Trauma Kapitis Teori

24
TRAUMA KAPITIS A. PENDAHULUAN Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olah raga, korban kekerasan. B. DEFENISI Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau 6

Transcript of Trauma Kapitis Teori

Page 1: Trauma Kapitis Teori

TRAUMA KAPITIS

A. PENDAHULUAN

Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah

sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera

kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.

Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai

dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang

jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda

(misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olah raga, korban kekerasan.

B. DEFENISI

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer

ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).

C. ETIOLOGI

1. Benturan : statis dan dinamis. : kepala dalam posisi pasif, benda yang

mengenai kepala, contoh : petinju.

Statis : kepala dalam posisi pasif, benda yang mengenai kepala, contoh :

petinju.

Dinamis : kepala yang bergerak atau mencari objek benturan, misalnya :

kecelakaan, terjun dari ketinggian.

2. Penetrasi : luka tusuk, luka tembak.

6

Page 2: Trauma Kapitis Teori

3. Efek samping tindakan persalinan : 15% dari bayi yang baru lahir

terutama tindakan vacuum, forceps extraksi, partus presipitatus.

D. PATOFISIOLOGI

Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian

terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen yang

terlibat memiliki kaitan yang erat dengan dengan mekanisme cedera yang terjadi.

1. Cedera Jaringan Lunak Kepala

Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan (S-C-A-L-P) yaitu :

Skin (kulit), sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjer keringat

(sebacea).

Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak

yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas

Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri

karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.

Sebagian besar serabut saraf sensorik kulit kepala terdapat pada lapisan S

dan C. Oleh sebab itu, anestesi infiltrasi terutama yang mengandung

epinefrin (adrenalin) 1:1000 ditujukan ke lapisan ini. Epinefrin dapat

mengurangi perdarahan dan memperpanjang masa kerja obat anestesi

lokal.

Aponeurosis Galea, lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fasia

yang melekat pada 3 otot, yaitu :

Ke anterior – m. frontalis

Ke posterior – m. occipitalis

Ke lateral – m. temporoparietalis

Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N.VII). Lapisan S.C.A.

melekat erat satu dengan yang lain sehinnga sering dianggap satu

kesatuan.

Loose areolar tissue (jaringan areolar longgar)

Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena

tanpa katup (valveless vein), menghubungkan SCALP, vena

7

Page 3: Trauma Kapitis Teori

diploica, dan sinus vena intracranial (missal : sinus sagitalis

superior)

Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar

ke intracranial.

Avulsi SCALP biasanya terjadi pada lapisan ini.

Hematoma yang terbentuk pada lapisan ini disebut subgaleal

hematom, merupakan hematom yang paling sering ditemukan

setelah cedera kepala, terutama pada anak-anak.

Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,

melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum

akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi bagian

dalam tulang tengkorak).

Hematoma di antara lapisan periosteum dan tulang tengkorak

disebut Cephal hematoma (Subperiosteal hematoma). Hematoma

ini terutama terjadi pada neonatus, disebabkan oleh pergesekan

dan perubahan bentuk tulang tengkorak saat di jalan lahir, atau

terjadi setelah fraktur tulang tengkorak.

Hematoma ini biasanya terbatas pada satu tulang (dibatasi oleh

sutura), dan terfiksir pada perabaan dari luar, sedangkan lapisan

kulit di atasnya dapat digerakkan dengan mudah. Hal ini

membedakannya dengan caput succedaneum dan subgaleal

hematoma.

Hematoma ini akan diresorbsi sendiri.

Trauma pada SCALP meliputi :

Abrasi (excoriasi), berupa luka yang terbatas pada lapisan S.

Laserasi, luka telah melapisi ketebalan S, dapat mencapai tulang

tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP.

Kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematoma

seperti subgaleal hematoma dan cephal hematoma.

Avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai dengan pemisahan

lapisan SCALP, biasanya terjadi pada lapisan L.

8

Page 4: Trauma Kapitis Teori

2. Fraktur Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan, yaitu :

Tabula eksterna

Diploe

Tabuh interna

Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal ;

Besarnya energi yang membentur kepala (energi kinetic objek)

Arah benturan

Bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur

Lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi

Energi sebesar 454 kg/m2 sudah dapat menyebabkan fraktur. Adanya

fraktur tulang tengkorak tidak menggambarkan beratnya cedera otak yang

terjadi, demikian juga sebaliknya.

Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan:

Gambaran fraktur, dibedakan atas:

1. Linear, merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak

yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan

radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.

2. Diastase. Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi

pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada

anak di bawah usia 3 tahun.

3. Comminuted. Fraktur dengan dua atau lebih fragmen

fraktur.

Ketiga jenis fraktur di atas tidak memerlukan tindakan

khusus, kecuali jika disertai lesi intracranial seperti epidural

hematoma, subdural hematoma, dll. Jika disertai dengan

laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debridemen yang

baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.

4. Depressed. Diartikan sebagai fraktur dengan tabula

eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di bawah

level anatomik normal dari tabula interna tulang tengkorak

9

Page 5: Trauma Kapitis Teori

sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika

energi benturan relatif besar terhadap area benturan yang

relatif kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu,

pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu

area double density (lebih radio-opaq) karena adanya

bagian-bagian tulang yang tumpang tindih.

Lokasi anatomis, dibedakan atas:

1. Konveksitas (kubah tengkorak), yaitu fraktur yang terjadi

pada tulang-tulang yang membentuk konveksitas (kubah)

tengkorak seperti os. Frontal, os. Temporal, os. Parietal,

dan os. Occipitalis.

2. Basis cranii (dasar tengkorak), yaitu fraktur yang terjadi

pada tulang yang membentuk dasar tengkorak Dasar

tengkorak terbagi atas tiga bagian, yaitu: fossa anterior,

media dan posterior.

Keadaan luka, dibedakan atas:

1. Terbuka

2. Tertutup

Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga

klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu:

Besarnya energi benturan

Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan,

semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung

menyebabkan fraktur depressed.

Lokasi dan keadaan fisisk tulang tengkorak

Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang

tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk

(deformasi) saat benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan

pertambahan usia maka elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Pada

saat benturan, terjadi peristiwa peneknan pada tabula eksterna di tempat

benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa

10

Page 6: Trauma Kapitis Teori

peregangan tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak,

tetapi meliputi seluruh tengkorak. Jika peregangan ini melebihi

kemampuan deformasi tulang tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu,

peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari tabula interna yang

kemudian disusul oleh tabula eksterna.

3. Cedera otak

Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder

Kerusakan primer merupakan kerusakan otak yang timbul pada

saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang

menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat

fokal maupun difus.

Kerusakan sekunder, kerusakan otak yang timbul sebagai

komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh

hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, peninggian takanan

intrakranial, hidrosefalus dan infeksi.

E. KLASIFIKASI

Komosio serebri

Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara

berupa kesadaran turun (pingsan/koma, amnesia retrograde) tanpa adanya lesi

parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri.

Penemuan-penemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit,

amnesia retrograde singkat, cacat otak tak ada, dan perawatan rumah sakit

kurang dari 48 jam termasuk golongan ini.

Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit

seperti hematoma, edema serebri traumatic,dsb. Penderita sangat perlu

istirahat mutlak, terjaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi,

cairan/elektrolit dan kalori, dan terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung

kemih.

Kontusio serebri.

Kontusio serebri, diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai

robeknya piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah

11

Page 7: Trauma Kapitis Teori

perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena dan arteri),

nekrosis, dan infark. ditandai oleh kesadaran turun lebih lama, defisit

neurologik seperti hemiparesis, kelumpuhan saraf otak, refleks abnormal,

twitching, konvulsi, delirium dan cairan serebrospinal (CSS) berdarah serta

EEG abnormal maka jelas masuk golongan ini. Yang sulit adalah kasus-kasus

antara, yang bias masuk komosio tapi bisa juga kontusio. Di sini pengalaman

dan kecermatan diagnostik diperlukan, lebih-lebih untuk yurisprudensi.

Hematoma intraserebral pasti terjadi bersama kontusio, sehingga secara umum

lebih buruk, baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam

terjadinya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema local yang

hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematom epidural yang dioperasi.

Apabila hematom diserbu oleh cairan serebrospinal, sehingga mengencer,

atau oleh karena penderita anemis, atau oleh sebab lain, dapat terjadi

pengumpulan cairan yang berprotein sangat tinggi (hingga 2000 mg%) yang

kadang-kadang memerlukan terapi bedah atau aspirasi.

Terapi pada kontusio:

- betametason sebagai anti edema untuk penurunan

kesadaran lebih dari 30 menit

- Manitol 20%, slow infusion sebagai anti edema dengan

mekanisme diuresis.

Efek samping: rebound effect, bila di stop, edema lebih hebat kombinasi

betametason dengan manitol namun dapat di atasi setelah pemberian

manitol diikuti dengan pemberian diamox.

Laserasi, jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi

biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika,

subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi

langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus

kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur

terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak langsung

disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.

Edema serebri traumatik.

12

Page 8: Trauma Kapitis Teori

Apabila dalam pengamatan lanjut terdapat tanda-tanda penurunan

kasadaran, misalnya kesadaran yang turun lambat atau tidak membaik dalam

waktu antara hari 3-7, disertai tanda-tanda yang mungkin ada, yaitu tanda-

tanda tekanan intrakranial meninggi berupa edema papil, nyeri kepala makin

berat, muntah, paresis N.VI, maka besar kemungkinan terjadi suatu edema

serebri traumatik.

Hematoma epidural.

Ditandai oleh adanya penurunan kesadaran yang mulai bukan pada detik

trauma tetapi lebih lambat (kecuali tertutup koma kontusio), defisit neurologik

lambat, anisokoria (penekanan batang otak dari jarak jauh oleh masa hemisfer

sesisi), bradikardia, tensi naik, maka kecurigaan akan hematom epidural

makin jelas, dan deteksi dini harus segera dimulai dengan CT, arteriografi

cito. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri meningea oleh

fraktur tulang, walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe.

Darah pada hematom epidural membeku(clotting), berbentuk bikonveks.

Begitu ditegakkan hematom epidural terapi (bedah, burrhole, trepanasi) harus

segera dilaksanakan.

Hematoma subdural, diartikan sebagai penumpukan darah di antara duramater

dan arachnoid. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada epidural hematom

dengan mortalitas 60-70%. Terjadi karena laserasi arteri/vena kortikal pada

saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut

sering disebabkan oleh robekan bridging vein yang menghubungkan

permukaan korteks dengan permukaan sinus vena.

Lebih lambat dari hematom epidural, dan bedanya adalah timbulnya

edema papil, yang pada hematom epidural tak sempat timbul walau TIK

meninggi. Nyeri kepala juga menonjol, sedang interval lucid lebih sulit

ditemukan. Perdarahan yang disebabkan lepasnya berpuluh-puluh vena

jembatan yang berjalan radial di tepi duramater sampai piamater, atau

pecahnya sinus sagitalis superior yang lebih hebat dan menyebabkan

hematoma subdural akut, yang penangannya lebih segera daripada hematoma

subdural biasa yang kronik atau subakut. Operasi kraniotomi perlu dilakukan,

13

Page 9: Trauma Kapitis Teori

mungkin disertai duraplasty yang lebih sulit. Kadang-kadang hematom

subdural tipis tak memerlukan operasi.

Berdasarkan waktu perkembangan lesi hingga memberikan gejala klinis,

dibedakan atas:

- Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada

gambaran CT-SCAN, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit.

Jika penderita anemis berat atau terdapat CSS yang mengencerkan

darah di subdural, gambaran tersebut bias isodens atau hipodens.

- Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai hari ke-20. Gambaran

CT-SCAN berupa campuran hiper, iso, dan hipodens.

- Kronis, jika gejala timbulsetelah 3 minggu. Sering timbul pada usia

lanjut, dimana terdapat atropi otak sehingga jarak permukaan korteks

dan sinus vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan. Kadang-

kadang benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan SDH

kronis. Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsy, gagal

ginjal terminal dan koagulopati akan mempermudah terjadinya SDH

kronis. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya

perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi

dalam cairan SDH kronis sebagai dari akibat darah yang lisis, akan

menarik cairan ke dalam SDH. Pendarahan ulang tersebut cenderung

tidak akan berhentikarena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan

SDH. Hal-hal ini akan menyebabkan SDH tersebut terus berkembang.

Kadang-kadang kompensasi otak yang atropi cukup baik sehingga

hanya memberikan gejala sakit kepala. Gejala lain yamg timbul antara

lain, penurunan kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologist,

terutama gangguan motorik. Lesi biasanya terletak ipsilateral terhadap

pupil yang dilatasi dan kontralateral terhadap defisit motorik. Kadang-

kadang disertai abnormalitas N. III.

Beratnya cedera

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah

sebagai berikut :

14

Page 10: Trauma Kapitis Teori

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Glasgow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1 (Kluwer, 2009)

F. AKIBAT JANGKA PANJANG TRAUMA KEPALA

Kerusakan saraf kranial

- Anosmia

- Gangguan penglihatan

- Oftalmoplegi

- Paresis fasialis

- Gangguan pendengaran

Disfasia, diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi

bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Tidak ada obat yang

spesifik untuk disfasia, kecuali speech therapy.

Hemiparesis merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di

korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya adalah perdarahan otak

15

Page 11: Trauma Kapitis Teori

(subdural, epidural, intraparenkimal), empiema subdural, herniasi

transtentorial.

Sindroma pascatrauma kepala merupakan kumpulan gejala subjektif yang

sering dijumpai pada penderita trauma kepala. Penyebab sindroma ini

multifaktorial, meliputi factor organic (jenis dan lokasi kerusakan jaringan

otak), psikogenik (termasuk premorbid personality) dan sosio-ekonomi.

Fistula karotiko- kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria

karotis inetrna dengan sinus kavernosus, umumnya disebasbkan oleh trauma

pada dasar tengkorak. Adanya hubungan pendek ini menimbulkan dua akibat

penting, yaitu: hipertensi venosa simultan (khususnya vena-vena di dalam

orbita dan isinya, menyebabkan gangguan drainase venosa) dan vascular

stealing syndrome pada area yang dipasok oleh arteri karotis interna, yang

kemudian menimbulkan hipoksia otak.

Epilepsi, berdasarkan saat pertama munculnya bangkitan epilepsi, maka

dikenal 2 macam epilepsipasca trauma kepala, yaitu:

- epilepsy yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma

- epilepsy yang muncul lebih dari 1 minggu pascatrauma yang pada

umumnya muncul dalam tahun pertama.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala

diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang

sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka

tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan

palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.

Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal

jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, pada kecurigaan adanya fraktur depresi

maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

16

Page 12: Trauma Kapitis Teori

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah

pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi

intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,

febris, dll).

4) Adanya lateralisasi.

5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur

depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan

perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia

jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

17

Page 13: Trauma Kapitis Teori

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan

untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta

memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada

tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo,

2008).

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei

primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah

homeostasis otak(ariwibowo, 2008).

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi

rawat antara lain:

a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. Intoksikasi alkohol atau obat

f. Fraktura tengkorak

g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

h. Cedera penyerta yang jelas

i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)

18

Page 14: Trauma Kapitis Teori

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan

suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini

dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,

furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera

kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh

kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum

digunakan panduan sebagai berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau

lebih

b. dari 20 cc di daerah infratentorial

c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

d. tanda fokal neurologis semakin berat

e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

I. PROGNOSA

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya

pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai

kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American

college of surgeon,1997).

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat

trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

19

Page 15: Trauma Kapitis Teori

Daftar pustaka

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of

America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka

Cendekia Press of Yogyakarta

Bernath David, 2012, Head Injury, www.e-medicine.com

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku

kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra

Utara: USU Press.

Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams

and Wilkins

20