Post on 17-Mar-2023
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
165
SAPI, ANTARA HEWAN SUCI DAN KONSUMSI! (Keberadaan hewan sapi dalam perspektif ajaran saiva siddhanta, veda manu
samhita, lontar devi bhagavatam, pantheisme dan teori ekologi agama)
Oleh: Made Ferry Kurniawan, S.Pd
(Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali)
ABSTRACT
The majority of Hindus in Bali as agents who implemented Saiva Siddhanta’s teachings , of course they are very aware of the various attributes and everything that is inherent and related to Shiva Lord. One of the most iconic when mentioning the name of Lord Shiva is his vehicle or mount named Lembu Nandhini (Which is correlated with the cow). For the Hindu community in Bali the existence of cows is something is somewhat confusing and ambivalent. Its said because the existence of the animal is in two different sides, namely between sacred animal or being animals that are allowed consumed. This kind of question is something that should be discussed. First, from the theological point of view the existence of cattle for Hindus (especially for Hindus in Bali) these ruminants are animals that have symbolic meaning as non profane animals. This means that cows are a symbol of the purity and seriousness of the devotees in maintaining the spirit and greatness of Lord Shiva. Second, from a philosophical point of view the fear of consuming processed beef is because Hinduism recognizes the concept of pantheism. Pantheism is a philosophical conception that sees the divine is everything. The universe in filled with the divine and all power both naturaland among humans are manifestations of the divine self. Trird, from a sociological teory point of view, especially in environmental sociology, there is a theory called culture ecology theory. In this context, cows are considered as sacred and sacred animals, by environmental sociology theory as functional animals. So to maintain the population and its functionality, idioms are made so that the number of cows is maintained. To clarify and detail the theory above, a quite interesting idea was stated by Marvin Harris (1996), when he developed a study of the ecological theory of religion. According to him, religious doctrines and beliefs are influenced by the environment. This view is based on Harris’ observations on Hinduism in India, which considers cows to be sacred. Keywords : cows, Hinduism, Saiva Siddhanta
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
166
PENDAHULUAN
Agama Hindu atau disebut juga dengan agama Brahma dalam sudut pandang
historis adalah agama tertua dan memiliki perjalanan spiritual-sosial yang sangat
panjang. Agama yang sangat terkenal dengan ajaran sanathana (ajaran
absolut/deterministik) dan ajaran nuthana (ajaran tentatif/pluralistik) ini mewariskan
berbagai macam paham ketuhanan, mulai dari paham ketuhanan tunggal
(monotheisme), paham ketuhanan non-tunggal (politheisme), paham ketuhanan
dominan (henotheisme) dan paham ketuhanan yang terinfiltrasi ke semua ciptaan
(pantheisme). Warisan teologis-filosofis untuk mengenal Tuhan dalam ajaran agama
Hindu sampai saat ini masih ditemui serta diimplementasikan dalam berbagai macam
wujud ritus keagamaan oleh seluruh umat Hindu di seluruh dunia. Ajaran keimanan
tersebut masih eksis dan intensif dilakukan oleh mereka yang mengimani hal tersebut
(Ferry Kurniawan, 2020).
Fakta historis mengenai penyebaran agama Hindu bisa dilacak dari etnologi
atau ilmu bangsa-bangsa. Dalam disiplin ilmu ini, turunan manusia dibagi menjadi 3
(tiga) rumpun, yaitu: rumpun Caucassoids (Kaukasoid), rumpun Mongolids (Mongol)
dan rumpun Negroids (Negro). Rumpun yang pertama ini dikatakan berasal dari
dataran tinggi Kaukasus yang terletak diantara Laut Hitam dengan Laut Kaspi.
Mereka itu diidentikkan dengan turunan Japets Putra Noah, yakni Putra Nabi Nuh dan
bisa juga dipanggil dengan turunan Arya (Sou’yb, 1983 : 26).
Golongan-golongan bangsa yang memencar dan menyebar ke utara itu dikenal
dengan sebutan Bangsa Indo-Eropa dan golongan-golongan bangsa yang memencar
dan menyebar ke selatan dikenal dengan sebutan Bangsa Indo-Arya. Mereka ini
menetap di tanah Iran dalam kurun waktu yang relatif lama dan melahirkan agama
Zarathustra. Sebagian diantara mereka melanjutkan perjalanan ke arah selatan
memasuki benua India dengan melintasi celah Khyber (wilayah Afghanistan saat ini)
dan celah Bolan (wilayah Baluchistan saat ini) (Sou’yb, 1983 : 26).
Golongan-golongan bangsa pribumi yang tidak mau ditaklukkan dan tunduk
kepada Bangsa Arya sebagai bangsa pendatang yakni Suku Dravida, suku ini
kemudian menarik dirinya ke wilayah selatan anak benua India. Ketika golongan-
golongan Bangsa Arya makin berkembang, secara sporadis mereka melakukan
penyusuran serta perjalanan ke wilayah Sungai Gangga dan Sungai Indus, kemudian
memasuki daerah-daerah makmur sepanjang pesisir selatan India, karena invasi
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
167
Bangsa Arya yang begitu masif, maka Suku Dravida tersingkir ke daerah pedalaman
memasuki dataran tinggi Vyndhia dan dataran tinggi Andhra. Perjalanan panjang
Bangsa Arya yang dominan, serta resesifnya Suku Dravida sebagai suku asli India,
maka di lingkungan Indo-Arya pada anak benua India itulah lahir agama Brahma
(Sou’yb, 1983 : 26).
Agama Hindu atau agama Brahma yang lahir di India kemudian menyebar ke
seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Penganut Hindu terbesar di Indonesia
terletak di Provinsi Bali yakni berjumlah 3. 247. 283 jiwa (Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, Update Data Terakhir Tanggal 15 Februari 2018). Ajaran agama Hindu
yang ada di Bali adalah ajaran fusi (penggabungan) dari berbagai macam sampradaya
atau sekte yang lahir di India. Sampradaya atau sekte tersebut antara lain Brahma,
Waisnawa (Wisnu), Siwa, Indra, Durga/Bairawa, dll. Sampradaya atau sekte yang
berkembang di Bali pada saat itu pernah mengalami proses fluktuasi serta dinamisasi
dalam perjalanannya menyebarkan ajaran-ajaran ketuhanan, bahkan oleh bhakta
masing-masing sampradaya atau sekte tersebut pernah terjadi konflik, karena masing-
masing dari mereka mengklaim bahwa Tuhan yang mereka puja lebih unggul dari
Tuhan yang dipuja oleh sampradaya atau sekte lain. Karena terjadi konflik
kepentingan diantara penganut ajaran kepercayaan tersebut, maka raja Bali pada saat
itu bernama Raja Marakatapangkaja memohon bantuan kepada purohita karismatik
dari tanah Jawa bernama Mpu Kuturan. Oleh Mpu Kuturan semua sampradaya atau
sekte yang berkembang di Bali pada saat itu dipanggil dan dikumpulkan di Pura
Samuan Tiga yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten
Gianyar. Di Pura Samuan Tiga inilah Mpu Kuturan memberikan penjelasan dan
berhasil mendamaikan para bhakta aliran kepercayaan tersebut. Dari proses paruman
(pertemuan di tempat suci) tersebut, Mpu Kuturan juga berhasil meyakinkan serta
membuat sebuah konsensus dengan semua orang yang hadir pada saat itu, bahwa
sampradaya atau sekte yang berkembang di Bali akan dilakukan fusi (penggabungan)
dan melahirkan 3 (tiga) sampradaya atau sekte, yakni sampradaya Brahma,
sampradaya Waisnawa (Wisnu) dan sampradaya Siwa. Tiga dewa yang dimuliakan
tersebut dikenal dengan istilah Tri Murti, terdiri dari Dewa Brahma (utpetti/pencipta
alam semesta), Dewa Wisnu (sthiti/pemelihara) dan Dewa Siwa (pralina/pelebur).
Mpu Kuturan juga membuat konsepsi peribadahan yang dikenal dengan istilah Tri
Kahyangan Desa untuk memuja serta men-sthana-kan ketiga dewa tersebut, yang
terdiri dari Pura Baleagung/Pura Desa tempat men-sthana-kan Dewa Brahma, Pura
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
168
Puseh tempat men-sthana-kan Dewa Wisnu dan Pura Dalem/Pura Dasar tempat men-
sthana-kan Dewa Siwa. Sampai saat ini, warisan Mpu Kuturan masih tetap eksis di
setiap desa adat yang ada di Bali.
Ajaran sampradaya atau sekte yang sudah dikonsensuskan tersebut
terinternalisasi dengan sangat baik di dalam setiap insan Hindu yang ada di Bali.
Namun, dari ketiga sampradaya atau sekte yang sudah ditetapkan tersebut, ajaran
Saiva Siddhanta adalah ajaran yang dominan diterapkan oleh masyarakat Bali (tanpa
memarginalkan sampradaya Brahma dan sampradaya Waisnawa/Wisnu). Sumber
ajaran Saiva Siddhanta di Bali bersumber dari ajaran Weda dan sumber suci dalam
naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Siwa Sasana ada
dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada
empat, yakni: Weda, Tattwa, Etika dan Upakara. Kelompok Weda, diantaranya: Weda
Parikrama, Weda Sanggraha, Surya Sewana dan Siwa Pakarana. Kelompok Tattwa,
diantaranya: Bhuwana Kosa, Bhuwana Sang Kasepa, Wrhaspati Tattwa, dll.
Kelompok Etika, diantaranya: Siwa Sasana, Rsi Sasana, Wrti Sasana, Putra Sasana
dan Slokantara. Kemudian, kelompok Upacara diantaranya: (a) Dewa Yadnya, seperti
Catur Wedhya, Wrhaspatikalpa, Dewatattwa, dll; (b) Pitra Yadnya, seperti
Yamatattwa, Empu Lutuk Aben, Kramaning Atiwatiwa; (c) Rsi Yadnya, seperti
Kramaning Madhiksa, Yajna Samskara, dll; (d) Manusa Yadnya, seperti Dharma
Kahuripan, Eka Ratama, Puja Kalapati, dll; (e) Bhuta Yadnya, seperti Eka Dasa
Rudra, Panca Wali Krama, Puja Palipali, dll (Subagiasta, 2006 : 32).
Sedangkan, naskah tradisional sebagai sumber ajaran Saiva Siddhanta yang
dikoleksi dalam Pustaka Guna Dharma, antara lain: Gagelaran Mantra, Widhi Sastra,
Sang Hyang Siwa Sasana, Siwa Yadnya, Sewagati, Bhuwana Purana, Siwa Yadnya
Krama, Babad Brahmana Siwa Buddha, Puja Siwa Sogatha, Puja Buddha, Siwa
Banda Sakoti, Siwa Tattwa Purana, dll. Bali sebagai penganut agama Hindu dengan
dominasi ajaran sampradaya Saiva Siddhanta tentunya menancapkan berbagai macam
ajaran. Salah satu ajaran yang terdapat dalam sampradaya Saiva Siddhanta tertuang
dalam Kitab Sang Hyang Mahajnana. Kitab ini adalah sumber ajaran kelepasan yang
bersifat siwaistis yakni memuliakan keberadaan Dewa Siwa atau Hyang Siwa. Naskah
ini terdiri atas 87 (delapan puluh tujuh sloka) dalam Bahasa Sansekerta, kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi. Inti ajaran dalam Kitab Sang Hyang
Mahajnana yaitu bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang
Siwa. Ada 3 (tiga) komponen utama yang dibicarakan yakni purusa (unsur
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
169
kesadaran), pradhana (unsur ketidaksadaran) dan atma (unsur kebijaksanaan)
(Subagiasta, 2006 : 32).
Secara eksplisit, ajaran dari Kitab Sang Hyang Mahajnana terjabarkan dalam
uraian sloka berikut:
Untuk mencapai alam itu, maka seseorang (yogi) hendaknya
mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya, ke-lobha-annya,
keirihatiannya kepada Bhatara Brahma yang akan dibakar dengan Sang Hyang
Ongkara, sehingga terbebas dari segala mala. Kemudian mengadakan
pemusatan pikiran yang tiada henti-hentinya kepada Bhatara Siwa melalui
swalingga atau atmalingga dan perwujudan lingga yang ada di luar diri
dengan sarana mantra “Ong Sa Ba Ta A I” atau “ Ong Namah Siwa Ya”. Pada
saat kematiannya akan mencapai kepada-Nya (Tim Penyusun, 1999 : 17).
Mayoritas umat Hindu di Bali sebagai agen yang mengimplementasikan ajaran
Saiva Siddhanta, tentunya sangat mengetahui berbagai macam atribut serta segala
sesuatu yang melekat dan berhubungan dengan Dewa Siwa. Salah satu hal yang
sangat ikonik ketika menyebut nama Dewa Siwa adalah wahana atau tunggangan
beliau yang bernama Lembu Nandhini (dikorelasikan dengan hewan sapi). Dengan
kata lain, wahana Dewa Siwa yang berupa Lembu Nandhini (untuk selanjutnya
dikorelasikan dengan hewan sapi), tentunya hewan yang satu ini sangat dimuliakan
keberadaannya. Bagi masyarakat pemeluk ajaran Hindu di Bali tentunya keberadaan
hewan sapi menjadi sesuatu yang agak rancu, membingungkan dan sangat ambivalen.
Dikatakan demikian karena keberadaan hewan ini berada dalam dua sisi yang
berbeda, yakni antara hewan suci (untuk selanjutnya diperuntukkan keperluan
upacara, khususnya upacara yang bersifat naimitika karma dan disucikan
keberadaanya) atau menjadi hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Tentunya
pertanyaan semacam ini menjadi sesuatu yang harus didiskursuskan (Ferry
Kurniawan, 2020).
Melihat fenomena ambivalen di atas, membuat kita semakin gelisah dan
menstimulasi kita untuk sesegera mungkin mencari jawaban serta menarik konklusi,
apakah hewan sapi memang bermakna teologi (difungsikan untuk upacara agama dan
dijaga kesuciannya dengan tidak membunuh sapi sebagai bahan komoditi serta
konsumi) atau hewan sapi boleh dikonsumsi oleh penganut Hindu di Bali yang Saiva
Siddhantais. Pertanyaan tersebutlah yang melatarbelakangi ditulisnya risalah ini agar
dari pertanyaan yang diajukan itu kita mampu menyusun pernyataan obyektif serta
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
170
nonetis. Risalah ini berusaha untuk menghadirkan pernyataan dihadapan sidang
pembaca dengan mempergunakan 3 (tiga) jenis sudut pandang yakni sudut pandang
teologi, filosofi dan sosiologi. Dihadirkannya 3 (tiga) perspektif ini bertujuan untuk
memberikan rekomendasi jawaban kepada pembaca, selain itu 3 (tiga) sudut pandang
ini berguna untuk menghadirkan elaborasi yang bersifat holistik, mengajak pembaca
untuk obyektif dalam melihat sesuatu dan tidak berusaha untuk “menggugat”
keimanan setiap orang yang mengamininya.
METODOLOGI PENULISAN
Penulisan kajian ini menggunakan pendekatan tekstual dengan mengumpulkan
berbagai literatur yang relevan, sehingga penulis mendapatkan berbagai sudut
pandang, sekaligus membantu penulis melakukan elaborasi terhadap fokus masalah
yang sedang ditulis. Dari berbagai sudut pandang yang didapatkan dari pembacaan
literatur tersebut, terdapat berbagai horizon pengetahuan yang mendukung konstruksi
pikir dalam kajian ini.
PEMBAHASAN
Pertama, dalam sudut pandang teologis, keberadaan hewan sapi bagi pemeluk
Hindu (khususnya pemeluk Hindu yang ada di Bali), hewan pemamah biak ini adalah
hewan yang bermakna simbolik sebagai hewan non-profan. Artinya, sapi menjadi
simbol kesucian dan kesungguhan para bhakta didalam menjaga marwah serta
keagungan Dewa Siwa (Ferry Kurniawan, 2020). Jika dikaitkan dengan sastra suci
Weda sebagai sumber ajaran suci umat Hindu, pemuliaan hewan sapi tertuang di
dalam Kitab Weda Manu Samhita, dalam kitab ini disebutkan bahwa:
Dosa terbesar adalah membunuh seorang brahmana, dosa membunuh janin
dan membunuh sapi sama beratnya dengan dosa membunuh brahmana.
Untaian sloka suci ini menjadi legal standing bahwa setiap umat Hindu dalam
memuliakan Dewa Siwa, tidak boleh sama sekali menyakiti atau membunuh sapi,
karena sapi adalah hewan yang secara maknawiah menjadi kesayangan dari Dewa
Siwa. Maka dari pada itu, siapapun yang menyakiti atau bahkan sampai membunuh
hewan ini akan ditimpa dosa yang sangat besar dan sulit untuk diampuni.
Penganut ajaran agama Hindu yang meyakini sebuah konsep bahwa puncak
dari kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki adalah mencapai moksha (proses
berhentinya kelahiran ke dunia fana/materi dan berhentinya siklus penderitaan) serta
berusaha untuk mencapai sunyatta (sebuah keadaan yang hampa, kosong, tidak
adanya ikatan keduniawian, lepasnya belenggu maya/kepalsuan, serta meluruhnya
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
171
ikatan indria). Maka untuk mencapai keadaan ini, sedini mungkin manusia Hindu
meminimalisir potensi dosa yang kemungkinan besar mereka perbuat selama hidup di
alam materi. Salah satu jalan yang ditempuh agar terhindar dari beratnya terpaan dosa
adalah dengan tidak menyakiti atau membunuh hewan sapi, karena dengan menjaga
hewan ini dan hanya diperuntukkan untuk keperluan yadnya, Dewa Siwa akan
melapangkan jalan dan memberikan anugerah bagi kehidupan umat manusia.
Moksha dan sunyatta yang menjadi tujuan akhir dari seluruh umat Hindu
tentunya harus dicapai dengan kematangan fisik, psikis dan rohani yang kuat. Dengan
memusatkan pikiran hanya kepada Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi (untuk
selanjutnya dikenal dengan sebutan Mahadewa), maka perjalanan spiritual setiap
insan Hindu akan semakin matang untuk mencapai pelepasan. Pelepasan dari berbagai
ikatan materi sebagai sumber penderitaan harus ditempuh dengan jalan spiritual. Ciri
khas dari mereka yang menempuh jalan spiritual adalah mereka yang mampu
mengendalikan kama (keinginan) untuk tidak mengonsumi berbagai macam olahan
berdarah dan berdaging. Makanan yang berdarah dan berdaging adalah pantangan
bagi setiap insan yang menempuh jalan rohani sebagai jalan hidup dengan harapan
mempercepat mencapai moksha dan sunyatta. Salah satu olahan yang pantang untuk
dikonsumsi adalah sapi, hal ini dikarenakan sapi adalah olahan yang berdarah dan
berdaging. Dalam keyakinan Hindu, makanan berdarah dan berdaging adalah
makanan yang mampu membangkitkan gairah, emosi dan nafsu, sehingga jenis
makanan ini tidak direkomendasikan bagi penekun spiritual. Penekun spiritual yang
memiliki tekad bulat mencapai pelepasan adalah mereka yang berusaha melepas dan
melebur segala macam gairah, emosi dan nafsu. Jika mereka mengonsumi sapi yang
merupakan olahan makanan berdarah dan berdaging, justru proses untuk melepaskan
segala macam ikatan keduniawian akan terhambat, karena mereka akan terperangkap
dalam jerat kemarahan dan kegairahan. Kemarahan dan kegairahan adalah sumber
dari dosa dan kekotoran batin (kilesa). Ketidakmampuan melepaskan ikatan
keduniawian tersebut secara otomatis juga akan menghambat mereka mencapai tujuan
rohani tertinggi (Ferry Kurniawan, 2020).
Hewan sapi sebagai olahan makanan berdarah dan berdaging, yang secara
rohani mampu membangkitkan amarah dan gairah serta tidak direkomendasikan untuk
dikonsumsi karena diyakini mampu menghambat proses pelepasan rohani,
dilegitimasi dalam Kitab Devi Bhagawatam 3 : 8 : 4 – 11, yang menyebutkan bahwa:
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
172
Warna kualitas sattvam adalah putih; itu membuat seseorang selalu menyukai
keagamaan dan memiliki keyakinan terhadap tujuan yang baik dan membuang
kecenderungan seseorang terhadap hal-hal buruk.
Rajas berwarna merah; itu adalah sumber dari segala masalah; tidak ada
keraguan dalam hal ini. Orang cerdas harus mengerti bahwa rajas sudah pasti
muncul di dalam dirinya ketika pikirannya dipenuhi dengan kebencian,
permusuhan, suka bertengkar, pembodohan, kegelisahan, sulit tidur, egoisme,
kesia-siaan dan kesombongan.
Kualitas tamas adalah warna hitam. Dari tamas muncul kemalasan,
ketidaktahuan, tidur, kemiskinan, ketakutan, kesal, ketidaktulusan, kemarahan,
penyimpangan intelektual, atheisme dan mencari-cari kesalahan orang lain.
Tiga sifat inilah yang membelenggu manusia, sehingga mereka berada dalam
keadaan terkondisi dan sakit (lupa akan kedudukannya), kita harus melampaui
3 (tiga) guna ini sampai pada kedudukan suddha-sattva (kebaikan murni) dan
brahma-bhuta.
Jika ditelaah secara tekstual dari untaian sloka suci Kitab Devi Bhagawatam di
atas, maka olahan daging sapi termasuk ke dalam rajasika bhoga. Jenis makanan ini
mampu membuat siapapun yang memakannya menanamkan sifat kebencian,
permusuhan, suka bertengkar, pembodohan, kegelisahan, sulit tidur, egoisme, kesia-
siaan dan kesombongan. Jika sifat-sifat ini tertanam dalam diri manusia, maka mereka
tidak akan mampu mencapai proses akhir dari pengalaman rohani yang hakiki, yakni
moksha dan sunyatta. Maka dari pada itu, orang-orang suci atau penekun spiritual
secara konsisten tidak bersentuhan dengan berbagai macam olahan daging sapi.
Dengan tidak mengonsumsi olahan daging sapi, diharapkan sifat-sifat sattvam
tertanam didalam diri setiap insan. Secara general, inilah alasan teologis kenapa
hewan sapi tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.
Kedua, dalam sudut pandang filosofis, ketakutan untuk mengonsumsi olahan
daging sapi dikarenakan ajaran agama Hindu mengenal konsepsi pantheisme.
Pantheisme adalah konsepsi filosofis yang melihat Yang Ilahi bersemayam dalam
segala-galanya. Alam raya dipenuhi dengan Yang Ilahi dan semua kekuatan, baik
alami maupun diantara manusia, merupakan pernyataan diri Yang Ilahi. Jadi,
pantheisme sangat menegaskan imanensi Yang Ilahi (Suseno, 2006 : 195).
Ada dua perbedaan tajam antara pantheisme dan paham Tuhan yang
transenden. Pertama, menurut pantheisme dunia tidak dapat dipikirkan tanpa Yang
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
173
Ilahi, namun Yang Ilahi pun tidak dapat dipikirkan tanpa dunia. Sedangkan, menurut
paham transendensi Yang Ilahi kalimat pertama adalah betul, tetapi yang kedua tidak.
Bahwa Yang Ilahi itu transenden berarti bahwa Yang Ilahi bisa ada dan bisa
dipikirkan tanpa dunia. Yang kedua, implikasi anggapan pantheisme bahwa Yang
Ilahi dan dunia saling meresapi adalah bahwa Yang Ilahi tidak dipahami secara
personal. Yang Ilahi merupakan substansi, tetapi bukan persona atau subyek. Hal itu
diuraikan paling jernih oleh Spinoza (filosof besar Yahudi yang hidup di Amsterdam
1632-1677) yang monismenya diringkas dalam kata deus sive natura (Allah atau
alam, maksudnya dua-duanya sama artinya, terserah paham mana yang mau dipakai.
Dengan demikian, pantheisme menunjukkan kepekaan tinggi terhadap kehadiran
Yang Ilahi dalam dunia. Pengalaman-pengalaman yang disini dirintis sebagai “jalan-
jalan ke Yang Ilahi” dalam pantheisme dihayati secara intensif sebagai imanensi Yang
Ilahi dalam seluruh alam raya (Suseno, 2006 : 195).
Jika dijelaskan secara singkat korelasi antara aliran filsafat pantheisme dengan
keberadaan hewan sapi adalah aliran filsafat pantheisme menganggap semua yang ada
di jagat raya mulai dari manusia, hewan dan tumbuhan adalah perwujudan fisik dari
Tuhan. Sehingga, ketika kita berniat atau bahkan sampai membunuh manusia, hewan
atau tumbuhan sama dengan kita membunuh Tuhan sebagai kekuatan causa prima
(sumber segala penyebab). Begitu juga dengan keberadaan hewan sapi, terlepas di
dalam tubuh sapi melekat berbagai macam dogma dan keyakinan teologis sebagai
hewan yang suci, dimuliakan dan representasi dari wahana Dewa Siwa, membunuh
hewan sapi untuk keperluan konsumsi sama dengan bentuk kekejaman manusia
terhadap wujud abstrak Tuhan di dunia fisik ini. Karena Tuhan sudah membagi diri-
Nya untuk bersemayam di setiap tubuh ciptaan-Nya.
Ketiga, dalam sudut pandang sosiologis, khususnya dalam Sosiologi
Lingkungan ada sebuah teori bernama teori ekologi budaya. Teori ekologi budaya
diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada permulaan dasawarsa 1930-an. Inti dari
teori ini adalah lingkungan dan budaya tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupakan
hasil campuran (mixed product) yang berproses lewat dialektika. Dengan kalimat lain,
proses-proses ekologi memiliki hukum timbal balik. Budaya dan lingkungan bukan
entitas yang masing-masing berdiri sendiri atau bukan barang jadi yang bersifat statis
(Steward dalam Susilo, 2012 : 47). Keduanya memiliki peran besar dan saling
mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh
atas budaya dan perilaku manusia (sebagaimana teori dominasi lingkungan), tetapi
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
174
pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan
(sebagaimana dijelaskan dalam teori kemungkinan) (Steward dalam Susilo, 2012 :
47).
Dalam konteks ini, sapi yang dianggap sebagai hewan suci dan sakral oleh
teori Sosiologi Lingkungan dianggap sebagai hewan yang fungsional. Sehingga, untuk
menjaga populasi dan keberfungsionalannya itulah dibuatkan idiom agar jumlah sapi
tetap terjaga. Untuk memperjelas dan merinci teori di atas, gagasan yang cukup
menarik dinyatakan oleh Marvin Harris (1996) ketika ia mengembangkan kajian
tentang teori ekologi agama. Menurutnya, doktrin-doktrin dan keyakinan agama
dipengaruhi oleh lingkungan. Pandangan ini didasarkan atas observasi (pengamatan)
Harris terhadap agama Hindu di India yang menganggap suci binatang sapi (Harris
dalam Susilo, 2012 : 47).
Sesungguhnya, hukum agama tentang sapi tidak lepas dari banyaknya fungsi
mamalia ini dalam kehidupan masyarakat India, manfaat dari sapi sebagai penghasil
pupuk sampai fungsi sebagai pengangkut/alat transportasi untuk membawa kayu
bakar yang diperlukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk melestarikan sapi
dibuatlah aturan-aturan yang irrasional agar ditaati oleh penduduk (Harris dalam
Susilo, 2012 : 47). Sama halnya dengan masyarakat India, keberadaan sapi juga
bersifat sangat fungsional bagi kehidupan masyarakat Bali. Bagi sistem pertanian
tradisional yang ada di Bali, sapi masih difungsikan sebagai hewan yang membantu
petani untuk membajak sawah. Sapi juga merupakan hewan yang berfungsi untuk
menjaga tatanan ekosistem alami. Manfaat sapi yang sangat banyak inilah dibuatkan
idiom atau dogma-dogma tertentu untuk mempertahankan jumlahnya di alam bebas.
KESIMPULAN
Terlepas dari apapun itu, hadirnya tulisan ini berusaha untuk membuka
cakrawala kita dalam melihat sesuatu, bahwa sesuatu yang sensitif sekalipun terselip
banyak sudut pandang yang mampu memberikan kita suatu pemahaman yang utuh.
Hadirnya risalah ini tidak berusaha untuk memberikan penilaian atau menggugat
keyakinan seseorang, namun hadirnya tulisan ini di hadapan sidang pembaca hanya
sekedar membantu untuk melihat suatu fenomena dan wacana dalam sudut pandang
yang berbeda. Apa penilaian Anda tentang hewan sapi? Silakan Anda yang
menentukan sendiri!
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020
175
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Sou’yb, Joesoef. 1983. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta Pusat : Pustaka
Alhusna.
Subagiasta, I Ketut. 2006. Saiva Siddhanta di India dan di Bali. Surabaya : Paramita.
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : PT Kanisius.
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers.
Sumber Kitab Suci:
Kitab Veda Manu Samhita
Kitab Devi Bhagavatam
Sumber Lembaga:
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2018. Penduduk Provinsi Bali Menurut Agama
yang Dianut Hasil Sensus Penduduk 2010 (Population of Bali Province by
Religion Based on 2010 Population Census). Denpasar : Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali