repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali...

238
ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah) TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam Oleh: ALI MA’SUM NIM: 02.2.00.1.06.01.0102 PEMBIMBING Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

ALI MA’SUM

NIM: 02.2.00.1.06.01.0102

PEMBIMBING

Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1428 H/2007 M

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

i

ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

ALI MA’SUM

NIM: 02.2.00.1.06.01.0102

PEMBIMBING

Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1428 H/2007 M

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)

Tesis Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh ALI MA’SUM

NIM: 02.2.00.1.06.01.0102

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1428 H/2007 M

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik

Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah) telah diujikan dalam siding munaqasyah

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Februari 2007.

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

dalam Ilmu Agama Islam.

Jakarta, 26 Februari 2007

Sidang Munaqasyah

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Dr. Thoyib. IM

Penguji III/ Penguji IV/

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Moh. Matsna, MA Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

iv

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas segala

rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan

salam juga peneliti haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Sebagai hamba-Nya

yang lemah serta memiliki banyak kekurangan, maka tidaklah mungkin peneliti dapat

menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Oleh sebab itu peneliti berkewajiban mengungkapkan rasa terima kasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu peneliti. Berbagai

pihak yang peneliti maksudkan antara lain:

1. Pihak lembaga tempat peneliti menjalani studi, Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai dari pimpinan, tenaga

pengajar, hingga para staf, yang telah membantu proses studi peneliti, terutama

dalam penyelesaian tesis ini.

2. Pihak lembaga tempat peneliti mengabdikan ilmu, Jurusan Sastra Arab, Fakultas

Sastra, Universitas Negeri Malang (UM), yang telah memberikan kesempatan

yang sangat berharga bagi peneliti untuk berkonsentrasi menyelesaikan penulisan

tesis ini.

3. Yang terhormat Bapak Dr. H. Moh. Matsna, MA, dan Ibu Dr. Hj. Faizah Ali

Syibromalisi, MA, selaku pembimbing peneliti, yang di tengah kesibukan

mereka berdua, ternyata masih sempat meluangkan waktunya untuk

membimbing peneliti dalam penulisan tesis ini, sehingga dengan bimbingan dan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

v

arahan beliau berdua proses penulisan tesis ini dapat selesai. Semoga segala

urusan keduanya selalu dimudahkan Allah SWT, serta selalu mendapatkan ridha-

Nya.

4. Kepada semua keluarga di Tulungagung; Ibunda Yatingah, ayahanda Imam

Bahri (al-marhum), mas Ali Musthofa dan Istri, dan keluarga bapak H. Ahmad

Qosim. Tiada untaian kata-kata yang paling berharga yang dapat peneliti

haturkan selain terima kasih dari lubuk hati yang terdalam, karena atas do’a dan

bantuan mereka semua peneliti dapat menyelesaikan studi ini. Semoga segala

amal kebaikan mereka diridhai oleh Allah SWT.

5. Kepada semua keluarga di Malang; Ibunda Hj. Binti Maslamah, ayahanda H.

Fahrur Rozi, mbak Iin, mbak Izza dan dik Illa, dan dik Imron serta Istri. Terima

kasih yang tak terhingga atas semua do’a dan bantuannya. Semoga Allah selalu

meridhai.

6. Kepada yang selalu ada dalam hati, yang selalu setia menemani, dan yang selalu

mensuport penyelesaian tesis ini. Terima kasih istriku. Ku persembahkan tesis

ini sebagai “kado” buatmu.

7. Peneliti juga menghaturkan terima kasih kepada rekan-rekan angkatan 2002

konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab. Atas bantuan dan do’a mereka studi ini

dapat selesei. Semoga pertemuan yang singkat tidak menghalangi silaturahmi

kita selamanya.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

vi

Akhir kata, kepada Allah SWT lah peneliti memohon petunjuk dan berserah diri.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi bagian dari amal

saleh peneliti di akhirat nanti. Âmîn.

Jakarta, 26 Februari 2007

Peneliti

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang digunakan dalam tesis ini diadopsi dari Pedoman Transliterasi

Berdasarkan SK Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

No.158 tahun 1987 dan No.0543 b/1987 serta Pedoman Transliterasi Berdasarkan INIS

Fellow tahun 1991-1992.

A. Konsonan

th = ط Alif = ا

zh = ظ b = ب

‘ = ع t = ت

gh = غ ts = ث

f = ف j = ج

q = ق h = ح

k = ك kh = خ

l = ل d = د

m = م dz = ذ

n = ن r = ر

w = و z = ز

h = هـ s = س

= ء sy = ش

sh (Apostrof) = ص

y = ي dh = ض

B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap (tasydîd) di tulis rangkap

Contoh : مق د مة = muqaddimah

mutaqaddimîn = متقدمين

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

viii

C. Vokal

1. Vokal Tunggal

Ø Fathah ditulis “a” contoh: ضرب = dharaba

Ø Kasrah ditulis “i” contoh: رحم = rahima

Ø Dhammah ditulis “u” contoh: كتب = kutub

2. Vokal Rangkap

Ø Vokal rangkap ــي (fathah dan wawu mati) ditulis “ai”

Contoh: زينب = zainab كيف = kaifa

Ø Vokal rangkap ــو (fathah dan wawu mati) ditulis “au”

Contoh: حول = haula قول = qaul

D. Vokal Panjang

Ø ـاـ dan ــى (fathah) ditulis â, contoh: قام = qâma

Ø ـــي (kasrah) ditulis î, contoh: رحيم = rahîm

Ø ـــو (dhammah) ditulis û, contoh: علوم = ‘ulûm

E. T â’ Marbûthah

Ø T â’ marbûthah yang mati atau mendapat harakat sukun ditulis “h”

Contoh: مةمكة المكر = Makkah al-Mukarramah

al-syarî’ah al-islâmiyyah = الشريعة االسالمية

Ø Tâ’ marbûthah yang hidup ditulis “t”

Contoh: الحكومة = al-hukûmatu

al-islâmiyyatu = االسالمية

F. Hamzah

Ø Huruf hamzah (ء) diawal kata ditulis dengan vokal tanpa didahului oleh tanda

apostrof ( )

Contoh: ایمان = îmân

islâm = اسالم

Ø Huruf hamzah (ء) yang mati atau mendapat harakat sukun, baik di tengah

maupun di akhir kata ditulis dengan menggunakan tanda apostrof ( )

Contoh: بئر = bi’r

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

ix

’imlâ = إمالء

G. Lafzh al-Jalâlah

Lafazh al-Jalâlah (اهللا) yang berbentuk frase nomina ditulis tanpa hamzah

Contoh: عبد اهللا = ‘Abdullâh

Jârullâh = جار اهللا

H. Kata Sandang (al-)

1. Kata sandang (al-) tetap ditulis (al-), baik pada kata yang dimulai dengan huruf

qamariyyah maupun syamsyiyyah.

Contoh: االماكن المقدسة = al-amâkin al-muqaddasah

al-siyâsah al-syar’iyyah = السیاسة الشرعیة

2. Huruf (a) pada kata sandang (al-) tetap ditulis dengan huruf kecil, meskipun

merupakan nama diri.

Contoh: الماوردي = al-mâwardi

3. Kata sandang (al-) di awal kalimat pada kata “ Allah dan Al-Qurân” ditulis

dengan huruf kapital.

Contoh: Al-Afghânî adalah seorang tokoh pembaharu

Saya membaca Al-Qurân al-karîm

I. Singkatan-singkatan

SWT. = Subhânahu wa Ta’âla

SAW. = Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

A.s. = ‘Alaihi al-Salâm

Q.S. = Al-Qurân Surat

H. = Hijriyah

M. = Masehi

Cet. = Cetakan

t.p = Tanpa Penerbit

t.tp = Tanpa Tempat Penerbit

t.t = Tanpa Tahun

h. = Halaman

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

x

ABSTRAK

Ali Ma’sum, 2007. Istifhâm dalam Al-Qurân; Kajian Pragmatik terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab. Pembimbing (I) Dr. H. Moh. Matsna, MA. Pembimbing (II) Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA. Kata Kunci: Istifhâm, Al-Qurân, Kajian Pragmatik

Al-Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya. Sedangkan alat

yang digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab. Dalam melakukan interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam kalimat, diantaranya adalah kalimat pertanyaan (istifhâm). Istifhâm ini dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu kata tanya (adâwât al-istifhâm). Dalam Al-Qurân kesemua kata tanya (adâwât al-istifhâm) digunakan secara variatif sesuai dengan fungsinya masing-masing, akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata tanya hamzah menempati rating yang tertinggi, yaitu lebih dari 50% kalimat pertanyaan (istifhâm) dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya hamzah. Dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud dalam suatu wacana kadang tidak selalu linear dengan wujud formalnya. Hal ini juga berlaku bagi kalimat pertanyaan (istifhâm), yang mana disamping kalimat tersebut dapat digunakan untuk meminta informasi, kadang juga digunakan untuk fungsi lain berdasarkan konteks. Maka untuk mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya serta menemukan makna suatu wacana di luar wujud formalnya, dapat dilakukan melalui kajian pragmatik. Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis?Dan bagaimana implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatic yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis, serta menganalisis dan memerikan implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân. Penelitian ini didesain secara kualitatif dengan menggunakan rancangan analisis isi. Data dalam penelitian ini adalah semua kalimat istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan model analisis isi yang diadaptasi dari Klaus Krippendorf. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilakukan melalui tiga tahap analisis, yaitu; analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis. Analisis aspek sintaksis meliputi; pola, sasaran (obyek), dan jenis istifhâm. Pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangat bervariasi, hal ini disamping semakin memperkuat pendapat beberapa tokoh sintaksis Arab yang menyatakan bahwa hamzah adalah adâwât al-istifhâm yang asli, juga secara praktis dapat digunakan sebagai alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis bahasa Arab (nahwu) dan mengarang (insya’). Sasaran (obyek) penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân juga sangat bervariasi, akan tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa Al-Qurân benar-benar merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya, proses interaksi berlangsung secara multiarah, bukan doctrinal-eksklusif, dan Al-Qurân juga merupakan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

xi

kompendium yang komprehensif bagi manusia. Sedangkan dari sisi jenisnya, istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân terbagi menjadi dua, yaitu; istifhâm retoris dan istifhâm aretoris. Hal ini secara teoritis dapat digunakan untuk mengoreksi jenis pembagian pertanyaan yang dikemukakan oleh Gorys Keraf, yaitu; pertanyaan retoris, pertanyaan aretoris, dan pertanyaan senilai dengan perintah, yang menurut peneliti memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah sebagai salah satu jenis pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan pertanyaan aretoris kurang representatif. Dari aspek semantis diketahui bahwa sangat sedikit sekali kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang digunakan untuk fungsi (makna) dasarnya yaitu bertanya, hal ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech act) dalam Al-Qurân sangat minim. Sedangkan dari aspek pragmatis diketahui bahwasanya istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sebagian besar digunakan bukan untuk fungsi (makna) dasarnya yaitu bertanya, akan tetapi untuk fungsi-fungsi (tindak) lain, hal ini menunjukkan bahwa kesantunan bahasa Al-Qurân sangat tinggi yang dibuktikan dengan prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) di dalamnya sangat besar. Hasil penelitian dari aspek semantis dan pragmatis ini juga dapat digunakan untuk; Pertama, menunjukkan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act). Akan tetapi prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) dalam Al-Qurân sangat besar, yang membuktikan bahwa bahasa dalam Al-Qurân memiliki kesantunan yang tinggi. Kedua, mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson yang mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat disampaikan dengan berbagai bentuk tuturan. Di samping itu, bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang ditemukan dalam penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional (traditional grammar) yang membagi kalimat menjadi tiga, yaitu, kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif. Dan juga untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang membagi kalimat berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat suruh. Ketiga, bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan struktural dan semantis dalam menganalisis wacana, terutama dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qurân. Hal ini dikarenakan dalam kedua pendekatan tersebut hanya bentuk dan makna saja yang diperhatikan, sedangkan konteks dimana wacana tersebut dipakai tidak diperhitungkan. Sehingga kedua pendekatan tersebut hanya akan mampu mengungkap makna internal dari suatu teks Al-Qurân dan tidak mampu menjangkau makna eksternalnya. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari sisi langkah analisisnya, maupun dari sisi hasil temuan, dapat digunakan untuk mereformulasi sistem pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Quran yang ada saat ini, baik dari sisi kurikulum, buku ajar, sistem pembelajaran, dan sumber daya manusia (pengajar).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii

KATA PENGANTAR iv

PEDOMAN TRANSLITERASI vii

ABSTRAK x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Masalah Penelitian 7

C. Tujuan Penelitian 8

D. Kegunaan Penelitian 8

E. Penjelasan Istilah 10

F. Tinjauan Pustaka 12

G. Metodologi Penelitian 14

H. Teknik dan Sistematika Penulisan 20

BAB II. Istifhâm (Pertanyaan dalam Bahasa Arab ) 22

A. Pengertian Istifhâm 22

B. Klasifikasi Istifhâm 26

C. Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (Kata Tanya)

dalam Kalimat 29

BAB III. Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân 45

A. Pragmatik dan Ilmu Ma’âni 45

B. Cara Kerja Pragmatik dalam Menganalisis (Mengkaji) Wacana 52

C. Pijakan Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân 56

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

xiii

D. Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks)

Al-Qurân 62

BAB IV. Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 68

A. Analisis dan Pembahasan Hasil Kajian Pragmatik Penggunaan

Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 68

1. Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah

dalam Al-Qurân 68

a. Analisis Aspek Sintaksis 68

b. Analisis Aspek Semantis 99

c. Analisis Aspek Pragmatis 102

2. Pembahasan Hasil Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan

Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 167

a. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Sintaksis 167

b. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Semantis dan Pragmatis 179

B. Implikasi Pedagogis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata

Tanya Hamzah dalam Al-Qurân dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni

dan Tafsir Al-Qurân 187

1. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni 189

2. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Tafsir Al-Qurân

BAB V. PENUTUP 198

A. Kesimpulan 198

B Saran 203

DAFTAR PUSTAKA 205

LAMPIRAN 212

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

xiv

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

1. Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 171

2. Jenis istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

dan karakteristiknya 176

3. Tindak Illokusi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam

Al-Qurân 180

4. Hasil analisis aspek semantis dan pragmatis istifhâm yang menggunakan

kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 187

5. Kisi-kisi analisis penggunaan adawât al-istifhâm dalam Al-Qurân 212

6. Penggunaan adawât al-istifhâm dalam Al-Qurân 213

7. Kisi-kisi analisis pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 216

8. Kisi-kisi analisis sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân 217

9. Kisi-kisi analisis Jenis istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân 218

10. Kisi-kisi analisis aspek semantis dan pragmatis istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 219

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

xv

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qurân secara harfiah berarti bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan.

Al-Qurân al-Karîm berarti bacaan yang maha sempurna dan maha mulia. Kemaha

muliaan dan maha sempurnaan “bacaan” ini agaknya tidak hanya dapat dipahami oleh

para pakar, tetapi juga oleh semua orang yang mau menggunakan sedikit pikirannya. 1

Kemaha muliaan dan Maha sempurnaan Al-Qurân dibuktikan dengan fakta

bahwasanya tidak ada satu bacaan pun, selain Al-Qurân, yang dipelajari dan diketahui

sejarahnya bukan sekedar secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi tahun,

bulan, masa dan musim turunnya-malam atau siang bahkan sebab-sebab serta saat-saat

turunnya.

Disamping itu, tidak ada satu bacaan pun, selain Al-Qurân, yang dipelajari

redaksinya, bukan hanya dari segi penetapan kata demi kata dalam susunannya serta

pemilihan kata tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersurat dan tersirat,

bahkan sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.2

Al-Qurân disamping dianggap sebagai bacaan yang mencapai puncak

kesempurnaan, di dalamnya memuat undang-undang syarĭ’at dan sumber hukum Islam

yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap orang Islam, serta memuat penjelasan

tentang halal dan haram, perintah dan larangan, juga tentang tuntunan berperilaku dan

1 M. Quraish, Syihab, Lentera Hati, (Bandung; Penerbit Mizan, 1997), Cet, ke-8, h. 24 2 ibid, h. 25.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

2

bersikap bagi seorang muslim.3 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibrâhîm, bahwasanya

Al-Qurân adalah perkataan (kalam) Tuhan yang diturunkan kepada nabi Muhammad

SAW melalui perantaraan malaikat Jibril A.s. sebagai petunjuk bagi seluruh umat

manusia di muka bumi ini.4

Berdasarkan uraian tentang Al-Qurân di atas, maka cocok kiranya kalau

Dr. Yusuf Qardhawi memberikan definisi yang singkat, tetapi komprehensif, yaitu: “Al-

Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya”.5 Sedangkan alat yang

digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab, sebagaimana dalam

firman-Nya;

إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلونArtinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qurân dengan

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”6

Dalam melakukan interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam kalimat, antara

lain; kalimat pernyataan (jumlah khabariyah), kalimat perintah (amr), kalimat larangan

(nahi), kalimat pertanyaan (istifhâm), dan lain sebagainya. Istifhâm sebagai salah satu

ragam kalimat yang digunakan sebagai media interaksi dalam Al-Qurân, dalam

penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu kata tanya (adawât al-istifhâm),

yaitu; hamzah (Q.S. al-Nâziat (79): 27), hal (Q.S. al-Ghâsyiyah (88): 1), man (Q.S.

Yâsin (36): 52), mâ (Q.S. al-Syu’arâ’ (26): 23-24), matâ (Q.S. Yûnus (10): 48), ayyâna

3 Ahmad Musthafa al-Marâghi, Tafsĭr al-Marâghi, (Beirut; Dâr al-Fikr, tt), Juz. I, h. 5 4 M. Ismâ’îl Ibrâhîm, Al-Qurân wa I’jâzuhu al-‘Ilmi (Beirut: Dâr al-Fikr, 1951), h.12.5 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qurân, Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5. 6Al-Qurân surat Yusuf (12): 2

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

3

(Q.S. al-Qiyâmah (75): 6), aina (Q.S. al-An’am (6): 22), kaifa (Q. S. al-Isra’ (17): 48),

anna (Q.S. al-Baqarah (2): 223), kam (Q.S. al-Baqarah (2): 211), dan ayyu (Q.S.

Maryam (19): 73).

Dalam proses interaksi dalam Al-Qurân yang menggunakan ragam kalimat

istifhâm, kesemua kata tanya (adawât al-istifhâm) digunakan secara variatif dan sesuai

dengan fungsinya masing-masing, akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata

tanya hamzah menempati rating yang tertinggi, yaitu lebih dari 50% kalimat pertanyaan

(istifhâm) dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya hamzah. Untuk itulah peneliti

dalam penelitian ini memfokuskan topik kajiannya tentang penggunaan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân.

Disamping itu hamzah sebagai salah satu kata tanya yang terbanyak dipakai

dalam Al-Qurân, disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab sebagai asal dari

kata tanya (‘adawât al-istifhâm), atau adawât al-istifhâm yang asli. Tokoh-tokoh

tersebut antara lain; Ibnu Hisyâm dalam al-Mughninya mengungkapkan; “al-alifu ašl

adawât al-istifhâm.”7

Ibnu Ya’isy juga mengungkapkan dalam Syarh al-Mufasshalnya; ”Hamzah

adalah kata tanya (adawât al-istifhâm) yang asli dan bahasan yang pokok dalam bab

istifhâm. Hal ini dikarenakan hamzah dapat masuk dalam semua topik pembahasan

istifhâm (tashawwur dan tashdîq).8 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Mâlik dalam

7 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitab al-Asybah wa al-Nadzâir fî al-Nahw, (Beirut; Dâr al-Kutub al-

Arabi, tt), cet. 3, h. 140 8 ibid, h. 141

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

4

al-Mishbahnya; “Kata tanya-kata tanya selain hamzah merupakan pengganti dari

hamzah.”9

Kata tanya hamzah yang disinyalir sebagai kata tanya yang asli dapat digunakan

untuk mencari pengetahuan atau infomasi tentang dua hal, yaitu; (a) menanyakan satuan

atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur) dan (b) menanyakan tentang

nisbah (tashdĭq). Hal inilah yang membedakannya dengan kata tanya-kata tanya yang

lain, karena kata tanya hal hanya digunakan untuk menanyakan nisbah (tashdĭq),

sedangkan selainnya hanya dapat digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari

gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur).10

Dalam pandangan Searle, pertanyaan yang dikemukakan oleh penutur tidak

hanya untuk meminta informasi, tetapi dapat juga digunakan untuk permohonan.11 Hal

ini juga berlaku dalam konteks bahasa Arab bahwasanya istifhâm (pertanyaan) di

samping dapat digunakan untuk meminta informasi, kadang-kadang dapat digunakan

untuk fungsi lainnya berdasarkan konteks.12

Berdasarkan pandangan Searle dan Al-Hâsyimi di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud

dalam suatu wacana tidak selalu linear dengan wujud formalnya. Dengan kata lain, suatu

wacana termasuk ayat Al-Qurân yang wujud formalnya berbentuk istifhâm tidak selalu

berfungsi untuk meminta informasi atau menanyakan sesuatu yang belum diketahui oleh

9 Sayyid al-Jumali, Al-Balâghah al-Qurâniyah, (Kairo; Dâr al- Ma’rifah, 1993), h. 180 10Al-Sakâki, Miftâh al-Ulŭm, (Libanon; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), Cet.I, h. 308 11John Searle, Indirect Speech Acts, Dalam Petter Cole dan Jerry L. Morgan (Eds), Syntax and

Semantics Volume 3, (New York; Academic Press, 1975), h. 912 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’ (Indonesia;

Dâr Ihya al- Kutub al-‘Arabiyah, 1960), h. 94-95

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

5

penutur saja, akan tetapi ada fungsi lain berdasarkan konteks atau realitas sosial yang

melahirkan wacana tersebut.

Demikian pula suatu tuturan yang wujud formalnya tidak berbentuk istifhâm

terkadang dapat digunakan pula untuk meminta informasi. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Kartomihardjo: ”Bahwa sebuah ujaran bisa diinterpretasikan sebagai

pemberitahuan, ucapan kegembiraan, mengingatkan orang yang diajak bicara tentang

janjinya yang terdahulu dan sebagainya.”13

Untuk menentukan makna suatu wacana di luar wujud formalnya, dapat

dilakukan melalui pendekatan pragmatik. Pragmatik sebagai salah satu teori dalam ilmu

bahasa mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari

penentuan pemahamannya.14 Hal senada juga diungkapkan oleh Brown dan Yule15,

bahwasanya penganalisisan suatu wacana (teks) harus mempertimbangkan konteks

tempat terjadinya suatu wacana dan untuk menafsirkannya diperlukan pemahaman

terhadap siapa penutur dan petuturnya, serta waktu dan tempat wacana itu dihasilkan.

Dalam kaitannya dengan kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam

Al-Qurân, pemahaman konteks atau sosio-historis (asbâb al-nuzûl) maupun konteks

dalam ayat atau antar ayat amatlah penting. Hal ini beralasan karena antara pesan yang

dimaksud oleh ayat yang berbentuk istifhâm terkadang tidak selalu linear dengan wujud

formalnya.

13 Soeseno Kartomihardjo, Analisis Wacana dan Penerapannya, (Malang; IKIP Malang, 1992),

h. 4 14 Stephen C. Levinson, Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 1992), h. 21 15 Gillian Brown dan George Yule, Discourse Analysis (New York: Cambridge University Press,

1985), h. 27

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

6

Begitu penting pemahaman terhadap konteks atau sosio-historis (asbâb al-nuzûl)

sebagai piranti dalam memaknai ayat Al-Qur’ân, bahkan di kalangan ulama muhaqqiqûn

mengharamkan seseorang yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qurân tanpa

mengetahui asbâb al-nuzûl.16 Pendapat lain juga diungkapkan oleh Al-Shâbûni; “Bahwa

sebagian ayat-ayat Al-Qurân tidak dapat dipahami secara utuh, tanpa mengetahui asbâb

al-nuzûlnya.”17

Syihab pun juga menegaskan bahwasanya Al-Qurân tidak diturunkan dalam

masyarakat yang hampa budaya, melainkan ke masyarakat yang syarat dengan nilai-nilai

kultural, berikut ikatan-ikatan primordialnya masing-masing, serta turun dalam masa

cara benar, tidak terbatas pada aspek formalnya, melainkan juga aspek fungsionalnya.18

Oleh karena itu Hidayat mengungkapkan bahwasanya untuk dapat memahami

pesan yang terdapat di dalam Al-Qurân secara utuh, maka harus dicapai melalui cara-

cara yang benar, yakni suatu pemahaman yang tidak hanya terbatas pada aspek

formalnya melainkan juga aspek fungsionalnya.19

Berkaitan dengan uraian di atas, maka patutlah kiranya jika peneliti ingin

mengkaji penggunaan redaksi istifhâm dalam Al-Qurân, khususnya yang menggunakan

kata tanya hamzah dari sudut pandang kajian pragmatik sebagai topik penelitian ini,

dengan mengambil judul; “Istifhâm dalam Al-Qurân (Kajian Pragmatik terhadap

Penggunaan Kata Tanya Hamzah)

16 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulum Al-Qurân, (Surabaya; Karya Abditama, 1997), h. 97 17 M. Ali al-Shâbûni, Al- Tibyân fi Ulûm Al-Qurân, (Makkah; Kulliyah al-Syarîah wa al-Dirâsat

al-Islâmiyyah, 1980), h. 17 18Umar Syihab, Al-Qurân dan Rekayasa Sosial, (Jakarta; Pustaka Kartini, 1990), h, 9 19 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta;

Paramadina, 1996), h. 5

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

7

B. Masalah Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat diklasifikasikan seputar wacana dalam Al-Qurân yang

mengandung fungsi istifhâm, antara lain;

a. Ragam kalimat dalam Al-Qurân yang berfungsi istifhâm,

b. Kalimat istifhâm dalam Al-Qurân dengan berbagai macam kata tanyanya,

c. Penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan di atas, maka permasalahan yang

akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada permasalahan yang ketiga, yaitu;

Pengunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, khususnya ditinjau dari kajian

pragmatik.

3. Rumusan Masalah

Beranjak dari batasan masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian

ini, sebagai berikut; Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau

dari kajian pragmatik?, yang terbagi ke dalam dua sub pembahasan, yaitu;

a. Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian

pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu analisis aspek sintaksis, aspek

semantis, dan aspek pragmatis?

b. Bagaimana implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-

Qurân?

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

8

C. Tujuan Penelitian

Berpijak pada permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah di

atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memerikan penggunaan kata

tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatik dan dijabarkan ke dalam

dua sub pembahasan, yaitu;

1. Menganalisis dan memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

ditinjau dari kajian pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek

sintaksis, aspek semantis, dan aspek pragmatis.

2. Menganalisis dan memerikan implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan

kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir

Al-Qurân .

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif, baik secara

teoritis, praktis, maupun teologis.

1. Kegunaan Secara Teoritis

Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini minimal memberikan dua manfaat

seperti di bawah ini, yaitu:

a. Memberikan pengetahuan baru tentang wujud formal redaksi istifhâm dalam Al-

Qur’ân yang menggunakan kata tanya hamzah, serta wawasan tentang makna

semantis dan fungsi pragmatisnya. Sehingga berimplikasi bahwa pemahaman

terhadap ayat-ayat Al-Qurân tidak semata-mata didasarkan pada redaksi ayat

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

9

secara literal saja melainkan harus didasarkan pada pemahaman secara

komprehensif dengan melihat konteks yang ada.

b. Selain dapat memperkokoh teori pragmatik (tindak tutur) yang sudah ada dan

memperkaya teori tersebut dengan ditemukannya fungsi tuturan baru selain yang

telah dikemukakan oleh para pakar pragmatik, juga dapat digunakan untuk

mengoreksi teori yang sudah ada.

2. Kegunaan Secara Praktis

Secara praktis, diharapkan pula hasil penelitian ini minimal memberikan dua

manfaat, yaitu;

a. Dapat digunakan sebagai masukan untuk mereformulasi dan mengembangkan

sistem pembelajaran ilmu ma’âni yang sudah ada, baik dari aspek kurikulumnya,

buku ajar, sistem pembelajaran, maupun sumber daya manusianya (pengajar).

b. Dapat digunakan sebagai masukan untuk mereformulasi dan mengembangkan

sistem pembelajaran tafsir Al-Qurân, yaitu dengan menggunakan pendekatan

kontekstual.

3. Kegunaan Secara Teologis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi umat Islam secara umum,

agar keyakinan mereka tentang keistimewaan Al-Qurân bertambah, yaitu disamping Al-

Qurân merupakan kitab suci yang mengandung pedoman sistem nilai kehidupan dan

fenomena spiritual, Al-Qurân juga mengandung keistimewaan dari segi fenomena

keilmuan, salah satunya adalah fenomena ilmu bahasa yaitu dengan digunakannya

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

10

bahasa yang pragmatis di dalam Al-Qurân sebagai media interaksi antara Tuhan dan

hamba-Nya

E. Penjelasan Istilah

Judul tesis ini tersusun dari beberapa istilah yang pengertian-pengertiannya perlu

didefinisikan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan lebih lanjut.

Istifhâm merupakan istilah dalam bahasa Arab yang secara etimologi merupakan

bentuk mashdar dari kata istafhama yang berarti istaudhaha.20 Kata istifhâm dibentuk

dari akar kata fahima mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu

fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian istifhâm berarti permintaan

penjelasan, permintaan keterangan, kata tanya, atau menuntut keterangan (thalab al-

fahm).21

Sedangkan pengertian istilah istifhâm ini secara terminologi, salah satunya

adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa al-Marâghi: “Bentuk kalimat yang

dipergunakan untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang suatu masalah yang

belum diketahui sebelumnya.”22 Dan dalam bahasa Arab pada umumnya istifhâm ini

terletak di awal kalimat dan dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu

kata tanya (adawât al-istifhâm).

Hamzah merupakan salah satu kata tanya (adawât al-istifhâm). Hamzah ini

disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab, diantaranya; Ibnu Hisyâm, Ibnu

20 Azizah Fuwal, Al-Mu’jam al-Mufasshal, (Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah. 1992), h. 87 21Jalaluddin al-Suyûti, Al-Itqân fi Ulûm Al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 911 H), jilid. II, h. 79 22Ahmad Musthafa al-Marâghi, Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-Badî’,

(Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), jilid I, h. 89

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

11

Yaisy, dan Ibnu Mâlik sebagai kata tanya yang asli, sedangkan yang lainnya merupakan

pengganti (naib) darinya.23 Kata tanya selain hamzah adalah; hal, man, mâ, matâ, kaifa,

ayyâna, aina, anna, kam, dan ayyu.24

Dalam penggunaannya, kata tanya hamzah ini dapat digunakan untuk

menanyakan tentang dua hal, yaitu terkadang digunakan untuk menanyakan sesuatu atau

mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), dan terkadang juga bisa digunakan

untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq).25 Hal inilah yang menunjukkan

keunikannya serta membedakannya dari kata tanya-kata tanya yang lain.

Al-Qurân adalah merupakan media interaksi antara Tuhan dan hambaNya.26

Sedangkan alat yang digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab (Q.S.

Yusuf (12): 2). Dalam melakukan interaksi ini, Al-Qurân menggunakan beragam

kalimat diantaranya adalah kalimat pertanyaan (istifhâm).

Pragmatik adalah salah satu teori dalam ilmu bahasa yang mengkaji hubungan

antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya.27

Sedangkan kajian pragmatik dalam tesis ini akan dilakukan berdasarkan cara kerja

pragmatik dalam menganalisis wacana yang meliputi analisis aspek sintaksis dilanjutkan

dengan analisis aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.28

23 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit. 24 Abd Quds Abu Shalih, Kitab al-Balâghah Ilm al-Ma’âni wa al-Badî’, (Kerajaan Saudi Arabia;

Jamiah al-Imam Ibn Suud, 1403 H), h. 94 25 Ahmad al-Hâsyimi, Op cit, h. 85 26 Yusuf Qardhawi, Loc cit. 27 Stephen C. Levinson, Loc. cit 28 M. Ainin, Pertanyaan dalam Al-Qurân; Suatu Tinjauan Pragmatik dalam al-Hadârah,

(Yogyakarta; UGM Press, h. 126

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

12

Dari penjelasan istilah-istilah tersebut jadi yang dimaksud “Istifhâm dalam

Al-Qurân” (Kajian Pragmatik terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah) adalah kajian

pragmatik terhadap ayat-ayat Al-Qurân yang beredaksi istifhâm, khususnya yang

ditandai dengan kata tanya hamzah, sehingga nantinya dapat dicapai pemahaman yang

utuh dan benar terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qurân tersebut, yang

mana pemahaman tersebut tidak hanya terbatas pada aspek formalnya saja, melainkan

juga aspek fungsionalnya.

F. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai redaksi istifhâm dalam Al-Qurân memang telah banyak

dilakukan, baik dalam kitab-kitab klasik maupun dalam buku-buku hasil penelitian

dewasa ini. Namun sejauh penelaahan peneliti belum ditemukan pembahasan khusus

mengenai kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân.

Dalam buku-buku Ûlûm Al-Qurân, diantaranya; Al-Burhân fî Ûlûm Al-Qurân

karya Al-Zarkasyi, Al-Itqân fî Ûlûm Al-Qurân, karya al-Suyûthi, dan sebagainya, di

dalamnya memang dibahas tentang redaksi istifhâm, baik dari sisi kata tanyanya,

pembagiannya, maupun fungsinya. Akan tetapi sistem penjabarannya sangat singkat,

yaitu hanya menjabarkan fungsinya kemudian diambilkan beberapa contoh dari Al-

Qurân tanpa menjelaskan konteks yang melatarbelakangi ayat tersebut sehingga

berfungsi sebagaimana yang dijabarkan.

Sedangkan dalam buku-buku ilmu Balâghah yang peneliti bisa dapatkan,

diantaranya: Jawâhir al-Balâghah fî al- Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’ karya Ahmad

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

13

al-Hâsyimi, Al-Balâghah al-Wâdhihah karya Ali Jarim dan Musthafa Amin, Al-

Balâghah Al-Qurâniyah karya Sayyid Al-Jumali, dan sebagainya. Istifhâm merupakan

salah satu pembahasan dalam ilmu ma’âni, akan tetapi penjabaran dalam buku-buku

tersebut masih terlalu global dan bersifat dogmatis, yaitu terbatas pada penyajian contoh

yang terkadang tidak utuh dan jenis tindak tuturnya (fungsi) tidak disertai dengan

penjelasan konteks yang memadai.

Adapun hasil-hasil penelitian tentang istifhâm dalam Al-Qurân yang peneliti

temukan antara lain; skripsi dengan judul “Al-Aghrâd al-Balâghiyah min al- istifhâm fî

Sûrati Ali Imron” karya Khotibul Umam dan “ Uslûb al- istifhâm fî Sûrati Yûnus” karya

Ahmad Ziyad. Keduanya adalah mahasiswa Jurusan BSA Fakultas Adab UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Kedua skripsi tersebut hanya membahas tentang redaksi istifhâm

dalam salah satu surat Al-Qurân dengan menggunakan kajian ilmu ma’âni.

Skripsi lain yang peneliti temukan adalah skripsi karya Bon Aghwar salah satu

mahasiswa Jurusan BSA Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul

“Adawât al-istifhâm fî al-Lughah al-Arabiyah wa al-Lughah al-Injiliziyah (Dirâsah

Taqâbuliyah)” Dia berusaha mengkomparasikan antara kata tanya dalam bahasa Arab

dan bahasa Inggris, sehingga hasil penelitian memerikan tentang karakteristik dan sisi

persamaan serta perbedaan antara kata tanya dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Berlandaskan pada kepustakaan yang ada, peneliti ingin menerapkan suatu

pendekatan kebahasaan yang baru, yaitu pendekatan pragmatik untuk mengkaji

penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, sehingga hasil penelitian ini

diharapkan bisa memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dengan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

14

lebih detail dan keterbacaannya bisa lebih luas lagi, karena pendekatan pragmatik bisa

diterapkan untuk semua bahasa.

G. Metodologi Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.29 Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini terdapat sebagian karakteristik penelitian kualitatif,

diantaranya: (1) data berupa dokumen yang bersifat alamiah (natural setting), (2)

pengambilan sampel ditetapkan secara purposif, (3) peneliti sebagai instrumen kunci

dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data, (4) analisis data secara induktif,

dan (5) makna merupakan hal yang esensial. 30

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan rancangan analisis isi. Analisis isi ini

digunakan berdasarkan pada: (1) sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen,

(2) masalah yang dianalisis adalah isi komunikasi, dan (3) tujuan dalam penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan isi komunikasi dan membuat inferensi.31

2. Instrumen Penelitian

Sebagai penelitian yang bersifat kualitatif, instrumen kunci dalam penelitian ini

adalah human instrumen32, artinya, penelitilah yang mengumpulkan data, menyajikan

Lexy L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung; Rosda Karya, 1997), Cet.

Ke-8, h. 6. Dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.

21 Robert. C. Bogdan & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. (London; Allyn and Bacon, Inc, 1982), h. 10

31 Darmiyati Zuchdi, Panduan Penelitian Analisis Konten, (Yogyakarta; Lemlit IKIP Yogyakarta, 1993), h. 15. Istilah inferensi berarti menarik atau mengambil kesimpulan.

32 Robert. C. Bogdan & Sari Knopp Bicklen. Loc. Cit. Lihat pula D. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. (Bandung; Tarsito, 1988), h. 55. juga Kinayati Djojosuroto, Prinsip-prinsip Dasar

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

15

data, mereduksi data, mengorganisasi data, memaknai data, dan menyimpulkan hasil

penelitian.

Penggunaan manusia (peneliti) sebagai instrumen kunci dalam penelitian ini

karena penelitilah yang lebih memahami data sesuai dengan masalah penelitian,

memahami konteks, dan memaknai data penelitian. Selain instrumen kunci (peneliti),

dalam proses pengumpulan dan analisis data, peneliti juga menggunakan alat bantu

berupa panduan dan kisi-kisi analisis (lihat lampiran).

3. Data dan Sumber Data Penelitian.

Data dalam penelitian ini adalah kalimat istifhâm yang menggunakan kata tanya

hamzah yang terdapat dalam teks Al-Qurân. Data ditetapkan secara purposif, artinya,

data dalam penelitian ini dianalisis sampai informasi yang ditemukan sudah mencapai

variasi maksimum (tidak ditemukan informasi baru).

Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu; sumber data

primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Al-Qurân al-Karim.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini antara lain;

1) Buku asbâb al-nuzûl

♦ Asbâb al-nuzûl Karya Al-Wâhidy al-Naisâbûry

Penelitian Bahasa dan Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2000). Cet.1, h. 28. “Penelitian Kuallitatif mempunyai Setting Natural sebagai sumber data yang langsung dan peneliti adalah Kunci Instrumen”.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

16

♦ Lubâb al-nuqul fi asbâb al-nuzûl Karya Al-Suyûthi, dll

2) Buku Tafsir (terutama buku-buku tafsir bil ma’tsur)

♦ Jâmi’ al-bayân fi tafsîr Al-Qurân Karya Ibn Jarîr al-Thabary

♦ Tafsîr Al-Qurân al-karîm Karya Ibn Katsîr, dll

3) Buku ilmu Balaghah

♦ Al-bâlaghah Al-Qurâniyyah Karya Sayyid al-Jumaily

♦ Al-îdhah fî ulûm al-balâghah Karya Al-Qazwiny, dll

4) Buku ilmu Nahwu

♦ Al-adawât al-nahwiyyah wa ma’ânîhâ fi Al-Qurân al-karîm Karya M.A Sulthâni

♦ Kitâb al-asybah wa al-nadzâir fi al-nahwi Karya Al-Suyûthi,

dll

5) Buku Pragmatik

♦ Pragmatic Karya Stephen C. Levinson

♦ The Principles of pragmatics Karya Geoffrey Leech, dll.

4. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dokumentasi. Dalam pengumpulan data ini, peneliti mengidentifikasikan setiap kalimat

istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang terdapat dalam teks Al-Qurân.

Proses identifikasi tersebut dimulai dari ayat pertama dalam surat pertama (surat al-

Fâtihah) sampai ayat terakhir dalam surat terakhir (surat al-Nâs).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

17

Hasil identifikasi tersebut dicatat berdasarkan kisi-kisi analisis penggunaan adawât

al-istifham dalam Al-Qurân (lihat lampiran). Agar hasil identifikasi ini benar-benar

akurat, maka dilakukan berulangkali.

5. Prosedur Analisis Data

Berpijak pada tujuan penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara Kualitatif.

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis isi yang

di adaptasi dari Klaus Krippendorf. 33 Maka langkah-langkah yang dilakukan oleh

peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut;

1. Membaca teks (ayat) Al-Qurân secara keseluruhan (observasi mentah).

2. Menentukan unit (unitisasi). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Klaus

Krippendorf; “Unitisasi meliputi penetapan unit-unit, memisahkan data menurut

batas-batasnya, dan mengindentifikasi data untuk analisis berikutnya.34 Dalam

unitisasi ini, peneliti mengidentifikasi dan memisah-misahkan antara teks (ayat)

Al-Qurân yang berbentuk istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dengan

teks (ayat) yang lainnya.

3. Menetapkan data yang dianalisis (sampling). Cara penetapan sampel dalam

penelitian ini sebagaimana yang telah diuraikan pada butir data dan sumber data

penelitian.

4. Membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk di

analisis sesuai yang tertera dalam dokumen.

33 Klaus Krippendorf. Content Analysis An Intruduction to its Metodology, (London; Sage

Publication, 1980), h. 54. 34 Ibid, h. 57

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

18

5. Mereduksi data, (terkadang tahapan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan

unitisasi). Dalam mereduksi data ini, peneliti memilih dan memilah data yang

relevan dan yang kurang relevan untuk dianalisis. Dengan kata lain, data yang

relevan dengan tujuan penelitian ini dianalisis, sedangkan data yang kurang

relevan dengan tujuan penelitian tidak di analisis (disisihkan).

6. Membuat inferensi terhadap data yang telah di identifikasi. Dalam hal ini,

peneliti menggunakan konstruk analisis, yaitu suatu upaya mengoperasikan

pengetahuan analisis tentang saling ketergantungan antara data dan konteks.35

Dengan demikian, dalam pembuatan inferensi, terutama inferensi tentang analisis

aspek semantis (makna) dan pragmatis (fungsi), peneliti mengkaji konteks atau

asbâb al-nuzûl ayat yang beredaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya

hamzah, serta mengkaji penjelasan yang diungkapkan oleh para ahli tafsir.

Hasil inferensi selanjutnya dikategorikan bedasarkan pembagian tindak illokusi

yang dikemukakan oleh Leech, yaitu tindak asertif, direktif, komisif, ekspresif,

dan rogatif.36

Selain itu untuk memperkuat interpretasi, selain menggunakan konteks (asbâb

al-nuzûl) maupun melalui pandangan para ahli tafsir, peneliti juga menggunakan

facility conditions (kondisi kesesuaian).37 Dalam kondisi kesesuaian ini dicermati

35 Ibd, h. 99 36 Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics, (New York: Longman Linguistic Library, 1983), h.

105-106. Lihat juga John R. Searle, A Taxonomy of Dictionary Acts, dalam A.P Martin (Ed), The Philosophy of Language. (New York: Oxford University press, 2001). Edisi. 4, h. 97. Penjelasan dan penjabaran secara mendetail mengenai pembagian tindak illokusi terdapat pada bab III (Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân).

37 Abd Syukur, Ibrâhîm, Kajian Tindak Tutur, (Surabaya; Usaha Nasional, 1992), h, 35

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

19

kondisi kesesuaian dari tiga sisi, yaitu: dari sisi penutur (mutakallim), petutur

(mukhathab), dan pesan tuturan.

7. Melakukan analisis dan membahas hasil analisis. Kegiatan yang dilakukan dalam

menganalisis data adalah menentukan lalu mengklasifikasikan (membuat

kategori) kemudian menjelaskan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-

Qurân berdasarkan analisis aspek sintaksis (pola, sasaran, dan jenis), aspek

semantis (makna), dan aspek pragmatis (fungsi) berdasarkan hasil inferensi.

8. Melakukan Validasi. Teknik validasi atau keabsahan temuan yang dipakai oleh

peneliti adalah sebagaimana yang akan diuraikan pada butir berikut (Keabsahan

Temuan).

6. Keabsahan Temuan

Untuk memperoleh hasil analisis atau temuan yang sahih, maka sejak proses

pengumpulan data sampai pada tahap analisis digunakan teknik pensahih data yang

diadaptasi dari Lincoln dan Guba,38 sebagai berikut :

1. Observasi terus menerus (persistent observation) atau membaca dan mengkaji

terhadap sumber data.

2. Memanfaatkan sumber diluar data yang dianalisis (trianggulasi).

3. Mendiskusikan dengan teman sejawat dan pihak lain yang dipandang ahli

(perdebreifing).

4. Memeriksa kembali data dan catatan yang ada (referencial adequacy check).

38 Yunna S. Lincoln dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry. (London; sage Publication, 1985),

h. 201

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

20

Dalam memanfaatkan sumber di luar data yang dianalisis (trianggulasi), peneliti

mengadaptasi model trianggulasi yang dikemukakan oleh Cohen dan Manion.39 Model

yang dimaksud adalah trianggulasi teori, peneliti dan metodologi. Dalam penelitian ini,

jenis trianggulasi yang digunakan adalah trianggulasi peneliti dan Metodologi.

Trianggulasi peneliti dilakukan dengan cara meminta bantuan para ahli yang

berkompeten untuk memeriksa hasil analisis, misalnya ahli sintaksis bahasa Arab, ahli

pragmatik, ahli tafsir, dan sebagainya.

Sedangkan Trianggulasi metodologi dilakukan dengan cara pemanfaatan

berbagai sumber (dokumen) lain yang relevan. Sumber (dokumen) lain yang dimaksud

antara lain buku tafsir dan buku-buku asbâb al-nuzûl. Hal ini dilakukan, karena

diharapkan dari kedua jenis buku tersebut bisa diperoleh informasi penting tentang

konteks atau asbâb al-nuzûl, maupun penjelasan para ahli tafsir mengenai maksud suatu

teks (ayat) yang dianalisis.

H. Teknik dan Sistematika Penulisan

1. Teknik Penulisan

Untuk menghindari kesalahan dalam penulisan dan memudahkan dalam

pemahaman terhadap tulisan ini, maka peneliti menggunakan metode penulisan tesis

yang mengacu pada buku: “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang

diterbitkan oleh UIN Jakarta Press tahun 2002.

39 L. Cohen dan L. Manion, Research Methods in Education, (London: Routledge, 1994), h. 56

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

21

2. Sitematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini disusun dalam lima bab. Satu bab pendahuluan,

tiga bab pembahasan sebagai hasil penelitian, dan satu bab penutup. Setiap bab

mengandung pasal yang merupakan pokok bahasan dari setiap bab.

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang

masalah, masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan istilah,

tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan teknik serta sistematika penulisan.

Bab Kedua pembahasan difokuskan pada istifhâm (pertanyaan dalam bahasa

Arab) yang meliputi: pengertian istifhâm, klasifikasi istifhâm, dan aplikasi penggunaan

adawât al-istifhâm (kata tanya) dalam kalimat.

Bab Ketiga berisikan tentang pragmatik dalam mengkaji wacana (teks) Al-

Qurân yang meliputi: pragmatik dan ilmu ma’âni, cara kerja pragmatik dalam

menganalisis (mengkaji) wacana, pijakan pragmatik dalam mengkaji wacana (teks) Al-

Qurân, dan teori tindak tutur dalam mengkaji fungsi pragmatik wacana (teks) Al-Qurân.

Bab Keempat berisikan inti pembahasan, yaitu analisis dan pembahasan hasil

kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang meliputi: analisis

aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis. Serta implikasi

pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam

pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân.

Bab Kelima penutup berupa kesimpulan dan saran.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

22

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

BAB II

ISTIFHÂM

(Pertanyaan dalam Bahasa Arab)

A. Pengertian Istifhâm

Istifhâm -sebagai salah satu kalam insyâ’ thalabi1-secara etimologi merupakan

mashdar dari kata istafhama yang berarti istaudhaha.2 Kata istifhâm berasal dari akar

kata fahima yang berarti faham, mengerti, dan jelas.3. Bentuk mashdar kata fahima

adalah fahm artinya mengetahui sesuatu dengan baik.4 Sehingga kalimat “fahima al-amr

aw al-ma’na” dipahami dengan seseorang mengetahui sesuatu atau makna tertentu serta

memiliki pengertian dan gambaran yang baik tentang hal tersebut.5

Al-Fahm juga dirumuskan sebagai suatu keadaan (haiât) jiwa manusia yang

sanggup menentukan apa yang terbaik.6 Kata ini terutama dipergunakan untuk

1 Ibrâhim Syamsudin dalam Marja’ al-Thullâb fi al-Insyâ’-nya mengungkapkan bahwa dalam

ilmu ma’âni, tuturan atau kalâm dibagi menjadi dua, yaitu kalâm khabar dan kalâm insyâ’. Kalâm khabar adalah tuturan yang di dalamnya mengandung suatu kebenaran maupun kebohongan karena adanya suatu tuntutan kesesuaian antara konteks kalimat dan fenomena yang berlangsung. Sedangkan kalâm insyâ’ adalah tuturan yang di dalamnya tidak mengandung suatu unsur kebenaran maupun kebohongan. Kalâm insyâ’ terbagi menjadi dua, yaitu kalâm insyâ’ thalabi (tuturan yang dipergunakan untuk mengungkapkan permintaan), dan kalâm insyâ’ ghair al-thalabi (tidak dipergunakan untuk mengungkapkan permintaan). Di tambahkan oleh Al-Hâsyimi dalam Jawâhir al-Balâghah-nya , dari kedua jenis kalâm insyâ’ tersebut, yang menjadi kajian dalam ilmu ma’âni adalah kalâm insyâ’ thalabi yang terdiri dari istifhâm (pertanyaan), amr (perintah), nahy (larangan), tamanî (mengkhayal), dan nidâ’ (panggilan).

2 Azizah Fuwal, Loc. Cit. 3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Ponpes al-

Munawwir Krapyak, 1984) h. 1156 4 ibid 5 M. Ismâil Ibrâhim, Mu’jam al-Alfâdz wa al-A’lâm Al-Qurâniyah, (Beirut; Dâr al-Fikr al-Arabi,

tt). h. 407 6 Husain, Abd al-fatah, al-Ifshah fi al-Lughah, (Kairo; Dâr al-Fikr al-Arabi, tt) h. 149. Lihat pula

Al-Raghib al-Isfahâni. al-Mufradât fi Gharib Al-Qurân (Mesir; Musthafa al-Bâb al-Halabi wa Aulâduh, 1961), h. 386

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

23

memahami tuturan (kalâm). Sedangkan sekelompok para ahli lain berpendapat bahwa

al-fahm juga dipergunakan untuk memahami jenis keterangan lainnya seperti isyarat.7

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kata al-fahm

menunjukkan kualitas pengertian terbaik yang dimiliki seseorang. Hal ini akan tampak

lebih jelas, jika kita mengacu pada pemakaian kata ini di dalam Al-Qurân yang hanya

disebutkan satu kali, yaitu pada surat al-Anbiyâ’ (21): 79 yang berbunyi;

ففهمناها سليمان وكلا ءاتينا حكما وعلما وسخرنا مع داود الجبال نيلا فاعكنو رالطيو نحبسي

Artinya; “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih

bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”

Maka ayat tersebut dapat dipahami, bahwa dengan al-fahm, Sulaiman

menetapkan hukuman yang jitu dan adil, suatu keistimewaan yang dimilikinya

dibanding Daud, sekurang-kurangnya dalam kasus yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.

Kaitannya dengan istifhâm adalah bahwa kata istifhâm dibentuk dari akar kata

fahima mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu fungsinya

adalah untuk meminta. Dengan demikian istifhâm berarti permintaan penjelasan,

permintaan keterangan, kata tanya, atau menuntut keterangan (thalab al-fahm).8

Sedangkan pengertian istifhâm secara terminologi adalah sebagai berikut; Al-

Zarkasyi dalam Al-Burhânnya menjelaskan bahwa istifhâm adalah mencari pemahaman

7 Abu Hilâl al-‘Askari, Al-Furûq fi al-Lughah, (Beirut; Dâr al-Afâq al-Jadidah, 1973), h. 79-80 8 Jalaluddin al-Suyûthi, Al-Itqan fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 911 H), h. 79. Lihat pula

Ibn Hisyâm, Mughni al-Labib (Beirut; Maktabah al-Ashriyah, tt) Jilid I, h. 19

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

24

tentang sesuatu hal yang tidak diketahui.9 Dalam Al-Mu’jam al-Mufasshal disebutkan

bahwa istifhâm adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah, serta sifat

dari suatu hal.10 Sedangkan dalam Al-Balâghah al-Wâdhihah, istifhâm didefinisikan

dengan mancari pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.11

Definisi lain juga diungkapkan oleh Nabîl Raghîb, yaitu ingin mengetahui

tentang sesuatu.12 Al-Hâsyimi mendefinisikan istifhâm dengan menuntut tahu sesuatu

yang belum pernah diketahui sebelumnya.13 Dengan demikian istifhâm dengan berbagai

redaksi definisi diatas memiliki satu maksud pokok, yaitu mencari pemahaman tentang

suatu hal, atau dengan kata lain istifhâm adalah bentuk kalimat yang dipergunakan untuk

mendapatkan informasi yang jelas tentang suatu masalah yang belum diketahui

sebelumnya.14

Mengacu pada pengertian istifhâm yang telah dipaparkan di atas, maka secara

umum istilah pertanyaan –termasuk juga istifhâm dalam bahasa Arab- memiliki acuan

yang berbeda-beda.15Istifhâm (pertanyaan) dapat dilihat dari sudut pandang sintaksis,

semantis, dan juga pragmatis.

9 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 1980), Jilid II, h. 326. Lihat

pula Ibnu Hisyâm, Loc.Cit. 10 Azizah Fuwal, Loc. Cit. 11 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Al-Balâghah al-Wâdhihah, (Surabaya; Al-Hidayah, 1961), h.

273 12 Nabil Raghîb, Al-Qawâid al-Dzahabiyah Li Itqân al-Lughah al-Arabiyah fi al-Nahw wa al-

Sharf wa al- Balâghah, (Kairo; Maktabah Gharib, 1982), h. 76 13 Ahmad al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 85, lihat pula M. al-Tunjiy, Al-Mu’jam al-Mufasshal fi al-Adâb,

(Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993) Jilid I, h. 89 14 Lihat Ahmad Musthafa al-Marâghi, Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-

Badi’, (Beirut; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid. 1, h. 89 15 Rofi’uddin, A.H. Sistem Pertanyaan dalam Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan,

(Malang; PPS IKIP Malang, 1994), h. 30

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

25

Dari sudut pandang sintaksis, istifhâm (pertanyaan) merupakan suatu ujaran yang

ditandai oleh ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud antara lain adalah: (a) intonasi

yang digunakan adalah intonasi tanya, dan (b) ditandai dengan penggunaan kata tanya.16

Kata tanya dalam bahasa Arab adalah: hamzah (apakah), hal (apakah), mâ (apa), man

(siapa), kaifa (bagaimana), matâ (kapan), ayyâna (bilamana), annâ (darimana), kam

(berapa), aina (dimana) dan ayyu (apa/siapa).17

Dari sisi semantis, istifhâm (pertanyaan) merupakan suatu ujaran yang fungsinya

untuk meminta informasi.18 Oleh karena istifhâm (pertanyaan) berfungsi untuk meminta,

maka dalam kajian ilmu ma’âni, istifhâm (pertanyaan) dimasukkan ke dalam kategori

kalâm insyâ’ thalabi.19

Sedangkan dari sisi pragmatis, istifhâm (pertanyaan) memiliki berbagai fungsi.

Menurut Al-Hâsyimi, istifhâm (pertanyaan) dapat memiliki berbagai fungsi (keluar dari

makna asalnya) karena dipengaruhi oleh konteks, misalnya untuk melarang,

memerintah, mengejek, menghayal, meminta kepastian dan lain-lain.20 Sedangkan dalam

istilah Rofi’uddin, secara pragmatis istilah pertanyaan mengacu pada pengertian jenis

tindak illokusi tertentu21, yang menurut Geoffrey leech tindak illokusi tersebut meliputi

tindak asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan rogatif.22

16 Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Flores; Nusa Indah, 1984), h. 30 17 Ahmad al-Hâsyimi , Loc. Cit, lihat pula Abd Quds Abu Shalih, Kitâb al-Balâghah Ilm al-

Ma’âni wa al-Badi’, ( Kerajaan Saudi Arabia; Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ûd, 1403 H), h. 94 18 ibid 19 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit. 20 Ahmad al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 91-93 21 Rofi’uddin, A. H. Op. Cit, h. 31 22 Geoffrey, Leech, Loc. Cit. Penjelasan dan Penjabaran secara mendetail masing-masing tindak

lihat bab III, sub bab (Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

26

B. Klasifikasi Istifhâm

Istifhâm berdasarkan kata tanyanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: harf al-

istifhâm (partikel tanya/ particle of interrogation) dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/

interrogative noun).23

1. Harf al-Istifhâm (Partikel Tanya/Particle of Interrogation)

Adawât al-Istifhâm yang terdiri dari harf al-istifhâm (partikel tanya/ particle of

interrogation) ada dua, yaitu: hamzah dan hal yang biasa diartikan “apakah”.24

Harf dalam tataran kalimat bahasa Arab merupakan kata yang maknanya dapat

sempurna bila disertakan dalam kata lainnya. Dalam Syarh Mukhtashar Jiddan

disebutkan bahwasanya harf adalah kata-kata yang baru mempunyai arti apabila

dihubungkan dengan kata-kata lainnya, seperti ilâ, hal, lam dan lain sebagainya.25

Sedangkan Anton al-Dahdah mendefinisikan harf sebagai kata yang tidak sempurna

pengertiannya, melainkan bila dirangkaikan dengan kata benda atau kata kerja.26

Adapun pengertian harf al-istihâm (partikel tanya/ particle of interrogation)

batasan tegasnya tidak ditemukan, sebab dalam buku Gramatika bahasa Arab yang dapat

peneliti temukan, tidak ada satupun yang membuat batasan pengertian khusus sebagai

salah satu unsur kalimat dalam bahasa Arab. Menurut hemat peneliti, para linguistik

23 Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Kairo; Al-Maktabah al-Mujallad

al-Iraq, tt), h. 189. Lihat pula Muhammad Abu Fâdhil Ibrâhim, Al-Burhân fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Maktabah al-Ashriyah, tt), Jilid. 2, h. 332 Lihat juga Khalil Habib Shayigh, Al-Mushthalahat al-Nahwiyyah; Araby Injilizy, (Beirut: Maktabah Lubnan, 2000), h. 3 dan 11. Juga M. H. Bakalla, dkk, A Dictionary of Modern Linguistic Term; English- Arabic and Arabic-English, (Beirut; Libraire du Liban, 1983), h. 4 dan 34.

24 Abd Quds Abu Shalih, Loc. Cit 25 Ahmad Zaini Dahlan, Syarh Mukhtashar Jiddan; Terjemahan Prof. H. Chatibul Umam, dkk,

Pedoman Dasar Ilmu Nahwu (Jakarta; Darul Ulum Press. 1996), h. 6 26 Anton al-Dahdah, Mu’jam Qawâid al-Lughah al-Arabiyah fi Jadâwil wa Lawhât, (Beirut;

Maktabah Lubnân, 1981), h. 204

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

27

Arab cenderung hanya mendefinisikan dengan jelas ism al-istifhâm (pronomina tanya/

interrogative noun) saja dan mereka membicarakan istifhâm berdasarkan kata tanyanya

langsung ke pembagiannya, yaitu; harf al-istifhâm (partikel tanya/ particle of

interrogation) dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun).

Oleh karena itu peneliti mencoba mendefinisikan harf al-istifhâm (partikel tanya/

particle of interrogation) sebagai bentuk kata tugas yang ada pada redaksi istifhâm,

sekaligus digunakan untuk membedakannya dari adawât al-istifhâm yang lain, yaitu ism

al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun).

2. Ism al-Istifhâm ( pronomina tanya/ interrogative noun)

Adawât al-Istifhâm yang merupakan ism al-istifhâm (pronomina tanya/

interrogative noun) adalah man (siapa), mâ (apa), matâ (kapan), kaifa (bagaimana),

ayyâna (bilamana), aina (dimana), annâ (dari mana), kam (berapa), dan ayyu (siapa atau

apa).27

Ism (kata benda/ noun) adalah salah satu bagian dari unsur kata yang membentuk

kalimat bahasa Arab. Unsur kata lainnya yang membentuk kalimat dalam bahasa Arab

adalah fi’il dan harf. Ketiga macam unsur ini membentuk kalimat bahasa Arab yang

dinamakan jumlah mufîdah atau kalimat sempurna.28

Ism al- istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun) sebagai bentuk kedua

dari adawât al-istifhâm (kata tanya) dalam pengertiannya adalah ism (kata benda/ nuon)

yang dalam pemakaiannya digunakan untuk menuntut penjelasan tentang sesuatu

urusan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Anton al-Dahdah:

27 Abd Quds Abu Shalih, Loc. Cit 28 Anton al- Dahdah, Op.Cit, h. 1-13

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

28

اسم االستفهام هو اسم يستعمل به عن شيء او أمرIsm al- istifhām (pronomina tanya/ interrogative noun) adalah ism (noun) yang

digunakan untuk menuntut penjelasan tentang suatu atau urusan29

Juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa al-Ghalâyaini dalam Jâmi’

al-Durûsnya;

اسم االستفهام هواسم مبهم يستعمل به عن شيءIsm al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun) adalah ism (noun) yang

masih memerlukan penjelasan dan digunakan untuk menuntut penjelasan tentang sesuatu yang ingin diketahui.30

Dari pendapat diatas dapat diketahui, bahwasanya ism al-istifhâm (pronomina

tanya/ interrogative noun) adalah bentuk kata tanya yang dikategorikan ke dalam ism

yang mubham (masih memerlukan penjelasan) dan menuntut penjelasan akan sesuatu

yang belum diketahui secara pasti.

Sedangkan berdasarkan sesuatu yang ditanyakan (al-thalab), istifhâm

diklasifikasikan ke dalam tiga bagian,31 yaitu;

1. Istifhâm yang terkadang digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari

gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), akan tetapi terkadang juga bisa

digunakan untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq). Istifhâm ini biasanya

menggunakan kata tanya hamzah.

2. Istifhâm yang hanya digunakan untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq) saja.

Istifhâm ini biasanya mnggunakan kata tanya hal.

29 Ibid. h. 97 30 Musthafa al-Ghalâyaini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyah, (Beirut; Al-Maktabah al-Ashriyah,

1984), Jilid. I, h. 141 31 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 85. Lihat pula. Al-Sakâki, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

29

3. Istifhâm yang hanya digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari gambaran

sesuatu yang mufrad (tashawwur) saja. Istifhâm ini menggunakan kata tanya yang

biasa disebut ism al- istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun), yaitu: man,

mâ, matâ, kaifa, ayyâna, aina, annâ, kam, dan ayyu.

Adapun contoh-contoh penggunaannya dalam kalimat, akan diuraikan pada bab

berikutnya “Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (kata tanya) dalam Kalimat”

Adapun dari aspek jawabannya, pertanyaan secara umum-juga istifhâm dalam

bahasa Arab- menurut Gorys Keraf terbagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) pertanyaan

retoris, (2) pertanyaan aretoris, dan (3) pertanyaan yang senilai dengan perintah.32

Gorys Keraf menjelaskan bahwa pertanyaan retoris adalah suatu pertanyaan

yang sama sekali tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan aretoris adalah suatu

pertanyaan yang menghendaki adanya suatu jawaban dari mitra tutur. Sementara itu,

pertanyaan yang senilai dengan perintah adalah suatu pertanyaan yang fungsinya bukan

untuk meminta informasi, melainkan berfungsi sebagai suatu perintah.33

C. Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (Kata Tanya) dalam Kalimat

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya istifhâm dilihat dari adawât

(kata tanya) nya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: harf al-istifhâm (partikel

tanya/ particle of interrogation), dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative

noun). Untuk mensistematik pembahasan tentang aplikasi penggunaan adawât al-

32 Gorys Keraf, Op.Cit, h. 27 33 ibid.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

30

istifhâm (kata tanya) dalam kalimat, maka akan dijabarkan sesuai urutan kedua kategori

tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Harf al-Istifhâm (Partikel Tanya/ Particle of Interrogation)

Harf al-Istifhâm (partikel tanya/ particle of interrogation) ada dua, yaitu;

hamzah dan hal.

a. Hamzah (ء )

Hamzah sebagai salah satu adawât al-istifhâm (kata tanya) disinyalir oleh

beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab sebagai asal dari adawât al-istifhâm, antara lain

oleh Ibn Hisyâm dalam Al-Mughninya, Ibnu Ya’isy dalam Syarh al-Mufasshalnya34, dan

juga Ibnu Mâlik dalam Al-Misbâhnya.35

Oleh karena itu dalam penggunaannya, hamzah dapat digunakan untuk mencari

pengetahuan tentang dua hal, yaitu: tashawwur dan tashdîq.

1) Hamzah li al-Tashawwur

Dalam penggunaannya hamzah li al-tashawwur ini dimaksudkan untuk

menanyakan satuan, atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad.36 Pada hamzah ini,

yang ditanyakan itu adalah kata yang menghampiri hamzah itu sendiri dan sesudahnya,

biasanya dalam pemakaiannya ada mu’âdil (pembanding) yang disebutkan setelah am

muttashilah. Contohnya:

34 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitab al-Asybah wa al-Nadzâir fi al-Nahw, Loc. Cit. 35 Sayyid al-Jumali. Loc. Cit. 36 Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Indonesia; Al-Maktabah al-Hidayah,

tt), h. 108. Lihat pula Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Loc. Cit, Dan A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balâghah, (Bandung; Angkasa, tt. ), h. 99-100

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

31

؟أ أمحد مسافر أم زيدAhmadkah yang bepergian atau Zaid?

Dalam contoh di atas orang yang bertanya itu sudah mengetahui adanya orang

yang bepergian, hanya dia belum tahu siapa yang pergi itu. Jadi yang ditanyakan adalah

berupa satuan, yaitu: Ahmadkah atau Zaidkah? Atau dengan kata lain yang ditanyakan

adalah kata yang menghampiri hamzah, yaitu Ahmad dan sesudahnya ada mu’âdil yang

disebutkan setelah am muttashilah, yaitu: Zaid.

Penggunaan hamzah li al-tashawwur dapat ditemukan pada ayat Al-Qurân

diantaranya:

a). Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27.

اءملقا أم السخ دأش أنتما ءاهنب. Artinya: Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya

ataukah langit? Allah telah membangunnya.

b). Q.S. al-Thûr (52):15

أفسحر هذا أم أنتم ال تبصرونArtinya: “ Maka apakah ini sihir? Ataukah

kamu tidak melihat?

2) Hamzah li al-Tashdîq

Dalam penggunaannya, hamzah li al-tashdîq ini dimaksudkan untuk menanyakan

tentang nisbah, yaitu menanyakan ada atau tidaknya hubungan antara musnad dan

musnad ilaih atau ada tidaknya hubungan.37 Dengan kata lain hamzah disini digunakan

37 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 87

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

32

untuk menanyakan sesuatu yang meragukan atau untuk menanyakan suatu kepastian,

yaitu menanyakan ada atau tidak ada keterangan bagi subyek. Maka yang dipertanyakan

oleh hamzah li al-tashdîq ini adalah nisbah sesuatu kepada yang lain dan sesudahnya

tidak ada am muttashilah dan mu’âdil.

Seperti contoh:

a). Q. S. al-Anbiyâ’ (21): 36

أهذا الذي يذكر ءالهتكم وإذا رآك الذين كفروا إن يتخذونك إلا هزوا

ن وهم بذكر الرحمن هم كافروArtinya: “ Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu,

mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): “ Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?” Padahal mereka adalah

orang-orang yang ingkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.”

b) Q.S. al-Qamar (54): 24

إنا إذا لفي ضلال وسعر أبشرا منا واحدا نتبعهفقالوا Artinya: “ Maka mereka berkata:” Bagaimana kita akan mengikuti saja seseorang manusia (biasa) diantara kita? Sesungguhnya kalau begitu

benar-benar dalam keadaan sesat dan gila.”

Pada kedua contoh di atas memperlihatkan pada kita bahwa si pembicara

bimbang dan ingin mengetahui suatu kepastian. Seperti pada contoh (a) yang

dipertanyakan adalah hubungan mencela Tuhan dengan orang kafir, dan pada contoh

(b) yang dipertanyakan adalah ada atau tidaknya hubungan menuruti perintah seorang

rasul (manusia biasa) dengan keimanan mereka.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

33

Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui, bahwa pemakaian kata tanya

hamzah itu mempunyai dua makna, yaitu untuk menanyakan satuan atau mencari

sesuatu gambaran yang mufrad yang disebut dengan tashawwur, dan untuk menanyakan

nisbah yang disebut sebagai tashdîq. Penggunaan kata tanya hamzah inilah (khususnya

yang terdapat dalam ayat Al-Qurân) yang akan peneliti kaji dalam tesis ini dengan

menggunakan pisau analisis kajian pragmatik.

b. Hal ( هل )

Penggunaan hal sebagai kata tanya dalam kalimat istifhâm, dimaksudkan untuk

menanyakan tentang nisbah (li al-tashdîq). Oleh karena itu sesudah hal tidak boleh ada

mu’âdil dan ‘am muttashilah. Hal ini sebagaimana contoh di bawah ini;

1) Q. S. al-Ghâsyiyah (88): 1

ةيالغاش يثدل أتاك حه Artinya:“Sudah datangkah kepadamu berita

(tentang) hari pembalasan?”

2) Q.S Thâhâ (20): 9

وھل أتاك حدیث موسىArtinya: ”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”

Dari kedua contoh di atas diketahui bahwa si pembicara pada setiap kalimat

masih bimbang dalam mengetahui nisbah (hubungan), sehingga ia tidak tahu apakah

nisbah itu terjadi ataukah tidak. Jawaban pertanyaan semacam ini dapat menggunakan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

34

kata na’am (ya) bila nisbahnya terjadi, dan dengan kata lâ (tidak) bila nisbahnya tidak

terjadi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata tanya hal hanya digunakan

untuk menanyakan tentang nisbah, bukan yang lain, jadi setelah kata tanya hal tidak

dapat disebutkan mu’âdilnya (bandingan).

2. Ism al-Istifhâm (PronominaTanya/ Interrogative Noun)

Ism al-istifhâm terdiri dari sembilan kata tanya. Masing-masing memiliki ciri-ciri

tersendiri dalam membentuk kalimat pertanyaan dalam bahasa Arab. Kesembilan ism al-

istifhâm ini seluruhnya digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari gambaran

sesuatu yang mufrad (tashawwur), maka jawaban dari kalimat pertanyaan tersebut

adalah berupa keterangan tentang sesuatu yang ditanyakan.

a. Man ( من )

Kata tanya man digunakan untuk menanyakan sesuatu yang berakal, dan jika

digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal, maka makna kata tanya man

menjadi makna majâzi.38 Hal ini dipertegas oleh Al-Sakâki yang mengatakan bahwa

kata tanya man hanya dipergunakan untuk menanyakan keterangan makhluk yang

berakal.39

Penggunaan kata tanya man untuk menanyakan sesuatu yang berakal akan

semakin jelas dalam contoh-contoh di bawah ini;

38 Ahmad al-Hâsyimi , Op. Cit, h. 92 39 Al-Sakâki, Op. Cit, h. 311-312 juga Al-Khatib al-Qazwini, Al-Idhâh fi Ulûm al-Balâghah,

(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt), h. 139

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

35

1). Q.S Yâsin (36): 52

لونسرق المدصو نمحالر دعا وذا منا هقدرم نا مثنعب نا ملنياوقالوا ي Artinya: “Mereka berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang

membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan(Tuhan) Yang Maha Pemurah

dan benarlah Rasul-rasul (Nya).”

2) Q.S. Sabâ’ (34): 24

قل الله من يرزقكم من السموات والأرضقل بنيي ضلال مف ى أودلى هلع اكمإي إنا أوو

Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya

kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.”

Dari uraian kedua contoh di atas jelaslah bahwa kata tanya man digunakan untuk

menanyakan sesuatu yang berakal. Pada contoh pertama ditanyakan tentang siapa yang

membangkitkan manusia dari alam kubur, maka dijawab dalam lanjutan ayatnya yaitu

Al-Rahmân. Sedangkan pada contoh kedua ditanyakan tentang siapa yang mampu

memberikan rezeki dari langit dan bumi, maka dijawab pula dalam lanjutan ayatnya,

yaitu Allah SWT.

b. Mâ ( ما )

Kata tanya mâ digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Dalam

hal ini, mâ bermakna ayyu syai’in artinya apa atau menanyakan tentang sesuatu.40

40 Ibn Hisyam, Op. Cit, h. 328

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

36

Dalam pemakaiannya, kata tanya mâ digunakan untuk menanyakan mengenai

tiga hal,41 yaitu:

1) Mâ lisyarh al-ism

Mâ lisyarh al-ism adalah mâ yang digunakan untuk menuntut suatu penjelasan

sesuatu sebutan yang belum dipahami maknanya. Seperti contoh:

؟ العسجد هو الذهبما العسجد“Apa itu al-asjad? Jawabannya adalah:

“al-asjad itu adalah emas”

2) Mâ limâhiyah al musamma

Mâ limâhiyah al-musamma adalah mâ yang digunakan untuk menuntut atau

mengetahui esensi (hakikat) sesuatu yang disebut. Seperti contoh;

.؟ االنسان حيوان ناطقما االنسان“ Apa esensi al-insan itu? Jawabannya adalah:

al-insan adalah makhluk yang berakal.”

3) Mâ li al-washf

Mâ li al-washf adalah mâ yang digunakan untuk menuntut deskripsi keadaan

sesuatu. Seperti contoh;

؟ هو كريمما زيد“Bagaimana tingkah laku si zaid? Jawabannya

adalah; Dia orang yang mulia.”

Sebagian para ahli membolehkan pemakaian mâ untuk menanyakan sesuatu yang

berakal. 42 Sebagaimana dalam Q.S. al-Syuârâ (26): 23-24.

41 Al-Khatib al-Qazwini, Op. Cit, h. 137-138

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

37

اتومالس ب ني قال رالمالع ب ا رمو نوعرقال ف كن ا إنمهنيا بمض والأرونينوقم تم

Artinya: “Fir`aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa

yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya".

c. Matâ ( متى )

Kata tanya matâ dipergunakan untuk penentuan waktu, baik untuk masa lampau

maupun untuk penentuan masa akan datang.43 Seperti kedua contoh di bawah ini;

؟متى انتهيت من اعداد الرسالة“Kapankah surat-surat itu telah selesai

engkau persiapkan?”

؟متى نقطف العنب“Kapankah kita akan memetik buah anggur?”

Pada contoh pertama si pembicara ingin mengetahui waktu selesainya surat-surat

tersebut dipersiapkan. Sedangkan pada contoh kedua, pembicara ingin mengetahui

waktu pemetikan buah anggur. Oleh karena itu jelaslah bahwa kata tanya matâ

dipergunakan untuk menuntut penentuan waktu (li thalabi ta’yîn al-zamân)

Dalam Al-Qurân juga banyak terdapat kalimat tanya yang menggunakan kata

tanya matâ. Antara lain;

42 Al-Zarkasyi, Op. Cit., h. 428 43 Nabil Raghib, Op. Cit, h. 77 dan Al-Hâsyimi , Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

38

1). Q.S Yunus (10): 48

نيقادص تمكن إن دعذا الوتى هم قولونيو Artinya: “Mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu,

jika memang kamu orang-orang yang benar?"

2). Q. S. al-Sajdah (32): 28

نيقادص تمكن إن ذا الفتحتى هم قولونيو Artinya: “Dan mereka bertanya: "Bilakah kemenangan itu

(datang) jika kamu memang orang-orang yang benar?"

Disamping itu menurut Ahmad Al-Khausi dikatakan bahwa adakalanya kata

tanya matâ dalam pemakaiannya didahului oleh kata depan seperti ilâ,44 seperti contoh;

إىل متى تؤجل عملك؟ “Sampai kapankah kamu tunda pekerjaan itu?”

d. Ayyâna ( أيان )

Sama halnya dengan matâ, kata tanya ayyâna juga dipergunakan untuk menuntut

penentuan waktu dan termasuk zharf al-zamân, karena menerangkan waktu. Bedanya

matâ digunakan untuk menanyakan waktu yang lampau dan akan datang, sedangkan

ayyâna hanya digunakan untuk menanyakan waktu akan datang dan biasanya

44 ibid.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

39

dipergunakan untuk menanyakan keadaan yang menggemparkan.45 Hal ini sebagaimana

ditegaskan Ali ibnu Isa al-Rabâ’iyyi bahwa kata tanya ayyâna dipergunakan untuk

maksud tafkhîm, yaitu perkara-perkara yang luar biasa.46 Bahkan Al-Hâsyimi47

mengatakan disamping penggunaannya untuk tafkhîm, ayyâna juga dipergunakan untuk

tahwîl, perkara-perkara yang menakutkan. Seperti contoh;

1). Q.S. al-Dzâriyât (51): 12

يسألون أيان يوم الدينArtinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari

pembalasan itu?"

2). Q.S al-Qiyâmah (75): 6

ةاميالق موي انأل أيسي Artinya: “Ia bertanya: "Bilakah

hari kiamat itu?"

e. Aina ( أين )

Kata tanya aina digunakan untuk menanyakan tentang tempat atau menuntut

penentuan tempat. Oleh karena itu kata tanya aina termasuk juga bagian dari zharf al-

makân, karena menerangkan tentang tempat.48 Seperti contoh;

1). Q.S. al-Qashash (28): 62

ونمعتز تمكن ينالذ يكائرش نقول أيفي يهمادني مويو

45 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 313 46 ibid 47 Al-Hâsyimi , Loc. Cit. 48 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

40

Artinya: “Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang

dahulu kamu katakan?"

2). Q.S. al-An’âm (6): 22

نح مويكواورأش ينلذنقول ل ا ثميعمج مهرش

ونمعتز تمكن ينالذ كمكاؤرش نأي Artinya: “Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun

mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang

dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?"

f. Kaifa ( كيف )

Kata tanya kaifa digunakan untuk menanyakan tentang keadaan sesuatu yang

tidak berkaitan dengan dzatnya, seperti menanyakan tentang Allah. Dalam hal ini kata

tanya kaifa tidak dapat digunakan untuk maksud penggunaan seperti itu.49

Adapun contoh dari pemakaian kata tanya kaifa adalah sebagai berikut;

1). Q.S. al-Isrâ’ (17): 48

ضلوا فلا يستطيعون سبيلا انظر كيف ضربوا لك الأمثال فArtinya: “Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-

perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).”

2). Q.S. al-Ânkabût (29): 20

أ الخلقدب فوا كيض فانظري الأروا فريقل س

49 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 355

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

41

يرقد ءيلى كل شع الله إن ة رالآخ ة ثم الله ينشئ النشأArtinya: “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka

perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

g. Annâ ( أنى )

Kata tanya annâ dalam pemakaiannya ada tiga pengertian, yaitu;

1) Annâ semakna dengan kaifa50 seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2): 223

ئتمأنى ش ثكم رفأتوا ح لكم ث رح كماؤسن Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu

bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”

2) Annâ semakna dengan min aina51 seperti contoh Q.S. Ali Imrân (3): 40

راقي عأترامو ربالك يلغنب قدو ي غلامل كونأنى ي ب قال ر اءشا يل مفعي الله كقال كذل

Artinya: “Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isterikupun seorang yang mandul?"

Berfirman Allah: "Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya".

3) Annâ semakna dengan matâ52 seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2): 259

أو كالذي مر على قرية وهي خاوية على عروشها قال أنى يحيي

50 ibid, h. 275 51 ibid, h. 276 52 ibid.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

42

ثهعب ام ثمائة عم الله اتها فأمهتوم دعب الله هذه Artinya: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui

suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah

mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.”

h. Kam (كم )

Kata tanya kam digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan. Kam

istifhâmiyah menurut Ibnu Hisyâm membutuhkan suatu penjelasan berupa jawaban

langsung dari suatu pertanyaan yang diajukan, disini kam bermakna ayyu âdadin

(berapa jumlahnya).53 Dan biasanya ditandai adanya kasus akkusatif (nashb) pada

kalimat yang terletak sesudahnya. Seperti contoh;

؟كم رجال ضربت“Berapa banyak laki-laki yang telah engkau pukul?”

Untuk memperjelas tentang pemakaian kam istifhâmiyah, dibawah ini ada

beberapa contoh yang terdapat dalam Al-Quran;

1). Q.S al-Baqarah (2): 211

ةايء نم ماهناتيء يل كمائري إسنل بس

Artinya: “Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah

Kami berikan kepada mereka".

53 Ibnu Hisyâm, Op. Cit, h. 207

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

43

2). Q.S. Yâsin (36): 31

ونجع رلا ي همإلي مون أنهالقر نم ملها قبلكنأه ا كموري ألم Artinya: “Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat

sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada

kembali kepada mereka.”

i. Ayyu ( أي )

Terdapat lima macam bentuk penggunaan kata tanya ayyu dalam kalimat, yaitu;

1) Digunakan untuk meminta penentuan salah satu dari dua hal yang sama dalam

sesuatu urusan. Seperti Q. S. Maryam (19): 73

وإذا تتلى عليهم ءاياتنا بينات قال الذين كفروا للذين ءامنوا أي الفريقين خير مقاما وأحسن نديا

Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Manakah di antara kedua golongan

(kafir dan mu'min) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan (nya)?"

2) Digunakan untuk menanyakan masa. Seperti;

؟أي يوم هذا“Hari apakah ini?”

3) Digunakan untuk menanyakan tempat. Seperti;

؟أي جملس ختتار“Tempat duduk manakah yang engkau pilih?”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

44

4) Digunakan untuk menanyakan makhluk yang berakal. Seperti Q.S. Hûd (11): 7

هشرع كانام وأي تةي سف ضالأرو اتومالس لقي خالذ وهو على الماء ليبلوكم أيكم أحسن عملا

Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji

siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya?”

5) Digunakan untuk menanyakan makhluk yang tidak berakal. Seperti Q.S. al-

Mursalât (77): 50

وننمؤ ي هدعب يثدح فبأي

Artinya: “Maka kepada perkataan apakah selain Al Qurân ini mereka akan beriman?”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

45

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

BAB III

PRAGMATIK DALAM MENGKAJI WACANA (TEKS) AL-QURÂN

A. Pragmatik dan Ilmu Ma’âni

1. Pengertian dan Hakikat Pragmatik serta Ilmu Ma’âni

a. Pengertian dan Hakikat Pragmatik

Menurut Levinson,1 pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan

konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya. Sependapat dengan

Levinson, Leech juga berpendapat bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna

dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar. Aspek-aspek situasi ujar meliputi

penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai

bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal

itu sendiri)2.

Berpijak dari uraian di atas dapatlah dikatakan, bahwa pragmatik merupakan salah

satu cabang linguistik yang mengkaji makna suatu ujaran melalui pemahaman konteks

yang menyertai ujaran tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Purwo,

bahwa kontekslah yang menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik. Berbeda

dengan semantik yang menggeluti makna kata atau kalimat yang bebas konteks (context-

independent), sementara itu pragmatik menggumuli makna yang terikat konteks

(context-dependent).3

1 Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 2 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15 3 Bambang Kaswati Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984,

(Yogyakarta; Kanisius, 1990), h 15-16.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

46

Ungkapan Purwo tersebut dipertegas oleh Leech, bahwa semantik mengkaji

makna kalimat, sedangkan pragmatik mengkaji makna tuturan4. Berkenaan dengan

perihal konteks, Malinowski memperkenalkan dua gagasan yang disebutnya konteks

situasi dan konteks budaya, dan keduanya diperlukan untuk dapat memahami teks

sebaik-baiknya.5

Hidayat mengungkapkan sebuah ilustrasi bahwasanya jika kita memahami sebuah

wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya disebut orang yang jujur

dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif, sebab makna sebuah kata

atau sebuah kalimat selalu berkaitan dengan konteks6. Atau dengan kata lain bahwa

suatu ujaran memiliki makna yang sebagian tergantung dari konteks sosial yang ada.7

Meskipun sekarang ini pragmatik sudah menjadi salah satu kajian yang penting

dalam linguistic, tapi apabila kita mencoba melihat sejarah perkembangan ilmu ini, kita

akan mengetahui bahwa lima belas tahun silam para linguis hampir tidak pernah

menyebut istilah pragmatik. Pada waktu itu, pragmatik lebih banyak diperlakukan

sebagai keranjang tempat penyimpanan data yang bandel yang tidak dijelaskan dan

boleh dilupakan dengan mudah.8 Pendapat yang sama dikeluarkan oleh Soemarmo,

4 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15

5 M.A.K. Halliday dan Ruqaiyah Hasan, Bahasa, Konteks, dan Teks, Terjemahan oleh Asruddin Barori Tou, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1992), Cet. 1, h. 16

6 Komaruddin Hidayat, Loc. Cit. 7Soeseno Kartomihardjo,Sosiolinguistik; Studi tentang Bahasa dan Seluk Beluk Pengetrapannya

dalam Masyarakat, (Malang; P2LPTK IKIP Malang, 1987), h. 41 8 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 9

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

47

bahwa pragmatik merupakan suatu bidang yang dianaktirikan dalam linguistik, terutama

oleh para linguis di Amerika.9

Pada tahun 1950-an, yakni suatu era dimana kecepatan perkembangan linguistik

begitu cepat, Kazt dan Postal mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori

linguistik formal, dan tidak lama kemudian semangat “California dan Bust” membuat

pragmatik mulai tercakup. Pada tahun 1971, Lakoff dan lain-lainnya berargumentasi,

bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari sudut penggunaan bahasa. Sejak saat itu

pragmatik masuk ke dalam peta linguistik.10

Menurut Levinson11, istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof

kenamaan, yaitu Charles Morris pada tahun 1938. Dia mempunyai perhatian terhadap

suatu ilmu yang mengkaji sistem tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, Charles Morris

membedakan tiga konsep dasar, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis

mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda (tanda bahasa), semantik mengkaji

hubungan antara tanda dan objek, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara

tanda-tanda dengan penafsir.

Berkaitan dengan hal ini, Purwo12 menegaskan bahwa di belahan bumi Eropa

pada tahun 1940-an berkembang kegiatan menelaah bahasa dengan mempertimbangkan

makna dan situasi (misalnya Aliran Praha dan Aliran Firth), dan pada tahun 1960-an

Halliday mengembangkan teori sosial mengenai bahasa.

9 Marmo Sumarmo, Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya, (Jakarta: Lembaga Bahasa

Atmajaya,1987),h. 12 10 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 11 4 Stephen C. Levinson,Op. Cit, h. 1 12 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 9

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

48

b. Pengertian dan Hakikat Ilmu Ma’âni

Ilmu ma’âni sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Hâsyimi adalah ilmu yang

mempelajari tentang prinsip-prinsip atau kaidah telaah wacana bahasa Arab yang sesuai

dengan tuntutan situasi (muqtadhâ al-hâl) sehingga selaras dengan maksud

pewacanaannya.13

Senada dengan hal itu, Muhsin dan Wahab14 mengemukakan bahwa ilmu ma’âni

adalah ilmu untuk menelaah tuturan dalam bahasa Arab yang sesuai dengan situasi dan

kondisi. Dari kedua definisi di atas, tampak bahwa ilmu ma’âni bukan merupakan kajian

makna melainkan kajian tentang kesesuaian wacana dengan konteks.

Ilmu ma’âni merupakan satu dari tiga kajian retorika bahasa Arab (ilmu

balâghah) yang menekankan pada kajian ketepatan tuturan dalam konteks dan kerangka

komunikasi sosial.. Dua model lainnya adalah ilmu bayân (model kajian gaya bahasa)

dan ilmu badi’ (model kajian stilistika). Kajian retorika bahasa Arab ini muncul sejak

abad 3-5 hijriyah15, atau jauh sebelum munculnya kajian pragmatik.

Dari ketiga model kajian retorika bahasa Arab ini, diketahui bahwa buku model

kajian ilmu bayân yang mula-mula disusun adalah buku Majâz Al-Qurân karya Ubaidah

(wafat tahun 211 H).16 Sedangkan orang yang pertama kali menulis tentang kajian

stilistika bahasa Arab (ilmu badi’) adalah seorang khalifah Abbasiyyah yang bernama

13 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 6 14 A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Op. Cit, h. 30 15 S. S. Hasanain, Dirâsât fi Ilmi al-Lughah al-Washfi wa al-Târikhi wa al-Muqâran, ( Riyadh;

Dâr al-‘Ulûm, 1984), h. 23. Lihat juga K. A. Amaireh, Dirâsât wa Arâ’ fi Dhaui Ilm al-Lughah al-Mu’âshir fi Nahwi al-Lughah wa Tarâkibiha, (Manhaj wa Tathbiq), (Jeddah; ‘Alâm al-Ma’rifah, 1984), h. 10

16 Depag RI, Al-Qurân dan Terjemahannya, (Jakarta; Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qurân, 1980), h. 65

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

49

Abdullah ibn Mu’taz ibn al-Mutawakkil (wafat tahun 296 H).17 Adapun mengenai ilmu

ma’âni, buku yang pertama kali muncul adalah I’jâz Al-Qurân karya Al-Jâhizh dan

mencapai puncak perkembangannya pada abad 5 H dengan munculnya buku Dalâil al-

I’jâz karya Al-Jurjâni (wafat tahun 471H).18

2. Ekuivalensi Pragmatik dan Ilmu Ma’âni

Meskipun Pragmatik dan Ilmu Ma’âni merupakan dua nama model kajian bahasa

yang berkembang pada ruang dan waktu yang jauh berbeda, namun demikian keduanya

mempunyai aspek-aspek ekuivalensi yang mendasar. Paling tidak terdapat tiga aspek

ekuivalensi antara keduanya.

Pertama, Ekuivalensi dari aspek konsep kajian. Konsep kajian pragmatik dan

ilmu ma’âni sama-sama mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan konteks

komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya, yaitu bahwasanya pragmatik

adalah kajian terhadap hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar untuk

memahami bahasa,19demikian juga ilmu ma’âni adalah ilmu untuk mengetahui prinsip-

prinsip telaah tuturan dan bertutur sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.20

Kedua, Ekuivalensi dari aspek tindak tutur. Keduanya mengelompokkan tindak

tutur menjadi beberapa tindak. Yang dimaksud dengan tindak tutur adalah produksi

tuturan dalam kondisi atau situasi tertentu. Tindak tutur ini merupakan salah satu

bahasan dalam pragmatik. Dalam teori ini, kegiatan berbahasa dinyatakan dalam

17 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 8. 18 Depag RI, Loc. Cit. 19 Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 20 A. Q. A Shaleh dan A. T. Kulaib, Ilm al-Ma’âni, (Riyadh; Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ûd, 1410

H), h. 5

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

50

beberapa bentuk tindak, misalnya tindak membuat pernyataan, memerintah, bertanya,

memuji, dan sebagainya.21

Bahasan tentang tindak tutur ini dapat disepadankan dengan bahasan tentang

kalâm dalam ilmu ma’ani. Dalam ilmu ma’âni, kalâm (parole/tuturan) dibedakan

menjadi dua kategori, yaitu; kalâm khabary dan kalâm insya’iy,22 yang kemudian dari

keduanya terbagi lagi menjadi beberapa kategori tindak.

Ketiga, Ekuivalensi dari aspek implikatur. Keduanya memandang bahwa suatu

tuturan mengandung maksud yang diimplikasikan yang berbeda dari yang dinyatakan.

Dalam pragmatik, pembahasan tentang implikatur ini terdapat dalam bab atau bagian

tersendiri, yang mana implikatur dimaksudkan sebagai tuturan yang menyiratkan sesuatu

berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.23

Sedangkan dalam ilmu ma’âni, keberadaan konsep implikatur ini dapat dirasakan

oleh setiap pengkaji ilmu ini. Konsep ini terlihat pertama-tama pada pernyataan Al-

Hâsyimi24 bahwasanya obyek kajian ilmu ma’âni adalah tuturan bahasa Arab utamanya

dari segi makna kedua sebagai maksud yang dikehendaki penutur. Yang dimaksud

makna yang kedua adalah penyampaian tuturan sesuai dengan konteks komunikasi.

3. Spesifikasi Pragmatik dari Ilmu Ma’ani

Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dalam beberapa aspek,

akan tetapi sebagai bentuk kajian bahasa yang lebih terakhir muncul, pragmatik

21 Marmo Sumarmo, Loc. Cit 22 A. Q. A Shaleh dan A. T. Kulaib, Op. Cit, h. 6 23 Soeseno Kartomihardjo, Analisis Wacana dan Penerapannya, (Malang; IKIP Malang, 1992),

h. 6 24 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 9

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

51

mempunyai beberapa spesifikasi (kekhususan) dibandingkan dengan ilmu ma’âni.

Spesifikasi tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, Sebagai sebuah kajian bahasa, pragmatik lebih bersifat universal (dapat

diterapkan untuk semua bahasa) dan keterbacaannya luas, hal ini berbeda dengan ilmu

ma’âni yang hanya ada dalam bahasa Arab dan hanya diketahui oleh orang yang

mendalami bahasa Arab.

Kedua, Sebagai alat dalam menganalisis wacana, pragmatik memiliki cara kerja

atau tahapan-tahapan yang lebih jelas dibandingkan ilmu ma’âni. Cara kerja atau

tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis, dilanjutkan dengan analisis

aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.25

Ketiga, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni sama-sama mengkaji bahasa

dalam hubungannya dengan konteks komunikasi, akan tetapi dalam pragmatik aspek

konteks komunikasi telah dijabarkan secara sistematis.26 Penjabaran yang sistematis ini

belum ditemukan dalam ilmu ma’âni, meskipun terdapat penjelasan tentang perlunya

perhatian terhadap konteks komunikasi.27

Keempat, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dari aspek tindak

tutur, akan tetapi penjabaran dan pengklasifikasian bentuk tindak dalam pragmatik lebih

sistematis, yaitu menjadi tiga; (1) tindak lokusi, (2) tindak illokusi, dan (3) tindak

25 M. Ainin, Pertanyaan dalam Al-Qurân; Suatu Tinjauan Pragmatik. Dalam Al-Hadhârah,

(Yogyakarta; UGM Press, 2001), h. 126 26 Suyono, Pragmatik; Dasar-dasar dan Pengajarannya, (Malang; YA3 Malang, 1990), h. 10 27 Al-Hâsyimi, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

52

perlokusi.28Hal ini berbeda dengan bentuk tindak yang ada dalam ilmu ma’âni yang

belum dijabarkan secara sistematis dan harus ditemukan berdasarkan pembagian kalâm.

Kelima, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dari aspek

implikatur, akan tetapi pembahasan tentang implikatur dalam buku-buku pragmatik telah

dibahas dalam bab atau bagian tersendiri, sedangkan dalam buku-buku ilmu ma’âni

belum ditemukan adanya bab atau bagian khusus yang membahas implikatur.

B. Cara Kerja Pragmatik dalam Menganalisis (Mengkaji) Wacana

Pragmatik sebagai suatu alat dalam menganalisis wacana memiliki cara kerja atau

tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis dilanjutkan

dengan analisis aspek semantis kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.29 Tahapan

itu dilakukan untuk menemukan makna fungsional yang keberadaannya di luar wujud

formal dalam suatu tuturan.

1. Analisis Aspek Sintaksis

Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut hubungan kata-kata dalam

kalimat.30 Dalam analisis aspek sintaksis yang diotak-atik adalah bentuk suatu kalimat

dilihat dengan mengamati mana yang berupa subjek, mana yang berupa predikat dan

seterusnya. Kemudian bagian yang berupa subjek tersebut ada kemungkinan masih dapat

dibagi-bagi menjadi bagian lebih kecil, demikian juga bagian yang berupa predikat.

28 J. L. Austin, How To Do Thing With Words, (Cambridge; Harvard University Press, 1975), h.

109 29 M. Ainin, Loc.Cit 30 JW. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta; Gajah Mada University Press,

1999), Cet. ke-2, h. 11

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

53

Jika bentuk kalimat saja yang semata-mata difokuskan dalam analisis aspek

sintaksis ini, maka termasuk pula persoalan urutan, apakah itu urutan biasa (subjek

predikat) atau urutan hasil pembalikan inversi (predikat-subjek).

Level lain dalam analisis aspek sintaksis adalah penggunaan bentuk kalimat.

Bentuk kalimat merupakan bagian sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir

logis, yaitu prinsip kausalitas.31 Keberagaman bentuk kalimat ini dapat memberikan

suasana baru yang mana dalam ragam sintaksis suatu kalimat dapat digambarkan dalam

bermacam-macam pola.

Elemen lain yang dikaji adalah kata ganti. Kata ganti merupakan elemen untuk

memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Suatu gejala

universal bahwa dalam berbahasa sebuah kata yang mengacu kepada manusia, benda

atau hal, tidak akan dipergunakan berulangkali dalam sebuah konteks yang sama. Untuk

itu kata ganti diperlukan sebagai penghindaran pengulangan kata tadi.32

Bentuk lain dari level sintaksis adalah bagaimana pengaturan proposisi dalam

satu rangkaian kalimat. Proposisi yang mana yang ditempatkan di awal kalimat dan

mana yang diakhir kalimat. Penempatan seperti itu dapat mempengaruhi makna yang

timbul, karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan.33

Sisi lain yang menjadi kajian dalam aspek sintaksis adalah kategori

penggolongan kalimat dan karakteristik polanya. Kalimat ini menurut tata bahasa

31 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,

dan Analisis Framing, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 2002), Cet. ke-2, h. 81. Prinsip Kausalitas adalah prinsip adanya sebab dan akibat bagi tiap-tiap sesuatu.

32 Ibid 33 Ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

54

tradisional dibagi menjadi kalimat deklaratif (pernyataan), imperatif (perintah), dan

interogatif (pertanyaan).34 Atau berdasarkan fungsinya dikategorikan menjadi kalimat

berita, kalimat tanya dan kalimat suruh.35 Hal lain yang dikaji adalah mengenai obyek

yang menjadi sasaran dalam kalimat, apakah merupakan obyek (sasaran) langsung

ataukah obyek (sasaran) tidak langsung.

2. Analisis Aspek Semantis

Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti makna, di dalamnya mengkaji

atau memerikan makna kata, memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan

hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti

dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri yang cenderung

terdapat di dalam kamus, sebagai leksem.36

Secara umum semantik merupakan suatu disiplin ilmu bahasa yang menelaah

makna suatu lingual, baik makna leksikal maupun makna kalimat (gramatikal).37 Makna

leksikal adalah makna unit semantik yang terkecil yang disebut leksem. Sedangkan

makna kalimat (gramatikal) adalah makna yang terbentuk dari hubungan kata-kata.

Hubungan antara kata dan makna dapat dimengerti oleh setiap pembicara. Kata yang

dapat dimengerti secara efektif bukanlah unsur satu-satunya yang memiliki korelasi

dengan makna.

34 David E. Cooper, Loc. Cit 35 Ramelan, Loc. Cit 36 Fatimah Djajasudarma, Semantik Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999),

h. 1 37 Alex Sobur, Op. Cit, h. 78

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

55

Maka dari itu, untuk memahami dan menggunakan bahasa, seseorang dituntut

untuk menguasai kesesuaian ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan

unsur leksikal yang lain, juga antara unsur leksikal dengan unsur gramatikal.

Dari uraian di atas maka kajian tentang analisis aspek semantis adalah mengkaji

makna kata, klausa dan kalimat yang bebas konteks (context-independent), yang biasa

disebut dengan makna stabil atau makna dasar.38

3. Analisis Aspek Pragmatis

Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang

termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan pendengar dan

sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.39

Sementara itu Kridalaksana mengungkapkan bahwa pragmatik adalah aspek-aspek

pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna

ujaran.40

Oleh karena itu Purwo mengungkapkan seputar analisis aspek pragmatis sebagai

sebuah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik.

Pragmatik ini menelaah tentang makna tuturan (utterance) atau pengujaran kalimat pada

konteks sesungguhnya. Atau dengan kata lain pragmatik menggumuli makna yang

terikat konteks (context-dependent).41Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran

yang jelas tentang fungsi suatu ungkapan, maka harus dilihat terlebih dahulu dari

konteksnya.

38 Bambang Kaswati Purwo, Loc. Cit. 39J. W. M. Verhaar. Op. Cit, h. 14 40 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 176 41 Bambang Kaswati Purwo, Loc.Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

56

Sedangkan unsur-unsur konteks menurut Purwo adalah siapa yang mengatakan

kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkan suatu kalimat.42 Juga dalam kaitannya dengan

perihal konteks, Firth mengemukakan pandangannya tentang konteks situasi yang

meliputi : (a) pelibat (participants) yang mencakup tindakan verbal (verbal action)

maupun non verbal (non-verbal action), (b) benda-benda dan peristiwa baik non verbal

maupun non personal yang relevan, dan (c) dampak dari tindakan verbal43.

Brown dan Yule berkaitan dengan konteks ini juga mengungkapkan bahwa

penganalisis wacana harus mempertimbangkan konteks tempat terjadinya suatu wacana.

Untuk menafsirkan suatu wacana, diperlukan pemahaman terhadap siapa penutur dan

petuturnya, dan pemahaman terhadap waktu serta tempat wacana itu dihasilkan44.

C. Pijakan Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân

Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji makna ujaran

melalui pemahaman konteks yang menyertai ujaran tersebut, jadi kontekslah yang

menjadi pijakan dan kunci utama pragmatik dalam proses pemahaman wacana atau teks,

baik lisan maupun tulis.

Dalam kaitannya dengan kajian terhadap wacana (teks) Al-Qurân, pemahaman

terhadap konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya

42 ibid, h. 13-15 43 M.A.K Halliday, System and Function in Language, (London; Oxford University Press, 1976),

h. 42. Lihat juga M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan, Loc. Cit. 44 Grilian Brown dan George Yule, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

57

ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl) amatlah penting meskipun tidak semua ayat Al-

Qurân yang diturunkan memiliki asbâb al-nuzûl 45

Secara esensial metode pemahaman konteks lebih diarahkan kepada konteks

kebahasaan yang terkait erat terhadap pemahaman makna wacana (teks) Al-Qurân

tersebut, yang meliputi; (1) peristiwa bahasa dan berbagai konvensi sosial yang

mengaturnya, (2) wacana yang telah diketahui sebelumnya oleh para peserta interaksi,

dan (3) tujuan pembicara.46

Sedangkan pemahaman terhadap asbâb al-nuzûl adalah pemahaman terhadap

semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang

mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan

kandungan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu.47

Diantara sebab turunnya suatu ayat itu ada kalanya berupa peristiwa yang terjadi

di masyarakat Islam, misalnya ayat 211 surat al-Baqarah48 yang diturunkan oleh Allah

SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai solusi yang diberikan atas peristiwa yang

dialami oleh salah seorang sahabat beliau yang bernama Mursyid al-

Ghanawi.49Adakalanya juga satu ayat itu diturunkan karena adanya pertanyaan dari

45 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit, h. 38 46 Soeseno Kartomihardjo, Op.Cit, h. 40 47 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit, h. 36 48 Artinya: “ Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman;

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya. (perintah-perintahNya) kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.”

49 Peristiwa tersebut terjadi tatkala Nabi SAW mengutus Mursyid al-Ghanawi ke Mekah untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah. Disana dia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya, tapi dia menolak. Wanita tersebut datang lagi dan minta dikawini. Mursyid pada

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

58

kalangan Islam atau dari kalangan lainnya yang ditujukan kepada Nabi SAW,

sebagaimana sebab diturunkannya ayat 219 dari surat al-Baqarah.50

Adapun metode sosio-historis adalah pemahaman dimana setiap keyakinan, ide

manusia atau fenomena harus dilihat sebagai suatu realitas yang berhubungan dengan

waktu, tempat, kultur, group dan lingkungan dimana keyakinan-keyakinan, ide-ide atau

fenomena tersebut muncul.51

Urgensi pemahaman konteks, asbâb al-nuzûl maupun sosio-historis sebagai

piranti utama dalam memahami ayat-ayat Al-Qurân, karena Al-Qurân tidak diturunkan

dalam masyarakat yang hampa budaya, melainkan turun dalam masyarakat yang sarat

dengan nilai-nilai kultural, berikut ikatan-ikatan primordialnya masing-masing. Hal ini

dipertegas oleh Syihab, bahwa penafsiran Al-Qurân secara kontekstual sangat

diperlukan, mengingat Al-Qurân turun untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup

pada masa nabi, orang-orang yang hidup pada masa sekarang, dan bahkan orang-orang

yang hidup pada masa yang akan datang52.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Shâbûni53, bahwa sebagian ayat-

ayat Al-Qurân tidak dapat dipahami secara utuh, tanpa mengetahui konteks, sosio-

historis maupun asbâb al-nuzûlnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebagian

prinsipnya dapat menerima tapi dengan syarat dapat izin dari Nabi SAW. Setelah kembali ke Madinah dia menerangkan kasus yang dihadapi kepada Nabi, lalu turunlah ayat 211 surat al-Baqarah ini.

50 Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan, katakanlah; Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, supaya kamu berfikir.” 51 Djohan Effendi, Pemahaman Kontekstual Terhadap Al-Qur’an (Jakarta: Jurnal Cendikia,1985), h. 27

52 Umar Syihab, Op. Cit, h. 22 53 M. Ali, al-Shâbûni, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

59

ayat Al-Qurân tanpa memahami konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang

melatarbelakangi ayat-ayat tersebut diturunkan (asbâb al-nuzûl), dapat menyebabkan

pemahaman yang salah.

Sebagai penjelas dari pendapatnya, Al-Shâbûni 54 memberikan contoh ayat yang

berkaitan dengan kasus seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat ketika akan

melaksanakan shalat sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Baqarah (2): 115 yang

berbunyi:

جه الله إن ا و وا فثم ب فأينما تول لله واسع عليمولله المشرق والمغر Artinya;“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka

kemanapun kamu menghadap, disitulah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha

Mengetahui”

Yang melatarbelakangi ayat 115 tersebut diturunkan menurut Ibnu Katsir55

didasarkan pada suatu hadist yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah,

bahwa Amîr Ibn Rabî’ah dan ayahnya berkata; “Ketika kami sedang bepergian bersama

Nabi SAW di suatu malam yang gelap, kami menginap disuatu tempat untuk shalat dan

tiap orang menandai tempat shalatnya dengan batu. Pada pagi harinya kami dapatkan

batu-batu itu tidak tepat pada kiblatnya, kemudian kami mengadukan hal ini kepada

Rasulullah; “Wahai Rasulullah, kami semalam telah shalat kearah yang bukan kiblat”,

maka Allah menurunkan ayat ke 115 dari surat al-Baqarah tersebut.

54 Ibid. 55 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qurân al-‘Adzîm, (Beirut : Dâr al-Fikr,2000), Juz. 1, h. 208-209

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

60

Apabila ayat tersebut dipahami secara literal, tanpa melihat konteksnya, maka

kemungkinan pengertian yang muncul adalah bahwa tidak ada kewajiban bagi orang

yang shalat untuk menghadap kiblat. Pemahaman ini kurang tepat karena menghadap

kiblat itu merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah shalat.

Ayat tersebut diperuntukkan bagi musafir yang tidak mengetahui arah kiblat

sewaktu akan melaksanakan ibadah shalat. Dalam kondisi darurat seperti ini, seseorang

harus berijtihad untuk menemukan arah kiblat. Apabila selesai melaksanakan shalat

kemudian dia menyadari bahwa arah kiblatnya salah, maka shalatnya tetap sah.56

Dalam kasus lain yang menggambarkan betapa penting pemahaman terhadap

konteks, asbâb al-nuzûl, dan sosio historis sebagai piranti dalam memahami Al-Qurân,

Syihab57memberikan contoh ayat yang berkaitan dengan kebebasan poligami

sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa’ (4); 3 yang berbunyi:

ثلاث ى وثنم اءسالن نم لكم ا طابوا محى فانكتامي اليطوا فألا تقس فتمخ إنو ة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا داحلوا فودألا تع فتمخ فإن اعبرو

Artinya; “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat

berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menurut Syihab, para ulama sepakat bahwa ayat di atas merupakan dasar hukum

kebebasan berpoligami. Padahal, apabila ditelusuri sejarah bangsa Arab pada jaman

56 M. Ali, Al-Shâbûni, Loc. Cit 57 Umar Syihab, Op. Cit, h. 24-25

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

61

jahiliyah, mereka itu gemar berpoligami. Bahkan ada dari mereka yang beristri 10

orang.58 Pembatasan poligami hanya empat orang, disebabkan kegemaran berpoligami di

kalangan bangsa Arab pada saat itu tidak mungkin dihilangkan begitu saja.

Dengan demikian, esensi ayat tersebut sama sekali tidak menganjurkan

berpoligami, melainkan hanya meringankan orang Arab dari kegemarannya berpoligami

(sampai ada yang beristri 10 orang) yang sulit dihapus begitu saja. Pernyataan tersebut

ditegaskan pada bagian akhir ayat yang berbunyi: ةداحلوا فودألا تع فتمخ فإن . Demikian

juga Ibnu Katsir 59 mengungkapkan bahwa jika terhadap isteri-isteri yang lebih dari satu

itu kamu takut tidak dapat berlaku adil dalam hal pelayanan, pakaian, tempat, giliran

bermalam, dan lain-lain, maka hendaklah kamu beristrikan satu orang saja.

Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas terjadi seusai perang uhud (tahun 3

H). Pada peperangan tersebut, 70 orang muslim gugur. Populasi laki-laki pada saat itu

relatif berkurang, sebaliknya populasi janda dan anak yatim bertambah.60 Ada juga

sumber lain yang menyebutkan bahwa populasi umat Islam di masa-masa permulaan

Islam lebih besar jumlah perempuannya daripada laki-laki. Diantara 500 orang hanya

terdapat seperlima laki-laki yang dapat menggunakan senjata. Selebihnya adalah

perempuan dan anak-anak. Apabila populasi yang kecil ini kalah lagi dalam peperangan,

58 Sebagaimana riwayat yang diungkapkan oleh Al-Baihaqy dan Al-Nasa’i dalam kitab

Sunannya. Lihat Ibn Katsir. Op. Cit, Juz. 1, h. 588 59 Ibid, h. 586-587 60 Kaukah Siddique, Mengugat Tuhan yang Maskulin, Terjemahan oleh A. Maftuhin, (Jakarta;

Paramadina, 2002), h. 26

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

62

maka sudah barang tentu poligami bisa menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan

masalah-masalah umat.61

D. Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân

Salah satu fenomena Pragmatik yang dapat dijadikan piranti dalam mengungkap

fungsi wacana (teks) Al-Qurân adalah teori tindak tutur atau tindak ujaran (speech

acts)62 Hal ini didasari karena teori ini berpendapat bahwa suatu ujaran (bahasa) juga

wacana (teks) Al-Qurân tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan unsur kognitif,

unsur sikap pun ada dalam setiap bahasa, yaitu unsur yang memperlihatkan maksud

penutur, pikiran, kegiatan dan sebab penuturannya.63 Dengan demikian suatu ujaran atau

tuturan tidak hanya dianggap mengandung makna yang diucapkan, akan tetapi lebih jauh

yaitu mengandung makna tindakan.

Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh ahli filsafat bahasa John Austin pada

tahun 196264. Dalam teori ini dikemukakan, bahwa meskipun kalimat sering dapat

digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan, dalam keadaan tertentu harus

dianggap sebagai suatu pelaksanaan tindakan65.

61 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qurân, (Jakarta: Paramadina,

1999), h. 50 62 Hal ini dikarenakan fenomena pragmatik ada empat, yaitu: (1) Deiksis (Sesuatu di luar bahasa

pada saat penutur mengungkapkan tuturan), (2) Praanggapan (Presupposition), (3) Tindak tutur atau tindak ujaran (Speech Acts), dan (4) Implikatur percakapan (Conversational Implicature). Dalam Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang; Angkasa Raya, 1990), Cet. ke-10, h. 113

63 A. Chaedar al-Wasilah, Pengantar Sosiologi Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1993), Cet. ke-10, h. 18

64 Soeseno Kartomihardjo, Loc. Cit. 65 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 104

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

63

Sependapat dengan ungkapan di atas, Kartomihardjo juga berpendapat bahwa

dalam teori tindak tutur, sebuah ujaran bisa diinterpretasikan sebagai pemberitahuan,

ucapan kegembiraan, mengingatkan orang yang diajak berbicara tentang janjinya yang

terdahulu dan sebagainya66. Dengan ungkapan yang lain, Clark and Clark menyatakan

bahwa setiap kalimat dapat digunakan untuk melakukan sesuatu, menanyakan fakta, atau

memberikan ucapan terima kasih.67

Dalam kaitannya dengan teori tindak tutur ini, Austin68 membedakan tindak tutur

menjadi tiga bagian, yaitu: (1) tindak lokusi, yaitu makna dasar dan referensi dari suatu

ujaran, atau tindakan dasar yang menghasilkan makna ujaran yang berkaitan dengan

fonologi, sintaksis, morfologi dan aturan-aturan bahasa yang lain, (2) tindak illokusi,

yaitu tindakan yang dibentuk atau ditimbulkan oleh pemakai sebagai suatu perintah,

ejekan, keluhan, pujian, dan sebagainya, dan (3) tindak perlokusi, yaitu hasil dari apa

yang diucapkan terhadap pendengarnya.69

Dengan kata lain, tindak lokusi berkaitan dengan makna ujaran sebagaimana yang

tersurat dalam ujaran itu sendiri, tindak illokusi berkaitan dengan tindak melakukan

sesuatu dengan maksud tertentu, misalnya tawaran, janji, perintah, permohonan, dan

seterusnya, dan tindak perlokusi berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh ujaran

tersebut kepada mitra tutur atau lawan tutur.

66 Soeseno Kartomihardjo, Loc. Cit. 67 Herbert, H. Clark dan Even, V. Clark, Psychology and Language An Introduction to

Psicolinguistic, (New York; Harcour Brace Jovanovich Publishers, 1977), h. 61 68 J.L. Austin, Loc. Cit. 69 Ibid. Lihat juga Keir Alam, The Semiotics of Theatre and Drama, (New York; Methuen, 1980),

h. 158

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

64

Selanjutnya, Leech membagi kategori tindak illokusi menjadi lima bentuk

tuturan70, yaitu;

1. Tindak asertif, yaitu keterikatan penutur pada proposisi yang

diungkapkan, misalnya: menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh,

mengemukakan pendapat, melaporkan, dan lain-lain.

2. Tindak direktif, yaitu bentuk tuturan yang bertujuan untuk menghasilkan

suatu pengaruh (efek) agar petutur (lawan tutur) melakukan suatu

tindakan, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan

merekomendasi dan lain-lain.

3. Tindak komisif, yaitu bentuk tuturan dimana penutur terikat pada suatu

tindakan dimasa mendatang, misalnya: menjanjikan, bersumpah,

menawarkan, dan lain-lain.

4. Tindak ekspresif, yaitu bentuk tuturan ini berkaitan dengan pengungkapan

sikap kejiwaan penutur terhadap suatu keadaan, misalnya:

mengungkapkan rasa terima kasih, memberi selamat, meminta maaf,

menyalahkan, memuji, bela sungkawa, dan lain-lain.

5. Tindak rogatif, yaitu salah satu tindak yang verbanya tidak dapat

dimasukkan ke dalam salah satu dari keempat kategori di atas, misalnya:

menamai, mengklasifikasikan, memerikan, membatasi, mendefinisikan,

mengidentifikasikan, dan lain-lain.

70 Geoffroey Leech, Op. Cit, h. 105-106. Lihat juga Suyono, Op. Cit, h. 5-7

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

65

Sebagai ilustrasi dari ketiga kategori dalam teori tindak tutur Austin tersebut,

berikut ini contoh dari Q.S. al-Baqarah (2); 219 yang berbunyi;

ثم كبري ومنافع للناس وإثمهما يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إ اتالآي لكم الله نيبي ككذل فوقل الع قونفناذا يم ألونكسيا وهمنفع نم رأكب

ونتتفكر لكملع. Artinya; “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang

mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

Ibn Katsir 71, mengungkapkan bahwa latar belakang ayat 219 tersebut diturunkan

adalah ketika para sahabat anshâr bersama Umar Ibnu Khatab mendatangi Rasulullah

SAW, mereka meminta fatwa kepadanya tentang khamar dan judi yang benar-benar

telah merusak akal dan dapat ‘menguras’ harta benda. Sebagai jawaban atas pertanyaan

tersebut maka turunlah ayat 219 di atas, yang isinya adalah baik minuman keras

(khamar) maupun judi ada manfaat dan bahayanya. Akan tetapi bahaya atau dosanya

lebih besar dari pada manfaatnya.

Dari aspek formalnya (tindak lokusi), ayat tersebut berbentuk deklaratif (kalam

khabar). Akan tetapi maksud yang tersirat (tindak illokusi) dari ayat tersebut adalah

larangan (nahy). Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah memberikan efek kepada

manusia agar meninggalkan minuman keras (khamar)dan judi.

71 Ibn Katsir, Op.Cit, juz 1, h. 333, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga

riwayat dari Abu Dawud, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

66

Pemberian larangan dalam bentuk tidak langsung sebagaimana tersirat pada ayat

219 tersebut karena secara sosio-kultural pada saat itu bangsa Arab sangat kecanduan

terhadap minuman keras (khamar) dan judi. Dalam kondisi masyarakat seperti ini,

bentuk larangan secara langsung tentang minuman keras (khamar) dan judi belum dapat

diberlakukan seketika itu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang

kontradiktif.

Dalam kondisi sosio kultural seperti di atas, maka harus ada proses atau tahapan

dalam penetapan hukum yang dalam terminologi agama biasanya disebut prinsip al-

tadrîj (bertahap). Oleh karena itu larangan keras terhadap minuman keras dan judi secara

tegas baru terdapat pada Q.S. al-Mâidah (5); 9072 ketika terjadi pertikaian antara dua

golongan sahabat nabi SAW (Muhâjirîn dan Anshâr) dikarenakan mereka mabuk setelah

minum-minuman keras, padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai.73

Dari uraian diatas, ada satu hal mendasar yang perlu dicatat dari penggolongan

tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan menurut para tokoh tersebut, yakni bahwa

berbagai bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama.

Sebaliknya, berbagai maksud dapat pula disampaikan dengan bentuk tuturan yang

sama.74 Sependapat dengan hal ini, Rahardi juga menyatakan bahwa satu tindak tutur

dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam75.

72 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 73 Jalaluddin al-Suyûti, Asbâb al-nuzûl; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qurân. Terjemahan Oleh Shaleh, dkk. (Bandung; CV Diponegoro, 1995), h. 45

74 Geoffrey Leech, Loc. Cit 75 Kunjana Rahardi, Imperatif dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta; Duta Wacana University

Press, 2000), h.34

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

67

Dengan demikian, peneliti berkesimpulan bahwa satu bentuk tuturan berupa

istifhâm (pertanyaan), khususnya yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-

Qurân pun tidak selalu hanya bertujuan untuk meminta informasi, melainkan pasti ada

tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi lain sesuai dengan konteks, asbâb al-nuzûl, dan sosio

historis yang menyertai tuturan tersebut.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

BAB IV

PENGGUNAAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN

A. Analisis dan Pembahasan Hasil Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya

Hamzah dalam Al-Qurân

1. Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân

Analisis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

dilakukan berdasarkan tiga langkah cara kerja pragmatik, yaitu analisis aspek sintaksis,

analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis.

a. Analisis Aspek Sintaksis

Analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân meliputi

tiga komponen, yaitu analisis pola, sasaran, dan jenis.

1) Pola Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân

Dalam penggunaannya, kata Tanya hamzah dapat digunakan untuk mencari

pengetahuan tentang dua hal, yaitu: tashawwur dan tashdîq. Hamzah li al-tashawwur,

dimaksudkan untuk menanyakan satuan, atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad.1

Pada hamzah ini, yang ditanyakan itu adalah kata yang menghampiri hamzah itu sendiri

dan sesudahnya, biasanya dalam pemakaiannya ada mu’âdil (pembanding) yang

disebutkan setelah am muttashilah.

Sedangkan hamzah li al-tashdîq, dimaksudkan untuk menanyakan tentang

nisbah, yaitu menanyakan ada atau tidaknya hubungan antara musnad dan musnad

1 Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Indonesia; Al-Maktabah al-Hidayah,

tt), h. 108. Lihat pula Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Loc. Cit, Dan A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balâghah, (Bandung; Angkasa, tt. ), h. 99-100

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

69

ilaih.2 Dengan kata lain hamzah disini digunakan untuk menanyakan sesuatu yang

meragukan atau untuk menanyakan suatu kepastian, yaitu menanyakan ada atau tidak

ada keterangan bagi subyek. Maka yang dipertanyakan oleh hamzah li al-tashdîq ini

adalah nisbah sesuatu kepada yang lain dan sesudahnya tidak ada am muttashilah dan

mu’âdil.

Maka dalam pembahasan tentang pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-

Qurân ini akan dipaparkan berdasarkan kedua fungsinya, yaitu: tashawwur dan tashdîq.

a) Hamzah li al-Tashawwur

Dalam Al-Qurân, berdasarkan sesuatu yang ditanyakan, penggunaan hamzah li

al-tashawwur ini dapat diklasifikasikan ke dalam empat pola3, yaitu:

(1) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Subyek (S) (Musnad Ilaih) Seperti contoh Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27.

.ءأنتم أشد خلقا أم السماء بناهاArtinya: Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya

ataukah langit? Allah telah membangunnya.

Dalam contoh di atas, si penanya (Tuhan) ingin mempertanyakan subyek

(musnad ilaih), yaitu orang-orang yang mengingkari adanya hari kebangkitan, dengan

2 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 87 3 Yang peneliti kalsifikasikan dari keberadaan fungtor yang dipertanyakan. Fungtor adalah

bagian kalimat yang menduduki jabatan tertentu. Suparno, Perihal Bahasa, (Malang; IKIP Malang, 1995), h. 15, juga dalam Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Penerbit Misykat, 2004), h. 74, diterangkan bahwa dalam bahasa Arab fungtor S (subyek) dapat disepadankan dengan musnad ilaih dan fungtor P (predikat) dapat disepadankan dengan musnad. Selain fungtor S dan P terdapat fungtor O (obyek) sepadan dengan maf’ul bih dan fungtor K (keterangan) yang dapat dirinci; maf’ul fih (keterangan tempat/waktu), maf’ul muthlaq (keterangan penegas, frekuensi, dan model), maf’ul liajlih (keterangan maksud/sebab), maf’ul ma’ah (keterangan penyerta), dan hal (keterangan keadaan).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

70

redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah li al-tashawwur dengan

memperbandingkan mereka dan langit (dalam proses penciptaannya).

(2) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Predikat (P) (Musnad)

Seperti contoh, Q.S. al-Thûr (52):15

أفسحر هذا أم أنتم ال تبصرونArtinya: “ Maka apakah ini sihir? Ataukah

kamu tidak melihat?

Dalam contoh di atas, si penanya (Tuhan) ingin mempertanyakan predikat

(musnad), yaitu sihir, dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah li

al-tashawwur dengan memperbandingkan sihir dan tidak melihat.

(3) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Obyek (O) (Maf’ul Bih)

Seperti contoh Q.S. al-An’âm (6);143

ءالذكرين حرم أم االنثيني أما اشتملت عليه ارحام األنثينيArtinya: “ Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah

ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?”

Dalam contoh di atas, si penanya (nabi SAW) ingin mempertanyakan obyek

(maf’ul bih), yaitu dua domba jantan, dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata

tanya hamzah li al-tashawwur dengan memperbandingkan dua domba jantan dan dua

domba betina.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

71

(4) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Keterangan (K) (Dzarf)

Seperti Contoh, Q. S Al-Najm (53); 35-36

&rãÏZâynç¼ æÏ=ùOÞ #$9øótãø=É ùsgßqu Étçtì# &rP÷ 9sNö Éãt6¬'ù /ÎJy$ ûÎí ¹ßsß#É BãqõyÓ4 . Artinya; Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib, sehingga dia

mengetahui (apa yang dikatakan)? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa?

Pada contoh di atas, si penanya ingin mempertanyakan keterangan (dzarf), yaitu

dia mempunyai (indahu) dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

li al-tashawwur dengan memperbandingkan dia mempunyai (indahu) dan belum

diberitakan kepadanya (lam yunabba’).

b) Hamzah li al-Tashdîq

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa hamzah li al-tashdîq adalah

menanyakan nisbah (hubungan), oleh karena itu hamzah li al-tashdîq ini dalam

penggunaannya dalam Al-Qurân jika ditinjau dari ada tidaknya penanda negasi terbagi

menjadi dua, yaitu: hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) dan

hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi).

(1) Hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat)

Hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) ini digunakan untuk

menanyakan hubungan sesuatu dengan yang lain, atau memberi suatu hukum padanya.4

Maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dua, yaitu: apabila menetapkan

4 Imam Al-Akhdhari, Ilmu Balâghah, Terjemahan Kitab Jauhar Maknun, alih bahasa. H.M.

Anwar, (Bandung; Al-Ma’arif, 1993), h. 102

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

72

menggunakan jawaban na’am (ya) dan apabila menegasikan menggunakan jawaban lâ

(tidak).5

Seperti contoh Q. S. al –Shâffât (37); 17-18

لوننا الأواؤابءقل أومنع ونراخد أنتمو.

Artinya: “ Dan apakah bapak-bapak kami yang telah dahulu (akan dibangkitkan pula)?” Katakanlah: “Ya, dan kamu akan terhina”.

Pada contoh di atas adalah bentuk redaksi istifhâm dengan hamzah li al-tashdîq

yang ada pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat), maka jawaban dari ayat tersebut

adalah dengan menggunakan lafadz na’am (ya), karena untuk menetapkan dan

menegaskan.

(2) Hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi)

Apabila hamzah li al-tashdîq ini masuk ke dalam kalimat negatif (kalam manfi),

maka jawaban atas pertanyaan tersebut apabila tidak inkar menggunakan lafadz balâ,

dan bila untuk memungkiri, maka menggunakan lafadz na’am.6

Adapun penanda negasi7 yang digunakan dalam Al-Quran adalah; (1) lâ, (2) lam

(3) laisa, dan (4) lan, seperti beberapa contoh di bawah ini;

(a) Q.S. al-Mulk (67); 14

الخبري يفاللط وهو لقخ نم لمعألا ي Artinya: “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak

mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?”

5 Ahmad Al-Hâsyimi , Loc. Cit 6 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 291 7 Dalam bahasa Arab terdapat empat penanda negasi, yaitu lâ, lam, laisa, dan lan. Imam Asrori

Op. Cit, h. 106

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

73

(b) Q.S. al-Syarh (94); 1

ح لك صدرك رنش ألم Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan

untukmu dadamu?”

(c) Q.S. al-An’âm (6); 30

س أليقذا بالحه

Artinya: “Bukankah (kebangkitan) ini benar?”

(d) Q.S. Ali Imrân (3); 124

نيلزنم كةلائالم نم الافء بثلاثة كمبر كمدمي أن كميكفي ألن

Artinya:"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?"

Pada keempat contoh di atas memperlihatkan pada kita bahwa hamzah li al-

tashdîq juga dapat masuk ke dalam kalimat negatif (kalam manfi). Pada contoh (a)

penanda negasinya adalah lâ yang berada sebelum frasa verba imperfect. Pada contoh

(b) penanda negasinya adalah lam yang berada sebelum frasa verba imperfect. Pada

contoh (c) penanda negasinya adalah laisa. Dan pada contoh (d) penanda negasinya

adalah lan yang berada sebelum frasa verba imperfect.

2) Sasaran Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân

Meskipun Al-Qurân merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi

Muhammad SAW, yang mana Allah merupakan subyek primer dan nabi SAW sebagai

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

74

obyek primer, akan tetapi Al-Qurân juga merupakan media interaksi antara Tuhan dan

hambaNya. Oleh karena itu agar proses interaksi tersebut berjalan secara multi arah,

Tuhan menggunakan berbagai macam redaksi, yang meskipun obyek primernya adalah

nabi SAW sebagai penerima wahyu, tapi ada obyek-obyek sekunder lain yang bisa

ditemukan dalam kekayaan redaksi Al-Qurân –khususnya dalam redaksi istifhâm -.

Sasaran istifhâm adalah suatu obyek yang menjadi sasaran atau yang

dipertanyakan oleh mutakallim (penutur). Sasaran (obyek) istifhâm yang menggunakan

kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bervariasi. Berdasarkan hasil analisis peneliti,

sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu; (1) sasaran langsung, dan (2) sasaran tidak langsung.

Yang dimaksud sasaran langsung adalah suatu istifhâm yang sasarannya

langsung ditujukan oleh mutakallim kepada pihak pertama atau kedua. Sedangkan

sasaran tidak langsung adalah istifhâm yang sasarannya ditujukan kepada pihak ketiga

melalui pihak kedua.

Secara lebih spesifik -dalam penelitian ini- sasaran langsung dikelompokkan

menjadi dua kelompok sasaran, yaitu kelompok sasaran pertama dan kelompok sasaran

kedua. Kelompok sasaran pertama adalah dengan menggunakan kata ganti orang

pertama, yang terdiri atas; (1) orang pertama tunggal (mufrad/singular), dan (2) orang

pertama banyak (jama’/plural). Sedangkan kelompok sasaran kedua adalah dengan

menggunakan kata ganti orang kedua, yang terdiri atas; (1) orang kedua tunggal laki-laki

(mudzakkar mufrad/masculine singular), (2) orang kedua tunggal perempuan (muannats

mufrad/feminine singular), (3) orang kedua yang berarti dua (tatsniyah/duality), dan (4)

orang kedua laki-laki banyak ( jama’ mudzakkar/masculine plural).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

75

Sementara itu, sasaran tidak langsung adalah dengan penggunaan kata ganti

orang ketiga yang terdiri atas; (1) orang ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar

mufrad/masculine singular), (2) orang ketiga tunggal perempuan (muannats

mufrad/feminine singular), dan (3) orang ketiga laki-laki banyak (jama’

mudzakkar/masculine plural).

a) Sasaran Langsung

Sasaran langsung dikelompokkan menjadi dua, yaitu;

(1) Kelompok Sasaran Pertama

Kelompok sasaran pertama adalah dengan menggunakan kata ganti orang

pertama, yang terbagi menjadi dua, yaitu;

(a) Orang Pertama Tunggal (Mufrad/Singular)

Orang pertama tunggal (mufrad/singular) adalah suatu istifhâm yang sasarannya

adalah orang pertama dengan menggunakan kata ganti pertama tunggal, yaitu anâ

(saya). Dengan kata lain, dalam istifhâm tersebut, mutakallim mempertanyakan keadaan

dirinya sendiri.

Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 31

ة أخيه قال فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأة أخي ياويلتا أعجزت أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأ

نيمادالن نم حبفأص Artinya: “ Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi

untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu

berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

76

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

pertama tunggal (mufrad/singular), yang menggunakan kata ganti aku atau dhamir “ ت “

yang yang melekat pada verba “ تزجع ”. Kata tersebut terdapat pada ayat yang digaris

bawahi di atas. Aku yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Qabil, putra pertama

Nabi Adam A.s. dan Hawa, yang pertama kali melakukan pembunuhan dimuka bumi

ini.8

(b) Orang Pertama Banyak (Jama’/Plural)

Orang pertama banyak (jama’/plural) adalah suatu istifhâm yang sasarannya

adalah orang pertama dengan menggunakan kata ganti pertama banyak (jama’/plural),

yaitu; ” حنن ” nahnu (kami).

Seperti contoh, Q.S. al-Baqarah (2); 13

اءفهالس ناما ءكم نمؤ وإذا قيل لهم ءامنوا كما ءامن الناس قالوا أنألا إنهم هم السفهاء ولكن لا يعلمون

Artinya: ”Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana

orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”

8 Ibn Katsir, Op.Cit, juz. 2, h. 24-25, dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq. Lihat juga M. Quraisy

Syihab, Tafsir al-Misbâh, (Jakarta; Lentera Hati, 2001), V. 3, h. 74

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

77

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

pertama banyak (jama’/plural), yang menggunakan kata ganti kami atau dhamir ن (harf

mudhâra’ah) yang melekat pada verba “نمؤ ن “ . Kata tersebut terdapat pada ayat yang

digaris bawahi di atas. Kami yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang

munafik pada zaman Rasulullah SAW.9 Mereka menolak serta menghina perintah Allah

SWT untuk beriman kepadaNya dengan sebenar-benarnya iman10

(2). Kelompok Sasaran Kedua

Kelompok sasaran kedua adalah dengan menggunakan kata ganti orang kedua,

yaitu;

(a) Orang Kedua Tunggal Laki-laki (Mudzakkar Mufrad/Masculine Singular)

Orang Kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) adalah

suatu istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata

ganti kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) yaitu “انت ” anta

(kamu laki-laki).

9 Ibid, juz. 1, h. 71-72. juga. ibid.V.1, h. 103 10 M. Ali al-Shâbûni, Shofwah al-Tafâsîr, Op. Cit, juz. 1, h. 36, selanjutnya ditulis Al- Shâbûni

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

78

Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 127

وقال الملأ من قوم فرعون أتذر موسى وقومه ليفسدوا في الأرض ويذركل أبناءهم ونستحيي نساءهم وإنا فوقهم قاهرون وءالهتك قال سنقت

Artinya: Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun): "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab: "Akan kita bunuh

anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular), yang menggunakan

kata ganti kamu laki-laki atau dhamir “ت ” (harf mudhâra’ah) yang melekat pada verba

تذر“ ” pada ayat yang digaris bawahi di atas. Kamu laki-laki yang dimaksud dalam ayat

tersebut adalah Fir’aun yang hidup pada jaman Nabi Musa A.s.11 Sedangkan

mutakallimnya adalah pada pembesar dari kaum Fir’aun.12

(b) Orang Kedua Tunggal Perempuan (Muannats Mufrad/Feminine Singular)

Orang kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular) adalah

suatu istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata

11 Ibid, h. 465 juga Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 319 12 Ibid. lihat juga M. Hasbi al-Shiddiqy, Tafsir al-Nûr, (Semarang; PT Pustaka Rizki Putra,

2000), juz. 2, h. 1461, selanjutnya ditulis Al-Shiddiqy

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

79

ganti kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular), yaitu; ” أنت “ anti

(kamu perempuan).

Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 73

جيدم يدمح إنه تيل البأه كمليع كاتهربو ة اللهمحر ر اللهأم نم بنيجقالوا أتع Artinya: Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai

ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas sasarannya adalah orang

kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular), yang menggunakan

kata ganti kamu perempuan atau dhamir “ya’ muannatsah mukhâthabah” yang melekat

pada verba “بنيجتع ” pada kalimat yang digaris bawahi pada ayat di atas. Kamu

perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Sarah istri Nabi Ibrahim A.s.

Sedangkan mutakallimnya adalah para malaikat yang mendatangi Nabi Ibrahim A.s. dan

istrinya.13

(c) Orang Kedua Yang Berarti Dua (Tatsniyah/Duality)

Orang kedua yang berarti dua adalah istifhâm yang sasarannya adalah orang

kedua langsung dengan menggunakan kata ganti kedua yang berarti dua, yaitu أنتما

antumâ (kamu berdua).

13 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 589. juga Al-Shâbûni, Op.Cit, h. 24

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

80

Seperti contoh Q.S. al-Ahqâf (46); 17

ج وقد خلت القرون من قبلي وهما رأخ ي أنناندا أتعف لكم والذي قال لوالديه أ يستغيثان الله ويلك ءامن إن وعد الله حق فيقول ما هذا إلا أساطري الأولي

Artinya: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan

dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain

hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka".

Istifhâm yang mengunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

kedua yang berarti dua yang menggunakan kata ganti kamu berdua atau huruf ta’

mudhâra’ah dan alif tatsniyah yang melekat pada verba “اندتع ” pada kalimat yang

digaris bawahi pada ayat di atas. Kamu berdua yang dimaksud dalam ayat ini adalah dua

orang ibu bapak, sedangkan mutakallimnya adalah setiap anak manusia yang durhaka

kepada ibu bapaknya tersebut.14 Khithab ayat ini ditujukan untuk umum, maka ayat ini

pun membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai

pribadi Abdurrahmân ibnu Abu Bakar.15 Bahkan pendapat ini menurut Ibnu Katsîr

adalah dha’if.16

(d) Orang Kedua Laki-laki Banyak (Jama’ Mudzakkar/Masculine Plural)

Orang kedua laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural) adalah suatu

istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata ganti

14 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. III, h. 196 15 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 5, h. 3833 16 Ibn Katsîr, Op. Cit, juz. 4, h. 143

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

81

kedua laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yaitu أنتم antum (kamu laki-

laki banyak)

Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 18

ؤلاء شفعاؤنا عند الله قل أتنبئون الله بما لا يعلم في ه قولونيو مهفعنلا يو مهضر ا لا يم ون اللهد نم وندبعيوركونشا يمالى عتعو انهحبض سي الأرلا فو اتومالس

Artinya: Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah".

Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa

yang mereka mempersekutukan (itu).”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

kedua yang menggunakan kata ganti kamu semua atau huruf ta’ mudhâra’ah dan wawu

jama’ yang melekat pada verba “ئونبتن ” pada kalimat yang digaris bawahi pada ayat di

atas. Kamu semua yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang musyrik pada

jaman nabi SAW.17 Sedangkan mutakallimnya adalah nabi SAW.18

17 Ibid, h. 538, dengan mengambil pendapat dari Ibn jarir dan Ibn ‘Abbas. Juga Al-Shâbûni, Op.

Cit, h. 577 18 Ibid. Juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1788-1789

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

82

b) Sasaran Tidak Langsung

Sasaran tidak langsung adalah suatu istifhâm yang ditujukan kepada pihak ketiga

melalui pihak kedua. Sasaran ini menggunakan kata ganti orang ketiga yang terdiri;

(1) Orang Ketiga Tunggal Laki-laki (Mudzakkar mufrad/Masculine Singular)

Yang dimaksud orang ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine

singular) adalah istifhâm yang sasarannnya adalah orang ketiga dengan menggunakan

kata ganti ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular), yaitu هو

huwa (dia laki-laki).

Seperti contoh Q.S. al-Najm (53); 35

أعنده علم الغيب فهو يرىArtinya: “Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang

ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?”

Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas adalah orang

ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) yang menggunakan kata

ganti dia laki-laki atau dhamir muttashil ه “hu” yang terletak setelah lafadz دنع “inda”

pada ayat di atas. Dia laki-laki yang dimaksud adalah orang yang berpaling dari

keberanan sebagai sasaran tidak langsung. Sedangkan sasaran langsungnya adalah al-

Walîd ibnu al-Mughîrah,19 hal ini dikarenakan menurut Al-Mujâhid, ayat ini diturunkan

19 Ibid, h. 4015

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

83

mengenai al-Walîd ibnu al-Mughîrah.20 Sedangkan mutakallimnya adalah nabi

Muhammad SAW.21

(2) Orang Ketiga Tunggal Perempuan (Muannats Mufrad/Feminine Singular)

Yang dimaksud orang ketiga tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine

singular) adalah orang ketiga dengan menggunakan kata ganti ketiga tunggal perempuan

(muannats mufrad/feminine singular), yaitu هي “hiya” (dia perempuan)

Seperti contoh Q.S. al-Naml (27); 41

ظرا ننهشرا عوا لهقال نكر ونتدهلا ي ينالذ نم تكون ي أمتدأته. Dia berkata: "Rubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat

apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal (nya)".

Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas adalah orang

ketiga tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular) yang menggunakan kata

ganti dia perempuan atau huruf ta’ mudhâra’ah yang melekat pada verba “يتدته ” pada

kalimat yang digaris bawahi di atas. Dia perempuan yang dimaksud adalah Bilqis binti

Syarahil, seorang ratu yang memerintah negeri Saba’.22 Sedangkan mutakallimnya

adalah nabi Sulaiman A.s.23

20 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 327, juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 278 21 Ibid 22 Al-Shiddiqy, Op.Cit. Juz. 4, h. 3003 dan 3009 23 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. II, h. 410

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

84

(3) Orang Ketiga Laki-laki Banyak (Jama’ Mudzakkar/Masculine Plural)

Orang ketiga laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural) adalah

istifhâm yang sasarannya adalah orang ketiga dengan menggunakan kata ganti ketiga

laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yaitu هم “hum” (mereka laki-

laki).

Seperti contoh Q.S. al-Nisâ’ (4); 139

الذين يتخذون الكافرين أولياء من دون المؤمنني أيبتغونة لله جميعا زالع فإن ة زالع مهدنع

Artinya; ”(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min.

Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang

ketiga laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yang menggunakan kata

ganti mereka laki-laki atau huruf ya’ mudhâra’ah dan wawu jama’ yang melekat pada

verba “تغونبي ” pada kalimat yang digarisbawahi pada ayat di atas. Mereka yang

dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang munafik yang menjadikan orang-

orang kafir sebagai penolong atau pendukung mereka. Sedangkan mutakallimnya adalah

nabi SAW.24

24 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, V. 2, h. 595

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

85

3) Jenis Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân

Bagian ketiga dari analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam

Al-Qurân membahas tentang jenis istifhâm. Jenis istifhâm dalam penelitian ini mengacu

pada kategori istifhâm yang didasarkan pada aspek jawabannya. Hasil analisis data

menyatakan ada dua jenis istifhâm beserta karakteristiknya, yaitu; (1) istifhâm retoris,

dan (2) istifhâm aretoris. Istifhâm retoris adalah istifhâm yang tidak menghendaki

adanya suatu jawaban dari mukhathab, sedangkan aretoris adalah istifhâm yang

menghendaki jawaban dari mukhathab .25

Perincian kedua jenis istifhâm dan karakteristiknya masing-masing adalah

sebagai berikut;

a) Istifhâm Retoris dan Karakteristiknya

Istifhâm retoris yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

mempunyai karakteristik sebagai berikut; (1) hanya digunakan untuk menunjukkan

fungsi pragmatis, (2) berfungsi sebagai jawaban atas istifhâm yang ada sebelumnya,

(3) mutakallimnya adalah Tuhan dan mukhathabnya adalah hamba, dan

(4) mutakallim dan mukhathab sesama hamba.

(1) Fungsi Pragmatis

Di dalam Al-Qurân, ditemukan bahwasanya Istifhâm yang menggunakan kata

tanya hamzah yang berjenis retoris hanya digunakan untuk menunjukkan fungsi

pragmatis dan tidak digunakan untuk fungsi semantis.

25 M. Quraisy Syihab, Op.Cit, V. 3, h. 74

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

86

Seperti contoh Q. S. al-Mâidah (5); 31

ة أخيه قال ياويلتا فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأنيمادالن نم حبي فأصأخ ة أعجزت أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأ

Artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena

itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas adalah

termasuk istifhâm retoris. Mutakallim dan mukhathab dalam ayat di atas adalah satu,

yaitu orang pertama tunggal (Qabil).26 Secara fungsional, istifhâm di atas tidak

dimaksudkan untuk fungsi semantis (meminta informasi), melainkan untuk menyatakan

penyesalan “al-tahassur” (fungsi pragmatis).27 Hal yang mendasari digunakannya

istifhâm tersebut untuk menyatakan penyesalan adalah karena setelah Qabil membunuh

saudaranya (Habil), dia tidak bisa berbuat apa-apa, baru setelah Allah mengutus seekor

burung gagak untuk menggali tanah guna mengubur temannya yang mati, dia baru tahu

cara menguburkan orang mati. Istifhâm tersebut terlontar sebagai ungkapan

penyesalannya atas kebodohan dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan.

Hal ini pun, juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Marâghi dan al-Zuhaili,

bahwasanya ungkapan tersebut terlontar sebagai ungkapan penyesalan atas kesalahan

yang dia (Qabil) perbuat, yaitu pembunuhan terhadap Habil.28

26 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 24-25 dari riwayat Ibn Ishaq. Juga Al-Shâbûni. Op.Cit, Juz. I, h.

339 27 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 2, h. 1068 28 Ahmad Musthafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, Op. Cit, Juz. IV, h. 101, selanjutnya ditulis

Al-Marâghi. Lihat pula Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr, (Beirut; Dâr al-Fikr al-Mu’âsir, tt), Juz VI, h. 155

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

87

(2) Istifhâm Berfungsi Sebagai Jawaban

Diantara karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

yang berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa keberadaan istifhâm tersebut adalah

sebagai jawaban dari istifhâm yang dikemukakan oleh mukhathab sebelumnya.

Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 77-78 ونراحالس حفللا يذا وه رحأس كماءا جلم قلحل ى أتقولونوسقال م اءريبا الكلكم تكوننا واءابء هلينا عدج ا وما عتنتلفا لجئتن قالوا أ

نينمؤ ا بملكم نا نحمض وي الأرف

Artinya: “Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat

kemenangan".Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan

di muka bumi? kami tidak akan mempercayai kamu berdua." Istifhâm pada ayat 78 surat Yunus di atas dikategorikan sebagai istifhâm retoris.

Redaksi istifhâm tersebut adalah jawaban dari istifhâm yang berada pada ayat

sebelumnya, yaitu ayat 77. Kedua ayat di atas menerangkan bahwasanya setelah tongkat

Nabi Musa menelan ular-ular tukang sihir, maka Musa mengajukan pertanyaan pada

mereka yang berfungsi untuk mengingkari dan mencela perkataan para ahli sihir itu,

yaitu pada ayat 76, yang menganggap bahwa hujjah yang dibawa oleh Musa yang

menunjukkan kerububiyahan dan keilahian Allah dianggap sebagai sihir.29

Istifhâm yang berfungsi untuk mengingkari dan mencela (al-inkâr dan al-

taubîkh) yang diucapkan oleh Musa pada ayat 77 di atas, dijawab oleh para tukang sihir

29 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. I, h. 593

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

88

pada ayat kelanjutannya (78) dalam redaksi istifhâm juga yang dimaksudkan untuk

menghina ( al-istihzâ’) nabi Musa. Istifhâm tersebut berbunyi: هلينا عدج ا وما عتنتلفا لجئتن أ

Karena istifhâm ini berkedudukan sebagai jawaban dan setelahnya tidak 30. ءاباءنا

diketemukan jawabannya, maka istifhâm ini dikategorikan sebagai istifhâm retoris.

(3) Mutakallimnya Tuhan dan Mukhathabnya Hamba

Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang

berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallimnya adalah Tuhan sedangkan

mukhathabnya adalah hamba.

Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 75 الله كلام ونعمسي مهنم فريق كان قدو وا لكمنمؤي أن ونعأفتطم

ونلمعي مهو قلوها عم دعب نم فونهرحي ثم Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,

padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas adalah

termasuk istifhâm retoris. Mutakallim pada istifhâm tersebut adalah Tuhan sedangkan

mukhathabnya adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Istifhâm tersebut

secara fungsional digunakan untuk larangan bukan untuk meminta informasi. Dalam

ayat tersebut, Allah SWT melarang nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk

30 ibid. lihat juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 2. h. 1840

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

89

terlalu mengharapkan orang-orang yahûdi mau berbondong-bondong masuk agama

Islam.

Sedangkan makna yang mendasari fungsi istifhâm tersebut sebagai larangan

adalah karena ayat tersebut turun dilatar belakangi oleh harapan yang besar dari nabi

SAW dan para sahabatnya (sahabat Anshâr) kepada orang-orang yahûdi untuk memeluk

agama baru (Islam).31 Padahal di sisi lain umat yahûdi adalah umat yang mempunyai

karakter yang kurang baik, antara lain durhaka kepada Allah dan nabi-Nya, suka

menyembunyikan firman Allah dan memutar balikkannya, dll. 32

(4) Mutakallim dan Mukhathabnya Sesama Hamba

Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang

berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallim dan mukhathabnya

mempunyai status yang sama, yaitu sesama hamba Tuhan.

Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 61

ضالأر بتا تنما ملن ج ع لنا ربك يخر فاد داحام ولى طعع برنص ى لنوسامي إذ قلتما وهثائقا وهقلب نم ألتما سم لكم ا فإنرصبطوا ماه ريخ وي هنى بالذأد وي هالذ لوندتبا قال أتسهلصبا وهسدعا وهفومو

بآي ونكفركانوا ي مبأنه كذل الله نضب م ات الله ويقتلون النبيني وضربت عليهم الذلة والمسكنة وباءوا بغ كذل قر الحبغي

انوا يعتدونبما عصوا وك Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar

(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu:

sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang

31 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, V. 1. h. 71 32 ibid, h. 228, Al-Shâbûni, Loc. Cit. Juga al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 1. h. 138

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

90

merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa

yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari

ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam

istifhâm retoris. Mutakallim pada istifhâm tersebut adalah nabi Musa A.s, sedangkan

mukhathabnya adalah umatnya (bani Isrâil)33. Ayat tersebut menceritakan bahwasanya

bani Isrâil meminta nabi Musa A.s. untuk berdo’a kepada Tuhan agar keinginan mereka

terkabul, diantaranya mengharapkan makanan selain al-manna dan al-salwa, akan tetapi

di lain pihak mereka berbuat ingkar dan tidak mau mematuhi Musa.

Oleh karena itu, permintaan tersebut dijawab oleh Musa dengan redaksi istifhâm

yang bertujuan untuk menghardik34 dan menolak permohonan bani Isrâil tersebut.35 Hal

ini didasari oleh keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Musa, serta

ketidakrasionalan permintaan itu, karena al-manna dan al-salwa merupakan jenis

makanan yang paling sempurna, lezat dan penuh gizi.36

b) Istifhâm Aretoris dan Karakteristiknya

Istifhâm aretoris yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân pun

juga mempunyai karakteristik, yaitu sebagai berikut; (1) ada yang digunakan untuk

menunjukkan fungsi semantis dan ada yang digunakan untuk menunjukkan fungsi

33 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, h. 202 34 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 119 35 Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 62 36 Al-Shiddiqy. Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

91

pragmatis, (2) mutakallimnya adalah hamba dan mukhathabnya adalah Tuhan,

(3) mutakallim dan mukhathabnya sesama hamba, (4) mutakallim sebagai penanya dan

penjawab, dan (5) jawaban istifhâm berfungsi sebagai pengakuan.

(1) Fungsi Semantis dan Pragmatis

Di dalam Al-Qurân ditemukan bahwasanya karakteristik istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah yang berjenis aretoris jika dilihat dari fungsinya ada

dua, yaitu: (1) istifhâm aretoris yang digunakan untuk fungsi semantis, dan (2) istifhâm

aretoris yang digunakan untuk fungsi pragmatis.

(a) Istifhâm Aretoris Berfungsi Semantis

Seperti contoh Q.S al-A’râf (7); 65-66

.أفال تتقونواىل عادأخاهم هواد قال ياقوم اعبدوا ا ما لكم من إله غريه .قال املالء الذين كفروا من قومه انا لنربك يف سفاهة وانا لنظنك من الكذبني

Artinya: “ Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka (Hûd). Ia berkata: “ Hai, kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dariNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?.” Pemuka-pemuka yang

kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang

yang berdusta.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam

istifhâm aretoris. Pada ayat di atas mutakallimnya adalah nabi Hûd A.s, sedangkan

mukhathabnya adalah kaumnya, yaitu kaum ‘Ad.37 Dalam ayat 65 surat al-A’râf di atas,

secara fungsional istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Hûd kepada kaumnya adalah

bertujuan untuk mencari informasi (fungsi semantis) tentang tindakan apa yang akan

37 Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. III, h. 193

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

92

dilakukan oleh kaumnya, yaitu apakah mereka akan beriman setelah jelas bagi mereka

bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah? Istifhâm ini tertuang dalam

redaksi; 38. أفال تتقون

Istifhâm tersebut dijawab oleh para pemuka kaum ‘Ad yang kafir, yang tertuang

dalam ayat 66 surat al-A’râf, yang intinya bahwasanya mereka tetap mengingkari tauhid

(keesaan) Tuhan dan wahyu (risalah) yang dibawa Hûd dengan menyatakan bahwasanya

Hûd benar-benar kurang akal dan picik, bahkan mereka menuduh nabi Hûd seorang

pendusta yang mengaku-ngaku sebagai seorang rasul.39

(b) Istifhâm Aretoris Berfungsi Pragmatis

Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 72-73 إن ھذا لشيء عجیب قالوا أتعجبین من وھذا بعلي شیخا ءألد وأنا عجوزقالت یاویلتى

أمر اللھ رحمة اللھ وبركاتھ علیكم أھل البیت إنھ حمید مجیدArtinya: "Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan

anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.

Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!

Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."

Istifhâm pada ayat 72 surat Hûd di atas menggunakan kata tanya hamzah dan

dikategorikan ke dalam istifhâm aretoris. Mutakallimnya adalah Sarah isteri nabi

Ibrahim A.s, sedangkan mukhathabnya adalah para malaikat utusan Allah yang juga

sebagai sasaran istifhâm .40 Ungkapan dengan redaksi istifhâm yang diucapkan oleh

38 ibid, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 453 39 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1422-1423 40 Al-Marâghi, Op. Cit, juz IV, h. 59

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

93

Sarah tersebut berfungsi untuk menyatakan keheranannya (al-ta’jîb) atas berita tentang

apa yang disampaikan oleh para malaikat tersebut mengenai kelahiran anaknya yang

bernama Ishâq A.s. yang tertuang dalam ayat 71 sebelumnya.41

Keheranan tersebut didasari oleh keadaan Sarah yang sudah berumur yang

lazimnya sudah tidak beranak lagi, juga keadaan nabi Ibrahim sudah berusia lanjut.42

Maka keheranan tersebut di jawab oleh para malaikat, yang tertuang pada ayat 73 dan

beredaksi istifhâm pula, yang bertujuan untuk melarang Sarah merasa heran dan tidak

mempercayai kekuasaan Allah SWT, karena tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu

hanya menyatakan “kun” lalu terwujudlah apa yang dikehendaki-Nya itu.43

(2) Mutakallimnya Hamba dan Mukhathabnya Tuhan

Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang

berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallimnya adalah hamba dan

mukhathabnya adalah Tuhan.

Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 30

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيهالك س نقدك ودمبح حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نم

ونلما لا تعم لمقال إني أع Artinya: “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa

Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji

Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

41 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz II, h. 24 42 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz IV, h. 1924 43 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

94

Istifhâm pada contoh di atas juga dikategorikan sebagai istifhâm aretoris.

Mutakallim dalam istifhâm tersebut adalah para malaikat, sedangkan mukhathabnya

adalah Tuhan. Pada awal ayat tersebut, Allah SWT mengungkapkan bahwasanya Dia

berkehendak untuk menjadikan khalifah di bumi dan titah tersebut diungkapkan kepada

para malaikat.44 Dilandasi oleh statemen tersebut, para malaikat meminta petunjuk dan

penjelasan kepada Tuhan atas ide-Nya untuk menciptakan khalifah di bumi, dalam

redaksi istifhâm : “ س نقدك ودمبح حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نا ميهل فعأتج

45”لكIstifhâm dengan fungsi untuk meminta petunjuk atau penjelasan tersebut dilandasi

oleh ketidaktahuan para malaikat akan hakikat dan hikmah dari penciptaan khalifah,

juga karena mereka pernah tahu bahwa sebelumnya pernah ada makhluk yang mendiami

bumi yang berbuat durhaka kepada Allah, kemudian dibinasakan olehNya.46

Sebagai istifhâm aretoris, tentulah ada jawabannya, maka oleh Allah istifhâm

tersebut dijawab pada akhir ayat; “ونلما لا تعم لمإني أع” Model jawaban seperti ini

merupakan salah satu jawaban yang berfungsi untuk menyingkat interaksi.

44 Abu Hayyan al-Andalûsi, Al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992) juz I, h. 226,

selanjutnya ditulis Abu Hayyan 45 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz.I, h. 48 46 Al-Shiddiqy. Op. Cit, juz I, h. 71

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

95

(3) Mutakallim dan Mukhathabnya Sesama Hamba

Salah satu karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

yang berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallim dan mukhathabnya

mempunyai status yang sama, yaitu hamba Tuhan.

Seperti contoh Q.S Hûd (11); 62-63

هونا إليعا تدمك مي شا لفإنننا واؤابء دبعا يم دبنع انا أنهذا أتنل ها قب وج را مينف تكن قد حالاصقالوا يمريب قال ياقوم أرأيتم إن كنت على بينة من ربي وءاتاني منه رحمة فمن ينصرني من الله إن عصيته فما

خسريتزيدونني غير ت . Artinya: “Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah

seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-

betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab

itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat 62 surat Hûd di atas

dikategorikan ke dalam istifhâm aretoris. Mutakallim dalam istifhâm tersebut adalah

kaum Tsamûd, sedangkan mukhathabnya adalah nabi Shaleh A.s.47 Yang kedua-duanya

mempunyai status yang sama, yaitu hamba Allah SWT. Istifhâm yang diungkapkan oleh

kaum Tsamûd tersebut bertujuan untuk meminta kepastian (al-istiqrar) dari nabi Shaleh

A.s. tentang kebenaran risalah yang dia bawa, karena mereka masih dihinggapi oleh rasa

47 Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. IV, h. 54.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

96

heran, ragu, curiga, bahkan pengingkaran terhadap kebenaran risalah tersebut, karena

tidak sesuai dengan tradisi nenek moyang mereka.48

Ungkapan di atas dijawab oleh nabi Shaleh dengan redaksi istifhâm pula,

sebagaimana tertuang dalam ayat 63 di atas. Dengan redaksi istifhâm tersebut, nabi

Shaleh ingin menyeru mereka secara halus dengan cara meminta mereka menunjukkan

apa yang harus dia lakukan untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawanya dan

menunjukkan bahwa dia benar-benar seorang nabi yang diutus oleh Allah SWT kepada

mereka.49

(4) Mutakallim Sebagai Penanya dan Penjawab

Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang

berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwasanya dalam istifhâm tersebut,

pertanyaan dan jawabannya di ungkapkan sendiri oleh mutakallim, meskipun sasaran

istifhâm tersebut adalah pihak lain.

Seperti contoh Q.S. al-Nûr (24); 50

ولهسرو همليع الله يفحي أن خافوني وا أمتابأم ار ضرم ي قلوبهمأف ونمالظال مه كل أولئب

Artinya: “Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau

Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam

istifhâm aretoris. Mutakallim dalam istifhâm di atas adalah Tuhan, sedangkan

48 Al-Shâbûni, Op.Cit, Juz II, h. 23, lihat juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 3, h. 1917 49 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

97

mukhathabnya adalah orang-orang munafik.50 Sebagai istifhâm aretoris, tentulah

istifhâm tersebut diikuti oleh jawaban, yang dalam ayat tersebut adalah tertuang dalam

akhir ayat, yaitu; “ونمالظال مه كل أولئ51” ب

Meskipun istifhâm aretoris di atas diikuti oleh sebuah jawaban, akan tetapi

jawaban yang muncul bukan berasal dari mukhathab, melainkan dari pihak mutakallim

sendiri. Dalam hal ini, pihak mutakallim sendiri yang menentukan salah satu jawaban

dari berbagai alternatif yang terdapat dalam istifhâm dan sekaligus sebagai penegasan

dan sanggahan terhadap sangkaan dari mukhathab (orang-orang munafik), yaitu

sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Shiddiqy: “Orang-orang munafik bukanlah

berpaling dari Rasul karena beberapa sebab, tetapi akibat penyakit jiwa yang dideritanya

karena kekafiran dan kemunafikan.”52

(5) Jawaban Istifhâm Berfungsi Sebagai Pengakuan

Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang

berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwasanya jawaban yang diberikan oleh

mukhathab atas pertanyaan yang diajukan mutakallim berfungsi sebagai pengakuan

(pembenaran) terhadap isi statemen yang diungkapkan oleh mutakallim, walaupun jika

dilihat dari sisi mutakallim dan mukhathabnya, sama dengan karakteristik istifhâm

retoris poin ketiga, yaitu mutakallimnya Tuhan dan mukhathabnya hamba.

50 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. IV, h. 120 51 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. II, h. 345 52 Al-Shiddiqy. Op. Cit, Juz. 4, h. 2839

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 116: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

98

Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 172

هملى أنفسع مهدهأشو متهيذر مورهظه نم مادي ءنب نم كبذ رإذ أخو ألست بربكم قالوا بلى شھدنا أن تقولوا یوم القیامة إنا كنا عن ھذا غافلین

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya

berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah

terhadap ini (keesaan Tuhan)"

Istifhâm aretoris yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas

mutakallimnya adalah Tuhan (Allah SWT), sedangkan mukhathabnya adalah bani Adam

seluruhnya.53 Jawaban yang diberikan oleh bani Adam seluruhnya, yaitu: “ناهدلى شب “,

yang berfungsi sebagai pengakuan (pembenaran) terhadap statemen yang dikemukakan

oleh Tuhan (Allah SWT), yang dalam ayat tersebut beredaksi istifhâm, yaitu;” تألس

كمببر”. Istifhâm yang diungkapkan oleh Allah SWT ini secara fungsional bertujuan untuk

menegaskan kepada hamba-hamba-Nya tentang keesaan dan kerububiyahan-Nya,54 yang

dalam tafsirnya al-Shiddiqy menyebutkan, bahwasanya seolah-olah Allah berkata

kepada hamba-hamba-Nya: “ Akuilah bahwa Akulah Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain

53 Al-Marâghi, Op.Cit, juz III,h. 103 54 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. I, h. 481

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 117: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

99

Aku.” Maka, seolah-olah mereka menjawab; “Benar, Engkau Tuhan kami, tidak ada

Tuhan selain Engkau.”55

b. Analisis Aspek Semantis

Analisis aspek semantis adalah analisis yang dilakukan untuk menemukan

penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi semantis

(makna dasar), yaitu untuk meminta informasi tentang sesuatu. Berdasarkan hasil

analisis, diketahui bahwasanya kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai

fungsi semantis ini prosentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi pragmatis. Diantara kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi semantis ini antara lain;

1) Q.S al-A’râf (7); 65-66

.أفال تتقونواىل عادأخاهم هواد قال ياقوم اعبدوا ا ما لكم من إله غريه .قال املالء الذين كفروا من قومه انا لنربك يف سفاهة وانا لنظنك من الكذبني

Artinya: “ Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka (Hûd). Ia berkata: “ Hai, kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dariNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?.” Pemuka-pemuka yang

kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu

termasuk orang-orang yang berdusta.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah

nabi Hûd A.s, sedangkan mukhathabnya adalah kaumnya, yaitu kaum ‘Ad.56 Dalam ayat

55 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 2, h. 1508-1509 56 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 300-301, yang beliau ambil dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq.

Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. III, h. 193

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 118: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

100

65 surat al-A’râf di atas, secara fungsional istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Hûd

kepada kaumnya adalah bertujuan untuk mencari informasi (fungsi semantis) tentang

tindakan apa yang akan dilakukan oleh kaumnya, yaitu apakah mereka akan beriman

setelah jelas bagi mereka bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah? Istifhâm

ini tertuang dalam redaksi; 57. أفال تتقون

Istifhâm tersebut dijawab oleh para pemuka kaum ‘Ad yang kafir, yang tertuang

dalam ayat 66 surat al-A’râf, yang intinya bahwasanya mereka tetap mengingkari tauhid

(keesaan) Tuhan dan wahyu (risalah) yang dibawa Hûd dengan menyatakan bahwasanya

Hûd benar-benar kurang akal dan picik, bahkan mereka menuduh nabi Hûd seorang

pendusta yang mengaku-ngaku sebagai seorang rasul.58

2) Q.S. al-Syuarâ’(26); 41 جرا إن كنا نحن الغالبني ة قالوا لفرعون أئن لنا لأ رحالس اءا جفلم.

Artinya: Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fir`aun: "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar

jika kami adalah orang-orang yang menang?"

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah

para ahli sihir, sedangkan mukhathabnya adalah Fir’aun.59 Ayat tersebut berkaitan

dengan upaya Fir’aun mengumpulkan para ahli sihirnya di suatu ruang untuk dimintai

57 ibid, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 453 58 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1422-1423 59 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 442. Lihat juga Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dâr al-

Fikr; tt), Jilid. 4, h. 57

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 119: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

101

bantuannya dalam mengalahkan nabi Musa.60 Dalam proses negosiasi tersebut, mereka

menanyakan kepada Fir’aun tentang upah apa yang akan mereka dapatkan apabila

mereka dapat mengalahkan nabi Musa, sebagaimana redaksi dalam ayat tersebut; “ الن نأئ

جرا إن كنا نحن الغالبني لأ ”

Istifhâm yang disampaikan oleh ahli sihir tersebut bertujuan untuk menanyakan

tentang upah apa yang akan mereka dapatkan dari Fir’aun apabila mereka dapat

mengalahkan nabi Musa. Fungsi ini bisa dikategorikan sebagai fungsi semantis dari

sebuah istifhâm, yaitu mencari informasi atau menanyakan sesuatu yang belum diketahui

kepada orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Quthb bahwa

apa yang dilakukan oleh para ahli sihir itu bukanlah berkaitan dengan akidah atau

masalah pribadi Fir’aun, melainkan hanya berkaitan dengan upah apa yang akan mereka

dapatkan apabila dapat mengalahkan Musa.61

Istifhâm tersebut dijawab oleh Fir’aun, bahwa upah yang akan mereka dapatkan

apabila dapat mengalahkan Musa adalah mereka akan diangkat sebagai penasehat

pribadi Fir’aun. Hal ini tercermin dalam Q.S. al-Syuarâ’ ayat 42: قال نعم وإنكم إذا ملن

.املقربني

60 Depag RI, Al-Qurân dan Tafsirnya, (Semarang, PT. Citra Effhar, 1993), jilid 7, h. 86 61 ibid.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 120: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

102

c. Analisis Aspek Pragmatis

Analisis aspek pragmatis adalah analisis yang dilakukan untuk menemukan

penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang tidak digunakan untuk

menunjukkan fungsi semantis (makna dasar), yaitu untuk meminta informasi tentang

sesuatu, akan tetapi digunakan untuk menunjukkan fungsi-fungsi lain (fungsi pragmatis)

berdasarkan konteks, sosio-historis, asbab al-nuzûl yang menyertainya, dan juga facility

condition (kondisi kesesuaian). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwasanya kata

tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi pragmatis ini prosentasenya jauh

lebih besar jika dibandingkan dengan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang

mempunyai fungsi semantis.

Fungsi-fungsi pragmatis penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang

peneliti temukan antara lain;

1) Mempertegas

Seperti Contoh Q.S. al-A’râf (7); 172

أخذ ربك من بني ءادم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم وإذ

نيلذا غافه نا عإنا كن ةاميالق موتقولوا ي نا أنهدلى شقالوا ب كمببر تألس Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam

dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan

kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang

yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah

Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah anak Adam. Ayat di atas menjelaskan kepada

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 121: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

103

manusia tentang suatu janji yang dibuat pada saat mereka dikeluarkan dari Sulbi orang

tua mereka. Janji yang dimaksud adalah pengakuan mereka akan keberadaan Tuhan.62

Berkaitan dengan hal itu, Hamka berpendapat bahwa pada hakikatnya jiwa manusia itu

adalah fitrah, masih bersih, dan belum dipengaruhi oleh faktor eksternal.63

Pengakuan jiwa yang fitri terhadap keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam ini,

oleh Tuhan dipertegas dalam redaksi istifhâm; “كمببر تألس” yang artinya: Bukankah aku

ini Tuhanmu?64

Fungsi istifhâm untuk mempertegas ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari sisi mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi

mutakallim (Tuhan) sebagaimana pada ayat di atas adalah Sang Pencipta anak Adam dan

Dia pula yang mengambil kesaksian terhadap jiwa anak Adam. Sedangkan kondisi

mukhathabnya (anak Adam), mereka memberi kesaksian dan pengakuan terhadap ke-

Esaan Tuhan. Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa istifhâm yang diungkapkan

oleh Tuhan di atas berfungsi mempertegas bahwa hanya Allahlah satu-satunya Tuhan

mereka.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan yang beredaksi istifhâm dengan

menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk mempertegas

bahwa hanya Allah Yang Maha Esalah Tuhan mereka (anak Adam). Sedangkan tindak

62 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 347-348, diriwayatkan dari Imam Ahmad. Juga Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, dalam CD Rom Al-Maktabah Al-Syamilah Al-Tsaniyah, (Beirut: Dar el-Fikr, 2006) dari riwayat Ibn Abbas dan Imam Ahmad. Juga Al-Shâbûni, juz I, h. 481-482

63 Hamka, Tafsir al-Azhâr, (Singapura: Pustaka Nasional, 1993), Jilid 4, h. 2599 64 Al-Shâbûni, Loc.Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 122: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

104

perlokusinya adalah jawaban atau kesaksian anak Adam bahwa hanya Allahlah Tuhan

mereka, sebagaimana redaksi yang ada dalam ayat di atas; “ناهدلى شقالوا ب “ yang artinya:

“ Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. 2) Menolak

Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 50

أفحكم الجاھلیة یبغون ومن أحسن من اللھ حكما لقوم یوقنونArtinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)

siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah

Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah nabi SAW dan obyek tuturannya adalah bani

Nadzîr. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada suatu hari terjadilah konflik

antara bani Nadzîr dan bani Quraizah. Salah seorang dari bani Nadzîr meminta kepada

nabi Muhammad agar perkara tersebut diputuskan sesuai dengan cara yang berlaku pada

masa jahiliyah.65

Menurut al-Qurthubi,66 pada jaman jahiliyah, masyarakat Arab sudah terbiasa

menetapkan hukum secara diskriminatif. Apabila yang bersalah itu tergolong miskin dan

lemah, mereka dikenai hukuman, tetapi apabila yang bersalah itu tergolong orang kaya

dan kuat, mereka terlepas dari jerat hukuman.

Permintaan bani Nadzîr ini didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa secara

sosiologis, politis, maupun ekonomis, mereka lebih unggul dari pada bani Quraizah.

65 Al-Thabari, Op. Cit. nomer 12152 diriwayatkan dari Ya’qub dari Hisyam dari Mughirah dari Al-Sya’bi. Juga Depag RI, Op. Cit, jilid II, h. 441

66 Al-Qurthubi, Op. Cit, Jilid 2, h. 57

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 123: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

105

Seandainya hukum jahiliyah yang digunakan oleh nabi dalam memutuskan perkara,

sudah barang tentu merekalah (bani Nadzîr) yang dimenangkan. Permintaan tersebut

ditolak oleh nabi SAW dan beliau berkata bahwa orang-orang yang dibunuh itu sama

derajatnya dan tidak ada perbedaan diantara mereka. Bani Nadzîr tidak puas dengan

keputusan nabi, mereka berkata: “Kalau begitu, kami juga menolak dan tidak menerima

yang demikian itu”, maka turunlah ayat di atas tersebut.67 Dengan demikian, ayat yang

beredaksi istifhâm di atas secara pragmatis berfungsi sebagai bentuk penolakan nabi

SAW atas diberlakukannya kembali hukum jahiliyah.

Fungsi istifhâm untuk menolak ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat

dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim

(Tuhan) adalah pemberi wahyu, Dia yang menetapkan hukum, dan Dia memerintahkan

manusia berbuat adil. Sementara itu, kondisi mukhathab (nabi SAW) sebagai sasaran

pesan antara lain adalah penerima wahyu, pendakwa dan pelaksana hukum Tuhan yang

menghadapi permintaan bani Nadzîr (sasaran pesan tak langsung). Substansi pesannya

adalah jawaban atas permintaan bani Nadzîr kepada nabi SAW untuk menerapkan

hukum jahiliyah yang bertentangan dengan hukum Tuhan.

Oleh karena itu, apabila istifhâm ditinjau dari prespektif teori tindak tutur, maka

lokusi (wujud formal) nya adalah jawaban dari Tuhan yang beredaksi istifhâm yang

ditandai dengan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menolak

permintaan bani Nadzîr yang ingin menerapkan hukum jahiliyah yang bertentangan

dengan hukum Tuhan. Sedangkan tindak perlokusinya adalah bahwasanya bani Nadzîr

tidak puas dan menolak keputusan yang diberikan oleh nabi SAW.

67 Depag RI, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 124: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

106

3) Memberikan Informasi

Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 116

كونا يم انكحبقال س ون اللهد نن ميإله يأمي وذوناس اتخلنل قلت أنتء ميرم نى ابيساعي إذ قال اللهوا فم لملا أعي وي نفسا فم لمتع تهملع فقد قلته تكن ق إني بحل س ا ليأقول م ي أنل أنت إنك كي نفس

ام الغيوبعل .

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai `Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain

Allah?" `Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku

tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah Isa putra Maryam. Menurut para ahli

tafsir, misalnya al-Thabari, al-Qurthubi, al-Shâbûni, dan Ibnu Katsîr, dialog antara

Tuhan dan Isa putra Maryam terjadi pada hari kiamat. Sementara itu Sa’di dan Qathrab

berpendapat bahwa dialog tersebut terjadi pada saat Tuhan mengangkat Isa ke langit.68

Para ahli tafsir pun juga berbeda pendapat mengenai fungsi pragmatis dari

istifhâm di atas. Sebagian berpendapat bahwa istifhâm tersebut berfungsi sebagai celaan

terhadap kelompok yang menganggap nabi Isa dan ibunya sebagai Tuhan. Pendapat lain

mengatakan bahwa istifhâm tersebut berfungsi sebagai pemberitahuan Tuhan terhadap

68 Al-Thabari, Op. Cit, nomer 13024. Riwayat dari Ibn Basyar dari Abdullah Ibn Umar. Juga Al-

Qurthubi, Op. Cit, h. 81

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 125: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

107

nabi Isa, bahwa sepeninggal dirinya, kaumnya telah menganggap dirinya dan ibunya

sebagai Tuhan.69

Dari kedua fungsi pragmatis istifhâm di atas, peneliti lebih memilih fungsi yang

kedua, yaitu memberikan informasi. Hal ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang

dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi

mutakallimnya (Tuhan) dapat digambarkan sebagai Dzat pemberi wahyu, Maha Esa,

Maha Suci, tidak beranak dan diperanakkan. Dari sisi mukhathabnya (nabi Isa) adalah

penerima wahyu (Injil) dan tidak pernah mengatakan kepada umatnya bahwa dirinya dan

ibunya adalah dua Tuhan selain Allah. Sedangkan dari sisi substansi pesannya, terdapat

suatu pesan bahwa umat nabi Isa sepeninggalnya berkeyakinan bahwa Isa dan ibunya

adalah dua Tuhan selain Allah. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka peneliti

beranggapan bahwa fungsi istifhâm tersebut adalah untuk memberikan informasi.

Apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur, maka lokusinya

adalah ungkapan Tuhan kepada nabi Isa yang beredaksi istifhâm yang ditandai dengan

kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk memberikan informasi kepada Isa

tentang keberadaan umatnya sepeninggal beliau. Sedangkan tindak perlokusinya adalah

jawaban yang diungkapkan oleh nabi Isa dengan gaya bahasa litotes (merendahkan diri)

sebagaimana tertuang di akhir ayat.

4) Menganggap Mustahil

Seperti contoh Q. S. al-Anbiyâ’ (21); 6 وننمؤي ما أفهاهلكنأه ةيقر نم ملهقب تناما ءم

69 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 126: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

108

Artinya: ”Tidak ada (penduduk) suatu negeripun yang beriman yang Kami telah membinasakannya sebelum mereka; maka apakah mereka akan beriman?”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah

Tuhan, mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai sasaran

perantara, sedangkan sasaran yang sebenarnya (obyek tuturan) adalah orang-orang

musyrik.70

Konteks yang melatar belakangi diturunkannya ayat ini adalah ketika orang-

orang musyrik Mekah berkata kepada nabi SAW; “Sekiranya apa yang engkau katakan

itu benar dan engkau menghendaki agar kami beriman kepadamu, cobalah jadikan bukit

Shafâ itu emas.” Kemudian datanglah Jibril A.s dan berkata kepada Muhammad SAW: “

Sekiranya engkau kehendaki apa yang dikehendaki oleh kaummu, pasti dapat. Tetapi

sekiranya mereka tidak beriman setelah dikabulkan permintannya, mereka serta merta

akan disiksa tanpa diberi waktu lagi atau engkau sendiri menangguhkan dalam

mengabulkan permintaan mereka dengan harapan agar mereka beriman?”71

Berdasarkan asbâb al-nuzûl ayat tersebut, maka dalam tafsir Depag ditegaskan

bahwa seandainya tuntutan tersebut dikabulkan, mereka tetap tidak akan beriman.

Kenyataan ini pernah terjadi pada kaum musyrikin sebelumnya. Kemustahilan akan

keimanan orang-orang musyrik Mekah tersebut disampaikan dalam bentuk redaksi

istifhâm .72

70 Al-Thabari, Op. Cit. Riwayat dari Al-Qasim dari Al-Mujahid. Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Jilid

VI, h. 8 71 ibid. 72 Depag RI, Op. Cit, jilid VI, h. 308

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 127: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

109

Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Abu Hayyan, bahwa istifhâm

tersebut berfungsi al-istib’âd, yaitu mustahil mereka akan beriman kepada nabi SAW,

sekalipun bukit shafâ itu menjadi emas.73

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas mempunyai fungsi

menganggap mustahil, dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Kondisi mutakallim (Tuhan) digambarkan bahwa Dia Maha Mengetahui apa

yang tampak dan tersembunyi dalam hati manusia.74 Kondisi mukhathab (nabi SAW)

adalah utusan Tuhan dan obyek tuturannya (orang-orang musyrik) adalah kelompok

orang yang menentang Tuhan dan Rasul-Nya serta meminta kepada nabi SAW agar

merubah bukit Shafâ menjadi emas sebagai syarat keimanan mereka. Sedangkan

substansi pesannya adalah bahwa Tuhan mempertanyakan keimanan mereka sekalipun

bukit Shafâ dapat dirubah menjadi emas.

Oleh karena itu, apabila istifhâm tersebut ditinjau dari perspektif teori tindak

tutur, maka lokusinya adalah ungkapan Tuhan yang beredaksi istifhâm dengan

menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menganggap

mustahil keimanan orang-orang musyrik Mekkah, sekali pun bukit shafâ dapat dirubah

menjadi emas. Sedangkan tindak perlokusinya adalah tindakan yang dilakukan oleh nabi

SAW, yaitu dengan tidak mengabulkan permintaan orang-orang musyrik Mekah, agar

menjadikan bukit shafâ menjadi emas.

73 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz II, h. 256 74 Lihat Q.S. Ali Imrân (3); 5

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 128: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

110

5) Mengingkari

Seperti contoh Q.S. al-Shâffât (37); 16

وثونعبا لمنا أئظامعا وابا تركنا وتنذا مأئ Artinya: “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta

menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)?” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah orang-orang musyrik Mekkah dan mukhathabnya adalah Tuhan dan nabi SAW.75

Istifhâm tersebut muncul berkaitan dengan adanya berita tentang hari bangkit (yaum al-

ba’ts). Pada hari itu tubuh manusia yang rusak dikembalikan utuh seperti semula.76

Dalam pikiran mereka adalah sesuatu hal yang tidak masuk akal apabila tulang belulang

yang berserakan dan menjadi tanah dapat dihidupkan kembali pada hari bangkit nanti.77

Berpijak dari hal inilah, maka ungkapan orang-orang musyrik Mekkah dengan redaksi

istifhâm ini berfungsi untuk mengingkari akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.

Fungsi istifhâm untuk mengingkari ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang

dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi mutakallim

(orang-orang musyrik) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa

mereka adalah sekelompok orang yang tidak mempercayai Al-Qurân, khususnya adanya

hari bangkit. Mereka beranggapan, bahwa hari bangkit itu suatu peristiwa yang tidak

masuk akal. Kondisi mukhathab (Tuhan dan nabi SAW) menegaskan adanya hari

bangkit sebagai hari pembalasan. Sedangkan substansi pesan dari istifhâm di atas adalah

bahwa mutakallim menyangsikan berita dalam Al-Qurân bahwa hari bangkit itu ada.

75 Lihat Q.S. al-Shaffât (37); 11, juga Al-Thabari, Op. Cit. Diriwayatkan dari Muhammad Ibn

Umar 76 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 4, h. 7 77 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz III, h. 30

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 129: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

111

Berdasarkan kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm pada contoh di atas dikategorikan

sebagai istifhâm yang berfungsi sebagai pengingkaran (untuk mengingkari).

Sedangkan istifhâm di atas, apabila ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,

maka lokusinya adalah ungkapan orang-orang musyrik Mekkah yang digambarkan

dalam Al-Qurân dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak

illokusinya bertujuan untuk mengingkari statemen Tuhan dalam Al-Qurân tentang

keberadaan dan kebenaran hari bangkit. Sedangkan tindak perlokusinya adalah

bahwasanya mukhathab (Tuhan dan nabi SAW) akan melakukan suatu tindakan yang

dapat membuat mutakallim (orang-orang musyrik Mekkah) terhina, sebagaimana

tertuang dalam Al-Qurân surat al-Shâffât (37); 18 yang berbunyi: ونراخد أنتمو مقل نع

Artinya: “Katakanlah: "Ya, dan kamu akan terhina".

6) Membuktikan Kebenaran Ucapan

Seperti Contoh Q.S. al-Kahfi (18); 72

.امل أقل أنك لن تستطيع معي صرباقال Artinya Dia (Khidhir) berkata: “ Bukankah aku telah berkata sesungguhnya

kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Khidhir sedangkan mukhathabnya adalah Musa. Ayat di atas merupakan

rangkaian ayat yang menceritakan tentang Kisah nabi Khidhir dan nabi Musa.78 Pada

78 Al-Thabari, Loc. Cit. Diceritakan bahwa Khidhir (al-‘Alim) berkata kepada Musa. Juga Al-

Shiddiqy, Op. Cit. Juz 3, h. 2433. yang cerita tentang Musa dan Khidhir ini juga diriwayatkan oleh Ibnu

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 130: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

112

beberapa ayat sebelumnya (mulai ayat 65 sampai 71) diungkapkan tentang pertemuan

Musa dengan Khidhir, permintaan Musa kepada Khidhir untuk diperbolehkan berguru

kepadanya, syarat-syarat dari Khidhir untuk Musa jika dia ingin ikut bersamanya,

sampai kejadian dalam perjalanan ketika keduanya di atas perahu.

Pada ayat 66 Musa meminta kepada Khidhir agar diperbolehkan ikut bersamanya

dan berguru kepadanya. Permintaan tersebut ditanggapi oleh Khidhir pada ayat 67; قال

Akan tetapi karena Musa tetap memaksa, maka akhirnya dia .إنك لن تستطيع معي صربا

diperbolehkan oleh Khidhir untuk ikut bersamanya dengan syarat agar Musa bersabar

dan tidak boleh menanyakan sesuatu apapun kepada Khidhir sampai Khidhir sendiri

yang menerangkan. Kemudian (pada ayat 71) keduanya menaiki perahu, lalu Khidhir

melobangi perahu tersebut, dan tatkala melihat hal itu Musa lupa akan perjanjian yang

telah disepakatinya dengan Khidhir.

Menanggapi reaksi Musa tersebut, maka Khidhir menjawab dalam redaksi

istifhâm: امل أقل إنك لن تستطيع معي صرب؟. Ungkapan Khidhir ini bertujuan untuk

membuktikan kepada Musa bahwa ucapannya sebelumnya (pada ayat 67) adalah benar

adanya, yaitu bahwa Musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Khidhir. Oleh

karena itu, fungsi istifhâm yang diungkapkan oleh Khidhir pada ayat di atas bukan untuk

Abbas dari Ubay Ibnu Ka’ab. Lihat juga Ali Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabiy, 1999) Cet. 1, h. 562

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 131: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

113

menanyakan sesuatu, akan tetapi untuk membuktikan kebenaran apa yang dia ucapkan

sebelumnya.

Istifhâm di atas berfungsi untuk membuktikan kebenaran ucapan. Hal tersebut

diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan

substansi pesan. Kondisi mutakallim (Khidhir) adalah seorang nabi, mempunyai ilmu

yang tidak diajarkan Allah kepada Musa, dan perbuatannya secara lahiriyah menyalahi

syariat Musa tapi secara batiniyah merupakan wahyu dari Allah.79Sedangkan kondisi

mukhathab (Musa) juga seorang nabi, berkepribadian tegas dan keras, orang shaleh yang

selalu mengingkari dan tidak bisa bersabar jika melihat kemungkaran, disuruh oleh

Allah untuk berguru kepada Khidhir.80 Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah

bahwasanya Khidhir ingin membuktikan kebenaran apa yang telah dia ucapkan kepada

Musa sebelumnya tentang ketidakmampuan Musa untuk bersabar jika dia ikut bersama

Khidhir.

Oleh karena itu, istifhâm tersebut apabila dicermati dari perspektif teori tindak

tutur, maka lokusinya adalah ungkapan Khidhir yang beredaksi istifhâm dengan

menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk membuktikan

kebenaran ucapannya kepada Musa sebelumnya, sedangkan tindak perlokusinya adalah

ungkapan penyesalan dan permintaan maaf dari Musa kepada Khidhir atas kekhilafan

dan ketidaksabarannya serta minta diperkenankan untuk tetap ikut bersama Khidhir,

sebagaimana tercermin dalam ayat 73: “ قال ال تواخذني مبا نسيت وال ترهقين من أمري عسرا“

79 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 2434 80 ibid, h. 2435

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 132: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

114

7) Mengetes atau Menguji

Seperti contoh Q.S. al-Naml (27); 41

أتھتدي أم تكون من الذین لا یھتدونقال نكروا لھا عرشھا ننظر

Artinya: Dia berkata: "Rubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang

yang tidak mengenal (nya)".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah nabi Sulaiman, sedangkan mukhathabnya adalah para laskar-laskarnya, yang

mereka berfungsi sebagai sasaran perantara, sedangkan sasaran aslinya adalah Ratu

Bilqis, yang merupakan sasaran tidak langsung.81 Ayat di atas merupakan salah satu

bagian dari rangkaian cerita tentang nabi Sulaiman A.s dan ratu Bilqis.

Ayat di atas menerangkan bahwasanya nabi Sulaiman A.s memerintahkan

kepada pemimpin-pemimpin kaumnya, agar merubah sebagian bentuk dari singgasana

Bilqis yang telah sampai dihadapannya itu,82 seperti tertuang pada awal ayat; “

Kemudian Beliau mengungkapkan alasan kenapa singgasana . ”قال نكروا لها عرشها

tersebut harus dirubah dalam redaksi istifhâm, yaitu: ون؟تدهلا ي ينالذ نم تكون ي أمتدأته

yang secara fungsional bertujuan untuk mengetes atau menguji kecerdasan dan kejelian

ratu Bilqis. Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Shâbûni bahwa tujuan

81 Al-Shâbûni, juz 2, h. 410 82 Al-Thabari, Loc. Cit. Beliau riwayatkan dari Al-Qasim dari Qatadah. Juga Depag RI, Op. Cit,

jilid VII, h. 243

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 133: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

115

dari pada istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Sulaiman A.s adalah untuk menguji

kecerdasan ratu Bilqis (ikhtibâr dzakâihâ wa âqlihâ).83

Fungsi istifhâm untuk mengetes atau menguji ini diperkuat oleh kondisi

kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.

Kondisi mutakallim (nabi Sulaiman A.s) adalah utusan Allah SWT, diberi mukjizat

untuk menguasai angin dan jin,84 menguasai bahasa binatang dan mempunyai kerajaan

yang maha luas.85 Sedangkan kondisi mukhathabnya, yaitu ratu Bilqis (sasaran asli),

adalah salah satu umat nabi Sulaiman, memerintah negara Saba’ yang menguasai

seluruh negeri Yaman, mempunyai singgasana yang besar dan laskar yang banyak, akan

tetapi mereka mempunyai kebiasaan menyembah matahari serta mengerjakan berbagai

macam maksiat.86 Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa maksud nabi Sulaiman

A.s merubah singgasana itu adalah menguji ratu Bilqis, sehingga pada akhirnya

diharapkan kesan yang tinggal di dalam diri ratu tersebut ialah bahwa Sulaiman

bukanlah semata-mata seorang raja yang ingin menaklukkannya akan tetapi seorang

rasul Allah yang mengajaknya masuk ke dalam agama yang benar dan meninggalkan

menyembah matahari.87

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) ungkapan nabi Sulaiman A.s yang beredaksi istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menguji atau

mengetes kecerdasan dan kejelian ratu Bilqis, sedangkan tindak perlokusinya adalah

83 Al-Shâbûni, Loc. Cit. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hamka, Op. Cit, jilid 7, h. 5232 84 Al-Shiddiqy, juz 4, h. 2995 85 ibid, h. 2996 86 ibid, h. 3003 87 Hamka, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 134: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

116

agar ratu Bilqis dan kaumnya (Saba’) mau insaf, mengakui kerasulan nabi Sulaiman A.s,

dan juga mau mengEsakan Allah serta meninggalkan menyembah matahari.

8) Menantang

Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 71

اجتادلونين يف أمساء مسيتموها انتم وابائكم ما نزل ا قال قد وقع عليكم من ربكم رجس وغضب .فانتظروا اني معكم من املنتظرين هبا من سلطن

Artinya; “Ia berkata: “ Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.” Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama yang kamu beserta nenek-moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali

tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu). Sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya

adalah nabi Hûd A.s dan mukhathabnya adalah kaum ‘Ad.88 Dalam ayat ini nabi Hûd

berusaha menjawab istifhâm dan permintaan kaumnya yang tertuang dalam ayat

sebelumnya (ayat 70), yaitu; Ketidakpercayaan mereka akan ajakan nabi Hûd untuk

menyembah Allah, bahkan mereka meminta bukti akan kebenaran risalah yang

dibawanya dengan didatangkannya azab dari Tuhan kepada mereka atas ketidakpatuhan

mereka menuruti perintah dan nasihat nabi Hûd.

Jawaban nabi tersebut tertuang dalam awal ayat: “ قد وقع عليكم من ربكم رجس

yang azab tersebut berupa angin puting beliung yang sangat keras (badai topan) “ وغضب

88 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 302. Diriwayatkan dari Muhammad Ibn Ishaq. Juga Al-Zuhaili,

Op. Cit, juz. 8, h. 259. Dia adalah Hûd Ibnu Syâlikh ibnu Arfakhsyad ibnu Syâm ibnu Nuh, diutus untuk kaum ‘Ad.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 135: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

117

yang memakan banyak korban.89 Kemudian dilanjutkan ungkapan beliau dalam bentuk

istifhâm yang berfungsi untuk menantang balik kepada kaumnya atas permintaan

mereka, yang berbunyi: “ أجتادلونين يف امساء مسيتموها أنتم وابائكم ”. Yang maksudnya

Tuhanmu telah menetapkan azab dan kemarahan untuk kamu, maka masih beranikah

kamu membantahku mengenai berhala-berhalamu yang sama sekali tidak akan pernah

dapat memberikan manfaat ataupun madharat? Padahal sama sekali tidak ada keterangan

wahyu yang membenarkan penyembahan terhadap berhala-berhala itu.90 Kemudian

dilanjutkan dengan sebuah ancaman (al-wa’îd) diakhir ayat yang beredaksi perintah

(amr), yaitu; “ تظروا إني معكم من املنتظرينفان ”91

Kondisi lain yang memperkuat fungsi istifhâm dalam ayat tersebut sebagai

tantangan adalah kondisi kesesuaian yang terdapat pada mutakallim, mukhathab dan

substansi pesannya. Kondisi mutakallim (nabi Hûd A.s) adalah nabi dan rasul Allah,

bertugas menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada kaum ‘Ad, dan menyerukan

tentang menyembah dan mengesakanNya.92 Sedangkan kondisi mukhathab (kaum ‘Ad)

adalah kaum yang mempunyai kebiasaan menyembah berhala, durhaka kepada nabinya

dengan menganggapnya sebagai manusia yang kurang berakal dan pembohong, bahkan

mereka berani menantang nabinya untuk mendatangkan azab Tuhan yang dia janjikan

89 ibid, h. 264-265, tertuang dalam Q.S. al-Qamar (54); 20 90 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. 1, h. 454 91 ibid, lihat juga Al-Zuhaili, Loc.Cit, juga Abu Hayyan, Op. Cit, Juz. 5, h. 90 92 Baca Q.S. al-A’râf (7); 65, 67, dan 68

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 136: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

118

untuk mereka.93 Adapun kondisi substansi pesannya adalah bahwa dengan adanya

kedurhakaan kaum ‘Ad tersebut, maka Allah telah menetapkan azab dan kemarahan bagi

mereka, lalu nabi Hûd A.s menantang mereka untuk meminta bantuan kepada berhala-

berhala yang mereka tuhankan agar menyelamatkan mereka dari azab dan kemarahan

Allah.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak

tutur, maka lokusi (wujud formal) dari ungkapan nabi Hûd pada ayat di atas adalah

beredaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya berupa

tantangan kepada kaum ‘Ad. Sedangkan tindak perlokusinya adalah agar kaum ‘Ad

segera bertaubat, dan mau menyembah Allah, dan juga tidak mensekutukanNya dengan

apapun.94

9) Menghibur

Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 42-43

ومنهم من ينظر إليك أفأنت تسمع الصم ولوكانوا اليعقلونومنهم من يستمعون إليك

.دي العمى ولو كانوا اليبصرونأفانت هت Artinya; “ Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu

menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu,apakah dapat kamu memberi petunjuk

kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada dua ayat di atas

mutakallimnya adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW.

93 Baca Q.S. al-A’râf (7); 66 dan 70 94 Tindak perlokusi tidak secara eksplisit tertuang dalam redaksi ayat, namun secara implisit dapat

dipahami dari tujuan pengutusan nabi Hûd A.s kepada kaum ‘Ad, yang tertuang pada Q. S. al-A’râf (7); 65

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 137: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

119

Dalam kedua ayat tersebut Tuhan menerangkan kepada nabi Muhammad SAW tentang

keberadaan orang-orang musyrik yang mendustakannya. Pada ayat 42 ada orang

musyrik yang mau mendengarkan bacaan Al-Qurân, akan tetapi tidak mau memahami

apa yang mereka dengarkan. Sedangkan pada ayat 43, ada sebagian yang lain mau

melihat nabi saat menyampaikan ajaran Al-Qurân, akan tetapi mereka tidak bisa

memandang cahaya iman serta ajaran-ajaran Allah dalam ayat-ayat Al-Qurân .95

Setelah Allah menerangkan tentang karakteristik-karakteristik orang musyrik

yang menentang nabi SAW di awal kedua ayat di atas, maka kedua ayat tersebut diakhiri

dengan statemen-statemen yang beredaksi istifhâm, yaitu; ولوكانوا اليعقلون أفأنت تسمع الصم

dan أفانت هتدي العمى ولو كانوا اليبصرون. Kedua istifhâm ini mengindikasikan bahwasanya

Allahlah yang mempunyai hak prerogratif untuk bisa memberikan petunjuk kepada

makhluknya, sedangkan para nabi dan rasul hanya diperintahkan untuk menyampaikan

apa yang diwahyukan kepada mereka.96

Oleh karena itu istifhâm tersebut secara fungsional diungkapkan oleh Allah

kepada nabi Muhammad SAW untuk menghibur (tasliyah) beliau atas apa yang

dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap ajakan beliau untuk beriman kepada Allah

dan mengesakanNya, yaitu dengan mengungkapkan bahwasanya tugas seorang rasul

95 Al-Thabari, Op. Cit, nomer. 17662. Riwayat dari Yunus dari Ibn Wahab dari Ibn Zaid. Juga

Al-Shiddiqy. Op. Cit, Juz. 2. h. 1814 96 Baca Q.S. al-Mâidah (5); 99

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 138: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

120

hanya menyampaikan risalah yang diembannya.97 Dan hanya hak Allahlah untuk

memberikan atau tidak memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya.98 Hal ini pun

juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qurthubi; bahwasanya istifhâm tersebut

berfungsi untuk menghibur (tasliyah) nabi Muhammad SAW.99

Kondisi kesesuaian yang memperkuat fungsi istifhâm di atas sebagai penghibur

(tasliyah) bagi nabi SAW dapat dilacak dari kondisi mutakallim, mukhathab, dan

substansi pesan. Kondisi mutakallim (Tuhan) adalah Dzat yang telah menurunkan Al-

Qurân kepada nabi Muhammad SAW, Dzat yang telah mengutus nabi Muhammad SAW

untuk menyampaikan risalahNya, dan Dia juga Dzat yang yang mampu memberikan

atau tidak memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya. Sedangkan kondisi

mukhathab (nabi Muhammad SAW) adalah seorang nabi yang diutus untuk seluruh

alam, berkewajiban untuk menyampaikan risalah yang dibawanya kepada seluruh

umatnya, dan banyak mengalami kendala dan tantangan dari para musuh-musuhnya baik

kaum musyrikin, kafirin, maupun munafiqin. Sedangkan substansi pesannya adalah

setelah nabi menyampaikan risalah yang dibawa pada umatnya, maka ada sebagian dari

mereka yang mengingkarinya (khususnya dalam ayat ini orang-orang musyrik), maka

Allah menghibur beliau, bahwasanya hal itu bukan kesalahan beliau, akan tetapi hal itu

karena tindakan mereka yang tidak mau menyiapkan diri untuk beriman.100

Oleh karena itu apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) ungkapan Tuhan tersebut beredaksi istifhâm yang

97 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 2, h. 380 98 Baca Q. S al-Baqarah (2); 272 99 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. 1, h. 586 100 Al-Shiddiqy. Op. Cit, h. 1815

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 139: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

121

menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menghibur

(tasliyah) nabi SAW, sedangkan tindak perlokusinya adalah agar nabi SAW tidak

berputus asa dalam berdakwah serta berlepas tangan dari apa-apa yang dikerjakan oleh

orang-orang musyrik setelah risalah yang diembannya disampaikan kepada

mereka,101hal ini karena memberi petunjuk adalah hak prerogratif Tuhan.

10) Meminta petunjuk

Seperti contoh Q. S. al-Baqarah (2); 30

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خلیفة قالوا أتجعل فیھا من یفسد فیھا ویسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa

Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji

Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah para malaikat, sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Dalam ayat ini Tuhan

ingin menjelaskan kepada para malaikat bahwa Dia mempunyai ide untuk menciptakan

manusia (Adam A.s) sebagai ganti kaum yang telah binasa untuk mengemban tugas

khalifah di muka bumi, sebagaimana yang tertuang dalam awal ayat: “ كةلائلمل كبإذ قال رو

102“ إني جاعل في الأرض خليفة

101 Baca Q.S. Yunus (10); 41 102 Jalâluddin al-Mahally dan Jalâluddin al-Suyûthi, Tafsir al-Jalâlain, Terjemahan oleh

Mahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar (Bandung; CV. Sinar Baru,1990) Cet. 1, Jilid 1, h. 17

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 140: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

122

Menanggapi ide Tuhan tersebut, maka para malaikat pun menyampaikan keingin

tahuan mereka tentang hikmah dari penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi serta

penyebab tidak dijadikannya mereka sebagai khalifah di bumi, padahal mereka selalu

bertasbih dan mensucikan nama Tuhan.103 Ungkapan tersebut mereka kemukakan

kepada Tuhan dalam redaksi istifhâm “ حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نا ميهل فعأتج

لك س نقدك ودمبح “ yang secara fungsional dimaksudkan untuk meminta petunjuk (al-

istirsyâd) kepada Tuhan mengenai hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka

bumi. Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsîr dan Wahbah al-

Zuhaili bahwa istifhâm tersebut dimaksudkan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan

tentang hikmah dan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, bukan untuk

menolak atau bahkan merasa iri atas penciptaan tersebut.104

Fungsi istifhâm di atas untuk meminta petunjuk (al-istirsyâd) ini diperkuat oleh

kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Kondisi mutakallim (para malaikat) adalah para hamba Tuhan yang taat,

senantiasa bertasbih dan mensucikanNya, maka tidak mungkin mereka durhaka dan

melawan perintah dan ketetapan Tuhan.105 Sedangkan kondisi mukhathab (Tuhan)

adalah Zat yang Maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu, dan Dia juga Maha

103 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. I, h. 75 104 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 1, h. 60 dan al-Zuhaili, Op. Cit, juz. 1, h. 130 105 Baca Q.S. al-Tahrîm (66); 56

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 141: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

123

Mengetahui akan segala sesuatu.106 Adapun kondisi substansi pesannya adalah bahwa

dengan adanya ide Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini,

maka malaikat (dengan keterbatasan pengetahuan mereka) meminta petunjuk kepada

Tuhan tentang hikmah dari ide tersebut.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak

tutur, maka lokusi (wujud formal) dari ungkapan malaikat pada ayat di atas adalah

berbentuk istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya berupa

meminta petunjuk (al-irtirsyâd), sedangkan tindak perlokusinya adalah ungkapan Tuhan

yang menyatakan bahwa Dia adalah Zat Yang Maha Mengetahui, yang secara eksplisit

tertuang dalam akhir ayat ini:" ونلما لا تعم لمقال إني أع " . Jawaban tersebut bertujuan

untuk menjelaskan bahwa segala perbuatan Tuhan selalu mengandung hikmah yang

dalam, meskipun kadang tersembunyi dari hambaNya (termasuk juga malaikat).107

11) Meminta Pengakuan

Seperti Contoh Q.S. al-Anbiyâ’(21); 62 يماهراإبا ينتهذا بآله لتفع أنتقالوا ء

Artinya: Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimya

adalah Azar dan kaum nabi Ibrahim A.s, sedangkan mukhathabnya adalah nabi Ibrahim

A.s. Ayat tersebut terkait dengan dihancurkannya patung-patung sesembahan mereka.

106 Al-Shiddiqy. Op. Cit, h. 72 107 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 142: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

124

Pada ayat 59 mereka bertanya-tanya tentang pelaku penghancuran patung-patung

tersebut. Pada ayat 60 dijelaskan bahwa sebagian mereka mendengar ada seorang

pemuda yang mencela berhala mereka, yaitu bernama Ibrahim. Pada ayat 61 diputuskan

bahwa pemuda tersebut harus dibawa kehadapan orang banyak agar semua orang dapat

melihatnya.108

Setelah Ibrahim berada di hadapan orang banyak, mereka mengadakan

penyelidikan dan pemeriksaan dan mengajukan istifhâm sebagaimana pada ayat di

atas.109 Istifhâm tersebut dimaksudkan agar Ibrahim mengakui perbuatannya atas

patung-patung sesembahan mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh

al-Marâghi,110 bahwa tujuan istifhâm tersebut adalah untuk meminta pengakuan Ibrahim

(thalab al-i’tirâf), kemudian dengan adanya pengakuan ini mereka mempunyai alasan

untuk menyiksa dan menyakitinya.

Fungsi istifhâm untuk meminta pengakuan pada ayat di atas diperkuat oleh

kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Dari sisi mutakallim (Azar dan kaum nabi Ibrahim) dapat digambarkan bahwa

Azar adalah ayah nabi Ibrahim yang berprofesi sebagai pembuat patung, kaum nabi

Ibrahim adalah penyembah patung, patung-patung sesembahan mereka dihancurkan, dan

ada sebagian mereka yang mengetahui bahwa Ibrahimlah orang yang menghancurkan

patung mereka. Sedangkan kondisi mukhathab (nabi Ibrahim) adalah nabi dan rasul

Allah, diutus untuk mengajak umatnya bertauhid kepada Allah, dan salah satu jalan yang

dia tempuh adalah dengan menghancurkan patung-patung sesembahan umatnya.

108 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 244. Diambil dari riwayat Abu Hurairah dalam Al-Shahihaini. 109 Depag RI, Op. Cit, jilid 6, h. 371 110 Al-Marâghi, Op.Cit. Jilid 6, h. 48-49

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 143: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

125

Sedangkan substansi pesannya adalah mutakallim meminta mukhathab mengakui

perbuatannya terhadap patung-patung sesembahan mereka.

Apabila istifhâm di atas dicermati dari perspektif teori tindak tutur, maka

lokusinya adalah ungkapan Azar dan kaum nabi Ibrahim yang beredaksi istifhâm dengan

menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk meminta nabi

Ibrahim mengakui perbuatannya terhadap patung-patung sesembahan mereka.

Sedangkan tindak perlokusinya adalah jawaban diplomatis yang diberikan oleh nabi

Ibrahim, sebagaimana tertuang pada surat al-Anbiyâ’(21); 63, yang berbunyi; قونطنكانوا ي إن مألوهذا فاسه مهكبري لهل فعقال ب

Artinya: Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara"

12) Meminta dikasihani

Seperti Contoh Q.S. al-A’raf (7); 155 ب لو شئت أهلك فة قال رج الر مذتها أخا فلمنيقاتملا لج ر نيعبس همى قووسم تاراخو ايإيل وقب نم مته

اءتش نا مل بهتض تكتنإلا ف يه ا إننم اءفهل السا فعا بمكنلا أتهلن را فاغفنيلو أنت اءتش ني مدتهورينالغاف ريخ أنتا ونمحارو.

Artinya: Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka

digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah

cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah

Pemberi ampun yang sebaik-baiknya".

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 144: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

126

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Musa sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Pada ayat di atas dijelaskan

bahwa nabi Musa memilih 70 orang pilihan dari kaumnya untuk pergi bersama-sama ke

suatu tempat di bukit Sinai untuk bermunajat kepada Allah. Dalam perjalanannya,

mereka di suatu tempat digoncang oleh gempa bumi yang disebabkan oleh petir yang

amat dahsyat.111 Di tengah-tengah keadaan yang seperti itu, Musa menyampaikan

istifhâm kepada Tuhan:” أتهلكنا بما فعل السفهاء منا ”

Istifhâm yang disampaikan oleh Musa tersebut bukan untuk menanyakan sesuatu,

akan tetapi berfungsi untuk meminta dikasihani (al-istirhâm).112 Pendapat yang sama

juga diungkapkan oleh Al-Shiddiqy113 bahwa dengan istifhâm tersebut, Musa bermaksud

memohon belas kasihan Tuhan agar tidak membinasakan mereka disebabkan perbuatan

yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berakal, yaitu orang-orang yang meminta

agar dapat melihat Tuhan dan mereka yang menyembah anak sapi.

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm pada ayat di atas berfungsi

untuk meminta dikasihani dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi

pesannya. Kondisi mutakallim (Musa) adalah utusan Tuhan, bersama 70 orang pergi ke

bukit Sinai untuk bermunajat kepada Tuhan. Diantara 70 orang tersebut ada yang pernah

menyembah anak sapi dan ada yang ingin melihat Tuhan secara langsung dan di tengah

perjalanan di timpa musibah atau cobaan dari Tuhan. Kondisi mukhathab (Tuhan)

111 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 333. Riwayat dari Ibn Abbas, Qatadah, Mujahid, dan Ibn Jaris.

Juga Depag RI, Op. Cit, Juz III, h. 608 112 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz I, h. 475 113 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 3, h. 2001

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 145: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

127

adalah Dzat yang memberikan wahyu pada Musa, tempat bermohon dan meminta, dan

Maha Kuasa untuk memberi rahmat maupun menimpakan musibah. Sedangkan kondisi

substansi pesannya adalah bahwa Musa mempertanyakan kepada Tuhan, mengapa Dia

mau menimpakan musibah, karena ulah sebagian orang yang tidak berakal. Berpijak dari

kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai suatu istifhâm

yang berfungsi untuk meminta dikasihani.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Musa kepada Tuhan yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya berfungsi untuk

meminta belas kasihan dari Tuhan. Adapun wujud tindak perlokusinya adalah tindakan

yang dilakukan oleh Tuhan sebagai pihak yang dimintai, yaitu memberikan kasih

sayangNya. Hal ini tercermin pada jawabanNya pada ayat ini 156:

قال عذابي أصيب به من أشاء ورمحيت وسعت كل شيء فسأكتبهاللذين يتقون ويؤتون الزكوة والذين هم بأيتنا يؤمنون

13) Membuka Mata Orang Lain

Seperti Contoh Q.S. al-A’râf (7); 22 قرو نا مهمليفان عخصقا يطفا ومآتهوا سمله تدب ة رجا ذاقا الشور فلما بغرملاها فدمهبا رماهنادو ةنالجبنيم ودا علكم طانيالش ا إنأقل لكمو ة رجا الشلكمت نا عكمأنه ألم

Artinya: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 146: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

128

pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah

Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah Adam dan Hawa. Pada ayat-ayat sebelumnya,

Tuhan berpesan kepada keduanya untuk tinggal di surga dan memakan apa-apa (buah-

buahan) yang dikehendaki. Akan tetapi Tuhan melarang keduanya untuk mendekati

pohon. Selanjutnya karena keduanya terbujuk oleh syetan, keduanya mengabaikan pesan

Tuhan dan pada akhirnya mereka memakan “buah” yang terlarang.

Menurut Ibnu Abbas, pohon yang dimaksud bernama “al-sunbulah” dan ketika

keduanya memakan buahnya, maka terbukalah auratnya yang sebelumnya tertutup oleh

kukunya.114 Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa yang terpengaruh terlebih dahulu

adalah Hawa yang kemudian menyuruh suaminya memakannya.115

Berkenaan dengan peristiwa tersebut, maka Tuhan bertanya pada keduanya, yang

pada ayat di atas disampaikan dengan redaksi istifhâm. Istifhâm tersebut bukan bertujuan

untuk meminta informasi tentang penyebab terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini

beralasan karena Tuhan dengan pesan yang telah Dia berikan sebelumnya sudah

mengetahui apa yang akan terjadi. Dengan berdasarkan konteks di atas, maka istifhâm

itu dimaksudkan oleh Tuhan untuk membuktikan dan membuka mata Adam dan Hawa

bahwa apa yang dipesankan itu benar adanya. Dalam terminologi jawa, istifhâm

dimaksudkan untuk “melehake”.

114 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Jilid 2, h. 277. Riwayat dari Sa’id Ibn Abi ‘Urwah dari Qatadah dari Al-

Hasan dari Ubay Ibn Ka’b. 115 Depag RI, Op. Cit, jilid III, h. 380-381

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 147: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

129

Fungsi istifhâm untuk membuka mata orang lain (Adam dan Hawa) “melehake”

ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab,

dan substansi pesan. Kondisi mutakallim (Tuhan) digambarkan bahwa Dia pernah

berpesan kepada mukhathab (Adam dan Hawa) untuk tidak mendekati pohon terlarang.

Kondisi mukhathab (Adam dan Hawa) tetap memakan buah terlarang dan tidak

mengindahkan pesan Tuhan tentang apa yang pernah dipesankan kepada Adam dan

Hawa dan tentang status syetan sebagai musuhnya. Berpijak dari kondisi kesesuaian

inilah, maka istifhâm tersebut dimaksudkan untuk membuka mata Adam dan Hawa atau

”melehake”.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,

maka lokusinya adalah ungkapan Tuhan kepada Adam dan Hawa yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk

membuka mata Adam dan Hawa atau “melehake”, dan tindak perlokusinya adalah

ungkapan penyesalan dari mukhathab (Adam dan Hawa) atas perbuatan mereka

sebagaimana tersebut dalam ayat selanjutnya (Q.S. al-A’râf (7); 23).

14) Mencari Muka

Seperti Contoh Q.S. al-Nisâ’ (4); 141

قالوا ألم يبنص رينلكافل كان إنو كمعم نكن قالوا ألم الله نم فتح لكم كان فإن بكم ونصبتري ينالذ نينمؤلى المع رينلكافل ل اللهعجي لنو ةاميالق موي كمنيب كمحي فالله نينمؤ الم نم كمعننمو كمليوذ عتحنس

.سبيلاArtinya: “(yaitu) Orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 148: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

130

orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka

Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan

orang-orang yang beriman.”

Istifhâm pada ayat di atas ada dua, dan keduanya sama-sama menggunakan kata

tanya hamzah. Pada kedua istifhâm di atas mutakallimnya adalah orang-orang munafik,

akan tetapi mukhathabnya berbeda. Pada istifhâm yang pertama mukhathabnya adalah

orang-orang mukmin, sedangkan pada istifhâm yang kedua mukhathabnya adalah orang-

orang kafir.116 Istifhâm pada ayat di atas menggambarkan sikap mendua orang-orang

munafik terhadap kelompok-kelompok lain (kelompok Islam dan Kafir) dan mereka

selalu menunggu kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan

dirinya.117

Orang-orang munafik apabila bertemu dengan kelompok muslim yang

memperoleh kemenangan dalam peperangan, mereka menyatakan bahwa mereka ikut

bekerja keras membantu kelompok muslim dalam memenangkan peperangan.

Sebaliknya apabila kelompok muslim telah dikalahkan oleh kelompok kafir, mereka

juga mengatakan pada kelompok kafir bahwa kemenangan mereka juga tidak terlepas

dari bantuan mereka dalam memenangkan peperangan. Dengan kata lain, orang-orang

munafik berusaha mencari simpati (mencari muka) dari kedua kelompok yang bertikai

dengan tujuan untuk mencari keuntungan kelompoknya sendiri. Keuntungan yang

dimaksud adalah agar mereka memperoleh bagian dari harta rampasan.118

116 Ibnu Katsîr, Op. Cit, jilid. I, h. 742 117 ibid. dan Depag RI, Op. Cit, jilid. 2, h. 313-314 118 Al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 3, h. 43

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 149: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

131

Fungsi istifhâm untuk mencari muka ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang

dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim

(orang-orang munafik) digambarkan sebagai sekelompok orang yang bermuka dua.

Sementara itu kondisi mukhathab yang pertama (Muhammad SAW dan orang-orang

muslim) dan yang kedua (orang-orang kafir) adalah dua kelompok yang saling

bertentangan dan bahkan kadang-kadang antar keduanya melakukan peperangan.

Sedangkan substansi pesannya adalah apabila mutakallim bertemu dengan mukhathab

yang pertama mereka menyatakan bahwa mereka ikut berperang melawan mukhathab

kedua. Sebaliknya apabila mereka bertemu dengan mukhathab yang kedua mereka

menyatakan bahwa mereka juga ikut berperang melawan mukhathab pertama. Berpijak

dari kondisi kesesuaian inilah maka istifhâm di atas dimaksudkan oleh mutakallim untuk

mencari muka, baik kepada mukhathab yang pertama maupun yang kedua.

Oleh karena itu, apabila kedua istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori

tindak tutur, maka lokusinya adalah ungkapan dari orang-orang munafik yang

digambarkan dalam Al-Qurân yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya

hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk mencari muka, baik kepada orang-orang

muslim maupun orang-orang kafir. Sedangkan tindak perlokusinya adalah reaksi dari

Tuhan yang tercermin pada akhir ayat: ةاميالق موي كمنيب كمحي فالله yang artinya: “Maka

Allah akan memberi keputusan diantara kamu di hari kiamat.”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 150: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

132

15) Memerintah

Seperti contoh Q. S. al-Hajj (22); 46

أفلم يسريوا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو ءاذان يسمعون بها فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور

Artinya: “ Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi

yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya

adalah Tuhan, mukhathabnya adalah nabi SAW, sedangkan sasaran istifhâm yang

sebenarnya adalah orang-orang kafir Mekah.119 Ayat di atas menjelaskan keingkaran

orang-orang kafir Mekah terhadap ayat-ayat Tuhan dan seruan nabi Muhammad.120 Hal

ini bisa dibuktikan bahwa dalam kesehariannya mereka sering mengadakan perjalanan

antara Mekkah dan Syiria, serta ke negeri-negeri di Jazirah Arab lainnya untuk

berdagang. Dalam perjalanan tersebut, mereka telah melihat bekas-bekas negeri umat

terdahulu yang telah dihancurkan, serta mendengar cerita tentang penyebab kehancuran

umat-umat tersebut karena kedustaan dan keingkaran mereka kepada Tuhan. Meskipun

demikian mereka masih tetap mengingkari ayat-ayat Tuhan.121

Berkenaan dengan hal itu, Tuhan memerintahkan agar dalam pengembangannya

mereka mau memperhatikan, merenungkan, dan memikirkan bekas kehancuran suatu

negeri disebabkan oleh penduduknya yang mendustakan dan mengingkari ayat-ayat

119 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 303. Pendapat dari Ibn Abi Al-Dunya dalam kitabnya Al-

Tafakkur wa Al-I’tibar. Juga Al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 4, h. 31 120 Hamka, Op. Cit, jilid. 6, h. 4710 121 Depag RI, Op.Cit, jilid. VI, h. 546

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 151: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

133

Tuhan dan nabiNya.122 Perintah tersebut disampaikan oleh Tuhan dengan menggunakan

redaksi istifhâm yang sasarannya adalah orang-orang kafir Mekkah.

Fungsi istifhâm untuk memerintah pada ayat diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi

mutakallim (Tuhan) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa Dialah

pengutus nabi untuk mendakwahkan ajaranNya. Sedangkan kondisi mukhathabnya,

yaitu nabi SAW (sasaran perantara) adalah sebagai rasulNya dan orang-orang kafir

Mekkah (sasaran sebenarnya) adalah sekelompok orang yang mendustakan dan

mengingkari ayat-ayat Tuhan dan risalah nabiNya, serta sering mengadakan perjalanan

jauh untuk berniaga. Adapun kondisi substansi pesannya adalah keengganan orang-

orang kafir Mekkah untuk memperhatikan, merenungkan, dan memikirkan bekas-bekas

negeri yang dihancurkan oleh Tuhan karena keingkaran penduduknya terhadap ajaran-

ajaran Tuhan.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak

tutur, maka lokusi dari ungkapan Tuhan di atas adalah ungkapan beredaksi istifhâm

dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya dimaksudkan untuk

memerintah orang-orang kafir Mekkah agar dalam perjalanannya untuk berdagang

merenungkan bekas-bekas kehancuran negeri umat-umat terdahulu dan penyebabnya.

Sedangkan perlokusinya diharapkan orang-orang kafir Mekkah mau melaksanakan apa

yang diperintahkan kepada mereka oleh Tuhan yang implikasinya mereka nantinya akan

beriman kepada Tuhan dan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabiNya.

122 Hamka, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 152: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

134

16) Menyeru

Seperti contoh Q.S. al-Syu’arâ (26); 160-161 لوط ألا تتقون موهأخ مني إذ قال لهلسرالم لوط مقو تكذب

Artinya: Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?"

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah nabi Luth dan mukhathabnya adalah umatnya, yaitu penduduk Sodom.123Pada

ayat 165 dan 166 disebutkan bahwa kaum nabi Luth mempunyai kebiasaan senang

mengawini atau melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis di samping juga

menyembah berhala.

Dalam kondisi masyarakat yang seperti ini, nabi Luth pada langkah awal

menyeru (mengajak secara halus) mereka untuk bertakwa kepada Tuhan Pencipta

Alam.124 Seruan nabi Luth tersebut dinyatakan dalam redaksi istifhâm; “؟ألا تتقون”.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Katsîr bahwa istifhâm tersebut

merupakan suatu ajakan (seruan) nabi Luth agar umatnya beriman dan taat kepada

Tuhan dan rasulNya.125

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk

menyeru dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi

mutakallim (nabi Luth) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa dia

123 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 3, h. 455 124 Depag RI, Op. Cit, juz. VII, h. 155-156 125 Ibnu Katsîr, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 153: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

135

seorang nabi dan rasul Tuhan yang bertugas menyebarkan ajaran-ajaranNya. Sedangkan

mukhathab (kaumnya) merupakan penentang ajarannya, mendustakan ayat-ayat Tuhan,

melakukan tindak asusila (homoseksual) dan menyembah berhala. Sedangkan kondisi

substansi pesannya adalah bahwa nabi Luth menyeru kaumnya untuk bertakwa kepada

Tuhan dan rasulNya. Berpijak dari kondisi kesesuaian di atas, maka tepatlah jika

istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk menyeru (mengajak

secara halus).

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan nabi Luth kepada kaumnya yang

beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk menyeru (mengajak secara halus). Adapun wujud tindak perlokusinya

adalah tindakan pendustaan kaum nabi Luth terhadap para utusan Tuhan sebagaimana

tercermin pada ayat 160 di atas atau bahkan penentangan yang keras disertai ancaman

terhadap nabi Luth sebagaimana diungkapkan pada ayat 167;

قالوا لئن مل تنته يلوط لتكونن من ارمني

17) Melarang

Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 75 الله كلام ونعمسي مهنم فريق كان قدو وا لكمنمؤي أن ونعأفتطم

ونلمعي مهو قلوها عم دعب نم فونهرحي ثم Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal

segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 154: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

136

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat mutakallimnya adalah

Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya

secara fungsional istifhâm tersebut tidak digunakan untuk meminta informasi, akan

tetapi berfungsi sebagai larangan. Makna yang mendasari fungsi istifhâm di atas sebagai

larangan adalah bahwa ayat tersebut dilatarbelakangi oleh harapan yang besar dari nabi

SAW dan para sahabatnya (sahabat Anshâr) kepada orang-orang Yahûdi untuk memeluk

agama Islam. Harapan tersebut didasari oleh suatu pemikiran bahwa agama Yahûdi lebih

dekat dengan ajaran Islam, baik dari sisi dasar maupun misinya.126

Selanjutnya Hamka127 menegaskan bahwa ayat tersebut merupakan peringatan

Allah kepada nabi SAW dan umatnya, khususnya para sahabatnya untuk tidak

mengharapkan orang-orang Yahûdi untuk berbondong-bondong masuk Islam.

Selanjutnya pada ujung ayat Tuhan memberikan argumentasi atas larangan tersebut.

Argumentasi yang dimaksud adalah bahwa orang-orang Yahûdi selalu mengubah isi

firman Tuhan setelah memahaminya. Menurut Ibnu Zaid, mereka selalu mengubah isi

Taurat, yakni yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan demikian pula yang

batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil.128

Fungsi istifhâm untuk melarang tersebut diperkuat juga oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi

mutakallim (Tuhan) merupakan Dzat Pemberi Wahyu, Dia Maha Tahu, dan Dia tidak

memaksa manusia untuk memeluk agama Islam.129 Di sisi lain, mukhathabnya (nabi

126 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 1, h. 149 127 Hamka, Op. Cit, juz.1, h. 226 128 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz. 1, h. 153 129 Lihat Q.S. al-Baqarah (2); 256

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 155: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

137

SAW dan para sahabatnya) adalah sebagai pendakwa wahyu Tuhan dan hanya bertugas

untuk menyampaikan saja tidak untuk memaksa, di samping itu mereka sangat

mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam. Sedangkan kondisi substansi

pesannya adalah bahwa mutakallim mempersoalkan harapan besar mukhathab terhadap

orang-orang Yahûdi untuk memeluk agama Islam, padahal mereka mempunyai

kebiasaan mengubah isi kitabnya sendiri (Taurat). Berpijak dari kondisi kesesuaian

inilah maka istifhâm di atas bisa dikategorikan sebagai suatu istifhâm untuk melarang

mukhathab agar tidak terlalu mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan terhadap nabi Muhammad

SAW dan para sahabatnya yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya

hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk melarang mereka agar tidak terlalu

mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam. Sedangkan wujud tindak

perlokusinya adalah tentunya nabi SAW dan para sahabatnya (sebagai orang-orang yang

taat kepada Tuhan) melakukan tindakan tertentu sebagaimana yang dilarang oleh Tuhan,

yaitu menghentikan harapannya yang besar kepada orang-orang Yahûdi untuk memeluk

agama Islam.

18) Mengkonfirmasi

Seperti contoh Q.S. al-Anbiyâ’ (21); 54-55 بنيي ضلال مف كماؤابءو أنتم تمكن قالوا قال لقدبنياللاع نم أنت أم قا بالحجئتن أ

Artinya: Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". Mereka menjawab: "Apakah kamu datang kepada kami dengan

sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?"

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 156: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

138

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat 55 di atas,

mutakallimnya adalah Azar (ayah Ibrahim A.s) dan kaum nabi Ibrahim, sedangkan

mukhathabnya adalah nabi Ibrahim. Istifhâm pada contoh di atas muncul sebagai reaksi

atas pernyataan Ibrahim pada ayat 54 bahwa mereka dan bapak-bapaknya dalam

kesesatan yang nyata. Pernyataan tersebut membuat mereka tercengang, apalagi

pernyataan ini dikemukakan oleh saudara mereka sendiri, bahkan dia adalah salah

seorang anak ahli pembuat dan penyembah patung.130 Mereka mengira bahwa apa yang

mereka lakukan selama ini (menyembah patung-patung) adalah mustahil berada dalam

kesesatan.131 Oleh karena itu, mereka serta merta meminta konfirmasi kepada Ibrahim

apakah yang diucapkan itu benar adanya atau hanya senda gurau belaka.132

Fungsi istifhâm untuk mengkonfirmasi pada ayat di atas juga diperkuat oleh

kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Kondisi mutakallim (Azar dan kaum nabi Ibrahim) digambarkan bahwa Azar

adalah ayah nabi Ibrahim, dia berprofesi sebagai pembuat patung. Azar dan juga kaum

nabi Ibrahim juga menyembah patung. Mereka yakin apa yang mereka lakukan benar

(tidak sesat). Akan tetapi, tiba-tiba mereka tercengang atas pernyataan Ibrahim bahwa

mereka dalam kesesatan yang nyata.

Sedangkan kondisi mukhathab (nabi Ibrahim) adalah seorang nabi dan rasul

Tuhan. Dia anak Azar (pembuat patung). Dia diutus Tuhan untuk mengajak umatnya

untuk bertauhid kepada Tuhan. Dia menyatakan bahwa perbuatan ayah dan kaumnya

(menyembah patung) berada dalam kesesatan yang yang nyata. Dan kondisi substansi

130 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 243. Juga Hamka, Op.Cit, juz. 6, h. 4588 131 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 6, h. 44 132 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 266

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 157: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

139

pesannya adalah mereka bertanya-tanya apakah pernyataan Ibrahim tentang kesesatan

perbuatan mereka suatu pernyataan yang sungguh-sungguh atau hanya sekedar senda

gurau saja. Berpijak dari kondisi kesesuaian ini, maka tepatlah jika istifhâm di atas

dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengkonfirmasi.

Oleh karena itu apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan yang disampaikan oleh Azar dan umat

nabi Ibrahim kepada nabi Ibrahim yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata

tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk mengkonfirmasi kebenaran

pernyataan nabi Ibrahim tentang kesesatan mereka. Sedangkan wujud tindak

perlokusinya adalah jawaban dan kesaksian nabi Ibrahim bahwa yang patut disembah

adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, sebagaimana tercermin pada ayat 56;

قال بل ربكم رب السموات واألرض الذي فطرهن وأنا على ذلكم من الشاهدين

19) Menegur

Seperti Contoh Q.S. al-Nûr (24); 22 ضل منكم والسعة أن يؤتوا أولي القربى والمساكني والمهاجرين في سبيل الله وليعفوا ولا يأتل أولو الفيمحر غفور اللهو لكم الله رغفي أن ونبوا ألا تحفحصليو.

Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak

ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 158: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

140

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya

adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah Abu Bakar. Ayat 22 surat al-Nûr

tersebut berkaitan dengan peristiwa berita bohong yang menimpa putri Abu Bakar

bernama ‘Aisyah (isteri nabi Muhammad SAW) sekembalinya dari peperangan melawan

bani Mustaliq.133 Berita bohong yang dimaksud adalah perselingkuhan ‘Aisyah dengan

Shafwan bin al-Muaththal. Berita bohong ini pertama kali disebarluaskan oleh Ibnu

Salûl salah seorang pemimpin munafik yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin

Ubay bin Salûl.134

Berita bohong yang disebarluaskan oleh Ibnu Salûl tersebut semakin meluas

sehingga sampailah ke telinga Misthah (seorang wanita miskin yang kebutuhan

hidupnya selalu dibantu oleh Abu Bakar dan juga termasuk salah seorang kerabatnya),

Misthah pun juga ikut termakan isu dan dia ikut serta menyebarkannya. Setelah Abu

Bakar mengetahui kalau Misthah ikut serta menyebarkan isu, dia bersumpah: “Demi

Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang

‘Aisyah.” Berkaitan dengan sumpah ini, maka turunlah ayat 22 Surat al-Nûr di atas yang

di dalamnya Allah memberikan teguran kepada Abu Bakar yang bersumpah tidak akan

memberikan nafkah kepada kerabat dan fakir miskin karena merasa disakiti hatinya.135

Teguran tersebut disampaikan oleh Tuhan dalam bentuk redaksi istifhâm yang

sasarannya bersifat umum.

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk

menegur dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi

133 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 266. Juga Depag RI, Op, Cit, Juz. 6, h. 754 134 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 333 135 ibid. Lihat juga al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 4, h. 79

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 159: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

141

mutakallim (Tuhan), Dia Maha Mendengar dan Mengetahui apa yang dirasakan dan

dilakukan oleh hambaNya. Dia melarang orang-orang yang mempunyai kelebihan dan

kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi bantuan kepada orang lain yang

kekurangan. Dia memerintahkan hambaNya untuk berlapang dada dan memaafkan

kesalahan orang lain, karena Dia juga Maha Pengampun.

Sedangkan kondisi mukhathab (Abu Bakar) adalah sahabat nabi SAW, dia juga

ayah dari istri nabi (‘Aisyah), dia seorang yang dermawan dan suka menolong orang

yang membutuhkan, diantaranya Misthah, dia marah atas berita bohong tentang

perselingkuhan ‘Aisyah dengan Shafwan bin al-Muaththal yang juga disebarluaskan

oleh Misthah, dan karena begitu marahnya sampai dia bersumpah untuk tidak

memberikan bantuan kepada fakir miskin, khususnya Misthah. Adapun substansi

pesannya adalah bahwa Tuhan bermaksud memberi teguran kepada Abu Bakar agar

membatalkan sumpahnya serta menawarkan kepada Abu Bakar suatu ampunan apabila

dia membatalkan sumpahnya. Berpijak dari kondisi kesesuaian di atas, maka istifhâm di

atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk menegur mukhathab agar tidak

mengulangi perbuatannya (bersumpah).

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan kepada Abu Bakar yang

beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk menegur Abu Bakar atas apa yang dia lakukan. Sedangkan wujud tindak

perlokusinya adalah tindakan Abu Bakar bahwa dia berjanji akan tetap memberikan

sebagian hartanya untuk fakir miskin dan dia senang sekali seandainya Tuhan

mengampuninya.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 160: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

142

20) Mengklarifikasi

Seperti contoh Q.S. Yunus(10); 53 جزينعبم ا أنتممو قلح ي إنهبرقل إي و وه قأح بئونكتنسيو

Artinya: Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?" Katakanlah: "Ya, demi Tuhan-ku, sesungguhnya azab itu adalah benar

dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah orang-orang kafir Quraisy sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad

SAW. Istifhâm tersebut muncul akibat kebimbangan mereka atas suatu berita mengenai

ancaman Tuhan kepadanya.136 Kebimbangan yang dirasakan adalah apakah berita

mengenai ancaman berupa azab itu memang benar akan terjadi atau hanya merupakan

berita yang hanya menakut-nakuti.137

Kebimbangan ini wajar terjadi karena pihak mutakallim (orang-orang kafir

Quraisy) termasuk kelompok yang mendustakan ayat-ayat Tuhan, menentang kenabian

serta kerasulan Muhammad SAW, dan memiliki rasa permusuhan dengannya.

Kebimbangan atas berita tersebut mendorong mereka melakukan klarifikasi untuk

memperoleh informasi yang akurat dengan mengajukan istifhâm; وه ق؟أح .

Fungsi istifhâm untuk mengklarifikasi ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi

136 Berita tersebut sebagaimana tertuang dalam Q.S. Yunus (10); 52 yang artinya: “ Kemudian

dikatakan kepada orang-orang yang dzalim (musyrik) itu; “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal, kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.”

137 Depag RI, Op. Cit, juz. 4, h. 402, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, juz I, h. 587, juga Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 549

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 161: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

143

mutakallim (orang-orang kafir Quraisy) adalah sekelompok masyarakat yang menentang

Tuhan dan rasulNya, mereka mendengar informasi bahwa mereka akan ditimpa azab

Tuhan dan mereka merasa bimbang dengan informasi tersebut. Kondisi mukhathab (nabi

Muhammad SAW) adalah seorang nabi dan utusan Tuhan, bertugas menyebarkan

ajaran-ajaran Tuhan, dan dalam dakwahnya dia mendapatkan tantangan dan ancaman

dari kelompok kafir Quraisy. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah mutakallim

meminta penjelasan kepada mukhathab mengenai benar tidaknya berita tentang azab

yang dijanjikan oleh Tuhan. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di

atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengklarifikasi.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan orang-orang kafir Quraisy kepada nabi

SAW yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak

illokusinya bertujuan untuk mengklarifikasi tentang kebenaran berita mengenai azab

Tuhan bagi orang-orang kafir. Sedangkan tindak perlokusinya adalah jawaban langsung

dari nabi Muhammad tentang kebenaran berita itu, atau dengan kata lain hal tersebut

merupakan ancaman kepada orang-orang kafir Quraisy bahwa mereka benar-benar akan

memperoleh siksa dari Tuhan, hal ini terdapat pada akhir ayat: “ ا أنتممو قلح ي إنهبرقل إي و

جزينعبم”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 162: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

144

21) Mengingatkan

Seperti contoh Q.S. al-Najm (53); 33-34

أفرأيت الذي تولى وأعطى قليلا وأكدى

Artinya: “Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur'an)? serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW, dan sasaran

(obyek) tuturannya adalah Walid bin Mughirah.138 Dia adalah seorang yang setia

mendampingi nabi SAW. Begitu akrabnya dengan nabi SAW, dia tertarik memeluk

Islam dan nabi SAW pun sangat mengharapkan keIslamannya. KeIslaman Walid

mendapat kecaman dari kelompok musyrik. Dengan segala upaya yang dilakukan, baik

dengan cara yang halus, seperti memberikan sejumlah uang, maupun dengan cara

mengadakan perjanjian. Pada akhirnya mereka dapat membujuk Walid, dan dia menarik

kembali keinginannya memeluk agama Islam.139

Berkenaan dengan peristiwa di atas, maka turunlah ayat 33 dan 34 surat al-Najm

yang menggunakan redaksi istifhâm. Istifhâm di atas bukanlah bertujuan untuk meminta

informasi, melainkan mutakallim (Tuhan) mengingatkan mukhathab (nabi SAW) agar

berhati-hati dalam bergaul dan menghadapi orang-orang musyrik sehingga kasus serupa

tidak terjadi lagi.

138 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 327, riwayat dari Ibn Abbas. Juga Al-Shâbûni, Op. Cit. juz. 3, h.

278 139 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 9, h. 64, lihat juga Depag RI, Op. Cit, juz. 9, h. 590

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 163: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

145

Fungsi istifhâm untuk mengingatkan ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi

mutakallim (Tuhan) Dia Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh hambaNya, Dia

Pemberi Wahyu nabi SAW dan sekaligus pelindungNya. Kondisi mukhathab (nabi

SAW) adalah seorang nabi dan rasul. Dia bersahabat dengan seorang kafir yang bernama

Walid bin al-Mughirah. Dia memberi nasihat kepada Walid sehingga tertarik untuk

masuk Islam, akan tetapi karena rayuan dari kelompok musyrik yang lain dia

mengurungkan niatnya untuk masuk agama Islam. Sedangkan substansi pesannya adalah

bahwa mutakallim (Tuhan) berpesan kepada mukhathab (nabi SAW) untuk berhati-hati

dalam bergaul dengan seseorang yang sebenarnya berpaling dari Al-Qurân .

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan kepada nabi SAW yang

beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk mengingatkan nabi SAW. Sedangkan wujud tindak perlokusinya secara

implisit adalah bahwa nabi SAW diharapkan untuk melakukan tindakan berupa kehati-

hatian dalam menghadapi orang-orang musyrik.

22) Menganjurkan

Seperti contoh Q.S. al- A’râf (7); 127

وقال الملأ من قوم فرعون أتذر موسى وقومه ليفسدوا في الأرض ويذرك ونرقاه مقهإنا فوو مهاءسيي نتحنسو مهاءنل أب وءالهتك قال سنقت

Artinya: Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun): "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab: "Akan kita bunuh

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 164: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

146

anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka".

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah

para pembesar dari kaum Fir’aun dan mukhathabnya adalah Fir’aun. Ayat di atas

mengisyaratkan semakin lemahnya dukungan rakyat kepada Fir’aun setelah mereka

melihat kemenangan kemukjizatan nabi Musa, apalagi setelah melihat para ahli sihir

sudah bersujud menyatakan iman dan tidak memperdulikan lagi ancaman Fir’aun

terhadap mereka. Dalam kondisi seperti ini para elit politik pendukung Fir’aun

melancarkan fitnah atau isu-isu politik bahwa Musa akan meruntuhkan (mengkudeta)

kedudukan Fir’aun sebagai penguasa tunggal di Mesir140 yang mana isu tersebut

diformulasikan dalam bentuk redaksi istifhâm sebagaimana pada ayat di atas.

Menurut al-Shâbûni141 istifhâm di atas pada dasarnya berfungsi sebagai anjuran

kepada Fir’aun agar dia segera menghancurkan Musa dan pengikutnya. Fungsi istifhâm

untuk anjuran ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari

mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim (elit politik

pendukung Fir’aun) adalah para pengikut setia Fir’aun, merasa kedudukan mereka yang

selama ini nyaman terancam dengan apa yang dilakukan oleh Musa, dan pertimbangan

mereka selalu didengar oleh Fir’aun. Kondisi mukhathab (Fir’aun) adalah seorang raja

di Mesir, kedudukannya merasa terancam oleh tindakan Musa dan para pengikutnya.

Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa para elit politik pendukung Fir’aun

menganjurkan kepada Fir’aun untuk segera menghancurkan Musa dan para pengikutnya.

140 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 319. Juga Depag RI, Op. Cit, juz. 3, h. 551 141 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz, 1, h. 465

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 165: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

147

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan elit politik pendukung Fir’aun kepada

Fir’aun yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak

illokusinya bertujuan untuk menganjurkan kepada Fir’aun untuk segera menghancurkan

Musa dan para pengikutnya. Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah tindakan

Fir’aun untuk “menindak tegas” terhadap Musa dan para pengikutnya, sebagaimana

tercermin pada akhir ayat tersebut; “ونرقاه مقهإنا فوو مهاءسيي نتحنسو مهاءنل أب قال سنقت

23) Menyombongkan diri

Seperti contoh Q.S. al-Zukhrûf (43); 51

رصم لكي مل س م ألياقوقال ي همي قوف نوعرى فنادو وهذه الأنهار تجري من تحتي أفلا تبصرون

Artinya: Dan Fir`aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir

di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)?”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Fir’aun sedangkan mukhathabnya adalah kaumnya. Ayat di atas menggambarkan

bahwasanya Fir’aun mengumpulkan kaumnya dan mengumumkan kepada mereka: “Hai

kaumku, bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan sungai yang mengalir di bawah

istanaku dan berjalan menurut kemauanku? Akulah yang mempunyai hak

mengendalikan sungai Nil ini.142”

142 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 145. Juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 5, h. 3751

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 166: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

148

Tatkala mengungkapkan pengumuman tersebut, Fir’aun menggunakan redaksi

istifhâm bukan menggunakan redaksi khabariyah. Penggunaan redaksi istifhâm di atas

bukannya Fir’aun ingin bertanya kepada kaumnya tentang kerajaan Mesir ataupun

sesuatu hal lain, akan tetapi dia bertujuan untuk menunjukkan kepada kaumnya bahwa

dia memiliki segalanya (menyombongkan diri). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat

Sayyid al-Jumali143 bahwa fungsi istifhâm tersebut adalah untuk menyombongkan diri

(al-iftikhâr).

Fungsi istifhâm untuk menyombongkan diri ini juga diperkuat oleh kondisi

kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.

Kondisi mutakallim (Fir’aun) digambarkan sebagai raja yang diktator, memiliki

kekayaan yang melimpah ruah, mengaku sebagai Tuhan. Sedangkan kondisi

mukhathabnya (kaumnya) adalah kaum yang lemah dan patuh kepada Fir’aun, mereka

juga orang-orang fasik. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah bahwa Fir’aun

ingin menyombongkan dirinya dengan apa yang dia miliki di depan kaumnya agar

mereka semakin yakin akan kebesarannya. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka

tepatlah kiranya jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi

untuk menyombongkan diri (al-iftikhâr).

Istifhâm di atas, apabila dicermati dari perspektif teori tindak tutur, maka

lokusinya adalah ungkapan Fir’aun yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata

tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menyombongkan dirinya di hadapan

kaumnya agar mereka terpengaruh, sedangkan tindak perlokusinya adalah bahwa kaum

Fir’aun terpengaruh dengan apa yang diucapkan Fir’aun kemudian mereka patuh

143 Sayyid al-Jumali, Op. Cit, h. 183

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 167: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

149

kepadanya, sebagaimana tertuang dalam Q.S. al-Zukhrûf ayat 54;” قومه فاطاعوه فستخف

”إهنم كانوا قوما فاسقني

24) Berpura-pura Bodoh

Seperti contoh Q.S. Shâd (38); 8

كر من بيننا بل هم في شك من ذكري بل لما يذوقوا عذاب أؤنزل عليه الذArtinya: “Mengapa Al-Qurân itu diturunkan kepadanya di antara kita?”

" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al-Qurân-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.”

Istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah

orang-orang musyrik Mekkah, sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Ayat di atas

menerangkan bahwa para musyrik Mekkah menyangkal kebiasaan nabi SAW dengan

berpegang pada tiga kesamaan kesamaran, yaitu: (1) merasa heran kenapa rasul diangkat

dari mereka, (2) menyangkal hanya ada satu Tuhan yang mengatur alam yang luas ini,

dan (3) mengingkari turunnya Al-Qurân kepada Muhammad bukan kepada mereka.144

Al-Shiddiqy juga mengungkapkan lagi bahwa orang-orang musyrik

mengungkapkan: “Tidak masuk akal Al-Qurân turun ke Muhammad, padahal di antara

kita ada orang yang mempunyai kemegahan, kemuliaan, kecerdasan dan kekuasaan.”145

Hal ini bukan karena kebodohan mereka, akan tetapi karena kebiasaan mereka bertaqlîd

kepada nenek moyang mereka, sehingga mereka seakan-akan menutup diri dari

144 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 36-38. Juga Al-Shiddiqy. Op.Cit, juz 4, h. 3496 145 ibid, h. 3497

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 168: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

150

kebenaran yang ada. Oleh karena itu, istifhâm di atas bukan dimaksudkan untuk

bertanya tentang ketidaktahuan akan sesuatu, akan tetapi berfungsi untuk berpura-pura

bodoh (tidak tahu). Hal ini juga sependapat dengan pendapat Sayyid al-Jumali bahwa

fungsi istifhâm di atas adalah untuk berpura-pura bodoh (al-tajâhul).146

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk

berpura-pura bodoh (tidak tahu) dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan

substansi pesannya. Kondisi mutakallim (orang-orang musyrik Mekkah) digambarkan

sebagai kaum yang mempunyai kebiasaan taqlîd kepada nenek moyang mereka, kurang

mau mempergunakan akal mereka, mengakui akan kemuliaan Muhammad dengan bukti

pemberian julukan al-amîn kepada beliau sebelum beliau jadi nabi, sedangkan kondisi

mukhathab (Tuhan) adalah Dzat yang mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul, Dia

yang menurunkan Al-Qurân kepada Muhammad dan Dia Maha Esa dan Maha Kuasa.

Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa orang-orang musyrik Mekkah

mempertanyakan (pura-pura tidak tahu) kenapa Al-Qurân diturunkan kepada

Muhammad bukan kepada mereka, padahal mereka sebenarnya mengetahui kapasitas

dan kredibilitas Muhammad.

Oleh karena itu apabila istifhâm di atas dicermati dari perspektif teori tindak

tutur, maka lokusinya adalah ungkapan orang-orang musyrik Mekkah yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk

berpura-pura bodoh (tidak tahu) akan kebenaran Al-Qurân dan nabi Muhammad SAW.

Sedangkan tindak perlokusinya adalah umpan balik yang diberikan oleh Tuhan diakhir

146 Sayyid al-Jumali, Op.Cit, h. 184

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 169: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

151

ayat yang berupa ancaman tapi beredaksi halus (menggunakan redaksi khabariyah),

yaitu: “ذابذوقوا عا يل لمب ” yang artinya” sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.”

25) Berputus Asa

Seperti contoh Q.S. Ibrahim (14); 21

مجيعا فقال الضعفؤ اللذين استكربوا انا كنا لكم تبعا فهل انتم مغنون عنا من عنا من عذاب ا وبرزو ا أجزعناا لو هدـنا ا هلدينكم سواء علينا من شيئ قالو

أم صربنا ما لنا من حميض Artinya: Dan mereka semua (di pdang Makhsyar) akan berkumpul menghadap

kehadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “ Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah

kamu menghindarkan dari pada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “ Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sema saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah

bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah

para pembesar (pemimpin) orang-orang kafir, sedangkan mukhathabnya adalah para

pengikutnya.147 Pada ayat di atas, istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

merupakan jawaban yang diberikan oleh para pemimpin orang-orang kafir atas tuntutan

para pengikutnya.148 Tanya jawab tersebut berdasarkan lahiriyah ayat dan Al-Qurân

terjemahan DEPAG RI terjadi di padang makhsyar, sedangkan al-Shiddiqy berpendapat

147 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 687, pendapat dari Abdullah Ibn Zaid Ibn Aslam. Juga Ali Sa’di,

Op. Cit, h. 490 148 Al-Shiddiqy, Op.Cit, Juz. 3, h. 2133

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 170: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

152

bahwa tanya jawab tersebut terjadi di dalam neraka tatkala mereka masuk di

dalamnya.149

Ayat di atas secara umum menjelaskan bahwa tatkala orang-orang kafir

dikumpulkan di padang makhsyar, para pengikut orang-orang kafir tersebut menuntut

para pemimpin mereka agar membebaskan mereka dari azab Allah. Tuntutan tersebut

ditanggapi oleh para pemimpin mereka dalam bentuk redaksi istifhâm yaitu: “ سواء علينا

yang juga merupakan ungkapan bentuk keputus asaan” أجزعنا أم صربنا ما لنا من حميض

mereka akan nasib mereka, yaitu pasti akan mendapatkan azab Allah atas kekafiran

mereka. Oleh karena itu, istifhâm yang diungkapkan oleh pemimpin orang-orang kafir

pada ayat di atas berfungsi untuk mengungkapkan keputus asaan. (berputus asa).

Fungsi istifhâm untuk mengungkapkan keputus asaan pada ayat di atas juga

diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan

substansi pesannya. Kondisi mutakallim (para pembesar orang-orang kafir) digambarkan

sebagai segolongan orang yang tatkala hidup di dunia mengajak orang lain untuk

menentang Allah dan rasul-Nya, dan tatkala di akhirat tidak mempunyai kekuasaan dan

kemampuan sedikitpun untuk melepaskan diri dari azab Allah. Kondisi mukhathab (para

pengikut orang-orang kafir) digambarkan sebagai orang-orang yang tatkala hidup di

dunia mengikuti ajakan orang lain untuk menentang Allah dan rasul-Nya dan tatkala di

akhirat menyesal akan perbuatannya di dunia dan berusaha mencari perlindungan dari

149 ibid, h. 2134

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 171: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

153

azab Allah kepada para pemimpin mereka. Adapun kondisi substansi pesannya adalah

bahwa para pemimpin orang-orang kafir merasa putus asa untuk melepaskan diri mereka

sendiri dari azab Allah, apalagi untuk sampai bisa membantu pengikutnya.

Oleh karena itu istifhâm di atas apabila dicermati dari perspektif teori tindak

tutur, maka lokusinya adalah ungkapan para pemimpin orang-orang kafir yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk

mengungkapkan keputus asaan (berputus asa). Sedangkan tindak perlokusinya tidak

secara eksplisit tertuang pada ayat tersebut maupun lanjutan ayat pada surat Ibrahim,

akan tetapi kalau mengacu pada Q.S al-Ahzâb ayat 67 sampai 68 diungkapkan bahwa

para pengikut orang-orang kafir meminta kepada Tuhan untuk memberikan azab dua

kali lipat kepada pemimpin mereka dan mengutuk mereka dengan kutukan yang besar,

seperti bunyi ayat: “ وقالو ربنا إنا أطعنا ساداتنا وكرباءنا فأضلونا السبيال ربنا اهتم ضعفني من العذاب

” والعنهم لعنا كبريا

26) Menghina

Seperti Contoh Q.S. al-Baqarah (2); 13

اءفهالس ناما ءكم نمؤ وإذا قيل لهم ءامنوا كما ءامن الناس قالوا أن

ونلمعلا ي نلكو اءفهالس مه مألا إنه Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 172: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

154

orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah orang-orang munafik. Sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad dan

orang-orang mukmin.150 Ayat di atas turun berkaitan dengan sikap superioritas orang-

orang munafik diantaranya Abdullah bin Ubay bin Salûl, Mu’tab bin Qusyair, dan Jid

bin Qis.151 Istifhâm tersebut merupakan reaksi dari ajakan nabi Muhammad agar mereka

beriman sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Dalam pandangan orang-orang

munafik, kebanyakan orang-orang yang beriman pada saat itu tergolong orang-orang

yang miskin, bodoh dan bukan golongan orang yang terpandang, misalnya Shuhaib,

Amr, dan Bilal.152 Sehingga seandainya mereka beriman, maka mereka khawatir derajat

dan martabatnya akan turun.153

Istifhâm yang diungkapkan oleh orang-orang munafik di atas bukan

dimaksudkan untuk meminta informasi, melainkan untuk menghina nabi Muhammad

SAW dan orang-orang yang beriman. Secara tidak langsung, mereka menyatakan bahwa

orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang bodoh dan bukan dari golongan

orang-orang yang terpandang.154 Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh al-

Shâbûni155 bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk menghina dan sekaligus sebagai tanda

penolakan.

150 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz 1, h. 36 151 ibid. 152 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz, 1, h. 71-72, lihat juga al-Marâghi, Op. Cit, Juz 1, h. 21 153 Hamka, Op. Cit, juz.1, h. 130-131 154 Ibnu Katsîr, Loc. Cit 155 Al-Shâbûni, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 173: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

155

Fungsi istifhâm untuk menghina ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang

dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim

(orang-orang munafik) digambarkan sebagai orang-orang yang merasa superior. Mereka

merasa rendah dan turun derajatnya apabila beriman. Kondisi mukhathab (nabi SAW

dan para pengikutnya) dapat diketahui bahwa kebanyakan mereka bukan dari golongan

terpandang, bahkan diantara mereka adalah mantan budak yang berkulit hitam, misalnya

Bilal. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah mutakallim (orang-orang munafik)

beranggapan bahwa orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang rendah

derajat dan martabatnya sehingga mutakallim enggan untuk beriman. Berpijak dari

kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang

berfungsi untuk menghina.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan orang-orang munafik yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk

menghina nabi SAW dan orang-orang mukmin. Sedangkan wujud dari tindak

perlokusinya adalah reaksi balik dari nabi SAW sebagaimana tercermin pada akhir ayat

13 surat al-Baqarah :” ونلمعلا ي نلكو اءفهالس مه مألا إنه ” dan juga ayat 15 surat al-Baqarah:

”ا يستهزئ هبم وميدهم يف طغياهنم يعمهون“

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 174: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

156

27) Merasa Puas

Seperti contoh Q.S. al-Shâffât (37); 58-59

إلا موتتنا الأولى وما نحن بمعذبني تنيفما نحن بميأ

Artinya: “Maka apakah kita tidak akan mati? melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia),

dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)?” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah penghuni surga dan mukhathabnya juga sesama penghuni surga.156 Dalam

kehidupannya di surga, mereka merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan kemuliaan.

Mereka tidak menderita karena azab Tuhan dan hidup dalam keabadiaan, yaitu tidak

akan mengalami kematian, kecuali kematian pertama (di dunia). Hal ini bertolak

belakang dengan keadaan teman-temannya yang hidup di neraka.157

Dalam keadaan serba nikmat ini mereka bercakap-cakap dengan sesama

temannya sebagaimana ayat di atas. Istifhâm yang dikemukakan bukan sekedar untuk

meminta informasi, akan tetapi berdasarkan konteks yang dikemukakan, istifhâm

tersebut dimaksudkan oleh mutakallim untuk mengungkapkan rasa puas atau rasa

kegembiraannya terhadap nikmat yang diberikan tersebut dan sebagai ungkapan rasa

haru atas kenikmatan yang diperoleh selama hidup di surga. Pendapat yang sama juga

dikemukakan oleh Ibnu Katsîr,158 bahwa istifhâm di atas merupakan ungkapan rasa puas

atau kegembiraan orang-orang mukmin atas karunia Tuhan berupa keabadian hidup di

surga.

156 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz 3, h. 12 157 Depag RI, Op, Cit, juz, 8, h. 303-304 158 Ibnu Katsîr, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 175: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

157

Fungsi istifhâm untuk mengungkapkan rasa puas diperkuat oleh kondisi

kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya.

Kondisi mutakallim dan mukhathab adalah sesama penghuni surga, mereka hidup di

surga dalam keadaan serba nikmat, mereka mengetahui bahwa temannya yang ada di

neraka mengalami kehidupan yang sebaliknya. Substansi pesannya adalah bahwa

mutakallim mengungkapkan rasa puas dan senangnya kepada mukhathab selama hidup

di surga yang serba nikmat dan abadi. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka

istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengungkapkan

rasa puas.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan penghuni surga kepada temannya

dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk mengungkapkan rasa puasnya atas kenikmatan dan keabadiaan

hidupnya di surga. Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah bahwa secara implisit

diketahui bahwa seluruh penghuni surga juga merasa puas atau senang atas kenikmatan

dan keabadiaan hidup mereka di surga.

28) Mengungkit-ungkit

Seperti contoh Q.S. al- Syu’arâ’(26); 18-19

نينرك سمع نا مينف لبثتا ويدلا وينف كبنر قال ألم وفعلت فعلتك التي فعلت وأنت من الكافرین

Artinya: Fir`aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan

kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna?”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 176: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

158

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah

Fir’aun. Sedangkan mukhathabnya adalah Musa. Disebutkan bahwa nabi Musa adalah

anak angkat Fir’aun. Fir’aun menyayanginya sebagai anak sendiri. Pada perkembangan

berikutnya, Musa merasakan ketidakcocokannya dengan Fir’aun. Diantara ketidak

cocokannya adalah nabi Musa menentang ketuhanan Fir’aun dan menuntutnya agar

membebaskan bani Isrâil dari perbudakannya.159 Sehubungan dengan sikap nabi Musa

tersebut, Fir’aun mengungkapkan rasa amarah dan kejengkelannya sebagaimana

tercermin dalam ayat di atas dalam redaksi istifhâm.

Istifhâm yang sekaligus jawaban dari Fir’aun tersebut dimaksudkan untuk

mengungkit-ungkit jasa baik yang pernah diberikannya kepada nabi Musa. Menurut al-

Qurthubi,160istifhâm tersebut disamping untuk mengungkit-ungkit masa lalu, juga

sebagai ejekan dari Fir’aun kepada Musa. Quthb merekonstruksi istifhâm tersebut

sebagai berikut: “Hai Musa! Apa balasan dan penghormatan yang kamu berikan

kepadaku atas jasa-jasaku mengasuhmu dalam lingkungan keluargaku?”161

Fungsi istifhâm untuk mengungkit-ungkit di atas juga diperkuat oleh kondisi

kesesuaian yang dapat dilacak dari sisi mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya.

Kondisi mutakallim (Fir’aun) adalah seorang raja diktator dan menganggap dirinya

adalah Tuhan, dia mengangkat Musa sebagai putranya, dia mendidik, mengasuh, dan

merawat Musa dalam lingkungan kerajaan sejak kecil. Kondisi mukhathab (nabi Musa)

adalah anak angkat Fir’aun, akan tetapi dia juga seorang nabi dan rasul Tuhan yang

menentang ketuhanan dan kediktatoran Fir’aun. Sedangkan substansi pesannya adalah

159 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 440. Juga Depag RI, Op. Cit, juz. 7, h. 72 160 Al-Qurthubi, Op. Cit, juz, 5, h. 72 161 Sayyid Qutb, Fî Dzilâl Al-Qurân, (Jeddah; Dâr al-‘Ilmi, 1986), juz. 5, h. 2591

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 177: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

159

bahwa Fir’aun mengungkap kembali jasanya (mendidik, mengasuh, dan merawat) yang

pernah dia berikan kepada Musa. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka, istifhâm

di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengungkit-ungkit jasa

yang telah diberikan mutakallim kepada mukhathab.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Fir’aun kepada Musa yang beredaksi

istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya adalah bertujuan

untuk mengungkit-ungkit jasa yang telah dia berikan pada Musa. Sedangkan wujud

tindak perlokusinya adalah jawaban balik dari Musa yang bernada mengungkit-ungkit

pula, yaitu bahwa budi baik yang diberikan oleh Fir’aun kepadanya itu karena Fir’aun

telah memperbudak bani Isrâil, dan hal ini sebagaimana tercermin dalam ayat 22 surat

al-Syu’arâ’: “وتلك نعمة متنها علي أن عبدت بين إسرائيل ”

29) Mengancam

Seperti contoh Q. S. al-Syu’arâ’ (26); 49

رحالس كملمي عالذ كملكبري إنه لكم اذنء ل أنقب له تمنامقال ء

نيعمج بنكم أ عن أيديكم وأرجلكم من خلاف ولأصل ف تعلمون لأقط وفلس Artinya: Fir`aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku

memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui

(akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya".

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 178: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

160

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Fir’aun sedangkan mukhathabnya adalah rakyatnya,162 atau para ahli sihir.163

Istifhâm tersebut muncul sebagai reaksi dari apa yang dilakukan oleh para ahli sihir

bahwa mereka berikrar untuk beriman kepada Tuhan semesta alam dan tidak mengakui

ketuhanan Fir’aun.164 Melihat gejala ini, Fir’aun mengancam akan menindak mereka.165

Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Katsîr166 bahwa istifhâm di atas dimaksudkan

oleh Fir’aun untuk mengancam para ahli sihir. Ancaman tersebut dipertegas dengan

pernyataan Fir’aun pada akhir ayat yang artinya; “Maka kamu nanti pasti benar-benar

akan mengetahui (akibat perbuatanmu); Sesungguhnya aku akan memotong tanganmu

dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya.”

Fungsi istifhâm untuk mengancam tersebut, juga diperkuat oleh kondisi

kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.

Kondisi mutakallim (Fir’aun) adalah seorang raja yang mengaku Tuhan, akan tetapi ada

sebagian rakyatnya dan ahli sihirnya yang menentang kepadanya dengan menyatakan

kepadanya tentang keimanan mereka pada Tuhan pencipta alam. Sedangkan kondisi

mukhathab (rakyat atau ahli sihir Fir’aun) telah menanggalkan dukungannya kepada

Fir’aun dan menampakkan keimanan mereka kepada Tuhan pencipta alam. Adapun

substansi pesannya adalah bahwa Fir’aun mengancam para rakyat atau ahli sihirnya

untuk tidak beriman kepada Tuhan nabi Musa, apabila mereka tetap beriman, maka

Fir’aun akan memotong tangan dan kakinya, dan akan menyalibnya. Berpijak dari

162 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz. 3, h. 443 163 Depag RI, Op. Cit, juz. 7, h. 88 164 Lihat ayat 46, 47 dan 48 surat al-Syu’arâ’ 165 Depag RI, Loc, Cit. 166 Ibnu Katsîr, Loc.Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 179: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

161

kondisi kesesuaian di atas, maka tepatlah jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai

suatu istifhâm yang dimaksudkan oleh mutakallim untuk mengancam mukhathab apabila

tidak menuruti perintahnya.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Fir’aun kepada rakyat atau ahli

sihirnya yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak

illokusinya bertujuan untuk mengancam rakyat atau ahli sihirnya agar tidak beriman

kepada Tuhan pencipta alam. Sedangkan wujud dari tindak perlokusinya adalah sikap

ketidaktakutan rakyat atau ahli sihir Fir’aun atas ancaman tersebut yang tercermin pada

ayat 50-51 surat al-Syu’arâ’;

قالو الضري إنا إىل ربنا منقلبون إنا نطمع أن يغفر لنا ربنا

خطينا أن كنا أول املؤمنني

30) Menyesali

Seperti contoh Q. S. al-Mâidah (5); 31 تزجلتا أعياوقال ي يهأخ ة فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأ

نيمادالن نم حبي فأصأخ ة أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأArtinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk

memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena

itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 180: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

162

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas, mutakallim

dan mukhathabnya adalah Qabil putra nabi Adam.167 Dalam ayat tersebut diceritakan

bahwa setelah Qabil membunuh saudaranya (Habil) dia tidak bisa berbuat apa-apa, baru

setelah Allah mengutus seekor burung gagak untuk menggali tanah guna mengubur

temannya yang mati, dia baru tahu cara menguburkan orang mati. Maka terlontarlah dari

mulutnya yang beredaksi istifhâm sebagai ungkapan penyesalannya atas kebodohan

dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan.168

Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-Shâbûni169 bahwa istifhâm di atas

bukan digunakan untuk meminta informasi, melainkan untuk menyatakan penyesalan.

Al-Marâghi dan al-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa ungkapan tersebut (istifhâm)

terlontar sebagai ungkapan penyesalan atas kesalahan yang dia (Qabil) perbuat, yaitu

pembunuhan terhadap Habil.170

Fungsi istifhâm untuk penyesalan tersebut juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi

mutakallim dan mukhathab (Qabil) dia adalah putra nabi Adam, mempunyai saudara

yang bernama Habil, dia membunuh Habil karena merasa iri dengannya, dia tidak tahu

cara menguburkan mayat Habil, Allah mengutus gagak untuk memberikan contoh

kepadanya. Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa setelah melihat apa yang

dilakukan gagak, maka terlontarlah ungkapan penyesalan dari Qabil atas kebodohan

dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap Habil. Berpijak dari kondisi

167 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, juz. 3, h. 74 168 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 65, riwayat dari Al-Dhahak dari Ibn Abbas. Juga Al-Shiddiqy,

Op. Cit, Juz. 2, h. 1068 169 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz 1, h. 339 170 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 4, h. 101, lihat juga al-Zuhaili, Op. Cit, juz. 6, h. 155

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 181: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

163

kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi

untuk menyesali.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perpektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Qabil kepada dirinya sendiri dalam

bentuk redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk mengungkapkan rasa penyesalan. Sedangkan wujud tindak perlokusinya

secara implisit tentunya dia (Qabil) tidak akan melakukan hal yang sama dikemudian

hari.

31) Menyatakan keheranan

Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 72-73 إن ھذا لشيء عجیب قالوا أتعجبین من ءألد وأنا عجوز وھذا بعلي شیخاقالت یاویلتى

أمر اللھ رحمة اللھ وبركاتھ علیكم أھل البیت إنھ حمید مجیدArtinya: "Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan

anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.

Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!

Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya

adalah Sarah (isteri nabi Ibrahim). Sedangkan mukhathabnya adalah para malaikat

utusan Allah yang juga sebagai sasaran istifhâm 171 Ungkapan yang beredaksi istifhâm

yang diucapkan Sarah tersebut bukan berfungsi untuk meminta informasi, akan tetapi

berfungsi untuk menyatakan keheranannya atas berita tentang apa yang disampaikan

171 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 588-589. Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. 4, h. 59

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 182: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

164

oleh para malaikat mengenai kelahiran anaknya yang bernama Ishâq, sebagaimana yang

tertuang dalam ayat 71 sebelumnya.172

Fungsi istifhâm untuk menyatakan keheranan tersebut juga diperkuat oleh

kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Kondisi mutakallim (Sarah) adalah isteri nabi Ibrahim, dia sudah berumur

yang lazimnya sudah tidak beranak lagi, keadaan suaminya juga sudah berusia lanjut.173

Kondisi mukhathab (para malaikat) adalah hamba Allah yang sangat taat, mereka tidak

mungkin berbohong, mereka membawa kabar dari Allah tentang kelahiran Ishâq putra

nabi Ibrahim dan Sarah. Sedangkan substansi pesannya adalah perasaan heran yang

diungkapkan Sarah atas berita yang dibawa oleh para malaikat utusan Allah. Berpijak

dari kondisi kesesuaian inilah, maka tepatlah jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai

istifhâm yang berfungsi untuk menyatakan keheranan.

Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari perpesktif teori tindak

tutur, maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Sarah kepada para malaikat

yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Illokusinya bertujuan

untuk menyatakan keheranannya (Sarah) atas berita tentang kelahiran Ishâq. Sedangkan

wujud tindak perlokusinya adalah jawaban yang disampaikan oleh malaikat, yang

tertuang pada ayat 73 dan beredaksi istifhâm pula; محر ر اللهأم نم بنيجقالوا أتعجيدم يدمح إنه تيل البأه كمليع كاتهربو ة الله

172 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 24 173 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 3, h. 1924

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 183: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

165

yang bertujuan untuk melarang Sarah heran dan tidak mempercayai kekuasaan Allah

SWT, karena tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu, hanya menyatakan “kun” lalu

terwujudlah apa yang dikehendakiNya itu.174

32) Menghardik

Seperti contoh Q.S. al- Baqarah (2); 61

ضالأر بتا تنما ملن ج ع لنا ربك يخر فاد داحام ولى طعع برنص ى لنوسامي إذ قلتما وهثائقا وهقلب نم

ألتما سم لكم ا فإنرصبطوا ماه ريخ وي هنى بالذأد وي هالذ لوندتبا قال أتسهلصبا وهسدعا وهفوموبآي ونكفركانوا ي مبأنه كذل الله نضب م الله ويقتلون النبيني اتوضربت عليهم الذلة والمسكنة وباءوا بغ

قر الحبغي ونتدعكانوا يا ووصا عبم كذل

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada

Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang

merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa

yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari

ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.

Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya

adalah nabi Musa A.s dan mukhathabnya adalah umatnya (bani Isrâil).175 Ayat tersebut

menceritakan bahwasanya bani Isrâil meminta nabi Musa A.s untuk berdo’a kepada

174 ibid. 175 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 1, h. 137, dari riwayat Al-Bukhari. Juga M. Quraisy Syihab, Op. Cit,

juz, 1, h. 202

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 184: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

166

Tuhan agar keinginan mereka terkabul, diantaranya mengharapkan makanan selain al-

manna dan al-salwa, padahal ini merupakan jenis makanan yang paling sempurna, lezat,

dan penuh gizi.176Dan di lain pihak mereka berbuat ingkar dan tidak mau mematuhi

Musa A.s.

Oleh karena itu, permintaan tersebut di jawab oleh Musa yang merasa jengkel

atas tingkah laku kaumnya dengan redaksi istifhâm yang bertujuan untuk menghardik

mereka.177 Redaksi tersebut diperkuat oleh redaksi perintah (amr) agar mereka segera

pergi ke suatu tempat. Kegusaran nabi Musa A.s tersebut didasari oleh keingkaran dan

kedurhakaan bani Isrâil terhadap Musa, serta ketidakrasionalan permintaan itu, karena

al-manna dan al-salwa merupakan jenis makanan yang paling sempurna, lezat dan

penuh gizi.

Fungsi istifhâm untuk menghardik tersebut diperkuat oleh kondisi kesesuaian

yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi

mutakallim (nabi Musa A.s) adalah nabi dan rasul Tuhan untuk bani Isrâil, memiliki

karakter yang tegas dan keras, merasa jengkel dengan ulah kaumnya (bani Isrâil).

Kondisi mukhathab (bani Isrâil) adalah kaum nabi Musa, berbuat inkar dan tidak mau

mematuhi Musa, berbuat durhaka dan melampaui batas, meminta sesuatu yang irrasional

yaitu meminta makanan yang bermacam-macam, padahal telah diberi al-manna dan al-

salwa yang merupakan jenis makanan yang terbaik. Sedangkan substansi pesannya

adalah bahwa Musa jengkel kepada mereka kemudian menghardiknya karena

176 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 1, h. 119 177 ibid.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 185: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

167

permintaan mereka dia anggap tidak rasional dan tidak pantas jika dibandingkan dengan

kedurhakaan dan keingkaran mereka.

Oleh karena itu, istifhâm di atas apabila ditinjau dari perpektif teori tindak tutur,

maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Musa kepada bani Isrâil yang

beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya

bertujuan untuk menghardik mereka atas permintaan mereka yang macam-macam dan

tidak rasional. Sedangkan wujud tindak perlokusinya secara implisit adalah diharapkan

bani Isrâil sadar, tidak meminta sesuatu yang macam-macam, dan merubah tingkah laku

mereka yang melampaui batas. Akan tetapi pengharapan ini tidak bisa kesampaian,

karena pada akhir ayat diceritakan tentang kehancuran bani Isrâil karena murka dari

Allah.

2. Pembahasan Hasil Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah

dalam Al-Qurân

Berdasarkan hasil analisis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân yang telah dipaparkan di atas, maka pembahasan hasil analisispun akan

mencakup tiga aspek, yaitu aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek pragmatis.

a. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Sintaksis

Pembahasan hasil analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam

Al-Qurân dalam penelitian ini meliputi tiga komponen, yaitu pola, sasaran, dan jenis.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 186: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

168

1) Pembahasan Hasil Analisis Pola Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-

Qurân

Berdasarkan hasil analisis pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

diketahui bahwasanya redaksi istifhâm dalam Al-Qurân yang menggunakan kata tanya

hamzah polanya sangat bevariasi.178 Variasi pola penggunaan kata tanya hamzah

tersebut secara garis besar peneliti kelompokkan ke dalam dua kategori berdasarkan

kedua fungsinya, yaitu: tashawwur dan tashdîq.

Temuan mengenai variasi pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

ini mempunyai kegunaan, baik secara teoritis maupun secara praktis.

Secara teoritis, temuan penelitian ini bisa digunakan untuk memberikan

gambaran yang jelas tentang wujud formal pola penggunaan kata tanya hamzah dalam

Al-Qurân serta mendukung dan membuktikan pendapat beberapa tokoh sintaksis bahasa

Arab, antara lain Ibnu Hisyâm dalam al-Mughninya, Ibnu Ya’isy dalam Syarh al-

Mufashshalnya,179 dan juga Ibnu Mâlik dalam al-Misbâhnya 180 yang mengatakan bahwa

kata tanya hamzah adalah asal dari adawât al-istifhâm, atau dengan kata lain kata tanya

hamzah adalah adawât al-istifhâm yang asli.

Oleh karena kata tanya hamzah adalah asal dari adawât al-istifhâm, maka ia

mempunyai ketentuan-ketentuan khusus yang membedakannya dengan adawât al-

istifhâm yang lainnya. Diantaranya adalah;

178 Variasi pola ini peneliti analisis berdasarkan kitabnya M. Sayyid Thanthâwi, Mu’jam I’râbi

Alfâdz Al-Qurân al-Karîm, (Kairo; Idârah al-Buhûts al-‘Ilmiyah, 1994) 179 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitâb al-Asybah wa l-Nadâir fî al-Nahwi, Loc. Cit 180 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 187: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

169

Kata tanya hamzah ini dalam penggunaannya dapat digunakan untuk mencari

pengetahuan tentang dua hal, yaitu; tashawwur dan tashdîq.181 Kata tanya hamzah yang

digunakan untuk tashawwur ini dalam Al-Qurân, berdasarkan sesuatu yang ditanyakan,

dapat diklasifikasikan ke dalam empat pola, yaitu: (1) Hamzah li al-tashawwur yang

mempertanyakan Subyek (S) (Musnad Ilaih), seperti Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27, (2)

Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Predikat (P) (Musnad), seperti Q.S. al-

Thûr (52):15, (3) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Obyek (O) (Maf’ul

Bih), seperti Q.S. al-An’âm (6);143, dan (4) Hamzah li al-tashawwur yang

mempertanyakan Keterangan (K) (Dzarf) seperti Q. S Al-Najm (53); 35-36.

Sedangkan kata tanya hamzah yang digunakan untuk tashdîq ini dalam Al-

Qurân, jika ditinjau dari ada tidaknya penanda negasi terbagi menjadi dua, yaitu:

hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) seperti Q. S. al –Shâffât

(37); 17-18 dan hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi) seperti Q.S. al-

Mulk (67); 14, Q.S. al-Syarh (94); 1, Q.S. al-An’âm (6); 30, dan Q.S. Ali Imrân (3); 124.

. Temuan tentang variasi penggunaan hamzah li al-tashdîq ini juga menguatkan

pendapat Al-Suyuthi yang menyatakan; “kata tanya hamzah ini dalam penggunaannya

juga dapat masuk ke dalam kalimat afirmatif (kalam mutsbât) dan kalimat negatif

(kalam manfi).182

Kekhususan lain dari penggunaan kata tanya hamzah ini adalah bahwasanya

secara fungsional, kata tanya yang digunakan untuk menegaskan sesuatu adalah kata

tanya hamzah, meskipun kata tanya hamzah tersebut pada kalimat negatif (kalam manfi).

181 Al-Zarkasyi, Loc. Cit. 182 Jalaluddin al-Suyûti, Op. Cit, h. 141

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 188: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

170

Hal ini sebagaimana pendapat yang diungkapkan Abu Hayyân yang dia nukil dari Imam

Sibawaih.183 Contohnya antara lain Q.S. al-Syarh (94) ; 1.

Sedangkan kegunaan secara praktis, temuan penelitian bisa digunakan untuk

memberikan alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis Arab

(nahwu) dan insyâ’. Dalam kaitannya dengan sistem pembelajaran sintaksis Arab

(nahwu), sistem penggunaan pola kalimat dan variasinya dapat mempermudah

mengaplikasikan kaidah-kaidah sintaksis Arab (nahwu) dalam kalimat yang sempurna.

Disamping itu juga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada anak didik tentang

kemungkinan menggunakan pola yang bervariasi untuk mengungkapkan satu ide atau

gagasan.

Adapun dalam kaitannya dengan sistem pembelajaran insyâ’, diketahui

bahwasanya salah satu metode yang digunakan dalam pembelajaran insyâ’ terpimpin

(insyâ’ muwajjah) bagi orang non Arab adalah dengan metode menyusun suatu kalimat

atau kalimat-kalimat tertentu dengan menggunakan pola-pola yang telah ditentukan.184

Dan metode ini dianggap efektif guna mempermudah pembelajaran insyâ’ terpimpin

(insyâ’ muwajjah).185 Oleh karena itu temuan penelitian ini selain dapat digunakan untuk

memperkaya pola-pola yang sudah ada –khususnya pola redaksi istifham-, juga bisa

digunakan sebagai gambaran awal dalam mengaplikasikan penggunaan metode pola

dalam penyusunan suatu kalimat bahasa Arab.

183 ibid, h. 344 184 M. Mansyur dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib wa al-Mutarjim, (Jakarta; PT. Moyo Segoro

Agung, 2002), h. 4 Disebutkan bahwa “ االنشاء ومن حيث تسهيل التدريس خاصة للدراسين غير الناطقين بها، ففي .محددة طإلى تكوين جملة أو جمل خاصة باستعمال نمط أو أنما الموجه يوجه المدرس طالبه ”

185 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 189: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

171

2) Pembahasan Hasil Analisis Sasaran Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya

Hamzah dalam Al-Qurân

Berdasarkan hasil penelitian, sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sasaran langsung,

yaitu: istifhâm yang sasarannya langsung ditujukan oleh mutakallim kepada pihak

pertama atau kedua, dan (2) sasaran tidak langsung, yaitu istifhâm yang sasarannya

ditujukan kepada pihak ketiga melalui pihak kedua.

Variasi sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân

secara keseluruhan dapat dijabarkan dalam bagan berikut;

Sasaran Istifhâmyang menggunakan kata tanya Hamzah

Langsung

Sasaran PertamaOrang Pertama

Sasaran KeduaOrang Kedua

Orang KetigaTidak Langsung

Orang Pertama Tunggal (Ana)

Orang Pertama Plural (Nahnu)

Orang Kedua Tunggal Maskulin (Anta)

Orang Kedua Tunggal Feminim (Anti)

Orang Kedua Dual (Antuma)

Orang Kedua Plural Maskulin (Antum)

Orang Ketiga Tunggal Maskulin (Huwa)

Orang Ketiga Tunggal Feminim (Hiya)

Orang Ketiga Plural Maskulin (Hum)

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 190: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

172

Bervariasinya sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-

Qurân tidak terlepas dari hal yang melatarbelakanginya, diantaranya; Pertama,

kompleksitas dimensi yang dikandung Al-Qurân, hal ini berimplikasi pada semakin

bervariasinya pelaku peristiwa sejarah yang direspon oleh Al-Qurân. Apabila dikaitkan

dengan istifhâm yang digunakan oleh Al-Qurân, maka obyek yang menjadi sasarannya

juga pasti semakin bervariasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian, bahwa obyek

yang menjadi sasaran istifhâm bukan saja pihak (orang) kedua, melainkan juga pihak

(orang) ketiga, bahkan ada yang antara mutakallim dan mukhathabnya pelakunya sama.

Kedua, kompleksitas dimensi waktu yang direspon Al-Qurân, hal ini juga

berimplikasi pada keanekaragaman obyek yang menjadi sasaran istifhâm dalam Al-

Qurân. Al-Qurân tidak hanya merespon peristiwa yang terjadi pada saat turunnya saja,

melainkan juga merespon dan memberitakan peristiwa yang terjadi pada masa sebelum

turunnya Al-Qurân, bahkan peristiwa yang akan terjadi jauh setelah turunnya Al-

Qurân.186 Respon dan pemberitaan tentang peristiwa yang terjadi pada masa sebelum

turunnya Al-Qurân misalnya berita tentang kisah para nabi dan umatnya, diantaranya;

Adam dan Hawa, Qabil dan Habil, kaum ‘Ad, kaum Luth, Musa dan Fir’aun, dll.

Sementara itu respon dan pemberitaan tentang peristiwa yang akan terjadi jauh setelah

turunnya Al-Qurân diantaranya adalah seperti yang tertuang pada ayat 1 sampai 5 surat

al-Rûm tentang kemenangan bangsa Romawi dan bangsa Persi, yang mana hal ini

menurut sejarahwan baru terjadi pada tahun 622 M.187

186 M. Quraisy Syihab, Lentera Hati, Loc. Cit 187 ibid

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 191: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

173

Sedangkan kegunaan temuan hasil penelitian tentang bervariasinya sasaran

istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân antara lain untuk;

Pertama, menunjukkan dan membuktikan kebenaran Al-Qurân sebagai media interaksi

antara Tuhan dan hambaNya.

Hal tersebut bisa dilihat dari redaksi yang digunakan dalam Al-Qurân, lebih

khusus lagi redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, sasarannya bukan

hanya ditujukan kepada nabi SAW saja sebagai penerima wahyu, tetapi juga kepada

seluruh hambaNya.188

Kedua, menunjukkan bahwa proses interaksi berlangsung secara multi arah

bukan doktrinal ekslusif. Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Qurân bahwa sebagai

pedoman dan sumber hukum bagi umat Islam, redaksi dalam Al-Qurân tidak hanya

menggunakan redaksi perintah (amr) dan larangan (nahi) yang bersifat langsung dan

kaku, boleh dan tidak boleh, akan tetapi terkadang menggunakan redaksi lain yang

bersifat tidak langsung dan secara implisit bertujuan untuk memerintah, melarang, dll.

Diantara redaksi yang digunakan adalah istifhâm. Hal lain yang menunjukkan

keharmonisan proses interaksi tersebut, diantaranya bisa kita lihat pada ayat 30 surat al-

Baqarah (2), dimana Tuhan memberikan kesempatan kepada hambaNya (para malaikat)

untuk menanggapi dan menanyakan tentang ideNya untuk menciptakan manusia (Adam

A.s) sebagai khalifah di muka bumi, dan kemudian menjawabnya dengan jawaban yang

memuaskan.

Ketiga, menunjukkan bahwa Al-Qurân merupakan kompendium bagi manusia

yang komprehensif. Hal ini dikarenakan Al-Qurân disamping di dalamnya memuat

188 Yusuf Qardhawi, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 192: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

174

undang-undang syari’at dan sumber hukum Islam yang harus dipatuhi dan dilaksanakan

oleh setiap orang Islam, memuat penjelasan halal dan haram, perintah dan larangan,

tuntutan berperilaku dan bersikap bagi seorang muslim189, Al-Qurân juga merupakan

satu bacaan yang dipelajari redaksinya, bukan hanya dari segi penetapan kata demi kata

dalam susunannya serta kata tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersurat

dan tersirat, bahkan sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.190

Hal lain yang patut diungkapkan lagi adalah bahwa meskipun sasaran istifhâm

yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bervariasi, bahkan ada yang

bersifat spesifik dan kasuistik, akan tetapi pemberlakuan substansi Al-Qurânnya berlaku

untuk umum. Keumuman pemberlakuan substansi dalam Al-Qurân didasarkan pada

kaidah ilmu Al-Qurân:

العربة بعموم اللفظ ال خبصوص السببArtinya: “ Patokan memahami ayat ialah berdasarkan redaksinya

yang bersifat umum, bukan khusus, terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya ayat.”

Dalam memahami kaidah ini, yang perlu diingat adalah bahwa asbâb al-nuzûl

pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna

redaksi-redaksi ayat Al-Qurân. Namun cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup

sebab turunnya ayat. Dengan kata lain makna suatu ayat tidak dikhususkan hanya

kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat. Dan dengan

189 Al-Marâghi, Op. Cit, juz I, h. 5 190 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, h. 24

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 193: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

175

memperhatikan dan memahami kaidah ini, kita akan dapat melihat salah satu

keistimewaan Al-Qurân dari segi keindahan susunan kalimat-kalimatnya.191

3) Pembahasan Hasil Analisis Jenis Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya

Hamzah dalam Al-Qurân

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa istifhâm yang menggunakan kata

tanya hamzah dalam Al-Qurân dikategorikan menjadi dua jenis yaitu; (1) istifhâm

retoris, yaitu istifhâm yang tidak menghendaki jawaban, dan (2) istifhâm aretoris, yaitu

istifhâm yang menghendaki adanya suatu jawaban dari mukhathab. Kedua jenis

pengkategorian istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân di atas

memiliki karakteristik masing-masing, yang untuk lebih jelasnya dapat disusun

sebagaimana dalam bagan berikut:

191 Abdurrahman Dahlan. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qurân. (Bandung: Penerbit Mizan,

1997), Cet. I, h. 91-92

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 194: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

176

Jenis Istifhâmyang Menggunakan Kata Tanya Hamzahdan Karakteristiknya

IstifhâmRetoris

IstifhâmAretoris

Fungsi Pragmatis

Istifhâm Berfungsi Sebagai Jawaban

Mutakallim Tuhan Mukhathab Hamba

Mutakallim dan Mukhathab Sesama

Hamba

Fungsi Semantis

Fungsi Pragmatis

Mutakallim Hamba Mukhathab Tuhan

Mutakallim dan Mukhathab Sesama

Hamba

Mutakallim Sebagai Penanya dan

Penjawab

Jawaban Istifhâm Berfungsi Sebagai

Pengakuan

Berdasarkan temuan tentang karakteristik dari kedua jenis istifhâm di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa ada sisi persamaan dan perbedaan antara karakteristik

keduanya. Sisi persamaannya adalah: (1) baik dalam istifhâm retoris maupun istifhâm

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 195: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

177

aretoris ada yang mutakallim dan mukhathabnya sesama hamba, dan (2) baik dalam

istifhâm retoris maupun istifhâm aretoris ada yang memiliki fungsi pragmatis.

Sedangkan sisi perbedaan karakteristik keduanya adalah: (1) Istifhâm retoris

hanya memiliki fungsi pragmatis, sedangkan istifhâm aretoris ada yang berfungsi

pragmatis dan ada juga yang berfungsi semantis, (2) Dalam istifhâm retoris Tuhan

sebagai mutakallim dan hambaNya sebagai mukhathab, sedangkan dalam istifhâm

aretoris Tuhan sebagai mukhathab dan hambaNya sebagai mutakallim, (3) Meskipun

dalam istifhâm aretoris adakalanya Tuhan sebagai mutakallim (sama dengan istifhâm

retoris), akan tetapi jawaban istifhâm tersebut juga diungkapkan oleh Tuhan sendiri, atau

jika jawabannya ada yang dari hambaNya, maka jawaban tersebut merupakan suatu

pengakuan atau pembenaran atas apa yang disampaikan Tuhan, dan (4) Redaksi istifhâm

(pertanyaan) dalam istifhâm retoris ada yang berfungsi sebagai jawaban, sedangkan

redaksi istifhâm (pertanyaan) dalam istifhâm aretoris pasti diikuti jawabannya.

Berpijak dari persamaan dan perbedaan krakteristik istifhâm retoris dan istifhâm

aretoris, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti berkesimpulan

bahwa setidaknya ada dua hal yang sangat signifikan berkaitan dengan persamaan dan

perbedaan karakteristik istifhâm di atas, yaitu: (1) berkaitan dengan fungsi, dan

(2) berkaitan dengan mutakallim dan mukhathab.

a) Berkaitan dengan Fungsi

Temuan yang menunjukkan bahwa dalam istifhâm retoris, redaksi istifhâm hanya

digunakan untuk fungsi pragmatis membuktikan bahwa istifhâm retoris memang

bukanlah suatu istifhâm yang dimaksudkan untuk meminta informasi. Hal ini

dikarenakan mutakallim sudah mengetahui apa yang dia ungkapkan dan berasumsi

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 196: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

178

bahwa mukhathab pun juga sudah mengetahui atau paling tidak dianggap sudah

mengetahui jawabannya. Istifhâm tersebut oleh mutakallim dimaksudkan sebagai tindak

illokusi, jadi yang diharapkan bukanlah sekedar jawaban, akan tetapi tindak perlokusi

yang nyata.

Sementara itu istifhâm aretoris di samping ada yang memiliki fungsi semantis

juga ada yang memiliki fungsi pragmatis. Temuan ini membuktikan bahwa istifhâm

aretoris memiliki fungsi yang lebih luas daripada istifhâm retoris. Istifhâm aretoris ini

dapat dilihat dari fungsi dasarnya dan juga dapat dilihat dari fungsi pragmatisnya.

Temuan yang berkaitan dengan fungsi pragmatis baik dalam istifhâm retoris,

maupun dalam istifhâm aretoris dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai data

empiris untuk mengoreksi pembagian jenis pertanyaan yang diungkapkan oleh Gorys

Keraf. Dia mengemukakan pembagian jenis pertanyaan secara umum –juga istifhâm

dalam bahasa Arab- menjadi tiga, yaitu; (1) pertanyaan retoris, (2) pertanyaan aretoris,

dan (3) pertanyaan yang senilai dengan perintah.192

Dalam pandangan peneliti, memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah

sebagai salah satu jenis pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan

pertanyaan aretoris kurang representatif. Hal ini, dikarenakan berdasarkan hasil

penelitian terbukti bahwa suatu pertanyaan –juga istifhâm yang menggunakan kata tanya

hamzah dalam Al-Qurân– dari aspek jawabannya cukup dikelompokkan menjadi dua

saja, yaitu; pertanyaan (istifhâm) retoris dan pertanyaan (istifhâm) aretoris. Sementara

itu, apakah pertanyaan (istifhâm) itu bernilai perintah, larangan ataupun lainnya bukan

dilihat dari aspek jawabannya, melainkan dilihat dari aspek fungsionalnya.

192 Gorys Keraf, Op. Cit, h. 27

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 197: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

179

b) Berkaitan Dengan Mutakallim dan Mukhathab

Temuan lain yang berkaitan dengan jenis istifhâm ini, juga dapat dilihat dari sisi

mutakallim dan mukhathabnya. Dalam istifhâm retoris ada kecenderungan bahwa

mutakallimnya adalah Tuhan. Sementara itu dalam istifhâm aretoris posisi Tuhan

cenderung sebagai mukhathab, sedangkan mutakallimnya cenderung diperankan oleh

hambaNya.

Temuan di atas menunjukkan bahwa posisi Tuhan sebagai pemilik firman

mempunyai otoritas dalam mengungkapkan ide-ideNya maupun menjawab istifhâm

yang diungkapkan oleh hambaNya. Dominasi Tuhan sebagai mutakallim dan sekaligus

kadang menjadi mukhathab yang aktif memberi jawaban lebih tampak daripada pihak

lain (hamba-hambaNya). Dominasi Tuhan ini juga tampak pada salah satu karakteristik

istifhâm aretoris bahwa penanya dan pemberi jawaban pada istifhâm adalah Tuhan,

meskipun sasaran (obyek) istifhâm tersebut adalah hamba-hambaNya.

b. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Semantis dan Pragmatis Penggunaan Kata

Tanya Hamzah dalam Al-Qurân

Dari aspek semantis dan pragmatis, hasil penelitian menunjukkan bahwa istifhâm

yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilihat dari tindak illokusinya

dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori tindak dari lima kategori tindak yang

diungkapkan oleh Geoffrey Leech.193 Ketiga kategori tindak tersebut adalah; tindak

asertif, tindak direktif, dan tindak ekspresif. Perinciannya dalam bagan berikut ini;

193 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 105-106

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 198: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

180

Hasil penelitian di atas setidaknya bisa digunakan untuk; (1) menunjukkan

bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan

ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act), (2) mendukung pendapat

Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson dan mengoreksi pandangan tata bahasa

tradisional dan Ramelan, dan (3) bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan

struktural dan semantis.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 199: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

181

1) Tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan

ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act)

Temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang menggunakan kata

tanya hamzah dalam Al-Qurân membuktikan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada

yang bersifat langsung (direct speech act) dan ada juga yang bersifat tidak langsung

(indirect speech act).194 Tindak tutur langsung adalah penutur menuturkan suatu kalimat

yang maknanya secara pasti dan literal sama dengan apa yang dikatakan.195

Berkaitan dengan tindak tutur ini, bisa diambilkan satu contoh istifhâm yang

memang digunakan untuk bertanya, misalnya Q.S. al-Syu’arâ’(26); 41 yang mana

mutakallim (para ahli sihir Fir’aun) bertanya kepada Fir’aun tentang upah apa yang akan

mereka terima jika dapat mengalahkan Musa A.s.196 Berdasarkan data yang ditemukan

oleh peneliti tentang penggunaan hamzah istifhâm dalam Al-Qurân, sangat sedikit sekali

dapat dijumpai istifhâm yang digunakan untuk bertanya (fungsi semantis), hal ini

menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech act)

dalam Al-Qurân sangat minim.

Sementara itu dalam tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), penutur

menuturkan suatu kalimat yang memiliki makna lain dari apa yang dikatakan, atau

dengan kata lain dalam tindak tutur tidak langsung ini, penutur mengungkapkan

maknanya secara implisit dan tindak tutur terungkap secara implisit pula. Berdasarkan

data yang ditemukan oleh peneliti dalam penelitian ini, sangat banyak sekali dijumpai

istifhâm yang tidak digunakan untuk maksud bertanya, akan tetapi untuk maksud-

194 John R. Scarle, Indirect Speech Acts, Op. Cit, h. 75 195 ibid. 196 Lihat tesis ini, tentang Analisis Aspek Semantis; Q.S. al-Syu’arâ’ (26); 41

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 200: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

182

maksud lain (fungsi pragmatis), bahkan prosentasenya sangat besar sekali. Hal ini juga

menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech

act) dalam Al-Qurân sangat besar.

Berkaitan dengan ketidaklangsungan suatu tindak tutur, Kuntarto197 berpendapat

bahwa strategi penuturan yang paling langsung tergolong memiliki kesantunan rendah,

sedangkan strategi penuturan yang paling tidak langsung tergolong memiliki kesantunan

tinggi. Dengan demikian, prosentase yang sangat besar dalam penggunaan tindak tutur

tidak langsung (indirect speech act) dalam Al-Qurân membuktikan bahwa bahasa dalam

Al-Qurân memiliki kesantunan yang tinggi.198

Dalam konteks penelitian ini, kesantunan tindak tutur dalam Al-Qurân dapat

dibuktikan dalam memerintah (Q.S. al-Hajj (22); 46), melarang (Q.S. al-Baqarah (2):

75), menghina (Q.S. al-Baqarah (2): 13), mengingkari (Q.S. al-Shâffât (37): 16),

menolak (Q.S. al-Mâidah (5); 50), mengancam (Q.S. al-Syu’arâ’(26); 49), dan lain-lain,

yang tidak disampaikan secara langsung melainkan dikemas dalam bentuk redaksi

istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah.

2) Mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson dan mengoreksi

pandangan tata bahasa tradisonal dan Ramelan

Temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang menggunakan kata

tanya hamzah dalam penelitian ini mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C.

Levinson yang mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk

197 Eko Kuntarto, Stretegi Kesantunan Dwibahasawan Jawa. Indonesia; Kajian pada wacana

Lisan Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan (Malang; PPS IKIP Malang, 1999), h. 45

198 Kunjana Rahardi, Op.Cit, h. 34

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 201: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

183

menyampaikan berbagai jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat

disampaikan dengan menggunakan berbagai bentuk tuturan.199

Sebagai aplikasi dari apa yang diungkapkan oleh Leech dan Levinson di atas

adalah bahwasanya suatu bentuk tuturan, misalnya redaksi istifhâm yang menggunakan

kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bisa digunakan untuk menyampaikan berbagai

kategori jenis tindak, misalnya untuk mempertegas (Q.S. al-A’râf (7): 172), menyatakan

keheranan (Q.S. Hûd (11): 72-73), meminta dikasihani (Q.S. al-A’râf (7): 155) dan lain-

lain. Demikian juga suatu tindak, misalnya menyatakan keheranan, dalam bahasa Arab

bisa diungkapkan dengan redaksi ta’ajjub, istifhâm, dan lain-lain.

Sebaliknya, temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam penelitian ini, juga bisa digunakan untuk

mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional (tradisional grammar) yang membagi

kalimat menjadi tiga, yaitu; kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif.200 Dan juga

untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya,

kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat

suruh.201

Sedangkan realitas sosial yang ada membuktikan bahwa kalimat itu tidak

terbatas digunakan untuk menyatakan sesuatu (deklaratif), perintah (imperatif), atau

untuk bertanya (interogatif). Akan tetapi dapat digunakan untuk tujuan lainnya sesuai

199 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15. Lihat juga Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 200 David E. Cooper, Philosophy and the Nature of Language. (London; Longman Group (1979),

h. 10 201 Ramelan, Sintaksis, (Yogyakarta; CV.Karyono, 1982), h. 9

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 202: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

184

dengan konteksnya. Dengan kata lain, makna suatu tuturan tidak selalu linier dengan

wujud formalnya.

3) Bukti Empiris untuk Mengoreksi Kebuntuan Pendekatan Struktural dan Semantis

Pendekatan struktural berpandangan bahwa bentuk kalimat itulah yang menjadi

kajian analisisnya, suatu kalimat diteropong hanya dengan mengamati yang mana

subyek, predikat, dst.202 Sedangkan konteks pemakaian kalimat tidak ikut

diperhitungkan. Bentuk semata-mata lah yang menjadi limpahan pengamatan; termasuk

pula persoalan urutan, apakah itu urutan biasa atau urutan hasil pembalikan atau inversi,

dan kalaupun makna kadang kala dilibatkan, itu hanya sampai pada persoalan

keambiguan dan kesinoniman suatu kalimat.203

Sedangkan pendekatan semantis adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah

makna suatu lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.204 Makna leksikal

adalah makna unit semantik terkecil yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal

adalah makna yang terbentuk dari golongan kata-kata. Oleh karena itu kajian analisis

pendekatan semantis ini adalah mengkaji makna kata, klausa, dan kalimat yang bebas

konteks (contect – independent), yang biasa disebut makna stabil atau makna dasar.205

Dalam kaitannya dengan konteks mengkaji ayat-ayat Al-Qurân, tidak akan

mencapai pemahaman yang optimal hanya dengan menggunakan kedua pendekatan di

atas (pendekatan struktural dan pendekatan semantis). Kedua pendekatan ini hanya

202 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 11 203 ibid, h. 12 204 ibid, h. 15 205 ibid, h. 16

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 203: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

185

mampu untuk mengungkap makna internal dari suatu teks Al-Qurân dan tidak mampu

menjangkau makna eksternalnya.

Sementara itu, suatu teks menurut Ast terdiri dari dua aspek, yaitu aspek luar dan

aspek dalam. Aspek luar sebuah karya (teks) adalah aspek tata bahasa dan kekhasan

linguistik lainnya, sedangkan aspek dalamnya adalah “jiwa” nya206. Maka tepatlah

kiranya ilistrasi yang diungkapkan oleh Hidayat207 bahwasanya jika kita memahami

sebuah wacana (termasuk juga wacana Al-Qurân) hanya dari segi ucapan literalnya,

maka kita bukannya disebut orang yang jujur dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan

tidak komunikatif, sebab makna sebuah kata atau sebuah kalimat selalu berkaitan

dengan konteks.

Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang ditawarkan oleh peneliti adalah

pendekatan pragmatik, yang mana pendekatan ini menelaah tentang makna tuturan

(utterance) atau pengujaran kalimat pada konteks sesungguhnya.208 Yang mana

pendekatan ini, dalam analisisnya mempunyai tahapan-tahapan, yaitu; analisis aspek

sintaksis, dilanjutkan dengan analisis aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek

pragmatis.209

Dalam kaitannya dengan kajian terhadap wacana (teks) Al-Qurân, pemahaman

terhadap konteks, sosio-historis, dan peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya

206 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1993), h. 31 207 Komaruddin Hidayat, Loc.Cit 208 Bambang Kaswati Purwo, Loc. Cit 209 M. Ainin, Loc. Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 204: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

186

ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl), amatlah penting, meskipun kadang tidak semua

ayat Al-Qurân yang diturunkan memiliki asbâb al-nuzûl.210

Sedangkan berkaitan dengan tindak perlokusi, satu hal yang perlu diungkapkan

adalah bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua tindak perlokusi dalam

Al-Qurân diungkapkan secara eksplisit. Artinya, sebagian tindak illokusi dalam istifhâm

yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ada yang mengungkapkan

tindak perlokusinya secara eksplisit, misalnya; Q.S. al-Syu’arâ’; 41, Q.S. al-Baqarah; 30,

dan lain-lain. Akan tetapi ada juga yang mengungkapkan tindak perlokusinya secara

implisit, misalnya: Q.S. al-Anbiyâ’; 6, Q.S. al-Hajj; 46, dan lain-lain.

Hal ini wajar, karena teori tindak tutur pada mulanya digunakan untuk mengkaji

makna tuturan211 yang maknanya dapat diamati secara langsung, bukan menganalisis

dokumen yang bentuk tindakannya kadang tidak terungkap secara eksplisit dan tidak

dapat diamati secara langsung. Meskipun demikian, teori Searle tersebut dapat

dikembangkan untuk digunakan menganalisis bahasa tulis dengan syarat tersedianya

sumber yang mengulas konteks yang menyertai teks tersebut. Dalam kaitannya dengan

pengkajian ayat-ayat Al-Qurân, sumber-sumber tersebut dapat diperoleh dalam buku-

buku tafsir Al-Qurân atau buku-buku lain yang mengulas peristiwa yang

melatarbelakangi ayat-ayat Al-Qurân diturunkan.

Berdasarkan uraian di atas maka hasil analisis aspek semantis dan pragmatis

istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dapat disusun dalam

bagan berikut:

210 Masjfuk Zuhdi, Loc.Cit

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 205: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

187

Tindak LokusiIstifhâm yang Menggunakan

Kata Tanya Hamzah

Konteks

Tindak Tutur Langsung (Direct Speech Act)

Tindak Tutur Tidak Langsung (Indirect Speech Act)

Tindak IllokusiFungsi Semantis

Tindak IllokusiFungsi Pragmatis

Direktif Asertif Direktif Ekspresif

Tindak Perlokusi Tindak Perlokusi

Eksplisit Eksplisit Implisit

B. Implikasi Pedagogis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam

Al-Qurân dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni dan Tafsir Al-Qurân

Kajian Pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân pada

penelitian ini dianalisis menggunakan tiga tahapan (sebagaimana cara kerja pragmatik).

Tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis, dilanjutkan dengan analisis

aspek semantis, kemudian diakhiri dengan analisis aspek pragmatis.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 206: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

188

Tahapan pertama, analisis aspek sintaksis meliputi tiga komponen, yaitu: (1)

analisis pola, (2) analisis sasaran istifhâm, dan (3) analisis jenis istifhâm berdasarkan ada

tidaknya jawabannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek pola, istifhâm

yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân memiliki pola yang bervariatif.

Dari sisi sasarannya, ditemukan ada sasaran istifhâm yang bersifat langsung dan ada

yang tidak langsung. Sedangkan dari sisi jenisnya berdasarkan ada tidaknya jawabannya,

ditemukan ada dua jenis istifhâm, yaitu istifhâm retoris dan istifhâm aretoris.

Sedangkan tahapan kedua dan ketiga, adalah analisis aspek semantis dan analisis

aspek pragmatis. Analisis aspek semantis adalah menganalisis istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang digunakan untuk menunjukkan

arti sebenarnya, yaitu untuk menanyakan sesuatu (bertanya) atau memperoleh informasi.

Hasil analisis aspek semantis ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaannya sangat

minim (sedikit) sekali dalam Al-Qurân.

Adapun analisis aspek pragmatis adalah menganalisis istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang bukan digunakan untuk

menunjukkan arti sebenarnya (di luar makna semantis). Hasil analisis aspek pragmatis

menunjukkan bahwa sebagian besar istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân memang digunakan untuk tujuan ini (fungsi pragmatis).

Dari tahapan atau cara kerja analisis pragmatik (analisis aspek sintaksis, aspek

semantis, kemudian aspek pragmatis) dan juga hasil yang ditemukan dalam penelitian

ini, maka implikasi pedagogisnya dapat dipergunakan untuk mereformulasi

pembelajaran ilmu ma’âni dan pembelajaran tafsir Al-Qurân.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 207: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

189

1. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni

Kata ma’âni merupakan bentuk plural dan kata ma’na (makna atau arti). Istilah

ma’âni ini sesuai dengan tujuan ilmu ini, yaitu dipergunakan untuk menjaga kekeliruan

dalam menyampaikan makna yang dikehendaki oleh penutur untuk disampaikan pada

mitra tutur.212 Sedangkan al-Hâsyimi mendefinisikan bahwa ilmu ma’âni adalah pokok-

pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat dengan

konteks (muqtadhâ al-hal).213

Adapun istilah pragmatik menurut Levinson adalah studi tentang hubungan

antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya.214

Hal ini diperkuat oleh Leech bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna dalam

hubungannya dengan situasi-situasi ujar. Aspek-aspek situasi ujar meliputi; penyapa dan

pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan,

dan tuturan sebagai produk dari suatu tindak verbal.215 Dari pengertian di atas maka

diketahui bahwa ilmu ma’âni berekuivalensi dengan pragmatik.216

Pembelajaran ilmu ma’âni memang bukan termasuk salah satu dari empat

kemahiran berbahasa, akan tetapi ilmu ini sangat strategis baik dalam pengajaran bahasa

Arab itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan perannya sebagai alat untuk

mengungkap esensi makna suatu wacana Arab.

Akan tetapi kondisi riil pembelajaran ilmu ma’âni yang ada sekarang ini

dianggap masih kurang efektif dan kurang maksimal untuk mencapai tujuan

212 Hanik Mahliatussikhah, Ilmu Retorika Bahasa Arab I, (Malang: UM, 2001) h. 15 213 Ahmad al-Hâsyîmî, Op, Cit, h. 30 214 Stephen C. Levinson, Op Cit, h. 21 215 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15 216 Imam Asrori, Ekuivalensi Pragmatik dan Ma’âni, Jurnal Al-Hadharah Th. 1, No. 1, Januari

2001 (Yogyakarta; UGM Press, 2001), h. 21

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 208: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

190

pembelajaran ilmu ma’âni itu sendiri, yaitu bisa menyesuaikan kalimat (pembicaraan)

dengan konteks, atau bahkan mempergunakan ilmu ma’âni untuk mengungkap esensi

makna suatu wacana Arab, khususnya kitab suci Al-Qurân. Kondisi riil tentang

pembelajaran ilmu ma’âni yang masih perlu diperbaiki ini, setidaknya bisa kita lihat dari

beberapa aspek, diantaranya, (1) kurikulum, (2) buku ajar, (3) sistem pembelajaran, dan

(4) sumber daya manusia (guru atau dosen).

Kurikulum pembelajaran ilmu ma’âni yang ada sekarang ini dirasa masih kurang

komprehensif dan kurang memperhatikan tahapan-tahapan atau cara kerja analisis

pragmatik di atas, yaitu: analisis aspek sintaksis, aspek semantis, kemudian aspek

pragmatis. Bahkan untuk kurikulum jurusan Sastra Arab atau Pendidikan Bahasa Arab

di Perguruan Tinggi sendiri selama ini posisi ilmu ma’âni masih dianggap sebagai

bidang studi “pinggiran” yang penyampaiannya biasanya terangkum dalam kajian ilmu

balâghah dengan jumlah sistem kredit semester (SKS) dan jam studi (JS) yang sangat

minim.

Substansi buku ajar (referensi) ilmu ma’âni yang ada di jenjang pendidikan

tingkat lanjutan atas (SLTU atau MA) maupun di perguruan tinggi saat ini masih terlalu

global (ijmâl) dan bahasannya relatif dangkal, baik yang berkaitan dengan kajian teoritis

maupun praktis. Bahasan yang disajikan dalam buku ajar yang ada juga lebih bersifat

dogmatis, yang mana substansi materinya masih terbatas pada penyajian contoh yang

tidak utuh dan jenis tindak tuturnya (fungsi) tidak disertai dengan penjelasan konteks

yang memadai.

Sedangkan dari sistem pembelajaran pun dirasa juga kurang memberikan uraian

yang memadai baik yang bersifat teoritis maupun praktis, bahkan sistem

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 209: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

191

pembelajarannya cenderung bersifat dogmatis. Hal ini mungkin bisa dimaklumi, karena

selain faktor kurikulum dan buku ajar, sebagaimana dipaparkan di atas, juga karena

faktor ketersediaan SDM (guru atau dosen) yang masih memegang tradisi lama dalam

pengajaran ilmu ma’âni, yaitu lebih bersifat dogmatis daripada harus memberikan

kesempatan kepada anak didiknya berpikir kritis-analitis dalam mengkaji sebuah

wacana.

Oleh karena itu, berdasarkan tiga cara kerja pragmatik sebagaimana yang

digunakan sebagai langkah analisis dalam penelitian ini dan juga berdasakan hasil

penelitian yang menunjukkan bahwa istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân itu beragam fungsi (tindak), bahkan sebagian besar berfungsi

pragmatis, serta berdasarkan kenyataan riil tentang pembelajaran ilmu ma’âni yang

masih perlu diperbaiki, maka peneliti ingin memberikan gambaran bagi pemecahan

masalah tersebut.

Dalam penyusunan kurikulum ilmu ma’âni, perlu kiranya memperhatikan

tahapan-tahapan atau cara kerja pragmatik dalam menganalisis wacana, yaitu dimulai

dari analisis aspek sintaksis, lalu analisis aspek semantis, dan kemudian analisis aspek

pragmatis, dan tidak lupa menyertakan konteks yang menyertai wacana tersebut. Untuk

kurikulum sekolah menengah tingkat atas (SLTU atau MA) biasanya kurikulum dibuat

oleh tim DEPAG RI. Sedangkan untuk kurikulum jurusan Sastra Arab atau Pendidikan

Bahasa Arab di PT dibuat sendiri oleh jurusan. Oleh karena itu disarankan selain

memperhatikan cara kerja pragmatik, menyertakan konteks yang menyertai sebuah

wacana, juga harus menempatkan bidang studi ilmu ma’âni sebagai bidang kajian

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 210: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

192

tersendiri di samping kajian-kajian kebahasa-Araban yang lain dengan memberikan

jumlah SKS dan JS dalam proporsi yang cukup.

Adapun berkaitan dengan buku ajar (referensi) ilmu ma’âni, diharapkan kepada

para guru, dosen, atau tim penyusun buku ajar untuk mereformulasi buku-buku

(referensi) yang sudah ada dengan memberikan uraian yang memadai, baik yang bersifat

teoritis maupun praktis dan menyajikan pokok bahasan secara kritis-analitis dengan

menyajikan contoh wacana yang utuh dan jenis tindak tutur (fungsi) wacana tersebut

disertai dengan penjelasan konteks yang menyertai wacana tersebut.

Sedangkan sistem pembelajaran ilmu ma’âni yang disarankan adalah sistem

pembelajaran yang bersifat kritis-analitis. Setiap peserta pembelajaran diberi hak untuk

mengkritisi dan menganalisis setiap contoh wacana sesuai dengan konteks yang

menyertainya, sehingga nuansa kontekstualnya terasa dalam pembelajaran dan bukan

sisi dogmatisnya yang ditonjolkan. Maka akhirnya perbedaan intepretasi terhadap suatu

wacana merupakan suatu hal yang wajar dan bisa dimaklumi selama masih dalam

koridor konteks yang ditentukan.

Sistem pembelajaran yang ditawarkan di atas, dapat digali dari aspek sosio-

edukatif redaksi istifhâm yang diungkapkan oleh Tuhan dalam Al-Qurân. Hal ini

menunjukkan bahwa kalam Al-Qurân bukanlah bersifat doktriner-otoritatif. Ungkapan-

ungkapan dalam redaksi istifhâm (khususnya yang menggunakan kata tanya hamzah)

dalam berbagai macam varian tindak (fungsi) nya digunakan oleh Tuhan dalam

berinteraksi dengan hambaNya, hal ini mengisyaratkan adanya hubungan yang dialogis

antara Tuhan dan makhlukNya dan antar makhluk itu sendiri. Maka apabila fenomena

ini diaktualisasikan dalam dunia pendidikan, hubungan dialogis ini dapat dijadikan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 211: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

193

model oleh guru atau dosen dalam berinteraksi dengan anak didiknya dan antar anak

didiknya itu sendiri. Dalam suasana pembelajaran yang dialogis ini, terbentuklah suatu

lingkungan kelas yang kondusif.

Sedangkan berkaitan dengan sumber daya manusia (guru atau dosen) pemegang

mata pelajaran atau kuliah ilmu ma’âni diharapkan lebih mau membuka cakrawala

berpikirnya dan tidak hanya menganggap metode yang sudah diterapkannya adalah yang

terbaik dan tidak mau mempelajari metode baru yang lebih tepat untuk pengajaran ilmu

ma’âni. Metode pengajaran yang ditawarkan adalah metode pengajaran yang dialogis

yang memberikan kesempatan kepada anak didiknya berpikir kritis-analitis dalam

mengkaji fungsi (tindak) sebuah wacana dengan memakai cara kerja analitis pragmatik.

Peningkatan kompetensi guru atau dosen tersebut bisa dilakukan dengan

berbagai macam cara, antara lain; membaca buku-buku baru yang berkenaan dengan

metode pengajaran bahasa (ilmu ma’âni), mengikuti kajian atau seminar yang

membahas tema tersebut, atau mungkin DEPAG RI sebagai suatu lembaga yang

menaungi Madrasah (MI, MTs, dan MA) maupun perguruan tinggi yang bercirikhas

Islam memberikan kesempatan kepada guru atau dosen bahasa Arab (khususnya

pengajar ilmu ma’âni) untuk mengikuti sejenis pelatihan khusus tentang pengajaran ilmu

ma’âni sebagaimana yang diberikan kepada guru-guru IPA, IPS, dll, yang terkenal

dengan program penyetaraannya.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 212: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

194

2. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Tafsir Al-Qurân

Menurut Al-Shâbûni217 dari segi etimologi, tafsir berarti al-idhâh wa al-tabayyun

atau al-tabyîn (menjelaskan atau menerangkan). Sedangkan dari segi terminologi, tafsir

adalah suatu pengetahuan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi

Muhammad SAW, menjelaskan maknanya, dan menggali hukum-hukum serta hikmah

yang dikandungnya.218

Sedangkan tafsir Al-Qurân yang ingin dibahas oleh peneliti disini adalah tafsir

Al-Qurân sebagai nama dari salah satu mata pelajaran di Madrasah Aliyah atau pondok

pesantren, yang biasanya menampilkan ayat Al-Qurân yang berhubungan dengan suatu

tema tertentu kemudian dijelaskan penafsiran dan pemahamannya secara sederhana dan

cenderung bersifat “dogmatis”.

Inti penelitian kajian pragmatik sebenarnya adalah ingin mengungkapkan bahwa

konteks sangat menentukan pemahaman makna. Hal ini dapat dimaklumi karena

pragmatik adalah suatu kajian yang menggumuli makna yang terikat konteks.219

Sedangkan berkaitan dengan kajian pragmatik terhadap wacana (teks) Al-Qurân, maka

pemahaman terhadap konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang melatar belakangi

diturunkannya ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl) dianggap sangat penting.

Urgensi pemahaman konteks, sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl sebagai

piranti utama kajian pragmatik dalam memahami ayat Al-Qurân bisa dimaklumi, hal ini

dikarenakan Al-Qurân tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya,

melainkan masyarakat yang syarat dengan nilai-nilai kultural, berikut ikatan-ikatan

217 Al-Shâbûni, Al-Tibyân fî Ulum Al-Qurân, Op. Cit, h. 30 218 ibid 219 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 15-16

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 213: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

195

primordialnya masing-masing. Hal ini dipertegas oleh Syihab, bahwa penafsiran Al-

Qurân secara kontekstual sangat diperlukan, mengingat Al-Qurân turun untuk berdialog

dengan orang-orang yang hidup pada masa nabi, orang-orang yang hidup pada masa

sekarang, dan bahkan orang-orang yang hidup pada masa yang akan datang.220

Oleh karena itu, berpijak dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka model

pendekatan yang ditawarkan oleh peneliti dalam mereformulasi pembelajaran tafsir Al-

Qurân adalah dengan menggunakan pendekatan kontekstual (pragmatik). Hal ini

didasarkan pada kondisi riil pembelajaran tafsir Al-Qurân yang ada saat ini lebih

cenderung bersifat “dogmatis” dan Al-Qurân masih dipahami secara parsial-literal.

Reformulasi pembelajaran tafsir Al-Qurân dengan menggunakan pendekatan

kontekstual tersebut, setidaknya bisa diterapkan dalam empat aspek berikut ini, yaitu: (1)

kurikulum, (2) buku ajar, (3) sistem pembelajaran, dan (4) sumber daya manusia (guru).

Depag RI sebagai lembaga yang biasanya menyusun kurikulum mata pelajaran

tafsir Al-Qurân di Madrasah Aliyah bisa menggunakan pendekatan kontekstual ini

dalam menyusun kurikulumnya. Pendekatan ini adalah dengan menyertakan konteks,

sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl dalam proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qurân.

Selain itu diharapkan juga memberikan jam studi (JS) yang proporsional bagi mata

pelajaran ini, agar pembelajarannya lebih kondusif dan komprehensif. Sedangkan pondok

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang independen, bisa mengambil

pendekatan kontekstual ini untuk mereformulasi kurikulumnya sendiri. Sehingga dengan

berpijak pada pendekatan ini, maka proses ijtihâd dalam menafsirkan Al-Qurân di

220 Umar Syihab, Loc. Cit.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 214: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

196

lingkungan pondok pesantren bukanlah sesuatu yang ditabukan, melainkan sesuatu yang

harus ditumbuh kembangkan.

Berkaitan dengan proses penyusunan buku ajar, diharapkan bagi guru tafsir

maupun tim penyusunan buku ajar tafsir Al-Qurân di dalam menemukan makna

kontekstual dari suatu ayat yang oleh teori hermeneutika disebut “jiwa” teks, kajian

terhadap konteks, sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl ayat tersebut harus

dimasukkan. Sehingga contoh penafsiran ayat yang ditampilkan dalam buku ajar

dipahami secara komprehensif-kontekstual tidak lagi secara parsial-literal.

Sistem pembelajaran tafsir Al-Qurân dengan menggunakan pendekatan

kontekstual ini lebih cenderung bersifat kritis-interaktif dan dialogis. Sehingga interaksi

pembelajaran akan lebih kondusif dan pada akhirnya diharapkan siswa sebagai peserta

didik dapat memahami Al-Qurân secara komprehensif-kontekstual.

Guru sebagai salah satu komponen dalam proses pembelajaran biasanya

cenderung menerapkan metode pengajaran yang dia terima dari gurunya atau yang dia

alami pada waktu belajar dulu, dan cenderung kurang mau membuka cakrawala

pengetahuannya untuk menerima metode pengajaran yang baru yang lebih relevan. Akan

tetapi dalam pendekatan kontekstual ini guru dituntut berperan sebagai fasilitator yang

bisa mengantarkan anak didiknya dapat memahami Al-Qurân secara komprehensif-

kontekstual dalam suasana pembelajaran yang kondusif dan dialogis yang bersifat kritis-

interaktif.

Berkaitan dengan hasil temuan penelitian sasaran atau obyek istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân khususnya, maupun sasaran atau

obyek kalam Al-Qurân secara umum yang bersifat kasuistik, diharapkan pihak guru

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 215: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

197

dalam pembelajaran ilmu tafsir dapat menjelaskan masalah tersebut, yaitu walaupun

sasaran atau obyek kalam Al-Qurân bersifat kasuistik akan tetapi esensinya bersifat

universal. Dan melalui penanaman pemahaman yang tidak kasuitik ini, siswa sebagai

subyek didik dapat mengambil i’tibâr (pelajaran) dari pesan ayat yang diajarkan kepada

mereka. Pada akhirnya pembelajaran tafsir Al-Qurân bukan saja dapat menjangkau rana

kognitif anak didik, tetapi juga dapat menjangkau rana psikomotorik dan afektif mereka.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 216: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hambaNya, dan alat yang

digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab. Dalam melakukan

interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam redaksi kalimat, terkadang menggunakan

ragam kalimat pernyataan (khabar), terkadang juga menggunakan kalimat perintah

(amr), larangan (nahi), pertanyaan (istifhâm), dan lain sebagainya.

Istifhâm (pertanyaan) sebagai salah satu ragam kalimat yang digunakan sebagai

media interaksi dalam Al-Qurân, dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah

satu kata tanyanya (adawât al-istifhâm). Kesemua kata tanya (adawât al-istifhâm)

digunakan dalam Al-Qurân secara variatif dan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata tanya hamzah menempati rating yang

tertinggi, yaitu lebih dari 50% redaksi istifhâm dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya

hamzah.

Dominasi penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangatlah wajar. Hal

ini disamping kata tanya hamzah disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab

sebagai adawât al-istifhâm yang asli, juga dikarenakan dalam penggunaannya kata tanya

hamzah tersebut bersifat fleksibel, yaitu bisa digunakan untuk menanyakan satuan atau

mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), dan juga bisa digunakan untuk

menanyakan tentang nisbah (tashdîq).

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 217: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

199

Dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud dalam suatu

wacana, kadang tidak selalu linier dengan wujud formalnya. Maka untuk menentukan

makna suatu wacana di luar wujud formalnya dapat dilakukan melalui pendekatan

pragmatik. Pendekatan ini mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya yang

merupakan dasar dari penentuan pemahamannya. Dan dalam proses penganalisisan

sebuah wacana, dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: analisis aspek sintaksis, analisis

aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis.

Dalam kaitannya dengan kajian pragmatik terhadap wacana (teks) Al-Quran -

khususnya dalam penelitian ini penggunaan kata tanya hamzah-, pemahaman konteks,

sosio-historis, dan asbâb al-nuzûl, serta kondisi kesesuaian (facility condition) amatlah

penting. Hal ini dikarenakan disamping ada sebagian ayat-ayat Al-Qurân yang tidak

dapat dipahami secara utuh tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya, Al-Qurân pun tidak

diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya, akan tetapi turun dalam masyarakat

yang berbudaya serta turun dalam masa-cara benar, tidak terbatas pada aspek formalnya,

melainkan juga aspek fungsionalnya.

Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilakukan

melalui tiga tahapan analisis, yaitu: analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan

analisis aspek pragmatis. Ketiga tahapan analisis ini dilakukan selain untuk memerikan

wujud formal penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, juga untuk memerikan

aspek fungsional yang terkandung di dalamnya.

Dari aspek sintaksis, diketahui bahwasanya pola penggunaan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân sangat bervariasi. Temuan ini semakin memperkuat pendapat beberapa

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 218: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

200

tokoh sintaksis bahasa Arab yang menyatakan bahwa kata tanya hamzah adalah adawât

al-istifhâm yang asli. Disamping itu secara praktis temuan ini juga bisa digunakan untuk

memberikan alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis bahasa

Arab (nahwu) dan insyâ’.

Disamping pola, aspek sintaksis lain yang dikaji adalah sasaran (obyek)

penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Sasaran tersebut sangat bervariasi,

akan tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sasaran

langsung, dan sasaran tidak langsung. Kebervariasian tersebut tidak terlepas dari hal

yang melatarbelakanginya, yaitu; kompleksitas dimensi yang dikandung oleh Al-Qurân

dan kompleksitas dimensi yang direspon oleh Al-Qurân.

Temuan tentang variasi sasaran istifhâm dalam Al-Qurân yang menggunakan

kata tanya hamzah tersebut antara lain dapat digunakan untuk; (1) menunjukkan dan

membuktikan kebenaran Al-Qurân sebagai media interaksi antara Tuhan dan hambaNya,

(2) menunjukkan bahwa proses interaksi berlangsung secara multi arah, bukan doktrinal

ekslusif, dan (3) menunjukkan bahwa Al-Qurân merupakan kompendium bagi manusia

yang komprehensif.

Komponen lain dari aspek sintaksis adalah jenis istifhâm yang menggunakan

kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Hasil analisis menunjukkan bahwa istifhâm terbagi

menjadi dua, yaitu; istifhâm retoris, dan istifhâm aretoris. Hal ini mungkin bisa

digunakan untuk mengoreksi pembagian jenis istifhâm yang diungkapkan oleh Gorys

Keraf, yaitu ada tiga; pertanyaan retoris, pertanyaan aretoris, dan pertanyaan yang

senilai dengan perintah.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 219: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

201

Memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah sebagai salah satu jenis

pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan pertanyaan aretoris menurut

peneliti kurang representatif. Hal ini dikarenakan pembagian istifhâm ke dalam istifhâm

retoris dan istifhâm aretoris didasarkan dari aspek ada tidaknya jawaban istifhâm

tersebut, sedangkan istifhâm itu senilai perintah atau yang lainnya itu didasarkan dari

aspek fungsi (tindak) nya.

Sedangkan dari aspek semantis, diketahui bahwasanya istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangatlah sedikit sekali yang

digunakan untuk fungsi (makna) dasarnya, yaitu bertanya atau mencari informasi. Hal

ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech

act) dalam Al-Qurân sangat minim. Hal ini sangat wajar, karena strategi penuturan yang

paling langsung tergolong memiliki kesantunan rendah, sedangkan Al-Qurân tidak

seperti itu, ia kitab suci yang mulia dan bahasanya pastilah memiliki kesantunan yang

tinggi.

Adapun berkaitan dengan aspek pragmatis, ditemukan bahwasanya istifhâm yang

menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân banyak sekali yang digunakan bukan

untuk meminta informasi atau bertanya, melainkan untuk fungsi-fungsi (tindak) lain

berdasarkan konteks, sosio historis, asbâb al-nuzûl, serta kondisi kesesuaian (facility

conditions) yang dapat diketahui (dilacak) dari mutakallim, mukhathab, dan substansi

pesannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesantunan bahasa Al-Qurân sangat tinggi yang

dibuktikan dengan prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech

act) di dalamnya sangat besar.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 220: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

202

Hasil penelitian dari aspek semantis dan pragmatis di atas dapat digunakan

untuk;

Pertama, menunjukkan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat

langsung (direct speech act) dan ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act).

Akan tetapi prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act)

dalam Al-Qurân sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Al-Qurân memiliki

kesantunan yang tinggi.

Kedua, mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson yang

mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai

jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat disampaikan dengan berbagai bentuk

tuturan. Di samping itu, bervariasinya tindak illokusi istifham yang ditemukan dalam

penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional

(traditional grammar) yang membagi kalimat menjadi tiga, yaitu; kalimat deklaratif,

imperative, dan interogatif. Dan juga untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang

membagi kalimat berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat

tanya, dan kalimat suruh.

Ketiga, bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan struktural dan

semantic dalam menganalisis wacana, terutama dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qurân. Hal

ini dikarenakan dalan kedua pendekatan tersebut hanya bentuk dan makna saja yang

diperhatikan, sedangkan konteks di mana wacana tersebut dipakai tidak diperhitungkan.

Sehingga kedua pendekatan tersebut hanya akan mampu mengungkap makna internal

dari suatu teks Al-Qurân dan tidak akan mampu menjangkau makna eksternalnya. Oleh

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 221: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

203

karena itu salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah

pendekatan pragmatik.

Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari

sisi langkah analisisnya, maupun dari sisi hasil temuan, dapat digunakan untuk

mereformulasi pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân yang ada saat ini, baik

dari sisi kurikulum, buku ajar, sistem pembelajaran, dan sumberdaya manusianya

(pengajar). Hal ini sangat beralasan, karena kedua disiplin ilmu tersebut erat kaitannya

dengan pemahaman makna suatu wacana bahasa Arab –khususnya Al-Qurân-, yang

mana untuk dapat memahami pesan yang terdapat di dalam suatu wacana -khususnya

Al-Qurân- secara utuh, maka harus dicapai melalui cara-cara yang benar, yakni suatu

pemahaman yang tidak hanya terbatas pada aspek formalnya saja, melainkan juga aspek

fungsionalnya.

B. Saran

Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap penggunaan kata tanya hamzah

dalam Al-Qurân dengan menggunakan kajian pragmatik, maka perlu dikemukakan

beberapa saran sebagai tindak lanjut penelitian ini. Diantara saran-saran tersebut adalah:

1. Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân merupakan

sebuah metode alternatif untuk memperoleh pemahaman pemaknaan yang lebih

kontekstual, sehingga tidak terjebak ke dalam anggapan bahwa setiap wacana

selalu linier dengan wujud formalnya dan dipahami secara parsial-literal.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 222: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

204

2. Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari

sisi langkah analisisnya maupun dari sisi hasil temuannya, dapat diadopsi untuk

mereformulasi pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân, baik dijenjang

pendidikan sekolah, perguruan tinggi, maupun di pondok pesantren.

3. Sebagai bentuk kajian bahasa, kajian pragmatik ini perlu diajarkan dan

disosialisasikan khususnya di kalangan mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab,

untuk kajian analisis wacana bahasa Arab secara umum atau khususnya wacana

(teks) Al-Qurân.

4. Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki keterbatasan.

Diantaranya; kajiannya hanya terbatas pada penggunaan kata tanya hamzah saja

dan belum teraplikasinya kata tanya-kata tanya (adâwât al-istifhâm) yang lain.

Oleh karena itu, bagi peneliti lain disarankan untuk meneliti kata tanya-kata

tanya (adâwât al-istifhâm) yang lain (selain hamzah) atau redaksi-redaksi yang

lain (selain istifhâm) dengan menggunakan pisau analisis kajian pragmatik atau

pisau analisis yang lain.

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 223: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatâh, Husain, Al-Ifshâh fî al-Lughah, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, t.t Abu Shâlih, Abd al-Quds, Kitâb al-Balâghah Ilm al-Ma’âni wa al-Badî’, Saudi Arabia:

Jâmi’ah al-Imâm ibn Su’ûd, 1403 H Aghwar, Bon, Adawât al-Istifhâm fî al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Lughah al-

Injiliziyyah (Dirâsah Taqâbuliyyah), skripsi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000

Ainin, M, Pertanyaan dalam Al-Qurân: Suatu Tinjauan Pragmatik. Dalam al-

Hadhârah, Yogyakarta: UGM Press, 2001 Akâwi, In’âm Fuwal, Al-Mu’jam al-Mufashshal fî ‘Ulûm al-Balâghah, Beirut; Dâr al-

Kutub al-’Ilmiyah, 1996 Alam, Keir, The Semiotics of Theatre and Drama, New York: Methuen, 1980 Al-Akhdhâri, Imam, Ilmu Balâghah, terjemahan kitab Jauhar al-Maknûn. Alih Bahasa,

H. M. Anwar, Bandung: Al-Ma’arif, 1993 Al-Andalûsi, Abu Hayyan, Al-Bahr al-Mukhît fî al-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992 Al-‘Askari, Abu Hilâl, Al-Furûq fî al-Lughah, Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1973 Al-Dahdah, Anton, Mu’jam Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah fî Jadâwil wa Lauhât,

Beirut: Maktabah Lubnân, 1981 Al-Ghalâyaini, Musthafa, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: Al-Maktabah al-

‘Ashriyyah, 1984 Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badi’,

Indonesia: Dâr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1960 Al-Isfahâni, Raghib, Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qurân, Mesir: Musthafa al-Bâb al-Halabi

wa Aulâduh, 1961 Al-Jârim, Ali dan Amîn, Musthafa, Al-Balâghah al-Wâdhihah, Surabaya: Al-Hidayah,

1961 Al-Jumali, Sayyid, Al-Balâghah Al-Qurâniyyah, Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1993

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 224: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

206

Al-Mahalli, Jalâluddin dan al-Suyûthi, Jalâluddin, Tafsîr al-Jalâlain, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar, Bandung: CV. Sinar Baru, 1990

Al-Marâghi, Ahmad Musthafa, Tafsîr al-Marâghi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1365 H ________________________, ‘Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-

Badî’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993 Al-Qazwini, Al-Khathîb, Al-Îdhâh fî ‘Ulûm al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.t Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t Al-Sakâki, Miftâh al-‘Ulûm, Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983, Cet. Ke-1 Al-Shâbûni, Muhammad Ali, Shafwah al-Tafâsir, Beirut: Dâr al-Fikr, 1976 _______________________, Al-Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Makkah: Kulliyyah al-

Syarî’ah wa al-Dirâsah al-Islamiyyah, 1980 Al-Shiddiqy, M. Hasbi, Tafsîr al-Nûr, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000 Al-Suyûthi, Jalâluddin, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 911 H __________________, Kitâb al-Asybah wa al-Nadzâir fî al-Nahwi, Beirut: Dâr al-Kutub

al-‘Arabiyyah, t.t, Cet, Ke-3 __________________, Asbâb al-Nûzûl: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat

Al-Qurân. Terjemahan oleh Shaleh, dkk, Bandung: CV. Diponegoro, 1995 Al-Thabari. Tafsir Al-Thabari, dalam CD Rom Al-Maktabah Al-Syamilah Al-Tsaniyah,

Beirut: Dar al-Fikr, 2006 Al-Tunjy, M. Al-Mu’jam al-Mufashshal fî al-Adâb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1993 Al-Wahidy, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996 Al-Washilah, A. Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1993, Cet.

Ke-10 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980 Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1991

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 225: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

207

Amaire, K. A, Dirâsât wa Ârâ’ fi Dhaui ‘Ilm al-Lughah al-Mu’âshir fi Nahw al-Lughah wa Tarâkibiha (Manhaj wa Tathbiq), Jeddah: ‘Alâm al-Ma’rifah, 1984

Asrori, Imam, Ekuivalensi Pragmatik dan Ma’âni, dalam al-Hadhârah, Yogyakarta:

UGM Press, 2001 ____________, Sintaksis Bahasa Arab, Frasa-Klausa-Kalimat, Malang: Penerbit

Misykat, 2004 Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, Cet, Ke-10 Austin, J.L, How To Do Thing With Words, Cambridge: Harvard University Press, 1975 Bakalla, M. H, dkk, A Dictionary of Modern Linguistic Term; English- Arabic and

Arabic-English, Beirut; Libraire du Liban, 1983 Bogdan, Robert, C. dan Biklen, Sari Knopp, Qualitative Research for Education: An

Introduction to Theory and Methods, London: Allyn and Bacon, Inc, 1982 Brown, Gillian, dan Yule, George, Discourse Analysis, Cambridge: Cambrigde

University Press, 1985 Cooper, David E. Philosophy and the Nature of Language, London: Longman Group

Ltd, t.t Clark, Herbert H. dan Clark, Even V. Psychologi and Language: An Introduction to

Psycholinguistics, New York: Harcourt Brace Javanovich Publishers, 1977 Cohen, L and Manion, L. Research Methods in Education, London: Routledge, 1994 Dahlan, Abdurrahman, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qurân, Bandung: Penerbit Mizan,

1997 Dahlan, Ahmad Zaini, Syarh Mukhtashar Jiddan. Terjemahan oleh Prof. H. Chotibul

Umam, dkk, Pedoman Dasar Ilmu Nahwu, Jakarta: Dârul Ulum Press, 1996 Dayyab, Hifni Bek, dkk, Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Jakarta: Maktabah al-

Hidayah, t.t Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab

Suci Al-Qurân, 1980 ___________________, Al-Qurân dan Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 226: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

208

Djajasudarma, Fatimah, Semantik Pemahaman Ilmu Makna, Bandung: Refika Aditama, 1999

Djojosuroto, Kinayati, Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung:

Yayasan Nuansa Cendikia, 2000, Cet, Ke-1 Efendi, Djohan, Pemahaman Kontekstual Terhadap Al-Qurân, dalam Jurnal Cendikia,

Jakarta: t.p,1985 Fuwal, Azizah, Al-Mu’jam al-Mufashshal, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992 Halliday, M. A. K. System and Function in Language, London: Oxford University Press,

1976 _______________dan Hasan, Ruqaiyah, Bahasa, Konteks dan Teks, terjemahan oleh

Asruddin Barori Tou, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, Cet, Ke-1 Hamka, Tafsir al-Azhâr, Singapura: Pustaka Nasional, 1992 Hasanain, S. S, Dirâsât fi ‘Ilm al-Lughah al-Washfi wa al-Târikhi wa al-Muqâran,

Riyadh: Dâr al-‘Ulum, 1984 Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:

Paramadina, 1996 Ibnu Hisyâm, Mughnî al-Labîb, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.t Ibnu Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-‘Adzîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000 Ibrahim, Abd, Syukur, Kajian Tindak Tutur, Surabaya: Usaha Nasional, 1992 Ibrâhîm, M. Ismâîl, Al-Qurân wa I’jâzuhu al-Ilmî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1951 Ibrâhîm, M. Ismâîl, Mu’jam al-Alfâzh wa al-A’lâm Al-Qurâniyyah, Beirut: Dâr al-Fikr

al-Arabi, t.t Ibrâhîm, M. Abû Fâdhil, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Al-Maktabah al-

‘Ashriyyah, t.t Kartomihardjo, Soeseno, Sosiolinguistik: Studi tentang Bahasa dan Seluk-Beluk

Pengetrapannya dalam Masyarakat, Malang: P2LPTK IKIP Malang, 1987 _____________________, Analisis Wacana dan Penerapannya, Malang: IKIP Malang,

1992

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 227: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

209

Keraf, Gorys, Tata Bahasa Indonesia, Flores: Nusa Indah, 1984 Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: PT Gramedia, 2001 Krippendorff, Klaus, Content Analysis An Introduction to Its Metodology, London: Sage

Publication, 1980 Kuntarto, Eko, Strategi Kesantunan Dwibahasawan Jawa-Indonesia; Kajian pada

Wacana Lisan Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan, Malang: PPS IKIP Malang, 1999

Levinson, Stephen C, Pragmatics, Cambridge: Cambridge University Press, 1992 Leech, Geoffrey, Principle of Pragmatics, New York: Longman Linguistic Library,

1983 Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon G, Naturistic Inquiry, London: Sage Publication,

1985 Mahliatussikhah, Hanik, Ilmu Retorika Bahasa Arab I, Malang: Universitas Negeri

Malang, 2001 Mansyur, M. dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib wa al-Mutarjim, Jakarta: PT Moyo Segoro

Agung, 2002 Moleong, Lexy, L, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 1997 Muhsin, A. Wahab dan Wahab, T. Fuad, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah, Bandung:

Angkasa, t.t Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Bahasa Arab-Indonesia,

Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984 Nasution, D, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988 Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Maktabah al-

Mujallad al-Irâq, t.t Purwo, Bambang Kaswati, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum

1984, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qurân. Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-

Kattani, Jakarta: Gema Insani press, 1999

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 228: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

210

Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl Al-Qurân, Jeddah: Dâr al-‘Ilmi, 1986 Raghîb, Nabîl, Al-Qawâ’id al-Dzahabiyyah li Itqân al-Lughah al-‘Arabiyyah fî al-

Nahwi wa al-Sharfi wa al-Balâghah, Kairo: Maktabah Gharîb, 1982 Rahardi, Kunjana, Imperatif dalam Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Duta Wacana

University Press, 2000 Ramlan, Sintaksis, Yogyakarta: CV. Karyono, 1982 Rofi’uddin, A.H, Sistem Pertanyaan dalam Bahasa Indonesia, Disertasi tidak

diterbitkan, Malang: PPS IKIP Malang, 1994 Sa’di, Ali, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Beirut: Dâr al-Ihyâ’

al-Turâts al-‘Araby, 1999 Searle, John R, Indirect Speech Acts. Dalam Petter Cole dan Jerry L. Morgan, Syntax

and Semantics, New York: Academic Press, 1975 ____________, A Taxonomy of Illocutiony Acts. Dalam A. P. Martin, The Philosophy of

Language, New York: Oxford University Press, 2001 Shaleh, A.Q.A, dan Kulaib A.T, ‘Ilm al-Ma’âni, Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ud,

1410 H Shayigh, K. H, Al-Mushthalahat al-Nahwiyyah; Araby Injilizy, Beirut: Maktabah

Lubnan, 2000 Siddique, Kaukah, Menggugat Tuhan Yang Maskulin. Terjemahan oleh A. Maftukhin,

Jakarta: Paramadina, 2002 Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framming, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002, Cet, Ke-2

Soemarmo, Marmo, Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya, Jakarta: Lembaga

Bahasa Atmajaya, 1987 Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993 Suyono, Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya, Malang: YA3 Malang, 1990 Syamsuddin, Ibrâhîm, Marja’ al-Thullâb fî al-Insyâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

2000, Cet, Ke-1

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 229: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

211

Syihab, M. Quraisy, Lentera Hati, Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet, Ke-8 ________________, Tafsir al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2001 Syihab, Umar, Al-Qurân dan Rekayasa Sosial, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990 Thanthâwi, M. Sayyid, Mu’jam I’râbi Al-Fâzh Al-Qurân al-Karîm, Kairo: Idârah al-

Buhûts al-‘Ilmiyah, 1994 Umam, Khotibul, Al-Aghrâd al-Balâghiyyah min al- Istifhâm fî Sûrati Ali Imrân, Skripsi

tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qurân, Jakarta:

Paramadina, 1999 Verhaar, JW. M, Asas-Asas Lingistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

1999 Ziyad, Ahmad, Uslûb al-Istifhâm fî Sûrati Yûnus, Skripsi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN

Syarif Hidayatullah, 1995 Zuchdi, Dârmiyati, Panduan Penelitian Analisis Konten, Yogyakarta: Lemlit IKIP

Yogyakarta, 1993 Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulûmul Qurân, Surabaya: Karya Abditama, 1997

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 230: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

212

LAMPIRAN

KISI-KISI ANALISIS PENGGUNAAN

ADAWÂT AL-ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN

NO. NAMA DAN NO.URUT

SURAT

AYAT ADAWÂT AL-

ISTIFHÂM

1. AL-BAQARAH (2) 6 ء

ء 13

ماذا 26 كیف 28

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 231: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

213

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 232: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

213

PENGGUNAAN “ADAWÂT AL-ISTIFHÂM”

DALAM AL-QURÂN

NO.

NAMA DAN NO. URUT

SURAT

JUMLAH ISTIFHAM

JUMLAH

ISTIFHAM

DAN

AYAT أي كم أنى كیف أین أیان متى ما من ھل ء

1. AL-BAQARAH (2) 26 2 5 10 1 3 2 3 52/44

2. ALI IMRON (3) 12 1 3 6 4 4 30/28

3. AL-NISA’ (4) 12 4 6 4 26/21

4. AL-MAIDAH (5) 8 4 2 4 2 1 21/19

5. AL-AN’AM (6) 22 4 9 1 5 2 1 44/35

6. AL-A’RAF (7) 29 4 2 3 1 1 4 1 1 46/42

7. AL-ANFAL (8) 1 1/1

8. AL-TAUBAH (9) 10 2 1 2 1 1 20/18

9. YUNUS (10) 20 3 5 4 1 4 2 39/27

10. HUD (11) 15 2 3 1 21/17

11. YUSUF (12) 8 2 5 1 16/14

12. AL-RA’D (13) 6 2 1 9/7

13. IBRAHIM (14) 7 1 2 10/8

14. AL-HIJR (15) 2 1 3 6/5

15. AL-NAHL (16) 9 4 2 1 1 17/16

16. AL-ISRA’ (17) 10 1 1 1 2 1 1 17/14

17. AL-KAHFI (18) 8 3 2 1 1 1 1 17/16

18. MARYAM (19) 6 2 1 1 2 2 1 15/21

19. THAHA (20) 8 3 1 5 1 18/15

20. AL-ANBIYA’ (21) 17 3 2 1 1 1 25/22

21. AL-HAJJ (22) 6 1 7/7

22. AL-MUKMINUN (23) 13 3 1 1 18/17

23. AL-NUR (24) 4 4/4

24. AL-FURQAN (25) 9 2 2 13/10

25. AL-SYUARA’ (26) 20 5 3 1 1 1 31/30

26. AL-NAML (27) 16 1 4 4 1 3 1 30/24

27. AL-QASHASH (28) 10 1 2 2 1 1 1 18/16

28. AL-ANKABUT (29) 7 2 1 1 11/9

29. AL-RUM (30) 3 2 1 3 9/8

30. LUQMAN (31) 4 1 1 1 7/6

31. AL-SAJDAH (32) 8 1 1 1 11/7

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 233: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

214

32. AL-AHZAB (33) 1 1/1

33. SABA’ (34) 4 3 1 1 1 1 11/8

34. FATHIR (35) 5 2 1 2 1 11/8

35. YASIN (36) 13 2 1 1 17/17

36. AL-SHAFFAT (37) 18 1 6 2 27/24

37. SHAD (38) 4 1 1 6/6

38. AL-ZUMAR (39) 14 4 2 1 21/16

39. AL-MUKMIN (40) 5 2 2 1 1 3 2 1 17/14

40. FUSHILAT (41) 6 2 1 1 10/8

41. AL-SYURA (42) 1 1/1

42. AL-ZUHRUF (43) 10 1 1 1 1 1 15/14

43. AL-DUKHAN (44) 1 1 2/2

44. AL-JATSIYAH (45) 3 1 4/2

45. AL-AHQAF (46) 6 1 7/7

46. MUHAMMAD (47) 3 2 1 2 1 9/7

47. AL-FATH (48) 1 1/1

48. AL-HUJURAT (49) 2 2/2

49. QAF (50) 3 3 1 1 8/5

50. AL-DZARIYAT (51) 3 1 1 1 6/6

51. AL-THUR (52) 1 1/1

52. AL-NAJM (53) 6 1 1 8/8

53. AL-QAMAR (54) 3 6 4 13/13

54. AL-RAHMAN (55) 1 31 32/32

55. AL-WAQIAH (56) 11 11/10

56. AL-HADID (57) 2 1 2 5/5

57. AL-MUJADILAH (58) 4 4/4

58. AL-HASYR (59) 1 1/1

60. AL-SHAFF (61) 1 1 2 4/4

61. AL-TAGHABUN (64) 2 2/2

62. AL-TAHRIM (66) 1 1 2/2

63. AL-MULK (67) 9 1 2 1 2 1 16/14

64. AL-QALAM (68) 2 1 1 2 6/5

65. AL-HAQQAH (69) 1 2 3/3

66. AL-MAARIJ (70) 1 1 2/2

67. NUH (71) 1 1/1

68. AL-JIN (72) 1 1 2/2

69. AL-MUZAMMIL (73) 1 1/1

70. AL-MUDDATSIR (74) 4 2 6/6

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 234: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

215

71. AL-QIYAMAH (75) 4 1 1 1 7/7

72. AL-INSAN (76) 1 1/1

73. AL-MURSALAT (77) 3 1 2 6/6

74. AL-NABA’ (78) 1 1 2/2

75. AL-NAZIAT (79) 3 2 1 1 1 8/7

76. ‘ABASA (80) 1 1 1 3/2

77. AL-TAKWIR (81) 1 1 2/2

78. AL-INFITHAR (82) 3 1 4/4

79. AL-MUTHAFFIFIN (83) 1 1 2 4/4

80. AL-INSYIQAQ (84) 1 1/1

81. AL-BURUJ (85) 1 1/1

82. AL-THARIQ (86) 1 2 3/2

83. AL-GHASYIYAH (88) 1 1 3 4/4

84. AL-FAJR (89) 1 1 2/2

85. AL-BALAD (90) 3 1 4/4

86. AL-DHUHA (93) 1 1/1

87. AL-SYARH (94) 1 1/1

88. AL-THIN (95) 1 1 2/2

89. AL-ALAQ (96) 4 4/4

90. AL-QADAR (97) 1 1/1

91. AL-ZALZALAH (99) 1 1/1

92. AL-‘ADIYAT (100) 1 1/1

93. AL-QARI’AH (101) 3 3/3

94. AL-HUMAZAH (104) 1 1/1

95. AL-FIL (105) 2 2/2

96. AL-MA’UN (107) 1 1/1 TOTAL 96 SURAT 508 92 75 112 8 3 11 71 25 18 52 975

ISTIFHAM/

856 AYAT

PROSENTASE PENGGUNAAN

KATA TANYA

52,2

%

9,4% 7,7% 11,5

%

0,8% 0,3% 1,1% 7,3% 2,6% 1,8% 5,3% TOTAL 100

%

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 235: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

216

KISI-KISI ANALISIS POLA PENGGUNAAN

KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN

NO. NAMA & NO. URUT SURAT

AYAT FUNGSI TASHAWWUR/TASHDIQ

POLA

1

Al-Baqarah (2)

6 Tashawwur Mempertanyakan Obyek

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 236: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

217

KISI-KISI ANALISIS SASARAN ISTIFHÂM

YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN

NO. NAMA &

NO. URUT SURAT

AYAT SASARAN ISTIFHÂM

KATEGORI Langsung/Tidak

Langsung

IDENTITAS SASARAN

1

Al-Baqarah (2)

6 Orang Kedua Tunggal Laki-laki

(mudzakkar mufrad/masculine

singular)

Langsung Anta (kamu laki-laki)

(Muhammad SAW)

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 237: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

218

KISI-KISI ANALISIS JENIS ISTIFHÂM

YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN

NO. NAMA & NO. URUT

SURAT

AYAT MUTA KALLIM

MUKHA THAB

PEMBERI

JAWABAN

JENIS KARAK TERIST

IK

1

Al-Baqarah

(2)

6 Tuhan Hamba (Muhammad)

Retoris 1.Mutakallim Tuhan, Mukhathab Hamba

2.Berfungsi pragmatis (menghibur)

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Page 238: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali Ma'sum...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Ali Ma'sumPublish Year: 2007

219

KISI-KISI ANALISIS FUNGSI ISTIFHÂM

YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN

NO. NAMA & NO. URUT

SURAT

AYAT KONTEKS & KONDISI

KESESUAIAN

FUNGSI KATEGORI TINDAK

ILLOKUSI

KATEGORI TINDAK

PERLOKUSI

1

Al-Baqarah

(2)

6 1.Konteks: situasi dakwah, nabi menghadapi kekafiran 2.Kondisi Kesesuaian: -Mutakallim (Tuhan);Pemilik wahyu, Pengutus nabi, Pemberi hidayah -Mukhathab (nabi SAW);Rasul, merasa sedih atas kekafiran umatnya -Substansi pesan; Tuhan menghibur nabi SAW, karena tugas nabi hanya berdakwah, sedangkan hidayah adalah hak Tuhan

Menghibur Direktif Implisit (Tidak

tertuang langsung

dalam teks), yaitu agar nabi SAW

tidak berputus asa dalam berdakwah

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com