Metodologi Tafsir ilmi

28
1 PENDAHULUAN Salah satu Problematika kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam dan para pembaharu tafsir Alquran pada khususnya di berbagai wilayah Islam lainnya saat ini adalah semakin kompleknya permasalahan hidup manusia. Maka kecenderungan para mufasir untuk menyesuaikan pemahamannya terhadap Alqur’an dengan menggunakan ilmu- ilmu mutakhir tidak bisa dihindarkan. Dalam sebuah ceramahnya, A. Athaillah 1 pernah menyatakan bahwa penafsiran Alquran dengan metode ilmiah adalah sebuah keharusan yang dilakukan umat Islam agar mampu keluar dari kemunduran yang sedang melanda Islam. Secara sederhana, Ilmiah yang dimaksudkan oleh beliau adalah menafsirkan Alquran dengan berbagai ilmu pengetahuan dan sains. Karena menurut beliau salah satu penyebab terjadinya kemunduran Islam adalah kurang mampunya umat Islam dalam membaca isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung dalam Alquran. Dengan kata lain, ilmiah yang dimaksud beliau adalah tafsir ‘ilmy. Oleh karenanya, pembahasan tentang kaidah ilmiah dalam tafsir Alquran adalah sebuah keharusan. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan apa dan bagaimana kaidah ilmiah dalam menafsiran Alquran. 1 Beliau adalah guru besar tafsir di IAIN Antasari Banjarmasin. Informasi ini penulis dapatkan ketika mengikuti halaqoh tafsir yang diasuh beliau di Asrama Program Khusus Fakultas Ushuluddin dan Humaniora pada hari kamis, 3 April 2014.

Transcript of Metodologi Tafsir ilmi

1

PENDAHULUAN

Salah satu Problematika kontemporer yang dihadapi

oleh umat Islam dan para pembaharu tafsir Alquran pada

khususnya di berbagai wilayah Islam lainnya saat ini

adalah semakin kompleknya permasalahan hidup manusia.

Maka kecenderungan para mufasir untuk menyesuaikan

pemahamannya terhadap Alqur’an dengan menggunakan ilmu-

ilmu mutakhir tidak bisa dihindarkan.

Dalam sebuah ceramahnya, A. Athaillah1 pernah

menyatakan bahwa penafsiran Alquran dengan metode

ilmiah adalah sebuah keharusan yang dilakukan umat

Islam agar mampu keluar dari kemunduran yang sedang

melanda Islam. Secara sederhana, Ilmiah yang

dimaksudkan oleh beliau adalah menafsirkan Alquran

dengan berbagai ilmu pengetahuan dan sains. Karena

menurut beliau salah satu penyebab terjadinya

kemunduran Islam adalah kurang mampunya umat Islam

dalam membaca isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung

dalam Alquran. Dengan kata lain, ilmiah yang dimaksud

beliau adalah tafsir ‘ilmy.

Oleh karenanya, pembahasan tentang kaidah ilmiah

dalam tafsir Alquran adalah sebuah keharusan. Dalam

makalah ini, penulis akan memaparkan apa dan bagaimana

kaidah ilmiah dalam menafsiran Alquran.1 Beliau adalah guru besar tafsir di IAIN Antasari

Banjarmasin. Informasi ini penulis dapatkan ketika mengikutihalaqoh tafsir yang diasuh beliau di Asrama Program Khusus FakultasUshuluddin dan Humaniora pada hari kamis, 3 April 2014.

2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Tafsir

Kaidah–kaidah tafsir (qawâid al tafsîr) terdiri dari

dua kata, yakni qawâid dan tafsîr. Qawâid adalah bentuk

jama’ dari qa’idah yang berarti dasar, alas, pondamen,

peraturan, kaidah.2 Para ahli tafsir memberikan istilah

:

ه ات�� ي� ئ� ز� ه ع�لى اح�كام ج� عزف� ت� ت� ح�كم ك�لى� ئ��hukum/aturan yang bersifat menyeluruh/ umum yang dengan

aturan- aturan yang umum itu bisa dikenali hukum – hukum juz’i.3

2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir : Arab Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif), 1138.

3 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu–Ilmu Al Quran 2 (Jakarta :Penerbit Pustaka Firdaus, 2001), 162-163.

3

Sedangkan kata tafsir merupakan mashdar dari lafadz

fassara yang berarti mengungkapkan atau menampakkan.4

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz

tafsir tersebut. Namun pada dasarnya tafsir adalah

rangkaian penjelasan dari suatu pembicaraan atau teks

(Al Quran).

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa qawâid al tafsîr

adalah pedoman-pedoman yang disusun ulama dengan kajian

yang mendalam untuk mendapatkan hasil yang maksimal

dalam memahami makna–makna Alquran, hukum–hukum dan

petunjuk yang terkandung di dalamnya.5 Khâlid Utsman al

Sabt menyebutkan bahwa qawâid al tafsîr adalah :

ه� ���م وم�عزف ي� زان' ال�عظ# ����ى ال�ق اط م�عان� ي ن. لى اس�ي� ها ا2 وص�ل ب� ت� ى ئ�� ه� ال�ت� ح�كام ال�كلي� الأها اد م�ن� ف� س�ت� ه� الأ2 ي� ف� ك�ت�

Rangkaian aturan yang bersifat umum yang mengantarkan

seseorang untuk mengistinbatkan makna–makna Alquran dan mengenali

cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.6

B. Istilah Ilmiah dan Pengertiannya4 Abû al-Husain Ahmad ibn Zakariya, Mu’jam Maqayîs al-Lughah, Juz

IV (Beirut: Dâr al-Jail, 1976), 13. 5 Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta : Teras,

2005), 55. 6 Khâlid ibn Utsmân al-Sabt, Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa Dirâsatan

(t.tp: Dâr ibn Affân, t,th), Juz I, 30.

4

Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang

diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca

indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan.

Pengetahuan dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-

ilmiah dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah

adalah pengetahuan yang tidak memenuhi syarat-syarat

ilmiah. Sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan

yang memiliki syarat-syarat ilmiah.

Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh

pengetahuan ilmiah adalah: Harus memiliki objek

tertentu (formal dan material) dan harus bersistem

(harus runtut). Disamping itu pengetahuan ilmiah harus

memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang umum.

Metode itu meliputi metode dedukasi, induksi, dan

analisis.7 Oleh karenanya, pengetahuan ilmiah dapat

dikatakan sebagai ilmu.

Ilmu (sains) berasal dari Bahasa Latin scientia yang

berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses

penyelidikan yang berdisiplin. Ilmu bertujuan untuk

meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Ilmu

pengetahuan ialah pengetahuan yang telah diolah kembali

dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten dan

koheren. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka

pengetahuan tadi harus dipilah (menjadi suatu bidang

tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis,

7 Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrapindoPersada, 2011), 89-91.

5

sistematis serta konsisten. Tujuannya agar pengalaman

tadi bisa diungkapkan kembali secara lebih jelas, rinci

dan setepat-tepatnya.8

Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah dapat

dibedakan atas:9

1. Ilmu Pengetahuan Fisis-Kuantitatif, sering

disebut pengetahuan empiris. Pengetahuan ini

diperoleh melalui proses observasi serta analisis

atas data dan fenomena empiris. Termasuk dalam

kelompok ilmu ini adalah geologi, biologi,

antropologi, sosiologi, dan lain-lain.

2. Ilmu Pengetahuan Formal-Kualitatif, sering

disebut pengetahuan matematis. Ilmu ini diperoleh

dengan cara analisis refleksi dengan mencari

hubungan antara konsep-konsep. Termasuk dalam

kelompok ilmu ini adalah logika formal,

matematika, fisika, kimia, dan lain-lain.

3. Ilmu Pengetahuan Metafisis-Substansial, sering

disebut pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat

diperoleh dengan cara analisis refleksi

(pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian

kritis, logis rasional) dengan mencari hakikat

prinsip yang melandasi keberadaan seluruh

kenyataan.

8 Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 91-92. 9 Klasifikasi ilmu ini penulis dapatkan dari berbagai ahli,

lihat dalam: Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 122-129. lihat juga dalam:Hamdani, Filsafat Sains (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 147-149.

6

Kata al-‘ilm dan berbagai turunannya kerap digunakan

dalam Alquran dalam arti pengetahuan umum, termasuk

makna sains-sains alam dan kemanusiaan. Juga mencakup

pengetahuan yang diwahyukan maupun yang diperoleh.

Dengan demikian dalam pandangan Alquran, terminologi

ilmu adalah tak terbatas pada istilah ilmu-ilmu agama

saja, tetapi makna ilmu dalam Alquran adalah segala

macam bentuk ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial,

humaniora, dan ilmu lainnya yang dapat digunakan untuk

kemaslahatan umat manusia.

Nilai kemaslahatan itu yang mengharuskan adanya

pemahaman mendalam terhadap objek terkait, dalam hal

ini adalah Alquran. Oleh karena itu, diperlukan

pemahaman atas hakikat dari objek yang hendak dicari.

Pentingnya digunakan metode berpikir filsafat, yakni

filsafat ilmu yang diiringi dengan metode ilmiah untuk

mewujudkan adanya kesesuaian hasil ilmu yang diperoleh

dengan kemaslahatan yang ingin dicapai.10

C. Penafsiran Alquran Secara Ilmiah; Sebuah Keharusan

Kendati Alquran mengungkap isyarat ilmiah, satu

hal yang perlu diingat bahwa Alquran bukanlah kitab

ilmiah. Satu hal yang dapat membuktikan kebenaran

10 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial (Jakarta:Amzah, 2007), 46-48.

7

pernyataan tersebut adalah sikap Alquran terhadap

pertanyaan yang diajukan oleh para Sahabat Nabi tentang

keadaan bulan.

mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. (QS Al-baqarah:

189)

Menurut ayat ini, mereka bertanya mengapa bulan

sabit terlihat dari malam ke malam membesar hingga

purnama, kemudian sedikit demi sedikit mengecil, hingga

hilang dipandangan mata. Pertanyaan tersebut tidak

dijawab Alquran dengan jawaban ilmiah yang dikenal para

astronom, tetapi jawabannya justru diarahkan kepada

upaya memahami hikmah di balik kenyataan itu.

Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia

dan (bagi ibadat) haji;

Namun demikian, karena Alquran adalah kitab

petunjuk untuk kebahagian dunia dan akhirat, tidak

heran jika didalamnya terdapat berbagai petunjuk

tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan, guna mendukung fungsinya sebagai kitab

petunjuk. Tapi perlu diperhatikan bahwa hakikat-

hakikat ilmiah yang disinggung dalam Alquran

8

dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat akan

makna. 11

Bila diamati, dalam Alquran dapat ditemukan dua

bentuk realitas, Pertama realitas yang dapat didekati

dengan pengalaman empiris melalui eksperimen dan

observasi. Kedua realitas yang berada di luar jangkauan

pengalaman inderawi.

Realitas yang dapat didekati dengan pengalaman

empiris memiliki akar teologis dengan sinyalemen

Alquran tentang ayat-ayat kauniah dan eksistensi

individu dalam masyarakat. Untuk menjabarkan sinyalemen

tersebut dan memahami realitas ini, penalaran mempunyai

posisi yang sangat strategis dan menentukan. Di pihak

lain, ada realitas yang berada di luar pengalaman

manusia yaitu bagian metafisik yang lebih memerlukan

pendekatan iman. Untuk realitas ini, Alquran

menggunakan ungkapan al-ghalib. Muhammad Assad

mendefinisikan realitas metafisik sebagai realitas yang

berada di luar persepsi metafisik sebagai realitas yang

berada di luar persepsi manusia dan tidak dapat

dibuktikan melalui observasi ilmiah.

Memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan kauniah

dan eksistensi manusia dalam masyarakat tidaklah cukup

dengan memerhatikan tafsiran teksnya secara harfiah,

tetapi haruslah melibatkan banyak disiplin ilmu,

11 M. Quraish Shihab, Mukjizat Alquran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2013), 169-170.

9

terutama ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial. Di samping

itu, seorang penafsir harus memerhatikan konteks

ayatnya, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupinya

dan keadaan sosial kulturalnya. Menurut M. Quraish

shihab, paling tidak haruslah diperhatikan pengetahuan

bahasanya, konteks antara kata dan ayat dan sifat

penemuan ilmiah.12

Alquran tidaklah diturunkan dalam rentangan waktu

dan kondisi yang hampa kultural. Demikian pula,

tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para mufassirin

pada masanya terdahulu tidak terlepas dari konteks

zamannya. Penafsiran mufassir sebelum abad ke-20

tidaklah memiliki konsepsi-konsepsi kebutuhan abad ke-

20. Penafsiran yang sudah ada mungkin menyimpang atau

bisa jadi telah menjadi usang.

Perbedaan-perbedaan pendapat pada masa lampau

terikat atau terpengaruh oleh berbagai peristiwa

sejarah. Kini, situasinya sudah berubah. Perbedaan

pendapat yang berakar pada kasus-kasus masa lampau

haruslah ditinggalkan, karena kita sekarang sudah

berhadapan dengan masalah-masalah yang berbeda. Oleh

karena itu, ajakan untuk kembali kepada Alquran secara

eksplisit dan implisit menghendaki tafsiran-tafsiran

baru yang logis dan realistis.

Penafsiran baru yang dimaksud merupakan perasaan

adanya keperluan untuk melakukan upaya-upaya pembaruan

12 M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyudalam Kehidupan Masyarakat (Bandung Mizan, 2013), 105.

10

dan penyesuaian dalam penafsiran Alquran dengan

menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih baik.

Usaha ini merupakan upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an

dengan konteksnya, yaitu situasi dan permasalahan masa

kini.

Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan

semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tersebut, baik

ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar

memahami dan menafsirkan Alquran tidak hanya harfiah

saja, tetapi haruslah dengan cara pendekatan teoritis.

Objek pengamatan yang sama bisa tampak berbeda, karna

perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan

teori yang kita pakai. Hal ini bisa dimengerti sebab

teori tersebut akan membentuk realitas yang diamati.

Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan

Alquran yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud

ketentuan-ketentuan tuhan yang pasti dan jelas

tertulis.

Indikasi diatas menunjukkan bahwa penafsiran akan

berbeda apabila pendekatan dan teori yang digunakan

berbeda. Hasil penafsiran menggunakan paradigma ilmiah

tidaklah sama dengan hasil penafsiran secara harfiah.

Untuk itu, penafsiran Alquran yang banyak melibatkan

disiplin ilmu pengetahuan akan menghasilkan teori-teori

baru dari realitas Alquran. Dengan realitas ini, objek

pengamatan yang terdapat dalam masyarakat dapat diamati

secara lebih konstektual dan menghasilkan penjelasan-

11

penjelasan yang lebih bisa diterima, baik yang

berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lampau maupun

keadaan sekarang.

Bertitik tolak dari realitas Alquran sebagai

realitas yang dapat didekati melalui pengalaman empiris

sejalan dengan sinyalemen Al-Qur’an tentang ayat-ayat

kauniah dan eksistensi manusia dalam masyarakat,maka

sesusungguhnya tepat apabila ayat-ayat Alquran

ditafsirkan secara ilmiah dan memadukannya secara

relevansif dengan perkembangan ilmu pengetahuan melalui

pendekatan analitis interdisipliner dan kontekstual.13

D. Tafsir ‘Ilmi; Apa dan Bagaimana ?

Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran Aqluran yang

bercorak menjustifikasikan istilah-istilah ilmiah

sebagai penjelasan al-Qur’an dan berijtihad dalam

mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan berbagai

13 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Model Penafsiran ( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), 86-89.

12

disiplin ilmu dan pendapat para filsafat.14 Yusuf al-

Qardhawi mendefiniskannya:

ان' ���ي Fا ل�ن��ه اب�� �Iي ز ظ# �ا ون���ه ن� ف� ائ� : ح�ف� ة� Q��ي �Iئ ( ال�حد ه� ���ي �وم ال�كوئ���ه )ال�عل ���ي دم ف�� ح� �ت��س ي� ت�� د� ���ر ال �ي��س ف� ال�ت�ه. ي� ئ�� ح م�عا ي� وض�� ه، وت�� مرام�ي�

Tafsir yang menggunakan ilmu-ilmu kosmos modern, baik dari sisi

hakikat dan teori-teorinya, untuk menjelaskan tujuan dan menjelaskan

makna-maknanya.

Yang dimaksud dengan ilmu kosmos disini

adalah ilmu fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi,

ilmu medis, anatomi, fisiologi, matematika. Termasuk

pula ilmu-limu humaniora dan sosial, seperti ilmu

psikologi, sosiologi, ekonomi.15

pada zaman modern ini, banyak ditemukan orang-

orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Alquran

dengan sorortan pengetahuan ilmiah modern. Dengan

tujuan untuk menunjukkan mukjizat Alquran dalam bidang

keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan

keagungan dan keunikan Alquran dan untuk menjadikan

kaum muslimin bangga memiliki kitab agung ini.

Sebenarnya usaha untuk membuktikan tentang hubungan

antara Alquran dan sains tidak saja dilakukan oleh

orang-orang Islam namun semacam ini pernah dilakukan

14 Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn ( t.tp:Mush’ab ‘amîr al-Islâmiyyah, t.th), Juz II, 180.

15 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm( Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000), 369.

13

oleh ilmuwan-ilmuwan non muslim atau para orientalis.

Seperti Maurice Bucaille misalnya, seorang dokter bedah

berkebangsaan Perancis, telah melakukan usaha yanng

sama. Ia tiba-tiba terkenal sebagai seorang ahli tafsir

dengan bukunya “La Bible, La Coran Et La Sciense”. Menurutnya,

Alquran bukan saja dipandang dapat berbicara tentang

surga dan neraka tetapi juga tentang penemuan-penemuan

ilmiah mutakhir. Alquran seakan-akan mempunyai makna

baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu

pengetahuan modern.16

Pandangan yang menganggap Alquran sebagai sebuah

sumber seluruh pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang

baru, sebab kita mendapati banyak ulama besar kaum

muslim terdahulu pun berpandangan demikian. Di

antaranya adalah imam al-Ghazali. Dalam buku Ihyâ’

Ulûmuddîn, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud:

ن' �kي ز ����ن' ولأج ول�ي� nال: م�ن' اراد ع�لم الأ ����ه ق ����ه ات ����ه ع�ي�ى� ال�ل ����عود رض�ن' م�س ع�ن' اي�

ن' م�سعود دب� ر ال�ق�زان' )رواه اي� ي� لن� )ق�� “jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan

pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Alquran”

16 Maurice Bucaille. La Bible, La Coran Et La Sciense (Jakarta. BulanBintang, 1979) Terj. HM. Rosyidi, 251.

14

Selanjutnya beliau menambahkan “ringkasnya, seluruh

ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Alquran

adalah penjelasan esensi, dan sifat-sifat dan perbuatan-Nya.17

Selain al-Gazhâlî, tokoh yang ada juga

Muhammad ‘Ali Iyyazi yang mengatakan bahwa tafsir ‘ilmi

seringkali ditandai dengan munculnya para pembahas yang

mengaitkan ayat-ayat Alquran dengan teori ilmiah yang

berubah-rubah, dan mereka mengambil manfaat dalam

keterasingan mereka terhadap tafsir ayat Alquran dengan

pembahasan ilmiahnya secara umum. Seakan-akan mereka

ingin selalu mengaitkan seluruh yang berkaitan dengan

ilmu dalam medan hipotesa terhadap Alquran sebagai

kitab petunjuk dan mukjizat. Namun seharusnya bagi

mereka yang berusaha seperti itu harus mengungkap

petunjuk dalam ayat-ayat yang berbicara masalah sains

tersebut, sehingga tidak terhenti pada batasan

sainsnya, tetapi juga menyikap petunjuk yang

terkandung.18

Muhammad Abduh juga termasuk tokoh yang

mendukung tafsir ‘ilmi ini. Menurutnya bahwa Alquran

adalah kitab suci yang banyak mengandung ilmu

pengetahuan tentang sains dan sosial.19 Oleh karenya,

17 Muhammad Ibn Muhammad al-Gazhâlî, Ihyâ ‘Ulûmuddîn (Beirut:Dâr al-Ma’rifah, t,th), Juz, I, 289.

18 Muhammad ‘Alî Iyyazî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum(Taheran: Wizarat al-Tsaqâfiyah wa al-Irsyâd al-Islâmi, 1373 H),93.

19 Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm al-Muhtasib, Ittijât al-Tafsîr fî al-Tafsîr al-Râhin (Oman: Maktabah al-Nahdhah al-Islâmiyyah, 1982), 265-266.

15

penafsiran Alquran secara ilmiah adalah sebuah

keharusan.

Kendati banyak yang memberikan apresiasi besar

terhadap tafsir ‘ilmi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa

ada juga kalangan ulama yang menolak keras adanya

penafsiran secara ilmiah ini. al-Syâthibî misalnya, dia

menyatakan berargumen bahwa para sahabat Nabi dan tabi’un

setelah generasi setelahnya mereka adalah orang-orang

yang paling memahami Alquran dan ilmu-ilmu yang ada di

dalamny, tetapi mereka tidak menyampaikan tentang

hukum, dan ketetapan masa mutakhir yang dilakukan saat

ini. Kalau memang ada tentang ketentuan tafsir ‘ilmi,

maka mereka akan memberikan petunjuk atas asal masalah

tafsir tersebut. al-Syâthibî lebih mengutamakan aspek

hukum dibanding teori-teori ilmiah. Sebab baginya,

terlaksananya hukum islam dapat memacu kemajuan umat

Islam pada aspek lainnya.20

Adanya tokoh yang pro-kontra terhadap

permasalahan ini dapat cari penyebabnya. Mereka yang

berkeyakinan tafsir ‘ilmi harus ada berargumen sebagai

berikut:21

1. Perhatian Alquran terhadap sains. Menyebut contoh-

contoh ilmiah dan dorongan untuk merenungkan ayat-

ayat ketuhanan yang ada di langit dan bumi serta

manusia menyebabkan sains dan pengetahuan menjadi

20 Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 189-191.21 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm, 381-

383.

16

berkembang dan kemudian dibandingkan dengan

Alquran.

2. Adanya keyakinan bahwa seluruh ilmu alam ada dalam

Alquran, dan dimungkinkan ilmu-ilmu itu dilahirkan

darinya.

3. Adanya perhatian terhadap ilmu-ilmu alam dan

temuan-temuan baru untuk menegaskan kemukjizatan

Alquran.

4. Adanya perasaan sarjana Muslim bahwa

mempertahankan Alquran dalam menghadapi keragu-

raguan Barat yang mengklaim adanya kontradiksi

sains dengan agama adalah kewajiban untuk

menegaskan bahwa Alquran tidak bertentangan dengan

sains.

Sedangkan bagi mereka yang menolak adanay tafsir

‘ilmi berargumen bahwa:

1. Tafsir ‘ilmi tidak kokoh secara leksikologis

2. Menyalahi kajian filologis atau kajian asal

usul makna.

3. Secara teologis, Alquran mengajarkan pesan

etis dan keagmaan yang berkaitan dalam

pandangan manusia mengenai hidup bukan

pandangan-pandangan kosmologis,

4. Ketidakmungkinan Alquran untuk membuat

pandangan-pandangan teori ilmu dapat berubah.22

22 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial, 44.

17

E. Kaidah yang diperlukan dalam Tafsir ‘ilmi

Model tafsir macam ini setidaknya memuat dua

hal. Pertama, menjadikan teks Alquran sebagai alat

justifikasi bahwa Alquran nyata telah memberikan

isyarat mengenai ilmu alam, sains, teknologi dan

seterusnya. Kedua, penemuan sains ilmiah dijadikan

variabel penguat bahwa Alquran memanglah ilmiah. Dalam

hal ini, problem serius yang sering muncul adalah jika

penemuan sains itu berubah, karena adanya pergeseran

paradigma atau telah mengalami anomali. Posisi teks

Alquran pun tentu akan menjadi kehilangan

relevansinya.23

Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan

tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat Alquran

adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan

metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini,

terdapat beberapa kriteria:

1. Lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan

menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat

Alquran.

2. Tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan

kondisi yang ada pada saat ayat turun.

23 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hinggaideologi (Yogyakarta, PT Lkis Printing Cemerlang, 2013), 249.

18

3. Mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran

eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-

ayat Alquran.24

Hampir sama dengan kaidah sebelumnya, Yûsuf al-

Qardhawî menyatakan ada tiga kaidah yang harus

diperhatikan dalam menafsirkan Alquran secara ilmiah.25

1. Berpegang Kepada hakikat pengetahuan bukan

hepotesa,

2. Tidak Memaksakan diri dalam memahami nash,

3. Tidak menuduh semua umat tidak mempunyai

pengetahuan.

Selain dari kaidah tadi, paling tidak tiga hal yang

perlu digarisbawahi dalam penafsiran secara ilmiah ini,

yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat

penemuan ilmiah.26

1. Bahasa

Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami

kandungan Alquran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab.

Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi

suatu ayat, terlebih dahulu harus meneliti apa saja

pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian

24 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, 92-93. 25 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm, 382-

385.26 M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, 161-169.

19

menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan

segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.

Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya,

menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah)

sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti

kata-kata dalam ayat-ayat Alquran. Bila apa yang

ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Alquran

dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa

kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang

belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS

96:2)27 tidak mutlak dipahami dengan "darah yang

membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti

yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam

atau masa turunnya Alquran. Masih ada lagi arti-arti

lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".

Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi,

seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika

membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat

ditolak.

27

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

20

Muhammad Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik

memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan

memperhatikan penggunaan Alquran terhadap kata tersebut

dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang

paling tepat dari arti-arti yang digunakan Alquran itu.

Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya

dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu

kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau

mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak

kita adalah bentuk material atau yang berhubungan

dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi

tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.

2. Konteks antara Kata atau Ayat

Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu

ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut

dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi.

Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara

arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama'

ma'a (QS 15:22)28, yakni hubungan antara lawaqi' dan

28

. dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-

tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beriminum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yangmenyimpannya.

21

ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi'

dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)". Namun, bila

diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut

berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan

sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami

dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian

"mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi

tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada

hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-

tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian

itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama'

ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka

tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk

dimakan manusia".

Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan

ayat yang lain. Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah

Al-Naml29 mengemukakan tentang "teori gerakan bumi,

baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari maupun

gerakan lapisan pada perut bumi", terlebih dahulu harus

dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan

ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang

29

dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di

tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu;Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

22

dibicarakan adalah keadaan di bumi kita sekarang ini,

bukan kelak di hari kemudian.

Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi

kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau

penafsiran ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan

satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang

berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin

ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy,

yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Alquran yang

membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu

dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil

kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau

pendapat Alquran tentang masalah yang dibahas itu.

3. Sifat Penemuan Ilmiah

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil

pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor,

antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan

pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan

sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini

saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-

beda.

Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang

dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin

ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya.

berpijak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran

23

secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang

belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam

menafsirkan Alquran.

Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan

Alquran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak

dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Alquran --

seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan

semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan,

walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung

pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan.

Ayat 30 surat Al-Anbiya'30, yang menjelaskan bahwa

langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu

gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu

hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya

Alquran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak

memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.

Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan

pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia

30

. dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui

bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yangpadu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kamijadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiadajuga beriman?

24

tidak berhak untuk mengatasnamakan Alquran dalam

kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi

melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi,

hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk

memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut

sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah

disepakati, maka tak ada persoalan.

Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti

sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang

mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika

itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang

baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia

tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut

sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula

mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain."

Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir",

tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).

25

KESIMPULAN

Tidak bisa dihindarkan bahwa setiap sesuatu pasti

ada yang pro dan kontra, begitu juga dengan tafsir

‘ilmi. Sebagian kalangan ada menerima dan

mengapresiasinya, namun sebaliknya ada juga yang

menolaknya dengan berbagai alasan.

Kendati demikian, penafsiran Alquran secara ilmiah

selama dalam batas-batas dan berdasarkan kaidah yang

26

sudah ditentukan para ulama mampu menjawab kebutuhan

zaman. Karena pada dasarnya, Alquran sejak ribuan tahun

lalu telah menyinggung sains meski dalam porsi yang

sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

27

‘Alî Iyyazî, Muhammad. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa

Manhajuhum. Taheran: Wizarat al-Tsaqâfiyah wa al-

Irsyâd al-Islâmi, 1373 H.

al-Dzahabî, Muhammad Husayn. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. t.tp:

Mush’ab ‘amîr al-Islâmiyyah, t.th.

al-Gazhâlî, Muhammad Ibn Muhammad. Ihyâ ‘Ulûmuddîn. Beirut:

Dâr al-Ma’rifah, t,th.

al-Muhtasib, Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm. Ittijât al-Tafsîr fî

al-Tafsîr al-Râhin. Oman: Maktabah al-Nahdhah al-

Islâmiyyah, 1982.

al-Qardhâwî, Yûsuf. Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân al-‘Adzhîm.

Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000.

al-Sabt, Khâlid ibn Utsmân. Qawâ’id al-Tafsîr: Jam’an wa

Dirâsatan. t.tp: Dâr ibn Affân, t,th.

Bakhtiar, Amtsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrapindo

Persada, 2011.

Bucaille, Maurice. La Bible, La Coran Et La Sciense. Terj. HM.

Rosyidi. Jakarta. Bulan Bintang, 1979.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika

hingga ideologi. Yogyakarta, PT Lkis Printing

Cemerlang, 2013.

Hamdani, Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

ibn Zakariya, Abû al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayîs al-

Lughah. Beirut: Dâr al-Jail, 1976.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir : Arab Indonesia

Surabaya: Pustaka Progressif, t,th.

28

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Model Penafsiran. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007.

Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial.

Jakarta: Amzah, 2007.

Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta :

Teras, 2005.

shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung Mizan, 2013.

-------------------------. Mukjizat Alquran: Ditinjau dari Aspek

Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung:

Mizan, 2013.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu–Ilmu Al Quran 2. Jakarta :

Penerbit Pustaka Firdaus, 2001.