Post on 30-Nov-2015
PRESENTASI KASUS
TRAUMA KAPITIS
Disusun oleh:
Sanabila Yasmin M
03007231
Pembimbing:
dr. Hastari Soekardi Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Neurologi
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini:
1. Dr.Hastari Soekardi , SpS, selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Saya berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, September 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kapitis adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-
organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang
disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga dapat menimbulkan gangguan fisik, kognitif
maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.
Insidensi trauma kapitis tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun, yaitu 32,8 orang
dalam jumlah populasi 100.000 orang. Perbandingan laki-laki banding perempuan adalah 3,4 : 1.
Penyebab utama trauma kapitis ini adalah kecelakaan lalu-lintas terutama kendaraan bermotor,
setiap tahun sekitar 1 juta meninggal dan 20 juta orang mengalami cedera
Insiden trauma kapitis ini mencapai 26% dari semua kecelakaan, dan 33% kematian
terjadi karena trauma kapitis. Insiden trauma kapitis akibat kecelakaan terdapat sekitar 50%
meninggal sebelum tiba di Rumah sakit, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam
1 minggu perawatan.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran,
sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
STATUS NEUROLOGI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.B
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku : Sunda
Alamat : Cilandak, Jakarta Selatan
Tanggal masuk RS : 20 Agustus 2013
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autonamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 20
Agustus 2013 di ruang rawat inap.
Keluhan Utama
Riwayat penurunan kesadaran setelah jatuh dari motor 2 jam SMRS
Keluhan Tambahan
Nyeri kepala, keluar darah dari telinga kiri, telinga kiri berdenging, pendengaran telinga
kiri berkurang, nyeri di tempat luka di kepala, wajah, kaki dan tangan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarga pasien ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan
pingsan setelah jatuh dari motor 2 jam SMRS. Pasien ingat kejadian sebelum kecelakaan yaitu
saat pasien sedang balapan motor, motor pasien oleng lalu pasien jatuh terguling dan kepala kiri
pasien terbentur ke troatoar. Pasien tidak memakai helm saat kejadian. Menurut teman pasien,
setelah terjatuh pasien mengalami pingsan selama > dari 10 menit. Pasien sadar penuh saat di
Rumah Sakit. Pasien ingat semua kejadian sebelum kecelakaan dan tidak ingat kejadian setelah
kecelakaan sampai pasien berada di rumah sakit. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri kepala
yang dideskripsikan oleh pasien sebagai nyeri berdenyut-denyut. Pasien menyangkal adanya
muntah. Pasien juga menyatakan ada keluar darah dari telinga kiri. Darah berwarna merah
kehitaman, kental. Telinga kiri terasa penuh dan pendengaran juga dirasakan agak terganggu.
Timbul bunyi berdenging di telinga kiri.
Keluhan nyeri kepala berdenyut, pendengaran telinga kiri berkurang dan bunyi
berdenging saat mengunyah dirasa sampai 3 hari pasien dirawat di RS. Telinga kiri pasien
berhenti mengeluarkan darah setelah 2 hari pasien dirawat di RS. Setelah hari ke 4 dirawat Saat
di ruang rawat, pasien juga mengeluh terdapat kelemahan otot wajah sisi kiri dan pasien tidak
bisa menutup mata kiri secara sempurna.
Pasien menyangkal pingsan lagi setelah sadar (-) maupun terdapat kelemahan sisi tubuh
setelah sadar (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah dirawat di RS sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki riwayat
darah tinggi, kencing manis, stroke, maupun kejang.
Riwayat Sosial
Pasien mempunyai kebiasaan merokok, nanum menyangkal kebiasaan mengkonsumsi
alkohol dan obat-obatan terlarang.
III.PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Sikap : Berbaring
Koperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 36,7 0C
Pernafasan : 20x/menit, reguler, kedalaman cukup
b. Keadaan Lokal
Trauma stigmata : vulnus ekskoriatum di pipi kiri, kepala sisi kanan (+), vulnus
laseratum di kepala sisi kiri yang telah dijahit dan ditutupi kasa
(+)
Kepala : cephal hematom di temporal sinistra (+)
Pulsasi A.Carotis : Teraba equal kanan-kiri, reguler
Perdarahan Perifer : capillary refill time < 2 detik
Columna Vertebralis : letak lurus ditengah, skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)
Pemeriksaan kepala :
Deformitas (-), krepitasi (-), hematom dan nyeri tekan (+) di temporal sinistra
Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva pucat -/-, hematom periorbita -/-
Hidung : perdarahan aktif -/-, ekskoriasi di apeks nasi (+)
Telinga : perdarahan aktif -/-, clotting -/+, battle sign -/- , nyeri tekan -/+ di
retroaurikula sinistra
Pemeriksaan leher :
Leher : terpasang collar neck
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di medial garis midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kanan : ICS III-V linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V garis midklavikularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakkan naik-turun dada simetris kanan = kiri
Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada emfisema subkutis, tidak ada
benjolan.
Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : akral hangat, edema (-), luka ekskoriasi (+)
Bawah : akral hangat, edema (-), luka ekskoriasi (+)
II. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
a. GCS : E4 M6 V5 = 15
b. Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk : tidak dilakukan
Laseque : kanan <700 ; kiri <700
Kerniq : kanan < 1350 ; kiri < 1350
Brudzinsky I : tidak dilakukan
Brudzinsky II : -/-
c. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Nyeri kepala : (+)
Muntah proyektil : (-)
Penurunan kesadaran : (+)
d. Saraf-saraf Kranialis
N.I (olfaktorius) : normosmia dextra sinistra
N.II (optikus)
Acies visus : baik
Visus campus : baik
Lihat warna : baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)
Kedudukkan bola mata : ortoposisi +/+
Pergerakkan bola mata : (+) ke semua arah, hambatan (-), nistagmus (-),
penglihatan ganda (-)
Exofthalmus : -/-
Pupil : Bulat isokor, Ø 3mm/3mm
Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tidak langsung : +/+
N.V (Trigeminus)
Cabang Motorik : baik
Cabang sensorik
Ophtalmikus : baik
Maksilaris : baik
Mandibularis : baik
N.VII (Fasialis)
Motorik orbitofrontalis : kanan baik, kiri tidak mampu diangkat
Motorik orbikularis : asimetris, sudut nasolabialis kiri lebih datar
Pengecapan lidah : tidak dilakukan
N.VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular :
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
Koklearis :
Tes Rinne : +/-
Tes Webber : lateralisasi ke telinga kiri
Tuli Konduktif: (+)
Tuli Perseptif : tidak ada
N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik : arcus faring simetris, uvula di tengah
Sensorik : baik
N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : baik
Menoleh : baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : tidak ada deviasi
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -
e. Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal distal dextra/sinistra: 5555/5555
Ekstremitas bawah proksimal distal : tvd karena nyeri
f. Gerakkan Involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
g. Trofik : eutrofik/eutrofik
h. Tonus : normotonus/normotonus
i. Sistem Sensorik
Propioseptif : baik
Eksteroseptif : baik
j. Fungsi cerebellar dan koordinasi
Ataxia : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : (-)
Jari-jari : (+)
Jari-hidung : (+)
Rebound phenomenon : (-)
Hipotoni : (-)
k. Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraxia : (-)
Afasia : (-)
l. Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
m. Refleks Fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
Radius : +2/+2
Lutut : +2/+2
Tumit : +2/+2
n. Refleks Patologis
Hoffman Tromner : -/-
Babinsky : -/-
Chaddok : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Klonus otot : -/-
Klonus tumit : -/-
o. Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi : (-)
Demensia : (-)
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb 16,4 g/Dl
Ht 50%
Leukosit 27900 ribu/ul
Trombosit 348 ribu/ul
Eritrosit 5,36 juta/Ul
VER 93,3 fl
HER 30,6 pg
KHER 32,9 g/dl
RDW 12,2%
GDS 82 mg/dL
SGOT 26 U/I
SGPT 14 U/l
Ureum darah 11 mg/dl
Kreatinin darah 0,5 mg/dl
Na+ 141 mmol/I
K+ 3,56 mmol/I
Cl- 108 mmol/I
IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto Thorax Cor dan pulmo dalam batas normal
Tak tampak fraktur tulang-tulang dinding dada
Foto cervical AP/lateral
Straight cervical
Tak tampak fraktur tulang-tulang vertebrae cervical saat ini
CT-Scan kepala potongan axial, non kontras
Kesan :
Perdarahan subarachnoid region temporoparietal kanan kiri dan cerebellum
Diastasis sutura lambdoied dengan suspek fraktur os occipital kiri disertai
pneumoencephal region occipital kiri
Fraktur pada mastoid kiri dengan hematomastoid kiri
Sinusitis sphenoidalis bilateral
Subgaleal hematom region perietooccipital bilateral
V. RESUME
Seorang pasien, laki-laki, 20 tahun, datang dengan riwayat pingsan setelah jatuh dari
motor 2 jam SMRS. Pasien ingat kejadian sebelum kecelakaan tetapi tidak bisa mengingat
peristiwa setelah kecelakaan. Kepala kiri terbentur tratoar sedangkan pasien tidak memakai
helm. Riwayat pingsan > dari 10 menit. Saat di RS pasien telah sadar penuh. Nyeri kepala (+)
berdenyut-denyut, otore AS (+) darah warna merah kehitaman, kental. Pendengaran telinga kiri
berkurang (+), rasa penuh (+), tinnitus telinga kiri (+). Hematom di leher (+), keterbatasan gerak
(-). Saat hari ke 4 perawatan di rumah sakit baru timbul kelemahan otot wajah sinistra (+) dan
tidak bisa menutup mata kiri secara sempurna.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan ; GCS I : E4M6V5 = 15, tanda peningkatan tekanan
intrakranial (+), kesan parese nervus VII sinistra perifer (+), tes Rinne +/-, tes Webber terdapat
lateralisasi ke telinga kiri, terdapat tuli konduktif, kesan parese sistem motorik dan sensorik (-).
Hasil CT-scan kepala potongan axial, perdarahan subarachnoid region temporoparietal
kanan kiri dan cerebellum (+), diastasis sutura lambdoied dengan suspek fraktur os occipital kiri
disertai pneumoencephal region occipital kiri (+), fraktur pada mastoid kiri dengan
hematomastoid kiri (+), sinusitis sphenoidalis bilateral (+), subgaleal hematom region
perietooccipital bilateral (+).
DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : riwayat penurunan kesadaran, sefalgia, tuli konduktif sinistra,
parese nervus VII sinistra perifer.
Diagnosis etiologi : CKS
Diagnosis topik : regio temporo-parietal
VI. PENATALAKSANAAN
Non-Medika Mentosa
1. Bed rest
2. Elevasi kepala 30°
3. O2 2L/menit
Medika Mentosa
1. Diuretic Osmotic (Manitol 4 x 100 cc)
2. Neuroprotektor (Citicholin 1000 mg /12 jam (Drip))
3. Analgetik (Ketorolac 2 x 1 amp)
4. Vit. C 1 x 400 mg
5. PPI (Pantoprazrol 1x1)
6. IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam
7. Konsul THT
VII. PROGNOSA
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA KAPITIS
PENDAHULUAN
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala kepala. Pada trauma kepala terjadi
akselerasi (gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika
kepala membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua
kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup). Apabila akselerasi disebabkan oleh
pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat
identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif akibat
akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang diakibatkan
oleh pergeseran seluruh otak.
Counter coup
Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah
berdampak cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater (lesi
kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio “kup” dan jika terjadi di
seberang dampak disebut lesi kontusio “kontra kup”. Sehingga dari sana bisa timbul gejala-
gejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah
kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran “organic brain syndrom”
dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga terdapat vasoparalisis.
Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang
sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada
akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang
menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena
tersebut “Bridging Veins”.
ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik.
Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya
yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP). Pada
seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama MAP
berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari arteriol yang akan
mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak
berlangsung konstan.
Berdasarkan berat ringannya trauma kepala terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Cedera kepala ringan :
Jika GCS (Skala Koma Glasgow) 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari
30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.
a) Tidak kehilangan kesadaran
b) Satu kali atau tidak ada muntah
c) Stabil dan sadar
d) Dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
e) Pemeriksaan lainnya normal
2. Cedera kepala sedang :
Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat
disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
a) Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian
b) Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk
c) Dua atau lebih episode muntah
d) Sakit kepala persisten
e) Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma
f) Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
g) Pemeriksaan lainnya normal
3. Cedera kepala berat :
Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral.
a) Kehilangan kesadaran dalam waktu lama
b) Status kesadaran menurun – responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsif
c) Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga
d) Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)
e) Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:
Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor
Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi
f) Trauma kepala yang berpenetrasi
g) Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)
PERDARAHAN SUBARAKHNOID
I. PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi primer cedera kepala adalah perdarahan subaraknoid (SAH).
Insidensinya bervariasi dari 14,3% - 40% dan semakin meningkat mengikuti angka kejadian
kecelakaan kendaraan bermotor. Diagnosis klinis SAH biasanya sulit disimpulkan terutama pada
cedera kepala ringan yang tidak menimbulkan gejala klinis khas seperti iritasi meningen.
Pemeriksaan pencitraan untuk membantu diagnosis SAH seperti CT scan otak menjadi penting
bagi klinisi dalam pemberian nimodipine untuk mencegah komplikasi vasospasme serta
penanganan komplikasi lainnya seperti hidrosefalus dan kejang yang dapat memperburuk
keadaan pasien.(15)
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan
selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering
pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah
leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau
pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu
bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami adhessi anachnoid, obstruksi aliran
cairan cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera intrkarnial yang lain kadang juga dapat terjadi.(6)
Perdarahan subarachnoid, dapat diidentifikasi pada CT-scan sebagai jaringan dengan
densitas tinggi (40 – 90 Hu). Menggantikan cairan serebrospinal di interhemisfer atau fissura
silvii, sulcus cerebral atau sisterna basalis. Jika pendarahan subarachnoid luas maka bentuk arah
infundibulum atau cabang arteri karotis pada sisterna nampak sebagai filing deffect pada darah
intrasisternal yang hiperdens. Meskipun pemeriksaan CT-scan sangat akurat untuk mendeteksi
pendarahan subarachnoid yang baru untuk mengetahui adanya darah disubarachnoid di
interhemisferik falxcerebri yang relatif memiliki densitas dan sulit dideteksi. Pendarahan
subarachnoid biasanya meluas sampai pada sulcus paramedian, mengakibatkan penampakan
densitas dan irreguler, setelah beberapa hari pemeriksaan CT Scan biasanya menunjukkan
pembersihan darah subarachnoid disekitar falxcerebri, sebaliknya pendarahan subdural
interhemisferik secara tipikal terlihat sebagai bentuk baji, tepi halus, zona densitas tinggi.(6)
Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya
terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya
ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan
angiografi. Aneurisma kongenital biasanya berlokasi pada circulus willisi dan pseudoaneurisma
berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya arteri
cerebral anterior dibawah falxcerebri.
II. INSIDEN
Insiden subarachnoid hemoragik dibedakan atas: Pendarahan subarachnoid menduduki
7-15% dari seluruh gangguan peredaran darah otak (GPDO). Usia: insidennya 62% pendarahan
subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada
usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang
terjadi setelah suatu cedera kepala.
III. ETIOLOGI
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma
(85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari
pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya
bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic
hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara
umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang
mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan
perdarahan berbagai jenis tumor.(7)
IV. ANATOMI
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater. (2)
1. Duramater. Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-
lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian
otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;
lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat yang berasal darinya membentang jauh
ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx
cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli
yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli
terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.
Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan
processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat
lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua
lamina dura.
2. Arachnoidea. Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan
hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat
yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus
venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar
villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga
bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi
tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena
diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara
relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut
menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut
cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini
berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di
antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga
subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons mengandung
arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke
dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum,
cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle
cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure
lateralis (cisterna sylvii).
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges
3. Piamater. Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh
otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di
tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
V. PATOFISIOLOGI
Ditinjau dari sudut waktu, proses patofisiologi kerusakan otak akibat cedera kepala
terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) proses kerusakan primer yang terjadi langsung saat cedera
dan meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusio dan laserasi serebri, cedera
aksonal difus, perdarahan intrakranial dan jenis-jenis lain kerusakan otak, (2) proses kerusakan
sekunder yang merupakan akibat dari komplikasi yang dimulai pada saat cedera namun mungkin
secara klinis tidak muncul dalam periode waktu tertentu. Kerusakan otak sekunder merupakan
tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, yang meliputi hipoksia, iskemia, pembengkakan,
infeksi, dan kerusakan otak yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial.
Pada trauma kepala sering ditemukan suatu kerusakan primer berupa perdarahan
intrakranial. Perdarahan intrakranial akibat trauma diklasifikasikan menjadi perdarahan
ekstradural dan intradural. Perdarah intradural dibagi menjadi perdarah subdural, perdarahan
intraserebral/cerebellar, dan perdarahan subaraknoid.
Perdarahan subaraknoid (SAH) adalah suatu keadaan terdapatnya darah pada rongga
subaraknoid yang menyelimuti otak dan medulla spinalis. Dalam keadaan normal rongga ini
terisi oleh cairan serebrospinal yang jernih yang tidak berwarna serta jaringan penunjang
berbentuk trabekula halus, selain itu juga terdapat bagian distal dari sinus kavernosus, arteri
karotis interna, beserta percabangannya. Penyebab terbanyak dari SAH adalah pecahnya
aneurisma dan trauma kepala.
Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia
mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma
perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang
menembus ruang itu, yang biasanya sama pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah
penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf
serebral atau kerusakan arterivenous.
VI. DIAGNOSIS
Dalam menentukan perdarahan di ruang subaraknoid secara klinis tidaklah mudah. Pada
kasus cedera kepala pasien datang dengan keluhan sakit kepala dan penurunan kesadaran. Hal
tersebut terjadi karena cedera kepala yang dialaminya. Pada pemeriksaan neurologis tidak
ditemukan iritasi meningeal yang tentunya dilakukan bila tidak ada cedera pada leher atau
fraktur cervical.
Tahanan yang disertai nyeri terhadap fleksi leher pasif maupun aktif pada kaku kuduk
disebabkan iritasi meningen cervical oleh darah di ruang subaraknoid atau inflamasi. Pergerakan
fleksi kepala akan menjadi tegang dan kaku pada struktur lokasi dari meningen, serabut saraf
atau medulla spinalis yang mengalami inflamasi dan ataupun edema. Iritasi pada meningen yang
menimbulkan tanda klinis ini biasanya timbul dalam 3 hingga 12 jam.
Pemeriksaan lain untuk mendeteksi SAH adalah punksi lumbal. Punksi lumbal hanya
dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit yang sangat mengarah ke SAH namun pada
pemeriksaan pencitraan tidak ditemukan gambaran SAH. Terdapat dua pola terjadinya SAH
pasca cedera kepala. Yang pertama diakibatkan oleh trauma SAH (diakibatkan oleh ruptur
pembuluh darah kecil di ruang subarakhnoid) dan yang kedua SAH aneurismal (aneurisma yang
telah ada sebelumnya mengalami ruptur setelah trauma kepala). SAH yang terjadi setelah cedera
kepala harus kita bedakan apakah ini akibat aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan.
Selain anamnesis, keadaan tersebut dapat kita bedakan berdasarkan hasil pencitraan. Pada SAH
aneurismal darah lebih banyak terdapat pada sisterna basal, sedangkan pada SAHt lebih sering
terdapat pada sulkus perifer dan fisura interhemisfer.
A. Gambaran Klinis.
Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit
kepala. Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit
delirium sampai koma. Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada.
Fundus okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah pendarahan. Sering
terdapat perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior,
atau arteri karotis interna.
Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi. Gangguan fungsi saraf
otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan meningen, dan demam tinggi
bila pada hipotalamus. Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi, adanya
hubungan dengan hipotalamus. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan
melena dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan ada
perubaha pada EKG.
B. Gambaran Radiologi
1. CT SCAN
Pemeriksaan ct scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa intracranial. Pada
pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam ventrikel atau
dalam ruang subarachnoid
Gambar 2 Gambar CT Scan Perdarahan Subarachnoid
2. Magnetic resonance imaging (MRI)(5)
Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat pada
T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk pengcahayaan sinyal tinggi
dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam
mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid: hasil tahapan
control perdarahan subarachnoid kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal
rendah.
VII. PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
3. tanda fokal neurologis semakin berat
4. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
5. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
6. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
7. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
8. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
9. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri
diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase didalam otak
untuk mengurangi tekanan. Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang
lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan
angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor.
Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari
setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi
resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan arachnoid. Secara
klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang
lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh
parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan
ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 30° dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan
posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase
vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan
dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3
mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini
masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus
epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan
saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk
mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial
yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang
biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg
%.
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
• Besarnya
• Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak
secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-
10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
LESI NERVUS FASIALIS
Inti motorik nervus fasialis terletak di bagian ventrolateral tegmentum pontis. Akarnya
menuju ke dorsomedial kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru
membelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Di situ ia
berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius. Ketiga nervus tersebut masuk ke
dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os
petrosum kembali dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun dan sedikit membelok ke
belakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum.
Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks
motorik primer, otot wajah sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini
berarti bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian atasnya.
Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh
mendatar. Jika kedua sudut mulut diangkat maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat
diangkat. Lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastodeum dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Proses
patologik di sekitar meatus akustikus internus akan melibatkan nervus fasialis dan akustikus.
Maka dalam hal tersebut, paralisis fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Pada mastoiditis, otitis media, kolesteatoma, dan fraktur tulang temporalis nervus fasialis
bisa mengalami gangguan dan kerusakan. Akibat itu adalah kelumpuhan LMN pada otot wajah
yang disertai dengan tuli konduktif atau hiperakusis (karena muskulus stapedius lumpuh).
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
2. Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com
3. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme
Medical Publisher, New York,1996, 22
4. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &
Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178
5. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
6. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar,
Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
7. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,
http://iwansain.wordpress.com/2007