Post on 15-Mar-2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang kaya dengan beragam
suku, adat istiadat, kepercayaan dan budaya.
Keberagaman tersebut memberikan warna tersendiri
bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian
besar masih hidup dalam lingkungan tradisional.
Masyarakat tradisional tidak terlepas dari
kepercaayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis
terutama bagi mereka yang belum mengenal agama.
Istilah suanggi/nitu yang dalam Bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah santet/sihir, adalah satu hal
yang dipercaya oleh masyarakat tradisional. Suanggi
bisa berarti orang yang memiliki kekuatan magis yang
bisa membuat orang lain sakit, celaka bahkan
meninggal tanpa orang tersebut kontak fisik dengan
orang lain, bisa juga berarti perbuatan membuat
2
orang lain mengalami penyakit aneh tanpa sebab
bahkan dapat berujung kematian.
Dalam masyarakat tadisonal, suanggi sudah tidak
asing lagi dalam pengertian mereka, dimana suanggi
ini merupakan urban legend yang sangat menakutkan di
beberapa daerah seperti di tanah Papua, Maluku, NTT
maupun daerah lain di Indonesia yang memahami
suanggi dengan istilah yang berbeda beda sesuai
dengan pemahaman mereka seperti Santet, Sihir,
Dukun dll.
Keberadaan suanggi/nitu dalam masyarakat
tradisional sudah menjadi hal biasa namun dapat
menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan, sebab
dengan adanya suanggi ini maka ada orang lain yang
dapat kehilangan nyawanya tetapi tidak dapat
dibuktikan secara hukum siapa atau bagaimana orang
lain tersebut meninggal. Apabila ada orang yang
dituduh sebagai suanggi dapat saja dilakukan
3
tindakan main hakim sendiri untuk menghukum orang
tersebut.
Dari segi hukum masalah suanggi ini dapat
menimbulkan pengabaian terhadap hak seseorang,
terganggunya ketertiban umum dan tindakan main hakim
sendiri. Tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia, belum mengatur tentang suanggi di mana
aturan hukum itu memiliki unsur unsur hukum yang
jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang
dapat dikatakan sebagai suanggi. Dalam asas-asas
hukum pidana yaitu asas legalitas yang dikenal juga
dengan asas Nullum Delictum masalah suanggi ini
tidak dapat diselesaikan.
Problema suanggi dalam masyarakat tradisional
jika diselesaikan melalui jalur hukum tentunya harus
melalui proses penyidikan, penuntutan sampai pada
proses pemerikasan di pengadilan, hendaknya perlu
diperhatikan asas-asas hukum yang dipakai, seperti,
antara lain; asas legalitas, asas keseimbangan, asas
4
Praduga Tak Bersalah, prinsip pembatasan penahanan,
asas ganti rugi dan rehabilitasi, dan asas lainnya
yang dipakai di dalam KUHAP. Namun apakah proses
tersebut dapat dijalankan ? masalah suanggi hanya
dapat diproses apabila telah ada larangan-larangan
yang dirumuskan dalam hukum pidana materiil, jika
tidak, maka akan bertentangan dengan asas legalitas
atau Asas Nullum Delictum.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas
eksistensi suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional
terhadap asas Nullum Delictum, problema ini dalam
pandangan hukum yang responsif dan suanggi/nitu
dalam perspektif perbandingan hukum.
b. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka
dapat dirumuskan beberapa masalah berikut ini :
1. Bagaimana eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat
tradisional terhadap asas Nullum Delictum?
5
2. Bagaimanakah suanggi/nitu dalam problema hukum
yang responsif?
3. Bagaimana suanggi/nitu dalam perspektif
perbandingan hukum ?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Pengertian Suanggi/Nitu
Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan
setan, hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk
halus yang mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda
dengan rupa seorang manusia biasa. Sedangkan
perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
jahat, garang dan keji (devil). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (W.J.S.Poerwadarminta, 2006), kata
“suanggi” diartikan sebagai hantu yang jahat atau
burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang
bekerja dengan pertolongan orang halus atau yang
disebut dengan mahluk halus.1
Konsep Santet dalam Sistem KUHP2
1 Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy. “Suanggi”dalam Perspektif Hukum Pidana, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor1; ISSN 2086-0404Universitas Halmahera 2014,hlm;22 Ibid.,. 15
7
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, masalah
santet dan apalagi konsep tentang “suanggi” belum
dikenal dalam sistem KUHP. Konsep rasionalitas
merupakan dasar dan alasan dibentuknya hukum pidana.
Seseorang dikatakan bersalah apabila telah memenuhi
seluruh rumusan dan unsur-unsur delik yang
dituduhkan kepadanya. Dalam arti bahwa fakta-fakta
hukum yang konkrit merupakan dasar yang menentukan
kesalahan seseorang. Dikatakan bersalah apabila
orang itu mampu bertanggung jawab dan melalui bukti-
bukti yang cukup menyatakan kesalahannya itu.
Jika tidak, maka orang tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, apalagi
menghukumnya. Namun demikian, konsep berpikir
irasional masih sangat populer untuk sebagian besar
masyararkat. Cara-cara berpikir gaib memang
merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, karena
selalu mengaitkan kehidupannya dengan masalah-
masalah keagaiban. Tidak heran apabila cara-cara
8
kekerasan pun kerapkali dilakukan hanya dengan
berlandasan pikiran irasional. “Suanggi” merupakan
salah satu di antaranya. Perbuatan - perbuatan yang
dilakukan menurut pikiran rasional bukanlah
merupakan fakta hukum yang konkrit. Oleh karena itu,
sistem KUHP Indonesia hanya menghukum orang yang
telah melakukan suatu tindakan melawan hukum
terhadap orang lain. Termasuk menghukum orang yang
telah melakukan kekerasan atau tindakan melawan
hukum lainnya kepada orang dituduh “suanggi”. Apapun
bentuknya perbuatan tersebut. Dalam kaitannya dengan
santet, termasuk di dalamnya “suanggi”, pelaku
santet tidak dapat dihukum berdasarkan ketentuan
pidana yang berlaku di Indonesia (asas legalitas;
Pasal 1 ayat (1) KUHP). Oleh karena ketentuan-
ketentuan mengenai santet sama sekali belum diatur
di dalam sistem KUHP saat ini. Dengan kata lain,
bahwa rumusan-rumusan delik tentang santet
(“suanggi”) tidak diatur di dalam pasal-pasal KUHP.
9
Karena itu, yang dapat dikenakan hukuman adalah
kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan
terhadap orang lain, secara melawan hukum. Di lihat
dari kasus-kasus yang dilakukan terhadap orang yang
dituduh “suanggi”, sudah merupakan tindakan melawan
hukum.
Karena itu, sudah dapat diproses dan dihukum
sesuai hukum yang berlaku terhadap orang-orang yang
telah melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Hukum
pidana sama-sekali tidak membenarkan suatu tindakan
dalam bentuk apapun terhadap seseorang yang dituduh
telah melakukan suatu pelanggaran atau bahkan
kejahatan. Apalagi tindakan tersebut dilakukan
melalui cara-cara kekerasan, tidak berkemanusiaan.
Hukum menghendaki suatu kejahatan haruslah diproses
sesuai hukum yang berlaku. Suanggi adalah setan jadi
tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik,
sedangkan orang yang “bersuanggi” dapat menjadi
pelaku delik dan dapat dipertanggung-jawabkan
10
perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat
menjadi fakta hukum menurut sistem Hukum Pidana
Materril dan Formiil, yaitu:
a. Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian, harus
memenuhi syarat- syarat pembuktian.
b. Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus
sesuai atau mencakup konsep tentang “suanggi”.
b. Asas Nullum Delictum
“Nullum Delictum nulla poena sine praevia legi
poenali”, yang berarti “tidak ada delik, tidak ada
pidana . Merupakan salah satu asas dalam Asas – asas
Hukum Pidana yang dikenal dengan Asas Legalitas.
Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP
yang berbunyi “ Tiada suatu perbuatan ( feit) yang
dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Istilah feit dapat juga diartikan “peristiwa”,
karena dengan istilah tersebut meliputi baik
11
perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh
hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang
diharuskan.
Arti dan Makna Asas Legalitas3
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh
dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari
perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality)
yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa
pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih
dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-
tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau
berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan.
Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan
3 Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, hlm. 39 dalam Amir Ilyas Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, 2012, hlm.12-13.
12
pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum
perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di
atas memberikan sifat perlindungan pada undang-
undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari
pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari
undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi,
undang-undang pidana juga mempunyai fungsi
instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang
ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan
oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum
pidana Jerman, sehubungan dengan kedua fungsi itu,
merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa
Latin, yaitu :
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana menurut undang-undang.
13
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan
pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana
tanpa pidana menurut undang-undang.
Dari asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana
(dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan
yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan
perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana
(delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan
analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan
tidak boleh berlaku surut;
14
c. Hukum Responsif4
Hukum responsif adalah hukum yang beorientasi
pada tujuan dari hukum dengan mengkolaborasikan
antara nilai ideal dari suatu hukum dengan tujuan
yang tampak sebagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat
dalam konteks kekinian.
Analisis secara komprehensif tentang hukum
responsif sejatinya adalah bukan ranah hukum secara
keseluruhan akan tetapi lebih berarti kepada suatu
gerakan revolusioner untuk mengubah hukum dengan
mempengaruhi kekuasaan politis. Hukum responsif
bukanlah suatu perubahan cara berhukum akan tetapi
lebih menekankan kepada pembangkangan terhadap hukum
yang dibuat oleh pemerintah dengan justifikasi atau
legitimasi moral yang mana nilai-nilai regulatif
telah menciderai rasa keadilan masyarakat sehingga4 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum
Responsif , Nusa Media Bandung, 2010 .
15
perlu dilakukan upaya kritis dengan sarana
mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kembali
kepada nilai-nilai keadilan substantif.
Hukum Responsif lebih berorientasi pada suatu
gerakan revolusioner untuk mempengaruhi hukum
melalui sarana-sarana politis ketimbang merubah cara
berhukum dalam mewujudkan keadilan substantif di
pengadilan.
d. Perbandingan Hukum 5
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin
ilmu pengetahuan dan merupakan cabang dari ilmu
hukum dan merupakan suatu metode pendekatan yang
bersifat khusus dan mendasar dalam ilmu hukum yang
bermaksud untuk menyelidiki dan mengkaji serta
membandingkan mengenai titik perbedaan dan
persamaan serta sebab-sebab yang menimbulkan
terjadinya persamaan dan perbedaan yang ada dalam
5 S. Yohanes. Buku Ajar Perbandingan Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang 2014,hlm.29.
16
berbagai sistem atau tradisi hukum yang berlaku di
berbagai Negara di dunia.
Hakikat perbandingan hukum :
1. Secara substantif, merupakan wadah dalam upaya
mempelajari, mengetahui, dan memahami berbagai
prinsip atau asas-asas hukum dan kaidah hukum
serta lembaga-lembaga hukum yang bersifat
universal, sumber-sumber dan karakter hukum
yang melekat pada setiap sistem hukum atau
tradisi hukum/keluarga hukum atau tata hukum
(hukum positif) yang berlaku di berbagai negara
di dunia.
2. Secara fungsional hakikat perbandingan hukum
sebagai suatu metode kerja atau metode
pendekatan yang digunakan dalam ilmu hukum
dengan maksud :
a. Untuk menyelidiki, mengkaji, dan menganalisis
berbagai permasalahan hukum yang terjadi atau
dipraktekkan/diterapkan dalam berbagai Negara
17
di dunia sesuai dengan sistem atau tradisi
hukum yang dianut, sehingga dapat mencari dan
menemukan solusi atas permasalahan hukum yang
terjadi
b. Untuk menemukan titik taut perbedaan dan
persamaan yang terjadi di antara sistem
hukum/tata hukum dengan sistem hukum/tata
hukum yang lainnya yang berlaku di berbagai
Negara
c. Untuk mengadakan pembaruan atau perubahan
sistem hukum atau tata hukum yang berlaku
dalam suatu Negara tertentu, termasuk
Indonesia sehingga sejalan dengan sistem
hukum yang berlaku di dunia internasional.
d. Untuk melakukan unnifikasi hukum, kodifikasi
hukum, dan harmonisasi hukum seta
sinkronisasi hukum di berbagai Negara jika
terdapat kesamaan pandangan atau ideology
18
yang dianut oleh suatu bangsa atau Negara
yang bersangkutan.
e. Untuk memperhitungkan dan membandingkan
secara cermat dan teliti mengenai kebaikan
dan keburukan atau kekurangan dan keuntungan
dari setiap sistem hukum/tata hukum yang
berlaku dan dianut oleh berbagai Negara di
dunia sebelum suatu Negara tertentu
(Indonesia) mengadopsi sistem hukum/tata
hukum yang berlaku di Negara yang lain
tersebut.
19
BAB III
PEMBAHASAN
a. Eksistensi Suanggi/nitu dalam Masyarakat
Tradisional terhadap Asas Nullum Delictum
Kehidupan masyarakat tradisional sangat dekat
dengan mistik atau hal-hal gaib. Setiap daerah
punya nama tersendiri untuk mengistilahkan hal
tersebut. Di daerah timur seperti Maluku, Papua
dan Nusa Tenggara Timur dikenal istilah
“suanggi/nitu”. Dari beberapa cerita yang
berkembang dalam masyarakat tradisional, ada yang
mengatakan sosok suanggi sangat menakutkan dengan
mata yang merah, dan memiliki gigi gigi yang
tajam, diceritakan pula sosok suanggi suka memakan
daging manusia, atau saat mengincar korbannya dia
akan terbang menggunakan pelepah daun, dan
mengintip korbannya dari atas, suanggi juga dapat
20
berubah wujud menjadi binatang atau apa saja yang
dia mau sehingga mudah melakukan aksinya.
Dalam cerita masyarakat yang berkembang,
percaya atau tidak ternyata keberadaan suanggi itu
memang benar ada. Di mana orang yang dianggap
suanggi itu dapat membuat orang lain menjadi sakit
berat hingga meninggal dunia dengan tidak wajar.
Pembuktian akan kebenaran atas hal itu hanya dapat
dibuktikan dengan sumpah adat dan diakhiri dengan
doa pengampunan. Sebagai contoh di daerah Alor,
Nusa Tenggara Timur dimana seseorang dapat
disuanggi dengan membuat ritual yang mereka
percaya dapat membuat orang lain sakit keras
hingga berujung maut. Misalnya si A ingin
disuanggi oleh si B, maka si B dapat mengambil
seekor hewan yang melambangkan tubuh dan jiwa si A
dan menyiksa hewan tersebut hingga mati, maka tak
lama kemudian si A akan sakit keras dan meninggal
dunia. Namun dalam pelaksanaan itu tentu si B
21
memiliki konsekuensi tekanan mental dan jiwa yang
besar, dimana dalam penilaian masyarakat setempat
bahwa kematian si A pasti dan tidak lain adalah
perbuatan si B. Sehingga si B bisa saja menjadi
tertekan batin, dan dalam tekanan batin itulah si
B minta untuk didoakan oleh pendeta atau pastor
setempat, Maka dari situlah si B mengakui segala
perbuatan jahatnya itu.
Namun di sisi lain, keberadaan suanggi atau
santet ini masih ada berbagai penilaian atau
argumen yang berbeda dari setiap orang dimana ada
yang percaya atau meyakini maupun tidak menyakini.
Menurut Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy
(2014) “suanggi” atau orang yang “bersuanggi”
adalah seseorang yang memelihara atau berteman
dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari
pertemanan atau pemeliharaan tersebut, lama
kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim antara
22
keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan
diturunkan kepada orang tersebut. Pada fase
tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan
perilaku orang itu. Pada akhirnya sifat dan prilaku
orang itu menjadi atau serupa dengan setan. Apa
yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti
oleh orang tersebut. Sebaliknya, orang tersebut
dapat melakukan kemauan dan maksud jahatnya atas
bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan
“suanggi” atau “bersuanggi”, karena sifat dan
perilakunya telah menyatu dengan setan. Jadi,
terdapat dua kepribadian dalam tubuh orang yang
dikatakan “suanggi” tersebut. Ketika orang yang
“bersuanggi”melakukan suatu per-buatan, sebagaimana
yang dituduhkan oleh masyarakat kepadanya, maka
yang melakukannya adalah pribadi setan, tetapi yang
Nampak adalah rupa dan wajah dari tubuh pribadinya.
Dengan demikian, “suanggi”sebetulnya adalah manusia
yang setengah setan tetapi juga setengah manusia.
23
Setengah setan karena ia telah menyerupai setan,
memiliki sifat-sifat jahat, melakukukan hal-hal
yang jahat, tetapi juga memilki kekuatan gaib.
Setengah manusia karena ia adalah manusia tetapi
memiliki kekuatan setan (gaib), dan hidup sebagai
manusia normal sebagaimana biasanya.
Oleh karena itu, terasa sulit menentukan
mereka sebagai subyek dan pelaku delik, karena ada
dua personal di dalam diri mereka. Dua pribadi yang
hidup dalam “tubuh yang satu” atau dua kepribadian
dalam satu tubuh. Personal manusia pribadi yang
normal tetapi juga melekat personal setan yang
tidak normal, gaib. Lagi pula, pembuktiannya hanya
melalui media yang gaib pula. Maksudnya,
membuktikan hal-hal gaib harus pula dilakukan
melalui cara-cara yang gaib. Ini yang tidak dapat
dilakukan melalui sistem hukum pembuktian yang
mengandalkan fakta hukum yang konkrit, rasional dan
dapat diterima akal sehat. Dalam arti, bahwa
24
seseorang dapat dijadikan sebagai pelaku delik
jikalau ada bukti yang kuat menyertai perbuatannya.
Ini merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan.
Meskipun delik santet yang dirumuskan adalah bentuk
delik formiil, tetapi itu pun memerlukan
pembuktian.
Walaupun Pembuktiannya, tidak sampai pada
masalah yang gaib tetapi paling kurang berhubungan
dengan kegaiban, atau bahkan mendekati kegaiban.
Namun demikian, apabila ada orang (dukun) yang
mampu membuktikan kebenaran perbuatannya, maka hal
itu dapat menjadi fakta hukum yang konkrit,
sehingga perbuatan “suanggi” dapat dikenakan
hukuman.
Berkaitan dengan hal diatas tentu harus dapat
dibuktikan secara hukum, sehingga menghindari
adanya tindakan main hakim sendiri oleh warga
masyarakat dalam menaggapi problematika yang
disebut santet tersebut yang berkembang dalam
25
kehidupan mereka. Dalam tatanan hukum positif yang
berlaku di Indonesia, belum ada aturan hukum yang
mengatur tentang suanggi dimana aturan hukum itu
memiliki unsur unsur hukum yang jelas tentang
sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat
dikatakan sebagai suanggi.
Contoh misalnya orang menggunakan suanggi
untuk menipu orang lain dengan mengiming imingi
sejumlah uang yang besar, namun ternyata upaya
suangginya tidak berhasil, dari contoh di atas
dapat disimpulkan bahwa keberadaan suanggi memang
secara hukum belum dapat dibuktikan dengan nyata,
karena sulit membuktikan seseorang melakukan
praktek suangginya terhadap orang lain dengan
menggunakan alat sebagai barang bukti dan kepada
siapa praktek suangginya itu ditujukan, kenapa
demikian? karena suanggi itu sendiri berhubungan
dengan sesuatu yang gaib, dan boleh dikatakan
memiliki keahlian khusus. Lain hal apabila orang
26
tersebut mengakui perbuatannya, bahwa orang yang
sakit keras atas meninggal dunia itu adalah
perbuatannya.
Terhadap asas Nullum Delictum, masalah suanggi
tidak dapat diselesaikan karena belum ada norma
yang mengatur tentang itu. Asas Nullum Delictum
mengandung konsekuensi dalam menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan
saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya
pidana yang diancamkan, perbuatan suanggi/nitu
belum dirumuskan. Sehingga orang yang bersuanggi
dapat saja terus berbuat karena secara hukum tidak
bisa dipidana.
b. Suanggi/nitu, Problema Hukum yang Responsif
Hukum responsif menurut Nonet dan Selznick
dipahami sebagai hukum otonom terbuka di mana perlu
adanya legitimasi terhadap segala kebutuhan dan
27
perubahan sosial masyarakat untuk dirumuskan dalam
suatu nilai yang bersifat preskriptif.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
kental pluralisme, hukum yang responsif diperlukan
untuk mengakomodir masalah-masalah sosial yang
berkembang dalam masyarakat yang menimbulkan masalah
hukum. Karena hukum ada untuk memecahkan masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Hukum tidak
saja merupakan aturan yang kaku tetapi fleksibel
mengikuti dinamika kehidupan masyarakat.
Dengan demikian perlu adanya respon serta
peran aktif masyarakat tradisional dalam menanggapi
fenomnena ini, di mana suanggi ini sendiri adalah
sesuatu hal yang dinilai negatif oleh masyarakat,
dengan adanya pencerahan atau pentahiran yang
dilakukan oleh pemuka masyarakat atau agama maka
28
orang yang merasa dirinya suanggi dapat bertobat
dan kembali ke jalan yang benar.
Salah satu cara yang telah dilakukan oleh
penyelenggara Negara adalah dengan membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUUKUHP) yang dalam salah satu Pasalnya
yaitu Pasal 293 memasukkan masalah santet. Hal ini
adalah salah satu bentuk hukum responsif dalam
menyelesaikan masalah suanggi/nitu.
Kutipan bunyi Pasal 293 RUUKUHP adalah :
1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan
harapan, menawarkan atau memberikan bantuan
jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan
mental atau fisik seseorang, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori IV;
29
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk
mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya
ditambah dengan sepertiga."
Sementara dalam penjelasannya disebutkan bahwa
ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan
masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam
(black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan
dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga
untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik
main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga
masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai
dukun teluh (santet).
Sejalan dengan itu Elstonsius Banjo dan Alfred
Mainassy menyatakan bahwa, dalam Rumusan Rancangan
KUHP Baru delik santet mulai diperkenalkan. Termasuk
asas legalitas yang telah diperluas maknanya diatur
30
pada Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4). Berikut ini
lengkapnya:
Pasal 1:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana
dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud ayat (3) sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-
prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
31
bangsa-bangsa. Apabila diperhatikan Pasal 1
Rancangan KUHP tersebut, maka jelas bahwa konsep
asas legalitas telah diperluas maknanya. Yakni,
setiap perbuatan yang dapat dikenakan hukuman bukan
hanya oleh perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan
sebagai delik (tindak pidana) dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan
dilakukan, tetapi juga menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat yang bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundangundangan.
Artinya, bahwa meskipun tidak ada peraturan
perundang-undangan atas perbuatan itu terlebih
dahulu, tetapi apabila menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat menentukan seseorang itu patut
dihukum hukum, maka ia patut dihukum. Dari rumuasan
ayat (3) dan ayat (4) dapat ditangkap bahwa dasar
hukumnya adalah ditentukan oleh dan/atau menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
32
Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang
peraturan perundangan yang mengatur tentang
santet/suanggi. Hukum yang lahir dari masyarakat
bukan dari pejabat atau penguasa, selaras dengan
sifat responsif yang dapat diartikan sebagai
melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang
dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan
oleh rakyat. Menurut Menteri Kehakiman dan HAM
Yusril Ihza Mahendra dalam Harian Umum Suara Harian
Merdeka, Jakarta (2010) menyebut, santet dan
sejenisnya merupakan beyond science. Oleh karena itu,
yang dibuktikan bukan bagaimana cara menyantet
melainkan pengakuan seseorang yang bermufakat untuk
mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan
ilmu hitam. Bukan membuktikan ilmu hitamnya sebagai
tindak pidana melainkan perbuatannya. 7 Maksudnya
dalam menangani beberapa kasus kejahatan magis,
penyidik menerapkan pasal-pasal lain dalam KUHP agar
pembuktiannya jadi lebih mudah. Pada kejahatan magis
33
seperti hipnotis, peramalan atau dukun palsu akan
diterapkan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) .
Kemudian dalam kasus kejahatan magis yang
menyebabkan kematian orang, maka polisi akan
menjeratnya dengan pasal pembunuhan (Pasal 338
KUHP).
Oleh karena itu suanggi/nitu merupakan suatu
problema hukum yang responsif di mana diperlukan
pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-
prinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik
sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
c. Suanggi/nitu dalam Perspektif Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum ditujukan untuk memperoleh
pemahaman yang komperhensif tentang semua sistem
hukum yang ada di dunia dengan memahami bagaimana
sistem hukum nasional di Negara sendiri dan
mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum
asing guna pembangunan hukum nasional juga sebagai
34
pedoman dalam harmonisasi hukum dan pembentukan
hukum.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu sistem
hukum yang merefleksikan keanekaragaman hukum yang
ada dalam masyarakat Indonesia. Sistem hukum
nasional yaitu sistem hukum yang berlaku dalam suatu
negara belum dimiliki Indonesia karena sistem hukum
Indonesia masih dipengaruhi oleh berbagai sistem
hukum antara lain sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law), hukum adat dan hukum Islam namun juga
terdapat sistem hukum Common Law yang muncul seiring
dengan perkembangan jaman. Kecenderungan pada Sistem
Hukum Adat, Hukum warisan dan hukum Agraria masih
berpedoman pada hukum adat, selain itu budaya hukum
sistem hukum Indonesia sangat terpengaruh oleh
nilai-nilai yang dianut dan dilaksanakan oleh
masyrakat Indonesia.
35
Dalam perspektif perbandingan hukum, penanganan
hukum untuk masalah suanggi/nitu dapat diselesaikan
dengan mengkolaborasikan beberapa sistem hukum yang
ada. Penyelesaian masalah hukum suanggi tidak dapat
dilakukan dengan sistem civil law yang identik
dengan kodifikasi yaitu berdasar pada aturan-aturan
yang tersusun dalam kitab undang-undang, maka dapat
dikaji dengan pendekatan sistem hukum common law
yang berdasar pada kebiasaan masyarakat. Hukum adat
yang masih berlaku dan diakui oleh masyarakat
tradisioanal. Jika dilihat dari hukum responsif maka
hukum adat sejalan dengan ciri hukum responsif,
karena berasal dari masyarakat.
Problema suanggi/nitu dalam masyarakat yang ada
saat ini memang belum dipidana tetapi dalam
masyarakat tradisional sudah ada hukum adat yang
mengatur itu, dalam hukum adat dikenal adanya
pelanggaran adat. Menurut I Gede A. B. Wiranata
dalam bukunya Hukum Adat Indonesia pelanggaran adat
36
adalah semua bentuk perbuatan atau kejadian yang
bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran
hukum masyrakat bersangkuta baik hal itu akibat
perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat
sendiri.
Dalam pelanggaran adat tidaklah mutlak rumusan
pelanggaran ada terlebih dahulu dari perbuatan
hukum. Hukum adat bersifat terbuka sehingga delik
yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang
mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu
sehingga akan menimbulkan suatu reaksi adat.
Bentuk hukuman dalam hukum adat bermacam-macam
antara lain : pengucilan dari masyarakat, diusir
keluar dari tempat tinggalnya, bahkan hukum cambuk
atau dirajam. Meskipun dengan hukuman-hukuman
tersebut belum tentu memberikan efek jera bagi yang
melakukan pelanggaran tetapi ada usaha dari
37
masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman
mellaui hukum adat tersebut.
Hukum adat yang tidak dapat dipungkiri masih
berlaku dalam masyarakat Indonesia memberikan warna
tersendiri dalam sistem hukum Indonesia, yang secara
tidak langsung juga telah menyelesaikan masalah-
masalah hukum dalam masyarakat seperti problema
suanggi/nitu ini. Dengan memahami perbandingan hukum
maka diharapkan dapat dilakukan pengembangan dan
pembaharuan dalam sistem hukum yang ada yang akan
timbul sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat yang senantiasa berkembang.
38
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat
tradisional terhadap asas Nullum Delictum
bertentangan karena belum ada norma yang
mengatur tentang suanggi/nitu. Asas Nullum
Delictum mengandung konsekuensi dalam
menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas,
tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan dan
perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.
2. Suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum
yang responsif di mana diperlukan pergeseran
penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
39
dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik
sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
3. Suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan
hukum dapat dikaji melalui sistem hukum common
law yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat
dalam hal ini hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat tradisional.
b. Saran
1. Diperlukan kajian lebih mendalam dalam
penyelesaian masalah suanggi/nitu dalam masyarakat
tradisional, karena sudah cukup menggangu
ketertiban umum, keamanan, dan kenyamanan
masyarakat.
2. Diperlukan hukum yang responsif dari masyarakat
untuk pembentukan pertaturan perundangan yang
41
DAFTAR PUSTAKA
Amir Ilyas, 2012, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta,
Mahakarya Rangkang Offset .
Arief Sidharta,2008, Asas-Asas Hukum Secara Umum Bandung,
Retika Adhitama.
Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy 2014, “Suanggi”
dalam Perspektif Hukum Pidana, Halmahera, Jurnal
UNIERA Volume 3 Nomor .
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti .
Iman Sudiyat, 1999, Asas - Asas Hukum Adat, Yogyakarta,
Liberty.
Philip Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif,
Bandung, Nusa Media.
Saryono Yohanes, 2014, Buku Ajar Perbandingan Hukum,
Kupang, Universitas Nusa Cendana.