Post on 08-Mar-2023
1
PENDAHULUAN
Salah satu Problematika kontemporer yang dihadapi
oleh umat Islam dan para pembaharu tafsir Alquran pada
khususnya di berbagai wilayah Islam lainnya saat ini
adalah semakin kompleknya permasalahan hidup manusia.
Maka kecenderungan para mufasir untuk menyesuaikan
pemahamannya terhadap Alqur’an dengan menggunakan ilmu-
ilmu mutakhir tidak bisa dihindarkan.
Dalam sebuah ceramahnya, A. Athaillah1 pernah
menyatakan bahwa penafsiran Alquran dengan metode
ilmiah adalah sebuah keharusan yang dilakukan umat
Islam agar mampu keluar dari kemunduran yang sedang
melanda Islam. Secara sederhana, Ilmiah yang
dimaksudkan oleh beliau adalah menafsirkan Alquran
dengan berbagai ilmu pengetahuan dan sains. Karena
menurut beliau salah satu penyebab terjadinya
kemunduran Islam adalah kurang mampunya umat Islam
dalam membaca isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung
dalam Alquran. Dengan kata lain, ilmiah yang dimaksud
beliau adalah tafsir ‘ilmy.
Oleh karenanya, pembahasan tentang kaidah ilmiah
dalam tafsir Alquran adalah sebuah keharusan. Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan apa dan bagaimana
kaidah ilmiah dalam menafsiran Alquran.1 Beliau adalah guru besar tafsir di IAIN Antasari
Banjarmasin. Informasi ini penulis dapatkan ketika mengikutihalaqoh tafsir yang diasuh beliau di Asrama Program Khusus FakultasUshuluddin dan Humaniora pada hari kamis, 3 April 2014.
2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Tafsir
Kaidah–kaidah tafsir (qawâid al tafsîr) terdiri dari
dua kata, yakni qawâid dan tafsîr. Qawâid adalah bentuk
jama’ dari qa’idah yang berarti dasar, alas, pondamen,
peraturan, kaidah.2 Para ahli tafsir memberikan istilah
:
ه ات�� ي� ئ� ز� ه ع�لى اح�كام ج� عزف� ت� ت� ح�كم ك�لى� ئ��hukum/aturan yang bersifat menyeluruh/ umum yang dengan
aturan- aturan yang umum itu bisa dikenali hukum – hukum juz’i.3
2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir : Arab Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif), 1138.
3 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu–Ilmu Al Quran 2 (Jakarta :Penerbit Pustaka Firdaus, 2001), 162-163.
3
Sedangkan kata tafsir merupakan mashdar dari lafadz
fassara yang berarti mengungkapkan atau menampakkan.4
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz
tafsir tersebut. Namun pada dasarnya tafsir adalah
rangkaian penjelasan dari suatu pembicaraan atau teks
(Al Quran).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa qawâid al tafsîr
adalah pedoman-pedoman yang disusun ulama dengan kajian
yang mendalam untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dalam memahami makna–makna Alquran, hukum–hukum dan
petunjuk yang terkandung di dalamnya.5 Khâlid Utsman al
Sabt menyebutkan bahwa qawâid al tafsîr adalah :
ه� ���م وم�عزف ي� زان' ال�عظ# ����ى ال�ق اط م�عان� ي ن. لى اس�ي� ها ا2 وص�ل ب� ت� ى ئ�� ه� ال�ت� ح�كام ال�كلي� الأها اد م�ن� ف� س�ت� ه� الأ2 ي� ف� ك�ت�
Rangkaian aturan yang bersifat umum yang mengantarkan
seseorang untuk mengistinbatkan makna–makna Alquran dan mengenali
cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.6
B. Istilah Ilmiah dan Pengertiannya4 Abû al-Husain Ahmad ibn Zakariya, Mu’jam Maqayîs al-Lughah, Juz
IV (Beirut: Dâr al-Jail, 1976), 13. 5 Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta : Teras,
2005), 55. 6 Khâlid ibn Utsmân al-Sabt, Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa Dirâsatan
(t.tp: Dâr ibn Affân, t,th), Juz I, 30.
4
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang
diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca
indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan.
Pengetahuan dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-
ilmiah dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah
adalah pengetahuan yang tidak memenuhi syarat-syarat
ilmiah. Sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan
yang memiliki syarat-syarat ilmiah.
Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh
pengetahuan ilmiah adalah: Harus memiliki objek
tertentu (formal dan material) dan harus bersistem
(harus runtut). Disamping itu pengetahuan ilmiah harus
memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang umum.
Metode itu meliputi metode dedukasi, induksi, dan
analisis.7 Oleh karenanya, pengetahuan ilmiah dapat
dikatakan sebagai ilmu.
Ilmu (sains) berasal dari Bahasa Latin scientia yang
berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses
penyelidikan yang berdisiplin. Ilmu bertujuan untuk
meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Ilmu
pengetahuan ialah pengetahuan yang telah diolah kembali
dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten dan
koheren. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka
pengetahuan tadi harus dipilah (menjadi suatu bidang
tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis,
7 Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrapindoPersada, 2011), 89-91.
5
sistematis serta konsisten. Tujuannya agar pengalaman
tadi bisa diungkapkan kembali secara lebih jelas, rinci
dan setepat-tepatnya.8
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah dapat
dibedakan atas:9
1. Ilmu Pengetahuan Fisis-Kuantitatif, sering
disebut pengetahuan empiris. Pengetahuan ini
diperoleh melalui proses observasi serta analisis
atas data dan fenomena empiris. Termasuk dalam
kelompok ilmu ini adalah geologi, biologi,
antropologi, sosiologi, dan lain-lain.
2. Ilmu Pengetahuan Formal-Kualitatif, sering
disebut pengetahuan matematis. Ilmu ini diperoleh
dengan cara analisis refleksi dengan mencari
hubungan antara konsep-konsep. Termasuk dalam
kelompok ilmu ini adalah logika formal,
matematika, fisika, kimia, dan lain-lain.
3. Ilmu Pengetahuan Metafisis-Substansial, sering
disebut pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat
diperoleh dengan cara analisis refleksi
(pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian
kritis, logis rasional) dengan mencari hakikat
prinsip yang melandasi keberadaan seluruh
kenyataan.
8 Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 91-92. 9 Klasifikasi ilmu ini penulis dapatkan dari berbagai ahli,
lihat dalam: Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 122-129. lihat juga dalam:Hamdani, Filsafat Sains (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 147-149.
6
Kata al-‘ilm dan berbagai turunannya kerap digunakan
dalam Alquran dalam arti pengetahuan umum, termasuk
makna sains-sains alam dan kemanusiaan. Juga mencakup
pengetahuan yang diwahyukan maupun yang diperoleh.
Dengan demikian dalam pandangan Alquran, terminologi
ilmu adalah tak terbatas pada istilah ilmu-ilmu agama
saja, tetapi makna ilmu dalam Alquran adalah segala
macam bentuk ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial,
humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia.
Nilai kemaslahatan itu yang mengharuskan adanya
pemahaman mendalam terhadap objek terkait, dalam hal
ini adalah Alquran. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman atas hakikat dari objek yang hendak dicari.
Pentingnya digunakan metode berpikir filsafat, yakni
filsafat ilmu yang diiringi dengan metode ilmiah untuk
mewujudkan adanya kesesuaian hasil ilmu yang diperoleh
dengan kemaslahatan yang ingin dicapai.10
C. Penafsiran Alquran Secara Ilmiah; Sebuah Keharusan
Kendati Alquran mengungkap isyarat ilmiah, satu
hal yang perlu diingat bahwa Alquran bukanlah kitab
ilmiah. Satu hal yang dapat membuktikan kebenaran
10 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial (Jakarta:Amzah, 2007), 46-48.
7
pernyataan tersebut adalah sikap Alquran terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh para Sahabat Nabi tentang
keadaan bulan.
mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. (QS Al-baqarah:
189)
Menurut ayat ini, mereka bertanya mengapa bulan
sabit terlihat dari malam ke malam membesar hingga
purnama, kemudian sedikit demi sedikit mengecil, hingga
hilang dipandangan mata. Pertanyaan tersebut tidak
dijawab Alquran dengan jawaban ilmiah yang dikenal para
astronom, tetapi jawabannya justru diarahkan kepada
upaya memahami hikmah di balik kenyataan itu.
Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadat) haji;
Namun demikian, karena Alquran adalah kitab
petunjuk untuk kebahagian dunia dan akhirat, tidak
heran jika didalamnya terdapat berbagai petunjuk
tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, guna mendukung fungsinya sebagai kitab
petunjuk. Tapi perlu diperhatikan bahwa hakikat-
hakikat ilmiah yang disinggung dalam Alquran
8
dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat akan
makna. 11
Bila diamati, dalam Alquran dapat ditemukan dua
bentuk realitas, Pertama realitas yang dapat didekati
dengan pengalaman empiris melalui eksperimen dan
observasi. Kedua realitas yang berada di luar jangkauan
pengalaman inderawi.
Realitas yang dapat didekati dengan pengalaman
empiris memiliki akar teologis dengan sinyalemen
Alquran tentang ayat-ayat kauniah dan eksistensi
individu dalam masyarakat. Untuk menjabarkan sinyalemen
tersebut dan memahami realitas ini, penalaran mempunyai
posisi yang sangat strategis dan menentukan. Di pihak
lain, ada realitas yang berada di luar pengalaman
manusia yaitu bagian metafisik yang lebih memerlukan
pendekatan iman. Untuk realitas ini, Alquran
menggunakan ungkapan al-ghalib. Muhammad Assad
mendefinisikan realitas metafisik sebagai realitas yang
berada di luar persepsi metafisik sebagai realitas yang
berada di luar persepsi manusia dan tidak dapat
dibuktikan melalui observasi ilmiah.
Memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan kauniah
dan eksistensi manusia dalam masyarakat tidaklah cukup
dengan memerhatikan tafsiran teksnya secara harfiah,
tetapi haruslah melibatkan banyak disiplin ilmu,
11 M. Quraish Shihab, Mukjizat Alquran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2013), 169-170.
9
terutama ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial. Di samping
itu, seorang penafsir harus memerhatikan konteks
ayatnya, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupinya
dan keadaan sosial kulturalnya. Menurut M. Quraish
shihab, paling tidak haruslah diperhatikan pengetahuan
bahasanya, konteks antara kata dan ayat dan sifat
penemuan ilmiah.12
Alquran tidaklah diturunkan dalam rentangan waktu
dan kondisi yang hampa kultural. Demikian pula,
tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para mufassirin
pada masanya terdahulu tidak terlepas dari konteks
zamannya. Penafsiran mufassir sebelum abad ke-20
tidaklah memiliki konsepsi-konsepsi kebutuhan abad ke-
20. Penafsiran yang sudah ada mungkin menyimpang atau
bisa jadi telah menjadi usang.
Perbedaan-perbedaan pendapat pada masa lampau
terikat atau terpengaruh oleh berbagai peristiwa
sejarah. Kini, situasinya sudah berubah. Perbedaan
pendapat yang berakar pada kasus-kasus masa lampau
haruslah ditinggalkan, karena kita sekarang sudah
berhadapan dengan masalah-masalah yang berbeda. Oleh
karena itu, ajakan untuk kembali kepada Alquran secara
eksplisit dan implisit menghendaki tafsiran-tafsiran
baru yang logis dan realistis.
Penafsiran baru yang dimaksud merupakan perasaan
adanya keperluan untuk melakukan upaya-upaya pembaruan
12 M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyudalam Kehidupan Masyarakat (Bandung Mizan, 2013), 105.
10
dan penyesuaian dalam penafsiran Alquran dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih baik.
Usaha ini merupakan upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an
dengan konteksnya, yaitu situasi dan permasalahan masa
kini.
Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan
semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tersebut, baik
ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar
memahami dan menafsirkan Alquran tidak hanya harfiah
saja, tetapi haruslah dengan cara pendekatan teoritis.
Objek pengamatan yang sama bisa tampak berbeda, karna
perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan
teori yang kita pakai. Hal ini bisa dimengerti sebab
teori tersebut akan membentuk realitas yang diamati.
Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan
Alquran yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud
ketentuan-ketentuan tuhan yang pasti dan jelas
tertulis.
Indikasi diatas menunjukkan bahwa penafsiran akan
berbeda apabila pendekatan dan teori yang digunakan
berbeda. Hasil penafsiran menggunakan paradigma ilmiah
tidaklah sama dengan hasil penafsiran secara harfiah.
Untuk itu, penafsiran Alquran yang banyak melibatkan
disiplin ilmu pengetahuan akan menghasilkan teori-teori
baru dari realitas Alquran. Dengan realitas ini, objek
pengamatan yang terdapat dalam masyarakat dapat diamati
secara lebih konstektual dan menghasilkan penjelasan-
11
penjelasan yang lebih bisa diterima, baik yang
berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lampau maupun
keadaan sekarang.
Bertitik tolak dari realitas Alquran sebagai
realitas yang dapat didekati melalui pengalaman empiris
sejalan dengan sinyalemen Al-Qur’an tentang ayat-ayat
kauniah dan eksistensi manusia dalam masyarakat,maka
sesusungguhnya tepat apabila ayat-ayat Alquran
ditafsirkan secara ilmiah dan memadukannya secara
relevansif dengan perkembangan ilmu pengetahuan melalui
pendekatan analitis interdisipliner dan kontekstual.13
D. Tafsir ‘Ilmi; Apa dan Bagaimana ?
Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran Aqluran yang
bercorak menjustifikasikan istilah-istilah ilmiah
sebagai penjelasan al-Qur’an dan berijtihad dalam
mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan berbagai
13 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Model Penafsiran ( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), 86-89.
12
disiplin ilmu dan pendapat para filsafat.14 Yusuf al-
Qardhawi mendefiniskannya:
ان' ���ي Fا ل�ن��ه اب�� �Iي ز ظ# �ا ون���ه ن� ف� ائ� : ح�ف� ة� Q��ي �Iئ ( ال�حد ه� ���ي �وم ال�كوئ���ه )ال�عل ���ي دم ف�� ح� �ت��س ي� ت�� د� ���ر ال �ي��س ف� ال�ت�ه. ي� ئ�� ح م�عا ي� وض�� ه، وت�� مرام�ي�
Tafsir yang menggunakan ilmu-ilmu kosmos modern, baik dari sisi
hakikat dan teori-teorinya, untuk menjelaskan tujuan dan menjelaskan
makna-maknanya.
Yang dimaksud dengan ilmu kosmos disini
adalah ilmu fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi,
ilmu medis, anatomi, fisiologi, matematika. Termasuk
pula ilmu-limu humaniora dan sosial, seperti ilmu
psikologi, sosiologi, ekonomi.15
pada zaman modern ini, banyak ditemukan orang-
orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Alquran
dengan sorortan pengetahuan ilmiah modern. Dengan
tujuan untuk menunjukkan mukjizat Alquran dalam bidang
keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan
keagungan dan keunikan Alquran dan untuk menjadikan
kaum muslimin bangga memiliki kitab agung ini.
Sebenarnya usaha untuk membuktikan tentang hubungan
antara Alquran dan sains tidak saja dilakukan oleh
orang-orang Islam namun semacam ini pernah dilakukan
14 Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn ( t.tp:Mush’ab ‘amîr al-Islâmiyyah, t.th), Juz II, 180.
15 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm( Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000), 369.
13
oleh ilmuwan-ilmuwan non muslim atau para orientalis.
Seperti Maurice Bucaille misalnya, seorang dokter bedah
berkebangsaan Perancis, telah melakukan usaha yanng
sama. Ia tiba-tiba terkenal sebagai seorang ahli tafsir
dengan bukunya “La Bible, La Coran Et La Sciense”. Menurutnya,
Alquran bukan saja dipandang dapat berbicara tentang
surga dan neraka tetapi juga tentang penemuan-penemuan
ilmiah mutakhir. Alquran seakan-akan mempunyai makna
baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu
pengetahuan modern.16
Pandangan yang menganggap Alquran sebagai sebuah
sumber seluruh pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang
baru, sebab kita mendapati banyak ulama besar kaum
muslim terdahulu pun berpandangan demikian. Di
antaranya adalah imam al-Ghazali. Dalam buku Ihyâ’
Ulûmuddîn, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud:
ن' �kي ز ����ن' ولأج ول�ي� nال: م�ن' اراد ع�لم الأ ����ه ق ����ه ات ����ه ع�ي�ى� ال�ل ����عود رض�ن' م�س ع�ن' اي�
ن' م�سعود دب� ر ال�ق�زان' )رواه اي� ي� لن� )ق�� “jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan
pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Alquran”
16 Maurice Bucaille. La Bible, La Coran Et La Sciense (Jakarta. BulanBintang, 1979) Terj. HM. Rosyidi, 251.
14
Selanjutnya beliau menambahkan “ringkasnya, seluruh
ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Alquran
adalah penjelasan esensi, dan sifat-sifat dan perbuatan-Nya.17
Selain al-Gazhâlî, tokoh yang ada juga
Muhammad ‘Ali Iyyazi yang mengatakan bahwa tafsir ‘ilmi
seringkali ditandai dengan munculnya para pembahas yang
mengaitkan ayat-ayat Alquran dengan teori ilmiah yang
berubah-rubah, dan mereka mengambil manfaat dalam
keterasingan mereka terhadap tafsir ayat Alquran dengan
pembahasan ilmiahnya secara umum. Seakan-akan mereka
ingin selalu mengaitkan seluruh yang berkaitan dengan
ilmu dalam medan hipotesa terhadap Alquran sebagai
kitab petunjuk dan mukjizat. Namun seharusnya bagi
mereka yang berusaha seperti itu harus mengungkap
petunjuk dalam ayat-ayat yang berbicara masalah sains
tersebut, sehingga tidak terhenti pada batasan
sainsnya, tetapi juga menyikap petunjuk yang
terkandung.18
Muhammad Abduh juga termasuk tokoh yang
mendukung tafsir ‘ilmi ini. Menurutnya bahwa Alquran
adalah kitab suci yang banyak mengandung ilmu
pengetahuan tentang sains dan sosial.19 Oleh karenya,
17 Muhammad Ibn Muhammad al-Gazhâlî, Ihyâ ‘Ulûmuddîn (Beirut:Dâr al-Ma’rifah, t,th), Juz, I, 289.
18 Muhammad ‘Alî Iyyazî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum(Taheran: Wizarat al-Tsaqâfiyah wa al-Irsyâd al-Islâmi, 1373 H),93.
19 Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm al-Muhtasib, Ittijât al-Tafsîr fî al-Tafsîr al-Râhin (Oman: Maktabah al-Nahdhah al-Islâmiyyah, 1982), 265-266.
15
penafsiran Alquran secara ilmiah adalah sebuah
keharusan.
Kendati banyak yang memberikan apresiasi besar
terhadap tafsir ‘ilmi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
ada juga kalangan ulama yang menolak keras adanya
penafsiran secara ilmiah ini. al-Syâthibî misalnya, dia
menyatakan berargumen bahwa para sahabat Nabi dan tabi’un
setelah generasi setelahnya mereka adalah orang-orang
yang paling memahami Alquran dan ilmu-ilmu yang ada di
dalamny, tetapi mereka tidak menyampaikan tentang
hukum, dan ketetapan masa mutakhir yang dilakukan saat
ini. Kalau memang ada tentang ketentuan tafsir ‘ilmi,
maka mereka akan memberikan petunjuk atas asal masalah
tafsir tersebut. al-Syâthibî lebih mengutamakan aspek
hukum dibanding teori-teori ilmiah. Sebab baginya,
terlaksananya hukum islam dapat memacu kemajuan umat
Islam pada aspek lainnya.20
Adanya tokoh yang pro-kontra terhadap
permasalahan ini dapat cari penyebabnya. Mereka yang
berkeyakinan tafsir ‘ilmi harus ada berargumen sebagai
berikut:21
1. Perhatian Alquran terhadap sains. Menyebut contoh-
contoh ilmiah dan dorongan untuk merenungkan ayat-
ayat ketuhanan yang ada di langit dan bumi serta
manusia menyebabkan sains dan pengetahuan menjadi
20 Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 189-191.21 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm, 381-
383.
16
berkembang dan kemudian dibandingkan dengan
Alquran.
2. Adanya keyakinan bahwa seluruh ilmu alam ada dalam
Alquran, dan dimungkinkan ilmu-ilmu itu dilahirkan
darinya.
3. Adanya perhatian terhadap ilmu-ilmu alam dan
temuan-temuan baru untuk menegaskan kemukjizatan
Alquran.
4. Adanya perasaan sarjana Muslim bahwa
mempertahankan Alquran dalam menghadapi keragu-
raguan Barat yang mengklaim adanya kontradiksi
sains dengan agama adalah kewajiban untuk
menegaskan bahwa Alquran tidak bertentangan dengan
sains.
Sedangkan bagi mereka yang menolak adanay tafsir
‘ilmi berargumen bahwa:
1. Tafsir ‘ilmi tidak kokoh secara leksikologis
2. Menyalahi kajian filologis atau kajian asal
usul makna.
3. Secara teologis, Alquran mengajarkan pesan
etis dan keagmaan yang berkaitan dalam
pandangan manusia mengenai hidup bukan
pandangan-pandangan kosmologis,
4. Ketidakmungkinan Alquran untuk membuat
pandangan-pandangan teori ilmu dapat berubah.22
22 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial, 44.
17
E. Kaidah yang diperlukan dalam Tafsir ‘ilmi
Model tafsir macam ini setidaknya memuat dua
hal. Pertama, menjadikan teks Alquran sebagai alat
justifikasi bahwa Alquran nyata telah memberikan
isyarat mengenai ilmu alam, sains, teknologi dan
seterusnya. Kedua, penemuan sains ilmiah dijadikan
variabel penguat bahwa Alquran memanglah ilmiah. Dalam
hal ini, problem serius yang sering muncul adalah jika
penemuan sains itu berubah, karena adanya pergeseran
paradigma atau telah mengalami anomali. Posisi teks
Alquran pun tentu akan menjadi kehilangan
relevansinya.23
Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan
tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat Alquran
adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan
metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini,
terdapat beberapa kriteria:
1. Lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan
menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat
Alquran.
2. Tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan
kondisi yang ada pada saat ayat turun.
23 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hinggaideologi (Yogyakarta, PT Lkis Printing Cemerlang, 2013), 249.
18
3. Mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran
eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-
ayat Alquran.24
Hampir sama dengan kaidah sebelumnya, Yûsuf al-
Qardhawî menyatakan ada tiga kaidah yang harus
diperhatikan dalam menafsirkan Alquran secara ilmiah.25
1. Berpegang Kepada hakikat pengetahuan bukan
hepotesa,
2. Tidak Memaksakan diri dalam memahami nash,
3. Tidak menuduh semua umat tidak mempunyai
pengetahuan.
Selain dari kaidah tadi, paling tidak tiga hal yang
perlu digarisbawahi dalam penafsiran secara ilmiah ini,
yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat
penemuan ilmiah.26
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami
kandungan Alquran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab.
Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi
suatu ayat, terlebih dahulu harus meneliti apa saja
pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian
24 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, 92-93. 25 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm, 382-
385.26 M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 161-169.
19
menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan
segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya,
menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah)
sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti
kata-kata dalam ayat-ayat Alquran. Bila apa yang
ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Alquran
dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa
kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang
belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS
96:2)27 tidak mutlak dipahami dengan "darah yang
membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti
yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam
atau masa turunnya Alquran. Masih ada lagi arti-arti
lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".
Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi,
seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika
membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat
ditolak.
27
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
20
Muhammad Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik
memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan
memperhatikan penggunaan Alquran terhadap kata tersebut
dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang
paling tepat dari arti-arti yang digunakan Alquran itu.
Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya
dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu
kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau
mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak
kita adalah bentuk material atau yang berhubungan
dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi
tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
2. Konteks antara Kata atau Ayat
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu
ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut
dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi.
Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara
arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama'
ma'a (QS 15:22)28, yakni hubungan antara lawaqi' dan
28
. dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beriminum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yangmenyimpannya.
21
ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi'
dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)". Namun, bila
diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut
berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan
sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami
dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian
"mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi
tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada
hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-
tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian
itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama'
ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka
tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk
dimakan manusia".
Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan
ayat yang lain. Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah
Al-Naml29 mengemukakan tentang "teori gerakan bumi,
baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari maupun
gerakan lapisan pada perut bumi", terlebih dahulu harus
dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan
ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang
29
dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di
tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu;Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
22
dibicarakan adalah keadaan di bumi kita sekarang ini,
bukan kelak di hari kemudian.
Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi
kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau
penafsiran ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan
satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang
berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin
ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy,
yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Alquran yang
membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu
dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil
kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau
pendapat Alquran tentang masalah yang dibahas itu.
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil
pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan
pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan
sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini
saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-
beda.
Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang
dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin
ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya.
berpijak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran
23
secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang
belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam
menafsirkan Alquran.
Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan
Alquran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak
dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Alquran --
seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan
semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan,
walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung
pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan.
Ayat 30 surat Al-Anbiya'30, yang menjelaskan bahwa
langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu
gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu
hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya
Alquran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak
memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.
Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan
pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia
30
. dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yangpadu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kamijadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiadajuga beriman?
24
tidak berhak untuk mengatasnamakan Alquran dalam
kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi
melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi,
hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk
memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut
sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah
disepakati, maka tak ada persoalan.
Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti
sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang
mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika
itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang
baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia
tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut
sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula
mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain."
Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir",
tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).
25
KESIMPULAN
Tidak bisa dihindarkan bahwa setiap sesuatu pasti
ada yang pro dan kontra, begitu juga dengan tafsir
‘ilmi. Sebagian kalangan ada menerima dan
mengapresiasinya, namun sebaliknya ada juga yang
menolaknya dengan berbagai alasan.
Kendati demikian, penafsiran Alquran secara ilmiah
selama dalam batas-batas dan berdasarkan kaidah yang
26
sudah ditentukan para ulama mampu menjawab kebutuhan
zaman. Karena pada dasarnya, Alquran sejak ribuan tahun
lalu telah menyinggung sains meski dalam porsi yang
sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
27
‘Alî Iyyazî, Muhammad. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa
Manhajuhum. Taheran: Wizarat al-Tsaqâfiyah wa al-
Irsyâd al-Islâmi, 1373 H.
al-Dzahabî, Muhammad Husayn. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. t.tp:
Mush’ab ‘amîr al-Islâmiyyah, t.th.
al-Gazhâlî, Muhammad Ibn Muhammad. Ihyâ ‘Ulûmuddîn. Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, t,th.
al-Muhtasib, Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm. Ittijât al-Tafsîr fî
al-Tafsîr al-Râhin. Oman: Maktabah al-Nahdhah al-
Islâmiyyah, 1982.
al-Qardhâwî, Yûsuf. Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm.
Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000.
al-Sabt, Khâlid ibn Utsmân. Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa
Dirâsatan. t.tp: Dâr ibn Affân, t,th.
Bakhtiar, Amtsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrapindo
Persada, 2011.
Bucaille, Maurice. La Bible, La Coran Et La Sciense. Terj. HM.
Rosyidi. Jakarta. Bulan Bintang, 1979.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika
hingga ideologi. Yogyakarta, PT Lkis Printing
Cemerlang, 2013.
Hamdani, Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
ibn Zakariya, Abû al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayîs al-
Lughah. Beirut: Dâr al-Jail, 1976.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir : Arab Indonesia
Surabaya: Pustaka Progressif, t,th.
28
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Model Penafsiran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial.
Jakarta: Amzah, 2007.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta :
Teras, 2005.
shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung Mizan, 2013.
-------------------------. Mukjizat Alquran: Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung:
Mizan, 2013.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu–Ilmu Al Quran 2. Jakarta :
Penerbit Pustaka Firdaus, 2001.