Post on 18-Jan-2023
KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK KOMUNITAS ARUS
PELANGI DALAM PENERIMAAN JATI DIRI Lesbi, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) DIKALANGAN
MASYARAKAT TEBET UTARA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Suci Kurnia Kasih
NIM : 1111051000163
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
i
ABSTRAK
Suci Kurnia Kasih
Komunikasi Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam
Penerimaan Jati Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender
di Lingkungan Masyarakat Tebet Utara
LGBT menjadi permasalahan sosial di tengah masyarakat
yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Kehidupan LGBT
yang dianggap melanggar norma dan menyimpang membuat
sulitnya mereka mendapatkan tempat di tengah-tengah
masyarakat. Banyaknya diskriminasi dan penolakan dari
masyarakat terhadap keberadaan LGBT hingga akhirnya
terbentuk suatu komunitas yang menjadi wadah bagi mereka,
yaitu Arus Pelangi.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana komunikasi antar
kelompok komunitas Arus Pelangi dalam penerimaan jati diri
mereka sebagai LGBT di lingkungan masyarakat Tebet Utara III,
Jakarta Selatan.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Komunikasi Kelompok deksriptif kategori kelompok penyadar.
Kelompok deskriptif yang mana dalam tahapan ini terlihat
komunikasi yang terbentuk secara alamiah. Komunikasi
kelompok penyadar memiliki empat tahapan dalam
mengidentifikasi pembentukkan kelompok.
Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif deksriptif yaitu
dengan cara melalui pengamatan lapangan, wawancara, observasi
dan dokumentasi di komunitas Arus Pelangi dan masyarakat
Tebet Utara III.
Dari hasil penelitian ini, bahwa penerapan komunikasi
kelompok pada komunitas Arus Pelangi dengan menggunakan
instruksi proses komunikasi premier dan sekunder. Bentuk
komunikasi kelompoknya yaitu komunikasi kelompok deskriptif,
kategori kelompok penyadar. Penilaian dari masyarakat terhadap
keberadaan komunits Arus Pelangi di wilayah Tebet Utara III,
Jakarta Selatan yang tidak setuju dengan keberadaan komunitas
LGBT di lingkungan tempat tinggal mereka.
Kata kunci: komunikasi, kelompok, LGBT, Arus Pelangi
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karuni-Nya yang tak terhingga bagi penulis. Shalawat serta salam
semoga selalu tersurah kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta kita
umatnya hingga akhir zaman.
Tiada kata yang bisa dikatakan selain mengucap syukur
Alhamdulillah, karena pada akhirnya skripsi ini mampu
diselesaikan oleh penulis penuh dengan perjuangan untuk
mendapatkan hasil yang baik. Skripsi dengan judul “Komunikasi
Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam Penerimaan Jati
Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender di Lingkungan
Masyarakat Tebet Utara” ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I).
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak terdapat
kesalahan, kekurangan, dan keterbatasan ilmu yang penulis
miliki. Namun, karena adanya semangat, doa, dan bantuan dari
berbagai pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu. Sebuah kata yang tulus penulis sampaikan kepada:
1. Prof. DR. Dede Rosyada MA, sebagai Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr.
Arief Subhan, M.A, Wakil Dekan Bidang Akademik
iii
Suparto, M.Ed, Ph.D, Dr. Hj. Roudhonah, MA, selaku
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Dr.
Suhaimi, M.Si, Selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
3. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Rachmat Baihaky, M.A selaku dosen Pembimbing
Akademik dan Pembimbing Skripsi penulis yang telah
sabar dan banyak memberikan masukan yang bermanfaat,
serta meluangkan waktu untuk membimbing penulis
selama proses penyusunan skripsi. Semoga Allah Swt
selalu memberikan keberkahan kepada beliau dan terima
kasih atas semangat dan nasehat bapak di dalam ataupun
di luar perkuliahan.
5. Orang tua tercinta dan terkasih, Bapak Maskur dan Ibu
Sukaesih, serta Nenek Mariah dan Adikku Mohammad
Siva Syaifulloh yang telah banyak membantu memberikan
do’a, dukungan moril maupun materi. Serta kasih
sayangnya yang tidak pernah putus. Terimakasih telah
menjadi orang tua, nenek dan adik yang sempurna bagi
penulis.
6. Terima kasih untuk seluruh pengurus Komunitas Arus
Pelangi yang bersedia menjadi narasumber dan telah
bersedia menjadi subjek penelitian serta telah meluangkan
waktunya untuk diwawancarai oleh peneliti di tengah
kesibukannya.
iv
7. Terima kasih untuk Rahmi Purnomowati, S.P., M.Si, Dr.
Abdul Rahman Saleh, M.Si, KH. Mahfudz Asirun, Abdul
Hamid Qadarullah S.pd, Biksu Dharmavimala, Rio Dwi A
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi
narasumber di tengah kesibukannya.
8. Terima kasih untuk Rio Erwanda yang telah membantu
dan menemani selama pengerjaan penulisan skripsi ini,
serta tidak henti-hentinya memberikan semangatnya
kepada penulis.
9. Sahabat dan saudara terbaik Dina Nurdianti, Alfia Zain,
Devi Pratiwi dan Naziah Ismi Aulia, yang selalu
memberikan do’a, semangat dan juga membantu penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar. Dan terima kasih atas dukungan teman-teman KPI
angkatan 2011.
10. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mendidik dan banyak memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis selama menempuh pendidikan di UIN
Syaraif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat
mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan.
11. Staff Tata Usaha, Perpustakaan, dan Karyawan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis
dalam urusan administrasi serta peminjaman buku-buku
literatur sebagai referensi dalam penulisan skripsi.
v
12. Serta semua pihak yang mungkin lupa peneliti cantumkan
namanya dan telah banyak membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
Akhir kata, penelitian ini tentu masih jauh dari kata
sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya,
khususnya bagi mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran
Islam.
Jakarta, 28 Juli 2018
Suci Kurnia Kasih
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. vi
BAB I ....................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 9
D. Tinjauan pustaka ...................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian .............................................................. 11
F. Subjek dan Objek Penelitian .................................................... 13
G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 13
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 15
BAB II .................................................................................................... 17
LANDASAN TEORI ................................................................................. 17
A. Ruang Lingkup Komunikasi ...................................................... 17
1. Pengertian Komunikasi ........................................................... 17
2. Komunikasi Kelompok ............................................................. 24
3. Konseptualisasi LGBT ............................................................. 41
BAB III ................................................................................................... 55
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN .............................................. 55
A. Kesamaan Hak, Demokrasi dan Agama Dalam Permasalahan
LGBT ................................................................................................. 55
B. Sejarah Berdirinya Arus Pelangi ............................................... 69
vii
1. Visi dan Misi Arus Pelangi ....................................................... 73
2. Asas, Nilai dan Kode Etik Arus Pelangi .................................... 73
3. Nilai yang dianut oleh Arus Pelangi ......................................... 74
4. Kode Etik yang dianut oleh Arus Pelangi ................................. 76
BAB IV ................................................................................................... 79
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS ............................................................. 79
A. Analisis Komunikasi Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi
Dalam Penerimaan Jati Diri LGBT Di Lingkungan Masyarakat Tebet
Utara, Jakarta Selatan ...................................................................... 79
1. Penerapan Proses Komunikasi Kelompok Komunitas Arus
Pelangi Dalam Proses Penerimaan Jati Diri LGBT ........................ 80
2. Bentuk Komunikasi Kelompok Pada Komunitas Arus Pelangi 87
3. Penilaian masyarakat terhadap keberadaan komunitas Arus
Pelangi di lingkungan Tebet Utara ............................................... 93
BAB V .................................................................................................... 97
PENUTUP .............................................................................................. 97
A. Kesimpulan ............................................................................... 97
B. Saran-saran .............................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 102
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu LGBT yang berkembang menjadi topik
perbincangan hangat disemua kalangan, baik itu kaum
atas atau bawah, politisi, psikolog, ormas, bahkan sampai
mahasiswa ikut terjun mengupas tentang masalah ini.
Sebut saja salah satunya yaitu Dr. Adian Husaini, seorang
cendekiawan muslim yang meluncurkan buku ”LGBT di
Indonesia: Perkembangan dan Solusinya”, buku ini
mengupas isu-isu LGBT terkini.1 Munculnya fenomena
LGBT di Indonesia bukanlah sebuah masalah baru.
Bahkan sejarah beberapa suku bangsa di tanah air
mencatatnya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat
mereka. Keberadaan mereka merupakan sebuah realita
yang ada di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai
macam reaksi. LGBT sendiri adalah akronim dari
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, istilah ini
digunakan semenjak tahun 1990-an, serta untuk
menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini
dianggap lebih mewakili kelompok-kelompok tersebut.
Sebagian masyarakat menganggap keberadaan
kelompok LGBT merupakan hal tabu dan dianggap
1 Azhar Fakhru Rijal, Tidak Ada Ruang Bagi Pelaku LGBT
di Indonesia,” artikel diakses pada 29 Juni 2018 pada
www.dakwatuna.com/2016/01/26/78641/tidak-ada-ruang-bagi-
pelaku-LGBT-Indonesia/amp/
2
menyimpang. Permasalahan ini menjadi sangat kompleks
sehingga menimbulkan pro dan kontra dikalangan
masyarakat . Atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM), baik
individu, kelompok atau lembaga yang mendukung
keberadaan LGBT menjadikan pedoman tersebut untuk
mendukung eksistensi kaum LGBT. Menurut mereka
keberadaan kelompok LGBT semestinya dihargai atas
dasar kemanusiaan tanpa stigmatisasi dan diskriminasi.
Mereka berhak mendapat pengakuan oleh negara,
mendapatkan kehidupan yang aman, serta hak-hak dasar
manusia lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17
Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama.
Dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang
diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC)
PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini
akhirnya memutuskan pada tanggal 26 September 2014
untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum
LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.2
Salah satu aktivis dan pendiri Jaringan Islam
Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla membela kelompok
LGBT dengan melalui akun pribadinya berbicara tentang
pembenci kelompok ini. Dalam akun resminya Ulil
menuliskan, “Kalian yang benci LGBT, setidaknya mesti
2 Ioanes Rakhmat, “LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan
Temuan Sains Modern 2016”, artikel diakses pada tanggal 10
Oktober 2016 dari www.islamlib.com
3
ingat: komputer yang kalian pakai adalah hasil temuan
Alan Turing, seorang gay dari Inggris.”.3
Ada pula tulisan dalam surat kabar harian The
Jakarta Post, edisi Jumat (28/03/2008) pada halaman
mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul “Islam
Recognizes Homosexuality”, kutipan ini adalah pendapat
salah satu Dosen di Universitas Negeri Islam di Jakarta,
yaitu Prof. Dr. Siti Musdah Mulia. Menurut beliau
homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan
diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.
Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau
homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan
muslim lainnya hanyalah di dasarkan pada penafsiran
sempit terhadap ajaran Islam.4
Kehidupan kelompok LGBT yang bertolak
belakang dengan masyarakat pada umumnya membuat
komunitas atau individunya tidak memiliki tempat di
masyarakat. Karena keberadaan mereka dianggap sebuah
pengaruh buruk dan akan mempengaruhi kehidupan orang
lainnya. Hal ini dipicu atas pemikiran bahwa menjadi
seorang LGBT merupakan sebuah aib yang dapat
memalukan dan merendahkan diri sendiri, keluarga, serta
orang-orang terdekat sekitar mereka. Oleh sebab itu
3 Teguh Firmansyah, “Kicauan Ulil Soal LGBT yang Picu
Kontroversi 2016”, artikel diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 dari
www.republika.co.id 4 Fadly, “Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual 2008”,
artikel diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 dari
www.arrahman.com
4
beberapa kelompok masyarakat menentang keberadaan
kelompok LGBT ini di lingkungan mereka, sebab dapat
berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang
terutama pada anak-anak yang mudah terpengaruh oleh
lingkungan di sekitarnya.
Seperti Komisioner KPAI, Erlinda dan Wakil
Ketua Komite III DPD, Fahira Idris yang menjelaskan
bahwa „propagada LGBT‟ adalah hal-hal di media sosial,
film, dan buku yang mempromosikan dan
mengkampanyekan LGBT terhadap anak-anak dibawah
umur. Hal ini ditakutkan dapat mengarahkan anak-anak
kepemikiran bahwa LGBT adalah tindakan normal (di
mana pandangan ini tidak searah dengan ajaran agama
mereka). Serta pernyataan mantan ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD, yang mendukung sikap
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
Mohammad Nasir untuk melarang aktivitas LGBT. Dalam
akun media sosialnya Mahfud MD mengatakan bahwa
kelompok LGBT merupakan komunitas yang harus
diwaspadai keberadaannya dan menyatakan LGBT
sebagai suatu penyakit yang harus dibantu
penyembuhannya.
Penentangan atas keberadaan LGBT ini lebih
sering dikaitkan dengan permasalahan agama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sekertaris Jendral Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Bachtiar
Nasir mengingatkan bahaya besar bila masyarakat sudah
5
sangat toleran dengan merebaknya LGBT di Indonesia,
“Belajar dari sejarah, agama menyebut kaum Sodom
dilaknat Tuhan hingga hancur. Kita harus yakin pasti ada
bencana besar bila LGBT ini dibiarkan.”.5 Hingga ormas
Front Pembela Islam memasang spanduk disekitar
Bandung, yang menyerukan komunitas LGBT untuk
menjauh, sampai akhirnya oleh Walikota Bandung
Ridwan Kamil menegur dan meminta FPI untuk
menurunkan spanduk tersebut.
Tindakan di atas merupakan salah satu
diskriminasi yang dialami oleh para LGBT. Diskriminasi
menjadi masalah pelik yang tak lepas dari keberadaan
LGBT. Fenomena ini menimbulkan suatu pandang dan
sikap yang berbeda di dalam masyarakat, seperti
menyebut mereka sebagai sampah masyarakat, perilaku
yang menyimpang, penyebar penyakit masyarakat, dan
sampai terjadi bullying di lembaga pendidikan. Serta dari
pernyataan yang banyak disampaikan oleh pejabat tinggi
negara dan ormas yang menolak kaum LGBT ini memicu
sejumlah aksi kekerasan, seperti pengusiran orang-orang
LGBT dari lingkungan masyarakat dan juga di institusi
pendidikan serta tindakan sewenang-wenang atau anarkis
oleh kelompok intoleran. Human Right Working Group
(HRWG) juga menilai, selama ini komunitas LGBT di
5 Ahmad Syalabi, “Mahfud MD Minta Gerakan LGBT
Dilarang, 2016”, artikel diakses pada tanggal 06 Oktober 2016 dari
www.republika.co.id
6
Indonesia masih menjadi pihak yang kerap mengalami
diskriminasi di masyarakat. Pada dasarnya keberadaan
mereka di tengah masyaraka tak berbeda dengan individu
lainnya. Ada yang bersikap baik ada yang tidak, ada yang
memiliki moral atau bahkan sebaliknya, semua itu
kembali pada kepribadian masing-masing individu. Hanya
saja sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap
kaum LGBT sebagai penyimpangan seksual yang belum
berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh
masarakat. Belum lagi beberapa daerah yang telah
memberlakukan perda-perda diskriminatif terhadap
komunitas LGBT, hal ini membuat keberadaan mereka
semakin termarjinalkan dan hanya diposisikan sebagai
sampah masyarakat.
Seperti yang dikutip dari berbagai sumber
pernyataan sikap Komnas Perempuan menentang segala
bentuk diskriminasi yang akan memicu kekerasan pada
siapapun. Tak terkecuali pada kelompok LGBT. Data
cacatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2014
mencatat ada 37 kasus kekerasan terhadap perempuan
yang dialami oleh kelompok LGBT, terjadi 21 kasus
dalam relasi personal atau KDRT (12 di antaranya kasus
kekerasan seksual), 15 kasus terjadi diranah komunitas
dan satu kasus pelakunya negara.6
6 Agung Rahmadsyah, “Seperti Apa Rupa Diskriminasi
Terhadap LGBT di Indonesia”, artikel diakses pada tanggal 10
Oktober 2016 dari http://www.jitunews.com/read/29750/seperti-apa-
rupa-diskriminasi-terhadap-lgbt-di-indonesia
7
Namun, seiring dengan perubahan waktu, kaum
LGBT ini melakukan proses pengakuan dan pengukuhan
diri agar diterima oleh masyarakat dengan berbagai cara.
Salah satunya dengan membentuk komunitas atau
organisasi yang diharapkan menjadi jembatan yang efektif
untuk berkomunikasi dengan masyarakat „heteroseksual‟
yang pada umumnya menganggap bahwa kaum LGBT
adalah orang-orang yang harus di hindari karena
melakukan tindakan yang menyimpang dari norma
kesusilaan.
Selain itu, adanya nilai-nilai demokrasi yang
mengusung HAM membuat kaum LGBT berani untuk
memperjuangkan hak dan menunjukan status mereka
sebagai LGBT di khalayak umum. Hal ini bisa dilihat dari
banyaknya komunitas atau organisasi LGBT di Indonesia,
salah satunya adalah Arus Pelangi. Komunitas ini
terbentuk atas dasar kebutuhan dikalangan LGBT, baik
individu atau kelompok yang bertujuan untuk membentuk
organisasi massa yang mempromosikan dan membela
hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.7 Karena
terbentuknya kelompok karena kesadaran dari anggota-
anggotanya akan adanya ikatan yang sama yang
mempersatukan mereka.8
7 Diakses pada tanggal 28 Juni 2016 dari
www.aruspelangi.org 8 Riswandi, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Graha Ilmu, 2009),
cet. Ke-1, h. 9
8
Penyesuaian diri yang dilakukan oleh kelompok
LGBT pada masyarakat sekitar tidaklah mudah.
Dibutuhkan proses agar masyarakat bisa menerima
keberadaan mereka, dengan cara mensosialisasikan nilai-
nilai orientasi seksualitas yang mereka miliki kepada
khalayak luas, agar terciptanya proses habituasi dan
adaptasi bagi masyarakat terhadap kelompok LGBT,
hingga akhirnya masyarakat akan menerima keberadaan
kelompok LGBT ini. Proses ini menjadi jembatan
komunikasi bagi para kelompok LGBT untuk beradaptasi
dan berinteraksi oleh masyarakat. Oleh sebab itu, proses
komunikasi yang dilakukan oleh kelompok LGBT untuk
dapat diterima oleh masyarakat menjadi hal menarik
untuk diteliti, mengingat hal tersebut bukanlah hal mudah
yang dapat dilakukan karena perbedaan pendapat
masyarakat luas.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik
untuk meneliti proses komunikasi yang dilakukan oleh
komunitas Arus Pelangi untuk dapat diterima di tengah-
tengah masyarakat, dengan judul penelitian “Komunikasi
Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam Penerimaan
Jati Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan transgender (LGBT)
di Lingkungan Mayarakat Tebet Utara”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengingat banyaknya masalah dalam penelitian,
maka perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti
9
sehingga tidak meluas dan terarah. Penelitian ini hanya
dibatasi pada komunikasi antarkelompok komunitas Arus
Pelangi dalam penerimaan jati diri LGBT di lingkungan
masyarakat.
Adapun rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana komunikasi kelompok komunitas Arus
Pelangi dalam penerimaan jati diri LGBT di lingkungan
masyarakat Tebet Utara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian :
Mengetahui, memahami dan mendeskripsikan
bagaimana proses komunikasi kelompok yang dilakukan
komunitas Arus Pelangi dalam penerimaan jati diri di
masyarakat.
2. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Akademis
a. Untuk menambah referensi atau bahan
perbandingan bagi pengembangan keilmuan yang
sesuai dengan bidangnya.
b. Hasil penyusunan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang positif bagi
pengembang wacana keilmuan tentang gejala
sosial yang terjadi disekitar kita.
2. Manfaat Praktis
10
a. Sebagai bahan panduan dan pertimbangan bagi
dan seluruh elemen Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam
b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah
pengetahuan bagi akademisi, praktisi, mahasiswa
KPI dan kepada pembaca umumnya serta dapat
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
D. Tinjauan pustaka
Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan
tinjauan pustaka terhadap skripsi terdahulu, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
mengakui karya orang lain. Penulis melakukan studi
pustaka dengan maksud untuk memastikan apakah ada
kesamaan dengan judul atau tema penelitian terdahulu
dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulis
menemukan beberapa penelitian skripsi tentang
komunikasi kelompok dan permasalahan homoseksual,
yaitu:
1. “Strategi Komunikasi Rumah Singgah Waria Anak
Raja Dalam Penerimaan Masyarakat Terhadap
Komunitas Waria Di Meruyung Depok”, penulis :
Khairunisa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2015.
2. “Konstruksi Realitas Sosial Pemberitaan Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Muslim di
Media Online (Studi Wacana Berita Komunitas
11
suarakita.org)”, penulis : Meylisa Agustina, UIN
Syarif Hidayatullah jakarta, tahun 2015.
3. “Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian Di Kota
Pontianak Kalimantan Barat”, penulis : Megawati
Tarigan, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta, tahun 2011.
E. Metodologi Penelitian
Metode dalam penelitian merupakan kumpulan
cara yang digunakan untuk mencari pengetahuan dan
pemahaman dibalik suatu realitas. Metode merupakan
cara peneliti untuk mengumpulkan, menggolongkan dan
memilah data serta bagaimana menganalisis data.
Sedangkan teknik merupakan cara peneliti memilih atau
mengumpulkan data penelitian. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
deksriptif. Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Penelitian ini menggambarkan sebuah fenomena
sosial lapangan terhadap LGBT melalui pengamatan
prilaku secara langsung dan melakukan wawancara pada
subjek yang telah ditentukan. Kemudian dianalisis untuk
mendapatkan hasil yang dibutuhkan untuk tujuan
penelitian ini.
12
Dalam banyak hal, fenomena sosial di masyarakat
memiliki gelaja yang berbeda-beda. Setiap masalah
memiliki wajah yang berbeda dan setiap perbedaan wajah
memiliki dimensi sosial yang berbeda-beda serta tidak
dapat dijelaskan hanya dalam pandangan materi atau
fisika saja, karena manusia memiliki kehendak sendiri
untuk mengubah diri, dunia, dan semestanya.9 Penelitian
kualitatif sering disebut sebagai metode penelitian
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi
yang alamiah. Metode deskriptif ialah titik berat pada
observasi dan suasana alamiah (naturalisting setting).
Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun
pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk
dengan kata-kata, gambaran holistik, dan rumit. Definisi
ini lebih melihat perspektif emik dalam penelitian yaitu
memandang sesuatu upaya membangun pandangan subjek
penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata,
gambaran holistik, dan rumit.
Menurut Moleong penelitian kualitatif adalah
suatu penenlitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami
suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah
dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang
mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.
Penelitia kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan
bahwa hal itu merupakan penelitian yang memanfaatkan
9 Burhan Bungin, Penetian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet.
Ke-4, h. 5
13
wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap,
pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau
sekelompok orang. Dalam penelitian kualitatif, data yang
diperoleh biasanya memanfaatkan wawancara,
pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.
F. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah komunitas Arus
Pelangi, yang beralamat di Jalan Tebet Utara IIIA No. 30,
Kelurahan Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah
proses komunikasi kelompok komunitas Arus Pelangi
dalam penerimaan jati diri LGBT.
G. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu
metode pengumpulan data yang akan diolah dan dianalisis
dengan suatu metode tertentu yang selanjutnya akan
menghasilkan suatu hal yang dapat menggambarkan atau
mengindikasikan sesuatu. Dalam penelitian kualitatif
dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum
digunakan.
Pertama, yaitu Observasi adalah kegiatan
mengamati dan mencermati serta melakukan pencatatan
data atau informasi yang sesuai dengan konteks
penelitian. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai
pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengodean
serangkaian perilaku dalam suasana yang berkenaan
14
dengan in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.
Dikemukakan oleh Nasution, teknik observasi dapat
menjelaskan atau menggambarkan secara luas dan rinci
tentang masalah-masalah yang dihadapi karena data
observasi berupa deskripsi yang faktual, cermat, dan
terinci mengenai keadaan lapangan, kegiatan manusia,
dan sistem sosial, serta konteks tempat kegiatan itu
terjadi.
Observasi merupakan salah satu teknik
pengumpulan data yang tidak hanya mengukur sikap dari
responden, namun juga dapat digunakan untuk merekam
berbagai fenomena yang terjadi. Kemudian penulis
mengamati, meneliti, dan mencatat setiap fokus
penelitian. Inti dari observasi adalah adanya perilaku
yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai.
Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat
dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat
dihitung, dan dapat diukur.
Kedua, yaitu Wawancara menurut Moleong adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan tersebut.10
10
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 118
15
Wawancara yang dilakukan pada pihak-pihak
yang bersangkutan, sehingga memudahkan dalam
memperoleh data. Menurut Gorden wawancara
merupakan percakapan antara dua orang yang salah
satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan
informasi untuk suatu tujuan tertentu. Teknik ini sangat
diperlukan untuk mengungkap bagian terdalam
(tersembunyi) yang tidak dapat terungkap lewat teknik
pengumpulan data lainnya. Wawancara yang dilakukan
secara bebas, namun tetap menggunakan pedoman
wawancara agar pertanyaan terarah.
Terakhir yang ketiga, yaitu Dokumentasi adalah
salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan
melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat
oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
Penulis mengumpulkan bahan tertulis seperti
berita di media, notulen-notulen rapat, surat menyurat,
dan laporan-laporan untuk mencari informasi yang
diperlukan.11
Data-data yang terkumpul berupa foto-foto,
buku-buku, jurnal, internet, dan sebagainya yang
berhubungan dengan masalah penelitian sebagai bahan
penunjang penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan masalah dan
menggambarkan secara singkat mengenai pembahasan
11
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Depok:
RajaGrafindo, 2015) cet. Ke-2, h. 21
16
penelitian ini. Maka dibagi menjadi lima bab, yang terdiri
dari sub-sub pembahasan, yaitu :
BAB I Mengemukakan tentang latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II Dalam bab ini membahas mengenai
pengertian komunikasi kelompok, kerangka
teori, teori seputar komunikasi, komunikasi
kelompok, karakteristik, pengertian, dan
fungsi dari komunitas LGBT.
BAB III Bab ini membahas gambaran umum
komunitas Arus Pelangi, seperti sejarah
berdirinya komunitas, visi dan misi, motto,
dan profil struktur pengurus Komunitas Arus
Pelangi.
BAB IV Memuat penyajian hasil data-data yang
diperoleh dari hasil penelitian, berikut
analisisnya. Yaitu tentang proses komunikasi
kelompok komunitas Arus pelangi dalam
penerimaan jati diri LGBT.
BAB V Dalam bab ini memuat penutup dari skripsi
ini yang berisi tentang kesimpulan, kritik,
dan saran.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Ruang Lingkup Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Sebagai seorang individu, komunikasi merupakan
jalur yang dapat menghubungkan diri dengan dunia luas,
sarana untuk menampilkan kesan, mengekspresikan diri,
dan memengaruhi orang lain. Melalui komunikasi
seseorang dapat membangun hubungan kontak dengan
individu lainnya. Komunikasi adalah hubungan kontak
antar manusia yang bertujuan untuk mempengaruhi
manusia lainnya dalam sebuah bentuk kelompok,
organisasi, dan masyarakat.
Komunikasi merupakan sebuah sarana yang dapat
mempertemukan kebutuhan dan tujuan diri seseorang
dengan kebutuhan dan tujuan orang lain. Bagi Aristoteles
yang menjadi tujuan dari berlangsungnya komunikasi
yaitu membimbing pemikiran orang lain untuk masuk ke
dalam sudut pandang yang sama dengan cara
mempengaruhi dan meyakinkan orang tersebut.
Menurutnya, “tujuan utama komunikasi adalah persuasi,
yaitu upaya pembicaraan untuk menggiring orang lain
masuk ke dalam sudut pandang persuader”.1 Dengan
adanya komunikasi menjadikan semua orang memiliki
pengetahuan dan perasaan yang sama terhadap suatu hal.
1 Alo Liliweri, Komunikasi Antar-Personal (Jakarta:
Kencana, 2015), cet. Ke-1, h. 2.
18
Komunikasi juga mampu menghubungkan antar bagian
masyarakat dalam menanggapi lingkunganya.
Mengutip definisi Theodornoson and
Theodornoson (1969) dalam buku Sosiologi Komunikasi
karya Burhan Bunging yang menyebutkan bahwa
komunikasi mengacu pada penyebaran informasi, ide-ide,
sikap-sikap, atau emosi dari seorang atau kelompok
kepada yang lainnya terutama melalui simbol-simbol.2
Komunikasi dapat dipahami sebagai proses sosial di mana
individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk
menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam
lingkungan mereka.
Menurut dan menguraikan berbagai definisi
komunikasi, Shannon dan Weaver (1949) memandang
komunikasi sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan
oleh manusia untuk saling mempengaruhi satu sama lain.
Tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi bisa
pada sebuah lukisan, seni, teknologi, maupun ekspresi
wajah seseorang.3
Ketika seseorang hidup bermasyarakat, maka
keinginan untuk mengetahui lingkungan sekitarnya
memaksa manusia perlu berkomunikasi.
Menurut Dr. Everett Kleinjan dari East
West Center Hawaii, yang dikutip oleh Hafied
Cangara, “komunikasi merupakan hal mendasar
2 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana,
2014), cet. Ke-7, h. 30. 3 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: UPDM,
2003), h. 9.
19
dalam kehidupan manusia seperti layaknya
bernapas, yang mana jika seseorang ingin
melangsungkan hidupnya maka perlu untuk
berkomunikasi.”4
Menyatakan dan mendukung identitas diri serta
membangun kontak sosial dengan orang di sekitar dan
mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau
berprilaku sebagaimana yang diinginkan merupakan
sebuah alasan utama manusia melakukan aktivitas
komunikasi.
Istilah kata komunikasi yang diserap dari bahasa
Inggris “communication” yang merujuk pada bahasa
Latin “communis” yang berarti “sama”, atau dalam istilah
“communicare” yang bermakna “membuat sama”.5 Kata
sama memiliki makna pesan atau informasi yang di
sampaikan menggunakan simbol-simbol atau bahasa yang
memiliki kesamaan arti atau makna antara komunikator
dengan komunikan, sehingga persepsi yang ditimbulkan
menjadi sama. Seperti pendapat Wilbur Schramm yang
dikutip oleh Widjaja mengenai komunikasi merupakan
sebuah cara yang dilakukan untuk membuat kesamaan.
Menurutnya, “Apabila kita mengadakan komunikasi maka
kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan
orang lain. Kita mengetahui bahwa pada dasarnya
4 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta:
RajaGrafindo, 2007), cet. Ke-1, h. 1. 5 Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), h. 19.
20
komunikasi itu adalah proses. Suatu proses komunikasi
bersifat dinamis, tidak statis”.6 Berlangsungnya suatu
komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila dalam
proses pesan yang disampaikan mampu mengubah
perilaku, pendapat atau pikiran orang lain. Pada dasarnya
kegiatan berkomunikasi adalah untuk mengendalikan
lingkungan fisik dan psikologis seseorang.
Pendefinisian komunikasi yang umumnya
digunakan oleh para pakar ilmu komunikasi merujuk pada
paradigma Harold D. Lasswell, mengenai cara yang
efektif untuk menjelaskan komunikasi ialah Who Says
What In Which Channel To Whom With What Effect
(yang menjelaskan: Siapa? mengatakan apa? dengan
saluran apa? kepada siapa? dengan efek apa?).7
Berdasarkan teori Lasswell, komunikasi adalah kegiatan
yang menjelaskan sebuah proses interaksi dan fungsinya,
yaitu kegiatan penyampaian pesan oleh komunikator atau
sumber informasi (Who), lalu pesan yang ingin
disampaikan dari komunikator kepada komunikan (Says
what), dengan menggunakan sebuah perantara pesan atau
suatu media baik secara langsung maupun tidak langsung
(In which channel), kepada seseorang yang menerima
pesan dari sumber informasi (To whom) dan
menimbulkan pengaruh yang muncul setelah pesan
6 H.A.W. Widjaja, Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), cet. ke-2, h. 26. 7 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi (Bandung:
Rosdakarya, 2007), cet. Ke-21, h. 10.
21
diterima oleh komunikan seperti perubahan sikap, pikiran
atau bertambahnya pengetahuan (With what effect). Jadi
berdasarkan paradigm Lasswell tersebut komunikasi
adalah proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikanmelalui media yang menimbulkan efek
tertentu.
Komunikasi adalah suatu proses di mana
seseorang atau beberapa orang yang menciptakan dan
menggunakan informasi sebagai penghubung dengan
lingkungan atau orang lain. Proses kegiatan perputaran
pesan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bertujuan
untuk membangun persepsi atau persamaan makna antara
komunikan dan komunikator. Sehingga apa yang menjadi
tujuan komunikasi itu dilakukan dapat tercapai. Mengutip
dari pengertian Everett M. Rogers, yang memandang
komunikasi sebagai sebuah proses di mana suatu ide
dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih
dengan maksud mengubah perilaku.8
Pengungkapan berbagai pengertian tentang
komunikasi oleh para ahli yang menekuni ilmu
komunikasi dalam pengungkapannya masing-masing
memiliki pendapat yang dalam penekanannya berbeda.
Akan tetapi maksud dan tujuan yang disampaikan
mempunyai interpretasi yang sama. Melihat berbagai
pendapat tentang komunikasi yang telah dijabarkan bahwa
8 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005), cet. Ke-2, h. 26.
22
komunikasi adalah suatu hubungan timbal balik yang
lebih menekankan sifat kegiatan individu atau kelompok
ataupun instansi untuk mempengaruhi orang lain.9
Aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh
seseorang biasanya dilakukan dengan sengaja dan
memiliki suatu tujuan. Dalam sebuah proses komunikasi
terdapat banyak komponen yang disebutkan antara lain
sumber, komunikator, pesan atau informasi, komunikan,
saluran, dan efek. Setiap unsur dalam komunikasi
mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling
ketergantungan satu sama lainnya. Namun terdapat unsur
utama yang wajib terpenuhi karena merupakan sebuah
bentuk kesatuan yang utuh. Bila salah satunya tidak ada
maka komunikasi tidak akan terjadi, yaitu: pertama,
Komunikator. Komunikator merupakan pihak yang
bertindak untuk menyampaikan sebuah pesan, yang bisa
dalam bentuk perorangan atau kelompok.
Kedua, Pesan. Pesan adalah keseluruhan apa yang
disampaikan oleh komunikator berupa kata-kata tulisan,
gambar, atau lainnya dimaksudkan sebagai usaha untuk
mengubah sikap dan pikiran orang lain.
Ketiga, Komunikan. Komunikan adalah orang
yang menerima pesan yang disampaikan oleh
komunikator. Komunikan menjadi elemen penting dalam
kegiatan komunikasi karena menjadi sasaran komunikasi
9 Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek
(Jakarta: Binacipta, 1988), cet. Ke-3, h. 1-2.
23
dan bertanggung jawab untuk mengartikan pesan yang
telah disampaikan.
Dalam prosesnya komunikasi terbagi menjadi dua
tahap, yaitu komunikasi secara primer dan sekunder.10
Komunikasi primer ada proses penyampaian pesan
dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang
sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah
bahasa, isyarat, gambar, warna dan lainnya yang secara
langsung dapat diterjemahkan oleh pikiran dan perasaan
komunikator kepada komunikan. Sedangkan komunikasi
sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat
atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama. Media merupakan alat
atau sarana yang diciptakan untuk meneruskan pesan
komunikasi. Seiring perkembangan zaman, komunikasi
bermedia mengalami kemjuan dengan memadukan
komunikasi berlambang bahasa dengan komunikasi
berlambang warna dan gambar. Proses komunikasi secara
sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer
untuk menembus dimensi ruang dan waktu.
Beragam definisi yang dijelaskan oleh ahli ilmu
komunikasi tentang pengertian, tujuan dan fungsi dari
komunikasi, masing-masing memiliki perbedaan dalam
10
Wahyu Aji Sasongko, Proses Komunikasi (Primer dan
Sekunder), artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2018 pada
www.rastika.net/2013/05/proses-komunikasi-primer-dan-
sekunder.html?m=1
24
mengaktualisasikannya. Oleh karena itu, pada aktivitas
komunikasi dikenal pola-pola tertentu sebagai manifestasi
perilaku manusia dalam berkomunikasi. Bentuk dari
komunikasi itu sendiri memiliki beberapa klasifikasi tipe
yang dijabarkan oleh masing-masing ilmuan komunikasi.
Namun perbedaan penjabaran yang dijelaskan tidak
bertentangan antara satu dengan lainnya, sebab hanya
berbeda penekanan yang disebabkan oleh latar belakang
dan lingkungan yang mendukung. Denis McQuail
menyebutkan terdapat enam tingkatan dalam proses
berlangsungnya sebuah komunikasi, yaitu: komunikasi
intrapersonal, komunikasi antarpersonal, komunikasi
kelompok, komunikasi antarkelompok, komunikasi
organisasi, dan komunikasi dengan masyarakat luas:
komunikasi massa dan langsung atau tanpa media.11
2. Komunikasi Kelompok
a. Pengertian Komunikasi Kelompok
Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat
melepaskan diri dari hubungan antar manusia lainnya.
Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara
individu-individu lahirlah kelompok-kelompok sosial
yang dilandasi atas dasar kesamaan kepentingan bersama.
Naluri untuk berkelompok mendorong manusia untuk
menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar.
Menurut Muhammad sebagaimana yang dikutip oleh
11
Riswandi, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), h. 9-10.
25
Marhaeni Fajar, mendefinisikan kelompok sebagai suatu
kumpulan individu yang mempengaruhi, memperoleh
beberapa kepuasan, berinteraksi untuk beberapa tujuan,
mengambil peranan, terikat satu sama lain dan
berkomunikasi secara tatap muka.12
Pengertian tersebut
menggambarkan bahwa suatu kelompok yang terbentuk
oleh beberapa anggota yang dapat mempengaruhi satu
sama lainnya. Melakukan interaksi yang dimaksudkan
untuk mencapai hal-hal yang dituju dan juga terikat
hubungan antara anggota satu dengan lainnya, serta
melakukan interaksi secara langsung.
Kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh
beberapa individu yang tergabung dalam suatu kelompok
disebut dengan komunikasi kelompok. Komunikasi
kelompok memiliki tujuan meski tidak selalu formal dan
kegiatan komunikasi yang dilakukan menyangkut
kepentingan seluruh anggota kelompok, bukan bersifat
pribadi. Adapun pengertian komunikasi kelompok
menurut Robert F. Bales, adalah sejumlah orang yang
melakukan kegiatan komunikasi dalam suatu pertemuan
yang bersifat tatap muka (face to face meeting). Setiap
anggota mendapat kesan atau pengelihatan yang cukup
kentara, sehingga pada saat proses komunikasi
berlangsung dapat memberikan tanggapan kepada
masing-masing sebagai perorangan secara jelas. Biasanya
12
Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), h. 65.
26
umpan balik yang diterima dalam proses komunikasi ini
bersifat rasional, dan antar anggota lainnya bisa menjaga
perasaan masing-masing dan norma-norma yang ada.
Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson
mengungkapkan jika dalam proses komunikasi kelompok
tidaklah penting penjelasan mengenai bagaimana
seharusnya komunikasi terjadi dan bukan pula sejumlah
cara-cara bagaimana yang harus ditempuh.
“Mengutip pernyataan Goldberg dan
Larson dalam buku Group Communication:
discussion processes and applications, komunikasi
kelompok adalah suatu studi, penelitian dan
terapan yang tidak menitikberatkan perhatiannya
pada proses kelompok secara umum, tetapi pada
tingkah laku individu dalam diskusi kelompok
tatap muka yang kecil”.13
Bagi Goldberg dan Larson, yang menjadi pusat
perhatian dalam komunikasi kelompok adalah tingkah
laku individu dalam interaksi tatap muka yang kecil.
Komunikasi kelompok kecil menjadi titik dasar perhatian
dalam komunikasi kelompok karena dapat
memperkirakan hasilnya dan lebih cepat meningkatkan
proses komunikasi kelompok. Melalui komunikasi
kelompok, informasi dan pengetahuan yang diperoleh
anggota akan lebih banyak. Lalu pendekatan terhadap
masalah yang akan dipecahkan menjadi lebih mudah
13
Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson, Komunikasi
Kelompok: Proses-proses Diskusi dan Penerapannya, terjemahan
oleh Koesdarini Soemiati dan Gary R. Jusuf (Jakarta: UI Press, 2006)
cet. Ke-1, h. 8.
27
diatasi. Serta ketika terjadi pengambilan keputusan maka
tidak perlu untuk disiarkan, karena keputusan yang
diambil dibuat secara bersama.
Komunikasi yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat terkadang membentuk pola pikir dan tujuan
yang sama dan tanpa disadari mereka telah melakukan
komunikasi dalam kelompok. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Littlejohn dan Foss dalam Theories of
Human Communication yang dikutip oleh Morissan,
mengatakan bahwa seseorang terkadang tidak menyadari
jika mereka menghabiskan banyak waktu untuk
melakukan komunikasi dalam kelompok dan secara
perlahan kelompok juga membentuk struktur waktu
mereka.14
Komunikasi kelompok mampu memberikan
energi maupun sebaliknya. Dan terkadang komunikasi
yang berjalan dapat terasa membosankan atau bahkan
menciptakan kesenangan pada seluruh anggota kelompok.
Kelompok-kelompok sangatlah penting bagi para
individu maupun masyarakat. Sebagai seseorang yang
bergerak di dunia, kerja sama merupakan hal yang sangat
penting dalam pencapaian tujuan-tujuan individu. Orang-
orang menggunakan komunikasi dalam menyelesaikan
berbagai masalah, dan komunikasi tidak hanya menjadi
14
Morissan, Teori Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2014) cet.
Ke-2, h. 331.
28
sebuah alat utnuk menyelesaikan tugas-tugas, tetapi juga
menjadi sebuah media untuk membangun hubungan.15
Menurut Baron dan Byrne ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh sebuah kelompok.16 Pertama,
interakasi. Dalam sebuah kelompok setiap anggota harus
berinteraksi satu sama lain sehingga apa yang menjadi
tujuan kelompok atau bersama dapat terlaksana.
Kelompok mengharuskan anggotanya untuk berinteraksi
untuk keberlangsungan pencapaian tujuan yang menjadi
motif terbentuknya kelompok.
Kedua, interdependen. Kelompok merupakan
tempat dimana para anggota berkumpul, bertukar ide-ide
atau pendapat. Kelompok diciptakan oleh beberapa
individu yang mampu mempengaruhi perilaku masing-
masing anggota. Kelompok merupakan himpunan
individu yang saling hidup brsama dan saling
ketergantungan dengan sadar serta saling tolong
menolong. Mengutip pernyataan Soerjono Soekanto yang
mengatakan bahwa kelompok merupakan himpunan atau
kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya
hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi.
15
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori
Komunikasi; Theories of Human Communication” (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), edisi 9 h. 350. 16
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas
(Bandung: PT Refika Aditama, 2013), cet. Ke-1, h. 219.
29
Ketiga, stabil. Hubungan yang terjalin antar
anggota kelompok paling tidak ada lamanya waktu yang
berarti. Dalam hubungan yang terikat lama waktu yang
terjalin bisa minggu, bulan dan tahun.
Keempat, tujuan yang dibagi. Beberapa tujuan
yang dicapai dalam sebuah kelompok bersifat umum atau
bersama. Kelima, struktur. Setiap kelompok harus
memiliki beberapa struktur sehingga setiap anggota
memiliki status dan peran. Adanya penegasan dan
pembentukkan struktur kelompok yang jelas akan
berpengaruh pada pencapaian tujuan bersama (kelompok).
Yang keenam, persepsi. Seluruh anggota yang
tergabung haruslah memiliki rasa bahwa mereka adalah
bagian dari kelompok. Setiap anggota kelompok tersebut
harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok
yang bersangkutan. Kesadaran anggota sebagai bagian
dari kelompok yang bersangkutan akan menimbulkan rasa
saling memiliki.
Jadi kelompok adalah kumpulan orang yang
memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi. Menjalani peran yang telah terstruktur dan
mencapai tujuan kelompok. Pada dasarnya pembahasan
tentang komunikasi kelompok yang harus dipahami
adalah bagaimana proses komunikasi yang saling
mempengaruhi dan bukan hanya sekedar memahami
masing-masing individu saja. Hal ini membawa pelaku
komunikasi kelompok kepada masalah interaksi sosial.
30
Sama halnya dengan komunikasi interpersonal
yang dilakukan oleh dua atau bahkan lebih individu.
Komunikasi kelompok juga menimbulkan arus balik
secara langsung terhadap pelakunya. Antara komunikasi
kelompok dan interpersonal apabila dilihat dalam proses
interaksi yang terjadi keduanya melibatkan dua atau lebih
individu yang secara fisik berdekatan dan bertukar pesan
baik secara verbal maupun nonverbal.
Komunikasi interpersonal biasanya terjadi secara
spontan dan tidak terstruktur, sebaliknya komunikasi
kelompok dalam proses interaksinya dilakukan secara
terstruktur. Selain itu masing-masing individu melihat diri
mereka sebagai anggota kelompok yang memiliki peranan
serta tanggung jawab masing-masing dan memiliki
kesadaran atas tujuan bersama.17
Komunikasi kelompok adalah sekumpulan orang
yang terbagi menjadi dua kriteria, bisa berupa kelompok
kecil atau kelompok besar. Namun jumlah anggota dalam
kelompok tidak dapat ditentukan dengan akurat berapa
jumlah orang yang termasuk kelompok kecil atau
kelompok besar. Indikasi pada komunikasi kelompok
kecil menjadi titik berat perhatian dalam komunikasi
kelompok. Pada komunikasi kelompok kecil para anggota
kelompok cenderung memiliki penilaian yang sama
terhadap suatu masalah apabila mereka dihadapkan pada
17
Goldberg dan Larson, Komunikasi Kelompok: Proses-
proses Diskusi dan Penerapannya, h. 8-9.
31
penilaian pihak lain.18
Sedangkan yang terjadi dalam
komunikasi kelompok besar dengan jumlah anggota yang
sangat banyak dan interaksi komunikasi antarpribadi lebih
sulit dilakukan. Apabila dalam komunikasi kelompok
besar para anggota memberikan tanggapan kepada
komunikator lebih bersifat emosional dikarenakan
banyaknya jumlah anggota dalam sutu kelompok besar.
Yang menurut Hare dan Slater, dalam hal hubungan
dengan kepuasan apabila suatu kelompok itu semakin
memuat kapasitas yang besar maka semakin berkurang
kepuasan anggota-anggotanya.
b. Klasifikasi Kelompok
Banyaknya anggota yang mengatakan sesuatu
tidak menjadi hal penting dalam komunikasi kelompok
melainkan bagaimana mereka memberikan respon atau
tanggapan di antara anggota kelompoknya. Dan tidak
semua sekumpulan orang disebut dengan kelompok. Oleh
sebab itu kelompok diklasifikasikan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu, Yang pertama, Kelompok Primer dan
Sekunder. Kelompok primer dan sekunder yang dicetus
oleh Charles Horton Cooley pada tahun 1909, mengatakan
bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang
anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan
menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan
sekunder memiliki pengertian yang berlawanan yaitu
18
Goldberg dan Larson, Komunikasi Kelompok: Proses-
proses Diskusi dan Penerapannya, h. 38.
32
sebuah kelompok yang anggotanya berhubungan tidak
akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati.
Menurut Jalaludin Rakhmat19
, terdapat beberapa
karakteristik komunikasi yang dapat membedakan
kelompok primer dan sekunder, yaitu:
1. Kualitas komunikasi bersifat dalam dan meluas.
Dalam artinya menembus kepribadian seseorang yang
paling tersembunyi dan menyingkap unsur-unsur
backstage (perilaku yang ditampakkan seseorang
dalam suasana privat saja). Meluas yang berarti sedikit
sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara
berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi
bersifat dangkal dan terbatas
2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal.
Sedangkan kelompok sekunder bersifat nonpersonal
3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan
aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan
kelompok sekunder adalah sebaliknya
4. Komunikasi primer cenderung ekspresif dan sekunder
instrumental
5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal,
sedangkan sekunder formal.
Kedua, ingroup dan outgroup. Klasifikasi ini
dikemukakan oleh Sumner, yang merupakan lanjutan dari
19
Ari Jayadi, Apa yang Dimaksud dengan Komunikasi
Kelompok (Group Communication)?, artikel diakses pada tanggal 13
Juli 2018 dari www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-
komunikasi-kelompok-group-communication/9000/
33
penjelasan yang telah dikemukakan oleh Charles Horton
Cooley. Kelompok-kelompok yang terikat secara
emosional disebut dengan kelompok primer, yang mana
sebagai anggota kelompok akan menganggap bahwa
kelompok tersebut adalah “kita”. Pengakuan inilah yang
disebut dengan ingroup. Dan sedangkan outgroup disebut
dengan kelompok “mereka”. Perasaan ingroup
diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan,
dan kerja sama yang dianggap bagian dari “kita”.untuk
membedakan ingroup dan outgroup terdapat batasan yang
menentukan siapa yang termasuk orang dalam dan luar.
Batasan ini dapat berupa geografis, suku bangsa, bahasa,
kekerabatan dan status sosial. Dengan mereka yang
termasuk dalam ingroup, seseorang akan merasa terikat
dalam semangat “kekitaan” (we-ness).
Ketiga, Kelompok Keanggotaan dan Kelompok
Rujukan. Klasifikasi kelompok ini diplopori oleh
Theodore Newcomb (1930). Yang menyebutkan bahwa
kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-
anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota
kelompok itu, yang dalam proses interaksinya menambah
peluang diterimanya pesan kita. Sebaliknya kelompok
rujukan adalah yang memberikan kepada kita identifikasi
psikologis. Kelompok rujukan memiliki tiga fungsi, yaitu
fungsi komparatif, fungsi normative dan fungsi perspektif.
Keempat, Kelompok Deskriptif dan Kelompok
Preskriptif. Kelompok deskriptif dan preskriptif diplopori
34
oleh John F. Cragan dan David W. Wright (1980). Dalam
kategori deksriptif menunjukkan klasifikasi kelompok
dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.
Sedangkan kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-
langah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam
mencapai tujuan kelompok.20
Komunikasi yang efektif dapat meningkatkan
kinerja dengan cara memahami karakteristik yang ada
dalam sebuah kelompok. Komunikasi memberi pengaruh
besar terhadap produktif atau tidak efisien kelompok.
Terdapat dua karakteristik yang melekat pada suatu
kelompok yaitu norma dan peran.
Norma adalah kesepakatan dan perjanjian yang
dibuat sebagai panduan tentang bagaimana individu-
individu bertindak dan berinteraksi, serta bagaimana
berprilaku satu dengan lainnya atau prilaku-prilaku apa
sajakah yang tidak pantas dilakukan dalam sebuah
kelompok atau dengan orang lain.21
Menurut Soerjono
Soekanto norma adalah suatu perangkat agar hubungan
antar satu dengan lainnya terjalin dengan baik. Norma
atau peraturan berlaku bagi setiap anggota kelompok
secara keseluruhan dan tentunya setiap kelompok akan
berbeda satu dengan kelompok lainnya.
20
Fajar, Ilmu Komunikasi, h. 67-69. 21
Julia T. Wood, Komunikasi Teori dan Praktik (Komunikasi
dalam Kehidupan Kita), terjemahan oleh Putri Aila Idris (Jakarta:
Salemba Humanika, 2013), Ed. 6, h. 8.
35
Pada hakikatnya norma merupakan pandangan
mengenai perilaku yang seharusnya dilakukan atau yang
seharusnya tidak dilakukan dan pada akhirnya norma
diharapkan dapat melindungi kepentingan manusia.22
Norma juga berfungsi sebagai pengikat dan memperteguh
rasa persatuan. Pengaruh norma mempunyai andil yang
besar terhadap cara berpikir seseorang, bertingkah-laku,
dan menanggapi suatu pesan.
Terdapat tiga kategori dalam norma kelompok
menurut Adler dan Rodman yaitu norma sosial, norma
prosedural, dan norma tugas. Seperti pada tabel di bawah
ini yang menjelaskan ketiga kategori dalam norma
kelompok.
Tabel 2.1 Norma dalam Kelompok
SOSIAL PROSEDURAL TUGAS
Mendiskusikan
persoalan yang
tidak
kontroversial
Memperkenalkan
para anggota
kelompok
Mengkritik ide
bukan
orangnya
Menceritakan
gurauan yang
lucu
Membuat agenda
pertemuan
Mendukung
gagasan yang
terbaik
Menceritakan
kebenaran yang
Duduk saling
bertatap muka
Memiliki
kepedulian
22
Jokie MS Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan
Sosiologi (Jakarta: Indeks, 2009), cet. Ke-1, h. 2.
36
tidak dapat
dibantah
untuk
pemecahan
persoalan
Jangan merokok
(kalau
dimungkinkan)
Memantapkan
tujuan kelompok
Berbagi beban
pekerjaan
Jangan datang
terlambat
Jangan
meninggalkan
pertemuan tanpa
sebab
Jangan
memaksakan
gagasan kita
dalam
kelompok
Jangan tidak
hadir tanpa
alasan yang jelas
Jangan
memonopoli
percakapan
Jangan berkata
kasar jika tidak
setuju
Sumber:
http://widyo.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/41134/Teori
%2Bkom-kelompok, diakses pada tanggal 6 Juni 2017, pukul
12.54WIB, page. 5.
Norma kelompok meregulasi semua aspek dalam
kehidupan kelompok mulai dari yang terkecil hingga yang
terpenting.
Apabila norma diberi batasan sebagai ukuran
kelompok yang dapat diterima, maka peran merupakan
pola-pola prilaku yang diharapkan dari setiap anggota
kelompok. Soekanto menjelaskan bahwa seseorang telah
menjalankan peran apabila dia telah melaksanakan hak
37
dan kewajiban sesuai dengan kedudukan atau posisinya.23
Menurut Adler dan Rodman, peran dalam komunikasi
kelompok meliputi fungsi tugas dan fungsi pemeliharaan.
Tabel 2.2 Peran Fungsional dari Anggota Kelompok
FUNGSI TUGAS FUNGSI
PEMELIHARAAN
Pemberi informasi Pendorong partisipasi
Pemberi pendapat Penyelaras
Pencari informasi Penurun ketegangan
Pemberi aturan Penengah persoalan pribadi
Sumber: Roudhonah, 2007, h. 127.
Sebagian kelompok berpola terpusat satu atau dua
orang memiliki posisi-posisi kunci, dan kebanyakan
komunikasi disalurkan melalui mereka. Sementara pada
kelompok lain memiliki pola-pola desentralisasi di mana
komunikasi lebih seimbang dan dengan demikian lebih
memuaskan semua orang. Pola desentralisasi ini akan
lebih terbentuk ketika semua anggota memiliki kekuasaan
yang hampir sama.
c. Fungsi Komunikasi Kelompok
Adapun fungsi dari komunikasi kelompok yang
digunakan sebagai kepentingan masyarakat, kelompok,
dan para anggota kelompok itu sendiri, yaitu:
1. pertama, Fungsi Hubungan Sosial. Yang mana
setiap anggota saling mempererat hubungan
23
Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 273.
38
antar satu dengan anggota lainnya. Bagaimana
suatu kelompok secara rutin memberikan
kesempatan kepada anggotanya untuk
melakukan aktivitas yang informal, santai dan
menghibur.
2. Kedua, Fungsi Pendidikan. Yaitu sebagai
sebuah kelompok yang saling bertukar pikiran,
seperti ilmu pengetahuan dengan anggota
kelompoknya.
3. Ketiga, Fungsi Persuasi. Ketika seorang
anggota memberikan imbauan pada anggota
lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
4. Keempat, Fungsi Sebagai Pemecahan
Masalah Dan Pembuatan Keputusan. Fungsi
komunikasi kelompok sebagai pemecah
masalah dan pembuat keputusan adalah seperti
contoh, ketika seorang anggota yang memiliki
masalah maka anggota lain akan mencarikan
dan memberikan solusi bagi anggota kelompok
mereka. Sedangkan pembuatan keputusan
berhubungan dengan pemilihan antara dua atau
lebih solusi. Jadi pemecahan tersebut
menghasilkan suatu bahan untuk pembuat
keputusan.24
24
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h.127.
39
Terbentuknya suatu kelompok muncul secara
alami dengan sendirinya yang timbul dari kegiatan
spontan individu. Tetapi ada juga beberapa kelompok
yang sengaja dibentuk dan terbentuknya kelompok
memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang dicapai dalam suatu
kelompok adalah untuk menciptakan atmosfer semangat
positif dan memberikan kesempatan kepada tiap-tiap
anggota untuk mencapai tujuan orientasi pribadi atau
orientasi sosial, seperti dukungan interpersonal, dorongan,
dan hiburan.
d. Bentuk-Bentuk Komunikasi
Bentuk komunikasi kelompok dapat dilihat
melalui dua jenis, yaitu kelompok deskriptif yang mana
dalam tahapan ini terlihat komunikasi yang terbentuk
secara alamiah dan kelompok preskriptif yang
menjelaskan langkah-langkah rasional dalam mencapai
tujuan kelompok.25
1. Komunikasi Kelompok Deskriptif
Ahli komunikasi kelompok menunjukkan
tiga kategori kelompok yang besar ke
kelompok tugas, kelompok pertemuan dan
kelompok penyadar.
a. Kelompok Tugas
25
Aulia Dwi Nastiti, Pola Komunikasi pad Komunitas
Offline-Online, diakses pada tanggal 25 Juli 2018 dari
www.scribd.com/doc/67243401/Pola-komunikasi-pada-Komunitas-
Offline-Online#
40
Aubrey Fisher meneliti tindak komunikasi
kelompok tugas dan menemukan bahwa
kelompok melewati empat tahap, yaitu
orientasi, konflik, pemunculan dan
peneguhan.
b. Kelompok Pertemuan
Pada tahun 1960-an muncul kelompok
pertemuan yang digunakan oleh para
psikolog untuk melatih pasien menemukan
dirinya sendiri. Lalu Carl Rogers melihat
manfaat kelompok pertemuan untuk
pengembangan diri. Banyak model yang
dikembangkan, salah satunya model
Bennis dan Sheperd yang uraiannya
dikutip dari Cragan dan Wright. Pada
tahap satu: kebergantungan pada otoritas
dan tahap dua: kebergantungan satu sama
lain.
c. Kelompok Penyadar
Pada tahun 1970, James Chesebro, John
Cragan dan Patricia McCullough
melakukan studi lapangan di Minessota
tentang gerakan revolusioner kaum
homoseksual. Dari penelitian mereka
merumuskan empat tahap perkembangan
kelompok penyadar. Tahap satu:
kesadaran diri akan identitas baru. Tahap
41
dua: identitas kelompok melalui polarisasi.
Tahap tiga: menegakkan nilai-nilai baru
bagi kelompok. Tahap empat:
menghubungkan diri dengan kelompok.26
2. Komunikasi Kelompok Perskriptif
Komunikasi kelompok dapat dipergunakan
untuk menyelesaikan tugas, memecah
persoalan, membuat keputusan atau
melahirkan gagasan kreatif, membantu
pertumbuhan kepribadian seperti dalam
kelompok pertemuan atau membangkitkan
kesadaran sosial politik. Menurut formatnya
komunikasi kelompok ini dapat
diklasifikasikan pada dua kelompok besar,
yaitu privat dan publik (terbatas dan terbuka).
Kelompok pertemuan (keompok terapi),
kelompok belajar, panitia, konferensi (rapat)
adalah kelompok privat. Panel, wawancara
terbuka (publik interview), forum, symposium
termasuk keompok publik.27
3. Konseptualisasi LGBT
a. Sejarah LGBT
26
Herdiyan Maulana dan Gumgum Gumelar, Psikologi
Komunikasi dan Persuasi (Jakarta: Akademia Permata, 2013) hal. 123 27
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung:
Rosdakarya, 2005) h. 178
42
Menurut para peneliti sejarah dan arkeologi,
bahwa kegiatan homoseksual telah terjadi puluhan ribu
tahun sebelum Masehi dan semakin berkembang pesat
sejak abad XI Masehi. Sedangkan penggunaan istilah
LGBT itu sendiri mulai digunakan sekitar tahun 1990-an
sampai saat ini.
Sebelum masa “Revolusi Seksual”28
ditahun 60-an
tidak ada istilah khusus yang digunakan untuk
menyatakan orang non-heteroseksual, dan sekitar tahun
1860-an muncul istilah “third gender” yang mungkin
paling mendekati kata non-heteroseksual. Akan tetapi
istilah tersebut kurang diterima oleh masyarakat secara
luas.
Pada masa revolusi seksual dimulai dengan
munculnya kebudayaan free love yakni jutaan kaum muda
yang menganut gaya hidup sebagai hippie menyerukan
kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian dari
hidup yang alami dan natural. Mereka percaya bahwa seks
merupakan fenomena biologis yang wajar sehingga segala
bentuk hal yang melarang atau penekanan terhadap pelaku
seks tidaklah dibenarkan. Dalam masa revolusi seks
istilah homophile dan homosexual mulai digunakan,
namun sebagian orang beranggapan bahwa istilah tersebut
28
Revolusi seksual merupakan istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan perubahan sosial politik (1960-1970)
mengenai seks.
43
cenderung berkonotasi negatif sebab seakan-akan hanya
menekankan pada unsur kegiatan seks saja.29
Sampai akhirnya munculah istilah gay dan lesbian
yang kemudian disusul dengan istilah lainnya seperti
bisexual yang muncul setelah diketahui bahwa ada orang
yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama dan lain
jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan
psikologi memunculkan istilah transgender, sebagai
gambaran orang non-heteroseksual yang berprilaku serta
berpenampilan berlawanan dengan jenis kelamin yang
dimilikinya.
Gerakan LGBT muncul dikalangan masyarakat
Barat, yakni ketika pembentukan GLF (Gay Liberation
Front) di London pada tahun 1970, yang terinspirasi pada
kejadian di Amerika Serikat tahun 1969.30
Lalu pada
tahun 1978 terbentuknya International Lesbian and Gay
Association (ILGA) di Inggris. Pada masa ini mulai
diperkenalkan simbol pergerakan hak asasi komunitas
LGBT yaitu berupa bendera pelangi (the rainbow flag
atau pride flag). Sampai pada tahun 2001, Belanda
merupakan negara modern pertama yang melegalkan
pernikahan pasangan sesama jenis lalu disusul oleh
Belgia, Kanada dan Negara lainnya. Tidak sedikit
29
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2014), cet. Ke-1, h. 47. 30
Pada tahun 1969 di Amerika Serikat terjadi huru hara di
Stonewall Inn, Greenwich Village yang terkenal dengan sebutan
Stonewall Riots, yaitu keributan antara polisi dengan para pendemo
yang memperjuangkan kebebasan kaum gay.
44
masyarakat komunitas LGBT dari Indonesia yang mencari
pengesahan hukum atau pelegalan pernikahan sesama
jenis di negara-negara tersebut.31
Di Indonesia sendiri, secara kronologi
berkembangnya LGBT berawal dari sebuah cerita dalam
sastra klasik jawa yang terkenal dengan Serat Centhini.
Bercerita tentang seorang cebolang yang disukai oleh
seorang adipati yang ternyata lebih tertarik dengan
dirinya, karena sang adipati merasa lebih berhasrat
dengannya. Apabila di dalam cerita Serat Centhini
menggambarkan kisah fantasi kehidupan belaka, lain
halnya dengan kesenian reog Ponorogo yang
memperlihatkan secara jelas praktek homoseksualitas
melalui peranan warok dan gemblak32
. Di mana warok
yang sakti mempertahankan kesaktiannya dengan cara
menghindari hubungan intim dengan lawan jenis, untuk
itu warok melampiaskan hasrat seksualnya kepada
seorang gamblak.
Persoalan penyimpangan seksual sudah menjadi
perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat
manusia. Pro dan kontra yang ditimbulkan oleh persoalan
tentang homoseksual menjadi fokus utama oleh sebagaian
kalangan masyarakat baik dilihat dari segi hukum dunia
31
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 53. 32
Sebutan warok berasal dari kata wewarah, yang dalam
bahasa jawa memiliki arti mampu memberi tuntunan dan ajaran
perihal kehidupan. Sedangkan gemblak yang merupakan bocah laki-
laki yang memiliki paras tampan dan terawat.
45
maupun agama. Perdebatan akibat perbedaan pendapat
melahirkan sebuah kampanye yang dilakukan oleh
gerakan kelompok LGBT. Kampanye yang dilakukan
berfokus pada penyadaran kepada kaum homoseksual
serta masyarakat umum lainnya bahwa perilaku LGBT
bukanlah sebuah penyimpangan dan mereka layak untuk
mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain.33
Sekitar tahun 1968 muncul istilah wadam (wanita
adam) menggantikan kata banci atau bencong. Organisasi
wadam yang pertama didirikan bernama HIWAD
(Himpunan Wadam Djakarta).34
Namun kurang lebih
tahun 1982 istilah wadam mulai diganti dengan waria
(wanita-pria) karena keberatan sebagian pimpinan dan
tokoh Islam berkenaan dengan adanya nama Adam yang
sebagai nabi pertama bagi umat Islam.
Ditahun 80-an kelompok homoseksual mendirikan
sebuah organisasi terbuka yang menaungi kaum gay di
Indonesia yaitu Lambda Indonesia dan menerbitkan
bulletin dengan nama “G: Gaya Hidup Ceria” (1982-
1984). Di tahun yang sama tepatnya pada tahun 1987
berdirilah Kelompok Kerja Lesbian dan Gaya Nusantara
(KKLGN) disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN) yang
juga menerbitkan majalah dengan nama GAYa
33
Ayub, “Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian
Psikologi dan Teologis)”, artikel diakses pada tanggal 13Juni 2017
dari https://thisisgender.com/penyimpangan-orientasi-seksual-kajian-
psikologis-dan-teologis/ 34
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 55.
46
Nusantara.35
Selanjutnya memasuki era 90-an semakin
banyak akar-akar organisasi LGBT yang berdiri sampai
sekarang.
b. Pengertian LGBT
LGBT merupakan sebuah akronim dari kata
Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender. Kata LGBT
dipakai untuk menunjukkan seseorang yang memiliki
perbedaan orientasi seksual dan identitas gender
berdasarkan kultur tradisional, yaitu heteroseksual. Istilah
LGBT mempresentasikan keragaman orientasi seksual,
identitas gender dan identitas seksual, namun tidak
terbatas pada Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
saja.
Orientasi seksual seseorang merupakan keinginan
mendasar untuk memenuhi kebutuhan akan cinta,
berhubungan dengan kedekatan atau rasa intim hingga
dapat berkembang menjadi sebuah ikatan. Orientasi
seksual tidak hanya sekedar ketertarikan jasmani, namun
juga menjangkau batin. Permasalahan yang timbul ketika
orientasi seksual tersebut diluar dari umumnya masyarakat
heteroseksual. Jenis kelamin secara boilogis adalah bagian
fisik yang mendeskripsikan seseorang sebagai laki-laki
atau perempuan. Fakta yang sering terjadi dikehidupan
manusia, seseorang yang lahir dengan jenis kelamin laki-
35
Mukhli Zardy, “Sejarah Singkat LGBT Di Indonesia”,
artikel diakses pada tanggal 20 Februari 2017 dari
https://www.scribd.com/doc/312328275/Sejarah-Singkat-Lgbt-Di-
Indonesia
47
laki akan tetapi saat dewasa orang tersebut memilih
gender sebagai perempuan. Biasanya seseorang yang
berjenis kelamin laki-laki akan bergender laki-laki maka
secara erotis dia akan tertarik terhadap seorang
perempuan. Inilah yang disebut orientasi seksual, dimana
seseorang tertarik terhadap lawan jenis atau sesama
jenis.36
Pertama, Gay dan Lesbian. Seseorang melakukan
aktivitas seksual dalam beberapa cara. Sebagian
melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis. Akan
tetapi, beberapa orang melakukan hubungan seksual
dengan orang berjenis kelamin sama yang disebut
homoseksual. Istilah homoseksual digunakan untuk
mendeskripsikan seseorang yang memiliki kecenderungan
umum untuk melakukan hubungan seks dengan sesama
jenis. Homoseks yang dalam bahasa Arab disebut
liwath37
, yang seiring berjalannya waktu lebih dikenal
dengan sebutan “gay”.
Istilah gay lebih spesifik digunakan untuk
menunjukkan bahwa seseorang mempunyai SSA (Same-
Sex Attraction)38
yang tidak hanya semata-mata
36
Ayu Widia Setia Murni, “Peranan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Dalam Mengawasi Tayangan Berkonten Lesbian,
gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Pada Program Pesbuker
ANTV”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017, h. 19. 37
Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-
Qur’an (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016), h. 37. 38
SSA digunakan untuk memaparkan bahwa seseorang
mempunyai rasa ketertarikan seksual dengan sesama jenis , baik
48
menunjukan rasa ketertarikan dengan sesama jenis
melainkan sebagai identitas diri dalam kehidupan sosial
seseorang. Dalam sebuah penelitian tentang seksualitas di
Amerika, Kinsey, Pameroy, dan Matin (1984) yang
dikutip oleh Siahaan39
bahwa sebanyak 37% laki-laki
pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam
kehidupan mereka. Akan tetapi di antaranya hanya
beberapa yang benar-benar non-heteroseksual dan lainnya
hanya sebatas rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi
seksualnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang
memiliki hubungan homoseksual tidak berarti mereka
mejadi homoseks. Namun yang lebih penting adalah
pengungkapan identitas homoseksual secara sosiologis.
Melalui identitas tersebut seseorang akan mengkonsepkan
dirinya sebagai homoseks.
Istilah homoseksual merujuk pada hubungan
sesama jenis yang dilakukan antara laki-laki dengan laki-
laki. Sedangkan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara perempuan dengan perempuan disebut
lesbian atau yang dalam bahasa Arab disebut Sihaaq.
Istilah lesbian berasal dari kata Lesbos yang merupakan
sebuah pulau tempat pembuangan napi perempuan di
secara total (hanya tertarik dengan sesama jenis), atau sebagian
(masih memiliki rasa ketertarikan kepada lain jenis). Istilah ini biasa
disebut dengan homosexual orientation dan bisexual orientation. 39
Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi, h.
43.
49
Yunani.40
Meski memiliki istilah yang berbeda namun
makna dari keduanya merujuk pada pengertian yang sama
yaitu hubungan seksual yang terjadi antar sesama jenis.
Kedua, Pengertian Biseksual. Biseks atau
biseksual adalah sebuah istilah yang digunakan kepada
orang yang memiliki bisexual orientation, yaitu
ketertarikan seks terhadap sesama jenis dan lain jenis
secara bersamaan. Biseksual juga mewakili identitas
seksual dalam kehidupan masyarakat selain heteroseksual
dan gay.41
Biseksual kerap dipandang sebagai salah satu
bentuk penyembunyian identitas homoseksual atau
sebagai masa transisi antara identitas heteroseksual dan
identitas gay atau lesbian.42
Yang ketiga, Transgender. Transgender adalah
istilah yang mengacu pada cara berprilaku atau
penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada
umumnya. Transgender dianggap sebagai orang yang
melanggar norma kultural mengenai bagaimana
seharusnya menjadi pria atau wanita, misal dalam perilaku
sehari-hari. Transgender ada pula yang mengenakan
pakaian lawan jenisnya, baik sesekali maupun rutin.
Perilaku transgender inilah yang mungkin membuat
40
Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi, h.
54. 41
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 8. 42
Noviandy, “LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas
dan Relasi Kuasa”, Vol. 2, No. 2, November 2012, h. 57, artikel
diakses pada tanggal 6 Juni 2017 dari http://noviandy.com/lgbt-
dalam-konteks.pdf
50
beberapa orang mengganti jenis kelaminnya, seperti pria
mengganti kelaminnya menjadi wanita atau sebaliknya
yang disebut dengan transeksual.
Perbedaan pada keduanya adalah di mana seorang
transeksual yang ingin mengubah kebiasaan hidup dan
orientasi seksualya secara biologis berlawanan dengan
yang dimiliki sejak lahir. Berbeda dengan transgender
yang merupakan sebuah keinginan untuk tampil
berlawanan dengan jenis kelaminnya tanpa
mempermasalahkan jenis kelamin yang dimiliki dan tidak
mau mengubah alat kelamin lewat operasi.
Seorang transgender bisa saja memiliki identitas
sosial heteroseksual, biseksual, gay atau bahkan aseksual.
Jadi dapat dikatakan bahwa transgender yang berjenis
kelamin laki-laki yang memiliki orientasi heteroseksual
tetapi ingin selalu tampil berdandan sebagai wanita maka
dapat disebut sebagai seorang transgender.43
c. Ruang Lingkup Komunitas
1. Pengertian Komunitas
Banyaknya diskriminasi yang dilakukan kepada
kelompok LGBT menyebabkan mereka meninggalkan
lingkungan tempat tinggalnya dan kemudian berkumpul
dengan kelompok yang sama. Hal tersebut menjadi salah
satu alasan didirikannya komunitas yang merangkul para
LGBT baik individu atau kelompok. Komunitas yang
43
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 9.
51
dibangun difungsikan untuk membela hak-hak LGBT agar
dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat.
Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari
beberapa individu-individu di dalamnya yang memiliki
maksud, kepercayaan, kebutuhan, resiko, kegemaran, dan
sejumlah kondisi lainnya yang serupa.44
Komunitas
berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti
“kesamaan”, lalu dapat diturunkan dari kata communis
yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau orang
banyak”.45
Pengertian komunitas dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah kelompok organisme (orang dsb)
yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah
tertentu seperti masyarakat atau paguyuban.46
Komunitas yang dibentuk terdiri dari sekumpulan
orang-orang yang berkumpul karena memiliki kesamaan
visi dan misi. Komunitas dapat dibentuk secara
spontanitas dengan mengumpulkan lebih dari dua orang di
dalamnya, serta aktif menjalankan kegiatan yang telah
dicanangkan sebagai visi terbentuknya komunitas
tersebut.
“WHO (World Health Organization)
mendefinisikan komunitas adalah sebuah
44
“Komunitas”, artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2017
dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunitas 45
A. Yamhap, “Tinjauan Tentang Komunitas”, artikel
diakses pada tanggal 26 Juli 2017 dari
http://digilib.unila.ac.id/272/8/Bab%20II.pdf 46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). Edisi ke-3,
cet. Ke-4 (2007), h. 586.
52
kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas
geografis dan/atau nilai dan kepentingan umum;
anggota komunitas yang dikenal berinteraksi satu
sama lain; fungsi komunitas dalam struktur sosial
tertentu, dan komunitas menciptakan norma-
norma, nilai-nilai, dan lembaga-lembaga sosial”.47
Komunitas merupakan sebuah identifikasi dan
interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi
kebutuhan fungsional. Suatu komunitas terbentuk
berdasarkan minat dan habitat yang sama. Menurut Crow
dan Allan, komunitas dapat terbagi menjadi dua
komponen. Pertama, berdasarkan lokasi dan tempat
dimana sekumpulan orang memiliki sesuatu yang sama
secara geografis. Lalu yang kedua, berdasarkan minat
yang sama hingga akhirnya membentuk suatu komunitas.
Sebuah komunitas dalam proses pembentukkannya
bersifat horizontal, karena dilakukan oleh individu-
individu yang memiliki kedudukan setara.
Komunitas terbentuk dari empat faktor yang
menurut Vanina Delobelle yaitu pertama, adanya
komunikasi dan keinginan berbagi untuk saling tolong
menolong. Kedua, tempat yang disepakati bersama untuk
bertemu satu sama lainnya. Ketiga, ritual dan kebiasaan
seperti anggota-anggota yang datang secara teratur dan
periode. Dan keempat, influencer-influencer meritis
sesuatu hal dan para anggota selanjutnya. Selain itu
47
I Ketut Swarjana, “Keperawatan Kesehatan Komunitas”,
artikel diakses pada kamis tanggal 10 Agustus 2017 dari
https://books.google.co.id
53
komunitas yang dibangun memiliki beberapa aturan
sendiri seperti saling berbagi, komunikasi, kejujuran,
transparansi, dan partisipasi.
Tumbuhnya advokasi dan kelompok-kelompok
komunitas LGBT menjadi tempat bagi para non-
heteroseksual, serta memberikan dukungan bagi orang-
orang yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan LGBT.
Berkembangnya komunitas yang mendukung non-
heteroseksual memberikan dukungan bagi kaum
homoseksual yang memunculkan keberanian diri untuk
mengungkapkan identitas mereka.
2. Fungsi Komunitas
Media Penyebaran Informasi
Pro dan kontra selalu ada disetiap permasalahan
yang muncul di dunia ini termasuk dengan adanya
keberadaan LGBT. Diskriminasi dan LGBT merupakan
dua sisi mata koin yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan ini. Penolakan atas keberadaan LGBT datang
secara individu atau komunitas dengan berbagai alasan.
Sehingga mereka menjadi pribadi yang tertutup, takut
untuk bersosialisasi dan menyembunyikan jati diri
mereka. Peran komunitas menjadi jembatan penghubung
bagi kelompok non-heteroseksual untuk mendapatkan
informasi. Di dalam komunitas setiap anggota akan saling
bertukar informasi yang terkait dengan tema komunitas
yang terbentuk.
Terbentuk Hubungan
54
Sebuah komunitas yang terbentuk memiliki visi
dan misi yang sama. Dalam satu komunitas akan
mempertemukan berbagai macam karakter. Dengan
terbentuknya komunitas tidak hanya sekedar menjadi
sarana informasi bagi para anggotanya, juga bermanfaat
sebagai media untuk menjalin relasi atau hubungan antar
sesama anggota komunitas yang memiliki hobi atau pun
berasal dari bidang yang sama. Sebagai contoh, mereka
yang non-heteroseksual akan dikucilkan di lingkungannya
terutama oleh keluarga mereka dan mencari tempat di
mana keberadaan mereka dapat diterima. Salah satunya
adalah bergabung dengan komunitas yang membawa
mereka berinteraksi dengan kelompok yang memiliki
kesamaan nasib ataupun pola pikir yang sama. Di dalam
komunitas, mereka akan membentuk hubungan atas dasar
visi dan misi yang sama.
Saling Membantu atau Mendukung
Berasal dari bidang yang sama, komunitas dapat
dijadikan sebagai media untuk kegiatan saling membantu
antar sesama anggota komunitas atau pun ke luar anggota
komunitas. Contohnya seperti sebuah komunitas yang
akan membantu para anggota (non-heteroseksual) yang
memiliki masalah terkait masalah hukum atas tidak
diskriminasi atau pelecehan. Dan biasanya tidak terbatas
hanya pada anggota komunitas melainkan individu non-
hetereseksual di luar komunitas.
55
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Kesamaan Hak, Demokrasi dan Agama Dalam
Permasalahan LGBT
Kesamaan hak atau kesetaraan gender tidak
memiliki pembeda dalam peran sosial baik laki-laki
maupun perempuan. Keduanya masing-masing bisa
bertukar peran sosial dan memiliki kesempatan yang sama
untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Kumpulan surat
R.A. Kartini yang diterbitkan dengan judul “Habis Gelap
Terbitlah Terang” menjadi pijakan mereka yang
menginginkan kesamaan hak. Indikator keberhasilan
keadilan dan kesamaan gender dapat dilihat dari tidak
adanya diskriminasi terhadap laki-laki maupun
perempuan. Sampai saat ini tuntutan kesamaan hak masih
terus digaungkan, terutama pada masyarakat yang masih
menganut nilai-nilai budaya patriaki.1
Seperti yang dijelaskan oleh Rahmi Purnomowati
SP, M.Si selaku Ketua Pusat Studi Gender dan Anak UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Kesetaraan adalah kondisi di mana laki-
laki dan perempuan masing-masing memiliki
peluang dan kesempatan yang sama untuk
melakukan fungsi-fungsi sosial. Jadi kesamaan
1 Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan
kaum laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dan lebih
tinggi dari pada kaum perempuan.
56
peluang kesempatan dan kedudukan baik laki-laki
dan perempuan dimata hukum pemerintahan,
perekonomian, dan pendidikan. Di mana laki-laki
dan perempuan bisa saling mempertukarkan peran
sosialnya yang sama kedudukannya di depan
hukum untuk mendapatkan akses pendidikan,
partisipasi politik, keuangan, dan peran-peran
dalam sosial kemasyarakatan lainnya.”2
Begitu pula ditegaskan oleh ILO (International
Labour Organization) pada tahun 2000, mengenai
keadilan gender sebagai perlakuan adil terhadap laki-laki
dan perempuan berdasarkan kebutuhan masing-masing.
Mencakup perlakuan sama atau perlakuan berbeda tapi
dianggap setara dalam hal hak, kewajiban, keuntungan,
dan kesempatan tanpa adanya sikap diskriminatif. Hingga
adanya Draft RUU KKG sebagai perwujudan dalam
pemenuhan hak asasi perempuan. Tujuan dasar RUU
KKG yang diharapkan dapat meminimalisir berbagai
permasalahan mendasar yang banyak dialami oleh kaum
perempuan.
Namun disisi lain adanya kesetaraan gender
menimbulkan berbagai macam spekulasi dalam
masyarakat. Mereka mengganggap bahwa kesetaraan
gender menjadi peluang bagi kelompok LGBT semakin
2 Wawancara Pribadi dengan Rahmi Purnomowati, Ciputat.
25 Oktober 2017.
57
berkembang. Salah satunya melihat rancangan draft RUU
KKG yang dirasa membawa agenda mendukung legalisasi
kelompok LGBT. Yang mana dalam RUU KKG Pasal 11
huruf a yang berbunyi: “Perlindungan untuk memilih
suami atau isteri tanpa paksaan dan/atau tekanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;” dan
huruf b nomer 1 “pemberian akses, kesempatan, dan
perlakuan yang sama untuk memperoleh; layanan
pencatatan atas perkawinan tanpa Diskriminasi Gender.”3
Menurut pakar hukum Dr. Neng Djubaedah, SH, MH
mengatakan dalam pasal mengenai pernikahan harus jelas
siapa yang menjadi suami dan istri. Karena bisa saja nanti
dikatakan bahwa laki-laki adalah suami dan laki-laki juga
yang menjadi istri. 4
PD Muhammadiyah juga
mengemukakan pendapatnya mengenai kesetaraan gender
yang dianggap telah disalah gunakan keberadaannya.
“Sekarang kalau kita perhatikan.
Kesetaraan gender hanya dijadikan sebagai salah
satu kepentingan sebuah golongan saja.”5
Memberi pengertian yang salah dalam
mengartikan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan
3 RUU KKG, artikel diakses pada 2 Oktober 2017 dari
http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-
content/uploads/2014/04/DRAF-RUU-KKG-Panja-9-desember-2013-
ke-Baleg.pdf 4 Sabilillah, “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender”, artikel
diakses pada tanggal 26 September 2017 dari www.sabilillah.net/lgbt-
produk-kesetaraan-gender 5 Wawancara Pribadi dengan Abdul Hamid Qadarullah,
Jakarta. 27 Oktober 2017.
58
masalah seksualitas seseorang oleh kebanyakan orang
menjadi pemicu berkembangnya homoseksual. Padahal
arti gender sendiri merupakan fungsi sosial yang dapat
dipertukarkan oleh laki-laki maupun perempuan dan
bukan terkait jenis kelamin dalam arti biologis. Hal ini
dikatakan oleh Dr. Abdul Rahman Shaleh,S.Ag, M.Psi
selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatulah. Beliau menerangkan bahwa tidaklah sama
pengertian antara gender dan seksual seseorang.
“Kita harus membedakan seks dan gender.
Seks adalah jenis kelamin dalam artian biologis.
Ketika kita bilang laki-laki dan perempuan maka
itu betul-betul berdasarkan jenis kelaminnya yang
sesungguhnya secara biologis. Tapi ketika kita
bilang gender maka itu sudah terkait dengan peran
yang dibentuk oleh budaya, laki-laki dan
perempuan. Kadang-kadang gender diartikan
sebagai seks secara biologis.”6
Kesetaraan gender merupakan keadaan dimana
laki-laki dan perempuan dapat bertukar fungsi sosial dan
bukan jenis kelamin. Karena hanya dua gender yang dapat
dipertukarkan yaitu laki-laki dan perempuan, serta tidak
adanya gender ketiga. Seperti yang dikatakan oleh Rahmi
Purnomowati sebagai berikut:
6 Wawancara Pribadi dengan Abdul Rahman Shaleh,
Ciputat. 18 Oktober 2017.
59
“Digender ini jangan kacau dengan jenis
kelamin. Jenis kelamin terkait dengan fungsi
reproduksi. Kalau gender terkait dengan fungsi
sosial. Jadi saya gariskan tidak ada yang namanya
gender ketiga.”7
Kemudian disisi lain maraknya kampanye terkait
kesetaran gender hingga LGBT sedikit banyak merupakan
efek yang ditimbulkan dari adanya demokrasi. Peluang
kebebasan untuk menyuarakan keinginan dan tuntutan
kepada para pemimpin negeri. Secara umum pengertian
demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang
setiap warga memiliki hak setara dalam pengambilan
suatu keputusan dan nantinya akan memberikan efek
dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan
sebagai bentuk kekuasaan tertinggi yang berada di tangan
rakyat. Dalam demokrasi warga negara diberikan izin
untuk berpartisipasi aktif baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam melakukan perumusan,
pengembangan serta pembuatan hukum. Sebuah negara
yang ingin mendapat label demokrasi diharuskan
memenuhi persyaratan dalam konstitusinya. Salah satunya
yaitu adanya jaminan hak asasi manusia sebagai dasar
untuk setiap individu, negara dan pemerintah serta
kelompok sosial.
7 Wawancara Pribadi dengan Rahmi Purnomowati.
60
Hak asasi manusia atau human right bersifat
universal dan menjadi hak dasar atau pokok manusia.
Pemenuhan hak ini seperti hak hidup dan hak untuk
mendapatkan perlindungan.8 Negara berkewajiban
memberikan dan melindungi hak asasi manusia kepada
warga negaranya tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak
seksual merupakan bagian integral dari hak asasi
manusia.9 Karena merupakan bagian dari hak asasi yang
melekat pada setiap manusia dan semua manusia berhak
atas pemenuhannya.
Demokrasi dapat dilihat dari dua aspek. Yang
pertama demokrasi sebagai prosedur atau aturan. Kedua,
demokrasi sebagai substansi untuk berprilaku
menegakkan kebenaran dan keadilan.10
Persoalan keadilan
selalu berangkat dari masyarakat bawah dan kelompok
minoritas. Adanya hak asasi manusia yang lahir dari
sebuah demokrasi menjadi harapan bagi kelompok
minoritas seperti orang-orang LGBT yang lekat dengan
tindak diskriminasi untuk menuntut hak asasi mereka
sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
8 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Hukum
, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lajnah Pentasihan
Mushaf Al Qur’an, 2010) cet. Ke-1, h. 277. 9 Yulianti Muthmainnah, “Hak Asasi Manusia LGBT dalam
Kebijakan Dalam Negeri Indonesia”, Jurnal Perempuan Vol. 20, No.
4, November 2015, h. 143-144 10
Masdar Farid Mas’udi, “Demokrasi dan Islam”, dalam M.
Masyhur Amin dan Mohammad Najib, ed., Agama, Demokrasi dan
Transformasi Sosial (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1993), cet. Ke-
1, h. 10
61
Isu hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi
agenda yang semakin penting artinya belakangan ini. Dan
Komnas HAM merupakan lembaga yang memberikan
legistimasi terhadap keberadaan kelompok LGBT agar
dapat dilindungi oleh negara. Selain itu sejumlah aktivis
HAM Internasional juga merumuskan apa yang dikenal
sebagai “The Yogyakarta Principles: a universal guide to
human right” di Yogyakarta pada tahun 2006.11
Mengutip
dari www.yogyakartaprinciples.org yang dilansir oleh
republika.co.id, piagam tersebut berisikan perjuangan
penghapusan seluruh bentuk diskriminasi berdasarkan
orientasi seksual dan identitas gender.
“All human rights are universal,
interdependent, indivisible and interrelated.
Sexual orientation and gender identity are integral
to every person’s dignity and humanity and must
not be the basis for discrimination or abuse.” 12
Demokrasi sebagai pandangan dan filsafat hidup
yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan lahir di
tengah gelombang sekularisasi. Dimana sekularisme
merupakan asas yang memisahkan agama dari kehidupan
dunia serta berpendirian bahwa moralitas tidak perlu
didasarkan pada ajaran agama. Sehingga
11
Sabilillah, “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender” 12
Rita Soebagio, “LGBT dan RUU KKG”, artikel diakses
pada tanggal 27 September 2017 dari
www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-
ruu-kkg
62
mengesampingkan agama untuk mengatur kehidupan dan
tatanan sosial di tengah masyarakat. Demokrasi
membebaskan masyarakat untuk memberikan aspirasi dan
berekspresi. Negara dibatasi perannya dalam mengatur
setiap urusan masyarakat terlebih dalam hal agama dan
hal tesebut diserahkan kepada individu masing-masing.
Demikian dalam bersikap setiap warga negara
bebas melakukan apa saja selama apa yang dilakukan
tidak mengganggu ketertiban umum. Meski hal tersebut
bertentangan dengan ajaran agama karena asas sistem
demokrasi yang memisahkan antara kehidupan dunia dan
agama. Hingga diskriminasi yang dilakukan terhadap
kelompok minoritas seksual bukanlah suatu permasalahan
agama dan budaya melainkan permasalahan politik. Di
Indonesia batasan-batasan demokrasi telah dirumuskan
dalam lima sila Pancasila. Terutama dalam sila kedua
yaitu demokrasi tidak boleh melanggar hak-hak asasi
manusia dan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sehingga fenomena LGBT tidak menjadi hal yang tabu di
dalam demokrasi. Demokrasi sebagai esensi untuk
berprilaku menegakkan kebenaran dan keadilan.
Namun, penilaian berbeda dari sebagaian
masyarakat mengenai keberadaan lembaga HAM. Mereka
berpendapat jika demokrasi yang berjalan dan adanya
lembaga hak asasi manusia dinilai sebagai sebuah fasilitas
negara yang hanya mendukung kebebasan kelompok-
63
kelompok tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Abdul
Hamid Qodarullah.
“HAM yang berjalan saat ini menurut saya
belum sesuai. Karena hak asasi manusia yang
seharusnya menjadi salah satu keadilan untuk
rakyat Indonesia. Tapi ini dijadikan salah satu
bahan untuk memenangkan sebuah golongan
saja.”13
Ujar anggota PD Muhammadiyah Jakarta
Barat.
Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Biksu
Dharmavimala dari Ekayana Buddhist Center, dalam
wawancaranya mengatakan.
“HAM seharusnya melindungi diri sendiri
sekaligus melindungi orang lain, masyarakat, dan
dunia. Mereka yang selalu menuntut hak karena
terlalu terobsesi oleh hak asasi. Harus menyadari
bahwa selain hak, manusia memiliki kewajiban
terhadap lingkungannya.”14
Begitupula dengan penjelasan yang dikatakan oleh
Prof. Hasanuddin AF mengenai sistem demokrasi.
Menurutnya sebuah demokrasi menganggap jika suara
rakyat adalah suara Tuhan dan kebijakan yang diambil
rakyat adalah kebijakan Tuhan. Demokrasi seolah
13
Wawancara Pribadi dengan Abdul Hamid Qadarullah. 14
Wawancara Pribadi dengan Biksu Dharmavimala, Jakarta.
23 Oktober 2017.
64
memahami benar kebutuhan setiap manusia hingga paham
ini mengalahi keyakinan manusia kepada Sang Pencipta.
“Iya, suara Tuhan harus dipedomani dan ditaati,
jangan suara rakyat saja. Itulah dua Tuhan
sekarang yang bikin kacau, yaitu Hak Asasi
manusia dan Demokrasi. Hal itu yang bikin kacau,
yang sebebas-bebasnya iyakan. Suara rakyat suara
Tuhan, itukan tidak bisa. Suara rakyat belum tentu
suara Tuhan.”15
Kemudian dipertegas oleh Ketua Dewan Syuriah
PWNU DKI, KH Mahfudz Asirun dalam wawancara yang
dilakukan dikediaman beliau di Pondok Pesantren Al-
Itqon Jakarta Barat.
“HAM di dalam Islam itu ada selama tidak
bertentangan dengan syariat. Kalau bertentangan
dengan syariat, HAM itu ditinggalkan dan tidak
boleh diamalkan.”16
Bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk, terdiri
dari berbagai suku, ras, budaya, adat istiadat dan agama.
Secara politik, Indonesia menganut sistem demokrasi
yang tetap mengutamakan agama sebagai landasan
negara. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara
yang dikenal sebagai bangsa yang religius dengan
15
Wawancara Pribadi dengan Hasanuddin AF 16
Wawancara Pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun, Jakarta.
27 Oktober 2017.
65
menempatkan nilai-nilai ketuhanan menjadi masalah
sentral dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang diformulasikan dalam kalimat “Ketuhanan Yang
Maha Esa”17
. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan
beragama kepada semua orang untuk memeluk
keyakinanatau agama masing-masing. Dengan konstitusi
ini juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus
didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Agama-agama yang secara formal diakui
pemerintah Indonesia adalah Islam, Kristen, Hindu,
Buddha dan Khonghucu. Keberadaan agama-agama
tersebut dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 yang
menyebutkan dengan tegas menjamin kemerdekaan
penduduk untuk memeluk agama dan kepecayaannya itu,
sehingga atas dasar tersebut maka semua agama dapat
hidup dan berkembang di bawah lindungan negara. Dan
menjadi salah satu negara yang memiliki populasi muslim
terbesar tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan pada hukum-hukum Islam. Meski tidak
sedikit banyak prinsip-prinsip Islam berpengaruh terhadap
kebijakan politik yang ada di Indonesia. Serta pengaruh
nilai-nilai keagaman dan adat istiadat yang ada di
Indonesia, menjadikannya sebuah negara demokrasi
17
J. Suyuti Pulungan, Universalisme Islam, (Jakarta: Moyo
Segoro Agung, 2002), cet. Ke-2, h. 143.
66
dengan aturan opersionalnya menurut kondisi kultur
bangsa.
Menurut Soedjatmoko (1984) dalam Agama di
Tengah Kemelut karya Komaruddin Hidayat, yang
mengakui bahwa agama merupakan penggerak dan
pemersatu masyarakat yang efektif. Sebab agama lebih
dari sekedar ideologi sekuler manapun terlebih agama
adalah sistem integrasi yang menyeluruh. Agama
mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk
mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin
dicapai masyarakat. Oleh karena itu secara sosiologis
agama merupakan elemen perekat dalam realitas
masyarakat yang pluralistik. Dimana agama telah
mengalami obyektivitas yang menurut Peter L. Berger
bahwa agama menjadi suatu peraturan yang setiap
pemeluknya harus mentaatinya.18
Indonesia merupakan hasil kesepakatan bersama
antara umat beragama dan masyarakat seluruhnya. Para
tokoh agama mampu menggabungkan konsep
nasionalisme ke dalam sendi-sendi agama. Sehingga
menjadikan Indonesia sebuah negara demokrasi yang
lekat dengan nilai-nilai agama. Hal ini menjadi salah satu
tantangan berat bagi kelompok-kelompok LGBT dalam
mensosialisasikan seksualitas mereka. Pelarang dan
penentangan baik dari tokoh agama ataupun masyarakat
18
Komaruddin Hidayat, Agama di Tengah Kemelut (Jakarta:
Mediacita, 2001) cet. Ke-1, h. 58-59.
67
tidak jarang berujung dengan tindakan diskriminasi dan
kekerasan terhadap individu atau kelompok LGBT yang
dianggap menyimpang dari agama maupun norma-norma
sosial.
Seperti dalam kosmologi agama Khonghucu
terdapat istilah Yin Yang yaitu positif dan negatif, plus dan
minus begitupun adanya laki-laki dan perempuan. Artinya
adalah apa yang ada di bumi diciptakan secara
berpasangan dan saling melengkapi, dengan begitu
generasi manusia akan terus berjalan dan tercipta.
Dikatakan oleh Rio Dwi Aryanto selaku pemuka agama di
Khonghucu Bio, MAKIN (Majelis Khonghucu Indonesia)
Tangerang.
“Jika manusia berperilaku saling menyukai
sesama jenis maka tidak ada keturunan yang akan
mewarisi kehidupan. Karena dalam ajaran
Khonghucu ada perintah untuk berbakti, yaitu
untuk melanjutkan keturunan. Jika seseorang
menyimpang maka silsilah keluarga akan
terputus.”19
Agama dan negara memiliki hubungan yang erat
di Indonesia. Nilai-nilai agama ikut menentukan sikap
seseorang dalam mengantisipasi dan memecahkan setiap
persoalan yang dihadapinya.
19
Wawancara Pribadi dengan Rio Dwi Aryanto, Tangerang,
17 September 2017.
68
Dalam perjalanan sejarahnya, ajaran agama dan
tradisi lokal saling berbaur dan tidak dapat dipisahkan
meski secara teoritis bisa dibedakan. Ketika dalam suatu
masa dimana perkembangan agama sudah mengalami
penyimpangan dan pendangkalan ajaran dasar agama,
baik agama Islam ataupun Non-Islam yang masih
memegang teguh ajaran tradisi lama akan muncul
pemikiran dan gerakan yang ingin mengembalikan pada
ajarannya yang murni. Karenanya, dalam komunitas
agama akan selalu terdapat kelompok yang
mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan
bercampur budaya, serta ada pula yang ingin
mengembalikan dalam fitrah aslinya. Tradisi dalam
agama telah menjadi bagian dari sebuah identitas bangsa.
Meskipun banyak kritik yang bermunculan terhadap
tradisi keagamaan yang dianggap kuno, namun dirasa
tidak akan mungkin hilang dari kehidupan masyarakat
bangsa Indonesia.
Akan tetapi, banyaknya pernyataan dan sikap
kontra yang ditujukan terhadap keberadaan LGBT hingga
detik ini tidak menurunkan populasi kelompok-kelompok
tersebut. Kenyataannya, kelompok-kelompok ini semakin
berkembang dan membentuk komunitas yang saling
mendukung untuk pencapaian hak-hak asasi LGBT.
Meski tidak sedikit dari masyarakat yang membenci,
menolak, dan bahkan mengucilkan orang-orang LGBT,
mereka tetap dapat membangun komunitas-komunitasnya
69
di Indonesia. Bahkan dapat dilihat pula bahwa komunitas
pendukung LGBT ini didukung oleh dana Internasional
yang memang bertujuan untuk melegalkan keberadaan
LGBT dan perkawinan sejenis.20
Begitu pula bagi para pendukung atau kelompok
heteroseksual yang cenderung toleran dengan adanya
kelompok-kelompok LGBT di sekitar mereka, dengan
memberikan ruang kepada LGBT dengan mengeluarkan
pernyataan yang menyokong eksistensi kelompok
tersebut. Dan hal lain menjadi faktor yang memotivasi
kelompok ini lebih berani dalam membuka jati diri dan
menyuarakan hak-hak mereka adalah dengan melihat
fakta yang terjadi di negara lain yang telah melegalkan
pernikahan dan hubungan LGBT.
B. Sejarah Berdirinya Arus Pelangi
Arus Pelangi merupakan suatu lembaga yang
menangani dan konsentrasi terhadap isu-isu LGBT.
Pendirian Arus Pelangi dikarenakan perlunya sebuah
komunitas dan payung hukum untuk teman-teman LGBT
yang seringkali menerima perlakuan seperti diskriminasi,
kekerasan, dan pelecehan seksual. Mereka membentuk
sebuah organisasi massa yang mempromosikan dan
membela hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.
20
Asyari Usman, Wartawan Senior Ungkap Pertumbuhan
Spektakuler Jumlah LGBT Di Indonesia, artikel diakses pada tanggal
13 Juli 2018 pada www.arrahmah.com/2017/12/23/wartawan-senior-
ungkap-pertumbuhan-spektakuler-jumlah-lgbt-di-indonesia/
70
Meskipun sebenarnya LGBT sudah ada di Indonesia sejak
zaman dahulu dan bahkan sudah ada pada masa
penjajahan dulu. Namun, perbincangan mengenai isu-isu
LGBT yang sedang ramai dibicarakan pada saat ini masih
sangat tabu bagi masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2005 menjadi awal sebuah ide untuk
membuat sebuah komunitas advokasi yang membela hak-
hak LGBT di Indonesia. Bertemunya beberapa orang yang
memiliki tujuan dan ide yang sama yaitu mengadvokasi
hak-hak orang-orang LGBT, seperti Yatna Pelangi, Fredi
Kusnanda Simanungkalit, SH, MH, Widodo Budiarto
(almarhum), Yuli Rustinawati, dan King Oey.21
Kemudian tepat pada tanggal 15 Januari 2006 legalisasi
Arus Pelangi dibentuk di Jakarta, dengan kasus pertama
yang mereka tangani mengenai pembunuhan seorang
waria di Purwokerto. Arus Pelangi beralamat di wilayah
Jakarta Selatan, tepatnya yaitu di Jalan Tebet Utara IIIA
No. 30 Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan.
Lahirnya Arus Pelangi didorong akan kebutuhan
yang mendesak dikalangan komunitas LGBT baik
individu atau kelompok untuk membentuk sebuah
organisasi massa yang membela hak-hak dasar komunitas
LGBT di Indonesia. Banyaknya kasus diskriminasi dan
kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
21
Diakses pada tanggal 1 November 2017 dari
www.aruspelangi.org
71
orang-orang LGBT sehingga perlunya sebuah lembaga
yang dapat merangkul mereka. Pada tahun 2013, Arus
Pelangi melakukan sebuah penelitian mengenai LGBT di
tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Yogyakarta dan
Makassar. Hasil menyebutkan tercatat 89,3 persen dari
seluruh jumlah LGBT yang ada di Indonesia mengalami
lima kekerasan, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual,
budaya, dan ekonomi.22
Tidak semua LGBT hidup dengan layak dan
damai, diskriminasi dari keluarga maupun masyarakat
cenderung menjadi tekanan sosial yang harus dihadapi
orang-orang LGBT. Bagi sebagian mereka yang berasal
dari keluarga menengah ke bawah yang diasingkan oleh
keluarga dan lingkungannya sehingga tidak memiliki
tempat tinggal, putus sekolah, lalu menjadi pengangguran.
Tidak sedikit yang akhirnya terlibat dalam kegiatan
negatif seperti menggunakan narkoba dan bekerja di
tempat prostitusi.
Banyak persoalan sosial yang kerap menimpa
orang-orang LGBT, seperti ketika seorang LGBT yang
mendapatkan kekerasan hingga tidak jarang menyebabkan
kematian. Tidak adanya penanganan dan kepedulian oleh
masyarakat termasuk keluarga, serta tindakan yang
22
Kristian Erdianto, Diskriminasi Kelompok LGBT dan
Pemerintah yang “Tutup Mata”, diakses pada tanggal 1 November
2017 dari
www.nasional.kompas.com/read/2016/08/21/23055511/diskriminasi.
kelompok.lgbt.dan.pemerintah.yang.tutup.mata
72
lambat dan terkesan tidak adil dari pihak kepolisian.
Keadaan seperti ini menjadi salah satu alasan Yuli
Rustinawati dan teman-teman lainnya untuk mendirikan
sebuah komunitas yang dapat mengadvokasi hak-hak
dasar kawan-kawan LGBT sebagai bagian dari warga
negara Indonesia.
Pembentukkan Arus Pelangi yang merupakan
wadah bagi orang-orang LGBT telah tersebar di 12
provinsi dan pada saat ini fokus di 8 provinsi untuk
menyuarakan aspirasi serta mengekspresikan diri. Dari
banyaknya jumlah LGBT baik individu atau kelompok
dalam Arus Pelangi, terdapat sekitar 30% heteroseksual
yang tergabung di dalamnya.23
Arus Pelangi berdiri tidak
hanya bagi kalangan LGBT, akan tetapi tiga ranah yang
dicakup yaitu komunitas, sosialitas, dan negara yang
menjadi sasaran program kerja mereka. Pertama
komunitas, sebagai sebuah komunitas besar Arus Pelangi
memberikan pendidikan dalam meningkatkan kapasitas
dan pemahaman para pemangku kepentingan terkait
keragaman LGBT dan SOGIE, sehingga terwujudnya
pengarusutamaan SOGIE dan HAM dalam berbagai
lembaga dan sektor. Dan melakukan pengorganisasian
utnuk meningkatkan solidaritas dan kolektifitas organisasi
dan komunitas LGBT di Indonesia sebagai bagian dari
gerakan sosial yang memperjuangkan hak asasi manusia
di Indonesia.
23
Pengayaan oleh Yuli Rustinawati pada 15 Maret 2017
73
Kedua sosialitas atau masyarakat, Arus Pelangi
dalam kampanye publik yang dilakukan berusaha untuk
membangun kesadaran masyarakat atau publik bahwa
LGBT adalah bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI)
yang memiliki hak yang sama dengan siapapun terlepas
dari orientasi seksual, identitas gender, ataupun ekspresi
gender mereka. Yang Ketiga negara, komunitas Arus
Pelangi merupakan lembaga advokasi yang mendorong
terwujudnya kebijakan-kebijakan yang inklusif dan ramah
terhadap orang-orang LGBT sebagai bagian dari Warga
Negara Indonesia. Arus Pelangi bekerja di ranah advokasi
lokal, nasional, regional, dan internasional dengan
mekanisme hukum dan HAM yang ada, serta berjejaring
dengan gerakan sosial Indonesia.
1. Visi dan Misi Arus Pelangi
Visi
Terwujudnya tatanan masyarakat yang
bersendikan pada nilai-nilai kesetaraan,
berprilaku dan menghargai hak-hak komunitas
LGBT sebagai Hak Asasi Manusia.
Misi
Menjadi organisasi yang berfungsi sebagai
asosiasi atau federasi yang menyatukan
pembela HAM LGBT, melalui misi-misi
berikut:
74
1. Membangun kesadaran, pemberdayaan dan
penguatan orang-orag LGBT yang rentan
dan tertindas.
2. Berperan aktif mendorong reformasi
kebijakan yang melindungi hak-hak orang-
orang LGBT.
3. Berperan aktif dalam membangun
kesadaran publik melalui proses
pemberdayaan untuk mendorong
penerimaan masyarakat terhadap orang-
orang LGBT.
2. Asas, Nilai dan Kode Etik Arus Pelangi
Asas yang dianut oleh Arus Pelangi
1. Pancasila.
2. Undang Undang Dasar 1945.
3. Prinsip-prinsip normatif Hak Asasi
Manusia, diantaranya Deklarasi Universal
Hak Asasi Mnausia (DUHAM), Perjanjian
Internasional (Kovenan) tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik atau International
Convenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (ICESCR), Perjanjian
Internasional tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan
atau Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Woman
75
(CEDAW), Deklarasi Montreal dan
Prinsip-prinsip Yogyakarta merupakan
pedoman penting dalam perjuangan hak-
hak LGBT.
3. Nilai yang dianut oleh Arus Pelangi
1. Kemandirian atau Independen. Arus
Pelangi adalah organisasi yang tidak terikat
kepada siapapun.
2. Anti diskriminasi. Arus Pelangi adalah
suatu organisasi yang menolak segala
bentuk diskriminasi terhadap LGBT, baik
yang didasarkan pada orientasi seksual,
identitas dan ekspresi gender, suku, agama,
dan keyakinan, warna kulit, disabilitas,
status sosial, maupun keyakinan politik.
3. Anti kekerasan. Arus Pelangi menolak
segala bentuk kekerasan terhadap LGBT,
yang dilakukan oleh negara, kelompok,
maupun yang dilakukan oleh individu atas
dasar orientasi seksual, identitas dan
ekspresi gender.
4. Pluralism atau Keberagaman. Arus
Pelangi menolak bentuk-bentuk
fundamentalisme dan radikalisme yang
selalu mendiskreditkan dan
76
mengkriminalisasi LGBT atas nama agama
dan budaya.
5. Kesetaraan atau Egaliter. Arus Pelangi
selalu membela kesetaraan LGBT, baik
secara hukum, politik, sosial, ekonomi, dan
budaya.
6. Non partisan atau Imparsial. Arus
Pelangi tidak memihak ataupun menjadi
bagian dari partai politik, birokrasi dan
kekuatan ekonomi tertentu. Namun selalu
berpihak kepada LGBT dalam
memperjuangkan pemenuhan dan
perlindungan hak-hak dasar LGBT.
7. Kesetaraan gender. Arus Pelangi
menghargai dan menjunjung tinggi
persamaan seks dan gender maupun
keberagaman orientasi seksual, identitas
dan ekspresi gender LGBT.
8. Keadilan dan Demokrasi.
4. Kode Etik yang dianut oleh Arus Pelangi
1. Dengan penuh kesadaran dan tanggung
jawab akan terus memelihara dan
menjunjung tinggi visi, misi, asas, nilai,
dank ode etik Arus Pelangi secara bersih,
cerdas, santun dan kreatif sebagai dasar
dan landasan kerja.
77
2. Menjalankan tugas-tugas dan fungsi kerja,
utamanya dalam melayani komunitas
LGBT Indonesia dan akan senantiasa adil
dan bekerja untuk kepentingan universal
serta menjauhkan diri dari tindak-tindak
diskriminatif atas perbedaan apapun.
3. Akan terus menjalankan dan memperkuat
harmoni dan toleransi baik dalam internal
Arus Pelangi maupun LGBT Indonesia
secara keseluruhan.
4. Akan bekerja keras membangun Arus
Pelangi demi kepentingan LGBT Indonesia
serta menjalankan semua program yang
berpihak terhadap kepentingan LGBT
Indonesia melalui berbagai kebijakan,
program aksi dan langkah yang nyata, serta
mendukung program Arus Pelangi yang
saat ini berjalan.
5. Berkomitmen untuk menjaga integritas,
akuntabilitas dan kredibilitas Arus Pelangi
dengan menerapkan praktik-praktik kerja
yang transparan dan sesuai dengan
prosedur yang berlaku di Arus Pelangi.
6. Sebagai bagian dari Arus Pelangi akan
senantiasa patuh dan taat pada seluruh
peraturan yang berlaku baik tertulis
maupun tidak tertulis untuk membangun
78
cerminan dan perilaku yang bertanggung
jawab.
7. Memegang teguh moral dan etika profesi
serta menjalankan tata kelola Arus Pelangi
yang baik serta responsif terhadap
kepentingan LGBT Indonesia.
8. Mencegah dan menghindarkan diri dari
tindakan-tindakan yang melawan hukum
termasuk tentang pelecehan seksual,
perlindungan anak, dan perdagangan
manusia serta hukum negara lain yang non-
diskriminatif.
9. Menjaga kerahasiaan seluruh data dan
informasi yang ada di Arus Pelangi dan
berkomitmen untuk tidak menggunakan
sebagian atau seluruh data, asset, serta
perangkat organisasi Arus Pelangi
termasuk logo, nama, dan lain-lain untuk
kepentingan pribadi tanpa seijin Badan
Pengurus Harian dan Dewan Pengawas
Arus Pelangi.24
24
Diakses pada tanggal 1 November 2017 dari www.aruspelangi.org
79
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
A. Analisis Komunikasi Antar Kelompok Komunitas
Arus Pelangi Dalam Penerimaan Jati Diri LGBT Di
Lingkungan Masyarakat Tebet Utara, Jakarta Selatan
Dalam kehidupan yang selalu berkembang dan
selalu berubah ini, manusia tidak akan bisa lepas dari
individu-individu, kelompok individu sampai antara
kelompok individu dengan kelompok individu lainnya.
Hubungan sosial atau interaksi sosial yang terbangun
menimbulkan gejala-gejala sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini yang menjadi fokus penelitian
penulis untuk membahas, menerangkan dan mengkaji
bagaimana komunikasi kelompok yang dilakukan oleh
Komunitas Arus Pelangi agar dapat diterima di tengah-
tengah masyarakat. Sebab Komunitas Arus Pelangi
merupakan sebuah wadah yang mendukung hak-hak asasi
lesbi, gay, biseksual, transgender dan lainnya yang
termasuk dalam pengelompokkan LGBT. Dan dapat
diketahui bahwa LGBT yang dianggap oleh sebagian
masyarakat merupakan sebuah penyimpangan orientasi
seksual dan hal-hal negatif lainnya, seringkali
mendapatkan diskriminasi baik secara verbal, non verbal
maupun fisik. Sehingga perlunya sebuah komunitas yang
merangkul dan dapat memberikan tempat bagi kaum
LGBT.
80
Dalam penelitian ini penulis mengungkapkan
bagaimana komunikasi kelompok yang terjadi dalam
komunitas. Kemudian dari komunikasi kelompok tersebut
dapat diidentifikasi bahwa bagaimana komunikasi
kelompok dalam komunitas Arus Pelangi, klasifikasi
komunikasi kelompok serta hubungan antar kelompok
Arus Pelangi di wilayah Tebet Utara, Jakarta Selatan.
1. Penerapan Proses Komunikasi Kelompok Komunitas
Arus Pelangi Dalam Proses Penerimaan Jati Diri
LGBT
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang
penulis lakukan di Komunitas Arus Pelangi, bahwa
komunitas Arus Pelangi membentuk kelompok dengan
dasar atas kebutuhan dikalangan kaum LGBT yang
membutuhkan payung hukum agar mendapatkan hak-hak
asasi sebagai warga negara Indonesia tanpa membedakan
orientasi seksual seseorang, seperti yang tertera dalam
penjelasan di bab 3 skripsi ini. Arus Pelangi berupaya
mendorong terwujudnya kebijakan-kebijakan yang
inklusif dan ramah terhadap orang-orang LGBT sebagai
bagian Warga Negara Indonesia.
Setiap orang menggunakan komunikasi dalam
menyelesaikan berbagai masalah, dan komunikasi tidak
hanya menjadi sebuah alat utnuk menyelesaikan tugas-
tugas, tetapi juga menjadi sebuah media untuk
membangun hubungan. Dalam pengamatan yang
81
dilakukan oleh penulis, anggota komunitas Arus Pelangi
melakukan aktifitas berkomunikasi melalui dua tahap
proses komunikasi, yaitu komunikasi premier dan
komunikasi sekunder.
a) Komunikasi Premier
Komunikasi premier merupakan komunikasi yang
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,
isyarat, gambar, warna dan lainnya yang secara langsung
dapat diterjemahkan oleh pikiran dan perasaan
komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi
secara premier yang dilakukan oleh anggota komunitas
dapat dipahami lewat ekspresi wajah dan gerak tubuh
pada saat berbicara. Dengan gerakan yang lemah lembut
dan terkesan feminim yang ditampilkan oleh anggota
komunitas sebagai pendukung dalam melakukan
komunikasi.
“….Biasanya aku pada saat bangun tidur
misalnya bangun tidurnya karena jatoh gitu. Tidur
terus jatuhnya karena guling-guling dikasur terus
jatuh gitu ya tiba-tiba „eee..eeh…‟ ngondek gitu
kan jadi keliatan kalau dia menjadi feminine gitu
82
kan. Terus abis itu ngulet juga dengan gaya
ngondek gitu.”1
Dalam penyampaian pesan, kebanyakan anggota
komunitas lebih banyak menggunakan bahasa slang banci
yang biasanya digunakan oleh gay ataupun transgender.
Sebab dalam intonasi bahasa banci ketika diucapkan akan
mengarah kepada intonasi khas perempuan. Sedangkan
kelompok lesbi atau biseksual cenderung lebih sering
menggunakan bahasa Indonesia pada umumnya.
Seperti contoh kata-kata “jengong lupis” atau
“bergengges ria” yang selalu disebutkan ketika membuat
tulisan di dalam Instagram komunitas Arus Pelangi
sebagai info mengenai obrolan mingguan yang hampir
rutin dilakukan oleh anggota komunitas. Bahasa-bahasa
slang seperti ini hanya akan dimengerti oleh kelompok-
kelompok tertentu untuk berkomunikasi. Namun, dalam
menggunakan suatu lambang ketika berkomunikasi harus
adanya kesepakatan bersama agar penyampaian pesan
mudah untuk dimengerti, seperti yang dijelaskan dalam
bab II skripsi ini, Wilbur Schramm menjelaskan apabila
seseorang mengadakan komunikasi maka haruslah
mewujudkan persamaan antara komunikan dengan
komunikator. Sehingga apa yang menjadi tujuan
dilakukannya komunikasi dapat tercapai. Dengan
menggunakan bahasa-bahasa slang banci, interaksi yang
1 Wawancara dengan pribadi dengan Andi
83
terjalin ketika berkomunikasi terasa dan terkesan akrab
antar satu anggota dengan anggota komunitas lainnya.
Selain itu banyaknya benda-benda seperti bendera,
pin atau poster di ruangan sekertariat Arus Pelangi yang
hampir disetiap benda tersebut memiliki warna pelangi.
Warna pelangi menjadi lambang kaum Lesbi, Gay,
Biseksual dan Transgender yang mencerminkan
keragaman dalam komunitas-komunitas LGBT. Biasanya
bendera atau aksesoris pelangi yang menjadi lambang
kaum LGBT digunkan ketika mereka melalukan
kampanye atau parade yang menyuarakan legalitas dan
hak-hak asasi LGBT. Pemilihan warna pelangi yang
mencerminkan keragaman orientasi seksual mereka
menjadikan lambang warna ini sebagai identitas kaum
homoseksual di seluruh dunia.
Namun, komunikasi premier secara tatap muka
(face to face) tidak sering dilakukan oleh anggota
komunitas di dalam sekertariat Arus Pelangi sendiri.
Tidak ada kegiatan yang sering dilakukan oleh anggota
komunitas di sekertariat tersebut. Dalam hal ini penulis
meminta keterangan terkait keberadaan anggota pengurus
komunitas Arus Pelangi kepada masyarakat yang berada
di wilayah Tebet Utara, tepatnya di Jalan Tebet Utara
IIIA. Bapak Bagus selaku Ketua RT 5, di mana lokasi
sekertariat Arus Pelangi berada mengatakan.
84
“Kegiatan tidak ada di sini, jadi cuma
jarang-jarang aja. Kecuali ada pertemuan apa gitu,
itu juga jarang. kumpul nih, ga ganggung sih cuma
dia pulang lagi pulang lagi gitu aja.”2
Komunikasi yang dilakukan di dalam sekertariat
Arus Pelangi sendiri bisa terbilang tidaklah sering.
Bahkan dalam hitungan satu bulan para anggota
komunitas hanya datang sekali atau dua kali saja. Masih
menurut keterangan Bapak Bagus yang mengatakan.
“Kadang-kadang sebulan (datang ke
sekertariat). Itu juga kadang dateng jam segini nih
(siang) entar sore masing-masing pada pergi lagi”3
b) Komunikasi Sekunder
Pada proses komunikasi secara sekunder,
merupakan komunikasi yang paling lebih sering
digunakan oleh anggota atau pengurus komunitas Arus
Pelangi, karena komunikasi menggunakan media sosial
akan terasa lebih cepat penyampaiannya bila
dibandingkan dengan komunikasi tatap muka (secara
langsung). Dalam proses komunikasi sekunder ini anggota
komunitas banyak memanfaatkan jejaring media sosial
untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan
kelompok mereka kepada khalayak masyarakat luas.
2 Wawancara pribadi dengan Bapak Bagus
3 Wawancara dengan Bapak Bagus
85
Komunikasi dengan menggunkan media seperti
handphone menjadi salah satu alat penyampaian pesan
dalam aktivitas komunitas berinteraksi. Melalui aplikasi
WhatsApp, BBM atau Line memudahkan setiap anggota
untuk saling berkomunikasi. Penggunaan media sosial ini
dimanfaatkan oleh anggota komunitas bukan hanya
sekedar berinteraksi dengan anggota lainnya saja, akan
tetapi penggunaan media sosial ini bertujuan untuk
penyebaran infrormasi terkait LGBT.
Penggunaan media sosial juga menjadi
penghubung anggota komunitas untuk saling berinteraksi.
Ketika saat menggunakan media sosial salah satunya
seperti Instagram, biasanya dalam waktu seminggu sekali
anggota komunitas Arus Pelangi bertemu anggota lainnya
dan mengadakan Insta Story melalui aplikasi Instagram
dengan beragam pembahasan seputar LGBT. Pembahasan
yang disampaikan tidak jarang mengenai penjelasan
organisasi, advokasi, kampanye, pendidikan seputar
LGBT hingga membahas masalah sosial yang
berhubungan dengan hak-hak asasi kelompok minoritas
seperti yang menjadi pilar utama Arus Pelangi. Seperti
salah satu contoh pembahasan yang menjadi bahan
obrolan dengan tema “Lesbian Zaman Now” yang
membahas seputar deskripsi lesbi dan bagaimana
kehidupan seorang lesbi. Kegiatan yang dilakukan ini
bertujuan sebagai cara untuk mengenalkan dan
86
mempromosikan mengenai LGBT, serta menjadi sebuah
dukungan dalam membela hak-hak dasar komunitas
LGBT sebagai Hak Asasi Manusia.
Kelebihan komunikasi secara sekunder
memudahkan anggota komunitas dalam menyampikan
pesan atau informasi. Tetapi ketika apa yang disampaikan
oleh anggota komunitas tidak disampaikan jelas maka hal
tersebut akan berpengaruh terhadap persepsi anggota
lainnya yang akan mempengaruhi proses komunikasi.
Namun, komunikasi yang dijalankan tidak selamanya
berjalan dengan mudah seperti yang diharapkan. Seperti
kesalahpahaman dalam memahami pesan atau informasi
yang disampaikan oleh setiap anggota. Biasanya terjadi
kesalahn seperti salah pengucapan atau salah penulisan
sehingga menimbulkan salah persepsi atau pengertian
dalam memahami isi pesan atau informasi.
Dalam penyampaian pesan, anggota komunitas
lebih banyak menggunakan bahasa yang non formal atau
bahasa slang yang biasa digunakan oleh banci. Sehingga
ketika melakukan interaksi saat menyampaikan informasi
atau pesan apapun terhadap sesama anggota komunitas
lebih terkesan dekat. Seperti kata-kata “jengong lupis”
yang artinya jangan lupa atau “bergengges ria” artinya
bergegas yang selalu disebutkan ketika membuat tulisan
di dalam Instagram untuk info mengenai obrolan
87
mingguan yang hampir rutin dilakukan oleh anggota
komunitas.
2. Bentuk Komunikasi Kelompok Pada Komunitas Arus
Pelangi
Komunikasi kelompok merupakan sebuah
hubungan antar anggota maupun pengurus dalam
menentukan aktifitas kelompok. dalam kelompok masing-
masing anggota memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi. Pada komunitas Arus
pelangi, penulis melihat dari bentuk komunikasi yang
terjalin termasuk ke dalam bentuk komunikasi deskriptif.
Di mana kelompok deskriptif ini dalam proses
pembentukannya terjadi secara alamiah, yang berdasarkan
tujuan, ukuran, dan pola komunikasi. Seperti yang
dijelaskan oleh Ketua BPH Arus Pelangi, yaitu Yuli
Rustinawati.
“Awal pembentukkan Arus Pelangi ini
karena melihat banyak sekali teman-teman LGBT
yang mendapat diskriminasi serta tidak adanya
bantuan hukum ya. Pertama kali dapat kasus,
karena saya bekerja di lembaga hukum. Ada
seorang LGBT yang mendapat diskriminasi
namun sulit mendapatkan akses advokasi.
Akhirnya saya membantu, lalu berjalannya waktu
akhirnya saya dipertemukan dengan orang-orang
yang memiliki tujuan yang sama dengan saya,
88
akhirnya terbentuklah Arus Pelangi sebagai
payung hukum bagi kaum LGBT.”4
Arus Pelangi terbentuk atas dasar tujuan yang
sama oleh para pendiri komunitas ini. Kemudian dalam
prosesnya komunikasi kelompok deskriptif
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kelompok
tugas, kelompok pertemuan dan kelompok penyadar.
Akan tetapi dalam penelitian ini penulis menggunakan
kelompok penyadar untuk menggabarkan komunikasi
dalam kelompok komunitas Arus Pelangi.
Dalam komunikasi kelompok penyadar yang
dijelaskan dalam bab II skipsi ini, maka terdapat empat
tahap yang diperlukan dalam mengidentifikasi bentuk
komunikasi kelompok;
a) Tahap Satu: Kesadaran Diri Akan Identitas Baru
Dalam tahap ini, menurut Jalaluddin Rakhmat
dalam bukunya Psikologi Komunikasi yag dikutip dalam
bab II skripsi ini, untuk menimbulkan kesadaran diri
orang-orang yang berkumpul di dalam kelompok harus
terdiri atas orang-orang yang mempunyai karakteristik
yang menjadi dasar pembentukkan kelompok. Pada
kelompok komunitas Arus Pelangi anggota yang terdiri
dari kaum yang memiliki orientasi seksual yang berbeda
seperti lesbi, gay, biseksual dan transgender.
4 Wawancara dalam pengayaan organisasi Arus Pelangi
dengan Yuli Rustinawati
89
Proses komunikasi yang terjalin dapat dimulai
dengan menceritakan cerita pribadi masing-masing
anggota. Dalam proses ini salah seorang dari seorang
peserta rumah belajar pelangi yang digagas oleh
komunitas Arus Pelangi mengatakan.
“Rumah belajar Pelangi adalah wadah diskusi
yang sangat open di mana peserta bisa dengan bebas
menyampaikan ide dan bertukar pikiran tanpa restriksi
sensitifitas heteronormatif. Dengan kata lain, peserta bisa
dengan sangat terbuka mengemukakan pendapat pada
sebuah diskusi tanpa harus ada rasa takut akan judgment
dari pihak lain.”5
Seperti yang dikatakan oleh Ryan sebagai salah
satu pengurus dari Arus Pelangi yang mengatakan
ketertarikan seksual bukan sesuatu yang menular dan
menjelaskan diri seorang homoseksual.
“Orang tuanya heteroseksual lalu apakah
heteroseksualnya menular pada LGBTnya….orang tuanya
laki-laki dan perempuan, kok aku tetap suka laki-laki.”6
Pengayaan materi mengenai SOGIE yang
dijelaskan oleh Ryan memaparkan beberapa anggapan
yang sering dikaitkan dengan LGBT seperti, merupakan
hal yang menyimpang, menular, berdosa, sakit jiwa dan
5 Dikutip dari www.aruspelangi.org
6 Wawancara dalam pengayaan materi SOGIE dengan Ryan
90
lainnya. Dalam proses ini Ryan menjelaskan anggapan-
anggapan tersebut yang menggiring pemikiran penulis
sehingga merasa memiliki pemikiran yang sama.
Dari komunikasi yang berlangsung, Ryan sedikit
menceritakan pahitnya kehidupan orang-orang LGBT.
Banyaknya diskriminasi dan pengasingan yang diterima
oleh kawan-kawan LGBT lainnya. Merasa memiliki
kondisi yang sama akhirnya timbul perasaan untuk
bergabung dan menjadi aktivis yang membela hak-hak
kaum minoritas LGBT.
b) Tahapan Dua: Identitas Kelompok Melalui
Polarisasi
Ditahap kedua ini kelompok secara intensif
membicarakan tabiat “musuh”. Dalam hal ini yang
menjadi “musuh” yaitu orang-orang yang
mendiksriminasi dan melecehkan kelompok-kelompok
LGBT. Mereka secara perlahan memisahkan diri dan
membagi dunia pada kelompok “homoseksual” dan
kelompok “heteroseksual”.
Dalam pengamatan yang dilakukan oleh penulis,
tidak mudah untuk membangun komunikasi dengan
kelompok LGBT, karena orientasi seksual yang dimiliki
berbeda dengan masyarakat pada umumnya membuat
tembok besar yang memisahkan mereka dengan
masyarakat lainnya.
91
Penindasan seperti pelecehan, diskriminasi dan
kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal. Seperti yang
dapat dilihat dalam bab I skripsi ini. Dalam akun media
sosialnya Mahfud MD mengatakan bahwa kelompok
LGBT merupakan komunitas yang harus diwaspadai
keberadaannya dan menyatakan LGBT sebagai suatu
penyakit yang harus dibantu penyembuhannya.
Pernyataan ini mendukung tindakan Menteri Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir
untuk melarang aktivitas LGBT.
Adapula pernyataan yang menyudutkan
kelompok-kelompok LGBT ke dalam permasalahan
agama seperti Bachtiar Nasir yang merupakan Sekertaris
Jendral Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) mengatakan.
“Belajar dari sejarah, agama menyebut
kaum Sodom dilaknat Tuhan hingga hancur. Kita
harus yakin pasti ada bencana besar bila LGBT ini
dibiarkan.”
c) Tahap Tiga: Menegakkan Nilai-Nilai Baru Bagi
Kelompok
Pada tahap ini, anggota mempertentangkan nilai-
nilai kelompok mereka dengan nilai kelompok penindas.
Dalam tahap ini dapat dilihat adanya perbedaan pendapat
antara kelompok komunitas LGBT dengan kelompok
92
masyarakat heteroseksual. Seperti yang dikatakan oleh
penulis ketika dalam wawancara yang dilakukan di
sekertariat Arus Pelangi.
“Iya kembali ke pemikiran tadi ka. Bahwa
LGBT seperti gay ataupun lesbi itu merupakan
sesuatu hal yang menyimpang dan salah gitu.
Misal yang kita ketahui bahwa cowok dan cewek,
udh gitu aja. Kalo sama itu kan berarti
menyimpang. Dan mungkin dari sisi religi. Kalau
dalam agam Islam pun ada tuh cerita tentang Nabi
Luth ya.”
Kemudian yang dijelaskan oleh Andi yang
merupakan salah satu pengurus di Arus Pelangi.
“Bahwa Tuhan pasti tidak menciptakan
ciptaan yang salah, sempurna seperti manusia. Jadi
Tuhan tidak pernah salah menciptakan sesuatu.
Tuhan itu mengirimkan agamanya ke bumi ini
pasti untuk tujuan kebaikan untuk semuanya.
Yang artinya itu berlaku untuk general termasuk
LGBT ya kan. Kalau misalnya ini berlaku kecuali
LGBT berarti Tuhan diskriminatif, padahal Tuhan
ga diskriminatif kan. Nah ketika ini ada di
masyarakat kenapa kemudian akhirnya muncul
yang seakan-akan agama itu bertentangan dengan
LGBT yang adalah makhluk Tuhan juga. Ini
93
lahirnya dari Tuhannya atau
manusianya….sebutan dosa itu yang menyebut
Tuhan apa manusia. Jadi sebutan dosa itu sendiri
sebenarnya lahir dari manusia.”7
Komunitas Arus Pelangi menjelaskan pelik
permasalahan yang selama inimenjadi hal-hal yang tabu
dalam penerimaan jati diri LGBT di kalangan masyarakat.
Serta menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan orientasi seksual, gender, identitas seksual, dan
ekspresi seksual seseorang.
d) Tahap Empat: Menghubungkan diri dengan
kelompok revolusioner lainnya
Dalam tahap kelompok penyadar ini menjelaskan
bagaimana hubungan mereka dengan kelompok tertindas
lainnya. Di tahap ini komunitas Arus Pelangi bekerja
sama dengan beberapa pihak yang memiliki tujuan yang
sama. Arus pelangi sendiri bekerja sama dengan lembaga-
lembaga LGBT lainnya seperti SWARA, GAYa
Nusantara, dan lembaga LGBT lainnya. Arus Pelangi
sendiri sudah terkenal dikalangan aktivis maupun
komuitas-komunitas LGBT lainnya.
Dengan berkerjasama pada pihak pendukung
LGBT lainnya akan memudahkan anggota komunitas
dalam mengkampanyekan dan menyuarakan hak-hak
7 Wawancara dengan Andi
94
asasi LGBT. Kemudian diharapkannya pelegalan atas
LGBT dan pemberian hak-hak dasar yang seharusnya
diterima oleh kawan-kawan LGBT sebagai bagian dari
warga negara Indonesia.
3. Penilaian masyarakat terhadap keberadaan
komunitas Arus Pelangi di lingkungan Tebet Utara
LGBT menjadi cerita tersendiri dalam kehidupan
masyarakat. Keberadaannya yang selalu diidentifikasikan
dengan stigma-stigma yang melekatkan LGBT sebagai
penyakit, penyimpangan bahkan gangguan kejiwaan.
Hasil survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research
and Consulting atau yang disingkat menjadi SMRC,
menunjukkan sebagian masyarakat Indonesia menilai
LGBT sebagai sebuah ancaman.8 Hal ini juga dirasakan
oleh warga di lingkungan Tebet Utara, karena bukan
hanya ditakutkan akan memberikan dampak negatif
berupa pencemaran nama baik lingkungan mereka. Akan
tetapi juga ditakutkan akan memberikan pengaruh
terhadap perilaku remaja atau anak-anak sekitar Jalan
Tebet Utara III. Penampilan dan pembawaan yang
ditunjukkan oleh kelompok LGBT, seperti laki-laki yang
berpakaian dan berdandan layaknya perempuan maupun
sebaliknya menjadi sorotan warga sekitar. Mereka
8 “Survey SMRC: 41,4 Persen Warga Indonesia Anggap
LGBT Sangat Mengancam”, artikel diakses pada 26 Juni 2018 pada
www.google.co.id/amp/s/m.kumparan.com/@kumparannews/survei-
smrc-41-4-persen-warga-indonesia-anggap-lgbt-sangat-
mengancam.amp
95
mengkhawairkan jika anak-anak remaja di lingkungan
tersebut akan terpengaruh.
Hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di
Jalan Tebet Utara III, memandang jika kelompok tersebut
menyalahi aturan agama, norma sosial serta mengganggu
dalam arti pikiran warga sekitar.
“…Karena itu tidak sesuai dengan norma
dan juga mengganggu apa ya, bukan keamanan
tapi pikiran kita gitu ya.”9
Bagaimanapun keputusan yang dipilih oleh
individu atau kelompok yang memustuskan untuk hidup
sebagai seorang LGBT akan mengundung konsekuensi
sosial, seperti menjadi bahan olokan dan cibiran dari
masyarakat. Warga sekitar tidak memiliki gambaran diri
yang positif kepada komunitas Arus Pelangi, mereka
menganggap bahwa kelompok tersebut berbeda dari
kelompok masyarakat heteroseksual lainnya, dan menjaga
jarak sosial ketika harus berinteraksi dengan kelompok
komunitas tersebut. Karena masyarakat di mana
sekertariat dari komunitas Arus Pelangi berada masih
menganggap bahwa orang-orang seperti mereka adalah
pembawa pengaruh buruk yang harus dihindari.
Adanya perbedaan identitas antara kelompok
komunitas Arus Pelangi dengan kelompok masyarakat
9 Wawancara Pribadi dengan Ketua RW 02.
96
yang tinggal di Jalan Tebet Utara III. Peneliti melihat jika
perbedaan identitas yang terjadi dalam komunikasi
antarkelompok ini menjadi suatu pengaruh besar dalam
interaksi yang melibatkan perasaan dan perlakuan
terhadap orang lain. Seperti masalah yang pernah
dijelaskan oleh Pak Bagus mengenai pencantuman alamat
Jalan Tebet Utara IIIA No.30 di website komunitas Arus
Pelangi yang banyak mendapatkan protes dari warga
setempat. Kemudian permasalahan ini diselesaikan
dengan peringatan bahwa pihak Arus Pelangi harus
mengganti alamat lokasi keberadaan sekertariat mereka,
agar nama wilayah Tebet Utara tidak tercoreng.
“…Dulu juga pernah ada yang ngadu ke
saya. Dia pakai website alamat sini kan Tebet
Utara IIIA. Saya tegur langsung, coba yang di
google itu dihapus tuh alamat di situ. Nah jadi
langsung tuh dihapus sama dia tidak memakai
alamat sini. Terang-terangan tuh di google LGBT
Tebet Utara IIIA No.30, kan jadi mengganggu
kita.” 10
Meski banyak penolakan serta pengaduan dengan
adanya komunitas Arus Pelangi di lingkungan tersebut,
akan tetapi hingga saat ini peneliti melihat tidak ada
tindak lanjut yang dapat dilihat secara signifikan. Seperti
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Bagus.
97
yang dikatakan oleh Bapak Nyoto Ketua RW 002 Tebet
Utara.
”…..Jadi kita udah mau dia pergi dari sini.
Ternyata Kelurahan dan Kecamatan tahu dan diam
saja.”11
Dalam lingkungan masyarakat di Tebet Utara III
sendiri banyak tindakan yang telah dilakukan sebagai
upaya pencegahan tindakan atau perilaku yang melanggar
aturan agama dan sosial. Walaupun banyak dari
masyarakat yang tidak setuju dengan keberadaan LGBT
di lingkungan mereka yaitu di Jalan Tebet Utara III, akan
tetapi sampai saat ketika penulis melakukan pengamatan
terlihat tidak ada tindakan diskriminasi atau kekerasan
yang dilakukan oleh warga sekitar. Dan juga keberadaan
kelompok LGBT tersebut telah disetujui oleh pihak
Kelurahan maupun Kecamatan.
“Iya sebenernya mah ya ga setuju lah ya.
Tapi mereka kan izinnya langsung sama yang
lebih tinggi tingkatnya, kelurahan misalnya. Atau
lembaga yang lebih tinggi lagi. Jadi kita ga bisa
berbuat apa-apa, gitu.”12
11
Wawancara Pribadi dengan Ketua RW 02. 12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Bagus
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pengamatan mengenai
komunikasi antar kelompok Komunitas Arus Pelangi
dalam penerimaan jati diri mereka sebagai LGBT di
lingkungan Tebet Utara III, dapat disimpulkan dari hasil
penelitian yang dilakukan yaitu komunikasi yang
dilakukan oleh komunitas Arus Pelangi menggunakan dua
proses komunikasi yaitu komunikasi secara premier dan
sekunder. Kemudian ditahap identifikasi komunikasi
kelompok, Arus Pelangi memiliki bentuk komunikasi
kelompok deskriptif dan masuk ke dalam kategori
kelompok penyadar.
Proses komunikasi secara premier yang dilakukan
oleh anggota komunitas dapat dipahami lewat ekspresi
wajah dan gerak tubuh pada saat berbicara. Dengan
gerakan yang lemah lembut dan terkesan feminim yang
ditampilkan oleh anggota komunitas sebagai pendukung
dalam melakukan komunikasi. Sedangkan dalam proses
komunikasi sekunder ini anggota komunitas banyak
memanfaatkan jejaring media sosial untuk
mengkampanyekan atau mensosialisasikan kelompok
mereka kepada khalayak masyarakat luas. Penggunaan
media sosial juga menjadi penghubung anggota komunitas
untuk saling berinteraksi. Ketika saat menggunakan media
sosial salah satunya seperti Instagram, biasanya dalam
99
waktu seminggu sekali anggota komunitas Arus Pelangi
bertemu anggota lainnya dan mengadakan Insta Story
melalui aplikasi Instagram dengan beragam pembahasan
seputar LGBT.
Bentuk komunikasi kelompok komunitas Arus
Pelangi:
a. Tahap satu: Dalam tahap ini, untuk
menimbulkan kesadaran diri orang-orang yang
berkumpul di dalam kelompok harus terdiri
atas orang-orang yang mempunyai
karakteristik yang menjadi dasar
pembentukkan kelompok. Pada kelompok
komunitas Arus Pelangi anggota yang terdiri
dari kaum yang memiliki orientasi seksual
yang berbeda seperti lesbi, gay, biseksual dan
transgender.
b. Tahap dua: Ditahap kedua ini kelompok secara
intensif membicarakan tabiat “musuh”. Dalam
hal ini yang menjadi “musuh” yaitu orang-
orang yang mendiksriminasi dan melecehkan
kelompok-kelompok LGBT. Mereka secara
perlahan memisahkan diri dan membagi dunia
pada kelompok “homoseksual” dan kelompok
“heteroseksual”. Dalam pengamatan yang
dilakukan oleh penulis, tidak mudah untuk
membangun komunikasi dengan kelompok
LGBT, karena orientasi seksual yang dimiliki
100
berbeda dengan masyarakat pada umumnya
membuat tembok besar yang memisahkan
mereka dengan masyarakat lainnya.
c. Tahap tiga: Pada tahap ini, anggota
mempertentangkan nilai-nilai kelompok
mereka dengan nilai kelompok penindas.
Dalam tahap ini dapat dilihat adanya
perbedaan pendapat antara kelompok
komunitas LGBT dengan kelompok
masyarakat heteroseksual.
d. Tahap empat: Di tahap ini komunitas Arus
Pelangi bekerja sama dengan beberapa pihak
yang memiliki tujuan yang sama. Arus pelangi
sendiri bekerja sama dengan lembaga-lembaga
LGBT lainnya seperti SWARA, GAYa
Nusantara, dan lembaga LGBT lainnya. Arus
Pelangi sendiri sudah terkenal dikalangan
aktivis maupun komuitas-komunitas LGBT
lainnya
B. Saran-saran
Komunikasi merupakan unsur penting dalam
bersosialisasi dan menjadi faktor penting untuk
pencapaian tujuan yang diinginkan. Berdasarkn penelitian
yang penulis lakukan, melihat dari visi dan misi dari
komunitas Arus Pelangi yaitu terwujudnya tatanan
masyarakat yang bersendikan nilai-nilai kesetaraan,
berperilaku dan menghargai hak-hak komunitas LGBT
101
sebagai Hak Asasi Manusia. Serta membangun kesadaran
publik untuk mendorong penerimaan jati diri LGBT di
masyarakat. Maka tentunya saran ini bertujuan untuk
eksistensi komunitas Arus Pelangi menjadi jauh lebih baik
dan agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.
Menjalin interaksi dari ruang lingkup kecil yaitu
melakukan komunikasi dengan antar anggota kelompok
komunitas dan warga sekitar. Komunikasi antar anggota
komunitas dirasa tidak terlalu sering dalam ruang tatap
muka, sehingga perlunya pertemuan yang cukup intens
secara tatap muka agar apa yang menjadi tujuan
komunikasi dapat mudah dijalankan. Kemudian cara yang
dilakukan untuk membangun interaksi dengan warga
sekitar adalah dengan bertegur sapa dan berbaur dengan
warga di lingkungan Tebet Utara III, yang mana wilayah
tersebut merupakan tempat sekertariat dari Arus Pelangi
berada. Hal ini bertujuan agar kelompok komunitas
tersebut tidak meninggalkan kesan negatif dan dapat
sedikit demi sedikit menghilangkan stigma-stigma yang
selama ini dilekatkan pada LGBT. Kemudian harus dapat
berkontribusi dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak
RW maupun RT setempat.
Seharusnya komunikasi yang dilakukan tidak
hanya melalui ruang publik terbuka saja, namun perlunya
pendekatan-pendekatan dari lingkup terkecil seperti
masyarakat disekitarnya. Sehingga keberadaan kelompok
LGBT tidak hanya diterima oleh kalangan-kalangan
103
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif. Depok: RajaGrafindo, 2015
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana, 2010
………………., Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2014
Berger, Charles R. dkk. Handbook Ilmu Komunikasi, terjemahan
oleh Derta Sri Widowatie “The Handbook of
Communication Science” (USA: Wadswoth, 2011).
Bandung: Nusa Media, 2014
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Hukum ,
Keadilan, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Lajnah
Pentasihan Mushaf Al Qur’an, 2010
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:
RajaGrafindo, 2007
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi. Bandung:
Rosdakarya, 2007
Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009
Goldberg , Alvin A. dan Larson, Carl E. Komunikasi Kelompok:
Proses-proses Diskusi dan Penerapannya, terjemahan
oleh Koesdarini Soemiati dan Gary R. Jusuf. Jakarta: UI
Press, 2006
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Salemba Humanika, 2012
Hidayat, Komaruddin. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta:
Mediacita, 2001
Junaedi, Didi. Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-Qur’an.
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016
Liliweri, Alo. Komunikasi Antar-Personal. Jakarta: Kencana,
2015
104
Morissan. Teori Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2014
Murni, Ayu Widia Setia. “Peranan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) Dalam Mengawasi Tayangan Berkonten Lesbian,
gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Pada Program
Pesbuker ANTV”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017
Muthmainnah, Yulianti. “Hak Asasi Manusia LGBT dalam
Kebijakan Dalam Negeri Indonesia”. Jurnal Perempuan
Vol. 20. no. 4 (November 2015): h. 143-144
Mas’udi, Masdar Farid. “Demokrasi dan Islam”. Dalam M.
Masyhur Amin dan Mohammad Najib, ed. Agama,
Demokrasi dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: LKPSM
NU DIY, 1993: h. 10
Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001
Pulungan, J. Suyuti. Universalisme Islam. Jakarta: Moyo Segoro
Agung, 2002
Riswandi. Ilmu Komunikasi. Jakarta: Graha Ilmu, 2009
Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007
Susanto, Astrid S. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Binacipta, 1988
Siahaan, Jokie MS. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi.
Jakarta: Indeks, 2009
Sinyo. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: UPDM, 2003
105
Widjaja, H.A.W. Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000
Wood, Julia T. Komunikasi Teori dan Praktik (Komunikasi dalam
Kehidupan Kita), terjemahan oleh Putri Aila Idris. Jakarta:
Salemba Humanika, 2013
Internet
Ayub. “Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologi dan
Teologis).” Artikel diakses pada 13Juni 2017 dari
https://thisisgender.com/penyimpangan-orientasi-seksual-
kajian-psikologis-dan-teologis/
Diakses pada 28 Juni 2016 dari www.aruspelangi.org
Firmansyah, Teguh. “Kicauan Ulil Soal LGBT yang Picu
Kontroversi 2016.” Artikel diakses pada 10 Oktober 2016
dari www.republika.co.id
Fadly. “Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual 2008.” Artikel
diakses pada 10 Oktober 2016 dari www.arrahman.com
“Komunitas”. Artikel diakses pada 24 Juli 2017 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunitas
Jayadi, Ari. “Apa yang Dimaksud dengan Komunikasi Kelompok
(Group Communication)?.” Artikel diakses pada 13 Juli
2018 dari www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-
komunikasi-kelompok-group-communication/9000/
Mukhli, Zardy. “Sejarah Singkat LGBT Di Indonesia.” Artikel
diakses pada 20 Februari 2017 dari
https://www.scribd.com/doc/312328275/Sejarah-Singkat-
Lgbt-Di-Indonesia .
Noviandy. “LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas dan
Relasi Kuasa.” Vol. 2, No. 2, November 2012, h. 57.
Artikel diakses pada 6 Juni 2017 dari
http://noviandy.com/lgbt-dalam-konteks.pdf
106
Rakhmat, Ioanes. “LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan Temuan
Sains Modern 2016.” Artikel diakses pada 10 Oktober
2016 dari www.islamlib.com
“RUU KKG.” Artikel diakses pada 2 Oktober 2017 dari
http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-
content/uploads/2014/04/DRAF-RUU-KKG-Panja-9-
desember-2013-ke-Baleg.pdf
Rahmadsyah, Agung. “Seperti Apa Rupa Diskriminasi Terhadap
LGBT di Indonesia” Artikel diakses pada 10 Oktober
2016 dari http://www.jitunews.com/read/29750/seperti-
apa-rupa-diskriminasi-terhadap-lgbt-di-indonesia
Syalabi, Ahmad. “Mahfud MD Minta Gerakan LGBT Dilarang,
2016.” Artikel diakses pada 06 Oktober 2016 dari
www.republika.co.id
Swarjana, I Ketut. “Keperawatan Kesehatan Komunitas.” Artikel
diakses pada 10 Agustus 2017dari
https://books.google.co.id
Sabilillah. “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender”. Artikel
diakses pada 26 September 2017 dari
www.sabilillah.net/lgbt-produk-kesetaraan-gender
Soebagio, Rita. “LGBT dan RUU KKG.” Artikel diakses pada 27
September 2017 dari
www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z8
9-lgbt-dan-ruu-kkg
Yamhap, A. “Tinjauan Tentang Komunitas.” Artikel diakses
pada 26 Juli 2017 dari
http://digilib.unila.ac.id/272/8/Bab%20II.pdf
TRANSKRIP WAWANCARA
(Materi Pengayaan SOGIE)
Pewawancara : Suci Kurnia Kasih
Narasumber 1 : Ryan
Narasumber 2 : Andi
NS 1 : “Sebelumnya kita akan membahas tentang LGBT
sebagai subjek penelitian skripsi, tesis dan disertasi kan. Nah aku
akan memulai dengan breaking the tab dulu. Kita membongkar
ketabuan dulu dengan apa yang ada dipikiran teman-teman ketika
ngomong tentang orientasi seksual, identitas gender, ekspresi
geder, sebelum kamu memustuskan meneliti tentang hal ini.
Karena nanti diharapkan setelah ini seperti yang kakak jane
bilang bahwa ini bukan hanya LGBT sebagai objek penelitian
saja, yang diambil datanya lalu selesai gitu saja. Ini akan menjadi
refrensi bahwa LGBT ini bahwa LGBT faktanya seperti ini.
Pengetahuan yang sebenarnya tentang LGBT seperti apa. Jadi apa
yang teman-teman ketahui tentang orientasi seksual, identitas
gender, tentang ekspresi, tentang seksual, karakteristik dan
komponen tentang LGBT pada umumnya. Jadi apalah yang
sejelek-jeleknya, sekotor-kotornya yang teman-teman denger
tentang kita, kami sudah sering mendengarnya jadi ungkapkan
aja.”
PW : “Bingung kak.”
NS 1 : “Bilang aja, apa yang kamu ketahui, pikirkan tentang ini.
Prasangka, praduga.”
PW : “Prasangka yang menyimpang bahwa beda dari orang
lain.”
NS 1 : “Oke kita tulis disini menyimpang. Sebagian teman-
teman punya perasaan yang sama? Menyimpang?”
PW : “Iya kak.”
NS 1 : “Selanjutnya apa, menular, lalu dikucilkan, rishi atau
geli. Bisa ga dieksplorasi lebih jauh kenapa timbul perasaan ini?”
PW : “Karena mungkin aneh ya ka, belum terlalu paham dan
kenal juga pengetahuan tentang LGBT ini.”
NS 1 : “Jadi sebenarnya tidak paham ya?”
PW : “Iya benar, karena sudah tertanam ya pemikiran kalo
hanya ada heteroseksual yang benar.”
NS 1 : “Oke, mindset-nya sudah tertanam seperti itu, lalu
mindset apa yang suah tertanam dalah diri teman-teman?”
PW : “Iya kembali ke pemikiran tadi ka. Bahwa LGBT seperti
gay ataupun lesbi itu merupakan sesuatu hal yang menyimpang
dan salah gitu. Misal yang kita ketahui bahwa cowok dan cewek,
udh gitu aja. Kalo sama itu kan berarti menyimpang. Dan
mungkin dari sisi religi. Kalau dalam agam Islam pun ada tuh
cerita tentang Nabi Luth ya.”
NS 1 : “Oh berarti dosa ya, oke kita tampung.”
PW : “Mungkin juga distorsi mental ya, lebih ke
penyimpangan. Suatu perilaku yang menyimpang. Dan mungkin
ada yang bilang juga bahwa itu sakit jiwa.”
NS 1 : “Sakit jiwa?, oke kita tulis sakit jiwa. Oh bisa
disembuhkan tapi tidak pakai BPJS ya. Begitu? Bisa
disembuhkan ya.”
PW : “Bisa ka.”
NS 1 : “Berarti masih ada praduga bahwa ini sakit, berarti bisa
menular gitu ya. Sakit dan ini bisa disembuhkan gitu ya. Ada
lagi?”
PW : “Itu aja sih sepertinya kak.”
NS 1 : “Oke kita akan memulai dengan ini merupakan seksual
orientation, gender, identity, expression dan karakteristik ini
semua didiktor oleh manusia. Jadi kita akan membahas tentang
seksualitas manusia secara general yang ini di luar pemahaman
kita pada biasanya, di luar dari apa yang orang tua kita ajarkan,
yang orang ketahui tentang orientasi seksual manusia. Dan ini
akan menjadi luas dan mudah-mudahan kita bisa menerimanya
dengan kepala dingin dan hati yang hangat ya. Aku akan memulai
ini dengan gambar manusia ya. Di sini ada kelaminnya, ini ada
hati dan semuanya punya hati ya, lalu ada otak di sini. Kita akan
membahasnya mulai dari hal yang tabu dulu ya. Kelamin, apa sih
yang diketahui tentang kelamin?”
PW : “Alat vital kak.”
NS 1 : “Alat vital laki-laki dan perempuan, oke. Lalu pernah
mendengar ada yang punya dua kelamin kan. Nah itu biasa
disebut interseks. Tapi sebenarnya itu satu kelamin yang terlihat
seperti memiliki dua bentuk ya. jadi engga ada yang punya dua
kelamin itu. Nah terus apakah LGBT ini menyimpang?”
PW : “Karena mungkin tahunya dari dulu pas masih kecil
sampai suda remaja dan sampai sekarang tahunya ya laki-laki itu
ya sama perempuan dan sebaliknya ka. Jadi kalau ada yang
sesama jenis itu berarti salah.”
NS 1 : “Jadi gini ya, rasa suka atau cinta itu kan ga bisa kita
milih. Eh gue maunya sama laki-laki yang gini, gini kalau dianya
perempuan dan sebaliknya. Tapi kalau rasa itu tiba-tiba muncul
begitu saja, gimana. Nah gitu, dan karena kita sudah diajarkan
oleh masyarakat sama orang tua kita bahwa laki-laki itu harusnya
sama perempuan, perempuan harusnya sama laki-laki. Kalau di
luar itu katanya menyimpang, tapi ternyata banyak oang yang
kayak gitu gimana dong?”
PW : “Balik yang tadi berarti ka, rasa ketertarikan seseorang
itu. Jadi kalau dibilang menyimpang engga sepertinya ya ka.
Karena setiap orang punya hak dan mereka juga memiliki
perasaan dan kenyamanan tersendiri. Dia lebih nyaman dengan
laki-laki atau perempuan dan itu semua balik lagi ke orientasi
seksualnya dia tadi.”
NS 1 : “Oke, sepakat ya LGBT itu tidak menyimpang. Lalu
bagaimana dengan menular?”
PW : “Iya banyak yang mengatakan bahwa kalau bergaul
dengan LGBT nanti sikap dan gaya bakal nular jadi LGBT juga
gitu ka. Jadi ikut-ikutan.”
NS 1 : “Oke jadi menular karena misalnya pergaulan atau kamu
dekatnya dengan siapa. Teman-teman LGBT itu sepanjang
hidupnya dekat dengan orag tua. Orang tuanya heteroseksual lalu
apakah heteroseksualnya menular pada LGBTnya. Sepanjang dari
kecil hingga dewasa, anak-anak gay dan lesbian dekat dengan
orang tuanya. Bergaul dan melihat ayah dan ibunya setiap hari
yaitu laki-laki dan perempuan hubungannya ya.”
PW : “Kalau dibilang dari temennya gimana ka?”
NS 1 : “Berapa persen sih presentase pergaulan dengan teman.
Temannya juga selalu bertemu dengan orang tuanya. Orang
tuanya laki-laki dan perempuan, kok aku tetap suka laki-laki dan
kok aku sukanya sama perempuan. Jadi kenapa heteroseksual
tidak menular, sementara homoseksual menular.”
PW : “Kalau untuk menular itu persepsinya dua gitu buat aku.
Seperti temen-temen transgender gitu, dikucilkan. Apalagi orang
transgender itu kebanyakan garasi ekonominya di bawah rata-rata
ya, sepeti yang jadi pekerja seksual. Banci-banci yang suka
menjajakan diri gitu ya ka. Jadi yang namanya transgender itu
seperti banci tidak pernah lepas dari konteks itu gitu. dan untuk
masalah penularan itu juga bisa dikaitkan dengan sikap atau sifat
yang menular. Jadi kalau kita deket dengan LGBT kita bakal jadi
LGBT gitu juga.”
NS 1 : “Okeh, kita percaya bahwa nasib setiap orang berbeda-
beda. Tapi ini nasib kebanyakan dari teman-teman transgender,
mereka itu sudah terlihat dari kecil karena mereka merasa bahwa
dirinya perempuan dan berbeda dari apa yang mereka rasakan.
Mereka secara otomatis dari fisikal akan berusaha berdandan
seperti perempuan, kalau dia transgender perempuan ya. Terus
mereka bilang sama orang tuanya, atau sama orang-orang di
sekitarnya „eh nih aku perempuan, aku perempuan‟, kira-kira apa
reaksi orang-orang di sekitarnya. Pasti mengucilkan ya kan. Jadi
kebanyakan, dikucilkan itu masih mending ya, kebanyakan
teman-teman transgender perempuan atau laki-laki itu diusir dari
rumah diusia yang sangat muda. Lebih parah lagi dihukum,
disiksa. Mereka keluar dengan usia yang masih muda, otomatis
pendidikan mereka ga bisa lanjut, artinya pendidikan mereka
tidak tinggi. Otomatis mereka punya akses pekerjaan ga, dengan
pendidikan mereka yang saat ini. Itu salah satu keadaannya,
mereka ga dapet pekerjaan, itu satu. Dan di luar sana ada kriteria
kerja yaitu laki-laki atau perempuan, ketika transgender melamar
pekerjaann saya mencarinya laki-laki atau saya mencarinya
perempuan buka orang yang kata mba atau mas. Otomatis mereka
sudah gugur. Terus pekerjaan apa yang tersedia buat mereka.
Prostitusi, salon, pengamen, tiga pekerjaan dasar itu yang
dipunya oleh delapan puluh persen transgender di Indonesia atau
bahkan di dunia. Itu kenapa mereka dekat sekali dengan dunia
malam, kejahatan. Karena mereka hanya itu ruang yang tersedia
untuk mereka. Jadi kira-kira menular tidak?”
PW : “Tidak ka.”
NS 1 : “Jadi jangan takut-taku dekat dengan lesbi ya. kalau
menular kamu jadi lekong juga dong. Kalau dikucilkan pasti
sudah paham kan kenapa mereka dikucilkan. Lalu rishi geli
karena tidak tahu. Jadi sebenarnya kalau setelah sudah tau nih,
gimana.”
PW : “Biasa aja sih ka.”
NS 1 : “Masih ada rasa rishi dan geli?”
PW : “Ada sih ka.”
NS 1 : “Apa yang menyebabkan rasa rishi dan geli?”
PW : “Karena tingkah lakunya sih biasanya gitu. Dengan
kedekatannya sesama jenis, mengumbar kemesraan dengan
sesama jenis. Tapi ya hetero pun kalau saya melihat mesra-
mesraan di khalayak umum ya rishi sih ya.”
NS 1 : “Iya cowok ama cowok diliat mereka rishi ya, eh terus
jadi pengen haha.”
PW : “Oh jadi rishi karena ngiri gitu ya haha.”
NS 1 : “Iya jadi ngiri gitu ya. Jadi rishi lebih kepada kalau
bermesraan di depan umum ya. Bukan karena lesbian atau
transgender. Nah aku punya temuan yang menarik nih, rishi dan
geli itu biasanya kalau temen-temen cowok sih itu takut ditaksir.
Gimana? Iya apa engga.”
PW : “Iya biasanya begitu ka. Tapi ya kadang engga juga sih.
Layaknya orang hetero ada rasa suka dan tidak. Ga lantas yang
gay atau lesbi maen asal suka gitu aja kan.”
NS 1 : “Iya karena kebanyakan orang tuh ginis „ih gue takut deh
ditaksir gay‟, hey hey. Kadang dipuji ganteng sama gay aja
langsung „ih abis ini gue ditaksir deh‟. Iya seperti yang kamu
bilang tadi bener banget, cowok pun kalau kita engga suka kan
kita tolak ya dan kalau kita menolak siapapun, cowok atau
siapapun dia ga bisa milikin kita gitu ya. Jadi ya sama aja. Gue
tuh kadang pengen ihhh gitu, kok bisa mereka geer banget
pengen ditaksir sama kita. Nah kita sudah membahas tentang
seks, yang terkait secara prosedur tentang seks, terus kita belajar
tentang trasgender sampai dengan kekerasan struktural yang
dialami teman-teman transgender dan juga tentang orientasi
seksual. Nah kita tinggal ngebahas satu nih tentang bagaimana
kita mengekspresikan diri. Tentang ekspresi gender. Nah ekspresi
gender sebenarnya kalau kita bagi menjadi feminine, maskulin,
androgin tengah-tengah dan semua itu orang bisa punya ekspresi
beragam yang seperti itu, iya engga? Nah itu menjadi masalah
buat masyarakat, karena bullying itu penyebab orang di bully itu
bisa karena berat badan, dua karena ekspresi gendernya. Cowok-
cowok yang punya ekspresi gender feminim wah ga lepas dari
bully pas zaman SMA, iya engga. ”
PW : “Iya ka, dikatain bencong atau banci.”
NS 1 : “Nah. Padahal apakah laki-laki yang feminim itu mesti
gay. Ataukah perempuan yang maskulin itu lesbian. Jadi
spektrumnya berbeda-beda, terserah mungkin ah gue hari ini mau
tampil maskulin, besoknya mau tampil feminim atau androgini
ini spektrumnya sangat banyak sekali. Bahwasanya seseorang
tampil secara individual. Lalu apakah ini semua berhubungan
satu sama lain?”
PW : “Iya berhubungan.”
NS 1 : “Iya kalau menurut sosiality ini berhubungan, kalau
kamu punya penis kamu otomatis laki-laki. Kalau kamu laki-laki
otomatis kamu sukanya sama perempuan. Kalau kamu suka sama
perempuan otomatis maskulin dong, kalau ga kamu ga punya
pacar. Apakah seperti itu?”
PW : “Engga juga sih. Karena tetangga saya pun ada yang
pembawannya lemah lembut gemulai gitu ya, tapi ya punya anak.
Dia engga yang gay gitu sih, kadang orang suka salah persepsi
gitu.”
NS 1 : “Iya jadi ternyata seks akuristik seperti yang kita
bicarakan tadi, gender, orientasi seksual sama ekpresi gender ini
sama sekali tidak berhubungan. Ada yang punya penis tapi
merasa dia perempuan, sukanya sama perempuan
PW : “Tapi dikatakan orientasi seksual juga ga sih ka seperti
yang dijelaskan tadi. Kadang perempuan yang berpikir bahwa
„gue merasa seperti laki-laki‟.”
NS 1 : “Oh suci merasa kadang seperti laki-laki, loh gapapa ga
usah diketawain. Itu gapapa loh, itu kan perasaan yang random.
Itu bisa tumbuh dalam dirimu juga, perasaan itu juga bisa tumbuh
dalam dirimu atau dengan diri orang lain.”
NS 2 : “Itu karena dari kecil kita terbangun sama peran-pean
gender yang terbangun antara laki-laki dan perempuan. padahal
dalam kesehariannya misalnya pada saat kita bangun pagi itu
banyak sekali peran-peran gender yang bercampur aduk dalam
diri kita. Pada saat kita terlahir itu kita terparadigma oleh
lingkungan orang tua kita bahwa laki-laki peran yang sangat
berbeda banget dengan perempuan, hitam dan putih gitu. Ketika
seseorang mengerjakan ini adalah pekerjaannya laki-laki. Ketika
melakukannya yang ini adalah pekerjannya perempuan. Misalnya
kayak gini padahal dalam keseharian itu bisa mix dan match
dalam berbagai macam variasi. Kayak misalnya pada mulai saat
kita bangun tidur gitu loh. Contohnya saya ya, karena saya yang
paling mengenal diri saya sendiri. Misalnya ya, pada saat bangun
tidur terus bangun tidurnya karena jatuh gitu. terus tiba-tiba
„eeh..eeh.‟ ngondek gitu kan. Jadi kemudian dia jadi feminim
gitu. Terus abis itu ngulet, ngulet juga dengan gaya yang
ngondek, itu juga femenim juga. Terus kemudian pada saat sikat
gigi di depan kaca kayak manly banget, nah itu dalam kondisi
peran saya sebagai laki-laki. Itu sebenarnya berlangsung selama
satu hari. Karena saya tinggal satu rumah dengan pacar, akhirnya
pagi-pagi..biasanya sih dia yang masak. Misalnya ini contohnya
saya yang mask gitu ya, jadi ini kan harusya peran perempuan ya.
Jadi kita terlahir dengan paradigm yang hitam dan putih,
pekerjaan laki-laki dan perempuan. Padahal sebenarnya kan
mereka tidak berjenis kelamin ya pekerjaan itu. Tapi itu memang
dari kecil kita ditanamkan seperti itu hitam laki-laki dan putih
perempuan. Pokoknya gitu, kalau yang di tengah-tengah gitu
pasti dianggap salah gitu. Kita selalu kayak gitu, pilihannya ada
dua laki-laki perempuan, hitam putih, senang bahagia. Jadi
nempel semuanya seakan-akan semua hal jadi berkelamin gitu
kan. Itu yang diajarin ke kita semenjak kita lahir. Jangankan dari
lahir ya kita masih di dalam kandungan aja, pada saat USG
misalkan kemudian dokter bilang „wah ada bentuk-bentuk seperti
ini laki-laki‟ udah di judge gitu. Terus pada saat lahir keluarnya
perempuan gitu. Terus kita baru keluar dari rahim ibu kemudian
dokter bilang perempuan. Wah ibunya langsung mikir pas udah
gede harus ketemu cowok yang tajir kaya segala macem.
Langsung ditempelin bahwa dia harus dengan cowok gitu. dia
harus jadi perempuan yang patuh sama orang tua, rajin kerja.
Pokoknya bahkan pada saat beberapa menit kita lahir, segala
macam peran sudah menempel di diri kita. Karena apa, karena
bentukan seks itu tadi. Kita hidup dalam masyarakat sosial
banyak dengan norma yang lahir yang timbul dari situ, yang
memang tujuannya untuk membuat kita jadi yang beradab.
Norma dan aturan-aturan itu kan buat kita beradab benernya, tapi
karena ada banyak campuran-campuran kayak misalnya yang
akhirnya itu berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadap
personal individu. Membuat kita merasa bahwa saya laki banget
gitu karena peran yang kita lakukan pada saat itu terparadigma
sebagai pekerjaan laki-laki atau perempuan.”
NS 1 : “ Jadi gitu. Nah terakhir untuk soal dosa ya aku kurang
ekspert deh untuk memutuskan soal dosa atau apalah. Tapi
bagaimana pendekatan LGBT tentang agama itu saya tidak
terlalu. Bukan ranah kita juga, bukan gitu sih sebenarnya tahu-
tahu aja gitu. mungkin bisa didiskusikan.”
PW : “Untuk dosa lebih ke urusan yang di atas lah ya.”
NS 1 : “Kalau ingin mendalami mungkin bisa membaca
beberapa artikel dibuku ya, aku nanti juga akan baca-baca juga.”
NS 2 : “Kalau yang tadi kan kita bahas manusianya ya, dilihat
dari sisi keilmuannya ya hal-hal yang saintifik gitu. Bahwa oh
ternyata dalam mempelajari LGBT atau SOGIE perspektifing
yang membangun gitu. Ini adalah pendekatan ilmiah gitu ya, tapi
kemudian realitanya kita hidup dalam masa di mana kita juga dari
lahir sudah tertempel dengan norma dan aturan. Salah satu norma
adalah aturan norma agama, yang kadang bukan karena tidak
menjelaskan gitu tapi belum cukup untuk punya bahasa yang
lebih melingkupi banyak hal tentang keilmuan tertentu misalnya
kaya gitu. Makanya itu kadang dianggap berbenturan dengan
agama. Padahal menurut ku sebenarnya tidak berbenturan tapi
bahasa yang digunakan oleh konteks keagamaan mungkin
dipertahankan lebih tertutup supaya, kan agama selalu
mengkhawatiri ketika keluar dalam konteksnya itu akan menjadi
penyebab dosa atau mendekati dosa gitu. Akhirnya si agama ini
menutup diri untuk konteks tertentu salah satunya keagamaan,
dosa dan segala macamnya. Padahal kalau kita tahu dalam ini kita
bicara dalam hal-hal yang lebih general ya. Bagi teman-teman
yang percaya dengan Tuhan, bahwa Tuhan pasti tidak
menciptakan ciptaan yang salah, setuju apa engga?”
PW : “setuju.”
NS 2 : “Menciptakan sesuatu yang sempurna menurut manusia.
Jadi Dia tidak pernah salah menciptakan sesuatu. Terus yang
kedua, Tuhan mengirimkan agamanya ke bumi ini pasti untuk
tujuan kebaikan untuk semuanya. Setuju atau engga. Yang artinya
itu berlaku general termasuk LGBT ya kan. Kalau misalnya ini
berlaku kecuali LGBT berarti Tuhan diskriminatif, padahal
Tuhan tidak diskriminatif kan. Nah ketika ini ada di masyarakat
kenapa kemudian akhirnya muncul yang seakan-akan agama itu
bertentangan dengan LGBT yang apalagi itu makhluk ciptaan
Tuhan juga. Ini lahirnya dari Tuhan atau dari manusianya.
Berarti kalau seperti itu Tuhan membuat ciptaan seaka-akan gagal
gitu. Padahal Tuhan itu maha sempurna dan tidak mungkin
menciptakan Sesuatu produknya yang gagal. Lalu kalau kita lihat
bagaimana dengan orang-orang difabel. Nah itu kita tidak bisa
bilang itu sebagai kegagalan kan, bukan kan. Jadi hal berikutnya
ketika yang kita terkait dengan dosa juga saya kadang
menggunakan kata-kata gini agama itukan hal-hal yang harusnya
diterapkan secara personal ya, tapi kemudian sekarang masuk ke
ranah politik masuk ke ranah-ranah di mana kita boleh menilai
seseorang. Kayak misalnya sebutan dosa itu yang menyebut
Tuhan atau manusia. Jadi sebutan dosa itu sebenarnya lahirnya
dari manusia. Padahal yang punya hak untuk menjudge seseorang
berdosa atau engga siapa, Tuhan kan. Jadi kita sudah bercampur
aduk ini dengan judgemennya manusia atau judgemennya Tuhan,
udah tercampur aduk di situ. Sampai akhirnya tercampur aduklah
antara LGBT itu berdosa atau engga gitu, karena apa, karena kita
masih terelasi masih seperti itu, norma-norma yang ada di
masyarakat kita yang belum bisa memisahkan antara „ini haknya
Tuhan loh untuk menilai seseorang dan ini hak manusia untuk
membimbing seseorang‟ misalnya gitu. Kita udah engga bisa
memisahkan itu, jadi seakan-akan pada saat orang punya
kesempatan utnuk membimbing orang lain misalnya tokoh agama
pastur, pendeta, ustadz yang punya hak untuk membimbing
manusia untuk menjadi lebih baik sometimes dia menggunakan
fungsi Tuhan untuk menilai orang lain, yang akhirnya menurut
personali ini sudah melampaui batas fungsi dia. Padahal fungsi
dia membimbing orang lain utnuk menjadi lebih baik kan, tapi
kemudian ada beberapa tapi tidak semuanya saya yakin ada
banyak pendeta atau pastur yang justru open minded tapi ada
bberapa yang menggunakan fungsi Tuhan, dia menjalani fungsi
bimbingannya itu yang saya lihat dalam konteks sosial
masyarakat kita kayak gitu. jadi judgemen dosa itu lahir dari
manusia, bukan Tuhan.”
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber (NS) : Ir. Rahmi Purnomowati MSi
Lembaga : Ketua Pusat Studi Gender dan Anak
Pewawancara (PW) : Suci Kurnia Kasih
Hari/Tanggal : Rabu, 25 Oktober 2017
PW : “Apa yang disebut dengan kesetaraan gender?”
NS : “Jadi kita berangkat dulu dari pengertian gender kemudian baru tentang kesetaraan.
Tesminologi gender yang kita sepakati dan yang saya gunakan, saya jadikan sebagai
acuan. Gender adalah relasi sosial. Jadi bukan jenis kelamin. Dimana yang melibatkan
laki-laki dan perempuan itu dapat memiliki peran yang saling mempertukarkan.Dan itu
sesuai dengan adat istiadatnya, dengan budayanya dan dengan masa berlakunya.
Terakhirnya itu seperti itu. Supaya bisa dibedakan nanti karena sesuai kesepakatan.
Kemudian kesetaraan. Kesetaraan adalah kondisi di mana di antara laki-laki dan
perempuan masing-masing memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk
melakukan fungsi-fungsi sosial. Jadi kesamaan peluang, kesempatan, dan kedudukan baik
laki-laki dan perempuan di mata hukum, pemerintahan, perekonomian, pendidikan. Itu
adalah kesetaraan. Jadi kesetaraan gender itu adalah kondisi dimana suatu masyarakat
yang memiliki tataran sosial. Di mana laki-laki dan perempuan bisa saling
mempertukarkan peran sosialnya yang sama kedudukannya di depan hukum untuk
mendapatkan akses pendidikan, partisipasi politik, keuangan dan peran-peran dalam
sosial kemasyarakatan yang lain. Dan di mana pertukaran itu disepakati oleh hukum,
adat, aturan, dan zaman pada saat itu. Sehingga gender sangat menjunjung local wisdom
yaitu kebijakan lokal atau kearifan lokal. Sehingga ketika berbicara gender di timur dan
di barat dalam aplikasinya bisa berbeda, tapi value-nya sama. Yaitu untuk mendorong
kesetaraan. Tapi kan tidak bisa kita memaksa orang Jawa akan sama dengan orang
Sulawesi. Karena berbeda budayanya dan tidak bisa dipaksakan, nanti akan patah.
Menekuk tapi tidak patah. Menekuk tapi lentur itu strategi dalam gender. Tidak
memaksakan, tapi intinya satu bahwa laki-laki ataupun perempuan bisa berperan yang
sama dibidang sosial, hukum, politik, pendidikan, ekonomi, sama peluang kesempatan
dan bisa saling bertukar. Contohnya perempuan boleh menduduki parlemen, boleh
sebagai kepala negara dan semua jabatan yang terkait dengan sosial kemasyarakatan. Dan
laki-laki juga tidak tabu ketika harus membawa anaknya ke posyandu. Ketika laki-laki
melakukan fungsi parenting. Dan sebaiknya, kalau perempuan kemudian melakukan
fungsi katakanlah memasak, mengurus keluarga itu tidak kita katakan kodrat perempuan.
Karena fungsi itu dapat dipertukarkan. Itulah fungsi gender. Yang namanya kodrat adalah
suatu kondisi di mana itu given. Tidak bisa mengelak perempuan dari haid, hamil, dari
menyusui dan melahirkan. Dan itu mau dipaksakan laki-laki itu tidak bisa haid. Mau
diganti jenis kelamin, dibikin rahim buatan itu tetap tidak akan bisa. Itulah kodrat dan
itulah jenis kelamin. Digender ini jangan kacau dengan jenis kelamin. Jenis kelamin
terkait dengan fungsi reproduksi. Kalau gender terkait dengan fungsi sosial. Jadi saya
gariskan tidak ada yang namanya gender ketiga. Gender ya cuma dua. Gender itu fungsi
sosial. Kalau kamu mau mencoba menerima jenis kelamin ketiga jangan bawa-bawa
gender. Karena itu jenis kelamim. Jadi salah ketika orang bilang gendernya apa? Laki-
laki atau perempuan? Itu salah kaprah. Jenis kelamin bukan gender, itu berbeda. Karena
jenis kelamin terkait reproduksi yang membedakan keduanya. Kalau gender merem tidak
peduli perempuan atau laki-laki itu bisa dilakukan bertukar-tukaran. Bu Rahmi bisa ngga
benerin listrik? Oh bisa, manjat pohon kelapa? Bisa. Lalu bisa tidak suami saya masak, ke
pasar mengantar ke posyandu? Ya semua itu bisa asal dia ridho, ikhlas dan mau
melakukan. Cuma ada nanti pandangan masyarakat. Sesuai dengan pandangan
masyarakat, adat, budaya, dan zaman. Karena ada masyarakat yang tabu. Laki-laki tidak
boleh masuk ke dapur. Perempuan tidak wajib cari uang. Kan tidak ada dalil-dalil seperti
itu, itu hanya kebiasaan. Itu hanya sudut pandang. Dan itu bisa dipecahkan dengan
memberikan penyadaran, dengan memberikan advokasi. Itu namanya gender advokasi.
Tapi kalau namanya jenis kelamin tidak bisa. Mau seperti apapun perkasanya seorang
perempuan pasti dia punya rahim. Ada tidak orang yang lahir tidak punya rahim dan itu
dikatakan perempuan? Tidak ada. Namun jika bicara hormon beda lagi. Karena ternyata
ada yang punya rahim tapi hormonnya hormon laki-lakinya yang lebih banyak. Itu beda
lagi dan itu terkait struktur otak. Itu ke neurosains.”
PW : “Apakah konsep kesetaraan gender saat ini sudah sesuai dengan ajaran agama Islam?”
NS : “Islam ini agama pertama yang saya tahu yang mengusung kesetaraan gender. Tetapi
gender dalam terminologi ini berbeda dengan feminism. Feminism berarti feminis-ism.
Ism adalah suatu paham, pemikiran. Feminim adalah perempuan. Pembelaan terhadap
hak-hak perempuan, menurut keperempuan. Dan ini ada sejarahnya kenapa sampai lahir
ism. Dan ini tidak berawal di Indonesia kan. Tidak berawal di negara Islam kan. Karena
konteksnya Islam maka saya tidak membawa feminism. Karena dalam sejarah Islam tidak
ada pemberontakan perempuan terhadap aturan Islam. Justru Islam hadir itu untuk
memuliakan perempuan. Bisa kita lihat sejarahnya ketika zaman jahiliyah bayi
perempuan dikubur. Perempuan tidak boleh ini tidak boleh itu. Perempuan disiksa,
dinikahi tanpa jelas. Tapi dengan Islam, perempuan itu sangat setara dengan laki-laki.
Namun setara dengan sama itu beda. Adil itu tidak harus sama. Gender dalam agama
Islam tentu kamu akan merefer selain kepada kitab juga kepada hadits. Hadits itu apa?
Perkataan, ucapan, tindakan Rasulullah yang di riwayatkan oleh sahabat. Sekarang,
Rasulullah itu siapa istrinya? Khadijah. Khadijah adalah saudagar lintah jazirah Arab.
Artinya Khadijah memiliki ilmu ekonomi, ilmu strategi managemen, ilmu bisnis. Artinya
dia orang pintar. Dan itu artinya perempuan dalam Islam boleh jadi pemimpin ekonomi.
Lalu ketika dia dinikahi oleh Rasulullah, apakah Khadijah lantas hanya menjadi ibu
rumah tangga? Tidak, tetap mengembangkan bisnisnya dan itu diinfakkan untuk ke
Rasulullah. Kemudian yang kedua, dalam keluarga Rasulullah beliau mengatakan bahwa
anak-anak dididik untuk memanah, berkuda dan berenang. Apakah beliau mengatakan
anak laki-laki saja? Tidak. Fatimah dan Aisyah itu rajin berkuda, memanah dan berenang.
Artinya dalam Islam itu laki-laki dan perempuan adalah sama. Dalam Islam gender itu
sudah selesai. Tidak ada pertentangan peran gender. Kalau nanti digugat bahwa Islam
membedakan laki-laki dan perempuan. Itu bukan membedakan. Itu aturan yang memang
sengaja dibuat supaya menjadi pedoman. Supaya tidak terjadi kekacauan. Misalnya
hukum waris dua banding satu. Tapi hak dan kewajibannya beda. Laki-laki dapat warisan
dua perempuan satu. Tapi laki-laki wajib memberikan nafkah. Laki-laki masih berhak
menyantuni ibunya. Kenapa? Karena dia lebih besar. Lalu kenapa hukum wali harus laki-
laki kenapa bukan perempuan. Itu untuk melindungi sehingga anak ini terhormat. Karena
dari satu rahim itu bisa berasalah dari banyak seperma. Justru itulah untuk melindungi
nasab atau garis keturunannya. Jadi sesuai dengan Islam. Iya, Islam sangat ramah dengan
gender. Jadi di gender kita tidak hanya membela laki-laki saja atau perempuan saja. Di
dalam pendekatan gender kita berpihak kepada yang dirugikan. Yang menerima ketidak
adilan.”
PW : “Bagaimana tanggapan anda mengenai Draft RUU KKG?”
NS : “Ya positif. It‟s oke kalau buat saya. Cuma nanti harus dikaji lagi. Jangan sampai dia
hanya menguntungkan perempuan. Karena laki-laki juga perlu dibela. Karena ada juga
kekerasan yang dialami laki-laki dalam rumah tangga. Hanya saja laki-laki dibekam
dengan adat. Bahwa kalau laki-laki banyak omong dibilang ember. Laki-laki banyak
bicara dibilang punya mulut kayak perempuan. Laki-laki juga manusia biasa kan. Jadi
yang namanya ketidakadilan tuh sama. Dialami oleh laki-laki dan juga perempuan. Cuma
kan kita berbicara data. Datanya kurang, laporan laki-laki kurang. Laki-laki lebih banyak
diam saja deh, sabar kalau dicerewetin. Atau kalau sudah sangat tidak tahan dia
selingkuh. Kasus perempuan dipukul suaminya mengadu ke polisi sudah banyak kan.
Tapi berapa banyak laki-laki yang disiksa istrinya mengadu. Tidak ada, karena malu.
Tapi mungkin lima belas tahun lagi akan terbiasa. Sudah mulai kenal dengan kesadaran
gender. Laki-laki kasihan nanti. Itu anak-anak kita dari sekarang dan ini sampai LGBT
nanti. Malihat perempuan sekarang berkuasa dan laki-laki banyak yang tertindas kan. Itu
kemudian dalam otaknya dari kecil dia akan kasihan sama ayahnya dan sebel sama
ibunya. Akhirnya secara tidak langsung dia sianak tersebut menjadi LGBT dan dia
cowok. Dan sebel sama cewek karena didominasi sama ibu, dan bapaknya lemah. Jadi
dari kecil dia tidak ingin melihat laki-laki seperti bapaknya, lemah. Dan dia jadi sebel
sama perempuan karena bercermin kepada ibunya yang powerfull. Perempuan itu
cerewet, ngatur dan laki-laki kok bertekuk lutut terus. Ketika dia sudah dewasa dikampus
bertemu dengan orang yang keren-keren. Dia berpikir bahwa laki-laki disini keren, gagah
dan tidak lemah seperti bapaknya. Dan akhirnya dia jatuh cinta. Tanpa dia tidak sadari
awalnya dari situ, simpati. Karena dia membandingkan dengan ayahnya. Kemudian dia
tertarik. Jadi kasus LGBT itu macam-macam. Tapi sebagian besar saya melihat kasus
LGBT itu diawali dari pendidikan, pengalaman sejak kecil sampai masa dia bertumbuh.
Ada yang keluarganya harmonis tapi lingkungan ditarik. Dan karakternya sudah lemah.
Maka perlunya pendidikan karakter dirumah. Pendidikan anak laki-laki dan anak
perempuan. Sehingga dari kecil sudah terdoktrin laki-laki itu seperti apa dan perempuan
seperti apa. Maka pentingnya anak laki-laki dan ayahnya itu harus dekat. Dan laki-laki
harus kagum sama ayahnya. Sehingga ketika dia sudah besar dia memiliki figur dan
sebagai laki-laki harus seperti apa.”
PW : “Apakah hal yang memicu pertumbuhan kelompok LGBT ?”
NS : “Memicu perkembangan LGBT tentu sa;ah satunya media sosial, media televisi.
Kemudian seperti klab-klab, perkumpulan-perkumpuan gitu, lalu sosialita, fitnes center.
Dan memang dari kelompok LGBT itu sendiri mereka mencari pengikut. Dan mereka
ingin menyebarkan bahwa hal itu dilegalkan.”
PW : “Faktor apa yang menyebabkan seseorang menjadi seorang LGBT?”
NS : “Kompleks. Ada yang memang, kata teman saya ada yang genetik DNAnya ada . karena
memang sudah diotaknya cenderung tertarik. Tapi itu kecil. Teman saya ada yang
neurosains di Amerika dan ada yang di Jakarta. Kecil yang dari keturunan dan rata-rata
karena lingkungan. Lingkungan yang paling dekat adalah ketika masa kecil mengalami
masa pertumbuhan dengan orang terdekat dengan bapak dan ibu. Dari ketimpangan relasi
sosial atau relasi seksual antara bapak dan ibu. Punya pengelaman membentuk sikap.
Sikapnya terbentuk, pengalamannya terbentuk di dalam memori kemudian change,
merubah pemikiran. Itu kenapa saya tidak mau LGBT diblow up. Lama-lama orang
penasaran, cari-cari tahu, terus nyobain-nyobain akhirnya oh tidak apa-apa ya dibuat enak
saja. Itu kompleks ya. Terutama ada faktor lingkungan. Lingkungan sejak dia masih kecil
pembentukkan karakter. Lingkungan dia tumbuh berkembang. Karena banyak yang
menjadi LGBT atau homo itu setelah umur empat puluh tahun ke atas.”
PW : “Lalu jika dilihat dalam draft rancangan RUU KKG dan saya membaca artikel yang
mengatakan bahwa hal itu menjadi salah satu jalan untuk pelegalan LGBT?”
NS : “Nah itu yang harus disaring nanti. Tapi LGBT ini kan sekarang masuknya kapitalisme
banget kan. Banyak yang berkepentingan dengan isu LGBT ini. Jerman, Amerika,
Kanada sudah menyutujui. Kalau Indonesia engga, di luarnya HAM. Makanya jati diri
pendidikan karakter itu harus jelas.”
PW : “Apa indikasi seseorang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis?”
NS : “Ya tertarik saja. Senang melihat cewek cantik. Senengnya ada ser-nya gitu. Kalau saya
kan senang sama Laudia Cyntia Bela karena dia kalau pakai jilbab bagus ya. Pingin deh
pakai jilbab seperti dia. Pingin seperti dia gitu. Tapi kalau ini beda, ingin memiliki.
Pingin mencium. Ingin selalu di dekatnya. Beda sama ngfans sama artis gitu. Ketertarikan
seksual dan posesif.
PW : “Apakah hal tersebut berlaku untuk anak-anak?”
NS : “Bisa anak-anak. Tapi anak-anak biasanya kan masih murni. Kecuali lingkungan yang
membentuk. Biasanya kalau dikondisikan atau memang ada gerakan untuk menularkan
ke anak-anak ya bisa. Makanya saya ke pendidikan keluarga.”
PW : “Bagaimana cara untuk mencegah tindakan homoseksual terhadap anak-anak?”
NS : “Mencegah tindakan homo ya dengan itu tadi, sejak sedini mungkin memperkenalkan
kepada anak-anak konsep diri tentang laki-laki dan perempuan. Dan juga tentang
pembagian gender. Pembagian gender bukan pembagian laki-laki dan perempuan, tapi
pembagian peran.”
PW : “Banyak perdebatan tentang fenomena LGBT, apakah anda termasuk kedalam pro atau
kontra? Alasannya?”
NS : “Saya tidak mau menyebabkan pro dan kontra. Karena ini sangat normatif. Tapi lebih
ingin menempatkan LGBT sebagai kajian akademis. Yang ujung-ujungnya tetap akan
untuk ketahanan bangsa. Karena LGBT kalau di Indonesia akan mengoyak ketahanan
bangsa. Akan banyak yang kontranya kan. Dan kita tidak ingin semacam itu. Dan bangsa
ini dari dulu sudah jelas, bapak, ibu dan sebagainya. Maaf, zaman saya kecil istilah
bencong atau lainnya. Kalau sekarang tidak mau dibilang bencong tapi LGBT. Itu kan
halus saja. Jadi bagaimana kalau menolak pernikah sejenis, mungkin lebih enaknya
seperti itu, bukan LGBT. Saya menolak pernikahan sejenis. Kata LGBT soalnya bisa
tergantung penafsiran masing-masing. Tapi untuk beberapa kondisi khusus aku tidak bisa
memaksa. Misalnya ada kasus seorang laki-laki yang tidak bisa menjadi laki-laki lagi dan
dia ingin memakai jilbab dan segala macam. Seperti Dorce gitu ya, dia kan transgender.
Kalau seperti itu masa mau saya bunuh. Kan tidak bisa seperti itu. Kita tetap bersahabat.
Sebagai manusia tetap berhubungan baik. Tapi kita bilang sama anak-anak kita dan
lingkungan kita itu tidak baik. tidak benar dan jangan diikuti. Jangan „ah tidak apa-apa‟.
Nah jangan seperti itu, nanti kan jadi mempromosikan. Dan bu Dorce setelah dia jadi
perempuan kan dia berusaha untuk jadi muslimah benar. Tidak mengajak waria-waria
yang dijalan itu kan. Perlu ada preventifnya.”
PW : “Bagaimana cara pencegahan perilaku homoseksual dikalangan mahasiswa?”
NS : “Nah jelas adalah dengan menegakkan nilai daripada institusi itu sendiri. Pengawasan
bersama. Dari teman saling mengawasi teman, prodi, dosen, pegawai. Kalau ada gejala
seperti itu segera ditindak. Dan ditindak itu tidak harus dikeluarkan. Diajak ngomong dan
sebagainya. Dan buffer, jangan sampai itu menjadi menular.”
Jakarta, 20 November 2017
Mengetahui,
Ir. Rahmi Purnomowati MSi
Doc. blogcp.sttjakarta.ac.id/?listing=arus-pelangi
Doc. blogcp.sttjakarta.ac.id/?listing=arus-pelangi