4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jali (Coix lacryma-jobi L. Var ...

Post on 21-Apr-2023

0 views 0 download

Transcript of 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jali (Coix lacryma-jobi L. Var ...

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jali (Coix lacryma-jobi L. Var mayuen)

Jali adalah tanaman serelia yang berasal dari Asia timur dan Malaya, namun

sekarang sudah tersebar luas diseluruh dunia (Kutschera and Krasaekoopt,

2012). Tanaman ini memiliki tinggi sekitar 1-2 meter dengan batang seperti

jagung dan daun yang hijau bergelombang lebarnya sekitar 2,5-4 cm. Pada

percabangannya dihasilkan biji dengan ukuran sekitar 6-12 mm. Umumnya jali

telah tumbuh daun dari bulan Mei sampai Oktober, bunga dari Juli sampai

Oktober, dan biji matang dari September-November. Secara keseluruhan jali

dapat dipanen pada usia sekitar 5-6 bulan. Bulir jali terbungkus oleh lapisan kulit

yang keras berwarna putih dan berbentuk oval dengan kandungan karbohidrat

yang tinggi (Kurniawati dkk., 2014).

Tanaman jali merupakan sumber serat dan antioksidan yang sudah banyak

digunakan sebagai makanan pokok masyarakat di dunia (Ames and Rhymer,

2008). Rata-rata konsumsi jali di beberapa negara seperti Maroko dan Tibet

sebesar 39 kg dan 155 kg/tahun perkapita. Tingkat konsumsi jali yang tinggi

pada beberapa negara dapat disebabkan karena kandungannya kaya akan serat

dapat menurunkan kolesterol, glukosa serum postprandial, kadar insulin dalam

darah dan memperbaiki respon insulin bagi penderita intoleransi glukosa (Wood,

2007; Garcia et al., 2007). Hal ini disebabkan karena lapisan dinding sel jali lebih

tahan untuk terdegradasi enzim pencernaan dibandingkan pada jagung dan

gadum, sehingga pelepasan nutrisi pada saluran percernaan bagian atas dapat

dikurangi. Gambar tanaman jali dapat dilihat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Tanaman Jali (Lim, 2013)

5

Jali di Indonesia berdasarkan konsistensinya terdiri dua yaitu jali lunak atau

pulut (varietas mayuen) dan jali keras atau jali batu (varietas agrotica, palustris

dan Aquatica). Jali dari varietas mayuen atau dikenal dengan jali pulut memiliki

konsistensi cangkang yang lunak dan mudah pecah, saat kering warna bijinya

putih kecoklatan, biasanya ditanam di sawah-sawah, pekarangan rumah atau

dikebun. Masyarakat setempat menggunakan jali pulut sebagai pengganti nasi,

bahan baku kue, ketan dan makanan olahan lainnya, sedangkan jali batu

digunakan untuk pembuatan souvenir seperti manik-manik, kalung dan tasbih.

Warna dari jali batu bermacam-macam ada yang kehitaman, hitam keabuan,

coklat dan kuning kecoklatan (Nurmala, 2011). Biji jali dapat dilihat pada Gambar

2.2

Berdasarkan klasifikasinya Jali (Coix lacryma-jobi L. Var mayuen)

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivision : Spermatophyta

Division : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Subclass : Commelinidae

Order : Cyperales

Family : Poaceae

Genus : Coix L.

Species : Coixlacryma-jobi L.

Sumber : (Kumar et al., 2014)

(b) (a)

Gambar 2.2 Biji Jali dengan Kulit (a) dan Tanpa Kulit (b) (Chhabra and Gupta,

2015)

(a)

6

Jali berdasarkan klasifikasinya memiliki keunggulan dari aspek agronomi

yaitu tahan terhadap kondisi lahan yang kering, mampu bertahan dari serangan

hama dan penyakit, mudah beradaptasi terhadap ekosistem, pertumbuhannya

bersifat indeterminan yaitu terjadi secara terus menerus serta dapat dipanen

beberapa kali setelah dipangkas atau diratoon (Nurmala, 2011). Kondisi tropis di

Indonesia menyebabkan jali dapat tumbuh pada dataran tinggi maupun dataran

rendah dengan suhu antara 25-350C. Pada daerah dataran tinggi, jali dapat

tumbuh pada ketinggian hingga mencapai 2000 meter diatas permukaan laut

(mdpl), sedangkan pada dataran rendah pertumbuhan jali berada pada

ketinggian 1-1000 mdpl dan ditemukan pada daerah rawa, sepanjang sungai dan

daerah payau (Irawanto dkk., 2017). Pada beberapa daerah, biji jali digolongkan

sebagai bahan pangan yang memiliki berbagai nutrisi untuk digunakan sebagai

bahan baku pengolahan makanan dan pengobatan. Kandungan nutrisi biji jali

dan serelia lain dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan Nutrisi Biji Jali dan Serelia Lainnya (100gr)

Komponen Jali Beras Jagung Millet Shorgum

Energi (kkal) 1506,00 1711,00 1690,00 153,00 1628,00

Karbohidrat (%) 76,40 87,70 83,00 78,90 82,00

Protein (%) 14,10 8,80 10,50 12,80 11,40

Lemak (%) 7,90 2,10 4,90 5,60 4,20

Serat (%) 0,90 0,80 2,70 1,70 2,50

Abu (mg) 1,60 1,30 1,60 2,70 1,70

Ca (mg) 54,00 18,00 16,00 56,00 25,00

Fe (mg) 0,80 3,20 3,20 10,10 4,30

Vitamin B1 (mg) 0,48 0,39 0,34 0,35 0,37

Vitamin B2 (mg) 0,10 0,08 0,13 0,16 0,20

Niacin (mg) 2,70 5,80 2,40 2,00 4,40

Sumber : (Nurmala, 2011)

Jali mengandung lemak, protein, vitaminin B1 dan kalsium lebih tinggi

diantara jenis serelia lainnya. Kandungan lemak jali lebih tinggi yaitu 7,9%

dibandingkan beras (2,10%), jagung (4,90%), millet (5,60%) dan shorgum

(4,20%). Lemak dalam pengolahan bahan pangan berfungsi untuk meningkatkan

keempukan, menambah cita rasa dan dan meningkatkan nilai gizi. Kandungan

7

lemak pada jali merupakan jenis asam lemak tidak jenuh tunggal (asam oleat)

dan asam lemak tidak jenuh ganda (asam linoleat dan linolenat). Asam lemak

tidak jenuh tunggal pada jali mampu menurunkan kolestrol darah dan

meningkatkan fluiditas HDL sedangkan asam lemak tidak jenuh ganda berfungsi

membantu dalam transport aktif protein dan enzim membrane sel dalam tubuh

(Bhandari et al., 2012).

Kandungan protein jali lebih tinggi yaitu 14,10% dibanding beras (8,80%),

jagung (10,50%), millet (12,80%) dan shorgum (11,40%). Protein dalam

pengolahan bahan pangan dikenal sebagai gluten yang berperan sebagai

pembentuk adonan. Gluten tidak terdapat di dalam jali sehingga tidak akan

terjadi pengembangan adonan seperti pada tepung terigu (Nurmala, 2011).

Gluten pada beberapa kasus seperti celiac (intoleransi gluten) dapat memicu

reaksi autoimun yang menyebabakan fungsi usus halus terganggu sehingga

penyerapan nutrisi menjadi terhambat (Bascunan et al., 2016). Protein utama

yang terdapat di dalam jali adalah coixin yang kaya akan asam amino prolin dan

leusin. Pengobatan cina menggunakan kedua komponen coixin yaitu coixol dan

coixenolide sebagai pencegahan terhadap kanker (Chhabra and Gupta, 2015).

Selain zat gizi makro seperti protein dan lemak, jali mengandung zat gizi

mikro seperti vitamin B1 (tiamin) dan kalsium yang lebih tinggi dibanding jenis

serelia lainnya. Pada bahan makanan, tiamin dapat ditemukan dalam bentuk

komponen kompleks protein-fosfat sebagai koenzim pada katabolisme gula dan

asam amino. Tiamin di dalam tubuh berfungsi dalam meningkatkan nafsu makan,

membantu dalam meningkatkan sistem imun dan membantu dalam fungsi sistem

saraf (Almatsier, 2005). Komponen lainnya selain tiamin adalah kandungan

kalsium yang terdapat di dalam bahan. Asupan kalsium yang mencukupi

kebutuhan tubuh dapat berperan penting untuk pembentukan tulang dan gigi,

metabolisme sel dan mengirimkan isyarat saraf ke sel (Bredbenner et al. 2007).

2.2 Prebiotik dan Probiotik

Prebiotik merupakan karbohidrat rantai pendek yang tidak dapat dihidrolisis

oleh enzim pencernaan dan digunakan sebagai substrat untuk proses metabolik

bakteri, sedangkan probiotik adalah bakteri bukan patogen yang sebagian besar

berasal pada saluran pencernaan manusia dan bila pertumbuhannya dalam

jumlah yang tinggi dapat membantu proses pencernaan, sintesa vitamin B

(terutama asam folat), menurunkan kadar amonia dan kolestrol darah, menetral

8

racun dan meningkatkan sistem imun (Fric, 2007; da Silva et al., 2014).

Kombinasi antara prebiotik dan probiotik disebut dengan sinbiotik. Keuntungan

dari kombinasi ini adalah dapat meningkatkan daya tahan bakteri probiotik akibat

adanya substrat yang spesifik (prebiotik) selama proses fermentasi sehingga

tubuh mendapatkan manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini (Eliason,

2006).

Prebiotik dapat berasal dari sumber yang alami seperti ASI atau dari jenis

sayur-sayuran seperti asparagus, tomat, bawang merah, bawang putih, daun

bawang, buah-buahan dan biji-bijian (Panesar et al., 2011). Sumber makanan

dapat dikatagorikan sebagai prebiotik bila memenuhi kriteria (A) resisten

terhadap keasaman lambung dan enzim pencernaan; (B) dapat difermentasi oleh

mikroflora usus (C) dan mampu memberikan efek menguntungkan bagi aktivitas

mikroflora (Rastall and Gibson, 2006). Prebiotik dapat berasal dari golongan

oligosakarida atau karbohidrat rantai pendek yang terdiri dari 2-9 molekul

monosakarida dan golongan polisakarida yang terdiri dari ratusan bahkan ribuan

molekul monosakarida (Cummings and Stephen, 2007).

Prebiotik golongan oligosakarida yang sudah banyak dikenal dan sering

digunakan dalam industri pangan adalah inulin, galaktooligosakarida (GOS),

fruktooligosakarida (FOS), laktulosa, isomaltoolligosakarida, glukooligosakarida

dan xylooligosakarida, sedangkan jenis prebiotik lainnya yang berasal dari

golongan polisakarida adalah β-glukan, pati resisten dan arabinoxylan (Zhao and

Cheng, 2011; Al-Sheraji et al., 2013; Pandey et al., 2016). Berbagai jenis

prebiotik tersebut tersebar luas pada tanaman dan hasil hewan, yang bila

dikonsumsi dengan teratur dapat menyeimbangkan pertumbuhan bakteri

probiotik agar kesehatan pencernaan terjaga dengan baik. Pemanfaatan jenis

prebiotik pada masing-masing bakteri probiotik dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Jenis Bakteri Probiotik dan Substrat Pertumbuhannya (Prebiotik)

Bakteri Probiotik Prebiotik

Bifidobacterium longum Oligofruktosa, β-glukan

Bifidobacterium lactis Pati resisten

Bifidobacterium breve Galaktooligosakarida

Lactobacillus gasseri Inulin

Lactobacillus casei strain Shirota Oligomate, Arabinoxylan

Lactobacillus acidophilus ATCC 4962 Manitol, fruktooligosakarida

L. plantarum dan L. acidophilus Xylo- dan frukto-oligosakarida

Sumber: (Figueroa‐González et al., 2011)

9

Bakteri probiotik adalah organisme non patogen yang mampu memodulasi

saluran pencernaan dengan meningkatkan keseimbangan mikroba di dalamnya.

Sebagian besar bakteri probiotik adalah gram positif, bakteri fakultatif anaerob

dan merupakan penghuni normal kolon manusia (Douglas and Sanders, 2008).

Bakteri probiotik yang terdapat di dalam saluran pencernaan umumnya

didominasi oleh golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium. Beberapa golongan

Lactobacillus adalah L. casei, L gasseri, L. acidophilus dan L. plantarum

sedangkan golongan Bifidobobacterium adalah B. longum, B. lactis dan B. breve.

Menurut Widiyaningsih (2011) golongan kedua bakteri ini memiliki peran masing-

masing di dalam salurang pencernaan, dimana golongan Lactobacillus dapat

menstimulasi sistem imun terhadap bakteri patogen, menekan peningkatan kadar

kolestrol darah dan meningkatkan penyerapan antioksidan dan vitamin,

sedangkan golongan Bifidobacterium mampu meningkatkan pernyerapan

mineral, sintesis vitamin D dan K, serta sebagai detoksifikasi usus, darah dan

hati.

FAO/WHO (2011) menyarankan konsumsi minuman atau makanan yang

mengandung probiotik berkisar antara 106- 108 cfu/gr agar dapat bertahan dari

asam lambung dan garam empedu sehingga bakteri dapat berkembang hingga

mencapai 1012 cfu/gr. Umumnya bakteri probiotik tahan terhadap pH eksternal

yang rendah karena adanya aktifitas bakteri dalam mempertahan pH internal

menjadi keadaan alkali, selain itu kemampuan membran sel yang tahan dari

kebocoran akibat suasanan asam dilambung. Menurut Jain et al. (2014)

beberapa mekanisme bakteri probiotik dalam menjaga kesehatan saluran

pencernaan adalah membentuk kolonisasi dan penempelan pada jaringan

mukosa usus untuk menyeimbangkan jumlah bakteri probiotik terhadap patogen,

menghasilkan senyawa antimikroba dengan mengurangi keasaman lumen yang

secara langsung dapat menghambat patogen, selain itu dapat menstimulasi

imunitas host mukosa usus, dimana pada sel imunosensori sistem pencernaan

secara terus menerus melakukan sampling dan merespon keseimbangan bakteri

intestinal.

2.3 Polisakarida

Polisakarida adalah polimer yang tersusun atas sejumlah besar

monosakarida yang berikatan melalui ikatan glikosidik. Ukuran polisakarida

10

dinyatakan dalam bentuk derajat polimerasi (DPn), yaitu jumlah monomer

penyusun yang terikat pada rantai polimer, termasuk gugus fungsi yang

berhubungan dengan panjang rantai dan berat molekul (Cumming and Stephen,

2007). Polimer dengan derajat polimerisasi yang tinggi memiliki berat molekul

>104 kDa, sedangkan polimer dengan berat molekul yang rendah memiliki berat

molekul <104 kDa yang disebut oligomer. Polisakarida termasuk dalam polimer

dengan derajat polimerasi yang tinggi, sehingga struktur molekulnya lebih stabil

dan cenderung sukar larut dengan air.

Klasifikasi polisakarida dapat dibedakan berdasarkan jumlah monomer

penyusun dan fungsi strukturalnya. Polisakarida berdasarkan monomer

penyusunnya terdiri dari dua golongan yaitu homopolisakarida dan

heterepolisakarida. Golongan homopolisakarida atau homoglikan terdiri dari satu

jenis monosakarida penyusun seperti selulosa, amilosa dan amilopektin,

sedangkan heterepolisakarida atau heteroglukan tersusun dari beberapa jenis

monosakarida penyusun seperti alginat dan hyaluronat (Liu et al., 2015).

Polisakarida berdasarkan fungsi strukturalnya terdiri dari polisakarida instrinsik

(terdapat secara alami dalam tanaman) yang dibedakan menjadi tiga katagori

yaitu polisakarida cadangan (storage), polisakarida penyusun dinding sel dan

komponen polisakarida non struktural. Polisakarida cadangan berfungsi sebagai

pemasok energi yang dibutuhkan sel tanaman seperti pati, fruktan dan

galaktomanan, polisakarida penyusun dinding sel digunakan sebagai materi

penyusun pada jaringan tanaman seperti selulosa dan pektin sedangkan

polisakarida non struktural berfungsi melindungi tanaman dari desikasi atau

kekeringan fisiologis seperti gum dan mucilage (Schweizer and Edwards, 2013).

Masing-masing kategori dari polisakarida intrinsik dapat dibagi menjadi

subkelompok berdasarkan jenis rantai dan konfigurasi ikatan glikosida. Jenis

rantai polisakarida terdiri dari rantai linier dan bercabang dengan konfigurasi

ikatan (α) alfa atau (β) beta glikosida (Cui, 2005). Konfigurasi ikatan glikosida

pada rantai linier sangat penting karena dapat menentukan struktur tersier dari

molekul yang akan mempengaruhi sifat fisik dari polisakarida dan kapasitasnya

untuk berikatan dengan polisakarida lainnya dan protein. Molekul linier dengan

konfigurasi ikatan beta (β) dapat berikatan dengan monosakarida lainnya

dengan ikatan hidrogen untuk membentuk struktur kristal serat tak larut terhadap

hidrolisis enzimatik seperti serat selulosa, sedangkan konfigurasi ikatan alfa (α)

berikatan dengan protein yang akan mempengaruhi kerentanan terhadap

11

hidrolisis enzimatik. Kriteria dari kedua konfigurasi tersebut menyebabkan

polisakarida terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu α-glukan (pati

dan glikogen) dan non α-glukan (polisakarida non-pati). Polisakarida dengan

ikatan alfa glukan yang terdiri dari α-1,4 dan 1,6 dapat dihidrolisis oleh enzim

amilase dari cairan saliva dan pankreas mamalia untuk menghasilkan glukosa,

maltosa, isomaltosa dan malto-oligosakarida yang dapat diserap dalam usus

halus, sedangkan ikatan non α-glukan tidak mampu dihidrolisis oleh enzim

amilase dan tidak diserap di usus halus (Schweizer and Edwards, 2013).

Klasifikasi polisakarida dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi Polisakarida

Fungsi

Polisakarida

Jenis

Polisakarida

Komponen

Polisakarida

Klasifikasi

Analitik

Rantai

Penyusun

Cadangan

Pati

Amilosa

α-glukan

Linier 1-4α

Amilopektin Bercabang

(1-4,1-6)α

Galaktomanan Guar, gum

Non α-glukan

Linier 1-4β

Dinding sel Non-selulosa Alginat Linier 1-4 β

Arabinoxylan Linier 1-4β

Hyaluronat Linier 1-4β

Selulosa Selulosa Linier 1-4β

Polisakarida

non

struktural

Gum Hetero-

polisakarida

Ikatan non α-

glikosidik

Sumber : (Schweizer and Edwards, 2013)

Polisakarida pada tanaman sebagian besar termasuk dalam polisakarida

pati. Polisakarida dapat dibedakan sebagai polisakarida pati dan polisakarida

non pati. Menurut Soumyanath (2005) keberadaan polisakarida pati di dalam

tanaman lebih besar dibandingkan polisakarida non pati, karena berfungsi

sebagai sumber energi bagi proses metabolisme jaringan sel. Polisakarida yang

termasuk pati umumnya tersusun dari ikatan alpha (α) yang sebagian besar

berperan sebagai polisakarida cadangan, terdiri dari amilosa dan amilopektin

yang masing-masing mengandung monomer pembentuknya yaitu D-glukosa,

sedangkan polisakarida selain pati tersusun dari ikatan β (beta) yang berperan

sebagai polisakarida struktural yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, β-glukan,

arabinoxylan, xyloglukan, glukomanan, galaktomanan dan pektin yang tersusun

dari berbagai macam monomer pembentuknya seperti glukosa, galaktosa,

12

mannan, gula pentosa dan asam galakturonat (Lovegrove et al., 2017).

Kompoenen polisakarida pati dan polisakarida selain pati dapat dilihat pada

Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komponen Polisakarida Pati dan Non Pati

Golongan Polisakarida Komponen

Polisakarida pati Amilosa, amilopektin dan pati modikasi

Polisakarida non pati (NSP) Selulosa, hemiselulosa, pektin,

arabinoxylan, β-glukan, glukomanan,

gums tanaman dan mucilage

Sumber : (Cumming and Stephen, 2007)

Polisakarida pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin memiliki

perbedaan pada bentuk rantai dan jumlah monomer glukosa. Rantai lurus

amilosa membentuk gulungan seperti spiral yang mengikat sekitar 1000 molekul

glukosa dengan ikatan α-1,4-D-glikosidik. Amilosa memiliki derajat polimerasi

berkisar antara 500-6000 unit glukosa tergantung dari sumber pati berasal,

sedangkan amilopektin merupakan rantai bercabang dengan adanya ikatan α-

1,6-D-glikosidik yang setiap cabangnya mengandung sekitar 20-25 unit glukosa.

Amilopektin memiliki derajat polimerasi yang tinggi dibandingkan dengan

amilosa yaitu antara 105 sampai 3x106 unit glukosa (Hustiany, 2006; Sutresna,

2007)

Amilosa dan amilopektin pada granula pati dapat dipisahkan dalam air

panas. Sifat amilosa yang mudah larut diakibatkan adanya gugus hidroksil pada

ujung rantai lurus amilosa yang tarik menarik dengan gugus hidrogen dari air,

sehingga amilosa lebih mudah larut (Usmiati dan Priyanti, 2014). Amilopektin

bersifat sulit larut oleh air karena tersusun dari rantai lurus dengan banyaknya

percabangan yang tinggi dengan berat molekul yang lebih besar, dimana

dengan adanya rantai cabang pada amilopektin menyebabkan ikatan antar

rantai lebih kuat dan strukturnya lebih stabil dibanding amilosa (Poedjiadi dan

Supriyanti, 1994). Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat pada

serelia, contohnya pada beras. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin

tinggi kandungan amilopektinnya menyebabkan tekstur beras lebih lunak (Prima

dkk., 2015). Perbedaan rasio antara amilosa dan amilopektin pada granula pati

dapat berbeda pada tiap serelia tergantung dari sumber bahan.

13

Keberadaan polisakarida lainnya selain pati, dikenal dengan polisakarida

non pati (Non starch polysaccharide). Polisakarida non pati berperan sebagai

polisakarida struktural yang terdapat pada bagian dinding sel tanaman yang

berfungsi membentuk struktur jaringan sel menjadi lebih kuat. Menurut

Lavogrove et al. (2017) secara kimiawi polisakarida non pati disebut dengan

serat pangan, karena tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia.

Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok yaitu serat larut (soluble fiber)

seperti gum, pektin, mucilage, arabinoxylan dan β-glukan sedangkan serat tidak

larut seperti selulosa, hemiselulosa dan lingnin,. Serat larut dan tidak larut

memiliki perbedaan fungsi di dalam tubuh, dimana serat larut secara

keseluruhan difermentasi oleh bakteri anaerob untuk menghasilkan SCFA (Short

chain fatty acid) yang dapat diserap oleh bakteri sebagai sumber energi, selain

itu dapat mereabsorbsi air dan natrium dalam kolon untuk menghidrasi kolon

dan feses sehingga memberikan efek baik bagi kesehatan (Senditya dkk, 2014).

Serat tidak larut dalam air lebih tahan terhadap proses fermentasi oleh bakteri

dalam usus (Napolitano et al., 2009). Serat ini meningkatkan berat dan volume

feses dengan konsistensi yang lunak tetapi menurunkan waktu transit dalam

kolon dan menstimulasi peristaltik kolon (Khoshoo et al., 2010).

Pada setiap serelia kandungan polisakarida pati dan non pati memiliki

perbedaan. Beberapa serelia seperti gandum, barley dan oat mengandung jenis

polisakarida pati masing-masing 72%, 59% dan 61%, lebih rendah dibandingkan

pada shorgum dan jagung masing-masing 77% dan 78% (Kulp, 2000). Jali

mengandung polisakarida pati sekitar 52% hampir sama dengan polisakarida

pati yang terdapat pada tritikale dan barley yaitu masing-masing 53% dan 59,5%

(Leila, 2014). Hal ini sesuai dengan pernyataan Yamada et al. (1985) bahwa jali

mengandung polisakarida pati dengan jenis ikatan α-glukan yang strukturnya

mirip dengan amilopektin.

Polisakarida non pati yang banyak terkandung pada beberapa tanaman

adalah jenis β-glukan dan arabinoxylan. Pada jenis serelia seperti rye, oat dan

barley, masing-masing mengandung polisakarida non pati jenis β-glukan

sebesar 1,2%, 4,5% dan 5,3%, dan kandungan arabinoxylannya masing-masing

sebesar 7,6%, 8,79% dan 6,11%. Serelia lainnya seperti shorgum, jagung,

kacang kedelai dan jali tidak mengandung polisakarida non pati jenis beta

glukan, melainkan hanya arabinoxylan masing-masing sebesar 1,8%, 29,86%,

13,10% dan 32,9% (Izydorczyk and Biliaderis et al., 2007; Apirattananusorn et

14

al., 2008). Perbedaan jenis dan kandungan dari kedua senyawa tersebut

tergantung dari sumber, species, genetik dan faktor lingkungan lainnya karena

dapat mempengaruhi keberagaman dalam kualitas maupun kuantitas dari

senyawa yang ada pada setiap tanaman.

2.3.1 Glukan

Glukan adalah polimer glukosa yang memiliki berbagai jenis ikatan

glikosidik dan konfigurasi anomer yang tersebar luas di alam. Glukan dikenal

sebagai polisakarida yang tersusun dari ratusan bahkan ribuan monomer

glukosa (Volman et al., 2010). Glukan dapat dibedakan sebagai komponen

struktural pada dinding sel dan cadangan energi untuk metabolime jaringan sel.

Struktur utama glukan terdiri dari tiga jenis yaitu α-glukan, β-glukan dan

campuran α, β-glukan. Perbedaan antara α dan β-glukan ditunjukkan

berdasarkan susunan streokimianya, dimana ikatan α (alpha) membentuk posisi

axial (vertikal) yaitu gugus hidroksil berposisi dibawah atom hidrogen sedangkan

ikatan β (beta) membentuk posisi equatorial (horisontal) yaitu gusus hidroksil

berposisi diatas atom hidrogen (Synytsya and Novak, 2003). Struktur α-glukan

dan β-glukan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur α-glukan dan β-glukan (Sumber: Randy et al., 1998)

Perbedaan struktur antara α-glukan dan β-glukan pada Gambar 2.3

menunjukan jenis α-glukan pada tanaman yang diwakili oleh struktur linier

amilosa α-d-(1→4) yang berfungsi sebagai cadangan energi, sedangkan jenis β-

glukan mewakili selulosa dengan rantai linier (1→4)-β-D-glukan yang berfungsi

sebagai penyusun dinding sel (Kroon-Batenburg, 1977; Thitipraphunkul et al.,

2003). Jenis ikatan glukan sebagai polisakarida cadangan dan polisakrida

struktur menghasilkan karakteristik yang berbeda antara ikatan-ikatan tersebut.

Alpha-glukan

Beta-glukan

Amilosa

Selulosa

15

Umumnya ikatan α (alpha) glukan pada pati menyebabkan molekul tidak larut

dalam air khususnya air dingin. Ikatan α glukan pada pati mentah bila dimasukan

dalam air maka jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air

yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Pembengkakan pati

dapat terjadi setelah suhu air dinaikan sehingga pati mengalami gelatinisasi, dan

tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula (Winarno, 2004). Selain itu pati

dapat dihidrolisis dengan enzim α-amilase dan β-amilase. Kemampuan enzim α-

amilase dapat menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari 6-

7 unit glukosa, berbeda dengan enzim β-amilase yang hanya memecah pati

sebagian dengan menghasilkan residu yang disebut β-amilase limit dextrin. Hal

ini disebabkan karena β-amilase tidak mampu menghidrolisis pati khususnya

amilopektin diluar batas cabang-cabang tertentu.

Enzim β-amilase tidak dimiliki oleh saluran pencernaan manusia, sehingga

golongan polisakarida yang tersusun atas ikatan beta umumnya tidak dapat

dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia dan dapat berpotensi sebagai serat.

Selulosa merupakan serat panjang yang bersama dengan hemiselulosa, pektin

dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel

((Poedjiadi dan Supriyanti, 1994) . Selulosa adalah polimer berantai lurus dengan

ikatan beta (β-1,4-D-glikosidik), memiliki derajat polimerasi sampai 10000 unit

glukosa, bersifat tidak larut dalam air dan tidak mudah didegradasi secara kimia

maupun enzimatis. Unit penyusun selulosa adalah selobiosa yang dapat

dihidrolisis oleh enzim selobiase menghasilkan 2 molekul glukosa dari dua ujung

rantai, sehingga dihasilkan selobiosa dengan ikatan β-1,4-D-G-G (Winarno.,

2004). Beda selulosa dengan hemiselulosa adalah derajat polimerasi

hemiselulosa lebih rendah yaitu 50-200 unit glukosa, mudah larut dalam alkali

tapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya. Struktur utama

penyusun hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-

xylosa, dan L-arabinosa yang dapat disubtitusi dengan berbagai karbohidrat lain

atau residu non karbohidrat pada bagian rantai cabang (McDonald et al., 2002).

Keberadaan α-glukan dan β-glukan tersebar pada tanaman, hewan,

mikroorganisme dan fungi. Keberadaan glukan pada hewan yaitu glikogen sama

dengan beberapa polisakarida jamur, kecuali pullulan. Ikatan glukan pada

pullulan membentuk rantai linier yang mengandung ikatan α-(1→4) dan α-(1→6),

sehingga bersifat mudah larut dibandingkan glikogen. Jenis glukan pada glikogen

memiliki struktur yang sama dengan amilopektin, tetapi rantai cabang glikogen

16

lebih panjang yaitu 8-12 subunit glukosa, sehingga lebih sulit larut dibanding

amilopektin ((Synytsya and Novak, 2003). Glikogen merupakan jenis glukan yang

berfungsi sebagai storage atau cadangan makanan dalam tubuh hewan.

Glikogen pada manusia dan vertebrata lainnya disimpan dalam sel hati dan otot.

Gilkogen merupakan jenis glukan dengan ikatan rantai lurus α-(1→4) dan ikatan

rantai percabangan (α1→6) (Nelson and Cox, 2004). Sumber dan struktur glukan

dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2.5Sumber dan Struktur Glukan

Struktur glukan Nama Trivia Sumber Fungsi

α-d-(1→3) Pseudonigeran Fungi Aspegillus niger Struktural

α-d-(1→4) Amilosa Tanaman Cadangan

α-d-(1→6) Fungi Armillariella

tabescens

Sarcodon aspratus

α-d-(1→3)-(1→4) Nigeran Fungi Aspegillus niger

Isolichenan Lichens Cetraria islandica

α-d-(1→4)-(1→6) Pullulan Fungi Aureobasidium

pullulans

Teloschistes flavicans

α-d-(1→4)-(1→6) Amilopektin Tanaman

Glikogen Hewan

α-d-(1→6)-(1→3) Dekstran M.O L. mesentroides EPS

β-d-(1→3) Paramylon Protozoa Euglena gracilis Cadangan

Laminarin Lichens

β-d-(1→4) Selulosa Alga,

tanaman

Struktural

β-d-(1→6) Pustulan Fungi Guignardia citricarpa EPS

β-d-(1→3)(1→6) Lentinan Fungi Lentinula edodes Struktural

α-β-d-(1→3)(1→3) Fungi Termitomyces m.

α-β-d-(1→6)(1→4) Piptoporan I Piptoporus betulinus

Sumber: (Synytsya and Novak, 2003)

Manfaat senyawa glukan pada beberapa penelitian menyebabkan

peningkatan sistem imun, anti kanker dan menurunkan kolestrol darah (Chen and

Sevior, 2007). Senyawa beta-glukan yang diperoleh dari berbagai sumber seperti

barley, rumput laut, bakteri, dan sclerotia jamur diinkubasi dengan kultur murni

bifidobacterium infantis, bifidobacterium longum, dan bifidobacterium

17

adolescentis selama fermentasi untuk mengevaluasi efek bifidogeniknya dengan

inulin sebagai kontrol positif. Hasilnya menunjukkan semua beta-glukan terisolasi

dari berbagai sumber tersebut dapat dimanfaatkan oleh ketiga golongan

bifidobakteria dengan nilai yang sebanding dengan inulin. Hal ini disebabkan

karena kesamaan sistem enzim dan transporter pada tiap spesies bifidobakteria

(Zhao and Cheung, 2011).

2.3.1 Arabinoxylan

Arabinoxylan adalah bagian dari hemiselulosa atau polisakarida non pati

yang berada pada dinding sel tanaman terutama bagian endosperm dan lapisan

aleuron. Komponen arabinoxylan pada berbagai jenis sereal terbilang rendah,

tetapi berperan penting sebagai matriks utama penyusun dinding sel (Carpita,

1996). Arabinoxylan berikatan silang dengan mikrofibril selulosa, sehingga

menghasilkan jaringan yang kaku pada dinding sel. Beberapa jenis serelia yang

mengandung arabinoxylan adalah gandum, barley, oats, rye, rice, shorgum, corn

dan soybean (Biliaderis and Izydorczyk, 2006). Kandungan arabinoxylan pada

berbagai sereal memiliki perbedaan berdasarkan genetik dan faktor lingkungan.

Kandungan total arabinoxylan pada berbagai serelia dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 2.6 Kandungan Total Arabinoxylan Berbagai Serelia

Sumber Total Arabinoxylan (%)

Barley

Biji keseluruhan 6,11

Biji sosoh (pearled grain) 4,45

Gandum

Biji gandum 5,77

Dedak gandum 19,38

Rye

Biji rye 7,6

Tepung rye 3,2-3,64

Oat

Biji Oat 2,73

Sekam oat 8,79

Padi

Bulir padi 2,64

Sekam padi 8,36-9,24

Shorgum

Biji shorgum 1.8

Biji sosoh shorgum 5,4

Jagung

Tepung jagung 29,86

Sumber : (Biliaderis and Izydorczyk, 2006)

18

Struktur arabinoxylan pada Gambar 2.4 terdiri dari “backbone” atau

kerangka utama pada rantai D-xylopyranoxyl dengan ikatan β-1,4 glikosidik.

Arabinoxylan memiliki residu pengganti α-L arabinofuranosil pada rantai cabang

D-xylopyranoxyl diposisi C-2 (2mXyl), C-3 (3mXyl) atau keduanya C-2 dan C-3

(dXyl) (Broekaert et al., 2011). Arabinoxylan pada berbagai sereal memiliki

karakteristik struktur kimia yang berbeda-beda, seperti perbandingan arabinosa

terhadap residu xilosa, urutan ikatan glikosidik dan substitusi kerangka xilan

dengan residu arabinosa dengan adanya jenis substituen lainnya. Substitusi

kerangka xilan dapat dibedakan berdasarkan jumlah substituen pengganti dan

urutan distribusi pada struktur arabinoxylan. Beras, shorgum dan dedak jagung

memiliki struktur arabinoxylan lebih komplek dibandingkan dengan gandum, rye

dan barley. Hal ini disebabkan karena adanya residu pengganti lainnya seperti α-

1,6 galaktopyranose dan α-1,2 glukoronat atau 4-O-metilglukoronat dalam jumlah

yang rendah (Biliaderis and Izydorczyk, 2006). Selain itu, residu xylose mungkin

saja secara tunggal atau ganda disubstitusi pada rantai tambahan arabinosa

yang terikat secara kovalen dengan asam ferulik. Hal ini menyebabkan residu

arabinosa dapat bertukar silang dengan lignin atau grup asam ferulik lainnya

dalam rantai arabinoxylan yang menyebabkan perubahan fisikokimia pada

arabinoxylan (Apirattananusorn et al., 2008). Struktrur arabinoxylan dapat dilihat

pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Struktur Arabinoxylan (Dinis et al., 2009)

Arabinoxylan memiliki empat struktur makromolekul hasil substitusi residu

arabinosa terhadap xilosa pada posisi C-2 (2mXyl), C-3 (3mXyl) atau keduanya

C-2 dan C-3 (dXyl) yang menghasilkan subtitusi tunggal (monosubstitusi) Xylp

pada posisi O-2 atau O-3, substitusi ganda (disubstitusi) Xylp pada posisi O-2

dan O-3 dan xilosa yang tidak tersubstitusi (unsubtitusi) Xylp, dimana proporsi

19

keempat elemen struktur tersebut berhubungan dengan rasio arabinosa

terhadap Xylosa (Ara/Xyl). Rasio arabinosa terhadap xilosa pada arabinoxylan

menunjukan banyaknya derajat percabangan arabinosa dengan unit rantai sisi

tunggal α-L arabinofuranosil pada kerangka utama xilan. Menurut Sternemalm et

al (2008) residu arabinosa menjaga konformasi molekul arabinoxylan, dimana

semakin rendah nilai arabinosa pada beberapa cabang rantai samping,

menyebabkan kerangka utama arabinoxylan menjadi lebih fleksibel karena

viskositas larutan berkurang. Rantai xilosa yang tidak tersubstitusi dapat saling

mendekat satu sama lain dan membentuk hubungan antar rantai yang stabil dan

akibatnya menghasilkan agregat yang tidak larut. Gambar posisi substitusi

arabinoxylan pada sereal dapat dilihat pada Gambar 2.5

Senyawa arabinoxylan bersifat larut dalam air dan larutan alkali, tetapi

proporsi kelarutan terhadap alkali lebih tinggi dibandingkan air karena adanya

ikatan yang kuat antara arabinoxylan dengan dinding sel. Menurut penelitian

Zhang et al. (2014) untuk menghasilkan rendemen yang tinggi pada ekstraksi

arabinoxylan (AXs) biasanya dipilih cara ekstraksi dengan alkali karena

disamping biaya murah, prosesnya aman dan tidak terpengaruh oleh keadaan

lingkungan. Ekstraksi menggunakan alkali (water unextractable) dapat

meningkatkan kelarutan arabinoxylan (AXs), dimana terdapat rantai antara

arabinoxylan (AXs) dengan ikatan hidrogen dan ikatan kovalen pada bagian

matriks dinding selnya yang dapat diputus dengan menggunakan pelarut alkali.

Proses ekstraksi arabinoxylan (AXs) menggunakan air menghasilkan rendemen

yang sangat sedikit dan saat dilakukan ekstraksi pada suhu dibawah 1000C tidak

mampu memutus ikatan arabinoxylan (AXs) dengan matriks dinding sel

(Izydorczyk and Biliaderis, 2007). Sama halnya ekstraksi menggunakan enzim

Gambar 2.5 Posisi substitusi arabinoxylan (Dervilly et al., 2001)

20

umumnya dapat dilakukan namun tidak menghasilkan rendemen yang tinggi,

kecuali diikuti dengan ekstraksi menggunakan alkali sebelumnya, sehingga dapat

dilakukan penggabungan antara ekstraksi alkali dan enzim.

Manfaat senyawa arabinoxylan pada peberapa penelitian dapat menurunkan

glukosa serum postprandial dan respon insulin bagi penderita intoleransi glukosa

(Kiho et al.,1989; Wood, 2007; Garcia et al., 2007). Menurut peneltian Pandey et

al. (2016) arabinoxylan dari ekstrak jamur physilium dapat meningkatkan

biomassa Lactobacillus casei dibandingkan hanya dengan penambahan substrat

glukosa. Mengenai profil SCFA, produksi asam butirat pada sekum babi relatif

meningkat dengan pemberian arabinoxylan dari dedak gandum (Carneiro et al.,

2008)

2.4 Oligosakarida

Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerasi 2 sampai 10 dan

biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul

monosakarida disebut disakarida (sukrosa), tiga molekul monosakarida disebut

trisakarida (rafinosa) dan tetrasakarida yang terbentuk dari empat molekul

monosakarida (stakiosa) (Alagarsamy, 2012). Oligosakarida yang paling banyak

terdapat di alam adalah disakarida seperti sukrosa (Warda et al., 2016). Pada

molekul sukrosa terdapat ikatan antara molekul glukosa dan fruktosa, yaitu

antara atom karbon no 1 pada glukosa dengan atom karbon no 2 pada fruktosa

melalui atom oksigen. Kedua aton karbon tersebut mempunya –OH glikosidik,

atau atom karbon yang merupakan gugus aldehid pada glukosa dan gugus keton

pada fruktosa. Oleh karena itu molekul sukrosa tidak mempunya gugus aldehid

atau keton bebas sehingga sukrosa tidak mempunya sifat dapat mereduksi ion-

ion Cu++ atau Ag+ dan juga tidak membentuk osazon (Poedjiadi dan Supriyanti,

1994).

Beberapa golongan oligosakarida selain sukrosa, mengandung komponen

sakarida yang lain dan tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia.

Oligosakarida tersebut terletak pada atom C1 dan C2 unit monosakarida yang

memiliki konfigurasi ikatan β-glikosidik (Roberfroid and Slavin, 2000). Stabilitas

oligosakarida tergantung pada jenis ikatan yang menghubungkan antar

monosakarida. Ikatan beta (β) umumnya lebih stabil dibanding ikatan alpha (α),

hal ini disebabkan karena adanya gugus hidroksil aksial pada bentuk alfa,

sehingga gula dalam bentuk alpha (α) cenderung tidak stabil. Secara fisiko-kimia

21

oligosakarida yang tidak dapat dicerna termasuk dalam dietary fiber dan

prebiotik. Jenis oligosakarida tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan

sumber bahan yang digunakan serta proses yang dipilih. Jenis oligosakarida dan

sumbernya diapat dilihat pada Tabel 2.7

Tabel 2.7 Jenis dan Sumber Oligosakarida

Oligosakarida Sumber

Raffinosa oligosakarida Kacang kapri

Soybean meal oligosakarida Biji kedelai

Fruktooligosakarida Aspergillus, chicory root, barley

Galaktooligosakarida Buncis dan Kluyveromyces lactis

Β-glukan oligosakarida Oat

Mannan oligosakarida Dinding sel yeast

Glukooligosakarida Leuconostoc mesenteroides

Gentioligosakarida Penicillium multicolor

Xylooligosakarida Gandum, almond, tongkol jagung

Sumber: (Patel and Goyal, 2011)

Manfaat golongan oligosakarida dapat digunakan sebagai substrat untuk

pertumbuhan dan proliferasi bakteri anaerob, khususnya bifidobacterium dengan

produksi SCFA yang dapat menurunkan pH usus sehingga pertumbuhan bakteri

patogen terhambat. Oligosakarida dapat menurunkan gejala konstipasi dengan

menstimulasi penyerapan garam dan air sehingga meningkatkan kelembapan

feses dan aktifitas peristaltik usus. Selain itu dapat meningkatkan penyerapan

mineral yang dapat mengurangi resiko osteoporosis sehingga kepadatan tulang

dan massa tulang terjaga (Mussatto and Mancilha 2007).

2.6.1 Fruktooligosakarida (FOS)

Fruktooligosakarida (FOS) adalah golongan oligosakarida yang tersusun

atas monomer fruktosa antara 2-9 unit yang terikat dengan satu unit glukosa

pada ikatan β-(2,1) glikosidik (Mangunwidjaja et al., 2014). Umumnya FOS terdiri

dari 1-kestose (GF2), nystose (GF3) dan 1-β-D-fructofuranosylnystose (GF4)

(Manosroi et al., 2014). FOS memiliki struktur GFn atau Fm dimana F

menunjukan satu terminal fruktosa, G menunjukan satu terminal glukosa,

kemudian n dan m menunjukkan jumlah monomer fruktosa dalam oligomer FOS

22

(Apriyanto dan Sanjaya, 2014). Struktur golongan FOS dapat dilihat pada

Gambar 2.6

Gambar 2.6 Struktur Golongan FOS (Miguel, 2015)

Senyawa FOS bersifat rendah kalori karena memiliki tingkat manis yang

lebih rendah dibandingkan sukrosa. FOS biasanya digunakan untuk pemanis

makanan, memperbaiki kualitas organoleptik dan dapat meningkatkan self life

dari produk. Ketertarikan konsumen dalam diet rendah kalori menyebabkan

beberapa perusahaan menciptakan FOS sebagai bahan tambahan makanan,

khususnya di Eropa dan Amerika.. FOS banyak ditemukan pada sayuran, buah-

buahan dan sereal seperti chicory, jerusalem artichoke, asparagus, pisang,

bawang bombay, bawang putih dan tomat (Hogarth et al., 2000). Penggunaan

chicory dan jerusalem artichoke sudah menjadi tanaman yang banyak

dikomersialkan karena tingginya kandungan nilai FOS GFn.

FOS adalah oligosakarida yang tersebar di alam sebagai sumber serat yang

hanya sebagian kecil dicerna oleh enzim pencernaan manusia (Hogart et

al.,2000). Manfaatnya dapat dijadikan sumber karbon bagi pertumbuhan bakteri

khusunya bakteri asam laktat untuk menghasilkan metabolit dalam menjaga

keseimbangan pH usus dari kontaminan bakteri patogen. Pemanfaatan

fruktooligosakarida (FOS) telah banyak digunakan sebagai bahan aditif di industri

pangan, kimia dan farmansi. Pada produk pangan seperti susu, penambahan

FOS disertai GOS (galaktooligosakarida) sering digunakan sebagai prebiotik

yang dapat menghasilkan peningkatan viabilitas bakteri Bifidobacterium spp.

1-Kestose (GF2) Nystose (GF3) Fruktofuranosyl-nystose (GF4)

23

Penelitian yang dilakukan oleh Euler et al. (2005) dengan memberikan suplemen

FOS pada susu formula dapat meningkatkan Bifidobacterium dan Lactobacillus

selama fermentasi 24 jam. Pemanfaatan FOS sering digunakan karena

peranannya dalam meningkatkan efek kesehatan antara lain menstimulasi sistem

imun, penghasil SCFA dan Meningkatkan volume (bulk) feses dan mencegah

konstipasi (Manikam and Sayogo, 2011). Kandungan fruktooligosakarida (FOS)

dari tiap produk pangan dapat dilihat pada Tabel 2.8

Tabel 2.8 Kandungan Fruktooligosakarida (FOS) Berbagai Produk

Produk GF2a (%) GF3b (%) GF4c (%)

Buah-buahan Jus apel 83 92 73

Saus apel 98 99 93

Pisang 125 129 97

Keripik pisang 104 102 93

Anggur tanpa biji 84 100 Interference

Jus anggur 108 116 102

Sayuran Artichoke 91 108 97

Asparagus 79 85 116

Asparagus cair 87 82 118

Bubuk bawang putih 76 75 70

Bawang merah 95 96 85

Labu 113 92 84

Labu siam 108 97 90

Kentang 103 101 92

Yams interference 85 87

Gula Gula merah 119 107 88

Madu 108 107 109

Molases 108 84 114

Miscellaneous Garliphants 102 93 97

Tepung rye 70 90 83

Sportalyte 112 109 97 a 1- kestose, bNystose, c1-β-Fructofuranosylnystose Sumber : (Hogarth et al., 2000)

24

2.7 Bifidobacterium longum

Bakteri Bifidobacterium longum merupakan salah satu bakteri yang tumbuh

alami di dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri ini bersifat gram positif,

anaerobik, tidak berbentuk spora, suhu optimal 37 - 41°C dan pH optimum antara

6,5 – 7. Manfaat adanya bakteri ini sebagai barrier terhadap bakteri patogen,

menstimulasi sistem pertahanan tubuh dan membantu dalam proses pencernaan

(Praja, 2011). Bakteri ini telah banyak digunakan sebagai probiotik pada

berbagai macam produk olahan pangan. Probiotik adalah bakteri bukan patogen

yang sebagian besar berasal pada saluran pencernaan manusia dan bila

pertumbuhannya dalam jumlah yang tinggi dapat memberikan efek kesehatan

dan mencegah berbagai penyakit (Fric, 2007). Adanya bakteri yang

menguntungkan hidup secara alami di dalam usus dapat memberikan peluang

untuk mengisolasi dan memperbanyaknya, agar kemudian dapat dibuat kembali

dan dimasukan kedalam sistem pencernaan.

Probiotik dapat efektif digunakan dalam tubuh, bila mikroorganisme di

dalamnya dapat bertahan hidup dan keberadaannya tetap stabil pada waktu

yang lama (Kompiang, 2009). Mekanisme probiotik bermanfaat bagi manusia

dilihat tiga katagori yaitu (1) hasil fermentasi bakteri probiotik harus menghasilkan

asam-asam organik yang dapat diserap oleh usus sehingga mempengaruhi

aktivitas bakteri dalam menghasilkan energi (2) Asam organik yang dihasilkan

dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen (3) dan mempengaruhi tingkat

perbaikan dalam usus (Figueroa et al., 2011).

Bifidobacterium longum merupakan bakteri yang memiliki kemampuan

meningkatkan toleransi terhadap laktosa, mencegah diare karena memiliki peran

yang besar untuk mengeliminasi bakteri patogen dengan menurunkan

konsentrasi endotoksin secara signifikan (Wawan, 2013). Beberapa makanan

yang telah banyak ditemukan sebagai sumber keberadaan B. longum adalah

yogurt, produk susu fermentasi dan sayuran fermentasi seperti saurkraut. Dosis

yang digunakan sebagai suplement untuk orang dewasa adalah 10 – 15 CFUs

(colony forming units) kultur aktif. Dosis yang terlalu besar akan menyebabkan

ketidaknyamanan usus, perut kembung, namun akan mereda bila dosis

diturunkan. Menurut Ramesh et al. (2006) bifidobacterium menggunakan substrat

D-galaktosamin, D-glukosamin, amilosa, dan amilopektin dengan bantuan enzim

glukosidase untuk memecah ikatan glikosidik masing-masing substrat selama

25

proses fermentasi, dimana bakteri golongan bifidobacterium tidak mudah tumbuh

pada sembarang substrat karena bakteri ini termasuk organisme fastidius.

Salah satu media sebagai tempat pertumbuhan Bifidobakterium longum

pada skala laboratorium menggunakan agar MRS (de Man, Rogosa and Sharpe).

Pengujian bakteri ini terlihat dari jalur fermentasi yang berbeda dengan golongan

bakteri lainnya. Bakteri asam laktat umumnya memiliki jalur fermentasi yang

terdiri dari golongan homofermentatif menggunakan glikolisis melalui jalur

Embden Meyerhof Pathnas (EMP) menghasil produk utama berupa asam laktat

dan piruvat sedangkan heterofermentatif menggunakan jalur Hexosa

Monophosphat Pathway (HMP) menghasilkan asam laktat dan produk fermentasi

seperti etanol dengan rasio yang seimbang (Purwoko, 2007). Bakteri

Bifidobacterium longum memiliki jalur fermentasi yang berbeda melalui modifikasi

pada jalur Pentosa Fosfat dalam proses glikolisis yang disebut jalur Bifidum.

Menurut Salminen and Von wright (2004) fermentasi bakteri

Bifidobacterium longum melalui jalur Fruktosa 6 phospat atau jalur bifidum. Dua

molekul glukosa difosforilasi menjadi 2 molekul fruktosa 6-Fosfat (perlu 2 ATP).

Satu molekul fruktosa 6-Fosfat dipecah menjadi eritrosa 4-Fosfat dan asetil

Fosfat. Eritrosa 4-Fosfat kemudian bereaksi dengan satu molekul sedoheptulosa-

7-Fosfat menghasilkan ribosa-5-fosfat dan ribulosa-5-fosfat. Kemudian ribulosa

5-Fosfat berisomerasi menjadi xilulosa 5-Fosfat. Dua molekul xilulosa 5-Fosfat

dipecah menjadi 2 gliseraldehid-3-phospate dan 2 asetil Fosfat. Dua molekul

asetil fosfat dioksidasi menjadi 3 asetat sedangkan 2 molekul gliseraldehid-3-

phospate mengalami oksidasi dan mereduksi NAD+, sehingga terbentuk NADH,

dan mengalami penambahan molekul fosfat anorganik (Pi) sehingga terbentuk

1,3-difosfogliserat 1,3-difosfogliserat melepaskan satu gugus fosfatnya dan

berubah menjadi 3-fosfogliserat, dimana gugus fosfat yang dilepas oleh masing-

masing 1,3-difosfogliserat dipindahkan ke dua molekul ADP dan membentuk dua

molekul ATP. Setelah itu, 3-fosfogliserat mengalami isomerisasi menjadi 2-

fosfogliserat. Setelah menjadi 2-fosfogliserat, sebuah molekul air dari masing-

masing 2-fosfogliserat dipisahkan, menghasilkan fosfoenolpiruvat. Terakhir,

masing-masing fosfoenolpiruvat melepaskan gugus fosfat terakhirnya, yang

kemudian diterima oleh dua molekul ADP untuk membentuk ATP, dan berubah

menjadi 2 asam piruvat. Dua molekul Asam piruvat dirubah menjadi dua molekul

asetil CoA untuk menjadi 2 etanol dan 2 asetat (menghasilkan 2 ATP). Gambar

Jalur Fermentasi Bifidum dapat dilihat pada Gambar 2.7

26

Gambar 2.7 Jalur Fermentasi Bifidum (Salminen and Von wright, 2004)

3 ADP 3 ATP

2 glukosa

2 ATP

2 ADP

Fruktosa-6-

fosfat

Fruktosa-6-fosfat

Acetil-fosfat 2 Acetil-

fosfat

2 GA-3P

Gliseraldehid-3

fosfat

Sedoheptulosa- 7-

fosfat

Xylulosa- 5-

fosfat

2 Acetil CoA

Ribosa- 5- fosfat

Ribulosa- 5-

fosfat

3 Asetat

2 Piruvat

2 CoA

2 Format

2 Etanol

4 NADH

4 NAD+

2 Asetat

2 ADP

2 ATP

Eritrosa- 4-

fosfat

1,3 diphospogliseraldehid

3 diphospogliserat

3 diphospogliserat 3 phospogliserat

2 phospogliserat

2 phospoenolpiruvat

27

2.8 Lactobacillus casei

Lactobacillus casei adalah jenis bakteri asam laktat heterofermentatif

fakultatif, yaitu bakteri yang memfermentasi glukosa menjadi asam asetat dan

laktat. Asam lainnya yang dihasilkan adalah asam sitrat, malat, suksinat,

asetaldehid, diasetil dan asetoin dalam jumlah yang kecil, yang mempengaruhi

flavour selama fermentasi. Menurut Mutai (1981) bakteri ini bersifat gram positif,

katalase negatif, tidak membentuk endospora maupun kapsul, tidak

mernpunyai flagela dan tumbuh dengan baik pada kondisi anaerob fakultatif.

Berdasarkan suhu pertumbuhannya, bakteri ini termasuk bakteri mesofil yang

dapat hidup pada suhu 15 - 41°C dan pada pH 3,5 atau lebih, dimana kondisi

optimum pertumbuhannya adalah pada suhu 37o C dan pH 6,8.

Lactobacillus casei strain shirota tumbuh pada suhu 15 - 41oC (optimum

37oC) dan aktivitas bakteri diperlambat pada temperatur di bawah 15oC

(Widodo, 2003). Suhu merupakan faktor ekstrinsik dan merupakan faktor fisik

yang sangat penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan bakteri. Suhu

dapat mempengaruhi lamanya fase lag, kecepatan pertumbuhan,

konsentrasi sel, kebutuhan nutrisi, kegiatan enzimatis dan komposisi

sel (Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Keberadaan dari Lactobacillus casei di

dalam saluran pencernaan harus mengandung lebih dari 108 CFU/ml sel bakteri

dalam satu mililiter dalam keadaan hidup sehingga dapat memperbaiki fungsi sel

usus ( Salminen, 1993).

Genus Lactobacillus mempunyai beberapa kelebihan yang berpotensi

sebagai agen probiotik, diantaranya adalah mampu bertahan pada pH rendah,

tahan terhadap garam empedu, memproduksi antimikroba dan daya antagonistik

terhadap patogen enterik, mampu mengasimilasi serum kolesterol,

mendekonjugasi garam empedu serta dapat tumbuh baik pada medium

sederhana (Rahayu 2001). Lactobacillus casei termasuk dalam golongan

homofermentatif yang memfermentasikan gula dengan bantuan enzim menjadi

produk asam laktat sebagai produk utama dan sebagian kecil asam asetat

serta karbondioksida.

Peranan bakteri Lactobacillus casei dalam usus manusia adalah: (1)

mengatur keseimbangan bakteri alami di dalam usus, (2) merangsang usus

untuk memproduksi asam organik yang berguna untuk membantu proses

pencernaan dan penyerapan nutrisi, (3) mengurangi jumlah bakteri patogen dan

pembusuk, serta menekan produksi senyawa beracun di dalam tubuh seperti

28

amonia, fenol dan hidrogen sulfida. Bakteri probiotik yang masih hidup dan

tertelan ke dalam tubuh akan rnencapai saluran usus manusia dan sebagian

akan menetap, mernperbanyak diri dan memproduksi komponen metabolit yang

dapat mengurangi bakteri patogen dan mengontrol ekskresi kotoran dengan cara

rnenstimuli dinding usus (Anita dkk., 2012)

2.8 pH (Derajat Keasaman)

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang terdapat di dalam medium suatu bahan. Jumlah

bakteri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai pH, dimana

semakin tinggi jumlah bakteri maka suasana media menjadi asam dan

menyebabkan penurunan nilai pH (Marra et al., 2015). Nilai total asam yang

tinggi dapat menurunkan pH karena adanya peningkatan ion H+ sehingga nilai

pH yang terukur cenderung rendah. Makin besar konsetrasi ion H+ maka medium

fermentasi semakin asam dan pH semakin rendah (Charalampopoulos et al.,

2002).

Goranov et al. (2013) menyatakan bahwa penurunan pH merupakan

akumulasi asam melalui proses fermentasi oleh bakteri dengan menghasilkan

asam laktat dan asam organik lainnya. Beberapa golongan bakteri seperti

Lactobacillus casei merupakan bakteri heterofermentatif fakultatif yang

menghasilkan asam laktat, asam asetat dan piruvat (Purwoko, 2007). Sama

halnya dengan bakteri Bifidobacterium longum yang termasuk dalam kelompok

bakteri heterofermentatif, dimana bakteri tersebut mampu menghasilkan asam

asetat lebih tinggi dibanding asam laktat karena B.longum memiliki jalur tersendiri

atau jalur bifidum untuk memanfaatkan substrat dalam menghasilkan metabolit

utamanya yaitu asam asetat (Umam dkk., 2012). Perbedaan bakteri dalam

menghasilkan asam selain disebabkan oleh karakteristik bakteri tersebut, juga

dipengaruhi oleh kandungan nutrisi yang terdapat di dalam substrat.

Pemanfaatan substrat yang optimal oleh bakteri akan memngaruhi jumlah asam

yang dihasilkan dan menyebabkan tingginya penurunan pH dalam medium.

2.9 SCFA (Short Chain Fatty Acid)

Short chain fatty acid (SCFA) adalah asam lemak rantai pendek yang

bersifat volatil dan dihasilkan oleh mikrobiota di dalam usus besar sebagai

produk fermentasi dari komponen makanan yang tidak terserap atau tidak

29

tercerna (Rios et al., 2016). Asam lemak rantai pendek (SCFA) berfungsi untuk

meregenerasi sel epitel usus yang berpotensi untuk menurunkan resiko

terjadinya kanker usus, menurunkan reaksi enzimatis dari pembentukan hasil

produksi fermentasi yang bersifat karsinogenik dalam usus, menurunkan bakteri

patogen dan meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik yang akan

mempengaruhi kenaikan 10% energi di dalam usus (Azhar, 2009; Arisoylu and

Bell, 2016)). Pembentukan SCFA berasal dari hasil fermentasi karbohidrat yang

terdiri dari asam butirat, asam asetat dan asam propionat sebagai produk akhir.

Asam asetat dihasilkan dari pemecahan karbohidrat menjadi glukosa

kemudian diubah menjadi piruvat. Pembentukan asam asetat dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu langsung diubah menjadi asam asetat atau melalui

perubahan senyawa antara asetil KoA kemudian langsung menjadi asetat. Asam

lainnya yang terdapat dalam SCFA yaitu asam propionat. Pembentukan asam

propionat melalui proses pemecahan glukosa menjadi asam piruvat kemudian

dirubah menjadi senyawa antara yaitu asam suksinat yang akan dirubah kembali

menjadi CO2 dan asam propionat (Manikam and Sayogo, 2011; Payne et al.,

2011). Asam butirat dihasilkan dari perubahan karbohidrat menjadi glukosa lalu

menjadi piruvat. Sebelum terbentuk asam butirat dirubah menjadi senyawa

antara yaitu asam asetil KoA dan asam asetoasetat. Skema metabolisme asam

lemak rantai pendek (SCFA) dapat dilihat pada Gambar 2.8

Gambar 2.8: Jalur Fermentasi Short Chain Fatty Acid (Covian et al., 2016)

Karbohidrat

Propanediol

Oxaloasetat Piruvat

Sucinat Laktat

Propionat

Format atau H2 + CO2

Acetil-CoA

Butiril -CoA

Butiril - P

Butirat

Asetat

Asetil - CoA

30

Asam asetat diproduksi oleh golongan Bifidobacteria dalam menghambat

enteropatogen (Fukuda et al., 2011). Penyerapan asam asetat paling tinggi

terletak pada bagian hati yaitu sebesar 70% sebagai substrat sintesis kolesterol

dan asam lemak rantai panjang serta kosubsrat untuk sintesis glutamin dan

glutamat, sedangkan jaringan lain termasuk jantung, jaringan adiposa, ginjal, dan

otot memanfaatkan sisa asetat. Menurut Tungland (2002) fungsi asam asetat

hasil fermentasi bakteri dapat mempengaruhi konsentrasi asam lemak yang

terkandung di dalam darah yang berpotensi secara langsung mencegah proses

lipolisis dalam jaringan adiposa.

Asam propionat akan dimetabolisme pada hati dan epithelium usus.

Asam propinat merupakan satu-satunya asam lemak rantai pendek yang dapat

digunakan sebagai glukosa. Asam asetat, butirat dan asam lemak rantai pendek

lainnya tidak dapat digunakan dalam sintesis glukosa. Ketika asam propionat

diserap maka tubuh dapat menggunakannya untuk reaksi glukoneo-genesis

ataupun untuk menghasilkan energi melalui siklus TCA (Tricarboxylic Acid)

(Khattak 2002). Asam propionat berfungsi dalam menghambat pembentukan

asam lemak di dalam hati, sehingga dapat menurunkan sekresi triasilgliserol.

Selain itu asam propionat mampu dalam mengendalikan pembentukan kolesterol

dalam hati dan mengurangi laju sintesis kolestrol yang dapat menyebabkan

penurunan kadar kolesterol (Trautwein dkk., 1998).

Asam butirat sebagian besar dimetabolisme oleh koloni bakteri di dalam

usus, sementara sisanya akan diangkut oleh vena hepatik kedalam hati untuk

dimetabolisme lebih lanjut. Potensi asam butirat di dalam salurtan pencernaan

adalah sebagai sumber energi sel kolon, meningkatkan produksi mucin yang

dapat menyebabkan perubahan pada adhesi bakteri probiotik dan menghambat

pertumbuhan sel kanker (Jung et al., 2015). Pada sel kanker peran asam butirat

menghambat produksi enzim histon deacetylase (HDAC) yang mempengaruhi

peningkatan kadar protein histon dengan DNA terganggu. Akibatnya fungsi dari

kromatin dan eukromatin menjadi terganggu dan menyebabkan apoptosis akibat

adanya peningkatan enzim caspase-3 sebagai eksekutor apoptosis (Purwani

dkk., 2013).

31