Post on 27-Jan-2023
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka.
2.1.1. Pengertian Prosedur.
Prosedur adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi
yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama)
agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama.
(www.qieqierizky.blogspot.com : 2017).
2.1.2. Pengertian Mekanisme.
Suatu rangkaian kerja sebuah alat yang digunakan dalam
menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan proses kerja,
tujuannya adalah untuk menghasilkan hasil yang maksimal dan
mengurangi kegagalan. ( Moenir : 2001 ).
2.1.2. Pemeriksaan Kapal.
Pemeriksaan kapal adalah pengecekan seluruh bagian kapal, dari
haluan sampai buritan kapal, bagian luar dan bagian dalam kapal, baik
dari segi fisik kapal, bangunan kapal, surat-surat kapal, serta sertifikat
yang dimiliki oleh kapal tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi kapal tersebut apakah laiklaut atau tidak laiklaut, serta
mengetahui apakah kapal tersebut siap digunakan oleh pengguna jasanya
untuk dijadikan salah satu transportasi laut sebagai sarana pengangkutan.
(www.dephub.com : 2016 )
7
2.1.3. Marine Inspector.
Marine Inpector adalah Pejabat pemeriksaan keselamatan kapal yang
telah mengikuti dan lulus pendidikan dan latihan di bidang rancang
bangun, pengukuran kontruksi, dan stabilitas kapal, nautis, teknis, dan
radio serta perlengkapan dan peralatan keselamatan kapal juga
pencegahan pencemaran dari kapal dan manajemen keselamatan dan
pengoperasian kapal di perairan nasional maupun internasional untuk
semua jenis kapal dan semua ukuran, pejabat pemeriksaan keselamatan
kapal telah dikukuhkan oleh direktur jenderal. (www.dephub.com: 2016)
.
2.2. Aturan Yang Mengatur Tentang Marine Inspector.
2.2.1. Aturan Yang Ada Di Indonesia.
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kepelabuhanan
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan.
4. Keputusan Menteri Nomor 70 Tahun 1998 tentang Pengawakan kapal
niaga.
5. Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan
pelatihan sertifikasi serta dinas jaga pelaut.
6. Peraturan Menteri Nomor PM 82 Tahun 2014 tentang Tata cara
Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance).
7. Peraturan Menteri Nomor PM 189 Tahum 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Perhubungan.
8. PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (yang membatasi kewenangan GT. < 7).
8
9. PM Nomor 25 Tahun 2015 Tentang Standar Keselamatan Sungai Danau
dan Penyeberangan.
10. Peraturan Gubernur Sumatra Selatan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau di Sumatera Selatan.
11. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Transportasi.
2.2.2. Aturan Yang Sesuai Dengan IMO.
1. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 218 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal asing
sesuai IMO Resolution A. 1052 (27) adopted on 30 November 2011
concerning Procedures for Port State Control.
2. Bahwa Pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of
Understanding on Port State Control in the Asia-Pacific Region (Tokyo
MOU) pada tanggal 1 Desember 1993 dan efektif berlaku 1 April 1994.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1,
dan angka 2, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang
pejabat pemeriksa kelaiklautan dan keamanan Kapal.
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3319).
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4849).
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime
Labour Convention,2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006),
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 193,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5931).
9
7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5731).
9. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di
Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5208).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5109).
12. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1976 tentang Mengesahkan
International Convention on Load Lines,1966 (Load Lines Convention
66).
10
13. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1979 tentang Mengesahkan
Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at
Sea,1972 (COLREG Convention 72).
14. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Mengesahkan
International Convention for the Safety of Life at Sea,1974 (SOLAS74).
15. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan
International Convention for Prevention of Pollution from Ships,1973
and Protocol of1978 relating the reto (MARPOL73/78).
16. Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1986 tentang Pengesahan
International Convention on Standards of Training, Certification and
Watchkeeping for Seafarers, 1978 (STCW Convention 78).
17. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1989 tentang Pengesahan
International Convention on Tonnage Measurement of Ships,1969
(Tonnage Measurement Convention 69).
18. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol
of 1992 to amend the International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage,1969 (CLC Convention 92).
19. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2012 tentang Pengesahan Annex III,
Annex IV, Annex V and Annex VI of the International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships, 1973 as modified by the Protocol of
1978 relating the reto (Annex III, Annex IV, Annex V and AnnexVI-
MARPOL 73/78).
20. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pengesahan
International Convention on Civil Liability forBunker Oil Pollution
Damage,2001 (CLC Bunker Convention 2001).
21. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2014 tentang Pengesahan
International Convention on the Control of Harmful Anti-Fouling System
on Ship,2001 (AFS Convention 2001).
22. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 8).
11
23. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian
Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
75).
24. Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan the
International Convention for the Controland Management of Ships' Ballast
Water and Sediments,2004 (BWS Convention 2004).
25. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol of
1988 relating to The International Convention for The Safety of Life at
Sea1974 (Protokol 1988 terkait dengan Konvensi Internasional untuk
Keselamatan Jiwa di Laut 1974) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 111).
26. Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol
of1988 relating to the International Convention on Load Line1966
(Protokol 1988 terkait dengan Konvensi Internasional tentang Garis Muat
1966) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 189).
27. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 130 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1400).
28. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelabuhan Batam sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 47 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 65
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelabuhan Batam.
29. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34 Tahun 2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran Utama (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 627).
12
30. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 135 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1401).
31. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844) sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
44 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 816).
32. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1396).
2.3. Gambaran Umum Tentang Keselamatan Kapal Menurut ISM-Code.
2.3.1. Penjelasan Tentang ISM-Code.
ISM-Code adalah suatu standar Internasional untuk Sistim
Manajemen Keselamatan yang bertujuan untuk menjamin bahwa
perusahaan memberi pelayanan yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan yaitu kapal dapat beroperasi secara aman dan mencegah
pencemaran lingkungan.
Alasan Perusahaan menerapkan ISM Code:
1. Untuk memperbaiki sistem kerja.
2. Untuk menerapkan sistim manajemen keselamatan yang diakui
secara internasional.
13
3. Untuk kesiapan menghadapi persaingan pasar.
4. Untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap keamanan
muatan.
5. Untuk memuaskan pelanggan.
Daftar Pedoman Keselamatan dan Perlindungan Lingkungan :
Beberapa Pedoman yang menjelaskan kebijakan perusahaan sesuai
persyaratan ISM-Code harus dibuat untuk melengkapi penerapan
Kebijakan Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran, contohnya :
1. Pedoman tinjau ulang manajemen.
2. Struktur Organisasi di darat dan di kapal.
3. Dokumentasi manajemen keselamatan dan pengendalian
perubahan.
4. Personil di kapal.
5. Pengoperasian kapal secara aman.
6. Instruksi perlindungan lingkungan.
7. Perencanaan perawatan/pemeliharaan kapal.
8. Rencana siaga darurat.
9. Rancangan darurat dikapal.
2.3.2. Keselamatan kapal menurut ISM-Code.
Keselamatan kapal menurut ISM-Code berarti keadaan kapal yang
memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan
pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk radio
dan eletronika kapal. Code Manajemen Internasional untuk keselamatan
operasi Kapal-kapal dan Pencegahan Pencemaran atau Internasional
Safety Management (ISM) Code disahkan oleh Internasional Maritime
Organisation (IMO) melalui Resolusi A. 741 (18) pada tanggal 4
November 1993, di London.
14
International Safety Management Code diartikan sebagai peraturan
manajemen keselamatan internasional untuk keamanan maupun
keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran yang
ditetapkan oleh Dewan Keselamatan Maritim IMO yang masih
dimungkinkan untuk diamandemen.
Berdasarkan data kecelakaan yang dianalisis oleh IMO diketahui
bahwa kecelakaan kapal yang disebabkan oleh kesalahan manusia
(human error) sebesar ± 80 % dan dari seluruh kesalahan manusia
tersebut diketahui pula bahwa sekitar 80 % diantaranya diakibatkan oleh
buruknya manajemen (poor management) perusahaan pelayaran. Sistem
manajemen perusahaan pelayaran atau operator kapal berpengaruh kuat
terhadap keadaan kelaiklautan kapal.
Nakhoda adalah pengambil keputusan tertinggi di atas kapal,
sedangkan perlengkapan kapal, pemeliharaan konstruksi kapal, surat-
surat dan dokumen kapal serta muatan diselesaikan dengan sistem
manajemen di darat.
ISM-code ditetapkan sebagai bagian tak terpisahkan dengan
konvensi SOLAS berdasarkan kesepakatan dalam sidang Maritime Safety
Committee, IMO pada tanggal 24 Mei 1994. Dilatar belakangi oleh dua
kejadian kecelakaan yaitu kapal Ferry Herald of Free Enterprise yang
berangkat dari pelabuhan Zeebrugge, Belgia pada 1987 dan
menimbulkan kerusakan lingkungan laut dengan tenggelamnya kapal
tanker Exxan Valdes di Pantai Alaska, Amerika Serikat pada 1989.
Inisiatif perumusan ISM-code dilakukan oleh committee yang sama
dengan perumus serta penyempurna SOLAS dari tahun 1960 hingga
1974/1978 yaitu Maritime Safety Committee (MSC). ISM-code ditetapkan
sebagai Chapter IX SOLAS dengan pertimbangan kemudahan uniuk
efektifitas penerapannya mengingat bahwa SOLAS sendiri telah
diratifikasi oleh negara-negara anggata IMO termasuk Indonesia
(Keppres No. 65/1980). Sehingga berlakunya konvensi melalui prosedur
15
yang menunggu lama hingga 2/3 negara anggata meratifikasi dapat
dihindari.
Maksud dan Tujuan :
Dalam mukadimah ISM-code dinyatakan bahwa manajemen
keselamatan internasional ini adalah untuk :
1. Menyediakan standar internasional sehubungan dengan manajemen
keselamatan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut.
2. Untuk menjamin keselamatan di laut, pencegahan kecelakaan atau
kehilangan jiwa manusia, dan menghindari kerusakan lingkungan,
khususnya terhadap lingkungan laut dan kerugian harta benda.
Keselamatan pelayaran ini mempunyai ruang lingkup :
1. Sistem manajemen perusahaan pelayaran yang berlaku di darat dan di
atas kapal.
2. Peraturan keamanan keselamatan operasi kapal.
3. Peraturan pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut yang
berasal dari kapal.
4. Jaminan kualitas (quality assurance).
Sertifikasi, Verifikasi dan Pengawasan terhadap keselamatan kapal :
1. Kapal harus dioperasikan oleh perusahaan yang telah memiliki
“Document of Compliance” yang relevan atas kapal itu.
2. “Document of Compliance” merupakan kelengkapan untuk setiap
perusahaan yang memenuhi persyaratan ISM-Code dikeluarkan oleh
pemerintah, atau badan yang diakui pemerintah , atau oleh pemerintah
suatu negara atas permintaan Negara lain dimana perusahaan
menjalankan usahanya.
3. Rekaman dokumen tersequt ditempatkan di kapal, bila diperlukan
Nakhoda dapat menggunakannya pada saat dilakukan verifikasi oleh
pemerintah atau badan organisasi berwenang.
4. Sertifikat Manajemen Keselamatan atau “Safety Management
Certificate” diberikan kepada kapal oleh pemerintah atau badan
organisasi yang diakui pemerintah. Sebelum mengeluarkan sertifikat,
16
pemerintah melakukan verifikasi yang membuktikan bahwa
manajemen perusahaan telah dijalankan sesuai dengan SMS yang
telah disetujui.
5. Pemerintah atau badan organisasi yang ditunjuk harus melakukan
pemeriksaan secara berkala untuk mengetahui apakah SMS di kapal
bertungsi sesuai dengan SMS yang disetujui.
Sistem Manajemen Keselamatan (Safety Management System) adalah
fasilitas bagi seluruh Personel di darat dan di laut untuk melaksanakan
semua kebijakan perusahaan di bidang keselamatan. SMS merupakan
operasianalisasi dari ISM-code yaitu mengatur wewenang dan tanggung
jawab perusahaan, wewenang dan tanggung jawab Nakhoda, instruksi
dan prosedur pengoperasian kapal yang aman, familiarisasi dan
pelatihan-pelatihan Personel. Ditegaskan pula dalam SMS hubungan
kerja menurut garis-garis komanda, koordinatif, dan konsultatif antara
Personel darat dengan Personel kapal.
Keamanan dan Keselamatan Operasi Kapal :
Dalam dunia pelayaran niaga seawarthiness diatur di dalam the Hague
Visby Rules maupun the Hamburg Rules bahwa seawarthiness kapal
pengangkut sebagai kewajiban dari pengangkut (carrier) atau pemilik
kapal (ship owner). Pihak asuransi tidak menerima pertanggungan tanpa
dokumen bukti atas kelaiklautan ini.
Menurut F.N. Hapkins bahwa seawarthiness berhubungan dengan
tingkat kelayakan struktur, perlengkapan dan pengawakan kapal. Untuk
keperluan asuransi laut, kapal dikatakan laik laut apabila kapal siap
menghadapi segala tantangan maupun risiko di laut. Demikian juga
untuk keperluan kontrak pengangkutan, kapal harus cargowarthiness.
Dalam hal kapal tidak laik laut atau dinamakan unsafe ship sehingga
tidak dapat dipertanggung-jawabkan yang tentu saja keadaan seperti ini
tidak diinginkan dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan yang
mengakibatkan kecelakaan.
17
2.4. Peran SOLAS Terhadap Pemeriksaan Kelaiklautan Kapal.
SOLAS sangat berperan penting terhadap pemeriksaan kelaiklautan
kapal,peran SOLAS terhadap kegiatan pemeriksaan kelaiklautan kapal,
sebagai berikut :
1. Peran Terhadap Alat Komunikasi
Dengan dikeluarkannya peraturan baru tahun 1990 mengenai
keharusan memasang Gobal Maritime Distress and Safety Systems
(GMDSS), maka penerapan semua peraturan yang berhubungan dengan
komunikasi radiotelegraphy dan radio telephony dianggap merupakan
suatu kemajuan terbesar dalam dunia komunikasi Maritim sekarang ini.
Konsep dasar dari GMDSS adalah petugas penyelamat di darat, dan
kapal yang berada disekitar kapal yang dalam keadaan bahaya (ship
distress) mendapat peringatan lebih awal, sehingga dapat segera
melakukan koordinasi dengan SAR.
2. Peran Terhadap Keselamatan Navigasi
Chapter V SOLAS 74/78 membahas mengenai peraturan dan
kelengkapan navigasi untuk semua kapal. Bab tersebut mengatur tentang
penyampaian berita bahaya dan informasi yang dibutuhkan dalam
menyampaikan berita yang membahayakan kapal.
Regulation 12, mengatur mengenai kelengkapan alat navigasi yang
diharuskan di kapal sesuai ukuran atau gros ton setiap kapal. Sesuai
peraturan dimaksud, kapal dengan ukuran 150 gros ton ke atas sudah
harus dilengkapi dengan alat navigasi Peralatan penting dimaksud antara
lain seperti gyro compass, gyro repeater, echo sounding device radar
installation, automatic eadar plotting aid untuk kapal ukuran 10.000 gros
ton atau lebih dan sebagainya.
3. Peran Terhadap Sertifikasi
Di dalam SOLAS 74/78 Chapter 1 Part B-Surveys and Certificates
diatur juga sistim pelaksanaan survey dan sertifikasi yang dibutuhkan
dalam rangka pelaksanaan peraturan tersebut.
18
Semua kapal harus melalui pemeriksaan yang meliputi inspeksi
terhadap struktur dari konstruksi, permesinan dan semua peralatan agar
bisa mendapatkan sertifikat sebagai berikut :
a. Cargo Ship Safety Construction Certificate
b. Cargo Ship Safety Equipment Certificate
c. Cargo Ship Safety Radiotelegraphy Certificate
d. Cargo Ship Safety Radiotelephony Certificate
Untuk sertifikat –sertifikat tersebut dilakukan survei :
a. Survei pertama (initial survei).
b. Survei tahunan (annual survei).
c. Survei antara (intermediate survei).
d. Survei pembaruan sertifikat.
e. Susvei diluar jadwal (additional survei).
Untuk kapal yang tidak diberlakukan SOLAS diberikan Sertifikat
Keselamatan yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51
Tahun 2002 .
4. Peran Terhadap International Maritime Organization ( IMO )
Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan
pelayaran, PBB dalam komprensinya pada tahun 1948 telah menyetujui
untuk membentuk suatu badan Internasional yang khusus menangani
masalahmasalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali
dengan nama Inter Govermental Maritime Consultative Organization (
IMCO ).
kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasitersebut baru diakui
secara Internasional. Kemudian berubah nama menjadi International
Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei 1982. IMO adalah
Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar
kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite.
Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan -peraturan
keselamatan kerja dilaut termasuk keselamatan pelayaran dan
pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan perairan.