Trauma Kapitis Teori
-
Upload
shimie-likhite -
Category
Documents
-
view
83 -
download
8
Transcript of Trauma Kapitis Teori
TRAUMA KAPITIS
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai
dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang
jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda
(misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olah raga, korban kekerasan.
B. DEFENISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
C. ETIOLOGI
1. Benturan : statis dan dinamis. : kepala dalam posisi pasif, benda yang
mengenai kepala, contoh : petinju.
Statis : kepala dalam posisi pasif, benda yang mengenai kepala, contoh :
petinju.
Dinamis : kepala yang bergerak atau mencari objek benturan, misalnya :
kecelakaan, terjun dari ketinggian.
2. Penetrasi : luka tusuk, luka tembak.
6
3. Efek samping tindakan persalinan : 15% dari bayi yang baru lahir
terutama tindakan vacuum, forceps extraksi, partus presipitatus.
D. PATOFISIOLOGI
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian
terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen yang
terlibat memiliki kaitan yang erat dengan dengan mekanisme cedera yang terjadi.
1. Cedera Jaringan Lunak Kepala
Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan (S-C-A-L-P) yaitu :
Skin (kulit), sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjer keringat
(sebacea).
Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak
yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas
Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
Sebagian besar serabut saraf sensorik kulit kepala terdapat pada lapisan S
dan C. Oleh sebab itu, anestesi infiltrasi terutama yang mengandung
epinefrin (adrenalin) 1:1000 ditujukan ke lapisan ini. Epinefrin dapat
mengurangi perdarahan dan memperpanjang masa kerja obat anestesi
lokal.
Aponeurosis Galea, lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fasia
yang melekat pada 3 otot, yaitu :
Ke anterior – m. frontalis
Ke posterior – m. occipitalis
Ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N.VII). Lapisan S.C.A.
melekat erat satu dengan yang lain sehinnga sering dianggap satu
kesatuan.
Loose areolar tissue (jaringan areolar longgar)
Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena
tanpa katup (valveless vein), menghubungkan SCALP, vena
7
diploica, dan sinus vena intracranial (missal : sinus sagitalis
superior)
Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar
ke intracranial.
Avulsi SCALP biasanya terjadi pada lapisan ini.
Hematoma yang terbentuk pada lapisan ini disebut subgaleal
hematom, merupakan hematom yang paling sering ditemukan
setelah cedera kepala, terutama pada anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum
akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi bagian
dalam tulang tengkorak).
Hematoma di antara lapisan periosteum dan tulang tengkorak
disebut Cephal hematoma (Subperiosteal hematoma). Hematoma
ini terutama terjadi pada neonatus, disebabkan oleh pergesekan
dan perubahan bentuk tulang tengkorak saat di jalan lahir, atau
terjadi setelah fraktur tulang tengkorak.
Hematoma ini biasanya terbatas pada satu tulang (dibatasi oleh
sutura), dan terfiksir pada perabaan dari luar, sedangkan lapisan
kulit di atasnya dapat digerakkan dengan mudah. Hal ini
membedakannya dengan caput succedaneum dan subgaleal
hematoma.
Hematoma ini akan diresorbsi sendiri.
Trauma pada SCALP meliputi :
Abrasi (excoriasi), berupa luka yang terbatas pada lapisan S.
Laserasi, luka telah melapisi ketebalan S, dapat mencapai tulang
tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP.
Kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematoma
seperti subgaleal hematoma dan cephal hematoma.
Avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai dengan pemisahan
lapisan SCALP, biasanya terjadi pada lapisan L.
8
2. Fraktur Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
Tabula eksterna
Diploe
Tabuh interna
Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal ;
Besarnya energi yang membentur kepala (energi kinetic objek)
Arah benturan
Bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur
Lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi
Energi sebesar 454 kg/m2 sudah dapat menyebabkan fraktur. Adanya
fraktur tulang tengkorak tidak menggambarkan beratnya cedera otak yang
terjadi, demikian juga sebaliknya.
Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan:
Gambaran fraktur, dibedakan atas:
1. Linear, merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak
yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan
radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.
2. Diastase. Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi
pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada
anak di bawah usia 3 tahun.
3. Comminuted. Fraktur dengan dua atau lebih fragmen
fraktur.
Ketiga jenis fraktur di atas tidak memerlukan tindakan
khusus, kecuali jika disertai lesi intracranial seperti epidural
hematoma, subdural hematoma, dll. Jika disertai dengan
laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debridemen yang
baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.
4. Depressed. Diartikan sebagai fraktur dengan tabula
eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di bawah
level anatomik normal dari tabula interna tulang tengkorak
9
sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika
energi benturan relatif besar terhadap area benturan yang
relatif kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu,
pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu
area double density (lebih radio-opaq) karena adanya
bagian-bagian tulang yang tumpang tindih.
Lokasi anatomis, dibedakan atas:
1. Konveksitas (kubah tengkorak), yaitu fraktur yang terjadi
pada tulang-tulang yang membentuk konveksitas (kubah)
tengkorak seperti os. Frontal, os. Temporal, os. Parietal,
dan os. Occipitalis.
2. Basis cranii (dasar tengkorak), yaitu fraktur yang terjadi
pada tulang yang membentuk dasar tengkorak Dasar
tengkorak terbagi atas tiga bagian, yaitu: fossa anterior,
media dan posterior.
Keadaan luka, dibedakan atas:
1. Terbuka
2. Tertutup
Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga
klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu:
Besarnya energi benturan
Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan,
semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung
menyebabkan fraktur depressed.
Lokasi dan keadaan fisisk tulang tengkorak
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk
(deformasi) saat benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan
pertambahan usia maka elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Pada
saat benturan, terjadi peristiwa peneknan pada tabula eksterna di tempat
benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa
10
peregangan tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak,
tetapi meliputi seluruh tengkorak. Jika peregangan ini melebihi
kemampuan deformasi tulang tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu,
peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari tabula interna yang
kemudian disusul oleh tabula eksterna.
3. Cedera otak
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
Kerusakan primer merupakan kerusakan otak yang timbul pada
saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat
fokal maupun difus.
Kerusakan sekunder, kerusakan otak yang timbul sebagai
komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh
hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, peninggian takanan
intrakranial, hidrosefalus dan infeksi.
E. KLASIFIKASI
Komosio serebri
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa kesadaran turun (pingsan/koma, amnesia retrograde) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri.
Penemuan-penemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit,
amnesia retrograde singkat, cacat otak tak ada, dan perawatan rumah sakit
kurang dari 48 jam termasuk golongan ini.
Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit
seperti hematoma, edema serebri traumatic,dsb. Penderita sangat perlu
istirahat mutlak, terjaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi,
cairan/elektrolit dan kalori, dan terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung
kemih.
Kontusio serebri.
Kontusio serebri, diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai
robeknya piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah
11
perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena dan arteri),
nekrosis, dan infark. ditandai oleh kesadaran turun lebih lama, defisit
neurologik seperti hemiparesis, kelumpuhan saraf otak, refleks abnormal,
twitching, konvulsi, delirium dan cairan serebrospinal (CSS) berdarah serta
EEG abnormal maka jelas masuk golongan ini. Yang sulit adalah kasus-kasus
antara, yang bias masuk komosio tapi bisa juga kontusio. Di sini pengalaman
dan kecermatan diagnostik diperlukan, lebih-lebih untuk yurisprudensi.
Hematoma intraserebral pasti terjadi bersama kontusio, sehingga secara umum
lebih buruk, baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam
terjadinya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema local yang
hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematom epidural yang dioperasi.
Apabila hematom diserbu oleh cairan serebrospinal, sehingga mengencer,
atau oleh karena penderita anemis, atau oleh sebab lain, dapat terjadi
pengumpulan cairan yang berprotein sangat tinggi (hingga 2000 mg%) yang
kadang-kadang memerlukan terapi bedah atau aspirasi.
Terapi pada kontusio:
- betametason sebagai anti edema untuk penurunan
kesadaran lebih dari 30 menit
- Manitol 20%, slow infusion sebagai anti edema dengan
mekanisme diuresis.
Efek samping: rebound effect, bila di stop, edema lebih hebat kombinasi
betametason dengan manitol namun dapat di atasi setelah pemberian
manitol diikuti dengan pemberian diamox.
Laserasi, jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi
biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika,
subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi
langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus
kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur
terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.
Edema serebri traumatik.
12
Apabila dalam pengamatan lanjut terdapat tanda-tanda penurunan
kasadaran, misalnya kesadaran yang turun lambat atau tidak membaik dalam
waktu antara hari 3-7, disertai tanda-tanda yang mungkin ada, yaitu tanda-
tanda tekanan intrakranial meninggi berupa edema papil, nyeri kepala makin
berat, muntah, paresis N.VI, maka besar kemungkinan terjadi suatu edema
serebri traumatik.
Hematoma epidural.
Ditandai oleh adanya penurunan kesadaran yang mulai bukan pada detik
trauma tetapi lebih lambat (kecuali tertutup koma kontusio), defisit neurologik
lambat, anisokoria (penekanan batang otak dari jarak jauh oleh masa hemisfer
sesisi), bradikardia, tensi naik, maka kecurigaan akan hematom epidural
makin jelas, dan deteksi dini harus segera dimulai dengan CT, arteriografi
cito. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri meningea oleh
fraktur tulang, walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe.
Darah pada hematom epidural membeku(clotting), berbentuk bikonveks.
Begitu ditegakkan hematom epidural terapi (bedah, burrhole, trepanasi) harus
segera dilaksanakan.
Hematoma subdural, diartikan sebagai penumpukan darah di antara duramater
dan arachnoid. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada epidural hematom
dengan mortalitas 60-70%. Terjadi karena laserasi arteri/vena kortikal pada
saat berlangsungnya akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut
sering disebabkan oleh robekan bridging vein yang menghubungkan
permukaan korteks dengan permukaan sinus vena.
Lebih lambat dari hematom epidural, dan bedanya adalah timbulnya
edema papil, yang pada hematom epidural tak sempat timbul walau TIK
meninggi. Nyeri kepala juga menonjol, sedang interval lucid lebih sulit
ditemukan. Perdarahan yang disebabkan lepasnya berpuluh-puluh vena
jembatan yang berjalan radial di tepi duramater sampai piamater, atau
pecahnya sinus sagitalis superior yang lebih hebat dan menyebabkan
hematoma subdural akut, yang penangannya lebih segera daripada hematoma
subdural biasa yang kronik atau subakut. Operasi kraniotomi perlu dilakukan,
13
mungkin disertai duraplasty yang lebih sulit. Kadang-kadang hematom
subdural tipis tak memerlukan operasi.
Berdasarkan waktu perkembangan lesi hingga memberikan gejala klinis,
dibedakan atas:
- Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada
gambaran CT-SCAN, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit.
Jika penderita anemis berat atau terdapat CSS yang mengencerkan
darah di subdural, gambaran tersebut bias isodens atau hipodens.
- Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai hari ke-20. Gambaran
CT-SCAN berupa campuran hiper, iso, dan hipodens.
- Kronis, jika gejala timbulsetelah 3 minggu. Sering timbul pada usia
lanjut, dimana terdapat atropi otak sehingga jarak permukaan korteks
dan sinus vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan. Kadang-
kadang benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan SDH
kronis. Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsy, gagal
ginjal terminal dan koagulopati akan mempermudah terjadinya SDH
kronis. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya
perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi
dalam cairan SDH kronis sebagai dari akibat darah yang lisis, akan
menarik cairan ke dalam SDH. Pendarahan ulang tersebut cenderung
tidak akan berhentikarena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan
SDH. Hal-hal ini akan menyebabkan SDH tersebut terus berkembang.
Kadang-kadang kompensasi otak yang atropi cukup baik sehingga
hanya memberikan gejala sakit kepala. Gejala lain yamg timbul antara
lain, penurunan kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologist,
terutama gangguan motorik. Lesi biasanya terletak ipsilateral terhadap
pupil yang dilatasi dan kontralateral terhadap defisit motorik. Kadang-
kadang disertai abnormalitas N. III.
Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
14
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1 (Kluwer, 2009)
F. AKIBAT JANGKA PANJANG TRAUMA KEPALA
Kerusakan saraf kranial
- Anosmia
- Gangguan penglihatan
- Oftalmoplegi
- Paresis fasialis
- Gangguan pendengaran
Disfasia, diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi
bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Tidak ada obat yang
spesifik untuk disfasia, kecuali speech therapy.
Hemiparesis merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di
korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya adalah perdarahan otak
15
(subdural, epidural, intraparenkimal), empiema subdural, herniasi
transtentorial.
Sindroma pascatrauma kepala merupakan kumpulan gejala subjektif yang
sering dijumpai pada penderita trauma kepala. Penyebab sindroma ini
multifaktorial, meliputi factor organic (jenis dan lokasi kerusakan jaringan
otak), psikogenik (termasuk premorbid personality) dan sosio-ekonomi.
Fistula karotiko- kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria
karotis inetrna dengan sinus kavernosus, umumnya disebasbkan oleh trauma
pada dasar tengkorak. Adanya hubungan pendek ini menimbulkan dua akibat
penting, yaitu: hipertensi venosa simultan (khususnya vena-vena di dalam
orbita dan isinya, menyebabkan gangguan drainase venosa) dan vascular
stealing syndrome pada area yang dipasok oleh arteri karotis interna, yang
kemudian menimbulkan hipoksia otak.
Epilepsi, berdasarkan saat pertama munculnya bangkitan epilepsi, maka
dikenal 2 macam epilepsipasca trauma kepala, yaitu:
- epilepsy yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma
- epilepsy yang muncul lebih dari 1 minggu pascatrauma yang pada
umumnya muncul dalam tahun pertama.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
16
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
17
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo,
2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
18
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini
dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,
furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera
kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
I. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American
college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat
trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
19
Daftar pustaka
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of
America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2012, Head Injury, www.e-medicine.com
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra
Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams
and Wilkins
20