Post on 26-Apr-2023
TUGAS MAKALAHHUKUM PEMBUKTIAN
EKSISTENSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAMPENYELESAIAN PERKARA PIDANA
Oleh :
SYAPUTRAB1A109122
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS BENGKULU
2012
DAFTAR PUSTAKA
Prakoso, Djoko, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,Yogyakarta: Liberty
Darwan, Prints, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Djambatan: Jakarta
www.negarahukum.com, Alat Bukti Petunjuk,diakses pada hari rabu tanggal 16 mei 2012,pukul 23:15
www.negarahukum.com, Kekuatan Alat Bukti Petunjuk dan Keterangan Terdakwa,diaksespada hari rabu tanggal 16 mei 2012, pukul 23:20
ariblogspot.com, Alat Bukti Petunjuk dalam Sidang Pengadilan,diakses pada hari rabutanggal 16 mei 2012, pukul 23:22
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum
Pembiayaan dengan judul EKSISTENSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA hingga selesai dengan segala upaya. Dan tidak
lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju alam yang terang benderang
seperti yang kita rasakan saat ini.
Saya menyadari masih banyak sekali kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam
penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa
kritik maupun saran yang berguna untuk penyusunan tugas-tugas selanjutnya.
Demikianlah yang dapat saya uraikan, lebih dan kurangnya saya mohon maaf,
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bengkulu, Mei 2012
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Permasalahan ......................................................................................... 2
C. Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Pengertian .............................................................................................. 3
B. Syarat dan Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk ............................... 4
C. Kekuatan Alat Bukti Petunjuk............................................................... 7
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 9
A. Kesimpulan............................................................................................ 9
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelesaian perkara pidana yang memeriksa dan mengadili perbuatan
melawan hukum atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang baik perseorangan
maupun secara bersama-sama selalu diselesaikan melalui pengadilan yang berwenang
untuk menyelesaikan perkara pidana ini dengan melalui tahapan-tahapan atau proses
dalam persidangan dengan harapan dapat membuktikan suatu kebenaran.
Pemeriksaan dengan harapan membuktikan suatu kebenaran di pengadilan
dalam proses persidangan haruslah didukung dengan alat bukti seperti yang tercantum
dalam Pasal 184 KUHAPidana, dimana keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa merupakan suatu unsur yang tidak dapat terlepas
untuk menemukan kebenaran.
Dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan, jika perkara itu hanya
memunculkan 2 (dua) alat bukti saja, biasanya alat bukti itu adalah keterangan saksi
dan keterangan terdakwa maka perkara pidana itu dapat diselesaikan dengan
menambahkan keyakinan hakim untuk memutus perkara pidana karena ketentuannya
sesuai dengan Pasal 183 KUHAPidana.
Tetapi jika keterangan yang diberikan oleh terdakwa sangat berbelit-belit dan
tidak mengakui atau tidak ada kesesuaian dengan keterangan saksi, maka hakim harus
menggunakan alat bukti petunjuk sebagai kekuatan untuk menyelesaikan perkara
pidana.
Alat bukti petunjuk didapat karena adanya persesuaian antara keterangan saksi
dan keterangan terdakwa yang didukung oleh barang bukti yang dihadirkan di muka
persidangan.
Oleh karena itu, alat bukti petunjuk lebih dekat dengan istilah pengamatan
ataupun penilaian hakim yang terjadi selama proses persidangan berlangsung. Dalam
2
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan untuk menilai kesesuaian
antar alat bukti dan barang bukti, hakim harus berlaku arif dan bijaksana untuk
menemukan alat bukti petunjuk ini.
B. Rumusan Masalah
Belakangan ini terjadi suatu perdebatan tentang keberadaan atau eksistensi alat
bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana di muka pengadilan karena dinilai
bahwa alat bukti itu seharusnya mempunyai bentuk nyata, bukan sekedar pengamatan
ataupun penilaian hakim saja untuk membuktikan suatu kebenaran dalam perbuatan
tindak pidana.
Menjadi suatu permasalahan juga bagaimana kekuatan dari petunjuk itu sendiri
sehingga mampu menjadi alat bukti dalam menyelesaikan perkara pidana.
C. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang muncul, maka menjadi suatu tujuan dalam
makalah ini untuk mengetahui bagaimana eksistensi alat bukti petunjuk dalam
menyelesaikan perkara pidana di pengadilan.
Tidak hanya itu, tujuan makalah ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana
kekuatan petunjuk sehingga mampu menjadi alat bukti dalam menyelesaikan perkara
pidana
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada
hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,
atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.1
Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, alat bukti adalah sesuatu yang
dijadikan dasar oleh hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, dan
kemudian menjadi pertimbanganuntuk menjatuhkan putusan. Sedangkan barang bukti
yang berkedudukan sebagai penamba1h keyakinan hakim dalam memeriksa perkara.2
Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAPidana yang dimaksud petunjuk adalah :
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Berbeda dengan alat bukti yang lain, alat bukti petunjuk sendiri diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, maka dengan kata lain, alat
bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung.
Karena bukan merupakan alat bukti langsung maka muncul beberapa
anggapan yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti,
diantaranya :
1 Prints Darwan, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Djambatan: Jakarta, hal 107
2 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988
4
1. Van Bemellen (1971:227)
Akan tetapi kesalahan yang terutama adalah bahwa orang telah
menganggap petunjuk-petunjuk itu sebagai suatu alat bukti, sedangkan
dalam kenyataannya adalah tidak demikian.
2. P.A.F. Lamintang (1984:442)
Petunjuk memang hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan
oleh hakim untuk menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau
dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti,
seperti misalnya keterangan saksi yang secara tegas mengatakan
tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan
suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana
kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai
terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut
dengan kenyataan yang dipermasalahkan.
Terlepas dari setuju atau tidak, petunjuk tetap dianggap sebagai alat bukti,
perlu diingat pendapat A. Karim Nasution (1975:III-31) yang pada intinya
mengatakan bahwa pembuktian sebagian besar perkara pidana, sering harus
didasarkan atas petunjuk-petunjuk. Hal ini karena jarang sekali seorang yang
melakukan kejahatan, terlebih mengenai tindak pidana berat yang dilakukan secara
terang-terangan. Pelakunya berusaha menghilangkan jejak perbuatannya. Hanya
karena diketahui keadaan-keadaan tertentu tabir tersebut kadang-kadanag dapat
terungkap sehingga kebenaran yang ingin disembunyikan terungkap. Oleh karena
itu, eksistensi petunjuk tidak pernah diragukan karena sifatnya yang merupakan
suatu penilaian hakim.
B. Syarat dan Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk
Untuk dapat dikatakan sebagai petunjuk, maka harus memenuhi syarat-syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:3
a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang
terjadi
3 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 317.
5
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi
dipersidangan.4
Cara memperoleh alat bukti petunjuk di persidangan yaitu:5
1. Keterangan Saksi
Untuk menjadi saksi haruslah sesuai dengan apa yang termaktub di dalam Pasal 1
angka 26 bahwa saksi haruslah yang melihat sendiri, mendengar sendiri, alami
sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Saksi yang tidak
memenuhi syarat diatas tidak dapat menjadi alat bukti saksi. Dan menurut Pasal 1
angka 27 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu.
Apabila jumlah saksi yang akan diajukan banyak maka dibutuhkan
pembatasan jumlah saksi karena apabila jumlah saksi tidak dibatasi akan menjadi
sumber pemborosan dan penyelesaian perkara menjadi tidak efisien. Asas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terlaksana.6 Sehingga saksi-
saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua Majelis, wajib untuk didengar
keterangannya di hadapan siding pengadilan.7
Untuk dapat menilai bagaimana suatu keterangan saksi memiliki kekuatan
hukum, maka hakim harus menilik kepada:
a. Persesuaian keterangan antara saksi-saksi;
“Keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang
dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainya tidak member
4 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty. Hal.102.5 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana,LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Pasal 188 ayat (3).6 Tersirat pada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985.7 Tersirat pada Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 503/TU/1796/Pid/90 Tanggal 22September 1990.
6
petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa.”8
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, jika yang diajukan
jaksa dalam persidangan terdiri dari saksi dan alat bukti lain berupa ahli, surat
atau petunjuk, hakim harus meneliti sungguh-sungguh persesuaian alat bukti
tersebut.9
c. Alasan-alasan yang melatar-belakangi keterangan saksi;
d. Hakim harus mencar alasan mengapa saksi memberikan keterangannya
sebagaimana yang telah diuraikan olehnya;
e. Cara hidup dan kesusilaan saksi, dan;
f. Keterangan saksi sebelum dan pada waktu siding pengadilan
.
2. Surat
Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti adalah:10
a. Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan,
b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah
Kemudian diperjelas dengan pengertian:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.
b. Surat yang berbentuk “menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk ke dalam tata laksana
yang menjadi tannggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian,
sesuatu hal yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan.
c. Surat Lain yang hanya dapat berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat
bukti yang lain.
8 Tersirat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 28K/Kr./1977 Tanggal 17 April 1978.
9 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Op. Cit., Pasal 185 ayat (6).10 Ibid. Pasal 187
7
3. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa ada yang diberikan di dalam ataupun diluar
persidangan. Pengakuan yang diberikan terdakwa diluar persidangan dapat
dipergunakan sebagai alat bukti petujuk.11 Fungsi dari pengakuan yang diberikan
diluar persidangan tidak bisa berdiri sendiri. Fungsinya hanya dapat digunakan
sebagai alat bukti petunjuk untuk menyempurnakan alat bukti yang lainnya atau
dengan kata lain untuk mencukupi dan mengungkapkan keterbuktian kesalahan
terdakwa.
C. Kekuatan Alat Bukti Petunjuk
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya dengan
alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas
kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
Demikian juga alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip batas minimal
pembuktian. Petunjuk nanti dapat dikatakan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya dengan satu alat bukti yang lain.
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pada alat bukti keterangan terdakwa.
Hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat
menyingkirkan atau menerima sebagai alat bukti dengan mengemukakan alasannya.
Keterangan terdakwa juga harus disesuaiakan dengan batas minimal
pembuktian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 189 ayat 4 “keterangan terdakwa
saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain.”
Sekalipun keterangan terdakwa telah memenuhi syarat batas minimum
pembuktian, tetap masih harus dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang
benar adanya terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
11 Tersirat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 20 Septeber 1977 Nomor177K/Kr/1965.
8
Dengan uraian pembuktian alat bukti di atas jelas nampak perbedaannya
dengan kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata sebagimana ditegaskan
dalam Pasal 1866 KUH perdata/ Pasal 164 HIR (tulisan, saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah). Dalam proses hukum acara pidana tidak ada alat bukti yang
dapat dikategorikan sebagai murni kekuatan pembuktiannya sempurna (volledig),
mengikat (bindend) dan menentukan (dwingende, bellisend). Beda halnya dengan alat
bukti tulisan dalam hukum acara perdata akta otentik dan pengakuan sering kali
dikategorikan sebagai alat bukti yang sempurna, mengikat dan menentukan, sepanjang
tidak ada bukti lawan (tegen bewijs).
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Petunjuk tidak dapat disangkal eksistensinya sebagai alat bukti yang digunakan
untuk pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara pidana karena sesuai dengan
Pasal 189 ayat 4 KUHAPidana yang berbunyi bahwa “keterangan terdakwa saja tidak
cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain.” Dikaitkan juga
pada Pasal 188 ayat 1 KUHAP menegaskan “petunjuk adalah perbuatan, kejadian,
keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.“ kesesuaian dimaksud adalah kesesuaian antara
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa disertai dengan barang bukti
sehingga petunjuk memiliki kekuatan yang tetap untuk mempertahankan
eksistensinya.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya kekuatan hukum pada alat bukti petunjuk untuk
mempertahankan eksitensinya, maka diharapkan hakim harus benar-benar
menemukan petunjuk sesuai dengan hati nuraninya melalui pengamatan dan penilaian
hakim di muka persidangan.