Post on 27-Feb-2023
PAGUYUBAN SUMARAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Studi Agama Lokal 1
Disusun oleh:
Anan Bahrul Khoir (1121020005)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
ANAN BAHRUL
KHOIR
i
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera,
Puji Tuhan Penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga Penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan waktunya. Tidak lupa, semoga salam dan pujian tetap
tercurahkan kepada Nabi Kita, beserta keluarganya, para sahabatnya, hingga
umatnya sampai akhir jaman nanti.
Penyusun ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun tidak dapat
menyebutkan-nya satu persatu, oleh karena keterbatasan waktu dan tempat.
Juga, Penyusun merasa bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, Penyusun memohon kritik dan saran membangun supaya dapat
memperbaiki kekurangan dari makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya untuk
Penyusun dan masyarakat pada umumnya.
Bandung, 21 Mei 2014
Penyusun
Anan Bahrul Khoir
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 2
1.3. Tujuan Masalah .................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 3
2.1. Sejarah Paguyuban Sumarah .............................................. 3
2.2. Ajaran Paguyuban Sumarah ............................................... 5
BAB III PENUTUP ................................................................................... 18
3.1. Kesimpulan ......................................................................... 18
3.2. Saran ................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Ilmu kebatinan seyogyanya mendapatkan tempat di panggung negara
Indonesia. Ia bukanlah ajaran sesat suatu agama, pun bukan aliran yang berusaha
untuk merusak agama tertentu. Sebelum kedatangan agama “import” telah ada
beberapa kepercayaan-kepercayaan sebelumnya, Sunda Wiwitan misalnya.
Mereka telah hidup dan menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia. Namun
permasalahnnya adalah mereka hidup telah ada sebelum kedatangan agama-
agama yang diakui sekarang, tapi mereka tidak diakui resmi oleh negaranya.1
Sekitar tahun 70-an muncul perdebatan antar tokoh agama mengenai aliran
kepercayaan atau aliran kebatinan di Indonesia. Agama Islam dan Kristen
menolak aliran kepercayaan karena dianggap sebagai sarang persembunyian PKI
yang pada masa itu sedang dibubarkan oleh pemerintah. Pada tahun 1973, aliran
kepercayaan kembali diperbincangkan ketika membahas masalah pernikahan.
Islam konsisten menolak pernikahan dengan cara-cara aliran kepercayaan tertentu.
Beberapa tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan
dengan memberikan izin kepada aliran kepercayaan untuk menikah berdasarkan
cara-caranya di kantor catatan sipil. Hingga akhirnya mereka mulai mendapat
tempat di dalam negara.2
1 Wikipedia, “Agama Asli Nusantara”, Wikipedia: Ensiklopedia Bebas,http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses pada tanggal 27 Mei 2014, pukul16.12.
2 Dewan Asatidz, “Tentang Aliran Kepercayaan”, PesantrenVirtual.com,http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&catid=1:tanya-jawab&id=515:tentang-aliran-kepercayaan, diakses pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 16.18.
2
Aliran kebatinan berbeda dengan ilmu perdukunan atau klenik. Hal ini
seperti dinyatakan oleh mantan Presiden Soeharto dalam otobiografinya,
“Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,” Soeharto mengakui bahwa ia
mempelajari ilmu kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya,
ilmu kebatinan bukanlah klenik. Ilmu klenik adalah ilmu kanuragan, ilmu untuk
mencari kesempurnaan hidup, tetapi batinnya bukan didekatkan pada Tuhan,
melainkan hanya kandel tipising kulit.3
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa itu Paguyuban Sumarah?
b. Bagaimana Sejarah Paguyuban Sumarah?
c. Bagaimanakah ajaran dari Paguyuban Sumarah?
1.3. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui mengenai Paguyuban Sumarah
b. Untuk mengetahui sejarah Paguyuban Sumarah
c. Untuk mengetahui ajaran dari Paguyuban Sumarah
3 Detickom Files, Hari-hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008, (Jakarta:Mediakita, 2008), hlm. vi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Paguyuban Sumarah
Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh Dokter
Soerono Prodjohoesodo, yang sejak itu hingga tahun 1972 menjabat sebagai ketua
umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu ilmu Sumarah, sudah diwahyukan pada
tahun 1935 kepada R. Ng. Soekinohartono, seorang pegawai Kesultanan
Yogyakarta. Pada waktu itu, demikian menurut kisahnya, bangsa Indonesia
bergolak menuntuk perbaikan nasib, yaitu menuntuk dibentuknya suatu parlemen
yang sungguh-sugguh. R. Ng. Soekirnohartono turut prihatin memikirkan nasib
bangsa Indonesia. dengan jalan tirakat (bertarak) beliau mohon kepada Tuhan agar
bangsa Indonesia selekas mungkin mendapat kemerdekaan. Pada suatu malam,
beliau menerima ilham supaya menyebarkan ilmu Sumarah kepada umat manusia.
Mula-mula beliau menolak, akan tetapi setelah beliau mendapat penjelasan bahwa
beliau hanya akan bertindak sebagai corong belaka, diterimalah perintah ilham itu,
dengan syarat “kemerdekaan Indonesia” sebagai upahnya. Syarat tersebut
disanggupkan oleh Tuhan Yang Mahaesa, sekalipun baru 10 tahun kemudian
“kemerdekaan” itu benar-benar diberikan kepada bangsa Indonesia.
Menurut Dokter Soerono, ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang
dengan jalan sujud Sumarah (menyerahkan diri) mempelajari sampai tercapai
bersatunya jiwa dengan Dzat Yang Mahaesa.4
Selanjutnya dikemukakan bahwa ilmu sumarat itu diajarkan menurut sistem
pamong (pengasuhan), bukan menurut sistem paguron (perguruan) seperti pada
zaman dulu. Menurut Dokter Soerono, pengajaran disesuaikan dengan keadaan
4 Dr. Soerono Prodjohoesodo, Paguyuban Sumarah, Ceramah pada Pancawarsa ke-3,Yogyakarta, 1965, hlm. 24.
4
zaman, artinya ajaran itu diajarkan bertingkat seperti Perguruan Tinggi, yaitu
tingkat persiapan (pemagang) tingkat I, II, III, IV, dan V. Mereka yang sudah
mencapai tingkat V mendapat gelar sarjana muda, sedang yang lulus dari tingkat
V mendapat gelar doktorandus dalam ilmu Sumarah.5
Menurut anggaran dasarnya, tujuan Paguyuban Sumarah adalah mencapai
ketenteraman lahir batin, dengan usaha: a) memberi tuntunan kepada anggotanya
untuk melaksanakan “sesanggeman” (tugas, kesanggupan); b) ikut serta
menegakkan negara menuju dunia yang damai; c) membimbing keutamaan
kehidupan lahir anggotanya dalam masyarakat.6
Semua pertemuan paguyuban Sumarah hampir seluruhnya terdiri dari
meditasi (merenung). Ada pertemuan yang diadakan bagi umum, artinya baik
anggota maupun tidak dan ada pertemuan yang hanya untuk para anggota saja.
Pokok ajaran paguyuban Sumarah adalah sujud. Di kalangan ini diterangkan
sebagai “persekutuan dengan Tuhan.” Orang harus melatih diri untuk bersujud
hingga mencapai sujud Sumarah, yaitu persekutuan dengan Tuhan dengan cara
menyerah. Orang dikatakan “usdah mencapai sujudu Sumarah,” jika ia berhasil
mempersatukan angan-angan, rasa, dan budi (nur , urip, yakni hidup).7
Sebelum orang dapat diterima sebagai mahasiswa, ia harus diuji terlebih
dulu. Kepadanya dibacakan “akta kesanggupan,” yang disebut sesanggeman, dan
terdiri dari 9 pasal, yaitu: 1) kepercayaan kepada Allah dan nabi-nya serta kitab-
kitab-nya; 2) kesanggupan untuk senantiasa ingat kepada Allah, menjauhkan diri
dari rasa mengaku (menyatakan berhak atas segala sesuatu), kumingsun
(sombong), dan percaya pada kesunyatan dan sujud Sumarah kepada Allah; 3)
berusaha bagi kesehatan badan, ketenteraman hati dan kesucian roh, serta
pembangunan watak percakapan dan tindakan; 4) mempererat persaudaraan
berdasarkan kasih; 5) sanggup berusaha untuk mengembangkan kewajiban hidup
dalam masyarakat dan negara yang akan menghasilkan perdamaian dunia; 6)
sanggup bertindak benar, menaati undang-undang negara dan menghargai
sesamanya; 7) menjauhkan diri dari perbuatan jahat; 8) rajin berusaha meluaskan
5 Ibid., hlm. 24-25.6 Anggaran Dasar Paguyuban Sumarah, art. 2, 3.7 Paguyuban, hlm. 25.
5
pengetahuan lahir batin; 9) tidak fanatik, hanya percaya pada kesunyatan yang
berfaedah bagi masyarakat. Bila orang itu menyatakan kesanggupannya, segera
diadakan latihan sujud, yang diimami oleh pamong pemagang.
Latihan pertama terdiri dari “menenangkan pancaindra.” Jika kemenangan
sudah tercapai, orang dinaikkan ke tingkat I melalui sumpah, yaitu mengucapkan
sahadat pertama di bawah pimpinan mahasiswa tingkat V. Dengan demikian,
orang itu telah di-beat (dipelonco) dan diterima resmi menjadi mahasiswa.8 Dalam
latihan sujud pada tingkat V, diberikan juga kuliah oleh apa yang disebut
“warono,” yaitu pemimpin umum yang dianggappnya sebagai corong Tuhan Yang
Mahaesa. Yang memberikan kuliah tersebut adalah Dzat Yang Mahaesa sendiri,
sehingga Warono tidak mengetahui terlebih dulu apa yang akan dikuliahkan.
Semua kuliah itu biasanya mengenai wewarah (ajaran) yang berhubungan dengan
ilmu Sumarah.
Demikianlah, paguyuban Sumarah itu dipandang sebagai suatu tempat
latihan sujud. Hanya perlu diperhatikan bahwa sujud dalam paguyuban Sumarah
berarti “persekutuan dengan Allah.”
2.2. Ajaran Paguyuban Sumarah
1) Ajaran Sumarah tentang Tuhan
Sudah dikemukakan di atas bahwa paguyuban Sumarah termasuk
aliran kebatinan yang sederhana, suatu tempat latihan sujud atau
persekutuan dengan tuhan. Di dalamnya tidak ada ajaran yang panjang lebar
tentang Allah. Bahwa tuhan Allah ada, diterimanya tanpa mengadakan
pembicaraan tentang dia. Tuhan Allah disebut “tuhan yang mahaesa.” Di
tempat lain tuhan juga disebut “Dzat Yang Mahaesa,”9 yang tempat-nya di
dalam manusia diwakili oleh hidup (urip).10 Secara lisan dokter soerono
menerangkan bahwa jiwa manusia adalah pletikan (bunga api) dari tuhan
Allah. Keterangan lebih lanjut tentang tuhan tidak diberikan. Oleh karena itu,
ajaran tentang Allah ini lebih lanjut juga tidak akan kita bicarakan.
8 Ibid., hlm. 25, 26.9 Ibid., hlm. 34.10 Ibid., hlm. 30.
6
2) Ajaran Sumarah tentang manusia
Menurut Sumarah, manusia terdiri dari badan wadag (jasmani), badan
nafsu, dan jiwa atau roh.11
Badan wadag atau jasmani berasal dari substansi yang berasal dari
anasir: bumi, angin, air, dan api. Jika orang meninggal dunia, badan
wadagnya dikubur atau dibakar, sehingga dengan cara itu badan wadag tadi
dikembalikan kepada asalnya. 12 Badan wadag dilengkapi dengan
bermacam-macam alat, yaitu pancaindra, yang dikuasai oleh pemikir
(kecakapan berpikir). Pemikir ini hanya bersangkutan dengan segala perkara
duniawi, yaitu mencakapkan orang untuk mendapatkan segala macam
pengetahuan dan pengalaman hidup. Alat yang erat sekali hubungannya
dengan pemikir adalah angan-angan. Di dalam hidup sehari-hari, keduanya
yaitu pemikir dan angan-angan, bekerja sam secara erat sekali. Apa yang
ditangkap oleh pemikir diteruskan kepada angan-angan, untuk disimpan
dengan baik. Angan-angan juga menjadi alat untuk bersujud atau bersekutu
dengan tuhan Allah.
Badan nafsu berasal dari Allah dengan perantara iblis dan akan
dikembalikan kepada asalnya juga. Ada empat nafsu, yaitu mutma’inah,
sumber segala perbuatan yang baik dan sumber semangat mencari Allah,
ammarah, yaitu sumber kemarahan, suwiyyah sifat erotis dan lawwamah,
yaitu sifat mementingkan diri sendiri. Pusat segala nafsu ini disebut suksma,
yang harus dibedakan dari jiwa, yaitu jiwa manusia yang tak berjasad. Daya
pendorong atau pusat dari pemikir, angan-angan, nafsu dan suksma disebut
nyawa, yaitu jiwa yang psikologis yang juga harus dibedakan dari jiwa
sebagai bagian hidup manusia yang tak berjasad. Sebab jiwa yang tak
berjasad ini tidak tergolong badan wadag, tetapi termasuk alam gaib.
11 Ibid., hlm. 32.12 Bagi mereka yang sudah sempurna hidupnya, ada kemungkinan mengembalikan badan
wadagnya pada asalnya, tanpa dikubur atau dibakar, melainkan dengan menyerahkan badan itukepada Ilahi. Badan wadag itu akan lenyap begitu saja dari pandangan mata. Kematian yangdemikian disebut mati sampurna saragane.
7
Jiwa dan roh adalah bagian ketiga dari manusia, yang berasal dari roh
suci atau dari Allah, dan yang akan dikembalikan lagi kepada asalnya jika
orang dapat mati dengan sempurna. 13 Bagian manusia erat sekali
hubungannya dengan jiwa adalah rasa, yang harus dibedakan dari perasaan
sebagai alat pengindraan. Rasa ini terdapat di dalam sanubari, yang letaknya
kira-kira di dada dan yang termasuk dunia bayangan.14
Badan wadag dan badan nafsu termasuk dunia yang tampak ini, tetapi
jiwa dan rasa termasuk alam gaib, yang dianggap lebih luas daripada dunia
yang tampak ini, serta yang meliputi badan wadag dengan segala alat-
alatnya.15
Selain itu masih ada alam yang lebih luas lagi daripada alam gaib
tersebut, bahkan dapat dianggap sebagai alam yang terluas, yang meliputi
alam wadag dan alam gaib tadi, yaitu alam tempat qolbu (hati). Alam ini
juga alam bayangan, dan terletak kira-kira di dalam jantung.16 Di dalam
qolbu terdapat Masjidilkharom (Masjid al-Haram), atau masjid yang kudus,
tempat Baittullah atau rumah Allah. Di dalam Baitullah terdapat budi, nur
dan urip (hidup).17
Jika dirangkumkan, dapat dikatakan bahwa menurut paguyuban
Sumarah manusia dengan peralatannya yang jasmani dan yang rohani itu
ditempatkan pada tiga alam, yaitu:
a) Alam yang tampak ini, tempat badan wadag atau badan jasmani
dengan peralatannya yaitu pemikir, yang menguasai pancaindra,
angan-angan, yang memiliki dua fungsi, yaitu menyimpan dengan
baik apa yang diterimanya dari pemikir, dan menjadi alat bersujud
(bersekutu dengan Allah). Selanjutnya ada suksma, yang menguasai
segala nafsu dan nyawa, yang menjadi pendorong pemikir, angan-
angan dan suksma.
13 Paguyuban, hlm. 32.14 Ibid., hlm. 29.15 Ibid., hlm. 29.16 Ibid., hlm. 30.17 Ibid., hlm. 30.
8
b) Alam gaib, yang pada manusia kira-kira terdapat di dalam sanubari,
dan yang menaruh di dalamnya qolbu , masjidilkharom, baitullah,
budi, nur , dan urip.
c) Alam gaib yang lebih luas lagi, yang ada pada manusia kira-kira
terdapat di dalam jantung, dan yang menaruh di dalamnya qolbu ,
masjidilkharom, baitullah, budi, nur dan urip.
Di dalam hidup sehari-hari, keaktifan tubuh dengan segala
peralatannya dapat digambarkan sebagai sebuah negara dengan segala alat
pemerintahannya yang lengkap. Jiwa berfungsi sebagai kabinetnya. Dewan
perwakilan terdiri dari para pengikut malaikat jibrail dan ijajil. Jantung
berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Melalui pembuluh darah,
kantor pusat itu mempunyai hubungan dengan seluruh bagian negara. Otak
berfungsi sebagai kantor pusat telekomunikasi, sedang hati berfungsi
sebagai kantor distribusi. Perut berfungsi sebagai pabrik bagi segala macam
makanan dan lain sebagainya. Pada segala pembuluh darah dan bagiannya
ada lalu-lintas yang ramai sekali. Di situ terdapat banyak sel darah yang
berfungsi sebagai pegawai negeri dan sel darah putih yang berfungsi sebagai
angkatan bersenjata, polisi, dan lain sebagainya.18
Jiwa, sekalipun berfungsi sebagai kepala negara, tetapi tidak berkuasa
di dalam pemerintahanya, sebab ia hanya menjadi simbol, perdana
menterilah yang memegang kuasa, yaitu salah seorang dari keempat menteri
atau keempat nafsu itu. Jika umpamanya ammarah yang menjadi perdana
menteri, orang menjadi kejam, kasar dan pemarah. Sebaliknya, jika
mutma’inah yang menjadi perdana menteri, orang akan memiliki watak
yang baik. Bagi manusia pada umumnya, bentuk pemerintahan hidupnya
adalah kabinet parlementer.19 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di
dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan hawa nafsunya. Ia
berada di dalam sengsara (samsara bagi orang Hindu).
18 Ibid., hlm. 33.19 Ibid., hlm. 34.
9
Segala nafsu itu mengakibatkan manusia terikat pada kelahiran
kembali (reinkarnasi). Kelahiran kembali ini diterangkan sebagai berikut:
jika orang mati, padahal ia tak mendapat kelepasan, jiwanya mengembara
sebagai roh yang dibebani oleh nafsunya. Sebagai roh ia tidak mungkin
dapat melepaskan diri dari nafsunya itu. Maka, roh yang mengembara
demikian itu senantiasa tertarik pada hidup duniawi. Seandainya roh yang
sedang mengembara itu menjumpai dua sejoli yang sedang berkasih-kasihan,
ia segera tertarik untuk masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang
berkasih-kasihan itu, serta mencampurkan diri dengan persatuan sperma dan
sel telur kedua sejoli itu. Dengan cara demikian, orang dilahirkan kembali.20
Apa yang disebut “manusia pertama” adalah manusia yang adanya di
dunia bukan karena dilahirkan kembali. Adam dan hawa harus dipandang
bukan sebagai benar-benar manusia, sebab mereka adalah roh suci yang
berasal dari Dzat Yang Mahaesa, dan badan nafsu yang berasal dari iblis.
Keduanya berada di firdaus, yang menurut paguyuban Sumarah, harus
diartikan sebagai alam suci. 21 Godaan iblis dengan bentuk ular harus
ditafsirkan sebagai godaan badan nafsu kepada roh suci untuk bersekutu
dengannya. Ketika godaan itu berhasil, keduanya, yaitu adam dan hawa (roh
suci dan badan nafsu), harus meninggalkan alam suci dan masuk ke dalam
kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan. Adam dan hawa sesudah
diusir dari firdaus tahu bahwa mereka telanjang sebagai orang lelaki dan
perempuan, berarti bahwa baru sesudah bayi dilahirkan, orang dapat
mengetahui apakah bayi itu lelaki atau perempuan.22
Demikianlah, manusia itu berada di dalam sengsara. Tetapi paguyuban
Sumarah tidak memberi keterangan, apa sebab manusia berada di dalam
sengsara. Hal ini mengherankan sekali, sebab jiwa itu dipandang sebagai
berasal dari Dzat Yang Mutlak.
20 Ibid., hlm. 36.21 Ibid., hlm. 36.22 Ibid., hlm. 37.
10
Tentang urip (hidup) diterangkan bahwa urip itu mewakili Dzat Yang
Mutlak, dan bahwa urip itu satu.23 Selanjutnya diterangkan bahwa hidup
manusia adalah sama dengan hidup binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan
bahwa hidup adalah zat yang tertua yang ada. Hidup sudah ada sebelum
sesuatu yang lain ada. Hidup adalah unsur yang terpenting di dalam keadaan
suatu makhluk. Tetapi manusia bukan hanya memerlukan hidup saja, ia
memerlukan hal yang lain juga. Untuk dapat melangsungkan hidupnya
manusia perlu memiliki urip, nyawa, dan jiwa. Hidup sudah ada pada
sperma dan sel telur manusia. Tetapi nyawa berada segera sesudah sperma
dan sel telur bersatu di dalam persetubuhan. Sebagai pelengkap terakhir
ditambahkan lagi jiwa. Demikianlah pelangsungan hidup manusia.
Akhirnya, ajaran Sumarah tentang manusia dapat disimpulkan
demikian:
a) Oleh karena jiwa manusia dipandang sebagai roh suci yang berasal
dari Allah, dan sebagai pletikan (bunga api) dari Allah, maka agaknya
tidak jauh dari kebenaran, jika kita simpulkan, bahwa menurut
Sumarah, manusia adalah sehakikat dengan Allah.
b) Di dalam urip, Dzat Yang Mutlak atau Allah berada di dalam manusia
dan di dalam tiap makhluk yang hidup
c) Di dalam hidup sehari-hari manusia menjadi permainan nafsunya,
yang menjadikan dia ditaklukan pada kelahiran kembali. Penyebab
manusia menjadi permainan nafsunya mungkin terletak pada peristiwa,
bahwa roh suci, yang menjadi hakikat yang terdalam dari manusia,
tidak berhasil untuk menolak godaan nafsu, sehingga roh suci
bersekutu dengan nafsu.
3) Ajaran Sumarah tentang kelepasan
Sudah diterangkan di atas bahwa hidup manusia sehari-hari dapat
diumpamakan dengan sebuah negara yang diperintahkan dengan sistem
pemerintahan kabinet parlementer, di mana jiwa berfungsi hanya sebagai
simbol.
23 Ibid., hlm. 34, 35.
11
Dengan perantara sujud, yaitu persekutuan dengan Allah, paguyuban
Sumarah berusaha untuk mengubah sistem pemerintahan kabinet
parlementer itu menjadi sistem kabinet presidensiil. Dengan ini jiwa tidak
hanya berfungsi sebagai simbol saja, tetapi jiwa juga akan dapat menguasai
para nafsunya sedemikian rupa, hingga para nafsu itu sebagai menteri, tidak
akan dapat berbuat sesuka hati, tetapi akan tunduk kepada jiwa.
Alat terpenting untuk melakukan sujud adalah angan-angan. Agar
angan-angan dapat digunakan sebagai alat sujud, harus dipisahkan dari
pemikir, angan-angan itu harus diturunkan dari otak ke sanubari dan
dipusatkan di situ sedemikian rupa hingga angan-angan itu tak dapat lagi
dipakai untuk berpikir. Tindakan ini dapat dibantu dengan melakukan zikir,
yaitu mengajikan nama-nama Allah. Inilah tingkatan pertama dari sujud
yang disebut sujud raga (persekutuan dengan Allah melalui perantaraan
badan wadag). Disebut demikian karena angan-angan di sini mewakiliki
pancaindra atau badan wadag.
Tingkatan kedua dari sujud disebut sujud jiwa-raga. Pada tingkatan ini
angan-angan yang sudah dipisahkan dari pemikir, dan yang sudah
diturunkan ke sanubari tadi didekatkan kepada rasa, yang berada di dalam
dada, sehingga keduanya, angan-angan dan rasa, dapat melakukan sujud
berdampingan. Rasa di sini menjadi wakil jiwa. Itulah sebabnya maka taraf
sujud ini disebut sujud jiwa-raga. Taraf ini adalah kunci pertama bagi sujud
Sumarah (persekutuan dengan Allah melalui penyerahan diri). Tanpa
mengalami ini tak mungkin ada orang yang dapat mencapai tujuannya.
Jika taraf sujud ini sudah dilakukan untuk beberapa waktu, ada
kemungkinan bahwa orang menerima sabda tuhan (dawuh) secara hakiki,
yaitu suatu cetusan suara yang mendadat bagai petir. Jika orang sudah
mencapai taraf ini, orang harus berhati-hati sekali, sebab di sini ada bahaya
ditupu oleh iblis.
Jika taraf kedua dari sujud ini sudah diulangi setiap hari, di rumah
atau di kantor, pada waktu orang sedang bekerja, jadi bukan hanya jika
waktu latihan sujud, melainkan setiap saat, orang akan menjadi biasa
12
melakukan sujud itu. Dengan cara demikian, angan-angan menjadi satu
dengan rasa, sehingga tak akan kembali lagi kepada tempatnya semula. Jika
taraf ini tercapai, maka di dalam sanubari orang itu akan terdapat sujud yang
tetap. Inilah taraf ketiga, yang disebut tetap iman. Hal ini berarti bahwa
orang sudah dapat secara terus-menerus melakukan sujud tanpa berhenti
selama dua puluh empat jam. Pada taraf ini orang dapat menerima sabda
Allah tanpa batas waktu, tempat dan keadaan.
Untuk dapat mengerti akan keterangan ini orang harus senantiasa
ingat bahwa sujud bagi paguyuban Sumarah bukanlah upacara berbakti
kepada tuhan, melainkan “persekutuan dengan Tuhan.” Bersujud selama 24
jam berarti terus-menerus di dalam keadaan bersekutu dengan tuhan. Pada
suatu pertemuan umum diterangkan bahwa hal sujud itu sama dengan hal
orang naik sepeda. Jika orang baru mulai belajar naik sepeda, orang harus
memperhatikan segala gerak badan, kaki serta tangannya, sehingga tidak
ada waktu baginya untuk memperhatikan hal yang lain. Tetapi jika orang
sudah pandai naik sepeda, orang tidak lagi harus memusatkan perhatiannya
pada gerak seluruh badannya. Ia dapat naik sepeda sambil merokok,
menyanyi, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan sujud. Jika sujud
sudah menjadi seolah-olah pakaiannya, maka orang dapat bersujud sambil
merokok, minum, makan, tidur, dan sebagainya. Artinya, di dalam keadaan
yang bagaimanapun orang itu tetap di dalam persekutuan dengan Allah.
Ciri lain dari tetap iman ialah bahwa sujud raga secara terus-menerus
sudah diwakili oleh angan-angan yang menjadi satu dengan rasa.
Perwakilan ini terjadi sedemikian rupa, hingga badan wadag dengan
indranya dapat tetap berfungsi biasa, sekalipun orang sedang bersujud.
Taraf berikutnya adalah taraf yang tertinggi, di mana orang mencapai
jumbuhing kawula-gusti (persekutuan hamba dan tuhan). Ini tidak berarti
bahwa jia manusia dilarutkan ke dalam Allah, melainkan bahwa antara Allah
dan jiwa ada kesatuan kehendak. Inilah sujud di dalam hidup, sebab orang
masih hidup di dalam dunia ini.
13
Tak ada seorang pun yang dapat berusaha untuk mencapai taraf ini.
Sebab ini adalah suatu anugerah Dzat Yang Mahaesa, yang diangerahkan
dengan tiba-tiba. Bagi mereka yang mendapat anugerah ini dengan tiba-tiba
ada rasa bahwa sujudnya sudah dipindahkan dari sanubari ke dalam jantung,
tempat qolbu . Rasa sujud akan terasa untuk sementara waktu saja, lalu
lenyap hingga tak terasa apa-apa lagi. Apa sebab rasa sujud itu lenyap,
diterangkan sebagai berikut. Keduanya, yaitu hamba dan tuhan, sudah
menjadi satu. Maka dengan sendirinya tidak ada lagi pihak yang bersujud
dan pihak yang disujudi. Inilah yang disebut “jumbuhing kawul-gusti” atau
dengan istilah paguyuban Sumarah: gambuh.
Oleh sebab itu, orang yang dapat sujud Sumarah, yaitu sujud dengan
penyerahan diri adalah orang yang kenyataannya justru tidak merasa
bersujud lagi, sebab sujudnya sudah menjelma di dalam dirinya sendiri, atau
ia sudah menjadi satu dengan tuhan, gambuh. Agar dapat mencapai sujud
Sumarah itu orang harus melakukan tiga dalil Sumarah, yaitu tidak berbuat
apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan menyerahkan jiwa raga.
Tidak dapat berbuat apa-apa berarti bahwa orang harus meyakinkan
diri bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali karena kehendak Allah.
Maka anggota paguyuban Sumarah tidak boleh berlagak seolah-olah ia
dapat berbuat ini dan itu, bahwa ia lebih pandai daripada orang lain,
mendaku sesuatu sebagai miliknya sendiri, kumingsun, artinya menganggap
dirinya sebagai ingsun (orang yang penting sekali, dsb.). sebab semua itu
adalah akibat dari orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang dapat
melakukan segala sesuatu. Tiap orang yang sudah menjalankan dalil
pertama ini akan dapat memecahkan segala kesukaran yang dihadapinya
dengan menyerahkan diri kepada Allah.
Dalil yang kedua, yaitu tidak mempunyai apa-apa, memiliki arti yang
sama dengan ucapan jawa: sepi ing pamrih, rame ing gawe (tanpa
bermaksud untuk menguntungkan diri, beramai-ramai bekerja). Segala
sesuatu adalah milik Tuhan, sekalipun tubuh dan jiwa orang. Semuanya itu
dipinjamkan kepada manusia, maka jika ada yang hilang atau dicuri orang,
14
hal itu harus dipandang sebagai petunjuk bahwa waktu peminjaman sudah
selesai, sehingga barang itu perlu diberikan kepada orang lain sebagai
pinjaman juga. Dengan keyakinan yang demikian ini orang tak mungkin
kecewa, dan segala peristiwa akan diterimanya dengan senang hati.
Dalil ketiga, yaitu menyerahkan jiwa-raga, adalah lanjutan dari dalil
kedua.
Bersamaan dengan pelaksanaan ketiga dalil tersebut di atas, orang
akan mengalami di dalam batinnya suatu proses yang semakin menghampiri
persekutuan jiwa dengan yang mahaesa, yang ternyata dari kejadian, bahwa
ia menerima sabda Allah. Semula sabda itu diterimanya dengan perantara
rasa, sesudah itu dengan adanya suara di dalam batinnya, dan akhirnya ia
akan menerima sabda itu dengan perantara mulut atau alat lainnya. Inilah
yang disebut “wajibul wujud,” yaitu mengetahui apa saja tanpa dawuh
(pemberitahuan).
Pada taraf yang tertinggi dari kelepasan ini perselisihan antara jiwa
dan suksma makin menghebat. Dalam perselisihan ini jiwa didampingi oleh
malaikat jibrail, sedang suksma didampingi oleh iblis. Jika jiwa menang di
dalam perselisihan ini, maka orang lulus dari ujian Sumarah, dan malaikat
jibrail akan tetap mendampinginya. Sebaliknya, jika suksma yang menang,
orang akan jatuh ke dalam genggaman iblis, dan akan sukar baginya untuk
melepaskan diri darinya. Mungkin ia akan menjadi dukun yang mahsyur
(prewangan), tetapi kemahsyurannya itu hanya mengenai perkara duniawi.
Jika ia meninggal dunia, ia akan menyesal. Maka taraf yang tertinggi ini
adalah taraf yang berbahaya sekali.
Hasil persekutuan hamba dan tuhan ini adalah tidak dapat dikalahkan
oleh siapapun, bagaimanapun berkuasanya musuh. Tak ada senjata yang
dapat melukainya.
Dari apa yang sudah dibicarakan di atas, dapat diambil kesimpulan
demikian:
a) Kelepasan bagi paguyuban Sumarah terdiri dari jumbuhing kawula-
gusti sedemikian rupa, hingga kesadaran akan adanya persekutuan itu
15
lenyap (tak ada yang bersujud dan yang disujudi). Orang yang lepas
berada di dalam situasi terus-menerus bersekutu dengan Allah,
sehingga segala sesuatu yang dilakukannya di dalam persekutuan
Allah. Tak jauhlah kiranya dari kebenaran , jika disebutkan, bahwa
situasi ini sama dengan apa yang di dalam tasawuf disebut fana al-
fana, hapus dari segala hapus, di mana hapuslah yang menyembah dan
yang disembah.
b) Hasil kelepasan itu ialah bahwa orang mendapatkan sifat yang sama
dengan Dzat Yang Mahaesa, umpamanya: berada di mana-mana,
mahakuasa, dan lain sebagainya.
c) Jalan kelepasan adalah sujud, yang puncaknya disebut sujud Sumarah,
yaitu persekutuan dengan Allah dengan penyerahan diri. Sujud terdiri
dari beberapa tingkat yang dalam pokoknya terdiri dari penyatuan
angan-angan dengan urip (hidup) di dalam batin manusia, dengan
memisahkan angan-angan tadi dari pemikir dan mempersekutukannya
dengan rasa dan akhirnya memimpinnya kepada urip. Perbuatan ini
sebenarnya adalah pemusatan pikiran ke dalam diri manusia sendiri,
agar tidak diganggu oleh dunia yang ramai ini.
Kesimpulan dari keseluruhan paguyuban Sumarah dapat dirumuskan
demikian:
a) Tidak ada uraian yang panjang mengenai ajaran Allah. Tuhan Allah
disebut Dzat Yang Mahaesa. Di dalam urip, tuhan Allah berada di
dalam segala makhluk yang hidup, umpamanya: tumbuhan-tumbuhan,
binatang dan manusia. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa
tuhan Allah dipandang sebagai Dzat Yang Mutlak. Dalam falsafah
dikatakan bahwa tuhan bebas dari segala hubungan, nisbah serta
sebab-musabab, tetapi menjadi sebab pertama dari segala sesuatu.
b) Manusia pada hakikatnya berasal dari tuhan Allah, jiwanya, yang
menjadi inti manusia adalah roh suci, dan suatu pletikan (bunga api)
dari Dzat Yang Mahaesa itu. Hal ini berarti bahwa manusia pada
hakikatnya sama dengan Allah, seperti bunga api sehakikat dengan api.
16
c) Karena menjawab penggodaan para nafsu, roh suci dipersatukan
dengan para nafsu itu. Karenanya ia menjadi permainan segala
nafsunya. Di dalam hidup sehari-hari jiwa bukanlah yang merajainya,
yang menentukan segala sesuatu, melainkan hanya berfungsi sebagai
simbol kepala negara, yang tak bersuara. Demikianlah, manusia
berada di dalam sengsara.
a) Oleh karena manusia berada di dalam sengsara, maka ia ditaklukan
pada kelahiran kembali (reinkarnasi)
b) Kelepasan terdiri dari kelepasan jiwa dari siksaan segala nafsunya,
untuk dipersatukan kembali dengan Dzat Yang Mahaesa, sebagai
asalnya. Persekutuan ini sedemikian rupa, hingga tidak ada lagi
perbedaan antara yang bersujud dan yang disujudi. Tetapi, selama
manusia masih hidup, persekutuan ini bukan berarti manusia menjadi
Allah. Persekutuan itu adalah persekutuan dalam kehendak, sehingga
manusia juga memiliki segala sifat ilahi, seperti mahatahu, mahakuasa,
dan lain sebagainya.
c) Jalan kelepasan adalah sujud, yaitu pemusatan angan-angan, untuk
diarahkan ke dalam diri manusia sendiri, dan dipalingkan dari dunia
luar. Di dalam bagian yang terdalam dari manusia itu angan-angan
akan bertemu dengan tuhannya, yang ada di dalam dirinya sendiri.24
4) Sujud Sumarah
Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para
warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan
YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa
si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan
puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan Yang Mahaesa, melalui
kehendak dan tuntunan/bimbingan Tuhan YME sendiri.
Karena sifatnya yang sangat spiritual (rohani) maka dalam pelaksanaannya
Sujud Sumarah sama sekali tidak memerlukan persyaratan lahiriah baik
tempat, waktu, pakaian, bebauan, gerakan-gerakan khusus ataupun
24 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), cet. 9, hlm. 7-21.
17
persyaratan lain, seperti hafalan mantra dan sebagainya. Namun tentu saja
sebagai manusia yang berbudaya, dalam berbusana maupun sikap tata lahir
dalam sujud akan selalu mengikuti norma kewajaran dan kepantasan
demikian pula akan selalu memperhatikan norma-norma sosial dan etika
yang berlaku di sekelilingnya tanpa harus menonjolkan dirinya.
Sujud Sumarah memiliki jenjang atau tingkatan yang harus dilakukan
oleh para pengikut secara bertahap. Adapun tingkatan tersebut adalah :
a) Tingkat pamagang, yaitu sujud yang dilakukan oleh para pemula
sebelum resmi menjadi anggota, untuk menenangkan panca indra.
b) Tingkat satu, sujud ini merupakan sujud awal yang dilakukan oleh
pengikut Sumarah setelah resmi dibaiat mengadi anggoata.
c) Tingkat dua, dilakukan setelah mahir pada sujud satu.
d) Tingkat tiga, dilakukan setelah mahir dalam sujud kedua.
e) Tingkat keempat, dilakukan setelah anggoat mahir sujud tingkat tiga.
f) Tingkat lima, sebagai tingkat paling akhir yang langsung dibimbing
dan diimami oleh pemimpin (guru utama).
Dari jenjang atau tingkat sujud itu, para pengikut Sumarah dapat
dikelompokkan dalam tiga martabat. Pertama. Martabat Tekad, yaitu
martabatnya para pemagang, tingkat satu dan tingkat dua. Kedua, Martabat
Imam, yaitu para pengikut yang sudah memasuki tingkat sujud tiga dan
empat. Ketiga, Martabat Sumarah, yaitu mereka yang sudah memasuki
tingka sujud kelima.25
25 M. S. Wibowo, “Paguyuban Sumarah, M. S. Wibowo Spot,http://mswibowo.blogspot.com/2010/05/paguyuban-sumarah.html, diakses pada tanggal 27 Mei2014, pukul 15.41
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh Dokter
Soerono Prodjohoesodo, yang sejak itu hingga tahun 1972 menjabat sebagai ketua
umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu ilmu Sumarah, sudah diwahyukan pada
tahun 1935 kepada R. Ng. Soekinohartono, seorang pegawai Kesultanan
Yogyakarta. Pada waktu itu, demikian menurut kisahnya, bangsa Indonesia
bergolak menuntuk perbaikan nasib, yaitu menuntuk dibentuknya suatu parlemen
yang sungguh-sugguh. R. Ng. Soekirnohartono turut prihatin memikirkan nasib
bangsa Indonesia. dengan jalan tirakat (bertarak) beliau mohon kepada Tuhan agar
bangsa Indonesia selekas mungkin mendapat kemerdekaan. Pada suatu malam,
beliau menerima ilham supaya menyebarkan ilmu Sumarah kepada umat manusia.
Mula-mula beliau menolak, akan tetapi setelah beliau mendapat penjelasan bahwa
beliau hanya akan bertindak sebagai corong belaka, diterimalah perintah ilham itu,
dengan syarat “kemerdekaan Indonesia” sebagai upahnya. Syarat tersebut
disanggupkan oleh Tuhan Yang Mahaesa, sekalipun baru 10 tahun kemudian
“kemerdekaan” itu benar-benar diberikan kepada bangsa Indonesia.
Ajaran-ajaran Paguyuban Sumarah, di antaranya: 1) Ajaran tentang
Ketuhanan; 2) Ajaran tentang Manusia; dan 3) Sujud Sumarah.
3.2. Saran
Penulis rasa makalah ini sangat jauh dari kata baik. Hal ini karena
kurangnya referensi yang Penulis temukan. Beberapa buku sejarah hanya
mencatut namanya saja sebagai hiasan bukunya belaka tanpa ada detail
mengenainya. Pun beberapa buku menjelaskannya namun tidak lebih dari dua
lembar yang membahas dinasti ini.
19
Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat
membangun sehingga Penulis dapat memperbaiki makalah ini dikemudian hari.
Seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak.
20
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Files, Detickom Files. 2008.
Hari-hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008. Jakarta:
Mediakita.
Prodjohoesodo, Soerono. 1965.
Paguyuban Sumarah. Ceramah pada Pancawarsa ke-3. Yogyakarta.
Hadiwijono, Harun. 2006.
Kebatinan dan Injil. cet. 9. Jakarta: Gunung Mulia.
b. Website
Wikipedia,
“Agama Asli Nusantara”, Wikipedia: Ensiklopedia Bebas,http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara, diakses pada tanggal 27
Mei 2014, pukul 16.12
Dewan Asatidz,
“Tentang Aliran Kepercayaan”, PesantrenVirtual.com,http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=art
icle&catid=1:tanya-jawab&id=515:tentang-aliran-kepercayaan, diakses
pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 16.18.
M. S. Wibowo,
“Paguyuban Sumarah, M. S. Wibowo Spot,http://mswibowo.blogspot.com/2010/05/paguyuban-sumarah.html, diakses
pada tanggal 27 Mei 2014, pukul 15.41.