Post on 28-Mar-2023
TUGAS PERTAMA
STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT
Dosen : Tjutju Yuniarsih, Prof. DR. Hj. M.Pd. SE
STRATEGIC HUMAN RESOURCES MANAGEMENT
Chapter 10
Strategic Human Resources Development: Pot of Gold or Chasing Rainbow
Mike Millmore, Philip Lewis, Mark Saunders,
Adrian Thornhill, & Trevor Morrow
Mahasiswa
Arif Partono Prasetio – 1303193
Universitas Pendidikan Indonesia
Program Doktor Ilmu Manajemen
2014
Arif Partono - 2014
2
DAFTAR ISI
1 Pendahuluan ................................................................................................................... 3
1.1 Investasi di bidang SDM merupakan pemborosan ...................................................3
1.2 SDM sebagai keunggulan bersaing .........................................................................4
2 Definisi dan Tema Baru .................................................................................................. 5
2.1 Tema Utama ...........................................................................................................6
3 SHRD kesatuan arti dan kematangan .............................................................................. 6
3.1 Karakteristik SHRD ................................................................................................6
3.2 Menuju kesatuan kematangan SHRD ......................................................................9
3.3 Pelatihan dan SHRD sebagai konsep bipolar (dua sisi).......................................... 11
4 Pendekatan Pelatihan Sistematis sebagai sarana menuju SHRD .................................... 12
4.1 Pendekatan sistematis tradisional terhadap Pelatihan ............................................ 12
4.2 Menuju siklus aktivitas SHRD yang berorientasi strategis..................................... 14
4.3 Rangkaian baru kematangan SHRD ...................................................................... 16
5 Menentukan karakteristik SHRD .................................................................................. 17
5.1 Integrasi Strategis ................................................................................................. 18
5.2 Sentralitas Budaya Belajar .................................................................................... 18
5.3 Perspektif multi stakeholder.................................................................................. 18
6 Organisasi Pembelajaran: Paradox ayam dan telur dalam SHRD ................................... 19
6.1 Organisation learning atau learning organisation ................................................... 19
6.2 Karakteristik learning organisation ....................................................................... 20
6.3 Belajar: konsep problematis .................................................................................. 21
6.4 Menterjemahkan konsep ke dalam praktek: analisis kritis ..................................... 22
7 Manajemen Pengetahuan .............................................................................................. 25
7.1 Manajemen pengetahuan: fokus masa depan SHRD .............................................. 25
7.2 Aspek-aspek dalam KM........................................................................................ 26
7.3 Apa yang dimaksud dengan pengetahuan .............................................................. 28
7.4 Masalah dasar dalam Knowledge Management ..................................................... 30
8 Manajer sebagai stakeholder SHRD: Linchpin (pemersatu) atau Spanner in the work
(kejutan) ....................................................................................................................... 32
8.1 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Sebagai Pemersatu ...................................... 33
8.2 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Suatu Kejutan ............................................. 33
8.3 Kompetensi Manajerial dalam HRD: pandora box ................................................ 35
9 Rangkuman .................................................................................................................. 36
Arif Partono - 2014
3
1 Pendahuluan
SDM strategis bukanlah hal baru akan tetapi merupakan pendekatan dalam
mengembangkan kemampuan SDM suatu organisasi, yang didasarkan pada tradisi
sebelumnya. Istilah pelatihan dan pengembangan tentu sudah dikenal oleh banyak orang
sebagai komponen dasar di dalam SDM. Pelatihan dan pengembangan dapat dijelaskan
sebagopai proses terencana yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan karyawan saat
ini dan di masa depan sehingga mereka bisa bekerja dengan efektif dengan ketrampilan,
pengetahuan, dan sikap yang sudah ditingkatkan. Proses pelatihan dan pengembangan
merupakan suatu siklus yang terdiri dari; analisis kebutuhan, perencanaan dan perancangan
pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi hasil yang diperoleh.
Istilah pelatihan dan pengembangan akhir-akhir ini sudah digantikan dengan HRD (HR
development). Istilah ini mencerminkan pentingnya pengembangan karyawan. Hanya saja
konsep lama memahami pengembangan adalah sesuatu keputusan dari atas ke bawah,
sedangkan konsep saat ini lebih memberikan penekanan pada kebutuhan karyawan dan
perusahaan yang dapat menghasilkan perubahan positif.
SDM strategis (SHRD) merupakan perpanjangan konsep pelatihan dan pengembangan.
Pelatihan dan pembelajaran harus dilaksanakan secara strategis dan terintegrasi dengan
sasaran perusahaan (vertikal) dan sejalan dengan fungsi SDM lainnya (horizontal). Dengan
demikian pelatihan bukan sekedar merupakan solusi ketika ada masalah, akan tetapi
merupakan tindakan proaktif yang diarahkan pada peningatan efektivitas perusahaan.
1.1 Investasi di bidang SDM merupakan pemborosan
Milner (2004) menyatakan bahwa investasi di bidang pengembangan menjadi sia-sia
karena:
- Karyawan terlalu sibuk untuk mengikuti pelatihan yang sudah direncanakan
- Karyawan mengikuti pelatihan secara menyeluruh, akan tetapi hanya sebagian kecil
yang dibutuhkan dalam pekerjaannya
- Tidak dilakukan evaluasi dan transfer ilmu
Arif Partono - 2014
4
Beberapa pandangan mengenai pelatihan
- Investasi dalam pengembangan merupakan kegiatan hura-hura
- Investasi dalam pengembangan sia-sia
- Investasi dalam pengembangan merupakan keyakinan semu (tidak ada evaluasi
manfaat)
- Investasi dalam pengembangan hanya ditujukan untuk memperbaiki kinerja yang
turun
1.2 SDM sebagai keunggulan bersaing
Meski ada yang berpendapat negatif seperti di atas, ternyata investasi di bidang SDM
berperan di dalam meningkatkan keberhasilan suatu organisasi. Perusahaan Hindle Power
yang terancam kehilangan kotrak senilai 75% dari total pendapatanya berhasil
mempertahankan kontrak tersebut karena melakukan investasi di bidang SDM. Bab ini akan
membahas posisi strategis dari pengembangan SDM dan menegaskan pentingnya budaya
belajar di dalam perusahaan untuk memperoleh keunggulan bersaing.
Pembahasan akan diawali dengan penjelasan mengenai konsep pengembangan SDM
yang ditujukan untuk menghilangkan atau menyaring karakteristiks utama SDM dan
membedakan tingkat kedewasaan strategi SDM. Pembahasan tersebut akan memunculkan
peran budaya belajar sebagai karakteristi sentral diri pegembangan SDM. Selanjutnya
pembahasa akan mengarah pada dua pendekatan terbaru di bidang SDM, organisasi
pembelajaran dan manajemen pengetahuan. Langkah berikut adalah menjelaskan tanggung
jawab manajer di dalam proses pengembangan.
Arif Partono - 2014
5
Gambar 10.1. Wilayah Kajian SHRD
2 Definisi dan Tema Baru
Penjelasan mengenai SHRD akan dijelaskan pada bagian berikut berdasarkan beberapa
denifisi mengenai konsep tersebut. Berdasarkan definisi tersebut akan ditetapkan beberapa
tema utama sebagai dasar pembahasan bab berikut.
Konsep utama; Definisi SHRD
HRD terdiri dari aktivitas dan proses yang bertujuan menghasilkan pengaruh terhadap
pembelajaran individu dan organisasi. Istilah ini mengasumsikan bawah perusahaan dianggap
sebagai suatu wujud pembelajaran dan proses belajar keduanya dapat dipengaruhi dan
diarahkan melalui intervensi yang terencana (Stewart & McGoldrick, 1996)
Pendekatan strategis terhadap pelatihan dan pengembangan dapat dijelaskan bahwa
semua yang terlibat di dalamnya terkait satu sama lain dan memiliki tujuan pengembangan
yang akan membantu pencapaian sasaran belajar individu dan misi perusahaan (Mabey et al
1998).
SHRD didefinisikan sebagai pembentukan budaya belajar yang terdiri dari serangkaian
strategi pelatihan, pengembangan, dan pembelajaran yang sesuai dengan strategi perusahaan.
Di samping itu juga merupakan pencapaian kebutuhan perusahaan saat ini dan sekaligus
membantu organisasi dalam menghadapi perubahan dan perkembangan ketika mengalami
pertumbuhan. Intinya adalah hubungan SHRD dengan strategi perusahaan saling timbal balik
(McCracken and Wallace, 2000).
SHRD dianggap sebagai suatu campur tangan budaya yang terkait secara vertikal
Arif Partono - 2014
6
dengan sasaran perusahaan, terkait secara horizontal terhadap fungsi SDM lain, dan secara
aktif mendorong pembelajaran dan pengembangan karyawan, serta meningkatkan komitmen
dan keterlibatan di dalam perusahaan (Myers dan Kirk, 2005).
2.1 Tema Utama
Salah satu tema SHRD yang menonjol adalah integrasi strategis vertikal atau eksternal.
Pendekatan ini hanya fokus pada satu arah pengaruh saja, kegiatan SDM dirancang untuk
mendukung tercapainya misi perusahaan. Akan tetapi belum mencakup kajian strategi
interaksi vertikal dua arah. Kemampuan SHRD dalam mempengaruhi dan membentuk strategi
perusahaan juga penting. Strategi dua arah ini banyak dibahas di dalam literatur SDM
kontemporer.
Tema lain yang mengemuka adalah adanya fokus terhadap pembelajaran pada tingkat
individu dan organisasi. Temuan ini didasarkan pada kondisi dimana SHRD menjadi
kendaraan untuk membentuk budaya belajar (Stewart dan McGoldrik, 1996; McCrackern &
Wallace, 2000) yang sejalan dengan gagasan learning organisation. Belajar diinterpretasikan
sebagai cara untuk mengembangan individu seoptimal mungkin sehingga tercapai pertumban
individu dan organisasi. Hal in imenjadi dasar berkembangnya tema ketiga, bahwa jika ingin
efektif SHRD harus tanggap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dari berbagai
stakeholders. Tema yang muncul; integrasi strategis, belajar sebagai orientasi organisasi, &
perbedaan persepsi stakeholder merupakan hal penting dalam konsep SHRD.
3 SHRD kesatuan arti dan kematangan
3.1 Karakteristik SHRD
Gambar berikut tmenyajikan 9 karakteristik SHRD dari McCracken dan Wallace (2000)
yang diadaptasi dari konsep Garavan (1991). Konsep yang disampaikan adalah SHRD yang
sudah matang secara strategis dan membandingkan dengan SDM dan pelatihan yang
dipandang sebagai strategi kematangan yang mengalami penurunan. Dalam hal ini gagasan
mereka terhadap pengembangan SHRD dapat disajikan sebagai suatu kesatuan, dari pelatihan
dan SDM hingga strategi kematangan yang lebih jelas di dalam SHRD.
Arif Partono - 2014
7
Gambar 10.2. Rangkaian Kematangan SHRD
PELATIHAN
Organisasi belum berpikir
strategis mengenai HRD
HRD
Organisasi mulai berpikir
strategis mengenai HRD
SHRD
Organisasi sudah berpikir
strategis mengenai HRD
Integrasi antara SDM dengan
misi organisasi belum ada
atau masih sangat terbatas
Integrasi SDM dengan misi
organisasi terjadi satu arah
Integrasi SDM dengan misi
dan strategi organisasi terjadi
dua arah
Bagian ini menggunakan istilah kesatuan kematangan strategi SDM sebagai suatu cara
untuk memahami apa yang dimaksud dengan SHRD dan mengembangkan lebih lanjut 3
posisi yang ada di sepanjang kontinum di atas. Pada bagian berikut akan disajikan 9
karakteristik dari Garava terkait praktel SHRD.
Karakteristik SHRD dari Garavan
- Integrasi dengan misi dan sasaran perusahaan
- Ada dukungan dari top manajemen
- Memperhatikan kondisi lingkungan (mengantisipasi peluang dan ancaman)
- Ada kebijakan dan perencanaan SDM
- Komitmen dan keterlibatan manajer lini
- Adanya aktivitas SDM yang sudah berjalan sebelumnya
- Memperluas peran instruktur
- Memahani budaya perusahaan
- Menekankan perlunya evaluasi
Pandangan Garavan mendapat kritik yang menilai:
- Pandangan bahwa spesialis di bidang SDM sebagai stakeholder tidak didukung
kenyataan karena banyak organisasi yang tidak memiliki organisasi SDM
- Penekanan pada spesialis SDM mengurangi peran manajer sebagai salah satu SHRD
stakeholder
- Ada keanehan dengan konsep tersebut karena menekankan pada peran manajer lini
- Potensi konflik antara spesialis SHRD dengan manajer lini belum dibahas
- Integrasi strategis hanya dilihat secara vertikal satu arah
Arif Partono - 2014
8
- Menekankan perspektif manajerial yang mengurangi pentingnya pandangan dari
karyawan
- Beberapa hal penting seperti analisis kebutuhan dan cara penyampaian tidak dibahas.
McCracken dan Wallace menggunakan pemikiran Garavan sebagai dasar untuk
mendefinisikan SHRD. Selanjutnya mereka mengembangkan 9 karakteristik yang lebih
mencerminkan tingkat kematangan strategi yang lebih tinggi.
Karakteristik kematangan strategi SDM – McCracken & Wallace
1. Integrasi strategis yang sebenarnya muncul ketika SHRD mempengaruhi misi dan sasaran
perusahaan dan sekaligus mendukung implementasinya
2. Dukungan manajemen terlalu pasif sehingga yang dibutuhkan adalah kepemimpinan dari
manajemen puncak
3. Terkait dengan peran kepemimpinan tadi dan tanggung jawab analisis lingkungan senior
maanjer bertanggung jawab untuk menganalisis dampak yang dialami SDM dari
lingkungan eksternal dan internal yang berubah
4. Perumusan perencanaan dan kebijakan SDM mencerminkan kepentingan organisasi.
5. Komitmen dan keterlibatan manajer lini tidak cukup untuk mencapai integrasi SDM yang
sebenarnya dengan tanggung jawab manajerial lain. Integrasi ini memerlukan kolaborasi
yang erat dengan spesialis SDM dan pengembangan strategi kemitraan yangbaik.
6. Aktivitas SDM lainnya kurang memadai sehingga menurunkan tingkat kebutuhannya
untuk terintegrasi dibawah payung SHRM. Hal ini menunjukkan makin perlunya integrasi
vertikal dan sekaligu horizontal serta mengantisipasi perkembangan strategi kemitraan
antara spesialis pengembangan SDM dengan praktisi SHRM lainnya.
7. Peran spesialis HRD yang diperluas semakin dibutuhkan sehingga peran tersebut bisa
meningkat dari fungsi sebagai fasilitator perubahan organisasi menjadi peran sebagai
pemimpin perubahan.
8. Fungsi HRD perlu diperluas dalam hal pemahaman mengenai budaya organisasi, dimana
pelatihan dilakukan dalam kaitannya dengan budaya saat ini hingga pada satu kondisi
dimana HRD memberikan pengaruh terhadap budaya tersebut, bahkan jika prlu berperan
dalam perubahan budaya.
9. Penekanan pada evaluasi harus diwujudkan lebih jelas lagi sehingga mencakup hal yang
bisa dikuantifikasi, sehingga aktivitas HRD dapat dievaluasi dari sisi efektivitas biaya.
Arif Partono - 2014
9
Salah satu hal penting dari karya McCracken dan Wallace adalah penekannya pada
hubungan antara SHRD dengan pengembangan budaya belajar. Mereka menegaskan bahwa
keberadaan budaya belajar penting bagi terselenggaranya SHRD dan organisasi yang HRD
nya memiliki peran dalam mempengaruhi budaya, kemungkinan sudah memiliki budaya
pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dua arah antara pembelajaran dan
budaya organisasi. Budaya belajar merupakan sarana untuk mentrasmisi budaya dan
sebaliknya juga merupakan produk dari budaya organisasi. Ketika belajar sudah
dilembagakan dan menjadi komponen integral dari pengembangan organisasi, maka
organisasi dikatakan sudah mengadopsi karakteristik learning organisation.
3.2 Menuju kesatuan kematangan SHRD
Analisis di atas mengenai McCracken dan Wallace memberi pandangan bahwa SHRD
memiliki fungsi proaktif dimana penekanan dilakukan terhadap pembentukan strategi yang
difokuskan pada organisasi dan didukung oleh budaya belajar. SHRD ditandai sebagai
kematangan dalam integrasi strategis. Pandangan ini berbeda dengan Garavan yang
mengganggap HRD dimana hubungan strategisnya dilakukan dari atas ke bawah di dalam
budaya yang lemah. Jika dikaitkan dengan pelatihan, maka pada kondisi ini organisasi masih
dikatakan belum matang dalam pengintegrasian HRD dan belum ada budaya belajar.
Pelatihan, menurut McCracken dan Wallace (2000) merupakan aktivitas yang belum memiliki
hubungan dengan salah satu dari 9 karakteristik yang disajikan Garavan. Pelatihan sebagai
bagian akhir dari kesatuan memperlihatkan bahwa pelaksanaannya hanya merupakan
Arif Partono - 2014
10
merupakan tindakan perbaikan dan dirancang untuk mengurangi kesenjangan kemampuan
karyawan atau mengatasi masalah yang muncul.
Kesatuan kematangan
strategi HRD
Belum Matang Lebih matang Sangat matang
Budaya belajar Tidak ada Lemah Kuat
Fungsi HRD Administrasi, penyaji Konsultan Perubahan strategis
Karakteristik HRD Belum Matang Lebih matang Sangat matang
1. Integrasi dengan
misi organisasi
Sedikit atau hanya
sesekali
Peran pendukung, dari
atas ke bawah
Dua arah
2. Dukungan
manajemen puncak
Sangat terbatas Aktif mendukung dan
terlibat
Menjalankan peran HRD
sebagai pemimpin
3. Analisis lingkungan Kepedulian terbatas dan
hanya merespon
lingkungan
Fungsi HRD melakukan
monitoring rutin
Peran manajemen senior
dlm menganalisis
lingkungan yang
berdampak pada HRD
4. Kebijakan HRD Respon reaktif terhadap
masalah
Secara sistematis
terintegrasi dengan
strategi organisasi
Dikembangkan dalam
strategi HRD
5. Komitmen manajer
lini
Komitmen terbatas Manajer lini menjalankan
peran penting
Kemitraan dengan
spesialis HRD
6. Keberadaan
kegiatan HRM
lainnya
Tidak ada integrasi
horizontal
HRD sbg serangkaian
kegiatan HRM
Integrasi horizontal
dengan aktivitas SHRM
lainnya
7. Perluasan peran
instruktur
Terbatas sebagai
penyedia pelatihan
Peran sebagai konsultan
dan inovator
Peran sebagai
agen/konsultan perubahan
8. Pemahaman
budaya
Tidak
mempertimbangkan
budaya
Kegiatan didasarkan pada
budaya perusahaan
Mempengaruhi budaya
organisasi
9. Penekanan pada
evaluasi
Tidak ada evaluasi Evaluasi thd efektivitas
biaya
Evaluasi thd kontribusi
strategis
Gambar 10.3. Pemetaan Rangkaian Kematangan SHRD
Arif Partono - 2014
11
3.3 Pelatihan dan SHRD sebagai konsep bipolar (dua sisi)
Kajian HRD banyak diinterpretasikan sebagai konsep bipolar dengan pelatihan di satu
sisi dan SHRD pada sisi lain. Dalam gambar berikut disajikan ilustrasi pengenalan teknologi
baru sebagai contoh untuk membedakan dua sisi tersebut. Pelaksanaan pelatihan merupakan
tindakan reaktif dan ditujukan untuk mengatasi masalah tertentu dengan adanya teknologi
baru (berorientasi penyelesaian masalah). Sebaliknya penerapan SHRD merupakan langkah
proaktif untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait penerapan teknologi baru
(berorientasi strategis). Dengan SHRD evaluasi terhadap aktivitas HRD merupakan suatu
siklus yang tidak hanya mendukung penerapan teknologi baru tapi juga sebagai input terhadap
proses belajar dalam organisasi yang mungkin akan mempengaruhi proses manajemen proyek
dan perubahan.
Gambar 10.4. Orientasi HRD Strategis VS Berorientasi pada Masalah
Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa dalam penerapan suatu hal baru (teknologi)
sebaiknya dilakukan persiapan yang matang sebelumnya. Hal in bertujuan menghindari
kegagalan atau besarnya tingkat kesalahan ada saat implementasi. Kesenjangan antara kondisi
karyawan saat ini dengan kebutuhan di masa depan perlu diidentifikasi sedini mungkin.
Meski tingkat kepentingannya sudah nampak besar, akan tetapi pada prakteknya ternyata
penerapan keputusan strategis ini masih sangat jarang dilakukan. Praktek yang banyak terjadi
adalah praktek reaktif ketika terjadi masalah. Menurut suatu studi dari Universitas Chemnitz
(1995) hanya ada 18% organisasi yang menjalankan pemikiran strategis dalam hal pelatihan
Arif Partono - 2014
12
dan pengembangan (Muhlemeyer dan Clarke, 1997). Meski demikian sejalan dengan waktu
semakin banyak organisasi yang memahami pentingnya pendekatan strategis dalam SHRD.
4 Pendekatan Pelatihan Sistematis sebagai sarana menuju SHRD
4.1 Pendekatan sistematis tradisional terhadap Pelatihan
Setelah membahas strategi HRD sebagai kesatuan dan konsep bipolar langkah berikut
adalah mengkaji pendekatan sistematis terhadap pelatihan. Pendekatan ini sering dianggap
sebagai siklus kegiatan yang terdiri dari:
- Identifikasi kebutuhan HRD
- Perencanaan dan perancangan kegiatan HRD untuk memenuhi kebutuhan
- Penerapan kegiatan HRD yang sudah direncanakan
- Mengevaluasi hasil dari kegiatan tersebut
Contoh berikut menggambarkan siklus dari kegiatan di atas. Pertama, adanya perubahan
di dalam peraturan mengenai kebijakan usia karyawan akan berdampak pada perilaku
manajemen. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan pelatihan kepada manajer agar dapat
memahami peraturan baru tersebut dan kaitannya dengan praktek SDM. Perlu dirancang
kegiatan HRD untuk mengantisipasi kebutuhan ini. Keberhasilan kegiatan HRD tersebut akan
dievaluasi dengan tolok ukur jumlah keluhan dan kasus kepegawaian yang terjadi terkait
diskriminasi usia.
Kedua, tindakan terhadap SHRM mengantisipasi perkembangan tanggung jawab HR
kepada manajer lini. Penilaian kinerja mereka mungkin mengandung kekurangan dalam
mengantisipasi kompetensi baru tersebut. Berdasarkan kondisi demikian maka perlu
dikembangkan kegiatan HRD yang mengantisipasi kebutuhan tersebut. Selanjutnya
efektivitas dari kegiatan itu dianalisis melalui siklus penilaian kinerja berikutnya.
Model sederhana yang dikemukakan di atas memiliki banyak kompleksitas, beberapa di
antaranya:
- Pada tingkat dasar, identifikasi kelemahan karyawan hanya dikaitkan dengan kinerja
dalam pekerjaannya saja. Padahal jika diinterpretasikan lebih luas, identifikasi
kebutuhan HRD mungkin saja mencakup orientasi strategis. Dalam hal ini sasaran
bisnis harus menjadi titik awal dalam pendekatan analisis kebutuhan HRD.
Selanjutnya diturunkan ke bawah untuk integrasi antara kebutuhan dan unit bisnis,
kelompok, dan individu terpenuhi. H0lden (2004) mengemukakan tiga tahap dalam
Arif Partono - 2014
13
siklus pelatihan; penentuan strategi perusahaan, penentuan strategi HRM, dan
penentuan strategi pelatihan dan pengembangan.
- Penerapan teori pembelajaran dibutuhkan untuk menginformasikan perancangan
kegiatan HRD dan memastikan metode yang digunakan sesuai dengan gaya belajar
peserta.
- Tahapan evaluasi di dalam siklus tersebut masih terbatas pada hirarki evaluasi tingkat
awal. Artinya evaluasi hanya mengukur reaksi peserta terhadap kegiatan pelatihan atau
tentang apa yang dipelajari dalam pelatihan tersebut. Padahal evaluasi bisa terdiri dari
tingkat awal seperti di atas hingga tingkat tinggi yang berusaha mencari bukti sejauh
mana aktivitas HRD menghasilkan manfaat bagi perusahaan.
- Ketika dilakukan sebagai suatu siklus berkesinambungan, model sistematis HRD
menunjukkan karakteristik pendekatan riset dalam mengevaluasi. Ini juga
diperlihatkan pada gambar berikut yang menunjukkan kepentingan strategis terkait
evaluasi.
Arif Partono - 2014
14
Gambar 10.7. Pembelajaran dan pengembangan karyawan sebagai proses strategis
4.2 Menuju siklus aktivitas SHRD yang berorientasi strategis
Muhlemeyer dan Clarke (1997) menjelaskan kematangan SHRD dengan cara
mengkritisi penerapan siklus HRD yang didasarkan pada penanganan masalah, yang menurut
mereka saat ini banyak digunakan oleh organisasi. Banyak perusahaan yang belum
nenerapkan HRD berbasis strategis. Kritik keduanya menunjukkan potensi terjadinya situasi
dimana kegagalan untuk mentransfer pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kegiatan
pelatihan akan diterjemahkan dalam pandangan bahwa seluruh investasi dalam pelatihan
hanya merupakan pemborosan. Gambar siklus HRD di atas dapat menjadi dasar penerapan
HRD yang strategis dimana siklus tersebut diawali dengan adanya kebutuhan organisasi, serta
adanya aktivitas untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan dan tindakan evaluasi yang
diperlukan. Salah satu titik kritisnya adalah pda transfer pengetahuan yang diharapkan dapat
mencegah output kegiatan pelatihan tersimpan tanpa pernah diaplikasikan atau digunakan.
Dengan adanya transfer pengetahuan tersebut diharapkan pengetahuan yang sudah pernah
diperoleh karyawan tertentu dapat disebarkan dan digunakan oleh yang lain.
Muhlemeyer dan Clarke (1997) menjelaskan pentingnya transfer pengetahuan melalui
kesimpulan ‘transfer pengetahuan ini merupakan kunci keberhasilan bagi suatu kegiatan
pelatihan’. Pandangan ini sesuai dengan budaya belajar dan manajemen pengetahuan. Melalui
keduanya, pengembangan pengetahuan dan ketrampilan (know-how) di dalam organisasi bisa
berlangsung, hasil dari pelatihan dan pengembangan disebarluaskan dan diserap oleh anggota
organisasi lainnya. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut dibutuhkan adanya tindakan aktif
Arif Partono - 2014
15
dari organisasi untuk meminimalkan resistensi (penolakan) dalam upaya perubahan menjadi
budaya belajar. Mesi dinilai positif, langkah untuk memasukkan siklus HRD ke dalam model
strategis memiliki potensi hambatan. Pertama, hubungan strategis merupakan hubungan satu
arah dari atas ke bawah dimana HRD memiliki peran sebagai pendukung. Kedua, bagian
terakhir dari empat tahap, pengendalian HRD, mencerminkan pendekatan terhadap evaluasi
yang melibatkan analsis biaya-manfaat, tetapi kurang memperhatikan evaluasi terkait
kontribusi kegiatan terhadap perusahaan.
Siklus HRD dari Harrison (1993) sudah memiliki pandangan lebih maju dalam
kematangan strategis dengan sasarannya untuk mengubah pembelajaran dan pengembangan
karyawan menjadi suatu kegiatan yang diarahkan oleh bisnis/perusahaan. Konsep ini
didasarkan pada gagasan kolaborasi antara pemeran kunci dalam menghasilkan informasi,
menyepakati proses perencanaan dan evaluasi terhadap strateginya, mengevaluasi dan
bertindak dengan melihat hasil yang diperoleh. Gambar mengenai Pembelajaran dan
Pengembangan Karyawan sebagai Proses Strategis di atas mencakup kondisi SHRD yang
dicerminkan oleh karya McCracken dan Wallace (2000). Beberapa di antaranya adalah:
- Memiliki perspektif jangka panjang
- Sangat menekankan pada pembelajaran
- Menempakan langkah evaluasi sebagai hal yang penting dalam pembelajaran
organisasi
- Menempatkan rencana dan kegiatan pengembangan HRD dalam kerangka
pembelajaran strategis
- Mengkaitkan visi, misi, dan sasaran perusahaan ke dalam strategi bisnis dan proses
bisnis yang penting yang menjadi dasar bagi strategi pengembangan dan identifikasi
kebutuhan karyawan
- Responsif terhadap perubahan kondisi dengan cara mengakomodasi kebutuhan yang
muncul
- Membahas potensi konflik antara pihak yang berkepentingan dalam HRD dengan cara
memaksakan adanya kesepakatan dan pembagian tanggung jawab
- Responsif terhadap lingkungan eksternal dan internal
Suatu organisasi perlu mengembangkan strategi untuk mencapai keunggulan bersaing
dalam hal inovasi dan pemahaman terhadap kebutuhan pengembangan karyawan.
Arif Partono - 2014
16
4.3 Rangkaian baru kematangan SHRD
Ketiga gambaran mengenai silus sistematik dari aktivitas HRD dikaitkan dengan tingkat
kematangan strategis yang ditunjukkan melalui pelatihan, HRD, dan SHRD. Meski konsep
tersebut banyak dijumpai dalam praktek organisasi tetapi masih belum mencakup seluruh
tanggung jawab yang ada. Kajian lebih jauh terhadap literatur HRD akan lebih menjelaskan
konsep lebih jauh mengenai rangkaian kematangan strategis seperti yang disampiakan oleh
Burgoyne (199), Lee (1996), dan Walton (1999) di bawah ini:
Tingkat Kematangan Strategis dalam praktek HRD
1. Tidak ada model pelatihan yang tersistematisasi ketika pengembangan karyawan hanya
didasarkan pada kondisi ad hoc dan sesekali
2. Pelatihan hanya didasarkan pada kondisi taktis (Muhlemeyer dan Clarke)
3. Pelatihan terintegrasi dengan manajemen operasional sebagai bagian dari perencanaan
pengembangan ketrampilan dan karier
4. Pelatihan sebagai sarana untuk menerapkan strategi perusahaan dan melakukan
perubahan, dengan berperan sebagai pendukung dari atas ke bawah
5. Pelatihan dan pembelajaran sebagai sarana untuk merancang strategi melalui integrasi dua
arah
6. Pelatihan dan pembelajaran sebagai proses untuk merumuskan steategi
7. Proses pembelajaran dan pengembangan secara strategis diarahkan untuk membangun
dan meningkatkan kompetensi kunci organisasi sebagai sumber keunggulan bersaing
Gagasan bahwa SHRD dapat mewakili proses untuk merumuskan strategi
dikembangkan oleh Luma (2000). Luma mendefinisikan tiga konsep HRD. Pertama, HRD
yang didorong oleh kebutuhan – mengadopsi konsepsi dari atas ke bawah dimana integrasi
strategi HRD dinyatakan melalui kemampuannya untuk melengkapi karyawan dengan
ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran perusahaan.
Dalam kondisi ini peran HRD adalah mengidentifikasi kesenjangan ketrampilan yang dapat
menghambat pencapaian sasaran perusahaan, untuk kemudian mempersempit atau menutup
kesenjangan tersebut dengan tindakan yang tepat.
Kedua, HRD yang didorong oleh adanya kesempatan. Pada model ini pendekatan
internal dari konsep sebelumnya digantikan dengan pandangan terhadap kondisi di luar.
Perubahan yang terjadi di dunia luar dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan mental
organisasi. (Luoma, 2000). Beberapa contoh diantaranya; HRD dikaitkan dengan analisis
Arif Partono - 2014
17
proses bisnis, kerja tim, dan total quality management. Penerapannya bukan saja ditujukan
untuk mendukung penerapan stratei perusahaan saat ini tetapi juga meyiapkan kemampuan
untuk menghadapi perubahan di masa depan.
Ketiga, HRD yang didorong oleh kapabilitas. Fokus pada konsep ini adalah mengenai
kemampuan karyawan sebagai sumber dan cara untuk mencapai keunggulan bersaing.
Pandangan ini sesuai dengan teori sumberdaya dan kompetensi yang pernh dibahas pada bab
sebelumnya. Kemampuan organisasi inilah yang harus menjadi objek utama dari strategi dan
perhatian manajemen harus difokuskan pada faktor yang mendukung tercapainya kemampuan
tersebut. Pendekatan ini akan membantu kondisi strategi yang sudah berlangsung dan juga
memberikan dasar bagi adanya pembaharuan terhadap pemikiran strategis atau membentuk
dasar keunggulan strategis itu sendiri.
Dengan mempertimbangkan perspektif tersebut, maka dimungkinkan untuk merevisi
rangkaian kematangan strategis HRD dan mengidentifikasi karakteristik yangdibutuhkan,
seperti tergambar sebagai berikut;
5 Menentukan karakteristik SHRD
Pada bagian sebelumnya diketahui ada tiga hal yang terkait dengan konsep SHRD;
integrasi strategis, pentingnya budaya belajar, dan perbedaan perspektif stakeholders. Analisis
SHRD yang didasarkan pada perbedaan kematangan strategis dan model sistematis siklus
HRD menekankan pentingnya tiga hal tersebut dan sekaligus merupakan dasar untuk
menentukan karakteristik SHRD.
Arif Partono - 2014
18
5.1 Integrasi Strategis
Faktor utama di dalam SHRD adalah menyusun strategi yang memiliki integrasi
horizontal dan vertikal. Hal ini menjelaskan;
- Pentingnya strategi dua arah yang terintegrasi dimana SHRD memiliki peran ganda
dalam mendukung pencapaian strategi perusahaan dan juga berkontribusi dalam
penyusunan strategi tersebut
- Peran SHRD dalam mendukung kegiatan HRD lainnya dan juga dalam keperuannya
untuk mendapatkan dukungan dari fungsi HRD lainnya dilakukan secra terkoordinir
- Kontribusi SHRD bagi perubahan strategis melalui penekannya pada budaya belajar
Gambar 10.8 di atas menggambarkan SHRD sebagai suatu proses yang digunakan
dalam perumusan strategi dan juga pendorong bagi kapabilitas organisasi yang mencerminkan
jalur menuju keunggulan bersaing yang bertahan lama. Gagasan ini semakin menemukan
perwujudannya mealui istilah modal intelektual dan manajemen pengetahuan, yang
membutuhkan esksplorasi lebih lanjut pada tema kedua pentingnya budaya belajar.
5.2 Sentralitas Budaya Belajar
Sentralitas dan pentingnya pembelajaran organisasi dan SHRD dijelaskan oleh Harrison
(1993) melalui skema pelatihan dan pengembangan sebagai suatu proses strategis.
McCracken juga menjelaskan hal tersebut dalam pernyataannya bahwa proses belajar terjadi
pada tingkat individu, kelompok, dan organisasi, dan kunci utama SHRD adalah bagaimana
menciptakan lingkungan yang mendukung semangat belajar, yang pada akhirnya akan
mendorong terjadinya proses belajar dan pengembangan yang mendukung peningkatan
kinerja. Pernyataan ini menempatkan pembelajaran sebagai suatu kapabilitas organisasi yang
menyebabkan organisasi tersebut bisa belajar lebih cepat dibandingkan pesaing. Sehingga hal
tersebut bisa menjadi keunggulan bersaingnya.
5.3 Perspektif multi stakeholder
Tema ketiga terkait perspektif dari beragam stakeholder mengalami perubahan dalam
penekanannya sejalan dengan langkah HRD di sepanjang rangkaian kematangan strategis.
Pada tahap pelatihan, fokus ditekankan pada kebutuhan karyawan dan bagaimana HRD
memenuhi kebutuhan tersebut. Disini peran manajer lini terbatas pada identifikasi kebutuhan
karyawan. Pada tahapan SHRD, fokus organisasi berubah pada kebutuhan organisasi,
kepemimpinan manajemen senior, dan strategi kemitraan antara manajer lini dengan tim
Arif Partono - 2014
19
HRD. Hal ini menempatkan manajer lini dan senior untuk memiliki peran penting dalam
pelaksanaan SHRD yang efektif. Mabey (1998) mengatakan dukungan manajer senior dan
keterlibatan aktif dari manajer lini merupakan komponen penting dalam model SHRD karena
keduanya membentuk koalisi kepentingan dan mewakili budaya organisasi yang dharapkan.
Hal penting yang perlu diperhatikan sejalan dengan meningkatnya peran para manajer
tersebut adalah kemampuan mereka untuk menjalankan peran barunya. Di samping itu juga
perku ditekankan bahwa setelah kemampuan tersebut diperoleh, apakah peran tersebut benar-
benar dijalankan. Karakteristik SHRD ini tercermin dalam pandangan Harrison dan Kessel
(2004) mengenai empat tantangan utama bagi fungsi HRD di masa depan;
- Mencapai integrasi strategis dan merealisasikannya
- Memfasilitasi perubahan budaya dan membangun budaya belajar
- Mendorong proses pembelajaran di tempat kerja yang bisa membangun modal sosial
dan manusia
- Mengembangkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan agar bisa mengantisipasi
perubahan dalam organisasi.
6 Organisasi Pembelajaran: Paradox ayam dan telur dalam SHRD
Tema yang sama di dalam berbagi literatur dan kembali dibahas dalam buku ini adalah
pandangan bahwa organisasi perlu belajar mengenai bagaimana mereka beradaptasi dengan
perubahan sehingga pada akhirnya mereka bisa bertahan. Tidak ada hal baru dalam
pandangan bahwa cara organisasi belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan berpengaruh
terhadap keberhasilannya. Belajar telah menjadi dasar bagi berbagai kondisi perubahan
manajemen (TQM, perubahan budaya, srestrukturisasi bisnis). Di samping itu juga menjadi
dasar bagi SHRD. Proses pembelajaran individu dan organisasi merupakan tema utama dalam
penjelasan mengenai SHRD.
6.1 Organisation learning atau learning organisation
Terdapat dua argumen yang muncul akbat berkembangnya konsep belajar. Pertama
adalah gagasan bahwa untuk memelihara keunggulan bersaing, organisasi melalui berbagai
interaksi dengan karyawan harus belajar dengan cepat dibandingkan dengan pesaing dan
tingkat perubahan yang akan dihadapi (Ashton dan Felstead, 2001; Greer, 2001). Kedua
konsisten dengan prinsip kompetensi kunci dan teori sumberdaya muncul gagasan bahwa
belajar itu sendiri merupakan salah satu sumber utama (jika bukan satu-satunya sumber) bagi
Arif Partono - 2014
20
terwujudnya keunggulan bersaing. Oleh karena itu, belajar juga dapat dipandang sebagai cara
untuk mencapai sasaran sekaligus sebagai sasaran itu sendiri. Dua persepsi ini tercermin
dalam perbedaan yang ditemukan dalam literatur mengenai organisational learning dan
learning organisation. Kajian pada tabel berikut menjelaskan upaya yang dilakukan untuk
membandingkan karakterstik dari dua konsep tersebut.
Organisational Learning dan Learning Organisation
Proses belajar
(Organisational Learning)
Proses untuk belajar mempelajari
(Learning Organisation)
Fokus pada pembelajaran yang
menghasilkan perubahan perilku
karyawan secara individu dan kelompok
Fokus pada pembelajaran yang
menghasilkan perubahan perilaku
organisasi untuk merespon secara
proaktif terhadap perubahan lingkungan
Membahas bagaimana individu belajar.
Menganalisis proses yang dijalankan oleh
individu dan kelompok untuk belajar
untuk meningkatkan pemahaman dalam
berkontribusi bagi HRD
Mempelajari cara belajar. Menganalisis
metode yang dapat meningkatkan proses
belajar yang berkesinambungan untuk
meningkatkan kemampuan organisasi
untuk belajar
Memperhatikan pengembangan
pengetahuan untuk memperoleh wawasan
baru yang mungkin berpengaruh terhadap
perilaku karyawan di masa depan
Mengoptimalkan pembelajaran karyawan
untuk menghasilkan hasil yang
bermanfaat seperti inovasi, mengelola
perubahan, dan pengembangan
kompetensi kunci
Dipandang sebagai cara untuk mencapai
sasaran dimana perubahan perilaku
diarahkan untuk mendukung tercapainya
sasaran organisasi
Dipandang sebagai sasaran yang hendak
dicapai dimana pengembangan organisasi
yang belajar menjadi sasaran strategis
perusahaan.
Organisasi yang belajar (learning organisastion) memiliki cakupan yang lebih luas
karena memfasilitasi prinsip yang mendukung pembelajaran di dalam organisasi.
6.2 Karakteristik learning organisation
Definisi mengenai learning organisation yag banyak digunakan menjelaskannya sebagai
satu cara untuk memfasilitasi proses pembelajaran bagi semua anggotanya dan secara
kontinyu melakukan perbaikan (Pedler, 1991). Definisi ini didukung oleh pandangan bahwa
terciptanya iklim belajar yang mengakomodasi dan mendorong semua orang untuk belajar
dan organisasi tersebut terus mengembangkan kemampuannya untuk belajar. Berikut
disajikan beberapa hal yang bisa mengindikasikan bahwa organisasi tersebut memiliki budaya
belajar;
Arif Partono - 2014
21
Karakteristik Learning Organisation
1. Belajar dapat dilakukan berdasarkan semua pengalaman, baik yang terencana maupun
yang tidak, dan akan membentuk perilaku di masa depan
2. Belajar pada dasarnya penting dan belajar untuk bisa mempelajari adalah bagian penting
dari belajar itu sendiri
3. Belajar dari lingkungan eksternal dan internal dapat dilakukan pada semua tingkatan
organsasi dan oleh karena itu ada manfaatnya jika ada tindakan untuk berbagi
pengetahuan lintas organisasi
4. Belajar merupakan proses kontinyu dan akan optimal manfaatnya jika sudah menjadi
kebiasaan dan terinternalisasi
5. Unlearning dan rekonstruksi serta adaptasi terhadap dasar pengetahuan organisasi
merupakan tugas utama manajerial
6. Belajar digunakan sebagai sarana mekanisme perubahan organisasi
7. Inisiatif organisasi diperlukan untuk mengubah pembelajaran, dari berbagai sumber,
menjadi kekuatan strategis
8. Sesuai dengan filosofi organisasi, budaya dan struktur yang mendukung diperlukan untuk
membangun lingkungan yang tepat bagi proses belajar berdasarkan pengalaman dan
penerapannya dalam kondisi operasional
9. Menggunakan sudut pandang multi stakeholder dengan mengurangi penekanan pada
tindakan HRD yang formal dan lebih menekankan pada tanggung jawab karyawan untuk
belajar dan tanggung jawab manajer dalam memfasilitasi proses belajar tersebut
6.3 Belajar: konsep problematis
Belajar merupakan konsep yang sulit dipahami. Demikian juga upaya untuk
mengevaluasinya yang hanya bisa diukur dari perubahan perilaku. Kondisi ini diperburuk
dengan interaksi antara proses belajar dan hasil yang dapat terjadi pada sejumlah tingkatan.
Pada tingkatan pertama, adalah pembelajaran single-loop, yang memperhatikan
perbaikan pada pekerjaan saat ini (melakukan sesuatu dengan lebih baik). Pembelajaran ini
meliputi silus pendeteksian kesalahan secara kontinyu pada pekerjaan saat ini,
mengidentifikasi are yang dapat diperbaiki, dan melakukan peningkatan dalam aktivitas
operasional. Pembelajaran single-loop akan mengantisipasi penyesuaian terhadap kegiatan
Arif Partono - 2014
22
rekrutmen yang diarahkan pada keputusan untuk menyesuaikan kebutuhan dan penawaran.
Perubahan kebijakan tersebut antara lain terkait dengan media yang digunakan, penentuan
klasifikasi, dan pengisian karyawan dari luar negeri.
Pembelajaran tahap kedua adalah double-loop yang memfokuskan perhatian pada
pembahasan mengenai praktek-praktek yang dijalankan saat ini (mempertanyakan apa yang
sudah dikerjakan). Pembelajaran model ini mencakup kajian yang mempertanyakan sasaran
yang sudah ditetapkan, menentukan keyakinan dan nilai yang diarahkan pada rekonstruksi
sistem dan proses dalam organisasi sejalan dengan perubahan yang dihadapi organisasi
tersebut dan kondisi dimana organisasi harus beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan
internal. Apabila langkah evaluasi memperlihatkan bahwa perubahan yang dihasilkan dari
pembelajaran single-loop tidak terwujud. Melihat contoh di atas, pembelajaran single-loop
yang berulang dan tetap tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan mengundang
pertanyaan mengenai praktek bisnis yag dijalankan organisasi tersebut. Apakah perlu
dilakukan perbaikan kembali atau sebaiknya melakukan kebijakan alih-daya ke negara lain.
Tahap ketiga adalah pembelajaran triple-loop yang memperhatikan proses pembelajaran
yang dilakukan (mempelajari apa yang diperoleh dari dua pembelajaran sebelumnya).
Pembelajaran model ini mencakup pengkajian dan diskusi mengenai pengalaman belajar
sebelumnya dan menggunakan pengalaman tersebut sebagai dasar untuk membentuk
pengetahuan dan wawasan baru (Walton, 1999). Hal tersebut senada dengan belajar untuk
mempelajari (learning to learn-LO) dan diarahkan pada perbaikan proses pembelajaran dalam
organisasi. Pembelajaran sistem dua dan tiga putaran dapat diidentifikasikan dengan konsep
learning organisation.
6.4 Menterjemahkan konsep ke dalam praktek: analisis kritis
Tuntutan dasar dan kompleksitas terkait pembelajaran dan evaluasinya mengakibatkan
munculnya hambatan bagi organisasi yang ingin mencapai tahapan LO. Kesulitan dalam
praktek dan pemahaman terhadp konsepsinya mengarah pada dilema ayam-telur. Apakah
dibutuhkan LO untuk menghasilkan LO. Belajar untuk belajar lebihbaik atau cukup denga
belajar saja. Kondisi ini diantisipasi dengan digunakannya istilah visi aspirasional untuk
menggambarkan LO. Visi aspirasional bisa diterjemahkan sebagai perjalanan yang tidak
mencapai akhir dan bahkan tidak akan terselesaikan. (Walton, 1999; Tjepkema, 2002).
Pandangan ini diperkuat oleh Garravan (1997) yang menyatakan bahwa ‘adalah sesuatu yag
Arif Partono - 2014
23
tepat untuk mengatakan bahwa organisasi dapat berkembangsecara progresif menuju LO
tetapi nampaknya LO adalah idealisme yang sulit dicapai.’
Oleh karena itu, banyak literatur dalam LO cenderung untuk membahas praktek
organisasi dan mekanisme support yang dapat digunakan untuk membangun LO. Beberapa
contoh di antaranya;
- Pembentukan budaya belajar dimana pembelajaran dan eksperimen secara aktif
dianjurkan, melalui alokasi sumberdaya pada bidang pelatihan dan pengembangan
serta penghargaan bagi karyawan yang mau mengambil risiko
- Mekanisme struktural untuk mendukung pembelajaran organisasi, seperti
pengumpulan, analisis, penyebaran, dan penggunaan informasi serta identifikasi dan
pemenuhan kebutuhan pengembangan
- Pentingnya evaluasi sebagai proses berkesinambungan yang tidak hanya mendukung
prinsip LO dan manajemen pengetahuan tetapi juga menginformasikan investasi di
bidang SHRD
- Kematangan psikologis dari SDM suatu organisasi, misalnya, karyawan di semua
level mau menerima tanggung jawab dan otionomi yang lebih besar akan mendorong
pembentukan LO.
Berdasar analisis di atas, tidak sulit untuk menjelaskan pandangan bahwa LO lebih tepat
jika dianggap sebagai istilah jangka pendek untuk menggambarkan keseluruhan filosofi
pembelajaran terus menerus di dalam organisasi. (Walton, 1999). Hal ini mengarah pada
pernyataan meski LO sulit terwujud dalam bentuk idealnya, beberapa organisasi telah
menunjukakan beberapa karakteristik yang mengarah pada LO (Griego, 2000). Bagi orang
yang menggunakan acuan visi aspirasional, hal ini mungkin kurang dilihat. Akan tetapi ini
merupakan suatu kondisi yang didukung oleh bukti empiris. Berdasarkan analisis pada studi
kasus dan temuan survei, dapat disimpulkan bahwa hanya ada sedikit bukti mengenai
keberadaan suatu LO atau bahkan, lebih sedikit lagi bentuk mekanisme dukungan yang ada
bagi pembentukan LO tersebut.
Dalam konteks SHRD, seluruh filosofi LO kurang menarik. Hipotesis yang mendasari
bahwa dimana pembelajaran terjadi di dalam organisasi , maka organisasi akan lebih baik
dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian, dan juga mampu memperoleh keunggulan
bersaing jangka panjang (Lundy & Cowling, 1996). Ketika pengembangan karyawan yang
berkesinambungan dikaitkan dengan proses manajemen strategis, maka akan menjadi sumber
Arif Partono - 2014
24
bagi keunggulan bersaing, bisa digunakan untuk mengoptimalkan setiap potensi, dan siap
dalam menghadapi persaingan (Harrison, 1993). Beberapa pakar memiliki pandangan lebih
jauh dengan mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya sumber bagi keungulan bersaing
(Wes, 1994) dan organisasi yang belajar mungkin akan menjadi keunggulan bersaing bagi
organisasi di masa depan (Stata, 1989). Sebaai contoh, Avon yang dikenal sebaga produsen
kosmetik mencoba melebarkan bisnis ke bidang keuangan dengan memanfaatkan kekuatan
sales door to door mereka. Dalam hal ini Avon mulai menyadari bahwa sumberdaya mereka
di bidang sales merupakan sesuatu kekuatan yang belum dioptimalkan yang memiliki akses
ke pelanggan dan mamu menjual dengan baik.
Dilihat dari sudut pandang demikian LO nampaknya menawarkan banyak peluang dari
sumberdaya yang ada atau bisa dikatakan menjanjikan. Penerapan akan prinsip-prinsip LO
banyak dikaitkan dengan keberhasilan manajemen (Pettigrew & Whipp, 1999). Meski
demikian, konsep LO juga bisa mencerminkan tidak lebih dari sekedar idealisme yag jauh
dari bayangan kondisi praktis keseharian (Storey & Sisson, 1993). Saah satu kesulitannya
adalah kondisi yang dikatakan kondusif untuk terjadinya LO mungkin belum bisa ditemukan
dalam realitas. Kondisi tersebut antara lain; karyawan yang berkomitmen dan mampu
mengelola pengembangan diri mereka, adanya mekanisme yang mendukung pembelajaran
dan bisa menangkap, mendistribusikan, dan berbagi pengetahuan, budaya yang sesuai yang
mendukung eksperimen, pengambilan risiko, pemikiran independen, danlain-lain.
Karakteristik organisasi banyak ditandai dengan birokrasi, kontrol, dan kesatuan pandangan.
Meski banyak manajer mengungkapkan perlunya keterbukaan dan inovasi, kenyatan adanya
budaya menyalahkan akan membuat karyawan menghindari risiko dan belajar untuk menutup
mulut daripada mengajukan usulan yang berisiko.
Kesulitan lain adalah konsep transformasi yang ada di dalam LO. Konsep tersebut
rawan dengan kritik. Pada kenyataannya transformasi organisasi jarang terjadi dan menurut
Mumford (1998) proses belajar harus terjadi secara bertahap, tidak secara drastis. Mumford
mempertanyakan apakah karyawan sudah diberi bekal pengetahuan untuk pembelajran dua
putaran, ketika infrastruktur HRD belum memiliki kapasitas memadai untuk pembelajaran
satu putaran.
Apakah ini merupakan petunjuk bahwa suatu konsep yang nampak menjanjikan dalam
literatur ternyata sulit diterapkan dalam kondisi nyata? Perjalanan untuk meraih sasaran akhir,
LO, merupakan sesuatu yang juga menghasilkan manfaat. Meski kondisi LO tidak atau beum
Arif Partono - 2014
25
tercapai, akan tetapi proses yang dilalui sudah memberikan wawasan baru dan arah yang
benar untuk meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia.
7 Manajemen Pengetahuan
7.1 Manajemen pengetahuan: fokus masa depan SHRD
Fokus pendekatan HRD akhir-akhir ini beralih dari LO menuju manajemen
pengetahuan (KM-Knowledge Management). Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan
fokus kajian dalam HRD di bawah ini;
Perkembangan kajian HRD
1960-an Pendekatan sistematis terhadap HRD
1980-an Orientasi bisnis dengan fokus pada pendekatan sistematis
yang berkonsentrasi untuk mencapai sasaran organisasi
sesuai dengan kerangka manajemen kinerja
Pertengahan 80-an Kerangka bagi pendekatan bisnis dari HRD dibangun terkait
kompetensi
Akhir 80-an Menekankan pada pengembangan mandiri dimana karyawan
diberikan tambahan otonomi dan tanggung jawab untuk
belajar yang ditunjukkan dengan adanya program
pengembangan karyawan
Awal 90-an LO dengan perubahan fokus dari individu ke arah holistik,
sistematis, dan persepektif organisasi secara keseluruhan
Pertengahan 90-an KM dengan fokus pada pengembangan manusia, modal
intelektual dan sosial.
Perubahan ini sejalan dengan perkembangan ekonomi dari industri yang sebelumnya
berbasis pada teknologi rendah dan padat karya dengan menggunakan sumberdaya terbatas
serta berketrampilan rendah ke arah industri berbasis teknologi tinggi dan menggunakan
pekerja yang berpengetahuan (knowledge worker). Karyawan semacam ini sulit diperoleh
sehingga dapat menjadi sumberdaya utama untuk menjaga keunggulan bersaing. Dengan
kondisi ini tidak mengherankan jika manajemen sekarang mulai mengarahkan HRD untuk
membangun dan membantu menanamkan pengetahuan dan ketrampilan kepada karyawan,
sehingga pada akhirnya pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat bermanfaat bagi
organisasi (Blackler, 1995; Walton, 1999).
Arif Partono - 2014
26
Pentingnya KM dapat dijelaskan melalui dua perkembangan terakhir; kemunculan
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy) dan perhatian terhadap pengetahuan
sebagai jalur untuk memperoleh keunggulan bersaing. Berbeda dari kondisi ekonomi
tradisional yang menganggap nilai tambah dicapai melalui optimalisasi faktor produksi
(mesin, buruh, dan bahan baku), ekonomi berbasis pengetahuan menganggap nilai tambah
akan diperoleh dari pengembangan dan pemanfaatan atas pengetahuan yang dimiliki dan akan
dimiliki dalam meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan tingkat ke inovasian organisasi. Jika
aset tidak nyata dalam hal pengetahuan menjadi sarana paling penting dalam ekonomi
berbasis pengetahuan (KE-Knowledge Economy) maka diperlukan proses HRD yang tepat
untuk mengoptimalkan aset tersebut (Harrison & Kessel, 2004). Lebih lanjut Spinker (2002)
juga menegaskan bahwa karyawan di semua level sudah memiliki pengetahuan mengenai apa
yang diinginkan pelanggan, mengenai proses dan desain produk yang baik, mengenai apa
yang berhasil di masa lalu dan yang tidak. Perusahaan yang dapat mengoptimalkan
pengetahuan ini dan melakukan strategi berbagi yang tepat di antara para karyawannya akan
memiliki keunggulan bersaing yang besar, dibandingkan dengan perusahaan yang tidak
mengoptimalkan karyawannya.
Meski nampak menjanjikan, ada setidaknya dua hal yang perlu dicermati sebelum
melakukannya. Pertama adalah aspek-aspek terkait pengetahuan yang akan dikelola. Kedua,
terkait dengan kesulitan dalam memahami arti pengetahuan itu sendiri.
7.2 Aspek-aspek dalam KM
Terkait dengan masalah pertama dalam KM, penulis akan membagi KM menjadi
beberapa bagian. Pendekatan paling sederhana adalah dengan membedakan pengetahuan yang
dimiliki saat ini dan pengetahuan baru. Kesimpulan Skapinker berkaitan dengan pengetahuan
yang sudah ada dalam organisasi, sedangkan pada bagian lain buku ini dibahas mengenai
pentingnya pengetahuan baru bagi organisasi (Harrison & Kessel, 2004).
Secara lebih detail, Gibb & Megginson (2001) membagi Knowledge Management
menjadi tiga bagian. Pertama berkaitan dengan cara untuk menangkap, menyimpan, mencari,
dan membagi pengetahuan. Perspektif sistem informasi ini memertimbangkan penggunaan IT
untuk memfasilitasi proses tersebut. Meski nampak sederhana, akan tetapi model ini juga
memiliki kekurangan, khususnya terkait pengetahuan apa yang dibutuhkan dan pengetahuan
yang sudah dimiliki. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan audit terhadap karyawan yang
ada untuk menggali pengetahuan yang sudah dimiliki.
Arif Partono - 2014
27
Bagian kedua membahas pengembangan budaya belajar sebagai suatu fasilitator yang
mengarah pada Knowledge Management. Dilihat dari sudut pandang ini akan nampak bahwa
Gibb dan Megginson menganggap belajar sebagai satu subjek dari Knowledge Management.
Meski demikian, masih dimungkinkan untuk menggunakan perspektif berlawanan dimana
Knowledge Management dilihat sebagai satu tahap yang mengarah pada LO dengan
perubahan fokus dari belajar secara umum menjadi belajar untuk menjadikan pengetahuan
sebagai keunggulan bersaing (storey & Quintas, 2001). Terlepas dari pandangan tersebut,
kedua pandangan tersebut menekankan pentingnya pembelajaran bagi keberhasilan
organisasi, khususnya di bidang pengetahuan pekerjaan. Ini mengarah pada bagian ketiga
yang memfokuskan perhatian pada perspektif strategis dengan penekanan pada nilai modal
intelektual. Perlu untuk dipahami bahwa bagian kedua ini merupakan bagian yang
menjelaskan potensi untuk mengembangkan dan menggunakan pengetahuan baru.
Perspektif strategis, pada bagian ketiga, secara konstan menggali SHRD dan
meningkatkan Knowledge Management dalam hirarki pemikiran manajemen. Prusack (1997)
menyatakan bahwa keunggulan bersaing suatu perusahaan terletak pada pengetahuan yang
dimilikinya, atau lebih tepatnya pada apa yang diketahui, bagaimanan menggunakannya, dan
seberapa cepat perusahaan itu memperoleh pengetahuan baru.
Cara lain untuk menggambarkan berbagai bagian dari Knowledge Management
dilakukan untuk membedakan antara modal manusia, modal intelektual, dan modal sosial.
Modal manusia mengacu pada pegetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan kompetensi yang
dimiliki karyawan dan merupakan aset tidak nyata yang memiliki nilai bagi organisasi.
Kemampuan individu dan kolektif ini diperoleh melalui suatu proses pembelajaran jangka
panjang dan merupakan fokus dari praktek HRD. Selanjutnya, semakin dipahami bahwa
dalam konteks pekerjaan, pengalaman di dalam bekerja sehari-hari, profesionalitas, dan
jaringan sosial juga berkontribusi bagi peningkatan modal manusia. Ketika organisasi dapat
memanfaatkan modal manusia ini bagi keuntungan bisnis maka modal manusia tersebut
menjadi modal intelektual. Dilihat dari sudut pandang sistem, modal manusia merupakan
input kunci bagi Knowledge Management. Ketika input ini diubah menjadi hasil nyata bagi
organisasi seperti paten, merek, reputasi, solusi, dan hasil riset, maka output tersebut menjadi
modal intelektual. Modal sosial dilain pihak mencerminkan keeratan hubungan interpersonal
yang memfasilitasi kerja sama antar bagian dan membentuk jaringan sosial serta nilai
bersama, norma, dan pemahaman. Dalam pengertian sistem, modal sosial, adalah proses yang
Arif Partono - 2014
28
memfasilitasi perubahan modal manusia menjadi modal intelektual melalui penyediaan sarana
belajar dan pendorong kemunculan pengetahuan unik dan bernilai.
Dari gambar di atas nampak bahwa modal sosial membangun dan mempertahankan
pengetahuan di kalanga pekerja. Oleh karenanya, sejalan dengan pengembangan modal
manusia, SHRD juga berperan penting untuk membangun, memfasilitasi, dan menjaga
kelangsungan komunitas pembelajaran. Selanjutnya, konsisten dengan sifat SHRD yang
memiliki banyak stakeholder, untuk melaksanakan peran ini dibutuhkan dukungan dari pihak
lain. Manajemen berperan tidak hanya melalui campur tangan langsungnya akan tetapi jua
melalui perancangan pekerjaan dan struktur organisasi (Harrison & Kessel, 2004; Hedlund,
1994; MacNeil, 2004).
7.3 Apa yang dimaksud dengan pengetahuan
Kesulitan kedua dari kesimpulan Skapinker (2002) adalah pernyatan bahwa
pengetahuan adalah konsep yang sulit dipahami. Dalam hal ini rasanya banyak pihak yang
sepakat bahwa secara prinsip membedakan jenis pekerjaan berdasarkan intensitas
pengetahuan, misalnya sejauhmana pengaruh pengetahuan dan kemampuan kognitif lainnya
terhadap kinerja. Sebagai contoh; pekerjaan dokter, pengacara, dosen dapat dikelompokkan
sebagai pekerjaan yang membutuhkan banyak pengetahuan jika dibandingkan dengan petugas
kebersihan, kasir, dan pemain sepakbola. Lebih jauh lagi, bukan merupakan langkah sulit
untuk memahami bahwa pekerjaan yang memerlukan banyak pengetahuan dapat dibedakan
berdasarkan tingkat kelengkapan dan kepastian penggunaan pengetahuan tersebut.
Contohnya; pengetahuan yang mendukung pekerjaan apoteker atau dosen memiliki tingkat
kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan seorang ekolog atau astronom.
Sejauhmana pekerjaan yang berbasis pengetahuan tersebut dilakukan dalam kondisi
lingkungan yang rentan terhadap perubahan akan meningkatkan risiko ketidakpastian dan
ketidaklengkapan tersebut dalam mencapai kinerja yang baik. Pemisahan sederhana
berdasarkan intensitas dan kepastian pengetahuan ini tidak cukup untuk menggambarkan
Arif Partono - 2014
29
berbagai kondisi. Akan tetapi untuk kajian dalam buku ini, konsepsi tersebut dapat menjadi
panduan yang bermanfaat untuk menjelaskan perbedaan antara pengetahuan tacit dan eksplisit
(Hedlund, 1994).
Pengetahuan yang terwujud dinyatakan sebagai pengetahuan yang pasti dan lengkap.
Pengetahuan tersebut sudah diketahui dan dapat dinyatakan melalu bentuk komunikasi verbal
dan tertulis. Pengetahuan tacit sebagai suatu konsep lebih merupakan sesuatu yang tidak
berbentuk. Merupakan pengetahuan yang sulit atau tidak mudah diwujudkan karena
mencakup intuisi, nilai, dan lain-lain yang sangat personal dan terkait dengan kondisi tertentu
(Hedlund, 1994; Garavan et al, 2001). Coba bayangkan untuk menjelaskan bagaimana cara
mengendarai sepeda dengan baik atau bagaimana rasanya jatuh cinta, anda akan mengalami
kesulitan dalam menjelaskan dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itu, Knowledge
Management diarahkan pada pengetahuan yang berwujud (eksplisit) dan pada pengembangan
pengetahuan baru Baumard (1999) menjelaskan bahwa sejalan dengan waktu apa yang
tadinya merupakan pengetahuan tacit bisa berubah menjadi pengetahuan yang berwujud.
Bauard menjelaskan konsep ini sebagai pengetahuan implisit dan membedakannya dengan
pengetahuan tacit yang masih tetap berada dalam pikiran pemiliki pengetahuan dan masih
sulit diwujudkan. Dari sudut pandang organisasi hal ini mengandung potensi bahwa adanya
tim kecil dapat berpotensi sebagai forum untuk menghasilkan dan berbagi pengetahuan tacit
melalui interaksi berkesinambungan (MacNeil, 2004). Hal ini mendorong peran dan nilai dari
modal sosial dalam Knowledge Management.
Jika retorika Knowledge Management diterima, maka dimungkinkan untuk mengajukan
beberapa premis di dalam kajian SHRD. Premis-premis tersebut dapat dilihat pada bagian di
bawah ini;
Peran Strategis Knowledge Management
1. Didalam konstruk SHRD sumberdaya manusia yang superior, pengetahuan dan
ketrampilan yang ada pada diri karyawan, merupakan kunci sukses untuk mendapatkan
keunggulan bersaing
2. Pengetahuan sebagai komponen kecakapan dan modal sosial, merupakan dimensi penting
dalam kompetensi HRD dan berperan sebagai kontributor terhadap modal manusia
3. Kemunculan ekonomi berbasis pengetahuan jiika terkait dengan perubahan,
menempatkan Knowledge Management sebagai hal penting, dimana pemanfaatan atas
pengetahuan yang ada dan pembentukan pengetahuan baru digunakan untuk membentuk
Arif Partono - 2014
30
modal intelektual yang akan menjadi dasar bagi organisasi untuk memperoleh laba
4. Dalam ekonomi yang maju, penekanan diarahkan pada pengembangan pengetahuan
karyawan untuk menguasai kemampuan berubah dan penyesuaian yang cepat sebagai
respon terhadap kondisi yang berfluktuasi (Walton, 1999)
5. Kondisi tersebut mengharuskan karyawan untuk memiliki pengetahuan tngkat tinggi dan
sesuai dengan pekerjaannya; menunjukkan komitmen dan keterlibatan yag tinggi dalam
hal pengembangan pribadi; serta memperlihatkan fleksibilitas dan kecerdasan untuk
merespon tuntutan beragam dan tantangan yang tidak terantisipasi
6. Infrastruktur HRD dapat menjadi kontributor penting yang bisa mendukung
pengembangan modal manusia dan sosial. Ini berarti kebutuhan untuk mengubah
pembelajaran dan pengembangan dari sisi kegiatan struktural menjadi bagian dari
infrstruktur yang mendukung proses belajar jangka panjang sebagai jalur menuju
akumulasi modal manusia dan sosial
7. Ketika transformasi tersebut berlangsung, maka HRD akan mencapai kedudukan
kematangan strategis
7.4 Masalah dasar dalam Knowledge Management
Seperti LO, Knowledge Management nampaknya menawarkan suatu jalur menuju
kondisi yang menjanjikan tetapi masih mengandung pertanyaa mengenai kemampuannya.
Beberapa kondis yang melatar belakangi keraguan tersebut adalah; pertanyaan mengenai
sejauh mana ekonomi berbasis pegetahuan dan besarnya pekerja berpengetahuan. Keputusan
ekonomi banyak dipegang oleh pemerintah dan seringkali terjadi ketidak konsistenan.
Selanjutnya, perkembangan teknologi sebalikny amalah bisa mempengruhi tingkat
pengetahuan yang dibutuhkan. Misalnya perkembangan piranti lunak dapat mengurangi
kebutuhan karyawan akan pengetahuan karena sudah tergantikan oleh piranti lunak tersebut.
Kesadaran belajar yang tinggi yang ditandai dengan banyaknya orang yang bersekolah dan
jumlah lulusan ternyata belum menjawab kebutuhan karyawan bagi industri. Hal ini
disebabkan kenyataan bahwa kebutuhan tersebut adalah bagi pekerja yang memiliki
ketrampilan, bukan pengetahuan tinggi. Hal ini tentu menjadikan suatu pertimbangan apakah
memang perlu mencapai pendidikan tinggi atau lebih baik tidak terlalu tinggi tetapi kemudian
memiliki ketrampilan tertentu. Konsep Knowledge Management juga bertentangan dengan
kesatuan. Perusahaan dapat mencari pengetahuan yang terletak di dalam pekerja mereka dan
Arif Partono - 2014
31
pada saat yang sama mendukung kontrak psikologisnya. Ini memunculkan masalah
kepemiilikan dan kekuasaan berkaitan dengan pengetahuan, dan karyawan mungkin tidak
mau menyerahkan pengetahuan intelektualnya di luar dari yang sudah disepakati dalam
kontrak.
Potensi HRD untuk berkontribusi dalam pengembanga modal manusia dan sosial sudah
cukup jelas, meski fokus dari Knowledge Management masih diarahkan pada tingkatan
internal organisasi, meski belajar dan perolehan pengetahuan juga dihasilkan dari sumber
eksternal sebagai bagian dari pembelajaran jangka panjang serta menjadi sumber bagi
perusahaan dalam memperoleh modal intelektual. In iberarti bahwa infrastruktur HRD
sebagai bagian dari pengembangan modal sosial perlu memiliki fokus eksternal juga. Bagi
organisasi yang ingin mencapai potensi maksimum dari sumber pengetahuan ini, tidak cukup
dengan perlu memperluas jaringan eksternal melalui penyertaan karyawannya pada
keanggotaan profesional. Perlu lebih dari sekedar itu untuk mengeksploitasi pengetahuan dari
luar organisasi. Contoh berikut dapat menjelaskan hubungan antara pengetahuan yang berasal
dari eksternal dengan prinsip Knowledge Management.
Masalah khas yang dihadapi dalam pengembangan Knowledge Management di Inggris
adalah rendahnya investasi di bidang HRD pada tingkat nasional dan perusahaan.
Sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendukung akuisisi pengetahuan msih tidak jelas dan
sulit terealisir di sebagian besar perusahaan. Walaupun HRD yang menjadi bagian penting
dari SHRM menunjukkan peningkatan akan tetai masih pada tahap yang kurang
menggembirakan. Meski terdapat komitmen tinggi mengenai Knowledge Management pada
tingkat organisasi, akan tetapi kurang didukung dengan infrastruktur yang memadai.
Perubahan menuju SHRD membutuhkan perubahan signifikan pada strateg, peran, dan
perilaku fungsi HRD. Ini akan melibatkan proses perubahan pada sistem penyampaian HRD
dari yang didasarkan pada paket pelatihan yang standar ke arah fokus pada pembelajaran di
tempat kerja dengan penekanan pada pengembangan mandiri karyawan yang difasilitasi oleh
manajer yang berperan sebagai coach dan mentor. Disinilah dibutuhkan peran penanggung
jawab HRD yang bagus untuk bermitra dengan manajer lini dan senior, sert aberperan sebagai
fasilitator yang secara aktif mengembangkan dan mendorong mekanisme untuk mendukung
proses belajar dan pengembangan pengetahuan dalam rangka mencapai perbaikan
berkesinambungan dan inovasi (Walton, 1999; McCracken & Wallace, 2000; Harrison &
Kessel, 2004). Analisis ini mengarah pada pertanyaan penting di antaraya;
- Apakah spesialis HRD mau melakukan transformasi?
Arif Partono - 2014
32
- Apakah mereka memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan perubahan?
Seperti kegiatan HRD lainnya, akan selalu ada kemungkinan Knowledge Management
untuk gagal kecuali jika terapkan dalam kondisi integrasi strategis. Meskipun integrasi
vertikal dengan strategi organisasi sudah tercapai, akan tetapi belum tentu bisa berhasil jika
tidak terintegrasi dengan fung si HRD lainnya. Beberapa contoh berikut dapat menjelaskan
pandangan tersebut. Dengan adanya tuntutan kompetensi yang baru dibutuhkan adanya
penyesuaian dalam hal rekrutmen dan seleksi (dibahas pada Bab 8). Struktur penghargaan
juga perlu dirancang agar bisa mengakomodasi kinerja di bidang pengembangan pengetahuan
baru dan penerapan pengetahuan yang sudah ada untuk menghasikan modal intelektual (Bab
11). Audit dan penyebaran pengetahuan perlu disatukan dalam perencanaan SDM sebagai
aktivitas kunci (Bab 7). Budaya pembelajaran (Bab 6) diperlukan untuk mendukung
semangat pengambilan risiko, inovasi, dan kewirausahaan, yang perlu didukung oleh struktur
organisasi yang sesuai (Bab 5). Struktur hirarkis yang didasarkan pada alur perintah dan
pengendalian harus diubah menjadi struktur yang mengakomodasi dan mendorong terjadinya
koalisi temporer antar karyawan atau bagian, menekankan pada komunikasi lateral,
pendelegasian tanggung jawab, dan desain pekerjaan yang menerapkan prinsip tim mandiri
(Hedlund, 1994; Harrison & Kessel, 2004).
Selanjutnya kapasitas dan kompetensi manajer dalam memenuhi tuntutan dari SHRD
pada umumnya dan menjalankan Knowledge Management pada khususnya dipertanyakan.
Dimensi inti dari SHRM adalah mengembangkan tanggung jawab HR dari spesialis HR
jepada manajer lini dan senior. Pemahaman akan peran ini dapat dilihat sebagai komponen
integrasi strategis (Guest 1987). Dalam hal modal sosial, manajer lini diidentifikasi sebagai
pemain utama dalam menumbuhkan semangat akuisisi, transfer, dan eksplorasi pengetahuan
di dalam kelompok kerja. Meski demikian, sebagai tambahan pada perhatian secara umum
terhadap kemampuan manajer untuk menjalankan peran sebagai SHRD, MacNeil (2004)
menyatakan bahwa potensi atasan langsung dalam mengisi kesenjangan komunikasi untuk
menterjemahkan pengetahuan tacit individu menjadi pengetahuan tacit kelompok masih perlu
ditingkatkan.
8 Manajer sebagai stakeholder SHRD: Linchpin (pemersatu) atau
Spanner in the work (kejutan)
Jika dilihat dari kajian sebelumnya, maka penerapan Knowledge Management dapat
dilihat dari dua perspektif yang saling terkait. Hubungan antara kinerja perusahaan dengan
Arif Partono - 2014
33
kualitas manajer, dan tanggung jawab manajer dalam mengembangkan karyawannya. Dua hal
ini menjadi topik utama dalam komponen SHRD.
8.1 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Sebagai Pemersatu
Kepentingan strategis terkait pengembangan manajemen terlihat dengan diterimanya
pandangan bahwa kemampuan organisasi untuk mempertahankan keunggulan bersaing saat
ini dan di masa depan ditentukan oleh kualitas manajer lininya (Muhlemeyer & Clark, 1997;
Sloman, 1992). Kepentingan yang terkait pada pengembangan manajer akan meningkatkan
ketika lingkungan bisnis suatu perusahaan semakin dinamis. Bukan hal yang aneh jika dalam
suatu survei terhadap perusahaan di Eropa ditemukan kenyataan bahwa mengelola perubahan
organisasi menjadi prioritas dalam pengembangan manajer (Lundy & Cowling, 1996).
Keberhasilan dalam mengelola pengembangan manajer erat kaitannya dengan kemampuan
manajer untuk mendorong kinerja efektif dari tim yang dikelolanya. Kondisi ini tentu
mencakup sejumlah dimensi sumbrdaya manusia termasuk HRD.
Pengembangan karyawan dilihat sebagai salah satu peran utama SHRM bagi manajer.
Sebagai pembuat rencana operasional strategis, manajer lini menjadi orang yang tepat untuk
menilai kebutuhan HRD bagi karyawannya pada sekarang dan di masa depan (Garavan, 1991;
Horwits, 1999). Manajer lini juga dapat berperan dalam membangun dan menerapkan stragei
HRD yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang
diperlukan karyawan. Khusus untuk HRD yang terkait dengan pekerjaan, dibutuhkan manajer
lini yang dapat menjadi coach dan melakukan mentoring kepada karyawannya sehingga bisa
menjalankan proses pembelajaran melalui aktivitas berbagi pengalaman tersebut (Garavan,
1991).
8.2 Kompetensi Manajerial dalam HRD: Suatu Kejutan
Sayangnya, jika dibandingkan dengan Jepang, gambaran mengenai peran dan tanggung
jawab manajer dalam HRD di perusahaan Inggris masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai
faktor mempengaruhi kualitas manajer di Inggris dan mengurangi peran mereka untuk
mengembangkan anak buahnya. Manajer dapat menganggap bahwa HRD bukan menjadi
tanggung jawabnya karena mereka tidak terkait dengan tanggung HR atau karena mereka
merasa bahwa masalah sumberdaya manusia menjadi tanggung jawab spesialis HRD. Kondisi
ini diperkuat dengan praktek yang dijalankan ketika kebutuhan HRD teridentifikasi maka
karyawan dikirim untuk mengikuti pelatihan. Sebagai contoh; dalam pengembangan
kompetensi manajer untuk mengelola kinerja yang jelek, organisasi dapat mengirimkan
Arif Partono - 2014
34
mereka untuk mengikuti kursus atau menganalisis kesempatan belajar yang muncul dari
kejadian nyata adanya karyawan yang berkinerja buruk di bagian mereka. Pendekatan
pertama (kursus) dapat dijalankan oleh spesialis HRD, sedangkan pendekatan kedua
membutuhkan komitmen dari manajer dalam menjalankan peran mereka dalam bidang HRD.
Meski demikian, walapun tanggung jawab ganda dalam hal HRD ini diterima, masih
ada potensi masalah yang bertentangan. Twig & Albon (1992) melaporkan bahwa manajer
dan spesialis HRD sering melakukan saling kritik terkait dengan kurangnya fokus pada bisnis
dan mental yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek yang mengabaikan investasi di
bidang pengembangan karyawan. Teridentifikasi bahwa hubungan ini dapat menjadi sangat
bias ketika dua pha ini berjalan seolah-olah di dunia yang berbeda. Pembentukan ulang dalam
SHRD oleh McCracken dan Wallace (2000) menyajikan perkembangan menarik dan dengan
penekanan pada kolaborasi antara spesialis HRD dan manajer, tidak hanya menghindarkan
adanya bias tapi juga akan menghasilkan pola kemitraan yang konstruktif (Horwitz, 1999).
Kesulitan lain adalah ketika manajer yang memahami bahwa HRD merupakan bagian
integral dari tanggung jawab mereka gagal untuk menjalankan peran ini. Pada satu tingkatan
mungkin ini terjadi karena kurang motivasi. Ini bukan hal yang aneh, karena hasil yang
biasanya diperoleh dalam jangka panjang di bidang HRD sering tidak konsisten dengan fokus
pencapaian jangka pendek yang bayak dipraktekkan oleh organisasi. Sebagai contoh; manajer
penjualan yang dinilai berdasarkan penjualan dalam waktu 6 bulan yang dicapai oleh tim nya
akan enggan melepaskan karyawannya untuk mengikuti program pengembangan atau tidak
mau mengorbankan waktunya untuk mengembangkan kemampuan karyawannya. Lebih lanjut
lagi, pandagan sinis bahwa manajer hanya akan mendapatkan perilaku yang diukur dan dinilai
melalui sistem penilaian. Storey & Sisson (1993) menyatakan bahwa jarang sekali perusahaan
di Inggris yang menghargai manajernya karena mereka berhasil mngembangkan
karyawannya. Kembali pada contoh manajer penjualan di atas, jika perusahaan serius dalam
mendorong manajernya untuk menjalankan peran HRD maka seharusnya kinerja mereka juga
dikaitkan dan dukur berdasarkan hal tersebut.
Pada tingkatan yang lain, manajer mungkin kurang kompeten untuk menjalankan peran
HRD dengan efektif. Garavan (1991) menyatakan bahwa kurangnya kemampuan untuk
melakukan penilaian, mengidentifikasi kebutuhan HRD, empati pada bawahan, dan
ketrampilan mendengar serta membimbing merupakan penyebab pelaksanaan peran HRD
tidak terlaksana. Kurangnya kompetensi ini tercermin dari rendahnya pendidikan dan
pelatihan yang diterima oleh manajer tersebut (Storey & Sisson, 1993). Kondisi ini sejalan
Arif Partono - 2014
35
dengan pandangan bahwa manajemen pengembangan dipandang sebagai perkiraan biaya yang
dapat dihindari sehingga mendapat prioritas rendah di dalam perusahaan (Greer, 2001).
Berdasarkan bukti empiris, dapat dijelaskan bahwa hanya ada sebagian kecil perusahaan
yang menyiapkan manajer mereka untk menjalankan peran HRD. Hal ini dilakukan melalui
kepemimpinan mereka dalam menjalankan HRD dan menggunakannya sebagai aktivitas
strategis (Mabey, 1998; Cunningham & Hyman, 1999; Harrison & Kessel, 2004). Kesulitan
utama adalah bahwa aktivitas HRD apa yang cenderung dipusatkan pada hirarki manajemen
terendah. Saat ini muncul pandangan adanya kekurangan perhatian dari manajer senior untuk
mengembangkan diri, meski tanggung jawab mereka dalam hal ini cukup besar terhadap
kinerja perusahaan (Mumford, 1998). Ketika manajer senior mengabaikan pengembangan diri
mereka hal tersebut dapat menjadi contoh buruk bagi manajer di bawah mereka. Sebaliknya
jika manajer senior menunjukkan komitmen kuta dalam hal HRD, misalnya dalam penerapan
kegiatan yang mengarah pada pembentukan strategi, transfer pengetahuan dan komitmen
tinggi terhadap HRD di seluruh organisasi dapat ditemukan (Horwits, 1999; Ashton &
Felstead, 2001).
Sayangnya muncul dilema bahwa manajer bisa menjalankan sikap anti HRD meski
menyadari manfaatnya dalam memfasilitasi perubahan. Keep (1992) menyatakan skenario
bahwa manajer yang berpendidikan rendah dan kurang mendapat pelatihan serta dihasilkan
dari pola pengendalian otoriter tradisional dan struktur perintah sepakat untuk menghambat
kesempatan bagi anak buahnya untuk mengikuti pelatihan karena program pengembangan
tersebut dapat mengancam hak prerogatif mereka atau pososi mereka sebagai manajer.
8.3 Kompetensi Manajerial dalam HRD: pandora box
Dalam pandangan optimis, tuntutan akan manajemen strategis akan bertindak sebagai
pendorong bagi terbentuknya sikap manajer mengenai HRD dan mendoorng mereka untuk
melakukan tindakan terkait pengembangan mereka dan bawahannya. Riset yang dilakukan
terhadap 91 perusahaan di Inggris menemukan bahwa pengeluaran untuk bidang
pengembangan manajemen tinggi jika kegiatan tersbeut menjadi bagian integral dari
perencanaan perusahaan, dikaitkan dengan kebutuhan untuk mengantisipasi perubahan
lingkungan, dan pasar berada pada kondisi tidak menentu (Parkinson 1997). Pada umumnya
pengembangan manajemen nampak mendapat perhatian lebih besar di Inggris dan
diperkirakan akan meningkat. Peningkatan perhatian ini dikaitkan dengan program perubahan
budaya yang diidentifikasi sebagai sarana penting untuk perubahan restrukturisasi (Storey &
Arif Partono - 2014
36
Sisson, 1993; IRS, 1997). Fenomena di Eropa menunjukkan peningkatan manajer lini dalam
menerima peran mereka dalam HRD, baik dalam hal mengidentifikasi kebutuhan dan pada
perumusan kebijakan HRD (Mabey & Salaman, 1995).
Meski banyak tantangan dalam keterlibatan manajemen pada HRD, kepentingan
strategis memberikan harapan bahwa manajemen akan mengubah perilakunya. Diharapkan
akan ada tingkat keterlibatan lebih tinggi dan manajer mengadopsi sikap positif untuk
mengembangkan anak buahnya. Untuk menjembatani dua bidang yang dipegang oleh manajer
dan spesialisi HRD Twigg & Albon (1992) menyarankan bahwa kegiatan HRD harus berubah
dari sifat generik menjadi aktivitas yang berbasis pada pekerjaan yang dirancang secara
kolaborasi oleh spesialis HRD dan manajer sesuai dengan kebutuhan bisnis. Keduanya
menegaskan bahwa peran organisasi pembelajaran untuk menyatukan kedua pihak. Dengan
pendekatan ini kebutuhan bisnis akan dikaitkan dengan pengelolaan perubahan dan
persyaratan bagi manajer untuk berinovasi dan mengambil risiko. Hal ini akan lebih mudah
terjadi dalam iklim belajar dimana pengalaman, baik yang berhasil maupun gagal, dengan
cepat dipelajari oleh yang lain dan menjadi dasar pembelajaran dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan (Twigg & Albon, 1992).
9 Rangkuman
- Membentuk rangkaian konsep kematangan strategis HRD dapat dilakukan sehingga
berbagai pendekatan terhadap HRD dapat dipelajari. Pada tingkat kematangan yang
rendah HRD dilakukan pada kondisi terbatas dan terisolasi dari strategi organisasi. Pada
tahap ini hubungan HRD dengan strategi organisasi hanya insidental dan kebetulan serta
hanya merupakan respond terhadap kondisi perubahan yang dihadapi. Pada tingkat
kemetangan tinggi, pendekatan HRD dan tindakannya mencerminkan langkah integrasi
strategis melalui pola dua arah, integrasi vertikal dan horizontal.
- SHRD yang berjalan sesuai dengan strategi organisasi ditandai dengan; dukungan
manajemen, komitmen dan keterlibatan aktif dari semua tingkatan manajemen, kolaborasi
kemitraan antara spesialis HRD dengan manajer lini, dilakukan pengamatan menyelurh
terhadap lingkungan untuk memaksimalkan pengembangan HRD, dilakukan transformasi
peran spesialis HRD dari sekedar pelatihan menjadi agen perubahan, ada budaya belajar,
dab ada tindakan evaluasi yang komprehensif.
Arif Partono - 2014
37
- Meski ditempatkan pada bagian yang kurang strategis pada rangkaian kematangan
strategi, siklus HRD yang sistematis dapat menjadi model yang mendukung karakteristik
SHRD.
- Learning organisation dan Knowledge Management muncul sebagai dua pendekatan baru
di bidang HRD dan memiliki saling keterkaitan. LO mempelajari proses belajar untuk
mempelajari sesuatu dan mendorong perilaku belajar dalam organisasi yang dapat
meningkatkan kecepatan tingkat perubahan. Sedangkan Knowledge Management
memiliki fokus lebih terbatas untuk mencari, mempelajari, meyebarkan, dan
menggunakan pengetahuan yang ada dan mengembangkan pengetahuan baru. Semuanya
itu dilakukan untuk mendukung pencapaian keunggulan bersaing perusahaan dan
mempelopori perilaku inovatif. Kedua konsep menempatkan manusia sebagai faktor
penting sebagai sarana untuk mencapai keunggualn bersaing. Pengetahuan dan budaya
belajar dapat menjadi kompetensi kunci organisasi.
- Dalam pespektif multi stakeholder, manajer dianggap sebagai pemersatu bagi
keberhasilan pelaksanaan SHRD. Meski demikian, untuk berbagai alasan, kesediaan dan
kemampuan mereka untuk menjalankan peran SHRD masih dipertanyakan.
LO, fokus pada individu/organisasi yang belajar. Menjadi media untuk mengembangkan
budaya belajar (belajar secara individu, menyesuaikan dengan kepentingan yang lebih
besar)
OL, individu mempelajari lingkup belajar didasarkan kepentingan organiasi. Bagaimana
seseorang mengembangkan diri untuk kept organisasi mutualisme (hasil belajar)
Arif Partono - 2014
38
10 Perbandingan dengan karya ilmiah lain
The strategic role of Human Resource Development in managing core competencies. Human
Resource Development International Vol. 11, No. 2, April 2008, 183–197
Alan Clardy
Pembahasan di dalam Bab 10 di atas menekankan pada perlunya perusahaan untuk
mengembangkan karyawannya sehingga keahlian, pengetahuan, ketrampilan yang mereka
miliki nantinya bisa menjadi keunggulan bersaing dari organisasi tersebut. Untuk
mengembangkan karyawan yang berpengatahuan (knowledge worker), konsep lama mengenai
pelatihan sudah tidak bisa digunakan lagi. Organisasi harus menerapkan konsep yang lebih
proaktif. Tidak menunggu munculnya masalah, akan tetapi mengantisipasi kebutuhan di masa
depan. Oleh sebab itu, organisasi perlu menyelaraskan strategi pengembangan SDM dengan
strategi bisnisnya.
Karya ilmiah yang dijadikan pembanding membahas mengenai strategi berbasis
sumberdaya internal organisasi (resource based view) yang menjadi faktor keunggulan
bersaing dalam jangka panjang. Sumberdaya internal ini diharapkan bisa menjadi kompetensi
kunci. Untuk mewujudkannya perlu dilakukan perencanaan strategis, penembangan
kompetensi kunci, dan bagaimana cara mengelolanya. Di iklim persaingan yang ketat,
organisasi harus memiliki keunggulan khas dibanding pesaing lain. Peran SHRD disini adalah
dalam mengembangkan kompetensi kunci bagi organisasi. Di dalam menjalankan peran
tersebut SHRD dapat menggunakan dua cara; pemetaan kometensi dan melakukan analisis
terhadap proses bagaimana kometensi tersebut dipelajari. Sebagai contoh misalnya
kompetensi keunggulan intelijen untuk mendiagnosis pesaing. Teknik apa yang tepat untuk
digunakan, bagaimana informasi yang diperoleh bisa bermanfaat bagi organisasi, atau
bagaimana cara mengatasi keunggulan pesaing tersebut. Kesemuanya harus dipertimbangkan
dan diolah oleh individu di dalam organisasi. Agar karyawan mampu atau memiliki
kemampuan tersebut, SHRD perlu merancang program strategis yang fokus pada
pengembangan kapabilitas yang dibutuhkan.
Dengan kapabilitas yang unggul diharapkan karyawan dapat berkontribusi terhadap
kinerja perusahaan. Kontribusi ini dapat diukur melalui pengukuran seberapa mudah
karyawan mengantisipasi keunggulan bersaing dari kompetitor, atau dari sisi seberapa lama
mereka mempertahankan kinerja superiornya.
Arif Partono - 2014
39
Di dalam kajian ini jelas terungkap bagaimana peran SHRD dalam membangun
komtpetensi organisasi, yang pada akhirnya akan menghasilkan aktivitas intelijen yang
memiliki keunggulan, pencatatan ketrampilan yang dimiliki, mengembangkan social capital
di antara karyawan, dan mendorong munculnya budaya belajar. Meski demikian, perlu
disadari bahwa pengembangan kompetensi kunci saja bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan perusahaan. Tindakan ini harus selalu di evaluasi dan lebih penting lagi
disinergikan dengan fungsi HRM lainnya.