Post on 02-May-2017
TRAUMA KAPITIS DAN PENATALAKSANAANNYA
PENDAHULUAN(4)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan
selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di
ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta
neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat
keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba
di rumah sakit.
DEFINISITrauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis. (1)
SINONIM (1)
Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injury
PATOFISIOLOGI (1)
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma
kapitis bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan perbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa :
Lesi bentur (Coup)
Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang
menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah
dan lain-lain = lesi media)
Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada
sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula
dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa
merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di
substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke
batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi
dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan
melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan
antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood
Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau
diffus (vasogenik oedem serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma
dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih
banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan
ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas
berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian
terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat
selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang
berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita
trantetorial herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat
trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai
dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan
kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang
rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa
terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka
matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state,
locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal
frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in
syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan
pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk
mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga
Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50
mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial
(TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral
hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan
terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla
oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi
vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,,
pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis
(PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler
serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan
CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa
selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu
cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan
CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan
gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang
otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik
akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler,
melambat dan steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat
pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang
otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati
foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem
kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah
terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.
MONITORING KLINIS(1,5)
Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif
perkembangan tingkat kesadaran penderita per-jam dan per-hari secara
ketat, dibuatlah suatu Skala Koma Glasgow (oleh Bryan Jennett) yang
menyangkut masalah buka mata, repons verbal dan respons motorik.
Pelaksanaannya sangat mudah sehingga bisa cepat di mengeti dan
diterapkan oleh para perawat. Jika pengamatan tingkat kesadaran penderita
trauma kapitis tidak cukup lengkap atau hanya dengan SKG, maka belumlah
dapat menggambarkan keadaan neurologik penderita yang sebenarnya.
Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai
dengan :
1. Monitor fungsi batang otak
Besar dan reaksi pupil
Okulosefalik respons (Doll’s eye phenomen)
Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons
2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)
Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon
atas
Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan
pons
Apneustic breathing : lesi di pons
Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata
3. Pemeriksaan fungsi motorik
Kekuatan otot
Refleks tendon, tonus otot
4. Pemeriksaan funduskopi
5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu
EEG
Meskipun kenyataan bahwa 70% X foto tengkorak yang dilakukan
pada semua kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan
medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin dilakukan.
SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5)
Nilai
Buka Mata Spontan 4
Atas perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Respons Verbal Orientasi baik 5
Bingung-bingung 4
Kata-kata ngawur 3
Kata-kata tak dimengerti 2
Tak ada reaksi 1
Respons Motorik Gerak turut perintah 6
Menghindari terhadap nyeri 5
Flexi withdrawal 4
Flexi abnormal 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Dengan bantuan pemeriksaan radiologi X foto polos/Brain
CT-Scan/MRI dapat melihat kelainan-kelainan berupa fraktur, edema,
kontusio jaringan, hematoma intrakranial dan lain-lain.
KLASIFIKASI(1,3,4)
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai
pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut
pembagian sebagai berikut :
a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri
atas :
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm)
4. Fraktur basis kranii
5. Fraktur kranii tertutup
b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%)
1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc
Epidural
Subdural
Intraserebral
2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri)
3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)
4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif
Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada
beberapa sentra yang membagi klasifikasi atas dasar sehubungan dengan
Skala Koma Glasgow-nya yaitu :
Mild head injury SKG score : 13-15
Moderate head injury SKG score : 9-13
Severe head injury SKG score : < 8
Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam maka
menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih
dalam dan lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi
dengan lebih dalamnya letak kerusakan otaknya.
1. KOMOSIO SEREBRI (1,2)
(gegar otak, insiden : 80 %)
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan
oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan
otak.
Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga
tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke
arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan
menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem
ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih
menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh
karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier
pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan
batang otak.
Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran
(tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan
darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah
dan keseimbangan di medula oblongata terangsang.
Gejala :
- pening/nyeri kepala
- tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit
- amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada
peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam
sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan
pusat-pusat di korteks lobus temporalis.
- Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia)
lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi
dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic
amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh
lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka
lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan
kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale
atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks
orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara
bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan
komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada
amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan
dengan amnesia anterograde.
TRAUMA
Retrograde amnesia unconscious confused recovered Post traumatic amnesia TIMS
Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar,
muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai
komosio labirin).
Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient
parestesia ke empat ekstremitas.
Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah
nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara,
iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori.
Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat
gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-
capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal
nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol.
Prosedur Diagnostik :
1. X foto tengkorak
2. LP, jernih, tidak ada kelaina
3. EEG normal
Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan
simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri
harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi
kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi
adanya lusid interval hematom.
2. KONTUSIO SEREBRI (1,2,3)
(memar otak, insiden : 15-19 %)
Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma
kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan
otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan
gangguan neurologis yang menetap.
Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka
ini disebut laserasio serebri.
Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi
sentral vegetatif
- temperatur tubuh menurun, kulit dingin,
ekstremitas dan muka sianotik
- respirasi dangkal dan cepat
- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi
cepat, lemah dan iregular
- tekanan darah menurun
- refleks tendon dan kulit menghilang
- babinsky refleks positif
- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetatif
- temperatur tubuh meninggi
- pernafasan dalam dan cepat
- takikardi
- sekret bronkhial meningkat berlebihan
- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari
normal
- refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan
kematian jika tidak ditanggulangi secepatnya.
Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens
Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas
berkurang atau menghilang kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
Babinsky refleks
Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
Komplikasi saraf otak :
- fraktur os criribroformis : gangguan N. I
(olfaktorius)
- fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
- herniasi uncus, gangguan N. III
- farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan
N. VII dan N. VIII
- perdarahan tegmentum : batang otak ;
opthalmoplegia total
- fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke
arachnoid
Gangguan organik brain sindroma : delirium
Kontusio Serebri pada Anak-anak
Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang
gejalanya berbeda dengan dewasa antara lain :
1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan
kelainan kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat
berlangsung dampai 16 jam.
2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral
serta kehilangan kesadaran dan kejang-kejang.
3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak
pulih normal bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.
Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke
fase II. Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih
elastis sehingga berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap
trauma.
Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
2. LP bercampur darah
3. EEG abnormal
3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3)
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii
dengan duramater. Insiden terjadinya 1-3 %.
Patofisiologi dan Simptomatologi
Hematoma ini disebabkan oleh :
1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media
2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus
sagitalis posterior. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.
Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka
lucid interval cepat antara beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari.
Volume darah biasanya setelah mencapai 75 cc dan melepaskan
duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata
penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya
trauma sampai timbulnya penurunan kesadaran ulang. Jadi biasanya
epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau
kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid
interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara superposisi
dengan kontusionya.
Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab
duramaternya masih melekat erat pada dinding periosteum kranium. Pada
dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal.
Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom
apabila ada gejala-gejala seperti dibawah :
1. adanya lucid interval
2. kesadarn yang makin menurun
3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi
4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi
akibat penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus
temporalis sehingga N. III terjerat
5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)
6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)
7. kejang
8. bradikardi
Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya
tidak sama dengan yang di atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas
2. fraktur kranii daerah oksipital
3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor
biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence
sinuum pecah maka prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang
2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih
4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3)
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara
duramater dan arakhnoid. Hygroma subdural yaitu subdural hematom
yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah bergabung dengan likuor
serebrospinal
Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang
menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid
interval pada subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom
karena yang mengalami perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil
akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu sendiri
bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan
dapat berhenti sendir.
Klasifikasi :
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid
interval dan gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada
diagnosa postmortem atau pada saat otopsi. Penderita akut SDH
langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral.
Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
- CT-Scan
- LP berdarah
- Arteriografi karotis
- EEG abnormal
b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari
Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-
pelan visus makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan
dengan kontusio serebri. Kemudian timbul hemiplegia secara
perlahan.
Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH
Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat
dilakukan 75 % kembali sembuh sempurna.
c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-
tahun
Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya
sendiri berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah
akibatnya perdarahn berhenti, hematoma kemudian membeku dan
dinding hematoma membentuk jaringan ikat kapsula sebagai
pembatas di sekitar hematoma. Gumpalan darah kemudian lisis
dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan intersitiil di sekitarnya yang
bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama
kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan
proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi.
Gejala awal :
1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater
dan kompresi jaringan otak di daerah sekitar hematoma
2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma
3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek
4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI
5. hemiparesis yang pelan-pelan
6. pupil bisa anisokor
7. tekanan LP meninggi
5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3)
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang
besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio
berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks,
tindakan operatif dapat dilakukan. Pada semua kasus intra kranial
hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan konservatif dapat
dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.
6. FRAKTUR BASIS KRANII (1,2,3)
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan
kesadaran, kecuali memang diserta adanya komosio ataupun kontusio
serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.
1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum
- keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
- parese N. VII dan VIII sering dijumpai
2. Fraktur basis kranii posterior
- unilateral/bilateral orbital hematom (Brill’s
hematom)
- gangguan N. II jika fraktur melalui foramen
optikum
- perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan
diikuti : Anosmia, anosmia akibat trauma bisa persistent, jarang
bisa sembuh sempurna.
3. Fraktur basis kranii posterior
- gejala lebih berat, kesadaran menurun
- tampak belakang telinga berwarna biru (Battle
sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos
basis.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA TRAUMA KAPITIS(1)
X Foto TengkorakFraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus
yang ada fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti.
Namun demikian X foto polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma
kapitis. Ini penting sebab :
1. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur
tengkorak
2. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan
medikolegal
3. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan
lokasi fraktur
Jenis foto :
1. Foto antero-posterior
2. Foto lateral
3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung
rontgen diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat
fraktur di daerah oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP
4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka
5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis
6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat
kedudukan pas fragmen tulang yang melesak masuk
Keterangan gambar :
1. epidural hematoma/subdural hematom
2. intra serebral hematoma
3. impresio/depressed fraktur
4. herniasi uncus
Jenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3)
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan
dengan gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar
pada bagian tengah dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan
juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis
tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek
duramater dan atau jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat
sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari tulang sekitarnya
disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam
keadaan normal sutura tidak melebihi 2 mm)
CT-Scan Otak(1)
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak,
penguasaan klinis mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi
menentukan kapan penderita secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan
dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri, kontusio jaringan
otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.
Angiografi (1)
Sistem rapid serial film 10 film/detik
Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-
lain
Jenis angiografi :
- karotis (paling sering)
- vertebralis (jarang)
Cara melakukan dengan ;
1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)
2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis)
angiografi pada trauma kapitis penting untuk memperlihatkan epidural
atau subdural hematomanya.
PRIORITAS PENANGGULANGAN CEDERA KEPALA AKUT(1)
a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)
b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang
baik
c. Evaluasi tingkat kesadaran
d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda
fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis
(stabilisasi leher)
e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya
f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan
g. Perhatikan pupil
h. Atasi oedema serebri
i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
j. Monitor tekanan intra kranial
k. Pengobatan simptomatis atau konservatif
l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial
yang lebih dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi
fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatif
OEDEMA SEREBRI(1)
Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan
kadar cairan intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada
proses patologik lokal atau pengaruh umum yang merusak.
Jenis-jenis
1. Vasogenik oedema serebri
2. Sitotoksik oedema serebri
3. Osmotik oedema serebri
4. Hidrostatik oedema serebri
Vasogenik Sitotoksik Osmotik Hidrostatik
Kausa BBB kapiler Sodium pump Osmotik Gangguan
absorbsi LSC
Lokalisasi Subs. Alba Alba + grisea Alba + grisea Subs. Alba
Permeabilitas
vaskuler
Meningkat Normal Normal Normal
Histologis Ekstraseluler Interseluler Ekstra / intra Ekstraseluler
Unsur Plasma Plasma Air Air + Na
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan
perfusi otak masih dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi
cerebral blood flow, dan volume likuor serebro spinal. Untuk setiap
penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat
10-15 mmHg.
1. Vasogenik oedema serebri
Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan
fusi sel membran endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan
tertentu secara langsung dapat merusak dinding kapiler dan secara tidak
langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang mengakibatkan
gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan
endotel kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan
mengakibatkan terjadi oedema serebri. Vasogenik oedema serebri dapat
terjadi pada kasus-kasus :
- trauma kapitis
- stroke
- iskhemia
- radang : meningitis, ensefalitis
- space occupying lesion : tumor otak
- malignant hipertensi
- konvulsi
2. Sitotoksik oedema serebri
Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak,
akibatnya permeabilitas membran terganggu dan akan masuk cairan ke
intraseluler otak
Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
- neonatal asphyxia
- cardiac arrest
- zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl
metal
3. Osmotik oedema serebri
Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan
meloloskan diri dari sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan
otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel masih intak. Osmotik oedema
serebri ini terdapat pada kasus-kasus :
- Water intoksikasi
- Hemodialisis yang terlalu cepat
4. Hidrostatik oedema serebri
Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor
serebrospinal). Contohnya pada hidrosefalus.
Pengobatan Odema Serebri1. Hipertonic Solution Therapy
Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema
serebri dengan cara perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan
plasma.
Contoh cairan hipertonik :
a. Manitol
b. Glyserol
Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya
berupa :
Dehidrasi berat
Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak
Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi
Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :
- Dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan
hipertonis itu, maka darah akan menempati daerah yang kosong
dan dengan demikian akan mengaburkan gejala perdarahan yang
sebenarnya
- Cairan hipertonis bisa mempercepat proses
perdarahan itu sendiri
- Cairan hipertonis bisa mencetuskan proses
perdarahan baru
Kontraindikasi :
Renal Failure
Hepatic Failure
Congestive Heart Failure
Manitola. Mempunyai efek :
- Meninggikan cerebral blood flow
- Meninggikan eksresi Na+ urine
- Menurunkan tekanan likuor serebro spinal
- Diuresis secara ekstrem
Jika berlebihan dapat menyebabkan :
- Dehidrasi berat
- Hipotensi
- Takikardi
- Hemokonsentrasi
- Overshoot obat masuk intraseluler padahal
kadang di plasma sudah menurun maka bisa terjadi rebound
phenomen
b. Dosis
Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam
30-60 menit. Efek samping jika diberikan dalam dosis besar : sering
nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang, renal failure
Gliserola. Sifat dan kegunaannya :
- meninggikan osmolaritas plasma yang lebih
berperanan untuk menarik cairan di otak dibandingkan dengan efek
diuresisnya
- dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat
energi
- tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap
kadar gula darah dan keton bodies darah
- tidak mempunyai efek rebound phenomen
b. Dosis
- per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam
larutan 50 % gliserol untuk mempertahankan kadar dalam darah.
Dalam 30 menit sesudah pemberian akan terlihat efek penurunan
tekanan intra kranial
- per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol
diberikan jangan melebihi 5 cc/menit. Efeknya akan kelihatan
setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan menetap bertahan
selama 12 jam
Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi
efek diuresis. Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai
komplikasi :
hemolisis intravaskuler
hemoglobinuria
gastric iritasi
nonketotic hiperosmolar hiperglikemia
2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya :
Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran
melindungi sel otak dari anoksia
memperbaiki sistem sodium pump
memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction
sehingga permeabilitas membran sel menjadi normal kembali dan
akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel otak berkurang
Dosis :
dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan
4 mg/4 jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off.
(diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari)
methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20
mg/6 jam kemudian taffering off
Hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai
dipertanyakan. Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya
pada kasus trauma kapitis.
3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
a. menurunkan metabolisme otak
b. menstabilkan membran sel
c. menurunkan aktivitas lysozim
d. menurunkan tekanan intra kranial
e. menurunkan pembentukan oedema otak
f. melindungi sel otak terhadap iskhemia
Dosis :
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai
30-50 mg/KgBB kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk
mencapai kadar optimal 2-2,5 mg %.
Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam
penggunaan hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan
deksametason.
4. Hipothermi
30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan
mengurangi tekanan darah. Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia
cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan hanya dalam 5 hari saja.
5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana
PaCO2 arteri diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7
kPa) sehingga cerebral blood flow berkurang dan akibatnya akan
menurunkan tekanan intra kranial.
PENATALAKSANAAN(4)
Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila
perlu intubasi.
2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau
tidak.
3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan
analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid
(dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi
edema otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-
lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak
berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
Pedoman Penatalaksanaan1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto
tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid),
kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang
servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut:
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%)
atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti
volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa
protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan
kadar alkohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak
diperlukan jika CT- Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif
untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang,
atau berat, harus dievaluasi adanya:
- Hematoma epidural
- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda
hemiasi, lakukan tindakan berikut ini :
- Elevasi kepala 30o
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6
jam sampai maksimal 48 jam pertama
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
Penatalaksanaan Khusus1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan
gaya berjalan) dalam batas normal
- Foto servika1jelas normal
- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien
selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke
bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien
di rumah.
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio
otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan
cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika
ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan
operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di
unit rawat intensif.
- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
- Monitor tekanan darah
- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan
skor GCS < 8, bila memungkinkan.
- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau
larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera
kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa
5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik
dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres
dingin.
- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300
mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus
dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah
hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk
itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi
serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama
48-72 jam).
- Profflaksis trombosis vena dalam
- Profilaksis ulkus peptik
- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea,
rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
- CT Scan lanjutan
Komplikasi Cedera Kepala Berat1. Kebocoran cairan serebrospinal
2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis,
dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.
4. Kejang pasca trauma
PROGNOSIS(4)
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien
dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 -
10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat,
Jakarta, 2004
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,
Yogyakarta, 2005
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat,
Jakarta, 2004
4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic
Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000