sufa, “Kisruh Partai GOLKAR, Mahkamah Partai Condong Menangkan
Kubu Agung”, https://nasional.tempo.co/, 3 Maret 2015. 20
Bpn, “Ini Isi Amar Putusan Mahkamah Partai Golkar”, https://m.detik.com/, 10 April
2015.
71
kedua kubu dengan menempatkan kepengurusan masing-masing kubu berada
dalam satu kepengurusan di bawah pimpinannya. Kepengurusan yang dibentuk
oleh Setya Novanto memang terlihat gembung, hal ini terjadi karena banyaknya
bidang-bidang baru yang dibentuk guna menyatukan kedua kubu yang
sebelumnya saling menjabat di masing-masing kepengurusan. Berikut adalah
struktur kepengurusan gembung yang berada di bawah kepemimpinan Setya
Novanto:
Tabel. VI.B.1
Tabel Pengurus Partai GOLKARTahun 2016-202121
Struktur Jabatan Nama Kubu
Dewan
Pembina
Ketua Aburizal Bakrie Munas Bali
Wakil Ketua Theo L Sambuga
Sharif Cicip Soetardjo
Ade Komarudin
Munas Bali
Munas Bali
Munas Bali
Sekretaris Fadel Muhammad Munas Bali
Anggota - Priyo Budi Santoso
- Rully Hasrul Azwar
- Hutomo Mandala
Putra (Tommy
Soeharto)
- Marzuki Darusman
- Hafiz Zawawi
- Paskah Suzeta
- Iris Indra Mukti
Munas Ancol
Munas Bali
-
-
-
-
Munas Bali
Dewan
Kehormatan
Partai
GOLKAR
Ketua BJ Habibie -
Wakil Ketua - Akbar Tandjung
- Luhut Pandjaitan
Munas Bali
-
Anggota - Ginandjar
Kartasasmita
- Abdul Latief
- HM Hatta
- Ihsan Soelistyo
- Otce Junjunan
- Muhsin Rida
- Tjunjum Irawan
-
-
-
-
-
-
-
Dewan Pakar Ketua Agung Laksono Munas Ancol
Wakil Ketua -Pontjo Sutowo,
-Hajriyanto Y Thohari,
-Siti Hediati Hariyadi
(Titiek Soeharto),
-Mahyuddin
-
-
Munas Bali
-
21
Diolah dari berberapa sumber media berita nasional.kompas.com, www.detiknews.com
dan www.republika.com.
72
Sekretaris Firman Soebagyo Munas Bali
Anggota - Nasir
- Indra J Piliang
- M Osa
- Haerudin Simatupang
- Farida
- Yulianti Habibi
- Dede Sumarjaya
- Chester Sinaga
- Lili Asudiredja
- Wati Amir
Munas Bali
Munas Ancol
-
-
-
-
-
-
-
-
Pengurus
Harian Partai
GOLKAR
Ketua Setya Novanto Munas Bali
Sekretaris Jenderal Idrus Marham Munas Bali
Wakil Sekjen - Emanuel I Beligur,
- Bowo Sidik Pangarso
- Adies Kadir
- Maman Abdurrahman
- Jerry Sambuaga
- Dave Laksono
- Andi Nurson
- Muhtarudin
- Ace Hasan Syadzily
- Sudirman Almun
Munas Bali
-
-
-
-
-
-
-
Munas Ancol
-
Bendahara Umum Robert J. Kardinal Munas Bali
Wakil Bendahara - Eka Sastra
- Arman Amir
- Dewi Yunus
- Andika Hasruni
- Tety Kadi
- Reza Herwindo
Munas Bali
-
Munas Bali
-
-
-
Ketua Harian Nurdin Halid Munas Bali
Kahar Muzakir Munas Bali
Korbid Polhukam: Yorrys Raweyai Munas Ancol
Korbid kajian Strategis dan
SDM:
Letjen Purn Lodewijk
Freidrich Paulus
-
-
Korbid Pemenangan Pemilu
(PP) Indonesia I (Jawa dan
Sumatera):
Nusron Wahid Munas Ancol
Korbid Pemenangan Pemilu
Indonesia II (Bali, Nusa
Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua):
Ahmad Hidayat Mus Munas Bali
Korbid Kesra: Roem Kono Munas Bali
Korbid Perekonomian: Airlangga Hartarto Munas Bali
Ketua Bidang Organisasi
keanggotaan dan daerah:
Freddy Latumahina Munas Bali
Ketua Bidang Organisasi: Ibnu Munzir Munas Ancol
Ketua Bidang Kerjasama
Ormas dan Lembaga
Kepartaian:
Rambe Kamarul Zaman Munas Bali
Ketua Bidang Ideologi dan
Kebijakan Publik:
Happy Bone Zulkarnain Munas Bali
Ketua Bidang Pertahanan dan
Keamanan:
Indra Bambang Utoyo Munas Bali
Ketua Bidang Luar Negeri: Meutya Hafid Munas Bali
73
Ketua Bidang Pengembangan
SDM:
Syamsul Bahri -
Ketua Bidang Pengabdian
Masyarakat:
Agus Gumiwang Munas Ancol
Ketua Bidang Kesra: Mujib Rahmat -
Ketua Bidang
Ketenagakerjaan:
Ali Wongso Sinaga Munas Ancol
Ketua Bidang Koperasi,
Wirausaha, dan UKM:
Idris Laena -
Ketua Bidang Pelayanan
Sosial:
Edi Kuntadi -
Ketua Bidang Energi dan
Energi Terbarukan:
Eni Maulani Saragih Munas Bali
Ketua Bidang SDA dan
Lingkungan Hidup
Satya Widya Yudha Munas Bali
Ketua Bidang Perdagangan dan
Industri:
Erwin Aksa Munas Bali
Ketua Bidang Jasa Keuangan
Perbankan:
Taufan Rotorasiko -
Ketua Bidang Infrastruktur
Transportasi:
Muhidin M Said Munas Bali
Ketua Bidang Kemaritiman: Kapten Anton
Sihombing
Munas Bali
Ketua Bidang Ekonomi
Kreatif:
Bambang R Sudomo -
Ketua Bidang Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Aziz Syamsudin Munas Bali
Ketua Bidang Otonomi Khusus Klemen Pinal -
Ketua Bidang Pembangunan
Daerah dan Desa:
Zainudin Amali Munas Ancol
Ketua Bidang Pendidikan dan
Cendekiawan:
Ferdiansyah Munas Bali
Ketua Bidang Pemberdayaan
Perempuan:
Ulla Nurachwaty Munas Bali
Ketua Bidang Pemuda dan
Olahraga:
Fahd Arafiq Munas Bali
Ketua Bidang Kebudayaan: Tantowi Yahya Munas Bali
Ketua Bidang Kerohanian: M Ali Yahya Munas Bali
Ketua Bidang Tani dan
Nelayan:
Andi Ahmad Dara -
Ketua Bidang Hukum dan
HAM:
Rudi Alfonso Munas Bali
Ketua Bidang Media dan
Penggalangan Opini:
Nurul Arifin Munas Bali
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Sumatera I (Aceh dan
Sumut):
Andi Sinulingga Munas Ancol
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Sumatera II (Sumbar,
Jambi, Riau Kepri):
Darul Siska Munas Bali
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Sumatera III (Sumsel,
Bandar Lampung, Bengkulu):
Dody Alex Noerdin -
74
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Jawa I (Jakarta dan
Jabar)
Agun Gunandjar Munas Ancol
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Jawa II (Jateng dan
DIY):
Bambang Soesatyo Munas Bali
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Jawa III (Jatim)
Sigit -
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Kalimantan:
Andi Sofyan Hasan -
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Bali, Nusa Tenggara:
AA Bagus Adi
Mahendra
-
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Sulawesi:
Hamka Munas Bali
Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Timur (Maluku, Papua,
Papua Barat):
Aziz Samuel -
Berdasarkan susunan kepengurusan Munaslub Partai GOLKAR di Bali,
upaya Setya Novanto menyatukan kedua kubu yang berkonflik dalam satu
pengurusan bisa dikatakan berhasil. Meskipun jika dilihat dengan seksama,
beberapa posisi penting dalam kepengurusan lebih banyak diperuntukan bagi
orang-orang yang sebelumnya memihak pada Munas Bali. Terlihat dengan jelas
bahwa soliditas yang dibangun oleh Setya Novanto merupakan soliditas semu,
guna tetap mempertahankan posisi Partai GOLKAR dalam perpolitikan di
Indonesia dan memperoleh posisi dalam pemerintahan. Seperti yang disampaikan
oleh Peneliti Ilmu Politik LIPI Siti Zuhro:22
GOLKAR kembali bersatu tapi ada tanda petik, namun hanya sebuah “soliditas
semu”. Soliditas semu ini terjadi hanya karena GOLKAR mendukung pemerintah,
tapi ini soliditas semu yang suatu hari nanti kalau sudah tidak berada dalam
kekuasaan akan kembali tercabik-cabik kembali. Konfik internal membuat
tentunya, institusi GOLKAR lemah, dan dalam kondisi seperti itu membuat
GOLKAR mudah tertarik ke mana saja. Dalam hal ini arikan-tarikan itu hanya
mengarah pada kepentingan sesaat, dan ini justru tidak membesarkan institusi
GOLKAR selain hanya untuk memberikan relief (bantuan) sesaat, itu saja dan
bagaimana nasib GOLKAR ke depannya.
22
Wawancara dengan Siti Zuhro Penliti Ilmu Politik LIPI.
75
Banyaknya kepentingan-kepentingan dalam tataran elite partai yang
menimbulkan friksi berkepanjangan kemudian dipersatukan dengan kepentingan
bersama, yakni mempertahankan eksistensi partai di perpolitikan dan
pemerintahan. Meskipun perlu digarisbawahi bahwa soliditas yang terbentuk
merupakan “soliditas semu”.
B.2. Keterlibatan Pemerintah terhadap Upaya Penyelesaian Konflik
Internal Partai GOLKAR
Keterlibatan pihak eksternal terhadap penyelesaian konflik internal Partai
GOLKAR di satu sisi merupakan sebuah alternatif dalam menyelesaikan konflik,
namun di sisi lain juga dinilai terdapat unsur kepentingan dalam keterlibatannya.
Alternatif ini diambil tatkala konflik yang terjadi tidak kunjung dapat diselesaikan
oleh internal yang berkonflik. Pihak eksternal dalam hal ini menjadi pihak ketiga
sebagai penengah dari dua kubu yang berkonflik. Seperti yang diungkapkan
Peneliti Ilmu Politik LIPI Firmaan Noor mengungkapkan:
Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap kali dibutuhkan
dalam rangka segera menghentikan konflik baik yang bersifat sementara ataupun
permanen. Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti mampu
dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan telah
dianggap tidak mungkin dihentikan.23
Dalam hal ini keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik partai
politik terlebih dahulu dapat dilakukan oleh Mahkamah Partai seperti yang
disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU N. 2 Tahun
2008 tentang partai politik pasal 32 ayat 1 “Perselisihan Partai Politik diselesaikan
oleh interna Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.” Mengarah
23
Firman Noor, “Peran Eksternal Terhadap Konflik Internal Partai”,
https://nasional.sindonews.com/, 14 April 2015.
76
pada undang-undang ini Partai GOLKAR kemudian sudah membentuk
Mahkamah Partai GOLKAR yang diwakili dari kedua kubu untuk kemudian
melakukan islah. Namun, upaya Mahkamah Partai kedua kubu dalam islah dirasa
tidak maksimal menjalankan perannya. Hasil islah tersebut adalah dua mahkamah
menyatakan keabsahan Agung Laksono, serta dua lagi meyatakan abstain.
Setelah islah pertama Mahkamah Partai GOLKAR dan berdasarkan hasil
islah tersebut Kubu Munas Ancol mendaftarkan kepengurusannya ke
Kemenkumham, dan selang beberapa waktu Kemenkumham mengeluarkan SK
yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Ancol. Sejak saat itulah
Pemerintah Jokowi-JK melalui Kemenkumham dirasa telah turut terlibat
mengintervensi konflik internal Partai GOLKAR, seperti yang diungkapkan
Peneliti Ilmu Politik LIPI, Siti Zuhro24
:
Hingga pada upaya penyelesaian sempat Pemerintahan Jokowi-Jk dikatakan turut
terlibat mengintervensi konflik melalui Menteri Menkopolhukam, Mahkamah
Partai GOLKAR yang bagi salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan
perselisihan, namun bagi pihak satunya hasil Mahkamah Partai sudah cukup baik.
Jika kita mengarah pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU
No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Ayat (2) dan (5) mengenai sejauh mana
batasan keterlibatan pemerintah sendiri dalam perselisihan internal partai politik
disebutkan bahwa:
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementrian.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat
secara internal dalam perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.25
24
Wawancara dengan Siti Zuhro Peneliti Ilmu Politik LIPI. 25
UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
77
Keterlibatan pemerintah yang dituduhkan beberapa pihak hanya mengarah
pada hasil mahkamah partai yang disahkan Kemenkumham, hal ini dikarenakan
hasil keputusan mahkamah partai bersifat final. Maka ketika pemerintah melalui
Menteri Hukum dan HAM Yasonna laoly mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
yang mengesahkan kepengurusan versi Munas Ancol, hal itu tidak melanggar
konstitusi dan sudah sesuai. Namun, Pihak ARB kemudian menggugat SK yang
dikeluarkan oleh Menkumham Yasonna Laoly ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Jakarta.
Beberapa pihak melihat Kegagalan Mahkamah Partai GOLKAR yang tidak
dapat menyelesaikan perselisihan partai menjadikan Partai GOLKAR rentan
terhadap intervensi dari luar yang tidak terkecuali pemerintah. Pemerintah
memiliki kepentingan untuk terlibat dalam konflik Partai GOLKAR, hal ini
berkaitan langsung dengan efektivitas kinerja pemerintahan. Seperti yang
diungkapkan Peneliti LIPI Firman Noor:
Pada era Jokowi, situasi yang terjadi pada Orde Baru muncul kembali. Pemerintah
tampak berkepentingan membela dan mempertahankan kelompok-kelompok yang
"ramah rezim". Dengan memanfaatkan momentum konflik internal, uluran tangan
pemerintah melalui Menteri Yasonna, yang katanya membantu keutuhan partai,
sejatinya sia-sia karena ada kepentingan terselubung untuk menyingkirkan pihak
yang berpotensi menyulitkan pemerintahan di kemudian hari.26
Meskipun secara langsung pemerintah tidak pernah benar-benar menyatakan
bahwa konflik internal Partai GOLKAR secara langsung berdampak pada
keberlangsungan dan kelanggengan pemerintahan Jokowi-JK. Namun, jauh
sebelum terjadinya dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR, keterlibatan
pemerintah sudah mulai dirasakan ketika:
26
Firman Noor, “Peran Eksternal Terhadap Konflik Internal Partai”,
https://nasional.sindonews.com/, 14 April 2015.
78
1. Meminta pimpinan Partai GOLKAR untuk tetap meyelenggarakan Munas ke-IX
pada pertengahan Januari 2015 di Jakarta.
2. Larangan penyelenggaraan Munas Partai GOLKAR ke-IX di Bali, dengan
beberapa pertimbangan:
(a) Akhir Tahun 2014 merupakan puncak kunjungan wisatawan ke Bali.
(b) Dengan Kader seluruh Indonesia, maka potensi konflik akan hasil Munas
pun lebih besar sehingga dapat merusak citra bangsa Indonesia di mata
dunia.
(c) Akibat konflik dapat membuat negara lain mengeluarkan travel warning
untuk berlibur ke Bali. Sehingga merugikan sektor kepariwisataan di
Indonesia.
3. Meminta jajaran Polri tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan Munas ke-IX
Partai GOLKAR tanggal 30 November-3 Desember 2014 di Bali.27
Jika melihat pada upaya intervensi pemerintah sejak sebelum hadirnya
konflik dualisme kepemimpinan partai, di mana pada saat sebelum terbentuknya
peta politik, di mana posisi Partai GOLKAR saat itu berada pada posisi pada
oposisi pemerintahan. Sejak awal keterlibatan pemerintah terlihat condong pada
kubu Agung Laksono, karena mereka merupakan pendukung Jokowi-JK dan
kontra terhadap kebijakan ARB yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Konflik yang hadir dalam internal partai berawal ketika keputusan ARB untuk
tidak mencalonkan diri dan memutuskan mendukung calon dan partai lain menuai
pertentangan dalam tataran elite partai. Seperti yang disampaikan Pengamat
Politik LIPI Siti Zuhro:
Jika kita kembali melihat pada awal mula perpecahan terjadi, kita bisa melihat
starting point nya sejak pemilu 2014 lalu, Bagimana standing Partai GOLKAR
sebagai partai politik pemenang pemilu atau sebagai partai besar yang mendukung
Prabowo-Hatta yang adalah Koalisi Merah Putih. Nah itu mulai dipetakan, starting
pointnya mulai ke sana. Baru kemudian masuk ke friksi, di mana ada kubu Agung
dan ada kubu ARB, nah bagaimana meletakkan itu dengan memetakan,
menonjolkan aktor-aktor yang berperan penting, sampai ujung-ujungnya Partai
GOLKAR kembali “bersatu” tapi ada tanda petik, namun hanya sebuah “soliditas
semu”. Soliditas semu ini terjadi hanya karena Partai GOLKAR mendukung
27
Indo News, “Pemerintah Lewat Menkopolhukam Intervensi Partai Partai GOLKAR”,
https://www.youtube.com/, 26 November 2014.
79
pemerintah, tapi ini soliditas semu yang suatu hari nanti kalau sudah tidak berada
dalam kekuasaan akan kembali tercabik-cabik kembali.28
Posisi Partai GOLKAR kubu ARB yang tidak strategis pasca pemilihan
umum presiden selesai dan memenangkan pasangan Jokowi-JK, melahirkan
friksi-friksi yang lebih dalam tatkala Kubu Agung Laksono menginginkan Partai
GOLKAR keluar dari Koalisi Merah Putih dan bergabung dalam koalisi partai
politik pendukung pemerintahan. Kegamangan yang dialami para kader terkait
arah dukungan Partai GOLKAR juga merupakan suatu celah yang kemudian
menjadi situasi ini yang dimanfaatkan pemerintah untuk memenangkan kubu yang
mendukung pemerintahan dalam SK kepengurusan kubu mana yang sah.
B.3. Perubahan Arus Koalisi Partai GOLKAR pada Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla
Dinamika yang terjadi pada setiap Munas Partai GOLKAR selalu membawa
perubahan-peruabahan yang signifikan dalam partai maupun pemerintahan di
Indonesia. Baik itu perubahan dalam sistem kepartaian seperti halnya menjelang
Pilpres dan munas Partai Golkar tahun 1999. Tidak sedikit dinamika-dinamika
yang terjadi dalam munas memunculkan friksi pada tataran elite hingga akhirnya
mengakibatkan beberapa elite memutuskan untuk keluar dari Partai GOLKAR
dan membentuk partai baru seperti yang dilakukan Edi Sudrajat dengan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Wiranto dengan Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Prabowo dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Surya
Paloh dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
28
Wawancara dengan Siti Zuhro Penliti Ilmu Politik LIPI.
80
Dinamika mengenai arah koalisi dalam tataran elite Partai GOLKAR juga
seringkali membawa pada perpecahan, hingga pada Munas IX Partai GOLKAR
yang dilaksanakan di dua tempat dan menghasilkan dua kempimpinan juga
berujung pada dualisme kepemimpinan Partai GOLKAR pada tahun 2014-2016.
Perbedaan arah dukungan terhadap pemerintahan Jokowi-JK kemudian menjadi
salah satu dampak yang terjadi akibat friksi antar elite partai.
Jika melihat pada fenomena koalisi partai politik yang terjadi di Indonesia
sendiri seringkali dikaitkan pada dampak sistem politik yang dianut oleh
Indonesia, yakni sistem presidensial multipartai. Koalisi pendukung pemerintah
yang tidak tetap dan berubah-ubah, seringkali berdampak pada kestabilan dan
efektivitas jalannya pemerintahan. Dalam pemaparan politik klasik dijelaskan
bahwa sistem presidensial lebih cocok disandingkan dengan sistem kepartaian dua
partai. Ketika satu partai memenangkan pemilu, maka partai tersebut akan
mendominasi pemerintahan. Begitu pula dengan sistem multipartai yang
seringkali disandingkan dengan sistem parlementer.
Menurut Scott Mainwaring, ketika sistem presidensial digabungkan dengan
sistem multipartai akan terjadi pemerintahan terbelah (devided government) atau
pemerintahan yang terbagi.29
Hal ini dapat terjadi karena di satu sisi presiden
sebagai pemimpin eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan DPR
sebagai suatu lembaga legislatif yang juga dipilih oleh rakyat. Kesamaan
eksekutif dan legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat ini membuat
29
Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, "Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A
Critical Appraisal," The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre
Dame, Working Paper No. 2000, Juli 1993, hal. 26.
81
pemerintahan eksekutif maupun legislatif merasa sama-sama memiliki
kewenangan dan tanggung jawab secara langsung pada rakyat.
Jika melihat pada efek dari sistem politik presidensial multipartai di
Indonesia hal ini mengakibatkan tidak ada satu partai mana pun yang mampu
memenangkan kursi pemerintahan (Eksekutif) dan menjalankan pemerintahan
seorang diri tanpa mendapat dukungan mayoritas dari DPR (Legislatif). Pada
tahun 1999, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pada saat itu dipimpin oleh
Presiden Abdurrahman Wahid hanya meraih 51 kursi di DPR (11,03 %). Tahun
2001, PDI Perjuangan yang dipimpin Presiden Megawati hanya meraih 153 kursi
di DPR (33,12 %). Tahun 2004, Partai Demokrat yang juga dipimpin Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono hanya meraih 55 kursi di DPR (10 %), dan pada
2010 meraih 150 kursi di DPR (26,79 %). Sementara itu pada 2014 PDI
Perjuangan yang masih dipimpin oleh Megawati dan kemudian mengusung Joko
Widodo sebagai presiden hanya meraih 109 kursi di DPR (19,5 %). 30
Berdasarkan data di atas, pasca Orde Baru tidak ada partai pemerintah yang
menjadi dominan, bahkan bisa dikatakan partai pemerintah terpilih tersebut
memperoleh suara minoritas di DPR. Maka untuk memperkuat kedudukannya
dalam pemerintahan, partai atau pemerintahan terpilih berupaya membuka ruang
koalisi sebesar mungkin bagi partai lainnya. Pembentukan koalisi pendukung
pemerintah diharapkan dapat mengamankan kebijakan pemerintah di DPR,
dengan melalui kesepakatan bersama kemudian pemerintah terpilih dengan partai
koalisi akan berbagi kursi menteri.
30
Andi Harianto Sinulingga, Pecah Belah Partai Partai GOLKAR (Dinamika Konflik
Partai GOLKARPasca Orde Baru),(Bekasi: PT Penjuru Ilmu Sejati, 2015), hal. 72
82
Koalisi menjelang Pilpres 2014 sendiri mulai dibentuk sejak KPU
mengumumkan partai-partai mana saja yang memenangkan pemilu. Dari 12 partai
politik yang mengikuti pemilu, hanya 10 partai yang dinyatakan lolos memenuhi
ambang batas Parlementary Threshold (PT) yakni 3,5 persen. Sedangkan partai
PBB dan PKPI dinyatakan tidak memenuhi ambang batas PT. Berikut adalah
partai-partai yang lolos ambang batas PT:
Tabel VI.B.3.1
Tabel Perolehan Suara Partai Politik Nasional
Pemilu 201431
Partai Jumlah
Suara Presentase
Partai Nasdem 8.402.812 6,7%
PKB 11.298.957 9,04%
PKS 8.480.204 6,7%
PDIP Perjuangan 23.618.471 18,95%
Partai GOLKAR 18.432.312 14,75%
Partai Gerindra 14.760.371 11,81%
Partai Demokrat 12.728.913 19,19%
PAN 9.481.621 7,59%
PPP 8.157.488 6,53%
Partai Hanura 6.579.498 5,26%
Partai-partai pemenang dalam pemilu kemudian mulai melakukan
konsolidasi politik guna memenangkan Pilpres 2014. Dalam suatu negara dengan
sistem politik yang demokratis, partai politik memainkan peranan penting dalam
proses konsolidasi demokrasi. Partai GOLKAR sebagai salah satu partai yang
memainkan peran penting pada masa Rezim Orde Baru dan setelah runtuhnya
Rezim Orde Baru, masih tetap berusaha mempertahankan eksistensinya dalam
pemerintahan di Indonesia. Pada tahapan transisi menuju konsolidasi demokrasi
31
Diolah dari data KPU, “SK KPU Nomor 411/kpts/KPUTAHUN2014 tentang Penetapan
Hasil Pemilu Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota secara Nasional
dalam Pemilu Tahun 2014”.
83
Indonesia, Partai GOLKAR yang pada saat itu melakukan perubahan besar-
besaran dalam diri, yakni melakukan perombakan struktur kepengurusan,
perubahan mekanisme pengambilan keputusan dan termasuk perubahan Partai
GOLKAR menjadi Partai GOLKAR32
pada Munaslub tahun 1998.33
Pasca runtuhnya Rezim Orde Baru, Partai GOLKAR tidak lagi menjadi
sebuah raksasa politik di Indonesia. Dalam hal ini PDI Perjuangan dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) juga masih menjadi salah satu partai kuat, namun
dengan dibukanya kran demokrasi melahirkan banyak partai baru dari berbagai
kelompok masyarakat. Menjadi tugas berat bagi Partai GOLKAR untuk tetap
mempertahankan posisi dalam pemerintahan di Indonesia pasca runtuhnya Rezim
Orde Baru. Hingga kemudian, Partai GOLKAR sebagai salah satu kekuatan besar
di Indonesia yang sudah kehilangan patron politiknya (Soeharto) tidak lagi bisa
berdiri sendiri dalam mempertahankan kedudukannya di pemerintahan. Partai
GOLKAR haruslah berupaya melakukan sebuah koalisi dengan beberapa partai
politik di Indonesia guna mempertahankan posisinya di kursi pemerintahan. Tak
jarang Partai GOLKAR harus melakukan perubahan sikap koalisi untuk tetap
mempertahankan posisinya di pemerintahan.
Menjelang berlangsungnya Pilpres 2014, beberapa lembaga survei
memprediksi akan adanya tiga poros koalisi partai politik. Ketiga poros yang
32
Perubahan Partai GOLKAR menjadi Partai Partai GOLKAR merupakan wujud adaptasi
transisi Partai GOLKAR terhadap tantangan reformasi yang dihadapi Partai GOLKAR pada saat
itu. Diharapkan kedepannya Partai Partai GOLKAR akan diberjalan sesuai dengan nilai-nilai baru
yang sejalan dengan reformasi, yakni menjadikan Partai GOLKAR sebagai suatu partai politik
yang terbuka, mandiri, demokratis, dan dekat dengan masyarakat, serta dapat menjalankan fungsi-
fungsi partai politik dengan baik, bukan lagi menjadi hanya menjadi sebuah mesin politik. 33
Akbar Tandjung, The Partai GOLKAR Way (Survival Partai Partai GOLKAR di Tengah
Turbulensi Politik Era Transisi), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal 103.
84
diprediksi adalah Partai GOLKAR dengan ARB sebagai calon presiden, PDI
Perjuagan dengan Megawati sebagai calon presiden, dan poros ketiga Partai
Demokrat dengan calon hasil konvensi beberapa partai yang berkoalisi. Bentuk
poros ini kemudian dapat berubah ketika PDI Perjuangan tidak mengusung
Megawati sebagai calon, dan ternyata Partai Demokrat memutuskan untuk tidak
terjun dalam Pilpres 2014.
Perkiraan awal ini berdasarkan pada aturan presidential threshold yang
sama dengan pada saat Pilpres 2009 di mana partai atau koalisi partai haruslah
memenuhi 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi di parlemen maka
pola Pilpres 2014 berpotensi sama dengan pola Pilpres 2009, di mana pada saat itu
terdapat tiga pasangan capres dan cawapres.34
Peraturan presidential treshold
kemudian memperkuat keharusan dilakukannya koalisi menjelang pemilu.
Jika melihat pada bentuk koalisi yang ada di Indonesia merupakan hasil
reformasi yang menuntut terjadinya perubahan sistem pemerintahan di Indonesia
yang lebih demokratis. Lahirnya partai-partai politik sendiri juga merupakan buah
terbukanya kran demokrasi di Indonesia, sehingga menghasilkan sistem politik
Presidensial Multipartai di Indoensia.
Pasca Reformasi tidak ada partai politik yang benar-benar menduduki
kekuasaan dengan suara mayoritas. Untuk itu diperlukan upaya koalisi agar
keberlangsungan jalannya sistem pemerintahan tidak menjadi penghambat oleh
partai-partai yang menentang pemerintahan terpilih. Faktanya, koalisi-koalisi
34
Robertus Wardi, “LSI: Ada Tiga Poros Koalisi Pemilu 2014”, http://sp.beritasatu.com/,
4 November 2014.
85
yang terbentuk di Indonesia cenderung berubah-ubah dan semu, seperti yang
dikemukakan Peneliti Ilmu Politi LIPI, Siti Zuhro35
:
Karena dalam setiap pemilu itu yang dimenangkan itu tidak pernah permanen
partai yang pernah menang dalam 99’ kalah dalam 2004, partai yang menang 2004
kalah dalam pemilu 2009, dan partai yang menang dalam 2009 kalah dalam pemilu
2014, demikian juga partai yang menang dalam 2014 tidak ada jaminan ia akan
memenangkan pemilu di 2019. Justru kecenderungan partai yang berada dalam luar
kekuasaan yang dia dapat memenangkan pemilu. Kenapa? Karena dia tidak
belepotan di dalam (internal partai), nah kasusnya konflik internal Partai GOLKAR
ini, apalagi ditambah dengan kejadian-kejadian yang menimpa pemimpin Partai
GOLKAR, karena apa hal ini menambah memori buruk ini mempengaruhi
terhadap referensi pilihan pemilih nanti terhadap partai, dan biasanya parta-partai
yang dirasa tidak mumpuni akan mendapatkan penalti, seperti halnya demokrat
yang mendapatkan penalti pada pemilu 2014. Dari sebuah partai besar yang
memperoleh 20% ke atas, menjadi turun 9%.
Bentuk koalisi besar dalam partai politik bukanlah menjadi penentu
kemenangan, tetapi berdasarkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, sosok
penokohan yang di percaya rakyatlah yang menjadi penentu kemenangan partai
politik atau suatu koalisi partai. “Hal ini mengindikasikan bahwa partai politik di
Indonesia masih belum dipercaya sepenuhnya oleh rakyat.”36
Partai politik di
Indonesia dinilai belum mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Para elite
partai terkesan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya,
dibanding dengan kepentingan rakyat.
Rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik terbukti pada
pilpres, di mana partai pemenang dalam pemilu legislatif belum tentu mampu
memenangkan pemilu presiden. Seperti yang terjadi pada pilpres 2004, ketika
pada saat itu Partai Demokrat bukanlah pemenang Pileg 2004 namun kemudian
35
Wawancara dengan Siti Zuhro Peneliti Ilmu Politik LIPI. 36
Ibid.
86
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mampu membawa Partai Demokrat pada
kemenangan Pilpres 2009.
Melihat pada keberhasilan PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif dengan
menduduki posisi tiga besar mengalahkan Partai GOLKAR dan Partai Demokrat.
Kemudian kesempatan besar ini tidak dapat disia-siakan begitu saja oleh PDI
Perjuangan untuk terus melenggang memenangkan pilpres. Jika melihat pada peta
koalisi dan sejarah konflik yang pernah terjadi, selama PDI Perjuangan masih
dipimpin oleh Megawati koalisi yang terbentuk tidak akan terjadi antara PDI
Perjuangan dan Partai Demokrat, serta Partai Gerindra.
Belajar pada kekalahan dua periode yang dialami oleh PDI Perjuangan, dan
bagaimana sosok penokohan dapat memenangkan pemilu, hal ini yang mendasari
Megawati mengalah untuk tidak kembali mencalonkan dirinya dalam bursa
pencalonan. Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga survei yang menyatakan
bahwa tingginya tingkat elektabilitas Joko Widodo merupakan salah satu faktor
yang menjadi pertimbangan Megawati untuk memajukan nama Joko Widodo
dalam pencalonan presiden.
Ketika mulai terbentuk dua pusaran dalam Pilpres 2014 dan melahirkan dua
nama yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, mulai terlihatlah bentuk-bentuk
koalisi partai politik. Pada umumnya koalisi ditentukan dengan rencana pemetaan
bagi-bagi kursi di pemerintahan. Semakin besar suara yang dibawa suatu partai,
semakin banyak pula pembagian kursi di pemerintahan. Bagaimana kemudian
kesepakatan antar partai yang berkoalisi dapat menemukan titik temu kesamaan
87
dan kesepakatan pembagian jatah kursi. Hal ini sudah menjadi kesepakatan yang
saling di ketahui partai politik semenjak era reformasi.
Ketika dua pusaran koalisi mulai terlihat, Partai Nasdem merupakan partai
pertama yang menyatakan diri mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden.
Bersamaan dengan deklarasi Jokowi-JK diumumkan pula Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) di mana Koalisi tersebut terdiri dari PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem,
Partai Hanura, PKPI. Pada sisi pendukung Prabowo, terdapat beberapa partai
politik yang juga tergabung dalam satu koalisi pendukung dan dinamakan Koalisi
Merah Putih (KMP). Koalisi ini merupakan koalisi yang terdiri dari Partai
Gerindra, Partai GOLKAR, PKS, PAN, PBB.
Tabel VI.B.3.2
Tabel Peta Koalisi Menjelang Pilpres 201437
Koalisi Merah Putih
(Prabowo-Hatta)
Koalisi Indonesia Hebat
(Jokowi-JK)
Partai Presentase Partai Presentase
Partai Gerindra 11,81% PDIP 18,95%
Partai GOLKAR 14,75% NASDEM 6,7%
PKS 6,7% PKB 9,04%
PAN 7,59% HANURA 5,29%
PBB 1,46% PKPI 0,91%
Jumlah 42,31% Jumlah 40.89%
Jika melihat pada jumlah koalisi partai politik tentu sudah dapat dinyatakan
bahwa KMP unggul dibandingkan dengan KIH. Namun, kembali lagi pada
kenyataan yang ada di lapangan bahwa tingkat kepercayaan rakyat Indonesia
terhadap partai politik sangat rendah. Berdasarkan hasil survei Political
Communication Institute (Polcomm Institute) mayoritas publik tidak
37
Hasil olahan peneliti dari beberapa media berita www.bbc.com, www.republika.com,
nasional.kompas.com dan www.detiknews.com.
88
mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya parpol yaitu
sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan
menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Tingkat kepercayaan publik ini
dipengaruhi oleh krisis yang dialami sejumlah partai politik.38
Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, kemenangan Pilpres 2014 tidak bisa
diperkirakan dengan bentuk koalisi gembung yang telah dibentuk. Begitu pula
yang terjadi pada kemenangan Jokowi-JK, meskipun secara angka koalisi
pendukung mereka dinyatakan kalah jumlah dibandingkan dengan pasangan
Prabowo-Hatta, namun pasangan Jokowi-JK mampu memenangkan pemilu.
Berdasarkan hasil penelitian, hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti
penokohan dan solidnya koalisi pendukung menjadi penentu. Kembali lagi jika
melihat pada konflik internal yang terjadi pada Partai GOLKAR yang
menghadirkan friksi dalam tataran elite pusat hingga daerah. Konflik elite Partai
GOLKARyang mengakibatkan terbelahnya partai pada dua kubu juga menjadi
penentu suatu koalisi tersebut solid atau rapuh.
Banyak ahli menyampaikan perpaduan sistem presidensial dengan sistem
multipartai merupakan perpaduan yang tidak baik, hal ini dinilai karena kedua
kekuasaan tersebut akan saling mengalami benturan hingga mengakibatkan
pemerintahan terbelah (devided government). Efektivitas kinerja pemerintah
menjadi terhambat akibat terjadinya divided government, tidak sedikit nantinya
program-program pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan dari parlemen
mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan mungkin mengalami penolakan. Hal ini
38
Dian Maharani, “Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai politik”,.
http://nasional.kompas.com/, 9 Februari 2014.
89
kemudian mengakibatkan program-program yang direncanakan oleh pemerintah
tidak akan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Kemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 kembali menjawab bahwa
koalisi besar menjelang pemilu tidak lantas menentukan kemenangan dalam
pilpres. Namun demikian, kemenangan Jokowi-JK yang bukan berasal dari
dukungan mayoritas partai politik di Indonesia menjadi suatu kekhawatiran akan
terjadinya divided government.
Melihat pada kenyataan yang akan dihadapi oleh pemerintahan Jokowi-Jk
nantinya jika tidak mendapatkan dukungan mayoritas partai politik di DPR,
membuat pemerintah berupaya melakukan konsolidasi politik dengan berbagai
partai yang sebelumnya berada pada koalisi lawan, termasuk di dalamnya Partai
GOLKAR yang merupakan pemenang pemilu legilatif kedua setelah PDI
Perjuangan. Dukungan yang diberikan Partai GOLKAR tentu sangat
mempengaruhi posisi pemerintahan Jokowi-JK.
Pada awal kepemimpinan Jokowi-JK melalui ARB, Partai GOLKAR
menyatakan diri tetap berada pada KMP, dalam hal ini Partai GOLKAR berada
pada oposisi pemerintahan. Namun, friksi-friksi yang hadir dalam tataran elite
internal partai membuat keputusan ini menjadi tidak bulat dan rapuh. Tidak
sedikit elite yang menginginkan Partai GOLKAR berada pada posisi pendukung
pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam sebuah sistem presidensial mulitpartai membangun koalisi partai
politik untuk kemudian memenangkan pemilu merupakan sesuatu yang wajar.
Namun, pembentukan koalisi partai politik yang terjadi karena untuk
90
mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat
sulit diwujudkan. Hal ini dikarenakan koalisi yang terbentuk tidak bersifat
mengikat dan permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi
mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya. Tidak adanya jaminan
suatu partai akan konsisten mendukung pemerintah secara terus menerus hingga
akhir kepemimpinan.
Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil
keuntungan dari pemerintah, baik itu mengenai pembagian kursi di dalam kabinet
maupun yang berkaitan dengan kepentingan partai pribadi. Dalam parlemen juga
demikian, jika kebijakan atau program yang dibuat oleh pemerintah sejalan
dengan kepentingan partai, pemerintah akan mendapatkan dukungan, namun jika
kebijakan tersebut dirasa tidak populer partai cenderung akan melakukan
oposisi.39
Hal ini seperti yang diungkapakn Firman Soebagyo:
Kita ini tidak pernah oposisi, GOLKAR itu adalah partai yang realistis. Walaupun
saat ini posisinya kita pada pendukung pemerintahan, kita tetap kritis, objektif,
konstruktif, dan proposional. Jadi kita tidak selalu menjadi partai yang “yes man”
kalau memang kebijakan pemerintah itu benar dan pada kebenaran rakyat, kita
mendukung. Tapi kalau pemerintah itu tidak bener kita tegur, kita salahkan, dan
kemudian kita kasih jalan keluar yang benar.40
Ketidakpastian akan dukungan penuh partai politik terhadap pemerintahan
Jokowi-JK di parlemen tentu membuat pemerintah melakukan kesepakatan-
kesepakatan politik dengan partai politik, dalam hal ini adalah pembagian jatah
kursi pada partai-partai yang telah menyatakan diri mendukung pemerintahan.
Seperti yang diungkapkan Syamsuddin Haris pembagian kuris kabinet
39
Jumadi, “Pengaruh Sistem Multipartai dalam Pemerintahan di Indonesia”, al-Daulah
Vol.4/No.1/Juni 2015, hal. 147. 40
Wawancara dengan Firman Soebagyo Wakil Ketua Badan Legislasi dari Partai
GOLKAR .
91
pemerintahan Jokowi-JK didasari sebagai bentuk kompensasi partai atas
dukungannya hal ini menurut syamsuddin Haris dikarenakan:
Kursi kabinet diberikan lebih sebagai penghargaan Jokowi terhadap partai-partai
yang mendukungnya secara tulus, dalam arti mau bekerja bergotong-royong
membangun negeri kita menjadi lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera. Karena
itu saya menduga, bagi Presiden Jokowi, jumlah kursi kabinet yang diperoleh
parpol pendukung tidak ditentukan oleh proposi besar-kecilnya parpol hasil pemilu
legislatif, melainkan lebih ditentukan oleh kualitas kontribusi setiap partai dalam
mewujudkan visi misi pemerintah khususnya memajukan kehidupan kolektif
bangsa kita pada umumnya.41
Maka kemudian ketika Partai GOLKAR pasca terpilihnya Setya Novanto
secara resmi menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK dan
selang beberapa waktu presiden melakukan perombakkan kabinet jilid II. Dalam
susunun perombakan kabinet jilid II ini terdapat nama kader Partai GOLKAR
Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian.
Upaya mempertahankan posisi Partai GOLKAR dalam pemerintahan
diartikan sebagai suatu tujuan partai dalam mewujudkan ideologi kekaryaan Partai
GOLKAR dan turut serta terlibat melaksanakan pembangunan. Hal ini juga terkait
dengan sejarah terbentuknya GOLKAR, di mana pada saat itu Sekretariat
Bersama GOLKAR merupakan perhimpunan kelompok-kelompok profesional
yang di gagas oleh Soekarno (pemerintah pada saat itu). Para elite partai
kemudian sependapat bahwa untuk mewujudkan hal tersebut Partai Golkar
haruslah ikut serta dalam pemerintahan yang ada. Seperti yang dikemukakan
Politisi Partai Golkar T.B. Ace:42
Apapun yang terjadi dan siapapun yang memenangkan pemilu, Partai Golkar harus
turut andil berperan dalam pemerintahan yang ada untuk mewujudkan ideologi
kekaryaan Partai Golkar. Meskipun Partai GOLKAR bukanlah pemenang, namun
41
Syamsuddin Haris, “Arah Perombakkan Kabinet Jilid 2”, Harian Kompas., 27 Januari
2016. 42
Wawancara dengan T.B Ace Politisi Partai Golkar.
92
untuk turut andil melaksanakan pembangunan GOLKAR harus terlibat dalam
pemerintahan.
Meskipun terkesan pragmatis, namun bisa dikatakan itulah cara yang
dilakukan Partai Golkar untuk tetap bertahan hingga hari ini. Upaya panjang yang
dilakukan untuk menemui titik terang konflik elite Partai Golkar tahun 2014-2016
menemui jalannya pada tujuan bersama, yakni melaksanakan ideologi kekaryaan
dan pembangunan. Kedua kubu yang terpecah dapat bersatu kembali dengan
kembali membangun “soliditas semu” (ikut serta dalam pemerintahan). Meskipun
upaya ini terlihat rentan untuk kembali terbelah, setidaknya kedua kubu sama-
sama menanggalkan ego masing-masing guna mencapai tujuan partai bersama.
Dalam hal ini perubahan arus koalisi Partai Golkar merupakan gambaran
hubungan simbiosis mutualisme antara Partai GOLKAR dan pemerintahan
Jokowi-JK. Seperti yang diungkapkan Peneliti Ilmu Politik Siti Zuhro seperti
“Lalu apakah dengan ditarik Golkar ke pemerintah itu menguntungkan luar biasa
bagi Golkar, kalau menurut saya ini adalah mutually political symbiotic, jadi saling
menguntungkan antara yang dirasakan Golkar dan yang dirasakan oleh
pemerintah.Jadi kalau menurut saya kata kuncinya adalah mutually political
symbiotic”
Pemerintahan Jokowi-JK membutuhkan dukungan Partai GOLKAR agar
tetap menjaga kestabilan situasi politik dan efektivitas kinerja peremerintah. Di
satu sisi Partai GOLKAR sendiri menginginkan untuk berada pada barisan partai
politik pendukung pemerintahan agar dapat menjalankan cita-cita kekaryaan
partai dan pembangunan.
93
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dampak konflik elite Partai
GOLKAR terhadap internal partai dan eksternal yakni koalisi partai politik
pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Dalam bab ini juga berisikan saran dan
rekomendasi bagi partai lain dalam upaya penyelesaian konflik internal partai
politik.
A. Kesimpulan
Dampak yang ditimbulkan akibat konflik elite Partai GOLKAR memiliki
kesinambunagn satu dan lainnya, baik itu di internal maupun eksternal partai.
Konflik berkepanjangan Partai GOLKAR tidak hanya mengancam eksistensi
partai di perpolitikan, tapi juga mengancam efektivitas kinerja pemerintahan
Jokowi-JK. Maka dari itu, upaya penyelesaian konflik memiliki hubungan
simbiosis mutualsime antara Partai GOLKAR dan pemerintah.
Konflik elite Partai GOLKAR tahun 2014-2016 membuat posisi
pemerintahan Jokowi-JK menjadi tidak stabil, baik itu dalam eksekutif maupun
legislatif. Kemungkinan tejadinya divided govenrment yang dapat hadir akibat
ketidakpastian arah dukungan Partai GOLKAR pada pemeritnah membuat
efektivitas kinerja pemerintah menjadi terancam. Untuk itu keterlibatan
pemerintah dalam konflik di satu sisi untuk menghentikan pertikanan
berkepanjangan Partai GOLKAR juga merupakan suatu upaya mendapatkan
dukungan Partai GOLKAR terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
94
B. Saran
Perlu diperhatikan bagi Partai GOLKAR dan partai-partai lainnya bahwa
friksi antar elite tidak dapat dihindarkan, namun friksi-friksi tersebut hanya perlu
diredam dan di cari jalan keluar bersama bagi partai. Jika friksi yang hadir tetap
dibiarkan dikkhawatirkan akan memupuk pada persoalan yang lebih besar lagi
bagi partai politik
Dalam hal ini mempertahankan eksistensi partai dalam perpolitikan di
Indonesia bisa menjadi suatu alasan mengapa friksi-friksi antar elite perlu di
redam. Tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap partai politik
disebabkan beberapa kasus yang menimpa partai politik dan konflik elite partai.
Melihat pada dampak-dampak yang saling berhubungan dalam konflik elite
Partai GOLKAR, konflik berkepanjangan ini hadir dikarenakan kehadiran friksi
yang hadir akibat keputusan sepihak ARB. Partai GOLKAR seakan lupa bahwa
meskipun dirinya berada pada posisi atas dalam Pemilu 2014, namun dengan
kehadiran konflik berkepanjangan tentu berdampak pada eksistensi partai nanti
kedepannya.
Meskipun dengan dilaksanakannya Musyawarah Luar Biasa Partai
GOLKAR tahun 2016 di Bali dapat membangun kembali “soliditas semu” elite
partai, namun hal itu merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh
partai yang juga mengalami konflik elite seperti Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dalam menangani konflik elite berkepanjangan.
95
DAFTAR PUSTAKA
Buku Buku
Ahmad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit,
2004.
Almond. Studi Perbandingan Sistem Politik, dalam Mochtar Mas’ud dan Colin
Mac Andrews (Eds.), Perbandingan Sistem Politik Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1978.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta:
Rineka Cipta, 2010.
Cipto, Bambang. Partai, Kekuasaan dan militerisme. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2000.
Elgie, R. Divided Government ini Comparative Perspective. New York: Oxford
University Press, 2001.
Hadi, Syamsul. Disintegrasi pasa Orde Baru: Negara, Konflik Loka, dan
Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Haryanto. Kekuasaan Elit; Suatu Bahasa Pengantar. Yogyakarta: Program
Pascasarjana PLOD Daerah Universitas Gadjah Mada, 2005.
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Hermawan, Yulius. Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor,
Isu, dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Heywood, Andrew. Politic Theory: An Introduction. New York: Palgrave, 2004.
Hoogerwerf. Politikologi. Jakarta: Erlangga, 2000.
Jainuri. Orang Kuat Partai di Aras Politik Lokal. Malang: Citra Mentari Press,
2012.
Kartono, k. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001.
Labolo, Mumadam. Partai Politik dan Sisrem Pemilihan Umum di Indonesia
(Teori, Konsep dan Isu Strategis) Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
96
Lasswel, Harold D. dan Abraham Kaplan. A Framework for Political Inquiry.
New Haven: Yale University Press, 1950.
Michels, Robert. Partai Politik (Kecendrungan Oligarki dalam Birokrasi),
Jakarta: Rajawali, 1984.
Mills, C. Wright. The Power Elite. New York: Oxford University Press, 2000.
Nasdian, Fredian Tonny. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2014.
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteritis dan Keunggulannya).
Jakarta: PT. Grasindo, 2010.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007.
Rauf, Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Panjajagan teoritis, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,
2000.
Reeve, David. GOLKAR Sejarah yang Hilang (Akar Pemikiran & Dinamika).
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Simarmata, Salvatore. Media dan Politik (Sikap Pers terhadap Pemerintahan
Koalisi di Indonesia). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Sinulingga, Andi Harianto. Pecah Belah Partai Partai GOLKAR (Dinamika
Konflik Partai GOLKAR Pasca Orde Baru). Bekasi: PT Penjuru Ilmu
Sejati, 2015.
Sitepu, P.Anthonius. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Soempeno, Femi Adi. Mereka Mengkhianati Saya . Jakarta: GalangPress Group,
2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif kuantitatif R&D. Bandung: Alfabeta,
2012.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 1992.
Suryadinata, Leo. GOLKAR dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik. Jakarta:
PT Pustaka LP3ES, 1992.
Tandjung, Akbar. The GOLKAR Way (Survival Partai GOLKAR di Tengah
Turbulensi Politik Era Transisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Varma, S.P. Teori Politik Modern. Penyunting Tohir Efendi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.
97
Skripsi
Purba, Iswarizona. “Kiprah Partai GOLKARdalam pentas Politik Nasional di
bawah Kepemimpinan Akbar Tandjung”, (Program Sarjana Universitas
Sumatra Utara , Jurusan Ilmu Politik, 2009).
Sunandar, Hendra. “Analisis Ssitem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia
(Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)”,, (Program Sarjana Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).
Zakiah, Riska. “Kegagalan Partai GOLKARdalam Mengusung Aburizal Bakrie
sebagai Calon Presiden RI dalam Pilpres Tahun 2014”, (Program Sarjana
Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).
Jurnal
Bakri, Hendri. “Resolusi Konflik melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pela
Gandong di Kota Ambon”. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu POlitik
Universitas Hasanuddin, Volume 1, No. 1, Januari 2015.
Carsten K.W. De Drew and Laurie R. Weingart, “Task versus Relationship
Conflict, Team Performance, and Team Member Satisfaction: A Meta-
Analysis,” Journal of Applied Psychology, Vol. 88 No. 4, 2003.
Farida, Anis. “Jalan Panjang Penyelesaian Konflik Kasus Lumpur Lapindo”, JSP:
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 17, No. 2, 2013.
Jumadi, “Pengaruh Sistem Multipartai dalam Pemerintahan di Indonesia”, Jurnal
al-Daulah Vol.4/No.1/Juni 2015.
Sanur, Debora L. “Dinamika Internal Partai Partai GOLKAR dan Dampaknya
terhadap Kinerja DPR RI”, Jurnal Info Singkat Pemerintahan dalam
Negeri: Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini Vol. VI,
No.23/I/P3DI/Desember/2014.
Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, "Juan Linz, Presidentialism and
Democracy: A Critical Appraisal," The Hellen Kellogg Institute for
International Studies, University of Notre Dame, Working Paper No. 2000,
Juli 1993.
Sumadinata, R. Widya S. “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia
Menjelang dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”, Jurnal Wacana
Politik, Vol. 1, No.2, 2016.
Berita
Aco, Hasanudin. “Keputusan Rapimnas Partai GOLKAR , Ical Boleh Capres
Maupun Cawapres”, http://www.tribunnews.com/. 18 Mei 2014.
98
AL Amin. “Rapimnas Glkar Menetapkan Ical Capres atau Cawapres”.
https://www.merdeka.com/. 18 Mei 2014.
Armin. “Konflik Partai Golkar”. Kompasiana. www.kompasiana.com, 2014.
Asril, Sabrina. “Bertemu Jokowi, Aburizal Bakrie Nyatakan Islah Partai
GOLKAR Bergantung Pengadilan”. http://nasional.kompas.com/, 13
Januari 2014.
Bakrie, Aburizal. “Dukungan ARB Untuk Prabowo”, https://www.youtube.com/.
Faqih, Mansyur. “Alasan Partai GOLKAR Dukung Prabowo-Hatta”, 19 Mei
2014. http://www.republika.co.id/, 25 Juli 2014.
Fiansyah, Rahmat. “Akan Ada Pertarungan Besar JK Memperebutkan Gerbong
Golkar”. Kompas. nasional.kompas.com, 2014.
Haris, Syamsuddin. “Tantangan Munaslub Partai GOLKAR” , Harian Kompas, 18
Februari 2016.
Haris, Syamsuddin. “Arah Perombakkan Kabinet Jilid 2”. Harian Kompas, 27
Januari 2016.
M. Iqbal. “Putusan PTUN: Kepengurusan Golkar Kembali ke Hasil Munas Riau”.
www.detik.com, 18 Mei 2015.
Maharani, Dian. “Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai politik”.
http://nasional.kompas.com/, 9 Februari 2014.
Metro TV. “Wawancara dengan Zainal Bintang”. https://www.youtube.com/, 24
Juli 2014.
Muhyidin, “Kubu Agung Bentuk Tim Negosiasi untuk Islah”.
https://nasional.tempo.co/, 16 Desember 2014.
News, Indo. “Pemerintah Lewat Menkopolhukam Intervensi Partai Partai
GOLKAR”. https://www.youtube.com/, 26 November 2014.
NN. “Perombakan Kabinet Figure Goklkar dan PAN Jadi Menteri ”. BBC.
www.bbc.com, 2016.
Noor, Firman. “Peran Eksternal Terhadap Konflik Internal Partai”.
https://nasional.sindonews.com/, 14 April 2015.
Rakhmatullah.“Fraksi Partai GOLKARKeukeuh usung ARB dalam Pilpres 2014”.
https://nasional.sindonews.com/, 28 September 2013.
99
Robinson. “Tuntutan SOKSI atas Kegagalan ARB Pimpin GOLKAR”.
www.rmolsumsel.com, 3 Agustus 2014.
Scipto. “Beda Munas Bali dan Munas Ancol”. Sindonews
nasional.sindonews.com, 2015.
Sufa, Ira Guslina. “Kisruh Partai GOLKAR , Mahkamah Partai Condong
Menangkan Kubu Agung”, https://nasional.tempo.co/, 3 Maret 2015.
Sukma, Angga. “Jadi Ketum Partai GOLKARSetya Novanto akan bela Jokowi”.
Tempo. nasional.tempo.co, 2016.
Suryaningtyas, M. Toto. “Dinamika Partai Politik (Merunut Sejarah Konflik
Partai Partai GOLKAR )”, http://kompas.com/, 2016.
Van. “Gugat Agung Cs, Kubu Ical: Tak Perlu Lagi Islah Basa-Basi!”.
https://news.detik.com/, 13 Januari 2014.
Van. “Jabatan Kunci yang diberikan Prabowo ke Ical: Menteri Utama”.
http://news.detik.com/, 19 Mei 2014.
Wardi, Robertus. “LSI: Ada Tiga Poros Koalisi Pemilu 2014”. https:/
http://sp.beritasatu.com/, 4 November 2014.
Dokumen resmi
AD/ART Partai GOLKAR Tahun 2016.
KPU. “Keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang Penetapan Partai Politik
Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan Tidak
Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah”.
KPU. “SK KPU Nomor 411/kpts/KPUTAHUN2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu
Angota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota secara Nasional
dalam Pemilu Tahun 2014”.
UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 32 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik .
Wawancara
Wawancara dengan T.B Ace Hasan Syadzily, Anggota DPR RI dari Partai
GOLKAR dan Wakil Sekretaris Jenderal Partai GOLKAR, di Gedung DPR
RI pada 12 Mei 2017 Pukul 13.30 WIB.
Wawancara dengan Siti Zuhro, Peneliti Ilmu Politik LIPI dan Pengamat Politik, di
Gedung Widya Graha LIPI lantai 3 pada 5 September 2017 pukul 13.00
WIB.
100
Wawancara dengan Firman Soebagyo, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI dan
Elite Partai GOLKAR, di gedung Nusantara 1 DPR RI pukul 13.00 WIB.