Post on 29-Jan-2023
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Jurnal Galam adalah publikasi ilmiah yang memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian dan
sintesis hasil penelitian bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang meliputi silvikultur,
mikrobiologi hutan, ekologi, perencanaan, biometrik, teknologi hasil hutan, konservasi
hutan, sosial, ekonomi, kebijakan, dan dampak lingkungan. Jurnal ini terbit berkala dua
kali dalam setahun (Agustus dan Februari). Terbit pertama kali tahun 1998 sebagai
publikasi ilmiah populer dan beberapa kali mengalami perubahan ISSN karena adanya
perubahan nama institusi, Perubahan terakhir pada tahun 2015 sebagai publikasi ilimiah
semi populer dengan ISSN: 2460-0652. Pada tahun 2020 berubah nama menjadi Jurnal
Galam dengan p-ISSN 2723-4924 dan e-ISSN 2723-5084.
Journal Galam is a scientific publication that includes scientific papers from research result and systematic reviews of research results in the field of environment and forestry including silviculture, forest microbiology, ecology, management, biometrics, forest products, forest conservation, social, economy, policy and environmental impact. This journal is issued periodically twice a year (August and Pebruary). It was first published in 1998 as popular publication and experiencing several changes following the institutional changes. First published in 2015 as semi popular publication with the name Galam (ISSN 2460-0652), then in 2020 it is changed into Journal Galam (p-ISSN 2723-4924 and e-ISSN 2723-5084).
Diterbitkan oleh (Published by):
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru (Banjarbaru Environment and Forestry Research and Development Institute)
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research, Development and Innovation Agency) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia)
Proses Review (Review Process):
Setiap naskah yang masuk akan dikoreksi oleh dua Mitra Bestari (Reviewer) dan satu Editor Each incoming paper will be reviewed by two Reviewers and one Editor
Submit Online (Online Submission):
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM E-mail: galamjurnal@gmail.com
Alamat Redaksi :
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7, Kelurahan Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin,
Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia Kode Pos: 70721, Kotak Pos 1065,
Telp. (0511) 4707872, Fax. (0511) 4707872 E-mail: diklitbang.bejebe@gmail.com
Website : http://banjarbaru.litbang.menlhk.go.id/
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
i
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BANJARBARU
Jurnal Galam VOL. 1 No.1 Hal. 1-60 Banjarbaru
Agustus 2020
ISSN
p-ISSN 2723-4924
e-ISSN 2723-5084
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
ii
DEWAN REDAKSI
Ketua Merangkap Anggota (Editor Board):
M. Abdul Qirom, S.Hut., M.Si. Biometrika Hutan, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Anggota (Members):
Prof. (Ris) Dr. Drs. Acep Akbar, M.P. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA. Mikologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Dr. Dony Rachmanadi, S.Hut., M.Si. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Tri Wira Yuwati, S Hut., M.Sc. Silvikultur, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Mitra Bestari (Peer reviewer):
Prof. Dr. Ir. Cahyono Agus DK, M.Agr. Sc. Ilmu Tanah Hutan dan Sustainable Development, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Prof. (Ris). Dr. Masganti, M.S. Kesuburan Tanah dan Biologi, Balai Penelitian Tanaman Rawa
Prof. (Ris). Dr. Ir. M. Noor, MS. Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah, Balai Penelitian Tanaman Rawa
Dr. Hamdani Fauzi, S.Hut., M.P. Agroforestri, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ir. Badruzsaufari, M.Sc. Mikrobiologi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Zafrullah Damanik, S.P., M.Si. Agrotechnologi, Peat Soil, Universitas Palangka Raya Dr. Lutfy Abdullah, S.Hut., M.Si. Biometrika Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Ratih Damayanti, S.Hut., M.Si., Ph.D. Anatomi dan Kualitas Lignoselulosa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Sugeng Budiharta, Ph.D. Ekologi, Biologi Konservasi Tumbuhan, Ekologi Restorasi, Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI
Dwiko Budi Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D. Kebijakan dan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
iii
SEKRETARIAT REDAKSI
Penanggung Jawab:
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Ketua Merangkap Anggota (Managing editor):
Dra. Lilis Kurniati Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Anggota Redaksi Pelaksana (Members):
Sekretariat (Secretariat): Fauziah, S.Hut. Agus Fitriyanto, S.Hut. Norliani, S.Hut.
Pemeriksa Naskah (Copy Editor): Susy Andriani, S.Hut., M.Sc. Safinah Surya Hakim, S.Hut., M.Si. Arif Susianto
Pembaca Naskah (Proof Reader): Junaidah, S.Hut., M.Sc. Dewi Alimah, S.Hut.
Desain Tata Letak (Layout Editor): Hendra Ambo Basiang
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi Jurnal Galam mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (Peer Reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada Edisi Vol.1 No.1, Agustus 2020:
Prof. (Ris). Dr. Masganti, M.S. Kesuburan Tanah dan Biologi, Balai Penelitian Tanaman Rawa Prof. (Ris). Dr. Ir. M. Noor, MS. Kesuburan Tanah dan Biologi Tanah, Balai Penelitian Tanaman Rawa Dr. Hamdani Fauzi, S.Hut., M.P. Agroforestri, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat Dr. Ir. Badruzsaufari, M.Sc. Mikrobiologi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
v
DAFTAR ISI
Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Peat Land Mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan Nor Ifansyah dan Junaidah ................................................................................................................. 1-14 Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri .................................................................................. 15-26 Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom .......................................................... 27-40 Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto ................................................................................................. 41-48 Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif The potentials of forest insects as alternative food Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni ....................................................................................................... 49-60
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
vi
Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OSDCF) 630*114.443 Nor Ifansyah dan Junaidah (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan) Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 1-14 Pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan lindung bisa dilaksanakan melalui program Perhutanan Sosial (PS). PS merupakan salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut, baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut terdegradasi maupun upaya penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan gambut dan penerapan perhutanan sosial oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. Izin resmi pengolahan lahan tersebut tertuang dalam SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September 2018 dalam bentuk perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Pengelolaan lahan gambut dilakukan secara swadaya dan melibatkan para pihak, antara lain Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi Gambut (BRG), Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan lahan gambut, antara lain pembangunan infrastruktur yang lambat, kurangnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dalam mengelola lahan gambut, kurangnya koordinasi antara petani dengan pihak peduli gambut, kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait pengelolaan lahan gambut, dan kurangnya motivasi petani melakukan pola pengelolaan lahan selain pola monokultur sayuran. Bimbingan, penyuluhan, dan komunikasi yang efektif merupakan salah satu bentuk solusi efektif agar bisa mengelola lahan gambut.
Kata kunci: agroforestri, kendala, konflik, pengelolaan, sosialektif agar bisa mengelola UDC (OSDCF) 630*114.61 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri ((Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 15-26 Mikoriza arbuskula adalah suatu asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Mikoriza arbuskula memiliki banyak fungsi seperti meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan penyerapan hara tanah, dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi ekstrim. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa adalah hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah yang terbakar habis pada tahun 2015. Program rehabilitasi lahan gambut telah dimulai sejak tahun 2016 dengan penanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula di bawah pohon S. balangeran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur tanaman S. balangeran dan jumlah spora. Lebih lanjut, terdapat 4 spora mikoriza arbuskula yang teridentifikasi, yaitu Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp. Kata kunci: mikoriza arbuskula, Kalimantan Tengah, hutan rawa gambut, Shorea balangeran, spora
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
vii
UDC (OSDCF) 630*114.443 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 27-40 Restorasi lahan gambut pasca terbakar dengan penanaman memerlukan kondisi hidrologi yang mantap untuk kemapanan pembuatan tanaman. Fluktuasi tinggi air menjadi tantangan dalam upaya penanaman pada lahan gambut terdegradasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui tinggi muka air pada lahan gambut terdegradasi dan pasca terbakar di sekitar Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan, tinggi muka air, dan elevasi lahan. Pengamatan tinggi muka air pada beberapa kejadian kebakaran besar saat terjadi tahun 1997, 2003, 2006, dan 2009. Tinggi muka air diamati dari tepi sungai sampai dengan hutan sekunder sebanyak 17 titik sepanjang 4 km dengan selang jarak 250 m. Tingkat penutupan dan kondisi vegetasi sekitar bervariasi dari vegetasi berkayu jarang dan terbuka sampai dengan kondisi areal yang didominasi tumbuhan berkayu dengan penutupan kanopi baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi muka air tersebut sangat terkait dengan elevasi suatu tempat dan jarak dari saluran air. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan curah hujan yang terjadi. Namun pengaruh curah hujan tersebut tidak secara langsung tetapi terdapat jeda waktu tertentu sehingga tinggi muka air tersebut menjadi turun atau naik. Kondisi ini harus menjadi perhatian dalam rangka rehabilitasi lahan melalui penentuan jenis tanaman yang tepat dan waktu tanaman sehingga bibit yang ditanam tersebut dapat tumbuh secara optimal. Kata kunci: hidrologi, penanaman, restorasi, terbakar
UDC (OSDCF) 630*172.8 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 41-48 Dikenal dengan nama lokal jamur petir atau jamur susu harimau, Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang dimanfaatkan sebagai obat. Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial untuk dikembangkan karena manfaatnya yang sangat beragam. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara dan studi literatur. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini jamur Lignosus sp. di Kabupaten Kotabaru dapat ditemui di sekitar kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Muara Urie dan Desa Buluh Kuning. Jamur ini dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai bahan pengobatan tradisional antara lain untuk obat batuk dan pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan. Selain itu, jamur ini juga dipanen dan dijual kepada pengepul. Namun demikian, informasi teknik budidaya jamur Lignosus sp. masih terbatas sehingga informasi tersebut perlu digali lebih dalam terkait besarnya potensi jamur Lignosus sp. Kata kunci: bukan kayu, hutan, obat UDC (OSDCF) 630*145.7 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif Jurnal Galam Vol.1 No.1, Agustus 2020, Hal 49-60 Serangga memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia, baik peran negatif/ merugikan maupun positif/menguntungkan. Peran serangga yang merugikan salah satunya yaitu sebagai hama beberapa jenis tanaman, sedangkan peran yang menguntungkan salah
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
viii
satunya yaitu dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif. Di beberapa daerah di Indonesia mengkonsumsi serangga sebagai bahan makanan, namun masih banyak masyarakat yang menilai serangga tidak layak untuk dikonsumsi sehingga membuat potensi yang dimiliki oleh serangga tidak termanfaatkan secara maksimal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis serangga yang dapat menjadi sumber bahan pangan, serta nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Serangga yang umum dikonsumsi yaitu rayap, enthung jati, ulat sagu, belalang dan jangkrik. Nilai gizi yang terkandung pada serangga-seraangga tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi dengan memanfaatkan serangga sebagai sumber bahan pangan alternatif. Kata kunci: gizi, pangan, serangga
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM ISSN: 2460-0652
ix
The abstract may be reproduced without permission or charge
UDC (OSDCF) 630* 114.443 Nor Ifansyah dan Junaidah (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan) Peat land mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 1-14 Peatland management in protected forest area can be carried out through Social Forestry (SF) programs. Social forestry (SF) is a form of solution to the resolution of peatland management problems, both in the context of efforts to restore degraded peat as well as efforts to resolve sosial conflicts and overlapping land and management permits. The purpose of this research is to determine the patten of land management and the application of sosial forestry by Sukamaju Peat Cares Society (PSC), Landasan Ulin, South Kalimantan. The official permit to cultivate the land is contained in SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 dated September 14, 2018 with scheme Community Forest (CF). Land management patterns carried out are monoculture, agroforestry, agrosilvopasture, apiculture, agrosilvofishery and revegetation. Management of peatlands is carried out independently and also involves stakeholders, including: The South Kalimantan Provincial Foresty Service, Kayu Tangi Forest Management Unit, Lambung Mangkurat University, Peat Restoration Agency, Kalimantan Social Forestry and Environmental Partnership Institute. The obstacles in peat land management is slow developmet of infrastructure, lack of human resource capacity to manage peatlands, lack of coordination between farmers and peat care parties, lack of farmers’understanding of regulation related to peatland management and lack of motivation from farmers to manage the land other than vegetables monoculture. Effective guidance and communication is one form of effective solutions for managing peatlands. Keywords: agroforestry, obstacles, conflict, management, social
UDC (OSDCF) 630* 114.61 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 15-26 Arbuscular mycorrhiza is an association between fungi and plantroots. Arbuscular mycorrhiza has many functions such as improving the plant’s growth, increasing the absorption of soil nutrients and enhancing the plants tolerant to extreme condition. Tumbang Nusa Forest for Specific Purpose is a peat swamp forests in Central Kalimantan that was severely burnt in 2015. Peat land rehabilitation program has started since 2016, by Shorea balangeran (Korth.) Burck planting. The aim of this research was to determine the diversity of arbuscular mycorrhiza spores under S. balangeran tree. The results showed that there was relationship between the age of S. balangeran and number of spores. Moreover, there were 4 spores of arbuscular mycorrhiza identified as Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp. and Scutellospora sp. Keywords: arbuscular mycorrhiza, Central Kalimantan, Shorea balangeran, peat swamp forest, spores UDC (OSDCF) 630*114.443 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 27-40 Burnt peatland restoration by planting needs stable hydrological condition for the plant’s growth. Water table fluctuation becoming a
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM ISSN: 2460-0652
x
challenge in the planting effort on degraded peatland. This research aims to determine the water table on degraded peatland and over burnt peat at Tumbang Nusa Forest for Specific Purposes, Pulang Pisau District, Central Kalimantan Province. The data was analyzed to determine the relationship between precipitation characteristics, water table and land elevation. Water table observation was carried out on several fires starting 1997, 2003, 2006 and 2009. We observed 17 points of water table of the total length of 4 km and 250 m distance between points, started from the river edge up to secondary forests. The level of vegetation cover and condition varied from woody plants with low density and open crown up to woody plants with good canopy cover. The result showed that the water table was closely related with the elevation and distance from canal. The fluctuation was closely related with precipitation. Nevertheless, the rainfall did not directly relate but there was a certain interlude period so that the water table was rising or decreasing. This condition shall be considered in the land rehabilitation by planning the right plant in the right time so that the plants can reach optimum growth. Keywords: hydrology, planting, restoration, burnt UDC (OSDCF) 630*172.8 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru) Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 41-48 Known locally as the the lightning mushroom or tiger milk mushroom, Lignosus sp. is well-known as mushroom. Lignosus sp. is categorized as non-timber forest product which has potential to be developed due to its advantages. Interview and literature review were carried out during this study to investigate the ecology, ethnomycology, and economic potential of Lignosus sp. Study result showed that currently the fungi Lignosus sp. in Kotabaru Regency can be found around the forest area that is administratively included in the Muara Urie and Buluh Kuning Villages. Local community has been used this fungi as traditional
medicine, such as for cough medicine and post-natal care for mothers. In addition, local people harvest this fungi and sell it to middleman. However, the information of cultivation of this mushroom still limited particularly in South Kalimantan. Therefore, further studies need to be investigate. Keywords: non-timber, forest medicinal UDC (OSDCF) 630*145.7 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif Jurnal Galam Vol.1 No.1, August 2020, Page 49-60 Insects have an important role for human life, both negative and detrimental roles as well as positive or beneficial roles. The role of harmful insects is as pest, while the beneficial role can be used as an alternative food source. In some areas in Indonesia, insects are also consumed as food, unfortunately there are still many people who consider insects not suitable for consumption, making the potential possessed by insects not fully utilized. This paper aims to provide information on the types of insects that can be a source of food, as well as the nutritional value contained in insects. Commonly consumed insects are termites, teak caterpillars, sago caterpillars, grasshoppers, and crickets. The insects contain high enough of nutrition that is expected to be used as alternative food source to meet community nutritional needs. Keywords: food, insects, nutrition
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 20-02-2020 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.1-14
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DI KAWASAN HUTAN LINDUNG LIANG ANGGANG OLEH MASYARAKAT PEDULI GAMBUT (MPG) SUKAMAJU, KALIMANTAN SELATAN
Peat land mangement in Liang Anggang Protected Forest by
Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan
Nor Ifansyah1-* dan Junaidah2
1Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan Jl. Sei Salak, Km. 28, Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan
2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan
*Email : ifansyahnor80@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan lindung bisa dilaksanakan melalui program Perhutanan Sosial (PS). PS merupakan salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut, baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut terdegradasi maupun upaya penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan gambut dan penerapan perhutanan sosial oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. Izin resmi pengolahan lahan tersebut tertuang dalam SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September 2018 dalam bentuk perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Pengelolaan lahan gambut dilakukan secara swadaya dan melibatkan para pihak, antara lain Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi Gambut (BRG), Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan lahan gambut, antara lain pembangunan infrastruktur yang lambat, kurangnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dalam mengelola lahan gambut, kurangnya koordinasi antara petani dengan pihak peduli gambut, kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait pengelolaan lahan gambut, dan kurangnya motivasi petani melakukan pola pengelolaan lahan selain pola monokultur sayuran. Bimbingan, penyuluhan, dan komunikasi yang efektif merupakan salah satu bentuk solusi efektif agar bisa mengelola lahan gambut.
Kata kunci: agroforestri, kendala, konflik, pengelolaan, sosial
ABSTRACT
Peatland management in protected forest area can be carried out through Social Forestry (SF) programs. Social forestry (SF) is a form of solution to the resolution of peatland management problems, both in the context of efforts to restore degraded peat as well as efforts to resolve sosial conflicts and overlapping land and management permits. The purpose of this research is to determine the patten of land management and the application of sosial forestry by Sukamaju Peat Cares Society (PSC), Landasan Ulin, South Kalimantan. The official permit to cultivate the land is contained in SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 dated September 14, 2018 with scheme Community Forest (CF). Land management patterns carried out are monoculture, agroforestry, agrosilvopasture, apiculture, agrosilvofishery and revegetation. Management of peatlands is carried out independently and also involves stakeholders, including: The South Kalimantan Provincial Foresty Service, Kayu Tangi Forest Management Unit, Lambung Mangkurat University, Peat Restoration Agency, Kalimantan Social Forestry and Environmental Partnership Institute. The obstacles in peat land management is slow developmet of infrastructure, lack of human resource capacity to manage
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 2
peatlands, lack of coordination between farmers and peat care parties, lack of farmers’understanding of regulation related to peatland management and lack of motivation from farmers to manage the land other than vegetables monoculture. Effective guidance and communication is one form of effective solutions for managing peatlands.
Keywords: agroforestry, obstacles, conflict, management, social
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki lahan gambut yang cukup luas yaitu sekitar 14,9 juta ha yang
tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Ritung et al., 2011).
Gambut merupakan penyimpan karbon yang handal (Agus et al., 2012; Page, Rieley, &
Banks, 2011) dan pengatur tata air (Wösten et al., 2008). Lahan gambut juga merupakan
habitat bagi flora dan fauna serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hasil
penelitian Osaki, Setiadi, Takahashi, & Evri (2016) menemukan 27 ikan air tawar di Sungai
Kahayan, sedangkan Thornton, Page, Upton, & Harrison (2018) mengidentifikasi 29 jenis
ikan air tawar pada kanal Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah.
Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan permintaan sumberdaya alam
telah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan gambut untuk pemanfaatan lahan gambut
sebagai penghasil berbagai komoditas pertanian, lahan permukiman, dan pertambangan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, pemanfaatan lahan gambut semakin luas karena semakin
sempitnya lahan pertanian yang tersedia (Noor, Nursyamsi, Alwi, & Fahmi, 2014),
keterbatasan lahan mineral, dan relatif rendahnya isu land tenure pada kawasan lahan
gambut (Wibowo, 2010). Sekurangnya 3 juta ha lahan gambut tropis di Indonesia telah
dikonversi menjadi lahan-lahan berkanal yang menurunkan fungsi aslinya sebagai
reservoir air dan karbon serta menyediakan berbagai jasa ekosistem yang penting bagi
kehidupan masyarakat lokal dan global (Miettinen et al., 2017). Alih fungsi lahan gambut
tidak hanya terjadi di lahan milik masyarakat, tapi juga pada lahan milik negara yang
termasuk dalam kawasan hutan lindung. Pengelolaan kawasan hutan lindung gambut yang
tidak optimal oleh pemerintah menimbulkan pemikiran masyarakat untuk mengelola
lahan tersebut karena pandangan lahan yang tidak dimanfaatkan (Suratmo, Said, & Oki,
2013).
Seiring berjalannya waktu, jumlah masyarakat yang mengelola lahan gambut di
kawasan milik negara, khususnya hutan lindung semakin bertambah dan membuat
kelestarian lahan gambut semakin terusik. Irma, Gunawan, & Suratman (2018)
menyebutkan konversi lahan gambut menjadi lahan produksi menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan. Disisi lain, masyarakat yang telah cukup lama menetap di lahan
gambut yang termasuk kawasan hutan lindung terancam keluar karena tidak memiliki izin
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 3
pengelolaan lahan. Untuk mempertemukan beberapa kepentingan khususnya antara
pemerintah dan masyarakat sekitar kawasan hutan, perhutanan sosial muncul sebagai
salah satu bentuk solusi yang tertuang dalam Permen LHK Nomor.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tanggal 25 Oktober 2016 tentang Perhutanan
Sosial. Perhutanan Sosial (PS) adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan
dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh
masyarakat setempat atau masyarakat hutan adat sebagai pelaku utama untuk
meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya
dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat
(HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK) (KLHK, 2016). PS merupakan
salah satu bentuk solusi terhadap penyelesaian permasalahan pengelolaan lahan gambut,
baik itu dalam rangka upaya restorasi gambut yang teredegradasi maupun upaya
penyelesaian konflik sosial dan tumpang tindih lahan serta izin pengelolaan.
PS di lahan gambut sendiri mengalami proses perjalanan yang cukup panjang.
Setelah sempat terjadi penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola
hutan alam primer dan lahan gambut yang tertuang dalam Inpres No. 5 tahun 2019,
akhirnya pemberian izin pengelolaan lahan gambut pada kawasan hutan milik negara
kembali aktif setelah terbit PermenLHK No. 37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tanggal
31 Juli 2019 tentang Perhutanan Sosial pada ekosistem gambut. Berdasarkan PermenLHK
tersebut, PS di lahan gambut dapat dilakukan dalam fungsi budidaya dan fungsi lindung
ekosistem gambut. Pemanfaatan ekosistem gambut untuk PS meliputi HPHD, Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat.
Peraturan tersebut juga menetapkan area pemanfaatan ekosistem gambut untuk kegiatan
PS mengacu pada peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG), peta penetapan puncak kubah
gambut, peta hidrotopografi, dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB)
(KLHK, 2019).
Penerapan PS di lahan gambut sendiri masih belum banyak dilakukan di wilayah
Indonesia. Salah satu kelompok tani yang mendapatkan izin mengelola lahan gambut
dengan skema perhutanan sosial adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli
Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. MPG Sukamaju adalah salah
satu kelompok tani masyarakat di lahan gambut yang mendapatkan izin untuk mengelola
lahan gambut di Kawasan Hutan Lindung (HL) Liang Anggang, Banjarbaru, Kalsel dengan
menggunakan IUPHKm. Perlu adanya kajian tentang pengelolaan lahan gambut dan
penerapan PS oleh MPG Sukamaju sehingga penyempurnaan pelaksaaan PS di masa akan
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 4
datang dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelolaan lahan
gambut dan penerapan PS oleh KTH MPG Sukamaju, Landasan Ulin, Kalsel.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus tahun 2019. Penelitian dilakukan di
Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Provinsi
Kalimantan Selatan. Kawasan gambut di wilayah ini termasuk dalam wilayah kerja
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayu Tangi yang memiliki fungsi sebagai hutan
lindung (HL). Lahan MPG Sukamaju berdasarkan ikim Schmidt Ferguson termasuk dalam
tipe iklim B. Tipe B atau basah memiliki periode bulan basah 9 s.d 10 bulan dan bulan
kering 1 sd. 3 bulan. Lahan yang dikelola terdiri dari tanah tidak bergambut, tanah
bergambut (<50 cm), gambut dangkal (50-100 cm), dan gambut sedang (100-200 cm).
Kondisi lahan MPG Sukamaju disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Tumpang Susun Wilayah Hutan Kemasyarakatan dengan Ketebalan Gambut.
Sumber: KTH MPG Sukamaju, 2019
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 5
Bahan dan alat penelitian
Objek yang diamati dalam penelitian adalah anggota Kelompok Tani Hutan (KTH)
Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Landasan Ulin serta lahan gambut yang
mereka olah. Peralatan yang digunakan, yaitu kamera digital, kuesioner dan alat tulis
menulis.
Metode penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas survey (observasi)
lapangan, wawancara mendalam, dan studi dokumen terkait dengan proses perizinan PS
di HL Liang Anggang yang dikelola oleh KTH MPG Sukamaju. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian terdiri dari dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data hasil dari survei (observasi) di lapangan dan wawancara mendalam
dengan informan. Penentuan informan kunci dalam penelitian ini dilakukan secara
sengaja (purposive), dalam arti pemilihan informan tidak berdasarkan keterwakilan
jumlah populasi, melainkan dipilih dan ditetapkan berdasarkan kriteria yang
merepresentasikan kemampuan dan kesediaan mereka untuk memberikan informasi yang
dapat mendukung pencapaian tujuan penelitian. Informan dalam penelitian ini meliputi
anggota dan ketua KTH MPG Sukamaju serta para pihak yang relevan dengan tujuan
penelitian. Data sekunder adalah data literatur terkait penelitian.
Analisis data
Data hasil observasi lapangan dan wawancara dilakukan tabulasi dan
pengelompokan data. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pola pengelolaan lahan gambut
Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju adalah salah satu kelompok tani
masyarakat yang mendapatkan izin untuk mengelola lahan gambut di Kawasan HL Liang
Anggang, Kelurahan Landasan Ulin Utara, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru,
Kalimantan Selatan melalui skema IUPHKm. Berdirinya masyarakat peduli gambut
berawal dari kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 2014 di kawasan HL Liang Anggang
dan hampir merambah ke areal pertanian masyarakat. Menyadari akan bahaya kebakaran,
maka masyarakat bermusyawarah dan sepakat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH)
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 6
Masyarakat Peduli Gambut (MPG) “SUKA MAJU” yang ditetapkan oleh Lurah Landasan
Ulin Utara tanggal 06 Januari 2015.
Lahan yang diolah oleh anggota KTH MPG Sukamaju ada yang termasuk dalam areal
kawasan Hutan Lindung berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor
672/KPts-II/1991 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor
434/Kpts-II/1996. Sebelumnya, kawasan ini disahkan sebagai kawasan hutan
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 819/KPts/Um/11/1982
pada tanggal 10 November 1982 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor
247/Kpts-II/1984 tanggal 18 Desember 1984 dengan luasan 2.250 hektar. Lahan HL
sendiri digunakan untuk berbagai hal, seperti fasilitas umum (RS Jiwa Sambang Lihum),
lahan pemukiman/pertanian/perkebunan, jalan, saluran irigasi, dan semak belukar. Luas
kawasan HL yang masih murni dengan fungsi sebagai kawasan HL seluas 1350,7 hektar
yang dikelola oleh pemerintah yang berwenang, yaitu KPH Kayu Tangi dan Dinas
Kehutanan Provinsi Kalsel (Agustina, Fauzi, & Hafizianor, 2020). Faktor yang bisa
menyebabkan masyarakat masuk ke dalam wilayah HL adalah tekanan dan tuntutan
ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan dan motivasi masyarakat untuk memiliki
lahan (Subarna, 2011).
Tabel 1. Pola pengelolaan lahan gambut KTH MPG Sukamaju.
Pola Pengelolaan Komposisi Jenis Keterangan
Monokultur Sayuran: kangkung, sawi, daun sop, daun bawang, bayam, cabe, daun sop, terong, bayam potong, bayam cabut, jagung, ubi jalar, kemangi, keladi dan mentimun
Sayuran ditanam dalam skala luas secara monokultur
Agroforestri Tanaman berkayu + tanaman buah + sayuran Tanaman Berkayu: sengon (Falcataria moluccana), karet (Hevea brasiliensis) dan sawit (Elaesis quinensiss Jack)
Tanaman buah: nenas, jeruk nipis, jeruk peras, papaya, alpukat dan sirsak
Ketiga jenis kelompok tanaman ditanam secara bersama-sama
Agrosilvopasture Tanaman buah + sayuran + ternak (sapi, kambing dan itik petelur jenis Alabio dan Mojosari)
Apikultur Lebah madu kelulut (Trigona spp). Di bawah tegakan sawit
Revegetasi Kopi liberika (Coffea liberica), balangeran (Shorea balangeran), ramin (Gonystilus bancanus), dll.
Penanaman kembali pada lahan bekas terbakar
Agrosilvofishery Tanaman berkayu + budidaya ikan betok/papuyu (Anabas testudineus)+ sayuran
Di bawah tanaman trembesi (Samanea saman)
Sumber : Data primer, 2019
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 7
Lahan di sekitar kawasan HL sendiri telah dibuka masyarakat sejak tahun 1995.
Kondisi awal lahan gambut didominasi oleh jenis galam (Melaleuca cajuputi), kelakai
(Stenochlaena palustris), akasia (Acacia mangium), dan karamunting (Melastoma sp.).
Pembukaan lahan dilakukan secara manual dan dilakukan secara bertahap. Masyarakat
menggunakan berbagai pola pengelolaan lahan. Pola pengelolaan lahan gambut yang
dilakukan oleh KTH MPG Sukamaju adalah monokultur, agroforestri, agrosilvopastur,
apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi.
(a) (b) (c)
Gambar 1. Pengelolaan lahan KTH MPG Sukamaju (a) Plot tanaman agroforestri, (b) Budidaya madu kelulut di bawah tegakan sawit, (c) Peternakan sapi.
Penerapan Perhutanan Sosial oleh KTH MPG Sukamaju
Masyarakat anggota KTH MPG Sukamaju mengelola lahan gambut di sekitar
kawasan HL Liang Anggang sejak tahun 1995. Mereka menjadikan kawasan HL sebagai
lahan pertanian, perkebunan, dan juga permukiman. Setelah terbitnya Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang perhutanan sosial, maka harapan
masyarakat untuk bisa mengelola kawasan hutan lindung secara legal menjadi terbuka.
Berdasarkan PP tersebut, izin memanfaatkan kawasan hutan lindung dalam bentuk Izin
Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat IUPHKm.
Terbitnya PermenLHK No. 83 tersebut memberikan angin segar bagi masyarakat yang
selama ini bermukim di kawasan hutan lindung dan menggantungkan hidupnya pada
lahan tersebut, termasuk masyarakat sekitar kawasan HL Liang Anggang. Proses perizinan
pemanfaatan lahan gambut di kawasan hutan lindung membutuhkan proses yang cukup
panjang. Dalam proses tersebut, KTH MPG Sukamaju dibantu oleh para pihak meliputi
Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Badan Restorasi
Gambut (BRG), KPH Kayu Tangi dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
(BPSKL) Kalimantan. Langkah awal yang dilakukan masyarakat adalah pembuatan
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 8
kelompok tani hutan yang akhirnya terbentuk pada tahun 2015 yang diberi nama KTH
MPG Sukamaju.
Berdasarkan SK. 5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tanggal 14 September
2018, akhirnya lahan gambut pada kawasan HL Liang Anggang tersebut resmi dikelola
oleh KTH MPG Sukamaju dengan luasan 125 ha dan beranggotakan 138 petani dengan
skema IUPHKm. PermenLHK No. 83 mendefinisikan IUPHKm sebagai izin usaha yang
diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk
memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi
(KLHK, 2016). Sementara itu, PermenLHK No. 37 tahun 2019 menyebutkan IUPHKm
berada pada Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut dan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut
dilakukan pada produksi dan atau hutan lindung (KLHK, 2019).
Program kerja KTH MPG Sukamaju tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Usaha
(RKU) 2019-2028 dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Beberapa program KTH MPG
Sukamaju yang tertuang dalam RKU dikelompokkan menjadi 4 (empat) program, yaitu (1)
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HKm meliputi konservasi, perlindungan, dan
pengamanan; (2) Pemanfaatan hasil tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species); (3)
Pemanfaatan Hasil Hutan bukan kayu (HHBK); dan (4) Edukasi dan jasa lingkungan (KTH
MPG Sukamaju, 2018). Selain melanjutkan beberapa program yang diinisiasi oleh para
pihak terkait sebelumnya, dalam RKU juga mencantumkan beberapa kegiatan tambahan
yang disesuaikan dengan potensi kawasan. Dalam penyusunan RKU tersebut, KTH MPG
Sukamaju difasilitasi oleh BPSKL Kalimantan. BPSKL Kalimantan mengarahkan dan
membimbing petani untuk mengetahui potensi desa, harapan dan keinginan petani serta
kegiatan yang bisa mereka lakukan. KTH MPG Sukamaju memiliki ragam aktivitas, dimana
semua kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya selalu dibahas dalam pertemuan anggota
kelompok yang dilaksanakan 2 kali dalam sebulan. Dalam pertemuan tersebut, juga
dibahas berbagai pemasalahan dan perkembangan yang ada di dalam KTH MPG serta
perkembangan dari pihak ke-3 untuk membantu/menfasilitasi kegiatan KTH MPG Suka
Maju.
Pengelolaan lahan gambut dan penerapan program PS oleh KTH MPG Sukamaju
memiliki banyak kendala, baik teknis maupun nonteknis. Beberapa kendala yang dihadapi,
antara lain (1) pembangunan infra struktur yang lambat, (2) kurangnya kemampuan SDM
dari petani untuk mengolah lahan gambut, (3) kurangnya koordinasi antara petani dengan
pihak yang peduli gambut sehingga menimbulkan beberapa permasalahan, dan (4)
kurangnya pemahaman petani tentang peraturan pemerintah terkait pengolahan lahan
gambut.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 9
Pembahasan
Secara umum, lahan KTH MPG Sukamaju yang berada di Kelurahan Landasan Ulin
Utara merupakan daerah pertanian khususnya di bidang holtikultura. Tidak terkecuali
yang berada di sepanjang jalan Sukamaju, hampir 90 % masyarakat adalah petani sayuran
yang dikelola secara monokultur. Pola lain yang digunakan masyarakat adalah
agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi. Perkembangan
pola budidaya di lahan gambut tidak lepas dari andil para pihak yang memberi dukungan
intensif dalam 5 tahun terakhir untuk pengelolaan lahan gambut yang lebih ramah
lingkungan dan produktif. Para pihak terkait yang mendukung pengelolaan lahan gambut
di daerah tersebut, antara lain ULM, Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, KPH Kayu Tangi,
BRG, BPSKL Kalimantan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Barito, Balai
Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru, dll. Dukungan para
pihak dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain pembangunan sarana prasarana
pendukung (sumur bor, embung, sekat kanal dan sumur dangkal), bantuan alat
pengolahan lahan agroforestri (traktor, pompa air, paranet, dll), bantuan alat produksi
biogas (digester, metan detector, kompresor, water trap, dll), dukungan modal usaha
(pengadaan stup lebah madu lebah madu Serena sp. dan lebah kelulut Trigona sp., benih
ikan, itik petelur jenis alabio dan mojosari, sapi, bibit pohon dan sayuran), pembuatan
tabat pada kanal, dan anggota KTH MPG Sukamaju diikutkan dalam pelatihan dan studi
banding. Berbagai pola pengelolaan lahan gambut yang diterapkan diharapkan dapat
meningkatkan produktifitas lahan gambut dan dapat mengatasi masalah-masalah yang
timbul akibat terjadinya alih fungsi lahan gambut seperti penurunan kesuburan tanah,
banjir, bahaya kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan kepunahan plasma nutfah.
Mayrowani (2016) menyatakan pola agroforestri merupakan sarana yang efektif untuk
mengurangi kemiskinan dan Fahruni (2015) menyebutkan pola agroforestri
menguntungkan secara finansial.
Izin resmi pengelolaan lahan gambut di kawasan HL Liang Anggang yang dikelola
KTH MPG Sukamaju berdasarkan pada SK.5902/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018
tanggal 14 September 2018. Sebelum izin tersebut keluar, terjadi keresahan di masyarakat
tentang status lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1995. Dengan adanya izin
tersebut, masyarakat bisa mengelola lahan gambut secara legal. Sebenarnya sudah ada
izin nonformal yang tidak tertulis dari Dinas Kehutanan Provinsi tentang pemanfaatan
lahan di sekitar kawasan HL Liang Anggang dengan tetap menjaga kelestarian hutan
(Agustina et al., 2020). Namun, izin tersebut tidak bisa melegalkan kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Keberadaan perhutanan sosial, dalam hal ini IUPHkm telah mampu
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 10
mempertemukan berbagai perspektif dan kepentingan dari para pihak. Agustina et al.,
(2020) menyebutkan terdapat 3 (tiga) pihak utama yang terlibat dalam pengelolaan lahan
KTH MPG Sukamaju, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel dan KPH Kayu Tangi, BRG dan
ULM yang memiliki perspektif masing-masing terhadap lahan yang diolah masyarakat.
Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel dan KPH Kayu Tangi selaku pemegang kelola secara
operasional yang menggangap lahan ini sebagai kawasan dengan fungsi perlindungan
sehingga membutuhkan izin pemanfaatan lahan, sedangkan BRG dengan ULM
menganggap lahan KTH MPG Sukamaju sebagai kawasan ekosistem gambut terdegradasi
yang harus dipulihkan dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut yang telah
membuka dan memanfaatkan lahan sebagai sumber penghidupan mereka.
Program PS sendiri bertujuan untuk pemerataan sektor ekonomi dalam masyarakat
dan untuk mengurangi adanya ketimpangan di sektor ekonomi. Program ini memberikan
akses yang legal kepada masyarakat desa di sekitar kawasan hutan untuk mengakses
hutan di kawasan hutan negara melalui mekanisme penebitan perizinan yang diterbitkan
oleh menteri dalam bentuk surat keputusan (Agusti, Nurjaya, & Kuswahyono, 2019). Izin
pemanfaatan lahan hutan lindung sebagai lahan pertanian diberikan dengan adanya Nota
Kesepakatan Kerjasama (NKK) dan izin kawasan sebagai kawasan Perhutanan Sosial
(Agustina et al., 2020). Terbitnya PermenLHK No. 83 tahun 2016 memberikan peluang
dalam pelaksanaan PS dengan memberikan ruang pada kawasan yang berfungsi lindung.
PS di lahan gambut memiliki potensi menjadi trade off antara kepentingan sosial, nilai
ekonomi, dan lingkungan (Gunawan & Afriyanti, 2019). Izin yang diberikan kepada KTH
MPG Sukamaju adalah izin pengolahan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm
sendiri diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan
hutan dan menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan
(Safe’i, Febryano, & Aminah, 2018). Keberadaan program HKm di beberapa daerah dapat
meningkatkan pendapatan KTH sebesar 20-50 % (Mulyadin, Surati, & Ariawan, 2016).
Rencana kerja yang termuat dalam RKU KTH MPG Sukamaju sudah sesuai mandat
dalam PermenLHK No. 83 tahun 2016, dimana pengelola PS nantinya memiliki bermacam
kewajiban, antara lain menjaga areal dari perusakan dan pencemaran lingkungan,
mempertahankan fungsi hutan, dan melakukan perlindungan hutan. PermenLHK No. 37
secara lebih detail menjelaskan tentang PS pada lahan gambut. Selain itu, RKU KTH MPG
Sukamaju juga sudah sesuai dengan mandat PermenLHK No. 37, dimana IUPHKm pada
hutan produksi dan/atau hutan lindung dengan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan;
(3) pemanfaatan tanaman kehidupan untuk kebutuhan pangan dengan varietas yang
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 11
adaptif dengan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut; dan/atau (4) pemanfaatan atau
pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (KLHK, 2019).
Keterlibatan banyak pihak dan kerjasama yang baik antara para pihak dengan
masyarakat, membuat berbagai program kerjasama pengelolaan lahan gambut bisa
berjalan dengan baik. Usaha KTH MPG Sukamaju dalam menyejahterakan anggotanya
dengan mempertahankan kelestarian lingkungan telah membuahkan hasil. Pada tahun
2019, MPG Sukamaju memperoleh predikat Juara I Wanalestari Kategori KTH Tingkat
Provinsi Kalimantan Selatan, Juara Harapan III Wanalestari kategori Kelompok Tani Hutan
(KTH) Tingkat Nasional dan ditetapkan sebagai KTH yang peduli terhadap konservasi
tanaman galam (Melaleuca leucadendron). Saat ini KTH MPG Sukamaju sering menjadi
tempat belajar bagi masyarakat dalam hal pengelolaan lahan gambut dalam kawasan
hutan. Pada tahun 2019, MPG Sukamaju menjadi tempat studi banding KTH pengelola
lahan gambut se-Sumatera yang diprakarsai BPSKL Wilayah Sumatera. Bahkan pada tahun
2019, mendapat kunjungan dari Komisi IV DPR RI tentang pengelolaan lahan gambut.
Keberhasilan KTH MPG Sukamaju memperoleh penghargaan ini tidak terlepas dari peran
serta stakeholder dalam melakukan pendampingan. Pendampingan yang intensif dari
stakeholder yang terlibat memberikan dampak positif terhadap KTH MPG Sukamaju.
Walaupun sudah mendapat penghargaan, penerapan berbagai program KTH MPG
Sukamaju dalam mengelola lahan gambut masih memiliki banyak kendala. Kendala yang
dihadapi adalah kurangnya kemampuan SDM dari petani untuk mengolah lahan gambut
yang ramah lingkungan. Pengolahan lahan gambut yang ramah lingkungan memerlukan
pengetahuan khusus. Beberapa teknik pengolahan yang digunakan oleh masyarakat
selama ini masih konvensional dan sebagian belum bersifat ramah lingkungan seperti
pembukaan lahan dengan teknik membakar. Kendala ini tidak hanya dihadapi oleh KTH
MPG Sukamaju, tetapi juga oleh banyak KTH di Indonesia. Handoyo et al., (2018)
menyebutkan kendala umum yang dihadapi antara lain kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam budidaya dan pengolahan komoditas lahan gambut. Dari beberapa
penelitian pola budidaya masyarakat di lahan gambut yang dilakukan P3SEKPI, belum ada
aliran informasi yang baku dari pusat-pusat pengetahuan sektor pertanian/perkebunan
tentang budidaya komoditas di lahan gambut melalui penyuluh. Untuk mengatasi hal
tersebut, anggota KTH MPG Sukamaju mengikuti berbagai pelatihan terkait pengelolaan
lahan gambut. Hasil dari pelatihan tersebut, para anggota memiliki pengetahuan, sikap,
dan keterampilan serta mulai menerapkan dalam pengelolaan lahan gambut terintegrasi
menggunakan konsep 3R, yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization sehingga bisa
mendukung program menjaga areal dari kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kendala
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 12
lain yang dihadapi dalam pelaksanaan program sesuai RKU adalah pembangunan
infrastruktur yang lambat. Pengolahan lahan gambut banyak dilakukan secara manual
sehingga hasil yang didapatkan belum maksimal. Pengelolaan lahan gambut secara
mekanis lebih cepat dan mudah, tetapi petani terkendala modal yang besar dan terikat
peraturan penggunaan alat mekanis di lahan gambut. Untuk itu perlu dukungan dari para
pihak terkait modal dan pengadaan sapras. Kurangnya koordinasi antara petani dengan
pihak yang peduli gambut dan kurangnya pemahaman petani tentang peraturan terkait
pengolahan lahan gambut juga menjadi kendala. Petani beranggapan peraturan-peraturan
tersebut membatasi petani dalam mengolah lahan. Selain itu, motivasi petani dalam
mengelola lahan gambut dengan pola selain monokultur sayuran masih rendah karena
hasil yang didapatkan dari produk lain selain sayuran membutuhkan waktu yang lebih
lama. Untuk meningkatkan motivasi petani dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas
petani berupa pelatihan, pendidikan, dan penyuluhan yang lebih intensif serta studi
banding berbagai praktik pengelolaan lahan gambut di daerah lain. Faktor lain yang perlu
dikembangkan agar pelaksanaan PS memberikan hasil optimal adalah penguatan
kelembagaan (Nandini, 2013) dan kemitraan (Susilo, 2019). Upaya peningkatan kapasitas
kelembagaan kelompok tani dapat dilakukan melalui peningkatan kedinamisan dan
partisipasi anggota dalam kegiatan kelompok tani (Ruhimat, 2017).
KESIMPULAN
Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju mengelola
lahan gambut di sekitar kawasan HL Liang Anggang dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Pola pengelolaan lahan yang dilakukan adalah
monokultur, agroforestri, agrosilvopastur, apikultur, agrosilvofishery, dan revegetasi.
SARAN
Dukungan dan pendampingan intensif dari para pihak sangat diperlukan, sehingga
program HKm yang telah dimuat dalam RKU kelompok dapat dilaksanakan.
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Penulis Nor Ifansyah dan Junaidah sebagai kontributor utama pada karya ilmiah ini.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 13
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., Wahyunto, Daria’ah, A., Runtunuwu, E., Susanti, E., & Supriatna, W. (2012). Emission reduction options for peatlands in the Kubu Raya and Pontianak districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378–1387.
Agusti, T. M., Nurjaya, I. N., & Kuswahyono, I. (2019). Implementasi regulasi perhutanan sosial yang berkemanfaatan bagi masyarakat sekitar hutan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 4(2), 300–309. https://doi.org/10.17977/ um019v4i2p300-309
Agustina, L. S., Fauzi, H., & Hafizianor, H. (2020). Pemetaan sosial dan identifikasi pengelolaan lahan oleh masyarakat di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Kalimantan Selatan. Jurnal Sylva Scienteae, 3(2), 274–285. https://doi.org/10.20257/ 10.20527/jss.v6i3
Fahruni, F. (2015). Analisis pola agroforestri pada kebun petani. Daun, 2(1), 12–25.
Gunawan, H., & Afriyanti, D. (2019). Potensi perhutanan sosial dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam restorasi gambut. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13(2), 227–236. https://doi.org/10.22146/jik.52442
Handoyo, Irawanti, S., Surati, Ariawan, K., Setiadi, A., Mulyadin, & Charity, D. (2018). Regulasi perhutanan sosial di lahan gambut”antara political will dan realita”. Policy Brief 12 (4): 1 – 7.
Irma, W., Gunawan, T., & Suratman, S. (2018). Pengaruh konversi lahan gambut terhadap ketahanan lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera. Jurnal Ketahanan Nasional, 24(2), 170–191. https://doi.org/10.22146/jkn.36679
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perhutanan Sosial. , Pub. L. No.
1663. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 (2016).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perhutanan Sosial pada
Ekosistem Gambut. , Pub. L. No. 1341. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019
(2019).
KTH MPG. 2019. Rencana Kerja Usaha (RKU) Hutan Kemasyarakatan KTH MPG Suka Maju Periode 2019 sampai 2028.
Miettinen, J., Hooijer, A., Vernimmen, R., Liew, S. C., & Page, S. E. (2017). From carbon sink to carbon source: extensive peat oxidation in insular Southeast Asia since 1990. Environmental Research Letters, 12(2), 24014. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aa5b6f
Mayrowani, H. (2016). Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2), 83–98. https://doi.org/10.21082/fae.v29n2.2011.83-98
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 1-14, Agustus 2020 14
Mulyadin, R. M., Surati, S., & Ariawan, K. (2016). Kajian hutan kemasyarakatan sebagai sumber pendapatan: kasus di Kab. Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 13(1), 13–23. https://doi.org/10.20886/jsek.2016.13.1.13-23
Nandini, R. (2013). Evaluasi pengelolaan hutan kemasyarakatan (Hkm) pada hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Lombok. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(1), 43–55. https://doi.org/10.20886/jpht.2013.10.1.43-55
Noor, M., Nursyamsi, D., Alwi, M., & Fahmi, A. (2014). Prospek pertanian berkelanjutan di lahan gambut: dari petani ke peneliti dan peneliti ke petani. Jurnal Sumber Daya Lahan, 8(2), 69–79.
Osaki, M., Setiadi, B., Takahashi, H., & Evri, M. (2016). Peatland in Kalimantan. In Tropical Peatland Ecosystems (pp. 91–112). https://doi.org/10.1007/978-4-431-55681-7_6
Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), 798–818. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x
Ruhimat, I. S. (2017). Peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry: studi kasus di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 14(1), 1–17.
Ritung, S., Wahyunto, K., Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, & Tafakresnanto, C. (2011). Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Bogor, Indonesia: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Safe’i, R., Febryano, I. G., & Aminah, L. N. (2018). Pengaruh keberadaan gapoktan terhadap pendapatan petani dan perubahan tutupan lahan di hutan kemasyarakatan. Sosiohumaniora, 20(2), 109–114. https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora. v20i2.14349
Subarna, T. (2011). Faktor yang mempengaruhi masyarakat menggarap lahan di hutan lindung: studi kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 8(4), 265–275. https://doi.org/10.20886/jpsek.2011.8.4.265-275
Suratmo, Said, S., & Oki, G. (2013). Identifikasi okupasi lahan pada kawasan hutan lindung Pinang Luar Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari, 1(2).
Thornton, S. A., Page, S. E., Upton, C., & Harrison, M. E. (2018). Peatland fish of Sebangau, Borneo: diversity, monitoring and conservation. Mires & Peat, 22. https://doi.org/10.19189/MaP.2017.OMB.313
Wibowo, A. (2010). Konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada lahan gambut: implikasi perubahan iklim dan kebijakan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 7(4), 251–260. https://doi.org/10.20886/jpsek.2010.7.4.251-260
Wösten, J. H. M., Clymans, E., Page, S. E., Rieley, J. O., & Limin, S. H. (2008). Peat–water Interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, 73(2), 212–224. https://doi.org/10.1016/j.catena.2007.07.010
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 12-12-2019 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.15-26
KERAGAMAN SPORA MIKORIZA ARBUSKULA DI BAWAH TANAMAN Shorea balangeran (Korth.) Burck. SEBAGAI BIOINDIKATOR KEBERHASILAN
REVEGETASI
Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success
Tri Wira Yuwati1* dan Wanda Septiana Putri2
1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A.Yani km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan,
Telepon/Fax: 0511-4707872 2 Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat
*Email: yuwatitriwira@gmail.com
ABSTRAK
Mikoriza arbuskula adalah suatu asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Mikoriza arbuskula memiliki banyak fungsi seperti meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan penyerapan hara tanah, dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi ekstrim. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa adalah hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah yang terbakar habis pada tahun 2015. Program rehabilitasi lahan gambut telah dimulai sejak tahun 2016 dengan penanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula di bawah pohon S. balangeran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur tanaman S. balangeran dan jumlah spora. Lebih lanjut, terdapat 4 spora mikoriza arbuskula yang teridentifikasi, yaitu Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp.
Kata kunci: mikoriza arbuskula, Kalimantan Tengah, hutan rawa gambut, Shorea balangeran, spora
ABSTRACT
Arbuscular mycorrhiza is an association between fungi and plantroots. Arbuscular mycorrhiza has many functions such as improving the plant’s growth, increasing the absorption of soil nutrients and enhancing the plants tolerant to extreme condition. Tumbang Nusa Forest for Specific Purpose is a peat swamp forests in Central Kalimantan that was severely burnt in 2015. Peat land rehabilitation program has started since 2016, by Shorea balangeran (Korth.) Burck planting. The aim of this research was to determine the diversity of arbuscular mycorrhiza spores under S. balangeran tree. The results showed that there was relationship between the age of S. balangeran and number of spores. Moreover, there were 4 spores of arbuscular mycorrhiza identified as Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp. and Scutellospora sp.
Keywords: arbuscular mycorrhiza, Central Kalimantan, Shorea balangeran, peat swamp forest, spores
PENDAHULUAN
Kebakaran besar yang terjadi pada hutan di Indonesia, khususnya pada hutan rawa
gambut di Kalimantan Tengah telah membawa dampak kerugian yang amat besar salah
satunya adalah kehilangan keanekaragaman hayati seperti flora, fauna, dan
mikroorganisme, terutama fungi mikoriza arbuskula. Fungi mikoriza arbuskula
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 16
merupakan simbion tertua yang berhasil dikenali oleh para peneliti. Umur simbion ini
diperkirakan berkisar 600 juta–1 miliar tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan
umur tanaman monokotil dan dikotil (200 juta tahun) ataupun jenis simbion lainnya
(Smith & Read, 2008).
Menurut Nusantara, Bertham & Mansur, (2012) fungi mikoriza arbuskula memiliki
kelas tersendiri, yaitu Glomeromycota yang memiliki ciri berbeda dibandingkan dengan
kerabat dekatnya, yaitu Ascomycota, Basidiomycota atau kelas fungi lainnya. Berdasarkan
kajian biomolekuler dapat diketahui bahwa fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki
empat ordo (Glomerales, Diversiporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 famili,
dan 17 genus. Lebih lanjut, Nusantara et al. (2012) menyatakan bahwa fungi mikoriza
arbuskula memiliki empat peran fungsional yang penting bagi ekosistem, antara lain:
1. Bioprosesor yang dapat bertindak sebagai pompa hidup bagi tanaman karena mampu
membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dan air yang tidak terjangkau oleh
rambut akar.
2. Bioprotektor atau perisai hidup bagi tanaman karena mampu melindungi tanaman dari
cekaman biotik (pathogen, hama, dan gulma) dan cekaman abiotik (suhu, lengas,
kepadatan tanah, dan logam berat).
3. Bioaktivator karena terbukti mampu membantu meningkatkan penyimpanan karbon di
rhizosfer sehingga aktivitas jasad remik meningkat untuk menjalankan proses
biogeokimia.
4. Bioagregator karena teruji mampu meningkatkan agregasi tanah.
FMA mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas
tanaman di lahan marjinal dan dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Mikoriza tidak
hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tetapi juga pada lahan tergenang.
Hingga pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah
berbahaya, fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya. Salah satu bentuk
lingkungan yang mencerminkan keadaan demikian dapat ditemui pada tipe tanah Histosol
atau yang lebih umum disebut tanah gambut (Hermawan, Muin & Wulandari, 2015).
Menurut Suharno, Sancayaningsih, Soeharto & Kasiamdari, (2014) mekanisme fungi
mikoriza arbuskula dalam meningkatkan produktivitas tanaman adalah dengan
meningkatkan kesuburan tanaman pada kondisi tanah dengan tingkat kesuburan rendah.
Hifa fungi mikoriza arbuskula berfungsi sebagai perluasan sistem perakaran dalam
memperoleh nutrisi. Selain itu, fungi mikoriza arbuskula juga dapat meningkatkan
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 17
ketahanan suatu tanaman terhadap cekaman baik secara abiotik maupun biotik serta
dapat membantu tanaman dalam mempertahankan stabilitasnya pada kondisi lingkungan
tercemar. Penelitian tentang keanekaragaman mikroba, khususnya FMA di lahan rawa
gambut pasca terbakar telah dilaporkan oleh Yuwati (2003), Yuwati et al., (2017),
Hermawan et al. (2015), Yuwati & Hakim (2018), Yuwati, Rahmi, Hakim & Badruzsaufari
(2020). Yuwati (2003) melakukan isolasi spora FMA pada lahan gambut bekas terbakar
dan menemukan bahwa Glomus adalah genus spora terbanyak yang ditemui di lapangan.
Yuwati et al. (2017) juga melakukan isolasi spora pada tipe tapak yang berbeda, yaitu
pakis, pioneer, dan klimaks di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang
Nusa dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Selain menemukan bahwa
Glomus dan Gigaspora adalah jenis yang mendominasi, penelitian ini juga menekankan
pentingnya pengaruh dari revegetasi terhadap keanekaragaman hayati mikroba. Terdapat
penurunan jumlah spora seiring dengan menurunnya kerapatan vegetasi. Tapak dengan
dominasi jenis klimaks memiliki jumlah spora tertinggi dan tapak dengan vegetasi pakis
memiliki jumlah spora terendah.
Penelitian Turjaman et al. (2011) mengkonfirmasi bahwa jamur ektomikoriza
secara signifikan dapat meningkatkan pertumbuhan Shorea. balangeran (Korth.) Burck.
yang ditanam di lahan gambut terdegradasi. Lebih lanjut, Graham, Turjaman & Page
(2013) juga mengkonfirmasi pengaruh dari mikoriza arbuskula pada S. balangeran yang
ditanam di lapangan. Salah satu usaha revegetasi di lahan hutan rawa gambut
pascaterbakar tahun 2015 di KHDTK Tumbang Nusa Kalimantan Tengah adalah
melakukan penanaman belangeran (S. balangeran) mulai bulan Februari tahun 2016
dengan program RePeat (Rehabilitation of Peatland) (Purwanto & Ariani, 2020). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keragaman spora mikoriza arbuskula pada tanaman
belangeran setelah kegiatan rehabilitasi hutan rawa gambut pasca terbakar.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan di bawah tegakan belangeran yang ditanam
pada Februari 2016 (belangeran 01), Maret 2016 (belangeran 02), April 2016 (belangeran
03), Agustus 2016 (belangeran 04), Desember 2016 (belangeran 05), dan Januari 2017
(belangeran 06). Pada tiap tegakan belangeran diambil sampel tanah di 5 titik kemudian
dilakukan pencampuran tanah supaya homogen (dikompositkan) dan diambil 1 kg tanah.
Secara keseluruhan terdapat 6 sampel tanah yang mewakili tiap tegakan belangeran.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 18
Prosedur wet sieving (penyaringan basah)
Metode yang digunakan adalah wet sieving (penyaringan basah), yaitu metode
menyaring spora dengan penyaring bertingkat dengan ukuran mesh masing–masing 710,
250, 125, 75, dan 63µm (Brundrett et al., 1996). Sampel tanah masing–masing ditimbang
sebanyak 100 gram, lalu dihomogenkan. Kemudian sebanyak 100 gram sampel dari hasil
homogen diambil dan dimasukkan ke gelas beker (1.000 mL) dengan ditambahkan air
hingga 1.000 mL. Kemudian diaduk dan dituang secara menyebar di test sieve (penyaring)
dengan ukuran 710, 250, 125, 75, dan 63 µm yang sudah disusun secara berurutan untuk
penyaringan sampel tanah. Partikel tanah yang tersaring dimasukkan ke dalam wadah
atau gelas plastik kemudian diberi label.
Prosedur kerja isolasi spora fungi mikoriza arbuskula (FMA)
Sampel yang berada di dalam wadah plastik atau gelas plastik diambil secukupnya
dan dituang ke dalam cawan petri kemudian diletakkan di bawah mikroskop stereo dan
diamati. Jika terdapat spora FMA, maka FMA tersebut diambil menggunakan mikropipet
lalu diletakkan pada cawan petri berdasarkan warna dari spora, yaitu merah kecokelatan,
cokelat kekuningan, cokelat kehitaman, kuning kehitaman, dan merah kehitaman. Spora
FMA berdasarkan warna (kuning, merah, coklat, coklat muda, dan coklat kehitaman) dan
dihitung jumlahnya.
Prosedur identifikasi morfologi spora mikoriza arbuskula (FMA)
Spora FMA yang sudah diisolasi berdasarkan warna dan ukuran masuk ke dalam
tahap berikutnya, yaitu tahap identifikasi spora. Menurut Hermawan et al., (2015) untuk
mengetahui karakteristik spora FMA dapat menggunakan larutan Polyvinil Alcohol Lactic
Acid Glycerol (PVLG) dan larutan Melzer. Spora FMA diletakkan di kaca objek dan masing-
masing ditetesi larutan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengamatan terhadap perubahan
yang terjadi di antara spora FMA yang sudah ditetesi tersebut. Beberapa karakteristik jenis
spora yang diamati dalam tahapan identifikasi meliputi bentuk spora, warna spora,
dinding spora, lekatan tangkai hifa, dan tekstur permukaan spora. Untuk mengetahui hasil
dari reaksi menggunakan larutan Melzer, terdapat acuan hasil yang dijadikan patokan.
Menurut Nusantara et al., (2012) ciri-ciri dari enam genus spora di atas adalah sebagai
berikut.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 19
Glomus
Spora Glomus terbentuk dari pembengkakan ujung hifa hingga mencapai batas
maksimumnya. Ujung hifa yang menggembung itu kemudian akan terlepas dan kemudian
berubah menjadi spora. Spora yang berasal dari perkembangan hifa disebut dengan
klamidospora. Hifa dari Glomus tidak jarang memiliki percabangan dan dari setiap cabang
akan membentuk klamidospora. Klamidospora yang mengumpul menjadi satu akan
membentuk tandan spora (sporocarp). Ukuran dari spora Glomus berkisar antara 50–100
µm. Spora berbentuk bulat dan berjumlah banyak. Jumlah spesies yang berhasil dikenali
dari genus Glomus kurang lebih sebanyak 180 spesies. Spora Glomus memiliki dinding yang
berlapis-lapis dan tidak bereaksi terhadap larutan Melzer. Walaupun spora memiliki
dudukan hifa (substending hyphae) lurus, akan tetapi tidak memiliki ornamen. Warna
spora adalah bening, hialin (transparan), putih, kuning, dan coklat.
Gigaspora
Gigaspora memiliki ukuran spora berkisar dari 100–250 µm. Genus ini memiliki
lapisan dinding spora tipis (± 2 lapisan) dan bereaksi secara menyeluruh dengan larutan
Melzer. Gigaspora tidak memiliki ornamen namun hifa mampu membentuk bulbous
suspensor (dudukan hifa yang membulat). Gigaspora memiliki auxiliary cell yang dapat
dikatakan sebagai perwujudan vesikula eksternal. Warna dari Gigaspora didominasi
kuning cerah.
Scutellospora
Ukuran dari spora Scutellospora berkisar antara 100–250 µm. Scutellospora memiliki
lapisan dinding spora yang tipis (± 2 lapisan) dan bereaksi dengan larutan Melzer secara
menyeluruh. Spora dari Scutellospora memiliki ornamen berupa germination shield dan
hifa mampu membentuk bulbous suspensor atau dudukan hifa yang membulat. Sama
dengan Gigaspora, Scutellospora juga memiliki sel auksilari yang merupakan perwujudan
dari vesikula eksternal. Warna spora didominasi warna merah coklat.
Acaulospora
Ukuran dari spora Acaulospora berkisar antara 100–200 µm. Lapisan luar
Acaulospora tidak bereaksi dengan larutan Melzer, akan tetapi lapisan dalam bereaksi
dengan larutan Melzer (warna lebih gelap-merah keunguan). Spora dari Acaulospora
memiliki berbagai ornamen. Warna spora didominasi warna merah. Genus ini memiliki
satu cicatrix (parut) sebagai tanda.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 20
Entrophospora
Ukuran dari spora Entrophospora berkisar antara 100–200 µm. Entrophospora
memiliki lapisan dinding spora luar dan dalam. Warna spora didominasi warna kuning
coklat. Genus ini memiliki dua buah cicatrix sebagai tanda.
Sclerocycstis
Spora genus ini memiliki tandan spora (sporocarp) juga memiliki ukuran yang sama
dengan Acaulospora. Lapisan dinding Sclerocystis menggerombol dan tidak bereaksi
dengan larutan Melzer. Spora ini juga memiliki ornamen dua macam yaitu yang berlapis
dan tidak berlapis. Lapisan dinding dalam bereaksi dengan larutan Melzer (warna gelap-
keunguan). Spora memiliki warna dominan merah dan memiliki satu cicatrix sebagai
tanda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jumlah spora FMA pada berbagai sampel disajikan pada Tabel 1. yang
memperlihatkan jumlah total spora FMA terbanyak diperoleh dari bawah tegakan
belangeran 01 (tahun tanam Februari 2016) dan terendah diperoleh dari bawah tegakan
belangeran 05 (tahun tanam Desember2016). Identifikasi spora FMA di bawah tegakan
belangeran diperoleh 4 jenis genus spora FMA, yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan
Scutellospora (Tabel 2).
Tabel 1. Jumlah spora FMA yang tertampung pada berbagai ukuran tapisan (mesh) beserta warna dominan spora.
Sampel
Total Spora FMA Warna Dominan
Spora FMA 250 µm
125 µm
75 µm
63 µm
Jumlah Total Spora FMA
Belangeran 01 73 301 566 330 1.270 Merah kecoklatan, merah
Belangeran 02 113 205 364 243 925 Merah, kuning kecoklatan
Belangeran 03 105 115 461 219 900 Merah, coklat kehitaman
Belangeran 04 44 175 305 225 749 Merah kecoklatan
Belangeran 05 63 123 209 171 566 Coklat kehitaman
Belangeran 06 97 157 303 194 751 Merah, kuning kecoklatan
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 21
Tabel 2. Identifikasi FMA di bawah tegakan belangeran dengan menggunakan reagen Melzer.
Warna Spora Awal
Warna Spora Setelah Ditetesi
Reagen Melzer
Reaksi Reagen Melzer
Karakteristik Spora Nama Genus
Spora
Coklat kekuningan
Coklat kekuningan
- - Ukuran spora 50-100 µm
- Bentuk spora oval
- Lapisan dinding spora berlapis-lapis (2 lapisan)
Glomus
Kuning gelap Kuning cerah + - Ukuran spora 100-250 µm
- Bentuk spora bulat
- Lapisan dinding spora tipis (2 lapisan)
Gigaspora
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
- - Ukuran spora 50-100 µm
- Bentuk spora bulat
- Lapisan dinding spora berlapis-lapis (3 lapisan)
Acaulospora
Merah kecoklatan
Merah kecoklatan
+ - Ukuran spora 100-250 µm
- Bentuk spora bulat
- Lapisan dinding spora tipis (2 lapisan)
Scutellospora
Hasil identifikasi spora FMA di bawah tegakan belangeran sebelum dan setelah
ditetesi larutan Melzer disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Gambar spora FMA di bawah tegakan belangeran sebelum dan setelah ditetesi larutan Melzer.
Sebelum Ditetesi Setelah Ditetesi Nama Genus Spora
Glomus
(coklat kekuningan) (coklat kekuningan)
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 22
Sebelum Ditetesi Setelah Ditetesi Nama Genus Spora
Gigaspora
(kuning kehitaman) (kuning cerah)
Acaulospora
(coklat kehitaman) (coklat kehitaman)
Scutellospora
(merah kecoklatan) (merah kecoklatan terang)
Pembahasan
Bentuk simbiosis FMA tedapat pada hampir semua jenis tanaman. FMA dapat
ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang
yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi sangat beragam dan dipengaruhi oleh
karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah,
kandungan fosfor, dan nitrogen. Dengan demikian, setiap ekosistem mempunyai
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 23
kemungkinan dapat mengandung FMA dengan jenis yang sama atau bisa juga berbeda
karena keanekaragaman dan penyebaran FMA sangat bervariasi sebagai akibat adanya
kondisi lingkungan yang bervariasi (Nursanti, Tamin & Hamzah, 2012).
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1.) terdapat peningkatan spora FMA di bawah
tegakan balangeran 01 dan 02. Lokasi pengambilan tanah belangeran 01 dan 02
merupakan areal RePeat KHDTK Tumbang Nusa yang ditanami tanaman belangeran
sekitar bulan Februari hingga Maret 2016. Rata-rata spora FMA dengan kelimpahan yang
tinggi banyak ditemukan pada penyaringan 75 hingga 63 µm. Sampel tanah diambil pada
kedalaman berkisar 0–20 cm. Menurut Hermawan et al., (2015) spora FMA sampai
kedalaman tanah gambut 100 cm masih ditemukan. Hal tersebut dipengaruhi oleh
penyebaran akar tanaman yang mampu menerobos kelapisan bawah tanah gambut. Selain
itu, menurut Caris et al., (1998) hifa mikoriza dapat menjangkau matriks tanah yang tidak
terjangkau akar tanaman dan melalui hifanya hara dapat ditransfer ke dalam tanaman.
Mikoriza banyak ditemukan di belangeran 01, dimana akar tanaman ini sudah mampu
menerobos lapisan tanah gambut dibandingkan belangeran 06, yaitu belangeran yang
ditanam di bulan Februari 2017. Dari keragaman spora yang meningkat sesuai dengan
peningkatan umur tanaman, maka keragaman spora mikoriza arbuskula ini dapat
dijadikan bioindikator keberhasilan kegiatan revegetasi.
Pada penelitian yang dilakukan Hermawan et al., (2015) apabila mikoriza itu sendiri
mengalami tekanan pada lingkungannya, maka akan cenderung membentuk alat
reproduksi (spora) lebih banyak. Faktor yang mempengaruhi proses asosiasi cendawan
mikoriza adalah jumlah karbohidrat yang dapat dikirim oleh tanaman inangnya kepada
cendawan. Asosiasi akan terjadi secara sempurna, jika karbohidrat yang diterima oleh
cendawan dapat dipergunakan secara maksimal untuk perkembangan cendawan itu
sendiri. Oleh karena itu, tanaman yang berasosiasi dengan cendawan mikoriza harus
mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan karbohidrat dengan
konsentrasi yang tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik spora diketahui bahwa terdapat empat
genus yang ditemukan pada lokasi, yaitu Glomus, Gigaspora, Scutellospora, dan
Acaulospora. Dari keempat genus tersebut yang paling banyak ditemukan adalah Glomus.
Hal ini menunjukan bahwa genus Glomus memiliki tingkat penyebaran dan adaptasi yang
tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim dibandingkan dengan jenis lainnya. Genus Glomus
memiliki kemampuan simbiosis dan kemampuan adaptasi yang lebih luas terhadap kondisi
setempat (Yuwati & Hakim, 2018). Glomus merupakan genus dari mikoriza selain
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 24
Gigaspora yang mampu bertahan hidup, dimana Glomus toleran terhadap lingkungan yang
ekstrim. Hasil pengukuran pH tanah gambut pada lokasi tersebut relatif rendah (asam),
yaitu 3,65.
Penelitian Hermawan et al. (2015) menyebutkan bahwa Glomus adalah jenis FMA
yang paling dominan penyebarannya, yaitu 25 spesies dari 37 spesies yang ditemukan
adalah tipe Glomus. Pada penelitian ini, spora Glomus ditemukan hampir di semua lokasi
pengambilan sampel tanah. Hermawan et al. (2015) menyebutkan proses perkembangan
spora genus Glomus adalah melalui ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal
dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa, maka disebut
chlamydospora, kadang hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora
dan membentuk sporocarp. Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh
sebuah sekat, spora berbentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid dengan dinding
spora terdiri atas lebih dari satu lapis. Spora Glomus yang berwarna kuning kecoklatan,
coklat kekuningan, coklat tua, kuning bening, dan hialin, permukaan dinding spora relatif
halus, dan memiliki dinding spora yang tebal.
Genus Gigaspora ditemukan di beberapa sampel tanah. Spora Gigaspora terbentuk
dari ujung hifa yang membulat (bulbous suspensor), selanjutnya muncul bulatan kecil yang
semakin membesar mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora (Budi et al.,
2011). Gigaspora tidak memiliki dinding perkecambahan fleksibel yang dibentuk (inner
wall), dan suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora. Karakteristik yang
khas adalah adanya bulbous suspensor tanpa germination shield. Selain itu, spora Gigaspora
dihasilkan secara tunggal di dalam tanah. Ukurannya besar, bentuk globos atau subglobos,
spora tidak mempunyai lapisan dinding dalam, tabung kecambah dihasilkan secara
langsung dari dinding spora, sel pelengkap berduri dan berdinding tipis (INVAM, 2018).
Spora Gigaspora yang ditemukan pada penelitian ini memiliki karakteristik terdapat
bulbus suspensor dan ada juga yang bulbus suspensor-nya tidak ada atau sudah terlepas,
bentuk spora ada yang bulat dan bulat agak lonjong. Lapisan dinding sporanya tipis
beraturan dan ada yang tidak beraturan, dan spora berwarna kuning kecoklatan, coklat
kehitaman, coklat kekuningan dan kuning kehijauan.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 25
KESIMPULAN
Revegetasi berpengaruh terhadap keragaman spora mikoriza arbuskula. Semakin
tua umur tegakan belangeran, maka semakin tinggi keragaman spora mikoriza
arbuskulanya. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman spora mikoriza arbuskula dapat
dipakai sebagai bioindikator keberhasilan revegetasi. Terdapat empat genus spora FMA
yang ditemukan dari bawah tegakan belangeran, yaitu genus Glomus, Gigaspora,
Scutellospora, dan Acaulospora.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan Restorasi Gambut yang telah
mendanai penelitian ini.
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri berkontribusi dalam pengambilan data,
analisis data, dan penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brundrett, M. C,. N. Bougher,. B. Dells,., T. Grove., & N. Malajozuk. (1996). Working with mycorrhizas in forestry and agriculture Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.
Budi, H., Gulamadi,M., Darusman L.K., Aziz S. A. & Mansur. I. ( 2011). Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. Jurnal Litri. 17 (1): 32-40.
Caris.C., Hordt, W., Hawkins, H.J. , Rombled, V., & George, E. (1998). Study of Iron transport by arbuscular mycorrizal hyphae from soil to peanut and soybean plant. Mycorriza, United State.
Graham L.L.B, Turjaman M & Page S.E. (2013) Shorea balangeran and Dyera polyphylla (syn. Dyera lowii) as tropical peat swamp forest restoration transplant species: effects of mycorrhizae and level of disturbance. Wetland Ecology and Management 21 DOI 10.1007/s11273-013-9302-x
Hermawan, H., Muin., A. & Wulandari, R. S. (2015). Kelimpahan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tegakan Ekaliptus (Eucalyptus pellita) berdasarkan Tingkat Kedalaman di Lahan Gambut. Jurnah Hutan Lestari.. 3(1) : 124-132
INVAM. 2018. International culture collection of (vesicular) arbuscularmycorrhizalfungi.Tersedia:http://invam.caf.wvu.edu/Mycoinfo/Taxonomy/clas sification.htm. [30 Oktober 2018]
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 26
Nursanti, R., Tamin P. & Hamzah. 2012. Identifikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA) di hutan lindung mangrove pangkal babu kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 14 (2): l. 29-34.
Nusantara, A. D., Bertham.,Y. H. & Mansur, I. (2012). Bekerja dengan Fungi Mikoriza
Arbuskula. Seameo Biotrop, Bogor.
Purwanto, B.S. & Ariani, R. (2020). Penampilan Tanaman Belangeran untuk Restorasi
Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah Volume 5
Nomor 3 Halaman 122-125( p-ISSN 2623–1611; e-ISSN 2623-1980)
Smith, E.S and Read, D. J. (2008). Mycorrhizal symbiosis : Third ed. Academic Press, USA.
Suharno., R. P. Sancayaningsih., E. S. Soeharto, S. & Kasiamdari, R. S.( 2014). Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula di Kawasan Tailing Tambang Emas Timika sebagai Upaya Rehabilitasi Lahan Ramah Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 21(3) : 295- 303.
Turjaman M., Santoso E., Susanto A., Gaman S., Limin SH, Tamai Y., Osaki M & Tawaraya K. (2011) Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forest. Wetland Ecology and Management 19: 331-339
Yuwati, T.W. (2003). Keberadaan mikoriza asli setempat pada hutan rawa gambut paska
kebakaran, Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Buletin Tekno Hutan Tanaman 1
(1) Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur,
Banjarbaru.
Yuwati, T. W. & Hakim, S. S. (2018). Status Asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Akar Tanaman Sengon (Falcataria moluccana) Di Lahan Gambut Dangkal Liang Anggang Kalimantan Selatan. Galam. 4(2): 35-42.
Yuwati, T.W., Hakim, S.S., Alimah, D., Hermawan, B. & Musthofa, A. A. (2017).
Keanekaragaman spora mikoriza arbuskula di hutan rawa gambut Kalimantan
Tengah, dalam Diana, R., Sulistioadi, YB., Karyati, Sarminah, R., Widiati, K.Y.,
Kuspradini, H., Sari, D.R., Mulyadi, R. (eds). Prosiding Seminar Nasional Silvikultur
IV, Balikpapan 19–20 Juli 2019, ISBN: 978-602-61183-1-8, 487-492.
Yuwati, T.W., Rahmi, A.N.R., Hakim, S.S. and Badruzsaufari. (2020). The Abundance of Arbuscular Mycorrhiza Infective Propagules Under Galam Stand at Shallow Peat of South Kalimantan. BIO Web of Conferences 20, 03008 (2020). https;//doi.org/101051/bioconf/200202003008
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 12-09-2018 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.27-40
FLUKTUASI TINGGI MUKA AIR LAHAN GAMBUT DI DESA TUMBANG NUSA, KALIMANTAN TENGAH
The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan
Purwanto Budi Santosa1*, Muhammad Abdul Qirom2
1,2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Telepon/Fax.: (+62)511 4707872 *E-mail : pur_balitaman@yahoo.com
ABSTRAK
Restorasi lahan gambut pasca terbakar dengan penanaman memerlukan kondisi hidrologi yang mantap untuk kemapanan pembuatan tanaman. Fluktuasi tinggi air menjadi tantangan dalam upaya penanaman pada lahan gambut terdegradasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui tinggi muka air pada lahan gambut terdegradasi dan pasca terbakar di sekitar Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan, tinggi muka air, dan elevasi lahan. Pengamatan tinggi muka air pada beberapa kejadian kebakaran besar saat terjadi tahun 1997, 2003, 2006, dan 2009. Tinggi muka air diamati dari tepi sungai sampai dengan hutan sekunder sebanyak 17 titik sepanjang 4 km dengan selang jarak 250 m. Tingkat penutupan dan kondisi vegetasi sekitar bervariasi dari vegetasi berkayu jarang dan terbuka sampai dengan kondisi areal yang didominasi tumbuhan berkayu dengan penutupan kanopi baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi muka air tersebut sangat terkait dengan elevasi suatu tempat dan jarak dari saluran air. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan curah hujan yang terjadi. Namun pengaruh curah hujan tersebut tidak secara langsung tetapi terdapat jeda waktu tertentu sehingga tinggi muka air tersebut menjadi turun atau naik. Kondisi ini harus menjadi perhatian dalam rangka rehabilitasi lahan melalui penentuan jenis tanaman yang tepat dan waktu tanaman sehingga bibit yang ditanam tersebut dapat tumbuh secara optimal.
Kata kunci: hidrologi, penanaman, restorasi, terbakar
ABSTRACT
Burnt peatland restoration by planting needs stable hydrological condition for the plant’s growth. Water table fluctuation becoming a challenge in the planting effort on degraded peatland. This research aims to determine the water table on degraded peatland and over burnt peat at Tumbang Nusa Forest for Specific Purposes, Pulang Pisau District, Central Kalimantan Province. The data was analyzed to determine the relationship between precipitation characteristics, water table and land elevation. Water table observation was carried out on several fires starting 1997, 2003, 2006 and 2009. We observed 17 points of water table of the total length of 4 km and 250 m distance between points, started from the river edge up to secondary forests. The level of vegetation cover and condition varied from woody plants with low density and open crown up to woody plants with good canopy cover. The result showed that the water table was closely related with the elevation and distance from canal. The fluctuation was closely related with precipitation. Nevertheless, the rainfall did not directly relate but there was a certain interlude period so that the water table was rising or decreasing. This condition shall be considered in the land rehabilitation by planning the right plant in the right time so that the plants can reach optimum growth.
Keywords: hydrology, planting, restoration, burnt
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 28
PENDAHULUAN
Hutan rawa gambut (HRG) Asia Tenggara merupakan lahan gambut tropika terluas
di dunia (Page, Rieley, & Banks, 2011). HRG tersebut seluas 246.974 km2 dan sebagian
besar berada di Indonesia dengan luas 206,950 km2 (Page et al., 2011). HRG di Indonesia
tersebar di tiga pula besar yakni Kalimantan (25,6%), Sumatera (30,8%), dan Papua
(33,5%) (Hooijer et al., 2010; Posa, Wijedasa, & Corlett, 2011; Ritung et al., 2011).
Kawasan HRG yang luas tersebut sangat potensial dalam penyerapan karbon (Cattau et al.,
2016; Hooijer et al., 2010), habitat berbagai macam flora dan fauna (Mirmanto, 2010; Posa
et al., 2011), dan pengatur tata air (Wosten et al., 2008).
Saat ini, kondisi HRG Indonesia mengalami degradasi lahan yang cukup parah.
Degradasi tersebut mencapai lebih dari 12,9 MHa. Sumatera dan Kalimantan sebagai pulau
dengan tingkat degradasi lahan gambut terluas (Hooijer et al., 2010; Uda, Hein, & Sumarga,
2017). Degradasi lahan tersebut disebabkan oleh kebakaran, deforestasi, dan drainase
yang berlebihan (Hirano, Kusin, Limin, & Osaki, 2014) serta konversi lahan (Posa et al.,
2011). Menurut Burhanuddin, Kabirun, Radjagukguk, & Sumardi, (2011) pembuatan kanal
eks-PLG dengan total panjang 2.008,7 km dan berbagai ukuran lebar serta kedalaman
menyebabkan kerusakan status hidrologi secara drastis seperti terjadi pengatusan air di
lahan gambut berlebihan serta rendahnya retensi air dan tinggi muka air tanah (TMA).
Degradasi tersebut menyebabkan perubahan karakteristik ekosistem lahan gambut
sehingga lahan gambut tidak berfungsi secara optimal terutama fungsi ekologis sebagai
pengatur tata air (Limin, et al., , 2000).
TMA sebagai faktor yang penting dalam pengelolaan lahan gambut baik lahan
gambut yang baik maupun lahan gambut terdegradasi. Menurut Badan Restorasi Gambut
(BRG), (2016) pemulihan lahan gambut harus memenuhi tiga prinsip restorasi yakni
pembasahan (rewetting), penanaman (revegetation), dan revitalisasi mata pencaharian
masyarakat (revitalization). Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan kondisi lahan gambut
terdegradasi. Hal ini karena lahan gambut mengalami perubahan kondisi mikrotopografi
(Lampela et al., 2016), miskin permudaan (Blackham, Webb, & Corlett, 2014), perubahan
sifat gambut baik fisika dan kimia tanah (Sinclair et al., 2020), perubahan fluktuasi air
pada dua musim yang berbeda (Lampela, Jauhiainen, Sarkkola, & Vasander, 2018), dan
perubahan suhu pada permukaan gambut (Lampela, Jauhiainen, Sarkkola, & Vasander,
2017).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 29
Informasi TMA dalam pengelolaan dan restorasi lahan gambut dalam suatu kawasan
sangat diperlukan. Kondisi ini karena adanya interaksi keberhasilan penanaman dengan
fluktuasi TMA (Lampela et al., 2017). Berdasarkan data BRG, sebagian besar lahan gambut
mengalami kerusakan (79%) dan 21% dalam kondisi terkelola dengan baik (Badan
Restorasi Gambut (BRG), 2016a). Pada kondisi tersebut, lahan gambut cenderung kering
dan TMA di bawah permukaan tanah pada musim kemarau (Lampela et al., 2018).
Monitoring dan pendataan tinggi muka air sangat penting dilakukan karena prinsip
restorasi adalah menjaga agar gambut selalu tetap dalam kondisi basah (Sulaiman, Sari, &
Saad, 2017). Informasi TMA akan memberikan gambaran kondisi lahan dan sebagai bahan
perencanaan rehabilitasi restorasi. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dinamika
fluktuasi tinggi muka air pada lahan gambut yang pernah terbakar di Desa Tumbang Nusa,
Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan lokasi penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September tahun
2013. Lokasi penelitian terletak di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi
Kalimantan Tengah, termasuk di dalam wilayah DAS Kahayan. Secara geografis areal ini
terletak pada 3027’ s/d 3059 LS dan 11302’36” s/d 114044’00” BT. Berdasarkan letak
dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), areal ini terletak pada sub-KHG 4 yaitu di
antara sungai Kahayan dan sungai Sebangau (Dohong et al., 2017).
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan adalah areal lahan rawa gambut bekas terbakar dengan
ketebalan 4 - 7 meter. Tingkat kematangan gambut adalah fibrik. Secara umum kondisi
vegetasi terbuka yang didominasi jenis-jenis kelakai (Stenoclaea sp.), pakis-pakis
(Nephrolepsis sp.), sedangkan vegetasi berkayu jenis pioner yang dijumpai yaitu Tanah-
tanah (Combretocarpus rotundatus), Gerunggang (Crotoxylum glaucum), dan Terentang
(Campnosperma spp.). Alat yang digunakan antara lain pipa paralon berdiameter 2,5 inchi,
panjang ± 2 meter, cat semprot, altimeter, kompas, pita meteran dan alat tulis. Data
pendukung lain yang diperlukan adalah data curah hujan.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 30
Metode Penelitian
Pengukuran tinggi muka air gambut.
Pemasangan pipa paralon diameter 2,5 inchi dan panjang ± 2 meter ditancapkan
pada titik-titik yang telah ditentukan. Titik pengamatan dimulai dari tepi Sungai Kahayan
dari kondisi areal yang terbuka sampai ke dalam hutan sekunder atau Log Over Area (LOA)
sejauh 4 km dengan selang jarak 250 m. Pengukuran tinggi muka air dilakukan dari
permukaan gambut dengan cara mengukur menggunakan pita meter permukaan air di
dalam paralon. Jika posisi permukaan air di bawah permukaan gambut, dicatat sebagai
tanda negatif (-) dan jika permukaan air berada diatas permukaan gambut atau kondisi
tergenang dicatat sebagai tanda plus (+). Pengukuran tinggi muka air dilakukan pada
bulan Maret, Mei dan Juli tahun 2013.
Data curah hujan
Curah hujan diukur menggunakan penakar hujan otomatis. Pendataan curah hujan
dilakukan setiap hari dimulai pada bulan Januari-Desember 2013.
Analisis data
Data dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Analisis ini digunakan untuk
mendapatkan bentuk hubungan antara curah hujan dengan tinggi muka air tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik curah hujan
Karakteristik curah hujan di lokasi penelitian digambarkan berdasarkan analisis
data dari stasiun pengamat hujan di Palangkaraya tahun 1999-2000. Curah hujan berkisar
antara 89-343 mm/bulan dengan periode bulan basah (CH > 100 mm) terjadi pada bulan
September-Juni, sedangkan periode bulan kering pada bulan Juli-Agustus. Berdasarkan
data curah hujan pada saat dilakukan penelitian, yaitu pada bulan Maret-September 2013
diketahui bahwa curah hujan yang terjadi berada dibawah hasil analisis historis seperti
pada Gambar 1. Berdasarkan data curah hujan selama tahun 2013, musim hujan terjadi
bulan November-Juli dengan puncak hujan terjadi pada bulan Februari dengan curah
hujan sebesar 142,4 mm, sedangkan musim kemarau terjadi pada Agustus-Oktober
dengan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus. Jika dibandingkan curah
hujan tahun 2013 dengan rata-rata curah hujan, terdapat pergeseran pola hujan dimana
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 31
musim hujan mundur 2 bulan yaitu terjadi bulan November sedangkan rata-rata terjadi
pada bulan September. Musim kemarau pada tahun 2013 terjadi selama 3 bulan dan
mundur 1 bulan dibandingkan dengan rataan curah hujan (Gambar 1).
Gambar 1. Perbandingan curah hujan pada saat penelitian dibanding rata-rata curah hujan.
Distribusi jumlah hari hujan pada tahun 2013 rata-rata adalah 18 hari hujan/bulan.
Jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Desember 2013 sebanyak 26 hari
hujan, sedangkan pada bulan September paling sedikit, yaitu hanya 8 hari/bulan
(Gambar 2).
Gambar 2. Jumlah hari hujan di lokasi penelitian tahun 2013.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Jan Feb Mar April Mei Juni Jul Agt Sep Okt Nop Des
cura
h h
uja
n (
mm
)
CH 1998-2000 CH Tb.Nusa
0
5
10
15
20
25
30
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
ha
ri
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 32
Pengamatan hidrologi
Pengamatan hidrologi dilakukan dengan mengukur tinggi muka air di lokasi
penelitian yang secara umum merupakan areal bekas terbakar tahun 1997, 2003, 2006,
dan 2009. Areal pengamatan tinggi muka air dilakukan dengan pemasangan pipa
pengukuran tinggi muka air yang dimulai dari tepi Sungai Kahayan, dari kondisi areal yang
terbuka sampai ke dalam hutan sekunder (LOA) sejauh 4 km. Pada kegiatan ini, titik
pengamatan tinggi muka air ditempatkan sejajar dengan parit (lebar ± 8 meter) dan jarak
dari tepi parit ± 10 meter. Jumlah titik pengamatan tinggi muka air yang dipasang adalah
17 buah. Titik-titik pengamatan dan kondisi areal sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 1.
berikut.
Tabel 1. Titik pengamatan tinggi muka air dan kondisi areal sekitar
Titik pengamatan Jarak dari tepi
Sungai Kahayan (m) Keterangan
1 0 Terbakar tahun 1997 2 250 Terbakar tahun 1997 3 500 Terbakar tahun 2003 & 2006 4 750 Terbakar tahun 2003 & 2006 5 1.000 Terbakar tahun 2003 & 2006 6 1.250 Terbakar tahun 2003 7 1.500 Terbakar tahun 2003 8 1.750 Terbakar tahun 2009 9 2.000 Terbakar tahun 2009
10 2.250 Terbakar tahun 2009 11 2.500 Terbakar tahun 2003 12 2.750 Terbakar tahun 2003 13 3.000 Terbakar tahun 2003 14 3.250 Terbakar tahun 2003 15 3.500 Terbakar tahun 1997 16 3.750 Bekas tebangan tahun 1983 17 4.000 Bekas tebangan tahun 1983
Kondisi areal dan penutupan lahan di sekitar titik pengamatan tinggi muka air dari
tepi sungai Kahayan (titik pengamatan 1 sampai titik pengamatan ke 15) merupakan areal
yang pernah terbakar dengan vegetasi terbuka yang didominasi oleh kelakai (Stenoclaea
sp.), pakis-pakis (Nephrolepsis sp.) sedangkan di sekitar titik pengamatan tinggi muka air
ke 16 dan 17 terdapat vegetasi dengan kanopi tertutup yang merupakan vegetasi bekas
tebangan tahun 1983 (LOA) yang belum pernah terbakar. Di antara titik pengamatan
tinggi muka air ke 10 dan ke 11 terdapat jalan raya trans Kalimantan yang diapit 2 buah
parit dengan lebar ± 4 meter seperti terlihat pada Gambar 3.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 33
Gambar. 3 Lokasi penempatan titik pengukuran tinggi muka air
Hasil pengukuran TMA yang dilakukan selama 4 kali, yaitu pada bulan Maret, Mei, Juli,
dan September tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan tinggi muka air dan elevasi lahan
Pendataan TMA (titik pengamantan ke-1) merupakan titik terendah elevasi lahan
yang berlokasi di tepi Sungai Kahayan, sedangkan elevasi lahan tertinggi berjarak 2,25 km
0
10
20
30
40
50
60
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 2750 3000 3250 3500 3750 4000
ele
va
si l
ah
an
(m
)
tin
gg
i m
uk
a a
ir (
cm)
Jarak dari sungai (m)
elevasi march may july rata2 sept
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 34
dari tepi sungai (titik pengamatan ke-10). Sementara itu, pada elevasi lahan terdapat 2
puncak elevasi tertinggi, yaitu dari tepi sungai sampai puncak elevasi pertama yaitu 49 m,
selanjutnya elevasi turun dan meningkat lagi sampai pada puncak elevasi 46 m (titik
pengamantan ke-17). TMA dari tepi Sungai Kahayan sampai titik pengamatan ke-10
fluktuasi cenderung lebih variatif dan setelah itu TMA lebih stabil sampai ke titik
pengamatan ke-17. Elevasi lahan antara 0-500 meter (titik pengamatan ke-1 sampai ke-3)
dari tepi Sungai Kahayan adalah lebih rendah dari permukaan sungai, yaitu 15-25 m dpl
sehingga pada titik pengamatan tersebut selalu tergenang karena dipengaruhi oleh luapan
air Sungai Kahayan. TMA pada 4 kali pengamatan, permukaan air selalu tergenang atau
berada di atas permukaan gambut setinggi 5 cm-89 cm.
Pada titik pengamatan 4-10 TMA yang terjadi lebih fluaktif daripada titik
pengamatan ke 11-17. Hal ini karena pada titik pengamatan 4-10 terdapat kanal dengan
lebar ±8 meter yang mempengaruhi tinggi muka air karena air mengalir masuk ke dalam
kanal, sedangkan pada titik pengamatan 11-17 merupakan areal bervegetasi bekas
terbakar yang sudah mulai mengalami suksesi.
Hubungan curah hujan dan tinggi muka air
Gambar 5. Fluktuasi curah hujan dan tinggi muka air
Gambar 5. di atas menunjukkan dinamika fluktuasi TMA dan curah hujan yang
terjadi pada saat pengamatan TMA yang dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan
September. Secara umum TMA pada pengamatan ini berada di bawah permukaan gambut.
Curah hujan pada waktu pengamatan bulan Juli yaitu 71,7 mm, dengan TMA -7,8 cm dan
TMA=13,786CH2 + 72,5CH-98,429 R2= 0,9334
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 35
curah hujan pada bulan September yaitu 34,4 mm dengan TMA -25,6 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa dinamika fluktuasi TMA dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun
terdapat hubungan antara pola curah hujan dan ketinggian muka air di lahan, terdapat
keterlambatan respon turunnya TMA kurang lebih 1 bulan. Hal ini dapat dilihat dari TMA
pada bulan September sebesar -25,6 cm, sedangkan pada saat curah hujan bulanan
terendah bulan Agustus sebesar 24,7 mm dan meningkat 9,7 mm menjadi 34,4 mm pada
bulan September.
Pembahasan
TMA ini sebagai faktor yang penting dalam penilaian kerusakan gambut dan
keberhasilan restorasi lahan gambut. Berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, (2017) status/tingkat kerusakan ekosistem gambut pada fungsi budidaya dan
lindung diketahui dengan pengukuranTMA. TMA ini dapat digunakan dalam penentuan
jenis untuk tanaman revegetasi. Hal ini karena tidak semua jenis tanaman dapat tahan
terhadap genangan. Menurut Santosa et al, (2014) tanaman mengalami kematian pada
umur 4-6 minggu setelah tanam jika areal penanaman tergenang dengan ketinggian
melebihi tinggi bibit yang ditanam. Hal ini menjadi faktor dalam penentuan jenis bibit
yang akan ditanam. Jenis-jenis yang sesuai dalam penanaman hutan rawa gambut setelah
terbakar antara lain jenis Shorea balangeran dan Dyera lowii (Graham, 2013). Hal ini
menunjukkan masing-masing tanaman mempunyai daya serap/kebutuhan air yang
berbeda. Penelitian Burhanuddin et al. (2011) juga mendapatkan hal yang sama yakni
pertumbuhan semai Combretocarpus rotundatus dan Dyera lowii terbaik pada TMA 20 cm
di bawah permukaan. Pada kondisi yang ekstrim, S. balangeran masih dapat tumbuh pada
kedalaman TMA sampai dengan 90 cm (Santosa & Supriyo, 2012).
Secara umum, areal terdegradasi akibat kebakaran hutan mempunyai potensi
regenerasi alami yang rendah (Blackham et al., 2014). Jenis-jenis pioneer mendominasi
areal bekas kebakaran seperti merapat (C. rotundatus) dan gerunggang (Cratoxylon
glaucum). Kondisi ini berbeda dengan areal bekas tebangan. Yuwati et al, (2014)
melaporkan bahwa vegetasi pohon pada areal bekas tebangan didominasi jenis Shorea
teysmaniana. Pada areal bekas kebakaran tahun 1997 atau 17 tahun setelah terbakar
dilaporkan bahwa komposisi jenis penyusun tegakannya terdiri dari 41 jenis semai> 39
jenis sapling > 24 jenis tiang > 12 jenis pohon (Yuwati et al., 2014). Hal ini
mengindikasikan bahwa tahapan pemulihan alami telah berjalan (Qirom, 2017). Menurut
Alue Dohong, Aziz, & Dargusch (2018) pemulihan alami areal bekas terbakar sangat
mungkin terjadi jika kebakaran berulang tidak terjadi. Kemampuan pemulihan tersebut
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 36
akan berkurang jika areal kebakaran tersebut kembali terbakar dalam waktu yang lebih
singkat (Hoscilo, Page, Tansey, & Rieley, 2011).
Fluktuasi TMA sangat tergantung pada penutupan lahan, dimana pada areal yang
berhutan terjadi penurunan TMA sebesar -1,4 m sedangkan pada areal budidaya
pertanian terjadi penurunan sebesar 2 m (Jaya, 2005). Penurunan TMA juga sangat
terkait dengan intensitas kebakaran gambut. Intensitas kebakaran yang sering
menyebabkan berat jenis lahan gambut semakin meningkat dan menyebabkan penurunan
kadar air yang lebih besar (Sinclair et al., 2020). Pada penutupan yang berbeda, fluktuasi
TMA tersebut berkorelasi dengan besarnya respirasi tanah (Ishikura et al., 2017).
Respirasi tanah pada lahan rawa gambut terbesar pada areal dengan penutupan semak
belukar/padang rumput dan terjadi pada musim kemarau (Ishikura et al., 2017).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap TMA di lahan rawa gambut adalah
ketinggian muka air pada saluran drainase (Dariah, Jubaiedah, Wahyunto, & Pitono, 2013).
Kondisi ini sesuai dengan penelitian Sinclair et al. (2020) yang menyebutkan bahwa
semakin jauh dari kanal maka pengaruh fluktusi TMA tersebut berkurang. TMA juga
berkaitan erat dengan curah hujan. Namun, penurunan TMA tersebut tidak terjadi secara
langsung. Hasil studi Runtunuwu et al. (2011) di Kecamatan Jabiren Kalimantan Tengah
menyatakan bahwa terjadi juga keterlambatan respon penurunan TMA dari kondisi curah
hujan minimum. Hal ini disebabkan oleh gerakan air tanah pada lahan gambut secara
vertikal sangat lambat sedangkan gerakan secara horisontal sangat cepat. Musim juga
berpengaruh terhadap fluktuasi TMA. Namun, fluktuasi tersebut bukan hanya ditentukan
oleh curah hujan setempat tetapi besarnya curah hujan di bagian hulu. Pada gambut
dengan tingkat kematangan fibrik, pelepasan air di musim kemarau sangat besar dan
sebaliknya pada musim hujan menyimpan air besar. Kapasitas gambut sebagai penyimpan
air mengalami penurunan pada gambut terdegradasi. Penurunan tersebut mencapai
setengah dari gambut yang masih bagus (Runtunuwu et al., 2011).
KESIMPULAN
Tinggi muka air (TMA) di KHDTK Tumbang Nusa sangat berfluktuasi dan
berhubungan erat dengan kondisi curah hujan. berubahnya vegetasi, penggunaan lahan
dan adanya kanal. TMA pada areal terbuka, bekas terbakar dan terdapat kanal akan lebih
befluktuasi dibandingkan MA pada areal yang semakin jauh dari kanal, areal suksesi bekas
terbakar dan suksesi hutan sekunder.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 37
SARAN
Fluktuasi tinggi muka air (TMA) di KHDTK Tumbang Nusa harus diperhitungkan
dalam pemilihan jenis tanaman dalam upaya revegetasi lahan gambut terdegradasi akibat
kebakaran. Pada musim kemarau, fluktuasi TMA di lahan gambut dapat digunakan dalam
penentuan strategi pencegahan kebakaran.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Sumitomo Corporation dan Sumitomo
Forestry yang telah bekerja sama dengan Balai Litbang LHK Banjarbaru. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada kepada teman-teman Teknisi Litkayasa yang telah
membantu di lapangan, yaitu Riswan A., Budi H., Eko P, Arif S., Supriyadi, Dian C.B., dan
M. Effendy.
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom bersama-sama berkontribusi
melakukan desain penelitian, pengambilan, pengolahan data dan melakukan pembuatan
naskah publikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Restorasi Gambut (BRG). (2016a). Mengawali Restorasi Gambut Indonesia. Jakarta.
Badan Restorasi Gambut (BRG). (2016b). Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut 2016-2020. Jakarta.
Blackham, G. V., Webb, E. L., & Corlett, R. T. (2014). Natural regeneration in a degraded tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest restoration. Forest Ecology and Management, 324, 8–15. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2014.03.041
Burhanuddin, Kabirun, S., Radjagukguk, B., & Sumardi. (2011). Kajian water table pada semai perapat (Combretocarpus rotundatus Miq) dan jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di tanah gambut. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(3), 187–196.
Cattau, M. E., Harrison, M. E., Shinyo, I., Tungau, S., Uriarte, M., & Defries, R. (2016). Sources of anthropogenic fire ignitions on the peat-swamp landscape in Kalimantan, Indonesia. Global Environmental Change, 39, 205–219. http://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2016.05.005
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 38
Dariah, A., Jubaiedah, Wahyunto, & Pitono, J. (2013). Effect Of drainage water level, fertilizer, and ameliorant on CO2 emission at oil palm plantation on peatland. Jurnal Littri, 19(2).
Dohong, A., Aziz, A. A., & Dargusch, P. (2018). A Review of Techniques for Effective Tropical Peatland Restoration. Wetlands, 38(2), 275–292. http://doi.org/10.1007/s13157-018-1017-6
Dohong, A., Cassiophea, L., Sutikno, S., Triadi, B., Wirada, F., Rengganis, P., & Sigalingging, L. (2017). Modul Pelatihan: Pembangunan infrastruktur pembasahan gambut sekat kanal berbasis masyarakat. Jakarta: Kedeputian Bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan, Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia, Jakarta.
Graham, L. L. B. (2013). Restoration from within : an interdisciplinary methodology for tropical peat swamp forest restoration in Indonesia. University of Leicester.
Hirano, T., Kusin, K., Limin, S., & Osaki, M. (2014). Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology, 20(2), 555–565. http://doi.org/10.1111/gcb.12296
Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO 2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505–1514. http://doi.org/10.5194/bg-7-1505-2010
Hoscilo, A., Page, S. E., Tansey, K. J., & Rieley, J. O. (2011). Effect of repeated fires on land-cover change on peatland in southern Central Kalimantan, Indonesia, from 1973 to 2005. International Journal of Wildland Fire, 20(4), 578–588. http://doi.org/10.1071/WF10029
Ishikura, K., Yamada, H., Toma, Y., Takakai, F., Morishita, T., Darung, U., … Hatano, R. (2017). Effect of groundwater level fluctuation on soil respiration rate of tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition, 63(1), 1–13. http://doi.org/10.1080/00380768.2016.1244652
Jaya, A. (2005). Study of Carbon and Water on Tropical Peatlands for Ecological Planning. University of Nottingham.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.15 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut (2017).
Lampela, M., Jauhiainen, J., Kämäri, I., Koskinen, M., Tanhuanpää, T., Valkeapää, A., & Vasander, H. (2016). Ground surface microtopography and vegetation patterns in a tropical peat swamp forest. Catena, 139, 127–136. http://doi.org/10.1016/j.catena.2015.12.016
Lampela, M., Jauhiainen, J., Sarkkola, S., & Vasander, H. (2017). Promising native tree species for reforestation of degraded tropical peatlands. Forest Ecology and Management, 394, 52–63. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.12.004
Lampela, M., Jauhiainen, J., Sarkkola, S., & Vasander, H. (2018). To treat or not to treat? The seedling performance of native tree species for reforestation on degraded tropical peatlands of SE Asia. Forest Ecology and Management, 429(February), 217–225. http://doi.org/10.1016/j.foreco.2018.06.029
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 39
Limin, S. H., Tampung, S. ., Patricia, E. ., Untung, D., & Layuniyati. (2000). Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. In Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. (pp. 9–14). Banjarmasin: Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Mirmanto, E. (2010). Vegetation analyses of Sebangau peat swamp forest , Central Kalimantan. Biodiversitas, 11(2), 82–88. http://doi.org/10.13057/biodiv/d110206
Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), 798–818. http://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x
Posa, M. R. C., Wijedasa, L. S., & Corlett, R. T. (2011). Biodiversity and Conservation of Tropical Peat Swamp Forests. BioScience, 61(49), 49–57. http://doi.org/10.1525/bio.2011.61.1.10
Qirom, M. A. (2017). Kemampuan Pemulihan Areal Bekas Terbakar pada Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. In Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 (pp. 1073–1078). Universitas Lambang Mangkurat.
Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, & Tafakresnanto, C. (2011). Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian.
Runtunuwu, E., Kartiwa, B., Sudarman, K., Nugroho, W. T., & Firmansyah, A. (2011). Dinamika elevasi muka air pada lahan dan saluran di lahan gambut. Riset Geologi Dan Pertambangan, 21(2), 63–74. http://doi.org/10.14203/risetgeotam2
Santosa, P. B., & Supriyo, H. (2012). Kondisi Lingkungan Tempat Tubuh Balangeran di Hutan Rawa Gambut. In Suryanto & T. S. Hadi (Eds.), Budidaya Shorea Balangeran di Lahan Gambut (I, pp. 55–65). Banjarbaru: Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Santosa, P. B., Yuwati, T. W., Rachmanadi, D., Rusmana, & Graham, L. (2014). Response Of Peat Swamp Forest Species Seedlings To Flooding. Technical Report. Tropical peat swamp forest silviculture in Central Kalimantan. Banjarbaru.
Sinclair, A. L., Graham, L. L. B., Putra, E. I., Saharjo, B. H., Applegate, G., Grover, S. P., & Cochrane, M. A. (2020). Effects of distance from canal and degradation history on peat bulk density in a degraded tropical peatland. Science of The Total Environment, 699, 134199. http://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.134199
Sulaiman, A., Sari, E. N., & Saad, A. (2017). Panduan Teknis Pemantauan Tinggi Muka Air Lahan Gambut Sistem Telemetri. Jakarta: Badan Restorasi Gambut.
Uda, S. K., Hein, L., & Sumarga, E. (2017). Towards sustainable management of Indonesian tropical peatlands. Wetlands Ecology and Management, 25(6), 683–701. http://doi.org/10.1007/s11273-017-9544-0
Wosten, J. H. M., Clymans, E., Page, S. E. E., Rieley, J. O. O., Limin, S. H. H., Wösten, J. H. M., … Limin, S. H. H. (2008). Peat-water interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena, 73(2), 212–224. http://doi.org/10.1016/j.catena.2007.07.010
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 27-40, Agustus 2020 40
Yuwati, T. W., Harun, M. ., Qirom, M. A., Santosa, P. B., & Ariani, R. (2014). Research to The Trials of Agroforestry System and The Monitoring of The Natural Regeneration After Forest Fire on Peatland Rehabilitation in Central Kalimantan. Banjarbaru.
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 29-10-2019 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.41-48
ETNOMIKOLOGI DAN POTENSI PEMANFAATAN JAMUR PETIR (Lignosus sp.) DI KPH SENGAYAM, KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (Lignosus sp.) at
KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan
Safinah S. Hakim1*, Eko Priyanto2
1,2Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru Jl. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan
*Email : safinah.hakim@gmail.com
ABSTRAK
Dikenal dengan nama lokal jamur petir atau jamur susu harimau, Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang dimanfaatkan sebagai obat. Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial untuk dikembangkan karena manfaatnya yang sangat beragam. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara dan studi literatur. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini jamur Lignosus sp. di Kabupaten Kotabaru dapat ditemui di sekitar kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Muara Urie dan Desa Buluh Kuning. Jamur ini dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai bahan pengobatan tradisional antara lain untuk obat batuk dan pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan. Selain itu, jamur ini juga dipanen dan dijual kepada pengepul. Namun demikian, informasi teknik budidaya jamur Lignosus sp. masih terbatas sehingga informasi tersebut perlu digali lebih dalam terkait besarnya potensi jamur Lignosus sp.
Kata kunci: bukan kayu, hutan, obat
ABSTRACT
Known locally as the the lightning mushroom or tiger milk mushroom, Lignosus sp. is well-known as mushroom. Lignosus sp. is categorized as non-timber forest product which has potential to be developed due to its advantages. Interview and literature review were carried out during this study to investigate the ecology, ethnomycology, and economic potential of Lignosus sp. Study result showed that currently the fungi Lignosus sp. in Kotabaru Regency can be found around the forest area that is administratively included in the Muara Urie and Buluh Kuning Villages. Local community has been used this fungi as traditional medicine, such as for cough medicine and post-natal care for mothers. In addition, local people harvest this fungi and sell it to middleman. However, the information of cultivation of this mushroom still limited particularly in South Kalimantan. Therefore, further studies need to be investigate.
Keywords: non-timber, forest medicinal
PENDAHULUAN
Selain dikonsumsi, manfaat jamur sebagai bahan obat sudah banyak disebutkan,
baik secara saintifik maupun secara turun-menurun (Waktola & Temesgen, 2018; Cheung,
2010). Banyak jamur yang diketahui memiliki khasiat obat (Comandini & Rinaldi, 2020;
Rai et al., 2005). Beberapa jenis yang sudah banyak diketahui adalah jamur shiitake
(Lentinus edodes), jamur maitake (Grifolla fondosa), jamur ling tzhi (Ganoderma lucidum),
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 42
dan jamur Lignosus sp. Meskipun namanya tidak setenar jenis jamur-jamur yang
disebutkan sebelumnya, jamur Lignosus sp. merupakan salah satu jamur yang diketahui
memiliki banyak manfaat obat, terutama di Malaysia. Bahkan jamur ini disebut sebagai
national treasure. Ada banyak nama daerah jenis ini, yakni susu harimau, betes kismas,
tish am ong, petih (Malaysia), betes susu mergas, keris mas, susu rimau (Sumatera),
hurulingzi (Cina) dan hijiritake (Jepang) (Lau, et al., 2015). Di Kalimantan Selatan, jamur
ini dikenal dengan jamur petir sesuai dengan mitos masyarakat bahwa jamur ini banyak
muncul pada saat musim hujan disertai petir.
Di berbagai daerah, terutama di Malaysia jamur ini merupakan jamur yang sangat
penting dan bernilai ekonomi tinggi karena memiliki khasiat yang baik bagi kesehatan.
Beberapa catatan, terutama dari masyarakat di Malaysia menyebutkan jamur ini bisa
menyembuhkan kanker payudara, masalah pencernaan, asma, batuk, demam dan berbagai
penyakit lainnya. Bahkan, di China jamur ini juga diketahui memiliki manfaat yang luas.
Tak sama halnya dengan di luar negeri, di Kalimantan Selatan, infomasi tentang jamur ini
tidak banyak diketahui.
Di Kalimantan Selatan jamur petir bisa ditemui di Desa Muara Urie, Kec. Hampang
dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian, Kab. Kotabaru. Akhir-akhir ini di Desa Muara
Urie terdapat permintaan terhadap jamur petir. Hal ini mendorong beberapa masyarakat
untuk melakukan pencarian dan pengumpulan terhadap jamur ini di hutan sekitar desa,
meskipun masyarakat di daerah tersebut belum banyak mengetahui kegunaan jamur ini.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk (a) memberikan informasi terkait biologi
jamur Lignosus sp. termasuk aspek manfaat, etnomikologi, dan manfaat farmakologi.
BAHAN DAN METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tulisan berdasarkan studi
literatur dan wawancara. Wawancara dilakukan pada pengumpul jamur petir di
masyarakat Desa Muara Urie, Kec. Hampang dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian
Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan menggunakan metode snowball sampling pada bulan
Agustus 2019. Wawancara dilakukan secara langsung dengan memberikan pertanyaan
dan menggali informasi secara mendalam terkait jamur tersebut meliputi habitat, tempat
pemanenan jamur, penggunaan jamur, dan pemanfaatan jamur secara ekonomi. Data yang
diperoleh selanjutnya disajikan secara deskriptif.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 43
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jamur Lignosus sp. di Kab. Kotabaru dikenal dengan nama jamur petir. Penamaan ini
disesuaikan dengan mitos setempat yang beranggapan jamur ini akan mudah didapatkan
dan tumbuh saat musim hujan yang banyak disertai petir. Sebagian masyarakat di Desa
Muara Urie, Kec. Hampang dan Desa Buluh Kuning, Kec. Sungai Durian, Kab. Kotabaru
cukup familiar dengan jamur ini sehubungan dengan adanya permintaan akan jamur ini
yang cukup bernilai ekonomis. Secara morfologi jamur Lignosus sp. dicirikan dengan
adanya pileus yang ditopang dengan stipe keras seperti kayu yang muncul dari sclerotia
yang tumbuh di dalam tanah (Gambar 1). Informasi lain yang berhasil dihimpun selama
proses wawancara disajikan dalam Tabel 1.
Gambar 1. Jamur Lignosus sp. (A), Kondisi jamur di tanah (B), Kondisi jamur baru dipanen
(C). (Sumber foto : Rahman, 2019)
Tabel 1. Informasi etnomikologi jamur Petir di Kab. Kota Baru, Kalimantan Selatan.
Hal Deskripsi
Habitat Di Desa Buluh Kuning, berdasarkan informasi jamur dapat juga ditemui
di beberapa lokasi kebun masyarakat dengan inang tanaman kayu
kemiri
Kondisi tempat tumbuh lembab dan sangat minim sinar matahari yang
tembus ke lantai tegakan, dimana intensitas matahari +25%
Tanah tempat tumbuh jamur berupa tanah subur yang kaya bahan
organik berupa bekas lapukan batang dan dahan tanaman
Pemanfaatan secara
ekonomi Harga jual Rp.300.000,00/kg hingga Rp.500.000,00/kg
Jamur dibersihkan dan dicuci kemudian dijemur di bawah sinar
matahari kemudian dikemas dalam karung
Pemanfaatan untuk
pengobatan
Pemulihan stamina ibu pasca melahirkan dengan tujuan mengurangi
terjadinya pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan luka
serta obat pada penderita batuk kronis
A B C
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 44
Pembahasan
Jamur ini merupakan jamur yang dijumpai di beberapa wilayah tropis, khususnya
Asia Tenggara seperti Malaysia (Lau et al., 2013) dan Indonesia. Penelusuran referensi
menunjukkan jamur ini bisa dijumpai di beberapa wiayah di Indonesia, yakni di Sumatera
Utara (Susiarti & Sambas, 2018), Kalimantan Barat, dan Pekanbaru (Wahyudi et al., 2016).
Namun, beberapa referensi menunjukkan bahwa spesies ini dapat ditemui di hutan tropis
di China (Cui et al., 2011), New Zealand, dan Australia (Chee, 2018). Jika mengacu pada
studi referensi, diyakini bahwa jamur ini dimungkinkan dapat ditemukan di sebagian
besar wilayah Kalimantan, tetapi hanya sedikit data yang mendukung asumsi tersebut.
Secara morfologi, berbeda dengan jamur pada umumnya, jamur ini adalah tubuh buah
yang tumbuh dari sclerotium yang terletak di dalam tanah. Secara klasifikasi ilmiah,
berikut klasifikasi dari jamur Lignosus sp.:
Kerajaan : Fungi
Divisi : Basidiomycota
Kelas : Agaricomycetes
Ordo : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Lignosus
Jenis : Lignosus sp.
Berbeda dengan masyarakat di Kotabaru yang menyebut jamur ini dengan sebutan
jamur petir, di beberapa wilayah Malaysia jamur ini disebut dengan jamur susu harimau.
Mitos mengatakan bahwa jamur ini muncul karena harimau mengeluarkan air susu untuk
anaknya. Di Indonesia, referensi yang menyebutkan tentang pemanfaatan Lignosus sp.
oleh masyarakat sangat terbatas. Dari sedikit informasi yang berhasil dihimpun, salah satu
daerah yang memanfaatkan jamur petir ini adalah masyarakat suku Batak dan Nias.
Berbeda dengan di Indonesia, pemanfaatan jamur ini di Malaysia cukup tinggi. Banyak
masyarakat memanfaatkan jamur ini sebagai obat herbal untuk penyakit seperti batuk
kronis, kanker, demam, batuk, dan asma serta pemulihan stamina. Di Cina, jamur ini juga
cukup diketahui manfaatnya untuk mengobati kanker, liver, hepatitis kronik, dan
gangguan pencernaan.
Cara konsumsi dalam pemanfaatan jamur ini untuk kesehatan sangat beragam, yakni
mulai dari memakan langsung, dipotong dan dikeringkan lalu diseduh serta ada juga yang
direbus. Untuk penggunaan luar, umumnya jamur ini diaplikasikan langsung pada bagian
yang luka seperti campak dan alergi lainnya. Pemanfaatan dengan direbus, umumnya
digunakan untuk penyakit dalam seperti menambah stamina dan demam. Beberapa
manfaat jamur Lignosus sp. serta cara pemanfaatannya dijabarkan dalam Tabel 2.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 45
Tabel 2. Pemanfaatan jamur petir oleh masyarakat.
Lokasi/suku Manfaat Medis Bagian yang
Dimanfaatkan Cara Pemanfaatan Referensi
Malaysia Lelah dan
kanker payudara
Sclerotium Dimakan mentah (Chee,
2018)
Lelah,
meningkatkan
stamina
Sclerotium dikikis halus dan
diseduh dengan air panas lalu
diminum seperti minum jamu
Batak
Mandailing
dan Nias
Jantung Sclerotium/tuber Dicuci, dicampur dengan
kunyit, dikunyah, dan
dibuang
(Susiarti &
Sambas,
2018)
Memperlancar
air susu ibu
Diparut dan dicampur
dengan sayur
Sakit Gigi Tuber dipotong kecil-kecil
dan diletakkan di gigi
Disentri Tuber dimakan langsung
Kesurupan Tuber dimakan langsung
Campak Diparut dan diaplikasikan
Pemulihan ibu
pascamelahirkan
Interview
langsung
Asma Dibakar dan diaplikasikan di
dada/dimakan langsung,
direbus,
Kanker
payudara
Diparut, dicampur dengan
garam dan diaplikasikan
(Lau et al.,
2015)
Demam Direbus
Seiring dengan kemajuan pengetahuan, banyak riset dilakukan terkait efek
farmakologis jamur Lignosus sp. Berbagai uji telah dilakukan, dan diketahui jamur ini
memang terbukti mengandung kandungan nutrisi yang baik. Tubuh buah dan sclerotium
jamur ini kaya akan karbohidrat dan fiber, mielianya mengandung kalium, fosfor,
magnesium, riboflavin, niacin, asam lemak esensial, dan asam amino esensial (Lau et al,.
2015). Selain itu juga mengandung nutrisi makro dan mikro serta sebagai antioksidan dan
antiinflamasi. Beberapa contoh informasi farmakologi jamur Lignosus sp. disajikan dalam
Tabel 3. Kemampuan untuk memproduksi antioksidan dan antiinflamasi (peradangan)
pada Lignosus sp. paling banyak disebutkan dalam berbagai publikasi yang menganalisis
manfaat farmakologis dari jamur ini (Nallathamby et al., 2016; Mohanarji et al., 2012). Hal
ini membuktikan bahwa pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan jamur ini
dibenarkan dengan adanya berbagai studi. Selain itu, khasiat jamur ini untuk meredakan
asma juga didukung oleh Lee et al. (2018).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 46
Tabel 3. Manfaat farmakologis Lignosus sp.
Bagian yang
Dimanfaatkan Manfaat Farmakologis Referensi
Sclerotium Antioksidan dan antineuroinflammation (Nallathamby, Serm, Raman,
Nurestri, et al., 2016)
Antioksidan dan antineuroinflammation (Keong et al., 2016)
Menstimulasi neurite in vitro (Eik et al., 2012)
Bronchorelaxation (Lee et al., 2018)
Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam studi ini, potensi Lignosus sp. baik untuk
kesehatan maupun untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Oleh
karena itu, budidaya Lignosus sp. perlu dicoba dan dikembangkan. Studi terkait budidaya
jenis jamur ini sudah dilakukan, salah satunya oleh Abdullah et al., (2013). Harga jual
masyarakat Kab. Kotabaru untuk jamur ini adalah Rp.300.000,00/kg. Harga ini jauh lebih
rendah jika jamur ini dijual di Malaysia yakni sekitar 80 USD atau sekitar Rp.1.200.000,00
(Lau et al., 2015). Riset yang dilakukan oleh penulis di beberapa marketplace (Tokopedia
dan Shopee) menunjukkan harga jual jamur ini berada pada kisaran Rp.800.000,00/kg-
Rp.4.500.000,00/kg tergantung dari kualitasnya. Kualitas jamur ini ditentukan oleh
ukuran sclerotium-nya. Semakin besar ukurannya, maka harga jual yang tertera pada
market place tersebut semakin mahal.
Melihat potensi di alam sekitar kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Sengayam, Kab. Kotabaru keberadaan jamur ini dapat dipandang sebagai salah satu
potensi yang layak dikembangkan, dimana saat ini hanya tergantung dari alam. Selain itu,
hal yang perlu dipelajari lebih lanjut adalah musim panen jamur ini yang tumbuh di alam
hanya saat musim penghujan datang, terutama saat banyak petir. Kegiatan pemberian
pelatihan dan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait pemanfaatan jamur juga perlu
ditingkatkan agar masyarakat dapat memperoleh manfaat kesehatan dan juga ekonomi
dari adanya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini. Adanya kesadaran
masyarakat yang tinggi terhadap potensi jamur ini secara tidak langsung dapat
meningkatkan kelestarian hutan karena dengan kondisi hutan yang terjaga maka
keberlangsungan jenis ini akan lestari.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 47
KESIMPULAN
Jamur Lignosus sp. merupakan salah satu produk HHBK yang memiliki potensi
ekonomi untuk dikembangkan di wilayah Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Berdasarkan
kearifan lokal, oleh masyarakat setempat jamur ini telah digunakan sebagai obat secara
turun temurun meskipun masih dalam skala kecil (terbatas).
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Penulis Safinah Surya Hakim dan Eko Priyanto adalah kontributor utama pada karya
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, N., Haimi, M. Z. D., & Lau, B. F. (2013). Domestication of a wild medicinal sclerotial mushroom , Lignosus rhinocerotis ( Cooke ) Ryvarden. Industrial Crops and Products, 47, 256–261.
Chee, B. (2018). Kulat Susu Harimau Bantu Pulihkan Tenaga. Dewan Kosmik, November, 56–59.
Cheung, P. C. K. (2010). The nutritional and health benefits of mushrooms. In Nutrition Bulletin (Vol. 35, Issue 4, pp. 292–299). https://doi.org/10.1111/j.1467-3010.2010.01859.x
Comandini, O., & Rinaldi, A. C. (2020). Ethnomycology in Europe: The Past, the Present, and the Future. In J. Pérez-Moreno, A. Guerin-Laguette, R. F. Arzú, & F. Q. Yu (Eds.), Mushrooms, Humans and Nature in a Changing World: Perspectives from Ecological, Agricultural and Social Sciences (Issue April, pp. 341–364). Springer Nature Switzerland. https://doi.org/10.1007/978-3-030-37378-8
Cui, B.-K., Tang, L.-P., & Dai, Y.-C. (2011). Morphological and molecular evidences for a new species of Lignosus (Polyporales, Basidiomycota) from tropical China. Mycol Progress (2011), 10, 267–271.
Eik, L., Naidu, M., David, P., Wong, K., Tan, Y., & Sabaratnam, V. (2012). Lignosus rhinocerus ( Cooke ) Ryvarden: A Medicinal Mushroom That Stimulates Neurite Outgrowth in PC-12 Cells. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/320308
Keong, C. Y., Vimala, B., Daker, M., Hamzah, M. Y., Mohamad, S. A., Lan, J., Chen, X. D., & Yang, Y. P. (2016). Fractionation and biological activities of water-soluble polysaccharides from sclerotium of tiger milk medicinal mushroom, lignosus rhinocerotis (Agaricomycetes). In International Journal of Medicinal Mushrooms (Vol. 18, Issue 2, pp. 141–154). https://doi.org/10.1615/IntJMedMushrooms.v18.i2.50
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 41-48, Agustus 2020 48
Lau, B. F., Abdullah, N., Aminudin, N., Boon, H., & Jean, P. (2015). Ethnomedicinal uses , pharmacological activities , and cultivation of Lignosus spp . ( tiger ’ s milk mushrooms ) in Malaysia – A review. Journal of Ethnopharmacology, 169, 441–458. https://doi.org/10.1016/j.jep.2015.04.042
Lee, M. K., Li, X., Chee, A., Yap, S., Chi, P., & Cheung, K. (2018). Airway Relaxation Effects of Water-Soluble Sclerotial Extract From Lignosus Airway Relaxation Effects of Water-Soluble Sclerotial Extract From Lignosus rhinocerotis. In Frontiers in Microbiology (Vol. 9, Issue May, pp. 1–9). https://doi.org/10.3389/fphar.2018.00461
Mohanarji, S., Dharmalingam, S., & Kalusalingam, A. (2012). Screening of Lignosus rhinocerus Extracts as Antimicrobial Agents against Selected Human Pathogens. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Sciences, 18(11), 1–4.
Nallathamby, N., Serm, L. G., Raman, J., Nurestri, S., Malek, A., Naidu, M., Kuppusamy, U. R., & Sabaratnam, V. (2016). Identification and in vitro Evaluation of Lipids from Sclerotia of. Natural Product Communications, 11(10), 1485–1490. https://doi.org/10.1177/1934578X1601101016
Rai, M., Tidke, G., & Wasser, S. (2005). Therapeutic Potential of Mushrooms. Indian J Nat Prod Resour, 4, 246–257.
Susiarti, S., & Sambas, E. (2018). Local Knowledge on Medicinal Plants of Batak Mandailing and Nias Communities in Batang Toru , North Sumatra , Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
Wahyudi, T. R., Rahayu, S., & Azwin. (2016). Keanekaragaman Jamur Basidiomycota di Hutan Tropis Dataran Rendah Sumatera, Indonesia ( Studi Kasus Di Arboretum Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning Pekanbaru ). Wahana Forestra, 11(2), 98–111.
Waktola, G., & Temesgen, T. (2018). Application of Mushroom as Food and Medicine. Advances in Biotechnology & Microbiology, 11(4). https://doi.org/10.19080/aibm.2018.11.555817
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 23-10-2019 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.49-60
POTENSI SERANGGA HUTAN SEBAGAI BAHAN PANGAN ALTERNATIF
The potentials of forest insects as alternative food
Yeni Nuraeni1* dan Illa Anggraeni2
1,2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Kotak Pos 165, Bogor 16118
Telp. (0251) 8633234, 7520067 Fax. (0251) 8638111 *Email: y.nuraeni999@gmail.com
ABSTRAK
Serangga memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia, baik peran negatif/merugikan maupun positif/menguntungkan. Peran serangga yang merugikan salah satunya yaitu sebagai hama beberapa jenis tanaman, sedangkan peran yang menguntungkan salah satunya yaitu dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif. Di beberapa daerah di Indonesia mengkonsumsi serangga sebagai bahan makanan, namun masih banyak masyarakat yang menilai serangga tidak layak untuk dikonsumsi sehingga membuat potensi yang dimiliki oleh serangga tidak termanfaatkan secara maksimal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis serangga yang dapat menjadi sumber bahan pangan, serta nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Serangga yang umum dikonsumsi yaitu rayap, enthung jati, ulat sagu, belalang dan jangkrik. Nilai gizi yang terkandung pada serangga-seraangga tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi dengan memanfaatkan serangga sebagai sumber bahan pangan alternatif.
Kata kunci: gizi, pangan, serangga
ABSTRACT
Insects have an important role for human life, both negative and detrimental roles as well as positive or beneficial roles. The role of harmful insects is as pest, while the beneficial role can be used as an alternative food source. In some areas in Indonesia, insects are also consumed as food, unfortunately there are still many people who consider insects not suitable for consumption, making the potential possessed by insects not fully utilized. This paper aims to provide information on the types of insects that can be a source of food, as well as the nutritional value contained in insects. Commonly consumed insects are termites, teak caterpillars, sago caterpillars, grasshoppers, and crickets. The insects contain high enough of nutrition that is expected to be used as alternative food source to meet community nutritional needs.
Keywords: food, insects, nutrition
PENDAHULUAN
Serangga merupakan salah satu kelompok hewan terbesar di dunia. Kelompok ini
mencapai lebih 70% dari seluruh jenis hewan dan 1 juta jenis telah diidentifikasi
(Scaraffia & Miesfeld, 2013). Serangga memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan
manusia terutama bidang pertanian dan kehutanan. Keberadaan serangga masih dianggap
sebagai hewan yang merugikan karena peran serangga tersebut hanya dilihat dari
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 50
kepentingan manusia atau antropsentris (Untung, 2010) bukan dilihat dari perannya
secara keseluruhan.
Serangga berpotensi menjadi hama jika kelompok ini mengalami ledakan populasi.
Kondisi tersebut terjadi pada belalang yang menyerang tanaman jagung di Lampung
(Sudarsono, Hasibuan, & Swibawa, 2011). Serangan belalang menyebabkan gagalnya
panen jagung di provinsi tersebut. Selain belalang, ulat jati juga berpotensi sebagai hama.
Ulat ini memakan daun jati muda sehingga pertumbuhan jati menjadi terhambat (Pratiwi,
Karmanah, & Gusmarianti, 2012). Serangga lain yang potensial sebagai hama adalah rayap.
Studi Nandika, Rismayadi, & Diba (2015) menyatakan bahwa serangan rayap yang tinggi
akan menurunkan kualitas dari kayu.
Namun demikian, terdapat peran positif serangga yang tidak disadari yakni sebagai
agen penyerbuk bagi sebagian besar tumbuhan di alam dan sumber pangan alternatif.
Beberapa studi menyebutkan bahwa serangga dapat menjadi sumber makanan baik bagi
manusia maupun binatang lain (Food and Agriculture Organization (FAO), 2013; Girsang,
2018; Scaraffia & Miesfeld, 2013; Sentana, 2013). Studi tentang kandungan gizi
menunjukkan bahwa kandungan gizi dari serangga dapat memenuhi kebutuhan pangan
manusia (FAO, 2013; Girsang, 2018; Sentana, 2013). Hasil studi FAO, (2013) menemukan
lebih dari 1900 serangga berpotensi sebagai sumber pangan global. Selain itu, studi
tersebut menyatakan peningkatan jumlah penduduk dunia yang mencapai lebih dari 9,8
miliar orang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pangan dunia menjadi dua kali
lipat. Kondisi ini mengharuskan adanya sumber pangan alternatif yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi sehingga manusia terhindar dari bencana kelaparan (FAO,
2013). Namun demikian, sosialisasi serangga sebagai pangan alternatif harus dilakukan
karena paradigma masyarakat masih menganggap bahwa serangga merupakan makanan
yang tidak layak dikonsumsi (Girsang, 2018).
Penulisan ini bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa serangga
dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif dalam memenuhi kebutuhan gizi
dan protein. Hal ini sebagai salah satu upaya sosialisasi dalam rangka merubah paradigma
masyarakat tentang serangga dan mendorong pemanfaatan serangga sebagai sumber
protein alternatif yang murah dan mudah didapatkan.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 51
BAHAN DAN METODE
Waktu
Penelitian ini berupa studi pustaka. Pustaka dikumpulkan dari beberapa
perpustakaan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, jurnal-jurnal di bidang kehutanan, pertanian, dan pangan, serta
sumber dari e-journal dan e-majalah ilmiah. Studi pustaka ini dilaksanakan pada tahun
2018.
Metode penelitian
Penelusuran pustaka dengan menggunakan search engine google. Kata kunci yang
digunakan berbahasa Indonesia dan Inggris antara lain: serangga, potensi pemanfaatan,
hama, kandungan protein, pangan, edible, insect, entomophagy, nutritional and protein.
Hasil penulusuran tersebut kemudian dipilah berdasarkan kategori dari tulisan yang
ditemukan. Tulisan-tulisan dari blog dan berita tidak digunakan dalam analisis/proses
review. Tulisan-tulisan/karya tulis ilmiah kemudian dianalisis secara tabulasi terutama
untuk memperoleh gambaran jenis yang telah dimanfaatkan, kandungan gizi dan protein,
daerah-daerah pemanfaatan, jenis serangan hama, dan potensi pemanfaatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Serangga potensial sebagai sumber pangan
Serangga merupakan sumber daya yang memiliki hubungan erat dengan manusia.
Namun serangga lebih dikenal sebagai hama baik pada tanaman pertanian maupun
kehutanan. Pada kondisi lingkungan tertentu, serangga hama akan berkembang dengan
pesat sehingga populasinya meningkat dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
makanan. Pada beberapa daerah di Indonesia telah memiliki kearifan lokal dalam
memanfaatkan serangga sebagai sumber pangan. Serangga-serangga tersebut dapat
dimanfaatkan secara langsung maupun dalam bentuk olahan (Tabel 1).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 52
Tabel 1. Jenis-jenis serangga potensial sebagai sumber pangan.
Jenis Jenis Hama Bagian yang
dimanfaatkan Daerah Cara pengolahan
Rayap Pemakan kayu anak rayap (laron)
seluruh Indonesia digoreng, rempeyek
Entung jati Pemakan daun-daun muda jati
Seluruh bagian Pesisir Pulau Jawa seperti Jepara, Rembang, Blora, Gunung Kidul, Tuban dan Bojonegoro
digoreng dan ditumis
Ulat sagu Pemakan batang sagu
Seluruh bagian dan sebagai makanan ternak
Maluku dan beberapa daerah di Indonesia
digoreng
Belalang Pemakan daun Seluruh bagian Sebagian daerah di Pulau Jawa
digoreng, ditumis
Jangkrik Pemakan bibit tanaman
Seluruh bagian Beberapa daerah di Indonesia
digoreng
Sumber: Pengolahan data sekunder.
Serangga pada Tabel 1. sangat potensial dimanfaatkan sebagai sumber pangan
karena kandungan gizi yang cukup tinggi. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa
kandungan gizi tersebut cukup lengkap (Tabel 2).
Tabel 2. Komposisi gizi jenis-jenis serangga sebagai bahan pangan (per 100 gram bagian serangga).
Jenis serangga Energi (kkal)
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbo (%)
Serat (%)
Semut terbang - Betina - Jantan
- -
60,0 60,0
3,0
10,1
9,5 1,3
- -
- -
Kumbang 192 56,2 27,1 3,7 11,2 6,4 Larva kumbang kelapa - Mentah - Kering
86
430
81,1 9,1
10,6 52,9
2,7
15,4
4,2
16,9
2,8 5,4
Jangkrik - Mentah
117
76,0
13,7
5, 3
2,9
2,9
Belalang - Mentah - Kering
170 420
62,7 7,6
26,8 62,2
3,8
10,4
5,5
15,8
2,4
-
Rayap - Mentah - Kering
356 656
44,5 1,7
20,4 35,7
28,0 54,3
4,2 3,5
2,7
-
Sumber: Data diolah Girsang, (2018).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 53
Tabel 3. Kandungan protein pada kelompok serangga.
No. Jenis serangga Tingkat pertumbuhan Kandungan Protein (%)
1. Coleoptera: kumbang Dewasa, larva 23-66
2. Lepidoptera: ngengat, rayap Kepompong, larva 14-68
3. Hemiptera: kepik Dewasa, larva 42-76
4. Homoptera: wereng, kutu daun Dewasa, larva, telur 45-57
5. Hymenoptera: tawon, lebah, semut
Dewasa, kepompong, larva, telur
13-77
6. Odonata: Capung Dewasa, muda 46-65
7. Orthoptera: belalang, jangkrik Dewasa, muda 23-65
Sumber: Data diolah dari Bernard & Womeni, (2017), Girsang, (2018).
Kandungan protein pada beberapa jenis serangga tersebut berbeda-beda tergantung
jenis dan tingkat pertumbuhannya. Pada jenis serangga tertentu kandungan proteinnya
mencapai lebih dari 75 % (Tabel 3). Kandungan protein beberapa serangga sebanding
dengan kandungan protein dari beberapa jenis ikan (Tabel 4).
Tabel 4. Perbandingan kandungan protein pada kelompok serangga dan ikan.
Kelompok hewan
Jenis hewan Tingkat
pertumbuhan Kandungan protein/
100gr (%) Serangga (mentah)
Belalang Larva Dewasa
14-18 13-28
Ulat sutera Dewasa 10-17
Ulat kelapa/sagu Larva 7-36
Larva kumbang/ulat Hongkong Larva 14-25
Jangkrik Dewasa 8-25
Rayap Dewasa 13-28
Ikan Ikan bersirip Ikan nila Ikan kembung Ikan lele
16-19 16-28 17-28
Crustasea Lobster Udang (Malaysia) Udang
17-19 16-19 13-27
Mollusca Sotong 15-18
Sumber: Data diolah dari Bernard & Womeni, (2017), Girsang, (2018).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 54
Pembahasan
Rayap
Rayap termasuk ke dalam Ordo Isoptera, merupakan serangga sosial yang hidup
secara berkoloni. Koloni rayap terdapat tiga kasta yaitu kasta prajurit, kasta pekerja, dan
kasta reproduktif. Jumlah spesies rayap di dunia sebanyak 2.648 jenis yang
dikelompokkan ke dalam 7 famili dan 281 genus (Handru, Herwina, & Dahelmi, 2012).
Rayap meresahkan masyarakat karena berperan sebagai hama dengan tingkat kerusakan
yang cepat dan ganas (Nandika et al., 2015).
Gambar 1. Rayap.
Sumber: Nuraeni, Anggraeni, & Bogidarmanti, (2016).
Menurut Nandika et al., (2015) rayap ditemukan hampir disetiap daerah di
Indonesia (Gambar 1). Pemanfaatan rayap sebagai sumber pangan dalam bentuk laron.
Laron menjadi sumber pangan sebagai pengganti daging dan protein hewani (Uhi, Jachja,
Mutia, & Nandika, 2001). Rayap tanah (Glyptotermes montanus) memiliki kandungan
protein sebesar 14,2% pada berat basah tubuh atau sebesar 55,7% pada berat kering
tubuh (Uhi et al., 2001).
Entung jati
Hyblaea puera Cr. dikenal dengan entung jati termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera.
Pada fase larva (Gambar 2), entung jati berpotensi sebagai hama dengan cara memakan
daun-daun muda yang lunak dan hanya menyisakan tulang-tulang daun saja yang
biasanya terjadi pada awal musim hujan (Anggraeni, 2017). Serangan dari hama ini tidak
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 55
menyebabkan kematian pada tanaman tetapi menurunkan potensi kayu sebesar 44%
(Chandrasekhar, Sajeev, Sudheendrakumar, & Benerjee, 2005).
Gambar 2. Larva/ulat jati.
Sumber: Pattiwael,(2018).
Entung jati telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pangan pada daerah-daerah
tersebut (Tabel 1). Kandungan gizi pada entung jati yaitu protein (13,9%), lemak (2,3%),
dan air sebanyak 75% (Sentana, 2013). Menurut Sentana (2013) serangga ini dapat diolah
menjadi makanan kecil. Praktek ini sudah mulai dikembangkan di Gunung Kidul.
Ulat sagu
Ulat sagu merupakan larva dari kumbang merah kelapa (Rhynchophorus
ferrugenesis). Kumbang merah kelapa betina biasanya meletakan telur-telurnya pada luka-
luka di batang (Triwahyuni, Mukaromah, & Ethica, 2018). Pemanfaatan ulat sagu banyak
dilakukan di wilayah Indonesia Bagian Timur seperti Maluku dan Papua (Hastuty, 2016).
Menurut Hastuty (2016) ulat sagu memiliki kandungan protein sebesar 9,34%.
Selain mengandung protein, ulat sagu juga mengandung beberapa asam amino esensial,
diantaranya yaitu asam aspartat (1,84%), asam glutamate (2,27%), tirosin (1,87%), lisin
(1,97%), dan methionin (1,07%). Berdasarkan beberapa studi ulat sagu (Gambar 3) tidak
hanya sebagai sumber pakan tetapi dapat menambah protein pada hewan ternak. Namun
ulat sagu mempunyai kelemahan yakni mudah mengalami pembusukan sehingga usaha
pengawetan harus dilakukan. Pengawetan yang dilakukan dengan pengeringan dan
pemberian garam (Fahima, 2018).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 56
Keterangan: A: Masa bertelur tersedia, mimimum 1 bulan dan maksimum 3 bulan, B: masa telur menetas, 2 – 3 hari, C= masa larva, 2 bulam. D: masa pupa, 2-3 minggu, E: masa imago dan kumbang dewasa
Gambar 3. Serangga Ulat Sagu.
Sumber: Bustaman, (2008)
Belalang
Belalang termasuk ke dalam Ordo Orthoptera dan sebagian besar merupakan
pemakan tumbuhan. Belalang juga berperan sebagai predator. Ciri umum belalang yaitu
memiliki dua pasang sayap (Napitu, Meiganati, & Panjaitan, 2012).
Belalang merupakan salah satu serangga yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
pada beberapa daerah di Indonesia. Hal ini karena belalang mengandung beberapa nutrisi.
Kandungan nutrisinya antara lain 654,2g/kg protein; 83,0g/kg lemak; dan 87,3g/kg kitin,
sedangkan asam amino yang terkandung yaitu asam amino lisin, metionin, dan sistein
(Asthami, Estiasih, & Maligan, 2016; Wang et al., 2007). Belalang dapat dikonsumsi dan
diolah secara langsung. Namun terdapat produk-produk olahan belalang dalam bentuk
lain. Diversifikasi makanan olahan telah dilakukan, salah satunya yakni mie instan. Hasil
penelitian Asthami et al. (2016) pembuatan mie instan dengan penambahan tepung
belalang meningkatkan kualitas dari mie yang dihasilkan. Mie yang dihasilkan mempunyai
kualitas dan kuantitas protein lebih tinggi dibandingkan dengan mie yang berada di
pasaran (Asthami et al., 2016).
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 57
Gambar 4. Serangga Belalang
Sumber: Riyanto, (2017)
Jangkrik
Menurut Erniwati (2012) jangkrik (Gambar 5) merupakan serangga yang berukuran
kecil sampai besar. Jangkrik berkerabat dengan belalang dan termasuk ke dalam Ordo
Orthoptera. Jenis jangkrik di dunia teridentifikasi sebanyak 900 jenis dan 123 jenis
terdapat di Indonesia. Pemanfaatan serangga tersebut sebagai hewan piaraan dan sumber
pakan untuk beberapa jenis burung/ternak. Erniwati (2012) menyatakan bahwa
pemanfaatan jangkrik bukan hanya terbatas untuk makanan tetapi penggunaannya
sebagai bahan tambahan untuk industri farmasi.
Hal ini karena jangkrik banyak mengandung senyawa organik seperti protein, lemak
dan karbohidrat. Selain itu jangkrik juga mengandung senyawa anorganik seperti mineral,
asam glutamat, glisin, dan sistein. Protein pada jangkrik dapat bermanfaat untuk
mencegah penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Beberapa jenis jangkrik
mengandung asam amino, asam lemak, kadar kolagen, omega 3 dan omega 6, seperti pada
jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) (Siswoyo., Sailah., & Suryani, 2008). Asam amino
pada jangkrik kering dan sudah menjadi tepung sebesar 44, 76 mg/g.
Berdasarkan kandungan gizi dan proteinnya (Tabel 2, 3, dan 4) menunjukkan bahwa
serangga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Protein merupakan unsur yang
sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar. Selain itu protein juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein mengandung unsur-unsur
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 58
asam amino (C, H, O, dan N), fosfor, belerang, unsur logam seperti besi dan tembaga
(Nurohman, 2016; Triwahyuni et al., 2018).
Gambar 5. Serangga Jangkrik.
Sumber: Nugroho et al., (2020).
KESIMPULAN
Serangga hutan yang selama ini dikenal sebagai hama mempunyai potensi sebagai
bahan pangan alternatif. Serangga tersebut antara lain rayap, entung jati, ulat sagu,
belalang, dan jangkrik. Nilai gizi dan protein yang terkandung pada serangga tergolong
cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa serangga tersebut sangat potensial menjadi
sumber pangan masyarakat.
SARAN
Eksplorasi terhadap sumber pangan alternatif lain harus dilakukan karena serangga
sebagai salah satu jenis yang melimpah di alam dan pembudidayaannya relatif mudah.
Selain itu, jenis serangga mempunyai nilai gizi dan protein yang cukup tinggi sehingga
jenis ini sangat potensial sebagai sumber pangan baru.
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni bersama-sama berkontribusi melakukan desain
penelitian, studi pustaka , pengolahan data dan melakukan pembuatan naskah publikasi
ini.
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 59
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I. (2017). Hama dan Penyakit Tanaman Jati (Tectona grandis L.f).Bogor-Indonesia. Bogor: IPB Press.
Asthami, N., Estiasih, T., & Maligan, J. M. (2016). Mie instan belalang kayu (Melanoplus cinereus): Kajian Pustaka. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 4(1), 238–244.
Bernard, T., & Womeni, H. M. (2017). Entomophagy: Insect as Food. In Intech Open Science Open Minds, (pp. 234–253). http://doi.org/10.1016/j.colsurfa.2011.12.014
Bustaman, S. (2008). Potensi ulat sagu dan prospek pemanfaatannya. Jurnal Litbang Pertanian, 27(10), 50–54. Retrieved from http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3272082.pdf
Chandrasekhar, N., Sajeev, T. V., Sudheendrakumar, V. V., & Benerjee, M. (2005). Population dynamics of the teak defoliator (Hyblea puera Cramer) in Nilambur teak plantations using Randomly Amplified Gene Endcoding Primers (RAGEP). BMC Ecology, 5(1), 1–11.
Erniwati. (2012). Biologi Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae) Budidaya dan Perananya. Fauna Indonesia, 11(2), 10–14.
Fahima, A. (2018). Profil Protein Berbasis SDS-PAGE pada Ulat Sagu Hasil Pengeringan dengan garam dan tanpa garam. Universitas Muhamadiyah Semarang.
Food and Agriculture Organization (FAO). (2013). Edible Insects : future prospects for food and feed security. Rome Italy.
Girsang, P. (2018). Serangga, solusi pangan masa depan. Jurnal Pembangunan Perkotaan, 6(2), 69–76.
Handru, A., Herwina, & Dahelmi. (2012). Jenis-jenis rayap (Isoptera) di kawasan hutan Bukit Tengah Pulau dan areal perkebunan kelapa sawit, Solok Selatan. Jurnal Universitas Andalas., 1(1), 69–77.
Hastuty, S. (2016). Pengolahan Ulat Sagu (Rhynchophorus Ferruginenes) di Kelurahan Bosso Kecamatan Walenrang Utara Kabupaten Luwu, 1(1), 12–19. Retrieved from www.journal.unismuh.ac.id/perspektif
Nandika, D. Y., Rismayadi, & Diba, F. (2015). Rayap: biologi dan pengendaliannya (kedua). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Napitu, B., Meiganati, K. B., & Panjaitan, B. P. P. (2012). Inventarisasi hama pada Jati Unggul Nusantara di Kebun Percobaan Universitas Nusa Bangsa Cogreg, Bogor. . Journal Nusa Sylva, 12(2), 35–46.
Nugroho, A. A., Sabilla, N. H. S., Setyaningrum, D., Prastin, F. P., & Dani, T. R. (2020). Studi pola interaksi perilaku jangkrik (Gryllus bimaculatus) jantan dan betina. Florea : Jurnal Biologi Dan Pembelajarannya, 7(1), 41. http://doi.org/10.25273/florea.v7i1.6038
Nuraeni, Y., Anggraeni, I., & Bogidarmanti, R. (2016). Identifikasi rayap Benuang bini (Octomeles sumatrana Miq) dI KHDTK Haurbentes. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil, 1(2), 92. http://doi.org/10.30598/jhppk.2016.1.2.92
Jurnal Galam. Vol. 1(1): 49-60, Agustus 2020 60
Nurohman, S. H. (2016). Kajian kandungan protein tepung kacang koro pedang (Canavalia Ensiformis) yang dikemas LDPE (Low Density Polyethylene) selama penyimpanan menggunakan regresi linier sederhana. Universitas Pasundan.
Pattiwael, M. (2018). Analisis tingkat kerusakan tanaman jati (Tectona grandis L.f) akibat serangan hama di Kelurahan Klamalu Distrik Mariat Kabupaten Sorong. Daun: Jurnal Ilmiah Pertanian Dan Kehutanan, 5(2), 89–96. http://doi.org/10.33084/daun.v5i2.465.
Pratiwi, T., Karmanah, & Gusmarianti, R. (2012). Inventarisasi hama dan penyakit Tanaman Jati Unggul Nusantara di Kebun Percobaan Cogrek Bogor. Jurnal Sains Natural Universitas Nusa Bangsa, 2(2), 123–133.
Riyanto. (2017). Keanekaragaman belalang ordo orthoptera di tepian Sungai Musi Kota Palembang sebagai materi kuliah entomologi di Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Jurnal Pembelajaran Biologi, 4(1), 1–14.
Scaraffia, P. Y., & Miesfeld, R. L. (2013). Insect Biochemistry/Hormones. Encyclopedia of Biological Chemistry: Second Edition (2nd ed.). Elsevier Inc. http://doi.org/10.1016/B978-0-12-378630-2.00093-1.
Sentana, S. (2013). Kepompong ulat daun jati sebagai sumber gizi alternatif lokal di Gunung Kidul. Vol V No 8 Tahun 2013 hal 105-113. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan, 5(8), 105–113.
Siswoyo., Sailah., I., & Suryani, A. (2008). Kajian Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Sebagai Bahan Baku Industri (Studi Kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal MPI, 3(2), 64–71.
Sudarsono, H., Hasibuan, R., & Swibawa, I. G. (2011). Hubungan antara curah hujan dan luas serangan belalang. Jurnal HPT Tropika, 11(1), 95–101.
Triwahyuni, A., Mukaromah, A. H., & Ethica, S. N. (2018). Profil Proteein Berbasis SDS-PAGE pada Ulat Sagu Pengasapan Dengan dan Tanpa Penggaraman. In Seminar Nasional Edusaintek. FMIPA UNIMUS.
Uhi, H. T., Jachja, J., Mutia, R., & Nandika, D. (2001). Pengaruh suplementasi rayap Glyptotermes montanus Kemner sebagai sumber protein terhadap penampilan ayam. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner, 6(3).
Untung, K. (2010). Diktat dasar-dasar ilmu hama tanaman. Yogyakarta.
Wang, D., Zhai, S. W., Zhang, C. X., Zhang, Q., & Chen, H. (2007). Nutrition value of the Chinese grasshopper Acrida cinerea (Thunberg) for broilers. Animal Feed Science and Technology, 135(1–2), 66–74. http://doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2006.05.013
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
ISI VOLUME 1
Nomor 1
Nor Ifansyah dan Junaidah Pengelolaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Lindung Liang Anggang Oleh Masyarakat Peduli Gambut (MPG) Sukamaju, Kalimantan Selatan Peat Land Mangement in Liang Anggang Protected Forest by Sukamaju Peat Care Society (PCS), South Kalimantan 1 Tri Wira Yuwati dan Wanda Septiana Putri Keragaman Spora Mikoriza Arbuskula di Bawah Tanaman Shorea balangeran (Korth.) Burck. Sebagai Bioindikator Keberhasilan Revegetasi Diversity of arbuscular mycorrhiza spores under Shorea balangeran (Korth.) Burck. plantation as bioindicator for the revegetation success 15 Purwanto Budi Santosa dan Muhammad Abdul Qirom Fluktuasi Tinggi Muka Air Lahan Gambut di Desa Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah The fluctuation of peatland water table at Tumbang Nusa, Central Kalimantan 27 Safinah S. Hakim dan Eko Priyanto Etnomikologi dan Potensi Pemanfaatan Jamur Petir (Lignosus sp.) di KPH Sengayam, Kotabaru, Kalimantan Selatan Ethnomicology and utilization potential of petir fungi (lignosus sp.) at KPH Sengayam, Kotabaru, South Kalimantan 41 Yeni Nuraeni dan Illa Anggraeni Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif The potentials of forest insects as alternative food 49
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
INDEKS PENULIS VOLUME 1
Nomor 1
A P
Anggraeni, Illa 49 Priyanto, Eko 41
Putri, Wanda Septian 15
H
Hakim, Safinah S. 41 Q
Qirom, M. Abdul 27
I
Ifansyah, Nor 1 S
Santosa, Purwanto B. 27
J
Junaidah 1 Y
Yuwati, Tri Wira 15
N
Nuraeni, Yeni 49
Laman Jurnal: ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
INDEKS KATA KUNCI VOLUME 1
Nomor 1
A O
Agroforestri 1 Obat 41
B P
Bukan kayu 41 Pangan 49
Penanaman 27
G Pengelolaan 1
Gizi 49
R
H Restorasi 27
Hidrologi 27
Hutan 41 S
Hutan rawa gambut 15 Serangga 49
Shorea balangeran 15
K Sosial 1
Kalimantan Tengah 15 Spora 15
Kendala 1
Konflik 1 T
Terbakar 27
M
Mikoriza arbuskula 15
https://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/GLM
Diterima: 12-09-2018 Disetujui: 09-08-2020
p-ISSN 2723-4924 e-ISSN 2723-5084
Artikel
DOI: 10.20886/GLM.2020.1.1.hal
GAYA SELINGKUNG UNTUK MENULIS DI JURNAL GALAM (Judul dalam bahasa Indonesia dibuat tidak lebih dari 2 baris, tidak lebih dari 15 kata.
upper case Cambria 11 Bold, line spacing 1)
Template to write in the Galam Journal
(Judul dalam bahasa Inggris dibuat tidak lebih dari 2 baris, Huruf Cambria 11Bold Italic, sentence case, line spacing 1)
Nama Penulis1*, Nama Penulis2
1Institusi dan alamat, nomor telp/fax penulis 2Institusi dan alamat, nomor telp/fax penulis
*E-mail : Penulis Koresponden
ABSTRAK
Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tidak lebih dari 250 kata baik dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak diketik dengan font Cambria, ukuran 10pt, spasi satu. Abstrak bersifat mandiri, ditulis dalam satu paragraf, menggambarkan secara singkat isi tulisan yang memuat latar belakang, tujuan, metode dan hasil penelitian. Prinsip penulisan abstrak yakni Apa yang dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan Apa yang dihasilkan. Sangat baik jika mencantumkan rekomendasi atau prospek dari penelitian tersebut. Hindari menggunakan singkatan yang tidak umum, tanpa catatan kaki dan tidak mencantumkan referensi. Cara penulisan Abstrak ini berbeda dengan penulisan hasil pembahasan dan kesimpulan (spacing after 6).
Kata kunci: mininal 3 (tiga) kata dan maksimal 5 (lima) kata, kata kunci sebaiknya berbeda dengan kata-kata di judul dan diurutkan sesuai abjad
ABSTRACT
Abstract is written in English and bahasa, less than 250 words both in English and bahasa. Abstract typed with font Cambria, 10pt, single spaced. Abstract must be able to stand alone, written in one paragraph, describes briefly the content of the whole text includes background, purpose, methods and results. The principles of abstract writing are what was conducted, how to conduct and what the result was. It would be better if there are some recommendations or prospects from the research results. Avoid uncommon abbreviation, footnotes and references (spacing after 6).
Keywords: minimum of 3 (three) words and a maximum of 5 (five) words. Try to find words that were different from the title and arranged in alphabetically ordered
PENDAHULUAN
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan diketik pada kertas ukuran A4 (210 mm x
297 mm) dengan spasi 1,5. Pada semua tepi kertas dikosongkan 3 cm. Jumlah halaman
antara 12 sampai 15 halaman. Isi tulisan diketik dengan font Cambria, 11pt. Pendahuluan
terdiri dari latar belakang yang menjelaskan permasalahan aktual (fakta), kausal (sebab),
efek (pengaruh), dan tindak lanjut yang diperlukan serta tujuan penelitian. Alur dalam
latar belakang hingga tujuan hendaknya disusun mengerucut seperti piramida terbalik.
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun b
Perlu dijelaskan pula mengenai status riset yang telah/sudah dilakukan selama ini dan
bagaimana posisi riset yang sedang dilakukan (state of the art). Penulisan pendahulan ini
sebaiknya menggunakan paragraf deduktif yakni pada awal kalimat membahas hal yang
bersifat umum atau luas dan berakhir pada kalimat-kalimat khusus.
Tinjauan pustaka merupakan bagian dari pendahuluan diperlukan untuk
mengetahui perkembangan subjek yang sama yang dilakukan oleh penulis dengan
menggunakan kaidah sitasi yang ditetapkan. Penulisan daftar pustaka dan sitasi Jurnal
Galam mengikuti model “American Psychological Association (APA). Sitasi pada teks terdiri
dari beberapa model yakni 1) satu penulis (Graham, 2013); 2) dua penulis (Qirom &
Supriyadi, 2012); 3) tiga penulis (Suryanto, Qirom, & Rahmanto, 2013); 4) empat penulis
(Hairiah, Sitompul, van Noordwijk, & Palm, 2001); dan 5) lebih dari empat penulis
(Brearley et al., 2019). Penulisan pustaka tersebut apabila pengutipan diakhir kalimat.
Penulisan sitasi tersebut berbeda jika sitasi dilakukan pada awal kalimat. Penulisan
tersebut sebagai berikut: 1) Menurut Graham (2013) menunjukkan sitasi oleh satu
penulis; 2) Menurut Qirom & Supriyadi (2012) menunjukkan sitasi oleh satu atau dua
penulis; 3) Menurut Suparno, Akbar, & Rafli, (2018)menunjukkan sitasi oleh tiga penulis;
4) Menurut Hairiah, Sitompul, van Noordwijk, & Palm (2001) menunjukkan sitasi oleh
empat penulis; 5) Menurut Brearley et al. (2019) menunjukkan sitasi oleh lebih dari empat
penulis. Penulisan tersebut berlaku apabila pustaka tersebut pertama kali disitasi. Cara
sitasi untuk penulis lebih dari dua akan berubah jika literatur yang sama disitasi kembali
yakni penulisan menggunakan et al.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan metode ini terdiri dari lokasi dan waktu penelitian, bahan dan alat yang
digunakan selama penelitian, dan metode penelitian. Lokasi penelitian dapat menjelaskan
dimana penelitian dilakukan dan dapat ditambahkan informasi berupa peta, letak
geografis dan administratif termasuk kondisi biofisiknya jika penelitian tersebut
merupakan penelitian lapangan. Waktu penelitian dimulai pada tahap pengumpulan data
dan berakhir pada tahap pengumpulan data.
Bahan dan alat menyampaikan bahan apa saja yang digunakan, sedangkan alat
merujuk pada alat apa saja yang digunakan dan penggunaan alat tersebut. Penyajian
metode memerlukan acuan pustaka, apabila sudah pernah dipublikasi sebelumnya dan
hal ini mencerminkan seberapa valid metode yang digunakan. Uraian mencantumkan
rumusan matematis sehingga hasil numeriknya dapat divalidasi. Untuk rumus dan bahan
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun c
yang telah baku tidak perlu dijelaskan ulang, hanya disebutkan sumbernya, kecuali
apabila ada modifikasi, perlu ada penjelasan. Bab ini memuat lokasi penelitian, bahan
dan alat, metode penelitian, dan analisis data. Prosedur pengumpulan data, hendaknya
dibuat ringkas tetapi cukup informatif bagi pembaca yang ingin mengulangi penelitian
yang dilaporkan.
Apabila terdapat rumus persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada
kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran
dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu
baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukkan
persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti Pers. (1). Persamaan ditulis
menggunakan Microsoft equation dengan huruf tidak miring (italic) seperti berikut:
H' N
log N ............................................................................................................. . (1)(Krebs, 2014)
Keterangan:H’:…., ni:……., N:…… (ukuran huruf 9 pt)
Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail,
hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.
Analisis data merupakan lanjutan dari proses pengolahan data. Analisis data dapat
melalui uji statistik atau analisis deskriptif terhadap data-data yang diolah/dikumpulkan.
Pada bab ini dapat dibuat sub bab sebagai berikut:
Waktu dan lokasi penelitian
Bahan dan alat
Metode penelitian
Pengumpulan data
Pengolahan data
Analisis data
Namun demikian, penulis dapat menambah/menghilangkan sub bab tersebut sesuai
dengan metode selama melaksanakan penelitian.
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun d
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jurnal ini memisahkan antara hasil dan pembahasan. Sub-bab dicetak tebal pada
masing-masing bagian.
Hasil
Hasil merupakan hasil analisis fenomena di wilayah penelitian yang relevan dengan
tema. Hasil yang diperoleh dapat berupa deskriptif naratif, angka-angka, gambar/tabel,
dan suatu alat. Hindari penyajian deskriptif naratif yang panjang lebar, gantikan dengan
ilustrasi (gambar, grafik foto, diagram, atau peta, dan lain-lain), namun dengan penjelasan
serta legenda yang mudah dipahami.
Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan
jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada
angka di dalam tabel masing-masing menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan
seribu. Tabel tidak menggunakan garis vertikal. Isi dalam tabel menggunakan 1 spasi dan
ukuran huruf 9 pts. Contoh tabel seperti berikut ini:
Tabel 1. Rerata Tinggi dan diameter jati di persemaian (line spacing before 10, after 6)
Perlakuan Tinggi (cm) Dimeter (cm)
6 bulan 12 bulan 6 bulan 12 bulan Pupuk 7,4 8,9 0,1 0,2 Tanpa pupuk 5,8 9,1 0,2 0,2
P 0,513 1,00 0,658 0,513
Sumber: , tahun (ukuran huruf 10 pt, spacing before 6, after 10)
Gambar berupa grafik dan gambar harus kontras. Setiap gambar harus diberi nomor,
judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia seperti contoh dalam Gambar 1.
Foto yang digunakan harus mempunyai ketajaman yang baik dan diinsert dalam format
tex box agar posisi gambar dapat tetap stabil bila terjadi perubahan format. Gambar diberi
judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia. Contoh gambar berupa foto dan
grafik dapat dilihat seperti berikut:
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun e
Gambar 1. Burung Kehicap Ranting di KHDTK Tumbang Nusa (ditulis rata tengah)
Keterangan: = H3PO4 0%, (A) = Tanpa uap air panas
= H3PO4 5%, (B) = Uap air panas selama 60 menit
= H3PO4 10%, (C) = Uap air panas selama 90 menit
= H3PO4 15%, (D)
Gambar 2. Rerata Rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan konsentrasi H3PO4
(ditulis rata tengah bila sebaris, tapi justify jika lebih dari 1 baris. line spacing 1, spacing before 6)
Sumber:
Pembahasan
Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus pada interpretasi dari hasil yang
diperoleh dan bukan merupakan pengulangan dari bagian hasil. Pembahasan tidak perlu
membaca ulang dari grafik, tetapi interpretasi dari hasil yang telah
dikelompokkan/dianalisis. Pembahasan dibuat berdasarkan teori dan hasil penelitian
terdahulu. Pembahasan tersebut difokuskan dari temuan/hasil yang menarik atau
menonjol dari penelitian ini dan membandingkannya dengan hasil penelitian sebelumnya.
Hasil dan pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.
0
25
50
75
A B C D
Ren
dem
en (
%)
Konsentrasi H3PO4
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun f
KESIMPULAN
Kesimpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian,
bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan penyampaian
singkat dalam bentuk kalimat utuh. Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dan
kesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakan hasil analisis data atau hasil uji
hipotesis tentang fenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil generalisasi
atau keterkaitan dengan fenomena serupa di wilayah lain dari publikasi terdahulu. Hal
yang perlu diperhatikan adalah antara permasalahan, tujuan, dan kesimpulan harus
konsisten. Isi kesimpulan menggunakan huruf dan gaya paragraf yang sama dengan
bagian lainnya serta menghindari penggunaan bullet atau nomor.
SARAN
Saran dapat berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi
kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Saran yang normatif harus dihindari seperti
melanjutkan penelitian dengan parameter yang lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Berisi ucapan terima kasih kepada suatu instansi jika penelitian ini didanai atau
mendapat dukungan oleh instansi tersebut. Pihak yang secara signifikan membantu
langsung penelitian atau penulisan artikel ini apabila pihak tersebut sudah tercantum
sebagai penulis maka pihak tersebut tidak perlu disebutkan lagi.
PERNYATAAN KONTRIBUSI
Penulis A sebagai kontributor utama pada karya ilmiah ini. Penulis B dan C sebagai
kontributor anggota pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Seluruh kutipan dari penulis/sumber lain harus disebutkan sumbernya. Pustaka
yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir dengan jumlah
pustaka primer paling sedikit sepuluh pustaka. Sumber dituliskan dengan mengikuti
tatacara (style) yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological Association). Daftar
pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad berdasarkan nama belakang penulis
buku/sumber dengan mencamtunkan nama penulis, tahun terbit, judul pustaka, terbitan
Jurnal Galam. Vol. (edisi ke): hal,bulan tahun g
(Vol., No., Hlm.), kota penerbit dan penerbit, spasi 1 dan 6 pt setelahnya. Daftar Pustaka
yang digunakan dalam makalah minimal 15 pustaka (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), 2012). Komposisi pustaka tersebut yakni 80% sebagai pustaka primer
dan 80% dari pustaka primer tersebut merupakan terbitan 10 tahun terakhir (Direktorat
Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan, 2018).
Kami menyarankan penggunaan aplikasi referensi standar seperti Mendeley,
EndNote, Zotero, dll. Hal ini dilakukan untuk konsistensi cara pengacuan, pengutipan dan
penulisan daftar pustaka. Penulisan daftar pustaka berbeda-beda tergantung jenis
publikasinya. Contoh penulisan daftar pustaka antara lain jurnal, buku, tesis, buku
panduan, bagian dari buku, peraturan, dan laporan kegiatan sebagai berikut:
Brearley, F. Q., Adinugroho, W. C., Cámara-Leret, R., Krisnawati, H., Ledo, A., Qie, L., … Webb, C. O. (2019). Opportunities and challenges for an Indonesian forest monitoring network. Annals of Forest Science, 76(2). http://doi.org/10.1007/s13595-019-0840-0
Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan. (2018). Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah (Pertama). Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Graham, L. L. B. (2013). Restoration from within : an interdisciplinary methodology for tropical peat swamp forest restoration in Indonesia. University of Leicester.
Hairiah, K., Sitompul, S., van Noordwijk, M., & Palm, C. (2001). Methods for sampling carbon stocks above and below ground. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia, ASB Lecture Note 4B. Bogor: ICRAF Southeast Asia.
Krebs, C. J. (2014). Species diversity measures. In Ecological Methodhology (Third, pp. 532–595). Boston, United States: Addison-Wesley Educational Publishers, Inc.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 04/E/2012 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah (2012).
Qirom, M. A., & Supriyadi. (2012). Penyusunan model penduga volume pohon jenis jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq)V. Steenis). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 9(3), 141–153.
Suparno, S., Akbar, H., & Rafli, M. (2018). Pemetaan dan kesesuaian lahan tanaman pangan di DAS Krueng Pasee Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Agrium, 14(2), 26–36. http://doi.org/10.29103/agrium.v15i2.1073
Suryanto, E., Qirom, M. A., & Rahmanto, B. (2013). Pengelolaan KHDTK Rantau. Banjarbaru.