Post on 20-Feb-2023
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
i
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
ii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis
Volume 2 Nomor 2 (Februari 2021)
Tema Hukum Islam (Bulan Kedua)
Pemimpin : Ivan Drago, S.H.
Supervisor : Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.
Editorial : Juan Maulana Alfedo, S.H.
Andriani Larasati, S.H.
Okta Zeruya Samdra Pandapotan, S.H.
Desain : Jacky Leonardo
Tata Letak : Ruth Hasiana Menda Nainggolan
Mitra Bestari : Nurul Ula Ulya, S.H., M.H.
Kontributor : Ahmad Habib Al Fikry
Desi Fitriyani dkk.
Dian Kurnia Hayati
Nabilah Anika dkk.
Josua Satria Collins
Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis
Klinik Hukum Rewang Rencang
Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142
Telp: 087777844417
Email: jhlg@rewangrencang.com
Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/
Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya
(Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
iii
DISTRIBUTION PARTNERS
Official Partners
IPMHI
Rep: Isti Latifah Astri
(About Partner)
KRD FH UMM
Rep: Bayu Aji Satria
(About Partner)
FOSIL FH USU
Rep: Friska Nadia Ananda
(About Partner)
KPJ FH UR
Rep: Rifqi Anugrah Tama
(About Partner)
PUKASH FH UMM
Rep: Muhammad Raihan Iman
(About Partner)
KSHI FH UNDIP
Rep: Norma Lathifatunnisa
(About Partner)
FK2H FH UNEJ
Rep: Vicko Taniady
(About Partner)
KSPD “Verfassung” FH UMS
Rep: Anis Khairiyah
(About Partner)
LKHI FSH UIN SUSKA
Rep: Mhd. Jundi Zia Ulhaq
(About Partner)
FKPH FH UB
Rep: Lintang Rachmi A.
(About Partner)
LIMTARA FH UNTIRTA
Rep: Azi Ferdinandi Kusnandi
(About Partner)
LRD FSH UINWS
Rep: Adinda Agis F. C.
(About Partner)
Individual Partners
1. Monique Alya Sutanto (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
iv
DAFTAR ISI
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam ..................................................................................... 88
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif ....................................................109
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004) ........................................................................................................121
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam .....................................142
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli ...............................................174
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
v
KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG
Masjid Istiqlal sejak pertama kali dibangun dan diresmikan, hingga detik ini
merupakan Masjid terbesar di Indonesia sekaligus Asia Tenggara. Masjid Istiqlal
memiliki arti “Merdeka” dalam Bahasa Arab. Salah satu bentuk syukur Indonesia
atas kemerdekaan yang telah diraih oleh negara ini. Bahkan saya juga terkesima
mengetahui bahwa terdapat makna toleransi dan persahabatan dalam
pembangunan Masjid nan megah ini, karena arsiteknya tak lain dan tak bukan
adalah Frederich Silaban, seorang Kristen Protestan. (Sumber)
Akhirnya di kesempatan yang baik ini, bersamaan dengan tanggal peresmian
Masjid Istiqlal 43 Tahun silam, keluarga besar Klinik Hukum Rewang Rencang
dengan senang hati turut berpartisipasi menyemarakkan perayaan luar biasa ini.
Yang mana bukan hanya sebagai tempat ibadah Umat Islam akan tetapi juga
sebagai tonggak sejarah atas rasa syukur kita terhadap kemerdekaan Indonesia.
Selamat membaca jurnal bertema Hukum Islam ini.
Malang, 21 Februari 2021
Ivan Drago, S.H.
CEO Rewang Rencang
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
vi
KATA PENGANTAR EDITORIAL
Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan
masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami
terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.
Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:
1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;
2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;
3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;
4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;
5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.
Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan
ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih
banyak kepada para pihak yang telah mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis
yang terbit pada bulan Februari 2021 bertema “Hukum Islam” dan akan terbit
setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga
kesempatan berikutnya.
Malang, 18 Februari 2021
Juan Maulana Alfedo, S.H.
Dewan Editorial RR : JHLG
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
vii
KATA PENGANTAR MITRA BESTARI
Definisi Hukum memiliki makna yang sangat variatif, termasuk ketika
berbicara mengenai hukum dalam perspektif Islam atau seringkali disebut dengan
Hukum Islam. Dalam Buku Pengantar hukum yang ditulis oleh Rohidin, Kata
hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu يحكم-حكم
hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi حكما hukman.
Lafadz الحكم al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak الحكام al-ahkâm.
Berdasarkan akar kata حكم hakama tersebut kemudian muncul kata الحكمة al-
hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang
memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka
dianggap sebagai orang yang bijaksana. Hukum juga dapat diartikan
“pengendali”, yakni bahwa keberadaan hukum adalah mengendalikan seseorang
dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz
hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan,
mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.
Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di
Indonesia ia menyebutkan bahwa Hukum bermakna memutuskan, menetapkan,
dan menyelesaikan setiap permasalahan. Muhammad Daud Ali menyebutkan
bahwa kata hukum yang berasal dari lafadz Arab tersebut bermakna norma,
kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman, yang digunakan untuk menilai dan melihat
tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya islâm adalah bentuk mashdar dari akar kata aslama-yuslimu-
islâman dengan mengikuti wazn af’ala-yuf’ilu-if’âlan yang mengandung arti ,ألنقياد
ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga bermakna Islam, damai, dan والطاعة
selamat. Secara definitif, Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan
penyerahan diri seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti
bahwa manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa
kerdil, bersikap mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah SWT.
Kemampuan akal dan budi manusia dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding
dengan ilmu dan kemampuan Allah SWT.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
viii
Kemampuan manusia bersifat kerdil hanya terbatas pada kemampuan
menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan alamiah yang telah ada untuk
diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak
mampu menciptakan dalam arti mengadakan dari yang tidak ada menjadi ada
(invention). Maka dari itu Hukum Islam adalah hukum yang berasal atau
bersumber dari Allah sebagai sebuah pedoman untuk menuntun manusia menuju
keselamatan, kedamaian, dan menjadi pengendali dan pencegah dari kedzaliman,
ketidakadilan, dan semua hal yang dilarang agama.
Oleh karena itu Hukum Islam tidak hanya memiliki sifat mengatur
hubungan manusia secara horizontal dengan manusia, bagaimana manusia
menjadi subjek hukum yang berlaku sosial sebagai makhluk sosial, namun
terdapat juga sifat Hukum Islam yang memiliki pengaturan secara vertikal
mengenai pelarangan dan pengendalian hal-hal yang dilarang dan diperintah oleh
Hukum Islam sebagai sebuah tanggung jawab kepatuhan dan penyerahan hamba
kepada Allah SWT yang mana dalam kategori ini tanggung jawabnya bersifat
individual dan vertikal.
Dalam hukum yang bersifat horizontal, seperti penjelasan sebelumnya
bahwa dasar keberlakuan Hukum Islam selain sebuah ketundukan adalah
dikarenakan manusia terlalu kerdil dalam ilmu pengetahuan serta tidak sebanding
dengan kemampuan Allah. Sehingga Allah yang menetapkan hukum segala
sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia, manusia tidak dapat
menginvensi hukum. Dalam pernyataan ini seakan Hukum Islam bersifat statis,
padahal problematika manusia bersifat dinamis. Oleh karena itu penjelasan yang
tepat untuk mengklarifikasinya adalah bahwa Allah merupakan penetap hukum
dasar, sedangkan manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan hukum
dengan tetap bertumpu pada dasarnya.
Hal ini direpresentasikan dengan adanya Nabi sebagai pembawa hukum,
yang mana secara historis nabi hanya memiliki waktu 23 tahun untuk
mengembangkan sistem hukum. Sedangkan di pihak lain, aktivitas legislatif umat
Muslim adalah persoalan yang tidak bisa dihentikan hanya karena keterbatasan
usia seorang nabi. Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan ilmu
metodologi penemuan hukum yang dinamakan ushul fiqh.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
ix
Manusia memang tidak bisa menciptakan hukum, namun kemampuan
akalnya mampu menemukan hukum yang standard dan rumus dasarnya sudah
ditetapkan secara top-down oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu ushul
fiqh tidak serta merta berdiri tanpa pijakan. Akan tetapi terdapat Al Quran dan As
Sunnah yang menjadi konstitusi tertinggi yang melandasi dasar ijtihad dan upaya
penemuan hukum yang menggunakan akal. Pada intinya, para ulama dapat
berkreasi dalam menemukan solusi permasalahan asalkan sesuai dengan prinsip
umum yang sudah distandarkan.
Aktivitas ijtihad inilah yang kemudian dipakai oleh para ulama di Indonesia
untuk menentukan pembentukan hukum yang sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia dengan tetap menggunakan standar utama yang telah ditetapkan oleh
Allah. Perjalanan Ijtihad ini tidak bisa dikatakan singkat. Berdirinya Majelis
Ulama Indonesia hingga terinternalisasinya Hukum Islam dalam peraturan
perundang-undangan dengan nomenklatur undang-undang dan peraturan
tersendiri merupakan proses penguatan pengikatan dan keberlakuan Hukum Islam
khususnya di Indonesia. Kajian Hukum Islam adalah kontriutor terbesar dalam
mendukung kekayaan literasinya.
Jurnal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi dalam pengkajian Hukum
Islam demi menemukan gagasan penyelesaian masalah berdasarkan perspektif
Hukum Islam demi mencegah atau menolak dari ketidakadilan, kedzoliman dan
larangan lain yang standarnya ditetapkan oleh Hukum Islam. Jurnal ini berisi 5
tulisan yang mengkaji pandangan Hukum Islam terhadap fenomena
perkembangan zaman dengan segala kompleksitas permasalahannya baik
dibidang komunikasi, ekonomi, budaya dan juga sosial. Salah satu jurnal dalam
tulisan ini juga mengangkat mengenai arah pembangunan Hukum Islam dengan
perspektif teknologi bagaimana keberlakuan Hukum Islam dimasa yang akan
datang dapat lebih efektif dan tersosialisasi serta dapat menambah daya guna
Hukum Islam dalam eksistensinya berjalan bersama dengan hukum positif di
Indonesia. Kami selaku Mitra Bestari berharap agar semakin banyak kajian
Hukum Islam di Indonesia khususnya dengan mengingat problematika manusia
modern yang semakin kompleks.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
x
Semoga nilai nilai dalam Hukum Islam dapat digali dan secara kontributif
menjadi problem solving bagi permasalahan yang ada di Indonesia baik yang
berhubungan dengan ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan lain sebagainya,
Untuk yang terakhir kali, kami mengucapkan terimakasih kepada para penulis
yang telah menuangkan gagasannya demi perkembangan literasi hukum di
Indonesia khususnya yang berhubungan dengan Hukum Islam.
Jakarta, 21 Februari 2021
Nurul Ula Ulya, S.H., M.H.
Mitra Bestari
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
xi
Undangan untuk Berkontribusi
Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang
para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum
untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan
segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan
tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:
Https://jhlg.rewangrencang.com/
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
88
HUKUMAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL
TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(THE LAW OF CHEMISTRY FOR SEXUAL VIOLENCE AGAINST
CHILDREN IN ISLAMIC LAW PERSPECTIVE)
Ahmad Habib Al Fikry
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Korespondensi Penulis : alfikryahmadhabib@gmail.com
Citation Structure Recommendation :
Al Fikry, Ahmad Habib. Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
dalam Perspektif Hukum Islam. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2
(Februari 2021).
ABSTRAK
Pedofilia sebagai perilaku seksual abnormal yang melibatkan anak sebagai
korban, menjadi perhatian karena data menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan. Selain menciderai hak perlindungan anak, pedofilia juga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Indonesia menjalankan
amanat konstitusi dengan memberikan kepastian hukum melalui berlakunya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak. Salah
satu diskursus yang diatur di dalamnya adalah sanksi pidana bagi pelaku
kekerasan seksual anak guna memberikan efek jera dan menghentikan perbuatan.
Tindakan kebiri kimia menjadi salah satu sanksi pidana yang mengancam pedofil.
Tata cara tindakan ini diatur lebih khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70
Tahun 2020. Disahkannya peraturan tersebut, menuai pro kontra dari masyarakat.
Penulis tertarik untuk meneliti diskursus ini dalam perspektif hukum islam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukuman kebiri kimia
dalam hukum islam. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan, sumber hukum islam, dan kasus
sehingga ditemukan bahwa hukuman kebiri kimia merupakan hukuman tadzir.
Hal tersebut dapat menjadi dasar pengetahuan bahwa hukuman ini dapat berlaku
dan hakim dapat memutus. Dalam hal penentuan hukuman, hukum pidana islam
mengenal pertimbangan unsur formal, materil, dan moral. Menurut penulis,
pedofilia merupakan perbuatan yang telah memenuhi ketiga unsur tersebut
sehingga dapat dikenai hukuman atau jarimah. Hukumannya disebut tadzir,
merupakan hukuman yang diputus oleh hakim sebagai upaya pencegahan bagi
pelaku supaya tidak melakukan kejahatan kembali. Hukuman kebiri kimia
merupakan hukuman yang memperhatikan pelaku dan korban. Dalam hal ini
pelaku hanya akan ditekan hasrat seksual tanpa menghilangkannya. Selain itu,
pelaku juga mendapatkan rehabilitasi. Adapun korban akan mendapatkan
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Kata Kunci: Hukum Islam, Kebiri Kimia, Pedofilia
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
89
ABSTRACT
Chemicals a punishment for perpetrators of sexual violence against children or
pedophiles. Pedophilia is abnormal sexual behavior by making children the object
of satisfying sexual desire. Data on sexual violence against children in Indonesia
shows an alarming number. Such actions certainly injure human rights, especially
child protection, and are contrary to statutory regulations. The state provides
legal certainty and upholds justice through the existence and enactment of laws
and regulations concerning child protection. One of the discourses regulated in it
is about criminal sanctions for perpetrators of sexual violence against children in
order to provide a deterrent effect and stop the act. Chemical castration is one of
the criminal sanctions that threaten pedophiles. The procedure for this action is
regulated more specifically in the Government Regulation of the Republic of
Indonesia Number 70 of 2020. The adoption of this regulation as an implementer
of the previous regulation reaps pros and cons from the community. The author's
interest in researching this discourse from the perspective of Islamic law gives the
answer that chemical castration punishment is a tadzir punishment. In
determining punishment for an act, Islamic criminal law recognizes the existence
of formal, material and moral considerations. Sexual violence against children is
an act that is considered to have fulfilled these three elements so that it can be
subject to punishment or Jarimah. Pedophile punishment is Jarimah tadzir, which
is a sentence decided by a judge in order to provide education and preventive
measures for the perpetrator from committing another crime.
Keywords: Islamic Law, Chemical Castration, Pedhopilia
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
90
A. PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan tindakan baik berupa ucapan maupun
perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan menguasai dan membuat
orang lain terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki oleh orang yang
bersangkutan tersebut. Dalam kekerasan seksual, terdapat dua unsur yaitu
pemaksaan yang dalam hal ini juga berarti tidak adanya persetujuan dari pihak
lain. Dan yang kedua unsur korban tidak mampu maupun belum mampu
memberikan persetujuan, misalnya kekerasan seksual terhadap anak.1
Pasal 1 angka 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendefinisikan
kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,
dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau
fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan.atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual,
kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.2 Lebih lanjut, Pasal 11 ayat (2)
RUU P-KS menyebut bahwa kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau
penyiksaan seksual.3 Mengenai salah satu kekerasan seksual yaitu perkosaan,
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa perkosaan adalah usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan
dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.
Sedangkan Pasal 16 RUU P-KS mengartikan perkosaan sebagai kekerasan seksual
yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat,
atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan
yang sesungguhnya untuk melakukan hubungan seksual. 4
1 Siti Amira Hanifah, Wacana Kekerasan Seksual di Dunia Akademik Pada Media Online,
Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018, p.38. 2 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual, Ps.1 angka 1. 3 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual, Ibid.. 4 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual:
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2001, p.40.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
91
Adapun anak merupakan kelompok yang rentan dan sering menjadi objek
kekerasan seksual salah satunya perkosaan. Karena memiliki keterbatasan fisik
yang dalam hal ini berada dalam posisi diri yang lemah sehingga tidak maupun
belum mampu memberikan persetujuan maupun penolakan untuk melakukan
hubungan seksual dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pedofilia.
Hal tersebut memiliki relevansi dengan definisi anak dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2020 adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.5
Data Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Komisi Nasional Perempuan
Tahun 2020 menyebutkan terdapat kasus kekerasan seksual terhadap anak
perempuan dalam ranah privat sebanyak 2.807 kasus. Sedangkan dalam ranah
publik sebanyak 2.064 kasus.6 Berbeda dengan data SIMFONI PPA, hingga Juni
2020 terjadi kasus kekerasan seksual pada anak sebanyak 1.848.7 Adapun Komisi
Perlindungan Anak Indonesia mencatat terdapat kasus kekerasan seksual terhadap
anak dalam bentuk perkosaan dan pencabulan pada tahun 2020 sebanyak 236
kasus.8 Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut menunjukan
bahwa anak berada dalam usia dengan situasi yang tidak aman dan rentan
mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian khusus bagi negara.
Indonesia sebagai negara hukum menjalankan amanat konstitusi dengan
mengeluarkan peraturan sebagai upaya untuk menghentikan kasus kekerasan
seksual terhadap anak dan memberikan efek jera bagi pelaku. Salah satu aturan
hukum yang baru disahkan yang berkaitan dengan diskursus ini adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan
Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan
Pengumuman Identitas Pelaku Kekeraan Seksual Terhadap Anak.
5 Ibid.. 6 Aflina Mustafaina, dkk., Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan
Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan. Catatan
Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas Perempuan Tahun 2020, Penerbit Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta, 2020, p.1. 7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Angka Kekerasan
Terhadap Anak Tinggi di Masa Pndemi, KEMENPPPA Sosialisasikan Protokol Perlindungan
Anak, diakses dari https://www.kemenpppa.go.id, diakses pada 18 Januari 2021, jam 12.18 WIB. 8 Rega Maradewa, Update Data Infografis KPAI Per 31-08-2020, diakses dari
https://www.kpai.go.id/berita/infografis/update-data-infografis-kpai-per-31-08-2020, diakses pada
18 Januari 2021, jam 12.20 WIB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
92
Peraturan mendapat pro kontra dari masyarakat karena di dalamnya
mengatur tentang hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak yang diadopsi dari negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika menjadi
hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti dalam perspektif hukum islam. Maka,
Rumusan Masalah yang diangkat yaitu “Bagaimana hukuman kebiri kimia bagi
pelaku kekerasan seksual terhadap anak dalam perspektif hukum islam?”
B. PEMBAHASAN
1. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual menurut Heise adalah tindakan kekerasan verbal maupun
fisik, pemaksaan maupun ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang
perempuan baik anak maupun dewasa sehingga menyebabkan kerugian fisik,
psikologis, penghinaan, maupun perampasan kebebasan.9 Kekerasan seksual
adalah tindakan penyerangan yang bersifat seksual yang ditujukan kepada
perempuan baik bersifat fisik maupun non fisik dan tanpa memedulikan ada atau
tidaknya hubungan personal antara pelaku dengan korban.10 Bentuk-bentuk
kekerasan seksual menurut RUU P-KS terdiri atas:11
a. Pelecehan Seksual
Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik
atau non fisik kepada orang lain yang berhubungan dengan tubuh
seseorang dan terkait hasrat seksual sehingga mengakibatkan orang lain
terintimidasi, terhinda, direndahkan, atau dipermalukan.
b. Eksploitasi Seksual
Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau
identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan agar
seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain
dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait
hasrat seksual guna menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
9 A. Zaqiah Saudi, Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Ditinjau dari
Hukum Islam, Skripsi, Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar, 2016, p.37. 10 Aroma Elmina Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, Penerbit Universitas Islam
Indonesia Press, Yogyakarta, 2003, p.36. 11 A. Zaqiah Saudi, Op.Cit..
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
93
c. Pemaksaan Kontrasepsi
Kekerasan seksual yang dilakukan dengan mengatur, menghentikan
dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang
lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut
kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya
yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan.
d. Pemaksaan Aborsi
Kekerasan seksual dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan
aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi
seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
e. Perkosaan
Kekerasan seksual dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau
tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu
memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.
f. Pemaksaan Perkawinan
Kekerasan seksual dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan
kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan
persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.
g. Pemaksaan Pelacuran
Adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau
martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang
dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.
h. Perbudakan Seksual
Kekerasan seksual dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut
kebebasan seseorang, dengan tujuan agar orang itu melayani kebutuhan
seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.
i. Penyiksaan Seksual
Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa korban.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
94
2. Pedofilia
a. Definisi Pedofilia
End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) International
memberikan definisi kekerasan seksual secara sempit yang
menitikberatkan anak sebagai korban, bahwa kekerasan seksual terhadap
anak adalah hubungan atau interaksi seorang anak dengan seseorang
yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung
atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas
kebutuhan seksual pelaku. Kekerasan seksual terhadap anak ini
menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan, bahkan tekanan yang
tidak harus melibatkan kontak fisik secara langsung antara pelaku dengan
korban. Bentuknya berupa tindakan perkosaan maupun pencabulan.12
Adapun Lyness berpendapat bahwa kekerasan seksual terhadap anak
adalah tindakan menyentuh maupun mencium organ seksual anak,
tindakan seksual maupun pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan
media maupun benda porno, menunjukan alat kelamin kepada anak dan
lainnya.13 Kekerasan seksual merupakan jenis penganiayaan yang terbagi
menjadi 2 kategori berdasarkan identitas pelaku, yaitu:
1) Familial Abuse
Familial Abuse adalah kekerasan seksual yang terjadi antara pelaku
dan korban yang memiliki hubungan darah dan satu dalam keluarga
inti. Mayer mengemukakan bahwa kategori ini terdiri atas
penganiayaan yang berkaitan dengan tindakan untuk menstimulasi
pelaku secara seksual, perkosaan berupa oral maupun hubungan
dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis atau
klitoris, dan perkosaan secara paksa meliputi kontak seksual.14
12 A. P. Sari, Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku dengan
Korban, diakses dari https://www.kompas.com/index.php/read/xml/2009/01/28/, diakses pada 18
Januari 2021, jam 14.17 WIB. 13 Maslihah, Kekerasan Terhadap Anak Model Transisional dan Dampak Jangka Panjang,
Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol.I, No.1, (2006), p.25-33. 14 Crosson-Tower Cyntia, Understanding Child Abuse and Neglect, Penerbit Allyn &
Bacon, Boston, 2002.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
95
2) Extra Familial Abuse
Adalah kekerasan seksual terjadi antara pelaku dan korban tidak
memiliki hubungan darah maupun satu dalam keluarga inti. Mayer
berpendapat bahwa pelaku dalam kekerasan seksual ini biasanya
orang dewasa yang mengenali korban dan telah membangun
hubungan dengan anak yang menjadi korban.15
Berkaitan dengan penjelasan di atas, bahwa kekerasan seksual yang
dilakukan oleh orang dewasa maupun orang yang lebih tua dari usia anak kepada
anak-anak merupakan istilah dari pedofilia. Pedofilia merupakan salah satu jenis
penyimpangan seksual kategori parafilia. Parafilia adalah perasaan seksual yang
mengacu dalam obyek maupun aktivitas seksual yang tidak biasa.16 Senada
dengan pedofilia yang dijelaskan oleh Sawatri Supardi dalam bukunya yang
berjudul “Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual”, bahwa pedofilia adalah
kelainan psikoseksual individu yang memiliki hasrat seksual abnormal terhadap
anak-anak.17
b. Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam
Pedofilia selain bertentangan dengan norma moral, sosial, hukum, juga
bertentangan dengan norma agama. Islam adalah agama sempurna yang mengatur
segala ketentuan yang berkaitan dengan aspek kehidupan bagi manusia. Salah satu
hal yang diatur dalam Islam adalah perilaku seksual. Bahwa Islam tentu tidak
menghendaki segala perilaku seksual yang menyimpang, salah satunya adalah
kekerasan seksual terhadap anak. Pedofilia juga dapat dikaitkan dengan perbuatan
yang melanggar perintah Allah SWT yang dijelaskan sebagai berikut:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(QS An-Nur: 30)18
15 Crosson-Tower Cyntia, Understanding Child Abuse and Neglect, Penerbit Allyn &
Bacon, Boston, 2002. 16 Kartono Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2009, p.12. 17 Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Penerbit PT
Refika Aditama, Bandung, 2005, p.71. 18 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemah, Menara Kudus, Kudus,
2006.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
96
Jika dihubungkan dengan definisi dan jenis pedofilia, bahwa perbuatan itu
merupakan perbuatan yang melanggar QS An-Nur: 30 sebagai sumber hukum
Islam. Pedofilia sendiri berasal dari ketidakmampuan seseorang dalam menahan
hasrat seksual yang dilampiaskan kepada korban yang tidak lain adalah anak.
Dalam hal ini, apabila telah terjadi pedofilia maka perintah menjaga pandangan
dan memelihara kemaluannya telah tidak dilaksanakan.
Lebih lanjut, Al-Sam’ani memberikan definisi haram adalah sesuatu yang
mengakibatkan pelakunya mendapatkan dosa.19 Inheren dengan hal tersebut,
pedofilia merupakan perbuatan haram dan bertentangan dengan penjelasan dalam
hadis berikut:
Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang
mendatangi syahwatnya itu juga memperoleh pahala? Rasullah bersabda:
Adakah engkau semua mengerti, bagaimana jikalau syahwat itu
diletakkannya dalam sesuatu yang haram, adakah orang itu memperoleh
dosa? Maka demikian itu pulalah jikalau ia meletakkan syahwatnya itu
dalam hal yang dihalalkan, iapun memperoleh pahala.” (HR. Muslim).20
Pedofilia berasal dari syahwat yang dalam hal ini dilakukan kepada anak-
anak. Hal tersebut tentu wujud meletakkan syahwat dalam hal yang diharamkan.
Berhubungan dengan pendapat Al-Sam’ani bahwa perbuatan haram akan
mendapatkan dosa. Pada dasarnya, hal itu telah melanggar syara’ dan dapat
dikenakan hukuman atau jarimah.
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh
Allah dengan hukuman had atau ta’zir.21 Adapun jinayah menurut Abdul Qadir
Audah adalah istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Abdul Qadir Audah sebagaimana
dikutip dalam buku Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam,
menyebutkan jenis jarimah yang terbagi menurut hukumannya, terdiri atas:22
19 Abi Al-Muzafar Mansur bin Muhammad bin ‘Abd Al-Jabar Al-Sam’ani. Qawati’u Al-
Adilat Fi Al-Usul Juz 1. Dar Al-Kutub Al’Ilmiyyah, t.t, Bairut, p.10. 20 Imam Nawawi, Terjemah Lengkap Riyadhus Shalihin, Tahqiq dan Takhrij Hadits, 2012,
p.158. 21 Al Hasan Al-Mawadi, Al-Hakam As-Sulthaniyah, Penerbit Mushthafa Al-Halaby, Mesir,
1975, p.219. 22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, p.1.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
97
1) Jarimah Hudud
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, yaitu hukuman
yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah (hak
masyarakat). Hukuman had tidak memiliki batasan minimal maupun
maksimal dan tidak bisa lepas oleh perseorangan maupun negara yang
mewakili masyarakat.
2) Jarimah Qishash dan Diat
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat yang
telah ditentukan oleh syara’yang merupakan hak manusia (individu)
dan bisa dimaafkan terkait hukumannya.
3) Jarimah Tadzir
Adalah hukuman terhadap perilaku yang berdosa yang tidak terdapat
sanksi had dan kifaratnya atau dapat diartikan sebagai hukuman yang
ditentukan oleh hakim atas perbuatan pidana. Hukuman ini tidak
memiliki batasan hukuman, maka hakim yang berhak menentukan
hukumannya.
Hukum islam memberikan perspektif terkait pedofilia dari aspek tindakan
yang merupakan melanggar dan bertentangan dengan syariat dan hukum islam.
Dapat diketahui bahwa pedofilia memiliki jenis seperti pedofilia homoseksual dan
pedofilia heteroseksual.23 Adapun dalam pemberian hukuman, hukum islam
mengenal adanya hukuman atau jarimah hudud dan jarimah tadzir. Dalam hal ini,
perbuatan pedofilia memiliki kemungkinan sampai pada perbuatan perzinahan
yang apabila hal tersebut terjadi maka seseorang mendapatkan jarimah hudud
yang merupakan hak Allah. Selain itu, ketika di dunia pelaku akan mendapatkan
hukuman tadzir berdasarkan hukum pidana islam yang diputus oleh hakim.
3. Hukuman Kebiri Kimia
a) Hukuman Kebiri Kimia dalam Hukum Positif
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2020
merupakan peraturan yang mengatur tentang hukuman kebiri kimia di Indonesia.
23 Ahmad Sandi, Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia dalam Perspektif Hukum Islam dan
Peluang Penerapannya di Indonesia, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2015, p.22.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
98
Peraturan ini merupakan bentuk konkret dalam mengatasi kasus kekerasan seksual
terhadap anak yang semakin marak terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual
terhadap di Indonesia begitu mengkhawatirkan terbukti dengan peningkatan grafik
tahunan kasus ini yang dihimpun oleh Komisi Nasional Perempuan, SIMFONI
PPA dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Lebih lanjut, peraturan ini juga sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia
khususnya anak yaitu perlindungan terhadap anak sesuai amanat Pasal 28B ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”24 Lebih khusus,
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala
kegiatan menjamin dan melindungi anak dan haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25
Salah satu bentuk perlindungan anak dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak26 jo. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang, adalah perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual yang
mana diancam hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.27
24 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps.28B ayat
(2). 25 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN
Tahun 2002 No.109, Ps.1 angka 2. 26 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Perpu No.1 Tahun 2016, LN Tahun 2016 No.99, TLN No.5882. 27 Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No.17 Tahun 2016, LN
Tahun 2016 No.99, TLN No.5882.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
99
Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai upaya
perlindungan anak adalah kebiri kimia. Kebiri kimia adalah pemberian zat kimia
melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah
dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual yang berlebih
yang disertai rehabilitasi.28 Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 tahun sesuai dengan penjelasan Pasal 5 dalam peraturan yang sama.
Adapun kebiri kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan
pelaksanaan. Dalam kebiri kimia bagi pelaku persetubuhan, terdapat rehabilitasi
berupa rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan medik yang diberikan paling lambat 3
bulan setelah kebiri kimia. Rehabilitasi dilakukan atas perintah jaksa secara
terkoordinasi, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan.29
b) Hukuman Kebiri Kimia dalam Perspektif Hukum Islam
Kebiri kimia merupakan salah satu hukuman yang dinilai menjadi alternatif
untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hal
tersebut juga sesuai dengan tujuan hukum yang meskipun memberikan
penderitaan dan merenggut kebebasan individu namun untuk kepentingan
masyarakat, yaitu memberikan efek jera. Bahwa ancaman pidana yang dibuat
negara dan dijatuhkan kepada tindak pidana atas kejahatan yang dilakukan supaya
orang tersebut merasa jera sehingga tidak akan mengulangi hal yang sama.30
Dalam hukum pidana islam dikenal adanya pertimbangan yang menentukan
suatu perbuatan masuk ke dalam jarimah atau bukan. Bahwa seperti yang telah
dibahas dalam bab sebelumnya, pedofilia atau kekerasan seksual terhadap anak
merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam hukuman salah
satunya adalah tadzir. Adapun pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut:
28 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri
Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku
Kekerasan Seksual Terhadap Anak, PP No.70 Tahun 2020, LN Tahun 2020 No.269, TLN
No.6585, Ps.1 angka 2. 29 Indonesia, PP No.70 Tahun 2020, Ibid.. 30 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, p.14-17.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
100
1) Unsur formal (al-rukn al-syar’i)
Yaitu terdapat larangan maupun perbuatan yang disertai ancaman
hukuman sesuai pada nash.
2) Unsur materil (al-rukn al-madi)
Yaitu perbuatan yang menyebabkan adanya jarimah.
3) Unsur moral (al-rukn al abadi)
Yaitu obyek yang dikenai hukuman atau pelaku kejahatan yang dapat
mempertanggung jawabkan (mukallaf) perbuatannya sehingga dapat
dituntut atas perbuatan kejahatannya.
Menyelami lebih dalam terkait pedofilia atau kekerasan seksual terhadap
anak merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam yang dijelaskan dalam Al-
Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam. Berikut adalah aturan dalam Al-
Qur’an yang melarang perbuatan pedofilia: “Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya perbuatan zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu
yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)
Bahwa pedofilia merupakan perbuatan yang dapat memungkinkan
terjadinya zina. Dalam hal ini, sesuai dengan definisinya yang menjelaskan
pedofilia sebagai perilaku seksual yang abnormal berupa menyentuh, mencium,
hingga perkosaan terhadap anak guna memenuhi hasrat seksual pelaku. Pedofilia
tentu perbuatan yang keji dan buruk karena bertentangan dengan norma apa pun
yang berlaku di dunia ini.
“Dan (kami juga telah mengetus) Luth pada kaumnya. Ingatlah tatkala ia
berkata pada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fashiyah
itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelum
kamu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu
kepada mereka, bukan kepada wanita. Malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas.” Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
“Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya
mereka adalah orang yang berpura-pura menyucikan diri.” Kemudian kami
selamatkan dia dan pengikutnya kecuali isterinya dan termasuk orang-
orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan kepada mereka
hujan (batu) maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
berdosa itu.” (QS Al-A’raaf: 80-84).31
31 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemah, Loc.Cit..
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
101
Mengenai penjelasan surat tersebut relevan dengan jenis pedofilia yang
salah satunya adalah pedofilia homoseksual. Perbuatan pedofilia homoseksual
dilarang dalam Islam dan telah jelas bahwa pada zaman kenabian Nabi Luth
terdapat kaum sodom atau homoseksual dan melakukan perbuatan keji untuk
memenuhi nafsu seksual kepada sesama laki-laki. Hal tersebut sangat
bertentangan dengan Islam sehingga Allah memberikan azab kepada kaum
tersebut atau dapat dikatakan dengan hukuman had yang merupakan hak Allah
untuk memberikan hukuman tersebut. Uraian ini menjelaskan bahwa pedofilia
telah memenuhi unsur formal sehingga perbuatannya termasuk kategori jarimah.
Unsur materiil perbuatan pedofilia juga terpenuhi. Dalam hal ini, pedofilia
merupakan perbuatan yang melanggar hukum positif yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat
Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekeraan
Seksual Terhadap Anak. Yang mana apabila perbuatan ini dilakukan maka akan
menyebabkan adanya hukuman sesuai dengan penjelasan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
Pedofilia pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki usia lebih dari
usia korban atau pelaku merupakan usia dewasa. Sehingga pelaku dapat memiliki
kuasa yang lebih kepada anak untuk melakukan ancaman, kekerasan, daya paksa,
tipu muslihat untuk melakukan kekerasan seksual. Bahwa apabila pelaku
kekerasan seksual kepada anak merupakan orang dewasa yang menurut undang-
undang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, maka unsur moral dalam
pertimbangan ini terpenuhi.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
102
Pertimbangan masuknya perbuatan ke dalam kategori jarimah tentu inheren
dengan peran Hakim sebagai penegak keadilan dalam memutus perkara yang
berkaitan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal tersebut
berhubungan karena nantinya bermuara kepada putusan hukuman yang salah
satunya adalah tindakan kebiri kimia. Dalam hukum islam, hakim dapat
menetapkan hukuman atas batas minimum maupun maksimal yang dikenal
dengan hukuman tadzir. Hal ini juga berhubungan dengan penjelasan sebelumnya
bahwa salah satu jenis jarimah adalah jarimah tadzir.
Tadzir memiliki arti mencegah dan menolak serta dapat diartikan dengan
mendidik.32 Wahbah Zahili berpendapat bahwa tadzir merupakan pencegahan
karena ia dapat mencegah pelaku supaya tidak mengulangi perbuatannya. Adapun
arti mendidik dalam hal ini adalah mendidik pelaku sehingga dapat menyadari dan
memperbaiki perbuatannya sehingga akan meninggalkan perbuatan itu. Al-
Mawardi memberikan definisi tadzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan
atas perbuatan dosa yang hukuman tersebut belum ditetapkan oleh syara’.33
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa hukuman kebiri
kimia merupakan bentuk hukuman tadzir yang dalam hal ini hukuman dapat
ditetapkan oleh hakim guna mencegah dan mendidik pelaku kekerasan seksual
terhadap anak supaya tidak melakukan tindak pidana kembali dan
menghentikannya. Hal tersebut juga koheren dengan tujuan tindakan kebiri kimia
untuk menekan hasrat seksual yang berlebih.
Para ulama turut menanggapi hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak. Berikut adalah tanggapan setuju dan dukungan ulama atas
hukuman kebiri kimia:
No. Nama Keterangan
1. KH Mashul Ismail
(Ulama Mojokerto)
Hukuman bagi pelaku kejahatan harus seimbang
dengan perbuatannya. Selain itu, bentuk hukuman
harus bisa memberikan efek jera kepada pelaku
kejahatan agar perbuatan jahatnya tidak terulang
(Tanggapan kasus predator anak di Mojokerto).34
32 Wardi Muslich, A. Loc.Cit, 2005, p.248. 33 Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Suthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1966, p.236. 34 Enggran Eko Budianto, Ini Pandangan Ulama Soal Kebiri Kimia untuk Predator Anak di
Mojokerto, diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4682651/ini-pandangan-
ulama-soal-kebiri-kimia-untuk-predator-anak-di-mojokerto, diakses pada 15 Februari 2021, jam
18.23 WIB.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
103
2. Hasan Ubaidilah
(Ulama Nahdlatul
Ulama)
Hukuman kebiri kimia sangat baik diterapkan
karena termasuk kejahatan extraordinary crime.
Pedofilia menurutnya dapat merusak generasi
bangsa maka dari itu masuk ke dalam kejahatan
luar biasa.35
3. H. Syamsudin
(Ulama
Muhammadiyah)
Hukuman kebiri kimia tepat dilaksanakan di
Indonesia. Hal tersebut karena hukuman ini masuk
ke dalam hukuman tadzir guna memberikan efek
jera bagi pelaku.36
Selain itu, terdapat pandangan lain dari ulama yang menyatakan
ketidaksetujuan mengenai hukuman kebiri kimia bagi pedofil. Berikut
penjelasannya:
No. Nama Keterangan
1. Majelis
Permusyawatan
Ulama (MPU) Aceh
MPU Aceh telah menerbitkan fatwa nomor 2 tahun
2018 terkait hukum kebiri. Bahwa MPU Aceh tidak
menyetujui adanya tindakan hukuman kebiri kimia.
Fatwa tersebut juga berdasarkan pertimbangan
pendapat dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
yang mengatakan bahwa kebiri tidak akan
memberikan efek jera dan aksi kebiri tidak
spontan.37
2. Majelis Ulama
Indonesia (MUI)
Dalam perspektif hukum islam, pengebirian
terhadap manusia dilarang karena sebagian besar
ulama sepakat hal tersebut mengubah ciptaan
Allah.38
Menurut penulis, hukum islam memberikan perspektif bahwa hukuman
kebiri kimia dapat saja diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak
karena hukuman tersebut termasuk ke dalam hukuman tadzir, yang dalam hal ini
belum ditetapkan oleh syara’. Penentuan hukuman kebiri kimia diserahkan kepada
hakim yang berwenang dalam memutus perkara. Hal tersebut berdasarkan pada
pertimbangan petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri
yang dilakukan dalam tahapan tindakan kebiri kimia.
35 Wawancara Hasan Ubaidillah pada 18 Oktober 2017. Lihat pada Melina Dwi Ratnasari,
Pandangan Ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Jawa Timur terhadap Penerapan
Sanksi Pidana Kebiri pada Pelaku Pedofilia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
Menurut Hukum Islam, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2018,
p.50. 36 Melina Dwi Ratnasari, Ibid., p.60-65. 37 CNN Indonesia, Ulama Aceh Tak Setuju Hukum Kebiri, Usul Penjara Seumur Hidup,
diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210104230825-12-589433/ulama-aceh-
tak-setuju-hukum-kebiri-usul-penjara-seumur-hidup, diakses pada 15 Februari 2021, jam 20.51
WIB. 38 Fitang Budhi Adhitia, Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu mengubah Ciptaan Allah
SWT, diakses dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-kebiri-
kimia-mui-itu-mengubah-ciptaan-allah-swt, diakses pada 15 Februari 2021, jam 20.58 WIB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
104
Penjelasan tersebut mengarah kepada kesetujuan penulis akan pemberian
hukuman kebiri kimia bagi pedofil. Adapun landasan argumentasi penulis adalah
pertama, dalam hukum islam dikenal adanya pembagian hukuman berdasarkan
berat ringannya hukuman yang salah satunya adalah hukuman tadzir. Dalam hal
ini, hukuman pedofilia termasuk hukuman tadzir yang ditetapkan oleh Hakim.
Kedua, dalam menentukan kejahatan suatu perbuatan hingga hukumannya,
penegak hukum akan mempertimbangkan segala unsur yang memenuhi. Dalam
hukum pidana Islam, unsur tersebut terdiri atas unsur formal, materil, dan moral.
Yang mana berdasarkan penelitian penulis, ketiga unsur tersebut telah terpenuhi
dalam tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Oleh karenanya, pedofilia
merupakan suatu kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, hukuman ini atas dasar pertimbangan yang ideal karena dalam
pemberian hukuman kebiri kimia ini melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan,
dan pelaksanaan. Selain itu, apabila terdapat pendapat mengenai mengubah
ciptaan Allah SWT, maka menurut penulis hal tersebut tidak relevan. Bahwa
esensi dari kebiri kimia adalah bukan untuk menghilangkan secara keseluruhan
hasrat seksual namun hanya menekan. Dalam pemberian hukuman tersebut juga
disertai rehabilitasi psikiatri, sosial, dan medik.
Terakhir, penulis melihat dari sisi korban. Secara teoritis mengatakan bahwa
pedofilia merupakan perbuatan kekerasan seksual dengan anak sebagai objeknya.
Hal tersebut tentu menciderai hak asasi manusia khususnya perlindungan anak.
Pedofilia akan memberikan dampak besar bagi korban mulai dari fisik, psikologis,
kesehatan dan sosial. Selain itu, perlu diingat bahwa bukan hanya norma hukum
yang dilanggar namun norma agama juga.
C. PENUTUP
Kekerasan seksual pada anak atau pedofilia merupakan bentuk kejahatan
yang melanggar hukum positif. Negara memiliki peran penting dalam
menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi. Bentuk
upaya mengatasi permasalahan ini adalah berlakunya undang-undang
perlindungan anak dan pemberian sanksi pidana terhadap pedofil.
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
105
Tindakan kebiri kimia merupakan salah satu bentuk hukuman pidananya.
Hukuman ini tepat diberikan karena dalam hukum islam mengenal adanya
hukuman tadzir. Dalam hal ini dapat berarti bahwa hakim dapat memutus perkara
dengan putusan hukuman kebiri kimia. Selain itu, unsur formal, materil, dan
moral telah terpenuhi guna menentukan hukuman. Hukuman ini meskipun sebagai
pemberian efek jera pelaku, namun tetap memperhatikan hak pelaku seperti
adanya penentuan lamanya hukuman hingga rehabilitasi.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
106
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Mawardi, Al-Hasan. 1966. Al-Ahkam As-Suthaniyah. (Beirut: Dar Al-Fikr).
Al-Mawadi, Al Hasan. 1975. Al-Hakam As-Sulthaniyah. (Mesir: Penerbit
Mushthafa Al-Halaby).
Cyntia, Crosson-Tower. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. (Boston:
Penerbit Allyn & Bacon).
Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al Quran dan Terjemah. (Kudus:
Menara Kudus).
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu. 1984. Pidana Mati di Masa Lalu, Kini, dan
Masa Depan. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia).
Kartini, Kartono. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.
(Bandung: Penerbit Mandar Maju).
Martha, Aroma Elmina. 2003. Perempuan Kekerasan dan Hukum. (Yogyakarta:
Penerbit Universitas Islam Indonesia Press).
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika).
Mustafaina, Aflina, dkk.. 2020. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan
Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan
Anak Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas
Perempuan Tahun 2020. (Jakarta: Penerbit Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan). Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual.
(Bandung: Penerbit PT Refika Aditama).
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. (Bandung:
Penerbit Refika Aditama).
Publikasi
Maslihah. Kekerasan Terhadap Anak Model Transisional dan Dampak Jangka
Panjang. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol.I. No.1. (2006).
Karya Ilmiah
Hanifah, Siti Amira. 2018. Wacana Kekerasan Seksual di Dunia Akademik Pada
Media Online. Skripsi. (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah).
Ratnasari, Melina Dwi. 2018. Pandangan Ulama Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah Jawa Timur terhadap Penerapan Sanksi Pidana Kebiri
pada Pelaku Pedofilia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2016 Menurut Hukum Islam. Skripsi. (Surabaya: Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya).
Sandi, Ahmad. 2015. Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia dalam Perspektif
Hukum Islam dan Peluang Penerapannya di Indonesia. Skripsi. (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah).
Saudi, A. Zaqiah. 2016. Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak
Ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi. (Makassar: Universitas Islam Negeri
Alaudin).
Ahmad Habib Al Fikry
Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak dalam
Perspektif Hukum Islam
107
Website
Adhitia, Fitang Budhi. Tolak Hukuman Kebiri Kimia, MUI: Itu mengubah
Ciptaan Allah SWT. diakses dari
https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/tolak-hukuman-
kebiri-kimia-mui-itu-mengubah-ciptaan-allah-swt, diakses pada 15 Februari
2021.
Budianto, Enggran Eko. Ini Pandangan Ulama Soal Kebiri Kimia untuk Predator
Anak di Mojokerto. diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-
4682651/ini-pandangan-ulama-soal-kebiri-kimia-untuk-predator-anak-di-
mojokerto. diakses pada 15 Februari 2021.
CNN Indonesia. Ulama Aceh Tak Setuju Hukum Kebiri, Usul Penjara Seumur
Hidup. diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210104230825-12-
589433/ulama-aceh-tak-setuju-hukum-kebiri-usul-penjara-seumur-hidup.
diakses pada 15 Februari 2021.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Angka
Kekerasan Terhadap Anak Tinggi di Masa Pndemi, KEMENPPPA
Sosialisasikan Protokol Perlindungan Anak. diakses dari
https://www.kemenpppa.go.id, diakses pada 18 Januari 2021.
Maradewa, Rega. Update Data Infografis KPAI Per 31-08-2020. diakses dari
https://www.kpai.go.id/berita/infografis/update-data-infografis-kpai-per-31-
08-2020. diakses pada 18 Januari 2021.
Sari, A. P.. Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku
dengan Korban. diakses dari
https://www.kompas.com/index.php/read/xml/2009/01/28/. diakses pada 18
Januari 2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 99. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5882.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 99. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5882.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik,
Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual
Terhadap Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
269. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6585.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
108
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan
Seksual.
Sumber Hukum
Al-Qur’an.
Hadis Riwayat Muslim.
Sumber Lain
Al-Sam’ani, Abi Al-Muzafar Mansur bin Muhammad bin ‘Abd Al-Jabar.
Qawati’u Al-Adilat Fi Al-Usul Juz 1. (Bairut: Dar Al-Kutub Al’Ilmiyyah,
t.t).
Nawawi, Imam. 2012. Terjemah Lengkap Riyadhus Shalihin. Tahqiq dan Takhrij
Hadits.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
109
E-ISLAMIC LAW : SOLUSI KULTURISASI HUKUM ISLAM SEBAGAI
LANGKAH MENORMATIFKAN TUJUAN HUKUM ISLAM MENJADI
HUKUM POSITIF
(E-ISLAMIC LAW: A CULTURIZING SOLUTION OF ISLAMIC LAW AS A
STEPS TO TORIZE THE OBJECTIVES OF ISLAMIC LAW TO BE
POSITIVE LAW)
Desi Fitriyani dan Winda Sari
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Korespondensi Penulis : windasari.ipa.kh@gmail.com
Citation Structure Recommendation :
Fitriyani, Desi dan Winda Sari. E-Islamic Law: Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah
Menormatifkan Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif. Rewang Rencang : Jurnal Hukum
Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menunjukkan bahwasanya tujuan hukum Islam sangat
tepat diinterpretasikan sehingga harus dimuat menjadi norma dalam hukum positif
di Indonesia. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif dengan studi kepustakaan, dengan pendekatan konseptual. Namun, yang
menjadi problematika adalah kulturisasi di masyarakat terkait tujuan hukum islam
belumlah masif. Oleh karena itu, penulis menawarkan E-Islamic Law yang
merupakan sebuah aplikasi sebagai media kulturisasi yang menjadi solusi untuk
menjawab problematika tersebut. Dengan penerapan E-Islamic Law, maka
menjadi jembatan sehingga muatan tujuan hukum nantinya dapat menjadi norma
hukum positif di Indonesia.
Kata Kunci: E-Islamic Law, Kulturisasi, Tujuan Hukum Islam
ABSTRACT
This research presents Islamic law's objectives that are chosen as the solution to
be adopted. So, it should be contained as the positive law norm in Indonesia. In
this research, the researchers used normative legal research methods and
literature study, through a conceptual approach. Unfortunately, the societies'
culture regarding the objectives of Islamic law is still weak and being
problematic. Therefore, the researchers present the E-Islamic Law application as
a culturalization medium to solve it. E-Islamic Law acts as a bridge, so the
content of legal objectives will be a positive legal norm in Indonesia.
Keywords: E-Islamic Law, Culturalization, Islamic Law's Purposes
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
110
A. PENDAHULUAN
Napak tilas perkembangan hukum Islam telah menjadi Moral Design1
pengimplementasian hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, sejarah umat Islam
di Indonesia pada hakikatnya telah melekat pada sosok dari bangsa itu sendiri.
Kedekatan itu terjadi karena jumlah umat Islam yang mayoritas dan dominan,
sehingga hukum Islam seharusnya mampu menentukan pola berpikir dan pola
pembentukan hukum bangsa Indonesia.
Hukum Islam di Indonesia telah meletakkan pula pelataran nasionalisme
yang akhirya menghasilkan kemerdekaan Indonesia.2 Melihat napak tilas
tersebut, memunculkan beragam corak pemikiran teori hukum disertai
perkembangan dinamika pemikiran dan penerapan hukum Islam di Indonesia
(dari masa pra kemerdekaan sampai masa pasca kemerdekaan). Salah satunya
adalah teori eksistensi, yakni teori yang menerangkan tentang keberadaan hukum
Islam dalam hukum nasional Indonesia.3
Menurut teori ini, bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam
hukum nasional terdiri atas: 1) hukum Islam adalah bagian integral dari hukum
nasional Indonesia; 2) hukum Islam bersifat mandiri, dalam arti kekuatan dan
wibawanya diakui dan dijamin oleh hukum nasional serta diberi status sebagai
hukum nasional; 3) norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia; serta, 4) hukum Islam merupakan bahan
dan unsur utama hukum nasional Indonesia.4 Teori eksistensi ini pada hakikatnya
merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia dari masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang, menegaskan bahwa hukum Islam berada dalam hukum
nasional Indonesia, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Ia ada dalam
berbagai lapangan kehidupan hukum maupun dalam praktik hukum.
1 Moral design yang dimaksud adalah Indonesia harus mampu mewujudkan moral yang
terkandung dalam konstitusinya. 2 Ajub Ishak, Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal Al-Qadau,
Vol.4, No.1 (Juni 2017), p.57-70. 3 Dahliah Haliah Ma’u, Eksistensi Hukum Islam di Indonesia (Analisis Kontribusi dan
Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia), Jurnal Ilmiah Al-
Syir’ah, Vol.15, No.1 (2017), p.14-30. 4 Dahliah Haliah Ma’u, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
111
Berlandaskan pemikiran diatas, semakin meyakinkan kebutuhan dan
pentingnya kehadiran hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam tidak serta merta
hadir karena landasan filosofis semata, namun berangkat pula melalui pondasi
kebutuhan sosiologis masyarakat yang dapat dilihat pada muatan tujuan hukum
Islam yang bersifat universal.5 Universal dalam arti memiliki tujuan yang bersifat
luas dan dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat di luar garis
pluralisme keyakinan yang melekat pada diri setiap individu. Sifat ini kemudian
menjadikan tujuan hukum Islam sangat mampu untuk dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak hanya berlaku untuk masyarakat
beragama Islam saja melainkan untuk masyarakat pada umumnya.
Tujuan hukum Islam antara lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Di Indonesia sendiri, keberlakuan hukum Islam menjadi hukum positif
tidak hanya sekedar hukum yang diinginkan saja (Ius Constituendum) tetapi
berimplikasi pula terhadap hal-hal khusus, berupa substansi hukum Islam yang
telah menjadi Ius Constitutum atau hukum yang berlaku saat ini.6 Beberapa
muatan tujuan tersebut telah dilegitimasikan. Namun, beberapa tujuan hukum
Islam lainnya belum di akomodasi masuk ke dalam produk legislasi.
Berikut pula hukum Islam yang telah diberlakukan negara sebagai hukum
positif di lingkungan peradilan namun masih sangat terbatas, yaitu hukum
perkawinan yang bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, kewarisan (salah satunya dalam Pasal 171 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam (KHI)7) dan wakaf (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf) atau dalam arti sebagian dari hukum perdata. Sedangkan sebagian
besar, diantaranya bidang muamalat, jinayat, hukum acara dan hukum negara,
seperti masih dalam bentuknya sebagai fikih atau pedoman dalam beramal pun
sangat minim dalam produk legislasi Indonesia.
5 Ghoffar Shidiq, Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam, Majalah Ilmiah Sultan
Agung, Vol.44, No.118 (2020), p.117-130. 6 H. John Kenedi, Penerapan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah dan Hukum Positif di
Indonesia, Jurnal Nuansa, Vol.X, No.1 (Juni 2017), p.74-84. 7 Pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
112
Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kultur hukum yang bernuansa
Islam serta pemasifan informasi dan edukasi terkait pentingnya tujuan hukum
Islam. Inilah yang kemudian menyebabkan pengembangan hukum Islam dalam
hukum nasional masih belum maksimal. Ketidakmasifan dan/atau
ketidakmaksimalan ini pada realitanya menjadikan hukum Islam seolah hadir
sebagai pelengkap pluralisme hukum di Indonesia semata, tanpa
pengimplementasian dan penormaan yang dinamis dan tepat.
Padahal hal-hal yang belum diatur tersebut sangatlah krusial untuk diadakan
dan di normatifkan di Indonesia. Sebab, hal-hal yang diatur dalam tujuan hukum
Islam dapat membantu upaya pemerintah dalam pencapaian cita-cita dan tujuan
pembangunan nasional yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya,
tercukupi kebutuhan lahir dan batin, sejahtera, beriman dan bertaqwa serta
mengamalkan Pancasila. Pembentukan dan penetapan hukum Islam pada produk
legislasi nasional bertujuan untuk memberlakukan nilai-nilai Islam yang menjadi
kaidah hukum yang hidup dimasyarakat dalam produk hukum nasional.8
Ketiadaan atau kekosongan norma hukum yang memuat tujuan hukum
Islam secara komprehensif tentunya menjadi sebuah problematika, sehingga perlu
dimasukkan dalam produk hukum nasional. Memasukkan hukum Islam dalam
produk legislasi tentu menghadapkan kita pada rintangan yang harus dihadapi.
Maka kemudian muncullah dua Rumusan Masalah dalam artikel ini yang akan
dibahas dsecara komprehensif pada bagian pembahasan, yaitu:
1. Pertama, apa yang menjadi poin penting sehingga tujuan hukum Islam
harus di akomodasi untuk menjadi norma hukum positif di Indonesia?
2. Kedua, bagaimana langkah pemasifan informasi dan kulturisasi tujuan
hukum Islam untuk mempermudah pengimplementasian pada penormaan
hukum Islam?
Kedua rumusan masalah tersebut akan dibahas lebih jauh dalam sub
pembahasan di bagian selanjutnya.
8 Islamiyati, Pengaruh Sistem Hukum Islam terhadap Politik Hukum Nasional,
Diponegoro Private Law Review, Vol.3, No.1 (Oktober 2018), p.295-306.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
113
B. PEMBAHASAN
1. Pentingnya Tujuan Hukum Islam untuk Menjadi Norma Hukum
Positif di Indonesia.
Tujuan utama disyari’atkannya hukum Islam atau disebut dengan Muqashid
Syari’ah yang diperkenalkan oleh Asy Syatibi9 adalah untuk kemaslahatan umat
manusia, guna mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan kesulitan atau
menarik manfaat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat lima tujuan
hukum Islam, yaitu10 :
1) Memelihara agama. Dalam rangka memelihara agama, maka penulis
mendorong untuk di normatifkannya ketentuan terkait pemidanaan untuk
orang yang menawarkan jasa kepada orang lain dan bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan
mental atau fisik seseorang. Mengapa hal tersebut perlu diatur? Karena
hal tersebut akan meningkatkan niat seseorang untuk berbuat kejahatan.
Selain itu akan mengganggu keyakinan dari seseorang akan Tuhan-Nya.
2) Memelihara jiwa, maka dalam hukum Islam mewajibkan menusia secara
pasti untuk makan, minum, berpakaian dan lain-lain. Adapun muatan
norma yang akan penulis tawarkan adalah larangan meminum minuman
yang memabukkan. Norma ini berkaitan dengan tujuan hukum Islam
yaitu memelihara akal. Adapun contoh realisasi tujuan hukum Islam ini
adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
3) Memelihara akal. Akal merupakan pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk memelihara
akalnya dengan jalan melarang manusia untuk melakukan segala sesuatu
yang melemahkan akalnya. Sejalan dengan hal tersebut, maka norma
yang penulis tawarkan adalah larangan meminum minuman yang akan
memabukkan (kecuali dengan tujuan medis). Mengapa perlu diatur?
9 Muhyidin, Muqashid Al-Syariah (Tujuan-Tujuan Hukum Islam) Sebagai Pondasi Dasar
Pengembangan Hukum”, Gema Keadian, Vol.6, No.1 (Juni 2019), p.13-32. 10 Afridawati, Stratifikasi Al-Mashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan
Harta) dan Penerapannya dalam Masalah, Jurnal Al-Qishthu, Vol.13, No.1 (2015), p.15-30.
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
114
Karena jika seseorang kehilangan akal sehatnya, maka mereka dapat
melakukan hal yang berada di luar kendalinya yang akan mengganggu
hak orang lain. Tentu jika hal tersebut terjadi akan menciderai Pasal 28J
ayat (2) UUD NRI 1945.11
4) Memelihara Keturunan, hal ini bertujuan untuk mencegah bercampurnya
nasab (keturunan) dan menjaga kemuliaan manusia. Dalam hukum
Belanda (Pasal 284 KUHP), perzinahan adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan
dalam hukum Islam, perzinahan adalah siapapun mereka jika melakukan
persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya.12 Norma
yang penulis tawarkan ialah larangan melakukan persetubuhan jika tak
memiliki hubungan sebagai suami dan istri. Mengapa perlu diatur?
Karena jika tidak diatur, maka akan terjadi percampuran keturunan yang
bermuara pada kesulitan menentukan ayah biologis dari sang anak.
Sehingga yang akan terdampak dari perzinahan adalah anak itu sendiri.
5) Memelihara harta. Hukum Islam mengharamkan perbuatan mencuri
bahkan diberikan hukuman terhadapnya. Selain itu juga dalam rangka
memelihara harta, maka hukum Islam pun telah mengatur ketentuan
tentang jual-beli, sewa, dan hal lainnya. Adapun saat ini yang penting
untuk diatur ialah larangan penggunaan jasa pinjaman yang disertai
bunga yang tidak sesuai dengan nilai pertumbuhan ekonomi.
Melihat lima tujuan hukum Islam itu, maka dapat dilihat betapa pentingnya
tujuan hukum Islam untuk menjadi norma dalam hukum positif di Indonesia.
Untuk lebih jelasnya, maka Penulis akan memperlihatkan kekosongan hukum saat
ini serta memaparkan urgensi mengenai ketentuan tujuan hukum Islam untuk
dinormatifkan melalui tabel di bawah ini.
11 Bunyi Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 12 Syamsul Huda, Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.12, No.2 (Desember 2015), p.377-397.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
115
Tujuan
Hukum
Islam
Hukum
Positif Urgensi
Memelihara
agama
Dalam
Pasal 28I
ayat (1) dan
Pasal 29
ayat (2)
UUD NRI
1945
Kendatipun dasar hukum akan adanya pengakuan
serta penjaminan bagi setiap orang untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-
masing, namun aturan melakukan perbuatan yang
dapat merusak agama belum diatur. Padahal, jika
aturan tersebut dirusak maka akan berdampak
pada keamanan nasional.
Memelihara
jiwa dan
memelihara
akal
Undang-
Undang
Nomor 18
Tahun 2012
tentang
Pangan
Dalam rangka memelihara jiwa, maka dalam
Islam dilarang untuk memakan atau meminum
yang dapat merusak jiwa mereka. Oleh karena itu
perlunya pengaturan larangan meminum minuman
yang akan memabukkan (kecuali dengan tujuan
medis). Mengapa hal tersebut perlu di atur? karena
jika seseorang kehilangan akal sehatnya maka
mereka dapat melakukan hal yang berada di luar
kendalinya yang akan mengganggu hak orang lain.
Tentu jika hal tersebut terjadi akan menciderai
Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Saat ini
memang telah ada Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan namun ketentuan
tersebut belum mampu mengakomodir kebutuhan
hukum yang ada.
Memelihara
Keturunan
Pasal 284
KUHP
Muatan yang dilarang dalam Pasal 284 KUHP
adalah ketika seorang perempuan atau laki-laki
melakukan persetubuhan dengan seorang
perempuan atau laki-laki yang telah memiliki
suami atau isteri. Sedangkan dalam hukum Islam
melarang persetubuhan antara seorang perempuan
dan laki-laki yang tidak terikat hubungan suami
isteri dan hubungan tersebutlah yang merupakan
zina. Konsep hukum Islam terkait zina tersebut
perlu dimuat dalam hukum nasional, dikarenakan
jika tidak diatur maka akan terjadi percampuran
keturunan yang bermuara pada kesulitan
menentukan ayah biologis dari sang anak. Dengan
demikian yang akan terdampak dari perzinahan
tidak lain adalah anak itu sendiri.
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
116
Memelihara
harta
Undang-
Undang
Nomor 21
Tahun 2008
tentang
Perbankan
Syariah
Saat ini memang telah ada Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, namun agar dapat memutus ranah agar
tidak terjadinya riba, maka larangan membuat jasa
pinjaman disertai bunga yang tidak sesuai dengan
nilai pertumbuhan ekonomi perlu diatur.
Tabel 2.1 Urgensi Tujuan Hukum Islam
Sumber: Kreasi Penulis
2. E-Islamic Law : Metode Kulturisasi Hukum Islam di Masyarakat
untuk Menjadikan Tujuan Hukum Islam Menjadi Norma Hukum
Positif di Indonesia.
Melihat pentingnya tujuan hukum Islam, maka sudah sepatutnya tujuan
hukum Islam dimuat menjadi norma hukum positif. Akan tetapi, untuk
mewujudkan hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Terdapat problematika
dalam merealisasikannya. Problematikanya tidak lain adalah kurangnya kultur
hukum yang bernuansa Islam serta pemasifan informasi dan edukasi terkait
pentingnya tujuan hukum Islam, yang menyebabkan pengembangan hukum Islam
dalam hukum nasional masih belum maksimal. Selain itu juga, masyarakat belum
memahami bahwasanya tujuan hukum Islam bersifat universal, dimana telah
sesuai dengan setiap zaman, di daerah maupun kondisi apapun, sehingga
kemanfaatannya perlu diterapkan untuk kebaikan bersama.
Sebagai upaya untuk menjawab problematikan tersebut, maka perlu
diterapkan suatu metode sehingga kulturisasi hukum Islam di masyarakat dapat
berjalan maksimal. Kulturisasi yang dimaksud oleh Penulis adalah memberikan
informasi sekaligus menjadi ajang perkenalan mengenai muatan hukum Islam.
Dengan pahamnya masyarakat terkait dengan hukum Islam, masyarakat akan
merasa hukum Islam sangat cocok diterapkan sebagai suatu norma. Jika demikian,
maka kulturisasi tersebut telah berhasil. Adapun langkah yang penulis tawarkan
agar kulturisasi hukum Islam dapat berjalan adalah melalui aplikasi E-Islamic
Law. E-Islamic Law merupakan suatu aplikasi yang dirancang oleh Penulis,
sehingga metode kulturisasi dapat dilakukan dengan mudah karena berada dalam
genggaman masyarakat. Berikut gambaran E-Islamic Law.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
117
Gambar 1. Muatan E-Islamic Law
Sumber: Kreasi Penulis
Penjelasan mengenai menu pada aplikasi E-Islamic Law ini sebagai berikut:
a. Sejarah, pada menu ini tersedia gambaran terkait sejarah hukum islam di
dunia dan di Indonesia khususnya.
b. Tujuan Hukum Islam, nantinya tujuan hukum Islam tersebut akan penulis
interpretasikan yang bermuara pada rekomendasi norma-norma yang
perlu di muat dalam hukum nasional.
c. Perkembangan, menu ini akan berisi seputar perkembangan hukum Islam
di Indonesia seperti telah adanya Kompilasi Hukum Islam.
d. Tanya Jawab Seputar Hukum, menu ini berisi tanya jawab seputar hukum
yang akan di jawab dengan mengaitkannya dengan hukum Islam.
e. Rekomendasi Norma Hukum Islam, pada menu ini dapat menjadi batu
loncatan penampungan dan penyaluran gagasan terkait tujuan hukum
Islam yang berpotensi untuk di jadikan hukum positif di Indonesia.
Rekomendasi tersebut akan terkirim pada sistem badan legislasi, yang
artinya kulturisasi dan segala perkembangan hukum Islam dapat
dipertimbangkan oleh badan legislasi kedepannya.
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
118
Alasan penulis menawarkan aplikasi ini dikarenakan masyarakat tidak dapat
lepas dari gawai dalam hal ini aplikasi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Studi Baidu mengacu pada riset GfK menunjukkan bahwa
penggunaan aplikasi mobile sebesar 97 persen.13 Dengan penerapan E-Islamic
Law ini, maka kulturisasi hukum Islam di kalangan masyarakat akan terbangun.
Jika telah terbangun, maka tentunya tujuan hukum Islam untuk masuk menjadi
muatan norma dapat di realisasikan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengembangan hukum Islam masih mengalami hambatan dalam pemasifan
informasi, edukasi dan kultur masyarakat sehingga muatan tujuan hukum Islam
belum maksimal masuk dalam norma hukum nasional. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan sebuah dilematika, sebab tujuan hukum Islam antara lain
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sangat perlu untuk
dimasukkan dalam muatan norma hukum positif di Indonesia. Penormaan dalam
produk legislasi tersebut tak lain untuk menjadikan tujuan hukum Islam sebagai
penyaring dan penarik kemaslahatan umat manusia.
Menjawab problematika tersebut, maka langkah yang dilakukan ialah
kulturisasi muatan tujuan hukum Islam dalam bentuk aplikasi yang bernama “E-
Islamic Law”. Aplikasi ini terdiri atas lima menu yaitu sejarah hukum Islam,
tujuan, perkembangan, tanya jawab seputar hukum yang disertai dengan sebuah
notifikasi terkait jawaban tanya jawab dan isu-isu terkini terkait hukum Islam,
serta menu rekomendasi norma hukum Islam yang bermuara pada penampungan
dan peyaluran gagasan tujuan hukum Islam yang berpotensi dinormatifkan kepada
badan legislasi. Dengan demikian, tentunya tingkat pemahaman, kulturisasi dan
rekomendasi akan pemuatan hukum Islam akan semakin masif melalui adanya
aplikasi ini yang dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dengan
langkah yang secara mudah dan cepat.
13 Corry Anestia, Pengguna Mobile Lebih Suka Pakai Aplikasi Dibanding Browser, diakses
dari https://www.liputan6.com/tekno/read/2477796/pengguna-mobile-lebih-suka-pakai-aplikasi-
dibanding-browser, diakses pada 9 Januari 2021.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
119
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran atau rekomendasi yang
diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
a. Sebagai keberlanjutan dari aplikasi “E-Islamic Law”, maka diperlukan
pengimplementasian dan komitmen bersama badan legislasi (dalam hal
ini parlemen) untuk memasukkan segala rekomendasi muatan tujuan
hukum Islam untuk dinormatifkan menjadi hukum nasional. Dengan
demikian, maka eksistensi hukum Islam semakin komprehensif dan
terjaga dalam peradaban.
b. Masyarakat diharapkan tetap mendukung keanekaragam kultur hukum di
Indonesia yang salah satunya yaitu hukum Islam, dengan menjadikan
hukum Islam sebagai filter hukum nasional serta mengimplementasikan
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan nilai dan tujuan
hukum Islam sebagai dasarnya.
Desi Fitriyani dan Winda Sari
E-Islamic Law : Solusi Kulturisasi Hukum Islam sebagai Langkah Menormatifkan
Tujuan Hukum Islam Menjadi Hukum Positif
120
DAFTAR PUSTAKA
Publikasi
Afridawati. Stratifikasi Al-Mashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan
dan Harta ) dan Penerapannya dalam Masalah. Jurnal Al-Qishthu. Vol 13,
No.1 (2015).
Ajub, Ishak. Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia. Jurnal Al-
Qadau. Vol.4. No.1 (2017).
Huda, Syamsul. Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol.12. No.2 (2015).
Islamiyati. Pengaruh Sistem Hukum Islam terhadap Politik Hukum Nasional.
Diponegoro Private Law Review. Vol.3, No.1 (Oktober 2018).
Kenedi, H. John. Penerapan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah dan Hukum
Positif di Indonesia. Jurnal Nuansa. Vol.X. No.1 (2017).
Ma’u, Dahliah Haliah. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia (Analisis Kontribusi
dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik
Indonesia). Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol.15. No.1 (2017).
Muhyidin. Muqashid Al-Syariah (Tujuan-Tujuan Hukum Islam) Sebagai Pondasi
Dasar Pengembangan Hukum, Gema Keadian, Vol.6, No.1 (Juni 2019). Shidiq, Ghoffar. Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam. Majalah Ilmiah
Sultan Agung. Vol.44. No.118 (2020).
Website
Anestia, Corry. Pengguna Mobile Lebih Suka Pakai Aplikasi Dibanding Browser.
diakses dari https://www.liputan6.com/tekno/read/2477796/pengguna-
mobile-lebih-suka-pakai-aplikasi-dibanding-browser. diakses pada 9 Januari
2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4459.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5360.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam. Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
121
KONSENSUS SETENGAH HATI: PERJALANAN PERADILAN AGAMA
MENUJU SISTEM SATU ATAP (1999-2004)
(HALFHEARTED CONSENSUS: THE JOURNEY OF RELIGIOUS COURTS
TOWARDS ONE-ROOF SYSTEM (1999-2004))
Dian Kurnia Hayati
Alumnus Departemen Sejarah FIB Universitas Indonesia
Korespondensi Penulis : dian.kurnia24@alumni.ui.ac.id
Citation Structure Recommendation :
Hayati, Dian Kurnia. Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu
Atap (1999-2004). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).
ABSTRAK
Penelitian ini membahas perbedaan pandangan antara pihak Pengadilan Agama,
Departemen Agama, dan Mahkamah Agung dalam proses integrasi Peradilan
Agama di bawah satu atap. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan
pendekatan perundang-undangan. Sumber utama yang digunakan adalah arsip
primer berupa risalah sidang RUU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan
Kehakiman, RUU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, majalah,
dan surat kabar sezaman. Temuan baru dalam artikel ini adalah pro dan kontra
dalam proses integrasi Peradilan Agama bukan hanya disebabkan oleh aspek
idealisme hukum, tetapi perbedaan kepentingan di antara pihak-pihak terkait.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa faktor-faktor integrasi Peradilan Agama
tidak terbatas pada landasan ideal untuk mewujudkan independensi peradilan
dalam bingkai reformasi, tetapi berkaitan erat dengan aspek ekonomi dan politik.
Kata Kunci: Departemen Agama, Mahkamah Agung, Peradilan Agama,
Reformasi, Sistem Satu Atap
ABSTRACT
This research discusses the different views between the Religious Courts, the
Ministry of Religion and the Supreme Court in the process of integrating the
Religious Courts under one roof. The method used is the historical method with a
statutory approach. The main source used is the primary archive in the form of
trial minutes of the Draft Law No. 35 of 1999 concerning Judicial Power, Draft
Law No. 4 of 2004 concerning Judicial Power, contemporary magazines and
newspapers. The new findings in this article are that the pros and cons of the
integration process of the Religious Courts are not only caused by aspects of legal
idealism, but also by differences in interests among the parties concerned. Thus, it
is concluded that the factors of integration of the Religious Courts are not limited
to the ideal basis for realizing judicial independence within the framework of
reform, but are closely related to economic and political aspects.
Keywords: Department of Religion, Supreme Court, Religious Court,
Reformation, One Roof System
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
122
A. PENDAHULUAN
Pasca Soeharto mundur, Indonesia hidup dalam lingkup tuntutan tiga
lapisan zaman sejarah: beban masa lalu, kebutuhan mendesak masa kini dan
tantangan masa depan. Habibie tidak mengganti kebijakan sebelumnya, tetapi
berupaya memperbaiki rezim Soeharto dengan kebijakan reformasi.1 Abdul Halim
menilai perubahan situasi politik itu sebagai konfigurasi politik demokratis yang
memiliki beberapa indikator penting, yaitu iklim yang memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya demokrasi politik, kemauan politik pemerintah yang berkuasa,
dan perubahan arus bawah. Peran rakyat sangat dominan dalam mendesak elite
penguasa dan mendorong kekuatan masyarakat sipil. Sehingga, negara tidak lagi
menjadi aktor utama dan satu-satunya yang menentukan rumusan politik.2
Hal tersebut berangkat dari realitas hukum era Orde Baru yang tidak
transparan serta penuh dengan praktik nepotisme, khususnya di bidang kekuasaan
kehakiman. Penempatan perwira-perwira militer sebagai ketua Mahkamah Agung
dan proses perekrutan hakim-hakim agung yang cenderung tertutup merupakan
beberapa contoh intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman.3
Hal tersebut memengaruhi citra dan wibawa hukum. Ditinjau dari aspek internal,
Mahkamah Agung juga mengalami permasalahan berupa penumpukan perkara
akibat dari prosedur administrasi yang tidak efektif dan efisien.4
Langkah awal yang dilakukan dalam reformasi di bidang hukum adalah
penerapan sistem peradilan satu atap di bidang kekuasaan kehakiman untuk
menggantikan sistem peradilan dua atap. Peradilan satu atap (one roof system) di
Indonesia bertujuan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek Reformasi
(variabel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa hukum
merupakan sarana pengintegrasi untuk mempercepat evolusi (accelerated
evolution vehicle) berupa transisi dari tertib hukum yang represif dan otoriter
menuju kehidupan masyarakat yang demokratis.
1 Taufik Abdullah, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah 8: Orde Baru dan Reformasi,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2012, p.649- 651. 2 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Penerbit Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, Jakarta, 2008, p.390-391. 3 A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Penerbit
ELSAM, Jakarta,2004, p.117. 4 Varia Peradilan, Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan Peradilan
di Indonesia, Varia Peradilan, 5 Januari 1993, p.5.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
123
Hal ini ditandai dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998
tentang yang mengkaji kembali mengenai fungsi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif di Indonesia. Dalam perkembangannya, hal ini direalisasikan melalui
amendemen UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1999 yang
mencantumkan kebijakan penyatuan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Militer dan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung.
Tetapi, dalam prosesnya, penyatuan Peradilan Agama menuai pro dan kontra.
Dalam kajian-kajian hukum, integrasi peradilan di bawah atap Mahkamah
Agung menonjolkan landasan ideal untuk “mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dari kekuasaan eksekutif” sebagai faktor utama.5 Hal tersebut
disebabkan oleh kebijakan Orde Baru yang menempatkan kekuasaan kehakiman
di bawah bayangan dan intervensi kekuasaan eksekutif sehingga menimbulkan
sentimen yang mendalam lembaga yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif.6
Selain itu, banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan
aparatur penegak hukum sehingga hukum tidak bisa tegak karena peradilannya
korup (judicial corruption). Oleh karena itu, analisis dari kajian-kajian hukum
hanya menekankan pada idealisme reformasi sebagai landasan dalam kebijakan
sistem peradilan satu atap. Kajian akademik mengenai integrasi Peradilan Agama
juga didominasi oleh perspektif ahli hukum dan Mahkamah Agung dibandingkan
perspektif Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Dalam penelitian ini, penulis berupaya membuktikan bahwa landasan idealis
mengenai cita hukum bukan faktor yang berdiri sendiri, tetapi merupakan salah
satu dari faktor utama yang didukung oleh momentum Reformasi. Metode yang
digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas empat tahap, yaitu heuristik
(pencarian sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu
analisis terhadap norma dalam peraturan perundang-undangan, khususnya RUU
Kekuasaan Kehakiman 1999 dan 2003. Penulis juga menggunakan surat kabar
dan majalah sezaman, seperti harian Pelita, Kompas, dan majalah Varia Peradilan.
5 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
2009, p.9. dan Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama, Harian Pelita, 27
Juni 1989, p.4. 6 A. Muhammad Asrun, Op.Cit., p.235.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
124
B. PEMBAHASAN
1. Embrio Reformasi Hukum 1993-1998
Upaya untuk menerapkan sistem peradilan satu atap bertujuan untuk
mengurangi dan menghilangkan intervensi kekuatan eksekutif dan legislatif
terhadap kekuasaan yudikatif. Kajian-kajian hukum umumnya mengemukakan
bahwa kebijakan hukum tersebut berawal dari sejak era reformasi di bawah
kepemimpinan B.J. Habibie. Pada kenyataannya, ide tersebut bukan sebuah hal
baru. Embrio reformasi hukum telah muncul dalam rapat konsultasi antara komisi
III DPR dengan Mahkamah Agung pada 16 November 1992 di ruang rapat DPR
yang dihadiri oleh fraksi ABRI, PDI, PPP dan FKP. Dalam rapat tersebut, H.R.
Purwoto S. Gandasubrata, ketua Mahkamah Agung, menyatakan bahwa,
“Dualisme terasa kurang menguntungkan karena urusan rumah tangga
kekuasaan kehakiman tidak diurus oleh aparatur kekuasaan kehakiman
sendiri, tetapi oleh “orang luar” yakni oleh aparat departemen yang
bersangkutan yang dirasakan “melu handarbeni.”7
Dalam rapat tersebut, Komisi III DPR dan empat fraksi juga menyepakati bahwa
dualisme kekuasaan kehakiman bersifat menyimpang dan berupaya untuk
menyelesaikannya secara konstitusional. Pertemuan tersebut menandakan lahirnya
gagasan untuk menyatukan badan-badan peradilan ke dalam Mahkamah Agung.
Dalam perkembangan selanjutnya, GBHN 1993 juga menyatakan bahwa
sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua di bidang hukum adalah
terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang bersumberkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku, yaitu pluralisme kesadaran hukum warga negara.8
Perubahan kebijakan ini tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
1990-an yang memasuki tahap tinggal landas. Pesatnya transaksi dagang
internasional memerlukan landasan hukum yang stabil dan selaras dengan
perkembangan zaman. Tanpa struktur hukum baru, Indonesia diprediksikan
mengalami hambatan dalam beradaptasi dengan ekonomi global abad ke-21.
7 Varia Peradilan, Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan Peradilan
di Indonesia, Varia Peradilan, 5 Januari 1993, p. 5-13. 8 Nur Fadhil Lubis, The State’s Legal Policy And The Development of Islamic Law in
Indonesia’s New Order, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (ed.), Sharia and Politics in
Indonesia, Institute for Southeast Asian Studies, Singapura, 2003, p.7.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
125
Sayangnya, kepentingan ekonomi masih belum mampu diimbangi dengan sistem
hukum Indonesia yang masih dipengaruhi oleh hukum kolonial Belanda.9
Dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional pada bulan Juli 1994, para pakar hukum juga sepakat bahwa
perkembangan hukum telah terabaikan selama 50 tahun kemerdekaan karena
faktor ekonomi, sehingga diperlukan percepatan transformasi sistem hukum yang
tradisional, kolonial dan pluralistik ke arah sistem hukum nasional yang utuh dan
modern.10 Situasi politik tersebut yang mendukung penerapan gagasan sistem
peradilan satu atap dalam upaya modernisasi kekuasaan kehakiman. Akan tetapi,
sayangnya gagasan ini kemudian kembali surut hingga terjadinya momentum
krisis moneter di Asia pada tahun 1997-1998.
2. Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
Gagasan mengenai sistem peradilan satu atap baru mendapatkan momentum
setelah Reformasi 1998. Hal ini disebabkan oleh akomodasi terhadap tuntutan atas
pembenahan hukum dan lembaga peradilan yang tercantum dalam GBHN 1999-
2004.11 Dalam Bab IV huruf A butir 2, pembangunan bidang hukum bertujuan
untuk menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan
tidak sesuai melalui legislasi. Hal tersebut direspons oleh Mahkamah Agung
dalam pernyataan hukumnya tanggal 15 Januari 1999 bahwa “perubahan dan
penghapusan pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman mutlak harus segera dilakukan.” Bersamaan dengan
pernyataan hukum, Mahkamah Agung mengajukan pokok-pokok revisi UU No.
14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman serta konsep rumusan organisasi
dan tata kerja dalam prospektif kekuasaan kehakiman yang utuh dan mandiri.12
9 Firaz Gaffar dan Ifdhal Kasim (ed.), Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi
Perkembangan, Penerbit Cyber Consult, Jakarta, 1999, p.4. 10 Firaz Gaffar dan Ifdhal Kasim, Ibid., p.3. 11 Warkum Sumito, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2005, p.222. dalam Malik Ibrahim, Peradilan
Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-
Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2 (Desember 2013), p.659. 12 Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum
di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.56.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
126
Dalam surat tertanggal 4 Juni 1999, Menko Wasbangpan, Hartarto,
merekomendasikan urgensi penyatuan pembinaan badan-badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung. Presiden Habibie menyetujui dan mengajukan RUU
tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
kepada DPR. Hal tersebut juga diperkuat dengan penetapan Hartarto sebagai ketua
Tim Kerja Terpadu Pengkajian Pelaksanaan TAP MPR RI yang terdiri atas unsur
Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Departemen
Pertahanan dan Keamanan, serta akademisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, penyatuan Peradilan Agama mengalami
perdebatan dan proses yang lebih panjang dibanding tiga badan peradilan lainnya.
Benturan kepentingan antara Mahkamah Agung yang mengawasi bidang yustisial
dan Departemen Agama yang membina dan mengawasi organisasi, finansial dan
administrasi Peradilan Agama menghambat proses pembahasan RUU Kekuasaan
Kehakiman di DPR. Beberapa pihak menilai hal tersebut menyebabkan tumpang
tindih, inefisiensi, dan lembaga peradilan yang tidak imparsial. Di sisi lain,
gagasan penyatuan Peradilan Agama menimbulkan respons yang keras dari para
pejabat Departemen Agama dan ulama dari Majelis Ulama Indonesia.
Pihak Departemen Agama yang didukung oleh Prof. Bustanul Arifin, ketua
Komisi Hukum MUI dan Prof. Ismail Sunny, pimpinan Muhammadiyah,
bersikukuh agar Peradilan Agama tetap berada di bawah naungan Departemen
Agama dan tidak akan dipindahkan ke Mahkamah Agung. Bagi Bustanul Arifin,
kemandirian hukum tidak berhubungan dengan penyatuan Peradilan Agama di
bawah MA. MUI bahkan mengimbau agar sidang paripurna DPR menolak RUU
Kekuasaan Kehakiman yang menyatukan Peradilan Agama dan peradilan umum.
Jika DPR mengesahkan RUU, Presiden Habibie diharapkan tidak menyetujuinya.
Bustanul Arifin juga meminta agar RUU direvisi kembali.13 Menteri Agama dan
Muladi, Menteri Hukum dan HAM juga menyatakan keberatan terhadap
penyatuan semua peradilan di bawah Mahkamah Agung karena persoalan
administratif pada Peradilan Agama tidak dapat langsung diserahkan ke MA.14
13 Kompas, MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman, Kompas, 30 Juli 1999,
p.8. 14 Republika, RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan Agama Tetap
di Bawah Depag, Republika, Jumat, 16 Juli 1999, p.3.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
127
Pembahasan perubahan RUU perubahan UU No. 14 Tahun 1970 di DPR
juga sarat dengan konflik. Sejak awal, lembaga eksekutif tidak memiliki satu
suara terkait penyatuan Peradilan Agama. Menteri Kehakiman, yang seharusnya
menjadi wakil pemerintah dalam sidang DPR menolak kebijakan itu sehingga
digantikan oleh sehingga Hartarto kembali dipilih sebagai wakil pemerintah.15
Dalam laporan Komisi I, pembicaraan tingkat III RUU Kekuasaan
Kehakiman ditangani dengan prosedur singkat. Tapi dalam realisasinya, “prosedur
singkat” itu mengesankan pada hak prerogatif DPR dalam mengesahkan RUU
walau banyak pihak yang tidak setuju. Dalam pembicaraan tingkat IV, Aisyah
Aminy mengakui bahwa walau perubahan hanya dilakukan pada pasal 11 dan 22,
terkandung masalah yang cukup luas karena perbedaan pandangan tentang istilah
“kemandirian” yang dibedakan menjadi kemandirian fungsional atau kemandirian
struktural. Pembahasan tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial
Peradilan Agama juga tak dapat diselesaikan dalam rapat internal sehingga
pimpinan DPR RI bidang Korpol melobi ketua keempat fraksi, Menteri
Kehakiman, Menteri Agama dan pimpinan Komisi I DPR RI pada 27 Juli 1999.16
Proses pembahasan RUU pada Kamis, 29 Juli 1999 juga diwarnai
kericuhan. Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat
lainnya menyatakan “walk out.” Hal itu karena Ketua Komisi I, Aisyah Aminy
tidak mengizinkan LSM memberikan pendapat selama proses pembahasan.
Panitia pelaksana mengklaim telah menerima saran dan pendapat dari kalangan
masyarakat, seperti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,
YLBHI, IKADIN, unsur Universitas Indonesia, MUI, dan ketua-ketua PTA untuk
dipertimbangkan17 Hal ini mengundang kemarahan berbagai pihak yang tidak
diakomodasi oleh DPR. Ketua II Serikat Pengacara Indonesia, Benny K. Harmani
menyatakan sidang pembahasan RUU sangat tertutup bagi partisipasi publik.18
15 Surat Nomor R.29/PU/VI/1999 tentang RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 16 Laporan Komisi I DPR-RI dalam Pembicaraan Tingkat IV/Pengambilan Keputusan
Mengenai RUU tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970. 17 Ibid.. 18 Kompas, MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman, Kompas, 30 Juli 1999,
p.8.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
128
Dalam sidang pembahasan, Fraksi Persatuan Pembangunan menolak tegas
penyatuan peradilan agama. Melalui juru bicaranya, Amin Bunyamin, Peradilan
Agama perlu dikecualikan dari pembahasan RUU Perubahan Kekuasaan
Kehakiman. Hal ini didasarkan oleh konsistensi pengawasan peradilan di bawah
Departemen Agama, kekhususan pejabat struktural dan fungsional, serta materi
hukum yang mengacu pada hukum Islam. Penggabungan Peradilan Agama
dikhawatirkan akan merusak citra peradilan di mata umat Islam. Awalnya usulan
tersebut ditolak pemerintah, FKP, FPDI dan FABRI.19
Dalam perubahan UU No. 14 Tahun 1970 ditambahkan satu pasal di antara
pasal 11 dan 12, yaitu pasal 11 A yang menyatakan bahwa pengalihan organisasi,
administrasi dan finansial dilakukan secara bertahap paling lama 5 tahun sejak
UU berlaku. Khusus Peradilan Agama, waktu pengalihan tidak ditentukan. Hal
tersebut diperkuat dengan penjelasan ayat (2) yang berbunyi: “Selama belum
dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan
Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama.”.20
Risalah sidang IV RUU Kekuasaan Kehakiman 1999 juga dicantumkan:
“[...] jangka waktu pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi
Peradilan Agama mengingat kekhususan yang ada yakni di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah, tidak
ditentukan sebagaimana halnya badan peradilan yang lain.”21
Pemerintah berusaha meyakinkan bahwa hal tersebut tidak menunjukkan
adanya pemberlakuan eksklusif bagi badan peradilan tertentu sehingga diharapkan
“pada saatnya yang tepat kewenangan organisatoris, administratif, dan finansial
semua badan-badan peadilan akan beralih di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.” Penyatuan Peradilan Agama juga didukung oleh Fraksi Partai Bulan
Bintang yang diwakili Bondan Abdul Majid, keberadaan badan-badan peradilan,
termasuk peradilan agama, seharusnya dinaungi oleh Mahkamah Agung guna
efektivitas kinerja Mahkamah Agung dalam menangani perkara yang masuk.22
19 Republika, RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan Agama Tetap
di Bawah Depag, Republika, Jumat, 16 Juli 1999, p.3 20 PPID DPR RI, RUU Republik Indonesia Nomor Tahun tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 PPID DPR RI, Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU Republik Indonesia tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. 22 PPID DPR RI, Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman pada 24 September 2002.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
129
Walaupun perjalanannya menuai reaksi kontra, DPR tetap menyetujui RUU
tersebut hanya dalam 14 hari menjadi UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan
Kehakiman.23 Dengan berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman yang baru, maka
dalam jangka waktu lima tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan-
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Bagi praktisi peradilan,
peresmian UU No. 35 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah bagi terwujudnya
kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman secara utuh, terutama dalam
bidang finansial dan administrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, hal tersebut menuai reaksi beragam dari
kalangan intelektual. H.M. Tahir Azhary menyatakan bahwa kemandirian hakim
tidak semata-mata tergantung pada penyatuan lingkungan Peradilan Agama di
bawah Mahkamah Agung, tetapi ditentukan oleh kemandirian hakim dalam
mengambil keputusan. Bahkan Prof. Bustanul Arifin dan Prof. Ismail Sunny
berpendapat bahwa sampai kiamat pun Peradilan Agama tidak akan pernah
beralih ke Mahkamah Agung. Di sisi lain, H. Taufiq tetap optimis bahwa
peralihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung hanya tinggal menunggu waktu
saja.24 Dengan adanya pro dan kontra tersebut, kedudukan Peradilan Agama
masih berada di posisi mengambang.
3. Peradilan Agama dan Departemen Agama: Bukan Sekadar Struktur
Penolakan Departemen Agama terhadap sistem satu atap berdasarkan
beberapa alasan: Pertama, peralihan pembinaan administrasi, organisasi dan
finansial Peradilan Agama berimplikasi berkurangnya wewenang Departemen
Agama. Hal tersebut berkaitan dengan landasan historis bahwa Peradilan Agama
menjadi tulang punggung dan modal dasar keberadaan Departemen Agama sejak
1946. Hal ini dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk melikuidasi
Departemen Agama, terutama jika lembaga pendidikan agama juga disatukan
dengan Departemen Pendidikan dan urusan haji dialihkan ke Departemen Dalam
Negeri. Kekhawatiran ini dipahami mengingat Departemen Agama merupakan
salah satu pilar utama yang mengurus urusan-urusan keagamaan.
23 Kompas, Dalam Tempo 14 Hari: RUU Kehakiman Disetujui DPR, Kompas, 31 Juli
1999, p.9. 24 Wahyu Widiana, Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung, makalah disampaikan
dalam Seminar Nasonal dan Temu Alumni Fakultas Syariah, Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2004, p.94.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
130
Kedua, adanya kekhawatiran bahwa Departemen Agama tidak dapat terlibat
dalam penyelesaian masalah Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung,
sedangkan Peradilan Agama telah memiliki hubungan emosional dengan
Departemen Agama sejak puluhan tahun. Ketiga, perubahan perilaku hakim-
hakim Peradilan Agama sehingga tidak lagi mencerminkan sikap dan perilaku
ulama yang mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam, melainkan berperilaku
sebagaimana hakim-hakim peradilan negeri. Hal ini dikarenakan hakim Peradilan
Agama tidak lagi berasal dari lulusan lembaga pendidikan yang dikelola oleh
Departemen Agama, akan tetapi perguruan tinggi umum yang masih
menggunakan kurikulum hukum sekuler. Namun Mahkamah Agung menjamin
bahwa hakim dan pegawai Pengadilan Agama tetap dari lulusan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama.25
Menurut Malik Ibrahim, alasan-alasan penolakan tersebut secara sepintas
tampak rasional. Akan tetapi di sisi lain terdapat sejumlah persoalan yang
dihadapi Peradilan Agama sebagai penegak hukum dan keadilan. Pertama, sistem
ketatanegaraan Indonesia mengharuskan semua badan peradilan, termasuk badan
Peradilan Agama berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung sesuai Pasal
24 UUD 1945. Jika Peradilan Agama tetap berada di bawah Departemen Agama,
maka terjadi dualisme pengawasan dan pembinaan yang kurang efektif. Kedua,
Pengadilan Agama sulit berkembang karena keterbatasan anggaran Departemen
Agama. Anggaran tidak sebanding dengan hal-hal yang harus dibiayai, yakni
Peradilan Agama, pendidikan agama, urusan haji dan lain sebagainya. Apabila
Peradilan Agama disandingkan dengan pendidikan, maka pendidikan lah yang
akan lebih diprioritaskan. Ketiga, hal tersebut berkaitan dengan citra Peradilan
Agama yang dianggap negatif oleh masyarakat. Pengadilan Agama dipandang
tidak lebih dari KUA (Kantor Urusan Agama) dan hakim-hakimnya tidak
dianggap sebagai hakim. Itulah sebabnya warga Peradilan Agama berkeinginan
kuat untuk bergabung dengan Mahkamah Agung.
25 Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47,
No.2 (Desember 2013), p.652-653.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
131
Malik Ibrahim juga menegaskan adanya ketidakpuasan warga Peradilan
Agama terhadap kebijakan Departemen Agama yang diterapkan pada lingkungan
peradilan agama, diantaranya mengenai tunjangan hakim agama. Ketika
Pemerintah hendak memberikan tunjangan fungsional kepada para hakim di
Indonesia, pihak Departemen Agama tidak menyetujuinya karena keterbatasan
anggaran. Tunjangan hakim Pengadilan Agama hanya dapat ditingkatkan menjadi
60% dari hakim Peradilan Umum pada tahun 1996. Dalam hal ini, Taufiq, mantan
Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan
Agama mengusulkan agar menaikkan status Badan Peradilan Agama dari
Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
(eselon satu), menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Agama (eselon dua). Namun,
tawaran tersebut tidak sempat diwujudkan.
Untuk mencegah penyatuan peradilan, Departemen Agama juga berupaya
meningkatkan anggaran Peradilan Agama dan kantor-kantor Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), akan tetapi tidak efektif.26 Puncak peristiwa
tersebut terjadi pada 27 Juli 1999 ketika ketua-ketua PTA dari seluruh Indonesia
diundang ke Jakarta untuk menghadiri rapat di Departemen Agama untuk
menjelaskan kebijakan Departemen Agama untuk mempertahankan Peradilan
Agama. Merespons hal tersebut, para ketua PTA menyusun surat yang ditujukan
kepada Menteri Agama, Malik Fadjar, dan ditembuskan kepada Dewan
Perwakilan Rekyat dan Mahkamah Agung.27
Benturan kepentingan antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Peradilan Agama dengan Departemen Agama yang menyebabkan posisi Peradilan
Agama menjadi semakin tidak menentu. Berdasarkan perspektif a Mahkamah
Agung, warga di Pengadilan Agama merasakan keprihatinan selama Pengadilan
Agama berada di bawah naungan Departemen Agama. Oleh karena itu, sikap
Departemen Agama terkesan menghambat proses reformasi sistem peradilan.
26 Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama, Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47,
No.2 (Desember 2013), p.652-653. 27 A. Mukti Arto, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, p.155 dan PPHIM, Kiprah dalam Proses Integrasi PA ke MA
(Jejak Langkah dan Dinamika PPHIM), Penerbit PPHIM dan Ramah Publisher, Jakarta, 2007,
p.106. dalam Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata
Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.59-60.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
132
Walau Peradilan Agama menyepakati gagasan satu atap, hal tersebut
berangkat dari motif yang berbeda dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan data
penelitian Wahyu Widiana yang mengambil sampel 518 responden kategori
lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pada tahun 1999, dari 482 orang (93%)
menyatakan setuju dan 2,9% menyatakan tidak setuju. Sementara itu, responden
dari kategori luar Peradilan Agama yang berjumlah sebanyak 379 orang, 291 atau
76,8% diantaranya menyatakan tidak setuju dan hanya sebanyak 53 orang (14%
diantaranya) yang menyatakan setuju. Suatu hal yang menarik adalah sebanyak
93% yang menyatakan setuju sistem satu atap dilandasi alasan material (63,3%)
dibandingkan alasan struktural (22,2%).
Pada akhir masa Orde Baru, pembangunan gedung kantor Pengadilan
Agama masih menggunakan standar balai nikah dengan luas 150 m2. Dari 314
Pengadilan Agama, masih terdapat sembilan kantor Pengadilan Agama yang baru
dibentuk dengan mengontrak pada rumah perseorangan. Rata-rata bangunan balai
sidang Pengadilan Tinggi Agama memiliki luas 300 m2. Berkaitan dengan
kendaraan dinas 25 Pengadilan Tinggi Agama, masing-masing memiliki satu
kendaraan dinas roda empat dan 37 kendaraan dinas roda dua yang tidak layak
pakai karena telah berumur lebih dari 10 tahun. Sementara itu, 74 Pengadilan
Agama memiliki masing-masing satu kendaraan donas roda empat yang layak
pakai. Di samping itu, terdapat 237 Pengadilan Agama yang tidak memiliki
kendaraan dinas roda dua yang layak pakai.28
Berkaitan dengan kondisi perlengkapan sidang (dekorum), terdapat
beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) masing-masing Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama hanya memiliki satu ruang sidang yang tidak seimbang
dengan volume perkara yang mencapai 8 sidang per hari; 2) meja dan kursi sidang
untuk majelis hakim dan panitera sangat sederhana dan belum mendukung
kewibawaan peradilan; 3) sebagian besar Pengadilan Agama belum memiliki
sound system untuk penyelenggaraan persidangan. Di sisi lain, anggaran Peradilan
Agama sangat minim, yaitu Rp. 72.000.000,00 pada tahun anggaran 1994/1995
yang hanya cukup untuk 30 orang pejabat pengadilan agama.29
28 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Rencana Induk Pengembangan
Peradilan Agama 2000-2009, Penerbit CV Mopeng Kridatama, Jakarta, 2000, p.43-66. 29 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
133
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa persetujuan warga Peradilan
Agama terhadap sistem satu atap lebih disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
materi. Terutama menyangkut sarana dan prasarana, gaji/tunjangan hakim agama
dan biaya operasional dibandingkan alasan struktural Peradilan Agama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman yang berupaya melepaskan diri dari kekuasaan
eksekutif.30 Dengan demikian, landasan filosofi hukum bukan satu-satunya faktor
utama integrasi Peradilan Agama.
Sebagai upaya kompromi, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa,
“... kedudukan Pengadilan Agama sementara waktu tetap dibiarkan dibina di
bawah organisasi pemerintah, yaitu Departemen Agama. Namun, pada
saatnya nanti administrasi pembinaan Peradilan Agama tidak mungkin
terus-menerus disendirikan, besar kemungkinan perkembangannya akan
mengalami hambatan. Karena itu, memang perlu dilakukan langkah-langkah
konkrit, terencana dan sistematis sehingga pada saatnya nanti administrasi
pembinaan Peradilan Agama juga diintegrasikan kedalam sistem pembinaan
oleh Mahkamah Agung.”31
Bagi praktisi hukum dan pihak Mahkamah Agung, integrasi Peradilan
Agama merupakan kehendak reformasi dalam rangka penguatan lembaga
yudikatif. Jika tidak demikian, Peradilan Agama akan ketinggalan dibanding
lembaga peradilan lainnya, dan sangat merugikan Umat Islam karena tidak
memiliki lembaga peradilan yang representatif.
4. Peradilan Agama Era Reformasi: Menuju Peradilan Satu Atap
Dengan pencantuman Peradilan Agama dalam UUD 1945 amandemen
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), posisi lembaga
tersebut sangat kuat dan kokoh.32 Sebagai konsekuensi logis amendemen UUD
1945 tahun 2001 khususnya perubahan tatanan kekuasaan kehakiman, maka
peraturan-peraturan dibawahnya harus diamendemen pula, termasuk UU tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 2003, sistem satu atap direalisasikan dengan
amendemen lima UUD 1945 yaitu tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
Agung, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Kejaksaan yang
dipersiapkan oleh Departemen Hukum dan perundang-undangan.
30 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2008, p.302-303. 31 Jaenal Aripin, Ibid.. 32 Taufik Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum
di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, p.58.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
134
Dalam pengajuan RUU, revisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama belum masuk ke dalam daftar RUU yang dibahas karena masih terdapat
pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Selain itu, Departemen Hukum
dan Perundang-undangan menganggap bahwa RUUPA dipersiapkan sendiri oleh
Departemen Agama yang belum siap menyerahkannya ke Mahkamah Agung.33
Selama proses pembahasan RUU sejak bulan Juni – 17 Desember 2003,
unsur Departemen Agama selalu hadir pada rapat Panitia Kerja dan bersikap
bahwa institusi tersebut belum siap menyerahkan Peradilan Agama dengan
pertimbangan para ulama dan tokoh masyarakat. Sikap Departemen Agama dan
Majelis Ulama Indonesia berbeda dengan hakim dan pegawai di Pengadilan
Agama yang menginginkan peralihan ke Mahkamah Agung. Sebagai respons
terhadap hal tersebut, H. Taufik dan beberapa tokoh mengambil prakarsa untuk
mempertemukan Departemen Agama, ulama, ketua-ketua Pengadilan Tinggi
Agama seluruh Indonesia, dan sejumlah anggota DPR yang difasilitasi oleh Pusat
Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat.34
Dalam pertemuan tersebut, pihak Departemen Agama dan hakim PTA
masih belum menemukan kesepakatan, tetatpi secara perlahan terdapat
kesepahaman di antara pelbagai pihak. Hal yang harus dilakukan adalah
pendekatan dengan para ulama agar dapat memahami alasan penyatuan tersebut.
Di sisi lain, DPR terus melakukan pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman dan
menekankan agar pengalihan Peradilan Agama harus dibatasi waktunya agar
terdapat kejelasan. Namun, gagasan tersebut digagalkan dengan alasan pimpinan
Departemen Agama dan ulama MUI masih menganggap waktunya belum tepat.
Direktur Direktorat Pembinaan Peradilan Agama atas nama Direktur Jenderal
Bimbingan Ibadah dan Penyelenggaraan Haji mengirim surat resmi pada 12
November 2003 ke Dirjen Peraturan Perundang-undangan tentang sikap
penolakan Departemen Agama.35 Berbeda dengan sentimen dari pihak Mahkamah
Agung yang lahir dari kebijakan otoriter rezim Orde Baru, sentimen Departemen
Agama telah ada sejak tahun 1946 karena ketegangan antara golongan nasionalis
sekuler dan nasionalis Islam yang mengancam eksistensi dari lembaga tersebut.
33 Jaenal Aripin, Op.Cit., p.304-305. 34 Jaenal Aripin, Ibid., p.305-306. 35 Wahyu Widiana, Op.Cit., p.306.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
135
Oleh karena itu, alasan historis dan teologis tersebut mendorong Departemen
Agama untuk mempertahankan sistem lama yang kurang efisien dibandingkan
manajemen satu atap yang lebih sederhana.36
Dalam tanggapannya tanggal 24 September 2002, Fraksi Partai Bulan
Bintang yang diwakili oleh Bondan Abdul Majid menyatakan bahwa “keberadaan
badan-badan peradilan seharusnya memang di bawah Mahkamah Agung.” Selain
itu, reformasi hukum dan peradilan harus dilanjutkan dengan perubahan UU
lainnya, termasuk UU Peradilan Agama. Fraksi TNI/Polri juga mendukung
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan
militer dan Peradilan Agama dilaksanakan paling lambat pada akhir Juni 2004.37
Meskipun wakil dari Departemen Agama menolak, pembahasan tetap
dilanjutkan hingga panitia kerja menetapkannya sebagai salah satu pasal RUU.
Akhirnya, Dirjen BPIH atas nama Menteri Agama mengirim surat ke MUI dan
memohon agar MUI memberikan solusinya. H. Taufik kemudian menemui
Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawwar, untuk menyampaikan keinginan
warga Peradilan Agama agar segera menyetujui sistem satu atap. Said Agil yang
didampingi Direktur Pembinaan Peradilan Agama, H. Wahyu Widiana, MA,
menyetujui dengan syarat ulama juga menyepakati. H. Taufik lalu melakukan
pendekatan dengan ulama-ulama berpengaruh di MUI, diantaranya K.H. Sahal
Mahfudz, K.H. Ali Yafie dan K.H. Amidhan. Akhirnya, ulama menyetujui dengan
syarat keterlibatan Departemen Agama dan MUI dalam proses pembinaan
peradilan agama.38 Namun, dalam Rapat Kerja Nasional dan Ijtima Ulama Komisi
Fatwa MUI se-Indonesia pada 16 Desember 2003, hanya dicantumkan
“memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama
Indonesia”, bukan Departemen Agama dan MUI.
Dalam UU No. 4 Tahun 2004, beberapa ketentuan tentang Peradilan Agama
mencantumkan bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan
Agama ke Mahkamah Agung dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2005.
36 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indonesia, Pustaka Alvabet, Tangerang, 2008, p.329. 37 PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman. 38 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2008, p.302-303.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
136
Pelaksanaannya dilakukan oleh keputusan presiden yang harus dikeluarkan paling
lambat 60 hari sebelum tanggal 30 Juni 2004. Di sisi lain, Mahkamah Agung juga
mempersiapkan pembentukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Selain
itu, status pegawai dan aset milik lingkungan Peradilan Agama berubah menjadi
pegawai dan aset Mahkamah Agung. Hal tersebut diikuti oleh pengalihan status
pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama yang berada di bawah
Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
di bawah struktural Mahkamah Agung.
Sistem peradilan satu atap mulai terealisasi setelah lahirnya Keppres No. 21
Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di
Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen
Kehakiman & HAM ke Mahkamah Agung yang dilakukan pada tanggal 31 Maret
2004, sedangkan pengalihan Peradilan Agama pada tanggal 30 Juni 2004.
Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 30 Juni 2004 di Lapangan Benteng
Jakarta. Pengalihan ini dimulai dari Direktorat Pembinaan Peradilan Agama,
Pengadilan Agama se-Indonesia, Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).39
Setelah sistem satu atap, secara organisatoris, 343 Pengadilan Agama
(tingkat pertama) dan 24 Pengadilan Tinggi Agama (tingkat banding) telah resmi
berada di bawah Mahkamah Agung. Walaupun demikian, alinea keempat pada
penjelasan umum UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mencantumkan bahwa Menteri Agama atau Kementerian Agama dan MUI masih
mempunyai akses dalam membina Peradilan Agama. Hal ini dapat dilihat antara
lain dari pembinaan Hukum Islam sebagai hukum materi Peradilan Agama dan
Sarjana Syari’ah yang merupakan produk perguruan tinggi binaan Kementerian
Agama, merupakan sumber daya manusia pokok yang disyaratkan sebagai aparat
hukum di lingkungan Peradilan Agama.40
Secara umum, faktor yang paling berpengaruh terhadap penyatuan Peradilan
Agama terbagi menjadi dua, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal
adalah keinginan dari warga PA sendiri yang berpandangan bahwa dengan berada
di bawah MA, diharapkan keberadaan PA akan semakin eksis dan bermartabat.
39 Kompas, Peradilan Agama Dialihkan ke MA, Kompas, Jumat, 2 Juli 2004, p.7. 40 Malik Ibrahim, Op.Cit., p.665-666.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
137
Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah amanat UU No. 35 Tahun
1999 jo. UU No. 4 tahun tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Walau demikian, pembinaan Peradilan Agama oleh Mahkamah
Agung dilakukan harus mendengarkan saran Departemen Agama dan MUI.
Setelah diintegrasikan di bawah Mahkamah Agung, secara perlahan terjadi
peningkatan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama.41
Menurut Malik Ibrahim, sejak berada satu atap di bawah naungan Mahkamah
Agung, maka pengaruhnya terhadap keberadaan Peradilan Agama adalah: (1)
Kedudukan Peradilan Agama telah sejajar dengan lembaga peradilan lainnya yang
ada di Indonesia; (2) Alokasi anggaran Peradilan Agama mengalami peningkatan
yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum terjadinya penyatuatapan,
yaitu dari Rp. 3,5 miliar, lalu meningkat menjadi Rp. 71 miliar, dan terakhir Rp.
200 miliar;42 (3) Pembinaan terhadap Peradilan Agama baik terkait aspek
organisasi, administrasi dan finansial oleh lembaga setingkat Direktorat Jenderal
(eselon satu), sehingga terdapat peningkatan dibandingkan sebelumnya karena
dilakukan oleh lembaga setingkat direktorat (eselon dua); (4) Keberadaan Ketua
Muda Mahkamah Agung pada lingkungan Peradilan Agama sebagai pembina
teknis tetap dipertahankan; (5) Persaingan di antara aparat di lingkungan
Pengadilan Agama dengan aparat di lingkungan peradilan lainnya akan semakin
sehat sehingga terdapat peluang yang sama untuk bersaing menduduki jabatan
tertentu di lingkungan Mahkamah Agung.
Berkaitan dengan aksesibilitas peradilan, kajian Cate Summer dan Timothy
Lindsay menyatakan bahwa Peradilan Agama sukses dalam empat aspek, yaitu
pengembangan akses yang lebih baik untuk perempuan. Dua per tiga pendaftar
perkara adalah pihak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki hal yang sama untuk mengajukan cerai dan diselesaikan
sesuai dengan hukum syariah. Peradilan Agama juga mampu memberikan akses
unuk mengatasi masalah legalitas perkawinan bagi warga kurang mampu melalui
sidang keliling sehingga mengurangi biaya perkara.43
41 Taufik Hamami, Op.Cit., p.61. 42 Pelita, Anggaran Peradilan Agama Terbatas, Harian Pelita, Jumat, 24 Maret 2006, p.7. 43 Cate Summer dan Tim Lindsay, Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and
Justice for the Poors, Lowy Institute for International Policy, New South Wales, 2011, p.7-14.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
138
Kesamaan peluang dalam menduduki jabatan hakim Pengadilan Agama
berkaitan dengan proses rekrutmen hakim agama yang masih dipengaruhi oleh
hukum sipil. Sesuai dengan sistem hukum sipil pada umumnya, hakim-hakim
Pengadilan Agama bisa direkrut dari fakultas hukum Islam dari UIN (Universitas
Islam Negeri) dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) maupun dari fakultas
hukum perguruan tinggi. Umumnya, calon hakim mendapat pelatihan sebelum
terjun ke pengadilan. Sayangnya, kurikulum dalam pelatihan masih bersifat teknis
dan belum memadai untuk mengembangkan kemampuan hakim dalam
menginterpretasi undang-undang untuk menemukan hukum baru. Dengan
demikian, pola pikir hakim masih terpusat pada kodifikasi hukum yang bersifat
sekuler. Di sisi lain, kurikulum pendidikan hukum Islam di UIN dan IAIN masih
berfokus pada kitab-kitab fiqih sehingga mahasiswa kompetensi di bidang praktik
hukum masih kurang memadai.44
Dalam perkembangannya, kualitas hakim-hakim telah ditingkatkan.
Sebagian besar hakim Pengadilan Agama bergelar magister dan doktor hukum
atau hukum Islam. Hakim Pengadilan Agama tidak lagi tepaku pada peraturan
perundang-undangan dalam memutus perkara, tetapi juga Kompilasi Hukum
Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, serta melakukan ijtihad terhadap
kitab-kitab fiqih di samping Al-Qur’an dan Hadis.45
C. PENUTUP
Cikal bakal gagasan reformasi hukum khususnya kekuasaan kehakiman,
telah dimulai sejak 1990-an untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan bisnis
internasional. Pada periode tersebut, mulai terdapat penerimaan terhadap
pemikiran baru di bidang modernisasi hukum. Setelah kejatuhan Orde Baru, era
Reformasi menjadi momentum penting yang membuka kesempatan bagi realisasi
modernisasi dan restrukturisasi lembaga kekuasaan kehakiman. Hal tersebut
diperkuat dengan amendemen UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman yang
mencantumkan kebijakan sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung.
44 Euis Nurlaelawati dan Abdurrahman Rahim, The Training, Appoinment, and Supervision
of Islamic Judges in Indonesia, Pasific Law and Policy Journal, Vol.21, No.1 (2012), p.63-64. 45 Euis Nurlaelawati dan Abdurrahman Rahim, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
139
Berbeda dengan lembaga peradilan lainnya, Peradilan Agama memiliki
hambatan tersendiri karena adanya penolakan dari Departemen Agama. Perbedaan
pandangan antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung lahir dari sentimen
historis yang terjadi jauh sebelum era Reformasi. Dalam hal ini, terdapat
perbedaan kepentingan antara Departemen Agama yang bersikap kontra dengan
Mahkamah Agung dan warga Peradilan Agama di sisi lainnya. Bagi Departemen
Agama, sikap tersebut dilandasi oleh hubungan historis, sosiologis, finansial dan
kekhususan kewenangan Peradilan Agama dibandingkan lembaga peradilan lain
yang bercorak hukum sekuler.
Sementara itu, Mahkamah Agung mengusahakan integrasi dilandasi oleh
citra Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi,
landasan filosofis mengenai independensi hakim dan anggaran. Di sisi lain, warga
Peradilan Agama menyepakati gagasan integrasi didorong oleh faktor ekonomi,
yaitu keterbatasan sarana dan prasarana pengadilan dibandingkan struktural.
Seiring dengan upaya akomodasi dari Mahkamah Agung dan tekanan politik dari
berbagai pihak, Departemen Agama akhirnya terpaksa menerima konsensus
tersebut dengan persyaratan khusus bahwa ulama tetap memiliki akses dalam
membina Peradilan Agama. Dengan demikian, kebijakan mengenai integrasi
Peradilan Agama menuju sistem satu atap tidak hanya berkaitan dengan landasan
struktural untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, tetapi tidak
terlepas dari faktor-faktor lain yang mengelilinginya, terutama ekonomi sebagai
faktor internal dan iklim politik sebagai faktor eksternal.
Dian Kurnia Hayati
Konsensus Setengah Hati: Perjalanan Peradilan Agama Menuju Sistem Satu Atap
(1999-2004)
140
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Taufik, dkk.. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah 8: Orde Baru dan
Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve)
Aripin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia. (Jakarta: Penerbit Kencana).
___________. 2009. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. (Jakarta:
Penerbit Prenada Media).
Arto, A. Mukti. 2012. Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar).
Asrun, A. Muhammad. 2004. Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah
Soeharto. (Jakarta: Penerbit ELSAM).
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. 2000. Rencana Induk
Pengembangan Peradilan Agama 2000-2009. (Jakarta: Penerbit CV
Mopeng Kridatama).
Gaffar, Firaz dan Ifdhal Kasim (ed.). 1999. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil
Studi Perkembangan. (Jakarta: Penerbit Cyber Consult).
Halim, Abdul. 2008. Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum
Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi.
(Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI).
Hamami, Taufik. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam
Sistem Tata Hukum di Indonesia. (Bandung: Penerbit Alumni).
Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik
dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. (Tangerang: Penerbit Pustaka
Alvabet).
PPHIM. 2007. Kiprah dalam Proses Integrasi PA ke MA (Jejak Langkah dan
Dinamika PPHIM). (Jakarta: Penerbit PPHIM dan Ramah Publisher).
Salim, Arskal dan Azyumardi Azra (ed.). 2003. Sharia and Politics in Indonesia.
(Singapura: Penerbit Institute for Southeast Asian Studies).
Sumito, Warkum. 2005. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan
Sosial Politik di Indonesia. (Malang: Penerbit Bayumedia Publishing).
Summer, Cate dan Tim Lindsay. 2011. Courting Reform: Indonesia’s Islamic
Courts and Justice for the Poors. (New South Wales: Lowy Institute for
International Policy).
Publikasi
Ibrahim, Malik. Peradilan Satu Atap (The One Roof System) di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Peradilan Agama. Asy-Syi’rah Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum. Vol.47. No.2 (Desember 2013).
Nurlaelawati, Euis dan Abdurrahman Rahim. The Training, Appoinment, and
Supervision of Islamic Judges in Indonesia. Pasific Law and Policy Journal.
Vol.21, No.1 (2012).
Karya Ilmiah
Widiana, Wahyu. 2004. Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung. makalah
disampaikan dalam Seminar Nasonal dan Temu Alumni Fakultas Syariah.
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
141
Surat Kabar
Kompas. Dalam Tempo 14 Hari: RUU Kehakiman Disetujui DPR. Kompas. 31
Juli 1999.
Kompas. MUI Menolak Perubahan RUU Kekuasaan Kehakiman. Kompas. 30 Juli
1999.
Kompas. Peradilan Agama Dialihkan ke MA. Kompas. Jumat, 2 Juli 2004.
Mahendra, Yusril Ihza. Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama. Harian Pelita.
27 Juni 1989.
Pelita. Anggaran Peradilan Agama Terbatas. Harian Pelita. Jumat, 24 Maret
2006.
Republika. RUU Perubahan Kekuasaan Kehakiman: FPP Minta Peradilan
Agama Tetap di Bawah Depag. Republika. Jumat, 16 Juli 1999.
Varia Peradilan. Mahkamah Agung Minta Diakhiri Dualisme Pimpinan Badan
Peradilan di Indonesia. Varia Peradilan. 5 Januari 1993.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3400.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4358.
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi,
Administrasi, Dan Finansial Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan
Tata Usaha Negara, Dan Peradilan Agama Ke Mahkamah Agung.
Sumber Lain
Surat Nomor R.29/PU/VI/1999 tentang RUU tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Laporan Komisi I DPR-RI dalam Pembicaraan Tingkat IV/Pengambilan
Keputusan Mengenai RUU tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970.
PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman.
PPID DPR RI. Risalah Sidang Proses Pembahasan RUU Nomor 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman pada 24 September 2002.
PPID DPR RI. RUU Republik Indonesia Nomor Tahun tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
PPID DPR RI. Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU Republik Indonesia
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
142
PERS SEBAGAI PILAR DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(PRESS AS A PILLAR OF DEMOCRACY IN ISLAMIC PERSPECTIVE)
Josua Satria Collins
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
Korespondensi Penulis : josuasatriaemail@gmail.com
Citation Structure Recommendation :
Collins, Josua Satria. Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam. Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).
ABSTRAK
Demokrasi menjadikan pers sebagai media komunikasi paling efektif. Dalam
Islam, Al-Qur’an telah mengatur bagaimana pers harusnya bergerak dan
berkembang. Di tengah era digital, keragamaan jaringan komunikasi dan
informasi secara alami menantang Pers Islam untuk aktif dan arif. Penulis ingin
mencari tahu mengapa pers menjadi bagian penting dalam demokrasi dan
bagaimana konsep pers dalam perspektif Islam. Melalui analisa data sekunder,
didapati bahwa pers dalam kerangka demokrasi berperan sebagai civic forum,
pengawas pemerintah, dan agen mobilisasi dukungan warga. Pers Islam menjadi
alat Pendidik (Muaddib), Pelurus Informasi (Musaddid), Pembaharu (Mujaddid),
Pemersatu (Muwahid), dan Pejuang (Mujahid). Bila pelaku Pers Islam mampu
mempertahankan potensi dan karakternya, maka diharapkan media massa Islam
akan tetap kokoh.
Kata Kunci: Demokrasi, Islam, Pers
ABSTRACT
Democracy makes the press the most effective communication medium. In Islam,
Qur’an has regulated how the press should move and develop. In the midst of the
digital era, the diversity of communication and information networks naturally
challenges the Islamic Press to be active and wise. The author wants to find out
why the press is an important part of democracy and how the concept of the press
is from an Islamic perspective. Through secondary data analysis, it was found
that the press within the framework of democracy acts as a civic forum,
government watchdog, and agent for mobilizing citizen support. The Islamic press
has become a tool for educators (Muaddib), information officers (Musaddid),
reformers (Mujaddid), unifier (Muwahid), and fighters (Mujahid). If the actors of
the Islamic Press are able to maintain their potential and character, then the
Islamic mass media will remain strong.
Keywords: Democracy, Islam, Press
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
143
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini, informasi dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan primer
dari manusia. Hal ini seiring dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi.
Di tengah kesibukan tiap orang oleh pekerjaannya sehari-hari, setiap orang
tentunya perlu tahu banyak hal yang terjadi di lingkungannya. Melalui informasi
tersebut, ia dapat menempatkan diri dengan sewajarnya sesuai perkembangan
masyarakatnya. Oleh karenanya, lazim dikatakan bahwa peradaban pada masa
kini merupakan peradaban masyarakat informasi.1 Sejatinya, kodrat pembawaan
dan kebutuhan esensial dari manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi,
manusia dapat menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan,
berdialog, serta menyerap apa yang dilihat dan didengarnya.2 Tanpa komunikasi,
tentunya mustahil bagi seseorang untuk dapat memperoleh informasi.3
Salah satu media komunikasi yang paling efektif menyediakan informasi
bagi manusia adalah Pers. Pers tumbuh sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan informasi yang telah menjadi kebutuhan pokok
masyarakat saat ini. Sebagai hasil karya budaya masyarakat manusia, pers atau
media massa memberikan tempat bagi individu dan masyarakat, yang berasal dari
berbagai latar belakang, asal-usul sosial, dan peradaban yang dimiliki, untuk
menyatakan atau mengeluarkan ekspresi, gagasan, pemikiran dan aksinya.4
Pers merupakan bagian dari sumber informasi untuk memotret kehidupan,
pusat propaganda, dan awal mula terjadinya konflik dan menyisipkan pesan
terselubung dari bangsa sendiri maupun bangsa asing.5 Pers tidak membuat
peristiwa, namun hanya sekedar mempersambungkannya kepada orang banyak
dalam bentuk berita. Pers sebatas menjadi perantara yang mengkomunikasikan
atau mempersambungkan informasi.6
1 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji Masyarakat
pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN S.A., Jakarta, 2006, p.1. 2 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,
diakses pada 15 Januari 2021. 3 Aprini Erlina, Op.Cit.. 4 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 5 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3. 6 M. Wonohito, Sistim Pers Pancasila, Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers
Departemen Penerangan Republik Indonesia, Jakarta, 1976, p.13.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
144
Pers merupakan salah satu unsur penting dalam masyarakat selain
pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pers dianggap penting karena merupakan
jembatan informasi antara masyarakat dan pemerintah yang menjalin hubungan
trikotomi. Dikatakan sebagai jembatan informasi karena pers dapat
menyebarluaskan informasi dari pemerintah kepada masyarakat dengan sangat
mudah dan cepat, dengan dukungan kemajuan teknologi media massa seperti saat
ini. Demikian pula sebaliknya, pemerintah dapat mengetahui opini publik tentang
kebijakan yang diterapkan di masyarakat melalui pers. Sebagai contoh, dengan
liputan demonstrasi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat saat menolak
kebijakan pemerintah atau kegiatan polling pendapat yang dilakukan di
masyarakat tentang suatu aturan baru yang diberlakukan oleh pemerintah.7
Pers selain sebagai jembatan informasi antara masyarakat dan pemerintah
dapat pula menjadi kontrol sosial, mentrasfer nilai-nilai sosial budaya di
masyarakat.8 Keberadaan pers diakui sebagai institusi sosial yang memiliki fungsi
politik, ekonomi dan sosial-kultural.9 Peran pers adalah hal yang mutlak dalam
proses demokrasi.10 Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya
kebebasan untuk berekspresi yang diwujudkan dalam bentuk menyampaikan
gagasan melalui pers. Era globalisasi saat ini telah memberikan peranan yang
lebih besar kepada dunia pers dalam menyalurkan ekspresi masyarakat. Artinya,
dunia pers dalam perspektif demokrasi telah menemukan jati diri dan
kebebasannya.11
Kajian-kajian mengenai Islam merupakan pokok pembahasan yang masih
terus berkembang hingga saat ini, baik oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh
orang asing.12 Dalam perspektif Islam pun, pers memiliki tempat tersediri yang
juga penting. Pers yang diidamkan oleh Islam biasa disebut dengan Pers Islam.
7 Sri Hadijah Arnus, “Pers Islam di Era Konvergensi Media,” p. 128. 8 Sri Hadijah Arnus, Ibid., p.127. 9 Bambang Wahyudi dan M. Faried Cahyono, Pers, Hukum, dan Kekuasaan, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1994), p.61. 10 Alex Sobur, Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di
Indonesia, MediaTor Jurnal Komunikasi, Vol.5, No.2 (2004), p.1. 11 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari
https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari
2021. 12 Didik Pradjoko, Gerakan Dakwah Islam di Vorstenlanden: Kajian atas Artikel Dakwah
dalam Surat Kabar dan Majalah di Yogyakarta dan Surakarta 1916-1933, Skripsi, Universitas
Indonesia, Depok, 1999, p.1.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
145
Dalam Al-Qur’an, telah diatur bagaimana pers harusnya bergerak dan
berkembang di dalam menyediakan informasi dan mencerdaskan masyarakat. Di
dalamnya, Pers Islam juga sudah seyogyanya mengadvokasi isu-isu keumatan dari
Islam itu sendiri.13
Di tengah era digital, meruahnya jaringan komunikasi dan aneka ragam
telekomunikasi-informasi bagi pembaca, secara alami menantang peran Pers Islam
sebagai pelaku media yang aktif dan arif.14 Perlu dipahami bahwa penguasa media
global didominasi oleh kaum pemodal yang memiliki pesan “terselubung” sesuai
misi pemodal. Pers tidak lagi berperan sebagai pengarah, pengendali, pembentuk
opini yang benar. Banyak media telah dikendalikan oleh mesin bisnis, para
investor, kaum beruang yang lebih melihat peluang pasar.15 Lembaga pers ini pun
memiliki manajemen yang lebih berkulitas dan kokoh daripada Pers Islam. Selain
itu, secara kuantitas dan kualitas, tidak sebanding dengan media Islam.16
Lebih parah lagi, media-media tersebut sering digunakan untuk
menghantam Islam, baik secara halus ataupun vulgar.17 Media-media tersebut
menanamkan stigma islamofobia (ketakutan pada Islam) kepada masyarakat
dunia. Bahkan di Indonesia sendiri, media Islam selalu distigmakan sebagai media
radikal, penebar teror, hoaks, ujaran kebencian, anti kebhinekaan, intoleran,
antipancasila, anti NKRI, dan sebagainya.18 Hal ini berujung pada maraknya
pemblokiran media-media Islam yang dilakukan Kementrian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia beberapa waktu belakangan, tanpa adanya
konfirmasi terlebih dahulu kepada pengelola media.19
13 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,
diakses pada 15 Januari 2021. 14 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.1. 15 Riva Sakina, Kisah Ironi Global TV dan Terpuruknya Pers Islam, diakses dari
http://www.fimadani.com/kisah-ironi-global-tv-dan-terpuruknya-pers-islam/, diakses pada 15
Januari 2021. 16 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 17 Riva Sakina, Op.Cit.. 18 Desastian, Dewan Pers Islam Segera Hadir, Media Islam dan MUI saling Bersinergi,
diakses dari http://www.panjimas.com/news/2017/02/03/dewan-pers-islam-segera-hadir-media-
islam-dan-mui-saling-bersinergi/, diakses pada 15 Januari 2021. 19 Nahi Munkar, Solusi Cegah Pemblokiran Sepihak, MUI Akan Bentuk Semacam Dewan
Pers Islam, diakses dari https://www.nahimunkar.com/solusi-cegah-pemblokiran-sepihak-mui-
bentuk-semacam-dewan-pers-islam/, diakses pada 15 Januari 2021.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
146
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis ingin menekankan kepada
pentingnya Pers dalam demokrasi. Selain itu, penulis menganalisis konsep pers
dalam perspektif Islam. Berdasarkan paparan latar belakang yang telah
dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis adalah:
1. Mengapa pers menjadi bagian penting dalam demokrasi?
2. Bagaimana konsep pers dalam perspektif Islam?
B. PEMBAHASAN
1. Pers dalam Iklim Demokrasi
Sosiolog dan pakar komunikasi, Marshall McLuhan, mengatakan bahwa
pers pada hakekatnya adalah eksistensi manusia (the extension of man).20 Pers
dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah Press. Secara harfiah, kata Press
tersebut memiliki arti “cetak”.21 Ensiklopedi Pers Indonesia menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Pers secara umum adalah sebuah sebutan bagi penerbitan,
Perusahaan, atau kalangan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan.22
Dalam Longman Dictionary of Contemporary English, dikatakan bahwa pers
adalah work of writing for, editing, or publishing (Pekerjaan yang berkaitan
dengan menulis, mengedit, atau menerbitkan). Kemudian, The New Grolier
Webster International Dictionary memberi empat pengertian untuk pers, yakni23:
a. The Occupation of conducting a news medium, including publishing,
editing, writing, or broadcasting;
b. An academic field concerned with the procedures invalued in conducting
a news medium;
c. A type of writing ideally characterized by objectivity, but sometimes
writtern to appeal to current public taste;
d. Reporting.
20 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,
diakses pada 15 Januari 2021. 21 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis
Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2001, p.9. 22 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji
Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1. 23 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2009, p.7.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
147
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa Pers merupakan
sarana memberikan informasi kepada khalayak ramai, sehingga masyarakat
mengetahui fakta-fakta atau berita-berita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
atau hal-hal yang berkaitan dengan suatu peristiwa penting. Istilah pers tidak
hanya sebatas pada para jurnalis dan media tempat jurnalis tersebut bekerja, akan
tetapi mencakup segala aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh sebuah media.24
Sejarah media massa telah dimulai semenjak manusia mengenal tulisan
ribuan tahun yang lalu. Media massa telah membantu dalam menciptakan
kesadaran sosial dan juga telah memberi manusia dengan cara yang lebih mudah
dalam menjalani hidup. Media Massa mulai berkembang pada tahun 3300
Sebelum Masehi, ketika bangsa mesir menyempurnakan huruf hieroglif.
Kemudian pada tahun 1500 SM, bangsa Semit menyusun huruf dengan konsonan.
Setelah itu sekitar tahun 800 SM, huruf Vokal dimasukkan ke dalam alfabet oleh
Bangsa Yunani. Berdasarkan penelitian, mengkonfirmasi bahwa buku cetak
pertama adalah Diamond Sutra yang ditulis di Cina pada tahun 868 Sebelum
Masehi. Teknologi percetakan kemudian berkembang ke Eropa. Pada tahun 1400,
Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Buku pertama yang dicetak ialah
the Gutenberg Bible. Pada 1468, William Caxton menghasilkan buku dengan
iklan cetak pertama di Inggris. Surat kabar berkembang sekitar tahun 1600.25
Di Indonesia, media komunikasi massa telah ada sejak masa kolonial
Belanda. Media komunikasi massa itu antara lain seperti pers, radio dan film.
Media komunikasi ini pada umumnya dikuasai oleh pemerintah Belanda dan
orang-orang Cina. Media komunikasi ini menjadi alat pemerintah kolonial untuk
melaksanakan propaganda. Dengan media komunikasi massa, bangkitlah
semangat juang rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajahan
sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu memperoleh kemerdekaan. Media massa
menjadi alat yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Terbukti
dari tercapainya kesepakatan untuk mencapai kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia melalui Sumpah Pemuda pada tanggal 8 Oktober 1928.
24 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis
Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2001, p.9. 25 Vartikel, Sejarah Media Massa, diakses dari https://vartikel.com/7163/sejarah-media-
massa/, diakses pada 15 Januari 2021.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
148
Pada masa kolonial Jepang adalah masa dimana media komunikasi massa
mengalami satu tahap kemajuan. Kebudayaan dan kesenian maju dengan pesat. Di
mana-mana lahir seniman-seniman atau komponis-komponis nasionalis yang
menggubah lagu-lagu Indonesia. Media massa memegang peranan penting dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui media massa, para pejuang
mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah kalah kepada Sekutu.26 Dalam masa
pembangunan ini, peranan media massa sangat penting. Media massa menjadi alat
penjunjung pelaksanaan pembangunan Indonesia. Selain itu, Media massa dapat
memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Media massa juga dapat memberitahukan tentang perkembangan
sebuah masyarakat, bangsa ataupun sebuah negara.
Pada masa Orde Baru, Media massa di Indonesia berada dalam kondisi tidak
berdaya dari kepentingan pihak pengusaha. Tekanan-tekanan itu dilakukan dengan
alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi. Pada
masa orde baru sangat jarang menyampaikan kritikan-kritikan serta
pandangannya, sekalipun ada penyampaian kritikan tersebut dilakukan dengan
hati-hati. Jika media masa tersebut tidak hati-hati dalam memberikan
pandangannya maka media massa tersebut pencabutan izin usahanya atau
pencabutan SIUPP. Terdapat dua faktor penyebab media massa melemah, yaitu:
(1) Ketidakberdayaan para pengelola media massa menghadapi tekanan politik
eksternal dalam mendefinisikan dan menggambarkan “realitas sosial”. (2) secara
struktural, politik media massa yang berlaku pada orde baru diasumsikan semakin
memperkokoh integritas dalam sistem komunikasi politik.27
Dalam ilmu komunikasi, pandangan mengenai kekuatan media massa dalam
mempengaruhi individu dan masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut
Severin dan Tankard, media massa pada awalnya dianggap berpengaruh amat
besar seperti digambarkan dalam teori pseudo yang dikenal sebagai bullet theory.
Dalam teori ini, pengaruh media dilihat seperti sebuah peluru yang ketika
ditembakkan tidak akan tertahankan dan akan masuk ke dalam obyek yang dituju.
26 26 Hisham Budiatma, Sejarah Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia, diakses
dari http://usaha321.net/sejarah-perkembangan-media-komunikasi-di-indonesia.html, diakses pada
15 Januari 2021. 27 Nia Kurniati Syam, Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif Teori
Normatif Media Massa, MediaTor Jurnal Komunikasi, Vol.7, No.1 (2006), p.72.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
149
Media masa pada saat ini di manfaatkan oleh politisi menjadi arena
perjuangan politis dan menyediakan tempat untuk memanipulasi politis dan
dominasi, serta menjadi pusat kekuatan dalam kehidupan sosial atau dengan kata
lain, media sebagai arena perjuangan, resistensi, dan konstruksi berbagai alternatif
sosial.28 Media komunikasi tulis cetak (pers) menjadi alat penting sebagai saluran
komunikasi politik yang memungkinkan setiap warga negara bukan saja
mengetahui berbagai isu atau masalah politik nasional, tetapi juga sebagai media
yang mampu menjadikan warga negara didengar kepentingannya oleh para politisi
atau wakil rakyat. Dalam pembicaraan-pembicaraan tentang demokrasi, dari
model langsung pada zaman Yunani Kuno dengan model negara kota (city state)
atau polis sampai demokrasi perwakilan yang saat ini dipraktekkan di berbagai
negara, aspek komunikasi (dan saat ini media komunikasi) tidak bisa diabaikan
sebagai bagian penting berjalannya system politik yang demokratis.29
Media masa dalam demokrasi sering dikaitkan dengan warga negara yang
merealisasikan atau mewujudkan kewarganegaraannya. Fungsi media massa atau
pers dalam demokrasi mencakup:
a. Pers atau media sebagai civic forum
Dalam pers atau media sebagai Civic Forum, media massa harus berfungsi
secara umum sebagai saluran pemerintah dan untuk berkomunikasi secara
efektif. Dari gagasan ini, pers harus mampu memberi peluang pada
perdebatan di kalangan warga negara tentang berbagai isu publik. Oleh
karena itu menurut Norris, media massa harus menyajikan liputan politik
yang komprehensif dan mudah untuk diakses oleh seluruh sektor atau
kelompok warga.30
b. Pers sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik
Pers sebagai pengawas pemerintah yang dianggap sebagai salah satu
kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai
kekuasaan yang ada.
c. Pers sebagai agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu posisi politis
Media massa atau pers sukses bila media mampu mendorong warga negara
belajar tentang politik dan permasalahan publik/bersama sehingga warga
negara dapat menentukan pilihan-pilihan politik mereka secara lebih cerdas.
28 Sulkhan Chakim, Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Ideologi, KOMUNIKA, Vol.5,
No.2 (Juli-Desember 2011), p.2. 29 I Gusti Ngurah Putra, Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia, makalah disampaikan
dalam seminar “Menggugat Profesionalisme Wartawan” yang diselenggarakan oleh Dewan Pers,
Yogyakarta, 23 November 2005.
30 I Gusti Ngurah Putra, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
150
2. Perkembangan Pers Islam di Dunia
Keberadaan koran Islam pertama kali muncul di Mesir yakni Al-Waqai Al-
Misriyah (Peristiwa Mesir) pada 20 November 1828 di era kepemimpinan
Muhammad Ali. Disusul koran Haqiqah Al-Akhbar (Taman Berita) di Beirut,
Lebanon, pada 1858. Sedangkan di Turki pada 1860, terbit Koran Cevaib (Pesan).
Adapun majalah perdana terbit pertama kali pada 1884, ketika Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhamad Abduh menerbitkan Al-Urwah Al-Wutsqa (Ikatan yang
Kukuh). Disusul majalah Al-Azhar di Kairo pada tahun 1889. Di Eropa, terbit pula
majalah Islam Alam Al-Islam (Dunia Islam) pada 1913, yang lalu disusul Liwa Al-
Islam (Bendera Islam) di Jerman.31
Di London, Inggris, terbit Al-Ghuraba tahun 1972 oleh Perhimpunan
Mahasiswa Muslim. Pada tahun 1979, terbit An-Nadzir (Tanda Peringatan) yang
dikelola oleh Ikhwanul Muslimin. Pada 1982, terbit Shaut Al-Urubah (Suara
Arab) di Brussel, Belgia disusul majalah Al-Kalimah At-Thoyibah (Suara yang
Baik) di Wina, Austria. Terbit pula majalah bulanan At-Thaliah (Garis Depan) di
London pada tahun 1983. Di Asia Tengah, terbit Turjuman (Ulasan Tatar) pada
1879 yang dipelopori oleh jurnalis Bey Gasprinskii dan Ahmed Bey Aghayef
yang mendirikan Review Irsyad (Petunjuk). Pada 1906, Jan El Baduri menerbitkan
Al-Din wa Al-Daulah (Agama dan Adab). Di Iran tahun 1979, terbit koran Iran
dan Syaraf (Kehormatan) dan Al-Majalisi tahun 1906 di Teheran. Di India, terbit
Aligarh Institute Gazette pada 1866, sedangkan di Cina terbit Uhowa pada 1929.
3. Sejarah Pers Islam di Indonesia
Pada umumnya, bahasa yang digunakan oleh Pers Islam adalah Bahasa
Indonesia atau Melayu. Hanya sebagian kecil yang menggunakan bahasa daerah
seperti Bahasa Jawa (Heroe Tjakrta, Al-Kirom, Papadang, Papadaging
Moehammadijah, Soenggoeting Moehammadijah, Swara Islam, Tjablaka, dan
Wali Sanga), Bahasa Sunda (Balantara Islam, Soeara Merdeka, Taufieq dan
Simpaj), serta dua surat kabar yang mempergunakan bahasa campuran yakni
Bahasa Indonesia dan Jawa (Sarotama dan Tjoendamanni) serta sebuah surat
kabar berbahasa Madura (Al-Chair).32
31 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.12. 32 Mohammad Rosyid, Ibid., p.13.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
151
Pers Islam muncul seiring dengan menguatnya semangat Nasionalisme. Para
perintis Pers Islam Indonesia, pada awalnya tumbuh sebagai akibat dari
keterlibatan mereka dalam penerbitan-penerbitan milik Belanda. Proses ini sudah
dimulai sejak kebijakan politik etis Belanda yang sangat kental dalam media-
media Pers milik Belanda tersebut.33 Mesin cetak pertama kali dikenalkan ke
nusantara, bahkan Asia Tenggara, oleh missionaries Kristen Jesuit tahun 1588 di
Filipina. Namun, baru 1744 ketika Vendunieuws muncul sebagai surat kabar
pertama di Batavia. Kemudian Bataviasche Coloniale Courant (1801) menyusul.
Keduanya merupakan surat kabar yang kebanyakan berisi berita pelelangan dan
iklan. Berikutnya, perkembangan surat kabar tak lagi terbendung. Pemilikan dan
peruntukan surat kabar mulai dari orang asing hingga yang diperuntukkan bagi
masyarakat melayu yaitu Al Djuab (1795-1801) bersemi saat itu. Namun, yang
seringkali dikenang adalah Bintang Hindia yang di asuh oleh Abdul Rivai, karena
mulai memberikan gambaran mengenai Hindia sebagai sebuah bangsa.34
Pers Islam berkembang pesat di Indonesia seiring tumbuhnya kesadaran
nasional dan berdirinya organisasi-organisasi Islam di awal abad ke-20. Kondisi
tersebut hampir bersamaan pula dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam
atau gerakan reformasi Islam di Timur Tengah. Gerakan reformis ini berasal dari
Mesir yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridha yang
menyebarkan faham Tajdid Islam. Gerakan pembaharuan tersebut bertujuan untuk
menyesuaikan paham-paham agama Islam dengan perkembangan baru yang
diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan
adanya upaya pembaharuan tersebut, para pemimpin Islam berharap umat Islam
dapat terbebas dari ketertinggalannya, bahkan dapat mencapai kemajuan yang
setara dengan bangsa-bangsa lain.35 Gerakan itu tersebar melalui dua majalah
terkemuka Mesir yakni Urwatul Wutsqo dan Al-Manar.36
33 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji
Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.3. 34 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari
http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, pada 20 Januari 2021. 35 Raisye Soleh Haghia, Pedoman Masyarakat (1935-1942) : Pelopor Pembaruan Pers
Islam di Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Depok, 2014, p.37-38. 36 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
152
Pada tahun 1906 selepas pulang dari Kairo, Syekh Tahir Jalaluddin
menerbitkan Al Imam di Singapura. Bersama Syekh Al Hadi (Singapura) serta
Haji Abbas bin Muhammad Taha (Aceh) merintis Al Imam menjadi media massa
Islam pertama di tanah Melayu-Nusantara. Tentu saja saat itu belum ada negara
bernama Indonesia, Singapura ataupun Malaysia. Yang ada ialah wilayah-wilayah
yang dijajah oleh Inggris dan Belanda. Al Imam mampu menerobos batas-batas
kolonial itu, hingga mampu menciptakan bayangan akan sebuah komunitas
bernama Bangsa Melayu. Sebuah bayangan yang mampu menembus sekat-sekat
wilayah yang diciptakan penjajah dan mengikat Bangsa Melayu menjadi satu
dalam ikatan Agama Islam. Pernyataan itu ditandai oleh Al Imam dengan
pemakaian istilah “Umat Timur”, “Umat Melayu”, “Umat Kita sebelah sini”,
“Umat Islam kita di sini” oleh Al Imam untuk menyebut Bangsa Melayu.37
Sejak awal, Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan
nasib umat Islam di tanah Melayu-Nusantara yang terjajah dimana-mana. Dalam
sebuah edisinya, mereka menyebut Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa,
Tanah Borneo dalam genggaman Belanda, hingga Tanah Melayu Peninsula dalam
cengkeraman Inggris. Harapan mereka tak lain agar Umat Islam mampu meraih
kemerdekaannya. Al Imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya,
menyebarkan dakwah Islam, dan mengikuti jejak jejak Al Manar dengan
semangat pembaruan dan pemurnian Islam. Al Imam menegaskan haluannya
untuk “mengingatkan mereka yang terlupa; membangunkan mereka yang
terlelap; menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat; memberi
suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak; mengajak umat Islam
berupaya sebisa mungkin untuk hidup menurut perintah Allah; serta mencapai
kebahagiaan terbesar di dunia dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat.”38
Nyatanya, pengaruh Abduh dan Ridha memang besar bagi Al Imam.
Majalah Al Manar mewarnai Al Imam begitu kental. Bahkan Al Imam memuat
tafsir Muhammad Abduh yang dimuat oleh Al Manar. Tafsir ini mereka muat
tahun 1908, atau dua tahun setelah terbitnya Al Imam. Pemuatan tafsir tersebut
pun membuka pintu reformasi agama di Tanah Melayu dan di Hindia Belanda.
37 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 38 Mohammad Rosyid, Ibid..
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
153
Apabila sebelumnya tafsir yang dipakai di Hindia Belanda umumnya adalah tafsir
Jalalain (Al-Suyuthi) yang hanya dipelajari di pesantren, maka kini Al Imam
membuat tafsir yang dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Melalui media
massa cetak pula, Al Imam membuka pintu pembelajaran bagi umat Islam, yang
biasanya hanya di lakukan di pesantren. Hal ini turut melepas “monopoli” ulama
tradisional di Pesantren sebagai satu-satunya pemegang otoritas keilmuan.39
Jejak Al Imam meresap begitu mendalam bagi umat Islam di Hindia
Belanda. Hingga tahun 1911 di Sumatera Barat, terbitlah sebuah majalah bernama
Al Munir. Al Munir didirikan sebagai wadah bagi kaum muda yang
menggelorakan pembaruan Islam di Sumatera Barat. Didirikan oleh Haji Abdullah
Ahmad, Al Munir menjadikan Al Imam sebagai contohnya. Haji Abdullah Ahmad
sendiri sebelumnya adalah perwakilan Al Imam di Padang Panjang. Kunjungannya
ke Singapura memungkinkan dirinya untuk mempelajari manajemen penerbitan
ala Al Imam dan keterampilan teknis menerbitkan majalah. Sentralnya peran Haji
Abdullah Ahmad, hingga ia sering dipanggil Haji Abdullah Al Munir.40
Haji Abdullah Ahmad tidak sendirian dalam membesarkan Al Munir. Ia
membesarkannya bersama dua orang sahabatnya, Haji Abdul Karim Amrullah
(ayah dari Buya Hamka) dan Syekh Jamil Jambek. Mereka merupakan murid
langsung dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi. Sepulang dari Mekkah,
mereka kembali ke Sumatera Barat untuk menggerakkan paham pembaharuan
agama di sana. Maka tak heran jika Al Munir bertujuan untuk menuju agama
Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang benar dengan
dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk Bid’ah dalam
praktik ibadah Umat Muslim. Seperti Al Imam, Al Munir juga memiliki hubungan
yang erat dengan Al Manar di bawah kendali Rashid Ridha. Seringkali, Al Munir
merujuk pada fatwa-fatwa yang terdapat dalam Al Manar. Umpamanya mengenai
pakaian barat yang dahulu sering dilarang oleh ulama tradisional karena indentik
dengan orang kafir. Pendapat Rashid Ridha yang menolak pendapat ini kemudian
dijadikan rujukan oleh Haji Abdullah Ahmad.41
39 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 40 Mohammad Rosyid, Ibid.. 41 Mohammad Rosyid, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
154
Pada praktiknya, Al Munir tidak hanya bersuara keras terhadap praktik
bid’ah, tetapi juga pada pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik keras terhadap
pemerintah kolonial membuat mereka mendapatkan tekanan dan pengawasan dari
pemerintah kolonial saat itu. Al Munir pun kerap bersuara mengenai kemerdekaan
bangsa di Hindia Belanda. Namun ketatnya pengawasan pemerintah kolonial,
membuat mereka menyampaikannya secara hati-hati dan terselubung, misalnya
dengan membahas kemerdekaan Turki, Mesir dan India dari jeratan penjajah.
Bahkan ketika membahas suatu tulisan tentang ilmu pengetahuan-pun, ujungnya
akan membahas bagaimana mencapai kemerdekaan.42
Pada masa jayanya, Al Munir tidak hanya berpusat pada media massa, tetapi
juga memiliki usaha percetakan. Penyebaran Al Munir tidak hanya di Sumatera
Barat, namun sampai ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya. Dalam
penerbitannya, Al munir memuat tulisan mengenai persatuan umat Islam,
pengetahuan agama, serta hukum agama yang berkaitan dengan adat.
Keistimewaan Al Munir adalah ia menjadi majalah yang masih menggunakan
huruf arab melayu. Namun pemakaian huruf arab melayu memang berada di tepi
jurang. Membanjirnya mesin cetak yang memakai huruf latin membuat
pencetakan dengan huruf arab melayu sulit bersaing. Hal ini pula yang turut
menerpa Al Munir. Namun terbakarnya kantor mereka menjadi pertanda lonceng
kematiannya. Di Sumatera Barat tak hanya Al Munir, pers yang berlandaskan
Islam. Hadir pula Al Itqan, Al Bayan dan Munirul Manar yang diterbitkan
perguruan Sumatera Thawalib. Saat itu memang masa-masa keemasan pers di
Sumatera Barat. Tetapi di pulau Jawa, tempat lahirnya Sarekat Islam, gaung Pers
Islam juga terdengar kencang. Melahirkan berbagai media massa yang
menyokong perjuangan mereka.43
Sarekat Islam semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto
berperan besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan kharisma dan pidato
yang memukau, Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut. Bahkan, tak sedikit
yang menganggapnya sebagai Ratu Adil. Namun, kepiawaian Raja Jawa tanpa
mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat umum, tapi hingga media massa.
42 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 43 Mohammad Rosyid, Ibid..
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
155
Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang menjadi corong Sarekat
Islam. Terbit pada tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang digawangi
oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian, Sarekat Islam cabang Bandung
menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di
Batavia, Sarekat Islam menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh
Goenawan. Di Semarang, Sarekat Islam Semarang menerbitkan Sinar Djawa.44
Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916 mereka
menerbitkan Al Islam. Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah
Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi
jembatan bagi gerakan politik Islam. Al Islam menyatakan dirinya sebagai,
“Tempat soeara anak Hindia yang tjinta agama dan tanah ajernjya.” Dengan
darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta kecenderungan
politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama dan
politik. Al Islam semakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan
berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk
menyuarakannya, Al Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia. Al
Islam tidak sendirian. Tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis
menerbitkan harian Neratja yang juga berorientasi politik. Haji Agus Salim pun
nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia Baru (1925-1926), Bendera Islam
(bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-H. Agus Salim
kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930). Harian Fajar Asia saat itu adalah kerikil
tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan
praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja
sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan
erfpacht (yang mengeksploitasi tanah dengan sistem sewa kontrak), dimana buruh
dihisap, tenaganya diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang
mengiringinya. Tajamnya kritik H. Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian)
Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh.45
44 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 45 Mohammad Rosyid, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
156
Di Yogjakarta, munculah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia
adalah diantara murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara
kandung dari Ki Bagus Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di
berbagai media massa saat itu. Ia pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia
Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar berhaluan kiri. Selain itu, H. Fachrodin
pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915), sebuah surat kabar radikal
dibawah pimpinan, “Haji Merah” Haji Misbach. Berikutnya, H. Fachrodin
menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara
Moehammadijah (1915), dan Bintang Islam. Di tengah Bintang Islam-lah, nama
H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun 1922, Bintang Islam
menjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional. Tirasnya
mencapai 1500 eksemplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan Johor.
Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan
Bung Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam saat masih di Amsterdam.
Hingga wafat, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam.46
Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu. Pembahasannya,
mulai dari Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu
menderita. Ia pernah menulis tentang “Christen dan Moehammadijah” dan “Islam
Njawa Kemadjoean” (di Soewara Moehammadijah), “Verslag saja selama
bepergian ke Mekkah” (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan
kritik yang tajam yang mengantarkannya ke penjara oleh pemerintah kolonial.
Penyebabnya karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita, “Kebon tebu
jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan,
sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).
Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang
beliau dalam edisi khusus “Fachrodin Nummer”. “Pandai beliau menoelis dan
mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-kawannja jang selaloe
bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe membawa
pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga
dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam 14-15 (1930)).47
46 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13. 47 Mohammad Rosyid, Ibid..
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
157
Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak
hanya di Sumatera Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan hingga
Ambon. Di Kalimantan, hadir Persatuan (Samarinda) dan Pelita Islam
(Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura, terdengar Al Islah (yang kemudian
dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang terbit tiga kali dalam
sebulan. Namun, wilayah yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara,
khususnya Medan. Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya Pers Islam. Sebut
saja Suluh Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah,
Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad yang
kelak menjadi tokoh Masyumi).48
Sepanjang kurun pergerakan nasional (1900-1942), tahun terbit dan
beredarnya surat kabar-surat kabar Islam tidak seluruhnya bersamaan. Katalog
Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional mencatat bahwa Pers Islam yang
terbit pada masa pergerakan nasional terdapat sekitar 85 judul yang tersebar di
seluruh Indonesia. Menurut tempat terbitnya, maka surat kabar Islam tersebut
dapat dibagi menjadi:49
Kota Jumlah Terbitan Surat Kabar Islam
Yogyakarta 16 judul
Surabaya 12 judul
Jakarta 6 judul
Solo 5 judul
Bandung 4 judul
Garut 4 judul
Semarang 3 judul
Kediri 2 judul
Malang 2 judul
Tulungagung 1 judul
Boyolali 1 judul
Besuki 1 judul
Wates 1 judul
Bogor 1 judul
48 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari
http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, diakses pada 20 Januari
2021. 49 Yahya Andi Saputra, Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam pada Masa
Pergerakan Nasional, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 1988, p.22.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
158
Tasikmalaya 1 judul
Serang 1 judul
Cianjur 1 judul
Sukabumi 1 judul
Cirebon 1 judul
Padang 4 judul
Medan 3 judul
Kotaraja 2 judul
Bukit Tinggi 2 judul
Sibolga 1 judul
Palembang 1 judul
Makassar 3 judul
Gorontalo 2 judul
Manado 1 judul
Total 85 Judul
Tabel 2.1 Terbitan Pers Islam Menurut Wilayah dan Jumlah
Sumber: Yahya Andi Saputra
Dari tabel ini, terlihat bahwa persebaran Pers Islam terbesar adalah di Pulau
Jawa, dengan jumlah 63 judul surat kabar. Hal demikian dapat dimaklumi karena
menurut kenyatannya, Pulau Jawa merupakan titik pusat bagi kegiatan Hindia
Belanda. Jawa bukan saja sebagai pusat kegiatan politik, administrasi dan
ekonomi bagi Hindia Belanda. Akan tetapi dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya, Jawa juga sebagai suatu pusat penduduk dengan kurang lebih 70% dari
jumlah seluruh penduduk Hindia Belanda waktu itu.50
Kiprah organisasi masyarakat Islam dalam berdakwah juga memanfaatkan
media massa Islam. Contohnya adalah Muhammadiyah dengan Penyiar Islam,
Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah, Panji
Masyarakat, dan Suara Aisyiyah. Kemudian Alwashliyah dengan Medan Islam.
NU dengan Al Jihad, Al Islam, dan Berita NU. Ada juga yang dikelola oleh
Persatuan Islam Indonesia yakni Al Islam dan Al Fatwaa (ditulis dalam huruf
Arab berbahasa Melayu), At Taqwa (berbahasa Sunda), dan Panji Islam. Pelajar
Islam Indonesia (PII) juga tak ingin kalah dengan menerbitkan Islam Bergerak.51
50 Yahya Andi Saputra, Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam pada Masa
Pergerakan Nasional, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 1988, p.22. 51 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13-14.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
159
4. Pers dalam Perspektif Islam
Islam sangat mendukung kegiatan jurnalistik, yang tujuannya tak lain dan
tak bukan untuk mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain.52
Dakwah yang memanfaatkan media massa ini disebut dengan istilah Dakwah Bil
Qalam.53 Media massa yang mengusung tema tentang Islam seringkali menyebut
dirinya sebagai Jurnalistik Islam atau Pers Islam.54 Pers Islam pada dasarnya
adalah pers yang tujuannya menyebarkan nilai-nilai Islam atau sebagai media
dakwah bagi umat Islam, menyuarakan aspirasi umat Islam, dan pers atau media
massa yang dimiliki oleh Umat Islam.55
Redaktur Senior Harian Republika, Ikhwanul Kiram, berpendapat
bahwasannya terdapat dua hal yang membuat media bisa dikatakan media Islami.
Pertama, baik media umum atau media Islam selama praktiknya berpegang teguh
pada kode etik jurnalistk. Kedua, Pers tersebut bertujuan untuk memperhatikan
kepentingan Umat Islam melalui informasi yang disampaikannya, baik melalui
media cetak, radio, televisi dan online.56
Terdapat beberapa pengertian yang dilontarkan dari berbagai kalangan
terkait Pers Islam, diantaranya:
a. Menurut Ensiklopedia Pers Indonesia, yang dimaksud dengan Pers Islam
adalah “Penerbitan yang bernafaskan atau melakukan syiar Islam dan
dalam artian juga Pers Islam merupakan orang-orang Islam yang terjun
ke dalam bidang perusahaan pers, yang memperjuangkan cita-cita Islam
agar dapat dilaksanakan.”57
52 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 53 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis
Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2001, p.4. 54 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.130. 55 Sri Hadijah Arnus, Ibid., p.138. 56 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,
diakses pada 15 Januari 2021. 57 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji
Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
160
b. Penelitian dari Litbang Republika dan The Asia Foundation tentang
Islam and Civil Society mendefinisikan Pers Islam sebagai: “Pers yang
dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik
yang berupa materi (misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.58
c. Menurut Asep Saeful Romli, Pers Islam merujuk kepada, “Proses atau
aktivitas jurnalistik yang bernafaskan nilai-nilai Islam”.59
d. Baharun mengatakan bahwa Pers Islam adalah “Segala liputan dan
tulisan lainnya yang senantiasa mendasarkan pemberitaannya atas
kebenaran Islam dengan cara dan metode yang diatur dalam Islam yakni
al-mau’idzoh al-khasanah”.60
e. H. Syu’ban Asa mengartikan Pers Islam sebagai “Media massa yang
punya misi Islam dan komitmen dengan ajaran Islam”.61
f. M. Syafi’i Anwar mengatakan bahwa Pers Islam adalah, “Suatu bentuk
jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara
lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi
serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita
etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan
bertanggungjawab memuat kandungan nilai-nilai dan cita Islam”.62
g. Dedy Djamaluddin Malik menggolongkan Pers Islam sebagai Crusade
Journalism, yakni “Jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu,
dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam”.63
58 Aprini Erlina, Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus Panji
Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-1981), Skripsi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2006, p.1. 59 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.132. 60 Musrifah, Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat Majelis
Tabligh PWM di Yogyakarta, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2001, p.2. 61 Musrifah, Ibid.. 62 Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah, diakses dari
http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/, diakses pada 15 Januari 2021. 63 Aprini Erlina, Ibid..
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
161
Karakter Pers Islam adalah diterbitkan oleh umat Islam, menyuarakan
aspirasi muslim, menampilkan aktivitas keislaman dan mendakwahkan Islam.64
Artinya, bagi umat Islam selain mentransfer nilai-nilai sosial, pers juga dapat
menjadi media dakwah yang sangat efektif untuk menyampaikan ajaran-ajaran
Islam dan nilai-nilai islami. Dikatakan sebagai media dakwah yang efektif karena
pers dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak yang sangat luas
dengan mudah dan cepat secara serentak.65 Kinerja media Islam adalah
menyampaikan pesan kalimatun sawa, amar makruf nahi munkar dan
mewujudkan rahmatan lil alamin.66 Dosen Jurnalistik dan Pemikiran Islam
Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Adian Husaini, mengatakan bahwa Pers Islam
bagi Umat Islam merupakan perjuangan dan bagian dari dakwah yang menjadi
kewajiban setiap Umat Islam. Sehingga, Pers Islam dan Umat Islam tidak dapat
dipisahkan. Ia mencontohkan bahwa sejak zaman dulu, Rasulullah S.A.W.
mengajak raja-raja melalui surat.67
Meski begitu, substansi berita dalam Pers Islam tetap harus mengedepankan
aktualitas (timeliness), kedekatan (proximity) antara materi pemberitaan dengan
perasaan pembaca, kemajuan (progress) menyajikan pemberitaan yang bernilai
kesuksesan, keterkenalan (prominance) menampilkan sosok yang masyhur agar
dapat ditiru pembaca, dan berpegang pada fungsi menghibur (entertainment),
mendidik (education) dan mempengaruhi khalayak (public opinion leader).
Sehingga, dakwah yang disampaikan dalam Pers Islam tidak monoton dan
cenderung membosankan. Sebagaimana contoh riil muslimin di Berlin, Jerman,
yang memaksimalkan dakwah dengan TV internet (Muslim TV / MTV). MTV
merupakan gagasan Nury Senay. Dipancarkan pasca dibakarnya Masjid Sehitlik,
masjid terbesar di Berlin, oleh orang tak dikenal. MTV diperankan menangkal
islamofobia di Jerman yang jumlah muslimnya diprediksi mencapai 4,3 juta.68
64 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.13-14. 65 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.128. 66 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.12. 67 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,
diakses pada 15 Januari 2021. 68 Mohammad Rosyid, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
162
Setidaknya ada lima peran Pers Islam, yakni69:
a. Sebagai Pendidik (Muaddib). Yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang
Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak
pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar
melaksanakan perintah Allah S.W.T. dan menjauhi larangan-Nya. Ia
memikul tugas mulia untuk mencegah Umat Islam berperilaku yang
menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh
buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
b. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya, terdapat tiga hal
yang harus diluruskan oleh para Jurnalis Muslim. Pertama, informasi
tentang ajaran dan Umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya
atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu Jurnalis Muslim dituntut
mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi
umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid dapat dirasakan
relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan
umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang,
berat sebelah) dan distorsif, manipulatif alias penuh rekayasa untuk
memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, Jurnalis Muslim
dituntut berusaha mengikis fobia Islam (Islamophobia) yang merupakan
produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
c. Sebagai Pembaharu (Mujaddid). Yakni penyebar paham pembaharuan
akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam).
Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “juru bicara” para pembaharu, yang
menyerukan umat Islam memegang teguh Al-Qur’an dan as-Sunnah,
memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya
(membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing
non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
d. Sebagai Pemersatu (Muwahid). Yaitu harus mampu menjadi jembatan
yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik
jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan
tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi (both side
information)) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-
jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah
menguntungkan. (Jalaluddin Rakhmat dalam Rusjdi Hamka & Rafiq,
1989)
e. Sebagai Pejuang (Mujahid). Yaitu pejuang-pembela Islam. Melalui
media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat
umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan
syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan
lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.
69 Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah, diakses dari
http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/, diakses pada 15 Januari 2021.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
163
Ulfah Rahmaniar menyebutkan karakteristik Pers Islam yaitu:70
a. Pers Islam sebagai upaya dakwah bil qalam yang mengemban misi amar
ma’ruf nahi mungkar.
b. Menyebarkan informasi tentang perintah dan larangan Allah S.W.T.
c. Berusaha mempengaruhi khalayak agar berpihak sesuai ajaran Islam.
d. Senantiasa menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan
yang tidak islami (pornografi dan pornoaksi).
e. Menaati kode etik jurnalistik.
f. Menulis dan melaporkan yang dilakukan secara jujur tidak memutar
balikkan data dan fakta yang ada.
Pers Islam harus menghadirkan pesan Qur’ani yang bermuatan amanah,
etis, menjaga maslahah, meninggalkan berita yang mafsadah, dan akuntabel,
berpijak pada Kode Etik Jurnalistik, serta berpegang pada Al-Qur’an. Ayat Al-
Qur’an yang menjadi pijakan bagi insan Pers Islam diantaranya71:
a. Al-Hujurat: 6
“Hai orang yang beriman, jika datang padamu orang fasik membawa
berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah
pada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu”.
b. Al-Hujurat: 11
“Hai kaum yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain, boleh jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang
mengolok-olok”.
Ayat-ayat ini mengandung sebuah pelajaran penting agar masyarakat tidak
mudah terpancing atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas
sumbernya. Apalagi ayat tentang tabayyun ini berada di dalam surah Al-Hujurat,
surat yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah.
Sehingga, Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surat yang sangat agung
lagi padat (surat jalilah dhakhmah). Hal ini karena memang komitmen seorang
muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas
akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).72
70 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.132. 71 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 72 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari
https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari
2021.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
164
Dosen Jurnalistik dan Pemikiran Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor,
Adian Husaini, berpendapat bahwa Pers Islam terikat dengan norma-norma Islam
dalam produknya. Misalnya, tidak boleh memberitakan aib saudaranya yang tidak
diperlukan, tidak boleh mengadu domba dan harus betul-betul menunjukan
kemaslahatan.73 Ketua Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia, Muhammad
Antoni, mengatakan bahwa sejatinya setiap Pers Islam, baik cetak maupun online,
dalam bekerja sudah memenuhi standar jurnalistik. Hal ini disebabkan, pengertian
jurnalistik sendiri adalah meneruskan tugas kenabian dengan menyampaikan
kabar gembira yang bisa menyelamatkan umat, dalam hal ini pembaca.74
Dengan demikian, keberadaan media massa Islam harus tetap istikomah
agar peran rahmatan lil’alamin tetap terjaga. Prinsip komunikasi dalam Pers
Islam harus memenuhi standar dari Al-Qur’an atau Qur’ani (al-bayan). Standar
tersebut diantaranya75:
a. Qawlan Syadidan (Q.S. an-Nisa:9), yakni tegas, jumowo, jujur, dan
straight to the point;
b. Qawlan Balighan (Q.S. an-Nisa:63), yaitu harus jelas, terang, konsisten,
dan tepat sasaran;
c. Qawlan Maysuran (Q.S. al-Isra’:28), yakni pantas;
d. Qawlan Layyinan (Q.S. Thaha:44) yakni lemah-lembut, santun, dan
andap-asor;
e. Qawlan Kariman (Q.S. al-Isra’:23), yakni mulia, halus, dan ora
semengit.
f. Qawlan Ma’rufan (Q.S. an-Nisa:5), yakni menggunakan kata yang baik,
tidak kemlete, dan undak-unduk.
Dalam Islam, juga diakui Kebebasan Pers. Kebebasan ini mencakup
kebebasan berpikir, kebebasan berbicara dan kebebasan mengungkapkan sesuatu
melalui lisan, tulisan (pena) dan tindakan (action). Islam menjamin kebebasan
berpikir yang disalurkan melalui riset, observasi atau penelitian. Dalam Islam
kegiatan semacam ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan guna
mencerdaskan umat.
73 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,
diakses pada 15 Januari 2021. 74 Affan, Menuju Pers Islam yang Profesional, diakses dari http://mqradio.co/menuju-pers-
islam-yang-profesional.html#.WRekcGiGPIU, diakses pada 15 Januari 2021. 75 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
165
Namun dalam Islam, kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan
mengungkapkan pendapatnya tidak boleh kebablasan. Islam melarang pelecehan
atau kegiatan yang menjatuhkan nama baik orang lain. Ada beberapa batasan
kebebasan pers dalam Islam. Pertama, yang berkaitan dengan perzinahan. Allah
berfirman” “Sesungguhnya orang yang menuduh wanita yang baik-baik, lagi
beriman (berbuat zina) mereka kena laknat dunia dan akhirat, dan bagi mereka
azab yang besar.” (Qs. An-Nur: 23). Kedua, pemberitaan yang berorientasi cabul
atau porno. Dalam hal ini, Allah sangat mengecam keras. “Sesungguhnya orang
yang ini agar beritanya terkait dengan perbuatan yang amat keji tersiar
dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan
akhirat.” (Qs. An-Nur: 19). Ketiga, berita yang berisi tentang berburuk sangka
dan mengunjing. Keempat, membocorkan rahasia negara. Dan kelima, mencela,
mengumpat dan menghamburkan fitnah.76
Dr. Abdul Karim Zaidan mengemukakan beberapa batasan dalam kita
mengeluarkan pendapat, mengutarakan isi pikiran atau berita serta tayangan.
Pertama, hendaknya berbicara, berpendapat dan menyampaikan sesuatu itu
didasari niat karena Allah S.W.T. dan demi kebaikan masyarakat luas. Kedua,
tidak bertujuan membanggakan diri, pamer, melecehkan orang lain, demi meraih
keuntungan dan jabatan. Dan ketiga, senantiasa menjunjung tinggi etika, tidak
boleh melecehkan privasi orang lain, menghina, menjatuhkan harga diri,
membunuh karakter orang lain.77
Sehingga, dapat dikatakan bahwa kebebasan pers dalam Islam adalah
kebebasan yang membebaskan (profetik) manusia dari hal-hal yang merusak
kodrat dan fitrahnya. Oleh karenanya dalam pemberitaan yang bernuansa Islam,
mestinya sajian berita, tayangan dan opini yang harus mampu memuliakan
manusia, bukan sebaliknya menjatuhkan martabatnya di muka umum.78 Bila
dikaitkan dengan pers umum, sejatinya tidak terlalu banyak perbedaan antara
Media Massa Islam dengan media massa pada umumnya. Hal ini dikarenakan
kedua jenis pers tersebut sama-sama menyampaikan informasi (to inform),
76 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.3. 77 Mohammad Rosyid, Ibid.. 78 Mohammad Rosyid, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
166
memberi pendidikan (to educate) dan menghibur (to entertain). Pembedanya,
adanya Pers Islam menyampaikan dakwah yakni menyeru kebajikan dan
mencegah kemungkaran berlandaskan ajaran Islam. Keberhasilan pers adalah
mampu membentuk opini publik. Begitu pula keberhasilan Pers Islam adalah
kemampuan membentuk opini publik yang terbangun atas sendi keislaman.79
Redaktur Senior Harian Republika, Ikhwanul Kiram, mengatakan bahwa
“Yang namanya pers yang berpegang pada kode etik jurnalistik, saya mengatakan
itu Islami. Setiap pewarta pada hakikatnya melakukan check and balances pada
setiap berita yang akan disiarkan kepada khalayak. Jadi, Pemberitaan berimbang
itu Islami.”. Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, M. Rus
Sihombing, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan secara khusus antara Pers
Islam dan pers umum. Artinya, kaidah jurnalistik bisa berlaku untuk media apa
pun, termasuk dalam jurnalistik yang fokus pada agama. Perbedaaannya menurut
Rus, hanya pada subjek dan materi pemberitaan saja. Pers Islam lebih fokus
memberitakan ajaran Islam kepada pembaca atau segmentasi Umat Islam.80
Di era demokrasi ini, perkembangan pers semakin menjadi-jadi. Melalui
media massa, perang pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta penguasaan
opini di masyarakat dapat dikuasai.81 Akan tetapi, sangat disayangkan banyak
sekali beredar informasi palsu atau hoaks di masyarakat melalui media massa.
Penyebaran berita bohong tersebut pun berlindung dibalik semangat kebebasan
pers dan mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia. Bahkan, berita bohong
tersebut berujung pada konflik di masyarakat dan menimbulkan perpecahan.
Dalam Islam, kebenaran merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh Pers
Islam. Islam menolak setiap klaim yang tidak berdasarkan pada dalil dan bukti.
Dalam Islam, berfikir, tadabbur, meneliti dan mengkaji merupakan kewajiban.82
79 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.11-12. 80 Hafidz Muftisany, Sumbangsih Pers Islam, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-sumbangsih-pers-islam,
diakses pada 15 Januari 2021. 81 Beggy Rizkiyansyah, Lahirnya Pers Islam di Indonesia, diakses dari
http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/, diakses pada 20 Januari
2021. 82 Umar Natuna, Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam, diakses dari
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-perspektif-islam.html,
diakses pada 15 Januari 2021.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
167
Pers Islam mengemban misi amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itu, terkait
dengan realita pelaksanaan kebebasan pers, Islam memberikan panduan kepada
masyarakat ketika menerima informasi dengan prinsip tabayyun. Tabayyun
merupakan cara bagi masyarakat untuk mencari kejelasan tentang sesuatu hingga
jelas benar keadaannya. Atau dapat dikatakan juga tabayyun merupakan cara
masyarakat untuk meneliti dan menyeleksi berita yang diterimanya.83
Allah mengingatkan untuk tidak mengikuti sesuatu yang belum diketahui
secara jelas masalahnya atau jangan mengambil kesimpulan terlebih dalulu
sebelum mengetahui secara jelas. Hal ini dikarenakan semua yang kita lakukan
akan dipertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam QS al-Isra ayat 36: “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya
itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”.84
Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah
informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak
menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas
kedudukannya. Hal ditegaskan dalam Al-Qur’an, yakni85:
a. ”(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal
dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur: 15).
b. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaf: 18).
Ketetapan berita yang harus disampaikan kepada kahalayak juga tersirat
dalam QS. Al Naml: 22 yang berbunyi:
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku
telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa
kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
83 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari
https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, diakses pada 15 Januari
2021. 84 Marhamah, Ibid.. 85 Marhamah, Ibid..
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
168
Ayat diatas menceritakan tentang kisah Nabi Sulaiman yang memanggil
burung hud-hud yang terlambat datang. Ketika Nabi Sulaiman menanyakan apa
sebenarnya yang mengakibatkan burung tersebut terlambat datang, maka
berceritalah burung hud-hud tentang kaum sabah yang dipimpin oleh Ratu Bilqis
yang menyembah matahari, kepada Nabi Sualaiman. Kabar yang disampaikan
burung hud-hud itu benar dan akurat sehingga Nabi Sulaiman memaafkan
keterlambatan burung hud-hud tersebut.86 Larangan untuk menyebar informasi
begitu saja pun ditegaskan oleh Rasulullah S.A.W. dalam hadis ”Sesungguhnya
ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan
bahayanya terlebih dahulu. Sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan
jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim).87
Muhammadiyah pun mengambil sikap atas permasalahan ini.
Muhammadiyah memandang perlu adanya fikih jurnalistik supaya bisa menjadi
pegangan bagi insan pers atau masyarakat luas sebagai pengguna media sosial
khususnya yang beragama Islam, agar tidak sembarangan menyebarkan informasi
yang belum jelas kebenarannya. Fikih jurnalistik yang diharapkan dapat menjadi
panduan bagi insan pers maupun pengguna media media sosial untuk
menyebarluaskan informasi berdasarkan tuntunan yang Islami. Wakil Ketua MPI
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto, mengatakan bahwa Fikih
Jurnalistik atau bisa juga diperluas menjadi fikih informasi ini merupakan salah
satu upaya untuk memerangi hoaks dan penyalahgunaan media sosial.88
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan kedudukan Pers
Islam sangat strategis untuk menangkal perang pemikiran (gazwul fikr) yang
terjadi dalam masa modern seperti ini. Perang melalui pembentukan opini dapat
diantisipasi melalui Pers Islam.89 Hal tersebut disikapi Sekjen Organisasi
Konferensi Islam, Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu di hadapan Majelis Umum
Persatuan Penyiaran Islam (Islamic Broadcasting Union) pada 23 Desember 2010.
86 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.133. 87 Marhamah, Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun), diakses dari
https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/, pada 15 Januari 2021. 88 Era Muslim, Muhammadiyah akan Rilis Fikih Jurnalistik Bagi Pers Islam, diakses dari
https://www.eramuslim.com/berita/nasional/muhammadiyah-akan-rilis-fikih-jurnalistik-bagi-pers-
islam.htm, diakses pada 1 Februari 2021. 89 Krishna Sen dan Davit T. Hill, Politics and The Media in Twenty-First Century
Indonesia: Decade of Democracy, Penerbit Routledge, Oxon, 2011, p.79.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
169
Ia menyerukan kepada 57 negara Islam tentang pentingnya kerja sama antar
negara OKI dalam program media massa kelas dunia. 90 Harapan senada diwanti-
wanti dalam amanat KTT Luar Biasa OKI pada tahun 2005 dan atas inisiatif
Penjaga Dua Masjid Suci (Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsha) yakni Raja
Abdullah agar dunia Islam memperkuat peran Organisasi Penyiaran Islam dan
Kantor Berita Islam Internasional (International Islamic News Agency) agar
aspirasi keislaman tersuarakan.91 Secara global, media Islam masih mempunyai
tempat di masyarakat global seperti Al-Jazeera, Al Nil dan Al Ihram.92
Saat ini, media di Indonesia belum ada yang mengusung Pers Islam yang
secara total. Akan tetapi, terdapat beberapa tayangan baik itu di media elektronik
maupun media cetak yang isi tayangannya bermuatan ajaran-ajaran Islam.93 Pers
Islam mengedepankan kegiatan jurnalistik yang Islami, meskipun berita-berita
atau pun isi media yang terkandung di dalamnya sebagai substansi berita tidak
semuanya bertemakan ajaran Islam. Diharapkan kedepannya, Pers Islam terus
berbenah diri dengan cara membuat tampilan dan isi yang semakin menarik, serta
meningkatkan profesionalitas pengelolaan Pers Islam sehingga lebih berkembang
di masyarakat dan dapat sejajar dengan pers umum yang telah ada di era
konvergensi media saat ini.
C. PENUTUP
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri menonjol
negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi yang diwujudkan
dalam bentuk menyampaikan gagasan melalui pers. Pada saat ini, sudah banyak
lembaga penyiaran karena demokrasi pers yang semakin bebas. Fungsi media
massa atau pers dalam demokrasi mencakup: pers atau media sebagai civic forum,
pers sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik dan pers sebagai
agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu posisi politis.
90 Mohammad Rosyid, Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era Digital, At-
Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol.1, No.1 (Januari-Juni 2013), p.14. 91 Mohammad Rosyid, Ibid., p.12. 92 Mohammad Rosyid, Ibid., p.14. 93 Sri Hadijah Arnus, Pers Islam di Era Konvergensi Media, Palita Journal of Social-
Religion Research, Vol.1, No.2 (Oktober 2016), p.139.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
170
Pers Islam pada dasarnya adalah pers yang bertujuan menyebarkan nilai-
nilai Islam atau sebagai media dakwah bagi umat Islam, menyuarakan aspirasi
umat Islam, dan pers yang dimiliki oleh umat Islam dan dijalankan dengan dengan
cara islami. Pers Islam harus independen sehingga tidak terjebak pada pers
sektarian yang ekslusif. Pers Islam merupakan bagian yang sangat penting dari
perkembangan Pers Indonesia. Pers Indonesia menjadi alat perjuangan kaum
pergerakan nasional yang ingin menapai kebebasan dan kemerdekaan.
Bila media massa dan jurnalis muslim mampu mempertahankan potensi dan
karakter jurnalis muslim di tengah persaingan dengan media cyber, media massa
Islam akan tetap kokoh. Didukung dengan kreativitasnya memahami karakter
pembaca dengan sajian yang dinamis, diharapkan Pers Islam terus berbenah
dengan cara membuat tampilan dan isi yang semakin menarik, serta meningkatkan
profesionalitas pengelolaan Pers Islam sehingga lebih berkembang dan dapat
sejajar dengan pers umum yang telah ada di era konvergensi media saat ini.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
171
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers).
Wahyudi, Bambang dan M. Faried Cahyono. 1994. Pers, Hukum, dan Kekuasaan.
(Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya).
Wonohito, M.. 1976. Sistim Pers Pancasila. (Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Pengembangan Pers Departemen Penerangan Republik Indonesia).
Saputra, Yahya Andi. 1988. Lembaran Hijau: Suara Rakyat Tertindas, Pers Islam
pada Masa Pergerakan Nasional. Skripsi. (Depok: Universitas Indonesia).
Sen, Krishna dan Davit T. Hill. 2011. Politics and The Media in Twenty-First
Century Indonesia: Decade of Democracy. (Oxon: Penerbit Routledge).
Publikasi
Arnus, Sri Hadijah. Pers Islam di Era Konvergensi Media. Palita Journal of
Social-Religion Research. Vol.1. No.2 (Oktober 2016).
Chakim, Sulkhan. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Ideologi. KOMUNIKA.
Vol.5. No.2 (Juli - Desember 2011).
Harahap, Krisna. Upaya Penegakan Kemerdekaan Pers di Indonesia sebagai
Salah Satu Pilar Demokrasi. Syiar Hukum Jurnal Ilmu Hukum. Vol.11.
No.3 (2009).
Rosyid, Mohammad. Membingkai Sejarah Pers Islam di Tengah Terpaan Era
Digital. At-Tabsyir Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam. Vol.1. No.1
(Januari-Juni 2013).
Sobur, Alex. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di
Indonesia. MediaTor Jurnal Komunikasi. Vol.5. No.2 (2004).
Syam, Nia Kurniati. Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif
Teori Normatif Media Massa. MediaTor Jurnal Komunikasi. Vol.7. No.1
(2006).
Karya Ilmiah
Erlina, Aprini. 2006. Sejarah Pertumbuhan Pers Islam Indonesia: Studi Kasus
Panji Masyarakat pada Masa Kepemimpinan Prof. Dr. Hamka (1959-
1981). Skripsi. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah).
Haghia, Raisye Soleh. 2014. Pedoman Masyarakat (1935-1942) : Pelopor
Pembaruan Pers Islam di Indonesia. Tesis. (Depok: Universitas Indonesia).
Musrifah. 2001. Misi dan Orientasi Pers Islam: Studi pada Buletin Risalah Jumat
Majelis Tabligh PWM di Yogyakarta. Skripsi. (Yogyakarta: Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga).
Pradjoko, Didik. 1999. Gerakan Dakwah Islam di Vorstenlanden: Kajian atas
Artikel Dakwah dalam Surat Kabar dan Majalah di Yogyakarta dan
Surakarta 1916-1933. Skripsi. (Depok: Universitas Indonesia).
Putra, I Gusti Ngurah. Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia. Makalah
disampaikan dalam seminar “Menggugat Profesionalisme Wartawan” yang
diselenggarakan oleh Dewan Pers, Yogyakarta, 23 November 2005.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
172
Website
Affan. Menuju Pers Islam yang Profesional. diakses dari
http://mqradio.co/menuju-pers-islam-yang-
profesional.html#.WRekcGiGPIU. diakses pada 15 Januari 2021.
Budiatma, Hisham. Sejarah Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia.
diakses dari http://usaha321.net/sejarah-perkembangan-media-komunikasi-
di-indonesia.html. diakses pada 15 Januari 2021
Desastian. Dewan Pers Islam Segera Hadir, Media Islam dan MUI saling
Bersinergi. diakses dari http://www.panjimas.com/news/2017/02/03/dewan-
pers-islam-segera-hadir-media-islam-dan-mui-saling-bersinergi/. diakses
pada 15 Januari 2021.
Era Muslim. Muhammadiyah akan Rilis Fikih Jurnalistik Bagi Pers Islam. diakses
dari https://www.eramuslim.com/berita/nasional/muhammadiyah-akan-rilis-
fikih-jurnalistik-bagi-pers-islam.htm. diakses pada 15 Januari 2021.
Jejak Islam. Lahirnya Pers Islam di Indonesia. diakses dari
http://jejakislam.net/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/. diakses pada 20
Januari 2021.
Marhamah. Pers dalam Perpektif Islam (Tabayyun). diakses dari
https://layarberita.com/2017/02/10/pers-dalam-perpektif-islam-tabayyun/.
diakses pada 15 Januari 2021.
Muftisany, Hafidz. Sumbangsih Pers Islam. diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/10/nml5428-
sumbangsih-pers-islam. diakses pada 15 Januari 2021.
Nahi Munkar. Solusi Cegah Pemblokiran Sepihak, MUI Akan Bentuk Semacam
Dewan Pers Islam. diakses dari https://www.nahimunkar.com/solusi-cegah-
pemblokiran-sepihak-mui-bentuk-semacam-dewan-pers-islam/. diakses
pada 15 Januari 2021.
Natuna, Umar. Kebebasan Pers dalam Perspektif Islam. diakses dari
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/87583-kebebasan-pers-dalam-
perspektif-islam.html. diakses pada 15 Januari 2021.
Rizkiyansyah, Beggy. Lahirnya Pers Islam di Indonesia. diakses dari
http://uhamka.ac.id/khazanah-islam/lahirnya-pers-islam-di-indonesia/.
diakses pada 20 Januari 2021.
___________________. Pers Islam Lahir Sebelum Indonesia Merdeka, diakses
dari
https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/04/01/67647/pers-
islam-lahir-sebelum-indonesia-merdeka-3.html. Diakses pada 20 Januari
2021.
Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Islami: ‘Ideologi’ Media Dakwah. diakses dari
http://romeltea.com/jurnalistik-islami-ideologi-media-dakwah/. diakses pada
15 Januari 2021.
Sakina, Riva. Kisah Ironi Global TV dan Terpuruknya Pers Islam. diakses dari
http://www.fimadani.com/kisah-ironi-global-tv-dan-terpuruknya-pers-
islam/. diakses pada 15 Januari 2021.
Salam Online. Banyak Prasangka Buruk terhadap Pers Islam, Prof. Bagir
Manan: “Kita tak Perlu Surut”. diakses dari https://www.salam-
online.com/2017/04/banyak-prasangka-buruk-terhadap-pers-islam-prof-
bagir-manan-kita-tak-perlu-surut.html. diakses pada 20 Januari 2021.
Josua Satria Collins
Pers Sebagai Pilar Demokrasi dalam Perspektif Islam
173
Vartikel. Sejarah Media Massa. diakses dari https://vartikel.com/7163/sejarah-
media-massa/. diakses pada 15 Januari 2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4252.
Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an.
Hadis Riwayat Muslim.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
174
POTENSI PRAKTIK MONOPOLI DALAM MERGER BANK SYARIAH
INDONESIA: TINJAUAN HUKUM EKONOMI ISLAM DAN HUKUM
LARANGAN MONOPOLI
(THE POTENTIAL OF MONOPOLY PRACTICE IN MERGER OF BANK
SYARIAH INDONESIA: AN ISLAMIC ECONOMIC LAW AND ANTI-
MONOPOLY LAW APPROACH)
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi Penulis : nabilah.anika@ui.ac.id
Citation Structure Recommendation :
Anika, Nabilah, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro. Potensi Praktik Monopoli
dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum Ekonomi Islam dan Hukum Larangan
Monopoli. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021).
ABSTRAK
Sebagai salah satu usaha mengembangkan pangsa pasar ekonomi syariah di
Indonesia, pemerintah menggabungkan tiga bank syariah BUMN, yakni BNI
Syariah, BRI Syariah dan Mandiri Syariah guna mengekspansi pasar perbankan
syariah. Namun, upaya penggabungan bank disangsikan oleh sejumlah pihak
sebab berpotensi melanggar larangan praktik monopoli. Untuk mengetahui
potensi pelanggaran larangan monopoli, tulisan ini akan menganalisis merger tiga
bank syariah berdasarkan pengaturan monopoli di Indonesia dan hukum ekonomi
Islam terhadap monopoli. Hasil penelitian ditulis secara deskriptif dengan
pendekatan kualitatif yang diperoleh dengan metode yuridis-normatif.
Berdasarkan pembahasan yang mengacu pada data yang diperoleh, disimpulkan
bahwa fenomena merger berpotensi menimbulkan adanya praktik monopoli.
Kata Kunci: Bank Syariah, Hukum Ekonomi Islam, Merger, Monopoli
ABSTRACT
As one of the efforts to develop the market share of the sharia economy in
Indonesia, the government merged three state-owned sharia banks, namely BNI
Syariah, BRI Syariah, and Mandiri Syariah to expand the Islamic banking market.
However, the bank merger attempt was disputed by a number of parties because it
potentially violated the prohibition of monopoly practices. To find out the
potential violations of the monopoly ban, this paper will analyze the merger of
three Sharia banks based on monopoly regulation in Indonesia and Islamic
economic law against monopolies. The results of the study were written
descriptively with qualitative approaches obtained by juridical-normative
methods. Based on the discussion that refers to the obtained data, it is concluded
that the merger phenomenon has the potential to lead to monopoly practices.
Keywords: Islamic Bank, Sharia Economic Law, Merger, Monopoly
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
175
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang menempati peringkat keempat dari segi
jumlah penduduk memiliki potensi pasar usaha perbankan yang sangat menarik.
Terlebih lagi, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Oleh karenanya, industri perbankan syariah seharusnya mampu berkembang dan
tumbuh secara masif dan ekspansif. Akan tetapi, kondisi saat ini tidak demikian.
Sebaliknya, industri perbankan syariah di Indonesia belum menunjukkan kinerja
yang memuaskan sebab masih kecil secara jumlah modal inti yang masih kalah
jauh dengan bank-bank umum.1 Oleh sebab itu, pemerintah berencana
memperkuat kelembagaan dan permodalan bank syariah dengan menggabungkan
(merger) bank-bank syariah yang dimiliki oleh pemerintah yakni BNI Syariah,
BRI Syariah, dan Mandiri Syariah, yang akan kemudian akan digabungkan
(merger) menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Keputusan pemerintah untuk menggabungkan ketiga bank syariah BNI
Syariah, BRI Syariah, dan Mandiri Syariah berpotensi melanggar ketentuan anti
monopoli yang berlaku. Kualifikasi terjadinya monopoli yaitu dalam hal sebuah
jenis usaha menguasai lebih dari setengah dari jumlah pangsa pasar untuk produk
yang sama. Jika ditinjau dari sudut hukum ekonomi Islam, monopoli disebut
sebagai ikhtikar atau menimbun barang secara bathil (curang) dan zalim.2 Selain
terdapat kemungkinan pelanggaran terhadap ketentuan normatif larangan
monopoli, praktek monopoli juga bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan
ekonomi berdasarkan Islam. Sebab, ekonomi secara Islam ditujukan untuk
sebesar-besar kemakmuran umat (manusia).3
Selain itu, penggabungan bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia
tidak lepas dari kritikan dan berbagai kekhawatiran berbagai pihak utamanya
nasib akses modal bagi usaha mikro dan kecil. Sebelumnya, bank-bank syariah
dapat menjadi andalan bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapat akses
modal guna mengembangkan usahanya. Namun, setelah penggabungan (merger),
1 M. Richard dan Annisa S. Rini, OJK Utak-Atik Aturan, Hanya 4 Bank Ini Bertahan di
Kasta Teratas, diakses dari https://finansial.bisnis.com/read/20210107/90/1340049/ojk-utak-atik-
aturan-hanya-4-bank-ini-bertahan-di-kasta-teratas, diakses pada 23 Januari 2021, jam 20.01 WIB. 2 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al-Iqtishad, Vol.4,
No.2 (2012), p.160. 3 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Gunung Djati Press, Bandung, 1997, p.28-30.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
176
Bank Syariah Indonesia dikhawatirkan tidak lagi mudah diakses oleh pelaku
usaha berskala kecil karena lebih berorientasi terhadap usaha-usaha besar dan
mapan. Kekhawatiran tersebut selaras dengan fakta bahwa penyelenggaraan
ekonomi di dalam Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama baik di
dunia dan untuk akhirat.4 Sehingga dengan demikian, orientasi ekonomi tidak
akan lagi berperan untuk membangun ekonomi umat sebagaimana fungsi dan
tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri.5
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
rencana pembentukan Bank Syariah Indonesia ditinjau dari hukum di Indonesia
mengenai monopoli dan hukum ekonomi Islam. Dengan membaca tulisan ini,
pembaca diharapkan dapat mengetahui pengaturan normatif atas larangan
monopoli di Indonesia. Selain itu, pembaca akan mengetahui pandangan hukum
ekonomi Islam baik dari segi substansi menilai praktik monopoli serta
hubungannya dengan tujuan ekonomi Islam. Terakhir, akan disajikan analisis
berdasarkan kedua hal diatas terhadap penggabungan dan pembentukan Bank
Syariah Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini membahas dua rumusan masalah.
Pertama, membahas monopoli berdasarkan hukum ekonomi Islam, kemudian
dikomparasi dengan hukum positif Indonesia. Kedua, analisis tentang potensi
praktik monopoli dalam penggabungan bank-bank syariah milik BUMN menjadi
Bank Syariah Indonesia (BSI) berdasarkan sisi normatif larangan praktik
monopoli dalam hukum ekonomi Islam dan hukum larangan monopoli di
Indonesia. Berikut adalah rincian rumusan masalahnya:
1. Bagaimana praktik monopoli dalam pandangan hukum ekonomi Islam
dan hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana potensi praktik monopoli dalam penggabungan (merger)
ketiga bank BUMN?
4 Andi Iswandi, Maslahat Memelihara Harta dalam Sistem Ekonomi Islam, Jurnal Filsafat
dan Budaya Hukum, Vol.1, No.1 (2014), p.25. 5 Sofyan Rizal, Titik Temu dan Sinergi Ekonomi Islam dan Ekonomi Kerakyatan, Al-
Iqtishad, Vol.3, No.1 (2011), p.10.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
177
B. PEMBAHASAN
1. Praktik Monopoli dalam Pandangan Hukum Ekonomi Islam dan
Hukum Positif Indonesia
Struktur pasar dalam ilmu ekonomi mikro, merupakan teori dasar untuk
mengetahui keadaan pasar. Menurut Rizkyanti sebagaimana dikutip oleh
Aminursita, struktur pasar dalam perekonomian adalah keadaan pasar yang dapat
memberikan keterangan bagi pelaku ekonomi tentang aspek-aspek yang
berdampak vital terhadap perilaku usaha dan kinerja pasar.6 Pelaku ekonomi dapat
menentukan strategi untuk masuk ke dalam persaingan pasar dengan mengetahui
struktur dari pasar itu sendiri. Struktur pasar umumnya terbagi menjadi dua, yaitu
pasar persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan
sempurna terjadi ketika produsen-produsen di pasar secara individual tidak dapat
mempengaruhi harga. Artinya, di sini posisi produsen bertindak sebagai penerima
harga (price taker) dari pasar.7 Sebaliknya, pasar persaingan tidak sempurna
terdiri dari pasar monopoli, persaingan monopolistik dan oligopoli. Penelitian ini
berfokus pada struktur pasar monopoli sehingga penjelasannya akan berorientasi
pada pasar monopoli. Pasar monopoli dalam ilmu ekonomi mikro didefinisikan
sebagai kebalikan ekstrem dari pasar persaingan sempurna dimana situasinya
produsen bertindak sebagai penjual tunggal dari suatu barang sehingga dapat
bertindak sebagai pembuat harga (price maker).8 Praktik monopoli di Indonesia
dilarang sebab termasuk sebagai persaingan usaha yang tidak sehat.9
Berbeda dengan pengertian sistem monopoli dalam teori ekonomi mikro,
monopoli dalam ekonomi Islam bermakna sebagai tindakan menimbun barang
(ikhtikar). Ikhtikar dalam Islam secara etimologi berasal dari kata alhukr yang
artinya al-zhulm wa al-‘isâ’ah al-mu‘âsyarah, yaitu berbuat aniaya dan
sewenang-wenang.10 Amirul Mukminin Umar bin Khattab merupakan salah satu
orang yang sangat membenci tindakan ikhtikar.AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
6 Orsidia Aminursita dan M. Faisal Abdullah, Identifikasi Struktur Pasar pada Industri
Keramik di Kota Malang, Jurnal Ilmu Ekonomi, Vol.2, No.3 (2018), p.410. 7 Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Pengantar Teori Ekonomi, Penerbit Mitra Pustaka
Nurani, Yogyakarta, (2014), p.168. 8 Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Ibid, p.191. 9 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. 10 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Al-Iqtishad, Vol.4, No.2
(Juli 2012), p.160.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
178
AAAaPada awalnya, Umar bin Khattab menemukan dua hamba sahaya yang
membeli makanan untuk dijual kembali untuk kaum muslimin. Melihat hal
tersebut, Umar bin Khattab memberitahu dua hamba sahaya tersebut mengenai
sabda Rasulullah SAW, yaitu “barang siapa menimbun harta kaum Muslimin
maka Allah akan menimpakan kepadanya kebangkrutan atau penyakit kusta.”11
Perbuatan menimbun barang apalagi untuk memperoleh keuntungan semata
dianggap sebagai perbuatan yang sangat keji.
Pengertian monopoli dalam hukum ekonomi Islam memang berbeda dengan
definisi monopoli dalam teori ekonomi konvensional. Terdapat beberapa definisi
Monopoli dalam ekonomi Islam berdasarkan empat mazhab. Pertama, menurut
mazhab Syafi’i mengartikan monopoli sebagai tindakan membeli makanan ketika
masyarakat membutuhkan, kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi.
Kedua, dalam mazhab Hambali, monopoli diartikan sebagai menimbun makanan
kemudian dijual dengan harga yang lebih mahal untuk mendapatkan keuntungan
yang besar. Ketiga, pada mazhab Maliki juga mendefinisikannya sebagai perilaku
menimbun barang untuk memperoleh keuntungan ketika harga naik. Sementara
itu, dalam mazhab Hanafi, monopoli adalah tindakan membeli pangan dari pasar
dan menahannya selama 40 hari untuk menunggu harganya naik.12
Pendapat-pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh kisah Amirul Mukminin
Umar bin Khattab yang melihat banyaknya makanan yang ditimbun kala beliau
melakukan inspeksi pasar di pintu Mekkah.13 Saat itu, menimbun makanan adalah
salah satu cara bagi orang zalim untuk mencurangi kaum Muslimin dengan
menaikkan harga jual dari harga yang wajar. Namun kini, peradaban terus
berkembang. Praktik-praktik pasar dalam teori ekonomi terus membaik dan tidak
hanya sebatas menimbun makanan. Akan tetapi ada praktik lain seperti joint
venture, merger, akuisisi dan lain sebagainya.
11 Lukman Hakim, Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal
Darussalam, Vol.7, No.2 (April 2016), p.327. 12 Arvie Johan, Larangan Monopoli Menurut Hukum Islam dan Perhatian yang Sebaiknya
Diberikan: Pendekatan Hukum dan Ekonomi, diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/269404937_LARANGAN_MONOPOLI_MENURUT_
HUKUM_ISLAM_DAN_PERHATIAN_YANG_SEBAIKNYA_DIBERIKAN_PENDEKATAN,
diakses pada 20 Januari 2021, jam 22.45 WIB. 13 Afidah Wahyuni, Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam, Al-Iqtishad, Vol.
2, No.2 (Juli 2010), p.168.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
179
Menurut Yusuf Qaradhawi dikutip oleh Kusno Aji berpendapat bahwa
monopoli bersumber dari egoisme manusia dan bertujuan untuk menambah
kekayaan dengan mempersempit kehidupan orang lain.14 Berdasarkan pendapat
Qaradhawi tersebut, dapat dilihat titik persamaan antara pengertian monopoli
dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Keduanya sama-sama
menghendaki adanya keuntungan yang besar dengan cara yang merugikan orang
lain. Cara apapun yang ditempuh oleh seorang produsen (dalam teori ekonomi
konvensional) untuk mendapat keuntungan dan menzalimi orang lain termasuk ke
dalam praktik monopoli.15 Dengan demikian akan sangat sempit jika
mendefinisikan perbuatan monopoli sebatas menimbun makanan untuk dijual
kembali, mengingat peradaban sudah berkembang dan praktik dalam ekonomi
kini ada dalam bentuk yang bermacam-macam. Perbuatan dalam bentuk apapun,
sekalipun bukan merupakan penimbunan harta, selama niatnya mendapat
keuntungan besar dengan menzalimi orang lain, adalah termasuk perbuatan
ikhtikar dan tidak sesuai dengan fiqih Islam.
Praktik monopoli dalam hukum Islam dilarang, dengan ketentuannya yang
diriwayatkan dalam beberapa hadis nabi. Imam Muslim, Abu Dawud dan at-
Tirmidzi meriwayatkan, “tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia berdosa.”
Musnad Ahmad juga meriwayatkan, “Barang siapa menimbun bahan makanan
selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah terlepas diri dari Allah
dan Allah berlepas diri darinya.” Sementara Ibnu Majah dan Abu Hurairah
meriwayatkan, “siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan
merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat
salah.” Ada pula hadis yang diriwayatkan oleh at-Tabrani yang berbunyi sebagai
berikut, “siapa yang merusak harga, sehingga harga tersebut melonjak tajam,
maka Allah akan menempatkannya di neraka pada hari kiamat”.16 Bahwa
perbuatan monopoli pada esensinya adalah perbuatan yang sangat dibenci dalam
Islam dan merupakan perbuatan curang.
14 Didik Kusno Aji, Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah, Vol.13, No.2 (2013), p.51. 15 Dede Abdul Fatah, Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Al-Iqtishad, Vol.4,
No.2 (2012), p.163. 16 Sri Nurhayati dan Wasilah Abdullah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta, 2009, p.54.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
180
Berdasarkan pemaparan paragraf di atas, Islam sangat mengutuk perbuatan
monopoli dalam persaingan pasar. Islam dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis
nabi mengajarkan bahwa harta harus diperoleh dari usaha yang halal dan dengan
cara yang halal pula. Islam melarang usaha yang curang dan memusatkan
kekayaan hanya kepada sekelompok orang kaya saja. Oleh karena itu, adalah
perbuatan dosa jika seseorang berbuat curang demi mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya namun di atas jerih payah orang lain apalagi orang-orang lemah
yang sulit untuk bersaing dengan pihak yang kuat dan mampu.17 Hukum positif di
Indonesia juga telah mengatur larangan praktik monopoli karena tidak sesuai
dengan nilai yang dianut Pancasila dan konstitusi.18 Melalui penelitian ini, peneliti
hendak mencari tahu bagaimana kemungkinan adanya praktik monopoli dalam
peristiwa penggabungan atau merger usaha antara PT Bank BRI Syariah Tbk., PT
Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI Syariah.
Praktik monopoli dalam hukum Indonesia juga merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan konstitusi dan falsafah negara. Larangan terhadap monopoli
dan persaingan usaha yang tidak sehat lainnya diatur dalam Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Undang-undang tersebut
mendefinisikan monopoli sebagai “penguasaan atas produksi atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha”.19 Pasal 17 dari undang-undang a quo juga mengatur,
sebuah perusahaan atau sebuah kelompok perusahaan dapat diduga melakukan
monopoli apabila: barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada
substansinya; atau mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.20 Bunyi pasal tersebut dapat membantu untuk menentukan
kapan suatu pelaku usaha diduga telah melakukan praktik monopoli.
17 Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Penerbit Prenada Media Group, Depok, 2018, p.200-201. 18 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. 19 Undang-Undang Persaingan Usaha, Ibid., Ps.1 20 Undang-Undang Persaingan Usaha, Ibid., Ps.17.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
181
2. Potensi Praktik Monopoli dalam Penggabungan Ketiga Bank BUMN
Pada 21 Oktober 2020 telah dipublikasikan Ringkasan Rancangan
Penggabungan Usaha (merger) antara PT Bank BRI Syariah Tbk. (BRIS), PT
Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS). Ketiganya
adalah bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hasil dari merger akan
membuat bank tersebut memiliki total aset Rp. 214,6 triliun. Bank tersebut akan
menjadi perusahaan terbuka dan tetap ada dalam Bursa Efek Indonesia dengan
code BRIS. Pemegang saham pada bank hasil merger yaitu PT Bank Mandiri
(Persero) Tbk. (BMRI) 51,2%, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI)
25,0%, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) 17,4%, DPLK BRI -
Saham Syariah 2% dan publik 4,4%.21 Pada tanggal 15 Desember 2020 telah
disetujui merger ketiga bank syariah dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB). Bank hasil merger akan diberi nama PT Bank Syariah
Indonesia Tbk. dan bergabung secara efektif pada 1 Februari 2021.22
Merger bank syariah BUMN tentu akan menguntungkan pemerintah selaku
pemilik mayoritas Bank Syariah Indonesia secara tidak langsung. Baik dari segi
keuntungan perkembangan usaha syariah maupun dari segi efisiensi. Pemerintah
akan lebih efisien dalam mengawasi satu bank syariah saja. Melihat dari
penjelasan sebelumnya bahwa saham yang dilepas ke publik hanya 4,4%, ini akan
merugikan pemegang saham minoritas karena saham BRIS terdilusi nilainya.23
Banyaknya orang yang ingin ikut serta untuk membeli saham BRIS akan
membuat harganya menjadi naik tidak rasional dan tidak sebanding dengan nilai
dan kinerja yang sebenarnya.
21 Bank Negara Indonesia (BNI), Rampungkan Rencana Merger 3 Bank Syariah, Bank
Hasil Penggabungan akan Berevolusi Jadi Bank Syariah Nasional Terbesar, diakses dari
https://www.bnisyariah.co.id/id-
id/beranda/berita/siaranpers/ArticleID/3015/Rampungkan%20Rencana%20Merger%203%20Bank
%20Syariah,%20Bank%20Hasil%20Penggabungan%20akan%20Berevolusi%20Jadi%20Bank%2
0Syariah%20Nasional%20Terbesar, diakses pada 20 Januari 2021, jam 21.22 WIB. 22 Happy Fajrian (Ed.), Rencana Merger Disetujui, Bank Syariah Indonesia Beroperasi 1
Februari, diakses dari https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5fd8bbca0ddbc/rencana-
merger-disetujui-bank-syariah-indonesia-beroperasi-1-februari, diakses pada 20 Januari 2021, jam
22.45 WIB. 23 Rizqullah Thohuri, Mau Kemana Merger Bank Syariah?, diakses dari
https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah, diakses pada 21 Januari 2021, jam
22.51 WIB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
182
Meskipun menguntungkan pemerintah, rencana merger justru mengancam
pelaku ekonomi kecil dan mikro. Organisasi Muhammadiyah menyatakan akan
menarik dananya dari Bank Syariah Indonesia. Hal ini dikarenakan Bank Syariah
Indonesia akan menjadi bank besar dan berfokus pada perusahaan besar serta
kemungkinan tidak akan terlalu mendukung misi Muhammadiyah untuk
mendukung Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Walaupun hal ini
sebenarnya sudah disanggah oleh pihak Bank Syariah Indonesia sendiri.24 Merger
tiga bank BUMN seharusnya tidak hanya sampai pada meningkatkan nilai bagi
pemegang saham dan pengurus, akan tetapi juga seharusnya mampu
meningkatkan ekonomi syariah secara keseluruhan di Indonesia. Kekhawatiran
Muhammadiyah ini sangat mendasar karena UMKM memiliki peran penting
untuk kemajuan ekonomi Indonesia.
Permasalahan lainnya yaitu sebagian nasabah bank syariah memiliki
pengetahuan yang minim terkait sistem bank syariah itu sendiri dan bedanya
dengan bank konvensional. Bahkan, pengetahuan nasabah hanya sebatas
penggunaan sistem bunga pada bank konvensional dan bagi hasil pada bank
syariah. Padahal, keberadaan bank syariah seharusnya tidak hanya sebatas sistem
bunga bank konvensional. Ada pemahaman terkait dampak riba, nisbah dan masih
banyak hal lainnya yang belum dipahami oleh masyarakat. Persepsi ini membuat
keputusan bagi nasabah dan keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh
persaingan yang baik antara bank syariah maupun dengan konvensional.25 Dalam
hal ini, masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam masih sangat
membutuhkan edukasi dan sosialisasi terkait pentingnya peran perbankan syariah
dalam hidup mereka.
Beberapa cendekiawan Islam pada abad pertengahan seperti Ibn Taimiyyah
dan Ibn Khaldun telah mencetuskan pemikiran persaingan usaha yang tidak sehat.
24 Fadel Prayoga, 7 Fakta Muhammadiyah Tarik Semua Dana di Bank Syariah Indonesia,
Kenapa dan Mengapa?, diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2020/12/20/320/2330934/7-fakta-muhammadiyah-tarik-semua-
dana-di-bank-syariah-indonesia-kenapa-dan-mengapa?page=2, diakses pada 21 Januari 2021, jam
23.01 WIB. 25 Diah Wahyuningsih, dkk., Analisis Perilaku Nasabah dalam Pembiayaan di Bank
Syariah Mandiri, Media Trend, Vol 9, No.1 (2014), p.90-114.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
183
Ibn Taimiyyah misalnya, berpendapat bahwa harga yang adil dalam suatu pasar
adalah harga kompetitif normal yang didapat karena faktor supply dan demand
dalam suatu pasar persaingan sempurna dan tidak boleh harga yang terpengaruh
karena ulah-ulah pihak yang mengganggu keseimbangan harga.26 Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun di mana mekanisme harga yang
sempurna didapat ketika tidak ada intervensi dari suatu pihak, dan merusak harga
pasar untuk kepentingan pribadi adalah perbuatan yang sangat tercela.27 Jika
dikaitkan dengan usaha penggabungan tiga bank syariah BUMN yang dapat
mendorong bank syariah kecil tidak mampu bersaing dan menjadikan bank
syariah besar hasil penggabungan menjadi penentu harga di industri, hal ini tentu
menjadi persaingan usaha yang tidak sehat dan harga yang terbentuk bukanlah
harga yang adil sebagaimana pendapat Ibn Taimiyyah. Dalam Q.S. Surah Al
Hasyr (59) ayat 18 disebutkan bahwa:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Hal yang perlu diamati adalah bagaimana masa depan perekonomian syariah
khususnya di bidang perbankan di Indonesia setelah terlaksananya merger ketiga
bank BUMN yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar, termasuk dalam hal ini
kinerja setiap bank syariah. Bukan tidak mungkin perbankan lain yang ingin ikut
serta dalam memajukan perbankan syariah akan langsung kalah dalam kompetisi
untuk menarik nasabah karena tidak seimbangnya persaingan. Pertanyaannya, jika
mengacu pada fenomena penggabungan usaha antara tiga bank besar tersebut,
adakah kemungkinan praktik monopoli terjadi dengan adanya penggabungan?
Pertama, untuk menjawab hal tersebut, akan diuraikan terlebih dahulu
pengaturan mengenai larangan praktik monopoli. Ketentuan yang mengatur
mengenai hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah).
Dalam Pasal 24 mengatur: “(1) Bank Umum Syariah dilarang: a. melakukan
26 Meriyanti, Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam: Ibnu Taimiyah, Islamic Banking, Vol.2,
No.1 (Agustus 2016), p.28. 27 Dadi Permana Putra, Isu-Isu Kontemporer Hukum Bisnis Syariah (Monopoli dalam
Bisnis Syariah), Tahkim, Vol.xiv, No.2 (Desember 2018), p.258.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
184
kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. …”.28 Prinsip
syariah dalam pasal tersebut meliputi kegiatan usaha yang mengandung unsur-
unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim,29 sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah. Praktik monopoli sendiri masuk ke
dalam kategori zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.30 Zalim adalah lawan dari kata adil. Zalim berarti menganiaya, tidak adil
dalam memutus perkara, berat sebelah dalam bertindak, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang kurang dari semestinya.31
Sebaliknya, adil adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa
yang menjadi haknya. Keadilan merupakan salah satu prinsip-prinsip dasar
keuangan syariah selain prinsip tauhid, maslahat, ta’awun (tolong-menolong) dan
keseimbangan.32 Islam mendefinisikan adil sebagai tidak mendzalimi dan tidak
didzalimi (la tadzhlimuuna wala tuzhlamuun). Oleh karena itu, praktik monopoli
yang sifatnya mendzalimi pelaku usaha lain adalah termasuk ke dalam perbuatan
yang mengandung unsur zalim dan bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
diatur dalam UU Perbankan Syariah.
Di Indonesia sendiri, ada beberapa contoh monopoli yang dilakukan oleh
pemerintah dengan berlandaskan Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” Dalam hal ini contohnya ialah Perusahaan Pertamina dan Perusahaan
Listrik Negara. Namun, merger Bank Syariah tentu berbeda dengan perusahaan
yang ada tersebut. Hal ini karena pelakunya adalah lembaga keuangan yang
mengelola berdasarkan perekonomian syariah. Terkait perbankan syariah sendiri
sudah diatur dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, bahwa bank syariah yang
menerapkan prinsip syariah sudah sepatutnya tidak boleh melakukan monopoli.
28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867, Ps.24 29 Undang-Undang Perbankan Syariah, Ibid., Penjelasan Umum. 30 Undang-Undang Perbankan Syariah, Ibid., Penjelasan Pasal per Pasal. 31 Abu Syhabudin, Keadilan dan Kezaliman dalam Perspektif Al-Qur’an, Al-Akhbar,
Vol.7, No.2 (2018), p.3. 32 Mursal, Implementasi Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah: Alternatif Mewujudkan
Kesejahteraan Berkeadilan, Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, Vol.1, No.1 (2015), p.77-78.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
185
Kedua, bagaimana suatu perusahaan dapat diduga telah melakukan praktik
monopoli? Ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut tercantum dalam
Pasal 17 ayat (2) UU Larangan Monopoli yang berbunyi:
“(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum
ada substansinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.”33
Peneliti mencoba mengkomparasikan ketentuan dalam ayat tersebut dengan data
aset, PYD (Pembiayaan yang Diberikan) dan DPK (Dana Pihak Ketiga) dari
laporan keuangan pada kuartal III tahun 2020 (sebelum merger perusahaan) tiga
bank terkait. Angka yang tercantum berikut ini dinyatakan dalam triliun:
Nama Bank Aset Pembiayaan Dana Pihak Ketiga
BNI Syariah34 52,39 32,28 45,65
BRI Syariah35 56 40 48,7
Mandiri Syariah36 119,43 79,27 106,12
Total 227,82 151,55 200,47
Tabel 2.1 Data Aset, PYD dan DPK Tiga Bank Syariah (Sebelum Merger)
Sumber: Laporan Keuangan Triwulan III BNI Syariah, BRI Syariah dan
Mandiri Syariah
Berdasarkan data di atas yang diambil dari laporan keuangan bank pada
triwulan September 2020, diketahui bahwa total aset dari ketiga bank calon
merger adalah Rp227,82 triliun, dengan total pembiayaan yang diberikan senilai
Rp151,55 triliun, serta total Dana Pihak Ketiga yaitu Rp200,47 triliun.
Selanjutnya, data berikut ini adalah total aset, PYD, dan DPK dari seluruh unit
bank syariah di Indonesia berdasarkan statistik OJK per November 2020:37
Aset Pembiayaan Dana Pihak Ketiga
545,390 377,525 430,209
Tabel 2.2 Total Aset, PYD dan DPK Tiga Bank Syariah (Sebelum Merger)
Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK
33 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli, Ps.17 34 Lihat Laporan Keuangan BNI Syariah Triwulan September 2020. 35 Lihat Publikasi Triwulanan BRIS September 2020. 36 Lihat Laporan Triwulan III Mandiri Syariah September 2020. 37 Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah - November 2020, diakses dari
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankan-
syariah/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah---November-2020.aspx, diakses pada 16 Februari 2020,
jam 19.45 WIB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
186
Dengan mengkomparasi kedua data yang diperoleh dari laporan keuangan
masing-masing bank syariah dan statistik bank syariah di seluruh Indonesia, maka
dapat diketahui bahwa Bank Syariah Indonesia menguasai lebih dari 41% aset
yang ada dari seluruh Bank Syariah di Indonesia. Diperkirakan, aset Bank Syariah
Indonesia akan terus bertambah hingga mencapai lebih 46,6% dari seluruh Bank
Syariah yang ada di Indonesia. Belum lagi apabila terjadi merger kembali yang
dilakukan oleh Bank Syariah Indonesia di masa depan dengan bank syariah
lainnya. Berikut adalah perbandingan diagram antara aset Bank Syariah Indonesia
dengan seluruh unit Bank Syariah di Indonesia.
Grafik 2.1 Perbandingan Diagram Aset BSI dan Bank Syariah Lain
Sumber: Kreasi Penulis
Salah satu pengamat Bank Syariah, Dr. Rizqullah Thohuri, menyatakan
bahwa BSI akan menjadi bank syariah terbesar di Indonesia dan perkiraan
kapitalisasi pasarnya mencapai 40% bahkan bisa mencapai 50% apabila Unit
Usaha Syariah Bank BTN ikut serta bergabung. kapitalisasi pasar yang besar itu
tidak serta merta meningkatkan perekonomian syariah Indonesia, terlebih dalam
literasinya karena beban BSI juga akan besar. Total dari aset tiap-tiap bank yang
melakukan penggabungan jika ditotal akan setara dengan 46,46% dari total aset
perbankan syariah di seluruh Indonesia, sementara sisa asetnya dimiliki oleh bank
syariah lain.38 Namun, kapitalisasi yang besar ini justru akan membuat tidak
maksimalnya kompetisi di antara bank syariah untuk saling memperbaiki inovasi
serta pelayanan bagi masyarakat. Kemudian dengan kapitalisasi pasar yang besar
itu, Bank Syariah Indonesia bisa saja menentukan nisbah yang tidak bisa disaingi
oleh bank syariah lain serta akan berpotensi melanggar UU Larangan Monopoli.
38 Rizqullah Thohuri, Mau Kemana Merger Bank Syariah?, diakses dari
https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah, diakses pada 21 Januari 2021, jam
22.01 WIB.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
187
Untuk saat ini, merger BSI secara operasional memang belum berjalan efektif dan
baru mulai beroperasi diperkirakan pada bulan Februari 2021. Namun apabila
melihat dari peluang yang ada, potensi pasar yang dimiliki oleh PT BSI akan
menguasai industri perbankan syariah di Indonesia dan berpotensi menimbulkan
terjadinya praktek monopoli.
Selain dilihat dari total asetnya yang besar, terdapat juga hal lain yang
menjadi pertimbangan suatu perusahaan itu berpotensi melakukan praktik
monopoli. Diantaranya yaitu, dengan menggunakan analisis konsentrasi pasar,
hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan/atau
kepailitan.39 Pertama, konsentrasi pasar adalah pengaruh besar suatu perusahaan
terhadap perusahaan lainnya, yang dalam hal ini memang belum terlihat
bagaimana konsentrasi pasar Bank Syariah Indonesia. Namun dengan jumlah
pangsa pasar yang besar, bukan tidak mungkin setiap keputusan yang diambil oleh
Bank Syariah Indonesia akan mempengaruhi bank syariah lainnya.
Kedua, hambatan masuk pasar yang mengidentifikasi hambatan masuk
pasar dalam pasar yang bersangkutan.40 Apabila dikaitkan dengan merger BSI,
maka perkiraan hambatan masuk pasarnya adalah sulitnya pemain baru untuk
berkompetisi dengan BSI. Hambatan masuk pasar yang tinggi membuat merger
cenderung mengarah pada praktek monopoli.
Ketiga, dalam hal potensi perilaku anti persaingan. Apabila merger
melahirkan satu pelaku usaha yang relatif dominan daripada pelaku pasar lainnya
dan memberikan ruang bagi pelaku usaha tersebut untuk menyalahgunakan posisi
dominannya.41 Dalam hal ini, BSI memenuhi kriteria ini karena posisinya yang
dominan akibat merger yang dilakukan dengan kapitalisasi pasar yang besar.
39 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Ps. 3 ayat 2. 40 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-
dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/, diakses pada 16 Februari 2021, jam
19.37 WIB. 41 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-
dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/ diakses pada 16 Februari 2021, jam
19.37 WIB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
188
Keempat, terkait efisiensi yaitu apabila merger dilakukan sebagai alasan
untuk efisiensi perusahaan. Dalam hal efisiensi perlu dilihat dampak anti
persaingan, apakah melampaui efisiensi atau tidak. Untuk hal ini perlu
diutamakan persaingan usaha yang sehat daripada efisiensi.42 Salah satu alasan
terbentuknya BSI adalah karena alasan supaya bank syariah bisa lebih efisien
dalam penggalangan dana, operasional, pembiayaan dan belanja.43 Seperti yang
sudah dijelaskan, sebelumnya bahwa merger ini berpotensi merugikan UMKM
dan Bank Syariah lainnya yang memiliki kapitalisasi pasar kecil serta berpotensi
menciptakan hambata bagi pemain baru Bank Syariah di masa yang akan datang.
Apabila keberadaan bank syariah yang menjadi pilihan di Indonesia menjadi
semakin sedikit, maka pilihan bagi masyarakat untuk memilih bank syariah
terbaik menjadi semakin minim. Maka, perbankan syariah tidak akan lagi tergerak
secara kompetitif untuk meningkatkan kualitas layanannya. Persaingan untuk
memperbaiki kualitas layanan perbankan syariah tidak akan terlalu intens lagi
dikarenakan ada satu bank syariah dengan kapitalisasi pasar yang sangat besar
yang mampu meningkatkan kualitas layanannya dengan jauh lebih baik daripada
bank syariah kecil. Sementara bank syariah kecil tidak akan mampu bersaing
dengan bank syariah besar karena nasabahnya yang sedikit. Pada titik inilah,
praktik monopoli bermula sebelum terjadi distorsi pasar yang besar.
Kasus perusahaan yang melakukan merger yang kemudian berubah menjadi
monopoli tidak sedikit, salah satunya seperti yang terjadi di Cina antara Coca-
Cola dengan Huiyuan. Usaha merger perusahaan untuk ekspansi bisnis secara
besar-besaran memang terkadang menimbulkan potensi munculnya persaingan
usaha yang tidak sehat. Contoh kasus di Cina misalnya, perihal persaingan usaha
yang tidak sehat, ketika Kementerian Perdagangan Cina memblokir rencana
merger Coca-Cola, salah satu brand raksasa minuman berkarbonasi dengan
Huiyuan, brand minuman jus kemasan yang juga memiliki nama besar di Cina.
42 Shanti Rachmadsyah, Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh UU Anti
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-mana-merger--akuisisi-
dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/ diakses pada 16 Februari 2021, jam
19.37 WIB. 43 Lida Puspaningtyas, 7 Alasan Pentingnya Merger Bank Syariah BUMN, dari
https://republika.co.id/berita/qi6gay440/7-alasan-merger-bank-syariah-milik-bumn, diakses pada
16 Februari 2021, jam 20.07 WIB.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
189
Alasannya karena Kementerian Perdagangan merasa merger Coca-Cola dengan
Huiyuan akan menyebabkan Coca-Cola melebarkan dominasinya sebagai merek
minuman berkarbonasi raksasa ke pasar minuman jus. Merger Coca-Cola itu akan
memonopoli pasar minuman jus dengan menjadikan merek gabungan mereka
dominan di pasar. Selain itu, dominasi Coca-Cola dan Huiyuan diduga akan
menghambat persaingan dengan pengusaha jus lainnya di Cina sehingga akan
menyulitkan pedagang kecil masuk ke pasar dan bersaing di pasar tersebut.44
Pemblokiran rencana merger Coca-Cola dan Huiyuan dilakukan untuk
mencegah distorsi pasar karena adanya potensi praktik monopoli. Sebagaimana
mekanisme pada zaman Khulafaurrasyidin, yaitu pada pasar Suqul Anshar (pasar
khusus umat Islam), di mana harga tidak ditetapkan oleh pihak mana pun
melainkan ditentukan oleh faktor supply dan demand. Hanya saja untuk menjaga
keseimbangan pasar, dibentuk suatu pengawas pasar yang disebut al-Hisbah. Al-
Hisbah ini berfungsi mengawasi jalannya pasar dan mencegah jika terjadi
kecurangan.45 Apa yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan Cina adalah
sama dengan pengawasan yang dilakukan oleh al-Hisbah guna menjaga
keseimbangan pasar. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya juga
berperan untuk mengontrol pasar jika diduga adanya potensi persaingan usaha
yang tidak sehat, seperti yang dilakukan oleh para khalifah di pasar Suqul Anshar.
Pada akhirnya, ekosistem ekonomi syariah yang terpadu dalam industri
perbankan syariah di Indonesia lebih urgen untuk dibangun daripada sekadar
menambah kapitalisasi pasar bank syariah di Indonesia. Apabila pemerintah
memiliki niat yang kuat untuk meningkatkan ekosistem syariah, maka lebih baik
untuk meningkatkan pelayanan dan permodalan dari setiap bank syariah, dalam
hal ini penambahan modal dilakukan tidak dengan merger melainkan dengan
diberikan suntikan modal. Selain itu, daripada merger yang mengurangi jumlah
bank syariah, akan lebih baik untuk mendorong tumbuhnya banyak bank syariah
baru yang dapat meningkatkan iklim persaingan usaha supaya lebih kompetitif
bagi bank syariah untuk berlomba meningkatkan pelayanannya.
44 Nishan E. Hyder Soomro, Asif Khan dan Ahmed Arafa, Anti-monopoly Law of China: A
Case Study of Coca Cola’s Proposed Merger with Huiyuan, International Journal of Business and
Economics Research, Vol.10, No.1 (2021), p.36-38. 45 Suwandi, M. Hakimi Mohd Shafiai dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah, Pasar Islam
(Kajian Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW), Al Risalah, Vol.16, No.1 (Juni 2016), p.135-136.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
190
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Monopoli dalam teori ekonomi konvensional adalah kondisi di mana dalam
suatu pasar hanya terdapat satu produsen tunggal yang dapat bertindak sebagai
pembuat harga (price maker). Sementara monopoli dalam teori ekonomi syariah
yang dikenal sebagai Iftikhar, secara etimologi berasal dari kata alhukr yang
artinya al-zhulm wa al-‘isâ’ah al-mu‘âsyarah, yaitu berbuat aniaya dan
sewenang-wenang. Istilah Iftikhar muncul dilatarbelakangi dengan peristiwa
penimbunan makanan oleh hamba sahaya yang disaksikan oleh Umar bin Khattab.
Meskipun secara teori keduanya terlihat seperti dua konsep yang berbeda,
sebetulnya monopoli baik dalam teori ekonomi konvensional maupun teori
ekonomi syariah adalah dua hal yang sama, dikarenakan keduanya sama-sama
menghendaki adanya keuntungan yang besar dengan cara yang merugikan orang
lain. Oleh karena itu, perbuatan dalam bentuk apapun sekalipun bukan merupakan
penimbunan harta (menurut teori ekonomi syariah) selama niatnya mendapat
keuntungan besar dengan menzalimi orang lain, adalah termasuk perbuatan
monopoli dan tidak sesuai dengan fiqih Islam. Hal ini juga selaras dengan
peradaban yang terus berkembang sehingga konsep dari monopoli itu diperluas,
disesuaikan dengan konsep-konsep ekonomi baru yang ada di zaman modern.
Baru-baru ini, terjadi fenomena penggabungan usaha (merger) antara tiga
Bank BUMN: PT Bank BRI Syariah, PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI
Syariah, dengan bank baru hasil merger akan diberi nama PT Bank Syariah
Indonesia Tbk. Ketiganya adalah bank syariah yang memiliki pangsa pasar cukup
besar di industri perbankan syariah. Ketiga aset dari bank tersebut jika
digabungkan, ditambah dengan unit usaha syariah dari bank lain, adalah hampir
dari 50% jumlah total aset perbankan syariah di Indonesia. Dikhawatirkan praktik
merger ini dapat mengandung unsur monopoli. Bank syariah sendiri sebagaimana
diatur dalam UU Perbankan Syariah sudah jelas dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah; dalam hal ini
mengandung unsur zalim. Praktik monopoli termasuk ke dalam perbuatan yang
mengandung unsur zalim karena menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
191
Terjadinya penggabungan tiga bank BUMN ini dikhawatirkan meminimalisasi
jumlah pilihan bank syariah yang di Indonesia dan membuat persaingan untuk
memperbaiki kualitas layanan perbankan syariah tidak lagi berjalan intens.
Mengingat sampai saat ini, per Januari 2021, PT Bank Syariah Indonesia sebagai
bank hasil merger belum beroperasi secara efektif, maka belum ada data yang kuat
untuk menentukan apakah ada unsur monopoli dalam fenomena merger tersebut.
Namun apabila melihat dari peluang yang ada, potensi pasar yang dimiliki oleh
PT Bank Syariah Indonesia akan menguasai industri perbankan syariah di
Indonesia dan menimbulkan potensi terjadinya praktek monopoli.
2. Saran
a. Meningkatkan iklim perekonomian syariah tidak hanya bisa dilakukan
dengan merger. Pemerintah dapat membangun bank syariah negeri yang
berdiri sendiri tanpa bersamaan dengan bank konvensional.
b. Pemerintah dapat memberikan stimulus dan memaksimalkan bank
syariah yang sudah ada untuk memaksimalkan persaingan usaha
sehingga bank syariah akan berlomba-lomba memperbaiki pelayanannya.
c. Masing-masing bank syariah dapat melakukan sosialisasi kepada
masyarakat terkait bagaimana sistem perekonomian syariah jauh lebih
menguntungkan dan sehat bagi kondisi keuangan mereka.
d. Pemerintah dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait
perekonomian syariah melalui pendidikan formal. Jadi, di sekolah yang
dipelajari oleh siswa tidak hanya ekonomi konvensional saja, namun juga
memberikan pengetahuan di bidang perekonomian syariah yang
ditujukan untuk jenjang tertentu.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
192
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basuki, Agus Tri dan Nano Prawoto. 2014. Pengantar Teori Ekonomi.
(Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka Nurani).
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti. 2018. Hukum Perikatan
Islam di Indonesia. (Depok: Penerbit Prenada Media Group).
Nurhayati, Sri dan Wasilah Abdullah. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia.
(Jakarta: Penerbit Salemba Empat).
Suhendi, Hendi. 1997. Fiqih Muamalah. (Bandung: Penerbit Gunung Djati Press).
Publikasi
Aji, Didik Kusno. Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam. Jurnal
Hukum dan Ekonomi Syariah. Vol.13. No.2 (2013).
Aminursita, Orsidia dan M. Faisal Abdullah. Identifikasi Struktur Pasar pada
Industri Keramik di Kota Malang. Jurnal Ilmu Ekonomi. Vol.2. No.3
(2018).
Fatah, Dede Abdul. Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam. Al Iqtishad.
Vol.4. No.2 (2012).
Hakim, Lukman. Ihtikar dan Permasalahannya dalam Perspektif Hukum Islam.
Jurnal Darussalam. Vol.7. No.2 (April 2016).
Iswandi, Andi. Maslahat Memelihara Harta dalam Sistem Ekonomi Islam. Jurnal
Filsafat dan Budaya Hukum. Vol.1. No.1 (2014).
Meriyanti. Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam: Ibnu Taimiyah. Islamic Banking.
Vol.2. No.1 (Agustus 2016).
Mursal. Implementasi Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah: Alternatif Mewujudkan
Kesejahteraan Berkeadilan. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam. Vol.1
No.1 (2015).
Putra, Dadi Permana. Isu-Isu Kontemporer Hukum Bisnis Syariah (Monopoli
dalam Bisnis Syariah). Tahkim. Vol.xiv. No.2 (Desember 2018).
Rizal, Sofyan. Titik Temu dan Sinergi Ekonomi Islam dan Ekonomi Kerakyatan.
Al-Iqtishad. Vol.3. No.1 (2011).
Soomro, Nishan E. Hyder, Asif Khan dan Ahmed Arafa. Anti-monopoly Law of
China: A Case Study of Coca Cola’s Proposed Merger with Huiyuan.
International Journal of Business and Economics Research. Vol.10. No.1
(2021).
Suwandi, M. Hakimi Mohd Shafiai dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Pasar
Islam (Kajian Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW). Al Risalah. Vol.16.
No.1 (Juni 2016).
Syhabudin, Abu. Keadilan dan Kezaliman dalam Perspektif Al-Qur’an. Al-
Akhbar. Vol.7. No.2 (2018).
Wahyuni, Afidah. Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam. Al
Iqtishad. Vol.2. No.2 (Juli 2010).
Wahyuningsih, Diah, dkk.. Analisis Perilaku Nasabah dalam Pembiayaan di
Bank Syariah Mandiri. Media Trend. Vol.9. No.1 (2014).
Nabilah Anika, Nabila Indah Chairunnisa dan Aditya Wahyu Saputro
Potensi Praktik Monopoli dalam Merger Bank Syariah Indonesia: Tinjauan Hukum
Ekonomi Islam dan Hukum Larangan Monopoli
193
Website
Indonesia, Bank Negara. Rampungkan Rencana Merger 3 Bank Syariah, Bank
Hasil Penggabungan akan Berevolusi Jadi Bank Syariah Nasional
Terbesar. Diakses dari https://www.bnisyariah.co.id/id-
id/beranda/berita/siaranpers/ArticleID/3015/Rampungkan%20Rencana%20
Merger%203%20Bank%20Syariah,%20Bank%20Hasil%20Penggabungan
%20akan%20Berevolusi%20Jadi%20Bank%20Syariah%20Nasional%20Te
rbesar. diakses pada 20 Januari 2021.
Fajrian (Ed.), Happy. Rencana Merger Disetujui, Bank Syariah Indonesia
Beroperasi 1 Februari. diakses dari
https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/5fd8bbca0ddbc/rencana-
merger-disetujui-bank-syariah-indonesia-beroperasi-1-februari. diakses pada
20 Januari 2021.
Johan, Arvie. Larangan Monopoli Menurut Hukum Islam dan Perhatian yang
Sebaiknya Diberikan: Pendekatan Hukum dan Ekonomi. diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/269404937_LARANGAN_MON
OPOLI_MENURUT_HUKUM_ISLAM_DAN_PERHATIAN_YANG_SE
BAIKNYA_DIBERIKAN_PENDEKATAN. diakses pada 20 Januari 2021.
Thohuri, Rizqullah. Mau Kemana Merger Bank Syariah?. diakses dari
https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah. diakses pada 21
Januari 2021.
Prayoga, Fadel. 7 Fakta Muhammadiyah Tarik Semua Dana di Bank Syariah
Indonesia: Kenapa dan Mengapa?. diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2020/12/20/320/2330934/7-fakta-
muhammadiyah-tarik-semua-dana-di-bank-syariah-indonesia-kenapa-dan-
mengapa?page=2. diakses pada 21 Januari 2021.
Fitra, Safrezi. Merger 3 Bank BUMN Jadi Bank Syariah Indonesia, Target 10
Besar Dunia. diakses dari
https://katadata.co.id/safrezifitra/finansial/5fd350a2cb228/merger-3-bank-
bumn-jadi-bank-syariah-indonesia-target-10-besar-dunia. diakses pada 22
Januari 2021.
Otoritas Jasa Keuangan. Statistik Perbankan Syariah - November 2020, diakses
dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-
perbankan-syariah/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah---November-
2020.aspx. diakses pada 16 Februari 2020.
Richard, M. dan Annisa S. Rini. OJK Utak-Atik Aturan, Hanya 4 Bank Ini
Bertahan di Kasta Teratas. diakses dari
https://finansial.bisnis.com/read/20210107/90/1340049/ojk-utak-atik-
aturan-hanya-4-bank-ini-bertahan-di-kasta-teratas. diakses pada 23 Januari
2021.
Thohuri, Rizqullah. Mau Kemana Merger Bank Syariah?. diakses dari
https://majalahteras.com/mau-kemana-merger-banksyariah. diakses pada 21
Januari 2021
Puspaningtyas, Lida. 7 Alasan Pentingnya Merger Bank Syariah BUMN. dari
https://republika.co.id/berita/qi6gay440/7-alasan-merger-bank-syariah-
milik-bumn. diakses pada 16 Februari 2021IB.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.2 (Februari 2021)
Tema/Edisi : Hukum Islam (Bulan Kedua)
https://jhlg.rewangrencang.com/
194
Rachmadsyah, Shanti. Sampai Sejauh Mana Merger dan Akuisisi Dilarang oleh
UU Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5299/sampai-sejauh-
mana-merger--akuisisi-dilarang-oleh-uu-anti-monopoli-dan-persaingan-
tidak-sehat/. diakses pada 16 Februari 2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 5. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau
Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang
Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 89.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5144.
Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an.
Hadis Riwayat at-Tabrani.
Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Abu Hurairah. Hadis Riwayat Imam Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi.