KETELADANAN PERSPEKTIF HAMKA KAJIAN TAFSIR AL

111
KETELADANAN PERSPEKTIF HAMKA KAJIAN TAFSIR AL- AZHAR Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: Munajat NIM. 11140340000214 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H /2021 M

Transcript of KETELADANAN PERSPEKTIF HAMKA KAJIAN TAFSIR AL

KETELADANAN PERSPEKTIF HAMKA KAJIAN TAFSIR AL-

AZHAR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Munajat

NIM. 11140340000214

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H /2021 M

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul KETELADANAN PERSPEKTIF HAMKA KAJIAN TAFSIR AL-AZHAR telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 11 Agustus 2021

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.A

Aktobi Ghozali, MA NIP. 19710217199802 1 002 NIP. 19730520 200501 1 003

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A

Hasanuddin Sinaga, M.A. NIP. 19690822 199703 1 002 NIP. 19701115 199703 1 002

Pembimbing,

Dr. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005

VT

v

Lembar Pernyataan

vi

vii

ABSTRAK

Munajat, NIM 11140340000214

“Keteladanan Perspektif Hamka Kajian Tafsir al-’Azhar”

Kajian ini mengenai suatu hal tindakan perilaku seseorang, yang

mencontohkan sifat baik dalam suatu bermasyarakat tentu bagi generasi

muda seperti remaja dalam bergaul terhadap teman sebayanya ataupun orang

yang lebih dewasa umurnya. Terkadang remaja perlu tahu akan suatu sikap

yang baik ketika berinteraksi dengan orang dewasa. harus mencerminkan

sopan santun pada dirinya, agar orang dewasa tersebut dapat mengetahuinya

dengan tindakan yang dilakukan. Karena seseorang dapat memprediksi orang

yang baik dan buruk akan suatu sikap pada dirinya tersebut.

Penulis menyinggung pada suatu surah al-Aḥzāb Ayat 21 dan surah

al-Mumtaḥanah ayat 4 dan 6 dalam al-Qur‟an. Pada ayat tersebut terdapat

suatu kata „uswah, Penulis menerjemahkan Keteladanan dengan tafsiran dari

Hamka pada kitab tafsirnya al-Azhar. Dalam hal tersebut penulis

menggunakan metode tematik agar menemukan pengaruh yang cukup

spesifikasi memahami makna keteladanan. Penulis menemukan pada tafsir al-

Azhar pada surah al-Aḥzāb ayat 4 tersebut menunjukan pada Nabi

Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm tetap teguh dalam pendiriannya

ketika melawan kaum Quraisy dalam perang Badar yg jumlahnya lebih

banyak dibandingkan dengan kaum muslimin yang jauh sedikit. Sedangkan

pada surah al-Mumtahanah menunjukan Nabi Ibrāhīm „alīh al-salām „.

sikapnya yang tetap teguh dalam diri untuk memintakan ampun kepada

ayahnya. Karena ayah musyrik menyembah pada sebuah patung yang dianut

nenek moyang dulu. Sebab Nabi Ibrāhīm „alīh al-salām ingin ayah itu untuk

memeluk agama Islam, namun dengan ajakan dari anaknya tersebut tidak di

perdulikan. Penulis menemukan bahwa keteladanan itu suatu keteguhan

dalam pendirian dalam kebaikan. Seperti halnya seseorang tetap teguh dalam

pendiriannya untuk mencontohkan kepada orang-orang suatu sikap baik

dalam pergaulan.

Kata Kunci: Teks, Konteks, Tafsir buya Hamka, Keteladanan

viii

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah adalah kata yang pantas untuk mengawali pengantar ini,

karena Allah yang telah memberikan karunia dan nikmat tak terhingga baik

itu penglihatan, pendengaran, napas, akal untuk berpikir, sehingga penulis

dapat diberikan kesempatan belajar dan menyelesaikan studi strata satu.

Penulis sekali lagi mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga atas karunia

dan rahmat-Nya yang tidak terbatas dan tidak akan pernah bisa habis

terhitung dengan keterbatasan akal manusia. Ṣalāwah serta salam kita

kirimkan kepada Rasulullah ṣɑllᾱ Allahu ‟alaih wɑ sallɑm, sosok yang

menjadi teladan bagi keluarga, sahabat, tabi„in dan generasi setelahnya yang

menjadi pengikut hingga akhir zaman.

Adapun judul skripsi ini “Keteladanan Perspektif Hamka Kajian Tafsir

Al-Azhar” penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu

syarat guna mencapai gelar Sarjana Agama di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tanpa izin dan nikmat yang telah diberikan Maha Kuasa maka skripsi ini

tidak akan selesai tepat pada waktunya. Penyelesaian skripsi ini juga

melibatkan banyak pihak yang tanpanya karya ini akan banyak mengalami

keterlambatan dan kesalahan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan

ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis LC, MA, Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Yusuf Rahman, MA, Dekan fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Eva Nugraha. M.Ag , Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir dan bapak Fahrizal Mahdi, MIRKH Sekretaris Program Studi

x

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir. Yang telah meluangkan waktunya dan

saran teruntuk para mahasiswa untuk keperluan tugas kuliah dalam

mendidik.

4. Dr. M. Suryadinata, M.Ag, Dosen pembimbing skripsi yang selalu

memberikan dedikasinya kepada saya, bersabar memberikan ilmu dan

arahan selama penulis berada di bawah bimbingannya. Beliau juga

telah memberikan saran dan nasehat yang sangat berarti bagi saya dan

semua mahasiswa lainnya.

5. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu per

satu tanpa mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-

Qur‟an dan Tafsir yang ikhlas, tulus dan bersabar untuk mendidik

kami agar menjadi manusia yang berbudi luhur dan berintelektual.

6. KH. Helmi Abdul Mubin, Lc, Pimpinan Pondok Pesantren Ummul

Quro al-Islami Banyusuci Leuwimekar Leuwiliang Bogor. Yang

pernah saya menimba ilmunya di pondok pesantren tersebut, semoga

keberkahan Kyai serta ilmu yang pernah diajarkan kepada santrinya

termasuk saya menjadikan bekal hidup yang baik.

7. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Angkatan 2014,

terutama IQTAF kelas F dan KKN Maura 58 memberi dukungan

kepada saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara

langsung maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis

mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya untuk

membantu pengerjaan skripsi ini. Akhir kata penulis menyadari

bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan

kekeliruan dalam penelitian ini memungkinkan untuk terjadi. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

xi

xii

xiii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 8

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ..................................... 8

D. Tujuan penelitian .................................................................................. 9

E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9

F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 10

G. Metodologi Penelitian ......................................................................... 14

H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 15

BAB II TEORI KETELADANAN SECARA UMUM ................................ 17

A. Pengertian keteladanan ....................................................................... 17

B. Makna Dasar Keteladanan .................................................................. 22

C. Macam-macam Keteladanan ............................................................... 26

BAB III BIOGRAFI ...................................................................................... 37

A. Profil Buya Hamka ............................................................................. 37

1. Riwayat Hidup Hamka .................................................................... 37

2. Intelektual Hamka ........................................................................... 42

3. Pandangan Ulama Terhadap Hamka ............................................... 44

4. Karya-karya Hamka ........................................................................ 47

B. Profil Tafsir al-Azhar .......................................................................... 50

1. Penulisan Kitab Tafsir al- Azhar ..................................................... 51

2. Metode Penulisan Tafsir al-Azhar................................................... 54

C. Corak Tafsir al-Azhar ......................................................................... 56

xiv

1. Sistematika Penafsiran Tafsir al-Azhar ........................................... 58

2. Karakter Khas Tafsir al-Azhar ........................................................ 58

BAB IV ANALISIS KATA KETELADANAN DALAM TAFSIR AL-

AZHAR ........................................................................................................... 63

A. Sikap Teladan Nabi Muhammad ........................................................ 63

1. Sumber Akhlak ................................................................................ 66

B. Sikap Teladan Nabi Ibrāhīm ............................................................... 70

1. Berbuat baik kepada orang tua ........................................................ 72

2. Bertawakal. ...................................................................................... 74

3. Bertaubat ......................................................................................... 75

4. Berdoa ............................................................................................. 77

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 83

A. Kesimpulan ......................................................................................... 83

B. Saran ................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 85

xv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada pedoman transliterasi Arab-Latin yang merupakan hasil

keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan R.I Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf

Latin dapat dilihat pada halaman berikut:

Huruf arab Nama Huruf latin Nama

ا

alif Tidak

dilambangkan

Tidak

dilambangkan

ba‟ b be ب

ت

ta‟

t

te

ṡa ṡ es (dengan titik diatas) ث

jim j je ج

ح

ḥa

ḥ ha dengan titik di

bawah

kha‟ kh ka dan ha خ

dal d de د

żal ż zet (dengan titik diatas) ذ

ra r er ر

zai z zet ز

sin s es س

ش

syin

sy

es dab ye

xvi

ص

ṣad

ṣ es dengan titik di

bawah

ض

ḍad

ḍ de dengan titik di

bawah

ط

ṭa

ṭ te dengan titik di

bawah

ظ

ẓa

ẓ zet dengan titik di

bawah

ain „_ apostrof terbalik„ ع

ghain g ge غ

ؼ

fa

f

fa

qaf q qi ؽ

ؾ

kaf

k

ka

lam l el ؿ

ـ

mim

m

em

nun n en ف

wau w we ك

ha h ha ق

hamzah _ʼ apostrof ء

ya‟ y ye م

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis

dengan tanda (ʼ).

B. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

xvii

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau

harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Vokal Nama Latin Keterangan

ا

Fatḥah

a

a

ا

Kasrah

i

i

ا

Ḍammah

u

u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf,

yaitu:

Tanda Nama Latin Keterangan

ىىيFatḥaḥ dan ya ai a dan i

ىىوFatḥaḥ dan Wau au a dan u

Contoh:

ḥaula : ىوؿ Kaifa : كيف

C. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat

dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan

huruf

Nama

Latin

Keterangan

ب

Fatḥaḥ dan alif

ā a dengan garis di

atas

Kasrah dan Ya‟ ī i dengan garis di atas ب

ييو

Ḍammah dan Waw

ū u dengan garis di

atas

Contoh:

xviii

māta : مىات

ramā : رمىى

qīla : قيلى

yamūtu : يىيوتي

A. Ta marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang

hidup atau mendapat harakat fatḥaḥ. kasrah, dan ḍammah, transliterasinya

adalah (t). sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,

transliterasinya adalah (h).

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah,

maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

rauḍah al-aṭfāl : رىكضىةياألىطفاؿ

ىديػنىةيالفىاضلىةي al-madīnah al-fāḍilah : امل

al-ḥikmah : احلكمىةي

B. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda tasydīd ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan

dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

rabbanā : رىبػنىا

نىا najjaīnā : نىيػ

al-ḥaqq : احلىق

al-ḥajj : احلىج

xix

nu“ima : نػيعمى

aduwwun„: عىديك

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir kata dan didahului oleh huruf kasrah

ى ) ), maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (ī).

Contoh:

Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)‟: عىلي

.Arabī (bukan „Arabi atau „Araby)„ : عىرىب

C. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang .(alif lam ma‟rifah) ال

ditransliterasikan seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah

maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung

mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan

dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:

al-syams (bukan asy-syamsu) : الشىمسي

al-zalzalah (bukan az-zalzalah) : الزىلزىلىةي

al-falsafah : الفىلسىفىةي

دي al-bilādu : البلى

D. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (ʼ) hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah

terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia

berupa alif. Contohnya:

ميريكفى ta‟murū : تى

‟al-nau : النػىوءي

xx

syai‟un : شىيءه

umirtu : أيمرتي

E. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa

Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasikan adalah kata,

istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,

istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari

perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan

bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas.

Misalnya kata Al-Qur‟an (dari al-Qur‟ān), sunnah, khusus dan umum.

Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari suatu rangkaian teks

Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fī Ẓilāl al-Qur‟ān

Al-Sunnah qabl al-tadwīn

Al-„Ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-shabab

F. Lafẓ al-Jalālah (هللا)

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), Transliterasi

tanpa huruf hamzah. Contoh:

billāh بالل dīnullāh دينالل

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ-

jalālah, ditransliterasikan dengan huruf (t). Contoh:

hum fī raḥmatillāh هم في رحمةللا

xxi

G. Huruf Kapital

Walaupun system tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All

Caps), dalam transliterasikan huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia

yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan

huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada

permulaan kalimat. Bila nama diri diketahui oleh kata sandang (al-), maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).

ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang

didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun

dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa māMuḥammadun illā rasūl

Inna awwala baitin wuḍi‟a linnāsi bi Bakkata mubārakan

Syahrul Ramaḍān al-laẓī unzila fihi al-Qur‟ān

Naṣir al-Dīn al-Ṭūsī

Abū Naṣr al-Farābī

Al-Ghazālī

Al-Munqiż minhal-Ḍalāl

xxii

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan perlu adanya keteladanan antara sesama manusia

agar yang lakukan menjadikan suatu ibadah. Pada bukunya Buya Hamka

berisikan suatu kalimat yang perlu adanya suatu panutan/teladan yang

baik, seperti halnya mencontohkan suatu keteladanan yang baik itu

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm, mewariskan dua

pusaka/pembimbing hidup yaitu al-Qur‟an dan hadis yang berisikan suatu

hal agar selamat dunia dan akhirat.

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm adalah suri teladan yang

patut dicontoh bagi seorang muslim yang baik. Rasul mengatakan bahwa

pusat eksistensi manusia yang menentukan kualitas kepribadiannya adalah

qalb. Manusia memiliki potensi qalb untuk merenung, menyadari,

menghayati, memilih mana yang baik dan buruk. Kata qolb yang telah

diserap ke dalam bahasa indonesia menjadi “kalbu” ini mengandung

pengertian sumber kesadaran batiniah atau dapat dimaksud dengan hati

nurani.1

Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm sukses dalam

mensiarkan agama Islam dalam media dakwahnya, yang mana rasululah

selalu mengedepankan keteladanan pada setiap orang-orang yang

mengenal Islam..2

Keteladanan Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm bukan

keteladanan yang absurd (tidak masuk akal) dan mustahil dicontoh oleh

manusia umumnya. Ketika Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

1 Hamadani Bakran Adz-dzakiey, Kecerdasan Kenabian Prophetic Intelligence,

(Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2006), 5. 2 Untung M.S, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang:Pustaka Rizki, 2005), 160.

2

sallɑm berinteraksi dengan Allah subḥāna wa ta‟ala Maha pencipta ketika

di sepertiga malamnya untuk beribadah dan berdoa. Rasul ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm juga berinteraksi kepada setiap orang-orang serta

lingkungan, semuanya tindakan yang dilakukan dari perkataannya

perbuatan yang dilakukan mengandung sebuah unsur keteladanan yang

dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi moral bagi seseorang untuk

melakukan hal yang sama. Interaksi edukatif (mendidik) yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm . Hal tersebut dapat

dirumuskan dengan: Akhlak manusia terhadap Allah subḥāna wa ta‟ala

dalam suatu ibadah, akhlak manusia dengan dirinya sendiri dalam

memecahkan suatu yang baik, akhlak manusia dengan manusia lainnya

seperti hal saling tolong menolong, dan ahklak manusia dengan

lingkungan seperti hal agar selalu menjaga lingkungan baik itu menjaga

alam sekitar serta merawatnya agar tidak dirusak.3

Dalam kamus besar Bahasa indonesia disebutkan bahwa keteladanan

dasar kata teladan yaitu: “(perbuatan atau barang) yang patut ditiru dan

dicontoh”4 Oleh karena itu keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru

dan dicontoh. Dalam bahasa Arab keteladanan diungkapkan dengan kata

„uswah dan bentuk dari huruf-huruf; hamzah, Syin, dan Waw. Artinya

pengobatan dan perbaikan5

Dengan demikian kata keteladanan atau „uswah ḥasanah adalah hal-

hal yang ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain yang memiliki

nilai positif. Sehingga yang dikehendaki dengan keteladanan („uswah) di

sini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan

3 Untung M.S, Muhammad Sang Pendidik, cet. I (Semarang:Pustaka Rizki, 2005),

, 163. 4 Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 1995), 22. 5 al-Syaik al-Imam Muhammad bin Abi Bakr Ibn Abdul Qadir Al-Razi, Mukhtar

al-Shihah (Lebanon: Maktabah, 1980), 7.

3

Islam, yaitu keteladanan yang baik, sesuai dengan pengertian uswatun

hasanah.

Keteladanaan dalam term „uswah dalam al-Qur‟an surah al-Aḥzāb

ayat 21.

ى كىاليػىوـى الهخرى ى لىقىد كىافى لىكيم ف رىسيوؿ الله ايسوىةه حىسىنىةه لمىن كىافى يػىرجيوا الله كىذىكىرى اللهثيػرنا كى

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia

banyak menyebut Allah." (Qs. al- Aḥzāb/ 33: 21)

Konteks ayat di atas menunjukkan posisi Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm sama seperti dalam wacana, perbuatan, dan pengobatan,

juga pembiaran tersebut merupakan permohonan dari Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā terhadap manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm. di bagian surah al-Aḥzāb: 21 mengungkapkan untuk

melambangkan toleransi, sekalipun isu-isu yang diberikan oleh Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā. Ada juga pendahuluan yang diberikan Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā kepada Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

akan memberikan bantuan dan kemenangan sebagaimana dijanjikan

kepadanya.6

Jelas Muḥammad jamāluddīn al-Qāsimī mengatakan dalam tafsirnya

bahwasanya Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm itu dalam dirinya

terdapat suri teladan baik contohnya agar orang yang dapat mengharap

rahmat Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan di hari kiamat banyak yang

6 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-aliyyul Qadir li intisari tafsir ibnu katsir,

Terj. Syihabuddin, Kemudahan Dari Allah ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,jilid 3, (Jakarta

G situasi gema insani press,1989), 841.

4

memanggil Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Tentu halnya suatu Akhlak dan

perilaku pada Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm terdapat suri

teladan yang baik dikarena ketetapan dan ketegaran hati disaat

menghadapi cobaan dan situasi yang berat. Ini sangat atau diperlukan serta

didapati kesabaran ketika menghadapi cobaan dan ancaman. Jiwa beliau

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm tetap tabah dan tenang dalam

menghadapi segala situasi personal yang dihadapinya. Tidak putus asa

dalam menghadapi kesulitan dan tidak merasa rendah terhadap hal-hal

yang besar. Walaupun dalam keadaan lemah beliau Rasulullah ṣɑllā

Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm tetap teguh dan sabar sebagaimana orang yang

beriman untuk selalu unggul. Dan sesungguhnya siapa yang bisa bersabar

dalam berdo‟a kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dalam menghadapi

situasi persoalan yang rumit maka orang tersebut punya derajat tinggi.7

Menurut Abū Ja‟far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī menegaskan

pada tafsirannya bahwa adanya perbedaan para Qurra‟ (orang yang pandai

suatu membaca al-Qur‟an) dalam membaca firman („uswah) umumnya

para qurra‟ Mesir selain Imam „Ashim bin Abi Nujud, mengucapkan

(„uswah) dengan kasrah Alif. Walaupun Imam „Ashim Membaca („uswah)

dengan ḍammah Alif. Ayat ini diturunkan merupakan cobaan dari Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā kepada orang-orang yang tidak mau mengikuti

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm dan para sahabat-sahabatnya

(orang mukmin) di Madinah. Maka barangsiapa yang mengharapkan

pahala dari Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan rahmatnya nanti di hari akhirat

maka dia tidak akan merasa cukup/senang dengan dirinya sendiri. Tetapi

dengan itu dia merasa mempunyai contoh teladan untuk selalu diikuti di

7 Muḥammad jamāluddīn al-Qāsimī, Tafsir al-Qasimi al Musamma Mahasin al

ta‟wil, juz 13, (Beirut: Darul al Fikr, 1924), 129.

5

manapun dia berada.8 Senada dengan hal tersebut, Imam Sulaiman Ibn

Umar menafsirkan bahwa kalian telah mempunyai contoh teladan dalam

diri Nabi, yang mana beliau adalah mencurahkan tenaganya untuk

menolong agama Allah dengan cara ikut bertempur dalam perang

Khandak. Juga dia saat beliau terluka wajah dan gigi depannya, serta

terbunuhnya paman beliau Hamzah dan bagaimana beliau juga merasakan

lapar, meski demikian beliau tetap sabar, berharap pertolongan kepada

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan selalu ikhlas dengan apa pun yang terjadi

itu segalanya.9

Pada dasarnya ayat tersebut menunjukan pada pribadi Nabi

Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm. Dengan demikian, sikap

kepribadian/keteladanan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

hendaknya harus dimiliki oleh seorang pendidik, ini berarti seorang guru

atau orang tua mempunyai peran penting dalam membentuk jiwa anak.

Sifat sabar, teguh pendirian akhlakul karimah merupakan sifat yang harus

ditanamkan kepada mereka. Sehingga mereka akan memiliki jiwa dan

mental yang kuat dengan kepribadian yang baik serta tidak memiliki sifat

pengecut.

Ayat tersebut diulang pada Qs. al-Mumtaḥanah/ 60: 4 dan 6:

ابػرهىيمى كىالذينى مىعىو ف قىد كىانىت لىكيم ايسوىةه حىسىنىةه ؤيا اذ قىاليوا لقىومهم ان بػيرىءه

ا منكيم كىما تػىعبيديكفى من ديكف الله ءي اىبىدناكىةي كىالبػىغضىا نىكيمي العىدى نػىنىا كىبػىيػ ا بػىيػ كىفىرنى بكيم كىبىدى

دىهحىته تػيؤمنػيوا بلله كىح ىستػىغفرىف لىكى كىمىا اىملكي لىكى منى ال قػىوؿى ابػرهىيمى لىبيو لىري الله من شىيءو نىا كىالىيكى المىصيػ لنىا كىالىيكى اىنػىبػ رىبػنىا عىلىيكى تػىوىك

8 Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir al-Ṭabari, jami al-Bayan „An Ta‟wili ayī al-

Qur‟an, Juz 19, (Beirut: Darul al-Fikr, 1924), 143. 9 Imam Sulaiman Ibn Umar Al-Ajyay al-Syafi‟y Al-Syahir bil Jamal, Al

Futuuhhaat al Ilhiyyah Bi Taudiihi Tafsir Al-jalalain Lidawaaqk al-Khafiyah, juz 7

(Beirut:Dar Al Kutub al-Ilmiyah, 1204 H), 162.

6

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrāhīm „alīh

al-salām dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka

berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu

dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari

(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan

dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada

Allah saja,” kecuali perkataan Ibrāhīm „alīh al-salām kepada ayahnya,

”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama

sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.” (Ibrāhīm „alīh

al-salām berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami

bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada

Engkaulah kami kembali,” (Qs. al-Mumtaḥanah/ 60: 4).

ى كىاليػىوـى الهخرى لىقىد كىافى لىكيم فيهم ايسوىةه حىسىنىةه لمىن كىافى يػىرجيوا ى الله كىمىن يػتػىوىؿ فىاف الله ىيوى الغىن احلىميدي

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrāhīm „alīh al-salām dan umatnya)

ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang

mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan

barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang

Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. al-Mumtaḥanah/ 60:6)

Ibnu Katsir mengatakan dalam al-Qur'an, Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā berfirman kepada umat untuk tidak antagonis terhadap orang-orang

untuk memisahkan diri dari mereka, Pasti ada teladan yang tulus untuk

pada Ibrāhīm „alīh al-salām dan orang-orang yang bersamanya, (Dan

orang-orang yang beriman kepadanya) dari mengikuti kepada Nabi.

Karena memohon pengampunan kepada Tuhan terhadap ayahnya

meskipun faktanya itu adalah musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.10

Jelas Buya Hamka pada Tafsir al-Azhar secara eksplisit bahwa Nabi

Ibrāhīm „Alaīh al-salām meminta pengampunan ayahnya kepada Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā, akan tetapi ayahnya tidak menghiraukan apa yang

10 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan Dari Allah ringkasan Tafsir Ibn

Katsir, Jilid 3. terj., Syihabuddin, (Jakarta : Gema Insani Press,1989), 671.

7

diperbuat Nabi Ibrāhīm „alīh al-salām. Karena ayah tetap tidak merespon

yang dilakukan Nabi Ibrāhīm „Alaīh al-salam untuk menyembah Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā akan tetapi kembali menyembah patung yg diajar

nenek moyang mereka. Nabi Ibrāhīm „Alaīh al-salam tidak pantang

menyerah dalam menghadapi musuh-musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

Dia mengatakan kepada ayahnya dia akan benar-benar meminta

pengampunan karena kapasitasnya untuk memohon kepada Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā kekuatannya dekat dengan itu. Namun, setelah itu

jaminan tidak puas oleh ayahnya atas meninggalnya agama lamanya.

Pokoknya tidak mengganggu sentimen dan benar-benar berarti Nabi

Ibrāhīm „Alaīh al-salam terhadap ayahnya, sepanjang garis-garis ini dia

tahu itu tentang ayahnya sebenarnya adalah musuh Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā.11

Penjelasan tentang keteladanan amat perlu sekali untuk dikaji lebih

dalam, mengingat kasus-kasus perilaku yang kurang baik di masyarakat di

zaman sekarang yang patut diperbaiki dari segi akhlak, moral, sopan

santun, budi pekerti terutama pendidikan keteladanan. Berdasarkan

penjelasan tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian

dengan Metode Tafsir Tematik dalam kajian ini, guna menghadirkan

gambaran yang sistematis dan pemahaman yang utuh mengenai tema

keteladanan. Penelitian ini diberi judul: Keteladanan perspektif Hamka

dalam kajian Kitab Al-Azhar. Saya mengambil karya Hamka dengan

Tafsir al-Azhar sebagai rujukan, karena penulis merasa ingin mengkajinya

lagi agar dapat dipahami dengan baik, dengan mufasir tersebut karena

sangat bagus untuk dijadikan sebuah penelitian skripsi penulis.

11

Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, jilid 9 cet. IV (Singapura

Pustaka Nasional PTE ELTD,1999), 7296.

8

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis, permasalahan

yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:

a. Jelaskan penafsiran Buya Hamka dalam kitab tafsirnya

mengenai keteladanan ?

b. Apa maksud keteladanan menurut Buya Hamka dalam tafsir al

azhar pada Qs. al- Aḥzāb/ 33: 21 dan Qs. al-Mumtaḥanah/ 60: 4

dan 6 tersebut ?

c. Jelaskan istilah keteladanan dalam al-Qur‟an?

d. Bagaimana Buya Hamka dalam memahami cara pandang

keteladanan?

e. Apa yang membedakan dengan penafsir lain mengenai maksud

keteladanan tersebut ?

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1 Agar dalam penelitian ini tersusun dengan baik dan lebih

mendalam maka penulis membatasi masalah dengan melakukan

pencarian kata „uswah dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-

Fᾱż al-Qur‟an al-Karῑm karya Muhammad Fu‟ᾱd „Abd al-Bᾱqῑ

dan menemukan 3 ayat yakni: Qs. al- Aḥzāb/ 33: 21, Qs. al-

Mumtaḥanah/ 60: 4 dan 6.

2 Dari beberapa identifikasi masalah di atas, peneliti dapat

merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,

yaitu : bagaimana Buya Hamka memahami kata „uswah dalam

kitab tafsir al-Azhar Qs. al-Aḥzāb/ 33: 21 dan al-Mumtaḥanah ayat

4 dan 6.

9

D. Tujuan penelitian

Mengingat definisi masalah, asumsi yang harus dicapai dalam

penyelidikan ini, misalnya:

1. Untuk mengetahui jauh dalam memahami arti ayat-ayat

keteladanan dari seorang mufassir buya Hamka.

2. Untuk bisa mencontohkan keteladanan yang baik bagi generasi

muda khusus bagi para remaja dalam suatu lingkungan

pergaulan.

3. Untuk mencontohkan isi Tafsir Qs. al-Aḥzāb/ 33: 21, suatu

sikap Nabi Muhammad saw yang teguh dalam pendiriannya.

4. Merubah perilaku dalam pergaulan bebas terhadap suatu

lingkungan masyarakat yang suka meresahkan.

5. Untuk memenuhi prasyarat tugas dan keinginan terakhir

memperoleh pendidikan perguruan tinggi empat tahun Strata 1

(S1) dari lapangan UIN Syarif Hidayatullah dari tenaga kerja

Program Studi Ushuluddin al-Qur'an dan Tafsir

E. Manfaat Penelitian

Menambahkan kontribusi dalam hal kajian dan memahami suatu

perkembangan pada al-Qur‟an, khususnya pada ayat-ayat yang

menyinggung masalah keteladanan dalam al-Qur‟an, serta menambah

Khazanah kepustakaan dan intelektual Islam terutama dalam studi

penafsiran al-Qur‟an. Di samping itu, penelitian ini juga dapat berguna

sebagai bahan rujukan bagi siapa saja yang ingin meneliti atau

mengembangkan penelitiannya secara sempurna.

Manfaat skripsi ini untuk Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.

peneliti akan melengkapi makna dan arti keteladanan. yang perlu

10

dipelajari oleh beberapa orang penelitian sebelumnya, dan menambahkan

apa yang belum dipelajari sebelumnya juga.

Adapun kegunaan dari penelitian ini secara non akademik adalah:

1. Agar para pembaca bisa memahami suatu gambaran dan

pemahaman tentang keteladanan.

2. Agar Keteladanan yang dikaji mampu diaplikasikan ke setiap

orang terutama bagi penulis sendiri.

3. Untuk menambah Khazanah keilmuan serta dapat memahami

kandungan ayat al-Qur‟an.

F. Tinjauan Pustaka

Skripsi, Siti Barokatul Amamiyah tentang “Metode Keteladanan

(„uswah ḥasanah) Dalam Pendidikan Islam Perspektif al-Qur‟an” skripsi

ini menjelaskan pendidikan keteladanan prinsip dalam meluruskan

penyimpangan moral dan perilaku anak-anak dalam meningkatkan

kualitas menuju kemuliaan berakhlak. Sepanjang garis-garis ini, sebagai

guru yang sah dan dipercaya oleh wali, dengan berakhlak yang terhormat

kemungkinan bahwa anak muda akan tumbuh dengan karakteristik besar

sepanjang kehidupan sehari-hari. Pada saat itu jika anak muda dibesarkan

dengan teguran dan agresi, dia akan mencari tahu bagaimana untuk

menghidupkan kembali dan pertempuran, melainkan anak yang dibesarkan

dengan simpati dan dedikasi besar dia akan belajar kesetaraan dan

menemukan cinta dalam hidupnya.12

12

Siti Barokatul Amamiya “metode keteladanan (uswah hasanah) dalam

pendidikan islam perspektif al-qur‟an” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya 2015). 20.

11

Karya buku Yunan Yusuf dalam bukunya membahas tentang “corak

pemikiran kalam Hamka dalam Tafsir al-Azhar”. percakapan ini dalam

sejarah hidup Hamka dengan siklus kreatif yang sangat luar biasa dan luar

biasa pada Pemahaman al-Azhar oleh Hamka, , penulis menjelaskan yang

sangat komprehensif dan cermat, penulisan menguraikan dengan cermat

dan nyata akan pemikiran Hamka dalam tafsirnya.13

Artikel, Fachry Ali tentang “Hamka dan Masyarakat Islam

Indonesia‟ catatan pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya” artikel ini

menyimpulkan bahwa Hamka seorang pembaharu Islam di indonesia,

dengan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, Hamka memiliki

kredibilitas yang tinggi. Pemahamanya yang luas mengenai agama dan

juga pemikiran-pemikiran membuat Hamka menjadi seorang yang

berpandangan luas. Hamka adalah seorang ulama yang posisi terdepan

dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang mengalami proses

modernisasi.14

Skripsi, Abdur Rahim tentang “Konsep Akhlak Menurut Hamka

(1908-1981)” skripsi ini menjelaskan Kualitas mendalam memiliki

pekerjaan besar dalam sistem biologis manusia, setiap perkembangan

orang tidak dapat diisolasi dari akhlak yang mengenali orang dari berbagai

makhluk.15

13

Yunan Yusuf, M, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: sebuah Telaah

Tentang Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, cet 1 (Jakarta: Pustaka Panjim as, 1990)

35 14

Fachry Ali, “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendauluan Riwayat dan peruangannya”. Dalam Majalah Prisma, Februari, 1983, 23 . 15

Abd Rahim, “Konsep Akhlak Menurut Hamka (1908-1981)” ( Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013). 24.

12

Skripsi, Siti lestari tentang “Pemikiran Hamka tentang pendidik

dalam pendidikan Islam” jurnal ini menjelaskan tentang pemikiran yang

berati proses, perbuatan, cara memikir problem yang memerlukan

pemecahan, Hamka merupakan salah satu pemikir pendidikan yang

banyak memberikan tawaran-tawaran konsep pendidikan Islam yang benar

yaitu yang sejalan dengan al-Qur‟an dan hadis, pendidik dalam Islam

adalah orang-orang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta

didik, baik potensi afektif, kognitif (cipta) atau Psikomotorik (karsa).16

Jurnal, Shabahus Surur tentang “Pembaruan Pendidikan Islam

Perspektif Hamka” jurnal ini menjelaskan bahwa pembaruan sebuah

keharusan. Para Ulama sepakat bahwa pembaruan (tajdid) harus dilakukan

agar pokok-pokok ajaran Islam diterima dan dilaksanakan oleh

masyarakat.17

Skripsi, Ahmad Muslim tentang “Corak Penafsiran Tasawuf Hamka

(Studi Penafsiran ayat-ayat Tasawuf dalam Tafsir al-Azhar)” Skripsi ini

tertuju pada Tasawuf Hamka adalah tasawuf yang dirancang Tafsir Isyari,

yaitu tasawuf tergantung pada prinsip-prinsip logis yang tulus dan masuk

akal. sama seperti terjemahan pembiaran al-Qur'an dan pemahaman isyari

adalah al-Qur'an menggabungkan apa itu zahir dan mental. Pentingnya

zahir adalah isi pembicaran al-Qur'an sementara pentingnya jiwa adalah

pentingnya tanda menyerupai pemeriksaan magis berdasarkan ruhiyyah

riyadhah, atau kegiatan mendalam dengan arah melalui suara batin atau

16

Siti Lestari, “Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan dalam Pendidikan Islam”

(Skripsi S1., Intituts Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010). 18. 17

Shabah Surur, “pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka” . Jurnal,

Universitas Darussalam Gontor. Vol. 2, no. 1 (Januari 2009). 25.

13

disebut mukasyafah, pertinensi tasawuf Hamka dengan kehidupan saat ini

memiliki selaras.18

Jurnal, Usep Taufik Hidayat tentang “Tafsir al-Azhar: Menyelami

Kedalaman Tasawuf Hamka” Jurnal ini tidak berkarakter dan istilah

tasawuf sepenuhnya namun Hamka hanya mencirikan istilah-istilah yang

membutuhkan pengaturan sosial apa adanya. Seperti gagasan tentang

tasawuf secara komprehensif dalam sudut pandangnya sendiri, hipotesis

Tasawuf tradisional dilengkapi dengan pengaturan sosio kultural

masyarakat Jawa dan Melayu saat ini.19

Karya Ilmiah, M. Sirajuddin tentang “Konsep Ulama menurut

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar” karya ilmiah ini menjelaskan tentang

ulama itu bukan hanya ahli di bidang pengetahuan agama saja tetapi juga

seorang yang ahli mengkaji masalah ilmu agama juga dengan bertujuan

untuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā .

Imam Faizal dalam skripsinya menjelaskan tentang “Pemikiran

Hamka tentang guru” skripsi ini menjelaskan bahwa menurut Hamka guru

adalah sosok yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan

mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas,

Hamka lebih menekankan aspek pendidikan jasmani dan rohani.20

18

Ahmad Muslim, “Corak Penafsiran Tasawuf Hamka (Studi Penafsiran Tasawuf

Dalam Tafsir Al-Azhar” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,

2016). 19

Usep Taufik Hidayat, “Tafsir al-Azhar : Menyelami Kedalam Tasawuf Hamka”

Jurnal Fakultas Adab Humaniora, vol. 1, no. 2 (Oktober 2015): 213-215. 20

Imam Faizal, “Pemikiran Hamka tentang Guru” (Skripsi S1., Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016), 15.

14

G. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah harus menggunakan

metodologi penelitian. Metode adalah cara yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata

agar tujuan telah disusun tercapai secara optimal.21

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif. Dalam pengumpulan data, jenis penulis ini

library research yaitu teknik pengumpulan data dengan

mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-

literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada sehingga

diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan

masalah yang dipecahkan.22

Adapun teknik penulisan skripsi ini

merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Artikel,

dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Sumber data

Dalam penyelidikan, jelas, pencipta menggunakan dua sumber

informasi, yang terdiri dari sumber informasi penting dan sumber

informasi tambahan.

a. Sumber informasi mendasar data primer23

dalam menulis

sebuah skripsi ini perlu merujuk kepada sebuah kitab suci al-

21

Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan

(Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2008), 147. 22

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003),

27. 23

“Sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak

pertama. Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab riset atau

penelitian,” Diakses 25 November 2017. http://accounting-

media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1

15

Qur‟an dan hadits yang berkaitan dengan ayat-ayat

keteladanan. Adapun literatur pokok yang menjadi acuan

dalam penelitian ini merujuk pada kitab tafsir al-Azhar karya

Hamka

b. Pokok sumber data sekunder24

dalam sebuah penelitian ini

penulis perlu merujuk pada kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-

Fᾱż al-Qur‟an al-Karῑm pada karya Muḥammad Fu‟ᾱd „Abd al-

Bᾱqῑ kamus-kamus bahasa Arab, ensiklopedi, dan merujuk pada

buku-buku, jurnal, tesis, disertasi, artikel, dan makalah yang

berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.

3. Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data-data dari

sumber primer dan sekunder, penulis perlu mencoba mengolah data

tersebut dengan menggunakan metode tematik25

. Penulis menggunakan

metode tematik karena penulis mengumpulkan ayat-ayat terlebih dahulu,

kemudian penulis menganalisisnya.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan hal yang penting karena

mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-

masing bab yang saling berkaitan dan berurutan. Hal ini dimaksud agar

tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunan dan tidak keluar dari

pembahasannya. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:

24

Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab riset atau

penelitian,” Diakses 25 November 2017, http://accounting-

media.blogspot.co.id/2014/06/data-primer-dan-data-sekunder.html?m=1 25

„Abd al-Hayy al-Farmᾱwi, Al-Bidᾱyah fi al-Tafsir al-Mauḏū‟i: Dirasah

Manhajiyyah Mau ḏiyyah (Cairo: Al-Hadharah al-„Arabiyyah, 1977), 23.

16

Bab I berisikan pendahuluan. Bab ini dimulai dari latar belakang

masalah, Identifikasi masalah dan batasan masalah, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian, tinjauan penelitian terdahulu, metodologi penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang gambaran umum konsep keteladanan yang

meliputi berupa pengertian keteladanan, macam-macam keteladanan,

tujuan dan manfaat keteladanan.

Bab III, berisi tentang biografi Hamka lalu seputar kehidupan buya

Hamka dan karya-karyanya seperti karya kitab tafsirnya al-Azhar, historis

kitab tafsir al-Azhar, sumber dan metode penafsiran kitab tafsir al-Azhar,

corak dan sistematika penafsiran kitab tafsir al-Azhar

Bab IV, berisi tentang Analisis makna kata khusus keteladanan

dalam kitab Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka pada surah al-Aḥzāb

ayat:21 dan surah al-Mumtahanah ayat 4 dan 6.

Bab V, hasil akhir atau penutup dari penelitian skripsi ini, yang

merupakan kesimpulan yaitu jawaban dari pertanyaan yang diajukan

dalam rumusan masalah serta berikan saran-saran mengenai penelitian

yang dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan dan kekurangan pada

penelitian yang terkait.

17

BAB II

TEORI KETELADANAN SECARA UMUM

A. Pengertian keteladanan

Dalam hal pandangan linguistik, "keteladanan" dasar kata adalah

"teladan" dalam arti itu contoh, sesuatu yang patut ditiru karena itu baik,

seperti halnya dengan perilaku, perbuatan dan kata-kata. Kemudian kata

"contoh" diberikan dengan awalan "ke" dan akhiran "an", sehingga

menjadi kata "ketegasan" yang berarti sesuatu yang memberi contoh atau

contoh yang patut ditiru dalam kebaikan. Tetapi dalam bahasa Arab

contohnya berasal dari kata qudwah. Menurut Yahyā Jalāludin, qudwah

berarti „uswah, yaitu ikutan, mengikuti seperti yang diikuti.1

Seperti halnya di dalam al-Qur‟an kata teladan diibaratkan dengan

kata-kata „uswah yang kemudian dilekatkan dengan kata hasanah,

sehingga menjadi padangan kata ‟uswah ḥasanah yang berarti teladan

yang baik.

Dalam al-Qur'an kata uswah dalam beberapa ayat al-Qur'an melekat

pada sikap dan tindakan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm (Nabi

Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm) juga sering melekat pada Nabi

Ibrāhīm Alaīhi al-salām untuk menegaskan keakuratan Rasulullah ṣɑllā

Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm pada, kemudian menjelaskan tindakan yang yang

memiliki nilai positif Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm yang

terkandung dalam beberapa ayat dalam al-Qur'an. Ada juga keberadaan

yamg yang dimaksud oleh Heri Jauhari Muchtar, keteladanan adalah suatu

1 A. Zainal Abidin, Memperkembangkan dan Mempertahankan Pendidikan Islam

di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 96

18

bentuk pengajaran dalam sebuah memberikan contoh yang baik kepada

peserta didiknya tersebut, Baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.2

‟Abdūllah Nāṣiḥ ‟Ulwᾱn keteladan adalah jenis instruksi yang kuat

untuk anak-anak dalam menumbuhkan penemuan seorang guru. Abdullah

‟Abdūllah Nāṣiḥ ‟Ulwᾱn juga membangun penilaiannya dengan pertikaian

dari Charles Schaefer, kehadiran sinyal non verbal yang signifikan dan

memberikan ilustrasi peniruan yang masuk akal. Menurut Nur Uhbiyati

dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam menuliskan bahwa metode yang

cukup besar pengaruhnya dalam mendidik anak adalah metode pemberian

contoh dan teladan.3

Sepanjang garis-garis ini alasan prinsip-prinsip adalah untuk

mengajar anak-anak dengan menetapkan model asli („uswah ḥasanah)

untuk menjadi contoh yang baik yang layak dalam kata-kata, mentalitas

dan hal-hal yang mengandung besar. sejak di sekolah Islam yang

diinstruksikan kepada anak muda untuk berdampak besar yang dia

edukasi.

Dalam hal ketegasan, itu akan menimbulkan kepribadian sensitif

untuk melakukan ketaatan. karena anak melihat sudut pandang orang-

orang di sekitarnya seseorang yang dikagumi dan diidolakan. Karena tidak

akan terpengaruh oleh karakter fiksi yang disajikan oleh media televisi,

karena ayah dan ibu adalah panutan yang baik agar dapat menjadikan anak

yang saleh dan sholehah.

Selain itu, keteladan akan memunculkan kepribadian yang peka

dalam menjalankan ketaatan. Hal ini disebabkan anak melihat orang-orang

2 Heri jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, cet. I, (Bandung: PT. Rosdakarya,

2005), 224. 3 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung:Pustaka Setia, 1999), 117.

19

yang sekitarnya adalah pribadi yang dikagumi dan diidolakan. Anak tidak

akan terpengaruh dengan tokoh fiktif yang dihadirkan oleh media televisi,

karena ayah dan ibunya lah menjadi panutan anak dalam kesalehan.

Dengan demikian proses pendidikan akan berjalan dengan penuh makna

jika kedisiplinan dalam ibadah misalnya, akan terlihat dari orang tuanya

yang bersegera shalat saat mendengar adzan. Ayahnya segera bergegas

pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjama‟ah. Ibu segera

menghentikan segala aktivitas untuk menunaikan kewajiban dengan penuh

kerelaan. Hal ini akan menjadikan anak begitu antusias meniru kebiasaan

tersebut, terlebih jika pendidikan keteladanan ini diberlakukan sejak anak

usia dini. Sebab anak akan memiliki kemampuan untuk menyerap

pemahaman lebih kuat dan membekas. Sehingga orang tua diharapkan

untuk selalu memberikan apresiasi positif kepada anak, baik melalui

pujian maupun melalui teladan yang baik.

Keteladanan dalam pendidikan adalah metode yang paling

menyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk

akhlak pada diri anak. Hal ini dikarenakan pendidikan keteladanan

merupakan metode mudah dalam pandangan anak, yang akan ditiru dalam

tindakannya, bahkan akan terpatri dalam jiwa dan perasaannya dan

tercermin dalam ucapan dan perbuatannya.4

Sekolah Islam memiliki teknik rata-rata dalam menerapkan ide ideal

yang diinstruksikan dalam interaksi instruktif. Pelajaran tersebut didapat

dari ungkapan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan hadis. Dalam hal sekolah

yang harus dilakukan untuk memahami akuisisi, dalam satu muslim

persyaratan untuk mengamati standar Islam dengan baik. Karena dengan

akurasi ini anak akan mendapatkan dari perbuatan yang layak baginya.

4 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. V (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), 174.

20

Agar supaya anak akan cenderung mengingat sesuatu yang dapat

mempengaruhi jiwanya. Seseorang pun akan mudahnya melupakan

sesuatu yang didengarkannya dan dilihatnya. Akan tetapi tidak dengan

sesuatu yang berkesan di dalam hatinya. Sebab keteladanan adalah metode

utama dalam sebuah pendidikan. Terutama sebagai ayah dan ibunya yang

menginginkan anak-anaknya terbaik, maka dari itu perlu menjadikan

contohkan yang terbaik terlebih dahulu.5

Dalam sebuah pendidikan Islam, metode keteladanan perlu lebih

banyak diberikan dalam suatu bentuk tindakan. dikarenakan, keimanan

pada seseorang adalah suatu keberhasilan, agar dapat melakukan dengan

sebuah praktek (pengamalan) baik dalam suatu kegiatan ubudiyah maupun

dalam muamalah diantara manusia.6 Adapun buah dari sebuah ilmu yang

didapat adalah sebuah kesalahan. Begitu juga dengan anak-anak dapat

memiliki sebuah konsep mengenai dunia bagaimana hidup dan bertumbuh

tersebut dari ide-ide yang diasosiasikan nya pada suatu objek tertentu dan

dengan kegiatan-kegiatan yang positif terdapat di sekitarnya.7 Oleh sebab

itu anak-anak cenderung dengan menjadikan keadaan sekitar menjadi

bahan belajar. Tentunya dalam hal aktivitas yang dialami, seperti

perkataan yang didengar, dan tindakan yang mereka terima dari berbagai

orang yang ada di sekitarnya akan tercermin dalam sikap kepribadiannya.

Dalam sebuah mendidik perlunya untuk memberikan contoh sebab

dengan halnya itulah cara yang paling banyak meninggalkan kesan.8

5 Saiful falah, Parents Power “Membangun karakter Anak melalui Pendidikan

Keluarga (Jakarta: epublika, 2014), 246. 6 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cet. II (Bandung:CV

Pustaka Setia, 2001), 182. 7 Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, cet ke-5 ( Jakarta:

bumi Aksara, 2011), , 44. 8 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, cet. 1 (Jakarta: Al-Huda, 2006) ,

307.

21

keteladanan hal menjadi magnet untuk menarik perhatian yang diikuti oleh

anak disebabkan dengan melihat figur yang menjadi suatu sumber utama

agar mengajarkan kebaikan.

Dengan Keteladanan tersebut adalah suatu metode utama di samping

cara yang lainnya dalam sebuah pendidikan Islam, suatu yang dapat

dijadikan untuk media pendidikan, dengan memperoleh secara efektif agar

dapat membentuk suatu kepribadian anak didiknya menjadi suatu yang

berakhlak mulia. Karena Keteladanan itu dapat disebut dengan suri

teladan. Pada ayat al-Qur‟an terdapat sebuah kata dengan uswah yang

mana makna sifat itu di belakangnya, seperti hasanah yang berarti baik,

sehingga mengandung kata ungkapan „uswah ḥasanah yang berarti suri

teladan yang baik.9

Dalam sebuah Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang dapat

dipahami serta dikembangkan dari beberapa pengajaran dan nilai-nilai

fundamental yang mana terkandung pada sumber dasarnya yaitu al-Qur‟an

dan al-Sunnah. Karena itu pendidikan Islam berupa pemikiran dan teori

pendidikan yang dibangun dari sumber-sumber tersebut.10

Adapun dengan

ada dua sumber tersebut yakni al-Qur‟an dan al-Sunnah, mereka juga

mengikuti kesepakatan musyawarah para ulama, serta warisan sejarah

Islam.11

Keteladanan merupakan sebuah pendidikan metode yang sangat

berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dalam

9 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),

95. 10

Al-Maghribi Ibn al-Said al-Maghribi, Beginilah seharusnya Mendidik Anak, cet.

V (Jakarta: Darul Haq, 2007), 131.

11

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),

95.

22

membentuk aspek moral, spirit, dan etos sosial pada anak. Oleh sebab itu

pendidik merupakan figur terbaik dalam hal pandangan anak, yang tindak

tanduk, sopan santunnya, disadari atau tidak akan ditiru anak.

Dalam hal ini al-‟Imᾱm al-Ghᾱzalī berpendapat, pada sebuah

kitabnya Ihyᾱ ‟Ulūmuddīn bahwasannya mensejajarkan para pendidik

dengan deretan para Nabi, sebagaimana yang artinya adalah:

“Makhluk Allah yang paling utama di atas bumi adalah manusia

yang paling utama adalah hatinya. Sedangkan seorang pendidik

sibuk memperbaiki, membersihkan, menyempurnakan dan

mengarahkan hati agar selalu dekat kepada Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā. Maka mengajarkan ilmu adalah ibadah dan pemenuhan

khalifah Allah, bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā yang paling utama.”

B. Makna Dasar Keteladanan

Setiap manusia pada dasarnya diberikan oleh Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā itu kemampuan berpikir (akal) dalam hal meniru atau mengikuti

suatu tindakan, khususnya teruntuk anak kecil yang sangat perlu adanya

arahan dan bimbingan dalam suatu perbuatan. Sebab anak kecil akan

melihat dan mengamati segala bentuk dari sikap perilaku, perbuatan, dan

tindakan ketika apa yang dia temui.

Adapun yang diajarkan dalam Islam, dari sebuah peletak manhaj

langit yang memiliki sebagai mukjizat bagi hamba-hamba pilihan-Nya.

Seperti Nabi dan Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah langit

kepada umat yang memiliki suatu yang disifati dengan kesempurnaan

jiwa, akhlak dan akal yang tinggi, sebab orang-orang dapat menjadikannya

suatu rujukan, mengikutinya, belajar, serta dapat mencontohnya dalam

kemuliaan dan ketinggian akhlak. Karena itu Allah Subḥānahu wa ta‟ālā

mengutus Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm untuk menjadi

23

keteladanan yang baik sepanjang sejarah untuk muslimin dan seluruh umat

manusia.12

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā berfirman:

ى ى كىاليػىوـى الهخرى كىذىكىرى الله لىقىد كىافى لىكيم ف رىسيوؿ الله ايسوىةه حىسىنىةه لمىن كىافى يػىرجيوا اللهثيػرنا كى

Sesungguhnya telah ada pada (diri) ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm itu

suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap

(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak

menyebut Allah.” (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 21).13

Pada ayat tersebut Allah Subḥānahu wa ta‟ālā memberikan contoh

istimewa kepada Nabi Muhammad, yaitu suatu gambaran sempurna

tentang manhaj dalam metode Islam. Agar bertujuan untuk menjadikan

suatu gambaran hidup yang kekal dengan keagungan pada kesempurnaan

akhlaknya bagi setiap generasi-generasi setelahnya.14

Mengenai penjelasan pada ayat tersebut juga tentang suatu bukti

yang jelas bahwa Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm sebagai

pendidik memberikan teladan nyata kepada para sahabat pada saat perang

Aḥzāb. Ketika perang Aḥzāb juga Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm, memberikan contoh keteguhan dan kekuatan dalam kebaikan.

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm ketika itu menggali parit dengan

cangkul serta mengangkut debu dan tanah dengan alat pikul.15

12

‟Abdūllah Nᾱshiḥ ‟Ulwᾱn, Pendidikan Anak dalam Islam (Solo: Insan Kamil,

2013), 516. 13

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an Kemenag (Jakarta: Departemen Agama,

2009), 420. 14

‟Abdūllah Nᾱshiḥ ‟Ulwᾱn, Pendidikan Anak dalam Islam, 517. 15

Sayyid Qutb, Tafsir Fī Zhilᾱlil Qur‟an, jilid ke 9 (Jakarta: Gema Insani, 2003),

240.

24

Suatu hal teladan yang diajarkan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm kala itu dapat dipastikan adanya kekuatan yang muncul dalam jiwa

para sahabat melihat kesungguhan rasul-Nya. Tentunya adalah hal yang

dapat membawa kesemangatan tinggi sebab dapat berpengaruh ke dalam

jiwa-jiwa kaum muslimin. Oleh karena dengan kekuatan keimanan mereka

juga mewarnai jiwa kaum muslimin lainnya akan pentingnya suatu

semangat, untuk rela berkorban, yakin dan memiliki jiwa yang perkasa.

Tentunya juga Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm seorang

pemimpin dan pendidik yang memberikan contoh dalam suatu perbuatan

nyata seperti suatu bentuk perintah kepada para sahabatnya dalam

bersungguh-sungguh menggali parit sebagai benteng pertahanan kaum

muslimin. Adapun hal itu yang seharusnya pendidik mencontohkan sikap

nyata dalam menjalankan kebaikan. Tetapi bukan sebaliknya memberikan

perintah dan instruksi belaka. Dengan diiringi dengan sikap langsung dan

bersegera dalam menjalankannya. Karena sebab itu dapat berujung dengan

suatu kemalasan dan sikap acuh seorang anak saat ketika mendengar

kebaikan. Oleh sebab itu orang tuanya sebagai pendidik dapat

mengamalkan secara langsung dengan perbuatan.

Dalam sebuah pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur‟an dan

Sunnah Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm, metode keteladanan

tentunya didasarkan kepada kedua sumber tersebut. Sebab pada al-Qur‟an

juga mengenai keteladanan dapat diistilahkan dengan kata „uswah, kata ini

hanya ada di beberapa ayat seperti halnya :

ى لىقىد كىافى لىكيم ف رىسيوؿ الله ايسوىةه حىسىنىةه ل ى كىاليػىوـى الهخرى كىذىكىرى الله مىن كىافى يػىرجيوا اللهثيػرنا كى

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang

25

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia

banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Aḥzāb / 33: 21)16

ابػرهىيمى كىالذينى مىعىو قىد كىانىت لىكيم ايسوىةه حىسىنىةه ف ؤيا اذ قىاليوا لقىومهم ان بػيرىءه

ءي منكيم كىما تػىعبيديكفى من ديكف الله اكىةي كىالبػىغضىا نىكيمي العىدى نػىنىا كىبػىيػ ا بػىيػ كىفىرنى بكيم كىبىدى

ا حىته تػيؤمنػيوا بلله كىحدىه اىبىدن ىستػىغفرىف لىكى كىمىا اىملكي ال قػىوؿى ابػرهىيمى لىبيو لىنىا كىالىيكى المىصي رىبػنىا عىلىيكى تػىوىك لىكى منى الله من شىيءو لنىا كىالىيكى اىنػىبػ

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrāhīm

Alaīhi al-salām dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika

mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri

dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami

mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu

ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu

beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrāhīm Alaīhi al-

salām kepada ayahnya, ”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan

bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah

terhadapmu.” (Ibrāhīm Alaīhi al-salām berkata), “Ya Tuhan kami,

hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau

kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”, (Qs. al-

Mumtaḥanah/ 60: 4)17

ى كىاليػىوـى الهخرى لىقىد كىافى لىكيم فيهم ايسوىةه حىسىنىةه لمىن كىافى يػىرجيوا كىمىن يػتػىوىؿ فىاف اللهى ىيوى الغىن احلىميدي الله

“Sungguh, pada mereka itu (Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan umatnya)

terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang

mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian,

dan barangsiapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang

Maha kaya, Maha Terpuji.” (Qs. al-Mumtaḥanah/ 60 : 6) 18

Dari ayat tersebut juga nampak sebuah kata “„uswah” yang selalu

digandengkan dengan sesuatu hal yang baik “ḥasanah” tentunya dapat

digambarkan suatu hal yang baik.

16

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 614. 17

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 810. 18

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 811.

26

Karena Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm sebagai pembawa

risalah Islam juga sebagai teladan yang baik bagi umatnya. Nabi

Muhammad, dalam berbagai kesempatan selalu terlebih dahulu

mempraktikkan semua ajaran yang disampaikan Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā, sebelum menyampaikan kepada umatnya. Sehingga tidak ada celah

bagi orang-orang yang tidak senang untuk membantah atau menuduh

bahwa Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm, hanya pandai bicara saja.

Ada pun kata sebuah “uswah” juga menjadi suatu pemikat, umat muslim

yang menjauhi semua larangannya disampaikan dengan mengamalkan

semua tuntutan yang diperintah oleh Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm, seperti halnya dalam melaksanakan suatu perintah seperti shalat,

puasa, nikah, dan lain-lainya.19

C. Macam-macam Keteladanan

Abdurrahman al-Nahlawi telah mengemukakan bahwa pola

pengaruh keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk,

dan yang paling penting ada dua hal, yaitu pemberian pengaruh

keteladanan langsung yang tak disengaja, dan pemberian pengaruh

keteladanan langsung yang disengaja.

a. Pemberian Pengaruh Secara Langsung

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi juga bahwa menjelaskan suatu

pengaruh tersirat terhadap keteladanan yang mana akan menjadikan

tindakan pada seseorang. Oleh sebab itu memiliki suatu sifat yang dapat

mendorong orang lain supaya meniru dirinya, tentunya dalam keunggulan

ilmu pengetahuan, kepemimpinan, atau pun ketulusan sebagainya. Pada

setiap kondisi yang demikian itu, karena terjadi secara langsung tanpa

19

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, cet 1 (Jakarta:

Balai Pustaka 1995), 117-119.

27

disengaja dan ini berarti bahwa setiap orang dapat memiliki suatu yang

dijadikan panutan oleh orang lain. Tentunya harus senantiasa mengontrol

perilakunya, dan menyadari bahwa dia akan diminta pertanggung jawaban

di hadapan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā atas suatu perbuatan yang diikuti

atau ditiru oleh orang-orang yang mengaguminya.20

b. Keteladanan secara sengaja

Dalam suatu pengaruh keteladanan hal langsung yang disengaja,

contohnya; seorang pendidik menyampaikan suatu bentuk bacaan yang

diikuti oleh anak didiknya, oleh seorang imam tersebut membaguskan

shalatnya untuk mengajarkan shalat yang sempurna. Suatu Ketika

berjihad, ada seorang panglima perang yang muncul di depan barisan

untuk menyebarkan pengaruh ruh keberanian, serta pengorbanan yang

tampil ke garis depan dalam diri para tentara. Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm telah menggunakan sebuah teknik keteladanan langsung

tersebut dalam berbagai kesempatan. Pada saat Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm dalam mengajarkan shalat kepada kaum Muslim, beliau

naik ke tempat yang tinggi sehingga bisa terlihat oleh semua orang.

Kemudian Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm bersabda yang artinya

itu:

“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku bahkan bisa dikatakan,

seluruh kehidupan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm adalah

penjelasan terhadap syariah Islam. Maka ketika Aisyah r.a. ingin

menerangkan akhlak Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

dengan ungkapan terbaiknya“Akhlaknya adalah al-Qur‟an”21

20

Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan

Masyarakat, cet. IV (Jakarta: Gema Insani 2004), 265. 21

M.Rawwas Qal‟ahji, Biografi Nabi Saw “Menyibak Tabir Kepribadian Rasul

Muhammad Saw” (Dharan: Mahabbah Pustaka, 1986), 168.

28

Berbagai contoh praktis keteladanan dalam perilaku-perilaku mulia yang

diterapkan kepada anak-anak, dalam kehidupan dan pertumbuhannya di

antaranya sebagai berikut:

a. Mendidiknya agar terbiasa berwudhu setiap kali bangun tidur, dan

bukan hanya mencuci muka saja.

b. Mendidiknya agar terbiasa tidur segera setelah shalat isya. Tidak

boleh dibiarkan terlambat tidur agar anak bisa bangun tepat waktu

shalat shubuh.

c. Mendidiknya agar terbiasa menerima tamu.

d. Melatihnya agar bisa berbelanja berbagai kebutuhan rumahnya.

e. Membiasakannya untuk berjamaah shalat di masjid tepat pada

waktunya.

f. Bila memiliki anak perempuan, maka harus dibiasakan untuk

memakai hijab.

g. Membiasakan untuk melakukan puasa sunnah.

h. Membiasakan untuk makan dan minum dengan tangan kanan.22

Hal yang dapat memberikan suatu keteladanan dalam setiap proses

pendidikan anak, maka sepatutnya seorang pendidik memperhatikan

kelebihan dan kekurangannya ketika pada metode pendidikan tersebut itu.

Pada setiap penerapannya yang dijalankan dengan pertimbangan yang

baik. Tentunya orang tua juga akan sangat berhati-hati dalam memberikan

suatu percontohan dalam kehidupan sehari-hari. sebab tingkah lakunya

tersebut dapat dilihat dan diperhatikan anak. Di antara kelebihan metode

keteladanan, adalah:

22

Muhammad sa‟id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, cet. I ( Jakarta:

Cendikia, 2001), 142.

29

1. Supaya dapat membiasakan seorang anak didik dalam

mengajarkan suatu ilmu yang dipelajarinya.

2. Perlu mencontohkan untuk seorang pendidik dalam mengevaluasi

hasil dalam belajarnya.

3. Tentunya tujuan seorang pendidikan juga harus terarah serta

tertuju dengan maksimal yang baik.

4. Tentunnya keteladanan juga pada suatu lingkungan di sekolah,

keluarga maupun dimasyarakat harus baik, maka akan tercipta

situasi yang baik bagi seorang anak.

5. Dengan adanya hubungan harmonis antara pendidik dan peserta

didik.

6. walau tidak langsung seorang pendidik memperoleh dalam

menerapkan sebuah ilmu yang diajarkannya.

7. Sikap semangat pengajar juga yang akan mendorong supaya

berbuat suatu kebaikan yang akan dicontoh.

Adapun suatu dari kekurangan dalam metode keteladanan ke satu,

karena sikap yang dicontoh tidak baik, maka cenderung untuk

mengikutinya tidak baik. Ke dua, sebab teori tanpa praktek akan

berdampak kepada verbalisme. Suatu pengajaran anak dalam Islam

tentunya hal yang sangat penting begitupun dalam lingkungan keluarga,

karena suatu pengasuhan dan bimbingan orang tua terhadap anak didiknya

dapat menyebabkan untuk memulai belajar, meniru dan mengamati

perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya. Untuk menjadikan suatu

panutan bagi dirinya, sebab pada anak belum awalnya belum tentu

terbentuk hal kemandiriannya dalam berpikir dan bersikap sehingga anak

tersebut akan tumbuh dewasa.

30

Adapun dari Dr. Nashih Ulwan menurutnya dalam buku pendidikan

anak dalam Islam. Beliau menyebutkan macam-macam keteladanan dari

seorang pendidik yang disandarkan kepada Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm suatu teladan dalam segala aspek kehidupan di antara

keteladanan dalam suatu ibadah, akhlak, kedermawanan, zuhud, tawadhu,

pemaaf dan kemurahan hati, kecerdasan bersiasat, kekuatan fisik, siasat

yang cerdik, serta keteguhan memegang prinsip.23

c. Keteladanan dalam ibadah

Suatu sikap teladan Nabi dalam bidang ibadah diriwayatkan dari al-

Mughirah bin Syu‟bah bahwa Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

melakukan shalat malam sampai kaki beliau bengkak. Ketika dikatakan

kepada beliau, bukankah Allah Subḥānahu wa ta‟ālā telah

mengampunimu. Demikian hati Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

selalu terkait dengan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā, beliau sangat

menyenangi ibadah dan bermunajat. Bangun di malam hari untuk shalat,

beliau menempati kedudukan tertinggi dalam ibadah dan melakukan

semua perintah Allah Subḥānahu wa ta‟ālā berupa tahajud, ibadah, tasbih,

dzikir dan doa. Menghiasi diri dengan amalan-amalan sunnah

sebagaimana firman Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dalam al-Qur‟an:24

فلىةن لكى كىمنى اليل فػىتػىهىجد بو ل اىف يػبػعىثىكى رىب كى مىقىامنا مميودنا عىسه نى“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu

sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu

mengangkatmu ke tempat yang Terpuji. (Qs. al-Isrā„/ 17: 79)25

Adapun halnya dalam sikap teladan orang tua suatu hal kebiasaan

bagi anaknya untuk melaksanakan ibadah, sebab seorang anak dapat

23

‟Abdūllah Nᾱshiḥ ‟Ulwᾱn, Pendidikan Anak dalam Islam, 518. 24

‟Abdūllah Nᾱshiḥ ‟Ulwᾱn, Pendidikan Anak dalam Islam, 519-520. 25

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 405.

31

mengamati sikap orang tuanya serta cenderung akan mengikuti aktivitas

orang-orang dewasa disekitarnya .

d. Keteladanan Dalam Berakhlak

Suatu hal Keteladanan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm

adalah berakhlak serta memiliki hubungan dari setiap akhlak beliau yang

mulia sebagai berikut:

1. Karena Keteladanan kedermawanan akan tampak dari suatu pribadi

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm seperti halnya dalam

memberi tanpa akan takut miskin.

2. Keteladanan pada sifat zuhud, seperti halnya Abdullah bin Mas‟ud

r.a berkata, aku masuk menjumpai Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm ketika beliau telah tidur di atas selembar tikar yang

nampak di badan beliau yang mulia.

Adapun menurut Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa Aisyah

berkata, Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm tidak pernah merasakan

kenyangnya sepotong roti gandum selama tiga hari berturut-turut

semenjak beliau datang ke Madinah sampai beliau meninggal dunia.

kehendaki.

Karena Keteladanan seorang pengajar yang diajarkan oleh

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm dalam suatu sifat zuhud

bukanlah berarti Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm itu miskin serta

tidak memiliki makanan. Semestinya beliau ingin hidup mewah,

bergelimangan kesenangan dunia beliau bisa melakukannya. Dunia itu

pasti datang tunduk patuh kepadanya. Akan tetapi sebaliknya jika beliau

menghendaki kehidupan yang zuhud dan menahan diri, karena beberapa

tujuan berikut :

32

a. Suatu pembelajaran mengenai makna tolong menolong dengan

sepenuh hati dan untuk mementingkan orang lain.

b. Sebab Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm karena

keinginannya bahwa generasi setelahnya mengikuti kehidupan

yang sederhana.

c. Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm pembelajaran

terhadap orang-orang munafik, kafir dan yang memusuhi

Islam bahwa beliau mengajak manusia bukan untuk

menumpuk harta, melainkan hanyalah membawa pahala dari

Allah semata.

e. Keteladanan dalam sifat tawadhu

Ketika orang-orang yang sezaman bersama Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm bahwa beliau akan selalu memuliakan salam kepada para

sahabatnya, dan selalu menghadapkan seluruh tubuhnya kepada orang

yang berbicara kepadanya. Sebagaimana firman Allah:

ن اتػبػىعىكى منى الميؤمنيى نىاحىكى لمى كىاخفض جى“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,

Yaitu orang-orang yang beriman. (Qs. al-Syu‟arā / 26 : 215)26

f. Keteladanan Dalam Sifat Pemaaf Dan Kemurahan Hati

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm telah mencapai tingkat

tertinggi dari sifat pemaaf dan kerendahan hatinya. Oleh sebab itu beliau

melawan orang-orang Arab yang sifatnya kasar, namun dengan

kerendahan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm disaat

memperlakukan orang yang telah memarahinya tetapi beliau mendapatkan

26

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 245

33

kemenangan, karena dari perlakuan beliau itu, terhadap penduduk Mekah

yang sangat menyakiti, ketika menindas sampai mengusirnya dari

Negerinya sendiri, serta telah menuduh sampai mengatakan kebohongan

dan kepalsuan bahkan berniat akan membunuh rasul, namun dengan

kemurahannya beliau itu nampak ketika penaklukan kota Mekah, saat

pasukan kaum muslimin sudah memenuhi Mekah, karena dengan sifat

pemaaf serta pemurah rasul itu meliputi seluruh penduduk Negeri. Sebab

kebiasaan para pemimpin di muka bumi yang akan membunuh musuh-

musuh yang telah merugikannya, namun apa yang dilakukan seorang

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm ketika mengumpulkan mereka

dengan keamanan lalu mengatakan “pergilah, kalian bebas”. Tentu tidak

mungkin beliau sampai mencapai derajat tertinggi dari suatu sifat

kemurahan hatinya , sedangkan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā telah

menurunkan ayat-Nya:

خيذ العىفوى كىأمير بلعيرؼ كىاىعرض عىن الههليى “Jadilah Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Qs. al-

A‟rāf / 8 : 199).

g. Keteladanan Dalam Bersiasat

Karena dengan keteladanan Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm tentang suatu kecerdasannya itu dalam bersiasat. Sebab beliau

menjadi sebuah teladan pada siasatnya yang cerdik untuk semua kalangan

baik mereka yang beriman kepadanya dan yang tidak, namun jika Nabi

Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm tidak disifati dengan suatu

34

kecerdasan bersiasat yang Allah Subḥānahu wa ta‟ālā menganugerahkan

untuknya nabi pastilah beliau tidak dapat mampu dalam menegakan

negara Islam di Madinah, dan juga tidak akan mampu membuat

semenanjung Arab datang kepada beliau untuk menunjukan kecintaan dan

loyalitas mereka, tentu mungkin beliau tidak menjadi teladan yang baik

dalam bersiasat dan berinteraksi, sedangkan beliau menjadi pelaksana dari

Tuhannya untuk bersiasat dan berinteraksi dengan sempurna. Perintah

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā kepada Nabi berikut ini:

نى الله لنتى نػفىض وا من حىولكى لىيم فىبمىا رىحىةو م كىلىو كينتى فىظا غىليظى القىلب لىى فىاذىا عىزىمتى فػىتػىوىكل عىلىى الله فىاعفي عىنػهيم كىاستػىغفر لىيم كىشىاكرىيم ف الىمر اف الله

ب الميتػىوىكليى يي“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah

lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.karena itu

maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian

apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada

Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal

kepada-Nya. (Qs. Āli- Imrān / 3: 159)

h. Keteladanan Memegang Prinsip

Karena dengan keteladanan seorang Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm memegang prinsip, karena memang sifat tersebut adalah salah

satu akhlak yang mulia. Dalam keteguhan hati pamannya itu mungkin

yang akan menyerahkan kepada kaum Quraisy dan menelantarkannya. lalu

mengatakan sebagai pengemban risalah Islam yang abadi untuk

menunjukan kepada dunia, bagaimana seharusnya teguh memegang

keyakinan.

35

“Demi Allah wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan

matahari di tangan kananku, dan bulan ditangan kiriku, aku tidak

akan pernah meninggalkan dakwah ini, Aku tidak akan

meninggalkan sampai Allah menjadikannya menang atau aku binasa

karenanya.”27

Lalu temannya itu berdiri sambil menangis tersedu-sedu, melihat

tekadnya yang kuat dan keteguhannya dijalan dakwah sampai tidak peduli

apapun yang terjadi, sang paman berkata, “pergilah wahai anak

saudaraku”,katakanlah apa yang ingin engkau katakana , demi Allah, aku

tidak akan pernah menyerah kamu selamanya.

27

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, 518.

36

37

BAB III

BIOGRAFI

A. Profil Buya Hamka

Hamka adalah julukan dari seorang penafsir indonesia, ia dibawa ke

dunia di sebuah kota Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.

Hamka juga seorang sastrawan Indonesia, sama seperti ulama‟ dan latihan

politik juga. dia mungkin pergi ke sekolah kota hanya, selama tiga tahun

sekolah ketat sebelumnya di Padang Panjang dan Parabek bukittinggi

untuk waktu yang sangat lama. Terlepas dari itu, dengan berkat ini, ia

dalam bahasanya dapat mendominasi bahasa Arab, yang dapat memiliki

pilihan untuk melihat secara umum tulisan Arab, termasuk interpretasi dan

komposisi barat. Mengikuti yayasan Muhammadiyah dimulai pada tahun

1928 dalam pandangan panjang. Awal tahun 1928, ia mengetahui tentang

cabang Muhammadiyah di padang panjang.

1. Riwayat Hidup Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah juga seorang sastrawan

Indonesia, Hamka menemukan julukan seperti Buya, itulah hal yang

tersirat dari seruan individu Minangkabau yang mendapat dari kata ayah,

abuya dalam metode Arab ayahku, atau individu yang dihormati. Ayahnya

juga adalah seorang Syekh Abdul Karim Amrullah, yang dikenal sebagai

Haji Rasul, yang merupakan pelopor Pembangunan Islah (tajdid) di

Minangkabau, setelah kembali dari Makkah pada tahun 1906.1

Buya Hamka juga merupakan individu otodidak (terlatih sendiri) di

berbagai bidang sains seperti cara berpikir, menulis, sejarah, humanisme

dan masalah legislatif, baik Islam maupun Barat. Dengan kemampuan

1 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem

Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Yogyakarta: Kalam Mulia, 2009), 349.

38

Arabnya yang tinggi, ia memiliki pilihan untuk penelitian yang dibuat oleh

peneliti dan seniman Timur Tengah yang signifikan, misalnya, Zaki

Mubarak, Jurji Zaidan, „Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan

Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana

Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James,

Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre

Loti.2

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di

Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang

pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas

Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah. Padang panjang dari tahun

1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor

Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo,

Jakarta dan tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai

Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan

jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai

negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia

(Masyumi).

Hamka merupakan sosok dari sebuah tokoh-tokoh pergerakan,

ketika Hamka masih muda, juga telah melihat mendengar langsung

pembahasan pemulihan dan pengembangan dari ayahnya dan sahabat

ayahnya. Pada usia muda Buya Hamka dinyatakan disebut gelandangan

atau tidak ada arah tujuan. Ayahnya bahkan memanggilnya “Si Bujang

Jauh”. Pada 1924, dalam pada usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk

mempertimbangkan latihan tentang perkembangan Islam lanjutan kepada

H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (Pengurus

2 Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 24.

39

Muhammadiyah 1944-1952), RM. Surjopranoto (1871-1959), KH.

Fakhruddin (ayah KH. Abdur Rozaq Fakhruddin) pergi ke kursus

pengembangan di Abdi Dharma Bekerja di Kecamatan Yogyakarta.

Setelah beberapa waktu di sana, Hamka pergi ke Pekalongan dan bertemu

saudaranya dengan pernikahan, A.R. Sutan Mansyur, sekitar saat itu ia

adalah pimpinan Muhammadiyah dari cabang Pekalongan. Di kota itu

Hamka berkesempatan mengenal tokoh-tokoh lingkungan

Muhammadiyah. Pada Juli 1925 Hamka kembali ke Padangpanjang dan

dibantu membangun Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di

lapangan, Padangpanjang. Sejak saat itu ke depan Hamka muda mulai

bekerja dalam sebuah komunitas Muhammadiyah.

Dari perjalanan pendidikannya yang sangat singkat dapat diketahui

bahwa Hamka memiliki semangat otodidak yang tinggi. Latar belakang

kehidupannya yang nakal, cepat berubah ketika ia sadar hingga kemudian

mampu mengubah jalan hidupnya yang suram terarah menjadi sosok yang

perlu diteladani. Tercapainya hal ini tidak terlepas dengan peranan tokoh-

tokoh yang meng-ilhami pemikirannya, karena dari merekalah Hamka

mendapatkan pencerahan tentang konsep agama diluar yang selama ini

dipahami sehingga ia dapat menerapkan ilmu-ilmu yang lebih mempunyai

kecenderungan pandangan kepada peperangan terhadap keterbelakangan,

kebodohan, dan kemiskinan.

Hamka mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925

untuk melawan khurafat, bid„ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang

Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di

Padang Panjang. Pada 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah

Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua

Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi

40

Muhammadiyah, menggantikan S.Y Sutan Mangkuto pada 1946. Ia

menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31

Yogyakarta pada 1950.3

Latihan politik Buya Hamka pada tahun 1925, ketika ia masih

menjadi individu dari kelompok ideologi Islam Sarekat. Pada tahun 1945,

untuk membantu melawan kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia.

Jika terjadi wacana dan pergi dengan latihan gerilya di backwoods di

Medan. Pada tahun 1947, Buya Hamka ditunjuk sebagai Direktur Front

Perlindungan Publik Indonesia.

Dan pada tahun 1955 Buya Hamka masuk Konsitusi melalui dengan

partai Masyumi dan menjadi pembicara utama dalam pilihan raya umum.

Pada masa itulah pemikiran Hamka yang sering bertentangan dengan

kerasnya sebuah politik tersebut. Dan adapun ketika partai-partai tersebut

beraliran nasionalis dan komunis yang berkeinginan untuk Pancasila

adalah sebagai dasar negara. Dalam wacana di Konstituen Kumpul-

kumpul, Hamka untuk mengusulkan undang-undang pokok tentang

Pancasila termasuk kalimat komitmen untuk melakukan syariat Islam,

bagi para pengikutnya sebagaimana terkandung dalam perjanjian Jakarta.

Terlepas dari itu, alasan Hamka dengan tegas disyaratkan oleh sebagian

besar individu dari Pertemuan Konstituen, termasuk Presiden Soekarno.

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh

Presiden Soekarno karena dituduh mendukung Malaysia. Semasa

dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya

ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai

anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota

3 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan

Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 227.

41

Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan

Nasional Indonesia. Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan

dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa

Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Perjalanan

politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konsitusi dibubarkan melalui

Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan

oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, Hamka tidak

pernah menaruh dendam terhadap Soekarno.

Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama

Alamsyah Ratu prawira negara meminta MUI mencabut fatwa yang

melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI,7 Hamka langsung

menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi

Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar

niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada

saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.4 Hamka

juga pernah menjadi pengawas Majalah Pedoman, Panji Masyarakat, dan

majalah Gema Islam. Hamka juga menyampaikan karya-karya masuk akal

Islam dan karya-karya menarik seperti buku dan cerpen. Karya masuk akal

yang paling penting adalah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan di antara buku-

bukunya yang memperoleh pertimbangan umum dan berubah menjadi

bahan bacaan abstrak di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya

Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Keamanan Ka‟bah, dan Merantau Ke

Deli. Serta dinamis dalam masalah ketat dan politik, Hamka adalah

seorang penulis, esais, dan pengorbit. Sejak 1920-an, Hamka telah

4 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam (Jakarta: Permadani, 2003), 54.

42

menjadi penulis untuk beberapa surat berita, misalnya, Pelita Andalas,

tangisan Islam, bintang, dan kemajuan Muhammadiyah. Pada tahun 1928

ia berubah menjadi manajer editorial penghibur majalah The

Advancement Society. Pada tahun 1932, ia menjadi berwenang dan

mendistribusikan majalah al-Mahdi di Makassar.

2. Intelektual Hamka

Hamka juga merupakan sosok yang berfungsi dalam segala

pembangunan, misalnya, di bidang agama dan sosial dan politik, dalam isu

pemerintahan Hamka dimulai pada tahun 1925 ketika ia berubah menjadi

individu dari kelompok ideologis Sarekat Islam Pada tahun 1947, Hamka

terpilih sebagai eksekutif Front Perlindungan Publik Indonesia. Selain

dinamis dalam isu ketat dan politik, Hamka adalah seorang penulis,

pengarang, pengawas dan penyalur. Sejak tahun 1920-an, Hamka telah

menjadi penulis untuk beberapa makalah, seperti Pelita Andalas, Seruan

Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia

menjadi manajer majalah The Advancement Society. Pada tahun 1932, ia

menjadi manajer editorial dan mendistribusikan majalah al-Mahdi di

Makassar. Hamka juga telah menjadi Pahlawan majalah Pedoman

Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Pada tahun 1949 Hamka diakui sebagai jurnalis untuk koran

Merdeka dan majalah Pemandangan. Kemudian dalam isu-isu

pemerintahan praktis ia memasuki keputusan politik secara keseluruhan

pada tahun 1955 dan Hamka dipilih untuk membentuk konsitusi dari

Pertemuan Masyumi. Dalam organisasi, yang sesuai pengaturan Masyumi,

43

Hamka mendekati dengan dalilnya untuk membangun negara tergantung

pada al-Qur'an dan Sunah.5

Pada pertemuan negara-negara Islam di Rabat (1968), dewan masjid

di Mekkah (1976) juga angkatan tentang Islam dan kemajuan manusia di

Kuala Lumpur Malaysia Selama Permintaan Baru, Hamka sering berbagi

kepada lembaga publik untuk pergi ke pertemuan bangsa-bangsa Islam.

Hamka yang tercatat sebagai pengurus Silaturahmi Ulama Indonesia.

Persetujuannya karena kontras dalam wawasan di antara MUI dan

otoritas publik tentang perayaan Natal dengan umat Kristen dan Muslim.

pada jam berkumpul di antara MUI dan otoritas publik, Ulama Masalah

Ketat yang saat itu dijabat oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara mengambil

langkah untuk hengkang sebagai Pendeta Agama jika MUI tidak

mengingkari fatwa tersebut.

Terlepas dari itu, Hamka memikirkan bahwa Imam Usaha Ketat

tidak perlu pergi, dengan alasan MUI akan menyangkal fatwa tersebut

dengan catatan bahwa disavowal fatwa tersebut bukan berarti menjatuhkan

legitimasi fatwa yang telah diberikan.6 MUI menganggap haram bagi umat

Islam untuk pergi ke perayaan Natal bersama dengan orang-orang Kristen,

sementara otoritas publik mempertimbangkan dalam hal apapun. Pada usia

73 tahun, Hamka tercatat sebagai sosok yang luar biasa yang telah

berkontribusi besar bagi negara dan negara Indonesia, khususnya muslim

Indonesia. Baik sebagai pekerjaan yang berfungsi di mata publik maupun

sebagai karya logis yang memiliki nilai tinggi.

5 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, 51. Lihat juga, Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, Peta

Bumi Intelektualisme Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), 197. 6 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983), 195.

44

3. Pandangan Ulama Terhadap Hamka

Cara pandang Ulama mengenai sosok Hamka adalah mereka yang

berpendapat suatu pandangan yang sangat baik yaitu dia dikenal sebagai

seorang ulama yang independen, sudah terbukti di saat Hamka pertama

kali datang ke Jakarta beliau seorang yang sangat ramah, serta akrab

dengan anak muda dan tiada jarak dengan masyarakat mengenai dari kisah

sejarah Masjid Agung

Perspektif ulama tentang sosok Hamka adalah individu yang

berpikir pandangan yang sangat baik bahwa ia dikenal sebagai pendeta

bebas, telah ditunjukkan ketika Hamka awalnya datang ke Jakarta ia

adalah seorang yang dibuang dengan baik, dan berkenalan dengan anak-

anak dan tidak ada pemisahan dari daerah setempat tentang dari kisah

masjid al-Azhar7 Kebayoran Baru Jakarta. Hamka pada saat itu pindah ke

Jakarta untuk dimintai nasehat oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI),8 mana

yang akan dibangun terlebih dahulu. gedung sekolah atau masjid,

mengingat aset sangat dibatasi, Dia mendorong, merakit masjid terlebih

dahulu. Hamka kemudian sebagai pelopor, khatib dan Imam Besar Masjid

al-Azhar Fabulous yang awalnya memindahkan latihan masjid yang paling

luas terdampak di negara itu.

Tausiah subuh di Jakarta diprakarsai oleh Masjid Agung al-Azhar.

Seperti diketahui dari sejarah, masjid Al-Azhar berubah menjadi benteng

umat Islam terhadap sosialis/PKI yang perlu menguasai Indonesia sebelum

diperkenalkannya permintaan baru. dari kompleks masjid al-Azhar yang

menakjubkan selesai pada tahun 1957, Hamka memindahkan distribusi

7 Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa Masjid Al-Azhar dengan berbagai

kegiatannya, seperti sekolah TK, SD, SMP, dan SMA, serta kegiatan Remaja Islam dan

penerbitan Panji Masyarakat, berasal dari tanah wakaf orang-orang NU tetapi tidak

terkelola dengan baik, lalu mengalami “pengambilan hus” sehingga menjadi milik

Yayasan Al-Azhar. 8 Dawam Rahardjo, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa (Jakarta: Mizan,

1993), 201-202.

45

majalah Gema Islam, dan mengendarai majalah Panji Masyarakat sejak

didistribusikan hingga sepi untuk diterima.

Pada titik ketika ia menjadi administrator utama pertemuan Ulama

Indonesia (MUI) dari 1975 hingga 1981. Hamka mengetahui cara

mengarang gambar MUI sebagai landasan bebas dan sah untuk menyikapi

suara umat Islam. Hamka tidak akan mendapatkan santunan sebagai

Pengurus MUI. Imam agama sebelumnya H.A. Mukti Ali mengatakan,

"Landasan MUI adalah dukungannya terhadap negara dan negara. Tanpa

sosok Hamka, pendirian tidak akan memiliki pilihan untuk berdiri.9

Hal yang paling berkesan ketika Hamka mengisi hidupnya sangat

signifikan dalam pertempuran otonomi publik di Sumatera Barat. Selain

itu, pada tahun 1950 Hamka juga dinamis dalam Pertemuan Otoritas

Masyumi. Salah satu pernyataan yang menggambarkan muruah

(ketenangan) sebagai kepala individu, antaralain ketika masalah

pemerintahan menjadi "administrator" sekitar tahun 1950, kata Hamka,

Ada banyak jabatan yang menginginkannya. Dan kursiku adalah milikku

karena tempat kembaliku sendiri adalah orang yang disertai arahan tidak

baik kepada diri sendiri yang perlu mengelola dalam penjagaan.

Sebagai penjaga gerbang kepercayaan diri sendiri, Hamka sebagai

ketua umum MUI, meneruskan kontribusi kepada Presiden Soeharto atas

isu Kristenisasi, dan posisi Presiden sesuai dengan pandangan MUI bahwa

dengan asumsi perlu membuat kesesuaian yang ketat, individu yang

sekarang ketat seharusnya tidak fokus untuk diundangkan ketat lainnya.

Pada pertengahan 70-an Hamka membantu umat Islam untuk

mengingat kesulitan al-Gazwū al-fikrī (perang pemikiran). Sesuai Hamka,

penjajahan jiwa terhubung di pinggul dengan pemusnahan kualitas etika

9 M. Yunan Yusuf, 54.

46

dan budaya di negara-negara Islam. Sekularisasi dan sekularisme adalah

pembayaran tiga uang tunai dengan al-Gazwū al-fikrī yang dikirim oleh

dunia Barat untuk mengatasi dunia Islam, setelah imperialisme politik

dalam struktur yang berbeda membingungkan.10

Menurut pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) K.H A Syaikhu

dalam Hamka di mata hati umat, Hamka menempatkan dirinya bukan

hanya sebagai pimpinan Masjid al-Azhar Fabulous atau asosiasi

Muhammadiyah, namun selain sebagai kepala umat Islam semua dalam

semua, membayar sedikit mengindahkan ke kelas. Sebagai sosok Ulama

Hamka otonom juga dikenal solid dalam standar dan ekskusinya,

Tafsir al-Qur'an bernama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama

Masjid Al-Azhar. Hamka tetap konsisten menghasilkan sesuatu karya di

saat matahari terbit, adalah karya terbaik Buya Hamka di antara lebih dari

114 judul buku tentang agama, penulisan, penalaran, Sufism, masalah

legislatif, sejarah dan budaya yang luar biasa sampai 'sampai saat ini.11

Karya-karya Hamka mempunyai gaya bahasa tersendiri yang khas.

Pemahaman tentang tafsir al-Qur'an selesai menyelasaian dengan 30 juz,

dikumpulkan ketika Hamka berada dalam kekuasaan politik sistem

selama lebih dari 2 tahun.

Sehubungan dengan orang lain yang dibebaskan dari tahanan politik

memberikan buku tentang analisis sistem keputusan. Bagaimanapun,

berbeda dengan Hamka, keluar dari penjara menciptakan karya

pemahaman tentang bagian-bagian al-Qur'an. Ketika itu pun secara

terbuka lewat tulisannya memaafkan semua orang yang pernah

menyakitinya saat mereka berkuasa. Lalu mantan Presiden RI pertama Ir.

Soekarno wafat 21 Juni 1970 Hamka bertindak sebagai imam shalat

10

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 103-104. 11

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 78.

47

jenazahnya. Suatu akhlak mulia dan suri teladan bagi bangsa Indonesia.

Menjelang pertengahan 1981 Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua

Umum MUI. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip dari pada

mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti

upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ulama besar

Hamka wafat di Jakarta 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia

73 tahun.

Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang,

sejarawan, pengabdian, karya dan sumbangannya dalam membangun

kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi

inspirasi bagi generasi muda masa kini.12

4. Karya-karya Hamka

Adapun Tafsir al-Azhar karya yang paling terkenal di kalangan

masyarakat, namun Buya Hamka juga memiliki banyak memiliki karya-

karya lainnya diantaranya berjumlah 49 karya sebagai berikut :

1. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang:

1926.

2. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shidiq) Medan: Pustaka

Nasional,1929.

3. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan Pustaka Nasional, 1929.

4. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.

5. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939 .

6. Merantau ke Deli, cet 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada

tahun 1939).

7. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.

12

Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta:

Fajar Pustaka Baru, 2000), 77-180.

48

8. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.

9. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.

10. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.

11. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.

12. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950 .

13. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.

14. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.

15. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tinta mas 1953.

16. Empat Bulan Di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.

17. Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Cet. 3, Jakarta: Mega Bookstore,

1957.

18. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai

Pustaka, 1958.

19. Dijemput Mamaknya, Cet. 3, Jakarta Mega Bookstore, 1962.

20. Tuan Direktur, Jakarta: jayamurni, 1961.

21. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstore, 1962

22. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.

23. Adat MinangKabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.

24. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam pada Masa Kini,

Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

25. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1973.

26. Antara Fakta dan Khayalan Tuanku Rao, cet. 1 Jakarta: Bulan

Bintang, 1974.

27. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.

28. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2 Jakarta: Bulan Bintang,

1975.

49

29. Margaretta Gauthier (terjemah karya Alexandre Dumas), cet 7,

Jakarta : Bulan Bintan, 1975.

30. Sejarah Umat Islam, 4 jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

31. Studi Islam, Aqidah, Syariah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul

Iman, 1976.

32. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul

Islam, 1976.

33. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis

pada tahun 1939).

34. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan

bintang, 1979.

35. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta:

Yayasan Nurul Islam, 1980.

36. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas

1982.

37. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982

38. Lembaga Budi, cet 7, Jakarta: Pustaka Panjimas 1983.

39. Tasawuf Modern, cet, 9, Jakarta Pustaka Panjimas, 1983

40. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian,

Jakarta: Yayasan Idayu, 1983

41. Sullam al-Wushul: Pengantar Ushul Fiqih (terjemah Karya Dr. H.

Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas 1984

42. Islam: Revolusi Ideologi dan keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1984.

43. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas,1984.

44. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

45. Filsafat Ketuhanan, cet, 2, Surabaya: Karunia, 1985.

46. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985

50

47. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1986

48. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1990.

49. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1995.

B. Profil Tafsir al-Azhar

Sesuatu yang tahu dan dapat menarik dalam pertimbangan karya

Tafsir sama seperti namanya juga. Mengenai asal usul nama Tafsir al-

Azhar terdapat 2 anggapan yang saling terkait sejauh pemanfaatan nama

al-Azhar untuk pengertiannya. Pertama sebagaimana namanya dapat

diasumsikan dari posisi di mana terjemahan disajikan dan ditunjukkan

terlebih dahulu, khususnya di Masjid Al-Azhar. Kedua sebagai jenis

"pengembalian" untuk gelar istimewa yang diberikan oleh Perguruan

Tinggi al-Azhar. Ini tampaknya adalah judul logis yang paling penting

dari Kairo al-Azhar Mesir. Ustadzah Fakhriyah atau seperti Spesialis

Honoris Causa lebih forte Hamka adalah individu utama di planet ini

untuk mendapatkan gelar dari al-Azhar College Kairo Mesir.13

Itu membuat terpacu pada pencipta al-Azhar sesuai Hamka,

terdampak oleh 2 hal. 1 untuk pendakian minat pemuda zaman generasi

Islam di tanah air Indonesia dan di beberapa daerah berbahasa Melayu

yang perlu mengetahui substansi al-Qur'an akhir-akhir ini. Hal ini

membuat mereka tidak mampu belajar bahasa Arab. 2 untuk bidang

mubalig dakwah yang membutuhkan data ketat dengan sumber padat

13

Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz I, 44.

51

bagian Al-Qur'an, sehingga normal bahwa terjemahan ini dapat menjadi

ajudan untuk mubalig terlepas dari negara yang mulai cemerlang.14

Penyaluran pertama Tafsir al-Azhar disalurkan oleh pendistribusian

Panduan Periode, Perintis H. Mahmud. Cetakan utama saat mengelola,

menyelesaikan distribusi dari juz 1 ke juz 4. Pada saat itu didistribusikan

demikian juga Juz 30 dan Juz 15 kepada Juz 29 oleh Perpustakaan Islam

Surabaya. Terakhir Juz 5 hingga Juz 14 didistribusikan oleh Yayasan

Nurul Islam Jakarta.15

1. Penulisan Kitab Tafsir al- Azhar

Mengenai penulisan Kitab Tafsir yang terbit di Indonesia itu adalah

Tafsir al-Azhar karya Hamka. Tafsir tersebut suatu hal yang dikenal dapat

memberikan Khazanah pengetahuan serta sangat menarik dari sisi

Kebahasaan. Maupun penyajian pemikiran yang di dalamnya secara

sejarah. Sebabnya Agama mempresentasikannya ada pada keragaman

penafsiran yang sangat berat berkaitan dengan latar belakang sejarah dari

beberapa pandangan. Bahkan sering terjadi perdebatan dalam Agama,

misalnya antara kalangan yang berpola pikir yang tidak baik dan yang

berpola pikir baik, tentunya kedua kalangan ini memiliki pola penafsiran

yang berbeda terhadap Agama mereka. Bahkan pada dasarnya Agama

memang sangat membutuhkan penafsiran untuk memudahkan umat dalam

memahami makna pesan tuhan dalam sebuah kitab sucinya (al-Qur‟an).

Pemahaman Tafsir itu yang akhirnya harus membuka kajian konseptual

dan historis. .16

14

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, 4. 15

Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, 55. 16

Rikza Chamami, Dalam Studi Islam Kontemporer (Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2002), 113.

52

Tafsir al-Azhar suatu karya dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah

atau lebih dikenal dengan Buya Hamka. Beliau lahir di sebuah desa lebih

dikenal dengan julukan Hamka, yang merupakan singkatan bernama

Tanah Sirah, dalam Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau, pada

13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M.

Sebelum benar-benar memiliki pemahaman tentang pembicaran Al-

Qur'an, seorang mufassir terlebih dahulu untuk memberikan banyak

pembukaan, yang terdiri dari beberapa adalah oleh semua ini adalah:

Pendahuluan, Pandahuluan, al-Qur'an, I'jaz al-Qur'an, Konten Mukjizat al-

Qur'an, al-Qur'an Lafaz dan makna, Menguraikan al-Qur'an, serta Haluan

Tafsir, mengapa dinamakan "Tafsir al-Azhar", dan terakhir hikmah ilahi.

Tafsir, untuk alasan apa disebut "Tafsir al-Azhar", terakhir

kesendirian ilahi. Dalam satu kasus perkenalan, Hamka sebagai aturan

membuat referensi ke beberapa nama yang dianggap patut dipuji untuk

dirinya sendiri dalam peningkatan peneliti dan Islam yang diperiksanya.

Terutama sehubungan dengan nama-nama yang dirujuk mungkin adalah

individu yang membangkitkan untuk setiap karya dan pengabdian yang

dilindungi untuk pergantian peristiwa dan penyebaran ilmu-ilmu Islam,

tanpa terkecuali dari karya tafsirnya. Nama-nama tersebut selain disebut

Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya, juga disebutnya

sebagai guru-gurunya. Dari beberapa nama itu antara lain, ayahnya sendiri

yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah,

Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek

Bapaknya).17

Karya Tafsirnya dimulai dalam pemeriksaan yang diperkenalkan

pada daybreak address oleh Buya Hamka di masjid al-Azhar yang terletak

17

Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: pembimbing Masa,1970) , 40.

53

di Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Pada saat itu, masjid itu belum

bernama al-Azhar. Bersamaan dengan itu, Hamka dan K.H. Fakih Usman

dan H.M Yusuf Ahmad, membagikan majalah Panji Masyarakat. Benar-

benar pada saat itu, nama al-Azhar untuk masjid diberikan oleh Syekh

Mahmud Syaltut, Rektor Perguruan Tinggi al-Azhar mengunjungi

Indonesia pada Desember 1960 dalam rangka menjadi lahan al-Azhar di

Jakarta. Adapun penamaan karya Tafsir tersebut, oleh Buya Hamka ialah

dengan nama Tafsir al-Azhar. Hal tersebut berkaitan erat dengan tempat

lahirnya. Nama tafsir tersebut menjadikan suatu hal yang bersejarah

karena Hamka membuat masjid agung al-Azhar tersebut sebab

mengenakan sebuah karya tulisnya itu Tafsir al-‟Azhar.

Adapun terdapat faktor yang mendorong Hamka untuk

menghasilkan karya tafsir tersebut. Sebab itu dinyatakan sendiri oleh

Hamka dalam Pembukaan di kitab tafsirnya. Di antaranya, ia ingin

menanamkan kekuatan pertempuran dan kepercayaan Islam terhadap jiwa

generasi muda Indonesia yang sangat tertarik memahami al-Qur'an, namun

terhalang oleh ketidak mampuan mereka menguasai Ilmu Bahasa Arab.

Kecenderungan Buya Hamka terhadap penulisan komentarnya juga

bertujuan untuk memfasilitasi pemahaman para pengkhotbah dan

pengkhotbah serta meningkatkan efektivitas dalam menyampaikan

khotbah yang diambil dalam sumber-sumber Arab.

Mulai pada tahun 1962, kajian Tafsir yang disampaikan di masjid

agung Al-Azhar ini, dimuat pada majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir

tersebut berlanjut sampai terjadi kekacauan politik yang masjid tersebut

telah dituduh menjadi markas “Neo Masyumi” dan “Humanisme”. Pada

tanggal 12 Rabiul awal 1383 H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh

penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada Negara. Penahanan

54

selama 2 tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena beliau

dapat menyelesaikan penulisan karya tafsirnya.18

Penerbitan awal Tafsir al-Azhar dilakukan oleh penerbitan

Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud. Cetekan pertama

merampungkan penerbitan dari Juz 1 sampai Juz ke 4. Kemudian

diterbitkan pula Juz 30 dan 15 sampai Juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya

dan akhirnya Juz 5 sampai 14 diterbitkan oleh yayasan Nurul Islam

Jakarta.

2. Metode Penulisan Tafsir al-Azhar

Dengan karya Hamka ini maka metode yang dipakai adalah metode

Tahlili19

(Analisis) bergaya khas tartib mushaf. Karena metode ini para

mufasir menguraikan makna yang dikandung dalam ayat dan surat pada

al-Qur‟an tersebut dan sesuai dengan urutan terdapat pada mushaf.

Uraian tersebut mencakup dari berbagai aspek yang terkandung

dalam ayat yang diartikan itu adalah: pemahaman kosakata, konotasi,

kalimat, latar belakang ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain (wajar), dan

tidak melupakan apa yang termasuk dari beberapa pendapat yang telah

diberikan kepada penafsiran ayat-ayat ini, baik yang disampaikan oleh

Nabi, Sahabat, maupun tabi'in dan dari juru bahasa lainnya.

Metode penulisan tafsir yang dipakai adalah metode penafsiran ayat

secara berurutan dimulai dari surat al Fatihah sampai kepada surat al-Nas.

Metode ini disebut metode Tahlili. Secara bahasa metode ini bersifat

18

Yayasan Pesantren Islam al-Azhar, Mengenang 100 Tahun Hamka (Jakarta:

Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, 2008), 36. 19

Metode tahlīli adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya berusaha

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari berbagai seginya dengan

memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur‟an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.

Lihat: M. Quraish Shihab, 172.

55

analisis. Semua objek penafsiran dikupas secara terperinci dan teratur

(reguler). Adapun metode penulisan yang dilakukan pada saat menafsirkan

adalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Menuliskan ayat dan terjemahnya.

2. Menjelaskan makna nama surat dan identitas lainnya seperti

tempat dan waktu turunnya.

3. Menyebutkan Sabab al-Nuzul dari ayat bersangkutan kalau ada.

4. Menyebutkan tafsir al-Qur‟an, hadis dan qaul sahabat dan tabi‟in.

5. Menyebutkan sirah Nabi, sahabat dan para salihin kalau ada.

6. Mengemukakan perbedaan pandangan para mufasir.

7. Mengkorelasikan kandungan ayat dengan konteks pengarang.

8. Membuka pengalaman kehidupan pribadi, orang lain yang ada

korelasinya.20

9. Menyebutkan syair-syair kuno

10. Mengakhirinya dengan kesimpulan serta ajakan untuk

mentadabburinya.21

Terdapat dalam sebuah kata pengantar, Hamka menyebutkan bahwa

beliau memelihara sebaik-baiknya hubungan diantara Naqli dan Akal

(riwayah dan dirayah). Para penafsir tidak hanya semata-mata mengutip

atau menulis pendapat orang-orang terdahulu, tetapi mempergunakan juga

tinjauan dari pengalaman sendiri dan tidak pula semata-mata menuruti

pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari orang-

20

Hamka, Tafsir al-Azhar 98. 21

Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008), 212.

56

orang terdahulu berarti. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari

orang terdahulu berarti hanya suatu riwayat. Sebaliknya, jika hanya

memperturutkan akal sendiri besar bahayanya akan keluar dari garis

tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan menjauh

dari maksud agama.22

Adapun yang diikuti beberapa komentator adalah tentang sekte salaf,

yaitu Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm dan teman-teman dan

ulamanya yang mengikuti jajarannya. Dalam hal aqidah dan ibadah

semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak lagi Tanya.

(Dan orang-orang yang menginginkan) dengan al-Qur‟an (menjadi musuh

bagi mereka dan orang-orang yang menginginkan kesyi‟ahan) tidak

diinginkari dalam hal ini. Penulis komentar ini tidak hanya taqlid untuk

pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada

kebenaran untuk diikuti dan meninggalkan yang jauh menyimpang. Tafsir

yang amat menarik ini yang dibuat contoh adalah Tafsir al-Manār karya

Sayyid Rasyid Ridha berdasarkan atas ajaran Tafsir guru Syeikh

Muhammad Abduh.

C. Corak Tafsir al-Azhar

Contoh yang ditetapkan oleh Hamka dalam Tafsir al-Azhar adalah

perpaduan sufi al-Adābī al-Ijtimā‟ī. Contoh ini (masyarakat sosial) adalah

bagian dari pemahaman yang muncul dalam kesempatan saat ini. misalnya

contoh terjemahan yang terlihat memahami tulisan-tulisan al-Qur'an dalam

metode utama mengkomunikasikan arus keluar al-Qur'an dengan hati-hati,

pada saat itu mengungkapkan implikasi yang disinggung oleh al-Qur'an

dengan gaya yang sangat baik dan menarik

22

Hamka, Tafsir al-Azhar (pembimbing Masa: Jakarta, 1970), 36.

57

Pada saat itu seorang mufassir berusaha mengaitkan naṣh yang

dicari dengan realitas sosial dan kerangka sosial yang ada. Sebagaimana

ditunjukkan oleh al-Żahab, apa yang tersirat oleh al-Adābī al-Ijtimā‟ī

adalah contoh terjemahan yang mengklarifikasi bagian-bagian al-Qur'an

tergantung pada kecerdasan artikulasi yang terbentuk dalam bahasa yang

jelas, dengan menekankan alasan prinsip pengungkapan al-Qur'an, dan

setelah itu menerapkannya pada permintaan sosial,

Seperti menyelesaikan permasalahan umat Islam dan bangsa jenis

tafsir ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan mufassir yang

menganggap bahwa selama ini tafsir al-Qur'an hanya didominasi oleh

tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, dan perbedaan madzhab, baik

di bidang ilmu kalam, fiqih , Sufi, dan sebagainya, dan jarang ditemukan

dalam bentuk penafsiran yang secara khusus menyentuh inti dari al-

Qur‟an, sasaran dan tujuan akhirnya, secara operasional, seorang mufassir

jenis ini dalam pembahasannya tidak mau terjebak pada kajian pengertian

bahasa yang rumit, bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana dapat

menyajikan tafsir al-Qur‟an yang berusaha yang mengaitkan naṣh dengan

realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, yang

secara fungsional dapat memecahkan problem umat.

Ada pun penggagas corak tafsir al-Adābī al-Ijtimā‟ī adalah

Muḥammad „Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dengan kitab

tafsir al-Manar yang disusun dengan muridnya Muḥammad Rasyid Ridhā.

Di antara kitab tafsir yang dengan corak al-adābī al-Ijtimā‟ī selain Tafsir

al-Manār adalah Tafsir al-Qur‟an karya syaikh Muḥammad al-Marāgīi,

Tafsir al-Qur‟an al-Karim karya syaikh Maḥmūd Ṡyaltūt, dan Tafsir al-

Wādḥī karya Muḥammad Maḥmūd Ḥijāzī. Sedangkan corak sufinya

banyak diperlihatkan dengan teknis pendekatan terhadap tasawuf yang

58

ditunjukan Hamka. Oleh sebab itu tasawuf Hamka lebih Nampak modern

di dalam menerjemahkan makna Tuhan secara positif.

1. Sistematika Penafsiran Tafsir al-Azhar

Pada sebuah penafsirannya, Hamka membuka tafsir tersebut dengan

beberapa pembahasan hal yang mengenai seperti: definisi al-Qur‟an, isi

mukjizat al-Qur‟an, al-Qur‟an lafaz dan makna, menafsirkan al-Qur‟an,

haluan tafsir alas an pemberian nama Tafsir al-Azhar, dan menguraikan

hikmah ilahi setelah proses penafsiran.

Buya Hamka Mengomentari tentang I‟jaz al-Qur‟an. Menurut Buya

Hamka I‟jaz Nabi yang bersifat zahir (bisa dilihat oleh mata) Seiring

dengan kemajuan zaman sudah menurun keampuhannya dalam

menunjukan ego manusia. Yang tersisa adalah mukjizat al-Quran yang

berlaku sepanjang zaman dan untuk varian bangsa untuk dilihat secara

akal. Kekuatan al-Qur‟an mampu melemahkan semua ego manusia. Jelas

sekali di dalam komentarnya ini, bahwa beliau ini sangat kontekstual

dalam memposisikan suatu permasalahan, walaupun masalah tersebut

mempunyai nilai-nilai yang lebih dan membuat takjub.23

Adapun dari Sistematika penulisan tersebut merupakan kesimpulan

penulis yang berbentuk sementara. Penulis perlu untuk membaca tafsir

tersebut dari seluruhnya. Sehingga kemungkinan lain untuk dapat

mengkritisi dan mengubahnya atau mungkin menambahkan sesuatu yang

perlu ditambah.

2. Karakter Khas Tafsir al-Azhar

Pada setiap pemahaman tentang satu topik. Jelas Hamka secara

konsisten menutupnya dengan pesan etis yang disingkirkan dalam

23

Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1982), 12.

59

pembiaran. Dalam setiap pertunjukan dalam setiap pemahaman melalui

metodologi sosial daerah setempat, yang menunjukkan sejauh tradisi

melayu. Yayasan leluhurnya sebagai tokoh Melayu yang obsesif.

Kecenderungan untuk membuat masyarakat Melayu Islam sangat kental.

Apalagi bentuk penafsiran ini dalam bahasa Indonesia yang

mengutamakan tujuan penulisan untuk konsumsi pembaca dari komunitas

Melayu. Misalnya, ketika dia menafsirkan firman Tuhan dan Allah

menurut Hamka dalam bahasa Melayu firman Tuhan adalah Tuhan dan

Tuhan. Seperti yang diucapkan di batu Trengganu (disimpan di Museum

Kuala Lumpur) yang tercatat pada tahun 1303 M. Dalam firman Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā yang dapat dimaknai dengan maha mulia . Akhirnya

seiring dengan masa, kata Tuhan dipahami oleh orang Islam Indonesia

dan Melayu (T besar) diartikan dengan Allah. Sedangkan term dewa tidak

dipakai lagi. Beliau membandingkannya dengan term-term untuk Tuhan

dari bahasa lainnya, yaitu Gusti (Jawa), Pangeran (Sunda), Perang (Bugis

dan Makassar),24

susunan kata berirama puitis.

Salah satu sumber juga berasal dari buku-buku karya Cendekiawan

modern dan Orientalis Barat. Dia tidak malu untuk mengutipnya dari

buku-buku komentar Indonesia yang ditinggali orang-orang sezamannya.

Di antara komentar-komentar di Indonesia adalah Tafsir al-Furqān (A.

Hassan), Tafsir al-Qur'an al-Karim (Mahmud Yunus), Tafsir al-Nūr (M.

Hasbi al-Shiddiqi), Tafsir al-Qur'an al-Karim (Qasim Bakri), Depag Tafsir

dan lainnya.25

Keunikan bentuk penafsiran ini adalah kemampuannya untuk

berhubungan dengan isu-isu kontemporer, dengan budaya masyarakat,

24

Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), 90. 25

Hamka, Tafsir al-Azhar 421.

60

khususnya budaya Melayu-Minangkabau, termasuk pengalaman hidupnya.

Misalnya, ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah: 195. Itu berkaitan

dengan fi sabilillah. Ia bercerita tentang TNI yang dipimpin jenderal

Sudirman dan Front Hizbullah saat melawan Jihad fi Sabilillah. Dalam

menafsirkan surah al- Baqarah ayat 209 pada beberapa juz, Allah tidak

menyaksikan untuk mengikuti langkah setan, Hamka menceritakan

bagaimana negara atau individu Muslim menolak perintah Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā dan mengajak untuk mematuhi keputusan Kamal

Ataturk, pemimpin sekuler Turki. Ia juga menceritakan bagaimana

masyarakat Buton, Sulawesi mematuhi perintah Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā dan menerapkan hukum hudud bagi pencuri dan pezina. Meskipun

bekas koloni Belanda.. Beliau bahkan menceritakan pengalaman

pribadinya ketika berdiskusi dengan anaknya, menjelaskan beberapa ayat

seperti surah al-Baqarah: 219 yang berkaitan dengan tertutupnya

pertolongan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Terkait dengan apa yang di

sampai pada saat dipenjara. Beliau juga menceritakan pengalaman

gurunya dalam hal berpoligami ketika sedang menafsirkan Surah al-Nisa.

Pada saat penulisan tafsir yang diselesaikan ketika Hamka sedang

berada di dalam penjara. Sel penjara menurut Hamka untuk mujahadah

kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Beliau menggoreskan pena untuk

tafsir ini di penjara Sukabumi, sekitar di Bungalow “Herlina dan arjuna”

di Puncak. Atau di Mess Brimob di Mega Bandung, atau sedang berbuat

ketika ditahan di rumah sakit Persahabatan di Rawamangun.

Pada saat menulis komentar yang selesai saat Hamka berada di

penjara. Sel penjara menurut Hamka harus bermusuhan dengan Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā. Dia goreskan pulpen untuk penafsirannya ini di

lapas Sukabumi, sekitar bungalow "Herlina dan arjuna" di Puncak. Atau di

61

Mess Brimob di Mega Bandung, atau sedang dilakukan saat ditahan di

rumah sakit Persahabatan di Rawamangun. Pandangan jamaah kala itu

beliaulah yang terbayang ketika Hamka memulai menggoreskan penanya

untuk menulis sebuah tafsir.26

ia menulis komentar biasanya di pagi hari

saat fajar. Tulisan dimulai dari akhir 1958 hingga Januari 1964, dikatakan

bahwa panggung belum selesai. Agar catatan asli editor dipertahankan

keasliannya kemudian Hamka menulisnya di majalah Gema Islam dari

Januari 1962 hingga Januari 1964, tetapi yang dapat dimuat hanya satu

setengah juz, yaitu juz 18-19.

26

Hamka, Tafsir al-Azhar, 42.

62

63

BAB IV

ANALISIS KATA KETELADANAN DALAM TAFSIR AL-AZHAR

Dalam bab IV ini, penulis akan memaparkan tentang pemahaman

maksud keteladanan menurut Buya Hamka. Sebelumnya memasarkannya

peneliti akan menjadikan 2 bagian maksud teladan, yang terdapat pada kitab

tafsir al-Azhar terdapat 3 ayat ,dan dua surah. peneliti dari masing -masing

keduanya berbeda pertama yang ditafsirkan Hamka pada surah al-Aḥzāb ayat

21 yang mengenai sikap teladan Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm ketika menghadapi peperangan melawan musuh-musuh Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā di perang Khandak. Dan yang kedua pada kitab tafsir

al- Azhar peneliti menemukan penjelasan isi maksud surah al-Mumtaḥanah

ayat 4 dan 6 itu mengenai sikap teladan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

memintakan ampunan kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā untuk ayah

A. Sikap Teladan Nabi Muhammad

Di dalam surah al-Aḥzāb ayat 21 menerangkan keteladanan Rasulullah

ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm sebagai berikut

ى لىقىد كىافى لىكيم ف ى كىاليػىوـى الهخرى كىذىكىرى الله رىسيوؿ الله ايسوىةه حىسىنىةه لمىن كىافى يػىرجيوا اللهثيػرنا كى

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia

banyak menyebut Allah." (Qs. al-Aḥzāb/ 33: 21)1

Suatu hal riwayat dari seorang istri Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm yang ikut menyaksikan melihat dari sebagian peperangan yang

1 Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009).420.

64

dialami Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm melaporkan tentang

kehebatannya kondisi di kalangan Muslimin pada saat peperangan Khandaq

itu. beliau mengatakan:“ aku telah menyaksikan di samping Rasulullah ṣɑllā

Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm beberapa peperangan yang kuat dan mengerikan,

peperangan di Al-Muraisi Khaibar dan kami pun telah menyaksikan

pertemuan dengan musuh di Hudaibiyah, dan saya pun turut ketika

menaklukan makkah dan peperangan di Hunain. Tidak ada pada semua

peperangan yang saya turut menyaksikan itu yang lebih membuat lelah

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm dan lebih membuat kami-kami jadi

takut, melebihi peperangan Khandaq, karena kaum muslimin benar-benar

terdesak dan terkepung pada waktu itu, sedang Bani Qurais (Yahudi) tidak

lagi percaya karena sudah berkhianat, sampai Madinah dikawal sejak siang

sampai waktu subuh, sampai kami dengar takbir kaum muslimin untuk

melawan rasa takut mereka, yang membebaskan kami dari bahaya yakni

sebab musuh-musuh sudah diusir sendiri oleh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā

dari tempatnya mengepung itu dengan rasa jengkel serta sakit hati, sebab

itikad mereka tidak tercapai.” Itulah suatu riwayat ummi Salamah.

Akan tetapi di saat-saat yang sangat mengagetkan hati itu, ada suatu

contoh teladan yang patut ditiru, tidak terdapat lain melainkan Rasulullah

ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm sendiri. Pasti benar apa yang dikatakan oleh

surah al-Aḥzāb ayat 21 dalam al-Qur‟an, yang maksudnya” sebetulnya

merupakan untuk kalian pada Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm itu

teladan yang baik.” Memanglah terdapat orang-orang yang berguncang

pikirannya, berpenyakit jiwa, pengecut, munafik, tidak berani tanggung

jawab, siapa hendak lari jadi suku baduy kembali ke dusun-dusun, tenggelam

dalam ketakutan memandang dari jauh betapa besarnya jumlah musuh yang

hendak menyerbu, namun masih terdapat lagi orang-orang yang memiliki

pendirian senantiasa, yang tidak putus harapan, kehabisan akal, karena

65

mereka memandang sikap dan tingkah laku pemimpin besar mereka sendiri,

ialah Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm.2

Tentulah banyak hal yang bisa menginspirasi diri, dari seorang

Rasulullah ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm karena memiliki akhlak yang baik,

dengan demikian setiap tindakan dan ucapannya selalu ditiru dan dijadikan

pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Adapun juga beliau tidak

pernah menodai kepercayaan dari orang sekelilingnya, adapun kata akhlak

berasal dari watak, tabiat, keberanian, dan agama. Namun menurut Ibnu

Miskawaih akhlak secara istilah adalah sebagai berikut. “Suatu keadaan bagi

jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa

melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal

dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-

ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan

pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat

dan akhlak.”

Suatu akhlak yang diajarkan oleh gurunya akan menjadi keteladanan

dan akan menjadi pembiasaan terhadap diri siswa yang baik. Indikasi bahwa

akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada awalnya

anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan atau akhlak

yang baik, dengan seiringnya waktu berjalan setelah lama dipraktekkan

secara terus-menerus akhirnya anak tersebut menjadi kebiasaan yang baik.

Adapun menurut al-Ghazali di dalam kitabnya Iḥya ‟Ulūmuddin yang dikutip

oleh Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari tentang definisi akhlak sebagai

berikut.

2 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1992), 223.

66

”suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan

macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan

pertimbangan terlebih dahulu3”

Keteladanan ini dianggap penting, karena aspek agama yang terpenting

adalah akhlak yang terwujud dalam tingkah laku. Untuk mempertegas

keteladanan Rasulullah, al-Qur‟an lebih lanjut menjelaskan akhlak Nabi

yang tersebar dalam berbagai ayat di dalam al-Qur‟an. Misalnya, dalam surat

al-Fath disebutkan bahwa sifat Nabi beserta pengikutnya itu bersikap keras

terhadap orang-orang kafir akan tetapi berkasih sayang pada mereka,

senantiasa ruku‟ dan sujud (salat), mencari keridhaan Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā. Pada ayat lain dijelaskan bahwa diantara tugas yang dilakukan Nabi

adalah menjadi saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru

kepada agama 4Allah dengan izinnya dan untuk menjadi cahaya yang

meneranginya.

1. Sumber Akhlak

Dalam sebuah ajaran yang dibawa oleh para nabi terdahulu bermula

pada masa saat Agama Islam, karena sebab melindungi martabat manusia

agar tidak mengalami hal penurunan tentunya yang akan berdampak dengan

membandingkan suatu martabat dengan hewan. Kesetaraan pada akhlak

menurut Islam sangatlah berarti, sebab akhlak ialah sesuatu buah dari tauhid

yang tertanam dalam jiwa manusia, agar supaya menjadikan manusia yang

baik serta berbudi luhur.

3 Muhammad Rabbi Jauhari, Akhlaqunai, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 88.

4 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 95.

67

a. Firman Allah (al-Qur‟an) dan sunnah (hadis)

Suatu hal mengenai agama Islam terdapat sebuah landasan normatif

seperti halnya itu akhlak pada manusia yang dapat dicontohkan nabi dan

rasul dengan syariat yang terkandung dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah.

Adapun dalam firman Allah sebagai berikut.

كىانكى لىعىلهى خيليقو عىظيمو “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti

yang luhur.” (Qs. al-Qalam/ 68: 4)5

Hamka mengatakan inilah satu pujian yang paling tinggi yang

diberikan Allah kepada Rasul-Nya, yang jarang diberikan kepada Rasul yang

lain.6 Ayat di atas menyatakan bahwa Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih

wɑ sallɑm. memiliki akhlak yang paling mulia. Oleh karena itu, seluruh umat

manusia yang beriman kepada Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm. wajib menjadikan akhlak beliau sebagai rujukan perilaku dan suri

teladan.7

b. Ke-Esaan Allah (Tauhid)

Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, yaitu waḥadda, yūwaḥidu,

taūhid, artinya adalah mengesakan Tuhan. Tauhid secara bahasa ialah

meyakini keesaan Allah atau meyakini bahwa dia hanya satu, tunggal tidak

ada sekutu baginya. Menurut istilah bahwa di dunia ini hanya ada satu

Tuhan, yaitu Allah Rabb al-„Alamiin.8

Karena bertauhid itulah yang dapat menyebabkan terpandangnya suatu

harga diri serta merelakan mati agar memperjuangkannya. Sebab dalam

5 Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 564.

6 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 29 (Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1983) 37.

7 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 51.

8 Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam, (Padang: IAIN –IB Press, 2001), 21.

68

ajaran tauhid itulah pada dasarnya hakikat mati tidaklah begitu besar lagi,

Yang Maha Besar itulah menuntut ridanya Allah Subḥānahu wa ta‟ālā oleh

karena itu yang dapat dinamai dengan suatu i‟tikad atau kepercayaan. Pokok

pertama dari pendirian itulah suatu hakikat yang membentuk budi dalam

ajaran Nabi serta junjungan kita Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm .9

Dengan mendasar suatu kepercayaan tauhid yang ditanamkan melalui

sebuah Agama yang mana diajarkan oleh Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm adalah membentuk suatu akhlak yang tabah dan teguh.

Karena dengan Akhlak yang teguh itulah dapat dikuatkan lagi oleh suatu

pokok kepercayaan, yaitu takdir, segala sesuatu di dalamnya itu. Sejak dari

kejadian langit dan bumi, sampai kepada makhluk yang sekecil–kecilnya,

adanya dengan ketentuan serta jangka waktu. Sebab hidup pun menurut

jangka waktu, mati pun menurut ajal.10

Adapun Buya Hamka menurutnya dengan tauhid inilah sebagai bentuk

sumber dalam suatu kehidupan bagi orang-orang muslim, tentu halnya

sebagai sumber suatu akhlak. Sebab beliau berkata bahwa “percaya kepada

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā adalah suatu bentuk yang mana dapat

menghilangkan rasa takut dan ragu” setelah itu beliau memperkuat dengan

pernyataan sebagai berikut.

Dengan tauhid itulah yang menyebabkan timbulnya rasa keyakinan dan

siap bersedia mati untuk memperjuangkan Islam. Karena ajaran tauhid itu

hakikat mati tidaklah begitu besar lagi, karena sebab yang maha besar adalah

menuntut keridhaan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā, jadi itulah yang dinamai

Itikad atas dasar kepercayaan. Suatu pokok dari pendirian itulah dengan

9 Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: pustaka Panjimas, 1963) , 53.

10 Hamka, Dari Hati ke Hati tentang Agama, Sosial Budaya, Politik (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 2002), 13.

69

hakikat yang akan membentuk budi luhur dalam suatu pengajaran oleh Nabi

Muhammad ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ sallɑm.11

Bertauhid dan berakhlak suatu hal dapat memiliki hubungan erat,

karena tauhid menyangkut aqidah serta keimanan, sedangkan akhlak yang

baik menurut pandangan Islam, Haruslah berpijak pada suatu keimanan.

Sebab iman tidak cukup sekedar disimpan di dalam hati, tetapi harus

dilahirkan dalam perbuatan nyata dan dalam bentuk amal saleh. Sedangkan

jika keimanan melahirkan amal saleh, barulah dikatakan iman itu sempurna

karena telah direalisasikan. Jelas bahwa Ahklak karimah merupakan mata

rantai dari keimanan.

Hal yang perlu dipahami dari suatu sumber akhlak ialah suatu tindakan

akhlak bagi seorang muslim tentunya perlunya kepercayaan kepada Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā yang Maha Esa. Oleh sebab itu Buya Hamka

berpendapat bahwa dengan bertauhidlah yang dapat menggerakkan segala

sesuatu aktivitas yang dilakukan pada seorang muslim. Karena tanpa suatu

itikad tauhid maka tindakan dalam sebuah perbuatan tersebut tidak ada nilai

dalam pandangan Islam.12

c. Berpikir (Akal)

Tentu halnya Buya Hamka menurutnya akal adalah sebuah anugerah

dari Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang berikan kepada makhluk pilihannya itu

manusia.13

Karena Anugerah yang diberikan terhadap makhluknya seperti

Akal yang dapat memiliki suatu hubungan dasar membedakan antara

manusia dengan makhluk yang lainnya dalam hal suatu perbuatan. Dengan

akal manusia dapat melakukan perenungan apa yang diperbuatnya.

11

Hamka, Lembaga Budi, 55. 12

Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 66. 13

Hamka, Pelajaran Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 185.

70

Suatu paparan di atas oleh Hamka menunjukan bahwa anugerah yang

diberikan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā berupa akal, tentu halnya dengan akal

yang mana mempunyai hubungan dengan akhlak. Adapun dengan akal

memiliki kebebasan untuk mencari suatu hal dengan sebatas wilayah yang

dapat dijangkaunya. Buya Hamka menurutnya itu dengan akal itulah

manusia dapat mempunyai kecerdasan, karena kemampuan tersebut dapat

memberikan untuk menilai dan mempertimbangkan perbuatan manusia yang

dilakukan sehari-hari.14

Tentu halnya demikian Buya Hamka memposisikan akal padahal yang

sangat berarti pada diri manusia, karena dengan adanya akal pada manusia

dapat membedakan sesuatu hal yang baik dan yang jelek. Perbedaan dengan

makhluk lainnya, akal mempunyai kecerdasan yang dapat menjadikan nilai

dan pertimbangan manusia dalam menjalani suatu kehidupannya.

B. Sikap Teladan Nabi Ibrāhīm

Sedangkan di dalam surah al-Mumtahanah ayat: 4 dan 6 keteladanan

Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām. sebagai berikut:

مىعىو كىالذينى ابػرهىيمى قىد كىانىت لىكيم ايسوىةه حىسىنىةه ف ؤيا ا لقىومهم قىاليوا اذ ن بػيرىءه

ا بكيم كىفىرنى منكيم كىما تػىعبيديكفى من ديكف الله نػىنىا كىبىدى نىكيمي بػىيػ اكىةي كىبػىيػ ءي العىدى كىالبػىغضىا

ا كىحدىه بلله تػيؤمنػيوا حىته اىبىدن ىستػىغفرىف لىبيو ابػرهىيمى قػىوؿى ال لىكى اىملكي مىاكى لىكى لىنىا كىالىيكى تػىوىكلنىا عىلىيكى رىبػنىا شىيءو من الله منى صيػري كىالىيكى اىنػىبػ المى

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrāhīm

Alaīhi al-salām dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika

mereka berkata kepada kaumnya,“Sesungguhnya kami berlepas diri

dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami

mengingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu

ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu

14

Hamka, Pelajaran Agama Islam, 184.

71

beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrāhīm Alaīhi al-

salām kepada ayahnya, ”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan

bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah

terhadapmu.” (Ibrāhīm Alaīhi al-salām berkata), “Ya Tuhan kami,

hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau

kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,”(Qs.al-

Mumtaḥanah / 60: 4)15

ى كىاليػىوـى الهخرى ايسوىةه لىقىد كىافى لىكيم فيهم نىةه لمىن كىافى يػىرجيوا الله فىاف يػتػىوىؿ كىمىن حىسىى دي احلىمي الغىن ىيوى الله

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan

umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang

mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian.

Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah

yang Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. al-Mumtaḥanah/ 60: 6)16

Suatu ayat di atas sebuah gambaran seseorang yang menjadikan contoh

teladan dalam hal kehidupan sehari-hari yaitu Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

suatu hal perbuatan baik kepada orang tua adalah kewajiban seorang anak

untuk mendoakannya, dalam hal ini orang tua tersebut berbeda keimanan

tetapi selagi di dunia atau masih hidup perlu mendoakannya dan selagi tidak

memusuhi kita dalam Agama atau menjadi musuh Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā yang nyata. Sebagaimana yang Allah perintahkan untuk meneladani

perbuatan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām kecuali perbuatannya yaitu ketika

mendoakan orang tuanya yang jelas menjadi musuh Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā.

15

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 913. 16

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 913.

72

1. Berbuat baik kepada orang tua

ى رىب كى اىل تػىعبيديك هي ال ا كىقىضه ين اي ننا كىبلوىالدى ليغىن اما احسه اىك اىحىديهيىا الكبػىرى عندىؾى يػىبػا ا تػىقيل فىلى كلههيمى ا كىقيل تػىنػهىرهيىا كلى ايؼو ليمى ا كىاخفض كىرينا قػىولن ليمى نىاحى لىيمى منى الذ ؿ جى

رناالرحى ا رىبػيهن غىغيػ ة كىقيل رب ارحىهيمىا كىمى

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah

seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut

dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau

mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau

membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan

yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh

kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya

sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu

kecil.”(Qs. al-Isrā/ 17: 23-24)17

يو حيسننا نسىافى بوىالدى نىا ال ؾى كىاف كىكىغيػ فىلى علمه بو لىكى لىيسى مىا ب لتيشرؾى جىاىىدهتيم بىا فىاينػىبئيكيم مىرجعيكيم الى تيطعهيمىا تػىعمىليوفى كينػ

“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada

kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk

mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai

ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya

kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa

yang telah kamu kerjakan.” ( Qs. al-„Ankabūt/ 29: 8)18

Hal yang terdapat pada ayat di atas menunjukan suatu yang biasa

dilakukan kepada orang tua. Tidak semestinya orang yang lebih besar suatu

jasanya melainkan kepada orang tua. Karena keduanya telah mengalami

suatu kesulitan dalam menjaga dan merawat. Ialah seorang ibu yang telah

17

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 417. 18

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 619.

73

menderita kepayahan serta kelemahan berbulan-bulan lamanya di saat masih

di dalam rahimnya, sebab berbaktilah kepada orang tua adalah suatu yang

patut dikerjakan bahwa beliau adalah di antara amal salih yang dapat

melapangkan suatu kesulitan dan menghilangkan keredupan.

Karena menghargai orang tua suatu berbakti dan berbuat baik kepada

mereka, menyayanginya sebagaimana mereka merawat dari semenjak kecil,

serta tidak menyakiti dengan suatu perasan mereka, membantunya dalam

kesusahan pada mereka dan berbicara kata dengan penuh kelembutan serta

selalu mendoakan mereka.

Dengan kedua orang tua itu adalah suatu hal pedoman dalam

kehidupan merekalah dengan bisa hidup sampai sekarang. Tanpa melalui

pengorbanannya dapat merasakan suatu pendidikan yang lebih baik, dengan

melalui doa merekalah bisa mencapai cita-cita kita dan mampu mencapai

kesuksesan. Karena sebab orang tua hanya minta satu hal dari anaknya untuk

melihat anaknya sukses atas pengorbanan dan pendidikan yang tiada

terhingga. Maka dari itu jadikanlah orang tuamu sebagai guru terbaik dalam

sejarah kehidupanmu.19

Suatu hal dari sebuah kebaikan, dalam agama Islam memberikan suatu

prinsip-prinsip akhlak yang perlu dilakukan oleh anak kepada orang tuanya

antara lain sebagai berikut:

1. Mentaati suatu tindakan orang tua, tentu hal namun hal maksiat.

2. Berbuat baik dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih kepada

orang tua.

3. Berkatalah dengan sopan santun kepada orang tua.

4. Merendah diri ketika orang tua marah.

19

Candra Himawan & Neti Suriana, Sedekah Hidup Berkah Rezeki Melimpah

(Yogyakarta: Pustaka Al-bana, 2013), 117.

74

5. Berterima kasih kepada orang tua yang telah merawatnya dari

bayi sampai dewasa.

6. Bermuka ceria ketika berpapasan dengan keduanya.

7. Mencium tangan saat hendak pulang maupun pergi.

8. Memperbanyak berdoa dan meminta ampunan untuk keduanya.

9. Setelah wafat: salatkan jenazahnya, memohonkan ampun,

menyempurnakan janjinya, menghormati sahabatnya dan

meneruskan jalinan kekeluargaan yang pernah dibina oleh

keduanya.

2. Bertawakal.

ت كىالىرض كىالىيو يػيرجىعي الىمري كيل و وه لله غىيبي السمه رىب كى كىمىا عىلىيو كىتػىوىكل فىاعبيدهي كى تػىعمىليوفى عىما بغىافلو

Artinya:”Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya

segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-

Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu

kerjakan”.(Qs. Hūd/ 11: 123)20

كىتػىوىكل عىلىى احلىي الذم لى يىيوتي كىسىبح بىمده ى عبىاده بذينػيوب بو كىكىفهبيػرنا خى

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati, dan

bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa

hamba-hamba-Nya,”(Qs. al-Furqān/ 25: 58) 21

Pada ayat di atas tersebut bahwa orang yang bertawakal kepada Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā akan mengerjakan suatu usaha, bahwasannya tentu

hasilnya akan merasakan sesuatu yang telah membuat ketentuan dari Allah

20

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 338. 21

Al-Qur‟an dan Tafsir, Jilid: 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2009). 563.

75

Subḥānahu wa ta‟ālā. Oleh sebab itu terjadilah yang tidak diinginkan, sebab

dia juga pun yakin bahwa setiap perlakuan yang menimpa dirinya baik

ataupun buruk serta musibah dan nikmat semuanya itu memperoleh suatu

hikmah terhadap kebaikan teruntuk bagi dirinya.

Adapun tawakal adalah langkah dari serangkai rentetan usaha yang

dilakukan oleh seorang mukmin dalam bekerja untuk dunia maupun akhirat

nya. Tawakal suatu kondisi hati di saat mengharapkan hasil terbaik dari

segala apa yang diusahakannya, dan sekaligus kesiapannya untuk menerima

hasil yang terburuknya. Tawakal juga merupakan sikap mental seorang yang

di hatinya penuh dengan sinar keimanan dan keyakinan. Sikap mental juga

yang mendasari keyakinan di kalangan para sufi, sebab tawakal merupakan

hasil dari keyakinan yang pasti kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Sikap

tawakal akan berubah ke bahagian dan ketentraman hati. Ketika hati tenang,

pikiran pun terasa jernih untuk berpikir dalam hal mencari solusi serta

menghadapi masalah yang sedang dihadapi.22

3. Bertaubat

ا تػىوبىةن الله الى ا تػيوبػيو اهمىنػيوا الذينى اىيػ هىا مه ى نصيوحن كيم عىن ي كىفرى اىف رىب كيم عىسهري ا الىنػهه ياهتكيم كىييدخلىكيم جىنهتو تىرم من تىتهى ي ييزل لى يػىوـى سى اهمىنػيوا كىالذينى النب الله

مىعىو اغفر لىنىاكى نػيورىنى لىنىا اىتم رىبػنىا يػىقيوليوفى كىبىيىانم اىيديهم بػىيى يىسعهى نػيوريىيم قىديػره شىيءو كيل عىلهى انكى

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan

taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan

menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam

surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika

Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman

22

Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah (Jakarta: Qultum Media, 2010), 8.

76

bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan

di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata,“Ya Tuhan kami,

sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami;

Sungguh, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. al-Tahrīm/

66:8)23

Ayat di atas menunjukan bahwa Allah Subḥānahu wa ta‟ālā

memerintahkan kepada seluruh kaum mukmin bertobat kepadanya, walaupun

kita taat dalam beribadah.

Adapun taubat adalah meninggalkan suatu perbuatan dosa karena

mengetahui kehinaannya, menyesal sebab pernah melakukan, dan

berkeinginan keras dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi. Di samping

itu, dengan amalan yang kemungkinan dikerjakan dari berbagai amalan yang

dulu diabaikan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang pernah

ditinggalkan karena ikhlas kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Hanya

mengharapkan pahalanya, dan takut akan siksa yang telah diperbuatnya kala

itu. karena taubat itulah syarat nyawa belum sampai di tenggorokan dan

matahari belum terbit dari arah terbenamnya (barat), maka seseorang

menyadari akan kesalahannya dan menyesali apa yang diperbuatnya di kala

itu, dengan niat yang baik hendak mengubah tingkah lakunya untuk masa

yang akan datang. Serta mohon ampunlah kepada Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā atas kesalahan yang pernah diperbuatnya. Niscaya Allah Subḥānahu

wa ta‟ālā akan mengampuni dosa sebab kesalahan yang diperbuatnya.

Karena Allah Subḥānahu wa ta‟ālā, itu Maha Pengampun, Maha Pemurah,

Maha Penyayang.24

23

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen

Agama, 2009), 543. 24

Muhammad bin Ibrahim al-Hamid, Cara Bertaubat Menurut Al-Qur‟an dan As-

Sunnah, Terj. Muhiburrahman (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2007), 138.

77

4. Berdoa

قىريبه فىان بػيوا دىعىاف اذىا الداع دىعوىةى ايجيبي كىاذىا سىاىلىكى عبىادم عىن ل فػىليىستىجيػ ا ب لىعىلهيم يػىرشيديكفى كىليػيؤمنػيو

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang

Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang

berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi

(perintah) Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh

kebenaran.”(Qs. al-Baqarah/ 2: 186)25

ب لى انو ايدعيوا رىبكيم تىضىر عنا كخيفيىةن الميعتىدينى يي

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.

Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(Qs. al-

A„rāf/ 7:55)26

Doa dalam istilah agama adalah permohonan hamba kepada Tuhan

agar memperoleh anugerah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si

pemohon maupun pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati

yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan kepada-Nya.

Pada al-Qur‟an terdapat sebuah perintah melakukan shalat dan doa disertai

dengan ketabahan sebagai sarana untuk meraih suatu kebutuhan. Hal ini

dapat dipahami setiap doa tanpa ketabahan dalam usaha, belum menjadikan

suatu jaminan terpenuhi harapannya. Karena Janji Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā yang menyatakan bahwasannya “Aku perkenankan doa yang akan

dimohon maka bermohonlah kepadaku”.

Dalam hal ini doa adalah sebuah pengakuan akan lemahnya diri ini di

hadapan kuasa Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Sedangkan manusia hanya

memiliki usaha. Tetapi segala usaha yang kita kerjakan semua itu berada

pada hak kuasa Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang Maha Kuasa. Karena usaha

25

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 41. 26

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 224.

78

itu wajib untuk dilakukan, tapi hasilnya itu ketentuan Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā. Sebab usaha kita harus di iringi dengan doa walaupun sekeras apa

usaha kita kalau Allah Subḥānahu wa ta‟ālā tidak mengizinkan apa yang

inginkan tidak akan terwujud.27

Adapun penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa doa itu sebuah

pengakuan seorang hamba kepada Tuhanya, karena hamba tersebut makhluk

yang lemah tidak berdaya dan selalu membutuhkan akan pertolongan Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā.

Pada ayat 4 surah Mumtaḥanah maksudnya ialah wahai orang-orang

beriman, sudah ada suri teladan buat kalian pada Ibrāhīm Alaīhi al-salām

kekasih al-Rahman. Suatu kehidupan nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām bisa

kalian jadikan contoh, begitu pula orang-orang beriman yang ada

bersamanya kalangan nabi dan Allah.28 Sudah ada bagimu teladan yang baik

(untuk diikuti) pada Ibrāhīm Alaīhi al-salām. dan orang yang bersama dia

yaitu Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām sangat lemah lembut hati yang patuh

kepada ayah dan masyarakatnya. Beliau mengingatkan kepada mereka dari

penyembahan berhala dan perbuatan dosa. Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

berdoa untuk ayahnya, tapi tatkala ayahnya dan kaumnya itu menjadikan

musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

melepaskan diri dari mereka dan meninggalkan kampung halamanya serta

meninggalkan ayahnya, kaum, negerinya.29 Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

dan orang-orang yang telah menyertakan beliau dalam keadaan beriman,

27

Abu Ezza, Setiap doa Pasti Allah kabulkan: Doa dahsyat menjadikan orang hebat,

cet I (Jakarta: Qultum Media), 56. 28

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Ṭabari,, Tafsir al-Thabari, Tejr. Fahturrozi

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009). 934. 29

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali teks, terjemah dan Tafsir al Qur‟an 30 Juz,

Cet 3 (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 1455.

79

yang telah mempersiapkan diri dengan tidak ragu-ragu menuruti langkah

beliau.30

Dalam ayat ke 4 pada surah al-Mumtaḥanah ini ditunjukan kepada

keteladanan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām untuk dijadikan contoh, dalam

perjuangan beliau untuk menegakan agama Allah Subḥānahu wa ta‟ālā tidak

pula kurang hambatan, rintangan dan halaman yang beliau temui dengan

kaumnya, namun segala gangguan itu tidaklah membuat beliau bekisar dan

beranjak dari pendirian yang kuat.

Adapun sebagian dari orang-orang mukmin mendoakan dan

memohonkan ampunan untuk bapaknya mereka lalu mengatakan Nabi

Ibrāhīm Alaīhi al-salām memohonkan ampun untuk bapaknya. Allah

Subḥānahu wa ta‟ālā berfirman:

ا يستػىغفريكا للميشركيى كىلىو كىانيو اىف ا للنب كىالذينى اهمىنػيو مىا كىافى من قػيربه ايكل ى مىا بػىعد بي اىنػهيم لىيم تػىبػىي عىن ال لىبيو ابػرهىيمى استغفىاري كىافى كىمىا الىحيم اىغحه

ةو ا موعدى هي كعىدىىى ى فػىلىما اي لىو تػىبػىي ىكاهه ابػرهىيمى اف منوي تػىبػىراى لله عىديك واىن لىليمه حى

“Tidak pantas bagi Nabi dan Orang-orang yang beriman memohonkan

ampunan ( kepada Allah) bagi orang-orang musyrikin, sekalipun orang-orang

itu kaum kerabatnya, setelah jelas, bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik

itu penghuni neraka jahanam. Adapun permohonan ampunan Ibrāhīm Alaīhi

al-salām (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak hanya lain hanyalah karena

suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapanya, maka Nabi Ibrāhīm

Alaīhi al-salām berlepas diri darinya. Sungguh Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

itu seorang yang lemah lembut hatinya lagi penyantun”. (Qs. al-Taubah/ 9:

113-114)31

Jadi ayat di atas tadi menjelaskan janganlah kamu berbasa-basi dengan

mereka dan jangan pula kamu tampakkan kepada mere rasa kasih, serta

30

Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), 97. 31

Kementerian Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 296.

80

jangan kamu memohonkan ampunan untuk mereka sebagaimana dilakukan

Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām terhadap ayahnya, karena Nabi Ibrāhīm Alaīhi

al-salām itu memohonkan ampunan untuk ayahnya sebelum dia mengetahui

bahwa ayahnya adalah musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā. Tetapi setelah

ayahnya meninggal dalam keadaan kafir, maka jelaslah bagi Nabi Ibrāhīm

Alaīhi al-salām keadaan itu. lalu dia pun meninggalkan permohonan

ampunan untuk ayahnya. Sedangkan bagimu permusuhan ayahmu telah jelas,

karena mereka kafir kepada rasul dan mengusir kamu dari kampung

halaman. Oleh karena itu tidaklah patut bagimu memohonkan ampun untuk

mereka.32

Kecuali perkataan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām terhadap ayahnya,

maksudnya agar tidak usah meniru dan meneladani apa yang diucapkan Nabi

Ibrāhīm Alaīhi al-salām kepada ayahnya: Sungguh aku benar-benar hendak

memohonkan ampunan untuk ayah tetapi aku tidak berkuasa apa-apa untuk

ayah dari Allah Subḥānahu wa ta‟ālā sedikit juga pun. Karena sikap Nabi

Ibrāhīm Alaīhi al-salām memohonkan ampun untuk ayahnya tercinta, tetapi

“musuh Allah” itu, hendaklah dikecualikan, janganlah diikuti tetapi beliau

berlepas diri dari ayahnya setelah nyata bahwa dia musuh Allah. Sebab itu

dapatlah dipahami dari ayat ini bahwa tidak boleh berdo‟a kepada orang

kafir diberi ampunan terutama yang sudah meninggal, melainkan serahkan

sajalah hal-ihwalnya itu kepada kebijaksanaan tuntunan Allah Subḥānahu wa

ta‟ālā. Maksud yang utama dengan sikap ini adalah untuk memperteguh

keyakinan dan „aqidah, jangan sampai kacau balau.

Maksudnya ayat ke-6 dalam surah al-Mumtaḥanah Ayat ini

mengulangi perintah menjadikan Ibrāhīm as dan orang-orang yang beriman

besertanya sebagai suri teladan yang baik dengan maksud agar perintah itu

32

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, Juz 28 (Mesir: Maktabah Mustafa

al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1946), 107-108.

81

wajib diperhatikan orang-orang yang beriman. Sikap Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-

salām terhadap orang-orang kafir itu adalah sikap yang benar.33

Sungguh

pada mereka, yakni pada sikap mereka dalam berdoa dan bertawakal kepada

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā, dan menjauhkan diri dari perbuatan kejahatan.34

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan umatnya) ada

teladan yang baik bagimu. Maksudnya, pada Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām

dan orang-orang yang bersamanya, yaitu para nabi dan para wali, yakni

dalam hal membebaskan diri dari orang-orang kafir.35 Hal tersebut sudah

ada teladan yang baik bagimu dan barangsiapa yang mengharapkan dari

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan hari kemudian, tetapi barang siapa berpaling,

sungguh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā Maha kaya, Maha Terpuji. Yaitu: Jika

ada orang yang menolak peringatan dan undang-undang Allah, dia akan rugi

sendiri. Bukan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yang memerlukan

penyembahannya atau puji-pujiannya. Allah Subḥānahu wa ta‟ālā bebas dari

segala kekurangan dan sifat-sifat-Nya memang sudah terpuji.36 Dan barang

siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Subḥānahu wa ta‟ālā Dialah yang

Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Maksudnya adalah siapa yang berpaling tidak

mau melaksanakan perintah Allah Subḥānahu wa ta‟ālā melalui kalian dan

orang lain. Dia tidak patuh karena kesombongan.37

Sesungguhnya adalah

bagi kamu pangkalan ayat 6 surah al-Mumtaḥanah Yaitu bagi kamu orang

yang beriman dan mengikuti langkah tujuan suri teladan dari Nabi

Muhammad Subḥānahu wa ta‟ālā. “Pada mereka itu suri teladan yaitu pada

Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dan orang-orang yang beriman bersamanya itu,

33

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta:

Menara Kudus, 1990), 105. 34

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, 1456. 35

Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,18, Terj. Dudi Rosyadi, cet. 1 (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2009), 357. 36

Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, 1456. 37

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, jami‟ al-bayan al-ta„wil al-Qur‟an,

Terj. Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 940-941.

82

bagi barangsiapa yang mengharapkan Allah Subḥānahu wa ta‟ālā dan hari

kemudian. Orang-orang yang beriman pastilah mempunyai harapan, harapan

utama ialah Rahmat dan Ridha Allah, keselamatan di dunia dan di akhirat.

Puncak cita ialah bertemu dengan Tuhan. Orang yang tidak ada iman,

tidaklah mempunyai harapan akan hari esok, atau hari akhirat. Hal ini

mengutip apa yang dikatakan Zakariya, kata uswah yang maksudnya itu bisa

dikatakan dengan mengikuti. Jadi kata mengikuti dapat disimpulkan bahwa

sikap teladan yang baik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm. mempunyai kaitannya dengan Nabi Ibrāhīm „alīh al-salām

mengenai dalam hal ajaran menyebarkan kebaikan sepertinya halnya itu

berdakwah di jalan Agama Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yaitu agama Islam

yang disampaikan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām menjadikannya contoh

kepada umatnya agar selalu beriman kepada Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di dalam kitab tafsir al-

Azhar karya buya Hamka penulis menemukan, terdapat 3 ayat al-Qur‟an

mengenai keteladanan yakni: surah al-‟Aḥzāb ayat 21 dan surah al-

mumtaḥanah ayat 4 dan 6.

Contohnya ketika perangan Khandak Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm tetap teguh dalam pendirian pada situasi tersebut kaum

muslimin yang jumlahnya tidak banyak lalu kaum kafir yang jumlahnya

melebihi banyak dari kaum muslim. Ketika itu Nabi serta para sahabat dan

kaum muslimin melihat jumlah musuh lebih banyak hati para kaum

Muslimin mulai terombang ambing. pada situasi tersebut ada sebagian yang

bertahan dan sebagian melarikan diri dari peperangan yang jumlahnya lebih

banyak. Tapi hasilnya beda dengan sikap teladan Nabi yang selalu teguh

dalam pendiriannya menghadapi musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā.

Contoh kedua sikap keteladanan nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dalam

menghadapi musuh Allah Subḥānahu wa ta‟ālā terhadap Ayahnya, Nabi

Ibrāhīm Alaīhi al-salām tetap selalu sabar untuk mendoakan ayah yang

masih tidak mau mengikuti ajaran agama Allah yaitu Islam. Dalam setiap

upaya usaha yang dilakukan Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām berserah diri

memohon ampun kepada Allah agar ayahnya tersebut dapat memeluk agama

Allah Subḥānahu wa ta‟ālā yaitu Islam, tetap saja ayah Nabi Ibrāhīm Alaīhi

al-salām tidak mendapatkan hidayah sampai akhir hayatnya mati dalam

keadaan kafir.

84

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran

sebagai berikut:

1. Keimanan dan ketakwaan harus ditingkatkan sebab dengan itulah

hal paling pokok agar mencerminkan seorang muslim yang telah

dicontohkan sikap teladan Nabi dan Rasul ṣɑllā Allᾱhu ‟alaih wɑ

sallɑm itulah yang diajarkan dalam al-Qur‟an dan hadits.

2. Sikap tegas dalam keluarga itu orang tua yang membimbing

anak-anak untuk menjadi baik identiknya dalam masalah ibadah

khususnya Shalat yang lima waktu, mengaji dalam bentuk cara

membaca al-Qur‟an. Karena orang tua sebagai guru pembina

sekaligus pengawas yang pertama kali mengajarkan ketika masih

kecil hingga kelak dewasa nanti.

Keteladanan sesuatu yang perlu dipelajari atau dipahami agar apa yang

dikerjakan dalam hal sehari - hari tidak salah (sesat) sesuai ketentuan dalam

al-Qur‟an dan Hadits . Contohnya seperti Nabi Muhammad ṣɑllā Allᾱhu

‟alaih wɑ sallɑm meneladani kepada peristiwa kejadian pada zamannya

Nabi Ibrāhīm Alaīhi al-salām dalam hal berkurban, berhaji, Umrah karena

perbuatan tersebut masih dilakukan oleh kaum muslim saat ini.

85

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Malik Karim. Di Bawah Lindungan Ka‟bah. Jakarta: PT.

Bulan Bintang, 2001.

Ali, Fachri. “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan

Riwayat dan Perjuangannya”. Prisma, vol 12, no 2, (Februari 1983):

375-408.

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir al-Azhar, jilid 9. Singapura:

Pustaka Nasional PTE ELTD, 1999.

Bakry, Oemar, Tafsir Rahmat, cet. III. Jakarta: Mutiara, 1984.

------- Tafsir Rahmat, cet. III. Jakarta: Mutiara, 1986.

Chamami, Rikza. Dalam Studi Islam Kontemporer Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2002.

Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

cet. IV Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Dzakiey, Hamdani Adz-Bakran. Prophetic Intelligence, Kecerdasan

Kenabian. Yogyakarta: Islamika, 2006.

Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter, cet. 1. Bandung: Alfabeta, 2012.

Hamka. Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

-------. Tafsir al-Azhar, juz 1, 3, 5, 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.

-------. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: PT Pustaka

Panjimas, 2005.

-------. Kenang-kenangan Hidup, jilid 1 Jakarta: Bulan Bintang, 1951.

-------. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.

Hamka, Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Jakarta Selatan:

Pustaka Mizan Publikasi, 1981.

86

Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional religius, cet. 1

Yogyakarta: Pustaka Lkis Printing Cermelang, 2010.

Hatta, Ahmad, Tafsir Qur‟an Perkata, cet. 3. terj. Jakarta: Maghfirah

Pustaka, 2011.

Jamal, Imām Sulaimān bin Umār al-Ajāyay asy-Syāfi‟ī Asy-Syahīr bil, al-

Futhūḥat al-„Ilhᾱyyah bi Taudiḥ Tafsīr Al- Jalᾱlaīn al-daqᾱ„iq al-

Khafīyah, vol. 1. Jilid. 8. Beirut: al- Kutub al-Islamiyah, 1996.

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, cet. 1. Jakarta: Paramadina,

1995.

Mahrus, Syamsul Kurniawan dan Erwin. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan

Islam cet. 1 Jogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2011.

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟I. Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia cet. 1

Bandung: Mizan, 1993.

Mohammad, Damami. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka,

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

Mukhlis. Inklusime Tafsir al-Azhar, cet. 1. Mataram: IAIN Mataram Press,

2004.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian, Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Nizar, Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah

Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, cet. 1. Jakarta:

Kalam Mulia, 2008.

Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran

Hamka Tentang Pendidikan Islam, cet. 1. Jakarta: Kencana, 2008.

Qasimī, Muḥammad Jamᾱluddīn, al-Tafsīr al-Qᾱsimī al-Musammᾱ Mahᾱsin

al-Ta‟wīl, cet. 2. juz: 1-2 Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Rahardjo Dawam, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, cet. 1.

Bandung: Mizan, 1993.

Rifai, Muhammad Nasib Ar-, Taisir al-aliyyul Qadir li Ikhtisar Taisir Ibnu

Katsir, Terjemahan Drs Syihabuddin, MA, Kemudahan dari Allah

ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press, 1989

Razi, As-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abi Bakr Ibn Abdul Qadir al-,

Mukhtar as-Shihah, Lebanon: Maktabah, 1980

87

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Shihab M. Quraish. Sejarah dan Ulum al-Qur‟an,Vol 1, 5, 10, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2001.

-------. Tafsir Al-Misbah:Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta:

Lentera Hati, 2009.

-------. Membumikan Al-Qur‟an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat Bandung: Mizan, 2013.

-------. Secerah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur‟an. Bandung Mizan,

2000.

Shobahussurur. Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah

(HAMKA), Cet 1 Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008.

Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: Amzah, 2009.

Tamara, Nasir. Hamka di Mata Hati Umat Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1996.

Al-Ṭabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Jami‟ul al-Bayan „An Ta‟wil ayi

al-Qur‟an, juz. 19. terj. Ahsan askan. Jakarta: Pustaka Azzam 2007.

Untung, M. S. Muhammad Sang Pendidik, cet.1 Semarang: Pustaka Rizki,

2005.

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. 1 Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1990.

-------. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah atas

Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, cet. 1 Jakarta: Penamadani,

2003.

-------. Ensiklopedi Muhammadiyah, cet. 1 Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005.