repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45707/1/Ali...
ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
ALI MA’SUM
NIM: 02.2.00.1.06.01.0102
PEMBIMBING
Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
i
ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
ALI MA’SUM
NIM: 02.2.00.1.06.01.0102
PEMBIMBING
Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah)
Tesis Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh ALI MA’SUM
NIM: 02.2.00.1.06.01.0102
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II Dr. H. MOH. MATSNA, MA Dr. Hj. FAIZAH ALI SYIBROMALISI, MA
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis yang berjudul ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN (Kajian Pragmatik
Terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah) telah diujikan dalam siding munaqasyah
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Februari 2007.
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
dalam Ilmu Agama Islam.
Jakarta, 26 Februari 2007
Sidang Munaqasyah
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Dr. Thoyib. IM
Penguji III/ Penguji IV/
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Moh. Matsna, MA Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan
salam juga peneliti haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Sebagai hamba-Nya
yang lemah serta memiliki banyak kekurangan, maka tidaklah mungkin peneliti dapat
menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu peneliti berkewajiban mengungkapkan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu peneliti. Berbagai
pihak yang peneliti maksudkan antara lain:
1. Pihak lembaga tempat peneliti menjalani studi, Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai dari pimpinan, tenaga
pengajar, hingga para staf, yang telah membantu proses studi peneliti, terutama
dalam penyelesaian tesis ini.
2. Pihak lembaga tempat peneliti mengabdikan ilmu, Jurusan Sastra Arab, Fakultas
Sastra, Universitas Negeri Malang (UM), yang telah memberikan kesempatan
yang sangat berharga bagi peneliti untuk berkonsentrasi menyelesaikan penulisan
tesis ini.
3. Yang terhormat Bapak Dr. H. Moh. Matsna, MA, dan Ibu Dr. Hj. Faizah Ali
Syibromalisi, MA, selaku pembimbing peneliti, yang di tengah kesibukan
mereka berdua, ternyata masih sempat meluangkan waktunya untuk
membimbing peneliti dalam penulisan tesis ini, sehingga dengan bimbingan dan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
v
arahan beliau berdua proses penulisan tesis ini dapat selesai. Semoga segala
urusan keduanya selalu dimudahkan Allah SWT, serta selalu mendapatkan ridha-
Nya.
4. Kepada semua keluarga di Tulungagung; Ibunda Yatingah, ayahanda Imam
Bahri (al-marhum), mas Ali Musthofa dan Istri, dan keluarga bapak H. Ahmad
Qosim. Tiada untaian kata-kata yang paling berharga yang dapat peneliti
haturkan selain terima kasih dari lubuk hati yang terdalam, karena atas do’a dan
bantuan mereka semua peneliti dapat menyelesaikan studi ini. Semoga segala
amal kebaikan mereka diridhai oleh Allah SWT.
5. Kepada semua keluarga di Malang; Ibunda Hj. Binti Maslamah, ayahanda H.
Fahrur Rozi, mbak Iin, mbak Izza dan dik Illa, dan dik Imron serta Istri. Terima
kasih yang tak terhingga atas semua do’a dan bantuannya. Semoga Allah selalu
meridhai.
6. Kepada yang selalu ada dalam hati, yang selalu setia menemani, dan yang selalu
mensuport penyelesaian tesis ini. Terima kasih istriku. Ku persembahkan tesis
ini sebagai “kado” buatmu.
7. Peneliti juga menghaturkan terima kasih kepada rekan-rekan angkatan 2002
konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab. Atas bantuan dan do’a mereka studi ini
dapat selesei. Semoga pertemuan yang singkat tidak menghalangi silaturahmi
kita selamanya.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
vi
Akhir kata, kepada Allah SWT lah peneliti memohon petunjuk dan berserah diri.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi bagian dari amal
saleh peneliti di akhirat nanti. Âmîn.
Jakarta, 26 Februari 2007
Peneliti
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan dalam tesis ini diadopsi dari Pedoman Transliterasi
Berdasarkan SK Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
No.158 tahun 1987 dan No.0543 b/1987 serta Pedoman Transliterasi Berdasarkan INIS
Fellow tahun 1991-1992.
A. Konsonan
th = ط Alif = ا
zh = ظ b = ب
‘ = ع t = ت
gh = غ ts = ث
f = ف j = ج
q = ق h = ح
k = ك kh = خ
l = ل d = د
m = م dz = ذ
n = ن r = ر
w = و z = ز
h = هـ s = س
= ء sy = ش
sh (Apostrof) = ص
y = ي dh = ض
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap (tasydîd) di tulis rangkap
Contoh : مق د مة = muqaddimah
mutaqaddimîn = متقدمين
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
viii
C. Vokal
1. Vokal Tunggal
Ø Fathah ditulis “a” contoh: ضرب = dharaba
Ø Kasrah ditulis “i” contoh: رحم = rahima
Ø Dhammah ditulis “u” contoh: كتب = kutub
2. Vokal Rangkap
Ø Vokal rangkap ــي (fathah dan wawu mati) ditulis “ai”
Contoh: زينب = zainab كيف = kaifa
Ø Vokal rangkap ــو (fathah dan wawu mati) ditulis “au”
Contoh: حول = haula قول = qaul
D. Vokal Panjang
Ø ـاـ dan ــى (fathah) ditulis â, contoh: قام = qâma
Ø ـــي (kasrah) ditulis î, contoh: رحيم = rahîm
Ø ـــو (dhammah) ditulis û, contoh: علوم = ‘ulûm
E. T â’ Marbûthah
Ø T â’ marbûthah yang mati atau mendapat harakat sukun ditulis “h”
Contoh: مةمكة المكر = Makkah al-Mukarramah
al-syarî’ah al-islâmiyyah = الشريعة االسالمية
Ø Tâ’ marbûthah yang hidup ditulis “t”
Contoh: الحكومة = al-hukûmatu
al-islâmiyyatu = االسالمية
F. Hamzah
Ø Huruf hamzah (ء) diawal kata ditulis dengan vokal tanpa didahului oleh tanda
apostrof ( )
Contoh: ایمان = îmân
islâm = اسالم
Ø Huruf hamzah (ء) yang mati atau mendapat harakat sukun, baik di tengah
maupun di akhir kata ditulis dengan menggunakan tanda apostrof ( )
Contoh: بئر = bi’r
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
ix
’imlâ = إمالء
G. Lafzh al-Jalâlah
Lafazh al-Jalâlah (اهللا) yang berbentuk frase nomina ditulis tanpa hamzah
Contoh: عبد اهللا = ‘Abdullâh
Jârullâh = جار اهللا
H. Kata Sandang (al-)
1. Kata sandang (al-) tetap ditulis (al-), baik pada kata yang dimulai dengan huruf
qamariyyah maupun syamsyiyyah.
Contoh: االماكن المقدسة = al-amâkin al-muqaddasah
al-siyâsah al-syar’iyyah = السیاسة الشرعیة
2. Huruf (a) pada kata sandang (al-) tetap ditulis dengan huruf kecil, meskipun
merupakan nama diri.
Contoh: الماوردي = al-mâwardi
3. Kata sandang (al-) di awal kalimat pada kata “ Allah dan Al-Qurân” ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh: Al-Afghânî adalah seorang tokoh pembaharu
Saya membaca Al-Qurân al-karîm
I. Singkatan-singkatan
SWT. = Subhânahu wa Ta’âla
SAW. = Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
A.s. = ‘Alaihi al-Salâm
Q.S. = Al-Qurân Surat
H. = Hijriyah
M. = Masehi
Cet. = Cetakan
t.p = Tanpa Penerbit
t.tp = Tanpa Tempat Penerbit
t.t = Tanpa Tahun
h. = Halaman
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
x
ABSTRAK
Ali Ma’sum, 2007. Istifhâm dalam Al-Qurân; Kajian Pragmatik terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab. Pembimbing (I) Dr. H. Moh. Matsna, MA. Pembimbing (II) Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA. Kata Kunci: Istifhâm, Al-Qurân, Kajian Pragmatik
Al-Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya. Sedangkan alat
yang digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab. Dalam melakukan interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam kalimat, diantaranya adalah kalimat pertanyaan (istifhâm). Istifhâm ini dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu kata tanya (adâwât al-istifhâm). Dalam Al-Qurân kesemua kata tanya (adâwât al-istifhâm) digunakan secara variatif sesuai dengan fungsinya masing-masing, akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata tanya hamzah menempati rating yang tertinggi, yaitu lebih dari 50% kalimat pertanyaan (istifhâm) dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya hamzah. Dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud dalam suatu wacana kadang tidak selalu linear dengan wujud formalnya. Hal ini juga berlaku bagi kalimat pertanyaan (istifhâm), yang mana disamping kalimat tersebut dapat digunakan untuk meminta informasi, kadang juga digunakan untuk fungsi lain berdasarkan konteks. Maka untuk mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya serta menemukan makna suatu wacana di luar wujud formalnya, dapat dilakukan melalui kajian pragmatik. Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis?Dan bagaimana implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatic yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek sintaksis, semantis, dan pragmatis, serta menganalisis dan memerikan implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân. Penelitian ini didesain secara kualitatif dengan menggunakan rancangan analisis isi. Data dalam penelitian ini adalah semua kalimat istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan model analisis isi yang diadaptasi dari Klaus Krippendorf. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilakukan melalui tiga tahap analisis, yaitu; analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis. Analisis aspek sintaksis meliputi; pola, sasaran (obyek), dan jenis istifhâm. Pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangat bervariasi, hal ini disamping semakin memperkuat pendapat beberapa tokoh sintaksis Arab yang menyatakan bahwa hamzah adalah adâwât al-istifhâm yang asli, juga secara praktis dapat digunakan sebagai alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis bahasa Arab (nahwu) dan mengarang (insya’). Sasaran (obyek) penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân juga sangat bervariasi, akan tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa Al-Qurân benar-benar merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya, proses interaksi berlangsung secara multiarah, bukan doctrinal-eksklusif, dan Al-Qurân juga merupakan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
xi
kompendium yang komprehensif bagi manusia. Sedangkan dari sisi jenisnya, istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân terbagi menjadi dua, yaitu; istifhâm retoris dan istifhâm aretoris. Hal ini secara teoritis dapat digunakan untuk mengoreksi jenis pembagian pertanyaan yang dikemukakan oleh Gorys Keraf, yaitu; pertanyaan retoris, pertanyaan aretoris, dan pertanyaan senilai dengan perintah, yang menurut peneliti memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah sebagai salah satu jenis pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan pertanyaan aretoris kurang representatif. Dari aspek semantis diketahui bahwa sangat sedikit sekali kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang digunakan untuk fungsi (makna) dasarnya yaitu bertanya, hal ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech act) dalam Al-Qurân sangat minim. Sedangkan dari aspek pragmatis diketahui bahwasanya istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sebagian besar digunakan bukan untuk fungsi (makna) dasarnya yaitu bertanya, akan tetapi untuk fungsi-fungsi (tindak) lain, hal ini menunjukkan bahwa kesantunan bahasa Al-Qurân sangat tinggi yang dibuktikan dengan prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) di dalamnya sangat besar. Hasil penelitian dari aspek semantis dan pragmatis ini juga dapat digunakan untuk; Pertama, menunjukkan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act). Akan tetapi prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) dalam Al-Qurân sangat besar, yang membuktikan bahwa bahasa dalam Al-Qurân memiliki kesantunan yang tinggi. Kedua, mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson yang mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat disampaikan dengan berbagai bentuk tuturan. Di samping itu, bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang ditemukan dalam penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional (traditional grammar) yang membagi kalimat menjadi tiga, yaitu, kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif. Dan juga untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang membagi kalimat berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat suruh. Ketiga, bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan struktural dan semantis dalam menganalisis wacana, terutama dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qurân. Hal ini dikarenakan dalam kedua pendekatan tersebut hanya bentuk dan makna saja yang diperhatikan, sedangkan konteks dimana wacana tersebut dipakai tidak diperhitungkan. Sehingga kedua pendekatan tersebut hanya akan mampu mengungkap makna internal dari suatu teks Al-Qurân dan tidak mampu menjangkau makna eksternalnya. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari sisi langkah analisisnya, maupun dari sisi hasil temuan, dapat digunakan untuk mereformulasi sistem pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Quran yang ada saat ini, baik dari sisi kurikulum, buku ajar, sistem pembelajaran, dan sumber daya manusia (pengajar).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
KATA PENGANTAR iv
PEDOMAN TRANSLITERASI vii
ABSTRAK x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL xiv
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Masalah Penelitian 7
C. Tujuan Penelitian 8
D. Kegunaan Penelitian 8
E. Penjelasan Istilah 10
F. Tinjauan Pustaka 12
G. Metodologi Penelitian 14
H. Teknik dan Sistematika Penulisan 20
BAB II. Istifhâm (Pertanyaan dalam Bahasa Arab ) 22
A. Pengertian Istifhâm 22
B. Klasifikasi Istifhâm 26
C. Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (Kata Tanya)
dalam Kalimat 29
BAB III. Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân 45
A. Pragmatik dan Ilmu Ma’âni 45
B. Cara Kerja Pragmatik dalam Menganalisis (Mengkaji) Wacana 52
C. Pijakan Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân 56
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
xiii
D. Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks)
Al-Qurân 62
BAB IV. Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 68
A. Analisis dan Pembahasan Hasil Kajian Pragmatik Penggunaan
Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 68
1. Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah
dalam Al-Qurân 68
a. Analisis Aspek Sintaksis 68
b. Analisis Aspek Semantis 99
c. Analisis Aspek Pragmatis 102
2. Pembahasan Hasil Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan
Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân 167
a. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Sintaksis 167
b. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Semantis dan Pragmatis 179
B. Implikasi Pedagogis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata
Tanya Hamzah dalam Al-Qurân dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni
dan Tafsir Al-Qurân 187
1. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni 189
2. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Tafsir Al-Qurân
BAB V. PENUTUP 198
A. Kesimpulan 198
B Saran 203
DAFTAR PUSTAKA 205
LAMPIRAN 212
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
xiv
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
1. Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 171
2. Jenis istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
dan karakteristiknya 176
3. Tindak Illokusi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam
Al-Qurân 180
4. Hasil analisis aspek semantis dan pragmatis istifhâm yang menggunakan
kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 187
5. Kisi-kisi analisis penggunaan adawât al-istifhâm dalam Al-Qurân 212
6. Penggunaan adawât al-istifhâm dalam Al-Qurân 213
7. Kisi-kisi analisis pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 216
8. Kisi-kisi analisis sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân 217
9. Kisi-kisi analisis Jenis istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân 218
10. Kisi-kisi analisis aspek semantis dan pragmatis istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân 219
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
xv
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qurân secara harfiah berarti bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan.
Al-Qurân al-Karîm berarti bacaan yang maha sempurna dan maha mulia. Kemaha
muliaan dan maha sempurnaan “bacaan” ini agaknya tidak hanya dapat dipahami oleh
para pakar, tetapi juga oleh semua orang yang mau menggunakan sedikit pikirannya. 1
Kemaha muliaan dan Maha sempurnaan Al-Qurân dibuktikan dengan fakta
bahwasanya tidak ada satu bacaan pun, selain Al-Qurân, yang dipelajari dan diketahui
sejarahnya bukan sekedar secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi tahun,
bulan, masa dan musim turunnya-malam atau siang bahkan sebab-sebab serta saat-saat
turunnya.
Disamping itu, tidak ada satu bacaan pun, selain Al-Qurân, yang dipelajari
redaksinya, bukan hanya dari segi penetapan kata demi kata dalam susunannya serta
pemilihan kata tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersurat dan tersirat,
bahkan sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.2
Al-Qurân disamping dianggap sebagai bacaan yang mencapai puncak
kesempurnaan, di dalamnya memuat undang-undang syarĭ’at dan sumber hukum Islam
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap orang Islam, serta memuat penjelasan
tentang halal dan haram, perintah dan larangan, juga tentang tuntunan berperilaku dan
1 M. Quraish, Syihab, Lentera Hati, (Bandung; Penerbit Mizan, 1997), Cet, ke-8, h. 24 2 ibid, h. 25.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
2
bersikap bagi seorang muslim.3 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibrâhîm, bahwasanya
Al-Qurân adalah perkataan (kalam) Tuhan yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW melalui perantaraan malaikat Jibril A.s. sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia di muka bumi ini.4
Berdasarkan uraian tentang Al-Qurân di atas, maka cocok kiranya kalau
Dr. Yusuf Qardhawi memberikan definisi yang singkat, tetapi komprehensif, yaitu: “Al-
Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hamba-Nya”.5 Sedangkan alat yang
digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab, sebagaimana dalam
firman-Nya;
إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلونArtinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qurân dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”6
Dalam melakukan interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam kalimat, antara
lain; kalimat pernyataan (jumlah khabariyah), kalimat perintah (amr), kalimat larangan
(nahi), kalimat pertanyaan (istifhâm), dan lain sebagainya. Istifhâm sebagai salah satu
ragam kalimat yang digunakan sebagai media interaksi dalam Al-Qurân, dalam
penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu kata tanya (adawât al-istifhâm),
yaitu; hamzah (Q.S. al-Nâziat (79): 27), hal (Q.S. al-Ghâsyiyah (88): 1), man (Q.S.
Yâsin (36): 52), mâ (Q.S. al-Syu’arâ’ (26): 23-24), matâ (Q.S. Yûnus (10): 48), ayyâna
3 Ahmad Musthafa al-Marâghi, Tafsĭr al-Marâghi, (Beirut; Dâr al-Fikr, tt), Juz. I, h. 5 4 M. Ismâ’îl Ibrâhîm, Al-Qurân wa I’jâzuhu al-‘Ilmi (Beirut: Dâr al-Fikr, 1951), h.12.5 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qurân, Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5. 6Al-Qurân surat Yusuf (12): 2
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
3
(Q.S. al-Qiyâmah (75): 6), aina (Q.S. al-An’am (6): 22), kaifa (Q. S. al-Isra’ (17): 48),
anna (Q.S. al-Baqarah (2): 223), kam (Q.S. al-Baqarah (2): 211), dan ayyu (Q.S.
Maryam (19): 73).
Dalam proses interaksi dalam Al-Qurân yang menggunakan ragam kalimat
istifhâm, kesemua kata tanya (adawât al-istifhâm) digunakan secara variatif dan sesuai
dengan fungsinya masing-masing, akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata
tanya hamzah menempati rating yang tertinggi, yaitu lebih dari 50% kalimat pertanyaan
(istifhâm) dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya hamzah. Untuk itulah peneliti
dalam penelitian ini memfokuskan topik kajiannya tentang penggunaan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân.
Disamping itu hamzah sebagai salah satu kata tanya yang terbanyak dipakai
dalam Al-Qurân, disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab sebagai asal dari
kata tanya (‘adawât al-istifhâm), atau adawât al-istifhâm yang asli. Tokoh-tokoh
tersebut antara lain; Ibnu Hisyâm dalam al-Mughninya mengungkapkan; “al-alifu ašl
adawât al-istifhâm.”7
Ibnu Ya’isy juga mengungkapkan dalam Syarh al-Mufasshalnya; ”Hamzah
adalah kata tanya (adawât al-istifhâm) yang asli dan bahasan yang pokok dalam bab
istifhâm. Hal ini dikarenakan hamzah dapat masuk dalam semua topik pembahasan
istifhâm (tashawwur dan tashdîq).8 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Mâlik dalam
7 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitab al-Asybah wa al-Nadzâir fî al-Nahw, (Beirut; Dâr al-Kutub al-
Arabi, tt), cet. 3, h. 140 8 ibid, h. 141
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
4
al-Mishbahnya; “Kata tanya-kata tanya selain hamzah merupakan pengganti dari
hamzah.”9
Kata tanya hamzah yang disinyalir sebagai kata tanya yang asli dapat digunakan
untuk mencari pengetahuan atau infomasi tentang dua hal, yaitu; (a) menanyakan satuan
atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur) dan (b) menanyakan tentang
nisbah (tashdĭq). Hal inilah yang membedakannya dengan kata tanya-kata tanya yang
lain, karena kata tanya hal hanya digunakan untuk menanyakan nisbah (tashdĭq),
sedangkan selainnya hanya dapat digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari
gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur).10
Dalam pandangan Searle, pertanyaan yang dikemukakan oleh penutur tidak
hanya untuk meminta informasi, tetapi dapat juga digunakan untuk permohonan.11 Hal
ini juga berlaku dalam konteks bahasa Arab bahwasanya istifhâm (pertanyaan) di
samping dapat digunakan untuk meminta informasi, kadang-kadang dapat digunakan
untuk fungsi lainnya berdasarkan konteks.12
Berdasarkan pandangan Searle dan Al-Hâsyimi di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud
dalam suatu wacana tidak selalu linear dengan wujud formalnya. Dengan kata lain, suatu
wacana termasuk ayat Al-Qurân yang wujud formalnya berbentuk istifhâm tidak selalu
berfungsi untuk meminta informasi atau menanyakan sesuatu yang belum diketahui oleh
9 Sayyid al-Jumali, Al-Balâghah al-Qurâniyah, (Kairo; Dâr al- Ma’rifah, 1993), h. 180 10Al-Sakâki, Miftâh al-Ulŭm, (Libanon; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), Cet.I, h. 308 11John Searle, Indirect Speech Acts, Dalam Petter Cole dan Jerry L. Morgan (Eds), Syntax and
Semantics Volume 3, (New York; Academic Press, 1975), h. 912 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’ (Indonesia;
Dâr Ihya al- Kutub al-‘Arabiyah, 1960), h. 94-95
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
5
penutur saja, akan tetapi ada fungsi lain berdasarkan konteks atau realitas sosial yang
melahirkan wacana tersebut.
Demikian pula suatu tuturan yang wujud formalnya tidak berbentuk istifhâm
terkadang dapat digunakan pula untuk meminta informasi. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Kartomihardjo: ”Bahwa sebuah ujaran bisa diinterpretasikan sebagai
pemberitahuan, ucapan kegembiraan, mengingatkan orang yang diajak bicara tentang
janjinya yang terdahulu dan sebagainya.”13
Untuk menentukan makna suatu wacana di luar wujud formalnya, dapat
dilakukan melalui pendekatan pragmatik. Pragmatik sebagai salah satu teori dalam ilmu
bahasa mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari
penentuan pemahamannya.14 Hal senada juga diungkapkan oleh Brown dan Yule15,
bahwasanya penganalisisan suatu wacana (teks) harus mempertimbangkan konteks
tempat terjadinya suatu wacana dan untuk menafsirkannya diperlukan pemahaman
terhadap siapa penutur dan petuturnya, serta waktu dan tempat wacana itu dihasilkan.
Dalam kaitannya dengan kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam
Al-Qurân, pemahaman konteks atau sosio-historis (asbâb al-nuzûl) maupun konteks
dalam ayat atau antar ayat amatlah penting. Hal ini beralasan karena antara pesan yang
dimaksud oleh ayat yang berbentuk istifhâm terkadang tidak selalu linear dengan wujud
formalnya.
13 Soeseno Kartomihardjo, Analisis Wacana dan Penerapannya, (Malang; IKIP Malang, 1992),
h. 4 14 Stephen C. Levinson, Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 1992), h. 21 15 Gillian Brown dan George Yule, Discourse Analysis (New York: Cambridge University Press,
1985), h. 27
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
6
Begitu penting pemahaman terhadap konteks atau sosio-historis (asbâb al-nuzûl)
sebagai piranti dalam memaknai ayat Al-Qur’ân, bahkan di kalangan ulama muhaqqiqûn
mengharamkan seseorang yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qurân tanpa
mengetahui asbâb al-nuzûl.16 Pendapat lain juga diungkapkan oleh Al-Shâbûni; “Bahwa
sebagian ayat-ayat Al-Qurân tidak dapat dipahami secara utuh, tanpa mengetahui asbâb
al-nuzûlnya.”17
Syihab pun juga menegaskan bahwasanya Al-Qurân tidak diturunkan dalam
masyarakat yang hampa budaya, melainkan ke masyarakat yang syarat dengan nilai-nilai
kultural, berikut ikatan-ikatan primordialnya masing-masing, serta turun dalam masa
cara benar, tidak terbatas pada aspek formalnya, melainkan juga aspek fungsionalnya.18
Oleh karena itu Hidayat mengungkapkan bahwasanya untuk dapat memahami
pesan yang terdapat di dalam Al-Qurân secara utuh, maka harus dicapai melalui cara-
cara yang benar, yakni suatu pemahaman yang tidak hanya terbatas pada aspek
formalnya melainkan juga aspek fungsionalnya.19
Berkaitan dengan uraian di atas, maka patutlah kiranya jika peneliti ingin
mengkaji penggunaan redaksi istifhâm dalam Al-Qurân, khususnya yang menggunakan
kata tanya hamzah dari sudut pandang kajian pragmatik sebagai topik penelitian ini,
dengan mengambil judul; “Istifhâm dalam Al-Qurân (Kajian Pragmatik terhadap
Penggunaan Kata Tanya Hamzah)
16 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulum Al-Qurân, (Surabaya; Karya Abditama, 1997), h. 97 17 M. Ali al-Shâbûni, Al- Tibyân fi Ulûm Al-Qurân, (Makkah; Kulliyah al-Syarîah wa al-Dirâsat
al-Islâmiyyah, 1980), h. 17 18Umar Syihab, Al-Qurân dan Rekayasa Sosial, (Jakarta; Pustaka Kartini, 1990), h, 9 19 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta;
Paramadina, 1996), h. 5
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
7
B. Masalah Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang dapat diklasifikasikan seputar wacana dalam Al-Qurân yang
mengandung fungsi istifhâm, antara lain;
a. Ragam kalimat dalam Al-Qurân yang berfungsi istifhâm,
b. Kalimat istifhâm dalam Al-Qurân dengan berbagai macam kata tanyanya,
c. Penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân.
2. Batasan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan di atas, maka permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada permasalahan yang ketiga, yaitu;
Pengunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, khususnya ditinjau dari kajian
pragmatik.
3. Rumusan Masalah
Beranjak dari batasan masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian
ini, sebagai berikut; Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau
dari kajian pragmatik?, yang terbagi ke dalam dua sub pembahasan, yaitu;
a. Bagaimana penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian
pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu analisis aspek sintaksis, aspek
semantis, dan aspek pragmatis?
b. Bagaimana implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-
Qurân?
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
8
C. Tujuan Penelitian
Berpijak pada permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah di
atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memerikan penggunaan kata
tanya hamzah dalam Al-Qurân ditinjau dari kajian pragmatik dan dijabarkan ke dalam
dua sub pembahasan, yaitu;
1. Menganalisis dan memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
ditinjau dari kajian pragmatik, yang meliputi tiga langkah, yaitu; analisis aspek
sintaksis, aspek semantis, dan aspek pragmatis.
2. Menganalisis dan memerikan implikasi pedagogis kajian pragmatik penggunaan
kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir
Al-Qurân .
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif, baik secara
teoritis, praktis, maupun teologis.
1. Kegunaan Secara Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini minimal memberikan dua manfaat
seperti di bawah ini, yaitu:
a. Memberikan pengetahuan baru tentang wujud formal redaksi istifhâm dalam Al-
Qur’ân yang menggunakan kata tanya hamzah, serta wawasan tentang makna
semantis dan fungsi pragmatisnya. Sehingga berimplikasi bahwa pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-Qurân tidak semata-mata didasarkan pada redaksi ayat
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
9
secara literal saja melainkan harus didasarkan pada pemahaman secara
komprehensif dengan melihat konteks yang ada.
b. Selain dapat memperkokoh teori pragmatik (tindak tutur) yang sudah ada dan
memperkaya teori tersebut dengan ditemukannya fungsi tuturan baru selain yang
telah dikemukakan oleh para pakar pragmatik, juga dapat digunakan untuk
mengoreksi teori yang sudah ada.
2. Kegunaan Secara Praktis
Secara praktis, diharapkan pula hasil penelitian ini minimal memberikan dua
manfaat, yaitu;
a. Dapat digunakan sebagai masukan untuk mereformulasi dan mengembangkan
sistem pembelajaran ilmu ma’âni yang sudah ada, baik dari aspek kurikulumnya,
buku ajar, sistem pembelajaran, maupun sumber daya manusianya (pengajar).
b. Dapat digunakan sebagai masukan untuk mereformulasi dan mengembangkan
sistem pembelajaran tafsir Al-Qurân, yaitu dengan menggunakan pendekatan
kontekstual.
3. Kegunaan Secara Teologis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi umat Islam secara umum,
agar keyakinan mereka tentang keistimewaan Al-Qurân bertambah, yaitu disamping Al-
Qurân merupakan kitab suci yang mengandung pedoman sistem nilai kehidupan dan
fenomena spiritual, Al-Qurân juga mengandung keistimewaan dari segi fenomena
keilmuan, salah satunya adalah fenomena ilmu bahasa yaitu dengan digunakannya
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
10
bahasa yang pragmatis di dalam Al-Qurân sebagai media interaksi antara Tuhan dan
hamba-Nya
E. Penjelasan Istilah
Judul tesis ini tersusun dari beberapa istilah yang pengertian-pengertiannya perlu
didefinisikan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan lebih lanjut.
Istifhâm merupakan istilah dalam bahasa Arab yang secara etimologi merupakan
bentuk mashdar dari kata istafhama yang berarti istaudhaha.20 Kata istifhâm dibentuk
dari akar kata fahima mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu
fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian istifhâm berarti permintaan
penjelasan, permintaan keterangan, kata tanya, atau menuntut keterangan (thalab al-
fahm).21
Sedangkan pengertian istilah istifhâm ini secara terminologi, salah satunya
adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa al-Marâghi: “Bentuk kalimat yang
dipergunakan untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang suatu masalah yang
belum diketahui sebelumnya.”22 Dan dalam bahasa Arab pada umumnya istifhâm ini
terletak di awal kalimat dan dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah satu
kata tanya (adawât al-istifhâm).
Hamzah merupakan salah satu kata tanya (adawât al-istifhâm). Hamzah ini
disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab, diantaranya; Ibnu Hisyâm, Ibnu
20 Azizah Fuwal, Al-Mu’jam al-Mufasshal, (Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah. 1992), h. 87 21Jalaluddin al-Suyûti, Al-Itqân fi Ulûm Al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 911 H), jilid. II, h. 79 22Ahmad Musthafa al-Marâghi, Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-Badî’,
(Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), jilid I, h. 89
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
11
Yaisy, dan Ibnu Mâlik sebagai kata tanya yang asli, sedangkan yang lainnya merupakan
pengganti (naib) darinya.23 Kata tanya selain hamzah adalah; hal, man, mâ, matâ, kaifa,
ayyâna, aina, anna, kam, dan ayyu.24
Dalam penggunaannya, kata tanya hamzah ini dapat digunakan untuk
menanyakan tentang dua hal, yaitu terkadang digunakan untuk menanyakan sesuatu atau
mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), dan terkadang juga bisa digunakan
untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq).25 Hal inilah yang menunjukkan
keunikannya serta membedakannya dari kata tanya-kata tanya yang lain.
Al-Qurân adalah merupakan media interaksi antara Tuhan dan hambaNya.26
Sedangkan alat yang digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab (Q.S.
Yusuf (12): 2). Dalam melakukan interaksi ini, Al-Qurân menggunakan beragam
kalimat diantaranya adalah kalimat pertanyaan (istifhâm).
Pragmatik adalah salah satu teori dalam ilmu bahasa yang mengkaji hubungan
antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya.27
Sedangkan kajian pragmatik dalam tesis ini akan dilakukan berdasarkan cara kerja
pragmatik dalam menganalisis wacana yang meliputi analisis aspek sintaksis dilanjutkan
dengan analisis aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.28
23 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit. 24 Abd Quds Abu Shalih, Kitab al-Balâghah Ilm al-Ma’âni wa al-Badî’, (Kerajaan Saudi Arabia;
Jamiah al-Imam Ibn Suud, 1403 H), h. 94 25 Ahmad al-Hâsyimi, Op cit, h. 85 26 Yusuf Qardhawi, Loc cit. 27 Stephen C. Levinson, Loc. cit 28 M. Ainin, Pertanyaan dalam Al-Qurân; Suatu Tinjauan Pragmatik dalam al-Hadârah,
(Yogyakarta; UGM Press, h. 126
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
12
Dari penjelasan istilah-istilah tersebut jadi yang dimaksud “Istifhâm dalam
Al-Qurân” (Kajian Pragmatik terhadap Penggunaan Kata Tanya Hamzah) adalah kajian
pragmatik terhadap ayat-ayat Al-Qurân yang beredaksi istifhâm, khususnya yang
ditandai dengan kata tanya hamzah, sehingga nantinya dapat dicapai pemahaman yang
utuh dan benar terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qurân tersebut, yang
mana pemahaman tersebut tidak hanya terbatas pada aspek formalnya saja, melainkan
juga aspek fungsionalnya.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai redaksi istifhâm dalam Al-Qurân memang telah banyak
dilakukan, baik dalam kitab-kitab klasik maupun dalam buku-buku hasil penelitian
dewasa ini. Namun sejauh penelaahan peneliti belum ditemukan pembahasan khusus
mengenai kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân.
Dalam buku-buku Ûlûm Al-Qurân, diantaranya; Al-Burhân fî Ûlûm Al-Qurân
karya Al-Zarkasyi, Al-Itqân fî Ûlûm Al-Qurân, karya al-Suyûthi, dan sebagainya, di
dalamnya memang dibahas tentang redaksi istifhâm, baik dari sisi kata tanyanya,
pembagiannya, maupun fungsinya. Akan tetapi sistem penjabarannya sangat singkat,
yaitu hanya menjabarkan fungsinya kemudian diambilkan beberapa contoh dari Al-
Qurân tanpa menjelaskan konteks yang melatarbelakangi ayat tersebut sehingga
berfungsi sebagaimana yang dijabarkan.
Sedangkan dalam buku-buku ilmu Balâghah yang peneliti bisa dapatkan,
diantaranya: Jawâhir al-Balâghah fî al- Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’ karya Ahmad
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
13
al-Hâsyimi, Al-Balâghah al-Wâdhihah karya Ali Jarim dan Musthafa Amin, Al-
Balâghah Al-Qurâniyah karya Sayyid Al-Jumali, dan sebagainya. Istifhâm merupakan
salah satu pembahasan dalam ilmu ma’âni, akan tetapi penjabaran dalam buku-buku
tersebut masih terlalu global dan bersifat dogmatis, yaitu terbatas pada penyajian contoh
yang terkadang tidak utuh dan jenis tindak tuturnya (fungsi) tidak disertai dengan
penjelasan konteks yang memadai.
Adapun hasil-hasil penelitian tentang istifhâm dalam Al-Qurân yang peneliti
temukan antara lain; skripsi dengan judul “Al-Aghrâd al-Balâghiyah min al- istifhâm fî
Sûrati Ali Imron” karya Khotibul Umam dan “ Uslûb al- istifhâm fî Sûrati Yûnus” karya
Ahmad Ziyad. Keduanya adalah mahasiswa Jurusan BSA Fakultas Adab UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kedua skripsi tersebut hanya membahas tentang redaksi istifhâm
dalam salah satu surat Al-Qurân dengan menggunakan kajian ilmu ma’âni.
Skripsi lain yang peneliti temukan adalah skripsi karya Bon Aghwar salah satu
mahasiswa Jurusan BSA Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul
“Adawât al-istifhâm fî al-Lughah al-Arabiyah wa al-Lughah al-Injiliziyah (Dirâsah
Taqâbuliyah)” Dia berusaha mengkomparasikan antara kata tanya dalam bahasa Arab
dan bahasa Inggris, sehingga hasil penelitian memerikan tentang karakteristik dan sisi
persamaan serta perbedaan antara kata tanya dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Berlandaskan pada kepustakaan yang ada, peneliti ingin menerapkan suatu
pendekatan kebahasaan yang baru, yaitu pendekatan pragmatik untuk mengkaji
penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, sehingga hasil penelitian ini
diharapkan bisa memerikan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dengan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
14
lebih detail dan keterbacaannya bisa lebih luas lagi, karena pendekatan pragmatik bisa
diterapkan untuk semua bahasa.
G. Metodologi Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif.29 Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini terdapat sebagian karakteristik penelitian kualitatif,
diantaranya: (1) data berupa dokumen yang bersifat alamiah (natural setting), (2)
pengambilan sampel ditetapkan secara purposif, (3) peneliti sebagai instrumen kunci
dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data, (4) analisis data secara induktif,
dan (5) makna merupakan hal yang esensial. 30
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan rancangan analisis isi. Analisis isi ini
digunakan berdasarkan pada: (1) sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen,
(2) masalah yang dianalisis adalah isi komunikasi, dan (3) tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan isi komunikasi dan membuat inferensi.31
2. Instrumen Penelitian
Sebagai penelitian yang bersifat kualitatif, instrumen kunci dalam penelitian ini
adalah human instrumen32, artinya, penelitilah yang mengumpulkan data, menyajikan
Lexy L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung; Rosda Karya, 1997), Cet.
Ke-8, h. 6. Dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.
21 Robert. C. Bogdan & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. (London; Allyn and Bacon, Inc, 1982), h. 10
31 Darmiyati Zuchdi, Panduan Penelitian Analisis Konten, (Yogyakarta; Lemlit IKIP Yogyakarta, 1993), h. 15. Istilah inferensi berarti menarik atau mengambil kesimpulan.
32 Robert. C. Bogdan & Sari Knopp Bicklen. Loc. Cit. Lihat pula D. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. (Bandung; Tarsito, 1988), h. 55. juga Kinayati Djojosuroto, Prinsip-prinsip Dasar
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
15
data, mereduksi data, mengorganisasi data, memaknai data, dan menyimpulkan hasil
penelitian.
Penggunaan manusia (peneliti) sebagai instrumen kunci dalam penelitian ini
karena penelitilah yang lebih memahami data sesuai dengan masalah penelitian,
memahami konteks, dan memaknai data penelitian. Selain instrumen kunci (peneliti),
dalam proses pengumpulan dan analisis data, peneliti juga menggunakan alat bantu
berupa panduan dan kisi-kisi analisis (lihat lampiran).
3. Data dan Sumber Data Penelitian.
Data dalam penelitian ini adalah kalimat istifhâm yang menggunakan kata tanya
hamzah yang terdapat dalam teks Al-Qurân. Data ditetapkan secara purposif, artinya,
data dalam penelitian ini dianalisis sampai informasi yang ditemukan sudah mencapai
variasi maksimum (tidak ditemukan informasi baru).
Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu; sumber data
primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Al-Qurân al-Karim.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini antara lain;
1) Buku asbâb al-nuzûl
♦ Asbâb al-nuzûl Karya Al-Wâhidy al-Naisâbûry
Penelitian Bahasa dan Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2000). Cet.1, h. 28. “Penelitian Kuallitatif mempunyai Setting Natural sebagai sumber data yang langsung dan peneliti adalah Kunci Instrumen”.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
16
♦ Lubâb al-nuqul fi asbâb al-nuzûl Karya Al-Suyûthi, dll
2) Buku Tafsir (terutama buku-buku tafsir bil ma’tsur)
♦ Jâmi’ al-bayân fi tafsîr Al-Qurân Karya Ibn Jarîr al-Thabary
♦ Tafsîr Al-Qurân al-karîm Karya Ibn Katsîr, dll
3) Buku ilmu Balaghah
♦ Al-bâlaghah Al-Qurâniyyah Karya Sayyid al-Jumaily
♦ Al-îdhah fî ulûm al-balâghah Karya Al-Qazwiny, dll
4) Buku ilmu Nahwu
♦ Al-adawât al-nahwiyyah wa ma’ânîhâ fi Al-Qurân al-karîm Karya M.A Sulthâni
♦ Kitâb al-asybah wa al-nadzâir fi al-nahwi Karya Al-Suyûthi,
dll
5) Buku Pragmatik
♦ Pragmatic Karya Stephen C. Levinson
♦ The Principles of pragmatics Karya Geoffrey Leech, dll.
4. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumentasi. Dalam pengumpulan data ini, peneliti mengidentifikasikan setiap kalimat
istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang terdapat dalam teks Al-Qurân.
Proses identifikasi tersebut dimulai dari ayat pertama dalam surat pertama (surat al-
Fâtihah) sampai ayat terakhir dalam surat terakhir (surat al-Nâs).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
17
Hasil identifikasi tersebut dicatat berdasarkan kisi-kisi analisis penggunaan adawât
al-istifham dalam Al-Qurân (lihat lampiran). Agar hasil identifikasi ini benar-benar
akurat, maka dilakukan berulangkali.
5. Prosedur Analisis Data
Berpijak pada tujuan penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara Kualitatif.
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis isi yang
di adaptasi dari Klaus Krippendorf. 33 Maka langkah-langkah yang dilakukan oleh
peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut;
1. Membaca teks (ayat) Al-Qurân secara keseluruhan (observasi mentah).
2. Menentukan unit (unitisasi). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Klaus
Krippendorf; “Unitisasi meliputi penetapan unit-unit, memisahkan data menurut
batas-batasnya, dan mengindentifikasi data untuk analisis berikutnya.34 Dalam
unitisasi ini, peneliti mengidentifikasi dan memisah-misahkan antara teks (ayat)
Al-Qurân yang berbentuk istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dengan
teks (ayat) yang lainnya.
3. Menetapkan data yang dianalisis (sampling). Cara penetapan sampel dalam
penelitian ini sebagaimana yang telah diuraikan pada butir data dan sumber data
penelitian.
4. Membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk di
analisis sesuai yang tertera dalam dokumen.
33 Klaus Krippendorf. Content Analysis An Intruduction to its Metodology, (London; Sage
Publication, 1980), h. 54. 34 Ibid, h. 57
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
18
5. Mereduksi data, (terkadang tahapan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan
unitisasi). Dalam mereduksi data ini, peneliti memilih dan memilah data yang
relevan dan yang kurang relevan untuk dianalisis. Dengan kata lain, data yang
relevan dengan tujuan penelitian ini dianalisis, sedangkan data yang kurang
relevan dengan tujuan penelitian tidak di analisis (disisihkan).
6. Membuat inferensi terhadap data yang telah di identifikasi. Dalam hal ini,
peneliti menggunakan konstruk analisis, yaitu suatu upaya mengoperasikan
pengetahuan analisis tentang saling ketergantungan antara data dan konteks.35
Dengan demikian, dalam pembuatan inferensi, terutama inferensi tentang analisis
aspek semantis (makna) dan pragmatis (fungsi), peneliti mengkaji konteks atau
asbâb al-nuzûl ayat yang beredaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya
hamzah, serta mengkaji penjelasan yang diungkapkan oleh para ahli tafsir.
Hasil inferensi selanjutnya dikategorikan bedasarkan pembagian tindak illokusi
yang dikemukakan oleh Leech, yaitu tindak asertif, direktif, komisif, ekspresif,
dan rogatif.36
Selain itu untuk memperkuat interpretasi, selain menggunakan konteks (asbâb
al-nuzûl) maupun melalui pandangan para ahli tafsir, peneliti juga menggunakan
facility conditions (kondisi kesesuaian).37 Dalam kondisi kesesuaian ini dicermati
35 Ibd, h. 99 36 Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics, (New York: Longman Linguistic Library, 1983), h.
105-106. Lihat juga John R. Searle, A Taxonomy of Dictionary Acts, dalam A.P Martin (Ed), The Philosophy of Language. (New York: Oxford University press, 2001). Edisi. 4, h. 97. Penjelasan dan penjabaran secara mendetail mengenai pembagian tindak illokusi terdapat pada bab III (Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân).
37 Abd Syukur, Ibrâhîm, Kajian Tindak Tutur, (Surabaya; Usaha Nasional, 1992), h, 35
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
19
kondisi kesesuaian dari tiga sisi, yaitu: dari sisi penutur (mutakallim), petutur
(mukhathab), dan pesan tuturan.
7. Melakukan analisis dan membahas hasil analisis. Kegiatan yang dilakukan dalam
menganalisis data adalah menentukan lalu mengklasifikasikan (membuat
kategori) kemudian menjelaskan penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-
Qurân berdasarkan analisis aspek sintaksis (pola, sasaran, dan jenis), aspek
semantis (makna), dan aspek pragmatis (fungsi) berdasarkan hasil inferensi.
8. Melakukan Validasi. Teknik validasi atau keabsahan temuan yang dipakai oleh
peneliti adalah sebagaimana yang akan diuraikan pada butir berikut (Keabsahan
Temuan).
6. Keabsahan Temuan
Untuk memperoleh hasil analisis atau temuan yang sahih, maka sejak proses
pengumpulan data sampai pada tahap analisis digunakan teknik pensahih data yang
diadaptasi dari Lincoln dan Guba,38 sebagai berikut :
1. Observasi terus menerus (persistent observation) atau membaca dan mengkaji
terhadap sumber data.
2. Memanfaatkan sumber diluar data yang dianalisis (trianggulasi).
3. Mendiskusikan dengan teman sejawat dan pihak lain yang dipandang ahli
(perdebreifing).
4. Memeriksa kembali data dan catatan yang ada (referencial adequacy check).
38 Yunna S. Lincoln dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry. (London; sage Publication, 1985),
h. 201
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
20
Dalam memanfaatkan sumber di luar data yang dianalisis (trianggulasi), peneliti
mengadaptasi model trianggulasi yang dikemukakan oleh Cohen dan Manion.39 Model
yang dimaksud adalah trianggulasi teori, peneliti dan metodologi. Dalam penelitian ini,
jenis trianggulasi yang digunakan adalah trianggulasi peneliti dan Metodologi.
Trianggulasi peneliti dilakukan dengan cara meminta bantuan para ahli yang
berkompeten untuk memeriksa hasil analisis, misalnya ahli sintaksis bahasa Arab, ahli
pragmatik, ahli tafsir, dan sebagainya.
Sedangkan Trianggulasi metodologi dilakukan dengan cara pemanfaatan
berbagai sumber (dokumen) lain yang relevan. Sumber (dokumen) lain yang dimaksud
antara lain buku tafsir dan buku-buku asbâb al-nuzûl. Hal ini dilakukan, karena
diharapkan dari kedua jenis buku tersebut bisa diperoleh informasi penting tentang
konteks atau asbâb al-nuzûl, maupun penjelasan para ahli tafsir mengenai maksud suatu
teks (ayat) yang dianalisis.
H. Teknik dan Sistematika Penulisan
1. Teknik Penulisan
Untuk menghindari kesalahan dalam penulisan dan memudahkan dalam
pemahaman terhadap tulisan ini, maka peneliti menggunakan metode penulisan tesis
yang mengacu pada buku: “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang
diterbitkan oleh UIN Jakarta Press tahun 2002.
39 L. Cohen dan L. Manion, Research Methods in Education, (London: Routledge, 1994), h. 56
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
21
2. Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini disusun dalam lima bab. Satu bab pendahuluan,
tiga bab pembahasan sebagai hasil penelitian, dan satu bab penutup. Setiap bab
mengandung pasal yang merupakan pokok bahasan dari setiap bab.
Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan istilah,
tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan teknik serta sistematika penulisan.
Bab Kedua pembahasan difokuskan pada istifhâm (pertanyaan dalam bahasa
Arab) yang meliputi: pengertian istifhâm, klasifikasi istifhâm, dan aplikasi penggunaan
adawât al-istifhâm (kata tanya) dalam kalimat.
Bab Ketiga berisikan tentang pragmatik dalam mengkaji wacana (teks) Al-
Qurân yang meliputi: pragmatik dan ilmu ma’âni, cara kerja pragmatik dalam
menganalisis (mengkaji) wacana, pijakan pragmatik dalam mengkaji wacana (teks) Al-
Qurân, dan teori tindak tutur dalam mengkaji fungsi pragmatik wacana (teks) Al-Qurân.
Bab Keempat berisikan inti pembahasan, yaitu analisis dan pembahasan hasil
kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang meliputi: analisis
aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis. Serta implikasi
pedagogis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dalam
pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân.
Bab Kelima penutup berupa kesimpulan dan saran.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
22
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
BAB II
ISTIFHÂM
(Pertanyaan dalam Bahasa Arab)
A. Pengertian Istifhâm
Istifhâm -sebagai salah satu kalam insyâ’ thalabi1-secara etimologi merupakan
mashdar dari kata istafhama yang berarti istaudhaha.2 Kata istifhâm berasal dari akar
kata fahima yang berarti faham, mengerti, dan jelas.3. Bentuk mashdar kata fahima
adalah fahm artinya mengetahui sesuatu dengan baik.4 Sehingga kalimat “fahima al-amr
aw al-ma’na” dipahami dengan seseorang mengetahui sesuatu atau makna tertentu serta
memiliki pengertian dan gambaran yang baik tentang hal tersebut.5
Al-Fahm juga dirumuskan sebagai suatu keadaan (haiât) jiwa manusia yang
sanggup menentukan apa yang terbaik.6 Kata ini terutama dipergunakan untuk
1 Ibrâhim Syamsudin dalam Marja’ al-Thullâb fi al-Insyâ’-nya mengungkapkan bahwa dalam
ilmu ma’âni, tuturan atau kalâm dibagi menjadi dua, yaitu kalâm khabar dan kalâm insyâ’. Kalâm khabar adalah tuturan yang di dalamnya mengandung suatu kebenaran maupun kebohongan karena adanya suatu tuntutan kesesuaian antara konteks kalimat dan fenomena yang berlangsung. Sedangkan kalâm insyâ’ adalah tuturan yang di dalamnya tidak mengandung suatu unsur kebenaran maupun kebohongan. Kalâm insyâ’ terbagi menjadi dua, yaitu kalâm insyâ’ thalabi (tuturan yang dipergunakan untuk mengungkapkan permintaan), dan kalâm insyâ’ ghair al-thalabi (tidak dipergunakan untuk mengungkapkan permintaan). Di tambahkan oleh Al-Hâsyimi dalam Jawâhir al-Balâghah-nya , dari kedua jenis kalâm insyâ’ tersebut, yang menjadi kajian dalam ilmu ma’âni adalah kalâm insyâ’ thalabi yang terdiri dari istifhâm (pertanyaan), amr (perintah), nahy (larangan), tamanî (mengkhayal), dan nidâ’ (panggilan).
2 Azizah Fuwal, Loc. Cit. 3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta; Ponpes al-
Munawwir Krapyak, 1984) h. 1156 4 ibid 5 M. Ismâil Ibrâhim, Mu’jam al-Alfâdz wa al-A’lâm Al-Qurâniyah, (Beirut; Dâr al-Fikr al-Arabi,
tt). h. 407 6 Husain, Abd al-fatah, al-Ifshah fi al-Lughah, (Kairo; Dâr al-Fikr al-Arabi, tt) h. 149. Lihat pula
Al-Raghib al-Isfahâni. al-Mufradât fi Gharib Al-Qurân (Mesir; Musthafa al-Bâb al-Halabi wa Aulâduh, 1961), h. 386
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
23
memahami tuturan (kalâm). Sedangkan sekelompok para ahli lain berpendapat bahwa
al-fahm juga dipergunakan untuk memahami jenis keterangan lainnya seperti isyarat.7
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kata al-fahm
menunjukkan kualitas pengertian terbaik yang dimiliki seseorang. Hal ini akan tampak
lebih jelas, jika kita mengacu pada pemakaian kata ini di dalam Al-Qurân yang hanya
disebutkan satu kali, yaitu pada surat al-Anbiyâ’ (21): 79 yang berbunyi;
ففهمناها سليمان وكلا ءاتينا حكما وعلما وسخرنا مع داود الجبال نيلا فاعكنو رالطيو نحبسي
Artinya; “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih
bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”
Maka ayat tersebut dapat dipahami, bahwa dengan al-fahm, Sulaiman
menetapkan hukuman yang jitu dan adil, suatu keistimewaan yang dimilikinya
dibanding Daud, sekurang-kurangnya dalam kasus yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
Kaitannya dengan istifhâm adalah bahwa kata istifhâm dibentuk dari akar kata
fahima mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu fungsinya
adalah untuk meminta. Dengan demikian istifhâm berarti permintaan penjelasan,
permintaan keterangan, kata tanya, atau menuntut keterangan (thalab al-fahm).8
Sedangkan pengertian istifhâm secara terminologi adalah sebagai berikut; Al-
Zarkasyi dalam Al-Burhânnya menjelaskan bahwa istifhâm adalah mencari pemahaman
7 Abu Hilâl al-‘Askari, Al-Furûq fi al-Lughah, (Beirut; Dâr al-Afâq al-Jadidah, 1973), h. 79-80 8 Jalaluddin al-Suyûthi, Al-Itqan fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 911 H), h. 79. Lihat pula
Ibn Hisyâm, Mughni al-Labib (Beirut; Maktabah al-Ashriyah, tt) Jilid I, h. 19
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
24
tentang sesuatu hal yang tidak diketahui.9 Dalam Al-Mu’jam al-Mufasshal disebutkan
bahwa istifhâm adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah, serta sifat
dari suatu hal.10 Sedangkan dalam Al-Balâghah al-Wâdhihah, istifhâm didefinisikan
dengan mancari pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.11
Definisi lain juga diungkapkan oleh Nabîl Raghîb, yaitu ingin mengetahui
tentang sesuatu.12 Al-Hâsyimi mendefinisikan istifhâm dengan menuntut tahu sesuatu
yang belum pernah diketahui sebelumnya.13 Dengan demikian istifhâm dengan berbagai
redaksi definisi diatas memiliki satu maksud pokok, yaitu mencari pemahaman tentang
suatu hal, atau dengan kata lain istifhâm adalah bentuk kalimat yang dipergunakan untuk
mendapatkan informasi yang jelas tentang suatu masalah yang belum diketahui
sebelumnya.14
Mengacu pada pengertian istifhâm yang telah dipaparkan di atas, maka secara
umum istilah pertanyaan –termasuk juga istifhâm dalam bahasa Arab- memiliki acuan
yang berbeda-beda.15Istifhâm (pertanyaan) dapat dilihat dari sudut pandang sintaksis,
semantis, dan juga pragmatis.
9 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Dâr al-Fikr, 1980), Jilid II, h. 326. Lihat
pula Ibnu Hisyâm, Loc.Cit. 10 Azizah Fuwal, Loc. Cit. 11 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Al-Balâghah al-Wâdhihah, (Surabaya; Al-Hidayah, 1961), h.
273 12 Nabil Raghîb, Al-Qawâid al-Dzahabiyah Li Itqân al-Lughah al-Arabiyah fi al-Nahw wa al-
Sharf wa al- Balâghah, (Kairo; Maktabah Gharib, 1982), h. 76 13 Ahmad al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 85, lihat pula M. al-Tunjiy, Al-Mu’jam al-Mufasshal fi al-Adâb,
(Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993) Jilid I, h. 89 14 Lihat Ahmad Musthafa al-Marâghi, Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-
Badi’, (Beirut; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid. 1, h. 89 15 Rofi’uddin, A.H. Sistem Pertanyaan dalam Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan,
(Malang; PPS IKIP Malang, 1994), h. 30
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
25
Dari sudut pandang sintaksis, istifhâm (pertanyaan) merupakan suatu ujaran yang
ditandai oleh ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud antara lain adalah: (a) intonasi
yang digunakan adalah intonasi tanya, dan (b) ditandai dengan penggunaan kata tanya.16
Kata tanya dalam bahasa Arab adalah: hamzah (apakah), hal (apakah), mâ (apa), man
(siapa), kaifa (bagaimana), matâ (kapan), ayyâna (bilamana), annâ (darimana), kam
(berapa), aina (dimana) dan ayyu (apa/siapa).17
Dari sisi semantis, istifhâm (pertanyaan) merupakan suatu ujaran yang fungsinya
untuk meminta informasi.18 Oleh karena istifhâm (pertanyaan) berfungsi untuk meminta,
maka dalam kajian ilmu ma’âni, istifhâm (pertanyaan) dimasukkan ke dalam kategori
kalâm insyâ’ thalabi.19
Sedangkan dari sisi pragmatis, istifhâm (pertanyaan) memiliki berbagai fungsi.
Menurut Al-Hâsyimi, istifhâm (pertanyaan) dapat memiliki berbagai fungsi (keluar dari
makna asalnya) karena dipengaruhi oleh konteks, misalnya untuk melarang,
memerintah, mengejek, menghayal, meminta kepastian dan lain-lain.20 Sedangkan dalam
istilah Rofi’uddin, secara pragmatis istilah pertanyaan mengacu pada pengertian jenis
tindak illokusi tertentu21, yang menurut Geoffrey leech tindak illokusi tersebut meliputi
tindak asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan rogatif.22
16 Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Flores; Nusa Indah, 1984), h. 30 17 Ahmad al-Hâsyimi , Loc. Cit, lihat pula Abd Quds Abu Shalih, Kitâb al-Balâghah Ilm al-
Ma’âni wa al-Badi’, ( Kerajaan Saudi Arabia; Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ûd, 1403 H), h. 94 18 ibid 19 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit. 20 Ahmad al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 91-93 21 Rofi’uddin, A. H. Op. Cit, h. 31 22 Geoffrey, Leech, Loc. Cit. Penjelasan dan Penjabaran secara mendetail masing-masing tindak
lihat bab III, sub bab (Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
26
B. Klasifikasi Istifhâm
Istifhâm berdasarkan kata tanyanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: harf al-
istifhâm (partikel tanya/ particle of interrogation) dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/
interrogative noun).23
1. Harf al-Istifhâm (Partikel Tanya/Particle of Interrogation)
Adawât al-Istifhâm yang terdiri dari harf al-istifhâm (partikel tanya/ particle of
interrogation) ada dua, yaitu: hamzah dan hal yang biasa diartikan “apakah”.24
Harf dalam tataran kalimat bahasa Arab merupakan kata yang maknanya dapat
sempurna bila disertakan dalam kata lainnya. Dalam Syarh Mukhtashar Jiddan
disebutkan bahwasanya harf adalah kata-kata yang baru mempunyai arti apabila
dihubungkan dengan kata-kata lainnya, seperti ilâ, hal, lam dan lain sebagainya.25
Sedangkan Anton al-Dahdah mendefinisikan harf sebagai kata yang tidak sempurna
pengertiannya, melainkan bila dirangkaikan dengan kata benda atau kata kerja.26
Adapun pengertian harf al-istihâm (partikel tanya/ particle of interrogation)
batasan tegasnya tidak ditemukan, sebab dalam buku Gramatika bahasa Arab yang dapat
peneliti temukan, tidak ada satupun yang membuat batasan pengertian khusus sebagai
salah satu unsur kalimat dalam bahasa Arab. Menurut hemat peneliti, para linguistik
23 Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Kairo; Al-Maktabah al-Mujallad
al-Iraq, tt), h. 189. Lihat pula Muhammad Abu Fâdhil Ibrâhim, Al-Burhân fi Ulûm al-Qurân, (Beirut; Maktabah al-Ashriyah, tt), Jilid. 2, h. 332 Lihat juga Khalil Habib Shayigh, Al-Mushthalahat al-Nahwiyyah; Araby Injilizy, (Beirut: Maktabah Lubnan, 2000), h. 3 dan 11. Juga M. H. Bakalla, dkk, A Dictionary of Modern Linguistic Term; English- Arabic and Arabic-English, (Beirut; Libraire du Liban, 1983), h. 4 dan 34.
24 Abd Quds Abu Shalih, Loc. Cit 25 Ahmad Zaini Dahlan, Syarh Mukhtashar Jiddan; Terjemahan Prof. H. Chatibul Umam, dkk,
Pedoman Dasar Ilmu Nahwu (Jakarta; Darul Ulum Press. 1996), h. 6 26 Anton al-Dahdah, Mu’jam Qawâid al-Lughah al-Arabiyah fi Jadâwil wa Lawhât, (Beirut;
Maktabah Lubnân, 1981), h. 204
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
27
Arab cenderung hanya mendefinisikan dengan jelas ism al-istifhâm (pronomina tanya/
interrogative noun) saja dan mereka membicarakan istifhâm berdasarkan kata tanyanya
langsung ke pembagiannya, yaitu; harf al-istifhâm (partikel tanya/ particle of
interrogation) dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun).
Oleh karena itu peneliti mencoba mendefinisikan harf al-istifhâm (partikel tanya/
particle of interrogation) sebagai bentuk kata tugas yang ada pada redaksi istifhâm,
sekaligus digunakan untuk membedakannya dari adawât al-istifhâm yang lain, yaitu ism
al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun).
2. Ism al-Istifhâm ( pronomina tanya/ interrogative noun)
Adawât al-Istifhâm yang merupakan ism al-istifhâm (pronomina tanya/
interrogative noun) adalah man (siapa), mâ (apa), matâ (kapan), kaifa (bagaimana),
ayyâna (bilamana), aina (dimana), annâ (dari mana), kam (berapa), dan ayyu (siapa atau
apa).27
Ism (kata benda/ noun) adalah salah satu bagian dari unsur kata yang membentuk
kalimat bahasa Arab. Unsur kata lainnya yang membentuk kalimat dalam bahasa Arab
adalah fi’il dan harf. Ketiga macam unsur ini membentuk kalimat bahasa Arab yang
dinamakan jumlah mufîdah atau kalimat sempurna.28
Ism al- istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun) sebagai bentuk kedua
dari adawât al-istifhâm (kata tanya) dalam pengertiannya adalah ism (kata benda/ nuon)
yang dalam pemakaiannya digunakan untuk menuntut penjelasan tentang sesuatu
urusan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Anton al-Dahdah:
27 Abd Quds Abu Shalih, Loc. Cit 28 Anton al- Dahdah, Op.Cit, h. 1-13
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
28
اسم االستفهام هو اسم يستعمل به عن شيء او أمرIsm al- istifhām (pronomina tanya/ interrogative noun) adalah ism (noun) yang
digunakan untuk menuntut penjelasan tentang suatu atau urusan29
Juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa al-Ghalâyaini dalam Jâmi’
al-Durûsnya;
اسم االستفهام هواسم مبهم يستعمل به عن شيءIsm al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun) adalah ism (noun) yang
masih memerlukan penjelasan dan digunakan untuk menuntut penjelasan tentang sesuatu yang ingin diketahui.30
Dari pendapat diatas dapat diketahui, bahwasanya ism al-istifhâm (pronomina
tanya/ interrogative noun) adalah bentuk kata tanya yang dikategorikan ke dalam ism
yang mubham (masih memerlukan penjelasan) dan menuntut penjelasan akan sesuatu
yang belum diketahui secara pasti.
Sedangkan berdasarkan sesuatu yang ditanyakan (al-thalab), istifhâm
diklasifikasikan ke dalam tiga bagian,31 yaitu;
1. Istifhâm yang terkadang digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari
gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), akan tetapi terkadang juga bisa
digunakan untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq). Istifhâm ini biasanya
menggunakan kata tanya hamzah.
2. Istifhâm yang hanya digunakan untuk menanyakan tentang nisbah (tashdîq) saja.
Istifhâm ini biasanya mnggunakan kata tanya hal.
29 Ibid. h. 97 30 Musthafa al-Ghalâyaini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyah, (Beirut; Al-Maktabah al-Ashriyah,
1984), Jilid. I, h. 141 31 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 85. Lihat pula. Al-Sakâki, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
29
3. Istifhâm yang hanya digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari gambaran
sesuatu yang mufrad (tashawwur) saja. Istifhâm ini menggunakan kata tanya yang
biasa disebut ism al- istifhâm (pronomina tanya/ interrogative noun), yaitu: man,
mâ, matâ, kaifa, ayyâna, aina, annâ, kam, dan ayyu.
Adapun contoh-contoh penggunaannya dalam kalimat, akan diuraikan pada bab
berikutnya “Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (kata tanya) dalam Kalimat”
Adapun dari aspek jawabannya, pertanyaan secara umum-juga istifhâm dalam
bahasa Arab- menurut Gorys Keraf terbagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) pertanyaan
retoris, (2) pertanyaan aretoris, dan (3) pertanyaan yang senilai dengan perintah.32
Gorys Keraf menjelaskan bahwa pertanyaan retoris adalah suatu pertanyaan
yang sama sekali tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan aretoris adalah suatu
pertanyaan yang menghendaki adanya suatu jawaban dari mitra tutur. Sementara itu,
pertanyaan yang senilai dengan perintah adalah suatu pertanyaan yang fungsinya bukan
untuk meminta informasi, melainkan berfungsi sebagai suatu perintah.33
C. Aplikasi Penggunaan Adawât al-Istifhâm (Kata Tanya) dalam Kalimat
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya istifhâm dilihat dari adawât
(kata tanya) nya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: harf al-istifhâm (partikel
tanya/ particle of interrogation), dan ism al-istifhâm (pronomina tanya/ interrogative
noun). Untuk mensistematik pembahasan tentang aplikasi penggunaan adawât al-
32 Gorys Keraf, Op.Cit, h. 27 33 ibid.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
30
istifhâm (kata tanya) dalam kalimat, maka akan dijabarkan sesuai urutan kedua kategori
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Harf al-Istifhâm (Partikel Tanya/ Particle of Interrogation)
Harf al-Istifhâm (partikel tanya/ particle of interrogation) ada dua, yaitu;
hamzah dan hal.
a. Hamzah (ء )
Hamzah sebagai salah satu adawât al-istifhâm (kata tanya) disinyalir oleh
beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab sebagai asal dari adawât al-istifhâm, antara lain
oleh Ibn Hisyâm dalam Al-Mughninya, Ibnu Ya’isy dalam Syarh al-Mufasshalnya34, dan
juga Ibnu Mâlik dalam Al-Misbâhnya.35
Oleh karena itu dalam penggunaannya, hamzah dapat digunakan untuk mencari
pengetahuan tentang dua hal, yaitu: tashawwur dan tashdîq.
1) Hamzah li al-Tashawwur
Dalam penggunaannya hamzah li al-tashawwur ini dimaksudkan untuk
menanyakan satuan, atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad.36 Pada hamzah ini,
yang ditanyakan itu adalah kata yang menghampiri hamzah itu sendiri dan sesudahnya,
biasanya dalam pemakaiannya ada mu’âdil (pembanding) yang disebutkan setelah am
muttashilah. Contohnya:
34 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitab al-Asybah wa al-Nadzâir fi al-Nahw, Loc. Cit. 35 Sayyid al-Jumali. Loc. Cit. 36 Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Indonesia; Al-Maktabah al-Hidayah,
tt), h. 108. Lihat pula Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Loc. Cit, Dan A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balâghah, (Bandung; Angkasa, tt. ), h. 99-100
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
31
؟أ أمحد مسافر أم زيدAhmadkah yang bepergian atau Zaid?
Dalam contoh di atas orang yang bertanya itu sudah mengetahui adanya orang
yang bepergian, hanya dia belum tahu siapa yang pergi itu. Jadi yang ditanyakan adalah
berupa satuan, yaitu: Ahmadkah atau Zaidkah? Atau dengan kata lain yang ditanyakan
adalah kata yang menghampiri hamzah, yaitu Ahmad dan sesudahnya ada mu’âdil yang
disebutkan setelah am muttashilah, yaitu: Zaid.
Penggunaan hamzah li al-tashawwur dapat ditemukan pada ayat Al-Qurân
diantaranya:
a). Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27.
اءملقا أم السخ دأش أنتما ءاهنب. Artinya: Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya
ataukah langit? Allah telah membangunnya.
b). Q.S. al-Thûr (52):15
أفسحر هذا أم أنتم ال تبصرونArtinya: “ Maka apakah ini sihir? Ataukah
kamu tidak melihat?
2) Hamzah li al-Tashdîq
Dalam penggunaannya, hamzah li al-tashdîq ini dimaksudkan untuk menanyakan
tentang nisbah, yaitu menanyakan ada atau tidaknya hubungan antara musnad dan
musnad ilaih atau ada tidaknya hubungan.37 Dengan kata lain hamzah disini digunakan
37 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 87
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
32
untuk menanyakan sesuatu yang meragukan atau untuk menanyakan suatu kepastian,
yaitu menanyakan ada atau tidak ada keterangan bagi subyek. Maka yang dipertanyakan
oleh hamzah li al-tashdîq ini adalah nisbah sesuatu kepada yang lain dan sesudahnya
tidak ada am muttashilah dan mu’âdil.
Seperti contoh:
a). Q. S. al-Anbiyâ’ (21): 36
أهذا الذي يذكر ءالهتكم وإذا رآك الذين كفروا إن يتخذونك إلا هزوا
ن وهم بذكر الرحمن هم كافروArtinya: “ Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu,
mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): “ Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?” Padahal mereka adalah
orang-orang yang ingkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.”
b) Q.S. al-Qamar (54): 24
إنا إذا لفي ضلال وسعر أبشرا منا واحدا نتبعهفقالوا Artinya: “ Maka mereka berkata:” Bagaimana kita akan mengikuti saja seseorang manusia (biasa) diantara kita? Sesungguhnya kalau begitu
benar-benar dalam keadaan sesat dan gila.”
Pada kedua contoh di atas memperlihatkan pada kita bahwa si pembicara
bimbang dan ingin mengetahui suatu kepastian. Seperti pada contoh (a) yang
dipertanyakan adalah hubungan mencela Tuhan dengan orang kafir, dan pada contoh
(b) yang dipertanyakan adalah ada atau tidaknya hubungan menuruti perintah seorang
rasul (manusia biasa) dengan keimanan mereka.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
33
Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui, bahwa pemakaian kata tanya
hamzah itu mempunyai dua makna, yaitu untuk menanyakan satuan atau mencari
sesuatu gambaran yang mufrad yang disebut dengan tashawwur, dan untuk menanyakan
nisbah yang disebut sebagai tashdîq. Penggunaan kata tanya hamzah inilah (khususnya
yang terdapat dalam ayat Al-Qurân) yang akan peneliti kaji dalam tesis ini dengan
menggunakan pisau analisis kajian pragmatik.
b. Hal ( هل )
Penggunaan hal sebagai kata tanya dalam kalimat istifhâm, dimaksudkan untuk
menanyakan tentang nisbah (li al-tashdîq). Oleh karena itu sesudah hal tidak boleh ada
mu’âdil dan ‘am muttashilah. Hal ini sebagaimana contoh di bawah ini;
1) Q. S. al-Ghâsyiyah (88): 1
ةيالغاش يثدل أتاك حه Artinya:“Sudah datangkah kepadamu berita
(tentang) hari pembalasan?”
2) Q.S Thâhâ (20): 9
وھل أتاك حدیث موسىArtinya: ”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”
Dari kedua contoh di atas diketahui bahwa si pembicara pada setiap kalimat
masih bimbang dalam mengetahui nisbah (hubungan), sehingga ia tidak tahu apakah
nisbah itu terjadi ataukah tidak. Jawaban pertanyaan semacam ini dapat menggunakan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
34
kata na’am (ya) bila nisbahnya terjadi, dan dengan kata lâ (tidak) bila nisbahnya tidak
terjadi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata tanya hal hanya digunakan
untuk menanyakan tentang nisbah, bukan yang lain, jadi setelah kata tanya hal tidak
dapat disebutkan mu’âdilnya (bandingan).
2. Ism al-Istifhâm (PronominaTanya/ Interrogative Noun)
Ism al-istifhâm terdiri dari sembilan kata tanya. Masing-masing memiliki ciri-ciri
tersendiri dalam membentuk kalimat pertanyaan dalam bahasa Arab. Kesembilan ism al-
istifhâm ini seluruhnya digunakan untuk menanyakan satuan atau mencari gambaran
sesuatu yang mufrad (tashawwur), maka jawaban dari kalimat pertanyaan tersebut
adalah berupa keterangan tentang sesuatu yang ditanyakan.
a. Man ( من )
Kata tanya man digunakan untuk menanyakan sesuatu yang berakal, dan jika
digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal, maka makna kata tanya man
menjadi makna majâzi.38 Hal ini dipertegas oleh Al-Sakâki yang mengatakan bahwa
kata tanya man hanya dipergunakan untuk menanyakan keterangan makhluk yang
berakal.39
Penggunaan kata tanya man untuk menanyakan sesuatu yang berakal akan
semakin jelas dalam contoh-contoh di bawah ini;
38 Ahmad al-Hâsyimi , Op. Cit, h. 92 39 Al-Sakâki, Op. Cit, h. 311-312 juga Al-Khatib al-Qazwini, Al-Idhâh fi Ulûm al-Balâghah,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt), h. 139
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
35
1). Q.S Yâsin (36): 52
لونسرق المدصو نمحالر دعا وذا منا هقدرم نا مثنعب نا ملنياوقالوا ي Artinya: “Mereka berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan(Tuhan) Yang Maha Pemurah
dan benarlah Rasul-rasul (Nya).”
2) Q.S. Sabâ’ (34): 24
قل الله من يرزقكم من السموات والأرضقل بنيي ضلال مف ى أودلى هلع اكمإي إنا أوو
Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya
kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.”
Dari uraian kedua contoh di atas jelaslah bahwa kata tanya man digunakan untuk
menanyakan sesuatu yang berakal. Pada contoh pertama ditanyakan tentang siapa yang
membangkitkan manusia dari alam kubur, maka dijawab dalam lanjutan ayatnya yaitu
Al-Rahmân. Sedangkan pada contoh kedua ditanyakan tentang siapa yang mampu
memberikan rezeki dari langit dan bumi, maka dijawab pula dalam lanjutan ayatnya,
yaitu Allah SWT.
b. Mâ ( ما )
Kata tanya mâ digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Dalam
hal ini, mâ bermakna ayyu syai’in artinya apa atau menanyakan tentang sesuatu.40
40 Ibn Hisyam, Op. Cit, h. 328
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
36
Dalam pemakaiannya, kata tanya mâ digunakan untuk menanyakan mengenai
tiga hal,41 yaitu:
1) Mâ lisyarh al-ism
Mâ lisyarh al-ism adalah mâ yang digunakan untuk menuntut suatu penjelasan
sesuatu sebutan yang belum dipahami maknanya. Seperti contoh:
؟ العسجد هو الذهبما العسجد“Apa itu al-asjad? Jawabannya adalah:
“al-asjad itu adalah emas”
2) Mâ limâhiyah al musamma
Mâ limâhiyah al-musamma adalah mâ yang digunakan untuk menuntut atau
mengetahui esensi (hakikat) sesuatu yang disebut. Seperti contoh;
.؟ االنسان حيوان ناطقما االنسان“ Apa esensi al-insan itu? Jawabannya adalah:
al-insan adalah makhluk yang berakal.”
3) Mâ li al-washf
Mâ li al-washf adalah mâ yang digunakan untuk menuntut deskripsi keadaan
sesuatu. Seperti contoh;
؟ هو كريمما زيد“Bagaimana tingkah laku si zaid? Jawabannya
adalah; Dia orang yang mulia.”
Sebagian para ahli membolehkan pemakaian mâ untuk menanyakan sesuatu yang
berakal. 42 Sebagaimana dalam Q.S. al-Syuârâ (26): 23-24.
41 Al-Khatib al-Qazwini, Op. Cit, h. 137-138
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
37
اتومالس ب ني قال رالمالع ب ا رمو نوعرقال ف كن ا إنمهنيا بمض والأرونينوقم تم
Artinya: “Fir`aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa
yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya".
c. Matâ ( متى )
Kata tanya matâ dipergunakan untuk penentuan waktu, baik untuk masa lampau
maupun untuk penentuan masa akan datang.43 Seperti kedua contoh di bawah ini;
؟متى انتهيت من اعداد الرسالة“Kapankah surat-surat itu telah selesai
engkau persiapkan?”
؟متى نقطف العنب“Kapankah kita akan memetik buah anggur?”
Pada contoh pertama si pembicara ingin mengetahui waktu selesainya surat-surat
tersebut dipersiapkan. Sedangkan pada contoh kedua, pembicara ingin mengetahui
waktu pemetikan buah anggur. Oleh karena itu jelaslah bahwa kata tanya matâ
dipergunakan untuk menuntut penentuan waktu (li thalabi ta’yîn al-zamân)
Dalam Al-Qurân juga banyak terdapat kalimat tanya yang menggunakan kata
tanya matâ. Antara lain;
42 Al-Zarkasyi, Op. Cit., h. 428 43 Nabil Raghib, Op. Cit, h. 77 dan Al-Hâsyimi , Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
38
1). Q.S Yunus (10): 48
نيقادص تمكن إن دعذا الوتى هم قولونيو Artinya: “Mereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu,
jika memang kamu orang-orang yang benar?"
2). Q. S. al-Sajdah (32): 28
نيقادص تمكن إن ذا الفتحتى هم قولونيو Artinya: “Dan mereka bertanya: "Bilakah kemenangan itu
(datang) jika kamu memang orang-orang yang benar?"
Disamping itu menurut Ahmad Al-Khausi dikatakan bahwa adakalanya kata
tanya matâ dalam pemakaiannya didahului oleh kata depan seperti ilâ,44 seperti contoh;
إىل متى تؤجل عملك؟ “Sampai kapankah kamu tunda pekerjaan itu?”
d. Ayyâna ( أيان )
Sama halnya dengan matâ, kata tanya ayyâna juga dipergunakan untuk menuntut
penentuan waktu dan termasuk zharf al-zamân, karena menerangkan waktu. Bedanya
matâ digunakan untuk menanyakan waktu yang lampau dan akan datang, sedangkan
ayyâna hanya digunakan untuk menanyakan waktu akan datang dan biasanya
44 ibid.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
39
dipergunakan untuk menanyakan keadaan yang menggemparkan.45 Hal ini sebagaimana
ditegaskan Ali ibnu Isa al-Rabâ’iyyi bahwa kata tanya ayyâna dipergunakan untuk
maksud tafkhîm, yaitu perkara-perkara yang luar biasa.46 Bahkan Al-Hâsyimi47
mengatakan disamping penggunaannya untuk tafkhîm, ayyâna juga dipergunakan untuk
tahwîl, perkara-perkara yang menakutkan. Seperti contoh;
1). Q.S. al-Dzâriyât (51): 12
يسألون أيان يوم الدينArtinya: “Mereka bertanya: "Bilakah hari
pembalasan itu?"
2). Q.S al-Qiyâmah (75): 6
ةاميالق موي انأل أيسي Artinya: “Ia bertanya: "Bilakah
hari kiamat itu?"
e. Aina ( أين )
Kata tanya aina digunakan untuk menanyakan tentang tempat atau menuntut
penentuan tempat. Oleh karena itu kata tanya aina termasuk juga bagian dari zharf al-
makân, karena menerangkan tentang tempat.48 Seperti contoh;
1). Q.S. al-Qashash (28): 62
ونمعتز تمكن ينالذ يكائرش نقول أيفي يهمادني مويو
45 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 313 46 ibid 47 Al-Hâsyimi , Loc. Cit. 48 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
40
Artinya: “Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang
dahulu kamu katakan?"
2). Q.S. al-An’âm (6): 22
نح مويكواورأش ينلذنقول ل ا ثميعمج مهرش
ونمعتز تمكن ينالذ كمكاؤرش نأي Artinya: “Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun
mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang
dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?"
f. Kaifa ( كيف )
Kata tanya kaifa digunakan untuk menanyakan tentang keadaan sesuatu yang
tidak berkaitan dengan dzatnya, seperti menanyakan tentang Allah. Dalam hal ini kata
tanya kaifa tidak dapat digunakan untuk maksud penggunaan seperti itu.49
Adapun contoh dari pemakaian kata tanya kaifa adalah sebagai berikut;
1). Q.S. al-Isrâ’ (17): 48
ضلوا فلا يستطيعون سبيلا انظر كيف ضربوا لك الأمثال فArtinya: “Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-
perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).”
2). Q.S. al-Ânkabût (29): 20
أ الخلقدب فوا كيض فانظري الأروا فريقل س
49 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 355
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
41
يرقد ءيلى كل شع الله إن ة رالآخ ة ثم الله ينشئ النشأArtinya: “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
g. Annâ ( أنى )
Kata tanya annâ dalam pemakaiannya ada tiga pengertian, yaitu;
1) Annâ semakna dengan kaifa50 seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2): 223
ئتمأنى ش ثكم رفأتوا ح لكم ث رح كماؤسن Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”
2) Annâ semakna dengan min aina51 seperti contoh Q.S. Ali Imrân (3): 40
راقي عأترامو ربالك يلغنب قدو ي غلامل كونأنى ي ب قال ر اءشا يل مفعي الله كقال كذل
Artinya: “Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isterikupun seorang yang mandul?"
Berfirman Allah: "Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya".
3) Annâ semakna dengan matâ52 seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2): 259
أو كالذي مر على قرية وهي خاوية على عروشها قال أنى يحيي
50 ibid, h. 275 51 ibid, h. 276 52 ibid.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
42
ثهعب ام ثمائة عم الله اتها فأمهتوم دعب الله هذه Artinya: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui
suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah
mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.”
h. Kam (كم )
Kata tanya kam digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan. Kam
istifhâmiyah menurut Ibnu Hisyâm membutuhkan suatu penjelasan berupa jawaban
langsung dari suatu pertanyaan yang diajukan, disini kam bermakna ayyu âdadin
(berapa jumlahnya).53 Dan biasanya ditandai adanya kasus akkusatif (nashb) pada
kalimat yang terletak sesudahnya. Seperti contoh;
؟كم رجال ضربت“Berapa banyak laki-laki yang telah engkau pukul?”
Untuk memperjelas tentang pemakaian kam istifhâmiyah, dibawah ini ada
beberapa contoh yang terdapat dalam Al-Quran;
1). Q.S al-Baqarah (2): 211
ةايء نم ماهناتيء يل كمائري إسنل بس
Artinya: “Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah
Kami berikan kepada mereka".
53 Ibnu Hisyâm, Op. Cit, h. 207
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
43
2). Q.S. Yâsin (36): 31
ونجع رلا ي همإلي مون أنهالقر نم ملها قبلكنأه ا كموري ألم Artinya: “Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat
sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada
kembali kepada mereka.”
i. Ayyu ( أي )
Terdapat lima macam bentuk penggunaan kata tanya ayyu dalam kalimat, yaitu;
1) Digunakan untuk meminta penentuan salah satu dari dua hal yang sama dalam
sesuatu urusan. Seperti Q. S. Maryam (19): 73
وإذا تتلى عليهم ءاياتنا بينات قال الذين كفروا للذين ءامنوا أي الفريقين خير مقاما وأحسن نديا
Artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Manakah di antara kedua golongan
(kafir dan mu'min) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan (nya)?"
2) Digunakan untuk menanyakan masa. Seperti;
؟أي يوم هذا“Hari apakah ini?”
3) Digunakan untuk menanyakan tempat. Seperti;
؟أي جملس ختتار“Tempat duduk manakah yang engkau pilih?”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
44
4) Digunakan untuk menanyakan makhluk yang berakal. Seperti Q.S. Hûd (11): 7
هشرع كانام وأي تةي سف ضالأرو اتومالس لقي خالذ وهو على الماء ليبلوكم أيكم أحسن عملا
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji
siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya?”
5) Digunakan untuk menanyakan makhluk yang tidak berakal. Seperti Q.S. al-
Mursalât (77): 50
وننمؤ ي هدعب يثدح فبأي
Artinya: “Maka kepada perkataan apakah selain Al Qurân ini mereka akan beriman?”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
45
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
BAB III
PRAGMATIK DALAM MENGKAJI WACANA (TEKS) AL-QURÂN
A. Pragmatik dan Ilmu Ma’âni
1. Pengertian dan Hakikat Pragmatik serta Ilmu Ma’âni
a. Pengertian dan Hakikat Pragmatik
Menurut Levinson,1 pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan
konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya. Sependapat dengan
Levinson, Leech juga berpendapat bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna
dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar. Aspek-aspek situasi ujar meliputi
penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai
bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal
itu sendiri)2.
Berpijak dari uraian di atas dapatlah dikatakan, bahwa pragmatik merupakan salah
satu cabang linguistik yang mengkaji makna suatu ujaran melalui pemahaman konteks
yang menyertai ujaran tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Purwo,
bahwa kontekslah yang menjadi pijakan utama dalam analisis pragmatik. Berbeda
dengan semantik yang menggeluti makna kata atau kalimat yang bebas konteks (context-
independent), sementara itu pragmatik menggumuli makna yang terikat konteks
(context-dependent).3
1 Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 2 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15 3 Bambang Kaswati Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984,
(Yogyakarta; Kanisius, 1990), h 15-16.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
46
Ungkapan Purwo tersebut dipertegas oleh Leech, bahwa semantik mengkaji
makna kalimat, sedangkan pragmatik mengkaji makna tuturan4. Berkenaan dengan
perihal konteks, Malinowski memperkenalkan dua gagasan yang disebutnya konteks
situasi dan konteks budaya, dan keduanya diperlukan untuk dapat memahami teks
sebaik-baiknya.5
Hidayat mengungkapkan sebuah ilustrasi bahwasanya jika kita memahami sebuah
wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya disebut orang yang jujur
dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif, sebab makna sebuah kata
atau sebuah kalimat selalu berkaitan dengan konteks6. Atau dengan kata lain bahwa
suatu ujaran memiliki makna yang sebagian tergantung dari konteks sosial yang ada.7
Meskipun sekarang ini pragmatik sudah menjadi salah satu kajian yang penting
dalam linguistic, tapi apabila kita mencoba melihat sejarah perkembangan ilmu ini, kita
akan mengetahui bahwa lima belas tahun silam para linguis hampir tidak pernah
menyebut istilah pragmatik. Pada waktu itu, pragmatik lebih banyak diperlakukan
sebagai keranjang tempat penyimpanan data yang bandel yang tidak dijelaskan dan
boleh dilupakan dengan mudah.8 Pendapat yang sama dikeluarkan oleh Soemarmo,
4 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15
5 M.A.K. Halliday dan Ruqaiyah Hasan, Bahasa, Konteks, dan Teks, Terjemahan oleh Asruddin Barori Tou, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1992), Cet. 1, h. 16
6 Komaruddin Hidayat, Loc. Cit. 7Soeseno Kartomihardjo,Sosiolinguistik; Studi tentang Bahasa dan Seluk Beluk Pengetrapannya
dalam Masyarakat, (Malang; P2LPTK IKIP Malang, 1987), h. 41 8 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 9
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
47
bahwa pragmatik merupakan suatu bidang yang dianaktirikan dalam linguistik, terutama
oleh para linguis di Amerika.9
Pada tahun 1950-an, yakni suatu era dimana kecepatan perkembangan linguistik
begitu cepat, Kazt dan Postal mulai menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori
linguistik formal, dan tidak lama kemudian semangat “California dan Bust” membuat
pragmatik mulai tercakup. Pada tahun 1971, Lakoff dan lain-lainnya berargumentasi,
bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari sudut penggunaan bahasa. Sejak saat itu
pragmatik masuk ke dalam peta linguistik.10
Menurut Levinson11, istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof
kenamaan, yaitu Charles Morris pada tahun 1938. Dia mempunyai perhatian terhadap
suatu ilmu yang mengkaji sistem tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, Charles Morris
membedakan tiga konsep dasar, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis
mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda (tanda bahasa), semantik mengkaji
hubungan antara tanda dan objek, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara
tanda-tanda dengan penafsir.
Berkaitan dengan hal ini, Purwo12 menegaskan bahwa di belahan bumi Eropa
pada tahun 1940-an berkembang kegiatan menelaah bahasa dengan mempertimbangkan
makna dan situasi (misalnya Aliran Praha dan Aliran Firth), dan pada tahun 1960-an
Halliday mengembangkan teori sosial mengenai bahasa.
9 Marmo Sumarmo, Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya, (Jakarta: Lembaga Bahasa
Atmajaya,1987),h. 12 10 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 11 4 Stephen C. Levinson,Op. Cit, h. 1 12 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 9
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
48
b. Pengertian dan Hakikat Ilmu Ma’âni
Ilmu ma’âni sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Hâsyimi adalah ilmu yang
mempelajari tentang prinsip-prinsip atau kaidah telaah wacana bahasa Arab yang sesuai
dengan tuntutan situasi (muqtadhâ al-hâl) sehingga selaras dengan maksud
pewacanaannya.13
Senada dengan hal itu, Muhsin dan Wahab14 mengemukakan bahwa ilmu ma’âni
adalah ilmu untuk menelaah tuturan dalam bahasa Arab yang sesuai dengan situasi dan
kondisi. Dari kedua definisi di atas, tampak bahwa ilmu ma’âni bukan merupakan kajian
makna melainkan kajian tentang kesesuaian wacana dengan konteks.
Ilmu ma’âni merupakan satu dari tiga kajian retorika bahasa Arab (ilmu
balâghah) yang menekankan pada kajian ketepatan tuturan dalam konteks dan kerangka
komunikasi sosial.. Dua model lainnya adalah ilmu bayân (model kajian gaya bahasa)
dan ilmu badi’ (model kajian stilistika). Kajian retorika bahasa Arab ini muncul sejak
abad 3-5 hijriyah15, atau jauh sebelum munculnya kajian pragmatik.
Dari ketiga model kajian retorika bahasa Arab ini, diketahui bahwa buku model
kajian ilmu bayân yang mula-mula disusun adalah buku Majâz Al-Qurân karya Ubaidah
(wafat tahun 211 H).16 Sedangkan orang yang pertama kali menulis tentang kajian
stilistika bahasa Arab (ilmu badi’) adalah seorang khalifah Abbasiyyah yang bernama
13 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 6 14 A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Op. Cit, h. 30 15 S. S. Hasanain, Dirâsât fi Ilmi al-Lughah al-Washfi wa al-Târikhi wa al-Muqâran, ( Riyadh;
Dâr al-‘Ulûm, 1984), h. 23. Lihat juga K. A. Amaireh, Dirâsât wa Arâ’ fi Dhaui Ilm al-Lughah al-Mu’âshir fi Nahwi al-Lughah wa Tarâkibiha, (Manhaj wa Tathbiq), (Jeddah; ‘Alâm al-Ma’rifah, 1984), h. 10
16 Depag RI, Al-Qurân dan Terjemahannya, (Jakarta; Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qurân, 1980), h. 65
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
49
Abdullah ibn Mu’taz ibn al-Mutawakkil (wafat tahun 296 H).17 Adapun mengenai ilmu
ma’âni, buku yang pertama kali muncul adalah I’jâz Al-Qurân karya Al-Jâhizh dan
mencapai puncak perkembangannya pada abad 5 H dengan munculnya buku Dalâil al-
I’jâz karya Al-Jurjâni (wafat tahun 471H).18
2. Ekuivalensi Pragmatik dan Ilmu Ma’âni
Meskipun Pragmatik dan Ilmu Ma’âni merupakan dua nama model kajian bahasa
yang berkembang pada ruang dan waktu yang jauh berbeda, namun demikian keduanya
mempunyai aspek-aspek ekuivalensi yang mendasar. Paling tidak terdapat tiga aspek
ekuivalensi antara keduanya.
Pertama, Ekuivalensi dari aspek konsep kajian. Konsep kajian pragmatik dan
ilmu ma’âni sama-sama mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan konteks
komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya, yaitu bahwasanya pragmatik
adalah kajian terhadap hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar untuk
memahami bahasa,19demikian juga ilmu ma’âni adalah ilmu untuk mengetahui prinsip-
prinsip telaah tuturan dan bertutur sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.20
Kedua, Ekuivalensi dari aspek tindak tutur. Keduanya mengelompokkan tindak
tutur menjadi beberapa tindak. Yang dimaksud dengan tindak tutur adalah produksi
tuturan dalam kondisi atau situasi tertentu. Tindak tutur ini merupakan salah satu
bahasan dalam pragmatik. Dalam teori ini, kegiatan berbahasa dinyatakan dalam
17 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 8. 18 Depag RI, Loc. Cit. 19 Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 20 A. Q. A Shaleh dan A. T. Kulaib, Ilm al-Ma’âni, (Riyadh; Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ûd, 1410
H), h. 5
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
50
beberapa bentuk tindak, misalnya tindak membuat pernyataan, memerintah, bertanya,
memuji, dan sebagainya.21
Bahasan tentang tindak tutur ini dapat disepadankan dengan bahasan tentang
kalâm dalam ilmu ma’ani. Dalam ilmu ma’âni, kalâm (parole/tuturan) dibedakan
menjadi dua kategori, yaitu; kalâm khabary dan kalâm insya’iy,22 yang kemudian dari
keduanya terbagi lagi menjadi beberapa kategori tindak.
Ketiga, Ekuivalensi dari aspek implikatur. Keduanya memandang bahwa suatu
tuturan mengandung maksud yang diimplikasikan yang berbeda dari yang dinyatakan.
Dalam pragmatik, pembahasan tentang implikatur ini terdapat dalam bab atau bagian
tersendiri, yang mana implikatur dimaksudkan sebagai tuturan yang menyiratkan sesuatu
berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.23
Sedangkan dalam ilmu ma’âni, keberadaan konsep implikatur ini dapat dirasakan
oleh setiap pengkaji ilmu ini. Konsep ini terlihat pertama-tama pada pernyataan Al-
Hâsyimi24 bahwasanya obyek kajian ilmu ma’âni adalah tuturan bahasa Arab utamanya
dari segi makna kedua sebagai maksud yang dikehendaki penutur. Yang dimaksud
makna yang kedua adalah penyampaian tuturan sesuai dengan konteks komunikasi.
3. Spesifikasi Pragmatik dari Ilmu Ma’ani
Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dalam beberapa aspek,
akan tetapi sebagai bentuk kajian bahasa yang lebih terakhir muncul, pragmatik
21 Marmo Sumarmo, Loc. Cit 22 A. Q. A Shaleh dan A. T. Kulaib, Op. Cit, h. 6 23 Soeseno Kartomihardjo, Analisis Wacana dan Penerapannya, (Malang; IKIP Malang, 1992),
h. 6 24 Al-Hâsyimi, Op. Cit, h. 9
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
51
mempunyai beberapa spesifikasi (kekhususan) dibandingkan dengan ilmu ma’âni.
Spesifikasi tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, Sebagai sebuah kajian bahasa, pragmatik lebih bersifat universal (dapat
diterapkan untuk semua bahasa) dan keterbacaannya luas, hal ini berbeda dengan ilmu
ma’âni yang hanya ada dalam bahasa Arab dan hanya diketahui oleh orang yang
mendalami bahasa Arab.
Kedua, Sebagai alat dalam menganalisis wacana, pragmatik memiliki cara kerja
atau tahapan-tahapan yang lebih jelas dibandingkan ilmu ma’âni. Cara kerja atau
tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis, dilanjutkan dengan analisis
aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.25
Ketiga, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni sama-sama mengkaji bahasa
dalam hubungannya dengan konteks komunikasi, akan tetapi dalam pragmatik aspek
konteks komunikasi telah dijabarkan secara sistematis.26 Penjabaran yang sistematis ini
belum ditemukan dalam ilmu ma’âni, meskipun terdapat penjelasan tentang perlunya
perhatian terhadap konteks komunikasi.27
Keempat, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dari aspek tindak
tutur, akan tetapi penjabaran dan pengklasifikasian bentuk tindak dalam pragmatik lebih
sistematis, yaitu menjadi tiga; (1) tindak lokusi, (2) tindak illokusi, dan (3) tindak
25 M. Ainin, Pertanyaan dalam Al-Qurân; Suatu Tinjauan Pragmatik. Dalam Al-Hadhârah,
(Yogyakarta; UGM Press, 2001), h. 126 26 Suyono, Pragmatik; Dasar-dasar dan Pengajarannya, (Malang; YA3 Malang, 1990), h. 10 27 Al-Hâsyimi, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
52
perlokusi.28Hal ini berbeda dengan bentuk tindak yang ada dalam ilmu ma’âni yang
belum dijabarkan secara sistematis dan harus ditemukan berdasarkan pembagian kalâm.
Kelima, Meskipun pragmatik dan ilmu ma’âni berekuivalensi dari aspek
implikatur, akan tetapi pembahasan tentang implikatur dalam buku-buku pragmatik telah
dibahas dalam bab atau bagian tersendiri, sedangkan dalam buku-buku ilmu ma’âni
belum ditemukan adanya bab atau bagian khusus yang membahas implikatur.
B. Cara Kerja Pragmatik dalam Menganalisis (Mengkaji) Wacana
Pragmatik sebagai suatu alat dalam menganalisis wacana memiliki cara kerja atau
tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis dilanjutkan
dengan analisis aspek semantis kemudian dilakukan analisis aspek pragmatis.29 Tahapan
itu dilakukan untuk menemukan makna fungsional yang keberadaannya di luar wujud
formal dalam suatu tuturan.
1. Analisis Aspek Sintaksis
Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut hubungan kata-kata dalam
kalimat.30 Dalam analisis aspek sintaksis yang diotak-atik adalah bentuk suatu kalimat
dilihat dengan mengamati mana yang berupa subjek, mana yang berupa predikat dan
seterusnya. Kemudian bagian yang berupa subjek tersebut ada kemungkinan masih dapat
dibagi-bagi menjadi bagian lebih kecil, demikian juga bagian yang berupa predikat.
28 J. L. Austin, How To Do Thing With Words, (Cambridge; Harvard University Press, 1975), h.
109 29 M. Ainin, Loc.Cit 30 JW. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta; Gajah Mada University Press,
1999), Cet. ke-2, h. 11
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
53
Jika bentuk kalimat saja yang semata-mata difokuskan dalam analisis aspek
sintaksis ini, maka termasuk pula persoalan urutan, apakah itu urutan biasa (subjek
predikat) atau urutan hasil pembalikan inversi (predikat-subjek).
Level lain dalam analisis aspek sintaksis adalah penggunaan bentuk kalimat.
Bentuk kalimat merupakan bagian sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir
logis, yaitu prinsip kausalitas.31 Keberagaman bentuk kalimat ini dapat memberikan
suasana baru yang mana dalam ragam sintaksis suatu kalimat dapat digambarkan dalam
bermacam-macam pola.
Elemen lain yang dikaji adalah kata ganti. Kata ganti merupakan elemen untuk
memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Suatu gejala
universal bahwa dalam berbahasa sebuah kata yang mengacu kepada manusia, benda
atau hal, tidak akan dipergunakan berulangkali dalam sebuah konteks yang sama. Untuk
itu kata ganti diperlukan sebagai penghindaran pengulangan kata tadi.32
Bentuk lain dari level sintaksis adalah bagaimana pengaturan proposisi dalam
satu rangkaian kalimat. Proposisi yang mana yang ditempatkan di awal kalimat dan
mana yang diakhir kalimat. Penempatan seperti itu dapat mempengaruhi makna yang
timbul, karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan.33
Sisi lain yang menjadi kajian dalam aspek sintaksis adalah kategori
penggolongan kalimat dan karakteristik polanya. Kalimat ini menurut tata bahasa
31 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 2002), Cet. ke-2, h. 81. Prinsip Kausalitas adalah prinsip adanya sebab dan akibat bagi tiap-tiap sesuatu.
32 Ibid 33 Ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
54
tradisional dibagi menjadi kalimat deklaratif (pernyataan), imperatif (perintah), dan
interogatif (pertanyaan).34 Atau berdasarkan fungsinya dikategorikan menjadi kalimat
berita, kalimat tanya dan kalimat suruh.35 Hal lain yang dikaji adalah mengenai obyek
yang menjadi sasaran dalam kalimat, apakah merupakan obyek (sasaran) langsung
ataukah obyek (sasaran) tidak langsung.
2. Analisis Aspek Semantis
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti makna, di dalamnya mengkaji
atau memerikan makna kata, memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan
hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti
dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri yang cenderung
terdapat di dalam kamus, sebagai leksem.36
Secara umum semantik merupakan suatu disiplin ilmu bahasa yang menelaah
makna suatu lingual, baik makna leksikal maupun makna kalimat (gramatikal).37 Makna
leksikal adalah makna unit semantik yang terkecil yang disebut leksem. Sedangkan
makna kalimat (gramatikal) adalah makna yang terbentuk dari hubungan kata-kata.
Hubungan antara kata dan makna dapat dimengerti oleh setiap pembicara. Kata yang
dapat dimengerti secara efektif bukanlah unsur satu-satunya yang memiliki korelasi
dengan makna.
34 David E. Cooper, Loc. Cit 35 Ramelan, Loc. Cit 36 Fatimah Djajasudarma, Semantik Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999),
h. 1 37 Alex Sobur, Op. Cit, h. 78
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
55
Maka dari itu, untuk memahami dan menggunakan bahasa, seseorang dituntut
untuk menguasai kesesuaian ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan
unsur leksikal yang lain, juga antara unsur leksikal dengan unsur gramatikal.
Dari uraian di atas maka kajian tentang analisis aspek semantis adalah mengkaji
makna kata, klausa dan kalimat yang bebas konteks (context-independent), yang biasa
disebut dengan makna stabil atau makna dasar.38
3. Analisis Aspek Pragmatis
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang
termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antar penutur dan pendengar dan
sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.39
Sementara itu Kridalaksana mengungkapkan bahwa pragmatik adalah aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna
ujaran.40
Oleh karena itu Purwo mengungkapkan seputar analisis aspek pragmatis sebagai
sebuah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik.
Pragmatik ini menelaah tentang makna tuturan (utterance) atau pengujaran kalimat pada
konteks sesungguhnya. Atau dengan kata lain pragmatik menggumuli makna yang
terikat konteks (context-dependent).41Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran
yang jelas tentang fungsi suatu ungkapan, maka harus dilihat terlebih dahulu dari
konteksnya.
38 Bambang Kaswati Purwo, Loc. Cit. 39J. W. M. Verhaar. Op. Cit, h. 14 40 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 176 41 Bambang Kaswati Purwo, Loc.Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
56
Sedangkan unsur-unsur konteks menurut Purwo adalah siapa yang mengatakan
kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkan suatu kalimat.42 Juga dalam kaitannya dengan
perihal konteks, Firth mengemukakan pandangannya tentang konteks situasi yang
meliputi : (a) pelibat (participants) yang mencakup tindakan verbal (verbal action)
maupun non verbal (non-verbal action), (b) benda-benda dan peristiwa baik non verbal
maupun non personal yang relevan, dan (c) dampak dari tindakan verbal43.
Brown dan Yule berkaitan dengan konteks ini juga mengungkapkan bahwa
penganalisis wacana harus mempertimbangkan konteks tempat terjadinya suatu wacana.
Untuk menafsirkan suatu wacana, diperlukan pemahaman terhadap siapa penutur dan
petuturnya, dan pemahaman terhadap waktu serta tempat wacana itu dihasilkan44.
C. Pijakan Pragmatik dalam Mengkaji Wacana (Teks) Al-Qurân
Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji makna ujaran
melalui pemahaman konteks yang menyertai ujaran tersebut, jadi kontekslah yang
menjadi pijakan dan kunci utama pragmatik dalam proses pemahaman wacana atau teks,
baik lisan maupun tulis.
Dalam kaitannya dengan kajian terhadap wacana (teks) Al-Qurân, pemahaman
terhadap konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya
42 ibid, h. 13-15 43 M.A.K Halliday, System and Function in Language, (London; Oxford University Press, 1976),
h. 42. Lihat juga M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan, Loc. Cit. 44 Grilian Brown dan George Yule, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
57
ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl) amatlah penting meskipun tidak semua ayat Al-
Qurân yang diturunkan memiliki asbâb al-nuzûl 45
Secara esensial metode pemahaman konteks lebih diarahkan kepada konteks
kebahasaan yang terkait erat terhadap pemahaman makna wacana (teks) Al-Qurân
tersebut, yang meliputi; (1) peristiwa bahasa dan berbagai konvensi sosial yang
mengaturnya, (2) wacana yang telah diketahui sebelumnya oleh para peserta interaksi,
dan (3) tujuan pembicara.46
Sedangkan pemahaman terhadap asbâb al-nuzûl adalah pemahaman terhadap
semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan
kandungan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu.47
Diantara sebab turunnya suatu ayat itu ada kalanya berupa peristiwa yang terjadi
di masyarakat Islam, misalnya ayat 211 surat al-Baqarah48 yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai solusi yang diberikan atas peristiwa yang
dialami oleh salah seorang sahabat beliau yang bernama Mursyid al-
Ghanawi.49Adakalanya juga satu ayat itu diturunkan karena adanya pertanyaan dari
45 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit, h. 38 46 Soeseno Kartomihardjo, Op.Cit, h. 40 47 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit, h. 36 48 Artinya: “ Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman;
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya. (perintah-perintahNya) kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.”
49 Peristiwa tersebut terjadi tatkala Nabi SAW mengutus Mursyid al-Ghanawi ke Mekah untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah. Disana dia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya, tapi dia menolak. Wanita tersebut datang lagi dan minta dikawini. Mursyid pada
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
58
kalangan Islam atau dari kalangan lainnya yang ditujukan kepada Nabi SAW,
sebagaimana sebab diturunkannya ayat 219 dari surat al-Baqarah.50
Adapun metode sosio-historis adalah pemahaman dimana setiap keyakinan, ide
manusia atau fenomena harus dilihat sebagai suatu realitas yang berhubungan dengan
waktu, tempat, kultur, group dan lingkungan dimana keyakinan-keyakinan, ide-ide atau
fenomena tersebut muncul.51
Urgensi pemahaman konteks, asbâb al-nuzûl maupun sosio-historis sebagai
piranti utama dalam memahami ayat-ayat Al-Qurân, karena Al-Qurân tidak diturunkan
dalam masyarakat yang hampa budaya, melainkan turun dalam masyarakat yang sarat
dengan nilai-nilai kultural, berikut ikatan-ikatan primordialnya masing-masing. Hal ini
dipertegas oleh Syihab, bahwa penafsiran Al-Qurân secara kontekstual sangat
diperlukan, mengingat Al-Qurân turun untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup
pada masa nabi, orang-orang yang hidup pada masa sekarang, dan bahkan orang-orang
yang hidup pada masa yang akan datang52.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Shâbûni53, bahwa sebagian ayat-
ayat Al-Qurân tidak dapat dipahami secara utuh, tanpa mengetahui konteks, sosio-
historis maupun asbâb al-nuzûlnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebagian
prinsipnya dapat menerima tapi dengan syarat dapat izin dari Nabi SAW. Setelah kembali ke Madinah dia menerangkan kasus yang dihadapi kepada Nabi, lalu turunlah ayat 211 surat al-Baqarah ini.
50 Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan, katakanlah; Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, supaya kamu berfikir.” 51 Djohan Effendi, Pemahaman Kontekstual Terhadap Al-Qur’an (Jakarta: Jurnal Cendikia,1985), h. 27
52 Umar Syihab, Op. Cit, h. 22 53 M. Ali, al-Shâbûni, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
59
ayat Al-Qurân tanpa memahami konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang
melatarbelakangi ayat-ayat tersebut diturunkan (asbâb al-nuzûl), dapat menyebabkan
pemahaman yang salah.
Sebagai penjelas dari pendapatnya, Al-Shâbûni 54 memberikan contoh ayat yang
berkaitan dengan kasus seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat ketika akan
melaksanakan shalat sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Baqarah (2): 115 yang
berbunyi:
جه الله إن ا و وا فثم ب فأينما تول لله واسع عليمولله المشرق والمغر Artinya;“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap, disitulah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”
Yang melatarbelakangi ayat 115 tersebut diturunkan menurut Ibnu Katsir55
didasarkan pada suatu hadist yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah,
bahwa Amîr Ibn Rabî’ah dan ayahnya berkata; “Ketika kami sedang bepergian bersama
Nabi SAW di suatu malam yang gelap, kami menginap disuatu tempat untuk shalat dan
tiap orang menandai tempat shalatnya dengan batu. Pada pagi harinya kami dapatkan
batu-batu itu tidak tepat pada kiblatnya, kemudian kami mengadukan hal ini kepada
Rasulullah; “Wahai Rasulullah, kami semalam telah shalat kearah yang bukan kiblat”,
maka Allah menurunkan ayat ke 115 dari surat al-Baqarah tersebut.
54 Ibid. 55 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qurân al-‘Adzîm, (Beirut : Dâr al-Fikr,2000), Juz. 1, h. 208-209
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
60
Apabila ayat tersebut dipahami secara literal, tanpa melihat konteksnya, maka
kemungkinan pengertian yang muncul adalah bahwa tidak ada kewajiban bagi orang
yang shalat untuk menghadap kiblat. Pemahaman ini kurang tepat karena menghadap
kiblat itu merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah shalat.
Ayat tersebut diperuntukkan bagi musafir yang tidak mengetahui arah kiblat
sewaktu akan melaksanakan ibadah shalat. Dalam kondisi darurat seperti ini, seseorang
harus berijtihad untuk menemukan arah kiblat. Apabila selesai melaksanakan shalat
kemudian dia menyadari bahwa arah kiblatnya salah, maka shalatnya tetap sah.56
Dalam kasus lain yang menggambarkan betapa penting pemahaman terhadap
konteks, asbâb al-nuzûl, dan sosio historis sebagai piranti dalam memahami Al-Qurân,
Syihab57memberikan contoh ayat yang berkaitan dengan kebebasan poligami
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa’ (4); 3 yang berbunyi:
ثلاث ى وثنم اءسالن نم لكم ا طابوا محى فانكتامي اليطوا فألا تقس فتمخ إنو ة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا داحلوا فودألا تع فتمخ فإن اعبرو
Artinya; “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Menurut Syihab, para ulama sepakat bahwa ayat di atas merupakan dasar hukum
kebebasan berpoligami. Padahal, apabila ditelusuri sejarah bangsa Arab pada jaman
56 M. Ali, Al-Shâbûni, Loc. Cit 57 Umar Syihab, Op. Cit, h. 24-25
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
61
jahiliyah, mereka itu gemar berpoligami. Bahkan ada dari mereka yang beristri 10
orang.58 Pembatasan poligami hanya empat orang, disebabkan kegemaran berpoligami di
kalangan bangsa Arab pada saat itu tidak mungkin dihilangkan begitu saja.
Dengan demikian, esensi ayat tersebut sama sekali tidak menganjurkan
berpoligami, melainkan hanya meringankan orang Arab dari kegemarannya berpoligami
(sampai ada yang beristri 10 orang) yang sulit dihapus begitu saja. Pernyataan tersebut
ditegaskan pada bagian akhir ayat yang berbunyi: ةداحلوا فودألا تع فتمخ فإن . Demikian
juga Ibnu Katsir 59 mengungkapkan bahwa jika terhadap isteri-isteri yang lebih dari satu
itu kamu takut tidak dapat berlaku adil dalam hal pelayanan, pakaian, tempat, giliran
bermalam, dan lain-lain, maka hendaklah kamu beristrikan satu orang saja.
Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas terjadi seusai perang uhud (tahun 3
H). Pada peperangan tersebut, 70 orang muslim gugur. Populasi laki-laki pada saat itu
relatif berkurang, sebaliknya populasi janda dan anak yatim bertambah.60 Ada juga
sumber lain yang menyebutkan bahwa populasi umat Islam di masa-masa permulaan
Islam lebih besar jumlah perempuannya daripada laki-laki. Diantara 500 orang hanya
terdapat seperlima laki-laki yang dapat menggunakan senjata. Selebihnya adalah
perempuan dan anak-anak. Apabila populasi yang kecil ini kalah lagi dalam peperangan,
58 Sebagaimana riwayat yang diungkapkan oleh Al-Baihaqy dan Al-Nasa’i dalam kitab
Sunannya. Lihat Ibn Katsir. Op. Cit, Juz. 1, h. 588 59 Ibid, h. 586-587 60 Kaukah Siddique, Mengugat Tuhan yang Maskulin, Terjemahan oleh A. Maftuhin, (Jakarta;
Paramadina, 2002), h. 26
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
62
maka sudah barang tentu poligami bisa menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan
masalah-masalah umat.61
D. Teori Tindak Tutur dalam Mengkaji Fungsi Wacana (Teks) Al-Qurân
Salah satu fenomena Pragmatik yang dapat dijadikan piranti dalam mengungkap
fungsi wacana (teks) Al-Qurân adalah teori tindak tutur atau tindak ujaran (speech
acts)62 Hal ini didasari karena teori ini berpendapat bahwa suatu ujaran (bahasa) juga
wacana (teks) Al-Qurân tidak hanya berfungsi untuk mengungkapkan unsur kognitif,
unsur sikap pun ada dalam setiap bahasa, yaitu unsur yang memperlihatkan maksud
penutur, pikiran, kegiatan dan sebab penuturannya.63 Dengan demikian suatu ujaran atau
tuturan tidak hanya dianggap mengandung makna yang diucapkan, akan tetapi lebih jauh
yaitu mengandung makna tindakan.
Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh ahli filsafat bahasa John Austin pada
tahun 196264. Dalam teori ini dikemukakan, bahwa meskipun kalimat sering dapat
digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan, dalam keadaan tertentu harus
dianggap sebagai suatu pelaksanaan tindakan65.
61 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qurân, (Jakarta: Paramadina,
1999), h. 50 62 Hal ini dikarenakan fenomena pragmatik ada empat, yaitu: (1) Deiksis (Sesuatu di luar bahasa
pada saat penutur mengungkapkan tuturan), (2) Praanggapan (Presupposition), (3) Tindak tutur atau tindak ujaran (Speech Acts), dan (4) Implikatur percakapan (Conversational Implicature). Dalam Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang; Angkasa Raya, 1990), Cet. ke-10, h. 113
63 A. Chaedar al-Wasilah, Pengantar Sosiologi Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1993), Cet. ke-10, h. 18
64 Soeseno Kartomihardjo, Loc. Cit. 65 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 104
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
63
Sependapat dengan ungkapan di atas, Kartomihardjo juga berpendapat bahwa
dalam teori tindak tutur, sebuah ujaran bisa diinterpretasikan sebagai pemberitahuan,
ucapan kegembiraan, mengingatkan orang yang diajak berbicara tentang janjinya yang
terdahulu dan sebagainya66. Dengan ungkapan yang lain, Clark and Clark menyatakan
bahwa setiap kalimat dapat digunakan untuk melakukan sesuatu, menanyakan fakta, atau
memberikan ucapan terima kasih.67
Dalam kaitannya dengan teori tindak tutur ini, Austin68 membedakan tindak tutur
menjadi tiga bagian, yaitu: (1) tindak lokusi, yaitu makna dasar dan referensi dari suatu
ujaran, atau tindakan dasar yang menghasilkan makna ujaran yang berkaitan dengan
fonologi, sintaksis, morfologi dan aturan-aturan bahasa yang lain, (2) tindak illokusi,
yaitu tindakan yang dibentuk atau ditimbulkan oleh pemakai sebagai suatu perintah,
ejekan, keluhan, pujian, dan sebagainya, dan (3) tindak perlokusi, yaitu hasil dari apa
yang diucapkan terhadap pendengarnya.69
Dengan kata lain, tindak lokusi berkaitan dengan makna ujaran sebagaimana yang
tersurat dalam ujaran itu sendiri, tindak illokusi berkaitan dengan tindak melakukan
sesuatu dengan maksud tertentu, misalnya tawaran, janji, perintah, permohonan, dan
seterusnya, dan tindak perlokusi berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh ujaran
tersebut kepada mitra tutur atau lawan tutur.
66 Soeseno Kartomihardjo, Loc. Cit. 67 Herbert, H. Clark dan Even, V. Clark, Psychology and Language An Introduction to
Psicolinguistic, (New York; Harcour Brace Jovanovich Publishers, 1977), h. 61 68 J.L. Austin, Loc. Cit. 69 Ibid. Lihat juga Keir Alam, The Semiotics of Theatre and Drama, (New York; Methuen, 1980),
h. 158
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
64
Selanjutnya, Leech membagi kategori tindak illokusi menjadi lima bentuk
tuturan70, yaitu;
1. Tindak asertif, yaitu keterikatan penutur pada proposisi yang
diungkapkan, misalnya: menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, melaporkan, dan lain-lain.
2. Tindak direktif, yaitu bentuk tuturan yang bertujuan untuk menghasilkan
suatu pengaruh (efek) agar petutur (lawan tutur) melakukan suatu
tindakan, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan
merekomendasi dan lain-lain.
3. Tindak komisif, yaitu bentuk tuturan dimana penutur terikat pada suatu
tindakan dimasa mendatang, misalnya: menjanjikan, bersumpah,
menawarkan, dan lain-lain.
4. Tindak ekspresif, yaitu bentuk tuturan ini berkaitan dengan pengungkapan
sikap kejiwaan penutur terhadap suatu keadaan, misalnya:
mengungkapkan rasa terima kasih, memberi selamat, meminta maaf,
menyalahkan, memuji, bela sungkawa, dan lain-lain.
5. Tindak rogatif, yaitu salah satu tindak yang verbanya tidak dapat
dimasukkan ke dalam salah satu dari keempat kategori di atas, misalnya:
menamai, mengklasifikasikan, memerikan, membatasi, mendefinisikan,
mengidentifikasikan, dan lain-lain.
70 Geoffroey Leech, Op. Cit, h. 105-106. Lihat juga Suyono, Op. Cit, h. 5-7
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
65
Sebagai ilustrasi dari ketiga kategori dalam teori tindak tutur Austin tersebut,
berikut ini contoh dari Q.S. al-Baqarah (2); 219 yang berbunyi;
ثم كبري ومنافع للناس وإثمهما يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إ اتالآي لكم الله نيبي ككذل فوقل الع قونفناذا يم ألونكسيا وهمنفع نم رأكب
ونتتفكر لكملع. Artinya; “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
Ibn Katsir 71, mengungkapkan bahwa latar belakang ayat 219 tersebut diturunkan
adalah ketika para sahabat anshâr bersama Umar Ibnu Khatab mendatangi Rasulullah
SAW, mereka meminta fatwa kepadanya tentang khamar dan judi yang benar-benar
telah merusak akal dan dapat ‘menguras’ harta benda. Sebagai jawaban atas pertanyaan
tersebut maka turunlah ayat 219 di atas, yang isinya adalah baik minuman keras
(khamar) maupun judi ada manfaat dan bahayanya. Akan tetapi bahaya atau dosanya
lebih besar dari pada manfaatnya.
Dari aspek formalnya (tindak lokusi), ayat tersebut berbentuk deklaratif (kalam
khabar). Akan tetapi maksud yang tersirat (tindak illokusi) dari ayat tersebut adalah
larangan (nahy). Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah memberikan efek kepada
manusia agar meninggalkan minuman keras (khamar)dan judi.
71 Ibn Katsir, Op.Cit, juz 1, h. 333, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga
riwayat dari Abu Dawud, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
66
Pemberian larangan dalam bentuk tidak langsung sebagaimana tersirat pada ayat
219 tersebut karena secara sosio-kultural pada saat itu bangsa Arab sangat kecanduan
terhadap minuman keras (khamar) dan judi. Dalam kondisi masyarakat seperti ini,
bentuk larangan secara langsung tentang minuman keras (khamar) dan judi belum dapat
diberlakukan seketika itu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang
kontradiktif.
Dalam kondisi sosio kultural seperti di atas, maka harus ada proses atau tahapan
dalam penetapan hukum yang dalam terminologi agama biasanya disebut prinsip al-
tadrîj (bertahap). Oleh karena itu larangan keras terhadap minuman keras dan judi secara
tegas baru terdapat pada Q.S. al-Mâidah (5); 9072 ketika terjadi pertikaian antara dua
golongan sahabat nabi SAW (Muhâjirîn dan Anshâr) dikarenakan mereka mabuk setelah
minum-minuman keras, padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai.73
Dari uraian diatas, ada satu hal mendasar yang perlu dicatat dari penggolongan
tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan menurut para tokoh tersebut, yakni bahwa
berbagai bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama.
Sebaliknya, berbagai maksud dapat pula disampaikan dengan bentuk tuturan yang
sama.74 Sependapat dengan hal ini, Rahardi juga menyatakan bahwa satu tindak tutur
dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam75.
72 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 73 Jalaluddin al-Suyûti, Asbâb al-nuzûl; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qurân. Terjemahan Oleh Shaleh, dkk. (Bandung; CV Diponegoro, 1995), h. 45
74 Geoffrey Leech, Loc. Cit 75 Kunjana Rahardi, Imperatif dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta; Duta Wacana University
Press, 2000), h.34
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
67
Dengan demikian, peneliti berkesimpulan bahwa satu bentuk tuturan berupa
istifhâm (pertanyaan), khususnya yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-
Qurân pun tidak selalu hanya bertujuan untuk meminta informasi, melainkan pasti ada
tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi lain sesuai dengan konteks, asbâb al-nuzûl, dan sosio
historis yang menyertai tuturan tersebut.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
BAB IV
PENGGUNAAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN
A. Analisis dan Pembahasan Hasil Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya
Hamzah dalam Al-Qurân
1. Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân
Analisis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
dilakukan berdasarkan tiga langkah cara kerja pragmatik, yaitu analisis aspek sintaksis,
analisis aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis.
a. Analisis Aspek Sintaksis
Analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân meliputi
tiga komponen, yaitu analisis pola, sasaran, dan jenis.
1) Pola Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân
Dalam penggunaannya, kata Tanya hamzah dapat digunakan untuk mencari
pengetahuan tentang dua hal, yaitu: tashawwur dan tashdîq. Hamzah li al-tashawwur,
dimaksudkan untuk menanyakan satuan, atau mencari gambaran sesuatu yang mufrad.1
Pada hamzah ini, yang ditanyakan itu adalah kata yang menghampiri hamzah itu sendiri
dan sesudahnya, biasanya dalam pemakaiannya ada mu’âdil (pembanding) yang
disebutkan setelah am muttashilah.
Sedangkan hamzah li al-tashdîq, dimaksudkan untuk menanyakan tentang
nisbah, yaitu menanyakan ada atau tidaknya hubungan antara musnad dan musnad
1 Hifni Bek Dayyab, dkk. Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, (Indonesia; Al-Maktabah al-Hidayah,
tt), h. 108. Lihat pula Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, Loc. Cit, Dan A. Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balâghah, (Bandung; Angkasa, tt. ), h. 99-100
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
69
ilaih.2 Dengan kata lain hamzah disini digunakan untuk menanyakan sesuatu yang
meragukan atau untuk menanyakan suatu kepastian, yaitu menanyakan ada atau tidak
ada keterangan bagi subyek. Maka yang dipertanyakan oleh hamzah li al-tashdîq ini
adalah nisbah sesuatu kepada yang lain dan sesudahnya tidak ada am muttashilah dan
mu’âdil.
Maka dalam pembahasan tentang pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-
Qurân ini akan dipaparkan berdasarkan kedua fungsinya, yaitu: tashawwur dan tashdîq.
a) Hamzah li al-Tashawwur
Dalam Al-Qurân, berdasarkan sesuatu yang ditanyakan, penggunaan hamzah li
al-tashawwur ini dapat diklasifikasikan ke dalam empat pola3, yaitu:
(1) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Subyek (S) (Musnad Ilaih) Seperti contoh Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27.
.ءأنتم أشد خلقا أم السماء بناهاArtinya: Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya
ataukah langit? Allah telah membangunnya.
Dalam contoh di atas, si penanya (Tuhan) ingin mempertanyakan subyek
(musnad ilaih), yaitu orang-orang yang mengingkari adanya hari kebangkitan, dengan
2 Ahmad Al-Hâsyimi , Op.Cit, h. 87 3 Yang peneliti kalsifikasikan dari keberadaan fungtor yang dipertanyakan. Fungtor adalah
bagian kalimat yang menduduki jabatan tertentu. Suparno, Perihal Bahasa, (Malang; IKIP Malang, 1995), h. 15, juga dalam Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Penerbit Misykat, 2004), h. 74, diterangkan bahwa dalam bahasa Arab fungtor S (subyek) dapat disepadankan dengan musnad ilaih dan fungtor P (predikat) dapat disepadankan dengan musnad. Selain fungtor S dan P terdapat fungtor O (obyek) sepadan dengan maf’ul bih dan fungtor K (keterangan) yang dapat dirinci; maf’ul fih (keterangan tempat/waktu), maf’ul muthlaq (keterangan penegas, frekuensi, dan model), maf’ul liajlih (keterangan maksud/sebab), maf’ul ma’ah (keterangan penyerta), dan hal (keterangan keadaan).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
70
redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah li al-tashawwur dengan
memperbandingkan mereka dan langit (dalam proses penciptaannya).
(2) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Predikat (P) (Musnad)
Seperti contoh, Q.S. al-Thûr (52):15
أفسحر هذا أم أنتم ال تبصرونArtinya: “ Maka apakah ini sihir? Ataukah
kamu tidak melihat?
Dalam contoh di atas, si penanya (Tuhan) ingin mempertanyakan predikat
(musnad), yaitu sihir, dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah li
al-tashawwur dengan memperbandingkan sihir dan tidak melihat.
(3) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Obyek (O) (Maf’ul Bih)
Seperti contoh Q.S. al-An’âm (6);143
ءالذكرين حرم أم االنثيني أما اشتملت عليه ارحام األنثينيArtinya: “ Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah
ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?”
Dalam contoh di atas, si penanya (nabi SAW) ingin mempertanyakan obyek
(maf’ul bih), yaitu dua domba jantan, dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata
tanya hamzah li al-tashawwur dengan memperbandingkan dua domba jantan dan dua
domba betina.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
71
(4) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Keterangan (K) (Dzarf)
Seperti Contoh, Q. S Al-Najm (53); 35-36
&rãÏZâynç¼ æÏ=ùOÞ #$9øótãø=É ùsgßqu Étçtì# &rP÷ 9sNö Éãt6¬'ù /ÎJy$ ûÎí ¹ßsß#É BãqõyÓ4 . Artinya; Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib, sehingga dia
mengetahui (apa yang dikatakan)? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa?
Pada contoh di atas, si penanya ingin mempertanyakan keterangan (dzarf), yaitu
dia mempunyai (indahu) dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
li al-tashawwur dengan memperbandingkan dia mempunyai (indahu) dan belum
diberitakan kepadanya (lam yunabba’).
b) Hamzah li al-Tashdîq
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa hamzah li al-tashdîq adalah
menanyakan nisbah (hubungan), oleh karena itu hamzah li al-tashdîq ini dalam
penggunaannya dalam Al-Qurân jika ditinjau dari ada tidaknya penanda negasi terbagi
menjadi dua, yaitu: hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) dan
hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi).
(1) Hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat)
Hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) ini digunakan untuk
menanyakan hubungan sesuatu dengan yang lain, atau memberi suatu hukum padanya.4
Maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dua, yaitu: apabila menetapkan
4 Imam Al-Akhdhari, Ilmu Balâghah, Terjemahan Kitab Jauhar Maknun, alih bahasa. H.M.
Anwar, (Bandung; Al-Ma’arif, 1993), h. 102
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
72
menggunakan jawaban na’am (ya) dan apabila menegasikan menggunakan jawaban lâ
(tidak).5
Seperti contoh Q. S. al –Shâffât (37); 17-18
لوننا الأواؤابءقل أومنع ونراخد أنتمو.
Artinya: “ Dan apakah bapak-bapak kami yang telah dahulu (akan dibangkitkan pula)?” Katakanlah: “Ya, dan kamu akan terhina”.
Pada contoh di atas adalah bentuk redaksi istifhâm dengan hamzah li al-tashdîq
yang ada pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat), maka jawaban dari ayat tersebut
adalah dengan menggunakan lafadz na’am (ya), karena untuk menetapkan dan
menegaskan.
(2) Hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi)
Apabila hamzah li al-tashdîq ini masuk ke dalam kalimat negatif (kalam manfi),
maka jawaban atas pertanyaan tersebut apabila tidak inkar menggunakan lafadz balâ,
dan bila untuk memungkiri, maka menggunakan lafadz na’am.6
Adapun penanda negasi7 yang digunakan dalam Al-Quran adalah; (1) lâ, (2) lam
(3) laisa, dan (4) lan, seperti beberapa contoh di bawah ini;
(a) Q.S. al-Mulk (67); 14
الخبري يفاللط وهو لقخ نم لمعألا ي Artinya: “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?”
5 Ahmad Al-Hâsyimi , Loc. Cit 6 Al-Zarkasyi, Op. Cit, h. 291 7 Dalam bahasa Arab terdapat empat penanda negasi, yaitu lâ, lam, laisa, dan lan. Imam Asrori
Op. Cit, h. 106
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
73
(b) Q.S. al-Syarh (94); 1
ح لك صدرك رنش ألم Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?”
(c) Q.S. al-An’âm (6); 30
س أليقذا بالحه
Artinya: “Bukankah (kebangkitan) ini benar?”
(d) Q.S. Ali Imrân (3); 124
نيلزنم كةلائالم نم الافء بثلاثة كمبر كمدمي أن كميكفي ألن
Artinya:"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?"
Pada keempat contoh di atas memperlihatkan pada kita bahwa hamzah li al-
tashdîq juga dapat masuk ke dalam kalimat negatif (kalam manfi). Pada contoh (a)
penanda negasinya adalah lâ yang berada sebelum frasa verba imperfect. Pada contoh
(b) penanda negasinya adalah lam yang berada sebelum frasa verba imperfect. Pada
contoh (c) penanda negasinya adalah laisa. Dan pada contoh (d) penanda negasinya
adalah lan yang berada sebelum frasa verba imperfect.
2) Sasaran Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân
Meskipun Al-Qurân merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, yang mana Allah merupakan subyek primer dan nabi SAW sebagai
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
74
obyek primer, akan tetapi Al-Qurân juga merupakan media interaksi antara Tuhan dan
hambaNya. Oleh karena itu agar proses interaksi tersebut berjalan secara multi arah,
Tuhan menggunakan berbagai macam redaksi, yang meskipun obyek primernya adalah
nabi SAW sebagai penerima wahyu, tapi ada obyek-obyek sekunder lain yang bisa
ditemukan dalam kekayaan redaksi Al-Qurân –khususnya dalam redaksi istifhâm -.
Sasaran istifhâm adalah suatu obyek yang menjadi sasaran atau yang
dipertanyakan oleh mutakallim (penutur). Sasaran (obyek) istifhâm yang menggunakan
kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bervariasi. Berdasarkan hasil analisis peneliti,
sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu; (1) sasaran langsung, dan (2) sasaran tidak langsung.
Yang dimaksud sasaran langsung adalah suatu istifhâm yang sasarannya
langsung ditujukan oleh mutakallim kepada pihak pertama atau kedua. Sedangkan
sasaran tidak langsung adalah istifhâm yang sasarannya ditujukan kepada pihak ketiga
melalui pihak kedua.
Secara lebih spesifik -dalam penelitian ini- sasaran langsung dikelompokkan
menjadi dua kelompok sasaran, yaitu kelompok sasaran pertama dan kelompok sasaran
kedua. Kelompok sasaran pertama adalah dengan menggunakan kata ganti orang
pertama, yang terdiri atas; (1) orang pertama tunggal (mufrad/singular), dan (2) orang
pertama banyak (jama’/plural). Sedangkan kelompok sasaran kedua adalah dengan
menggunakan kata ganti orang kedua, yang terdiri atas; (1) orang kedua tunggal laki-laki
(mudzakkar mufrad/masculine singular), (2) orang kedua tunggal perempuan (muannats
mufrad/feminine singular), (3) orang kedua yang berarti dua (tatsniyah/duality), dan (4)
orang kedua laki-laki banyak ( jama’ mudzakkar/masculine plural).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
75
Sementara itu, sasaran tidak langsung adalah dengan penggunaan kata ganti
orang ketiga yang terdiri atas; (1) orang ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar
mufrad/masculine singular), (2) orang ketiga tunggal perempuan (muannats
mufrad/feminine singular), dan (3) orang ketiga laki-laki banyak (jama’
mudzakkar/masculine plural).
a) Sasaran Langsung
Sasaran langsung dikelompokkan menjadi dua, yaitu;
(1) Kelompok Sasaran Pertama
Kelompok sasaran pertama adalah dengan menggunakan kata ganti orang
pertama, yang terbagi menjadi dua, yaitu;
(a) Orang Pertama Tunggal (Mufrad/Singular)
Orang pertama tunggal (mufrad/singular) adalah suatu istifhâm yang sasarannya
adalah orang pertama dengan menggunakan kata ganti pertama tunggal, yaitu anâ
(saya). Dengan kata lain, dalam istifhâm tersebut, mutakallim mempertanyakan keadaan
dirinya sendiri.
Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 31
ة أخيه قال فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأة أخي ياويلتا أعجزت أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأ
نيمادالن نم حبفأص Artinya: “ Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi
untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
76
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
pertama tunggal (mufrad/singular), yang menggunakan kata ganti aku atau dhamir “ ت “
yang yang melekat pada verba “ تزجع ”. Kata tersebut terdapat pada ayat yang digaris
bawahi di atas. Aku yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Qabil, putra pertama
Nabi Adam A.s. dan Hawa, yang pertama kali melakukan pembunuhan dimuka bumi
ini.8
(b) Orang Pertama Banyak (Jama’/Plural)
Orang pertama banyak (jama’/plural) adalah suatu istifhâm yang sasarannya
adalah orang pertama dengan menggunakan kata ganti pertama banyak (jama’/plural),
yaitu; ” حنن ” nahnu (kami).
Seperti contoh, Q.S. al-Baqarah (2); 13
اءفهالس ناما ءكم نمؤ وإذا قيل لهم ءامنوا كما ءامن الناس قالوا أنألا إنهم هم السفهاء ولكن لا يعلمون
Artinya: ”Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana
orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”
8 Ibn Katsir, Op.Cit, juz. 2, h. 24-25, dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq. Lihat juga M. Quraisy
Syihab, Tafsir al-Misbâh, (Jakarta; Lentera Hati, 2001), V. 3, h. 74
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
77
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
pertama banyak (jama’/plural), yang menggunakan kata ganti kami atau dhamir ن (harf
mudhâra’ah) yang melekat pada verba “نمؤ ن “ . Kata tersebut terdapat pada ayat yang
digaris bawahi di atas. Kami yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang
munafik pada zaman Rasulullah SAW.9 Mereka menolak serta menghina perintah Allah
SWT untuk beriman kepadaNya dengan sebenar-benarnya iman10
(2). Kelompok Sasaran Kedua
Kelompok sasaran kedua adalah dengan menggunakan kata ganti orang kedua,
yaitu;
(a) Orang Kedua Tunggal Laki-laki (Mudzakkar Mufrad/Masculine Singular)
Orang Kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) adalah
suatu istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata
ganti kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) yaitu “انت ” anta
(kamu laki-laki).
9 Ibid, juz. 1, h. 71-72. juga. ibid.V.1, h. 103 10 M. Ali al-Shâbûni, Shofwah al-Tafâsîr, Op. Cit, juz. 1, h. 36, selanjutnya ditulis Al- Shâbûni
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
78
Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 127
وقال الملأ من قوم فرعون أتذر موسى وقومه ليفسدوا في الأرض ويذركل أبناءهم ونستحيي نساءهم وإنا فوقهم قاهرون وءالهتك قال سنقت
Artinya: Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun): "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab: "Akan kita bunuh
anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
kedua tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular), yang menggunakan
kata ganti kamu laki-laki atau dhamir “ت ” (harf mudhâra’ah) yang melekat pada verba
تذر“ ” pada ayat yang digaris bawahi di atas. Kamu laki-laki yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah Fir’aun yang hidup pada jaman Nabi Musa A.s.11 Sedangkan
mutakallimnya adalah pada pembesar dari kaum Fir’aun.12
(b) Orang Kedua Tunggal Perempuan (Muannats Mufrad/Feminine Singular)
Orang kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular) adalah
suatu istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata
11 Ibid, h. 465 juga Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 319 12 Ibid. lihat juga M. Hasbi al-Shiddiqy, Tafsir al-Nûr, (Semarang; PT Pustaka Rizki Putra,
2000), juz. 2, h. 1461, selanjutnya ditulis Al-Shiddiqy
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
79
ganti kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular), yaitu; ” أنت “ anti
(kamu perempuan).
Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 73
جيدم يدمح إنه تيل البأه كمليع كاتهربو ة اللهمحر ر اللهأم نم بنيجقالوا أتع Artinya: Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai
ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas sasarannya adalah orang
kedua tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular), yang menggunakan
kata ganti kamu perempuan atau dhamir “ya’ muannatsah mukhâthabah” yang melekat
pada verba “بنيجتع ” pada kalimat yang digaris bawahi pada ayat di atas. Kamu
perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Sarah istri Nabi Ibrahim A.s.
Sedangkan mutakallimnya adalah para malaikat yang mendatangi Nabi Ibrahim A.s. dan
istrinya.13
(c) Orang Kedua Yang Berarti Dua (Tatsniyah/Duality)
Orang kedua yang berarti dua adalah istifhâm yang sasarannya adalah orang
kedua langsung dengan menggunakan kata ganti kedua yang berarti dua, yaitu أنتما
antumâ (kamu berdua).
13 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 589. juga Al-Shâbûni, Op.Cit, h. 24
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
80
Seperti contoh Q.S. al-Ahqâf (46); 17
ج وقد خلت القرون من قبلي وهما رأخ ي أنناندا أتعف لكم والذي قال لوالديه أ يستغيثان الله ويلك ءامن إن وعد الله حق فيقول ما هذا إلا أساطري الأولي
Artinya: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain
hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka".
Istifhâm yang mengunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
kedua yang berarti dua yang menggunakan kata ganti kamu berdua atau huruf ta’
mudhâra’ah dan alif tatsniyah yang melekat pada verba “اندتع ” pada kalimat yang
digaris bawahi pada ayat di atas. Kamu berdua yang dimaksud dalam ayat ini adalah dua
orang ibu bapak, sedangkan mutakallimnya adalah setiap anak manusia yang durhaka
kepada ibu bapaknya tersebut.14 Khithab ayat ini ditujukan untuk umum, maka ayat ini
pun membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai
pribadi Abdurrahmân ibnu Abu Bakar.15 Bahkan pendapat ini menurut Ibnu Katsîr
adalah dha’if.16
(d) Orang Kedua Laki-laki Banyak (Jama’ Mudzakkar/Masculine Plural)
Orang kedua laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural) adalah suatu
istifhâm yang sasarannya adalah orang kedua langsung dengan menggunakan kata ganti
14 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. III, h. 196 15 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 5, h. 3833 16 Ibn Katsîr, Op. Cit, juz. 4, h. 143
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
81
kedua laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yaitu أنتم antum (kamu laki-
laki banyak)
Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 18
ؤلاء شفعاؤنا عند الله قل أتنبئون الله بما لا يعلم في ه قولونيو مهفعنلا يو مهضر ا لا يم ون اللهد نم وندبعيوركونشا يمالى عتعو انهحبض سي الأرلا فو اتومالس
Artinya: Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah".
Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa
yang mereka mempersekutukan (itu).”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
kedua yang menggunakan kata ganti kamu semua atau huruf ta’ mudhâra’ah dan wawu
jama’ yang melekat pada verba “ئونبتن ” pada kalimat yang digaris bawahi pada ayat di
atas. Kamu semua yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang musyrik pada
jaman nabi SAW.17 Sedangkan mutakallimnya adalah nabi SAW.18
17 Ibid, h. 538, dengan mengambil pendapat dari Ibn jarir dan Ibn ‘Abbas. Juga Al-Shâbûni, Op.
Cit, h. 577 18 Ibid. Juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1788-1789
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
82
b) Sasaran Tidak Langsung
Sasaran tidak langsung adalah suatu istifhâm yang ditujukan kepada pihak ketiga
melalui pihak kedua. Sasaran ini menggunakan kata ganti orang ketiga yang terdiri;
(1) Orang Ketiga Tunggal Laki-laki (Mudzakkar mufrad/Masculine Singular)
Yang dimaksud orang ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine
singular) adalah istifhâm yang sasarannnya adalah orang ketiga dengan menggunakan
kata ganti ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular), yaitu هو
huwa (dia laki-laki).
Seperti contoh Q.S. al-Najm (53); 35
أعنده علم الغيب فهو يرىArtinya: “Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang
ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?”
Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas adalah orang
ketiga tunggal laki-laki (mudzakkar mufrad/masculine singular) yang menggunakan kata
ganti dia laki-laki atau dhamir muttashil ه “hu” yang terletak setelah lafadz دنع “inda”
pada ayat di atas. Dia laki-laki yang dimaksud adalah orang yang berpaling dari
keberanan sebagai sasaran tidak langsung. Sedangkan sasaran langsungnya adalah al-
Walîd ibnu al-Mughîrah,19 hal ini dikarenakan menurut Al-Mujâhid, ayat ini diturunkan
19 Ibid, h. 4015
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
83
mengenai al-Walîd ibnu al-Mughîrah.20 Sedangkan mutakallimnya adalah nabi
Muhammad SAW.21
(2) Orang Ketiga Tunggal Perempuan (Muannats Mufrad/Feminine Singular)
Yang dimaksud orang ketiga tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine
singular) adalah orang ketiga dengan menggunakan kata ganti ketiga tunggal perempuan
(muannats mufrad/feminine singular), yaitu هي “hiya” (dia perempuan)
Seperti contoh Q.S. al-Naml (27); 41
ظرا ننهشرا عوا لهقال نكر ونتدهلا ي ينالذ نم تكون ي أمتدأته. Dia berkata: "Rubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat
apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal (nya)".
Sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas adalah orang
ketiga tunggal perempuan (muannats mufrad/feminine singular) yang menggunakan kata
ganti dia perempuan atau huruf ta’ mudhâra’ah yang melekat pada verba “يتدته ” pada
kalimat yang digaris bawahi di atas. Dia perempuan yang dimaksud adalah Bilqis binti
Syarahil, seorang ratu yang memerintah negeri Saba’.22 Sedangkan mutakallimnya
adalah nabi Sulaiman A.s.23
20 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 327, juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 278 21 Ibid 22 Al-Shiddiqy, Op.Cit. Juz. 4, h. 3003 dan 3009 23 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. II, h. 410
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
84
(3) Orang Ketiga Laki-laki Banyak (Jama’ Mudzakkar/Masculine Plural)
Orang ketiga laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural) adalah
istifhâm yang sasarannya adalah orang ketiga dengan menggunakan kata ganti ketiga
laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yaitu هم “hum” (mereka laki-
laki).
Seperti contoh Q.S. al-Nisâ’ (4); 139
الذين يتخذون الكافرين أولياء من دون المؤمنني أيبتغونة لله جميعا زالع فإن ة زالع مهدنع
Artinya; ”(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, sasarannya adalah orang
ketiga laki-laki banyak (jama’ mudzakkar/masculine plural), yang menggunakan kata
ganti mereka laki-laki atau huruf ya’ mudhâra’ah dan wawu jama’ yang melekat pada
verba “تغونبي ” pada kalimat yang digarisbawahi pada ayat di atas. Mereka yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang munafik yang menjadikan orang-
orang kafir sebagai penolong atau pendukung mereka. Sedangkan mutakallimnya adalah
nabi SAW.24
24 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, V. 2, h. 595
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
85
3) Jenis Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya Hamzah dalam Al-Qurân
Bagian ketiga dari analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam
Al-Qurân membahas tentang jenis istifhâm. Jenis istifhâm dalam penelitian ini mengacu
pada kategori istifhâm yang didasarkan pada aspek jawabannya. Hasil analisis data
menyatakan ada dua jenis istifhâm beserta karakteristiknya, yaitu; (1) istifhâm retoris,
dan (2) istifhâm aretoris. Istifhâm retoris adalah istifhâm yang tidak menghendaki
adanya suatu jawaban dari mukhathab, sedangkan aretoris adalah istifhâm yang
menghendaki jawaban dari mukhathab .25
Perincian kedua jenis istifhâm dan karakteristiknya masing-masing adalah
sebagai berikut;
a) Istifhâm Retoris dan Karakteristiknya
Istifhâm retoris yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
mempunyai karakteristik sebagai berikut; (1) hanya digunakan untuk menunjukkan
fungsi pragmatis, (2) berfungsi sebagai jawaban atas istifhâm yang ada sebelumnya,
(3) mutakallimnya adalah Tuhan dan mukhathabnya adalah hamba, dan
(4) mutakallim dan mukhathab sesama hamba.
(1) Fungsi Pragmatis
Di dalam Al-Qurân, ditemukan bahwasanya Istifhâm yang menggunakan kata
tanya hamzah yang berjenis retoris hanya digunakan untuk menunjukkan fungsi
pragmatis dan tidak digunakan untuk fungsi semantis.
25 M. Quraisy Syihab, Op.Cit, V. 3, h. 74
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
86
Seperti contoh Q. S. al-Mâidah (5); 31
ة أخيه قال ياويلتا فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأنيمادالن نم حبي فأصأخ ة أعجزت أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأ
Artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena
itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas adalah
termasuk istifhâm retoris. Mutakallim dan mukhathab dalam ayat di atas adalah satu,
yaitu orang pertama tunggal (Qabil).26 Secara fungsional, istifhâm di atas tidak
dimaksudkan untuk fungsi semantis (meminta informasi), melainkan untuk menyatakan
penyesalan “al-tahassur” (fungsi pragmatis).27 Hal yang mendasari digunakannya
istifhâm tersebut untuk menyatakan penyesalan adalah karena setelah Qabil membunuh
saudaranya (Habil), dia tidak bisa berbuat apa-apa, baru setelah Allah mengutus seekor
burung gagak untuk menggali tanah guna mengubur temannya yang mati, dia baru tahu
cara menguburkan orang mati. Istifhâm tersebut terlontar sebagai ungkapan
penyesalannya atas kebodohan dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan.
Hal ini pun, juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Marâghi dan al-Zuhaili,
bahwasanya ungkapan tersebut terlontar sebagai ungkapan penyesalan atas kesalahan
yang dia (Qabil) perbuat, yaitu pembunuhan terhadap Habil.28
26 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 24-25 dari riwayat Ibn Ishaq. Juga Al-Shâbûni. Op.Cit, Juz. I, h.
339 27 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 2, h. 1068 28 Ahmad Musthafa al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, Op. Cit, Juz. IV, h. 101, selanjutnya ditulis
Al-Marâghi. Lihat pula Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr, (Beirut; Dâr al-Fikr al-Mu’âsir, tt), Juz VI, h. 155
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
87
(2) Istifhâm Berfungsi Sebagai Jawaban
Diantara karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
yang berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa keberadaan istifhâm tersebut adalah
sebagai jawaban dari istifhâm yang dikemukakan oleh mukhathab sebelumnya.
Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 77-78 ونراحالس حفللا يذا وه رحأس كماءا جلم قلحل ى أتقولونوسقال م اءريبا الكلكم تكوننا واءابء هلينا عدج ا وما عتنتلفا لجئتن قالوا أ
نينمؤ ا بملكم نا نحمض وي الأرف
Artinya: “Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat
kemenangan".Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan
di muka bumi? kami tidak akan mempercayai kamu berdua." Istifhâm pada ayat 78 surat Yunus di atas dikategorikan sebagai istifhâm retoris.
Redaksi istifhâm tersebut adalah jawaban dari istifhâm yang berada pada ayat
sebelumnya, yaitu ayat 77. Kedua ayat di atas menerangkan bahwasanya setelah tongkat
Nabi Musa menelan ular-ular tukang sihir, maka Musa mengajukan pertanyaan pada
mereka yang berfungsi untuk mengingkari dan mencela perkataan para ahli sihir itu,
yaitu pada ayat 76, yang menganggap bahwa hujjah yang dibawa oleh Musa yang
menunjukkan kerububiyahan dan keilahian Allah dianggap sebagai sihir.29
Istifhâm yang berfungsi untuk mengingkari dan mencela (al-inkâr dan al-
taubîkh) yang diucapkan oleh Musa pada ayat 77 di atas, dijawab oleh para tukang sihir
29 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. I, h. 593
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
88
pada ayat kelanjutannya (78) dalam redaksi istifhâm juga yang dimaksudkan untuk
menghina ( al-istihzâ’) nabi Musa. Istifhâm tersebut berbunyi: هلينا عدج ا وما عتنتلفا لجئتن أ
Karena istifhâm ini berkedudukan sebagai jawaban dan setelahnya tidak 30. ءاباءنا
diketemukan jawabannya, maka istifhâm ini dikategorikan sebagai istifhâm retoris.
(3) Mutakallimnya Tuhan dan Mukhathabnya Hamba
Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang
berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallimnya adalah Tuhan sedangkan
mukhathabnya adalah hamba.
Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 75 الله كلام ونعمسي مهنم فريق كان قدو وا لكمنمؤي أن ونعأفتطم
ونلمعي مهو قلوها عم دعب نم فونهرحي ثم Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas adalah
termasuk istifhâm retoris. Mutakallim pada istifhâm tersebut adalah Tuhan sedangkan
mukhathabnya adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Istifhâm tersebut
secara fungsional digunakan untuk larangan bukan untuk meminta informasi. Dalam
ayat tersebut, Allah SWT melarang nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk
30 ibid. lihat juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 2. h. 1840
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
89
terlalu mengharapkan orang-orang yahûdi mau berbondong-bondong masuk agama
Islam.
Sedangkan makna yang mendasari fungsi istifhâm tersebut sebagai larangan
adalah karena ayat tersebut turun dilatar belakangi oleh harapan yang besar dari nabi
SAW dan para sahabatnya (sahabat Anshâr) kepada orang-orang yahûdi untuk memeluk
agama baru (Islam).31 Padahal di sisi lain umat yahûdi adalah umat yang mempunyai
karakter yang kurang baik, antara lain durhaka kepada Allah dan nabi-Nya, suka
menyembunyikan firman Allah dan memutar balikkannya, dll. 32
(4) Mutakallim dan Mukhathabnya Sesama Hamba
Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang
berjenis retoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallim dan mukhathabnya
mempunyai status yang sama, yaitu sesama hamba Tuhan.
Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 61
ضالأر بتا تنما ملن ج ع لنا ربك يخر فاد داحام ولى طعع برنص ى لنوسامي إذ قلتما وهثائقا وهقلب نم ألتما سم لكم ا فإنرصبطوا ماه ريخ وي هنى بالذأد وي هالذ لوندتبا قال أتسهلصبا وهسدعا وهفومو
بآي ونكفركانوا ي مبأنه كذل الله نضب م ات الله ويقتلون النبيني وضربت عليهم الذلة والمسكنة وباءوا بغ كذل قر الحبغي
انوا يعتدونبما عصوا وك Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu:
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang
31 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, V. 1. h. 71 32 ibid, h. 228, Al-Shâbûni, Loc. Cit. Juga al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 1. h. 138
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
90
merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa
yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam
istifhâm retoris. Mutakallim pada istifhâm tersebut adalah nabi Musa A.s, sedangkan
mukhathabnya adalah umatnya (bani Isrâil)33. Ayat tersebut menceritakan bahwasanya
bani Isrâil meminta nabi Musa A.s. untuk berdo’a kepada Tuhan agar keinginan mereka
terkabul, diantaranya mengharapkan makanan selain al-manna dan al-salwa, akan tetapi
di lain pihak mereka berbuat ingkar dan tidak mau mematuhi Musa.
Oleh karena itu, permintaan tersebut dijawab oleh Musa dengan redaksi istifhâm
yang bertujuan untuk menghardik34 dan menolak permohonan bani Isrâil tersebut.35 Hal
ini didasari oleh keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Musa, serta
ketidakrasionalan permintaan itu, karena al-manna dan al-salwa merupakan jenis
makanan yang paling sempurna, lezat dan penuh gizi.36
b) Istifhâm Aretoris dan Karakteristiknya
Istifhâm aretoris yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân pun
juga mempunyai karakteristik, yaitu sebagai berikut; (1) ada yang digunakan untuk
menunjukkan fungsi semantis dan ada yang digunakan untuk menunjukkan fungsi
33 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, h. 202 34 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 119 35 Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 62 36 Al-Shiddiqy. Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
91
pragmatis, (2) mutakallimnya adalah hamba dan mukhathabnya adalah Tuhan,
(3) mutakallim dan mukhathabnya sesama hamba, (4) mutakallim sebagai penanya dan
penjawab, dan (5) jawaban istifhâm berfungsi sebagai pengakuan.
(1) Fungsi Semantis dan Pragmatis
Di dalam Al-Qurân ditemukan bahwasanya karakteristik istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah yang berjenis aretoris jika dilihat dari fungsinya ada
dua, yaitu: (1) istifhâm aretoris yang digunakan untuk fungsi semantis, dan (2) istifhâm
aretoris yang digunakan untuk fungsi pragmatis.
(a) Istifhâm Aretoris Berfungsi Semantis
Seperti contoh Q.S al-A’râf (7); 65-66
.أفال تتقونواىل عادأخاهم هواد قال ياقوم اعبدوا ا ما لكم من إله غريه .قال املالء الذين كفروا من قومه انا لنربك يف سفاهة وانا لنظنك من الكذبني
Artinya: “ Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka (Hûd). Ia berkata: “ Hai, kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dariNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?.” Pemuka-pemuka yang
kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang
yang berdusta.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam
istifhâm aretoris. Pada ayat di atas mutakallimnya adalah nabi Hûd A.s, sedangkan
mukhathabnya adalah kaumnya, yaitu kaum ‘Ad.37 Dalam ayat 65 surat al-A’râf di atas,
secara fungsional istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Hûd kepada kaumnya adalah
bertujuan untuk mencari informasi (fungsi semantis) tentang tindakan apa yang akan
37 Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. III, h. 193
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
92
dilakukan oleh kaumnya, yaitu apakah mereka akan beriman setelah jelas bagi mereka
bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah? Istifhâm ini tertuang dalam
redaksi; 38. أفال تتقون
Istifhâm tersebut dijawab oleh para pemuka kaum ‘Ad yang kafir, yang tertuang
dalam ayat 66 surat al-A’râf, yang intinya bahwasanya mereka tetap mengingkari tauhid
(keesaan) Tuhan dan wahyu (risalah) yang dibawa Hûd dengan menyatakan bahwasanya
Hûd benar-benar kurang akal dan picik, bahkan mereka menuduh nabi Hûd seorang
pendusta yang mengaku-ngaku sebagai seorang rasul.39
(b) Istifhâm Aretoris Berfungsi Pragmatis
Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 72-73 إن ھذا لشيء عجیب قالوا أتعجبین من وھذا بعلي شیخا ءألد وأنا عجوزقالت یاویلتى
أمر اللھ رحمة اللھ وبركاتھ علیكم أھل البیت إنھ حمید مجیدArtinya: "Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan
anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.
Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."
Istifhâm pada ayat 72 surat Hûd di atas menggunakan kata tanya hamzah dan
dikategorikan ke dalam istifhâm aretoris. Mutakallimnya adalah Sarah isteri nabi
Ibrahim A.s, sedangkan mukhathabnya adalah para malaikat utusan Allah yang juga
sebagai sasaran istifhâm .40 Ungkapan dengan redaksi istifhâm yang diucapkan oleh
38 ibid, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 453 39 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1422-1423 40 Al-Marâghi, Op. Cit, juz IV, h. 59
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
93
Sarah tersebut berfungsi untuk menyatakan keheranannya (al-ta’jîb) atas berita tentang
apa yang disampaikan oleh para malaikat tersebut mengenai kelahiran anaknya yang
bernama Ishâq A.s. yang tertuang dalam ayat 71 sebelumnya.41
Keheranan tersebut didasari oleh keadaan Sarah yang sudah berumur yang
lazimnya sudah tidak beranak lagi, juga keadaan nabi Ibrahim sudah berusia lanjut.42
Maka keheranan tersebut di jawab oleh para malaikat, yang tertuang pada ayat 73 dan
beredaksi istifhâm pula, yang bertujuan untuk melarang Sarah merasa heran dan tidak
mempercayai kekuasaan Allah SWT, karena tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu
hanya menyatakan “kun” lalu terwujudlah apa yang dikehendaki-Nya itu.43
(2) Mutakallimnya Hamba dan Mukhathabnya Tuhan
Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang
berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallimnya adalah hamba dan
mukhathabnya adalah Tuhan.
Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 30
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيهالك س نقدك ودمبح حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نم
ونلما لا تعم لمقال إني أع Artinya: “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
41 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz II, h. 24 42 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz IV, h. 1924 43 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
94
Istifhâm pada contoh di atas juga dikategorikan sebagai istifhâm aretoris.
Mutakallim dalam istifhâm tersebut adalah para malaikat, sedangkan mukhathabnya
adalah Tuhan. Pada awal ayat tersebut, Allah SWT mengungkapkan bahwasanya Dia
berkehendak untuk menjadikan khalifah di bumi dan titah tersebut diungkapkan kepada
para malaikat.44 Dilandasi oleh statemen tersebut, para malaikat meminta petunjuk dan
penjelasan kepada Tuhan atas ide-Nya untuk menciptakan khalifah di bumi, dalam
redaksi istifhâm : “ س نقدك ودمبح حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نا ميهل فعأتج
45”لكIstifhâm dengan fungsi untuk meminta petunjuk atau penjelasan tersebut dilandasi
oleh ketidaktahuan para malaikat akan hakikat dan hikmah dari penciptaan khalifah,
juga karena mereka pernah tahu bahwa sebelumnya pernah ada makhluk yang mendiami
bumi yang berbuat durhaka kepada Allah, kemudian dibinasakan olehNya.46
Sebagai istifhâm aretoris, tentulah ada jawabannya, maka oleh Allah istifhâm
tersebut dijawab pada akhir ayat; “ونلما لا تعم لمإني أع” Model jawaban seperti ini
merupakan salah satu jawaban yang berfungsi untuk menyingkat interaksi.
44 Abu Hayyan al-Andalûsi, Al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992) juz I, h. 226,
selanjutnya ditulis Abu Hayyan 45 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz.I, h. 48 46 Al-Shiddiqy. Op. Cit, juz I, h. 71
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
95
(3) Mutakallim dan Mukhathabnya Sesama Hamba
Salah satu karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
yang berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwa mutakallim dan mukhathabnya
mempunyai status yang sama, yaitu hamba Tuhan.
Seperti contoh Q.S Hûd (11); 62-63
هونا إليعا تدمك مي شا لفإنننا واؤابء دبعا يم دبنع انا أنهذا أتنل ها قب وج را مينف تكن قد حالاصقالوا يمريب قال ياقوم أرأيتم إن كنت على بينة من ربي وءاتاني منه رحمة فمن ينصرني من الله إن عصيته فما
خسريتزيدونني غير ت . Artinya: “Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah
seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-
betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab
itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat 62 surat Hûd di atas
dikategorikan ke dalam istifhâm aretoris. Mutakallim dalam istifhâm tersebut adalah
kaum Tsamûd, sedangkan mukhathabnya adalah nabi Shaleh A.s.47 Yang kedua-duanya
mempunyai status yang sama, yaitu hamba Allah SWT. Istifhâm yang diungkapkan oleh
kaum Tsamûd tersebut bertujuan untuk meminta kepastian (al-istiqrar) dari nabi Shaleh
A.s. tentang kebenaran risalah yang dia bawa, karena mereka masih dihinggapi oleh rasa
47 Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. IV, h. 54.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
96
heran, ragu, curiga, bahkan pengingkaran terhadap kebenaran risalah tersebut, karena
tidak sesuai dengan tradisi nenek moyang mereka.48
Ungkapan di atas dijawab oleh nabi Shaleh dengan redaksi istifhâm pula,
sebagaimana tertuang dalam ayat 63 di atas. Dengan redaksi istifhâm tersebut, nabi
Shaleh ingin menyeru mereka secara halus dengan cara meminta mereka menunjukkan
apa yang harus dia lakukan untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawanya dan
menunjukkan bahwa dia benar-benar seorang nabi yang diutus oleh Allah SWT kepada
mereka.49
(4) Mutakallim Sebagai Penanya dan Penjawab
Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang
berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwasanya dalam istifhâm tersebut,
pertanyaan dan jawabannya di ungkapkan sendiri oleh mutakallim, meskipun sasaran
istifhâm tersebut adalah pihak lain.
Seperti contoh Q.S. al-Nûr (24); 50
ولهسرو همليع الله يفحي أن خافوني وا أمتابأم ار ضرم ي قلوبهمأف ونمالظال مه كل أولئب
Artinya: “Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau
Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas dikategorikan ke dalam
istifhâm aretoris. Mutakallim dalam istifhâm di atas adalah Tuhan, sedangkan
48 Al-Shâbûni, Op.Cit, Juz II, h. 23, lihat juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 3, h. 1917 49 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
97
mukhathabnya adalah orang-orang munafik.50 Sebagai istifhâm aretoris, tentulah
istifhâm tersebut diikuti oleh jawaban, yang dalam ayat tersebut adalah tertuang dalam
akhir ayat, yaitu; “ونمالظال مه كل أولئ51” ب
Meskipun istifhâm aretoris di atas diikuti oleh sebuah jawaban, akan tetapi
jawaban yang muncul bukan berasal dari mukhathab, melainkan dari pihak mutakallim
sendiri. Dalam hal ini, pihak mutakallim sendiri yang menentukan salah satu jawaban
dari berbagai alternatif yang terdapat dalam istifhâm dan sekaligus sebagai penegasan
dan sanggahan terhadap sangkaan dari mukhathab (orang-orang munafik), yaitu
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Shiddiqy: “Orang-orang munafik bukanlah
berpaling dari Rasul karena beberapa sebab, tetapi akibat penyakit jiwa yang dideritanya
karena kekafiran dan kemunafikan.”52
(5) Jawaban Istifhâm Berfungsi Sebagai Pengakuan
Karakteristik lain dari istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah yang
berjenis aretoris dalam Al-Qurân adalah bahwasanya jawaban yang diberikan oleh
mukhathab atas pertanyaan yang diajukan mutakallim berfungsi sebagai pengakuan
(pembenaran) terhadap isi statemen yang diungkapkan oleh mutakallim, walaupun jika
dilihat dari sisi mutakallim dan mukhathabnya, sama dengan karakteristik istifhâm
retoris poin ketiga, yaitu mutakallimnya Tuhan dan mukhathabnya hamba.
50 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. IV, h. 120 51 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. II, h. 345 52 Al-Shiddiqy. Op. Cit, Juz. 4, h. 2839
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
98
Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 172
هملى أنفسع مهدهأشو متهيذر مورهظه نم مادي ءنب نم كبذ رإذ أخو ألست بربكم قالوا بلى شھدنا أن تقولوا یوم القیامة إنا كنا عن ھذا غافلین
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Istifhâm aretoris yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas
mutakallimnya adalah Tuhan (Allah SWT), sedangkan mukhathabnya adalah bani Adam
seluruhnya.53 Jawaban yang diberikan oleh bani Adam seluruhnya, yaitu: “ناهدلى شب “,
yang berfungsi sebagai pengakuan (pembenaran) terhadap statemen yang dikemukakan
oleh Tuhan (Allah SWT), yang dalam ayat tersebut beredaksi istifhâm, yaitu;” تألس
كمببر”. Istifhâm yang diungkapkan oleh Allah SWT ini secara fungsional bertujuan untuk
menegaskan kepada hamba-hamba-Nya tentang keesaan dan kerububiyahan-Nya,54 yang
dalam tafsirnya al-Shiddiqy menyebutkan, bahwasanya seolah-olah Allah berkata
kepada hamba-hamba-Nya: “ Akuilah bahwa Akulah Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain
53 Al-Marâghi, Op.Cit, juz III,h. 103 54 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. I, h. 481
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
99
Aku.” Maka, seolah-olah mereka menjawab; “Benar, Engkau Tuhan kami, tidak ada
Tuhan selain Engkau.”55
b. Analisis Aspek Semantis
Analisis aspek semantis adalah analisis yang dilakukan untuk menemukan
penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi semantis
(makna dasar), yaitu untuk meminta informasi tentang sesuatu. Berdasarkan hasil
analisis, diketahui bahwasanya kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai
fungsi semantis ini prosentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi pragmatis. Diantara kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi semantis ini antara lain;
1) Q.S al-A’râf (7); 65-66
.أفال تتقونواىل عادأخاهم هواد قال ياقوم اعبدوا ا ما لكم من إله غريه .قال املالء الذين كفروا من قومه انا لنربك يف سفاهة وانا لنظنك من الكذبني
Artinya: “ Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka (Hûd). Ia berkata: “ Hai, kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dariNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?.” Pemuka-pemuka yang
kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu
termasuk orang-orang yang berdusta.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah
nabi Hûd A.s, sedangkan mukhathabnya adalah kaumnya, yaitu kaum ‘Ad.56 Dalam ayat
55 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 2, h. 1508-1509 56 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 300-301, yang beliau ambil dari riwayat Muhammad Ibn Ishaq.
Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. III, h. 193
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
100
65 surat al-A’râf di atas, secara fungsional istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Hûd
kepada kaumnya adalah bertujuan untuk mencari informasi (fungsi semantis) tentang
tindakan apa yang akan dilakukan oleh kaumnya, yaitu apakah mereka akan beriman
setelah jelas bagi mereka bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah? Istifhâm
ini tertuang dalam redaksi; 57. أفال تتقون
Istifhâm tersebut dijawab oleh para pemuka kaum ‘Ad yang kafir, yang tertuang
dalam ayat 66 surat al-A’râf, yang intinya bahwasanya mereka tetap mengingkari tauhid
(keesaan) Tuhan dan wahyu (risalah) yang dibawa Hûd dengan menyatakan bahwasanya
Hûd benar-benar kurang akal dan picik, bahkan mereka menuduh nabi Hûd seorang
pendusta yang mengaku-ngaku sebagai seorang rasul.58
2) Q.S. al-Syuarâ’(26); 41 جرا إن كنا نحن الغالبني ة قالوا لفرعون أئن لنا لأ رحالس اءا جفلم.
Artinya: Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fir`aun: "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar
jika kami adalah orang-orang yang menang?"
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah
para ahli sihir, sedangkan mukhathabnya adalah Fir’aun.59 Ayat tersebut berkaitan
dengan upaya Fir’aun mengumpulkan para ahli sihirnya di suatu ruang untuk dimintai
57 ibid, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, h. 453 58 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 1422-1423 59 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 442. Lihat juga Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dâr al-
Fikr; tt), Jilid. 4, h. 57
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
101
bantuannya dalam mengalahkan nabi Musa.60 Dalam proses negosiasi tersebut, mereka
menanyakan kepada Fir’aun tentang upah apa yang akan mereka dapatkan apabila
mereka dapat mengalahkan nabi Musa, sebagaimana redaksi dalam ayat tersebut; “ الن نأئ
جرا إن كنا نحن الغالبني لأ ”
Istifhâm yang disampaikan oleh ahli sihir tersebut bertujuan untuk menanyakan
tentang upah apa yang akan mereka dapatkan dari Fir’aun apabila mereka dapat
mengalahkan nabi Musa. Fungsi ini bisa dikategorikan sebagai fungsi semantis dari
sebuah istifhâm, yaitu mencari informasi atau menanyakan sesuatu yang belum diketahui
kepada orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Quthb bahwa
apa yang dilakukan oleh para ahli sihir itu bukanlah berkaitan dengan akidah atau
masalah pribadi Fir’aun, melainkan hanya berkaitan dengan upah apa yang akan mereka
dapatkan apabila dapat mengalahkan Musa.61
Istifhâm tersebut dijawab oleh Fir’aun, bahwa upah yang akan mereka dapatkan
apabila dapat mengalahkan Musa adalah mereka akan diangkat sebagai penasehat
pribadi Fir’aun. Hal ini tercermin dalam Q.S. al-Syuarâ’ ayat 42: قال نعم وإنكم إذا ملن
.املقربني
60 Depag RI, Al-Qurân dan Tafsirnya, (Semarang, PT. Citra Effhar, 1993), jilid 7, h. 86 61 ibid.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
102
c. Analisis Aspek Pragmatis
Analisis aspek pragmatis adalah analisis yang dilakukan untuk menemukan
penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang tidak digunakan untuk
menunjukkan fungsi semantis (makna dasar), yaitu untuk meminta informasi tentang
sesuatu, akan tetapi digunakan untuk menunjukkan fungsi-fungsi lain (fungsi pragmatis)
berdasarkan konteks, sosio-historis, asbab al-nuzûl yang menyertainya, dan juga facility
condition (kondisi kesesuaian). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwasanya kata
tanya hamzah dalam Al-Qurân yang mempunyai fungsi pragmatis ini prosentasenya jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang
mempunyai fungsi semantis.
Fungsi-fungsi pragmatis penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang
peneliti temukan antara lain;
1) Mempertegas
Seperti Contoh Q.S. al-A’râf (7); 172
أخذ ربك من بني ءادم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم وإذ
نيلذا غافه نا عإنا كن ةاميالق موتقولوا ي نا أنهدلى شقالوا ب كمببر تألس Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah
Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah anak Adam. Ayat di atas menjelaskan kepada
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
103
manusia tentang suatu janji yang dibuat pada saat mereka dikeluarkan dari Sulbi orang
tua mereka. Janji yang dimaksud adalah pengakuan mereka akan keberadaan Tuhan.62
Berkaitan dengan hal itu, Hamka berpendapat bahwa pada hakikatnya jiwa manusia itu
adalah fitrah, masih bersih, dan belum dipengaruhi oleh faktor eksternal.63
Pengakuan jiwa yang fitri terhadap keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam ini,
oleh Tuhan dipertegas dalam redaksi istifhâm; “كمببر تألس” yang artinya: Bukankah aku
ini Tuhanmu?64
Fungsi istifhâm untuk mempertegas ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari sisi mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi
mutakallim (Tuhan) sebagaimana pada ayat di atas adalah Sang Pencipta anak Adam dan
Dia pula yang mengambil kesaksian terhadap jiwa anak Adam. Sedangkan kondisi
mukhathabnya (anak Adam), mereka memberi kesaksian dan pengakuan terhadap ke-
Esaan Tuhan. Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa istifhâm yang diungkapkan
oleh Tuhan di atas berfungsi mempertegas bahwa hanya Allahlah satu-satunya Tuhan
mereka.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan yang beredaksi istifhâm dengan
menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk mempertegas
bahwa hanya Allah Yang Maha Esalah Tuhan mereka (anak Adam). Sedangkan tindak
62 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 347-348, diriwayatkan dari Imam Ahmad. Juga Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, dalam CD Rom Al-Maktabah Al-Syamilah Al-Tsaniyah, (Beirut: Dar el-Fikr, 2006) dari riwayat Ibn Abbas dan Imam Ahmad. Juga Al-Shâbûni, juz I, h. 481-482
63 Hamka, Tafsir al-Azhâr, (Singapura: Pustaka Nasional, 1993), Jilid 4, h. 2599 64 Al-Shâbûni, Loc.Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
104
perlokusinya adalah jawaban atau kesaksian anak Adam bahwa hanya Allahlah Tuhan
mereka, sebagaimana redaksi yang ada dalam ayat di atas; “ناهدلى شقالوا ب “ yang artinya:
“ Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi. 2) Menolak
Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 50
أفحكم الجاھلیة یبغون ومن أحسن من اللھ حكما لقوم یوقنونArtinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah
Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah nabi SAW dan obyek tuturannya adalah bani
Nadzîr. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada suatu hari terjadilah konflik
antara bani Nadzîr dan bani Quraizah. Salah seorang dari bani Nadzîr meminta kepada
nabi Muhammad agar perkara tersebut diputuskan sesuai dengan cara yang berlaku pada
masa jahiliyah.65
Menurut al-Qurthubi,66 pada jaman jahiliyah, masyarakat Arab sudah terbiasa
menetapkan hukum secara diskriminatif. Apabila yang bersalah itu tergolong miskin dan
lemah, mereka dikenai hukuman, tetapi apabila yang bersalah itu tergolong orang kaya
dan kuat, mereka terlepas dari jerat hukuman.
Permintaan bani Nadzîr ini didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa secara
sosiologis, politis, maupun ekonomis, mereka lebih unggul dari pada bani Quraizah.
65 Al-Thabari, Op. Cit. nomer 12152 diriwayatkan dari Ya’qub dari Hisyam dari Mughirah dari Al-Sya’bi. Juga Depag RI, Op. Cit, jilid II, h. 441
66 Al-Qurthubi, Op. Cit, Jilid 2, h. 57
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
105
Seandainya hukum jahiliyah yang digunakan oleh nabi dalam memutuskan perkara,
sudah barang tentu merekalah (bani Nadzîr) yang dimenangkan. Permintaan tersebut
ditolak oleh nabi SAW dan beliau berkata bahwa orang-orang yang dibunuh itu sama
derajatnya dan tidak ada perbedaan diantara mereka. Bani Nadzîr tidak puas dengan
keputusan nabi, mereka berkata: “Kalau begitu, kami juga menolak dan tidak menerima
yang demikian itu”, maka turunlah ayat di atas tersebut.67 Dengan demikian, ayat yang
beredaksi istifhâm di atas secara pragmatis berfungsi sebagai bentuk penolakan nabi
SAW atas diberlakukannya kembali hukum jahiliyah.
Fungsi istifhâm untuk menolak ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat
dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim
(Tuhan) adalah pemberi wahyu, Dia yang menetapkan hukum, dan Dia memerintahkan
manusia berbuat adil. Sementara itu, kondisi mukhathab (nabi SAW) sebagai sasaran
pesan antara lain adalah penerima wahyu, pendakwa dan pelaksana hukum Tuhan yang
menghadapi permintaan bani Nadzîr (sasaran pesan tak langsung). Substansi pesannya
adalah jawaban atas permintaan bani Nadzîr kepada nabi SAW untuk menerapkan
hukum jahiliyah yang bertentangan dengan hukum Tuhan.
Oleh karena itu, apabila istifhâm ditinjau dari prespektif teori tindak tutur, maka
lokusi (wujud formal) nya adalah jawaban dari Tuhan yang beredaksi istifhâm yang
ditandai dengan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menolak
permintaan bani Nadzîr yang ingin menerapkan hukum jahiliyah yang bertentangan
dengan hukum Tuhan. Sedangkan tindak perlokusinya adalah bahwasanya bani Nadzîr
tidak puas dan menolak keputusan yang diberikan oleh nabi SAW.
67 Depag RI, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
106
3) Memberikan Informasi
Seperti contoh Q.S. al-Mâidah (5); 116
كونا يم انكحبقال س ون اللهد نن ميإله يأمي وذوناس اتخلنل قلت أنتء ميرم نى ابيساعي إذ قال اللهوا فم لملا أعي وي نفسا فم لمتع تهملع فقد قلته تكن ق إني بحل س ا ليأقول م ي أنل أنت إنك كي نفس
ام الغيوبعل .
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai `Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain
Allah?" `Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah Isa putra Maryam. Menurut para ahli
tafsir, misalnya al-Thabari, al-Qurthubi, al-Shâbûni, dan Ibnu Katsîr, dialog antara
Tuhan dan Isa putra Maryam terjadi pada hari kiamat. Sementara itu Sa’di dan Qathrab
berpendapat bahwa dialog tersebut terjadi pada saat Tuhan mengangkat Isa ke langit.68
Para ahli tafsir pun juga berbeda pendapat mengenai fungsi pragmatis dari
istifhâm di atas. Sebagian berpendapat bahwa istifhâm tersebut berfungsi sebagai celaan
terhadap kelompok yang menganggap nabi Isa dan ibunya sebagai Tuhan. Pendapat lain
mengatakan bahwa istifhâm tersebut berfungsi sebagai pemberitahuan Tuhan terhadap
68 Al-Thabari, Op. Cit, nomer 13024. Riwayat dari Ibn Basyar dari Abdullah Ibn Umar. Juga Al-
Qurthubi, Op. Cit, h. 81
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
107
nabi Isa, bahwa sepeninggal dirinya, kaumnya telah menganggap dirinya dan ibunya
sebagai Tuhan.69
Dari kedua fungsi pragmatis istifhâm di atas, peneliti lebih memilih fungsi yang
kedua, yaitu memberikan informasi. Hal ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang
dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi
mutakallimnya (Tuhan) dapat digambarkan sebagai Dzat pemberi wahyu, Maha Esa,
Maha Suci, tidak beranak dan diperanakkan. Dari sisi mukhathabnya (nabi Isa) adalah
penerima wahyu (Injil) dan tidak pernah mengatakan kepada umatnya bahwa dirinya dan
ibunya adalah dua Tuhan selain Allah. Sedangkan dari sisi substansi pesannya, terdapat
suatu pesan bahwa umat nabi Isa sepeninggalnya berkeyakinan bahwa Isa dan ibunya
adalah dua Tuhan selain Allah. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka peneliti
beranggapan bahwa fungsi istifhâm tersebut adalah untuk memberikan informasi.
Apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur, maka lokusinya
adalah ungkapan Tuhan kepada nabi Isa yang beredaksi istifhâm yang ditandai dengan
kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk memberikan informasi kepada Isa
tentang keberadaan umatnya sepeninggal beliau. Sedangkan tindak perlokusinya adalah
jawaban yang diungkapkan oleh nabi Isa dengan gaya bahasa litotes (merendahkan diri)
sebagaimana tertuang di akhir ayat.
4) Menganggap Mustahil
Seperti contoh Q. S. al-Anbiyâ’ (21); 6 وننمؤي ما أفهاهلكنأه ةيقر نم ملهقب تناما ءم
69 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
108
Artinya: ”Tidak ada (penduduk) suatu negeripun yang beriman yang Kami telah membinasakannya sebelum mereka; maka apakah mereka akan beriman?”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah
Tuhan, mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai sasaran
perantara, sedangkan sasaran yang sebenarnya (obyek tuturan) adalah orang-orang
musyrik.70
Konteks yang melatar belakangi diturunkannya ayat ini adalah ketika orang-
orang musyrik Mekah berkata kepada nabi SAW; “Sekiranya apa yang engkau katakan
itu benar dan engkau menghendaki agar kami beriman kepadamu, cobalah jadikan bukit
Shafâ itu emas.” Kemudian datanglah Jibril A.s dan berkata kepada Muhammad SAW: “
Sekiranya engkau kehendaki apa yang dikehendaki oleh kaummu, pasti dapat. Tetapi
sekiranya mereka tidak beriman setelah dikabulkan permintannya, mereka serta merta
akan disiksa tanpa diberi waktu lagi atau engkau sendiri menangguhkan dalam
mengabulkan permintaan mereka dengan harapan agar mereka beriman?”71
Berdasarkan asbâb al-nuzûl ayat tersebut, maka dalam tafsir Depag ditegaskan
bahwa seandainya tuntutan tersebut dikabulkan, mereka tetap tidak akan beriman.
Kenyataan ini pernah terjadi pada kaum musyrikin sebelumnya. Kemustahilan akan
keimanan orang-orang musyrik Mekah tersebut disampaikan dalam bentuk redaksi
istifhâm .72
70 Al-Thabari, Op. Cit. Riwayat dari Al-Qasim dari Al-Mujahid. Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Jilid
VI, h. 8 71 ibid. 72 Depag RI, Op. Cit, jilid VI, h. 308
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
109
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Abu Hayyan, bahwa istifhâm
tersebut berfungsi al-istib’âd, yaitu mustahil mereka akan beriman kepada nabi SAW,
sekalipun bukit shafâ itu menjadi emas.73
Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas mempunyai fungsi
menganggap mustahil, dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Kondisi mutakallim (Tuhan) digambarkan bahwa Dia Maha Mengetahui apa
yang tampak dan tersembunyi dalam hati manusia.74 Kondisi mukhathab (nabi SAW)
adalah utusan Tuhan dan obyek tuturannya (orang-orang musyrik) adalah kelompok
orang yang menentang Tuhan dan Rasul-Nya serta meminta kepada nabi SAW agar
merubah bukit Shafâ menjadi emas sebagai syarat keimanan mereka. Sedangkan
substansi pesannya adalah bahwa Tuhan mempertanyakan keimanan mereka sekalipun
bukit Shafâ dapat dirubah menjadi emas.
Oleh karena itu, apabila istifhâm tersebut ditinjau dari perspektif teori tindak
tutur, maka lokusinya adalah ungkapan Tuhan yang beredaksi istifhâm dengan
menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menganggap
mustahil keimanan orang-orang musyrik Mekkah, sekali pun bukit shafâ dapat dirubah
menjadi emas. Sedangkan tindak perlokusinya adalah tindakan yang dilakukan oleh nabi
SAW, yaitu dengan tidak mengabulkan permintaan orang-orang musyrik Mekah, agar
menjadikan bukit shafâ menjadi emas.
73 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz II, h. 256 74 Lihat Q.S. Ali Imrân (3); 5
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
110
5) Mengingkari
Seperti contoh Q.S. al-Shâffât (37); 16
وثونعبا لمنا أئظامعا وابا تركنا وتنذا مأئ Artinya: “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta
menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)?” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah orang-orang musyrik Mekkah dan mukhathabnya adalah Tuhan dan nabi SAW.75
Istifhâm tersebut muncul berkaitan dengan adanya berita tentang hari bangkit (yaum al-
ba’ts). Pada hari itu tubuh manusia yang rusak dikembalikan utuh seperti semula.76
Dalam pikiran mereka adalah sesuatu hal yang tidak masuk akal apabila tulang belulang
yang berserakan dan menjadi tanah dapat dihidupkan kembali pada hari bangkit nanti.77
Berpijak dari hal inilah, maka ungkapan orang-orang musyrik Mekkah dengan redaksi
istifhâm ini berfungsi untuk mengingkari akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.
Fungsi istifhâm untuk mengingkari ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang
dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi mutakallim
(orang-orang musyrik) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa
mereka adalah sekelompok orang yang tidak mempercayai Al-Qurân, khususnya adanya
hari bangkit. Mereka beranggapan, bahwa hari bangkit itu suatu peristiwa yang tidak
masuk akal. Kondisi mukhathab (Tuhan dan nabi SAW) menegaskan adanya hari
bangkit sebagai hari pembalasan. Sedangkan substansi pesan dari istifhâm di atas adalah
bahwa mutakallim menyangsikan berita dalam Al-Qurân bahwa hari bangkit itu ada.
75 Lihat Q.S. al-Shaffât (37); 11, juga Al-Thabari, Op. Cit. Diriwayatkan dari Muhammad Ibn
Umar 76 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 4, h. 7 77 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz III, h. 30
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
111
Berdasarkan kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm pada contoh di atas dikategorikan
sebagai istifhâm yang berfungsi sebagai pengingkaran (untuk mengingkari).
Sedangkan istifhâm di atas, apabila ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,
maka lokusinya adalah ungkapan orang-orang musyrik Mekkah yang digambarkan
dalam Al-Qurân dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak
illokusinya bertujuan untuk mengingkari statemen Tuhan dalam Al-Qurân tentang
keberadaan dan kebenaran hari bangkit. Sedangkan tindak perlokusinya adalah
bahwasanya mukhathab (Tuhan dan nabi SAW) akan melakukan suatu tindakan yang
dapat membuat mutakallim (orang-orang musyrik Mekkah) terhina, sebagaimana
tertuang dalam Al-Qurân surat al-Shâffât (37); 18 yang berbunyi: ونراخد أنتمو مقل نع
Artinya: “Katakanlah: "Ya, dan kamu akan terhina".
6) Membuktikan Kebenaran Ucapan
Seperti Contoh Q.S. al-Kahfi (18); 72
.امل أقل أنك لن تستطيع معي صرباقال Artinya Dia (Khidhir) berkata: “ Bukankah aku telah berkata sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Khidhir sedangkan mukhathabnya adalah Musa. Ayat di atas merupakan
rangkaian ayat yang menceritakan tentang Kisah nabi Khidhir dan nabi Musa.78 Pada
78 Al-Thabari, Loc. Cit. Diceritakan bahwa Khidhir (al-‘Alim) berkata kepada Musa. Juga Al-
Shiddiqy, Op. Cit. Juz 3, h. 2433. yang cerita tentang Musa dan Khidhir ini juga diriwayatkan oleh Ibnu
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
112
beberapa ayat sebelumnya (mulai ayat 65 sampai 71) diungkapkan tentang pertemuan
Musa dengan Khidhir, permintaan Musa kepada Khidhir untuk diperbolehkan berguru
kepadanya, syarat-syarat dari Khidhir untuk Musa jika dia ingin ikut bersamanya,
sampai kejadian dalam perjalanan ketika keduanya di atas perahu.
Pada ayat 66 Musa meminta kepada Khidhir agar diperbolehkan ikut bersamanya
dan berguru kepadanya. Permintaan tersebut ditanggapi oleh Khidhir pada ayat 67; قال
Akan tetapi karena Musa tetap memaksa, maka akhirnya dia .إنك لن تستطيع معي صربا
diperbolehkan oleh Khidhir untuk ikut bersamanya dengan syarat agar Musa bersabar
dan tidak boleh menanyakan sesuatu apapun kepada Khidhir sampai Khidhir sendiri
yang menerangkan. Kemudian (pada ayat 71) keduanya menaiki perahu, lalu Khidhir
melobangi perahu tersebut, dan tatkala melihat hal itu Musa lupa akan perjanjian yang
telah disepakatinya dengan Khidhir.
Menanggapi reaksi Musa tersebut, maka Khidhir menjawab dalam redaksi
istifhâm: امل أقل إنك لن تستطيع معي صرب؟. Ungkapan Khidhir ini bertujuan untuk
membuktikan kepada Musa bahwa ucapannya sebelumnya (pada ayat 67) adalah benar
adanya, yaitu bahwa Musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Khidhir. Oleh
karena itu, fungsi istifhâm yang diungkapkan oleh Khidhir pada ayat di atas bukan untuk
Abbas dari Ubay Ibnu Ka’ab. Lihat juga Ali Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabiy, 1999) Cet. 1, h. 562
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
113
menanyakan sesuatu, akan tetapi untuk membuktikan kebenaran apa yang dia ucapkan
sebelumnya.
Istifhâm di atas berfungsi untuk membuktikan kebenaran ucapan. Hal tersebut
diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan
substansi pesan. Kondisi mutakallim (Khidhir) adalah seorang nabi, mempunyai ilmu
yang tidak diajarkan Allah kepada Musa, dan perbuatannya secara lahiriyah menyalahi
syariat Musa tapi secara batiniyah merupakan wahyu dari Allah.79Sedangkan kondisi
mukhathab (Musa) juga seorang nabi, berkepribadian tegas dan keras, orang shaleh yang
selalu mengingkari dan tidak bisa bersabar jika melihat kemungkaran, disuruh oleh
Allah untuk berguru kepada Khidhir.80 Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah
bahwasanya Khidhir ingin membuktikan kebenaran apa yang telah dia ucapkan kepada
Musa sebelumnya tentang ketidakmampuan Musa untuk bersabar jika dia ikut bersama
Khidhir.
Oleh karena itu, istifhâm tersebut apabila dicermati dari perspektif teori tindak
tutur, maka lokusinya adalah ungkapan Khidhir yang beredaksi istifhâm dengan
menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk membuktikan
kebenaran ucapannya kepada Musa sebelumnya, sedangkan tindak perlokusinya adalah
ungkapan penyesalan dan permintaan maaf dari Musa kepada Khidhir atas kekhilafan
dan ketidaksabarannya serta minta diperkenankan untuk tetap ikut bersama Khidhir,
sebagaimana tercermin dalam ayat 73: “ قال ال تواخذني مبا نسيت وال ترهقين من أمري عسرا“
79 Al-Shiddiqy, Op. Cit, h. 2434 80 ibid, h. 2435
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
114
7) Mengetes atau Menguji
Seperti contoh Q.S. al-Naml (27); 41
أتھتدي أم تكون من الذین لا یھتدونقال نكروا لھا عرشھا ننظر
Artinya: Dia berkata: "Rubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang
yang tidak mengenal (nya)".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah nabi Sulaiman, sedangkan mukhathabnya adalah para laskar-laskarnya, yang
mereka berfungsi sebagai sasaran perantara, sedangkan sasaran aslinya adalah Ratu
Bilqis, yang merupakan sasaran tidak langsung.81 Ayat di atas merupakan salah satu
bagian dari rangkaian cerita tentang nabi Sulaiman A.s dan ratu Bilqis.
Ayat di atas menerangkan bahwasanya nabi Sulaiman A.s memerintahkan
kepada pemimpin-pemimpin kaumnya, agar merubah sebagian bentuk dari singgasana
Bilqis yang telah sampai dihadapannya itu,82 seperti tertuang pada awal ayat; “
Kemudian Beliau mengungkapkan alasan kenapa singgasana . ”قال نكروا لها عرشها
tersebut harus dirubah dalam redaksi istifhâm, yaitu: ون؟تدهلا ي ينالذ نم تكون ي أمتدأته
yang secara fungsional bertujuan untuk mengetes atau menguji kecerdasan dan kejelian
ratu Bilqis. Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Shâbûni bahwa tujuan
81 Al-Shâbûni, juz 2, h. 410 82 Al-Thabari, Loc. Cit. Beliau riwayatkan dari Al-Qasim dari Qatadah. Juga Depag RI, Op. Cit,
jilid VII, h. 243
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
115
dari pada istifhâm yang diungkapkan oleh nabi Sulaiman A.s adalah untuk menguji
kecerdasan ratu Bilqis (ikhtibâr dzakâihâ wa âqlihâ).83
Fungsi istifhâm untuk mengetes atau menguji ini diperkuat oleh kondisi
kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.
Kondisi mutakallim (nabi Sulaiman A.s) adalah utusan Allah SWT, diberi mukjizat
untuk menguasai angin dan jin,84 menguasai bahasa binatang dan mempunyai kerajaan
yang maha luas.85 Sedangkan kondisi mukhathabnya, yaitu ratu Bilqis (sasaran asli),
adalah salah satu umat nabi Sulaiman, memerintah negara Saba’ yang menguasai
seluruh negeri Yaman, mempunyai singgasana yang besar dan laskar yang banyak, akan
tetapi mereka mempunyai kebiasaan menyembah matahari serta mengerjakan berbagai
macam maksiat.86 Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa maksud nabi Sulaiman
A.s merubah singgasana itu adalah menguji ratu Bilqis, sehingga pada akhirnya
diharapkan kesan yang tinggal di dalam diri ratu tersebut ialah bahwa Sulaiman
bukanlah semata-mata seorang raja yang ingin menaklukkannya akan tetapi seorang
rasul Allah yang mengajaknya masuk ke dalam agama yang benar dan meninggalkan
menyembah matahari.87
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) ungkapan nabi Sulaiman A.s yang beredaksi istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menguji atau
mengetes kecerdasan dan kejelian ratu Bilqis, sedangkan tindak perlokusinya adalah
83 Al-Shâbûni, Loc. Cit. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hamka, Op. Cit, jilid 7, h. 5232 84 Al-Shiddiqy, juz 4, h. 2995 85 ibid, h. 2996 86 ibid, h. 3003 87 Hamka, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
116
agar ratu Bilqis dan kaumnya (Saba’) mau insaf, mengakui kerasulan nabi Sulaiman A.s,
dan juga mau mengEsakan Allah serta meninggalkan menyembah matahari.
8) Menantang
Seperti contoh Q.S. al-A’râf (7); 71
اجتادلونين يف أمساء مسيتموها انتم وابائكم ما نزل ا قال قد وقع عليكم من ربكم رجس وغضب .فانتظروا اني معكم من املنتظرين هبا من سلطن
Artinya; “Ia berkata: “ Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.” Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama yang kamu beserta nenek-moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali
tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu). Sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya
adalah nabi Hûd A.s dan mukhathabnya adalah kaum ‘Ad.88 Dalam ayat ini nabi Hûd
berusaha menjawab istifhâm dan permintaan kaumnya yang tertuang dalam ayat
sebelumnya (ayat 70), yaitu; Ketidakpercayaan mereka akan ajakan nabi Hûd untuk
menyembah Allah, bahkan mereka meminta bukti akan kebenaran risalah yang
dibawanya dengan didatangkannya azab dari Tuhan kepada mereka atas ketidakpatuhan
mereka menuruti perintah dan nasihat nabi Hûd.
Jawaban nabi tersebut tertuang dalam awal ayat: “ قد وقع عليكم من ربكم رجس
yang azab tersebut berupa angin puting beliung yang sangat keras (badai topan) “ وغضب
88 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 302. Diriwayatkan dari Muhammad Ibn Ishaq. Juga Al-Zuhaili,
Op. Cit, juz. 8, h. 259. Dia adalah Hûd Ibnu Syâlikh ibnu Arfakhsyad ibnu Syâm ibnu Nuh, diutus untuk kaum ‘Ad.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
117
yang memakan banyak korban.89 Kemudian dilanjutkan ungkapan beliau dalam bentuk
istifhâm yang berfungsi untuk menantang balik kepada kaumnya atas permintaan
mereka, yang berbunyi: “ أجتادلونين يف امساء مسيتموها أنتم وابائكم ”. Yang maksudnya
Tuhanmu telah menetapkan azab dan kemarahan untuk kamu, maka masih beranikah
kamu membantahku mengenai berhala-berhalamu yang sama sekali tidak akan pernah
dapat memberikan manfaat ataupun madharat? Padahal sama sekali tidak ada keterangan
wahyu yang membenarkan penyembahan terhadap berhala-berhala itu.90 Kemudian
dilanjutkan dengan sebuah ancaman (al-wa’îd) diakhir ayat yang beredaksi perintah
(amr), yaitu; “ تظروا إني معكم من املنتظرينفان ”91
Kondisi lain yang memperkuat fungsi istifhâm dalam ayat tersebut sebagai
tantangan adalah kondisi kesesuaian yang terdapat pada mutakallim, mukhathab dan
substansi pesannya. Kondisi mutakallim (nabi Hûd A.s) adalah nabi dan rasul Allah,
bertugas menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada kaum ‘Ad, dan menyerukan
tentang menyembah dan mengesakanNya.92 Sedangkan kondisi mukhathab (kaum ‘Ad)
adalah kaum yang mempunyai kebiasaan menyembah berhala, durhaka kepada nabinya
dengan menganggapnya sebagai manusia yang kurang berakal dan pembohong, bahkan
mereka berani menantang nabinya untuk mendatangkan azab Tuhan yang dia janjikan
89 ibid, h. 264-265, tertuang dalam Q.S. al-Qamar (54); 20 90 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. 1, h. 454 91 ibid, lihat juga Al-Zuhaili, Loc.Cit, juga Abu Hayyan, Op. Cit, Juz. 5, h. 90 92 Baca Q.S. al-A’râf (7); 65, 67, dan 68
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
118
untuk mereka.93 Adapun kondisi substansi pesannya adalah bahwa dengan adanya
kedurhakaan kaum ‘Ad tersebut, maka Allah telah menetapkan azab dan kemarahan bagi
mereka, lalu nabi Hûd A.s menantang mereka untuk meminta bantuan kepada berhala-
berhala yang mereka tuhankan agar menyelamatkan mereka dari azab dan kemarahan
Allah.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak
tutur, maka lokusi (wujud formal) dari ungkapan nabi Hûd pada ayat di atas adalah
beredaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya berupa
tantangan kepada kaum ‘Ad. Sedangkan tindak perlokusinya adalah agar kaum ‘Ad
segera bertaubat, dan mau menyembah Allah, dan juga tidak mensekutukanNya dengan
apapun.94
9) Menghibur
Seperti contoh Q.S. Yunus (10); 42-43
ومنهم من ينظر إليك أفأنت تسمع الصم ولوكانوا اليعقلونومنهم من يستمعون إليك
.دي العمى ولو كانوا اليبصرونأفانت هت Artinya; “ Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu
menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu,apakah dapat kamu memberi petunjuk
kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada dua ayat di atas
mutakallimnya adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW.
93 Baca Q.S. al-A’râf (7); 66 dan 70 94 Tindak perlokusi tidak secara eksplisit tertuang dalam redaksi ayat, namun secara implisit dapat
dipahami dari tujuan pengutusan nabi Hûd A.s kepada kaum ‘Ad, yang tertuang pada Q. S. al-A’râf (7); 65
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
119
Dalam kedua ayat tersebut Tuhan menerangkan kepada nabi Muhammad SAW tentang
keberadaan orang-orang musyrik yang mendustakannya. Pada ayat 42 ada orang
musyrik yang mau mendengarkan bacaan Al-Qurân, akan tetapi tidak mau memahami
apa yang mereka dengarkan. Sedangkan pada ayat 43, ada sebagian yang lain mau
melihat nabi saat menyampaikan ajaran Al-Qurân, akan tetapi mereka tidak bisa
memandang cahaya iman serta ajaran-ajaran Allah dalam ayat-ayat Al-Qurân .95
Setelah Allah menerangkan tentang karakteristik-karakteristik orang musyrik
yang menentang nabi SAW di awal kedua ayat di atas, maka kedua ayat tersebut diakhiri
dengan statemen-statemen yang beredaksi istifhâm, yaitu; ولوكانوا اليعقلون أفأنت تسمع الصم
dan أفانت هتدي العمى ولو كانوا اليبصرون. Kedua istifhâm ini mengindikasikan bahwasanya
Allahlah yang mempunyai hak prerogratif untuk bisa memberikan petunjuk kepada
makhluknya, sedangkan para nabi dan rasul hanya diperintahkan untuk menyampaikan
apa yang diwahyukan kepada mereka.96
Oleh karena itu istifhâm tersebut secara fungsional diungkapkan oleh Allah
kepada nabi Muhammad SAW untuk menghibur (tasliyah) beliau atas apa yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap ajakan beliau untuk beriman kepada Allah
dan mengesakanNya, yaitu dengan mengungkapkan bahwasanya tugas seorang rasul
95 Al-Thabari, Op. Cit, nomer. 17662. Riwayat dari Yunus dari Ibn Wahab dari Ibn Zaid. Juga
Al-Shiddiqy. Op. Cit, Juz. 2. h. 1814 96 Baca Q.S. al-Mâidah (5); 99
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
120
hanya menyampaikan risalah yang diembannya.97 Dan hanya hak Allahlah untuk
memberikan atau tidak memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya.98 Hal ini pun
juga sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qurthubi; bahwasanya istifhâm tersebut
berfungsi untuk menghibur (tasliyah) nabi Muhammad SAW.99
Kondisi kesesuaian yang memperkuat fungsi istifhâm di atas sebagai penghibur
(tasliyah) bagi nabi SAW dapat dilacak dari kondisi mutakallim, mukhathab, dan
substansi pesan. Kondisi mutakallim (Tuhan) adalah Dzat yang telah menurunkan Al-
Qurân kepada nabi Muhammad SAW, Dzat yang telah mengutus nabi Muhammad SAW
untuk menyampaikan risalahNya, dan Dia juga Dzat yang yang mampu memberikan
atau tidak memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya. Sedangkan kondisi
mukhathab (nabi Muhammad SAW) adalah seorang nabi yang diutus untuk seluruh
alam, berkewajiban untuk menyampaikan risalah yang dibawanya kepada seluruh
umatnya, dan banyak mengalami kendala dan tantangan dari para musuh-musuhnya baik
kaum musyrikin, kafirin, maupun munafiqin. Sedangkan substansi pesannya adalah
setelah nabi menyampaikan risalah yang dibawa pada umatnya, maka ada sebagian dari
mereka yang mengingkarinya (khususnya dalam ayat ini orang-orang musyrik), maka
Allah menghibur beliau, bahwasanya hal itu bukan kesalahan beliau, akan tetapi hal itu
karena tindakan mereka yang tidak mau menyiapkan diri untuk beriman.100
Oleh karena itu apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) ungkapan Tuhan tersebut beredaksi istifhâm yang
97 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 2, h. 380 98 Baca Q. S al-Baqarah (2); 272 99 Al-Shâbûni, Op. Cit, Juz. 1, h. 586 100 Al-Shiddiqy. Op. Cit, h. 1815
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
121
menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menghibur
(tasliyah) nabi SAW, sedangkan tindak perlokusinya adalah agar nabi SAW tidak
berputus asa dalam berdakwah serta berlepas tangan dari apa-apa yang dikerjakan oleh
orang-orang musyrik setelah risalah yang diembannya disampaikan kepada
mereka,101hal ini karena memberi petunjuk adalah hak prerogratif Tuhan.
10) Meminta petunjuk
Seperti contoh Q. S. al-Baqarah (2); 30
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خلیفة قالوا أتجعل فیھا من یفسد فیھا ویسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah para malaikat, sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Dalam ayat ini Tuhan
ingin menjelaskan kepada para malaikat bahwa Dia mempunyai ide untuk menciptakan
manusia (Adam A.s) sebagai ganti kaum yang telah binasa untuk mengemban tugas
khalifah di muka bumi, sebagaimana yang tertuang dalam awal ayat: “ كةلائلمل كبإذ قال رو
102“ إني جاعل في الأرض خليفة
101 Baca Q.S. Yunus (10); 41 102 Jalâluddin al-Mahally dan Jalâluddin al-Suyûthi, Tafsir al-Jalâlain, Terjemahan oleh
Mahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar (Bandung; CV. Sinar Baru,1990) Cet. 1, Jilid 1, h. 17
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
122
Menanggapi ide Tuhan tersebut, maka para malaikat pun menyampaikan keingin
tahuan mereka tentang hikmah dari penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi serta
penyebab tidak dijadikannya mereka sebagai khalifah di bumi, padahal mereka selalu
bertasbih dan mensucikan nama Tuhan.103 Ungkapan tersebut mereka kemukakan
kepada Tuhan dalam redaksi istifhâm “ حبنس ننحو اءمالد كفسيا ويهف دفسي نا ميهل فعأتج
لك س نقدك ودمبح “ yang secara fungsional dimaksudkan untuk meminta petunjuk (al-
istirsyâd) kepada Tuhan mengenai hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsîr dan Wahbah al-
Zuhaili bahwa istifhâm tersebut dimaksudkan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan
tentang hikmah dan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, bukan untuk
menolak atau bahkan merasa iri atas penciptaan tersebut.104
Fungsi istifhâm di atas untuk meminta petunjuk (al-istirsyâd) ini diperkuat oleh
kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Kondisi mutakallim (para malaikat) adalah para hamba Tuhan yang taat,
senantiasa bertasbih dan mensucikanNya, maka tidak mungkin mereka durhaka dan
melawan perintah dan ketetapan Tuhan.105 Sedangkan kondisi mukhathab (Tuhan)
adalah Zat yang Maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu, dan Dia juga Maha
103 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. I, h. 75 104 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 1, h. 60 dan al-Zuhaili, Op. Cit, juz. 1, h. 130 105 Baca Q.S. al-Tahrîm (66); 56
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
123
Mengetahui akan segala sesuatu.106 Adapun kondisi substansi pesannya adalah bahwa
dengan adanya ide Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini,
maka malaikat (dengan keterbatasan pengetahuan mereka) meminta petunjuk kepada
Tuhan tentang hikmah dari ide tersebut.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak
tutur, maka lokusi (wujud formal) dari ungkapan malaikat pada ayat di atas adalah
berbentuk istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya berupa
meminta petunjuk (al-irtirsyâd), sedangkan tindak perlokusinya adalah ungkapan Tuhan
yang menyatakan bahwa Dia adalah Zat Yang Maha Mengetahui, yang secara eksplisit
tertuang dalam akhir ayat ini:" ونلما لا تعم لمقال إني أع " . Jawaban tersebut bertujuan
untuk menjelaskan bahwa segala perbuatan Tuhan selalu mengandung hikmah yang
dalam, meskipun kadang tersembunyi dari hambaNya (termasuk juga malaikat).107
11) Meminta Pengakuan
Seperti Contoh Q.S. al-Anbiyâ’(21); 62 يماهراإبا ينتهذا بآله لتفع أنتقالوا ء
Artinya: Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimya
adalah Azar dan kaum nabi Ibrahim A.s, sedangkan mukhathabnya adalah nabi Ibrahim
A.s. Ayat tersebut terkait dengan dihancurkannya patung-patung sesembahan mereka.
106 Al-Shiddiqy. Op. Cit, h. 72 107 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
124
Pada ayat 59 mereka bertanya-tanya tentang pelaku penghancuran patung-patung
tersebut. Pada ayat 60 dijelaskan bahwa sebagian mereka mendengar ada seorang
pemuda yang mencela berhala mereka, yaitu bernama Ibrahim. Pada ayat 61 diputuskan
bahwa pemuda tersebut harus dibawa kehadapan orang banyak agar semua orang dapat
melihatnya.108
Setelah Ibrahim berada di hadapan orang banyak, mereka mengadakan
penyelidikan dan pemeriksaan dan mengajukan istifhâm sebagaimana pada ayat di
atas.109 Istifhâm tersebut dimaksudkan agar Ibrahim mengakui perbuatannya atas
patung-patung sesembahan mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
al-Marâghi,110 bahwa tujuan istifhâm tersebut adalah untuk meminta pengakuan Ibrahim
(thalab al-i’tirâf), kemudian dengan adanya pengakuan ini mereka mempunyai alasan
untuk menyiksa dan menyakitinya.
Fungsi istifhâm untuk meminta pengakuan pada ayat di atas diperkuat oleh
kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Dari sisi mutakallim (Azar dan kaum nabi Ibrahim) dapat digambarkan bahwa
Azar adalah ayah nabi Ibrahim yang berprofesi sebagai pembuat patung, kaum nabi
Ibrahim adalah penyembah patung, patung-patung sesembahan mereka dihancurkan, dan
ada sebagian mereka yang mengetahui bahwa Ibrahimlah orang yang menghancurkan
patung mereka. Sedangkan kondisi mukhathab (nabi Ibrahim) adalah nabi dan rasul
Allah, diutus untuk mengajak umatnya bertauhid kepada Allah, dan salah satu jalan yang
dia tempuh adalah dengan menghancurkan patung-patung sesembahan umatnya.
108 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 244. Diambil dari riwayat Abu Hurairah dalam Al-Shahihaini. 109 Depag RI, Op. Cit, jilid 6, h. 371 110 Al-Marâghi, Op.Cit. Jilid 6, h. 48-49
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
125
Sedangkan substansi pesannya adalah mutakallim meminta mukhathab mengakui
perbuatannya terhadap patung-patung sesembahan mereka.
Apabila istifhâm di atas dicermati dari perspektif teori tindak tutur, maka
lokusinya adalah ungkapan Azar dan kaum nabi Ibrahim yang beredaksi istifhâm dengan
menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk meminta nabi
Ibrahim mengakui perbuatannya terhadap patung-patung sesembahan mereka.
Sedangkan tindak perlokusinya adalah jawaban diplomatis yang diberikan oleh nabi
Ibrahim, sebagaimana tertuang pada surat al-Anbiyâ’(21); 63, yang berbunyi; قونطنكانوا ي إن مألوهذا فاسه مهكبري لهل فعقال ب
Artinya: Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara"
12) Meminta dikasihani
Seperti Contoh Q.S. al-A’raf (7); 155 ب لو شئت أهلك فة قال رج الر مذتها أخا فلمنيقاتملا لج ر نيعبس همى قووسم تاراخو ايإيل وقب نم مته
اءتش نا مل بهتض تكتنإلا ف يه ا إننم اءفهل السا فعا بمكنلا أتهلن را فاغفنيلو أنت اءتش ني مدتهورينالغاف ريخ أنتا ونمحارو.
Artinya: Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka
digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah
cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah
Pemberi ampun yang sebaik-baiknya".
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
126
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Musa sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Pada ayat di atas dijelaskan
bahwa nabi Musa memilih 70 orang pilihan dari kaumnya untuk pergi bersama-sama ke
suatu tempat di bukit Sinai untuk bermunajat kepada Allah. Dalam perjalanannya,
mereka di suatu tempat digoncang oleh gempa bumi yang disebabkan oleh petir yang
amat dahsyat.111 Di tengah-tengah keadaan yang seperti itu, Musa menyampaikan
istifhâm kepada Tuhan:” أتهلكنا بما فعل السفهاء منا ”
Istifhâm yang disampaikan oleh Musa tersebut bukan untuk menanyakan sesuatu,
akan tetapi berfungsi untuk meminta dikasihani (al-istirhâm).112 Pendapat yang sama
juga diungkapkan oleh Al-Shiddiqy113 bahwa dengan istifhâm tersebut, Musa bermaksud
memohon belas kasihan Tuhan agar tidak membinasakan mereka disebabkan perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berakal, yaitu orang-orang yang meminta
agar dapat melihat Tuhan dan mereka yang menyembah anak sapi.
Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm pada ayat di atas berfungsi
untuk meminta dikasihani dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi
pesannya. Kondisi mutakallim (Musa) adalah utusan Tuhan, bersama 70 orang pergi ke
bukit Sinai untuk bermunajat kepada Tuhan. Diantara 70 orang tersebut ada yang pernah
menyembah anak sapi dan ada yang ingin melihat Tuhan secara langsung dan di tengah
perjalanan di timpa musibah atau cobaan dari Tuhan. Kondisi mukhathab (Tuhan)
111 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 333. Riwayat dari Ibn Abbas, Qatadah, Mujahid, dan Ibn Jaris.
Juga Depag RI, Op. Cit, Juz III, h. 608 112 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz I, h. 475 113 Al-Shiddiqy, Op. Cit, Juz. 3, h. 2001
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
127
adalah Dzat yang memberikan wahyu pada Musa, tempat bermohon dan meminta, dan
Maha Kuasa untuk memberi rahmat maupun menimpakan musibah. Sedangkan kondisi
substansi pesannya adalah bahwa Musa mempertanyakan kepada Tuhan, mengapa Dia
mau menimpakan musibah, karena ulah sebagian orang yang tidak berakal. Berpijak dari
kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai suatu istifhâm
yang berfungsi untuk meminta dikasihani.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Musa kepada Tuhan yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya berfungsi untuk
meminta belas kasihan dari Tuhan. Adapun wujud tindak perlokusinya adalah tindakan
yang dilakukan oleh Tuhan sebagai pihak yang dimintai, yaitu memberikan kasih
sayangNya. Hal ini tercermin pada jawabanNya pada ayat ini 156:
قال عذابي أصيب به من أشاء ورمحيت وسعت كل شيء فسأكتبهاللذين يتقون ويؤتون الزكوة والذين هم بأيتنا يؤمنون
13) Membuka Mata Orang Lain
Seperti Contoh Q.S. al-A’râf (7); 22 قرو نا مهمليفان عخصقا يطفا ومآتهوا سمله تدب ة رجا ذاقا الشور فلما بغرملاها فدمهبا رماهنادو ةنالجبنيم ودا علكم طانيالش ا إنأقل لكمو ة رجا الشلكمت نا عكمأنه ألم
Artinya: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
128
pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah
Tuhan, sedangkan mukhathabnya adalah Adam dan Hawa. Pada ayat-ayat sebelumnya,
Tuhan berpesan kepada keduanya untuk tinggal di surga dan memakan apa-apa (buah-
buahan) yang dikehendaki. Akan tetapi Tuhan melarang keduanya untuk mendekati
pohon. Selanjutnya karena keduanya terbujuk oleh syetan, keduanya mengabaikan pesan
Tuhan dan pada akhirnya mereka memakan “buah” yang terlarang.
Menurut Ibnu Abbas, pohon yang dimaksud bernama “al-sunbulah” dan ketika
keduanya memakan buahnya, maka terbukalah auratnya yang sebelumnya tertutup oleh
kukunya.114 Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa yang terpengaruh terlebih dahulu
adalah Hawa yang kemudian menyuruh suaminya memakannya.115
Berkenaan dengan peristiwa tersebut, maka Tuhan bertanya pada keduanya, yang
pada ayat di atas disampaikan dengan redaksi istifhâm. Istifhâm tersebut bukan bertujuan
untuk meminta informasi tentang penyebab terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini
beralasan karena Tuhan dengan pesan yang telah Dia berikan sebelumnya sudah
mengetahui apa yang akan terjadi. Dengan berdasarkan konteks di atas, maka istifhâm
itu dimaksudkan oleh Tuhan untuk membuktikan dan membuka mata Adam dan Hawa
bahwa apa yang dipesankan itu benar adanya. Dalam terminologi jawa, istifhâm
dimaksudkan untuk “melehake”.
114 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Jilid 2, h. 277. Riwayat dari Sa’id Ibn Abi ‘Urwah dari Qatadah dari Al-
Hasan dari Ubay Ibn Ka’b. 115 Depag RI, Op. Cit, jilid III, h. 380-381
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
129
Fungsi istifhâm untuk membuka mata orang lain (Adam dan Hawa) “melehake”
ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab,
dan substansi pesan. Kondisi mutakallim (Tuhan) digambarkan bahwa Dia pernah
berpesan kepada mukhathab (Adam dan Hawa) untuk tidak mendekati pohon terlarang.
Kondisi mukhathab (Adam dan Hawa) tetap memakan buah terlarang dan tidak
mengindahkan pesan Tuhan tentang apa yang pernah dipesankan kepada Adam dan
Hawa dan tentang status syetan sebagai musuhnya. Berpijak dari kondisi kesesuaian
inilah, maka istifhâm tersebut dimaksudkan untuk membuka mata Adam dan Hawa atau
”melehake”.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori tindak tutur,
maka lokusinya adalah ungkapan Tuhan kepada Adam dan Hawa yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk
membuka mata Adam dan Hawa atau “melehake”, dan tindak perlokusinya adalah
ungkapan penyesalan dari mukhathab (Adam dan Hawa) atas perbuatan mereka
sebagaimana tersebut dalam ayat selanjutnya (Q.S. al-A’râf (7); 23).
14) Mencari Muka
Seperti Contoh Q.S. al-Nisâ’ (4); 141
قالوا ألم يبنص رينلكافل كان إنو كمعم نكن قالوا ألم الله نم فتح لكم كان فإن بكم ونصبتري ينالذ نينمؤلى المع رينلكافل ل اللهعجي لنو ةاميالق موي كمنيب كمحي فالله نينمؤ الم نم كمعننمو كمليوذ عتحنس
.سبيلاArtinya: “(yaitu) Orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
130
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.”
Istifhâm pada ayat di atas ada dua, dan keduanya sama-sama menggunakan kata
tanya hamzah. Pada kedua istifhâm di atas mutakallimnya adalah orang-orang munafik,
akan tetapi mukhathabnya berbeda. Pada istifhâm yang pertama mukhathabnya adalah
orang-orang mukmin, sedangkan pada istifhâm yang kedua mukhathabnya adalah orang-
orang kafir.116 Istifhâm pada ayat di atas menggambarkan sikap mendua orang-orang
munafik terhadap kelompok-kelompok lain (kelompok Islam dan Kafir) dan mereka
selalu menunggu kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan
dirinya.117
Orang-orang munafik apabila bertemu dengan kelompok muslim yang
memperoleh kemenangan dalam peperangan, mereka menyatakan bahwa mereka ikut
bekerja keras membantu kelompok muslim dalam memenangkan peperangan.
Sebaliknya apabila kelompok muslim telah dikalahkan oleh kelompok kafir, mereka
juga mengatakan pada kelompok kafir bahwa kemenangan mereka juga tidak terlepas
dari bantuan mereka dalam memenangkan peperangan. Dengan kata lain, orang-orang
munafik berusaha mencari simpati (mencari muka) dari kedua kelompok yang bertikai
dengan tujuan untuk mencari keuntungan kelompoknya sendiri. Keuntungan yang
dimaksud adalah agar mereka memperoleh bagian dari harta rampasan.118
116 Ibnu Katsîr, Op. Cit, jilid. I, h. 742 117 ibid. dan Depag RI, Op. Cit, jilid. 2, h. 313-314 118 Al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 3, h. 43
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
131
Fungsi istifhâm untuk mencari muka ini diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang
dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim
(orang-orang munafik) digambarkan sebagai sekelompok orang yang bermuka dua.
Sementara itu kondisi mukhathab yang pertama (Muhammad SAW dan orang-orang
muslim) dan yang kedua (orang-orang kafir) adalah dua kelompok yang saling
bertentangan dan bahkan kadang-kadang antar keduanya melakukan peperangan.
Sedangkan substansi pesannya adalah apabila mutakallim bertemu dengan mukhathab
yang pertama mereka menyatakan bahwa mereka ikut berperang melawan mukhathab
kedua. Sebaliknya apabila mereka bertemu dengan mukhathab yang kedua mereka
menyatakan bahwa mereka juga ikut berperang melawan mukhathab pertama. Berpijak
dari kondisi kesesuaian inilah maka istifhâm di atas dimaksudkan oleh mutakallim untuk
mencari muka, baik kepada mukhathab yang pertama maupun yang kedua.
Oleh karena itu, apabila kedua istifhâm di atas ditinjau dari prespektif teori
tindak tutur, maka lokusinya adalah ungkapan dari orang-orang munafik yang
digambarkan dalam Al-Qurân yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya
hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk mencari muka, baik kepada orang-orang
muslim maupun orang-orang kafir. Sedangkan tindak perlokusinya adalah reaksi dari
Tuhan yang tercermin pada akhir ayat: ةاميالق موي كمنيب كمحي فالله yang artinya: “Maka
Allah akan memberi keputusan diantara kamu di hari kiamat.”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
132
15) Memerintah
Seperti contoh Q. S. al-Hajj (22); 46
أفلم يسريوا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو ءاذان يسمعون بها فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور
Artinya: “ Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya
adalah Tuhan, mukhathabnya adalah nabi SAW, sedangkan sasaran istifhâm yang
sebenarnya adalah orang-orang kafir Mekah.119 Ayat di atas menjelaskan keingkaran
orang-orang kafir Mekah terhadap ayat-ayat Tuhan dan seruan nabi Muhammad.120 Hal
ini bisa dibuktikan bahwa dalam kesehariannya mereka sering mengadakan perjalanan
antara Mekkah dan Syiria, serta ke negeri-negeri di Jazirah Arab lainnya untuk
berdagang. Dalam perjalanan tersebut, mereka telah melihat bekas-bekas negeri umat
terdahulu yang telah dihancurkan, serta mendengar cerita tentang penyebab kehancuran
umat-umat tersebut karena kedustaan dan keingkaran mereka kepada Tuhan. Meskipun
demikian mereka masih tetap mengingkari ayat-ayat Tuhan.121
Berkenaan dengan hal itu, Tuhan memerintahkan agar dalam pengembangannya
mereka mau memperhatikan, merenungkan, dan memikirkan bekas kehancuran suatu
negeri disebabkan oleh penduduknya yang mendustakan dan mengingkari ayat-ayat
119 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 303. Pendapat dari Ibn Abi Al-Dunya dalam kitabnya Al-
Tafakkur wa Al-I’tibar. Juga Al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 4, h. 31 120 Hamka, Op. Cit, jilid. 6, h. 4710 121 Depag RI, Op.Cit, jilid. VI, h. 546
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
133
Tuhan dan nabiNya.122 Perintah tersebut disampaikan oleh Tuhan dengan menggunakan
redaksi istifhâm yang sasarannya adalah orang-orang kafir Mekkah.
Fungsi istifhâm untuk memerintah pada ayat diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi
mutakallim (Tuhan) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa Dialah
pengutus nabi untuk mendakwahkan ajaranNya. Sedangkan kondisi mukhathabnya,
yaitu nabi SAW (sasaran perantara) adalah sebagai rasulNya dan orang-orang kafir
Mekkah (sasaran sebenarnya) adalah sekelompok orang yang mendustakan dan
mengingkari ayat-ayat Tuhan dan risalah nabiNya, serta sering mengadakan perjalanan
jauh untuk berniaga. Adapun kondisi substansi pesannya adalah keengganan orang-
orang kafir Mekkah untuk memperhatikan, merenungkan, dan memikirkan bekas-bekas
negeri yang dihancurkan oleh Tuhan karena keingkaran penduduknya terhadap ajaran-
ajaran Tuhan.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari prespektif teori tindak
tutur, maka lokusi dari ungkapan Tuhan di atas adalah ungkapan beredaksi istifhâm
dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya dimaksudkan untuk
memerintah orang-orang kafir Mekkah agar dalam perjalanannya untuk berdagang
merenungkan bekas-bekas kehancuran negeri umat-umat terdahulu dan penyebabnya.
Sedangkan perlokusinya diharapkan orang-orang kafir Mekkah mau melaksanakan apa
yang diperintahkan kepada mereka oleh Tuhan yang implikasinya mereka nantinya akan
beriman kepada Tuhan dan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabiNya.
122 Hamka, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
134
16) Menyeru
Seperti contoh Q.S. al-Syu’arâ (26); 160-161 لوط ألا تتقون موهأخ مني إذ قال لهلسرالم لوط مقو تكذب
Artinya: Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?"
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah nabi Luth dan mukhathabnya adalah umatnya, yaitu penduduk Sodom.123Pada
ayat 165 dan 166 disebutkan bahwa kaum nabi Luth mempunyai kebiasaan senang
mengawini atau melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis di samping juga
menyembah berhala.
Dalam kondisi masyarakat yang seperti ini, nabi Luth pada langkah awal
menyeru (mengajak secara halus) mereka untuk bertakwa kepada Tuhan Pencipta
Alam.124 Seruan nabi Luth tersebut dinyatakan dalam redaksi istifhâm; “؟ألا تتقون”.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Katsîr bahwa istifhâm tersebut
merupakan suatu ajakan (seruan) nabi Luth agar umatnya beriman dan taat kepada
Tuhan dan rasulNya.125
Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk
menyeru dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi
mutakallim (nabi Luth) terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa dia
123 Ibnu Katsîr, Op. Cit, Juz. 3, h. 455 124 Depag RI, Op. Cit, juz. VII, h. 155-156 125 Ibnu Katsîr, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
135
seorang nabi dan rasul Tuhan yang bertugas menyebarkan ajaran-ajaranNya. Sedangkan
mukhathab (kaumnya) merupakan penentang ajarannya, mendustakan ayat-ayat Tuhan,
melakukan tindak asusila (homoseksual) dan menyembah berhala. Sedangkan kondisi
substansi pesannya adalah bahwa nabi Luth menyeru kaumnya untuk bertakwa kepada
Tuhan dan rasulNya. Berpijak dari kondisi kesesuaian di atas, maka tepatlah jika
istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk menyeru (mengajak
secara halus).
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan nabi Luth kepada kaumnya yang
beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk menyeru (mengajak secara halus). Adapun wujud tindak perlokusinya
adalah tindakan pendustaan kaum nabi Luth terhadap para utusan Tuhan sebagaimana
tercermin pada ayat 160 di atas atau bahkan penentangan yang keras disertai ancaman
terhadap nabi Luth sebagaimana diungkapkan pada ayat 167;
قالوا لئن مل تنته يلوط لتكونن من ارمني
17) Melarang
Seperti contoh Q.S. al-Baqarah (2); 75 الله كلام ونعمسي مهنم فريق كان قدو وا لكمنمؤي أن ونعأفتطم
ونلمعي مهو قلوها عم دعب نم فونهرحي ثم Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
136
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat mutakallimnya adalah
Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
secara fungsional istifhâm tersebut tidak digunakan untuk meminta informasi, akan
tetapi berfungsi sebagai larangan. Makna yang mendasari fungsi istifhâm di atas sebagai
larangan adalah bahwa ayat tersebut dilatarbelakangi oleh harapan yang besar dari nabi
SAW dan para sahabatnya (sahabat Anshâr) kepada orang-orang Yahûdi untuk memeluk
agama Islam. Harapan tersebut didasari oleh suatu pemikiran bahwa agama Yahûdi lebih
dekat dengan ajaran Islam, baik dari sisi dasar maupun misinya.126
Selanjutnya Hamka127 menegaskan bahwa ayat tersebut merupakan peringatan
Allah kepada nabi SAW dan umatnya, khususnya para sahabatnya untuk tidak
mengharapkan orang-orang Yahûdi untuk berbondong-bondong masuk Islam.
Selanjutnya pada ujung ayat Tuhan memberikan argumentasi atas larangan tersebut.
Argumentasi yang dimaksud adalah bahwa orang-orang Yahûdi selalu mengubah isi
firman Tuhan setelah memahaminya. Menurut Ibnu Zaid, mereka selalu mengubah isi
Taurat, yakni yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan demikian pula yang
batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil.128
Fungsi istifhâm untuk melarang tersebut diperkuat juga oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi
mutakallim (Tuhan) merupakan Dzat Pemberi Wahyu, Dia Maha Tahu, dan Dia tidak
memaksa manusia untuk memeluk agama Islam.129 Di sisi lain, mukhathabnya (nabi
126 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 1, h. 149 127 Hamka, Op. Cit, juz.1, h. 226 128 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz. 1, h. 153 129 Lihat Q.S. al-Baqarah (2); 256
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
137
SAW dan para sahabatnya) adalah sebagai pendakwa wahyu Tuhan dan hanya bertugas
untuk menyampaikan saja tidak untuk memaksa, di samping itu mereka sangat
mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam. Sedangkan kondisi substansi
pesannya adalah bahwa mutakallim mempersoalkan harapan besar mukhathab terhadap
orang-orang Yahûdi untuk memeluk agama Islam, padahal mereka mempunyai
kebiasaan mengubah isi kitabnya sendiri (Taurat). Berpijak dari kondisi kesesuaian
inilah maka istifhâm di atas bisa dikategorikan sebagai suatu istifhâm untuk melarang
mukhathab agar tidak terlalu mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan terhadap nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya
hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk melarang mereka agar tidak terlalu
mengharapkan orang-orang Yahûdi memeluk agama Islam. Sedangkan wujud tindak
perlokusinya adalah tentunya nabi SAW dan para sahabatnya (sebagai orang-orang yang
taat kepada Tuhan) melakukan tindakan tertentu sebagaimana yang dilarang oleh Tuhan,
yaitu menghentikan harapannya yang besar kepada orang-orang Yahûdi untuk memeluk
agama Islam.
18) Mengkonfirmasi
Seperti contoh Q.S. al-Anbiyâ’ (21); 54-55 بنيي ضلال مف كماؤابءو أنتم تمكن قالوا قال لقدبنياللاع نم أنت أم قا بالحجئتن أ
Artinya: Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". Mereka menjawab: "Apakah kamu datang kepada kami dengan
sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?"
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
138
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat 55 di atas,
mutakallimnya adalah Azar (ayah Ibrahim A.s) dan kaum nabi Ibrahim, sedangkan
mukhathabnya adalah nabi Ibrahim. Istifhâm pada contoh di atas muncul sebagai reaksi
atas pernyataan Ibrahim pada ayat 54 bahwa mereka dan bapak-bapaknya dalam
kesesatan yang nyata. Pernyataan tersebut membuat mereka tercengang, apalagi
pernyataan ini dikemukakan oleh saudara mereka sendiri, bahkan dia adalah salah
seorang anak ahli pembuat dan penyembah patung.130 Mereka mengira bahwa apa yang
mereka lakukan selama ini (menyembah patung-patung) adalah mustahil berada dalam
kesesatan.131 Oleh karena itu, mereka serta merta meminta konfirmasi kepada Ibrahim
apakah yang diucapkan itu benar adanya atau hanya senda gurau belaka.132
Fungsi istifhâm untuk mengkonfirmasi pada ayat di atas juga diperkuat oleh
kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Kondisi mutakallim (Azar dan kaum nabi Ibrahim) digambarkan bahwa Azar
adalah ayah nabi Ibrahim, dia berprofesi sebagai pembuat patung. Azar dan juga kaum
nabi Ibrahim juga menyembah patung. Mereka yakin apa yang mereka lakukan benar
(tidak sesat). Akan tetapi, tiba-tiba mereka tercengang atas pernyataan Ibrahim bahwa
mereka dalam kesesatan yang nyata.
Sedangkan kondisi mukhathab (nabi Ibrahim) adalah seorang nabi dan rasul
Tuhan. Dia anak Azar (pembuat patung). Dia diutus Tuhan untuk mengajak umatnya
untuk bertauhid kepada Tuhan. Dia menyatakan bahwa perbuatan ayah dan kaumnya
(menyembah patung) berada dalam kesesatan yang yang nyata. Dan kondisi substansi
130 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 243. Juga Hamka, Op.Cit, juz. 6, h. 4588 131 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 6, h. 44 132 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 266
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
139
pesannya adalah mereka bertanya-tanya apakah pernyataan Ibrahim tentang kesesatan
perbuatan mereka suatu pernyataan yang sungguh-sungguh atau hanya sekedar senda
gurau saja. Berpijak dari kondisi kesesuaian ini, maka tepatlah jika istifhâm di atas
dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengkonfirmasi.
Oleh karena itu apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan yang disampaikan oleh Azar dan umat
nabi Ibrahim kepada nabi Ibrahim yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata
tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk mengkonfirmasi kebenaran
pernyataan nabi Ibrahim tentang kesesatan mereka. Sedangkan wujud tindak
perlokusinya adalah jawaban dan kesaksian nabi Ibrahim bahwa yang patut disembah
adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, sebagaimana tercermin pada ayat 56;
قال بل ربكم رب السموات واألرض الذي فطرهن وأنا على ذلكم من الشاهدين
19) Menegur
Seperti Contoh Q.S. al-Nûr (24); 22 ضل منكم والسعة أن يؤتوا أولي القربى والمساكني والمهاجرين في سبيل الله وليعفوا ولا يأتل أولو الفيمحر غفور اللهو لكم الله رغفي أن ونبوا ألا تحفحصليو.
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
140
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya
adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah Abu Bakar. Ayat 22 surat al-Nûr
tersebut berkaitan dengan peristiwa berita bohong yang menimpa putri Abu Bakar
bernama ‘Aisyah (isteri nabi Muhammad SAW) sekembalinya dari peperangan melawan
bani Mustaliq.133 Berita bohong yang dimaksud adalah perselingkuhan ‘Aisyah dengan
Shafwan bin al-Muaththal. Berita bohong ini pertama kali disebarluaskan oleh Ibnu
Salûl salah seorang pemimpin munafik yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin
Ubay bin Salûl.134
Berita bohong yang disebarluaskan oleh Ibnu Salûl tersebut semakin meluas
sehingga sampailah ke telinga Misthah (seorang wanita miskin yang kebutuhan
hidupnya selalu dibantu oleh Abu Bakar dan juga termasuk salah seorang kerabatnya),
Misthah pun juga ikut termakan isu dan dia ikut serta menyebarkannya. Setelah Abu
Bakar mengetahui kalau Misthah ikut serta menyebarkan isu, dia bersumpah: “Demi
Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang
‘Aisyah.” Berkaitan dengan sumpah ini, maka turunlah ayat 22 Surat al-Nûr di atas yang
di dalamnya Allah memberikan teguran kepada Abu Bakar yang bersumpah tidak akan
memberikan nafkah kepada kerabat dan fakir miskin karena merasa disakiti hatinya.135
Teguran tersebut disampaikan oleh Tuhan dalam bentuk redaksi istifhâm yang
sasarannya bersifat umum.
Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk
menegur dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi
133 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 266. Juga Depag RI, Op, Cit, Juz. 6, h. 754 134 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 333 135 ibid. Lihat juga al-Qurthubi, Op. Cit, jilid. 4, h. 79
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
141
mutakallim (Tuhan), Dia Maha Mendengar dan Mengetahui apa yang dirasakan dan
dilakukan oleh hambaNya. Dia melarang orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi bantuan kepada orang lain yang
kekurangan. Dia memerintahkan hambaNya untuk berlapang dada dan memaafkan
kesalahan orang lain, karena Dia juga Maha Pengampun.
Sedangkan kondisi mukhathab (Abu Bakar) adalah sahabat nabi SAW, dia juga
ayah dari istri nabi (‘Aisyah), dia seorang yang dermawan dan suka menolong orang
yang membutuhkan, diantaranya Misthah, dia marah atas berita bohong tentang
perselingkuhan ‘Aisyah dengan Shafwan bin al-Muaththal yang juga disebarluaskan
oleh Misthah, dan karena begitu marahnya sampai dia bersumpah untuk tidak
memberikan bantuan kepada fakir miskin, khususnya Misthah. Adapun substansi
pesannya adalah bahwa Tuhan bermaksud memberi teguran kepada Abu Bakar agar
membatalkan sumpahnya serta menawarkan kepada Abu Bakar suatu ampunan apabila
dia membatalkan sumpahnya. Berpijak dari kondisi kesesuaian di atas, maka istifhâm di
atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk menegur mukhathab agar tidak
mengulangi perbuatannya (bersumpah).
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan kepada Abu Bakar yang
beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk menegur Abu Bakar atas apa yang dia lakukan. Sedangkan wujud tindak
perlokusinya adalah tindakan Abu Bakar bahwa dia berjanji akan tetap memberikan
sebagian hartanya untuk fakir miskin dan dia senang sekali seandainya Tuhan
mengampuninya.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
142
20) Mengklarifikasi
Seperti contoh Q.S. Yunus(10); 53 جزينعبم ا أنتممو قلح ي إنهبرقل إي و وه قأح بئونكتنسيو
Artinya: Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?" Katakanlah: "Ya, demi Tuhan-ku, sesungguhnya azab itu adalah benar
dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah orang-orang kafir Quraisy sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad
SAW. Istifhâm tersebut muncul akibat kebimbangan mereka atas suatu berita mengenai
ancaman Tuhan kepadanya.136 Kebimbangan yang dirasakan adalah apakah berita
mengenai ancaman berupa azab itu memang benar akan terjadi atau hanya merupakan
berita yang hanya menakut-nakuti.137
Kebimbangan ini wajar terjadi karena pihak mutakallim (orang-orang kafir
Quraisy) termasuk kelompok yang mendustakan ayat-ayat Tuhan, menentang kenabian
serta kerasulan Muhammad SAW, dan memiliki rasa permusuhan dengannya.
Kebimbangan atas berita tersebut mendorong mereka melakukan klarifikasi untuk
memperoleh informasi yang akurat dengan mengajukan istifhâm; وه ق؟أح .
Fungsi istifhâm untuk mengklarifikasi ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi
136 Berita tersebut sebagaimana tertuang dalam Q.S. Yunus (10); 52 yang artinya: “ Kemudian
dikatakan kepada orang-orang yang dzalim (musyrik) itu; “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal, kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.”
137 Depag RI, Op. Cit, juz. 4, h. 402, lihat juga Al-Shâbûni, Op. Cit, juz I, h. 587, juga Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 549
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
143
mutakallim (orang-orang kafir Quraisy) adalah sekelompok masyarakat yang menentang
Tuhan dan rasulNya, mereka mendengar informasi bahwa mereka akan ditimpa azab
Tuhan dan mereka merasa bimbang dengan informasi tersebut. Kondisi mukhathab (nabi
Muhammad SAW) adalah seorang nabi dan utusan Tuhan, bertugas menyebarkan
ajaran-ajaran Tuhan, dan dalam dakwahnya dia mendapatkan tantangan dan ancaman
dari kelompok kafir Quraisy. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah mutakallim
meminta penjelasan kepada mukhathab mengenai benar tidaknya berita tentang azab
yang dijanjikan oleh Tuhan. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di
atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengklarifikasi.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan orang-orang kafir Quraisy kepada nabi
SAW yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak
illokusinya bertujuan untuk mengklarifikasi tentang kebenaran berita mengenai azab
Tuhan bagi orang-orang kafir. Sedangkan tindak perlokusinya adalah jawaban langsung
dari nabi Muhammad tentang kebenaran berita itu, atau dengan kata lain hal tersebut
merupakan ancaman kepada orang-orang kafir Quraisy bahwa mereka benar-benar akan
memperoleh siksa dari Tuhan, hal ini terdapat pada akhir ayat: “ ا أنتممو قلح ي إنهبرقل إي و
جزينعبم”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
144
21) Mengingatkan
Seperti contoh Q.S. al-Najm (53); 33-34
أفرأيت الذي تولى وأعطى قليلا وأكدى
Artinya: “Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur'an)? serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Tuhan sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad SAW, dan sasaran
(obyek) tuturannya adalah Walid bin Mughirah.138 Dia adalah seorang yang setia
mendampingi nabi SAW. Begitu akrabnya dengan nabi SAW, dia tertarik memeluk
Islam dan nabi SAW pun sangat mengharapkan keIslamannya. KeIslaman Walid
mendapat kecaman dari kelompok musyrik. Dengan segala upaya yang dilakukan, baik
dengan cara yang halus, seperti memberikan sejumlah uang, maupun dengan cara
mengadakan perjanjian. Pada akhirnya mereka dapat membujuk Walid, dan dia menarik
kembali keinginannya memeluk agama Islam.139
Berkenaan dengan peristiwa di atas, maka turunlah ayat 33 dan 34 surat al-Najm
yang menggunakan redaksi istifhâm. Istifhâm di atas bukanlah bertujuan untuk meminta
informasi, melainkan mutakallim (Tuhan) mengingatkan mukhathab (nabi SAW) agar
berhati-hati dalam bergaul dan menghadapi orang-orang musyrik sehingga kasus serupa
tidak terjadi lagi.
138 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 327, riwayat dari Ibn Abbas. Juga Al-Shâbûni, Op. Cit. juz. 3, h.
278 139 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 9, h. 64, lihat juga Depag RI, Op. Cit, juz. 9, h. 590
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
145
Fungsi istifhâm untuk mengingatkan ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Dari sisi
mutakallim (Tuhan) Dia Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh hambaNya, Dia
Pemberi Wahyu nabi SAW dan sekaligus pelindungNya. Kondisi mukhathab (nabi
SAW) adalah seorang nabi dan rasul. Dia bersahabat dengan seorang kafir yang bernama
Walid bin al-Mughirah. Dia memberi nasihat kepada Walid sehingga tertarik untuk
masuk Islam, akan tetapi karena rayuan dari kelompok musyrik yang lain dia
mengurungkan niatnya untuk masuk agama Islam. Sedangkan substansi pesannya adalah
bahwa mutakallim (Tuhan) berpesan kepada mukhathab (nabi SAW) untuk berhati-hati
dalam bergaul dengan seseorang yang sebenarnya berpaling dari Al-Qurân .
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Tuhan kepada nabi SAW yang
beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk mengingatkan nabi SAW. Sedangkan wujud tindak perlokusinya secara
implisit adalah bahwa nabi SAW diharapkan untuk melakukan tindakan berupa kehati-
hatian dalam menghadapi orang-orang musyrik.
22) Menganjurkan
Seperti contoh Q.S. al- A’râf (7); 127
وقال الملأ من قوم فرعون أتذر موسى وقومه ليفسدوا في الأرض ويذرك ونرقاه مقهإنا فوو مهاءسيي نتحنسو مهاءنل أب وءالهتك قال سنقت
Artinya: Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir`aun (kepada Fir`aun): "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?". Fir`aun menjawab: "Akan kita bunuh
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
146
anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka".
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah
para pembesar dari kaum Fir’aun dan mukhathabnya adalah Fir’aun. Ayat di atas
mengisyaratkan semakin lemahnya dukungan rakyat kepada Fir’aun setelah mereka
melihat kemenangan kemukjizatan nabi Musa, apalagi setelah melihat para ahli sihir
sudah bersujud menyatakan iman dan tidak memperdulikan lagi ancaman Fir’aun
terhadap mereka. Dalam kondisi seperti ini para elit politik pendukung Fir’aun
melancarkan fitnah atau isu-isu politik bahwa Musa akan meruntuhkan (mengkudeta)
kedudukan Fir’aun sebagai penguasa tunggal di Mesir140 yang mana isu tersebut
diformulasikan dalam bentuk redaksi istifhâm sebagaimana pada ayat di atas.
Menurut al-Shâbûni141 istifhâm di atas pada dasarnya berfungsi sebagai anjuran
kepada Fir’aun agar dia segera menghancurkan Musa dan pengikutnya. Fungsi istifhâm
untuk anjuran ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari
mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim (elit politik
pendukung Fir’aun) adalah para pengikut setia Fir’aun, merasa kedudukan mereka yang
selama ini nyaman terancam dengan apa yang dilakukan oleh Musa, dan pertimbangan
mereka selalu didengar oleh Fir’aun. Kondisi mukhathab (Fir’aun) adalah seorang raja
di Mesir, kedudukannya merasa terancam oleh tindakan Musa dan para pengikutnya.
Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa para elit politik pendukung Fir’aun
menganjurkan kepada Fir’aun untuk segera menghancurkan Musa dan para pengikutnya.
140 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 319. Juga Depag RI, Op. Cit, juz. 3, h. 551 141 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz, 1, h. 465
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
147
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan elit politik pendukung Fir’aun kepada
Fir’aun yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak
illokusinya bertujuan untuk menganjurkan kepada Fir’aun untuk segera menghancurkan
Musa dan para pengikutnya. Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah tindakan
Fir’aun untuk “menindak tegas” terhadap Musa dan para pengikutnya, sebagaimana
tercermin pada akhir ayat tersebut; “ونرقاه مقهإنا فوو مهاءسيي نتحنسو مهاءنل أب قال سنقت
23) Menyombongkan diri
Seperti contoh Q.S. al-Zukhrûf (43); 51
رصم لكي مل س م ألياقوقال ي همي قوف نوعرى فنادو وهذه الأنهار تجري من تحتي أفلا تبصرون
Artinya: Dan Fir`aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir
di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)?”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Fir’aun sedangkan mukhathabnya adalah kaumnya. Ayat di atas menggambarkan
bahwasanya Fir’aun mengumpulkan kaumnya dan mengumumkan kepada mereka: “Hai
kaumku, bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan sungai yang mengalir di bawah
istanaku dan berjalan menurut kemauanku? Akulah yang mempunyai hak
mengendalikan sungai Nil ini.142”
142 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 145. Juga Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 5, h. 3751
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
148
Tatkala mengungkapkan pengumuman tersebut, Fir’aun menggunakan redaksi
istifhâm bukan menggunakan redaksi khabariyah. Penggunaan redaksi istifhâm di atas
bukannya Fir’aun ingin bertanya kepada kaumnya tentang kerajaan Mesir ataupun
sesuatu hal lain, akan tetapi dia bertujuan untuk menunjukkan kepada kaumnya bahwa
dia memiliki segalanya (menyombongkan diri). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat
Sayyid al-Jumali143 bahwa fungsi istifhâm tersebut adalah untuk menyombongkan diri
(al-iftikhâr).
Fungsi istifhâm untuk menyombongkan diri ini juga diperkuat oleh kondisi
kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.
Kondisi mutakallim (Fir’aun) digambarkan sebagai raja yang diktator, memiliki
kekayaan yang melimpah ruah, mengaku sebagai Tuhan. Sedangkan kondisi
mukhathabnya (kaumnya) adalah kaum yang lemah dan patuh kepada Fir’aun, mereka
juga orang-orang fasik. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah bahwa Fir’aun
ingin menyombongkan dirinya dengan apa yang dia miliki di depan kaumnya agar
mereka semakin yakin akan kebesarannya. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka
tepatlah kiranya jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi
untuk menyombongkan diri (al-iftikhâr).
Istifhâm di atas, apabila dicermati dari perspektif teori tindak tutur, maka
lokusinya adalah ungkapan Fir’aun yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata
tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk menyombongkan dirinya di hadapan
kaumnya agar mereka terpengaruh, sedangkan tindak perlokusinya adalah bahwa kaum
Fir’aun terpengaruh dengan apa yang diucapkan Fir’aun kemudian mereka patuh
143 Sayyid al-Jumali, Op. Cit, h. 183
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
149
kepadanya, sebagaimana tertuang dalam Q.S. al-Zukhrûf ayat 54;” قومه فاطاعوه فستخف
”إهنم كانوا قوما فاسقني
24) Berpura-pura Bodoh
Seperti contoh Q.S. Shâd (38); 8
كر من بيننا بل هم في شك من ذكري بل لما يذوقوا عذاب أؤنزل عليه الذArtinya: “Mengapa Al-Qurân itu diturunkan kepadanya di antara kita?”
" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al-Qurân-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.”
Istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah
orang-orang musyrik Mekkah, sedangkan mukhathabnya adalah Tuhan. Ayat di atas
menerangkan bahwa para musyrik Mekkah menyangkal kebiasaan nabi SAW dengan
berpegang pada tiga kesamaan kesamaran, yaitu: (1) merasa heran kenapa rasul diangkat
dari mereka, (2) menyangkal hanya ada satu Tuhan yang mengatur alam yang luas ini,
dan (3) mengingkari turunnya Al-Qurân kepada Muhammad bukan kepada mereka.144
Al-Shiddiqy juga mengungkapkan lagi bahwa orang-orang musyrik
mengungkapkan: “Tidak masuk akal Al-Qurân turun ke Muhammad, padahal di antara
kita ada orang yang mempunyai kemegahan, kemuliaan, kecerdasan dan kekuasaan.”145
Hal ini bukan karena kebodohan mereka, akan tetapi karena kebiasaan mereka bertaqlîd
kepada nenek moyang mereka, sehingga mereka seakan-akan menutup diri dari
144 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 4, h. 36-38. Juga Al-Shiddiqy. Op.Cit, juz 4, h. 3496 145 ibid, h. 3497
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
150
kebenaran yang ada. Oleh karena itu, istifhâm di atas bukan dimaksudkan untuk
bertanya tentang ketidaktahuan akan sesuatu, akan tetapi berfungsi untuk berpura-pura
bodoh (tidak tahu). Hal ini juga sependapat dengan pendapat Sayyid al-Jumali bahwa
fungsi istifhâm di atas adalah untuk berpura-pura bodoh (al-tajâhul).146
Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk
berpura-pura bodoh (tidak tahu) dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan
substansi pesannya. Kondisi mutakallim (orang-orang musyrik Mekkah) digambarkan
sebagai kaum yang mempunyai kebiasaan taqlîd kepada nenek moyang mereka, kurang
mau mempergunakan akal mereka, mengakui akan kemuliaan Muhammad dengan bukti
pemberian julukan al-amîn kepada beliau sebelum beliau jadi nabi, sedangkan kondisi
mukhathab (Tuhan) adalah Dzat yang mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul, Dia
yang menurunkan Al-Qurân kepada Muhammad dan Dia Maha Esa dan Maha Kuasa.
Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa orang-orang musyrik Mekkah
mempertanyakan (pura-pura tidak tahu) kenapa Al-Qurân diturunkan kepada
Muhammad bukan kepada mereka, padahal mereka sebenarnya mengetahui kapasitas
dan kredibilitas Muhammad.
Oleh karena itu apabila istifhâm di atas dicermati dari perspektif teori tindak
tutur, maka lokusinya adalah ungkapan orang-orang musyrik Mekkah yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk
berpura-pura bodoh (tidak tahu) akan kebenaran Al-Qurân dan nabi Muhammad SAW.
Sedangkan tindak perlokusinya adalah umpan balik yang diberikan oleh Tuhan diakhir
146 Sayyid al-Jumali, Op.Cit, h. 184
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
151
ayat yang berupa ancaman tapi beredaksi halus (menggunakan redaksi khabariyah),
yaitu: “ذابذوقوا عا يل لمب ” yang artinya” sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.”
25) Berputus Asa
Seperti contoh Q.S. Ibrahim (14); 21
مجيعا فقال الضعفؤ اللذين استكربوا انا كنا لكم تبعا فهل انتم مغنون عنا من عنا من عذاب ا وبرزو ا أجزعناا لو هدـنا ا هلدينكم سواء علينا من شيئ قالو
أم صربنا ما لنا من حميض Artinya: Dan mereka semua (di pdang Makhsyar) akan berkumpul menghadap
kehadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “ Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah
kamu menghindarkan dari pada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “ Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sema saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah
bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas mutakallimnya adalah
para pembesar (pemimpin) orang-orang kafir, sedangkan mukhathabnya adalah para
pengikutnya.147 Pada ayat di atas, istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
merupakan jawaban yang diberikan oleh para pemimpin orang-orang kafir atas tuntutan
para pengikutnya.148 Tanya jawab tersebut berdasarkan lahiriyah ayat dan Al-Qurân
terjemahan DEPAG RI terjadi di padang makhsyar, sedangkan al-Shiddiqy berpendapat
147 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 687, pendapat dari Abdullah Ibn Zaid Ibn Aslam. Juga Ali Sa’di,
Op. Cit, h. 490 148 Al-Shiddiqy, Op.Cit, Juz. 3, h. 2133
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
152
bahwa tanya jawab tersebut terjadi di dalam neraka tatkala mereka masuk di
dalamnya.149
Ayat di atas secara umum menjelaskan bahwa tatkala orang-orang kafir
dikumpulkan di padang makhsyar, para pengikut orang-orang kafir tersebut menuntut
para pemimpin mereka agar membebaskan mereka dari azab Allah. Tuntutan tersebut
ditanggapi oleh para pemimpin mereka dalam bentuk redaksi istifhâm yaitu: “ سواء علينا
yang juga merupakan ungkapan bentuk keputus asaan” أجزعنا أم صربنا ما لنا من حميض
mereka akan nasib mereka, yaitu pasti akan mendapatkan azab Allah atas kekafiran
mereka. Oleh karena itu, istifhâm yang diungkapkan oleh pemimpin orang-orang kafir
pada ayat di atas berfungsi untuk mengungkapkan keputus asaan. (berputus asa).
Fungsi istifhâm untuk mengungkapkan keputus asaan pada ayat di atas juga
diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan
substansi pesannya. Kondisi mutakallim (para pembesar orang-orang kafir) digambarkan
sebagai segolongan orang yang tatkala hidup di dunia mengajak orang lain untuk
menentang Allah dan rasul-Nya, dan tatkala di akhirat tidak mempunyai kekuasaan dan
kemampuan sedikitpun untuk melepaskan diri dari azab Allah. Kondisi mukhathab (para
pengikut orang-orang kafir) digambarkan sebagai orang-orang yang tatkala hidup di
dunia mengikuti ajakan orang lain untuk menentang Allah dan rasul-Nya dan tatkala di
akhirat menyesal akan perbuatannya di dunia dan berusaha mencari perlindungan dari
149 ibid, h. 2134
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
153
azab Allah kepada para pemimpin mereka. Adapun kondisi substansi pesannya adalah
bahwa para pemimpin orang-orang kafir merasa putus asa untuk melepaskan diri mereka
sendiri dari azab Allah, apalagi untuk sampai bisa membantu pengikutnya.
Oleh karena itu istifhâm di atas apabila dicermati dari perspektif teori tindak
tutur, maka lokusinya adalah ungkapan para pemimpin orang-orang kafir yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah, tindak illokusinya bertujuan untuk
mengungkapkan keputus asaan (berputus asa). Sedangkan tindak perlokusinya tidak
secara eksplisit tertuang pada ayat tersebut maupun lanjutan ayat pada surat Ibrahim,
akan tetapi kalau mengacu pada Q.S al-Ahzâb ayat 67 sampai 68 diungkapkan bahwa
para pengikut orang-orang kafir meminta kepada Tuhan untuk memberikan azab dua
kali lipat kepada pemimpin mereka dan mengutuk mereka dengan kutukan yang besar,
seperti bunyi ayat: “ وقالو ربنا إنا أطعنا ساداتنا وكرباءنا فأضلونا السبيال ربنا اهتم ضعفني من العذاب
” والعنهم لعنا كبريا
26) Menghina
Seperti Contoh Q.S. al-Baqarah (2); 13
اءفهالس ناما ءكم نمؤ وإذا قيل لهم ءامنوا كما ءامن الناس قالوا أن
ونلمعلا ي نلكو اءفهالس مه مألا إنه Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
154
orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah orang-orang munafik. Sedangkan mukhathabnya adalah nabi Muhammad dan
orang-orang mukmin.150 Ayat di atas turun berkaitan dengan sikap superioritas orang-
orang munafik diantaranya Abdullah bin Ubay bin Salûl, Mu’tab bin Qusyair, dan Jid
bin Qis.151 Istifhâm tersebut merupakan reaksi dari ajakan nabi Muhammad agar mereka
beriman sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Dalam pandangan orang-orang
munafik, kebanyakan orang-orang yang beriman pada saat itu tergolong orang-orang
yang miskin, bodoh dan bukan golongan orang yang terpandang, misalnya Shuhaib,
Amr, dan Bilal.152 Sehingga seandainya mereka beriman, maka mereka khawatir derajat
dan martabatnya akan turun.153
Istifhâm yang diungkapkan oleh orang-orang munafik di atas bukan
dimaksudkan untuk meminta informasi, melainkan untuk menghina nabi Muhammad
SAW dan orang-orang yang beriman. Secara tidak langsung, mereka menyatakan bahwa
orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang bodoh dan bukan dari golongan
orang-orang yang terpandang.154 Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh al-
Shâbûni155 bahwa istifhâm di atas berfungsi untuk menghina dan sekaligus sebagai tanda
penolakan.
150 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz 1, h. 36 151 ibid. 152 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz, 1, h. 71-72, lihat juga al-Marâghi, Op. Cit, Juz 1, h. 21 153 Hamka, Op. Cit, juz.1, h. 130-131 154 Ibnu Katsîr, Loc. Cit 155 Al-Shâbûni, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
155
Fungsi istifhâm untuk menghina ini juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian yang
dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi mutakallim
(orang-orang munafik) digambarkan sebagai orang-orang yang merasa superior. Mereka
merasa rendah dan turun derajatnya apabila beriman. Kondisi mukhathab (nabi SAW
dan para pengikutnya) dapat diketahui bahwa kebanyakan mereka bukan dari golongan
terpandang, bahkan diantara mereka adalah mantan budak yang berkulit hitam, misalnya
Bilal. Sedangkan kondisi substansi pesannya adalah mutakallim (orang-orang munafik)
beranggapan bahwa orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang rendah
derajat dan martabatnya sehingga mutakallim enggan untuk beriman. Berpijak dari
kondisi kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang
berfungsi untuk menghina.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan orang-orang munafik yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya bertujuan untuk
menghina nabi SAW dan orang-orang mukmin. Sedangkan wujud dari tindak
perlokusinya adalah reaksi balik dari nabi SAW sebagaimana tercermin pada akhir ayat
13 surat al-Baqarah :” ونلمعلا ي نلكو اءفهالس مه مألا إنه ” dan juga ayat 15 surat al-Baqarah:
”ا يستهزئ هبم وميدهم يف طغياهنم يعمهون“
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
156
27) Merasa Puas
Seperti contoh Q.S. al-Shâffât (37); 58-59
إلا موتتنا الأولى وما نحن بمعذبني تنيفما نحن بميأ
Artinya: “Maka apakah kita tidak akan mati? melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia),
dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)?” Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah penghuni surga dan mukhathabnya juga sesama penghuni surga.156 Dalam
kehidupannya di surga, mereka merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan kemuliaan.
Mereka tidak menderita karena azab Tuhan dan hidup dalam keabadiaan, yaitu tidak
akan mengalami kematian, kecuali kematian pertama (di dunia). Hal ini bertolak
belakang dengan keadaan teman-temannya yang hidup di neraka.157
Dalam keadaan serba nikmat ini mereka bercakap-cakap dengan sesama
temannya sebagaimana ayat di atas. Istifhâm yang dikemukakan bukan sekedar untuk
meminta informasi, akan tetapi berdasarkan konteks yang dikemukakan, istifhâm
tersebut dimaksudkan oleh mutakallim untuk mengungkapkan rasa puas atau rasa
kegembiraannya terhadap nikmat yang diberikan tersebut dan sebagai ungkapan rasa
haru atas kenikmatan yang diperoleh selama hidup di surga. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Ibnu Katsîr,158 bahwa istifhâm di atas merupakan ungkapan rasa puas
atau kegembiraan orang-orang mukmin atas karunia Tuhan berupa keabadian hidup di
surga.
156 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz 3, h. 12 157 Depag RI, Op, Cit, juz, 8, h. 303-304 158 Ibnu Katsîr, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
157
Fungsi istifhâm untuk mengungkapkan rasa puas diperkuat oleh kondisi
kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya.
Kondisi mutakallim dan mukhathab adalah sesama penghuni surga, mereka hidup di
surga dalam keadaan serba nikmat, mereka mengetahui bahwa temannya yang ada di
neraka mengalami kehidupan yang sebaliknya. Substansi pesannya adalah bahwa
mutakallim mengungkapkan rasa puas dan senangnya kepada mukhathab selama hidup
di surga yang serba nikmat dan abadi. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka
istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengungkapkan
rasa puas.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan penghuni surga kepada temannya
dengan redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk mengungkapkan rasa puasnya atas kenikmatan dan keabadiaan
hidupnya di surga. Sedangkan wujud tindak perlokusinya adalah bahwa secara implisit
diketahui bahwa seluruh penghuni surga juga merasa puas atau senang atas kenikmatan
dan keabadiaan hidup mereka di surga.
28) Mengungkit-ungkit
Seperti contoh Q.S. al- Syu’arâ’(26); 18-19
نينرك سمع نا مينف لبثتا ويدلا وينف كبنر قال ألم وفعلت فعلتك التي فعلت وأنت من الكافرین
Artinya: Fir`aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan
kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna?”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
158
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah di atas, mutakallimnya adalah
Fir’aun. Sedangkan mukhathabnya adalah Musa. Disebutkan bahwa nabi Musa adalah
anak angkat Fir’aun. Fir’aun menyayanginya sebagai anak sendiri. Pada perkembangan
berikutnya, Musa merasakan ketidakcocokannya dengan Fir’aun. Diantara ketidak
cocokannya adalah nabi Musa menentang ketuhanan Fir’aun dan menuntutnya agar
membebaskan bani Isrâil dari perbudakannya.159 Sehubungan dengan sikap nabi Musa
tersebut, Fir’aun mengungkapkan rasa amarah dan kejengkelannya sebagaimana
tercermin dalam ayat di atas dalam redaksi istifhâm.
Istifhâm yang sekaligus jawaban dari Fir’aun tersebut dimaksudkan untuk
mengungkit-ungkit jasa baik yang pernah diberikannya kepada nabi Musa. Menurut al-
Qurthubi,160istifhâm tersebut disamping untuk mengungkit-ungkit masa lalu, juga
sebagai ejekan dari Fir’aun kepada Musa. Quthb merekonstruksi istifhâm tersebut
sebagai berikut: “Hai Musa! Apa balasan dan penghormatan yang kamu berikan
kepadaku atas jasa-jasaku mengasuhmu dalam lingkungan keluargaku?”161
Fungsi istifhâm untuk mengungkit-ungkit di atas juga diperkuat oleh kondisi
kesesuaian yang dapat dilacak dari sisi mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya.
Kondisi mutakallim (Fir’aun) adalah seorang raja diktator dan menganggap dirinya
adalah Tuhan, dia mengangkat Musa sebagai putranya, dia mendidik, mengasuh, dan
merawat Musa dalam lingkungan kerajaan sejak kecil. Kondisi mukhathab (nabi Musa)
adalah anak angkat Fir’aun, akan tetapi dia juga seorang nabi dan rasul Tuhan yang
menentang ketuhanan dan kediktatoran Fir’aun. Sedangkan substansi pesannya adalah
159 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 3, h. 440. Juga Depag RI, Op. Cit, juz. 7, h. 72 160 Al-Qurthubi, Op. Cit, juz, 5, h. 72 161 Sayyid Qutb, Fî Dzilâl Al-Qurân, (Jeddah; Dâr al-‘Ilmi, 1986), juz. 5, h. 2591
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
159
bahwa Fir’aun mengungkap kembali jasanya (mendidik, mengasuh, dan merawat) yang
pernah dia berikan kepada Musa. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, maka, istifhâm
di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi untuk mengungkit-ungkit jasa
yang telah diberikan mutakallim kepada mukhathab.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Fir’aun kepada Musa yang beredaksi
istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya adalah bertujuan
untuk mengungkit-ungkit jasa yang telah dia berikan pada Musa. Sedangkan wujud
tindak perlokusinya adalah jawaban balik dari Musa yang bernada mengungkit-ungkit
pula, yaitu bahwa budi baik yang diberikan oleh Fir’aun kepadanya itu karena Fir’aun
telah memperbudak bani Isrâil, dan hal ini sebagaimana tercermin dalam ayat 22 surat
al-Syu’arâ’: “وتلك نعمة متنها علي أن عبدت بين إسرائيل ”
29) Mengancam
Seperti contoh Q. S. al-Syu’arâ’ (26); 49
رحالس كملمي عالذ كملكبري إنه لكم اذنء ل أنقب له تمنامقال ء
نيعمج بنكم أ عن أيديكم وأرجلكم من خلاف ولأصل ف تعلمون لأقط وفلس Artinya: Fir`aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku
memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui
(akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya".
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
160
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Fir’aun sedangkan mukhathabnya adalah rakyatnya,162 atau para ahli sihir.163
Istifhâm tersebut muncul sebagai reaksi dari apa yang dilakukan oleh para ahli sihir
bahwa mereka berikrar untuk beriman kepada Tuhan semesta alam dan tidak mengakui
ketuhanan Fir’aun.164 Melihat gejala ini, Fir’aun mengancam akan menindak mereka.165
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Katsîr166 bahwa istifhâm di atas dimaksudkan
oleh Fir’aun untuk mengancam para ahli sihir. Ancaman tersebut dipertegas dengan
pernyataan Fir’aun pada akhir ayat yang artinya; “Maka kamu nanti pasti benar-benar
akan mengetahui (akibat perbuatanmu); Sesungguhnya aku akan memotong tanganmu
dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya.”
Fungsi istifhâm untuk mengancam tersebut, juga diperkuat oleh kondisi
kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi pesannya.
Kondisi mutakallim (Fir’aun) adalah seorang raja yang mengaku Tuhan, akan tetapi ada
sebagian rakyatnya dan ahli sihirnya yang menentang kepadanya dengan menyatakan
kepadanya tentang keimanan mereka pada Tuhan pencipta alam. Sedangkan kondisi
mukhathab (rakyat atau ahli sihir Fir’aun) telah menanggalkan dukungannya kepada
Fir’aun dan menampakkan keimanan mereka kepada Tuhan pencipta alam. Adapun
substansi pesannya adalah bahwa Fir’aun mengancam para rakyat atau ahli sihirnya
untuk tidak beriman kepada Tuhan nabi Musa, apabila mereka tetap beriman, maka
Fir’aun akan memotong tangan dan kakinya, dan akan menyalibnya. Berpijak dari
162 Ibnu Katsîr, Op. Cit, juz. 3, h. 443 163 Depag RI, Op. Cit, juz. 7, h. 88 164 Lihat ayat 46, 47 dan 48 surat al-Syu’arâ’ 165 Depag RI, Loc, Cit. 166 Ibnu Katsîr, Loc.Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
161
kondisi kesesuaian di atas, maka tepatlah jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai
suatu istifhâm yang dimaksudkan oleh mutakallim untuk mengancam mukhathab apabila
tidak menuruti perintahnya.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perspektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Fir’aun kepada rakyat atau ahli
sihirnya yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak
illokusinya bertujuan untuk mengancam rakyat atau ahli sihirnya agar tidak beriman
kepada Tuhan pencipta alam. Sedangkan wujud dari tindak perlokusinya adalah sikap
ketidaktakutan rakyat atau ahli sihir Fir’aun atas ancaman tersebut yang tercermin pada
ayat 50-51 surat al-Syu’arâ’;
قالو الضري إنا إىل ربنا منقلبون إنا نطمع أن يغفر لنا ربنا
خطينا أن كنا أول املؤمنني
30) Menyesali
Seperti contoh Q. S. al-Mâidah (5); 31 تزجلتا أعياوقال ي يهأخ ة فبعث الله غرابا يبحث في الأرض ليريه كيف يواري سوأ
نيمادالن نم حبي فأصأخ ة أن أكون مثل هذا الغراب فأواري سوأArtinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena
itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
162
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada contoh di atas, mutakallim
dan mukhathabnya adalah Qabil putra nabi Adam.167 Dalam ayat tersebut diceritakan
bahwa setelah Qabil membunuh saudaranya (Habil) dia tidak bisa berbuat apa-apa, baru
setelah Allah mengutus seekor burung gagak untuk menggali tanah guna mengubur
temannya yang mati, dia baru tahu cara menguburkan orang mati. Maka terlontarlah dari
mulutnya yang beredaksi istifhâm sebagai ungkapan penyesalannya atas kebodohan
dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan.168
Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-Shâbûni169 bahwa istifhâm di atas
bukan digunakan untuk meminta informasi, melainkan untuk menyatakan penyesalan.
Al-Marâghi dan al-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa ungkapan tersebut (istifhâm)
terlontar sebagai ungkapan penyesalan atas kesalahan yang dia (Qabil) perbuat, yaitu
pembunuhan terhadap Habil.170
Fungsi istifhâm untuk penyesalan tersebut juga diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi
mutakallim dan mukhathab (Qabil) dia adalah putra nabi Adam, mempunyai saudara
yang bernama Habil, dia membunuh Habil karena merasa iri dengannya, dia tidak tahu
cara menguburkan mayat Habil, Allah mengutus gagak untuk memberikan contoh
kepadanya. Sedangkan substansi pesannya adalah bahwa setelah melihat apa yang
dilakukan gagak, maka terlontarlah ungkapan penyesalan dari Qabil atas kebodohan
dirinya dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap Habil. Berpijak dari kondisi
167 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, juz. 3, h. 74 168 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 65, riwayat dari Al-Dhahak dari Ibn Abbas. Juga Al-Shiddiqy,
Op. Cit, Juz. 2, h. 1068 169 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz 1, h. 339 170 Al-Marâghi, Op. Cit, juz. 4, h. 101, lihat juga al-Zuhaili, Op. Cit, juz. 6, h. 155
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
163
kesesuaian inilah, maka istifhâm di atas dikategorikan sebagai istifhâm yang berfungsi
untuk menyesali.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas ditinjau dari perpektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Qabil kepada dirinya sendiri dalam
bentuk redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk mengungkapkan rasa penyesalan. Sedangkan wujud tindak perlokusinya
secara implisit tentunya dia (Qabil) tidak akan melakukan hal yang sama dikemudian
hari.
31) Menyatakan keheranan
Seperti contoh Q.S. Hûd (11); 72-73 إن ھذا لشيء عجیب قالوا أتعجبین من ءألد وأنا عجوز وھذا بعلي شیخاقالت یاویلتى
أمر اللھ رحمة اللھ وبركاتھ علیكم أھل البیت إنھ حمید مجیدArtinya: "Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan
anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.
Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas, mutakallimnya
adalah Sarah (isteri nabi Ibrahim). Sedangkan mukhathabnya adalah para malaikat
utusan Allah yang juga sebagai sasaran istifhâm 171 Ungkapan yang beredaksi istifhâm
yang diucapkan Sarah tersebut bukan berfungsi untuk meminta informasi, akan tetapi
berfungsi untuk menyatakan keheranannya atas berita tentang apa yang disampaikan
171 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 2, h. 588-589. Juga Al-Marâghi, Op. Cit, Juz. 4, h. 59
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
164
oleh para malaikat mengenai kelahiran anaknya yang bernama Ishâq, sebagaimana yang
tertuang dalam ayat 71 sebelumnya.172
Fungsi istifhâm untuk menyatakan keheranan tersebut juga diperkuat oleh
kondisi kesesuaian yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Kondisi mutakallim (Sarah) adalah isteri nabi Ibrahim, dia sudah berumur
yang lazimnya sudah tidak beranak lagi, keadaan suaminya juga sudah berusia lanjut.173
Kondisi mukhathab (para malaikat) adalah hamba Allah yang sangat taat, mereka tidak
mungkin berbohong, mereka membawa kabar dari Allah tentang kelahiran Ishâq putra
nabi Ibrahim dan Sarah. Sedangkan substansi pesannya adalah perasaan heran yang
diungkapkan Sarah atas berita yang dibawa oleh para malaikat utusan Allah. Berpijak
dari kondisi kesesuaian inilah, maka tepatlah jika istifhâm di atas dikategorikan sebagai
istifhâm yang berfungsi untuk menyatakan keheranan.
Oleh karena itu, apabila istifhâm di atas dicermati dari perpesktif teori tindak
tutur, maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Sarah kepada para malaikat
yang beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Illokusinya bertujuan
untuk menyatakan keheranannya (Sarah) atas berita tentang kelahiran Ishâq. Sedangkan
wujud tindak perlokusinya adalah jawaban yang disampaikan oleh malaikat, yang
tertuang pada ayat 73 dan beredaksi istifhâm pula; محر ر اللهأم نم بنيجقالوا أتعجيدم يدمح إنه تيل البأه كمليع كاتهربو ة الله
172 Al-Shâbûni, Op. Cit, juz. 2, h. 24 173 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 3, h. 1924
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
165
yang bertujuan untuk melarang Sarah heran dan tidak mempercayai kekuasaan Allah
SWT, karena tatkala Dia berkehendak kepada sesuatu, hanya menyatakan “kun” lalu
terwujudlah apa yang dikehendakiNya itu.174
32) Menghardik
Seperti contoh Q.S. al- Baqarah (2); 61
ضالأر بتا تنما ملن ج ع لنا ربك يخر فاد داحام ولى طعع برنص ى لنوسامي إذ قلتما وهثائقا وهقلب نم
ألتما سم لكم ا فإنرصبطوا ماه ريخ وي هنى بالذأد وي هالذ لوندتبا قال أتسهلصبا وهسدعا وهفوموبآي ونكفركانوا ي مبأنه كذل الله نضب م الله ويقتلون النبيني اتوضربت عليهم الذلة والمسكنة وباءوا بغ
قر الحبغي ونتدعكانوا يا ووصا عبم كذل
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang
merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa
yang kamu minta". Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah pada ayat di atas mutakallimnya
adalah nabi Musa A.s dan mukhathabnya adalah umatnya (bani Isrâil).175 Ayat tersebut
menceritakan bahwasanya bani Isrâil meminta nabi Musa A.s untuk berdo’a kepada
174 ibid. 175 Ibn Katsir, Op. Cit, juz. 1, h. 137, dari riwayat Al-Bukhari. Juga M. Quraisy Syihab, Op. Cit,
juz, 1, h. 202
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
166
Tuhan agar keinginan mereka terkabul, diantaranya mengharapkan makanan selain al-
manna dan al-salwa, padahal ini merupakan jenis makanan yang paling sempurna, lezat,
dan penuh gizi.176Dan di lain pihak mereka berbuat ingkar dan tidak mau mematuhi
Musa A.s.
Oleh karena itu, permintaan tersebut di jawab oleh Musa yang merasa jengkel
atas tingkah laku kaumnya dengan redaksi istifhâm yang bertujuan untuk menghardik
mereka.177 Redaksi tersebut diperkuat oleh redaksi perintah (amr) agar mereka segera
pergi ke suatu tempat. Kegusaran nabi Musa A.s tersebut didasari oleh keingkaran dan
kedurhakaan bani Isrâil terhadap Musa, serta ketidakrasionalan permintaan itu, karena
al-manna dan al-salwa merupakan jenis makanan yang paling sempurna, lezat dan
penuh gizi.
Fungsi istifhâm untuk menghardik tersebut diperkuat oleh kondisi kesesuaian
yang dapat dilacak dari mutakallim, mukhathab dan substansi pesannya. Kondisi
mutakallim (nabi Musa A.s) adalah nabi dan rasul Tuhan untuk bani Isrâil, memiliki
karakter yang tegas dan keras, merasa jengkel dengan ulah kaumnya (bani Isrâil).
Kondisi mukhathab (bani Isrâil) adalah kaum nabi Musa, berbuat inkar dan tidak mau
mematuhi Musa, berbuat durhaka dan melampaui batas, meminta sesuatu yang irrasional
yaitu meminta makanan yang bermacam-macam, padahal telah diberi al-manna dan al-
salwa yang merupakan jenis makanan yang terbaik. Sedangkan substansi pesannya
adalah bahwa Musa jengkel kepada mereka kemudian menghardiknya karena
176 Al-Shiddiqy, Op. Cit, juz. 1, h. 119 177 ibid.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
167
permintaan mereka dia anggap tidak rasional dan tidak pantas jika dibandingkan dengan
kedurhakaan dan keingkaran mereka.
Oleh karena itu, istifhâm di atas apabila ditinjau dari perpektif teori tindak tutur,
maka lokusi (wujud formal) nya adalah ungkapan Musa kepada bani Isrâil yang
beredaksi istifhâm dengan menggunakan kata tanya hamzah. Tindak illokusinya
bertujuan untuk menghardik mereka atas permintaan mereka yang macam-macam dan
tidak rasional. Sedangkan wujud tindak perlokusinya secara implisit adalah diharapkan
bani Isrâil sadar, tidak meminta sesuatu yang macam-macam, dan merubah tingkah laku
mereka yang melampaui batas. Akan tetapi pengharapan ini tidak bisa kesampaian,
karena pada akhir ayat diceritakan tentang kehancuran bani Isrâil karena murka dari
Allah.
2. Pembahasan Hasil Analisis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah
dalam Al-Qurân
Berdasarkan hasil analisis kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân yang telah dipaparkan di atas, maka pembahasan hasil analisispun akan
mencakup tiga aspek, yaitu aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek pragmatis.
a. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Sintaksis
Pembahasan hasil analisis aspek sintaksis penggunaan kata tanya hamzah dalam
Al-Qurân dalam penelitian ini meliputi tiga komponen, yaitu pola, sasaran, dan jenis.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
168
1) Pembahasan Hasil Analisis Pola Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam Al-
Qurân
Berdasarkan hasil analisis pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
diketahui bahwasanya redaksi istifhâm dalam Al-Qurân yang menggunakan kata tanya
hamzah polanya sangat bevariasi.178 Variasi pola penggunaan kata tanya hamzah
tersebut secara garis besar peneliti kelompokkan ke dalam dua kategori berdasarkan
kedua fungsinya, yaitu: tashawwur dan tashdîq.
Temuan mengenai variasi pola penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
ini mempunyai kegunaan, baik secara teoritis maupun secara praktis.
Secara teoritis, temuan penelitian ini bisa digunakan untuk memberikan
gambaran yang jelas tentang wujud formal pola penggunaan kata tanya hamzah dalam
Al-Qurân serta mendukung dan membuktikan pendapat beberapa tokoh sintaksis bahasa
Arab, antara lain Ibnu Hisyâm dalam al-Mughninya, Ibnu Ya’isy dalam Syarh al-
Mufashshalnya,179 dan juga Ibnu Mâlik dalam al-Misbâhnya 180 yang mengatakan bahwa
kata tanya hamzah adalah asal dari adawât al-istifhâm, atau dengan kata lain kata tanya
hamzah adalah adawât al-istifhâm yang asli.
Oleh karena kata tanya hamzah adalah asal dari adawât al-istifhâm, maka ia
mempunyai ketentuan-ketentuan khusus yang membedakannya dengan adawât al-
istifhâm yang lainnya. Diantaranya adalah;
178 Variasi pola ini peneliti analisis berdasarkan kitabnya M. Sayyid Thanthâwi, Mu’jam I’râbi
Alfâdz Al-Qurân al-Karîm, (Kairo; Idârah al-Buhûts al-‘Ilmiyah, 1994) 179 Jalaluddin al-Suyûthi, Kitâb al-Asybah wa l-Nadâir fî al-Nahwi, Loc. Cit 180 Sayyid al-Jumali, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
169
Kata tanya hamzah ini dalam penggunaannya dapat digunakan untuk mencari
pengetahuan tentang dua hal, yaitu; tashawwur dan tashdîq.181 Kata tanya hamzah yang
digunakan untuk tashawwur ini dalam Al-Qurân, berdasarkan sesuatu yang ditanyakan,
dapat diklasifikasikan ke dalam empat pola, yaitu: (1) Hamzah li al-tashawwur yang
mempertanyakan Subyek (S) (Musnad Ilaih), seperti Q.S. al-Nâzi’ât (79): 27, (2)
Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Predikat (P) (Musnad), seperti Q.S. al-
Thûr (52):15, (3) Hamzah li al-tashawwur yang mempertanyakan Obyek (O) (Maf’ul
Bih), seperti Q.S. al-An’âm (6);143, dan (4) Hamzah li al-tashawwur yang
mempertanyakan Keterangan (K) (Dzarf) seperti Q. S Al-Najm (53); 35-36.
Sedangkan kata tanya hamzah yang digunakan untuk tashdîq ini dalam Al-
Qurân, jika ditinjau dari ada tidaknya penanda negasi terbagi menjadi dua, yaitu:
hamzah li al-tashdîq pada kalimat afirmatif (kalam mutsbat) seperti Q. S. al –Shâffât
(37); 17-18 dan hamzah li al-tashdîq pada kalimat negatif (kalam manfi) seperti Q.S. al-
Mulk (67); 14, Q.S. al-Syarh (94); 1, Q.S. al-An’âm (6); 30, dan Q.S. Ali Imrân (3); 124.
. Temuan tentang variasi penggunaan hamzah li al-tashdîq ini juga menguatkan
pendapat Al-Suyuthi yang menyatakan; “kata tanya hamzah ini dalam penggunaannya
juga dapat masuk ke dalam kalimat afirmatif (kalam mutsbât) dan kalimat negatif
(kalam manfi).182
Kekhususan lain dari penggunaan kata tanya hamzah ini adalah bahwasanya
secara fungsional, kata tanya yang digunakan untuk menegaskan sesuatu adalah kata
tanya hamzah, meskipun kata tanya hamzah tersebut pada kalimat negatif (kalam manfi).
181 Al-Zarkasyi, Loc. Cit. 182 Jalaluddin al-Suyûti, Op. Cit, h. 141
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
170
Hal ini sebagaimana pendapat yang diungkapkan Abu Hayyân yang dia nukil dari Imam
Sibawaih.183 Contohnya antara lain Q.S. al-Syarh (94) ; 1.
Sedangkan kegunaan secara praktis, temuan penelitian bisa digunakan untuk
memberikan alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis Arab
(nahwu) dan insyâ’. Dalam kaitannya dengan sistem pembelajaran sintaksis Arab
(nahwu), sistem penggunaan pola kalimat dan variasinya dapat mempermudah
mengaplikasikan kaidah-kaidah sintaksis Arab (nahwu) dalam kalimat yang sempurna.
Disamping itu juga bisa memberikan gambaran yang jelas kepada anak didik tentang
kemungkinan menggunakan pola yang bervariasi untuk mengungkapkan satu ide atau
gagasan.
Adapun dalam kaitannya dengan sistem pembelajaran insyâ’, diketahui
bahwasanya salah satu metode yang digunakan dalam pembelajaran insyâ’ terpimpin
(insyâ’ muwajjah) bagi orang non Arab adalah dengan metode menyusun suatu kalimat
atau kalimat-kalimat tertentu dengan menggunakan pola-pola yang telah ditentukan.184
Dan metode ini dianggap efektif guna mempermudah pembelajaran insyâ’ terpimpin
(insyâ’ muwajjah).185 Oleh karena itu temuan penelitian ini selain dapat digunakan untuk
memperkaya pola-pola yang sudah ada –khususnya pola redaksi istifham-, juga bisa
digunakan sebagai gambaran awal dalam mengaplikasikan penggunaan metode pola
dalam penyusunan suatu kalimat bahasa Arab.
183 ibid, h. 344 184 M. Mansyur dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib wa al-Mutarjim, (Jakarta; PT. Moyo Segoro
Agung, 2002), h. 4 Disebutkan bahwa “ االنشاء ومن حيث تسهيل التدريس خاصة للدراسين غير الناطقين بها، ففي .محددة طإلى تكوين جملة أو جمل خاصة باستعمال نمط أو أنما الموجه يوجه المدرس طالبه ”
185 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
171
2) Pembahasan Hasil Analisis Sasaran Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya
Hamzah dalam Al-Qurân
Berdasarkan hasil penelitian, sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sasaran langsung,
yaitu: istifhâm yang sasarannya langsung ditujukan oleh mutakallim kepada pihak
pertama atau kedua, dan (2) sasaran tidak langsung, yaitu istifhâm yang sasarannya
ditujukan kepada pihak ketiga melalui pihak kedua.
Variasi sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân
secara keseluruhan dapat dijabarkan dalam bagan berikut;
Sasaran Istifhâmyang menggunakan kata tanya Hamzah
Langsung
Sasaran PertamaOrang Pertama
Sasaran KeduaOrang Kedua
Orang KetigaTidak Langsung
Orang Pertama Tunggal (Ana)
Orang Pertama Plural (Nahnu)
Orang Kedua Tunggal Maskulin (Anta)
Orang Kedua Tunggal Feminim (Anti)
Orang Kedua Dual (Antuma)
Orang Kedua Plural Maskulin (Antum)
Orang Ketiga Tunggal Maskulin (Huwa)
Orang Ketiga Tunggal Feminim (Hiya)
Orang Ketiga Plural Maskulin (Hum)
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
172
Bervariasinya sasaran istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-
Qurân tidak terlepas dari hal yang melatarbelakanginya, diantaranya; Pertama,
kompleksitas dimensi yang dikandung Al-Qurân, hal ini berimplikasi pada semakin
bervariasinya pelaku peristiwa sejarah yang direspon oleh Al-Qurân. Apabila dikaitkan
dengan istifhâm yang digunakan oleh Al-Qurân, maka obyek yang menjadi sasarannya
juga pasti semakin bervariasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian, bahwa obyek
yang menjadi sasaran istifhâm bukan saja pihak (orang) kedua, melainkan juga pihak
(orang) ketiga, bahkan ada yang antara mutakallim dan mukhathabnya pelakunya sama.
Kedua, kompleksitas dimensi waktu yang direspon Al-Qurân, hal ini juga
berimplikasi pada keanekaragaman obyek yang menjadi sasaran istifhâm dalam Al-
Qurân. Al-Qurân tidak hanya merespon peristiwa yang terjadi pada saat turunnya saja,
melainkan juga merespon dan memberitakan peristiwa yang terjadi pada masa sebelum
turunnya Al-Qurân, bahkan peristiwa yang akan terjadi jauh setelah turunnya Al-
Qurân.186 Respon dan pemberitaan tentang peristiwa yang terjadi pada masa sebelum
turunnya Al-Qurân misalnya berita tentang kisah para nabi dan umatnya, diantaranya;
Adam dan Hawa, Qabil dan Habil, kaum ‘Ad, kaum Luth, Musa dan Fir’aun, dll.
Sementara itu respon dan pemberitaan tentang peristiwa yang akan terjadi jauh setelah
turunnya Al-Qurân diantaranya adalah seperti yang tertuang pada ayat 1 sampai 5 surat
al-Rûm tentang kemenangan bangsa Romawi dan bangsa Persi, yang mana hal ini
menurut sejarahwan baru terjadi pada tahun 622 M.187
186 M. Quraisy Syihab, Lentera Hati, Loc. Cit 187 ibid
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
173
Sedangkan kegunaan temuan hasil penelitian tentang bervariasinya sasaran
istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân antara lain untuk;
Pertama, menunjukkan dan membuktikan kebenaran Al-Qurân sebagai media interaksi
antara Tuhan dan hambaNya.
Hal tersebut bisa dilihat dari redaksi yang digunakan dalam Al-Qurân, lebih
khusus lagi redaksi istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah, sasarannya bukan
hanya ditujukan kepada nabi SAW saja sebagai penerima wahyu, tetapi juga kepada
seluruh hambaNya.188
Kedua, menunjukkan bahwa proses interaksi berlangsung secara multi arah
bukan doktrinal ekslusif. Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Qurân bahwa sebagai
pedoman dan sumber hukum bagi umat Islam, redaksi dalam Al-Qurân tidak hanya
menggunakan redaksi perintah (amr) dan larangan (nahi) yang bersifat langsung dan
kaku, boleh dan tidak boleh, akan tetapi terkadang menggunakan redaksi lain yang
bersifat tidak langsung dan secara implisit bertujuan untuk memerintah, melarang, dll.
Diantara redaksi yang digunakan adalah istifhâm. Hal lain yang menunjukkan
keharmonisan proses interaksi tersebut, diantaranya bisa kita lihat pada ayat 30 surat al-
Baqarah (2), dimana Tuhan memberikan kesempatan kepada hambaNya (para malaikat)
untuk menanggapi dan menanyakan tentang ideNya untuk menciptakan manusia (Adam
A.s) sebagai khalifah di muka bumi, dan kemudian menjawabnya dengan jawaban yang
memuaskan.
Ketiga, menunjukkan bahwa Al-Qurân merupakan kompendium bagi manusia
yang komprehensif. Hal ini dikarenakan Al-Qurân disamping di dalamnya memuat
188 Yusuf Qardhawi, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
174
undang-undang syari’at dan sumber hukum Islam yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap orang Islam, memuat penjelasan halal dan haram, perintah dan larangan,
tuntutan berperilaku dan bersikap bagi seorang muslim189, Al-Qurân juga merupakan
satu bacaan yang dipelajari redaksinya, bukan hanya dari segi penetapan kata demi kata
dalam susunannya serta kata tersebut, tetapi mencakup arti kandungannya yang tersurat
dan tersirat, bahkan sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.190
Hal lain yang patut diungkapkan lagi adalah bahwa meskipun sasaran istifhâm
yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bervariasi, bahkan ada yang
bersifat spesifik dan kasuistik, akan tetapi pemberlakuan substansi Al-Qurânnya berlaku
untuk umum. Keumuman pemberlakuan substansi dalam Al-Qurân didasarkan pada
kaidah ilmu Al-Qurân:
العربة بعموم اللفظ ال خبصوص السببArtinya: “ Patokan memahami ayat ialah berdasarkan redaksinya
yang bersifat umum, bukan khusus, terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya ayat.”
Dalam memahami kaidah ini, yang perlu diingat adalah bahwa asbâb al-nuzûl
pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna
redaksi-redaksi ayat Al-Qurân. Namun cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup
sebab turunnya ayat. Dengan kata lain makna suatu ayat tidak dikhususkan hanya
kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat. Dan dengan
189 Al-Marâghi, Op. Cit, juz I, h. 5 190 M. Quraisy Syihab, Op. Cit, h. 24
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
175
memperhatikan dan memahami kaidah ini, kita akan dapat melihat salah satu
keistimewaan Al-Qurân dari segi keindahan susunan kalimat-kalimatnya.191
3) Pembahasan Hasil Analisis Jenis Istifhâm yang Menggunakan Kata Tanya
Hamzah dalam Al-Qurân
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa istifhâm yang menggunakan kata
tanya hamzah dalam Al-Qurân dikategorikan menjadi dua jenis yaitu; (1) istifhâm
retoris, yaitu istifhâm yang tidak menghendaki jawaban, dan (2) istifhâm aretoris, yaitu
istifhâm yang menghendaki adanya suatu jawaban dari mukhathab. Kedua jenis
pengkategorian istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân di atas
memiliki karakteristik masing-masing, yang untuk lebih jelasnya dapat disusun
sebagaimana dalam bagan berikut:
191 Abdurrahman Dahlan. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qurân. (Bandung: Penerbit Mizan,
1997), Cet. I, h. 91-92
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
176
Jenis Istifhâmyang Menggunakan Kata Tanya Hamzahdan Karakteristiknya
IstifhâmRetoris
IstifhâmAretoris
Fungsi Pragmatis
Istifhâm Berfungsi Sebagai Jawaban
Mutakallim Tuhan Mukhathab Hamba
Mutakallim dan Mukhathab Sesama
Hamba
Fungsi Semantis
Fungsi Pragmatis
Mutakallim Hamba Mukhathab Tuhan
Mutakallim dan Mukhathab Sesama
Hamba
Mutakallim Sebagai Penanya dan
Penjawab
Jawaban Istifhâm Berfungsi Sebagai
Pengakuan
Berdasarkan temuan tentang karakteristik dari kedua jenis istifhâm di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa ada sisi persamaan dan perbedaan antara karakteristik
keduanya. Sisi persamaannya adalah: (1) baik dalam istifhâm retoris maupun istifhâm
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
177
aretoris ada yang mutakallim dan mukhathabnya sesama hamba, dan (2) baik dalam
istifhâm retoris maupun istifhâm aretoris ada yang memiliki fungsi pragmatis.
Sedangkan sisi perbedaan karakteristik keduanya adalah: (1) Istifhâm retoris
hanya memiliki fungsi pragmatis, sedangkan istifhâm aretoris ada yang berfungsi
pragmatis dan ada juga yang berfungsi semantis, (2) Dalam istifhâm retoris Tuhan
sebagai mutakallim dan hambaNya sebagai mukhathab, sedangkan dalam istifhâm
aretoris Tuhan sebagai mukhathab dan hambaNya sebagai mutakallim, (3) Meskipun
dalam istifhâm aretoris adakalanya Tuhan sebagai mutakallim (sama dengan istifhâm
retoris), akan tetapi jawaban istifhâm tersebut juga diungkapkan oleh Tuhan sendiri, atau
jika jawabannya ada yang dari hambaNya, maka jawaban tersebut merupakan suatu
pengakuan atau pembenaran atas apa yang disampaikan Tuhan, dan (4) Redaksi istifhâm
(pertanyaan) dalam istifhâm retoris ada yang berfungsi sebagai jawaban, sedangkan
redaksi istifhâm (pertanyaan) dalam istifhâm aretoris pasti diikuti jawabannya.
Berpijak dari persamaan dan perbedaan krakteristik istifhâm retoris dan istifhâm
aretoris, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti berkesimpulan
bahwa setidaknya ada dua hal yang sangat signifikan berkaitan dengan persamaan dan
perbedaan karakteristik istifhâm di atas, yaitu: (1) berkaitan dengan fungsi, dan
(2) berkaitan dengan mutakallim dan mukhathab.
a) Berkaitan dengan Fungsi
Temuan yang menunjukkan bahwa dalam istifhâm retoris, redaksi istifhâm hanya
digunakan untuk fungsi pragmatis membuktikan bahwa istifhâm retoris memang
bukanlah suatu istifhâm yang dimaksudkan untuk meminta informasi. Hal ini
dikarenakan mutakallim sudah mengetahui apa yang dia ungkapkan dan berasumsi
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
178
bahwa mukhathab pun juga sudah mengetahui atau paling tidak dianggap sudah
mengetahui jawabannya. Istifhâm tersebut oleh mutakallim dimaksudkan sebagai tindak
illokusi, jadi yang diharapkan bukanlah sekedar jawaban, akan tetapi tindak perlokusi
yang nyata.
Sementara itu istifhâm aretoris di samping ada yang memiliki fungsi semantis
juga ada yang memiliki fungsi pragmatis. Temuan ini membuktikan bahwa istifhâm
aretoris memiliki fungsi yang lebih luas daripada istifhâm retoris. Istifhâm aretoris ini
dapat dilihat dari fungsi dasarnya dan juga dapat dilihat dari fungsi pragmatisnya.
Temuan yang berkaitan dengan fungsi pragmatis baik dalam istifhâm retoris,
maupun dalam istifhâm aretoris dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai data
empiris untuk mengoreksi pembagian jenis pertanyaan yang diungkapkan oleh Gorys
Keraf. Dia mengemukakan pembagian jenis pertanyaan secara umum –juga istifhâm
dalam bahasa Arab- menjadi tiga, yaitu; (1) pertanyaan retoris, (2) pertanyaan aretoris,
dan (3) pertanyaan yang senilai dengan perintah.192
Dalam pandangan peneliti, memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah
sebagai salah satu jenis pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan
pertanyaan aretoris kurang representatif. Hal ini, dikarenakan berdasarkan hasil
penelitian terbukti bahwa suatu pertanyaan –juga istifhâm yang menggunakan kata tanya
hamzah dalam Al-Qurân– dari aspek jawabannya cukup dikelompokkan menjadi dua
saja, yaitu; pertanyaan (istifhâm) retoris dan pertanyaan (istifhâm) aretoris. Sementara
itu, apakah pertanyaan (istifhâm) itu bernilai perintah, larangan ataupun lainnya bukan
dilihat dari aspek jawabannya, melainkan dilihat dari aspek fungsionalnya.
192 Gorys Keraf, Op. Cit, h. 27
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
179
b) Berkaitan Dengan Mutakallim dan Mukhathab
Temuan lain yang berkaitan dengan jenis istifhâm ini, juga dapat dilihat dari sisi
mutakallim dan mukhathabnya. Dalam istifhâm retoris ada kecenderungan bahwa
mutakallimnya adalah Tuhan. Sementara itu dalam istifhâm aretoris posisi Tuhan
cenderung sebagai mukhathab, sedangkan mutakallimnya cenderung diperankan oleh
hambaNya.
Temuan di atas menunjukkan bahwa posisi Tuhan sebagai pemilik firman
mempunyai otoritas dalam mengungkapkan ide-ideNya maupun menjawab istifhâm
yang diungkapkan oleh hambaNya. Dominasi Tuhan sebagai mutakallim dan sekaligus
kadang menjadi mukhathab yang aktif memberi jawaban lebih tampak daripada pihak
lain (hamba-hambaNya). Dominasi Tuhan ini juga tampak pada salah satu karakteristik
istifhâm aretoris bahwa penanya dan pemberi jawaban pada istifhâm adalah Tuhan,
meskipun sasaran (obyek) istifhâm tersebut adalah hamba-hambaNya.
b. Pembahasan Hasil Analisis Aspek Semantis dan Pragmatis Penggunaan Kata
Tanya Hamzah dalam Al-Qurân
Dari aspek semantis dan pragmatis, hasil penelitian menunjukkan bahwa istifhâm
yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilihat dari tindak illokusinya
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori tindak dari lima kategori tindak yang
diungkapkan oleh Geoffrey Leech.193 Ketiga kategori tindak tersebut adalah; tindak
asertif, tindak direktif, dan tindak ekspresif. Perinciannya dalam bagan berikut ini;
193 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 105-106
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
180
Hasil penelitian di atas setidaknya bisa digunakan untuk; (1) menunjukkan
bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan
ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act), (2) mendukung pendapat
Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson dan mengoreksi pandangan tata bahasa
tradisional dan Ramelan, dan (3) bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan
struktural dan semantis.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
181
1) Tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat langsung (direct speech act) dan
ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act)
Temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang menggunakan kata
tanya hamzah dalam Al-Qurân membuktikan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada
yang bersifat langsung (direct speech act) dan ada juga yang bersifat tidak langsung
(indirect speech act).194 Tindak tutur langsung adalah penutur menuturkan suatu kalimat
yang maknanya secara pasti dan literal sama dengan apa yang dikatakan.195
Berkaitan dengan tindak tutur ini, bisa diambilkan satu contoh istifhâm yang
memang digunakan untuk bertanya, misalnya Q.S. al-Syu’arâ’(26); 41 yang mana
mutakallim (para ahli sihir Fir’aun) bertanya kepada Fir’aun tentang upah apa yang akan
mereka terima jika dapat mengalahkan Musa A.s.196 Berdasarkan data yang ditemukan
oleh peneliti tentang penggunaan hamzah istifhâm dalam Al-Qurân, sangat sedikit sekali
dapat dijumpai istifhâm yang digunakan untuk bertanya (fungsi semantis), hal ini
menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech act)
dalam Al-Qurân sangat minim.
Sementara itu dalam tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), penutur
menuturkan suatu kalimat yang memiliki makna lain dari apa yang dikatakan, atau
dengan kata lain dalam tindak tutur tidak langsung ini, penutur mengungkapkan
maknanya secara implisit dan tindak tutur terungkap secara implisit pula. Berdasarkan
data yang ditemukan oleh peneliti dalam penelitian ini, sangat banyak sekali dijumpai
istifhâm yang tidak digunakan untuk maksud bertanya, akan tetapi untuk maksud-
194 John R. Scarle, Indirect Speech Acts, Op. Cit, h. 75 195 ibid. 196 Lihat tesis ini, tentang Analisis Aspek Semantis; Q.S. al-Syu’arâ’ (26); 41
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
182
maksud lain (fungsi pragmatis), bahkan prosentasenya sangat besar sekali. Hal ini juga
menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech
act) dalam Al-Qurân sangat besar.
Berkaitan dengan ketidaklangsungan suatu tindak tutur, Kuntarto197 berpendapat
bahwa strategi penuturan yang paling langsung tergolong memiliki kesantunan rendah,
sedangkan strategi penuturan yang paling tidak langsung tergolong memiliki kesantunan
tinggi. Dengan demikian, prosentase yang sangat besar dalam penggunaan tindak tutur
tidak langsung (indirect speech act) dalam Al-Qurân membuktikan bahwa bahasa dalam
Al-Qurân memiliki kesantunan yang tinggi.198
Dalam konteks penelitian ini, kesantunan tindak tutur dalam Al-Qurân dapat
dibuktikan dalam memerintah (Q.S. al-Hajj (22); 46), melarang (Q.S. al-Baqarah (2):
75), menghina (Q.S. al-Baqarah (2): 13), mengingkari (Q.S. al-Shâffât (37): 16),
menolak (Q.S. al-Mâidah (5); 50), mengancam (Q.S. al-Syu’arâ’(26); 49), dan lain-lain,
yang tidak disampaikan secara langsung melainkan dikemas dalam bentuk redaksi
istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah.
2) Mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson dan mengoreksi
pandangan tata bahasa tradisonal dan Ramelan
Temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang menggunakan kata
tanya hamzah dalam penelitian ini mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C.
Levinson yang mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk
197 Eko Kuntarto, Stretegi Kesantunan Dwibahasawan Jawa. Indonesia; Kajian pada wacana
Lisan Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan (Malang; PPS IKIP Malang, 1999), h. 45
198 Kunjana Rahardi, Op.Cit, h. 34
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
183
menyampaikan berbagai jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat
disampaikan dengan menggunakan berbagai bentuk tuturan.199
Sebagai aplikasi dari apa yang diungkapkan oleh Leech dan Levinson di atas
adalah bahwasanya suatu bentuk tuturan, misalnya redaksi istifhâm yang menggunakan
kata tanya hamzah dalam Al-Qurân bisa digunakan untuk menyampaikan berbagai
kategori jenis tindak, misalnya untuk mempertegas (Q.S. al-A’râf (7): 172), menyatakan
keheranan (Q.S. Hûd (11): 72-73), meminta dikasihani (Q.S. al-A’râf (7): 155) dan lain-
lain. Demikian juga suatu tindak, misalnya menyatakan keheranan, dalam bahasa Arab
bisa diungkapkan dengan redaksi ta’ajjub, istifhâm, dan lain-lain.
Sebaliknya, temuan tentang bervariasinya tindak illokusi istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam penelitian ini, juga bisa digunakan untuk
mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional (tradisional grammar) yang membagi
kalimat menjadi tiga, yaitu; kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif.200 Dan juga
untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya,
kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat
suruh.201
Sedangkan realitas sosial yang ada membuktikan bahwa kalimat itu tidak
terbatas digunakan untuk menyatakan sesuatu (deklaratif), perintah (imperatif), atau
untuk bertanya (interogatif). Akan tetapi dapat digunakan untuk tujuan lainnya sesuai
199 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15. Lihat juga Stephen C. Levinson, Op. Cit, h. 21 200 David E. Cooper, Philosophy and the Nature of Language. (London; Longman Group (1979),
h. 10 201 Ramelan, Sintaksis, (Yogyakarta; CV.Karyono, 1982), h. 9
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
184
dengan konteksnya. Dengan kata lain, makna suatu tuturan tidak selalu linier dengan
wujud formalnya.
3) Bukti Empiris untuk Mengoreksi Kebuntuan Pendekatan Struktural dan Semantis
Pendekatan struktural berpandangan bahwa bentuk kalimat itulah yang menjadi
kajian analisisnya, suatu kalimat diteropong hanya dengan mengamati yang mana
subyek, predikat, dst.202 Sedangkan konteks pemakaian kalimat tidak ikut
diperhitungkan. Bentuk semata-mata lah yang menjadi limpahan pengamatan; termasuk
pula persoalan urutan, apakah itu urutan biasa atau urutan hasil pembalikan atau inversi,
dan kalaupun makna kadang kala dilibatkan, itu hanya sampai pada persoalan
keambiguan dan kesinoniman suatu kalimat.203
Sedangkan pendekatan semantis adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah
makna suatu lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.204 Makna leksikal
adalah makna unit semantik terkecil yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal
adalah makna yang terbentuk dari golongan kata-kata. Oleh karena itu kajian analisis
pendekatan semantis ini adalah mengkaji makna kata, klausa, dan kalimat yang bebas
konteks (contect – independent), yang biasa disebut makna stabil atau makna dasar.205
Dalam kaitannya dengan konteks mengkaji ayat-ayat Al-Qurân, tidak akan
mencapai pemahaman yang optimal hanya dengan menggunakan kedua pendekatan di
atas (pendekatan struktural dan pendekatan semantis). Kedua pendekatan ini hanya
202 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 11 203 ibid, h. 12 204 ibid, h. 15 205 ibid, h. 16
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
185
mampu untuk mengungkap makna internal dari suatu teks Al-Qurân dan tidak mampu
menjangkau makna eksternalnya.
Sementara itu, suatu teks menurut Ast terdiri dari dua aspek, yaitu aspek luar dan
aspek dalam. Aspek luar sebuah karya (teks) adalah aspek tata bahasa dan kekhasan
linguistik lainnya, sedangkan aspek dalamnya adalah “jiwa” nya206. Maka tepatlah
kiranya ilistrasi yang diungkapkan oleh Hidayat207 bahwasanya jika kita memahami
sebuah wacana (termasuk juga wacana Al-Qurân) hanya dari segi ucapan literalnya,
maka kita bukannya disebut orang yang jujur dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan
tidak komunikatif, sebab makna sebuah kata atau sebuah kalimat selalu berkaitan
dengan konteks.
Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang ditawarkan oleh peneliti adalah
pendekatan pragmatik, yang mana pendekatan ini menelaah tentang makna tuturan
(utterance) atau pengujaran kalimat pada konteks sesungguhnya.208 Yang mana
pendekatan ini, dalam analisisnya mempunyai tahapan-tahapan, yaitu; analisis aspek
sintaksis, dilanjutkan dengan analisis aspek semantis, kemudian dilakukan analisis aspek
pragmatis.209
Dalam kaitannya dengan kajian terhadap wacana (teks) Al-Qurân, pemahaman
terhadap konteks, sosio-historis, dan peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya
206 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1993), h. 31 207 Komaruddin Hidayat, Loc.Cit 208 Bambang Kaswati Purwo, Loc. Cit 209 M. Ainin, Loc. Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
186
ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl), amatlah penting, meskipun kadang tidak semua
ayat Al-Qurân yang diturunkan memiliki asbâb al-nuzûl.210
Sedangkan berkaitan dengan tindak perlokusi, satu hal yang perlu diungkapkan
adalah bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua tindak perlokusi dalam
Al-Qurân diungkapkan secara eksplisit. Artinya, sebagian tindak illokusi dalam istifhâm
yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ada yang mengungkapkan
tindak perlokusinya secara eksplisit, misalnya; Q.S. al-Syu’arâ’; 41, Q.S. al-Baqarah; 30,
dan lain-lain. Akan tetapi ada juga yang mengungkapkan tindak perlokusinya secara
implisit, misalnya: Q.S. al-Anbiyâ’; 6, Q.S. al-Hajj; 46, dan lain-lain.
Hal ini wajar, karena teori tindak tutur pada mulanya digunakan untuk mengkaji
makna tuturan211 yang maknanya dapat diamati secara langsung, bukan menganalisis
dokumen yang bentuk tindakannya kadang tidak terungkap secara eksplisit dan tidak
dapat diamati secara langsung. Meskipun demikian, teori Searle tersebut dapat
dikembangkan untuk digunakan menganalisis bahasa tulis dengan syarat tersedianya
sumber yang mengulas konteks yang menyertai teks tersebut. Dalam kaitannya dengan
pengkajian ayat-ayat Al-Qurân, sumber-sumber tersebut dapat diperoleh dalam buku-
buku tafsir Al-Qurân atau buku-buku lain yang mengulas peristiwa yang
melatarbelakangi ayat-ayat Al-Qurân diturunkan.
Berdasarkan uraian di atas maka hasil analisis aspek semantis dan pragmatis
istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dapat disusun dalam
bagan berikut:
210 Masjfuk Zuhdi, Loc.Cit
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
187
Tindak LokusiIstifhâm yang Menggunakan
Kata Tanya Hamzah
Konteks
Tindak Tutur Langsung (Direct Speech Act)
Tindak Tutur Tidak Langsung (Indirect Speech Act)
Tindak IllokusiFungsi Semantis
Tindak IllokusiFungsi Pragmatis
Direktif Asertif Direktif Ekspresif
Tindak Perlokusi Tindak Perlokusi
Eksplisit Eksplisit Implisit
B. Implikasi Pedagogis Kajian Pragmatik Penggunaan Kata Tanya Hamzah dalam
Al-Qurân dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni dan Tafsir Al-Qurân
Kajian Pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân pada
penelitian ini dianalisis menggunakan tiga tahapan (sebagaimana cara kerja pragmatik).
Tahapan-tahapan tersebut meliputi analisis aspek sintaksis, dilanjutkan dengan analisis
aspek semantis, kemudian diakhiri dengan analisis aspek pragmatis.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
188
Tahapan pertama, analisis aspek sintaksis meliputi tiga komponen, yaitu: (1)
analisis pola, (2) analisis sasaran istifhâm, dan (3) analisis jenis istifhâm berdasarkan ada
tidaknya jawabannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek pola, istifhâm
yang menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân memiliki pola yang bervariatif.
Dari sisi sasarannya, ditemukan ada sasaran istifhâm yang bersifat langsung dan ada
yang tidak langsung. Sedangkan dari sisi jenisnya berdasarkan ada tidaknya jawabannya,
ditemukan ada dua jenis istifhâm, yaitu istifhâm retoris dan istifhâm aretoris.
Sedangkan tahapan kedua dan ketiga, adalah analisis aspek semantis dan analisis
aspek pragmatis. Analisis aspek semantis adalah menganalisis istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang digunakan untuk menunjukkan
arti sebenarnya, yaitu untuk menanyakan sesuatu (bertanya) atau memperoleh informasi.
Hasil analisis aspek semantis ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaannya sangat
minim (sedikit) sekali dalam Al-Qurân.
Adapun analisis aspek pragmatis adalah menganalisis istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân yang bukan digunakan untuk
menunjukkan arti sebenarnya (di luar makna semantis). Hasil analisis aspek pragmatis
menunjukkan bahwa sebagian besar istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân memang digunakan untuk tujuan ini (fungsi pragmatis).
Dari tahapan atau cara kerja analisis pragmatik (analisis aspek sintaksis, aspek
semantis, kemudian aspek pragmatis) dan juga hasil yang ditemukan dalam penelitian
ini, maka implikasi pedagogisnya dapat dipergunakan untuk mereformulasi
pembelajaran ilmu ma’âni dan pembelajaran tafsir Al-Qurân.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
189
1. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Ilmu Ma’âni
Kata ma’âni merupakan bentuk plural dan kata ma’na (makna atau arti). Istilah
ma’âni ini sesuai dengan tujuan ilmu ini, yaitu dipergunakan untuk menjaga kekeliruan
dalam menyampaikan makna yang dikehendaki oleh penutur untuk disampaikan pada
mitra tutur.212 Sedangkan al-Hâsyimi mendefinisikan bahwa ilmu ma’âni adalah pokok-
pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat dengan
konteks (muqtadhâ al-hal).213
Adapun istilah pragmatik menurut Levinson adalah studi tentang hubungan
antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar dari penentuan pemahamannya.214
Hal ini diperkuat oleh Leech bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar. Aspek-aspek situasi ujar meliputi; penyapa dan
pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan,
dan tuturan sebagai produk dari suatu tindak verbal.215 Dari pengertian di atas maka
diketahui bahwa ilmu ma’âni berekuivalensi dengan pragmatik.216
Pembelajaran ilmu ma’âni memang bukan termasuk salah satu dari empat
kemahiran berbahasa, akan tetapi ilmu ini sangat strategis baik dalam pengajaran bahasa
Arab itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan perannya sebagai alat untuk
mengungkap esensi makna suatu wacana Arab.
Akan tetapi kondisi riil pembelajaran ilmu ma’âni yang ada sekarang ini
dianggap masih kurang efektif dan kurang maksimal untuk mencapai tujuan
212 Hanik Mahliatussikhah, Ilmu Retorika Bahasa Arab I, (Malang: UM, 2001) h. 15 213 Ahmad al-Hâsyîmî, Op, Cit, h. 30 214 Stephen C. Levinson, Op Cit, h. 21 215 Geoffrey Leech, Op. Cit, h. 13-15 216 Imam Asrori, Ekuivalensi Pragmatik dan Ma’âni, Jurnal Al-Hadharah Th. 1, No. 1, Januari
2001 (Yogyakarta; UGM Press, 2001), h. 21
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
190
pembelajaran ilmu ma’âni itu sendiri, yaitu bisa menyesuaikan kalimat (pembicaraan)
dengan konteks, atau bahkan mempergunakan ilmu ma’âni untuk mengungkap esensi
makna suatu wacana Arab, khususnya kitab suci Al-Qurân. Kondisi riil tentang
pembelajaran ilmu ma’âni yang masih perlu diperbaiki ini, setidaknya bisa kita lihat dari
beberapa aspek, diantaranya, (1) kurikulum, (2) buku ajar, (3) sistem pembelajaran, dan
(4) sumber daya manusia (guru atau dosen).
Kurikulum pembelajaran ilmu ma’âni yang ada sekarang ini dirasa masih kurang
komprehensif dan kurang memperhatikan tahapan-tahapan atau cara kerja analisis
pragmatik di atas, yaitu: analisis aspek sintaksis, aspek semantis, kemudian aspek
pragmatis. Bahkan untuk kurikulum jurusan Sastra Arab atau Pendidikan Bahasa Arab
di Perguruan Tinggi sendiri selama ini posisi ilmu ma’âni masih dianggap sebagai
bidang studi “pinggiran” yang penyampaiannya biasanya terangkum dalam kajian ilmu
balâghah dengan jumlah sistem kredit semester (SKS) dan jam studi (JS) yang sangat
minim.
Substansi buku ajar (referensi) ilmu ma’âni yang ada di jenjang pendidikan
tingkat lanjutan atas (SLTU atau MA) maupun di perguruan tinggi saat ini masih terlalu
global (ijmâl) dan bahasannya relatif dangkal, baik yang berkaitan dengan kajian teoritis
maupun praktis. Bahasan yang disajikan dalam buku ajar yang ada juga lebih bersifat
dogmatis, yang mana substansi materinya masih terbatas pada penyajian contoh yang
tidak utuh dan jenis tindak tuturnya (fungsi) tidak disertai dengan penjelasan konteks
yang memadai.
Sedangkan dari sistem pembelajaran pun dirasa juga kurang memberikan uraian
yang memadai baik yang bersifat teoritis maupun praktis, bahkan sistem
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
191
pembelajarannya cenderung bersifat dogmatis. Hal ini mungkin bisa dimaklumi, karena
selain faktor kurikulum dan buku ajar, sebagaimana dipaparkan di atas, juga karena
faktor ketersediaan SDM (guru atau dosen) yang masih memegang tradisi lama dalam
pengajaran ilmu ma’âni, yaitu lebih bersifat dogmatis daripada harus memberikan
kesempatan kepada anak didiknya berpikir kritis-analitis dalam mengkaji sebuah
wacana.
Oleh karena itu, berdasarkan tiga cara kerja pragmatik sebagaimana yang
digunakan sebagai langkah analisis dalam penelitian ini dan juga berdasakan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa istifhâm yang menggunakan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân itu beragam fungsi (tindak), bahkan sebagian besar berfungsi
pragmatis, serta berdasarkan kenyataan riil tentang pembelajaran ilmu ma’âni yang
masih perlu diperbaiki, maka peneliti ingin memberikan gambaran bagi pemecahan
masalah tersebut.
Dalam penyusunan kurikulum ilmu ma’âni, perlu kiranya memperhatikan
tahapan-tahapan atau cara kerja pragmatik dalam menganalisis wacana, yaitu dimulai
dari analisis aspek sintaksis, lalu analisis aspek semantis, dan kemudian analisis aspek
pragmatis, dan tidak lupa menyertakan konteks yang menyertai wacana tersebut. Untuk
kurikulum sekolah menengah tingkat atas (SLTU atau MA) biasanya kurikulum dibuat
oleh tim DEPAG RI. Sedangkan untuk kurikulum jurusan Sastra Arab atau Pendidikan
Bahasa Arab di PT dibuat sendiri oleh jurusan. Oleh karena itu disarankan selain
memperhatikan cara kerja pragmatik, menyertakan konteks yang menyertai sebuah
wacana, juga harus menempatkan bidang studi ilmu ma’âni sebagai bidang kajian
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
192
tersendiri di samping kajian-kajian kebahasa-Araban yang lain dengan memberikan
jumlah SKS dan JS dalam proporsi yang cukup.
Adapun berkaitan dengan buku ajar (referensi) ilmu ma’âni, diharapkan kepada
para guru, dosen, atau tim penyusun buku ajar untuk mereformulasi buku-buku
(referensi) yang sudah ada dengan memberikan uraian yang memadai, baik yang bersifat
teoritis maupun praktis dan menyajikan pokok bahasan secara kritis-analitis dengan
menyajikan contoh wacana yang utuh dan jenis tindak tutur (fungsi) wacana tersebut
disertai dengan penjelasan konteks yang menyertai wacana tersebut.
Sedangkan sistem pembelajaran ilmu ma’âni yang disarankan adalah sistem
pembelajaran yang bersifat kritis-analitis. Setiap peserta pembelajaran diberi hak untuk
mengkritisi dan menganalisis setiap contoh wacana sesuai dengan konteks yang
menyertainya, sehingga nuansa kontekstualnya terasa dalam pembelajaran dan bukan
sisi dogmatisnya yang ditonjolkan. Maka akhirnya perbedaan intepretasi terhadap suatu
wacana merupakan suatu hal yang wajar dan bisa dimaklumi selama masih dalam
koridor konteks yang ditentukan.
Sistem pembelajaran yang ditawarkan di atas, dapat digali dari aspek sosio-
edukatif redaksi istifhâm yang diungkapkan oleh Tuhan dalam Al-Qurân. Hal ini
menunjukkan bahwa kalam Al-Qurân bukanlah bersifat doktriner-otoritatif. Ungkapan-
ungkapan dalam redaksi istifhâm (khususnya yang menggunakan kata tanya hamzah)
dalam berbagai macam varian tindak (fungsi) nya digunakan oleh Tuhan dalam
berinteraksi dengan hambaNya, hal ini mengisyaratkan adanya hubungan yang dialogis
antara Tuhan dan makhlukNya dan antar makhluk itu sendiri. Maka apabila fenomena
ini diaktualisasikan dalam dunia pendidikan, hubungan dialogis ini dapat dijadikan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
193
model oleh guru atau dosen dalam berinteraksi dengan anak didiknya dan antar anak
didiknya itu sendiri. Dalam suasana pembelajaran yang dialogis ini, terbentuklah suatu
lingkungan kelas yang kondusif.
Sedangkan berkaitan dengan sumber daya manusia (guru atau dosen) pemegang
mata pelajaran atau kuliah ilmu ma’âni diharapkan lebih mau membuka cakrawala
berpikirnya dan tidak hanya menganggap metode yang sudah diterapkannya adalah yang
terbaik dan tidak mau mempelajari metode baru yang lebih tepat untuk pengajaran ilmu
ma’âni. Metode pengajaran yang ditawarkan adalah metode pengajaran yang dialogis
yang memberikan kesempatan kepada anak didiknya berpikir kritis-analitis dalam
mengkaji fungsi (tindak) sebuah wacana dengan memakai cara kerja analitis pragmatik.
Peningkatan kompetensi guru atau dosen tersebut bisa dilakukan dengan
berbagai macam cara, antara lain; membaca buku-buku baru yang berkenaan dengan
metode pengajaran bahasa (ilmu ma’âni), mengikuti kajian atau seminar yang
membahas tema tersebut, atau mungkin DEPAG RI sebagai suatu lembaga yang
menaungi Madrasah (MI, MTs, dan MA) maupun perguruan tinggi yang bercirikhas
Islam memberikan kesempatan kepada guru atau dosen bahasa Arab (khususnya
pengajar ilmu ma’âni) untuk mengikuti sejenis pelatihan khusus tentang pengajaran ilmu
ma’âni sebagaimana yang diberikan kepada guru-guru IPA, IPS, dll, yang terkenal
dengan program penyetaraannya.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
194
2. Implikasi Pedagogis dalam Pembelajaran Tafsir Al-Qurân
Menurut Al-Shâbûni217 dari segi etimologi, tafsir berarti al-idhâh wa al-tabayyun
atau al-tabyîn (menjelaskan atau menerangkan). Sedangkan dari segi terminologi, tafsir
adalah suatu pengetahuan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, menjelaskan maknanya, dan menggali hukum-hukum serta hikmah
yang dikandungnya.218
Sedangkan tafsir Al-Qurân yang ingin dibahas oleh peneliti disini adalah tafsir
Al-Qurân sebagai nama dari salah satu mata pelajaran di Madrasah Aliyah atau pondok
pesantren, yang biasanya menampilkan ayat Al-Qurân yang berhubungan dengan suatu
tema tertentu kemudian dijelaskan penafsiran dan pemahamannya secara sederhana dan
cenderung bersifat “dogmatis”.
Inti penelitian kajian pragmatik sebenarnya adalah ingin mengungkapkan bahwa
konteks sangat menentukan pemahaman makna. Hal ini dapat dimaklumi karena
pragmatik adalah suatu kajian yang menggumuli makna yang terikat konteks.219
Sedangkan berkaitan dengan kajian pragmatik terhadap wacana (teks) Al-Qurân, maka
pemahaman terhadap konteks, sosio-historis maupun peristiwa yang melatar belakangi
diturunkannya ayat-ayat Al-Qurân (asbâb al-nuzûl) dianggap sangat penting.
Urgensi pemahaman konteks, sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl sebagai
piranti utama kajian pragmatik dalam memahami ayat Al-Qurân bisa dimaklumi, hal ini
dikarenakan Al-Qurân tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya,
melainkan masyarakat yang syarat dengan nilai-nilai kultural, berikut ikatan-ikatan
217 Al-Shâbûni, Al-Tibyân fî Ulum Al-Qurân, Op. Cit, h. 30 218 ibid 219 Bambang Kaswati Purwo, Op. Cit, h. 15-16
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
195
primordialnya masing-masing. Hal ini dipertegas oleh Syihab, bahwa penafsiran Al-
Qurân secara kontekstual sangat diperlukan, mengingat Al-Qurân turun untuk berdialog
dengan orang-orang yang hidup pada masa nabi, orang-orang yang hidup pada masa
sekarang, dan bahkan orang-orang yang hidup pada masa yang akan datang.220
Oleh karena itu, berpijak dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka model
pendekatan yang ditawarkan oleh peneliti dalam mereformulasi pembelajaran tafsir Al-
Qurân adalah dengan menggunakan pendekatan kontekstual (pragmatik). Hal ini
didasarkan pada kondisi riil pembelajaran tafsir Al-Qurân yang ada saat ini lebih
cenderung bersifat “dogmatis” dan Al-Qurân masih dipahami secara parsial-literal.
Reformulasi pembelajaran tafsir Al-Qurân dengan menggunakan pendekatan
kontekstual tersebut, setidaknya bisa diterapkan dalam empat aspek berikut ini, yaitu: (1)
kurikulum, (2) buku ajar, (3) sistem pembelajaran, dan (4) sumber daya manusia (guru).
Depag RI sebagai lembaga yang biasanya menyusun kurikulum mata pelajaran
tafsir Al-Qurân di Madrasah Aliyah bisa menggunakan pendekatan kontekstual ini
dalam menyusun kurikulumnya. Pendekatan ini adalah dengan menyertakan konteks,
sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl dalam proses menafsirkan ayat-ayat Al-Qurân.
Selain itu diharapkan juga memberikan jam studi (JS) yang proporsional bagi mata
pelajaran ini, agar pembelajarannya lebih kondusif dan komprehensif. Sedangkan pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang independen, bisa mengambil
pendekatan kontekstual ini untuk mereformulasi kurikulumnya sendiri. Sehingga dengan
berpijak pada pendekatan ini, maka proses ijtihâd dalam menafsirkan Al-Qurân di
220 Umar Syihab, Loc. Cit.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
196
lingkungan pondok pesantren bukanlah sesuatu yang ditabukan, melainkan sesuatu yang
harus ditumbuh kembangkan.
Berkaitan dengan proses penyusunan buku ajar, diharapkan bagi guru tafsir
maupun tim penyusunan buku ajar tafsir Al-Qurân di dalam menemukan makna
kontekstual dari suatu ayat yang oleh teori hermeneutika disebut “jiwa” teks, kajian
terhadap konteks, sosio-historis, maupun asbâb al-nuzûl ayat tersebut harus
dimasukkan. Sehingga contoh penafsiran ayat yang ditampilkan dalam buku ajar
dipahami secara komprehensif-kontekstual tidak lagi secara parsial-literal.
Sistem pembelajaran tafsir Al-Qurân dengan menggunakan pendekatan
kontekstual ini lebih cenderung bersifat kritis-interaktif dan dialogis. Sehingga interaksi
pembelajaran akan lebih kondusif dan pada akhirnya diharapkan siswa sebagai peserta
didik dapat memahami Al-Qurân secara komprehensif-kontekstual.
Guru sebagai salah satu komponen dalam proses pembelajaran biasanya
cenderung menerapkan metode pengajaran yang dia terima dari gurunya atau yang dia
alami pada waktu belajar dulu, dan cenderung kurang mau membuka cakrawala
pengetahuannya untuk menerima metode pengajaran yang baru yang lebih relevan. Akan
tetapi dalam pendekatan kontekstual ini guru dituntut berperan sebagai fasilitator yang
bisa mengantarkan anak didiknya dapat memahami Al-Qurân secara komprehensif-
kontekstual dalam suasana pembelajaran yang kondusif dan dialogis yang bersifat kritis-
interaktif.
Berkaitan dengan hasil temuan penelitian sasaran atau obyek istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân khususnya, maupun sasaran atau
obyek kalam Al-Qurân secara umum yang bersifat kasuistik, diharapkan pihak guru
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
197
dalam pembelajaran ilmu tafsir dapat menjelaskan masalah tersebut, yaitu walaupun
sasaran atau obyek kalam Al-Qurân bersifat kasuistik akan tetapi esensinya bersifat
universal. Dan melalui penanaman pemahaman yang tidak kasuitik ini, siswa sebagai
subyek didik dapat mengambil i’tibâr (pelajaran) dari pesan ayat yang diajarkan kepada
mereka. Pada akhirnya pembelajaran tafsir Al-Qurân bukan saja dapat menjangkau rana
kognitif anak didik, tetapi juga dapat menjangkau rana psikomotorik dan afektif mereka.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qurân merupakan media interaksi antara Tuhan dan hambaNya, dan alat yang
digunakan dalam media interaksi tersebut adalah bahasa Arab. Dalam melakukan
interaksi, Al-Qurân menggunakan beragam redaksi kalimat, terkadang menggunakan
ragam kalimat pernyataan (khabar), terkadang juga menggunakan kalimat perintah
(amr), larangan (nahi), pertanyaan (istifhâm), dan lain sebagainya.
Istifhâm (pertanyaan) sebagai salah satu ragam kalimat yang digunakan sebagai
media interaksi dalam Al-Qurân, dalam penggunaannya biasanya ditandai dengan salah
satu kata tanyanya (adawât al-istifhâm). Kesemua kata tanya (adawât al-istifhâm)
digunakan dalam Al-Qurân secara variatif dan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Akan tetapi secara keseluruhan, penggunaan kata tanya hamzah menempati rating yang
tertinggi, yaitu lebih dari 50% redaksi istifhâm dalam Al-Qurân menggunakan kata tanya
hamzah.
Dominasi penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangatlah wajar. Hal
ini disamping kata tanya hamzah disinyalir oleh beberapa tokoh sintaksis bahasa Arab
sebagai adawât al-istifhâm yang asli, juga dikarenakan dalam penggunaannya kata tanya
hamzah tersebut bersifat fleksibel, yaitu bisa digunakan untuk menanyakan satuan atau
mencari gambaran sesuatu yang mufrad (tashawwur), dan juga bisa digunakan untuk
menanyakan tentang nisbah (tashdîq).
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
199
Dalam fenomena kebahasaan, makna atau pesan yang dimaksud dalam suatu
wacana, kadang tidak selalu linier dengan wujud formalnya. Maka untuk menentukan
makna suatu wacana di luar wujud formalnya dapat dilakukan melalui pendekatan
pragmatik. Pendekatan ini mengkaji hubungan antara bahasa dan konteksnya yang
merupakan dasar dari penentuan pemahamannya. Dan dalam proses penganalisisan
sebuah wacana, dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: analisis aspek sintaksis, analisis
aspek semantis, dan analisis aspek pragmatis.
Dalam kaitannya dengan kajian pragmatik terhadap wacana (teks) Al-Quran -
khususnya dalam penelitian ini penggunaan kata tanya hamzah-, pemahaman konteks,
sosio-historis, dan asbâb al-nuzûl, serta kondisi kesesuaian (facility condition) amatlah
penting. Hal ini dikarenakan disamping ada sebagian ayat-ayat Al-Qurân yang tidak
dapat dipahami secara utuh tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya, Al-Qurân pun tidak
diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya, akan tetapi turun dalam masyarakat
yang berbudaya serta turun dalam masa-cara benar, tidak terbatas pada aspek formalnya,
melainkan juga aspek fungsionalnya.
Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân dilakukan
melalui tiga tahapan analisis, yaitu: analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantis, dan
analisis aspek pragmatis. Ketiga tahapan analisis ini dilakukan selain untuk memerikan
wujud formal penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân, juga untuk memerikan
aspek fungsional yang terkandung di dalamnya.
Dari aspek sintaksis, diketahui bahwasanya pola penggunaan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân sangat bervariasi. Temuan ini semakin memperkuat pendapat beberapa
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
200
tokoh sintaksis bahasa Arab yang menyatakan bahwa kata tanya hamzah adalah adawât
al-istifhâm yang asli. Disamping itu secara praktis temuan ini juga bisa digunakan untuk
memberikan alternatif baru guna mempermudah sistem pembelajaran sintaksis bahasa
Arab (nahwu) dan insyâ’.
Disamping pola, aspek sintaksis lain yang dikaji adalah sasaran (obyek)
penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Sasaran tersebut sangat bervariasi,
akan tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sasaran
langsung, dan sasaran tidak langsung. Kebervariasian tersebut tidak terlepas dari hal
yang melatarbelakanginya, yaitu; kompleksitas dimensi yang dikandung oleh Al-Qurân
dan kompleksitas dimensi yang direspon oleh Al-Qurân.
Temuan tentang variasi sasaran istifhâm dalam Al-Qurân yang menggunakan
kata tanya hamzah tersebut antara lain dapat digunakan untuk; (1) menunjukkan dan
membuktikan kebenaran Al-Qurân sebagai media interaksi antara Tuhan dan hambaNya,
(2) menunjukkan bahwa proses interaksi berlangsung secara multi arah, bukan doktrinal
ekslusif, dan (3) menunjukkan bahwa Al-Qurân merupakan kompendium bagi manusia
yang komprehensif.
Komponen lain dari aspek sintaksis adalah jenis istifhâm yang menggunakan
kata tanya hamzah dalam Al-Qurân. Hasil analisis menunjukkan bahwa istifhâm terbagi
menjadi dua, yaitu; istifhâm retoris, dan istifhâm aretoris. Hal ini mungkin bisa
digunakan untuk mengoreksi pembagian jenis istifhâm yang diungkapkan oleh Gorys
Keraf, yaitu ada tiga; pertanyaan retoris, pertanyaan aretoris, dan pertanyaan yang
senilai dengan perintah.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
201
Memasukkan pertanyaan yang senilai dengan perintah sebagai salah satu jenis
pertanyaan yang sejajar dengan pertanyaan retoris dan pertanyaan aretoris menurut
peneliti kurang representatif. Hal ini dikarenakan pembagian istifhâm ke dalam istifhâm
retoris dan istifhâm aretoris didasarkan dari aspek ada tidaknya jawaban istifhâm
tersebut, sedangkan istifhâm itu senilai perintah atau yang lainnya itu didasarkan dari
aspek fungsi (tindak) nya.
Sedangkan dari aspek semantis, diketahui bahwasanya istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân sangatlah sedikit sekali yang
digunakan untuk fungsi (makna) dasarnya, yaitu bertanya atau mencari informasi. Hal
ini menunjukkan bahwa prosentase penggunaan tindak tutur langsung (direct speech
act) dalam Al-Qurân sangat minim. Hal ini sangat wajar, karena strategi penuturan yang
paling langsung tergolong memiliki kesantunan rendah, sedangkan Al-Qurân tidak
seperti itu, ia kitab suci yang mulia dan bahasanya pastilah memiliki kesantunan yang
tinggi.
Adapun berkaitan dengan aspek pragmatis, ditemukan bahwasanya istifhâm yang
menggunakan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân banyak sekali yang digunakan bukan
untuk meminta informasi atau bertanya, melainkan untuk fungsi-fungsi (tindak) lain
berdasarkan konteks, sosio historis, asbâb al-nuzûl, serta kondisi kesesuaian (facility
conditions) yang dapat diketahui (dilacak) dari mutakallim, mukhathab, dan substansi
pesannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesantunan bahasa Al-Qurân sangat tinggi yang
dibuktikan dengan prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech
act) di dalamnya sangat besar.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
202
Hasil penelitian dari aspek semantis dan pragmatis di atas dapat digunakan
untuk;
Pertama, menunjukkan bahwa tindak tutur dalam Al-Qurân ada yang bersifat
langsung (direct speech act) dan ada yang bersifat tidak langsung (indirect speech act).
Akan tetapi prosentase penggunaan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act)
dalam Al-Qurân sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Al-Qurân memiliki
kesantunan yang tinggi.
Kedua, mendukung pendapat Geoffrey Leech dan Stephen C. Levinson yang
mengatakan bahwa suatu bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai
jenis tindak, demikian pula suatu jenis tindak dapat disampaikan dengan berbagai bentuk
tuturan. Di samping itu, bervariasinya tindak illokusi istifham yang ditemukan dalam
penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengoreksi pendapat tata bahasa tradisional
(traditional grammar) yang membagi kalimat menjadi tiga, yaitu; kalimat deklaratif,
imperative, dan interogatif. Dan juga untuk mengoreksi pendapat Ramelan yang
membagi kalimat berdasarkan fungsinya menjadi tiga, yaitu; kalimat berita, kalimat
tanya, dan kalimat suruh.
Ketiga, bukti empiris untuk mengoreksi kebuntuan pendekatan struktural dan
semantic dalam menganalisis wacana, terutama dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qurân. Hal
ini dikarenakan dalan kedua pendekatan tersebut hanya bentuk dan makna saja yang
diperhatikan, sedangkan konteks di mana wacana tersebut dipakai tidak diperhitungkan.
Sehingga kedua pendekatan tersebut hanya akan mampu mengungkap makna internal
dari suatu teks Al-Qurân dan tidak akan mampu menjangkau makna eksternalnya. Oleh
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
203
karena itu salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah
pendekatan pragmatik.
Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari
sisi langkah analisisnya, maupun dari sisi hasil temuan, dapat digunakan untuk
mereformulasi pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân yang ada saat ini, baik
dari sisi kurikulum, buku ajar, sistem pembelajaran, dan sumberdaya manusianya
(pengajar). Hal ini sangat beralasan, karena kedua disiplin ilmu tersebut erat kaitannya
dengan pemahaman makna suatu wacana bahasa Arab –khususnya Al-Qurân-, yang
mana untuk dapat memahami pesan yang terdapat di dalam suatu wacana -khususnya
Al-Qurân- secara utuh, maka harus dicapai melalui cara-cara yang benar, yakni suatu
pemahaman yang tidak hanya terbatas pada aspek formalnya saja, melainkan juga aspek
fungsionalnya.
B. Saran
Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap penggunaan kata tanya hamzah
dalam Al-Qurân dengan menggunakan kajian pragmatik, maka perlu dikemukakan
beberapa saran sebagai tindak lanjut penelitian ini. Diantara saran-saran tersebut adalah:
1. Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân merupakan
sebuah metode alternatif untuk memperoleh pemahaman pemaknaan yang lebih
kontekstual, sehingga tidak terjebak ke dalam anggapan bahwa setiap wacana
selalu linier dengan wujud formalnya dan dipahami secara parsial-literal.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
204
2. Kajian pragmatik penggunaan kata tanya hamzah dalam Al-Qurân ini, baik dari
sisi langkah analisisnya maupun dari sisi hasil temuannya, dapat diadopsi untuk
mereformulasi pembelajaran ilmu ma’âni dan tafsir Al-Qurân, baik dijenjang
pendidikan sekolah, perguruan tinggi, maupun di pondok pesantren.
3. Sebagai bentuk kajian bahasa, kajian pragmatik ini perlu diajarkan dan
disosialisasikan khususnya di kalangan mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab,
untuk kajian analisis wacana bahasa Arab secara umum atau khususnya wacana
(teks) Al-Qurân.
4. Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki keterbatasan.
Diantaranya; kajiannya hanya terbatas pada penggunaan kata tanya hamzah saja
dan belum teraplikasinya kata tanya-kata tanya (adâwât al-istifhâm) yang lain.
Oleh karena itu, bagi peneliti lain disarankan untuk meneliti kata tanya-kata
tanya (adâwât al-istifhâm) yang lain (selain hamzah) atau redaksi-redaksi yang
lain (selain istifhâm) dengan menggunakan pisau analisis kajian pragmatik atau
pisau analisis yang lain.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatâh, Husain, Al-Ifshâh fî al-Lughah, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, t.t Abu Shâlih, Abd al-Quds, Kitâb al-Balâghah Ilm al-Ma’âni wa al-Badî’, Saudi Arabia:
Jâmi’ah al-Imâm ibn Su’ûd, 1403 H Aghwar, Bon, Adawât al-Istifhâm fî al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Lughah al-
Injiliziyyah (Dirâsah Taqâbuliyyah), skripsi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000
Ainin, M, Pertanyaan dalam Al-Qurân: Suatu Tinjauan Pragmatik. Dalam al-
Hadhârah, Yogyakarta: UGM Press, 2001 Akâwi, In’âm Fuwal, Al-Mu’jam al-Mufashshal fî ‘Ulûm al-Balâghah, Beirut; Dâr al-
Kutub al-’Ilmiyah, 1996 Alam, Keir, The Semiotics of Theatre and Drama, New York: Methuen, 1980 Al-Akhdhâri, Imam, Ilmu Balâghah, terjemahan kitab Jauhar al-Maknûn. Alih Bahasa,
H. M. Anwar, Bandung: Al-Ma’arif, 1993 Al-Andalûsi, Abu Hayyan, Al-Bahr al-Mukhît fî al-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992 Al-‘Askari, Abu Hilâl, Al-Furûq fî al-Lughah, Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1973 Al-Dahdah, Anton, Mu’jam Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah fî Jadâwil wa Lauhât,
Beirut: Maktabah Lubnân, 1981 Al-Ghalâyaini, Musthafa, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: Al-Maktabah al-
‘Ashriyyah, 1984 Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badi’,
Indonesia: Dâr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1960 Al-Isfahâni, Raghib, Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qurân, Mesir: Musthafa al-Bâb al-Halabi
wa Aulâduh, 1961 Al-Jârim, Ali dan Amîn, Musthafa, Al-Balâghah al-Wâdhihah, Surabaya: Al-Hidayah,
1961 Al-Jumali, Sayyid, Al-Balâghah Al-Qurâniyyah, Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1993
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
206
Al-Mahalli, Jalâluddin dan al-Suyûthi, Jalâluddin, Tafsîr al-Jalâlain, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar, Bandung: CV. Sinar Baru, 1990
Al-Marâghi, Ahmad Musthafa, Tafsîr al-Marâghi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1365 H ________________________, ‘Ulûm al-Balâghah wa al-Bayân wa al-Ma’âni wa al-
Badî’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993 Al-Qazwini, Al-Khathîb, Al-Îdhâh fî ‘Ulûm al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t Al-Sakâki, Miftâh al-‘Ulûm, Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983, Cet. Ke-1 Al-Shâbûni, Muhammad Ali, Shafwah al-Tafâsir, Beirut: Dâr al-Fikr, 1976 _______________________, Al-Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Makkah: Kulliyyah al-
Syarî’ah wa al-Dirâsah al-Islamiyyah, 1980 Al-Shiddiqy, M. Hasbi, Tafsîr al-Nûr, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000 Al-Suyûthi, Jalâluddin, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 911 H __________________, Kitâb al-Asybah wa al-Nadzâir fî al-Nahwi, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Arabiyyah, t.t, Cet, Ke-3 __________________, Asbâb al-Nûzûl: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat
Al-Qurân. Terjemahan oleh Shaleh, dkk, Bandung: CV. Diponegoro, 1995 Al-Thabari. Tafsir Al-Thabari, dalam CD Rom Al-Maktabah Al-Syamilah Al-Tsaniyah,
Beirut: Dar al-Fikr, 2006 Al-Tunjy, M. Al-Mu’jam al-Mufashshal fî al-Adâb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993 Al-Wahidy, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996 Al-Washilah, A. Chaedar, Pengantar Sosiologi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1993, Cet.
Ke-10 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980 Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1991
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
207
Amaire, K. A, Dirâsât wa Ârâ’ fi Dhaui ‘Ilm al-Lughah al-Mu’âshir fi Nahw al-Lughah wa Tarâkibiha (Manhaj wa Tathbiq), Jeddah: ‘Alâm al-Ma’rifah, 1984
Asrori, Imam, Ekuivalensi Pragmatik dan Ma’âni, dalam al-Hadhârah, Yogyakarta:
UGM Press, 2001 ____________, Sintaksis Bahasa Arab, Frasa-Klausa-Kalimat, Malang: Penerbit
Misykat, 2004 Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, Cet, Ke-10 Austin, J.L, How To Do Thing With Words, Cambridge: Harvard University Press, 1975 Bakalla, M. H, dkk, A Dictionary of Modern Linguistic Term; English- Arabic and
Arabic-English, Beirut; Libraire du Liban, 1983 Bogdan, Robert, C. dan Biklen, Sari Knopp, Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods, London: Allyn and Bacon, Inc, 1982 Brown, Gillian, dan Yule, George, Discourse Analysis, Cambridge: Cambrigde
University Press, 1985 Cooper, David E. Philosophy and the Nature of Language, London: Longman Group
Ltd, t.t Clark, Herbert H. dan Clark, Even V. Psychologi and Language: An Introduction to
Psycholinguistics, New York: Harcourt Brace Javanovich Publishers, 1977 Cohen, L and Manion, L. Research Methods in Education, London: Routledge, 1994 Dahlan, Abdurrahman, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qurân, Bandung: Penerbit Mizan,
1997 Dahlan, Ahmad Zaini, Syarh Mukhtashar Jiddan. Terjemahan oleh Prof. H. Chotibul
Umam, dkk, Pedoman Dasar Ilmu Nahwu, Jakarta: Dârul Ulum Press, 1996 Dayyab, Hifni Bek, dkk, Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Jakarta: Maktabah al-
Hidayah, t.t Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qurân, 1980 ___________________, Al-Qurân dan Tafsirnya, Semarang: PT. Citra Effhar, 1993
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
208
Djajasudarma, Fatimah, Semantik Pemahaman Ilmu Makna, Bandung: Refika Aditama, 1999
Djojosuroto, Kinayati, Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung:
Yayasan Nuansa Cendikia, 2000, Cet, Ke-1 Efendi, Djohan, Pemahaman Kontekstual Terhadap Al-Qurân, dalam Jurnal Cendikia,
Jakarta: t.p,1985 Fuwal, Azizah, Al-Mu’jam al-Mufashshal, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992 Halliday, M. A. K. System and Function in Language, London: Oxford University Press,
1976 _______________dan Hasan, Ruqaiyah, Bahasa, Konteks dan Teks, terjemahan oleh
Asruddin Barori Tou, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, Cet, Ke-1 Hamka, Tafsir al-Azhâr, Singapura: Pustaka Nasional, 1992 Hasanain, S. S, Dirâsât fi ‘Ilm al-Lughah al-Washfi wa al-Târikhi wa al-Muqâran,
Riyadh: Dâr al-‘Ulum, 1984 Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:
Paramadina, 1996 Ibnu Hisyâm, Mughnî al-Labîb, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.t Ibnu Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-‘Adzîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000 Ibrahim, Abd, Syukur, Kajian Tindak Tutur, Surabaya: Usaha Nasional, 1992 Ibrâhîm, M. Ismâîl, Al-Qurân wa I’jâzuhu al-Ilmî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1951 Ibrâhîm, M. Ismâîl, Mu’jam al-Alfâzh wa al-A’lâm Al-Qurâniyyah, Beirut: Dâr al-Fikr
al-Arabi, t.t Ibrâhîm, M. Abû Fâdhil, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, Beirut: Al-Maktabah al-
‘Ashriyyah, t.t Kartomihardjo, Soeseno, Sosiolinguistik: Studi tentang Bahasa dan Seluk-Beluk
Pengetrapannya dalam Masyarakat, Malang: P2LPTK IKIP Malang, 1987 _____________________, Analisis Wacana dan Penerapannya, Malang: IKIP Malang,
1992
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
209
Keraf, Gorys, Tata Bahasa Indonesia, Flores: Nusa Indah, 1984 Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: PT Gramedia, 2001 Krippendorff, Klaus, Content Analysis An Introduction to Its Metodology, London: Sage
Publication, 1980 Kuntarto, Eko, Strategi Kesantunan Dwibahasawan Jawa-Indonesia; Kajian pada
Wacana Lisan Bahasa Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan, Malang: PPS IKIP Malang, 1999
Levinson, Stephen C, Pragmatics, Cambridge: Cambridge University Press, 1992 Leech, Geoffrey, Principle of Pragmatics, New York: Longman Linguistic Library,
1983 Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon G, Naturistic Inquiry, London: Sage Publication,
1985 Mahliatussikhah, Hanik, Ilmu Retorika Bahasa Arab I, Malang: Universitas Negeri
Malang, 2001 Mansyur, M. dan Kustiawan, Dalîl al-Kâtib wa al-Mutarjim, Jakarta: PT Moyo Segoro
Agung, 2002 Moleong, Lexy, L, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 1997 Muhsin, A. Wahab dan Wahab, T. Fuad, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah, Bandung:
Angkasa, t.t Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Bahasa Arab-Indonesia,
Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984 Nasution, D, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988 Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Maktabah al-
Mujallad al-Irâq, t.t Purwo, Bambang Kaswati, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum
1984, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qurân. Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-
Kattani, Jakarta: Gema Insani press, 1999
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
210
Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl Al-Qurân, Jeddah: Dâr al-‘Ilmi, 1986 Raghîb, Nabîl, Al-Qawâ’id al-Dzahabiyyah li Itqân al-Lughah al-‘Arabiyyah fî al-
Nahwi wa al-Sharfi wa al-Balâghah, Kairo: Maktabah Gharîb, 1982 Rahardi, Kunjana, Imperatif dalam Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Duta Wacana
University Press, 2000 Ramlan, Sintaksis, Yogyakarta: CV. Karyono, 1982 Rofi’uddin, A.H, Sistem Pertanyaan dalam Bahasa Indonesia, Disertasi tidak
diterbitkan, Malang: PPS IKIP Malang, 1994 Sa’di, Ali, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Beirut: Dâr al-Ihyâ’
al-Turâts al-‘Araby, 1999 Searle, John R, Indirect Speech Acts. Dalam Petter Cole dan Jerry L. Morgan, Syntax
and Semantics, New York: Academic Press, 1975 ____________, A Taxonomy of Illocutiony Acts. Dalam A. P. Martin, The Philosophy of
Language, New York: Oxford University Press, 2001 Shaleh, A.Q.A, dan Kulaib A.T, ‘Ilm al-Ma’âni, Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Ibn Su’ud,
1410 H Shayigh, K. H, Al-Mushthalahat al-Nahwiyyah; Araby Injilizy, Beirut: Maktabah
Lubnan, 2000 Siddique, Kaukah, Menggugat Tuhan Yang Maskulin. Terjemahan oleh A. Maftukhin,
Jakarta: Paramadina, 2002 Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framming, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002, Cet, Ke-2
Soemarmo, Marmo, Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya, Jakarta: Lembaga
Bahasa Atmajaya, 1987 Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993 Suyono, Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya, Malang: YA3 Malang, 1990 Syamsuddin, Ibrâhîm, Marja’ al-Thullâb fî al-Insyâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2000, Cet, Ke-1
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
211
Syihab, M. Quraisy, Lentera Hati, Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet, Ke-8 ________________, Tafsir al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2001 Syihab, Umar, Al-Qurân dan Rekayasa Sosial, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990 Thanthâwi, M. Sayyid, Mu’jam I’râbi Al-Fâzh Al-Qurân al-Karîm, Kairo: Idârah al-
Buhûts al-‘Ilmiyah, 1994 Umam, Khotibul, Al-Aghrâd al-Balâghiyyah min al- Istifhâm fî Sûrati Ali Imrân, Skripsi
tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qurân, Jakarta:
Paramadina, 1999 Verhaar, JW. M, Asas-Asas Lingistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1999 Ziyad, Ahmad, Uslûb al-Istifhâm fî Sûrati Yûnus, Skripsi tidak diterbitkan, Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1995 Zuchdi, Dârmiyati, Panduan Penelitian Analisis Konten, Yogyakarta: Lemlit IKIP
Yogyakarta, 1993 Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulûmul Qurân, Surabaya: Karya Abditama, 1997
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
212
LAMPIRAN
KISI-KISI ANALISIS PENGGUNAAN
ADAWÂT AL-ISTIFHÂM DALAM AL-QURÂN
NO. NAMA DAN NO.URUT
SURAT
AYAT ADAWÂT AL-
ISTIFHÂM
1. AL-BAQARAH (2) 6 ء
ء 13
ماذا 26 كیف 28
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
213
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
213
PENGGUNAAN “ADAWÂT AL-ISTIFHÂM”
DALAM AL-QURÂN
NO.
NAMA DAN NO. URUT
SURAT
JUMLAH ISTIFHAM
JUMLAH
ISTIFHAM
DAN
AYAT أي كم أنى كیف أین أیان متى ما من ھل ء
1. AL-BAQARAH (2) 26 2 5 10 1 3 2 3 52/44
2. ALI IMRON (3) 12 1 3 6 4 4 30/28
3. AL-NISA’ (4) 12 4 6 4 26/21
4. AL-MAIDAH (5) 8 4 2 4 2 1 21/19
5. AL-AN’AM (6) 22 4 9 1 5 2 1 44/35
6. AL-A’RAF (7) 29 4 2 3 1 1 4 1 1 46/42
7. AL-ANFAL (8) 1 1/1
8. AL-TAUBAH (9) 10 2 1 2 1 1 20/18
9. YUNUS (10) 20 3 5 4 1 4 2 39/27
10. HUD (11) 15 2 3 1 21/17
11. YUSUF (12) 8 2 5 1 16/14
12. AL-RA’D (13) 6 2 1 9/7
13. IBRAHIM (14) 7 1 2 10/8
14. AL-HIJR (15) 2 1 3 6/5
15. AL-NAHL (16) 9 4 2 1 1 17/16
16. AL-ISRA’ (17) 10 1 1 1 2 1 1 17/14
17. AL-KAHFI (18) 8 3 2 1 1 1 1 17/16
18. MARYAM (19) 6 2 1 1 2 2 1 15/21
19. THAHA (20) 8 3 1 5 1 18/15
20. AL-ANBIYA’ (21) 17 3 2 1 1 1 25/22
21. AL-HAJJ (22) 6 1 7/7
22. AL-MUKMINUN (23) 13 3 1 1 18/17
23. AL-NUR (24) 4 4/4
24. AL-FURQAN (25) 9 2 2 13/10
25. AL-SYUARA’ (26) 20 5 3 1 1 1 31/30
26. AL-NAML (27) 16 1 4 4 1 3 1 30/24
27. AL-QASHASH (28) 10 1 2 2 1 1 1 18/16
28. AL-ANKABUT (29) 7 2 1 1 11/9
29. AL-RUM (30) 3 2 1 3 9/8
30. LUQMAN (31) 4 1 1 1 7/6
31. AL-SAJDAH (32) 8 1 1 1 11/7
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
214
32. AL-AHZAB (33) 1 1/1
33. SABA’ (34) 4 3 1 1 1 1 11/8
34. FATHIR (35) 5 2 1 2 1 11/8
35. YASIN (36) 13 2 1 1 17/17
36. AL-SHAFFAT (37) 18 1 6 2 27/24
37. SHAD (38) 4 1 1 6/6
38. AL-ZUMAR (39) 14 4 2 1 21/16
39. AL-MUKMIN (40) 5 2 2 1 1 3 2 1 17/14
40. FUSHILAT (41) 6 2 1 1 10/8
41. AL-SYURA (42) 1 1/1
42. AL-ZUHRUF (43) 10 1 1 1 1 1 15/14
43. AL-DUKHAN (44) 1 1 2/2
44. AL-JATSIYAH (45) 3 1 4/2
45. AL-AHQAF (46) 6 1 7/7
46. MUHAMMAD (47) 3 2 1 2 1 9/7
47. AL-FATH (48) 1 1/1
48. AL-HUJURAT (49) 2 2/2
49. QAF (50) 3 3 1 1 8/5
50. AL-DZARIYAT (51) 3 1 1 1 6/6
51. AL-THUR (52) 1 1/1
52. AL-NAJM (53) 6 1 1 8/8
53. AL-QAMAR (54) 3 6 4 13/13
54. AL-RAHMAN (55) 1 31 32/32
55. AL-WAQIAH (56) 11 11/10
56. AL-HADID (57) 2 1 2 5/5
57. AL-MUJADILAH (58) 4 4/4
58. AL-HASYR (59) 1 1/1
60. AL-SHAFF (61) 1 1 2 4/4
61. AL-TAGHABUN (64) 2 2/2
62. AL-TAHRIM (66) 1 1 2/2
63. AL-MULK (67) 9 1 2 1 2 1 16/14
64. AL-QALAM (68) 2 1 1 2 6/5
65. AL-HAQQAH (69) 1 2 3/3
66. AL-MAARIJ (70) 1 1 2/2
67. NUH (71) 1 1/1
68. AL-JIN (72) 1 1 2/2
69. AL-MUZAMMIL (73) 1 1/1
70. AL-MUDDATSIR (74) 4 2 6/6
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
215
71. AL-QIYAMAH (75) 4 1 1 1 7/7
72. AL-INSAN (76) 1 1/1
73. AL-MURSALAT (77) 3 1 2 6/6
74. AL-NABA’ (78) 1 1 2/2
75. AL-NAZIAT (79) 3 2 1 1 1 8/7
76. ‘ABASA (80) 1 1 1 3/2
77. AL-TAKWIR (81) 1 1 2/2
78. AL-INFITHAR (82) 3 1 4/4
79. AL-MUTHAFFIFIN (83) 1 1 2 4/4
80. AL-INSYIQAQ (84) 1 1/1
81. AL-BURUJ (85) 1 1/1
82. AL-THARIQ (86) 1 2 3/2
83. AL-GHASYIYAH (88) 1 1 3 4/4
84. AL-FAJR (89) 1 1 2/2
85. AL-BALAD (90) 3 1 4/4
86. AL-DHUHA (93) 1 1/1
87. AL-SYARH (94) 1 1/1
88. AL-THIN (95) 1 1 2/2
89. AL-ALAQ (96) 4 4/4
90. AL-QADAR (97) 1 1/1
91. AL-ZALZALAH (99) 1 1/1
92. AL-‘ADIYAT (100) 1 1/1
93. AL-QARI’AH (101) 3 3/3
94. AL-HUMAZAH (104) 1 1/1
95. AL-FIL (105) 2 2/2
96. AL-MA’UN (107) 1 1/1 TOTAL 96 SURAT 508 92 75 112 8 3 11 71 25 18 52 975
ISTIFHAM/
856 AYAT
PROSENTASE PENGGUNAAN
KATA TANYA
52,2
%
9,4% 7,7% 11,5
%
0,8% 0,3% 1,1% 7,3% 2,6% 1,8% 5,3% TOTAL 100
%
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
216
KISI-KISI ANALISIS POLA PENGGUNAAN
KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN
NO. NAMA & NO. URUT SURAT
AYAT FUNGSI TASHAWWUR/TASHDIQ
POLA
1
Al-Baqarah (2)
6 Tashawwur Mempertanyakan Obyek
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
217
KISI-KISI ANALISIS SASARAN ISTIFHÂM
YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN
NO. NAMA &
NO. URUT SURAT
AYAT SASARAN ISTIFHÂM
KATEGORI Langsung/Tidak
Langsung
IDENTITAS SASARAN
1
Al-Baqarah (2)
6 Orang Kedua Tunggal Laki-laki
(mudzakkar mufrad/masculine
singular)
Langsung Anta (kamu laki-laki)
(Muhammad SAW)
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
218
KISI-KISI ANALISIS JENIS ISTIFHÂM
YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN
NO. NAMA & NO. URUT
SURAT
AYAT MUTA KALLIM
MUKHA THAB
PEMBERI
JAWABAN
JENIS KARAK TERIST
IK
1
Al-Baqarah
(2)
6 Tuhan Hamba (Muhammad)
Retoris 1.Mutakallim Tuhan, Mukhathab Hamba
2.Berfungsi pragmatis (menghibur)
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
219
KISI-KISI ANALISIS FUNGSI ISTIFHÂM
YANG MENGGUNAKAN KATA TANYA HAMZAH DALAM AL-QURÂN
NO. NAMA & NO. URUT
SURAT
AYAT KONTEKS & KONDISI
KESESUAIAN
FUNGSI KATEGORI TINDAK
ILLOKUSI
KATEGORI TINDAK
PERLOKUSI
1
Al-Baqarah
(2)
6 1.Konteks: situasi dakwah, nabi menghadapi kekafiran 2.Kondisi Kesesuaian: -Mutakallim (Tuhan);Pemilik wahyu, Pengutus nabi, Pemberi hidayah -Mukhathab (nabi SAW);Rasul, merasa sedih atas kekafiran umatnya -Substansi pesan; Tuhan menghibur nabi SAW, karena tugas nabi hanya berdakwah, sedangkan hidayah adalah hak Tuhan
Menghibur Direktif Implisit (Tidak
tertuang langsung
dalam teks), yaitu agar nabi SAW
tidak berputus asa dalam berdakwah
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com