Post on 01-Apr-2023
LAPORAN PENELITIAN
DANA SELAIN APBN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN ANGGARAN 2019
TARI PENDET SEBAGAI TARIAN TRADISIONAL BALI
DALAM PENDEKATAN HOLISTIK
ANTROPOLOGI HUKUM
Peneliti:
1. Emy Handayani, S.H., M.Hum. ( Ketua )
NIP. 197504202002122001
2. Muchammad Alfin (Anggota)
NIM. 11010116120058
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Bagian Dasar – Dasar Ilmu Hukum
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN
PENELITIAN
1. a. Judul Penelitian : Tari Pendet Sebagai Tarian Tradisional Bali
Dalam Pendekatan Holistik Antropologi
Hukum
b. Bidang Ilmu : Ilmu Hukum
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar : Emy Handayani, SH.MHum
b. Golongan / Pangkat : III C / Lektor
c. NIP / NIDN : 197504202002122001 / 0020047502
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Jabatan Struktural : -
f. Bagian : Dasar-Dasar Ilmu Hukum
g. Alamat rumah : Jl. Tlogo Warno no.186 Semarang
h. Telp./Fax. : 08132631882
i. E-mail : emyfhundip @yahoo.co.id.
3. Jumlah Anggota Peneliti : 1 orang
a. Nama Lengkap Anggota : Muchammad Alfin
b. Golongan/Pangkat : Mahasiswa
c. NIM : 11010116120058
d. Alamat rumah : Jl. Cianjur No. 3 Kaligangsa Tegal
e. E-mail : alfinsyahrul1@gmail.com
4. Lokasi Penelitian : Bali
5. Lama Penelitian : Enam ( 6 ) bulan
6. Biaya yang diperlukan : Rp. 10.000.000,-
Semarang, 2 Oktober 2019
Menyetujui,
Dekan Fakultas Hukum Ketua Peneliti
Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum. Emy Handayani, S.H., M.Hum.
NIP. 196711191993032002 NIP. 197504202002122001
1
TARI PENDET SEBAGAI TARIAN TRADISIONAL BALI
DALAM PENDEKATAN HOLISTIK ANTROPOLOGI HUKUM
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Tarian tradisional Bali telah mengalami proses kulturasi atau
pewarisan budaya yang cukup lama, bertumpu pada pola-pola tradisi atau
kebiasaan yang sudah ada dari nenek moyang, sehingga tarian bersifat
pewarisan kultur budaya yang disampaikan secara turun temurun. Prinsip ini
berfungsi memelihara solidaritas dan integritas dalam kehidupan bersama
sebagai suatu masyarakat ( Koentjaraningrat:1980:168 ).
Kajian Antropologi Hukum dalam penelitian ini memberikan kajian
antropologi hukum pada tarian tradisional dalam masyarakat Bali, dimana
dalam kajiannya menggunakan pendekatan holistik. Pendekatan Holistik
Antropologi Hukum adalah pendekatan yang memandang secara keseluruhan
baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan agama. Sehingga
Pendekatan Holistik disini mengacu pada unsur keagamaan yakni tarian
sakral agama hindhu yakni tari pendet. Tari Pendet merupakan tari pemujaan
yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat hindhu di Bali, yang
melambangkan penyambutan atas turunnya dewata di alam dunia dalam tata
cara atau upacara keagamaan melalui tarian tradisional.
Tarian tradisional adalah salah satu bentuk seni pertunjukkan. Seni
pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan orang individu atau
2
kelompok di tempat dan waktu tertentu, yang melibatkan beberapa unsur
yaitu : waktu, ruang, gerak tubuh seniman (penari) dan penonton. Beberapa
pertunjukan tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari tata cara atau
upacara keagamaan. Untuk itu dalam penelitian peneliti melihat karena ada
unsur keagamaan disini maka sangat tepat jika dianalisa menggunakan
pendekatan Holistik Antropologi Hukum, yang obyek penelitiannya adalah
tarian tradisional, khususnya tari pendet sebagai tarian tradisional Bali yang
secara fungsional membangun identitas bangsa dan jati diri bangsa yang
merupakan suatu kekuatan yang dapat digunakan sebagai modal untuk
menghadapi penetrasi budaya global yang berlangsung begitu cepat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tari pendet merupakan tari sembahan
yang hanya diperagakan di kuil-kuil umat hindhu sebagai ucapan selamat
datang atas turunnya ke Bumi. Namun setelah melakukan pengembangan,
tarian ini berubah menjadi tari pertunjukkan atau tarian selamat datang.
Tarian ini dinamakan tarian pendet penyambutan. Ada lagi tarian pendet
sakral yang akan peneliti teliti yaitu tarian yang sakral yang ditampilkan
sebagai bagian dari ritual keagamaan masyarakat Bali.
Pakaian adat bali menjadi kostum para penari. Pakaian adat bali
terdiri daro tapih hijau yang bermotif crapcap, kemben warna merah dengan
motif emas, angkin kuning yang bermotif tumpeng, serta dilengkapi sebuah
selendang merah polos yang dililitkan dipinggang. Ciri khas bokor atau
sesaji dengan janur yang dihias khusus pada bagian tepinya. Tari Pendet
mempunyai keistimewaan :
3
1. Nilai sakral dan religius yang terkandung dalam roh penari Pendet
2. Penarinya tidak mengenal usia mulai dari anak-anak sampai lansia, pola
gerakan tarian ini tidak tak terbatas, para penari menyesuaikan ritme musik
penggiring.
3.Berkembang mengikuti zaman, yang sebelumnya hanya untuk acara
keagamaan dikembangkan menjadi seni tari yang dapat dipertunjukkan
di tempat umum.
Eksistensi Tari Pendet yang mengandung nilai-nilai historis, filosofis,
religious, kreatif dan edukatif menjadikan Tari Pendet sebagai tari tradisional
Bali diperuntukkan sebagai pertunjukkan atau pementasan rakyat yang
legendaris. Meskipun demikian masyarakat Bali sangat terkenal akan tradisi
dan budayanya yang masih dipertahankan hingga saat ini. Terbukti dengan
banyaknya kesenian tradisional maupun tradisi adat yang terus dilestarikan
dan dijaga oleh para seniman dari sanggar-sanggar tari yang ada di Bali, dan
ditampilkan dalam acara budaya seperti penyambutan, festifal budaya,
promosi pariwisata. Kesenian tari pendet merupakan warisan leluhur yang
harus dipertahankan, nilai-nilai yang terkandung didalamnya sangat berguna
bagi para generasi penerus, terutama nilai-nilai positif1 yang ada di dalam
kesenian tersebut haruslah dipahami dan juga diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari khususnya membangun karakter seseorang menjadi pribadi yang
taat kepada Tuhan, percaya kepada diri sendiri, peka sosial dan saling
menghormati pendapat serta cinta tanah air.
1 . Gusti Ayu Made Puspitawati, Luh De Liska, 2019, ‘Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Ragam Gerak Tari Pendet, Stiliska Volume 7 Nomor 2, Mei 2019
4
Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini, yang pada intinya adalah
ingin memberi kontribusi terhadap Tari Pendet sebagai tarian tradisional
Bali dalam Pendekatan Holistik Antropologi Hukum, agar dapat dipahami
sebagai tarian sakral untuk acara keagamaan umat hindhu yang harus
dilestarikan keberadaannya untuk perkembangan kebudayaan tradisional.
Tari Pendet merupakan tari sajian untuk para leluhur dari Bali yang disebut
Batara Bhatari yang juga menggambarkan penyambutan atas turunnya para
dewa ke Marcapada. Pendet dilakukan oleh para wanita dengan memakai
pakaian adat membawa sebuah bokor yang berisi canang sari, kawangan,
dan bunga-bunga sebagian membawa alat-alat upacara seperti sangku,
cawan, kendi dan lain-lainnya. Tarian Pendet juga bisa dihubungkan dengan
upacara keagamaan maupun penangkal sihir atau bala penyakit. Tari
semacam ini bersifat sakral, dinamika musik yang mengalun cepat dari
lembut mendadak keras atau sebaliknya, ditambah getaran tubuh, tangan
atau jari dan lemparan bola mata penari ke kiri dan ke kanan mengikuti
hentakan kendang, membuat tarian ini berkesan angker. Sehingga sumber
inspirasi lahirnya tari pendet adalah sebuah ritual sakral odalan di Pura yang
disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung setelah pendeta
mengumandangkan puja mantranya dan sesuai dengan pementasan topeng
sidakarya teater sakral yang secara filosofis meletigimasi upacara
keagamaan. Sehingga tari pendet tetap mengandung nilai sakral religius
dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental guna
menciptakan keharmonisan, keselarasan, keseimbangan atas segala anugrah
5
yang diberikan oleh NYA melalui pengabdian umatnya yang didasari
ketulusikhlasan dalam meraih kebahagian hidup sekarang ataupun yang
akan datang dan juga segala macam malapetaka2 (kebrebehan) serta dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara spiritual maupun
ekonomi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai kearifan lokal pada Tari Pendet sebagai tarian
tradisional Bali dapat dikatakan mengandung unsur keagamaan?
2. Bagaimana Tari Pendet dapat memperoleh perlindungan hukum ?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menanamkan nilai-nilai kebersamaan antar masyarakat Bali.
2. Kesadaran hukum dalam memperoleh perlindungan hukum terhadap tarian
tradisional Bali.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Masyarakat Bali, sebagai penerus kebudayaan bali khususnya tarian
tradisional Bali yang tidak akan pernah lekang dengan perubahan zaman.
2 . I Gusti Ayu Ratna Pramesti Dasih,2018, Komunikasi Simbolik Dalam Tari Pendet Lanang Pada Ushaba Sambah di Desa Pakraman Pesedahan Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, widya duta jurnal ilmiah Ilmu Agama Dan Ilmu Sosial Budaya, Volume 13, No.1
6
2. Bagi Pemerintah, mewujudkan masyarakat Indonesia yang cinta akan
kebudayaan khususnya tarian tradisional Bali
3. Bagi Akademisi, memberikan kemanfaatan output keluaran penelitiannya
untuk kedepan bagi penelitian lanjutan
II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional, Tarian Tradisional,
Masyarakat Bali
a. Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam ekspresi budaya tradisional berakar dalam 3 kata, tradisi,
budaya, dan ekspresi. Untuk ekspresi berarti mengungkapkan atau tujuan
yang jelas, ide atau perasaan. Budaya dalam bahasa Inggris sesuai dengan
budaya di Indonesia3 Hal ini berakar pada bahasa sansekerta “Budhayah”
yang berarti pikiran atau intelektual. Ekspresi budaya tradisional adalah
bagian dari kehidupan budaya masyarakat sebagai pemilik, Ekspresi
budaya tradisional sudah mengandung beberapa nilai seperti ekonomi,
spritualitas dan komunitas. Semua nilai-nilai ini dihormati oleh masyarakat
tradisional. Karena hal tersebut maka ekspresi budaya tradisional dapat
mewakili identitas masyarakat adat di daerah tertentu.4
Ekspresi budaya tradisional merupakan istilah yang digunakan
WIPO ( World Intelectual Property Right ) dalam berbagai forum di dunia,
ditunjukkan untuk memberikan garisan terhadap sesuatu karya budaya
3 . Koentjoroningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta 4 . Hilman Hadikusuma, 2010, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Jakarta
7
yang bersifat tradisional dan dimiliki masyarakat tradisional sebagai karya
intelektual yang berasal dari kebudayaan tradisional milik kelompok
masyarakat tradisional. Pemberian makna tersebut akan menjadi acuan
untuk menetapkan suatu karya intelektual dari budaya tradisional dan
mengkaitkannya pada suatu masyarakat sebagai pengemban.5
Industri budaya perlu dilindungi. Kebudayaan termasuk dalam
produk “Ciptaan”. Budaya diciptakan tetapi sangat sulit dideteksi
kemunculannya tetapi bisa ditelisik perkembangannya. Perlindungan
hukum terhadap ekspresi budaya tradisional sangat dibutuhkan oleh
negara-negara berkembang, karena perlindungan dianggap sebagai
tindakan yang diambil untuk menjamin kelangsungan hidup warisan
budaya tak benda dan kreativitas komunal. 6
Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum berdasarkan
Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014 tentang hak cipta, dapat
melindungi kesenian dan budaya tradisional Indonesia. Perlindungan
hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah melindungi kepentingan
seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan. Perlindungan
hukum yang diberikan adalah bentuk kepentingan bersama dalam upaya
pembangunan nasional.
5 . Indriaty J., 2015, Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Negara Sebagai Pemegang Hak Cipta, Kekayaan Intelektual Komunal, Masyarakat Sulawesi Tenggara, Dikaitkan dengan Hak Ekonomi Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Tesis., Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Magister Ilmu Hukum, Bandung. 6 . OK.Saidin, 2006, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right), Rajagrafindo Persada, Jakarta
8
Penggunaan hukum sebagai instrumen demikian itu merupakan
perkembangan mukhtahir dalam sejarah hukum. Untuk bisa sampai pada
tingkat perkembangan demikian itu memang diperlukan persyaratan
tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian yang demikian itu tentunya
dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam
hal ini adalah negara.
Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan
budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia
melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan
kebudayaan (Undang-Undang No. 5 Tahun 2017, Pasal 22,24,26,28,30).
Upaya untuk melindungi dan menjaga keberlanjutan kebudayaan
dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan,
penyelamatan, publikasi, pengembangan upaya menghidupkan ekosistem
kebudayaan serta meningkatkan, memperkaya dan menyebarluaskan
kebudayaan, Pemanfaatan upaya pendayagunaan obyek pemajuan
kebudayaan untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional.
Peranan Pemerintah dalam hal ini juga dirasa belum mampu
bertanggungjawab penuh atas perlindungan hukum tentang ekspresi
budaya tradisional, sehingga masyarakatpun juga tidak paham terkait
ekspresi budaya tradisional, sedangkan untuk seniman tari sendiri
menginginkan adanya suatu publikasi dan sosialisasi mengenai ekspresi
budaya tradisional dalam bidang seni, karena mereka menggarap suatu
9
tari, namun masih terdapat suatu pelanggaran oleh pihak yang tidak berhak
atas ciptaan tersebut.
Pemerintah dapat mengadakan suatu kebijakan untuk memberikan
kemudahan dalam pelayanan “One stop service” terhadap pendaftaran
untuk perlindungan suatu seni tari khususnya tari pendet yang merupakan
tarian tradisional Bali. Selain itu pemerintah juga harus membuat PERDA
yang dapat dijadikan alat perlindungan hukum dan masyarakat juga ikut
berpartisipasi sebagai kontrol masyarakat.
b. Tarian Tradisional Bali
Pengertian tari tradisional adalah sebuah tarian yang tumbuh dan
berkembang di daerah tertentu dan diwariskan secara turun temurun serta
berpedoman luas dan berpijak pada adat istiadat setempat.Sehingga tari
tradisional dapat diartikan sebagai tarian yang terdapat pada masyarakat
Bali khususnya Gianyar dan menjadi budaya masyarakat dan bernilai
magis serta membantu melestarikan budaya tarian tradisional Bali. Tari
tradisional adalah jenis tari yang tumbuh dan hidup dalam suatu
masyarakat tertentu dilatar belakangi oleh adat dan kepercayaan
masyarakat serta dipelihara oleh masyarakatnya sebagai symbol ekspresi
mereka dalam bentuk koreografi (komposisi gerak tari). Tari tradisional
adalah semua tari yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup
lama yang bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah terjadi.
Menurut beberapa ahli, pengertian tari adalah sebagai berikut :
10
Soedarsono, tari adalah ekspresi jiwa manusia dalam gerak-gerak yang
indah dan ritmis.
Soeryodiningrat, tari adalah gerak anggota tubuh yang selaras dengan
bunyi musik atau gamelan diatur oleh irama sesuai dengan maksud dan
tujuan.
Bagong Sudito, tari adalah suatu seni yang berupa gerak ritmis yang
menjadi alat ekspresi manusia.
Jadi pengertian tari tradisional Bali adalah suatu tarian yang berasal dari
Masyarakat Bali yang sudah turun temurun dan telah menjadi budaya Bali
khususnya Gianyar.
Tari Tradisional sendiri di dalam Hak Cipta merupakan bagian dari
Folklor. Folkfor dilihat sebagai suatu ciptaan yang tidak diketahui
penciptanya, karena muncul dalam masyarakat komunal yang secara
riwayatnya tidak diketahui penciptanya secara jelas berdasarkan Pasal 60
dan Pasal 38 UU No.28 Tahun 2014.
Pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap tarian tradisional sebagai salah
satu upaya untuk melestarikan budaya tradisional khususnya tarian
tradisional masyarakat Bali khususnya Gianyar Bali. Secara khusus nilai-
nilai budaya membentuk prinsip-prinsip masyarakat yang mengakar pada
suatu kebiasaan, kepercayaan dan tuntunan karakteristik tertentu.
Pada prinsipnya Tari Pendet sebagai tarian tradisional Bali
merupakan seni tari sebagai hasil kreatifitas manusia, dan salah satu
11
kebudayaan bangsa Indonesia yang pada dasarnya juga memerlukan suatu
perlindungan hukum sebagai suatu kekayaan intelektual bagi seniman.
Dikatakan kekayaan intelektual karena proses penciptaan sebuah tarian
khususnya tari pendet memerlukan tenaga dan pikiran yang mendalam
serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit, baik sehingga wajar jika
seorang pencipta ingin dihargai dihormati atas wujud/hasil kreatifitas dan
perlu adanya perlindungan hukum terhadap tarian tradisionalnya. Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa tari pendet pada awalnya merupakan
tarian pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, tempat ibadah hindu
bali yang melambangkan penyambutan akan turunnya dewata ke alam
dunia seiring perkembangan zaman para seniman Bali mengubah pendet
menjadi Ucapan Selamat Datang. Meskipun tari pendet sebagai bagian dari
ritual tradisional masyarakat adat di Bali.
Perlindungan hukum hak cipta atas seni budaya khususnya tarian
tradisional tidak hanya dilakukan melalui hukum saja akan tetapi dengan
pelestarian dan terus memperkenalkan tari pendet sebagai tarian tradisional
kepada masyarakat luas yang berkunjung ke Bali. Tarian bisa dilihat
berdasarkan elemen formal/kebentukan (gerak tarian), ruang (sebaran
tarian nusantara, identitas daerah, adat istiadat, upacara, ikon dan jati diri)
serta berdasarkan waktunya.
Perlindungan Hukum Hak Cipta Tari Tradisional dikemukakan
pada Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
yang berbunyi : “Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional dipegang
12
oleh Negara. Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara
ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Dalam
penjelasan pasal tersebut, ekspresi budaya tradisional termasuk juga dalam
hal ini adalah tarian-tarian tradisional khususnya yang sebagai obyek
penelitian peneliti adalah Tari Pendet sebagai Tarian Tradisional Bali.
Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan jaminan
pengembangan tarian tradisional Bali secara kompetitif dan berkelanjutan
tanpa mengabaikan kearifan lokal, mencegah penggunaan klaim atas tarian
yang dilakukan oleh pihak lain tanpa ijin dan masyarakat Bali dapat
memperoleh manfaat baik secara ekonomi maupun non ekonomi secara
layak.
Di Indonesia terdapat beberapa produk hukum yang melindungi
hak kekayaan Intelektual terhadap tarian tradisional diantaranya :
1/ Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19/2002
Konsep perlindungan terhadap HKI pada dasarnya adalah
memberikan hak monopoli dan dengan hak monopoli ini, pemilik HKI
dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan inteletual yang
didapatnya. Tarian daerah yang tidak diketahui dengan pasti
penciptanya karena diturunkan dari generasi ke generasi, maka sesuai
Pasal 10 ayat 2 UU Hak Cipta, menjadi milik bersama artinya Negara
yang memiliki.Selanjutnya dalam ayat (3) Pasal itu mengatur bahwa
setiap orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu
13
memperoleh ijin untuk mengumumkan atau memperbanyak tarian-
tarian khas suatu daerah.
2/ Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan .
Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan
pelindung bagi warganya sekaligus sebagai penjaga tata hubungan
interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan. Kebudayaan-
kebudayaan yang berkembang sesuai suku bangsa minoritas telah
tergantikan oleh kebudayaan daerah dominan setempat, sehingga
membuat kebudayaan kelompok asli minoritas tersingkir.
3/ Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri dan Mentri Kebudayaan dan
Pariwisata No.42 dan 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian
Kebudayaan
Dalam Bab 1 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negri
dan Mentri Kebudayaan dan Pariisata dan Pelestarian Kebudayaan
menyatakan bahwa proses perlindungan yang dimaksud adalah upaya
pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan,
kerugian, atau kepunahan kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan
karya budaya termasuk harkat dan martabat serta budaya yang
diakibatkan oleh perbuatan manusia atau proses alam.
Pemerintah melalui Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri dan
Mentri Kebudayaan dan Pariwisata No.42 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pelestarian Kebudayaan telah menetapkan langkah-langkah
minimal untuk tiap daerah, propinsi maupun kab/kota dalam upaya
14
melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kesenian, sehingga ke
depannya bisa mengangkat kesejahteraan hidup pelaku kesenian dan
masyarakat pada umumnya.
4/ Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Konvensi Tentang Proteksi dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi
Budaya
Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2011, pemerintah telah
meratifikasi Convention On the Protection And Promotion Of the
Diversity of Cultural Expressions 2005 ( Konvensi Tentang Proteksi
dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya ), sebagai upaya
pemerintah untuk selalu melestarikan keanekaragaman budaya di
tingkat nasional maupun internasional. Keanekaragaman budaya
berdasarkan Pasal 4 ayat 1 adalah mengacu pada Pasal 4 ayat adalah
mengacu pada cara bermacam-macam dimana budaya kelompok dan
masyarakat menemukan ekspresi diantara kelompok-kelompok dan
masyarakat.
Keragaman budaya dibuat nyata, tidak hanya melalui cara-cara
yang bervariasi di mana warisan budaya umat manusia diungkapkan,
ditambah, dan ditularkan melalui ekspresi budaya tetapi juga melalui
mode beragam artistik, produksi pembuatan, distribusi penyebaran,
kenikmatan apapun sarana dan teknologi yang digunakan.
15
Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Tari Pendet yakni :
1. Hukum Lunak
a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948 maupun
dalam Kovenan Internasional Tentang Ekonomi, Sosial dan
Budaya ( Internasional Covenant on Economic, Sosial and
Culture – ICESCR) 1966 yang terkait dengan perlindungan
pengetahuan tradisional. Hak-hak tersebut antara lain terdiri dari
hak atas kebudayaan dan perlindungan kekayaan intelektual,
hak atas kesehatan, dan hak atas Pangan.
b. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Asli 2007 ( United
Nations Declaration On Indegenous Peoples Right ) merupakan
satu-satunya instrumen hukum hak asasi manusia internasional
yang mengatur secara khusus dan eksplisit perlindungan
terhadap pengetahuan tradisional. Hak-Hak tersebut ada yang
berasal dari struktur sosial, ekonomi, politik, dan juga
bersumber pada filosofi, sejarah, tradisi spiritual, budaya
terutama hak-hak mereka terhadap tanah, wilayah, sumber daya
lainnya. Pengakuan ini dijadikan dasar pengaturan bagi
pengaturan perlindungan masyarakat asli dan pengakuan ini
dimuat dalam mukadimah deklarasi.
16
2. Hukum Keras
Tidak sedikit soft law berubah menjadi hard law yang memiliki
kekuatan mengikat dan sudah tentu memiliki sanksi hukum apabila
dilanggar. Pengetahuan tradisional juga dianggap sebagai warisan
budaya tak benda yang perlu dilindungi. Perlindungan pengetahuan
dasar tersebut diatur dalam kerangka UNESCO yaitu melalui
berbagai konvensi yang telah dihasilkan untuk perlindungan
warisan budaya.
a. Konvensi Untuk Perlindungan Kekayaan Budaya Dalam
Konflik Bersenjata.
Konvensi Hague 1954 mempunyai suatu prinsip dasar yang
menjadi dasar ideologi perlindungan benda budaya dunia.
Perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini terbagi menjadi
General Protection, and Special Protection diberikan pada setiap
properti budaya yang ada dalam area konflik bersenjata.
Perlindungan khusus/ spesial diberikan properti budaya yang
kemudian didaftarkan dalam suatu International Register Of
Cultural Property Under Special Protection, maka pengecualian
untuk boleh berlakunya peran militer dalam property budaya
hanyalah dengan alasan “unavoidable military necessity
( kepentingan militer ).
17
b. Konvensi Mengenai cara untuk melarang dan mencegah impor,
ekspor, dan pengalihan kepemilikan kekayaan budaya yang
diperbolehkan ( 1970 ).
Konvensi UNESCO 1970 melindungi benda budaya dengan
cara melakukan kontrol terhadap jalannya perdagangan dan
membuat pemerintah bisa bekerjasama untuk mengembalikan
dan menemukan benda budaya yang telah dicuri dan
dipindahkan secara ilegal melintasi batas nasional. Sehingga
Konvensi Paris 1970 ini lebih merupakan instrumen diplomasi,
tak ada ketentuan pemberian sanksi.
c. Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Alam dan Budaya
Dunia (1972)
Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Alam dan Budaya
Dunia yang lebih dikenal dengan Konvensi Warisan Dunia
disahkan dalam Konferensi Umum UNESCO di Paris tanggal
16 November 1972. Tujuan utama dari Konvensi Warisan dunia
adalah identifikasi, perlindungan, dan pelestarian warisan alam
dan budaya di seluruh dunia merupakan nilai universal utama
terhadap kemanusiaan.
d. Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tidak Berwujud
(2003)
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan UNESCO (United Nations
18
Educational, Scentific, and Cultural Organization) pada tanggal
17 Oktober 2003 dalam konferensi umumnya menyepakati
disahkannya konvensi perlindungan warisan budaya tak benda
(convention for the intangible cultural heritage). Tujuan utama
yang ingin dicapai oleh konvensi ini adalah kelestarian budaya
sebagai warisan bersama, berdasarkan pasal 1 convention for the
safeguarding of the intangible cultural heritage 2003 adalah :
1. Melindungi warisan budaya tak benda
2. Memastikan rasa hormat terhadap warisan budaya tak benda
milik berbagai komunitas, kelompok dan perseorangan yang
bersangkutan
3. Meningkatkan kesadaran, baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun internasional mengenai pentingnya warisan budaya
tak benda, dan memastikan untuk saling menghargai warisan
budaya tersebut
4. Memberikan kerjasama dan bantuan internasional
Dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukkan tari tradisional di
Bali penting bagi kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi sejak
zaman lampau karena di Bali hampir semua upacara keagamaan harus
disertai tarian. Tanpa diikuti dengan tarian maka proses upacara belum
dianggap sudah selesai. Untuk itu tarian sakral atau tari upacara-upacara
keagamaan tidak dipertunjukkan di sembarang tempat. Seni tari sakral
ini diterima masyarakat Bali secara turun temurun, dan sebagai warisan
19
ekspresi budaya tradisional jika mengacu pada Pasal 38 UUHC 2014
yang salah satunya dilakukan melalui kegiatan inventarisasi sebagai
salah satu bentuk pendokumentasian dalam rangka perlindungan
hukum.
Berdasarkan hasil pendekatan empiris, beberapa factor yang
mempengaruhi perlindungan hukum terhadap seni pertunjukkan tari
pendet sebagai ekspresi budaya tradisional yakni :
Pertama, pemahaman hukum terhadap aparat pemerintah masih kurang.
Hanya sebatas mengetahui keberadaan dan belum memahami betul
keberadaan Undang-Undang Hak Cipta.
Kedua, Terhadap pelaku seni dan masyarakat, mereka mengemukakan
bahwa mereka tidak mengetahui atau tidak memahami secara mendetail
keberadaan Undang-Undang Hak Cipta. Dimana mereka hanya
memperagakan tarian-tarian tradisional tersebut sebagai tarian turun
temurun yang mereka dapatkan dan tidak diketahui siapa penciptanya.
Mereka mempertunjukkan seni tari tradisional tersebut hanya sebatas
event-event tertentu, seperti pada waktu ada upacara agama di Pura atau
upacara-upacara agama lainnya. Selama ini pelaku seni belum pernah
mengetahui kalau tari tradisional bali yakni tari pendet yang mereka
tarikan sudah mendapat perlindungan hukum pada Undang-Undang
Hak Cipta.
Ketiga, berkaitan dengan factor lingkungan baik aparat pemerintah,
pelaku seni dan masyarakat belum memahami keberadaan Undang-
20
Undang Hak Cipta dalam perkembangan masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran seni pertunjukan tari pendet sebagai tarian
tradisional Bali sebagai ekspresi budaya tradisional (EBT).
Keempat, berkaitan sarana dan fasilitas tergantung dengan sumber daya
manusia sebagai pengemban ekspresi budaya tradisional (EBT) dan
juga sumber dana pendukung. Karena untuk membuat PERDA
membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan diusahakan untuk dibuatkan
peraturan yang berbentuk PERDA berkaitan dengan seni pertunjukan
tari pendet sebagai tarian tradisional Bali sebagai payung hukumnya.
Kelima, factor budaya dipengaruhi oleh budaya hukum bangsa
Indonesia yang menganut konsep budaya hukum timur yang bersifat
communal rights khususnya berkaitan dengan hukum kekayaan
intelektual yang berarti kebersamaan. Hak milik seseorang merupakan
hak milik bersama masyarakat tersebut. Berbeda halnya dengan budaya
barat yang menganut budaya hukum individual rights dimana sangat
menghargai hak milik individu. Apabila hak milik individu digunakan
oleh orang lain wajib untuk meminta persetujuan atau ijin dari
pemiliknya. Perlindungan hukum terhadap penyelesaian sengketa
secara hukum, contoh kasus hukum terhadap klaim tari tradisional Bali
melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata telah mengirimkan surat
protes ke Pemerintah Malaysia atas klaim tari pendet Bali. Adapun
upaya yang dilakukan secara :
21
1/ Non Litigasi merupakan penyelesaian masalah hukum diluar proses
peradilan yang umumnya untuk kasus perdata saja karena lebih bersifat
privat. Bentuk-bentuk penyelesaiannya dapat dilakukan antara lain :
a. Negoisasi merupakan tindakan kompromi atau tawar menawar dua
orang atau lebih /pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan, serta tanpa melibatkan pihak ketiga. Pasal 33 ayat 1
Piagam PBB menempatkan negoisasi sebagai cara pertama dalam
menyelesaikan sengketa.
b. Mediasi merupakan penyelesaian sengketa seperti negosiasi namun
menggunakan pihak ketiga yang disebut mediator. Mediator
berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi dengan
memberikan saran sugestif dan bersifat obyektif. Mediator juga
harus bekerja secara professional dan mendapat sertifikat khusus.
2/ Litigasi merupakan penyelesaian masalah hukum melalui jalur proses
peradilan baik kasus perdata, maupun pidana. Dalam kasus klaim tari
tradisional bangsa Indonesia maka Indonesia dapat menyelesaikan
sengketa melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) adalah
sebuah traktat damai antar Negara-Negara ASEAN.
Dengan demikian, peranan tari pendet sangat penting dalam
kegiatan sosial dan keagamaan, karena itu tarian pendet masuk dalam
tarian suci. Tari pendet sering dipentaskan pada saat upacara-upacara
keagamaan (bebali) yang dipentaskan di halaman Pum (jeroan) atau
halaman tengah (jdba tengah) dan diiringi oleh gamelan berlaras pelog
22
atau gamelan gong kebyar. Dalam kajian antropologi hukum dapat
disimpulkan bahwa tarian pendet dapat diteliti dalam pendekatan
Holistik antropologi hukum yang mana dalam pendekatan melihat
unsur keagamaan, sehingga tarian pendet mengandung tarian Pura yang
berfungsi memuja para dewa-dewi yang berdiam di Pura selama
upacara odalan berlangsung (Kusmayati dkk, 2003 :78) . Di beberapa
tempat tari pendet sebagai tari wali yang sering dijumpai tampilannya
dihalaman Pura dan seiring perkembangan jaman beralih fungsi
menjadi tari balih-balihan (tarian hiburan/tarian ucapan selamat datang).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tari pendet
merupakan salah satu tarian yang didalamnya terdapat nilai-nilai
karakter. Nilai-nilai karakter7 tersebut memiliki peranan membentuk
karakter seseorang dengan Tuhan, diri sendiri, sesama dan kebangsaan
yang terkandung di dalam geraknya dan memiliki makna gerak
tersebut terdiri dari makna religious, toleransi, disiplin, kerja keras dan
komunikatif yang dapat memunculkan eksistensi nilai, moral dan
karakter bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Bali dan
keberadaannya dicita-citakan, diinginkan, dihayati dan dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali pada khususnya.
7 . Gusti Ayu Made Puspawati, Luh De Liska, 2019, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Ragam Gerak Tari Pendet, Jurnal Stiliska Volume 7 Nomer 2, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
23
c. Masyarakat Bali
Masyarakat Bali pada umumnya menerima kearifan lokal yang ada
dalam masyarakat sebagai pandangan hidup yang didukung kepercayaan
dan religius/agama yang terpancar jelas dalam tari pendet yang merupakan
simbol tari tradisional Bali yang sampai sekarang masih dilestarikan
dengan baik yakni tari pender. Tari pendet merupakan suatu hasil dari
kebudayaan fisik8 yang mengandung banyak nilai-nilai sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kearifan lokal /local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik
yang tertanam dan diikuti oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Menurut I Ketut Gobyah, dalam tulisannya yang berjudul “
Berpijak Pada Kearifan Lokal” dikatakan bahwa kearifan lokal adalah
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan
lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan Lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun kearifan lokal berasal
dari nilai-nilai agama atau religi pada umumnya disamping nilai-nilai yang
dipelajari manusia dari alam. Nilai-nilai tersebut diterima oleh masyarakat
dan dijadikan sebagai pandangan hidup. (Sartini, 2009 : 9-10).
8 . Gusti Ayu Made Puspitasari, nilai-nilai Pendidikan Dalam rangka gerak Tari Pendet, stlistika volume 7 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
24
Kearifan lokal dapat disimpulkan sebagai kepribadian, identitas
kultural masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat
istiadat dan aturan khusus yang telah teruji kemampuannya sehingga dapat
bertahan terus menerus yakni dalam sistem kepercayaan yang tertanam
sejak dahulu menjadikan upacara-upacara yang dilakukan sebagai suatu
kewajiban atau keharusan, apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat
meyakini hal tersebut dapat menimbulkan malapetaka bagi yang tidak
menjalankannya.
Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali sangat lekat dengan
pengaruh Agama Hindhu sebagai kearifan lokal, dijelaskan bahwa agama
hindhu berkembang di Bali. Masyarakat Bali mengenal dewa-dewa
setempat seperti dewa air dan dewa gunung, dibawah desa, mereka juga
memuja roh nenek moyang dan cikal bakal upacara penghormatan leluhur
disebut Pitra Yadnya. Pada waktu upacara, dewa/roh dipuja diturunkan
dari surga, alam swahloka, dan ditempatkan pada kuil-kuil untuk diberi
sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu misalnya : Kuningan, Galungan,
Saka, Saraswati. Pura berada dalam lingkungan kerajaan.
Budaya dan kearifan lokal masyarakat Bali menjadikan budaya
lokal sebagai sarana pengembangan nilai-nilai Pancasila yang menjadi
faktor penting dalam pengembangan budaya kewarganegaraan/ Civil
Culture yang terdiri dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang
merupakan bagian dari jati diri bangsa, karakter dan budaya nasional.
Pelestarian budaya menuntut peran aktif dari lembaga dan pemangku desa
25
yang bekerjasama dengan masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal.
Masyarakat Bali mengenal pembagian / kasta yang terdiri dari
brahmana, ksatria,waisya dan sudra. Sistem garis keturunan dan hubungan
kekerabatan orang Bali berpegang teguh pada prinsip patrilineal (purusa)
yang amat dipengaruhi oleh sistem keluarga luar patrilineal yang mereka
sebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang disebut wangsa/kasta.
Sehingga mereka terikat dalam perkawinan yang bersifat endogami dadaia
dan atau endogami wangsa.
Masyarakat Bali Hindhu terbagi dalam pelapisan sosial yang
dipengaruhi oleh sistem nilai yang tiga yakni utama, madya, nista. Kasta
Utama/ tertinggi adalah brahmana, Kasta Madya adalah golongan
Ksatriya, dan kasta Nista adalah golongan Waisya, dan kasta terendah
adalah Kasta Sudra.
Tata kehidupan masyarakat Bali khususnya di Kabupaten Gianyar terbagi
2 yaitu :
1. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku
dan dipengaruhi oleh adanya klen2 keluarga, seperti kelompok
kekerabatan disebut dedia/keturunan, pekurenan, kelompok kekerabatan
yang terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan dari anak-anak yang
berasal dari suatu keluarga inti.
26
2. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang
didasarkan atas kesatuan wilayah/teritorial administrasi /
perbekelan/kelurahan yang pada umumnya terpecah lagi menjadi kesatuan
sosial yang lebih yaitu banjar dan teritorial adat banjar mengatur hal-hal
yang bersifat keagamaan, adat dengan masyarakat lainnya.
2.2. Teori Religi dan Teori Simbol
Teori adalah alat/logika untuk menjelaskan permasalahan melalui
mekanisme deskripsi, definisi, dan kontrol : Konstruksi teori yang
melibatkan kajian atas konsep dan argumen-argumen, pendefinisian ulang,
mengkritik hasil kerja sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang dapat
digunakan untuk memahami permasalahan yang ada dalam masyarakat
Indonesia khususnya masyarakat Bali.
Teori Religi, dalam buku Sejarah Antropologi I yang ditulis oleh
Koentjaraningrat,9 Taylor mengatakan bahwa religi adalah suatu
kepercayaan atas keyakinan yang dimiliki oleh setiap manusia yang
membuat mereka melakukan kewajibannya yakni melakukan suatu upacara
untuk persembahan baik persembahan dalam bentuk sesaji, maupun tari-
tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada para Dewata/penguasa
alam, yang mereka yakini memiliki kekuatan ghaib. Suatu ritus/upacara
religi terdiri dari kombinasi/rangkaian satu, dua, atau beberapa bentuk
9 . Koetjaraningrat, 2007, Sejarah Teori Antropologi I, UI, Jakarta
27
tindakan, misalnya : berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama,
menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, dan
bersemedi.
Dalam teori religi sangat relevan menjelaskan awal mula yang
menyebabkan terbentuknya Tari Pendet untuk dipentaskan/dipertunjukkan
sebagai upacara persembahan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
diungkapkan Taylor, bahwa untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang
Maha Pencipta, manusia merasa wajib melakukan sesuatu, baik yang
berkaitan dengan perilaku, tindakan untuk melakukan persembahan baik
sesaji, maupun tarian-tarian agar mereka memperoleh kedamaian,
perlindungan dari Sang Maha Pencipta, yang mereka yakini turut berperan
serta dalam segala aspek kehidupan mereka. Hal ini sebagai upaya dalam
menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup mereka dengan alam
lingkungannya. Untuk itu mereka melakukan upacara persembahan kepada
penguasa alam sebagai rasa syukur atas perlindungan dan berkah yang telah
dinikmati dengan menghaturkan sesaji disertai sajian seni pertunjukkan di
setiap upacara persembahan tari pendet sebagai tari tradisional Bali.
Sebagai unsur kebudayaan, muncul dan berkembangnya Tari Pendet,
dapat memberikan nilai-nilai: use (guna)dapat digunakan sebagai
persembaha, function ( fungsi ), tarian ini dapat berfungsi melestarikan
budaya masyarakat setempat dan meaning ( arti / makna baru ) identitas
budaya masyarakat Kabupaten Gianyar Bali.
28
Y Sumandiyo Hendi dalam bukunya berjudul Seni Dalam Ritual
Agama, 2006, menyebutkan bahwa sebagian besar seni pertunjukkan di Bali
memiliki hubungan dengan upacara ritual keagamaan yang kedudukannya
erat dengan doa, pertunjukkan dan persembahan sebagaimana keberadaan
Tari Pendet yang ditampilkan dalam konteks upacara di Pura Kerajaan
sebagai tari persembahan kepada Dewata, sehingga tari pendet disakralkan
oleh masyarakat setempat.
I Made Bandem dan Frederick Eugene de Boer dalam bukunya yang
berjudul Kaja dan Kelod Balinese Dance inTransition, yang diterjemahkan
oleh I Made Marlowe Makaradhkaja Bandem, 2004 menyebutkan bahwa
Tari Pendet sebagai tari tradisional Bali merupakan tari sakral yang
dipentaskan/dipertunjukkan dalam hubungannya dengan ritual keagamaan,
dan tari-tarian sakral yang dimiliki masyarakat Bali.
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Makna yang terdapat
religi dalam gerakan nyalud, pengadeng, pekaad, dimana gerakan ini
menggambarkan atau menunjukkan bentuk sujud bakti terhadap Yang Maha
Kuasa. Dalam gerakan tarian seseorang bisa memahami makna dari nilai
karakter. Toleransi pada gerakan dimaknai sebagai bentuk toleransi, dimana
penari menunjukan keramahannya kepada setiap orang yang menyaksikan.
Salah satunya toleransi beragama, yang merupakan sikap saling
menghormati dan menghargai antar penganut agama lain seperti kita tidak
29
memaksakan orang lain untuk menganut agama kita serta tidak
mencela/menghina serta tidak menganggu umat agama lain untuk beribadah
sesuai agama atau kepercayaannya. Disiplin dimaknai bagian utama yang
harus ada dalam diri manusia dimana kedisiplinan mutlak adanya, dari
kedisiplinan akan membentuk pribadi yang kuat, tangguh, kokoh dan
dinamis serta bertanggungjawab terhadap kemajuan dirinya. Tarian Wali /
religious dance yaitu tarian tradisional yang dilakukan diantaranya Tari
Pendet adalah disebut tari wali. Tari Wali dilakukan di pura-pura dan tempat
yang hubungannya dengan upacara keagamaan dan pelaksana upacara pada
umumnya tidak membawakan lakon, salah satu contohnya adalah tarian
pendet. Tari pendet adalah tari pemujaan yang dilakukan di pura-pura,
sajian untuk para leluhur yang disebut bharata dan barhar yang
menggambarkan pribadi yang taat pada Tuhan, percaya pada diri sendiri,
peka sosial, dan saling menghormati pendapat serta cinta tanah air.
1. Tarian Sakral (Tari Wali )
Pada awalnya tarian pendet dibawakan secara berkelompok atau
berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang,
ditampilkan setelah tari rejang di halaman Pura dan biasanya
menghadap kearah suci (pelinggih) dimana Bhatara dan bhatari itu
bersemayam. Pendet dilakukan oleh para wanita dengan memakai
pakaian adat. Para penari membawa bokor yang berisi canang sari,
bunga-bunga dan kwangen. Sebagian diantara mereka juga membawa
alat-alat upacara sesajian dan persembahan seperti : sangku (wadah air
30
suci), kendi dan pasepan. Tari ini dilakukan secara massal dan dipimpin
oleh seorang pemangku ( pemimpin upacara ) dengan membawa sebuah
pasepan atau alat pedudusan yang diberi menyan dan dibakar. Pada
bagian akhir dari tariannya para penari meletakkan sajian-sajian, canang
sari, dan kwangen itu pada pelinggih dan ada juga yang menaburkan
bunga kepada Bhatari sebagai suatu penghormatan. Tarian ini diiringi
dengan gamelan gong. Ketika gamelan sudah melantunkan gending
papendetan, mereka yang ingin ngayah mendet, menari secara tulus
akan bergantian tampil di halaman suci Pura, bisa secara solo,
berpasangan atau juga masal. Para remaja yang energik sering dapat
disaksikan mamendet dengan menari sesungguh-sungguhnya semuanya
dilakukan dalam bingkai berkesenian sebagai sebuah persembahan yang
bermakna kegirangan menyongsong para dewa.
2. Tari Pendet Penyambutan (Tari Balih-Balihan/tari-tarian, hiburan
/tontonan )
Tarian ini dibawakan oleh beberapa orang remaja putri yang dalam diisi
penuh dengan bunga. Pada akhir pementasan, bunga yang berada di
dalam mangkuk perak itu nantinya akan ditaburkan oleh para penari
kepada penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya
ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau mulai suatu
pertunjukkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tarian pendet
merupakan tarian yang bersifat sakral dan dipentaskan di Pura pada saat
31
ritual keagamaan tertentu dan tarian pendet juga termasuk dalam tarian
wali yaitu tarian bali yang dipentaskan khusus untuk keperluan
keagamaan dan pemujaan yang bercerita tentang turunnya dewi-dewi
kahyangan ke bumi dan tari pendet telah lama mengakar dalam budaya
Bali.
Seni tari sebagai salah satu unsur kebudayaan , umumnya
tercipta secara konseptual berdasarkan sistem nilai budaya
masyarakatnya. Sistem nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup
dalam alam pikiran masyarakat setempat yang berkaitan erat dengan
hal-hal yang mereka anggap bernilai atau mereka anggap bermakna
positif dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena sistem nilai
budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi yang mereka gunakan
untuk menentukan kelakuannya. Sistem tata kelakuan manusia yang
lebih konkret di masyarakat adalah norma-norma yang berpedoman
kepada sistem nilai budaya masyarakat setempat.
Sebagaimana diungkapkan Frazer dalam Koentjaraningrat
(1998) bahwa dengan melakukan ritus dan upacara suatu kelompok
masyarakat akan merasa nyaman dan tenang. Mereka sangat takut
melanggar tradisi. Rasa takut bersalah terhadap leluhur/nenek moyang
itu sangatlah besar sehingga dalam kondisi sesulit apapun mereka akan
selalu berusaha melaksanakan tradisi yang sarat akan muatan mitos.
Teori Simbol merupakan suatu kerangka pikir yang menyangkut
tentang hal-hal yang terkait tentang tanda, symbol, dan makna pada
32
hasil karya manusia. Ada tiga komponen pokok (de Sausere) antara lain
:10
Pertama, adanya suatu tanda, pesan yang sering berbentuk teks,
peristiwa
Kedua, adanya sekelompok penerima pesan yang disampaikan pelaku
Ketiga, adanya pengantara antara kedua belah pihak, pesan penerima
dan penerima pesan.
Dengan mementaskan Tari Pendet masyarakat Bali berharap selalu
mendapat berkah dan keselamatan dari Sang Hyang Widhi yang
berstana di Puri Saren. Alam sakral dan alam profan tampaknya masih
berpengaruh pada masyarakat Bali. Hal ini tampak pada orientasi arah
kaja (utara) dan kelod (Selatan), kepercayaan kepada adanya wilayah
kekuasaan Dewa Siwa (Siwaloka) dalam jagat raya, kepercayaan
kepada wilayah lebih depan, lebih suci (tebenan) serta sikap saling
menghargai gunung dan laut sebagai bagian bumi yang dahsyat yang
memberikan landasan kuat untuk mempersembahkan tari pendet. Dalam
pendekatan holistik antropologi hukum dapat dijelaskan bahwa
pemujaan terhadap para Dewa Dewi yang berstana ditempat yang
dianggap suci atau Pura disebut dengan Upacara Dewa Yadnya, adalah
pemujaan serta persembahan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dan sinar sucinya yang disebut Dewa-Dewi. Pemujaan terhadap dewa
dewi dianggap berpengaruh dan mengatur gerak kehidupan di dunia.
10. Mariasa, Nengah I, 2019, Pendet “Berbaju” A Subjective Aaesthetic Image, Surabaya State University, unesa.ac.id. Surabaya
33
Sebagaimana halnya matahari menerangi serta mempengaruhi
kehidupan di dunia dengan sinarnya, demikian pula Ida Sang Hyang
Widhi Wasa menerangi serta mengatur gerak kehidupan di alam
semesta dengan kekuatan sinar-sinar sucinya (Muterini, 1988 : 1).
Sehingga dalam tradisi masyarakat Bali, tari pendet difungsikan sebagai
ritual upacara guna mendapatkan kesejahteraan dan dijauhkan dari
marabahaya. Para tokoh agama, tetua adat, mewajibkan agar selalu
mementaskan tari pendet guna mendapatkan kehidupan yang tentram
dan bahagia, juga percaya bahwa pementasan tari tersebut dapat
terhindar dari mara bahaya, yang juga sangat disakralkan karena tarian
tersebut dianggap mengandung nilai-nilai religius bagi masyarakat
setempat, yang juga dipentaskan di pura-pura tersebut yang
dipersembahkan kepada para Dewa-Dewi yang berstana di Pura
tersebut. Hal tersebut mengandung unsur keagamaan, maka jelasnya
bahwa peristiwa ritual itu dapat berfungsi sebagai pengikat solidaritas
sosial khususnya pemersatu sosial bagi masyarakat Bali dan juga
sebagai ungkapan rasa bahagia, syukur dan terimakasih kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
Sesuai dengan apa yang diuraikan diatas, Ralph Linton menyatakan
bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi terhadap unsur
kebudayaan atau tradisi masyarakat yang bersangkutan dengan
keseluruhan dari kebudayaan daerah tersebut. Sebagaimana Tari Pendet,
tarian yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat setempat akan
34
tampak memiliki fungsi ritual sebagai pemendakan Ida betara wau rauh
saking beji. Sehingga tari pendet berfungsi sebagai pemendakan,
pelindung, dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian dalam Tari Pendet tercermin nilai budaya
masyarakat yang religius, yang seakan menjadi satu kesatuan dalam
kehidupannya dan dilaksanakan selama 6 bulan sekali, dan menilai
tarian tersebut harus dilaksanakan secara terus menerus dan merupakan
bagian dari aktivitas kehidupan mereka. Sebagaimana diungkapkan
Ralph Linton bahwa suatu tradisi budaya yang dianggap sangat
bermanfaat dan mengandung nilai baik akan digunakan masyarakat
tersebut untuk pedoman dalam menata kehidupannya. Sebagaimana
pandangan masyarakat Bali tari pendet dianggap sangat bermanfaat dan
mengandung nilai baik untuk membersihkan Buana Agung dari
marabahaya grubug. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan cara
masyarakat setempat dalam memelihara Tari Pendet yang dianggap
memiliki nilai adiluhung tersebut, karena sesuai dengan nilai dan norma
pada masyarakat setempat. Karena masyarakat Bali berusaha untuk
mempertahankan tari tersebut dengan meneruskan nilai-nilai seni
budaya yang mereka miliki itu kepada para generasinya. Sistem nilai
budaya merupakan hal yang penting dalam sebuah kebudayaan, sebagai
corak dan identitas masyarakat yang bersangkutan.Sistem nilai yang
terkandung dalam kebudayaan Bali yang religius, berkaitan dengan
stimulasi dan motivasi wujud kesenian tari tradisional, yang memiliki
35
nilai religius, nilai pengabdian, dan merupakan kebanggaan masyarakat
setempat, karena dapat berfungsi sebagai sarana upacara ritual desa
tersebut. Selain memiliki nilai magis yang penyajiannya dikaitkan
dengan konsep pangider bhuwana11 (sembilan penjuru mata angin
dalam alam semesta). Sehingga tradisi ritual yang mereka lestarikan
tersebut terkait dengan keyakinan mereka terhadap Fungsi Tari Pendet
sebagai sarana pembersihan Buana Agung tempat dimana mereka
melangsungkan kehidupannya.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Hukum
Jenis penelitian hukum adalah gambaran keseluruhan cara mengkaji
masalah yang akan digunakan dalam suatu penelitian hukum. Penelitian ini
menggunakan kajian sosio-legal. Kajian sosio-legal bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan tentang bagaimana hubungan hukum dengan
masyarakat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum
dalam masyarakat. Kajian ini secara umum dilakukan dengan mengadakan
penelitian langsung di lapangan dengan tujuan untuk mengumpulkan data
yang objektif.
Penelitian sosio-legal adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
seperti perilaku, persepsi, motivasi dan lain sebagainya. Sifat yang tidak
11 . Bandem, I, 1996, Etnologi Tari Bali, Kanisius, Yogyakarta.
36
kaku memberi peluang kepada peneliti berinteraksi langsung dengan
informan, sehingga peneliti dapat menangkap dan merefleksi dengan cermat
apa yang diucapkan dan dilakukan oleh informan.
Dengan demikian, dalam pendekatan ini hukum tidak hanya dilihat
sebagai norma ( das sollen ) dari hukum tertulis maupun tidak tertulis,
hukum juga dilihat sebagai perilaku sosial, cultural, das sein.
3.2. Subjek, Objek, dan Lokasi Penelitian
Subjek utama penelitian ini adalah Masyarakat Gianyar Bali,
Pemerintah Provinsi Bali yang berlokasi di Kab. Gianyar, Sedangkan objek
dari penelitian ini adalah tarian tradisional Bali.
3.3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan merupakan penentu kerangka teoritis yang akan
dipakai. Selain itu, pendekatan juga berguna untuk menentukan kerangka
konsepsionil yang akan digunakan. Pendekatan penelitian dipakai untuk
menentukan dari aspek apa objek penelitian akan dikaji.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian dilakukan
dengan melakukan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan
dan regulasi, yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.12
Selanjutnya, penelitian juga dilakukan dengan mengkaji data-data pustaka
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 93.
37
dan referensi-referensi, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan regulasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dimungkinkan juga
dilakukan wawancara kepada pembentuk peraturan perundang-undangan
dan regulasi, yang dimaksudkan untuk menemukan landasan serta
penjelasan yang lebih mendalam terhadap produk hukum tersebut.
Peneliti yang menggunakan metode pendekatan perundang-undangan
( statute approach ) perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan. Pemahanam hierarki digunakan untuk mengetahui
konsistensi dan kesesuaian peraturan perundang-undangan, baik secara
vertikal maupun horisontal. Pemahaman mengenai asas-asas juga
diperlukan untuk memperkuat pemahaman hierarki. Seperti halnya
pemahaman mengenai asas lex superior derogat legi inferior dan asas lex
specialis derogat legi generali.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, difokuskan
pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini
tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya. Untuk
mendapatkan data yang akurat, maka diperlukan data primer dan data
sekunder mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian
ini. Berikut uraian mengenai data primer dan data sekunder dalam penelitian
ini:
38
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data.13 Data ini diperoleh dengan mengadakan wawancara
secara langsung dengan responden. Wawancara adalah proses tanya
jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua
orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan.
Sedangkan teknik wawancara yang digunakan adalah semi
terstruktur, dalam arti bahwa pertanyaan dipersiapkan terlebih dahulu,
sehingga arah wawancara tetap dapat dikendalikan dan tidak
menyimpang dari permasalahan pokok. Dalam teknik ini, unsur
kebebasan masih dipertahankan, sehingga memudahkan diperolehnya
data secara mendalam. Kebebasan disini dimaksudkan untuk
menghindarkan kekakuan dalam proses wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti secara
tidak langsung dari objeknya.14 Data sekunder ini berupa studi
kepustakaan, yang berguna untuk membangun kerangka teoritis dan
kerangka konsepsionil. Data sekunder ini meliputi:
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hlm. 12.
14 Ibid.
39
a. Bahan Hukum
1) Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang memiliki
kekuatan mengikat atau otoritas.15
2) Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan
tentang bahan hukum primer.16 Bahan hukum tersebut mencakup
rancangan peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundangan-
undangan, laporan penelitian hukum, hasil kajian mengenai
hukum baik dalam bentuk jurnal, skripsi, tesis, maupun desertasi.
3) Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk mengenai hal-hal yang ada dalam bahan hukum primer
dan sekunder.17 Bahan hukum tersebut dapat berasal dari kamus
atau ensiklopedia.
b. Bahan Non-Hukum
Data atau informasi yang diambil dari artikel maupun
rekaman berita di media masa. Selain itu, dapat pula dipakai data-
data dari instansi terkait. Data tersebut dapat berupa data yang belum
diolah, maupun data yang sudah diolah.
15 Ibid., hlm.52.
16 Ibid. 17 Ibid.
40
3.5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kulitatif. Metode analisa kualitatif adalah tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analitis. Hal ini berarti bahwa data yang
dihasilkan baik primer maupun sekunder secara utuh diteliti dan dipelajari.
Penelitian deskriptif-analitis ialah apa yang dinyatakan, tertulis maupun
lisan, oleh sumber informasi dan perilakunya yang nyata diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.18
3.6. Metode Penarikan Kesimpulan
Data yang telah dianalisa ditarik kesimpulannya dengan menggunakan
cara berpikir deduktif interpretatif. Analisa deduktif adalah pola pikir yang
berdasar pada suatu fakta bersifat umum, selanjutnya ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus.19 Deduktif interpretatif berarti bahwa dalam
menganalisa, dimungkinkan adanya pendapat, pandangan, atau tafsiran
terhadap data yang ditemukan. Hal tersebut bertujuan untuk mencari pola,
model, tema.
18 Ibid., hlm. 250.
19 Ibid., hlm. 5.
41
IV. PENUTUP
1. Saran
a. Masyarakat
Sebaiknya masyarakat Bali harus selalu memelihara unsur-unsur
budaya tradisional yang bersifat religius khususnya Tari Pendet sebagai
tarian tradisional Bali dalam rangka mempererat solidaritas sosial
masyarakat yang heterogen dan melindungi serta melestarikan tari
pendet yang melatari fenomena religius dan berimplikasi pada
pelestarian seni budaya dan menjaga identitas budaya tradisional
masyarakat Bali.
b. Akademisi
Menggali , memahami dan mengembangkan unsure-unsur seni budaya
tradisional Bali khususnya Tari Pendet, melalui penelitian-penelitian
lanjutan yang dapat berimplikasi pada perkembangan dan kelestarian
budaya Tari Pendet sebagai Tari Tradisional Bali.
2. Simpulan
a. Masyarakat
Masyarakat Bali pada umumnya menerima kearifan lokal yang ada
pada masyarakat sebagai pandangan hidup yang didukung kepercayaan
dan religius/agama yang terpancar jelas dalam tari pendet yang
merupakan simbol tari tradisional Bali, sehingga budaya dan kearifan
lokal masyarakat Bali menjadikan budaya lokal sebagai sarana
42
pengembangan nilai-nilai Pancasila yang sangat lekat dengan
kehidupan sosial masyarakat Bali dalam mempertahankan nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal. Dalam teori religi sangat relevan
menjelaskan awal mula yang menyebabkan terbentuknya tari pendet
untuk dipentaskan sebagai upacara persembahan dan berfungsi
melestarikan budaya masyarakat setempat dan arti/makna budaya
masyarakat Bali.
b. Akademisi
Dapat memberikan kemanfaatan terhadap hasil /output keluaran
riset/penelitian kedepannya bagi penelitian lanjutan yang akan
menghasilkan keluaran/outputnya adalah jurnal terindeksasi Scopus.
43
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ayu, Miranda Risang, dkk, 2014 Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, Alumni,
Bandung
Agus Sardjono, 2010, Hak Kekayaan Intelektual Dan Pengetahuan Tradisional,
PT.Alumni, Bandung
Arini, Ni Ketut, 2012, Teknik Tari Bali, Bali : Yayasan Tari Bali , Warini
Astono , Sigit, 2006, Apresiasi Seni (Seni Tari dan Seni Musik), Yudistira
Bandem, I, Made dan Frederick Eugene de Boer, 2004, Kaja dan Kelod Tarian Bali
dalam Transisi, terjemahan I Made Marlowe Makaradhawa Bandem,
Institute Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous , 2009, Perspektif Budaya Kumpulan
Tulisan Koentjoroningrat Memorial Lectures I-V/2004-2008,Rajawali Press,
Jakarta
Budi Agus Riswandi, M.Syamsudin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Christina Formaggia, Maria, 2000, Gambuh Drama Tari Bali (Wujud Seni
Pertunjukan Gambuh Desa Batuan dan pedungan Yayasan Tarian, Bali
Damian, E., 2012, Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, Alumni, Bandung.
Dibia, I W., 1999, Pandang Seni Pertunjukkan Bali, Masyarakat Seni Pertunjukkan
Indonesia, Bandung
----------------, 1996, Prinsip-prinsip Keindahan Tari Bali, Jurnal Seni Pertunjukkan
Indonesia, Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Yogyakarta
----------------, 2004, Pragina : Penari, actor, dan pelaku seni pertunjukan Bali, Sava
Media, Malang
----------------, 2013, Puspasari Seni Tari Bali, Institut Seni Indonesia, Denpasar, Bali
Djelantik, A..A.M, 1999, Estetika Sebuah Pengantar,Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia, Bandung.
44
Donder, I Ketut , 2005, Esensi Bunyi : Dalam Prosesi Ritual Hindu, Paramita,
Surabaya
Eliade, Mercea, 2002, Sakral dan Profan, terjemahan Nurwanto dari The Sacred and
the Profane, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta
Fauzi, Harry D, dan Yadi Mulyadi, 2016, Seni Budaya, Yrama Widya, Bandung
Hilman, Hadikusumah, 2010, Antropologi Hukum Indonesia, Cetakan 3, Alumni,
Bandung
Heddy Shri Ahimsa, 2002, Ketika Orang Jawa Nyeni, Pustaka, Yogyakarta
Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta
---------------------. 2007, Sejarah Teori Antropologi I, UI Press, Jakarta
---------------------,2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta :
Djambatan
Kusmayati, A.M., Hermien, 1990, Makna Tari dalam Upacara di Indonesia, ISI,
Yogyakarta
Nurseni, H.G, dan Muhammad A, 2013, Studi Budaya di Indonesia, CV. Pustaka
Setia, Bandung
Riswandi, B.A., & Syamsudin, M., 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Saidin, OK,2006, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property
Right), RajaGrafindo Persada, Jakarta
Sarjono, Agus, 2006, Membumikan HKI di Indonesia,Bandung, Nuansa Aulia
-------------------2010, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional,
Alumni, Bandung
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Kepel, Yogyakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tujuan Singkat, Rajagrafindo Persada,Jakarta
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Sumandiyo Hadi, Y, 2006, Seni Dalam Ritual Agama, Pustaka, Yogyakarta
45
Tedi Sutardi, 2007, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya, Setia Purna
Inves, Bandung
Jurnal
Absori, dan Achmad, 2017, “Transplantasi Nilai Moral dalam Budaya Untuk
Menuju Hukum Yang Berkeadilan (Perspektif Hukum Sistematik ke
Nonsistematik Charles Samford”, Prosiding Konferensi Nasional Ke-6
Asosiasi Program Pascasarjana PT Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA)
Alus, Christeward, 2014, Peran Lembaga Adat Dalam Pelestarian Kearifan Lokal
Suku Sahu di Desa Balisoan Kec.Sahu Kab. Halmahera Barat, Jurnal Acta
Diurna, III (4), hal.1-16.
Astini, Siluh Made & Usrek T.U., 2007 “Tari Pendet sebagai Tari Balih-Balihan (
Kajian Koreografi), Harmonia Vol. 8 No. 2
Ayu Made Puspawati, Gusti, 2019, Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Ragam
Gerak Tari Pendet, Stiliska Volume 7 Nomor 2, IKIP Bali
Awengi Retno Dumillah, 2015, Perlindungan Hukum Hak Cipta dan Tari
Tradisional, Univ. Jendral Sudirman, Purwokerto
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kemenkumham, 2013, Perlindungan
Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional Masyarakat Adat, Alumni, Bandung
Budhisantosa, S, 1993, Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Nasional,
Jurnal Kebudayaan, No. 4 Tahun II 1992/1993, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta
Dharmawan, N,. 2017, Protecting Traditional Balinese Weaving Trough Copyright
Law : Is it appropriate? Diponegoro Law Review, 2 (1), 57-84
Edi Sedyawati, 2003, Warisan Budaya Tak Benda Masalahnya Kini di Indonesia,
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia (PPKB-UI), Depok, Jakarta
Eta, Y., 2016, Rancangan Undang-Undang Pemgetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional Ditinjau Aspek Benefits Pasal 8 juncto Uncbd. Arena
Hukum, 7 (3). 458-471
Faza Novrizal,2009, Perlindungan Karya Cipta Seni Tari, Univ. Diponegoro
46
Hutabarat, S.M.D., 2017, Perkembangan dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional Ditinjau Dari Perspektif Hak Kekayaan
Intelektual, Jurnal Yuridis, 2 (2). 202-219
Kholis Roisah,2014, Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Sistem
Hukum Kekayaan Intelektual , MMH, Jilid 43 No. 3, Juli
Karmini, Ni Wayan, Ni Made Ruastiti, Gede Yoga Kharisma Pradana, 2019,
“Tumpek Uduh Ceremony as An Education Medium in The Preservation of
Natural Environment in Bali : A Case Studyin Canggu Village, Kuta Utara
District, Badung Regency, Bali, Indonesia,. Asian Life Science, 28 (1)
pp.115-139
Lodra, I Nyoman, 2012, Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Praktek HKI,
Uma Jurnal Seni Rupa, Vol.1 No. 1
Mariasa, I Nengah, Pendet “Berbaju” A Subjective Aesthetic Image, Advances in
Social Science, Education and Humanities Research, Volume 301, Seventh
International Conference on Languages and Arts (ICLA 2018), Atlantis
Press, Jakarta
Mulyana, Deddy, 2009, Komunikasi Antar Budaya : Paduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya, Rosdakarya, Bandung
Melianti. Y, Ivanna, J. & Perangin-angin, R.B.B., 2016, Pengaturan Flokfore Secara
Sui Generis Dalam Undang-Undang Tersendiri, Masalah-Masalah Hukum,
45 (1).75-84
Noegroho Amien Soetiarto, 2000, Hak atas Kekayaan Intelektual Tradisional dalam
Konteks dalam konteks Otonomi Daerah, Mimbar Hukum
Pradana, Gede Yoga Kharisma and Pantiasa, I Wayan, 2018, Makotek is Tourist
Attraction In Munggu Village Bali, The International Conference On
Tourism and Tourist Destination (Proceeding), Atlantis Press, Jakarta,
pp.10-18
Pradana, Gede Yoga Kharisma and Parwati, Komang Shanty Muni, 2017,” Local
Wisdom Based Spa Tourism In Ubud Villag, Indonesia, Russian
Agricultural and Socio-Economic Sciences, Vol. 8 (68), pp.188-196
Pradana, Gede Yoga Kharisma, I Nyoman Suarka, Anak Agung, Bagus Wirawan, I
Nyoman Dana, 2016, “Religious Ideology of The Tradition of Makotek in
The Era of Globalization, Electronic Journal of Cultural Studies, 9 (1), pp.6-
10
47
Pradana, GedeYoga Kharisma, 2018, The Meaning of Makotek Tradition at the
Munggu Village On The Global Era” International Bali Hinduism,
Tradition and Intereligious Studies (Proceeding), UNHI Press, Denpasar
Bali.
Sagung, Ratih Kusumasari,AA., Ni Made Ruastiti, Yulinis, Tari Pendet Memendak
di Desa Kerambitan, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali.,
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia, Denpasar Bali.
Sinaga, Riana Margaretha, 2014, Revitalisasi Tradisi : Strategi Mengubah Stigma
Kajian Piil Pesenggiri Dalam Budaya Lampung, Desertasi Program Studi
Antropologi PascaSarjana UI, Jakarta
Sutrisno, Mudji (ed) , 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta
Senewe, Emma Valentina Teresha, 2015, Efektivitas Pengaturan Hak Cipta Dalam
Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah, Jurnal LPPM Bidang
EkoSosBudKum, Vol.2 Nomor 2
Yudabakti, I Made & Wayan Watra, Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali,
Paramita, Surabaya
Tesis
Indriaty , J., 2015, Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Oleh Negara
Sebagai Pemegang Hak Cipta, Kekayaan Intelektual Komunal, Masyarakat Sulawesi
Tenggara, Dikaitkan Hak Ekonomi Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta , Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Bandung
Kari, I Wayan, 1985, Tari Pendet Memendak Di Pura Puseh Desa Ulakan,
Kabupaten KarangAsem, Universitas Hindhu Indonesia, Bali
Suhardika, Ida Bagus D., 2010, Kearifan Lokal Pendidikan Keagamaan Masyarakat
dan Implementasinya pada Pasraman Praja Winangun di Kecamatan Kediri,
Kabupaten Tabanan, Universitas Hindu Indonesia, Bali.
Ruastiti, Ni Made. 2008, Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru Dalam
Perspektif Kajian Budaya, Universitas Udayana /Unud, Denpasar
Ruastiti, Ni Made, Gede Yoga Kharisma Pradana, I Gusti Ketut Purnaya, Komang
Shanty Muni Parwati, 2018, “ The Royal Dinner Party Puri Anyar Kerambitan
Tabanan : A Suistanable Cultural Tourism Attraction Based On Local Community “.
48
The Proceeding of International Conference on Sosial Science, Nusa Dua : Atlantis
Press, pp. 1448- 1459
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 tentang Kebudayaan Nasional
Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Ekspresi Budaya Tradisional
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan
Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri dan Mentri Kebudayaan dan Pariwisata No.
42 Tahun 2009 dan 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
Berita :
Agus Supono, 2012, Pendet, Tari Tradisional dari Bali, Radio Rebuplik Indonesia,
Jakarta
Ikrar Nusa Bakti, 2009, Pendet dan Rasa Sayang, Aipi wordpress com