Post on 15-Oct-2021
ULAON PARBOGASON ETNIK BATAK TOBA :
KAJIAN FEMINISME
Disusun Oleh:
FITRI MEGA SILVIA SIMBOLON
NIM : 150703021
PROGRAM STUDI SASTRA BATAK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada kita semua.
Atas rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, akhirnya penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “Ulaon Parbogason Etnik Batak Toba: Kajian
Feminisme”.
Adapun alasan penulis untuk mengangkat judul ini mengingat belum ada
yang meneliti atau menganalisis kajian feminisme. Selain itu, penulisan skripsi ini
dilakukan atas keprihatinan penulis terhadap kaum perempuan Batak Toba yang
masih belum dapat merasakan kesetaraan dalam kehidupan berbudaya dan
keberadaan perempuan dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba. Di samping
itu, penulis melakukannya sebagai tugas akhir di Fakultas Ilmu Budaya USU
dalam bidang ilmu Sastra Batak.
Skripsi ini terdiri atas V (lima) Bab, yaitu: Bab I merupakan pendahuluan
yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
manfaat penelitian. Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakaan
yang relevan dan landasan teori. Bab III merupakan metodologi penelitian yang
mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen
penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data. Bab IV merupakan
pembahasan tentang masalah yang ada pada rumusan masalah. Bab V berisi
kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara
ii
Penulis menyadari skripsi ini masih kurang sempurna karena minimnya
ilmu pengetahuan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan
masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Atas masukan dan bantuan bapak/ibu
penulis ucapkan terimakasih.
Medan, November 2020
Penulis,
Fitri Mega Silvia Simbolon
NIM. 150703021
Universitas Sumatera Utara
iii
HATA PATUJOLO
Mauliate ma dipasahat panurat tu Amanta Debata pardenggan basa, disiala
asi dohot basa-basa-Na na tong-tong dilehon tu hita saluhutna hahipason. Alani
holong dohot asi ni roha ni Debata na marhuaso, gabe boi panurat pasaehon
skripsi on na margoar ulaon parbogason etnik Batak Toba: kajian feminisme.
Adong pe na mambahen panurat mangangkat judul skripsi on na
marningot dang adong dope na maneliti manang mamikiri kajian feminisme.
Angkup ni i, panurat marogasan hadiri on ni dongan boru-boru Batak Toba naso
boi dope dapot manghilala hados on ni pambahenan di bagasan hangoluon na
maradat dohot hadirion ni boru-boru naso di patujolohon. Angkup ni i, panurat
mambahen skripsi on songon ulaon parpudi di Fakultas Ilmu Budaya USU ima na
mamboan ilmu sastra Batak.
Skripsi on dibahen panurat ma adong V (lima) bindu na, songonon ma
partondingna : Bindu parjolo ima patujolo na patoranghon latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, dohot manfaat penelitian. Bindu paduahon
ima, kajian pustaka di bagas bindu on ima kepustakaan yang relevan dohot
landasan teori. Bindu patoluhon ima metode penelitian, di bagas bindu on ima
metode dasar, inganan penelitian, sumber data penelitian , instrumen penelitian,
sara papunguhon data, metode analisis data. Bindu paopathon ima pembahasan, di
bagas bindu on dipatorang ma sude angka masalah na adong di rumusan masalah.
Bindu palimahon, ima panimpuli dohot angka poda.
Universitas Sumatera Utara
iv
Tangkas do diboto panurat na godang dope hahurangan ni skripsi on.
Disiala ni mardongan serep ni roha panurat mangido angka poda dohot
pangajarion dohot sintuhu ni skripsi on asa lam tu denggan na. Alani i parjolo ma
panurat mandok mauliate godang tu damang dohot dainang.
Medan, November 2020
Panurat,
Fitri Mega Silvia
Simbolon
NIM. 150703021
Universitas Sumatera Utara
v
ktpTjolo
mUliatemdipskt\pNrt\Tamn\tdebtpr\degn\bsdisialasidokto\bsbsnt^ot^odilekno\TkitsLkT\nhhipsno\alnikol^odohto\asinirohnidebtnmr\HasogbeboIpNrt\psaekno\s\k\rpo\sinmr\gowr\Ulwno\pr\bogsn\ate\nki\btk\tobkjian\peminsi\meadn^openmm\bkne\pNrt\m<^kt\JdL\s\k\rpi\siano\m<i<to\d^ad^odopenmnelitimn^mmikirikjian\peminsi\mea^kP\niIpNrt\s\k\rpi\siano\mrogsn\kdiriyno\nido<n\boRboRbtk\tobnsoboIdopedpto\m^killkdosno\nimm\bkne\dibgsn\k<oLwno\nmrdt\dokto\kdiriyno\niboRboRnsodipTjolokno\a^kP\niIpNrt\mm\bkne\s\k\rpo\siso<no\Ulano\pr\PdidipkL\ts\ali\MBdyUSImnmm\bown\ali\Mss\t\rbtk\s\k\rpi\siano\dibkne\pNrt\mad^olimbni\Dnso<onno\mpr\tno\d^onbni\Dpr\joloImpTjolonptor^kno\ltr\belk^mslh\RMsn\mslh\TJwn\penelitiyn\dokto\mn\pat\pene;itiyn\bni\DpDwkno\Imkjiyn\pS\tkdibgs\bni\Dano\ImkepS\tkan\nrelepn\dokto\ln\dsn\teyoribni\DptoLkno\Immetodepenelitiyn\dibgs\bni\Dano\Immetodedsr\I<nn\penelitiyn\sM\brE\dtpenelitiyn\ani\s\t\Rmne\penelitiyn\srpP>kno\dtmetodeanlissi\dtbni\Dpaopt\kno\Impme\bksn\dibgs\bni\Dano\diptor^mSdea^kmslh\nad^odiRMsn\mslh\bni\Dplimhno\Impnmi\Plidohto\a^kpodt^ks\dodibotopNrt\ngod^dopehHr<n\nis\k\rpi\siano\disiylnimr\do<n\serpe\nirohpNrt\m<idoa^kpoddokto\p<jriyno\dohto\sni\THnis\k\rpi\siano\aslm\Tdegn\nalniIpr\jolompNrt\mn\dko\mUliategod^Tdm^dohto\dIn^
Medn\nopme\bre\2020
pNrt\
Universitas Sumatera Utara
vi
Pti\rimegsli\pi
ysmi\bolno\
n\Im\ 150703021
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
berkat dan kasih karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya atas motivasi, pemikiran, semangat, bantuan tenaga, serta
arahan dan bimingan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada :
1) Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil
Dekan III, dan seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
2) Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., sebagai ketua Program Studi
Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
3) Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M. Hum., Sebagai Sekretaris
Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
vii
4) Bapak Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum., Selaku pembimbing I yang
telah memberikan banyak pemikiran, arahan, saran, dan motivasi, serta
mengorbankan waktu dan tenaga bagi penulis, dalam penulisan skripsi
ini.
5) Bapak Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum., selaku pemimbing II yang
telah memberikan banyak pemikiran, arahan, saran, dan motivasi, serta
mengorbankan waktu dan tenaga bagi penulis, dalam penulisan skripsi
ini.
6) Bapak Ibu dosen Program Studi Sastra Batak tanpa terkecuali,
bapak/ibu dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, yang
memerikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis mulai
dari awal sampai akhir perkuliahan.
7) Abangda Risdo Saragih, S.S., selaku alumni dan staf pegawai
administrasi yang telah membantu dan memperlancar urusan
administrasi selama penulis kuliah di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
8) Teristimewa kepada kedua orangtua penulis, E. Simbolon dan R. Br.
Pandiangan yang penulis hormati dan sangat sayangi. Terimakasih
yang tak terhingga penulis ucapkan atas pengorbanannya yang begitu
luar biasa mulai dari penulis lahir hingga sekarang, terima kasih selalu
mendengar keluh kesah penulis dengan sabar, terima kasih atas segala
pengorbanan baik material maupun non material dan atas segala doa
Universitas Sumatera Utara
viii
yang tulus, dukungan yang senantiasa diberi setiap saat, nasehat,
motivasi, tenaga, dan waktu yang diberikan kepada penulis.
9) Saudara-saudari penulis Ambrosius Simbolon, Ambrin Bw Simbolon,
Jimmi Afrizal Simbolon, Desi Natalika Simbolon, dan Wandes Abedth
Simbolon sebagai saudara yang sangat penulis sayangi, penulis
mengucapkan terima kasih atas doa, dukungan, dan yang senantiasa
memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
10) Sahabat seperjuangan yang senantiasa ada membantu dan mendengar
curhatan penulis, Fernando Manalu S.S, Radot Sihotang S.S., Tina
Siregar A.MD., terima kasih penulis ucapkan atas semua masukan,
motivasi dan cinta kasih kalian kepada penulis.
11) Teman-teman seperjuangan penulis stambuk 2015, Wina Sitepu S.S,
Enda Sahputra Ginting S.S., Dhany Aritonang S.S., Great Faith
Nababan S.S., Bima Helvin Pasaribu, Petrus Pangaribuan, Retnovela
Situmorang, Eva Sahni Berutu, dan yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu, terima kasih atas waktu dan kebersamaannya selama
perkuliahan, terima kasih juga atas dukungan dan kepeduliannya
kepada penulis.
12) Kakak dan abang alumni penulis yang begitu banyak memberikan
motivasi dan dukungan kepada penulis, Willi Chandra Pardede S.S.,
Stevani Silalahi S.S., dan yang tidak bisa penulis sebut satu persatu
terimakasih untuk motivasi dan dukungannya.
Universitas Sumatera Utara
ix
13) Kakak dan Abang stambuk 2011, 2012, 2013, dan 2014 yang telah
memberikan motivasi dan pemikirannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
14) Adik-adik stambuk yag telah memberikan semangat kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
15) Semua keluarga dan pihak yang telah membantu, memberi saran,
motivasi, nasehat, pemikiran, dan doa kepada penulis yang tidak dapat
penulis tuliskan dan sebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak
terima kasih sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Medan, November 2020
Penulis,
Fitri Mega Silvia Simbolon
NIM 150703021
Universitas Sumatera Utara
x
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Ulaon Parbogason Etnik Batak Toba : Kajian Feminisme”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan faktor dominasi dalam
ulaon parbogason, dampak dominasi dalam ulaon parbogason, dan solusi
dominasi dalam ulaon parbogason pada etnik Batak Toba. Teori yang digunakan
dalam menganalisis data penelitian ini adalah teori feminisme yang dikemukakan
oleh wareing. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu terdapat
13tahapan dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba yang terdiri dari, (1)
mangaririt, (2) mangalehon tanda, (3) marhusip, (4) marhata sinamot, (5) pudun
saut, (6) martonggo raja, (7) manjalo pasu-pasu parbogason, (8) ulaon unjuk, (9)
dialap jual, (10) ditaruhon jual, (11) paulak une, (12) manjae, (13) maningkir
tangga. Pada setiap tahap secara keseluruhan didominasi laki-laki. Dampak
dominasi dalam ulaon parbogason. Faktor dominasi dipengaruhi, faktor status
sosial, faktor patriarki, faktor zaman, faktor patriniel. Dampak dominasi terhadap
kedudukan perempuan berdampak kurang baik karena peran gender yang tidak
setara, pergeseran adat dalam setiap tahapan mengakibatkan perubahan makna
dalam prakteknya.
Kata kunci : Feminisme, ulaon parbogason etnik Batak Toba
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... ii
htpTjolo ……………………………………………….........................................iv ABSTRAK …………………………………………………………………..xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 11
2.1 Kepustakaan yang Relevan ........................................................................ 11
2.1.1 Pengertian Ulaon Parbogason ................................................................ 15
2.1.2 Pengertian Feminisme ............................................................................. 18
2.2 Teori yang Digunakan ................................................................................ 20
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 27
Universitas Sumatera Utara
xii
3.1. Metode Dasar ............................................................................................ 27
3.2 Lokasi Penelitian ........................................................................................ 27
3.3 Sumber Data Penelitian .............................................................................. 28
3.4 Instrumen Penelitian................................................................................... 28
3.5 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 29
3.6 Metode Analisis Data ................................................................................. 30
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 32
4.1. Bentuk dan Faktor Dominasi Pada Ulaon Parbogason
Etnik Batak Toba............................................................................................. 32
4.1.1 Mangaririt...............................................................................................32
4.1.2 Mangalehon Tanda ................................................................................ 34
4.1.3 Marhusip ................................................................................................. 36
4.1.4 Marhata Sinamot ..................................................................................... 40
4.1.5 Pudun Saut .............................................................................................. 49
4.1.6 Martonggo Raja/marria raja .................................................................. 51
4.1.7 Manjalo Pasu-pasu Parbogason ............................................................ 55
4.1.8 Ulaon Unjuk ............................................................................................ 57
4.1.9 Dialap Jual ............................................................................................. 64
4.1.10 Ditaruhon Jual ...................................................................................... 65
4.1.11 Paulak Une ........................................................................................... 66
4.1.12 Manjae................................................................................................... 68
4.1.13 Maningkir Tangga ................................................................................. 69
4.2 Dampak Dominasi Dalam Ulaon Parbogason Etnik Batak Toba ............ 69
Universitas Sumatera Utara
xiii
4.3 Solusi Dominasi Yang Ditemukan Dalam Ulaon Parbogason
Etnik Batak Toba.............................................................................................. 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 77
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 77
5.2 Saran ........................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80
LAMPIRAN
A. Daftar Pertanyaan ................................................................................. 82
B. Data Informan ...................................................................................... 83
C. Surat Keterangan Penelitian ................................................................. 86
D. Surat Balasan …………………………………………………………87
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Batak dikenal sebagai salah satu suku terbesar yang ada di Indonesia,
yang berdomisili di wilayah Sumatera Utara, sekaligus sebagai salah satu suku
yang berpegang teguh pada budayanya. Secara umum, suku Batak terdiri dari 5
(lima) sub-etnis yaitu Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak,
dan Batak Angkola/Mandailing. Etnik Batak Toba memiliki upacara mulai dari
lahir, pernikahan hingga kematian dalam realitas kehidupannya. Dalam konteks
ini penulis mengkaji peran perempuan dalam upacara adat pernikahan etnik Batak
Toba yang dikenal dengan ulaon parbogason.
Ulaon parbogason sendiri merupakan sebuah pranata yang tidak hanya
mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu
keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki yang disebut paranak dan pihak
perempuan yang disebut parboru. Ulaon parbogason juga suatu nilai hidup,
untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah, dan kedudukan
sosial yang bersangkutan.
Ulaon parbogason etnik Batak Toba dilaksanakan secara eksogami marga
(diluar marganya), karena pernikahan satu marga sangat dilarang keras pada etnik
Batak Toba. Ulaon parbogason yang ideal bagi etnik Batak Toba adalah
pernikahan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki dari
ibunya atau boru ni tulang (pariban).
Universitas Sumatera Utara
2
Sebagai masyarakat yang berbudaya maka dalam setiap acara adat etnik
Batak Toba tidak pernah melupakan pedoman hidup dan berpegang taguh pada
sistem dalihan na tolu yang berbunyi ”manat mardongan tubu, elek marboru,
somba marhula-hula“ dalam setiap ulaon parbogason ketiga unsur tersebut saling
berkaitan. Orang Batak sangat menghayati dalihan na tolu sebagai sebuah sistem
yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi dan defenisi dalam realitas
masyarakat etnik Batak Toba hal ini sejalan dengan pendapat Harahap dan
Siahaan (1987:5).
Melalui perkawinan, status sosial seorang manusia dalam masyarakat
tempat dia berada juga akan beralih dari seorang remaja menjadi seorang dewasa
dan bahkan kemudian akan mendapat pengakuan status yang lebih tinggi ditengah
masyarakatnya (Koentjaraningrat 1994 : 92).
Membahas ulaon parbogason tentu tidak lepas dari peran perempuan,
namun tanpa disadari banyak peran perempuan dalam ulaon parbogason yang
mengalami ketimpangan. Sebagai salah satu kasus yang sekarang ini yang
memprihatikan penulis untuk diteliti yakni peran dan kedudukan perempuan
Batak dalam ulaon parbogason yang dinilai tidak setara dan cenderung
dinomorduakan dalam semua hal terkhusus dalam upacara adat. Selain itu,
perubahan makna sinamot boru Batak dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba.
Seperti yang kita ketahui perempuan Batak yang memperoleh pendidikan tinggi
akan memengaruhi tingkat derajat sosialnya di masyarakat. Gelar yang diperoleh
melalui perguruan tinggi menjadi suatu kepuasan tersendiri bagi orang Batak,
apalagi gelar sarjana dianggap sebagai kehormatan serta meningkatkan derajat
Universitas Sumatera Utara
3
sosial seseorang. Melalui gelar kesarjanaan tersebut, orang Batak akan
memperoleh status, jabatan, kekuasaan dan kekayaan (Simanjuntak:2009:183).
Di dalam sebuah pernikahan, etnik Batak Toba dikenal menggunakan sistem
pernikahan jujur (sinamot) yaitu perempuan yang dinikahkan oleh keluarganya
kepada laki-laki dengan syarat membayar harga sinamot, dengan arti bahwa status
marga perempuan sebagai anak dari ayahnya akan dilepaskan dan harus mengikuti
status keluarga suaminya.
Sinamot merupakan poin dasar yang tidak dapat dipisahkan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba, sebab marhata sinamot (merundingkan) adalah
penentu apakah ulaon parbogason dapat dilaksanakan. Ulaon parbogason etnik
Batak Toba harus berlandaskan adat-istiadat yang sudah ditentukan. Ulaon
parbogason akan dapat dilaksanakan apabila dapat melewati tahap demi tahap,
seperti martandang (berkunjung), memberi tanda, merundingkan sinamot, dan
persetujuan keluarga dari kedua bela pihak (Tambunan, 1982:136).
Berdasarkan penjelasan di atas, yang menarik perhatian penulis dalam
mengangkat kajian feminisme yaitu peran dan keberadaan perempuan yang
termarginalkan dan didominan laki-laki serta bergesernya makna sinamot saat
sekarang. Tujuan masyarakat dalam menyekolahkan anak perempuan mereka
semata-mata untuk mendapatkan “tuhor” anak perempuan yang berjumlah besar
dalam ulaon parbogason. Di mana saat sekarang, sinamot sudah menjadi tolak
ukur harga diri untuk seorang perempuan etnik Batak Toba yang akan dinikahkan.
Universitas Sumatera Utara
4
Hal tersebut menjadikan keberadaan perempuan dianggap hanya sebagi objek
pelengkap.
Selain kasus di atas alasan penulis mengangkat judul proposal skripsi ini,
penulis melihat begitu banyak peran perempuan Batak yang kurang diutamakan
seperti, kaum perempuan selalu dituntut bekerja di dapur apalabila sedang
melaksanakan kumpulan (punguan), hak berbicara perempuan selalu dibatasi
dalam suatu upacara adat serta kedudukannya yang dianggap tidak begitu penting.
Melihat beberapa kasus yang dialami kaum perempuan etnik Batak Toba, penulis
merasakan prihatin dan ingin membantu kaum perempuan Batak melalui skripsi
ini. Dengan adanya feminisme penulis berharap dapat membantu permasalahan-
permasalahan yang sedang dihadapi dalam masyarakat khususnya kaum
perempuan Batak.
Persoalan yang terkait dengan perempuan sering dibahas dalam diskusi
dan literasi. Perempuan menjadi topik yang menarik didiskusikan karena banyak
fenomena yang terjadi seputar perempuan. Terjadinya marginalisasi terhadap
perempuan salah satunya perjuangan untuk memposisikan perempuan dalam
eksistensi yang beradab pun menjadi topik pembicaraan yang menarik untuk
dibahas.
Skripsi ini juga membahas tentang bagaimana peran dan kedudukan
perempuan dalam setiap tahapan upacara adat ulaon parbogason etnik Batak
Toba. Adapun hasil penelitian membuktikan dan menjawab bagaimana peran dan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang mengalami diskriminasi dalam
Universitas Sumatera Utara
5
beberapa tahapan upacara adat ulaon parbogason etnik Batak Toba. Dominasi
adalah sebuah pahamuntuk melakukan penaklukan atau penguasaan dalam hal ini
yang terdapat dalam kebudayaan dengan maksud agar mendapatkan keuntungan
atau kekuasaan sehingga performa pertama akan melemah dan hilang lalu
digantikan oleh pengaruh performa kedua atau performa kedua menggantikan
menjadi yang baru.
Pandangan umum sering kali memperlihatkan variasi yang berbeda-beda
atau yang memiliki kesamaan antar laki-laki dan perempuan. Perspektif ini
memulai kajiannya dari perempuan sehingga bisa memperlihatkan gambaran
masyarakat yang utuh. Perspektif seperti mengawali kajian feminisme dangan
pemahaman bahwa terdapat bias perempuan dalam ulaon parbogason etnik Batak
Toba. Akibatnya, pengetahuan yang digambarkan adalah masyarakat adat dalam
perspektif laki-laki.
Selain itu, perspektif perempuan secara umum mengkritik anggapan bahwa
ilmu dan pengetahuan itu seksis. Dalam perspektif yang seksis tersebut,
perempuan adalah objek semata. Akan tetapi, lebih penting dari pendapat seperti
ini adalah menulis kajian feminisme berdasarkan perspektif laki-laki. Akibatnya
unsur bias laki-laki dalam paparan pengetahuan terus bermunculan. Melalui
pandangan bahwa pengetahuan (dalam hal ini dalam ulaon parbogason) memiliki
bias laki-laki maka penting bagi perempuan untuk mengkaji ulang kontruksi
pengetahuan itu sendiri.
Dalam kesempatan ini peneliti akan mendeskripsikan bagaimana peran,
posisi dan kedudukan perempuan dalam upacara adat ulaon parbogason etnik
Universitas Sumatera Utara
6
Batak Toba berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Adapun langkah yang
dilakukan pertama, mengusut kesetaraan gender di dalam ulaon parbogason
yakni faktor dan bentuk dominan dengan teori feminisme, terhadap perbedaan
peran perempuan dan laki-laki dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba.
Misalnya, dengan melihat langsung ilustrasi yang dilaksanakan pada upacara adat
ulaon parbogason etnik Batak Toba, yakni memperlihatkan posisi laki-laki atau
tidak (dominan). Kedua, mengkaji dan menggunakan pemikiran yang
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan perspektif perempuan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba, sehingga kita tahu dampak dari dominasi tersebut.
Ketiga, membentuk suatu konteks baru ketika mengangkat masalah dari perspektif
feminisme yang dialami perempuan dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba,
sehingga menemukan solusi dalam kasus tersebut.
Perempuan Indonesia mulai bangkit mengembangkan eksistensinya. Pada
tanggal 22-26 Desember 1928 untuk pertama kalinya diadakan kongres membahas
perempuan di kota Yogyakarta. Kongres ini merupakan lembaran baru bagi
pergerakan Indonesia khususnya untuk kaum perempuan. Kongres ini pun
menghasilkan tiga tuntuntan kepada pemerintah kolonial pada masa itu yaitu (1)
penambahan sekolah untuk anak-anak perempuan (2) syarat menjelaskan arti
taklik saat akad nikah kepada mempelai wanita (3) pemberian tunjangan kepada
janda-janda dan anak yatim piatu. Faktor pendorong terselenggaranya kongres
perempuan Indonesia ialah kondisi kehidupan perempuan di Indonesia yang masih
dikungkung budaya patriarki yang berdiri di atas nilai-nilai feodal.
Universitas Sumatera Utara
7
Perjuangan untuk mengangkat derajat perempuan telah dilakukan oleh
banyak kalangan, termasuk oleh perempuan sendiri. Perempuan yang telah
mengembangkan diri dalam ranah sosial dan politik. Namun, masih didapatkan
dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan yang senantiasa diposisikan serba
terbatas khususnya dalam kehidupan budaya dan adat-istiadat ulaon parbogason
pada etnik Batak Toba. Perempuan sering termarjinalkan dalam hal kesederajatan
dengan laki-laki bahkan kecenderungan ini dianggap sebagai kodrat atau sistem
yang begitu kuat.
Feminisme sendiri merupakan gerakan perempuan yang berusaha menuntut
persamaan hak yang sepenuhnya antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Feminisme bisa datang dari siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.
Feminisme bukan hanya tentang perjuangan menempatkan perempuan pada posisi
setara dengan laki-laki, namun juga agar perempuan memiliki kebebasan untuk
memilih dan menentukan sesuatu bagi dirinya.
Namun sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan
pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap
sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang
disebut sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada,
atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya (Fakih,
2007:81).
Universitas Sumatera Utara
8
Berdasarkan asumsi tentang paham feminisme tersebut maka gerakan
feminisme tidak mudah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap konsep feminisme tersebut perlu diluruskan terutama dalam bidang
budaya. Selain itu, feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan dan
martabat perempuan dan laki-laki, serta kebebasan untuk mengontrol raga dan
kehidupan mereka sendiri baik di dalam maupun di luar rumah.
Maka dengan adanya gerakan feminisme pada etnik Batak Toba untuk
menghapuskan paham bahwa perempuan adalah barang yang dapat diperjual
belikan , dan keberadaan perempuan yang selalu dinomorduakan. Karena adanya
paham dari masyarakat sendiri bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap untuk
laki-laki. Maka pada dasarnya tidak ada jual beli untuk manusia khususnya boru
Batak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja bentuk dan faktor dominasi yang ditemukan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba?
2. Apa saja dampak dominasi yang harus dilakukan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba?
3. Apa saja solusi dominasi yang ditemukan dalam ulaon parbogason
etnik Batak Toba?
Universitas Sumatera Utara
9
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan bentuk dan faktor dominasi dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba.
2. Mendeskripsikan dampak dominasi dalam ulaon parbogason etnik
Batak Toba.
3. Mendeskripsikan solusi dominasi yang ditemukan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan bahan bagi
penelitian lanjutan agar dapat memperluas pengetahuan tentang ulaon
parbogason pada etnik Batak Toba.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi ilmu bagi
masyarakat, pembaca, dan lebih menghargai dan tetap melestarikan
budaya leluhur (nenek moyang) khususya untuk generasi muda etnik
Batak Toba.
3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu segala
ketimpangan peran gender yang terjadi dalam ulaon parbogason etnik
Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
10
4. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu mengangkat
derajat kaum perempuan bahwa sinamot bukan tolak ukur untuk
perempuan dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk peneliti, hasil penelitian ini sebagai pengetahuan baru yang
dapat bermanfaatdalam kehidupan penulis khususnya dalam
mempertahankan dan melestarikan budaya leluhur (nenek moyang).
2. Untuk masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat membuka wacana
bagi masyarakat luas tentang pergeseranperan gender dan menerapkan
feminisme dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba.
3. Untuk masyarakat etnik Batak Toba, penelitian ini diharapkan dapat
membantu masyarakat yang merasakan peran gender yang tidak
seimbang dalam ulaon parbogason maka dengan adanya feminisme
diharapkan dapat membantu ketimpangan dan persoalan-persoalan
yang terjadi pada masyarakat khususnya untuk perempuan-perempuan
etnik Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang
diuraikan, diperlukan sejumlah kajian yang menjadi kerangka landasan didalam
melakukan penelitian. Dalam berbudaya, manusia tidak dapat menerima apa saja
yang disediakan oleh alam, manusia menginginkan yang lebih, sehingga manusia
mengubahnya dan mengembangkan lebih lanjut. Menurut Klages, dalam
Widagdho (1993:35).
Hal ini sejalan dengan, adanya hasil penelitian tentang feminisme penulis
membahas beberapa teori yang dianggap relevan dan fokus yang dikaji dalam
skripsi ini. Adapun hasil penelitian lain yang digunakan dalam memahami dan
mendukung penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut:
a. Disertasi yang ditulis oleh Bungaran Antonius Simanjuntak, dengan judul:
“Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba” pada tahun 1994.
Disertasi ini menjelaskan terkait konflik yang sering terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat etnik Batak, disebabkan karena ketidak
seimbangan sosial budaya atau adat-istiadat. Seperti dalihan na tolu, sistem
patrinial dan falsafah orang batak yakni, hamoraon, hagabeon, dan
hasangapon (kekayaan, keturunan, dan kehormatan). Melalui kekuasaan
akan dapat diperoleh kehormatan, pengakuan dan juga kekayaan. Melalui
Universitas Sumatera Utara
12
jalur kekuasaan tersebut sering menimbulkan konflik sosial terutama untuk
kaum perempuan yang kedudukan dan hak bicaranya selalu dibatasi
terutama dalam upacara adat.
b. Skripsi yang ditulis oleh Hanifa Erfandari, dengan judul: “Kekerasan
Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Teori Kekuasaan
Michel Foucault”, pada tahun 2006 melakukan kekerasan terhadap istri.
Kontribusi Skripsi ini untuk Skripsi ini ialah dapat memberikan masukan
kepada peneliti tentang perempuan yang selalu dibatasi dan dinomorduakan.
Perbedaannya terletak pada peran perempuan dalam ulaon parbagason etnik
Batak Toba.
c. Jurnal yang ditulis oleh Helga Septiani Manik, dengan judul: “Makna dan
Fungsi Tradisi sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di
Perantauan Surabaya”, pada tahun 2012. Jurnal ini menjelaskan tentang dan
fungsi dan makna sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba yang
berlokasi di Surabaya, hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa makna
tradisi sinamot adalah sebagai sarana untuk mengikat hubungan kekerabatan
dari kedua mempelai. Kontribusi jurnal ini terhadap penulis ialah penulis
dapat mengetahui bagaimana fungsi sinamot saat sekarang dalan upacara
adat ulaon parbogason di Surabaya. Perbedaannya terletak pada peran dan
eksistensi perempuan dalam upacara adat ulaon parbogason saat sekarang
pada etnik Batak Toba.
d. Jurnal yang ditulis oleh Jhonson Pardosi, dengan judul:” Makna Simbolik,
Umpasa, sinamot dan ulos Pada Perkawinan Adat Batak Toba”, pada tahun
Universitas Sumatera Utara
13
2008. Jurnal ini menjelaskan tentang makna simbolik dari tiga simbol
dalihan na tolu yang wajib dilaksanakan dalam perkawinan adat Batak Toba
yakni, umpasa, sinamot dan ulos. Hasil dari penelitian ini menyatakan
bahwa falsafah dari sinamot memiliki makna adalah proses memberi dan
menerima, makna simbol itu diterapkan pada pemberian ulos disaat
pelaksanaan pesta. Kontribusi jurnal ini terhadap penulis ialah membantu
penulis dalam mengetahui makna keberadaan sinamot pada ulaon
parbogason etnik Batak Toba.
e. Jurnal yang ditulis oleh Rumasta Simalango, dengan judul: “ Fungsi Uang
Jujur (sinamot) Pada Perkawinan Menurut Adat Masyarakat Batak Toba di
Desa Sabungan Ni Huta, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kabupaten
Samosir”, pada tahun 2011. Jurnal ini menjelaskan tentang fungsi sinamot
yaitu sebagai syarat sah untuk pernikahan, syarat hubungan kekerabatan
(dalam adat), syarat untuk mengunjungi dan meminta bantuan pada
perempuan. Dalam pemberian sinamot unsur dalihan na tolu harus selalu
dilibatkan. Kontribusi jurnal ini terhadap peneliti ialah mengetahui fungsi
sinamot dalam ulaon parbogason bahwa pemberian sinamot kepada pihak
perempuan bukanlah alat ukur untuk harga diri perempuan. Perbedaannya
terletak pada bagaimana penulis menuntut kesetaraan peran dalam ulaon
parbogason.
f. Penelitian Coates. Kajian Coates (1986) (dalam Anang Santoso,2009:56).
Berjudul : “Woman, Man, and Language : A Sociolingustic Account of Sex
Differences in Language”. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan besar
Universitas Sumatera Utara
14
“apakah wanita dan laki-laki berbicara secara berbeda?”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki berbicara secara berbeda. Bahasa
wanita memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan bahasa
laki-laki. Ini tidak mengejutkan ketika dalam masyarakat masih
memisahkan dan membedakan peran-peran sosial antara wanita dan laki-
laki. Dengan demikian, bahasa yang digunakan merupakan refleksi dan
penguatan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Ini sesuai dengan dua
teori yang ada, yakni (1) teori perbedaan, dan (2) teori dominasi. Yang
pertama menekankan pada perbedaan peran dan identitas gender dari wanita
dan pria. Yang kedua menekankan pada hierarki hakikat relasi-relasi gender
dan dominasi pria atau wanita.
g. Penelitian Holmes Kajian Holmes (1989) (dalam Anang Santoso, 2009:57)
berjudul: “Sex Differences and Apologies: One Aspect of Communicative
Competence”. Penelitian ini megkaji perbedaan jenis kelamin dalam
pendistribusian tindak permintaan maaf atau tindak apologi untuk
menjelaskan kompleksitas tugas pembelajar bahasa dalam memperoleh
kompetensi komunikatif.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.1 Pengertian Ulaon Parbogason
Pada etnik Batak Toba ulaon parbogason adalah kegiatan upacara adat
yang sakral dan peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat,
sebab dalam suatu ulaon parbogason tidak hanya menyangkut perempuan dan
laki-laki bakal mempelai saja, tetapi keluarga kedua mempelai juga salah satu
bagian penting dalam melaksanakan ulaon parbogason. Perkawinan adalah
bersatunya laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang sah (Susetya,2007:7).
Pernikahan adalah perjanjian yang dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan
antara calon suami-istri harus didasarkan cinta yanmg tumbuh secara alami, baik
karena faktor simpati maupun birahi (Susetya,2007:8).
Pernikahan yang ideal bagi etnik Batak Toba adalah pernikahan dengan
pariban. Ulaon parbogason etnik Batak Toba hanya bisa dilaksanakan apabila
kedua mempelai sudah memenuhi syarat utama yaitu orang yang di luar marganya
sendiri. Pernikahan semarga dilarang karena adanya kepercayaan bahwa setiap
orang yang mempunyai marga yang sama masih mempunyai hubungan darah
sehingga adanya kekhawatiran bahwa keturunan yang dihasilkan dari orang yang
melakukan semarga pertumbuhannya tidak sempurna, idiot bahkan mungkin
lumpuh, (Simangunsong, 2016:43).
Laki-laki dan perempuan etnik Batak Toba, yang ingin hidup bersama
dalam satu rumah tangga baru, dapat dikatakan sebagai suami istri apabila telah
melalui sebuah proses yang telah ditentukan sebelumnya dalam adat etnik Batak
Toba. Ulaon parbogason dalam etnik Batak Toba dilaksanakan dengan tata cara
Universitas Sumatera Utara
16
yang sakral. Adapun tata cara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba yang
disebut dengan adat na gok, yaitu ulaon parbogason orang Batak secara normal
berdasarkan ketentuan adat terdahulu yang melibatkan unsur dalihan na tolu.
Berikut tahapan ulaon parbogason etnik Batak Toba sebagai berikut
(http://manikraja.or.id):
Ulaon parbogason merupakan salah satu bagian penting bagi setiap
kehidupan manusia. Pernikahan yang menyatukan seorang laki-laki dan
perempuan, selain itu juga menyatukan dua keluarga bahkan juga merupakan
jembatan antar dalihan na tolu. Ulaon parbogason adalah perjanjian yang
dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan antara calon suami-istri yang didasari
rasa cinta yang tumbuh secara alami. Dalam suatu ikatan pernikahan dalam etnik
Batak Toba tentu tidak lepas dari upacara adat.
Adat bagi etnik Batak Toba merupakan hukum yang harus dijaga dan
dilestarikan selama hidupnya. Adat yang diterima sebagai suatu kewajiban agar
kehidupan bermasyarakat seimbang, yang selanjutnya akan diajarkan kepada
keturunannya. Adat etnik Batak Toba mencakup aturan yang ada pada masyarakat
dimana semuanya itu dicakup dalam suatu struktur yang disebut dalihan na tolu
adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan
hubungan pernikahan yang mempertalikan suatu kelompok kekerabatan. Bagi
etnik Batak Toba, adat dalihan na tolu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat terutama yang berkaitan dengan sistem adat istiadatnya. Dalihan na
tolu yang berarti tiga tungku, melambangkan tiga unsur atau tiga kelompok
Universitas Sumatera Utara
17
kerabat dalam adat etnik Batak Toba, yaitu terdiri dari hula-hula, dongan tubu,
dan boru.
Laki-laki dan perempuan etnik Batak Toba, yang ingin hidup bersama
dalam satu rumah tangga baru, dapat dikatakan sebagai suami istri apabila telah
melalui sebuah proses yang telah ditentukan sebelumnya dalam adat etnik Batak
Toba. Ulaon parbogason dalam etnik Batak Toba dilaksanakan dengan tata cara
yang sakral. Adapun tata cara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba yang
disebut dengan adat na gok, yaitu ulaon parbogason orang Batak secara normal
berdasarkan ketentuan adat terdahulu yang melibatkan unsur dalihan na tolu.
Berikut tahapan ulaon parbogason etnik Batak Toba, sebagai berikut :
1. Mangaririt
2. Mangalehon Tanda
3. Marhori-hori dinding atau Marhusip
4. Marhata Sinamot
5. Pudun Saut
6. Martonggo raja
7. Manjalo pasu-pasu parbogason
8. Marunjuk
9. Mangihut Di Ampang atau Di Alap Jual
10. Ditaruhon Jual
11. Paulak Une
12. Manjae
13. Maningkir Tangga
Universitas Sumatera Utara
18
2.1.2 Pengertian Feminisme
Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminine) merasa dirugikan dalam semua dan dinomorduakan oleh kaum laki-
laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik, terutama
dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah. Adapun kaum perempuan ditempatkan di dalam rumah. Situasi ini mulai
mengalami perubahan ketika datangnya era liberalism di Eropa dan terjadinya
Revolusi Perancis pada abad XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan
keseluruh dunia.
Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme (woman), perempuan
(tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (jamak)
sebagai kelas sosial. Feminisme adalah paham perempuan yang berupaya
memperjuangkan hak-haknya sebagai kelas sosial. Adapun dalam hubungan ini
perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis dan
hakikat alamiah), masculine-feminine mengacu kepada jenis kelamin atau gender
sehingga he dan she (Selden dalam Sugihastuti,2000:32).
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, pada dasarnya lebih
disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang
sesungguhnya. Sebagian masyarakat beranggapan feminisme adalah gerakan
pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap
Universitas Sumatera Utara
19
sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang
disebut kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada, atau
institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya (Fakih, 2007:81).
Paham feminisme lahir dan mulai berkobar sekitar akhir tahun 1960-an di
Barat dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini
banyak mempengaruhi segi kehidupan dan mempengaruhi pula aspek kehidupan
perempuan. Bila paham feminis adalah politik hal ini merupakan teori atau sederet
teori yang akan diakui atau tidak, merupakan fakta pandangan dari kaum
perempuan terhadap sistem patriarki. Sejak akhir 1960-an gerakan ini
dikembangkan sebagai bagian dari gerekan perempuan internasional
(Suharto,2002:6).
Ada beberapa pendapat tentang asal mula munculnya gerakan feminis di
Amerika Serikat. Pendapat pertama berkaitan dengan aspek politik. Para tokoh
feminis mendeklarasikan bahwa semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama.
Pendapat lain mengemukan bahwa aspek agamalah yang mendasari tumbuhnya
gerakan feminisme di Amerika Serikat. Gereja bertanggung jawab atas kedudukan
wanita yang dipandang rendah, karena agama protestan dan katolik menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada kedudukan laki-laki
(Djajanegara, 2003:2).
Istilah feminisme kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih
menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara
vulgar (membakar bra). Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya
Universitas Sumatera Utara
20
ketidakadilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan kerena jenis
kelaminnya, dan ingin melakukan sesuatu untuk mengakhiri
ketidakadilan/diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut sebagai feminis.
2.2 Teori yang Digunakan
Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk yang
berlaku secara umum dan akan mempermudah seorang penulis dalam
memecahkan suatu masalah yang dihadapinya. Berdasarkan judul penelitian ini
maka teori yang digunakan penulis ialah teori feminism yang mengkaji tentang
permasalahan dan ketimpangan peran perempuan seperti perubahan, pertambahan,
dan pengurangan yang terjadi dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba.
Teori Feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini
berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik kelas, ras dan terutama adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk
menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah yang dianggap lebih
kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-
laki (Ratna,2007:186).
Feminisme adalah suatu gerakan perjuangan untuk melawan segala bentuk
objektifikasi perempuan. Perempuan dan laki-laki diyakini juga mempunyai
perbedaan kesadaran sosial maupun kontrol sosial ( Anwar,2010:129 ).
Universitas Sumatera Utara
21
Feminisme berfokus pada sejarah tentang tekanan dan dominasi kekuasaan
pria pada setiap aspek masyarakat, khususnya dalam sastra. Dalam sastra pria
menciptakan imaji tentang wanita dan memposisikan wanita sebagai mitos-mitos
kompensasi bagi pria (Anwar,2009:50).
Masyarakat patriarki menggunakan fakta tertentu mengenai fisologi
perempuan menggunakan fakta tertentu mengenai fisologi perempuan dan laki-
laki sebagai dasar untuk perempuan membangun serangkaian identitas dan
perilaku maskulin dan feminine yang dilakukan untuk memperdayakan laki-laki di
satu sisi dan melemahkan di satu sisi. Masyarakat patriarki meyakinkan dirinya
sendiri bahwa kontruksi budaya adalah “alamiah” dan “normalitas” seseorang
tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku
gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis
seseorang. Masyarakat patriarki menggunakan peran gender yang kaku untuk
memastikan perempuan tetap pasif penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap
simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif,
penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil,
kompetitif) (Tong, 2008:72-73).
Adapun menurut Millet (Sofia, 2009:10), ideologi dalam patriarki dalam
akademi, institusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan
subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan
perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
22
Batasan terkait feminisme ini memang beragam dan terkadang
diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara
organisatoris serta merta disebut feminis, dan sampai dimana tingkat kesadaran
dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah
ketidakadilan/diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang
tersebut.
Jadi bisa dikatakan bahwa feminisme merupakan gerakan perempuan yang
muncul sekitar 1960-an yang merupakan gerakan perjuangan perempuan untuk
melawan objektifitas perempuan dan mengakhiri ketidakadilan atau diskriminasi
terhadap kaum perempuan.
Ada beberapa jenis feminisme sebagai acuan dalam menguatkan kajian ini,
adapun jenis-jenis femenisme sebagai berikut :
Feminisme Liberal yaitu apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar para rasionalitas dan pemisah antar dunia privat dan publik. Setiap
manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu
pula perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan
bebas” dan punya kedudukan yang bisa diandalkan dan setara dengan laki-laki
(Fitri,2008‟https://brokeninfinity8.wordpress.com, diunduh 12 November 2015).
Universitas Sumatera Utara
23
Feminisme Radikal yakni aliran ini menolak asumsi bahwa ada, hubungan
yang pasti antara jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan) dengan
gender (maskulin atau feminism). Sebaliknya mereka mengklaim bahwa gender
adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarakat patriaki menggunakan peran
gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (penuh kasih
sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, dan ramah) dan laki-
laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, bertanggung jawab, orisinil
dan kompetitif). Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kaum
laki-laki yang tidak layak atas perempuan, adalah dengan pertama-tama
menyadari bahwa perempuan pada dasarnya tidak ditakdirkan menjadi pasif
(Rochman, 2008:http://rochmanonline.blogspot.co.id, diunduh 12 November
2015).
Kaum feminis Marxist, menolak gagasan kaum radikal bahwa „biologi‟
sebagai dasar pembedaan.Bagi mereka, penindasan perempuan adalah bagian dari
eksploitasi kelas dalam „relasi produksi‟. Isu perempuan selalu diletakkan dalam
kerangka kritik terhadap kapitalisme. Namun, modus penindasan perempuan telah
lama sebelum Zaman Kapitalisme. Karena laki-laki mengontrol produk untuk
exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik masyarakat dan
akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Maka sejak saat itu,
dominasi laki-laki terhadap perempuan dimulai. Tidak hanya itu feminis Marxist
juga beranggapan bahwa jika kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem
hubungan pertukaran, kapitalisme juga digambarkan sebagai pasar yang
Universitas Sumatera Utara
24
didalamnya segala sesuatu, termasuk kekuatan kerja seseorang, memiliki harga
dan semua transaksi dianggap transaksi pertukaran (Tong,2004:141).
Feminisme Sosialis yakni merupakan sintesa antara teori kelas Marxisme
dan menolak Marxist klasik, dan tidak menganggap eksploitasi ekonomi sebagai
lebih esensial daripada penindasan gender. Mereka mengkritik asumsi umum,
bahwa ada hubungan antara partisipasi perempuan dalam produksi dan status
perempuan. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan.
Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan
suami atas istri dihapuskan (Libya.2010:http://kkmi-libya.blogspot.co.id, diunduh
20 November 2015).
Feminisme Post-Kolonial dasar pandangan ini berakar di penolakan
Universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di
Negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar
belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan
lebih berat kerena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama
(Eko,2012;http://ekookdamezs.blogspot.co, diunduh 19 November 2015).
Banyak penjelasan yang ditawarkan oleh pelbagai pakar melalui teorinya
masing-masing. Berikut ini dikemukakan teori yang mencoba memberikan
penjelasan terhadap jawaban pertanyaan di atas yakni teori dominasi.
Universitas Sumatera Utara
25
Teori dominasi terhadap perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki adalah
berkenaan dengan kekuasaan (power). Menurut Wareing (1999:79) perbedaan
kekuasaan antara perempuan dan laki-laki adalah penyebab utama variasi wacana
yang dihasilkan. Teori ini berhasil menunjukkan bahwa secara statistik laki-laki
cenderung memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih dibandingkan dengan
perempuan, baik secara fisik, finansial, dan dalam hierarki di tempat kerja.
Teori ini memiliki kekuatan dalam sejumlah kasus. Dalam pertemuan
bisnis, misalnya, banyak laporan yang menyebutkan bahwa perempuan sering
mengalami kesulitan untuk menuntut hak bicaranya. Perempuan lebih sering
diinterupsi dalam percakapan. Masukan yang diberikan perempuan lebih sering
dianggap tidak serius dibandingkan masukan dari pekerja laki-laki (Wareing,
1999:79). Banyak peraturan di perusahaan lebih menguntungkan pekerja laki-laki,
dan sebaliknya lebih merugikan pekerja perempuan. Dalam konteks tersebut
muncullah istilah “wacana seksis” yang menunjukkan adanya kekuasaan laki-laki
atas perempuan. Menurut Lakoff, terdapat ideologi yang cenderung merendahkan,
meminggirkan, dan meniadakan perempuan (Lee,1992:110). Paparan berikut
menunjukkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan seperti ditunjukkan Ward
(dalam Lee, 1992:111)
a. Semua orang adalah laki-laki kecuali perempuan dapat
membuktikannya.
b. Relasi seorang perempuan dengan laki-laki adalah dalam rangka
perempuan menjelaskan identitasnya.
Universitas Sumatera Utara
26
c. Pemunculan perempuan selalu memerlukan komentar, apakah dia
menantang/menentang atau menunjukkan sebuah stereotip populer.
d. Seorang perempuan dapat dengan aman diidentifikasi sebagai
“isterinya” (his wife); wanita tidak perlu mengidentifikasikan dirinya
dengan nama pribadinya.
e. Sesedah menikah seorang laki-laki masih sebagai laki-laki yang tidak
teridentifikasi (a man), sementara seorang perempuan menjadi seorang
isteri.
f. Kepala rumah tangga dan orang tua bukanlah tugas perempuan.
Untuk memperjelas uraian tersebut maka digambarkan seperti diagram berikut :
Ulaon Parbogason
Feminisme
Bentuk dan faktor Dampak Solusi
Simpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara
27
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan
dalam penelitian (Manurung, 2010:19). Dengan kata lain bahwa metode akan
memberikan jawaban atau petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau
bagaimana cara penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data yang aktual yang
dapat dibuktikan kebenarannya terhadap objek permasalahan.
3.1 Metode Dasar
Metode dasar penelitian ini ialah metode deskriptif. “Metode deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah
berdasarkan data-data dan jarak, juga menyajikan data dan menginterpretasikan
data”, Narbuko (dalam Manurung, 2010:19). Selain itu juga Noo (dalam Sinaga,
216:18)
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan penulis adalah Desa Lintong ni huta,
Kecamatan Ronggur ni huta, Kabupaten Samosir. Ada 3 alasan penulis memilih
lokasi tersebut : (1) karena Desa Lintong ni huta merupakan desa yang masih tetap
melaksanakan upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba dan sudah
mulai mengalami pergeseran. (2) Mudah mencapai lokasi, dan (3) memiliki key
informan yang memadai.
Universitas Sumatera Utara
28
3.3 Sumber Data Penelitian
Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari narasumber (informan) yaitu
sebagai sumber data, sumber informasi dari apa yang akan diteliti oleh penulis.
Peristiwa atau aktivitas yaitu sebagai sumber data yang diperoleh dengan
mengamati bagaimana kegiatan upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak
Toba tersebut berjalan. Tempat atau lokasi yaitu sebagai sumber data yang
berkaitan dengan keadaan atau kondisi dari kegiatan itu dilakukan. Dokumen atau
arsip yaitu bahan tertulis atau benda, seperti data, keterangan, pedoman, rekaman-
rekaman dan sebagainya yang berkaitan dengan upacara adat ulaon parbogason.
Dalam penelitian ini tokoh adat dijadikan sebagai informan kunci (key of
information) karena selalu bertindak sebagai aktor di dalam upacara adat ulaon
parbogason pada etnik Batak Toba dan dapat memberikan informasi yang akurat
dari upacara tersebut. Penulis juga melengkapi data berupa dokumen-dokumen,
buku-buku, artikel serta video sebagai data pendukung.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat yang digunakan pada penelitian ini ialah alat yang berisi
informasi upacara adat ulaon parbogason etnik Batak Toba. Di sisi lain peneliti
sebagai „human instrument‟ karena peneliti berasal dari Batak Toba.
Instrumen lain atau alat pendukung dalam penelitian ini adalah:
1. Alat tulis dan buku catatan untuk mencatat segala data-data penting dari
informan yang berhubungan dengan objek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
29
2. Alat perekam suara untuk merekam percakapan/wawancara sebagai
penyempurna catatan yang telah didapatkan dari informan.
3. Kamera sebagai alat yang digunakan untuk mendokumentasikan
aktivitas upacara adat ulaon parbogason.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan masalah penelitian ini, maka
pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Teknik Observasi
Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan
psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan. Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan
pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indra. Penulis melakukan pengumpulan data dengan
cara mengamati proses upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba.
Penulis menggunakan observasi, yaitu mengamati jalannya upacara adat ulaon
parbogason pada etnik Batak Toba.
2. Teknik Wawancara
Metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu
mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan, dalam
hal ini kepada tokoh-tokoh adat, pendeta, masyarakat setempat, tamu undangan
pada upacara adat ulaon parbogason. Wawancara adalah proses memperoleh
Universitas Sumatera Utara
30
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, dengan
menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara (Sugiono, 2013).
Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan
atau subjek penelitian ini.
Pengumpulan data atau informasi dengan cara melakukan tanya jawab
secara langsung dengan informans ehingga informasi yang diperoleh lebih jelas
mengenai tata cara upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba.
3. Metode Pustaka
Metode pustaka yaitu penelitian dengan mencari data dari buku-buku yang
ada hubungannya dengan upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba.
3.6 Metode Analisis Data
“Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengelola data yang
mentah, sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah” (Hutasoit,
2012: 27). Dalam konteks ini analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data
sehingga dapat diperoleh kebenaran objek dan teori. Dalam menganalisis, penulis
dituntut untuk memiliki nalar dan kreativitas yang tinggi sehingga data yang
dianalisis akurat, serta kebenarannya mampu dipertanggung jawabkan.
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam
penelitian, Karena tahap dalam menyelesaikan masalah ialah menganalisis. Untuk
menganalisis data penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskriptif.
Langkah-langkah yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data
ialah:
Universitas Sumatera Utara
31
1. Mengeliminasi data yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan.
2. Mengklasifikasikan data yang sesuai dengan pokok permasalahan.
3. Menganalisis data-data sesuai dengan kajian yang telah ditetapkan.
4. Membuat kesimpulan dari data yang diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini mendeskripsikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
upacara adat ulaon parbogason pada etnik Batak Toba, mengkaji 1) bentuk dan
faktor dominasi yang ditemukan dalam ulaon parbogason, 2) dampak dominasi
yang ditemukan dalam ulaon parbogason, dan 3) solusi yang ditemukan dalam
ulaon parbogason pada etnik Batak Toba. Ketiga hal tersebut dianalisis sebagai
berikut :
4.1 Bentuk dan Faktor Dominasi ditemukan sesuai dengan tahapan Ulaon
Parbogason etnik Batak Toba diuraikan sebagai berikut :
4.1.1 Bentuk dan Faktor dominasi dalam tahapan Mangaririt
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian teks dalam tahapan mangaririt ditemukan
dominasi laki-laki, hal ini dibuktikan sebagai berikut :
Baoa : “Santabi boru ni raja nami, boi do au mamolus sian alaman on?”.
Laki-laki : “ Maaf boru ni raja, bolehkah aku lewat dari halaman ini?”.
Borua : “O, boi ito. Alai ito ise jala ro sian dia naing hudia?”.
Perempuan : O, silahkan ito. Tapi ito ini siapa dan datang darimana mau
kemana ?”.
Berdasarkan teks di atas dominasi dimiliki laki-laki hal ini dibuktikan berdasarkan
pada saat laki-laki mendatangi rumah perempuan.
Universitas Sumatera Utara
33
-Pada saat mangaririt laki-laki akan mendatangi rumah perempuan. Dalam
proses pertemuan antara laki-laki dan perempuan itulah terjadi proses
memilih pasangan hidup. Banyak hal dan pertimbangan yang membuat laki-
laki atau perempuan tertarik sampai membuat kesepakatan untuk hubungan
yang lebih serius. Satu prinsip adat yang tertuang dalam peribahasa : “Na so
jadi bagot tumandangi sige” (Tak mungkin pohon enau menghampiri
tangga). Prinsip yang ditanamkan pada etnik Batak Toba ini membuktikan
perempuan tidak memiliki hak yang sama artinya adalah pantang bagi
perempuan mendatangi laki-laki, yang lazim dan beradat adalah laki-laki
mendatangi perempuan.
-Perempuan mengalami dominasi dibuktikan pada tahapan ini kekuasaan
untuk memilih pasangan hidup didominasi laki-laki. Pada saat mangaririt
yang mendatangi perempuan adalah laki-laki. Dalam tahapan ini perempuan
diwajibkan harus menunggu laki-laki yang mangaririt dan kata menunggu
kerap diidentikan sebagai subordinasi perempuan. Dimana perempuan etnik
Batak Toba tidak memiliki hak untuk memilih siapa yang menjadi
pasangannya, sementara laki-laki memiliki hak istimewa untuk memilih dan
memutuskan pilihannya atas perempuan.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan mangaririt yang telah dijelaskan di
atas hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab dominasi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
34
-Faktor budaya patriarki. Hal ini dapat dilihat dari budaya patriarki yang
menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi
hampir dalam setiap peran. Hal ini membuktikan keberadaan perempuan
etnik Batak Toba tidak mendapatkan perlakuan yang setara dengan laki-laki.
Faktor budaya patriarki mengharuskan perempuan tidak boleh agresif,
perempuan cukup berdiam menunggu siapa laki-laki yang akan datang
mangariritnya. Seharusnya perempuan etnik Batak Toba juga memiliki hak
dalam memilih pasangan hidup, mementukan kebahagiaan sendiri, dan bukan
sekedar objek pilihan. Dalam tahapan ini laki-laki memiliki hak dalam
menentukan pasangan hidup dan sebaliknya perempuan hanya sebagai objek
yang akan dipilih oleh laki-laki yang akan mangaririt perempuan tersebut.
Tahapan ini bersifat pribadi antara keluarga dan calon pengantin. Tempat
pelaksanaan mangaririt ini dilaksanakan di rumah perempuan, laki-laki akan
berkunjung ke rumah perempuan dan berbicara berdua, dan akan menanyakan
kepada perempuan bersedia atau tidaknya dijadikan menjadi istri.
4.1.2 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Mangalehon Tanda
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi dalam tahapan
mangalehon tanda didominasi laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar 1 dan 2 : Uang dan sarung yang diberikan sebagai tanda pengikat. Dok.
hot.grid.id.
-Laki-laki akan memberikan tanda kepada perempuan berupa benda atau
uang sebagai tanda pengikat hubungan mereka yang akan dibawa ketahap
yang lebih serius. Laki-laki lalu memberitahukan hal tersebut kepada
orangtuanya, orangtua laki-laki akan menyuruh perantara yang telah
mengikat janji kepada perempuan tersebut.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan mangalehon tanda yang telah
dijelaskan maka ditemukan faktor penyebab dominasi sebagai berikut :
-Faktor patriarki, dibuktikan laki-laki mendominasi perempuan dengan
adanya tanda ikatan yang diberikan laki-laki kepada perempuan berupa uang
atau benda sebagai tanda pengikat. Dalam hal ini perempuan tidak memiliki
hak yang sama dimana perempuan memiliki peran dan posisi lebih rendah
dibandingkan dan posisi laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
36
4.1.3 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Marhusip.
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
marhusip didominasi laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
Gambar 3. Marhusip yang didominasi laki-laki. Dok ermor.blogspot.com.
Parboru :“Hamu tutur nami naro, mauliate ma di Tuhanta ala hipas hamu
ro mandapothon hami, ala hipas hami didapot hamu. Tontu di haroro muna on
adong ma sitaringotan na marsintuhu, ala tampak hamu ro na mardongan tubu di
dongani borumuna. Diama na hinarohon muna ba denggan ma paboa hamu”.
Pihak perempuan : “Untuk keluarga kami yang sudah datang, terima kasih
untuk Tuhan karena kita dipetemukan dalam keadaan sehat, sehat kalian datang,
sehat kami kalian jumpa. Tentu di kedatangan kalian ada hal penting yang akan
kita bahas, karena kalian juga datang bersama dongan tubu (saudara semarga)
dan borumu. Untuk itu kalian kami persilahkan untuk menyampaikan tujuan
kedatangan kalian”.
Paranak :“Mauliatema tutu di Tuhanta. Marhahipason hami sahat tu
bagas na martua on, marhahipason hamu hudapot hami. Mansai las roha nami
ala tung denggan do panjalo muna di haroro nami. Ia sintuhu ni haroro nami
Universitas Sumatera Utara
37
raja nami si las ni roha do. Ro anak nami mangalu-alu tu hami, nungnga
marsihaholongan ninna ibana dohot boru ni rajai, jala nungnga marsangkap
nasida mamungka parsaripeon. Ido raja namina huharahon hami”.
Pihak laki-laki : “Terima kasih kepada Tuhan. Karena kami sehat sampai
ketempat ini, sehat juga kalian kami jumpa. Begitu besar rasa bahagia kami
karena kalian sudah menyambut kedatangan kami dengan baik. Adapun tujuan
kedatangan kami raja untuk menyampaikan kabar baik. Anak kami datang
memberitahukan kepada kami kalau dia dan anak gadis kalian saling menyayangi
dan sudah siap untuk melaksanakan pernikahan. Demikianlah raja tujuan kedatang
kami”.
Parboru :”Hamu tutur nami na ro mandapothon hami! Las roha nami
diboa-boa muna, ima naung marsihaholongan anak muna tu boru nami. Alai tutu
porlu do patangkason boru, boha tutu do naung marsihaholongan nasida?
(disuru ma boru manungkun maenna). Nungnga disungkun boru nami maenna
toho do ninna naung marsihaholongan jala nungnga marsangkap mamungka
parsaripeon. Mauliatema di Tuhanta. Songonima alus nami di boa-boa muna.
Butima. Alai atik boha adong dope sidohonon muna na hombar tusi, ni lehon ma
tingki tu hamu na”.
Pihak perempuan : “Keluarga kami yang sudah datang menemui kami!
Begitu senang kami untuk kabar yang kalian bawa untuk kami, yaitu anak kalian
dan putri kami yang saling menyayangi. Walaupun begitu ada baiknya kami
mempertanyakan langsung kepada putri kami, apakah benar mereka saling
menyayangi? (kami akan menyuruh boru kami untuk menanyakan langsung).
Boru kami sudah menanyakan langsung kepada putri kami, dan benar mereka
saling menyayangi dan sudah siap untuk membangung ramah tangga. Terima
kasih kepada Tuhan kita. Demikianlah jawaban kami untuk keluarga kami yang
suda memberitahukan kabar baik ini kepada kami. Demikianlah. Apabila masih
ada yang ingin kalian sampaikan terkait kedatangan kalian, kami persilahkan”.
Paranak :” Parjolo ma dohonon nami mauliate malambok pusu tu hamu
raja nami. Na sipanolopi do hamu di sangkap ni naposo. Boima dohonon
sipanjalo do hamu di anak nami di anak nami nanaeng gabe hela muna. Anggiat
ma tutu songon nidok muna i, saut na marongkap ditumpak asi dohot holong ni
roha ni Tuhanta.
Mardomu tusi raja nami, adong do tona ni suhut nami tu hami. Molo manjalo do
rajai di sangkap ni naposo, udutanta manian tu na mangarisik-risik manang
marhusip songon nidok ni ompungta sijolo-jolo tubu. Butima raja nami”.
Pihak laki-laki : “Pertama kami sampaikan terima kasih banyak kepada
raja kami. Karena kalian menjawab rencana anak-anak kita. Kalian bersedia
Universitas Sumatera Utara
38
menerima anak kami menjadi calon menantu kalian. Semoga seperti yang kalian
katakan, anak kita jodoh atas kasih dan restu Tuhan kita.
Berhubung ke pembicaraan kita raja kami, ada pesan dari penyelenggara
upacara adat kepada kami. Apabila raja menerima kedatangan kami atas rencana
anak muda kita, hendaklah kita berbisik-bisik bagaimana kelanjutan rencana dari
anak kita seperti yang dikatakan yang sudah mendahului kita (ompung sijolo-jolo
tubu). Jika raja kami setuju, agar kita lanjutkan”.
Parboru :“Ima tutu. Nangkin raja ni tutur dope hamu hudok hami, ala
sobinoto dope tangkas na hinaroro muna. Saonari nungnga barani hami mandok
raja ni boru tu hamu. Na adong tona ni suhut muna, asa ta uduti tu na
mangarisik-risik manang marhusip, na denggan mai tutu. Songondia ma huroha.
Butima”.
Pihak perempuan : “Iya. Tadi kami masih menyebut kalian keluarga,
karena kami belum tau apa tujuan yang jelas untuk kedatangan kalian. Sekarang
pun kami sudah berani menyebut kalian raja ni boru kepada kalian. Terkait pesan
penyelenggara upacara adat kepada kalian agar hendak berbisik-bisikkami
sepakat. Bagaimanalah maksudnya. Terima kasih”.
Paranak :“ Mauliatema di hamu hula-hula nami. Tona ni suhut nami asa
tauduti tu na mangarisik-risik manang marhusip ima na paboahon hapogoson
nami tu hamu. Barani hami mandapothon hamu rajanami ndang alani godang
ni sinamot nami alai na mangasahon holong naung tubu di angka ianokonta i do.
Pos do roha nami ndang sibereng sinamot hamu umbahen na las roha muna
manjangkon haroro nami.
Tona ni suhut nami mandok tung tangkas do alapon nami boru ni raja i
sian alaman ni raja i. Lapatanna ulaon unjuk annon di alaman ni raja i manian.
Ima parjolo. Jala paduahon, godang ni sinamot na boi tapatupa suhut nami
godangna Rp.20.000.00,- (dua puluh juta rupiah) ima sude dohot tu suhi ni
ampang na opat. Songonima pangidoan dohot elek-elek nami tu hamu raja nami.
Halason hamu mai. Butima”.
Pihak laki-laki : “Terima kasih untuk hula-hula kami. Permintaan dari
suhut kami agar kita melangsungkan marhusip, yang memberitahukan kekurangan
kami kepada kalian. Kami memberanikan untuk menjumpai kalian raja kami,
bukan karena banyaknya sinamot kami tapi karena mengandalkan kasih sayang
antara anak kita. Tapi kami yakin kedatangan kami bukan karena kalian melihat
banyaknya sinamot kami melainkan karena kalian senang melihat kedatangan
kami”.
Pesan dari suhut kami supaya kami menjemput anak gadis raja kami dari
halaman rumah raja kami. Agar ulaon unjuk dilaksanakan di halaman raja
penyelenggara. Itulah yang pertama. Jadi yang kedua, adapun jumlah sinamot
Universitas Sumatera Utara
39
yang bisa kami sediakan banyaknya Rp.20.000.000 ( dua puluh juta rupiah) maka
itulah semua untuk suhi ni ampang na opat. Begitulah permintaan dan
permohonan kami kepada kalian raja kami. Sekiranya kalian senang
menerimanya. Demikianlah”.
-Berdasarkan gambar 3 dibuktikan, pada saat pihak lakil-laki datang ke
tempat perempuan untuk membicarakan hal yang lebih serius terkait anak
mereka. Selain itu gender laki-laki lebih dominan hal ini terjadi karena
adanya status sosial etnik Batak Toba yang berlaku pada saat marhusip
-Pada saat berbicara peran yang diutamakan adalah laki-laki sehingga
perempuan termarginalkan..
-Pada saat keluarga kedua belah pihak mengutus perwakilan untuk
menghadiri tahapan ini didominasi oleh laki-laki yaitu beberapa dongan
tubu, dan satu orang boru mereka.
b) Faktor Dominasi.
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan marhusip maka ditemukan faktor
penyebab dominasi sebagai berikut :
-Faktor status sosial, yakni pihak laki-laki mendatangi rumah calon hula-
hula mereka, selain itu pada saat acara marhusip berlangsung yang
dihunjuk untuk berbicara adalah laki-laki dan yang menghadiri acara
tahapan marhusip ini didominasi kaum raja-raja seperti yang terlihat pada
gambar di atas.
Universitas Sumatera Utara
40
4.1.4 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Marhata Sinamot.
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
marhata sinamot didominasi laki-laki, dibuktikan berdasarkan gambar 4 sebagai
berikut :
Gambar 4. Marhata sinamot yang didominasi laki-laki. Dok. Fitri Mega
Simbolon, 06 September 2019.
Berikut teks pada saat marhata sinamot antara pihak laki-laki (paranak)
dengan pihak perempuan (parboru) yang membuktikan laki-laki memiliki peran
dominan :
Paranak : “Raja nami, toho do na nidokmunai, sai marangkup do na
denggan, nuaeng pe paboaon ma tutu, siangkupna na hundul, sidonganna
songon na mardalan. Jumolo ma hami raja nami marsomba dohot jari-jari
sampulu dohot tu tuamuna sahalana muna. Mauliate godang dohonon nami hula-
hula nami, na ria manjangkon hami dibagasta na marsangap na martua on.
Taringot diharoro nami raja nami, na adong do na solot di ate-ate nami, jala
gompang di pusu-pusu, na naeng sombahonon nami tu hamu raja nami. Alai tung
adong annon hata nahurang manang nalobi, anju hamu hami raja nami.
Jadi songonon do raja nami, na ro do alu-alu ni anak nami tu hami songonon
diluahon patna ibana ninna, tu hutanta nauli on, huhut ma huroha jinou-jou
Universitas Sumatera Utara
41
huhut hiniap-hiap ni rupa na uli dohot parulaon na denggan ni boru na gabe,
boru ni na mauli bulung hula-hula nai di huta on. Longang do hami umbege
hatana, ianggo roha nami ndang tung leak adong boru ni halak na olo
pangkulinganna. Hape raja nami, didok ibana ma tu hami, disi mulak ibana sian
huta on, jolma na martua do ibana ai dijangkon borumu ibana.
Bah, las roha antong huhut malambok pusu umbege. Nuaeng pe raja nami, ba
nungnga di pasiat boru muna i anak nami, ba tung asi ma roha muna raja nami,
jangkon hamu ma anak nami i gabe anak muna, nian ianggo sibahenon do raja
nami ndada na barani hami mandapothon hamu, ala ni hapogoson, ai tung so
adong do na boi pangasahonon nami. Alai nang pe songoni raja nami, ianggo
somba ni uhum do olat ni na tapartupa hami, jala pos do roha nami di hamu,
ndada ampehononmu tu hami naso tarusung hami. Songonima hata nami raja
nami, mauliate”.
Pihak laki-laki : “ Raja kami, benar yang kalian katakanan selalu datang
yang benar, sekarang kukatakan sesungguhnya, duduk dan berdoalah untuk
mencari perjalan. Pertama kami memohon dengan sepuluh jari-jari kami kepada
kalian berterima kasih dengan sebanyaknya kami katakan kepada hula-hula kami,
yang kami panjatkan kami di dalam menghormati yang lebih tua. Mengenai
kedatangan kami, raja kami, dengan yang tidak pantas dihati kami. Biarpun ada
kata yang kurang berkenan, beritahu kami raja kami. Jadi seperti ini raja kami,
datangnya anak kami memberitahu kedatangannya yang berkata ke tempat kami
ini, beserta dengan panggilan dan berkat-berkat baik beserta perilaku baik
perempuan yang jadi putri kalian, perempuan yang cantik jelita ya hula-hula kami
di tempat ini. Kami heran mendengar perkataan anak kami. Sebenarnya hati kami
bukannya tidak suka ada perempuan lain yang mau berbicara. Padahal raja kami,
dikatakan kepada kami sewaktu pulang dari tempat ini putri kalian menerima
anak kami. Bah, sungguh senang hati mendengar. Sekarangpun raja kami, dia
sudah diterima anak perempuan kalian anak kami, betapa baiknya kalian,
menerima anak kami menjadi anak kalian jika dengan perbuatan kami raja kami
tidak ada keberanian menjumpai kalian karena kekurangan, tidak ada yang bisa
kami andalkan.Walaupun begitu raja kami sampai disini bisa kami sampaikan,
kamipun yakin kepada kalian tidak ada yang kami perbuat yang tidak kami
sanggup. Demikianlah yang bisa kami sampaikan raja kami. Terima kasih”.
Parboru : “Olo amang, raja ni parboruon, las do roha nami umbege hata
muna i. Hami pe antong dipangido roha nami do, asa domu namarongkap. Jadi
taringot dibere nami, nungnga nauli i, on pe lae sai rongkap ni boru nami ma
bere i, rongkap na gabe, rongkap na mamora, rongkap na saur matua. Jadi nang
didok hamu n aso adong be di hamu, bangko ni hata doi sidohonon. On pe lae,
raja ni parboruon , torop ma parade hamu angka dorbia i dohot sihumisik i.
Butima raja ni boru, mauliate”.
Pihak Perempuan : “iya bapak raja parboruon kami, kami pun senang
mendengar yang kalian bilang. Kami pun berharap, agar mempersatukan yang
berjodoh. Jadi mengenai calon menantu laki-laki kami, sudah keputusan yang
Universitas Sumatera Utara
42
baik, semoga anak kita berjodoh, jodoh yang sejahtera, jodoh yang kaya, jodoh
sehidup semati. Jadi walaupun kalian berkata kalian tidak memiliki apapun,
memang harus diucapkan untuk basa basi. Maka inipun lae, raja parboruon, untuk
itu sediakan kalianlah uang dan hewan yang banyak. Demikianlah raja boru
kami, terima kasih”.
Paranak : Mauliate raja nami, raja ni hula-hula! Marsomba ujung hami,
marsomba huhuasi tu tua dohot tu sahala muna. Tutu do raja nami, ianggo ala
sangap muna dohot balga ni partubu muna, na patut do hamu manjalo angka na
nigoaran munai. Jala tutu do nang nanidok muna taringot tu hamoraon ni
ompunta na jolo, alai habis doi sude na laho pasingkolahon bere muna. Tung
adong pasipasina nuaeng, ndada na tarhatahon be i, ai mampar do nuaeng sude
i di padang bolak. Alai ala huboto hami ndada pola guru di sinamot hamu hula-
hula nami. Ido raja nami, umbahen na barani hami mandapothon hamu. On pe
raja nami, sai unang paurak hamu hami dipogos namion. Ai hami pe nian raja
nami, sai naeng do nian mangalehon na godang, asa sangap iba berengon ni
dongan, ai sangap do na ni alap, sangap na tinaruhon songon silindung na uli.
Alai hansit do tangan mandanggurhon na soada. On pe raja nami, tung padauk
hamu ma sian i. Buhul hamu ma si boanon nami. Butima raja nami, mauliate”.
Pihak laki-laki : “Terima kasih raja kami. Rajanya hula-hula! kami
memohon bersama dengan yang telah mendahului kita. Betulnya raja kami, kalau
berdasarkan kehormatan yang kalian miliki dan nama baik yang kalian miliki.
Memang kalian pantas menerima semua yang kalian sebutkan tadi. Dan betul
juga yang kalian katakan mengenai kekayaan nenek moyang kami dahulu,
segalanya telah habis untuk menyekolahkan calon menantu kalian.Walau ada
halangan, tidak terkatakan lagi semua telah terbagikan luas. Tapi apa yang kami
ketahui guru di mahar kalian hula-hula kami. Iya raja kami, teringat dengan
keberanian kami menjumpai kalian. Ini tuan jangan lihat kami dari kekurangan
ini, kamipun raja kami, ingin memberikan banyak, supaya kami terhormat
dilihat oleh sesama, karena yang kami terima adalah kehormatan atau baik yang
kami antarkan seperti berkat yang melimpah. Karena sakit tangan melempar yang
tidak ada. Ini pun raja kami, walaupun itu terimalah. Terima kalianlah dari apa
yang kami bawa. Demikianlah raja kami, terima kasih”.
Parboru :”Tangihon hamu ma, asa diboto hamu godang ni sinamot jadi
pasahat hamu ma godang ni sinamot Rp....... Butima, mauliate”.
Pihak Perempuan :“Kalian dengarkanlah, supaya kalian ketahui
banyaknya mahar jadi kalian sampaikanlah banyaknya mahar
Rp…….Demikianlah, terima kasih”.
Paranak :”Dago raja nami, pintor tarsonggot do iba dibahen hamu, ba
sian diama uhalan na sai godang. Alai hudok pe songoni, torop do dison haha
anggi dohot boru nami. Hamu angka haha doli dohot anggi doli, nungnga dibege
Universitas Sumatera Utara
43
hamu hata ni hula-hulanta namangido sinamot Rp......., beha pandok ta taringot
tusi?”.
Pihak Laki-laki : “ Astaga raja kami, saya langsung tersentak dengan
perkataan kalian, dari mana dicari sebanyak itu. Tapi kukatakan seperti itu
banyak disini adik ipar beserta anak perempuan kami. Untuk kalian paman dan
bibi sudah kalian dengarkan pembicaraan hula-hula meminta mahar Rp……, apa
pendapat kalian mengenai hal itu?”.
-Dongan tubu, hula-hula serta boru dari kedua belah pihak yang diutus
untuk menghadiri adalah kaum raja (laki-laki). Hal ini terjadi karena peran
status sosial yang mengutamakan laki-laki sebagai utusan untuk terlibat
dalam marhata sinamot.
-Selain itu bentuk dominasi ini dibuktikan juga saat berbicara didominasi
laki-laki, biasanya kaum perempuan hanya sebagai pelengkap dan
mendengar acara selama berlangsung seperti yang terlihat pada gambar
berikut.
Berdasarkan teks di atas maka domimnasi dimiliki laki-laki, pada saat
marhata sinamot adanya percakapa tawar menawar sinamot yang pada saat
sekarang identik dengan “tuhor” yang artinya uang adalah tolak ukur untuk
perempuan Batak Toba yang akan dinikahkan. Semakin besar sinamot yang
diterima semakin bangga pihak yang menerima, sehingga terjadi peregeseran
makna sinamot dalam prakteknya.
Universitas Sumatera Utara
44
Gambar 5.Pada saat menyerahkan sejumlah uang yang disebut sinamot sinamot
yang didominasi laki-laki. Dok. Fitri Mega Simbolon, 20 Oktober 2019.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan marhata sinamot, maka ditemukan
faktor penyebab dominasi sebagai berikut :
-Faktor ekonomi, dalam faktor ekonomi laki-laki mendominasi karena
dalam tahapan ini laki-laki harus mampu membeli perempuan, dimana
perempuan kembali terdiskriminasi karena adanya tolak ukur untuk harga
diri perempuan etnik Batak dibuktikan pada saat laki-laki dituntut harus
bisa memberi sinamot yang besar kepada perempuan, apalagi jika
perempuan sudah memiliki pekerjaan yang baik, pendidikan yang tinggi
dan berasal dari keluarga yang mampu.
Universitas Sumatera Utara
45
-Faktor zaman dan gaya hidup sekarang, dimana pada saat sekarang
pernikahan lebih mengutamakan gaya hidup dan zaman sangat
mempengaruhi budaya dimana ulaon parbogason dituntut harus mewah,
dan modern dan melupakan makna sakralnya. Selain itu bergesernya
makna sinamot dibuktikan berdasarkan sinamot menjadi tuhor, sehingga
adanya tawar menawar untuk perempuan, karena saat sekarang sudah ada
tolak ukur seorang perempuan etnik Batak Toba yaitu dengan
-Faktor zaman dan lingkungan dibuktikan berdasarkan pergeseran makna
sinamot pada zaman dulu dan sekarang sebagai berikut :
Marhata sinamot, apa yang ada dibayangan kita saat sekarang jika
mendengar kata sinamot. Agar kita tidak salah paham dengan makna
sinamot,maka berdasarkan hasil penelitian dan wawancara peneliti terhadap
informan maka peneliti akan mendeskripsikan makna sinamot yang sudah
mengalami pergeseran dan perubahan makna.
Marhata Sinamot yaitu membicarakan jumlah uang yang akan diserahkan
keluarga laki-laki (paranak) kepada keluarga perempuan (parboru) untuk biaya
ulaon parbogason. Apabila ulaon parbogason dilaksanakan di tempat orangtua
perempuan (parboru) yang istilah adat disebut dialap jual, maka jumlah sinamot
akan lebih dibandingkan dengan apabila ulaon parbogason dilaksanakan di
tempat orangtua si laki-laki (paranak) yang istilah adatnya dialap jual.
Pada saat akan menikahkan anak perempuan, sinamot ni boru selalu
dibicarakan dan yang menerima adalah parboru. Dalam tradisi adat ulaon
parbogason saat sekarang jika mendengar kata sinamot adalah berapa banyak
Universitas Sumatera Utara
46
uang yang akan diterima pihak parboru atau orangtua si perempuan atau istilah
yang sering digunakan saat sekarang dalam bahasa modernnya mahar ( tuhor ni
boru). Mereka melakukan kalkulasi, membeli pakaian, perhiasan, membeli ulos,
membeli ikan (dengke), biaya transportasi khususnya yang di bona pasogit.
Semuanya itu dikatakan sinamot ni boru.
Pada tradisi etnik Batak Toba lama, setiap anak perempuan yang hendak
dinikahkan harus dijamin hidupnya kelak setelah menjadi “pardihuta” bagi
suaminya dihadapan mertuanya. Jaminan itu diberi dalam bentuk berapa besar
dari harta calon mertuanya itu yang menjadi bagian si perempuan yang akan
dinikahkan tersebut. Istilah ini disebut manggoli, ada batasan yang sudah jelas
yang kelak akan menjadi Panjaean. Jaminan hidup yang akan diberikan tersebut
kepada si perempuan berupa harta benda yang terdiri dari, ruma, sopo,emas, gong,
sawah, ternak yang terdiri dari kerbau, kuda, ataupun sapi. Inilah yang disebut
sinamot. Sinamot itu adalah harta benda yang diberikan pihak laki-laki kepada
calon menantu (parumaen) sebagai jaminan hidup si perempuan setelah menikah
dengan anak laki-laki mereka dengan demikian kesejahteraan hidup si perempuan
sudah bisa dijamin oleh pihak orangtua si perempuan (parboru).
Manggoli sinamot tujuannya agar kelak tidak terjadi konflik diantara
keturunan paranak. Inilah yang kemudian ditinjau kembali oleh pihak orangtua
perempuan (paranak) saat pelaksanaan tingkir tataring, pada saat orangtua laki-
laki (paranak) malaksanakan acara pajaehon (memandirikan) pasangan tersebut
Pada saat manggoli sinamot raja parhata dengan tegas melakukan permintaan
kejelasan akan sinamot ni boru, beberapa dari jenis harta yang biasa dalam
Universitas Sumatera Utara
47
pembagian hak waris. Salah satu contoh dari kedua bela pihak keluarga yang
memiliki harta benda yang lengkap. Pihak laki-laki (paranak) menjawab
permintaan pihak perempuan (parboru) :
“Nauli rajanami, ianggo sinamot ni borumu, rade ma sada ruma,
saparinaan horbo, sandangka mas, dua turpuk hauma saba, jala bagianna ma
porlak sisoding. Ba mamuhai tataringna ba rade ma 200 ampang eme”.
“Baiklah raja kami, yang akan menjadi bagian mereka kelak ada satu rumah,
sepasang kerbau, seuntai emas, dua petak sawah, dan kebun. Untuk memulai
kemandirian mereka dalam membangun rumahtangga akan diberikan 200 kaleng
padi”.
Setelah ini disepakati, barulah pihak perempuan (parboru) menanyakan
“adat marama”. Ini merupakan tanda penghormatan dan penghargaan kepada
orangtua si perempuan yang membesarkan, membimbing, menyekolahkan, dan
merawat si perempuan hingga dewasa. Hal ini dikaitkan dengan istilah “pagopas
panoguna” memperkuat upaya menarik hati. Dalam bahasa adat yang sering
digunakan disebut “somba maruhum”. Dalam tradisi lama seperti contoh diatas,
pihak laki-laki (paranak) menjanjikan satu ekor kerbau sebagai somba ni uhum.
Kerbau ini diantarkan ke kampung halaman perempuan (parboru) pada waktu
yang sudah ditentukan atau sepakati.
Seperti yang telah dijelaskan diatas dalam tahapan marhata sinamot begitu
berharganya perempuan pada saat akan dinikahkan dengan jaminan kesejahteraan
hidup berumah tangga yang akan dijalaninya begitu nyata. Berbeda dengan fakta
saat sekarang, setelah mengalami pergeseran makna manggoli sinamot sebagai
jaminan hak perempuan di depan suaminya. Melulu membahas materi yang akan
diterima parboru. Kesannya seperti mahar dan yang menyatakan seperti itu.
Pemahaman pergeseran itu berangsur sejak pihak paranak menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
48
kerbau, sawah, emas, semua sudah dijual untuk menyekolahkan borunya dan
itulah (ilmu pengetahuan, pendidikan, pekerjaan) kelak menjadi panjaean bagi
mereka. Semakin jauh makna sinamot ditinggalkan karena faktor zaman yang
semakin canggih maka berlakulah tradisi ”langsung” saja.
-Status sosial dan gaya hidup. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan status
sosial hasil penelitian, pada saat marhata sinamot yang berbicara
didominasi oleh raja-raja (laki-laki), peran dan posisi perempuan
termarginalkan dimana perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap dan
memiliki hak bicara yang sangat terbatas dan dianggap lebih pantas di dapur
atau sekedar pendengar saja.
Adapun unsur yang menghadiri tahapan marhata sinamot yaitu unsur dalihan na
tolu dari kedua belah pihak. Tempat pelaksanaan marhata sinamot di rumah pihak
perempuan.
4.1.5 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Pudun Saut
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan pudun
saut dibuktikan pada gambar 6 dan 7 sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
49
Gambar 6. Pada saat laki-laki menyematkan cincin ke tangan perempuan. Dok.
Fitri Mega Simbolon, 06 September 2019.
Gambar 7. Pengurus gereja yang didominasi laki-laki. Dok.
Anggiatsendy.wordpress.com.
-Bentuk dominasi yang terdapat pada tahapan pudun saut yakni patriarki hal ini
dibuktikan pada saat berlangsung acara yang pertama sekali menyampaikan
kebulatan hati adalah laki-laki kepada perempuan. Dalam hal ini yang harus
berperan aktif didominasi laki-laki.
-Pada saat bertukar cincin yang pertama sekali menyamatkan cincin adalah
laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya kebiasaan masyarakat yang memulai
harus laki-laki.
-Pada saat acara pudun saut berlangsung di gereja, pendeta, guru huria, atau
sintua dominan laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya ajaran pemimpin harus
laki-laki dan perempuan hanya sebagai pelengkap.
Universitas Sumatera Utara
50
Adapun unsur yang menghadiri acara marpudun saut ini ialah dongan sahuta,
boru/bere, dongan tubu, dan hula-hula dari kedua belah pihak. Tempat
pelaksanaan pudun saut di tempat pihak perempuan.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan pudun saut, berdasarkan hasil
penelitian ditemukan faktor penyebab dominasi sebagai berikut :
-Faktor patriarki. Faktor patriarki adalah dimana pemegang kekuasaan
terbesar adalah laki-laki dan yang berhak memulai adalah laki-laki,
perempuan akan mengikuti setelah laki-laki.
-Faktor agama (religi) yaitu adanya ajaran agama perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin, karena perempuan dianggap lemah lembut, kurang
tegas, pasif, sementara seorang pemimpin harus pemberani, tegas dan
aktif.
4.1.6 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Martonggo raja
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
martonggo raja didominasi laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
51
Gambar 8. Martonggo raja yang dihadiri raja-raja. Dok. Fitri Mega Simbolon, 07
Oktober 2019.
Berdasarkan gambar 8 dominasi dimiliki laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
-Tonggo raja dari istilahnya juga sudah dapat disimpulkan bahwa yang
berperan dalam tahapan ini adalah laki-laki. Keseluruhan acara akan
dipandu oleh raja-raja (laki-laki). Acara ini dihadiri oleh dongan tubu,
boru/bere dan dongan sahuta masing-masing. Gambar berikut adalah pada
saat martonggo raja dan yang hadir dominan laki-laki.
Berikut teks dialog pada saat martonggo raja yang membuktikan dominasi :
Suhut : “Dihamu na manghaholongi hami, dongan tubu nami, boru/bere nami,
dohot dongan sahuta nami. Tapuji ma Tuhanta ala buha roha muna mangoloi
gokhon nami, hipas hamu ro, hipas hami didapot hamu saluhutna”.
Penyelenggara upacara adat : “Untuk kalian yang mengasihi kami, teman
semarga, anak perempuan dan keponakan kami, teman sekampung kami. Kita puji
lah Tuhan karena kalian bersedia menghadiri panggilan kami, sehat kalian
datang, sehat kami kalian jumpa. Terima kasih untuk kalian semua”.
Haha doli/anggi doli : “Mauliate ma tutu di Tuhanta. Hipas hami na ro, hipas
hamu hu dapot hami. Dos ma rohanta, jolo marsipanganon ma hita asa tapungka
panghataion ta”.
Abang/adik laki-laki : ”Terima kasih kepada Tuhan. sehat kami yang datang,
sehat kalian kami jumpa. Sepakatlah kita, makan dulu kemudian kita mulai
pembicaraan kita”.
Boru/bere : ”Dihamu hula-hula nami! Mauliatema di hamu ala dipatama hamu
hami mangalehon pandapot di tingki on. Taringot tu panghobasion dohot tu
pangulahon ni pesta unjuk nanaeng ro, hami boru dohot bere rade ma hami
manjalo ulaon na hombar tu hami boru dohot bere. Butima”.
Universitas Sumatera Utara
52
Boru/bere :” Untuk kalian hula-hula kami! terima kasih untuk kalian karena sudah
diberi kesempatan kepada kami untuk memberi saran kami pada saat ini.
Mengenai persiapan dan mengerjakan upacara adat yang akan datang , kami boru
dan bere bersedia menerima tugas yang diberikan kepada kami. Demikianlah”.
Dongan sahuta :”Horas ma jala gabe! Taringot tu ulaon unjuk nanaeng
patupaonta ditingki nanaeng ro on, hami sian dongan sahuta rade ma
mangulahon ulaon na hombar tu dongan sahuta. Songonima hata sian hami”.
Teman sekampung : “ Horas dan salam sejahtera! Mengenai upacara adat yang
akan kita adakan diwaktu yang akan datang ini, kami dari teman sekampung
bersedia mengerjakan tugas kami sesuai tugas teman sekampung. Demikianlah
pendapat dari kami”.
Dongan tubu : “ Mauliatema di Tuhanta. Mauliatema di haradeon ni roha muna
saluhutna. Di na laho manghobasi ulaon unjuk di tingki nanaeng ro, hita na
mardongan tubu rade ma jala marnatampak ma hita. Siulaon na hombar tu gogo
dohot hadirionta talehon ma. Porlu taingot denggan ulaon on denggan ni hita
namardongan tubu do,alai molo adong nahurang ni ulaon on, goar ni marganta
do diehet halak. Alani I ta hatai ma sada-sada jala unang adong tarlupahon.
Butima”.
Teman semarga :” Terima kasih kepada Tuhan kita. Terima kasih untuk
kesediaan kalian semua. Untuk mempersiapkan upacara adat di waktu yang akan
datang, kita teman semarga bersedialah kita membantu. Segala persiapan sesuai
kemampuan dan kehadiran kita berikan. Perlu kita ingat bersama, jika pesta ini
berjalan baik, maka itu baik untuk kita, tapi apabila ada yang kurang upacara adat
ini, nama m arga kita yang akan di ejek orang. Karena itu mari kita bahas satu
persatu dan jangan sampai ada yang terlupakan. demikianlah”.
Adapun unsur yang menghadiri tonggo raja adalah dongan sahuta, boru/bere dan
dongan tubu.
Tempat pelaksanaan tonggo raja ialah di rumah kedua belah pihak suhut
(penyelenggara upacara adat).
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan martonggo raja ditemukan
faktor penyebab dominasi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
53
-Faktor patrinieal yaitu yang mengatur alur keturunan dari pihak ayah.
dibuktikan yang menghadiri tonggo raja adalah dongan tubu suhut yang
artinya kelompok satu marga penyelenggara ulaon.
-Faktor patriarki dibuktikan dalam tahapan martonggo raja peran dan posisi
perempuan atau ibu-ibu termarginalkan, dan identik di dapur untuk
mempersiapkan minum, dan makan raja-raja. Dalam hal ini, laki-laki
memiliki otoritas terhadap perempuan sebagai pelayan (parhobas).
-Faktor Status sosial, pada tahapan ini yang menghadiri acara adalah dongan
tubu, dongan sahuta dan boru dari kedua belah pihak. Berdasarkan
kedudukan sosial maka dongan tubu memiliki kedudukan lebih dominan
mengatur berjalannya acara, begitu juga dongan huta memiliki peran
penting untuk kelancaran acara, dan peran boru adalah marhobas
(memasak, melayani).
4.1.7 Bentuk dan Faktor dominasi pada tahapan Manjalo pasu-pasu
parbogason.
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan manjalo
pasu-pasu parbogason didominasi laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
54
Gambar 9. Pemimpin gereja yang didominasi laki-laki. Dok. pptsbjambi.com.
-Pemberkatan janji suci pernikahan di gereja didominan oleh laki-laki
seperti, pastor, pendeta, penghulu meskipun ada beberapa pendeta
perempuan, namun secara umum laki-laki lebih dominam menjadi
pemimpim agama. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah saat
seorang pendeta memimpin pasu-pasu parbogason.
-Pada saat laki-laki dan perempuan sudah sah diberkati dan menjadi
sepasang suami istri, maka perempuan secara otomatis mengikuti garis
keturunan suaminya.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan manjalo pasu-pasu parbogason
ditemukan faktor dominasi tersebut sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
55
-Faktor Agama (religi), pada dasarnya pemimpin agama dominan laki-laki
karena secara umum agama mengajarkan peran dan posisi tertinggi untuk
memimpin adalah laki-laki.
-Faktor patrineal, dibuktikan jika kedua mempelai sudah sah menerima
pasu-pasu parbogason keturunan merekapun akan mengikuti garis keturun
laki-laki.
-Faktor lingkungan, dibuktikan berdasarkan lingkungan selalu mengajarkan
laki-laki harus mampu memimpin, berperen aktif, pemberani, dan
sebaliknya perempuan dituntut untuk bersikap lemah lembut, penyayang,
pasif. Maka muncullah stigma perempuan tidak dapat menjadi pemimpin
yang baik.
Adapun unsur yang menghadiri manjalo pasu-pasu parbogason yaitu unsur
dalihan na tolu dari kedua belah pihak yang mengadakan upacara adat.
Tempat pelaksanaan manjalo pasu-pasu parbogason yaitu di gereja pengantin
laki-laki.\
4.1.8 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Ulaon Unjuk
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
ulaon unjuk didominasi laki-laki dibuktikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
56
-Pada saat pelaksanaan ulaon unjuk (acara adat) yang menjadi suhut (tuan
rumah) di tempat pihak laki-laki, hal ini disepakati karena adanya budaya
yang sudah diterapkan di lingkungan etnik Batak Toba.
Selama ulaon unjuk berlangsung yang dipercaya memimpin ulaon unjuk (upacara
adat) adalah raja parhata, membawakan doa, mandok hata didominasi laki-laki.
Hal ini terjadi karena laki-laki dianggap lebih didengarkan untuk berbicara
dan lebih memahami adat. Berikut bukti dominasi laki-laki pada saat
penyampaian tudu-tudu ni sipanganon :
“Di hamu raja ni hula-hula nami! Dison ro do hami parboruon muna
pasahat tudu-tudu ni sipanganon somba ni roha nami tu hamu hula-hula nami .
Tung songonipe raja nami sipanganon na hupasahat hami on, sai pamuras ma i
tu daging saudara tu bohi, sipalomak imbulu sipaneang holi-holi. Las ma roha
muna raja nami manjalo”.
“Untuk yang kami hormati raja hula-hula kami ! Disini kami datang
parboruon kalian untuk menyampaikan tudu-tudu ni sipanganon (bagian-
bagian tertentu hewan sembelih yang diletakkan di tengah-tengah sebagai simbol
penghormatan hasuhuton kepada undangannya khususnya hula-hula), sebagai
tanda penghormatan kami untuk kalian hula-hula kami. Walaupun begini
makanan yang bisa kami sampaikan raja kami, supaya penyegarlah itu ke badan
dan membuat wajah berseri, serta meringankan langkah. Berkenanlah kalian raja
kami menerimanya“. Lalu bersalaman yang menyarahkan dan yang menerima
tudu-tudu ni sipanganon.
Universitas Sumatera Utara
57
Gambar 10. Pasahat tudu-tudu ni sipanganon yang didominasi laki-laki.
Dok.Tobato.com.
“Di hamu parboruan nami ! Dison ro do hami pasahat dengke simudur-udur,
dengke sitio-tio, songon tanda patuduhon las ni roha nami manjalo na
pinasahat muna dohot manjalo haroro muna parboruon nami. Sai mudur-udur
ma hamu dohot angka pomparanmu tu dolok tu toruan, jala huhut sai mandapot
mual natio. Songoni pe na hupasahat hami on raja ni parboruon, las ma roha
muna manjalo”.
“Untuk kalian parboruon kami! Disini kami datang untuk menyampaikan
dengke simudur-udur (ikan yang diberikan pihak hula-hula atau tulang
secara tersusun dengan bilangan ganjil), dengke sitio-tio, sebagai tanda rasa
bahagia dan syukur kami menerima apa yang sudah kalian berikan kepada
kami dan sebagai tanda menerima kedatangan kalian parboruon kami. Semoga
kalian kompak dan sejahtera bersama keturunan kalian baik ke atas dan kebawah,
dan semoga selalu mendapat rezeki yang banyak. Beginipun yang dapat kami
sampaikan raja parboruon kami, berkenanlah kalian menerimanya.
-Pada saat manggarar adat, meskipun yang hadir istri namun nama yang
digunakan atau marga yang dibawakan adalah marga suaminya. Hal ini
terjadi karena perempuan sudah mengikuti marga laki-laki.
-Pada saat memberikan dengke simudur-udur. Kemudian raja parhata
parboru (protokol) menyuruh boru suhut parboru membawa dengke yang
akan diserahkan kepada paranak. Suhut parboru akan menuju meja tempat
dengke yang akan diserahkan, dan akan berhadap-hadapan dan sama-sama
memegang pinggan ni dengke. Kemudian ketua parsadaan marga parboru,
atau seseorang yang ditugasi untuk itu berkata :
Universitas Sumatera Utara
58
Gambar 11 . pasahat dengke simudur-udur, internet gramho.com.
“Di hamu parboruan nami ! Dison ro do hami pasahat dengke simudur-
udur, dengke sitio-tio, songon tanda patuduhon las ni roha nami manjalo na
pinasahat muna dohot manjalo haroro muna parboruon nami. Sai mudur-udur
ma hamu dohot angka pomparanmu tu dolok tu toruan, jala huhut sai mandapot
mual natio. Songoni pe na hupasahat hami on raja ni parboruon, las ma roha
muna manjalo”.
“Untuk kalian parboruon kami! Disini kami datang untuk menyampaikan
dengke simudur-udur (ikan yang diberikan pihak hula-hula atau tulang secara
tersusun dengan bilangan ganjil), dengke sitio-tio, sebagai tanda rasa bahagia dan
syukur kami menerima apa yang sudah kalian berikan kepada kami dan sebagai
tanda menerima kedatangan kalian parboruon kami. Semoga kalian kompak
dan sejahtera bersama keturunan kalian baik ke atas dan kebawah, dan semoga
selalu mendapat rezeki yang banyak. Beginipun yang dapat kami sampaikan raja
parboruon kami, berkenanlah kalian menerimanya”.
Universitas Sumatera Utara
59
Gambar 12. Pasahat dengke simudur-udur kepada pengantin didominasi laki-laki.
Dok. Fitri Mega Simbolon, tanggal 20 Oktober 2019.
- Pada saat pembagian jambar, yang membagikan jambar ialah laki-laki,
karena yang dipercaya untuk pembagian jambar ini ialah laki-laki dan sudah
tugas laki-laki. Berikut adalah gambar pada saat pembagian jambar yang
didominasi laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
60
Gambar 13 . Mambagi Jambar, Dok : Fitri Mega Simbolon, 05 Juli 2020
-Gondang atau musik yang digunakan pada saat ulaon unjuk, untuk yang
membawakan alat musik tersebut adalah laki-laki. Karena lingkungan
mengajarkan untuk yang pantas memainkan gondang atau alat music pada
saat upacara adat adalah laki-laki.
Gambar 14. Pargossi, Dok. Fitri Mega Simbolon, 05 Juli 2020.
-Pada saat memberikan ulos yang dominan mandok hata di awal adalah
laki-laki (suami) kemudian di ikuti perempuan (istri), dibuktikan
berdasarkan gambar berikut : Gambar pada saat pihak perempuan ( parboru)
menyerahkan ulos pansamot kepada pihak laki-laki (paranak) yang
didominasi laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
61
Gambar 15. Pasahat ulos pansamot, mhs.blog.ui.ac.id.
Gambar 16. Pasahat ulos hela, Dok. Fitri Mega Simbolon, 20 Oktober 2019.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi pada tahapan ulaon unjuk maka ditemukan faktor
penyebab dominasi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
62
-Faktor patrineal dibuktikan pada saat pelaksanaan ulaon unjuk yang
diselenggarakan di tempat pihak laki-laki. Selain itu perempuan sudah sah
mengikuti identitas marga suaminya mulai hari itu juga.
-Faktor Patriarki, dibuktikan selama upacara adat berlangsung kendalini
dipegang penuh oleh laki-laki, mulai dari raja parhata, pemain musik,
mandok hata, manggarar adat, mambagi jambar.
-Faktor sosial ekonomi, dibuktikan pada saat ulaon unjuk berlangsung maka
kemewahan upacara adat akan dilihat, gedung yang digunakan, makanan
yang dihidangkan dan pakaian yang digunakan, para tamu yang menghadiri
upacara adat.
Adapun unsur yang menghadiri ulaon unjuk yaitu unsur dalihan na tolu kedua
belah pihak, dongan sahuta beserta rekan kerja yang mengadakan upacara adat.
Tempat pelaksanaan upacara adat di tempat pihak laki-laki.
4.1.9 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Dialap Jual
a) Bentuk dominasi
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
dialap jual dibuktikan sebagai berikut :
-Dialap jual artinya jika upacara adat unjuk ulaon parbogason
diselenggarakan i rumah pengantin perempuan, maka dilaksanakanlah acara
membawa pengantin perempuan ke tempat mempelai laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
63
-Dalam adat dialap jual pihak paranak akan datang pagi hari ke rumah
parboru menjemput calon pengantin perempuan, untuk selanjutnya diiringi
ke gereja menerima pemberkatan. Hal ini membuktikan peran didominasi
laki-laki.
-Dan kunjungan ke tempat parboru setelah ulaon unjuk disebut mebat. Pada
acara dialap jual inilah pihak parboru secara total terpenuhi haknya dalam
adat dan istilah yang digunakan disebut naniambangan.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi maka ditemukan faktor penyebab dominasi,
dibuktikan sebagai faktor patrineal dibuktikan pada saat laki-laki menjemput
perempuan, menunjukkan perempuan akan mengikut suami dan keturunannya
akan mengikuti garis marga laki-laki.
Adapun unsur yang menghadiri upacara adat dialap jual dialap jual yaitu unsur
dalihan na tolu dari kedua belah pihak penyelenggara upacara adat.
Tempat pelaksanaan upacara adat dialap jual yaitu tempat pihak perempuan,
kemudiaan dilanjutakan acara pemberkatan nikah ke gereja.
4.1.10 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Ditaruhon Jual
a) Bentuk dominasi
Berdasarkan hasil penelitian pada tahapan ini ditemukan bentuk dominasi pada
tahapan ditaruhon jual dibuktikan sebagai Ulaon Unjuk (upacara adat)
Universitas Sumatera Utara
64
diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki jika upacara adat unjuk ulaon
parbogason diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki. Pada tahapan upacara
adat inilah pihak parboru tidak terpenuhi haknya dalam adat karena mungkin tata
cara adat dan parjambaron tidak sesuai dengan kebiasaan mereka. Mereka harus
mengikuti hukum adat marsolup dihundulan. Bagaimana tata cara adat dan
parjambaron di pihak paranak itulah yang akan mereka terima. Maka kunjungan
ke tempat parboru setelah pelaksanaan ulaon unjuk disebut dengan istilah paulak
une. Semua kekurangan dan yang belum terpenuhi saat ulaon unjuk, maka pada
saat inilah kesempatan yang tepat untuk memenuhi. Namun saat sekarang tahapan
uapacara adat ini sudah sangat langka dilaksanakan dan hanya dilaksanakan dalam
beberapa daerah tertentu. Hal ini terjadi karena perubahan zaman, di mana saat
sekarang lebih banyak pengantin laki-laki dan perempuan ingin acara lebih
sederhana.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan bentuk dominasi maka ditemukan faktor dominasi pada
tahapan dialap jual dibuktikan sebagai berikut :
-Faktor Patriarki dibuktikan pada saat pemegang kekuasaan terbesar berada
di pihak laki-laki.
-Faktor perubahan zaman dibuktikan pada saat pelaksanaan tahapan upacara
adat ditaruhon jual sudah tidak dilaksanakan disebagian besar daerah etnik
Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
65
Adapun unsur yang menghadiri ditaruhon jual yaitu unsur dalihan na tolu
dari kedua belah pihak penyelenggara upacara adat.
Tempat pelaksanaan upacara adat ditaruhon jual yaitu di tempat pihak laki-
laki.
1.4.11 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Paulak Une
a) Bentuk dominasi
Berdasarkan penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan paulak une
dibuktikan sebagai berikut :
-Pada tahapan ini sebagai langkah untuk kedua belah pihak bebas saling
berkunjung setelah beberapa hari berselang upacara adat ulaon parbogason
yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara adat ulaon
parbogason. Pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin
mengunjungi rumah pihak orangtua pengantin perempuan. Setelah selesai
acara paulak une, paranak kembali kerumahnya dan selanjutnya memulai
hidup baru. Namun pada saat sekarang paulak une mengalami pergeseran
makna, ini sangat bertentangan dengan paham para pakar budaya Batak.
Dimana saat sekarang, banyak mengatakan bahwa paulak une itu sebagai
solusi mengembalikan pengantin wanita yang sudah tidak perawan lagi.
b) Faktor Dominasi
Berdasarkan hasil bentuk dominasi maka ditemukan faktor penyebab
dominasi dibuktikan sebagai faktor lingkungan dan zaman dibuktikan pada
Universitas Sumatera Utara
66
pergeseran makna paulak une. Dalam hal ini perempuan lagi-lagi mengalami
pendiskriminasian dimana tolak ukur seorang perempuan kembali dipertaruhkan
dengan sebatas keperawananan. Mereka mengartikan paulak une itu dengan
mengembalikan ”manusia” dengan baik. Secara adat ini tidak ada dalam ajaran
budaya etnik Batak Toba. Namun, hal ini terjadi karena adanya kesalahpahaman
dalam menerapkan budaya tersebut dan kemudian diamini oleh masyarakat itu
sendiri sehingga terjadi penyimpangan dan pergeseran makna. Kata sirang
memang ada dalam etnik Batak Toba dulu tapi adalah pago sirang bukan paulak
une.
Adapun unsur yang menghadiri upacara adat ini yaitu unsur dalihan na tolu
dari kedua belah pihak penyelenggara upacara adat.
Tempat pelaksanaan paulak une pihak laki-laki berkunjung ke rumah pihak
perempuan.
1.4.12 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Manjae
a) Bentuk Dominasi
Berdasarkan hasil penelitian maka ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
manjae. Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani
hidup berumah tangga maka mereka akan dipajae yaitu mereka akan mandiri
dimana mata pencaharian dan rumah mereka sudah dipisah. Mereka menjadi
keluarga baru yang mandiri, akan mengelola semua sinamot yang sudah dijanjikan
sebelumnya. Namun manjae bisa saja tetap dalam satu rumah dengan mertuanya
tapi jelas pemisahannya dengan istilah marhudon panjaean martalag olat-olat.
Universitas Sumatera Utara
67
Dalam tahapan acara adat ulaon parbogason ini langkah parboru disebut dengan
istilah tingkir tataring. Pada saat itu parboru dapat menyaksikan semua sinamot
ni boru itu dalam bentuk nyata. Jika kerbau dapat dilihat dan disentuh, jika sawah
dapat dipijak, kebun juga disaksikan dengan mata sendiri, begitu juga dengan
emas juga diperlihatkan dan ditimbang. Hal ini mempertegas bahwa tidak ada lagi
silang sengketa kelak diantara para menantunya yang bersaudara, karena sudah
disaksikan sendiri dengan pengetua dan kerabat dekat kedua kedua belah pihak.
Dalam tahap ini ada juga istilah pauseang, ini merupakan penegasan bahwa bila
parboru menuntut hak waris anaknya yang disebut panjaean, dia juga
berkewajiban untuk memberikan hak waris kepada borunya yang disebut
pauseang.
Adapun unsur yang menghadiri upacara adat manjae orangtua kedua belah pihak,
kerabat dekat kedua belah pihak.
1.4.13 Bentuk dan Faktor Dominasi pada tahapan Maningkir Tangga
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk dominasi pada tahapan
maningkir tangga dominasi laki-laki dibuktikan sebagai acara adat maningkir
tangga ialah dimana pihak parboru datang berkunjung ke rumah paranak untuk
melihat keadaan boru mereka. Apakah boru mereka diperlakukan sebaik mungkin
seperti harapan mereka, maka pada saat maningkir tangga mereka dapat
menyaksikan secara langsung kondisi kesehatan borunya. Pada kesempatan ini
pulalah parboru dengan leluasa memberikan nasehat kepada boru dan hela
mereka.
Universitas Sumatera Utara
68
4.2 Dampak Dominasi dalam Ulaon Parbogason etnik Batak Toba
Berdasarkan bentuk dan faktor dominasi feminisme yang ditemukan dalam
tahapan ulaon parbogason hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan
ideologi dan pandangan terhadap penyetaraan gender atau kedudukan dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba, adalah sebagai berikut :
a. Dampak budaya patriarki etnik Batak Toba, peran dan kedudukan perempuan
termarginalkan adanya pengutamaan laki-laki dalam “manggarar” (laki-laki
yang membayar) adat sedangkan perempuan hanyalah sebagai pelengkap
dalam acara adat pada suatu acara adat di etnik Batak Toba. Karena laki-laki
merupakan pembawa identitas bagi etnik Batak Toba.
b. Sistem Dalihan Na Tolu pada Etnik Batak Toba, sistem ini tidak lepas dari
sistem patriarki, dimana perempuan menjadi kelompok inferior dan laki-laki
sebagai kelompok superior. Kedudukan perempuan dalam dalihan na tolu
hanya sebagai objek sedangkan laki-laki menjadi subjek. Kadudukan setiap
orang dalam dalihan na tolu ditentukan oleh laki-laki dan perempuan hanya
sebagai pelengkap laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan bagaimana kekuasaan
laki-laki dalam mengatur jalan sebuah acara adat ulaon parbogason etnik
Batak Toba.
c. Ulaon unjuk, pada saat pelaksanaan upacara adat ini, didominasi oleh laki-
laki, karena Selama kegiatan ulaon unjuk berlangsung dipimpin oleh laki-laki
seperti, raja parhata, pasahat hata, yang diutamakan berperan dalam hal ini
didominasi laki-laki. Dalam hal ini peneliti menemukan faktor dari dominan
Universitas Sumatera Utara
69
tersebut karena budaya patriarki yang sudah melekat dalam masyarakat etnik
Batak Toba.
d. Perubahan makna dari sinamot dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba.
Asal usul sinamot sebenarnya dimulai dari pekerjaan suku Batak yang dahulu
kebanyakan bertani (mangula). Sehingga pada saat perempuan dan laki-laki
akan menikah, otomatis istri mengikuti si suami. Sehingga keluarga si istri
merasa pekerjaannya di sawah bertambah karena kurangnya pekerja (yang
dimaksud adalah pekerja keluarga). Disinilah si laki-laki harus memberikan
ganti si perempuan, entah itu laki-laki atau perempuan (orang ganti orang).
Namun cara ini sangat tidak kena pada sasaran, sehingga diganti menjadi istilah
Gajah toba (horbo).
Seiring berjalannya waktu kemudian digantilah menjadi sinamot. Sebelum
lembu, uang dan emas, sesuai keadaan paranak, maka sinamot itu lambat laun
berubah menjadi uang. Dari penjelasan tersebut maka saat sekarang peran
feminisme untuk kaum perempuan Batak Toba sangat diperlukan, dengan adanya
peran feminisme dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba akan membantu
menjawab keresahan perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang
termarginalkan khususnya pada setiap ulaon parbogason etnik Batak Toba.
Sebagai salah satu kasus saat sekarang yang menggambarkan adanya
ketidaksetaraan yang dirasakan kaum perempuan etnik Batak Toba pada ulaon
parbogason yaitu pergeseran makna sinamot yang digambarkan sebagai harga diri
seorang perempuan etnik Batak Toba pada saat akan dinikahkan jika boru-nya
(anak perempuannya) dihargai dengan harga tinggi, maka berbahagialah keluarga
Universitas Sumatera Utara
70
si perempuan, karena (setidaknya untuk beberapa saat lamanya), masyarakat akan
tahu bahwa boru mereka dihargai tinggi dan akan menjadi suatu kebanggaan
tersendiri bagi kelurga si perempuan. Begitu juga dari pihak paranak jika bisa
memberi sinamot yang tinggi Sinamot pada dasarnya adalah Boli = tuhor yang
artinya yaitu harga namun bukan harga suatu benda yang harganya sudah
ditentukan sehingga semua orang berhak atau dapat memilikinya selama dia dapat
memenuhi harga tersebut.
e. Perempuan hanya objek pelengkap saja, adanya perlakuan yang tidak setara
yang diterima perempuan, pada saat berbicara di dalam adat suara perempuan
sangat dibatasi. Berdasarkan hasil wawancara kepada informan hal tersebut
terjadi karena masih kuatnya sistem patriarki. Patriarki adalah sebuah sistem
sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan
mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial
dan penguasaan properti dan budaya. Peran dan kedudukan perempuan
termarginalkan, dalam ulaon parbogason peran laki-laki adalah dominasi
yaitu pemegang penuh berjalannya acara adat adalah laki-laki.
f. Dampak patrineal (mengikuti garis keturunan ayah) yang sudah melekat sejak
dari nenek moyang kita, dan menjadi budaya turun temurun. Dimana laki-laki
memiliki hak istimewa, setelah perempuan menikah maka wajib mengikuti
marga suaminya, hilangnya marga dari perempuan yang akhirnya mengikut
pada marga dari suami serta anak-anak sebagai penerus generasi dari laki-
laki. Perempuan harus mampu melahirkan anak laki-laki untuk meneruskan
garis keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki agar perempuan lebih
Universitas Sumatera Utara
71
dihargai. Inana mate punu (mati pucuk) artinya seorang perempuan
meninggal di masa tuanya tanpa meninggalkan anak laki-laki, artinya mati
dari tarombo atau garis keturunan. Meski dalam keadaan tersebut sebenarnya
yang paling menderita adalah suaminya, karena keturunannya akan hilang
dari tarombo. Namun dalam kenyataan lebih sering suami yang meninggal
lebih dahulu sehingga saat istri meninggal tidak disebut sebagai “saur matua”
karena dianggap “tidak gabe”. Biasanya perempuan yang demikian
dikuburkan satu hari setelah kematiannya dan acara adatnya pun dibuat
singkat.Apalagi jika perempuan tidak pernah melahirkan anak sama sekali,
penguburannya sering dilakukan pada hari yang sama dengan hari
kematiannya.
g. Segi pembagian warisan, bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya tanpa
memiliki keturunan, maka harta pusaka peninggalan suaminya tidak bisa
berpindah ke tangannya sekalipun benar bahwa dirinya adalah istri yang sah
dari suaminya. Harta tersebut akan jatuh ke tangan saudara laki-laki dari
suaminya. Apabila perempuan itu hanya memiliki anak perempuan, hak
pengelolaan hartanya tetap akan dipercayakan kepada saudara laki-laki
ayahnya (Bapatua/Bapa udanya). Dan merekalah yang kelak akan
menikahkan keponakan mereka tersebut. Hal ini terjadi karena hak
perempuan adalah hak menumpang kepada orangtuanya atau kepada
suaminya.
h. Kelahiran anak. Ketika bayi baru lahir orang-orang disekitarnya akan
bertanya: “songon dia?”(bagaimana?), yang menghunjuk pada jenis kelamin.
Universitas Sumatera Utara
72
Bila dijawab “baoa” (laki-laki), maka tanggapan yang diterima adalah: “tabo
na i, sai Horas ma!” (Enak sekali, Selamat!). Tapi bila dijawab “boru”
(perempuan), maka tanggapan yang diterima adalah: “sai imbur magodang
ma asa boi haduan pahutaon tu halak jala manubuhon pomparan di huta na
asing” (semoga dia tetap hidup, supaya kelak bisa meneruskan keturunan di
kampung lain). Hak perempuan di rumah orangtuanya adalah menumpang.
Rumah atau kampungnya adalah mengikut kepada suaminya ketika kelak dia
muli (menikah). Bila anak pertama adalah perempuan, biasanya para
undangan akan “melampirkan” harapan orangtua sang bayi segera
mendapatkan anak laki-laki.
i. Prioritas pendidikan. Prioritas untuk mendapat kesempatan pendidikan yang
lebih baik biasanya diberikan kepada anak laki-laki, dengan pertimbangan
bahwa kelak ia akan menjadi kepala rumah tangga yang harus menafkahi istri
dan anak-anaknya. Sementara anak perempuan dianggap akan
“dijual”/dipahuta kepada marga lain, akan menjadi kerugian jika
disekolahkan tinggi-tinggi, karena yang beruntung adalah keluarga besar
suaminya. Dengan pemikiran lain bahwa setinggi -tingginya pendidikan
seorang perempuan, jatuhnya ke dapur juga.
j. Raja dan boru ni raja . Di kalangan masyarakat Batak berlaku bahwa laki-laki
adalah raja, perempuan adalah boru ni raja. Ini menyatakan bahwa laki-laki
berhak mengambil keputusan termasuk mengambil keputusan yang berkenaan
denganboru ni raja. Dalam pesta-pesta adat, laki-laki ditempatkan dalam
posisi “parhata” (pembicara dalam adat), sementara perempuan (boru)
Universitas Sumatera Utara
73
ditempatkan dalam posisi “parhobas” (pelayan / yang melayani). Ketika raja
sedang marhata, maka boru melayani dan menyediakan makanan dan
minuman. Para perempuan yang berposisi sebagai istri dari raja hanya duduk
di belakang, mendengarkan jalannya upacara adat.
k. Tentang ulaon parbogason etnik Batak Toba, orangtua sering mengimpikan
agar putrinya menikah dengan anak laki -laki dari ibotonya marpariban.
Tujuannya agar tali silaturahmi tidak putus. Jika usia putrinya sudah melebihi
25 tahun namun belum terlihat tanda-tanda akan segera berumah tangga,
biasanya orangtua mulai kasak-kusuk mencarikan jodoh bagi anaknya.
Ketakutan orangtua jika anak perempuannya tidak menikah maka akan
terlantar di masa tua menjadi pertimbangannya. Selain itu juga, orangtua
takut dianggap masyarakat memiliki anak perempuan yang “tidak laku”.
4.3 Solusi dominasi yang ditemukan dalam ulaon parbogason etnik Batak
Toba.
Berdasarkan hasil penelitian adapun solusi dominasi feminisme yang
ditemukan dalam ulaon parbogason etnik Batak Toba yakni :
1. Solusi dominasi terhadap kaum perempuan dalam ulaon parbogason etnik
Batak, memberikan pemahaman kepada generasi penerus, bahwa peran dan
kedudukan manusia adalah setara baik laki-laki maupun perempuan. Tidak
ada yang mendominasi, melainkan semua memiliki hak dan kesempatan
yang sama dalam berbicara cara kita menjalani peran kita memperlakukan
laki-laki dan perempuan setara.
Universitas Sumatera Utara
74
2. Sebagai generasi muda kita harus belajar menerapkan kesetaraan gender dan
menghapuskan patriarki yang sudah diterapkan sejak kecil dan berdampak
kurang baik karena adanya pihak yang mendominasi, sehingga ada yang
termarginalkan khususnya kaum perempuan dalam ulaon parbogason etnik
Batak Toba maupun dalam kehidupan sehari-hari.
3. Sebagai masyarakat yang berbudaya agar tidak meninggalkan adat istiadat
yang sudah diajarkan semenjak kecil oleh para nenek moyang kita, dan
mempertahankan makna adat ulaon parbogason tersebut khususnya untuk
para generasi muda etnik Batak Toba agar tidak terjadi kesalah pahaman
makna dari setiap tahapan ulaon parbogason tersebut.
4. Mengembalikan makna yang sebenarnya dari sinamot dan memberi
pemahaman kepada kaum muda bahwa tidak ada harga jual untuk manusia
yang dikatakan “tuhor ni boru”.
5. Menjalankan kembali makna dari setiap tahapan ulaon parbogason etnik
Batak Toba agar tidak terjadi kesalahan dalam praktek dan merugikan pihak
tertentu khususnya perempuan etnik Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan uraian hasil analisis mengenai upacara adat
ulaon parbogason etnik Batak Toba ditinjau dari segi feminisme yang
dikemukakan dalam skripsi ini, adapun yang menjadi kesimpulan antara lain
sebagai berikut:
Adapun tahapan upacara adat ulaon parbogas etnik Batak Toba secara
umum yaitu, (1) mangaririt(2) mangalehon tanda (3) marhori-hori dinding (4)
marhata sinamot (5) pudun saut (6) Martonggo raja /marria raja (7) manjalo
pasu-pasu parbogason (8) ulaon unjuk (9) di alap jual (10) ditaruhon jual (11)
paulak une (12) manjae (13) maningkir tangga, secara keseluruhan setiap tahapan
didominasi laki-laki.
Bentuk dan Faktor dominasi yang ditemukan dalam ulaon parbogason etnik
Batak Toba secara umum peran dan kedudukan perempuan masih belum
mendapatkan perlakuan yang setara. Perempuan etnik Batak Toba masih
termarginalkan, terdiskriminasi, dan tidak memiliki hak yang sama seperti kaum
laki-laki, seperti adanya batasan yang diberikan kepada kaum perempuan untuk
berbicara, bertindak dan bersuara. Adapun faktor dari permasalahan yang sudah
dideskripsikan di atas faktor patrineal, budaya patriarki, pengaruh lingkungan,
faktor sosial, gaya hidup dan zaman. Dampak dari Bentuk dan Faktor dominasi
tersebut perempuan tidak mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan
laki-laki, pengaruh zaman mengakibatkan pergeseran makna sinamot dan budaya
Universitas Sumatera Utara
76
ulaon parbogason yang tidak sakral lagi. Kurangnya keinginan anak muda
sekarang untuk mempelajari budaya khususnya tahapan ulaon parbogason yang
dianggap rumit dan bergeser modern dan tidak merepotkan. Adapun solusi yang
ditemukan dari deskripsi ulaon parbogason etnik Batak Toba berdasarkan hasil
penelitian, sebagai generasi muda kita harus belajar menerapkan kesetaraan
gender dan menghapuskan patriarki yang sudah diterapkan sejak kecil dan
berdampak kurang baik karena adanya pihak yang terdiskriminasi khususnya
kaum perempuan daam ulaon parbogason etnik Batak Toba maupun dalam
kehidupan sehari-hari.
5.2 Saran
Penelitian dan uraian hasil analisis mengenai ulaon parbogason etnik Batak
Toba ditinjau dari segi feminisme. Penulis menyadari bahwa penelitian ini
merupakan suatu tahap awal yang tentunya masih banyak terdapat kekurangan
dan masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk penyyempurnaan. Penulis
juga menyarankan hal-hal yang paling utama adalah sebagai berikut:
1. Kiranya skripsi ini berguna bagi penulis dan pembaca.
2. Kepada generasi muda diharapkan tetap melestarikan kebudayaan yang
sudah diwarisi kepada kita, dan meluruskan paham yang sudah banyak
mengalami pergeseran makna sehingga menimbulakan kesalahpahaman
antar generasi, karena kebudayaan merupakan jati diri.
Universitas Sumatera Utara
77
3. Mempertahankan budaya yang sudah diwarisakan secara turun-temurun dan
mengembalikan ke makna semula, dan tidak mengalami pergeseran karena
perubahan zaman.
4. Perlunya belajar budaya, adat istiadat, dan sastra secara langsung terjun ke
masyarakat, karena dengan demikian kita dapat dengan mudah memahami
budaya, adat istiadat, dan sastra daerah ittu sendiri.
5. Penelitian ini hanya mendeskripsikan upacara adat ulaon parbogason etnik
Batak Toba, yang menurut peneliti masih jauh dari sempurna. Disarankan
kepada peneliti lanjutan untuk mengkaji seluruh aspek upacara adat yang
lebih mendalam khususnya untuk kaum perempuan yang sering mengalami
diskriminasi atau perlakuan kurang adil dalam adat agar penelitian ini bisa
menjadi bahan acuan ataupun bacaan yang menarik.
6. Disarankan agar penelitian ini bisa menjadi pemikiran kepada pemerintah
Kabupaten Samosir dan semua pihak yang terkait untuk dapat melestarikan
tradisi ulaon parbogason etnik Batak Toba.
7. Disarankan agar dinas kebudayaan Sumatera Utara dapat melestarikan
tradisi ulaon parbogason etnik Batak Toba dan menjadi pedoman untuk
generasi berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
78
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Jiwa. 2008.” Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat
Bali”.Denpasar, Bali : CV.Bali Media Adhikarsa.
Delima, Maria Grace, dkk. 2014. “Kedudukan Sinamot (uang jujur) Dalam
Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Toba. Tesis. Depok.
Universitas Indonesia.
Diana, Jumianti. 2018. “ Citra Sosial Dalam Cerpen kartini Karya Putu Wijaya :
Tinjauan Kritik Sastra Feminis’. Jurnal.Mataram. Universitas Mataram.
DJ.Gultom, Raja Marpodang, 1995. “Dalihan Na Tolu”. Medan Schreiner, Lothar
1994, Batak Toba”. Jakarta : Balai Pustaka, 1987.
Fakih, Mansour. 2010. “ Analisis Gender dan Transformasi Sosial”. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Manik, Helga Septiani. 2011. “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat
Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”.Jurnal.
Surabaya. Universitas Airlangga.
Pratiwi, Wiwik. 2016. “ Eksistensi Perempuan Dalam Novel Tanah Tabu Karya
Anindita, Thayf Berdasarkan Feminisme Eksistensialis Simone De
Beauvoir. Skripsi.Makassar.Universitas Negeri Makassar.
Universitas Sumatera Utara
79
Rumapea, Eva Murni. 2015. “ Dampak Modernisasi Terhadap Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan”.Jurnal. Medan.
Universitas Negeri Medan.
Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Simanjuntak, Humala. 2006. “Dalihan Na Tolu”. Jakarta : OC Kaligis dan
Associates.
Uli, Indriyana. 2011. “Citra Perempuan dalam Novel Ratu Kecantikan Harga
Sebuah Martabat Karya Langit Kresna Hariadi”. Skripsi. Pontianak.
FKIP UNTAN.
Universitas Sumatera Utara
80
LAMPIRAN
Lampiran 1:
A. Daftar Pertanyaan
1) Apa saja tahapan dalam ulaon parbogason etnik Batak
Toba?
2) Apa saja bentuk dominasi yang terdapat dalam ulaon
parbogason etnik Batak Toba?
3) Apa saja faktor dominasi dalam ulaon parbogason?
4) Bagaimana teks atau tuturan yang disampaikan dalam setiap
tahapan ulaon parbogason etnik Batak Toba?
5) Bagaimana peran dan kedudukan perempuan dalam setiap
tahapan ulaon parbogason etnik Batak Toba?
6) Bagaimana makna sinamot yang sebenarnya?
7) Bagaimana dampak dominasi terhadap etnik Batak Toba?
8) Bagaimana solusi dominasi dalam ulaon parbogason etnik
Batak Toba?
Universitas Sumatera Utara
81
Lampiran 2 :
B. Data Informan
Nama : Monang Naipospos
Umur : 63 Tahun
Pekerjaan : Penulis dan Pakar Budaya
Alamat : Dusun Huta Tinggi, Desa Pardomuan Na Uli
Universitas Sumatera Utara
82
Lampiran 3:
C. Data Informan
Nama : Efendi Simbolon
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Sitonggi-tonggi, Desa Lintong Ni Huta
Universitas Sumatera Utara
83
Lampiran 4:
D. Surat Keterangan Penelitian
Universitas Sumatera Utara
84
Lampiran 5 :
E.Surat Balasan Kepala Desa
Universitas Sumatera Utara