Post on 22-Dec-2020
TRADISI “NYABEK TOLOH” DALAM PEMINANGAN DI MADURA
(Studi Etnografi Masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Madura)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MUHAMMAD SHOFWAN NIDHAMI
NIM. 1113044000034
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/ 1439 H
ABSTRAK
Muhammad Shofwan Nidhami. NIM 1113044000034. Tradisi Nyabek
Toloh dalam Peminangan di Madura (Studi Etnografi Masyarakat Desa Romben
Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura). Skripsi, Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. ( halaman, 100 halaman, dan 63
halaman lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa landasan yang digunakan oleh
masyarakat Madura di Desa Romben Guna dalam melaksanakan tradisi nyabek
toloh dalam peminangan, memahami sudut pandang masyarakat Madura di Desa
Romben Guna dalam pemberian tradisi nyabek toloh tersebut serta menjelaskan
makna-makna yang terkandung di dalam pelaksanaan tradisi nyabek toloh dalam
peminangan di Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep
Madura.
Penelitian ini termasuk pada model penelitian lapangan (field research),
dan merupakan jenis penelitian etnografi. Penelitian ini bersifat analitik
merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya
sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan
menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi serta mengkomparasikannya,
adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan antropologi. Kriteria data yang digunakan adalah obvervasi,
wawancara secara mendalam, studi dokumentasi, dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna dari pelaksanaan tradisi
nyabek toloh dalam masyarakat Madura di Desa Romben Guna adalah
menyambung silaturrohim antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga
perempuan, rasa tanggung jawab seorang laki-laki kepada perempuan dengan cara
memberi toloh, menjaga harga diri seorang laki-laki serta mempertahankan tradisi
sangkolan (sesepuh). Selain itu, tradisi nyabek toloh harus dilaksanakan bagi yang
sedang abhakalan, karena bila tidak melaksanakan tradisi akan menjadi salah satu
batalnya bhakalan tersebut serta pelaksanaan tradisi ini wajib menurut adat
setempat.
Kata kunci : Peminangan, Abhakalan, Nyabek Toloh, Adat Madura,
Etnografi, Romben Guna
Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan, SH, MH. M, Ag.
Daftar Pustaka : 1977-2016
i
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt, tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesainya atas izinya-Nya. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syaariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III fakultas Syariah dan Hukum
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang
senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
3. Dr. H. Yayan Sopyan, SH, MH, M. Ag, Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan
Hukum, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan terus
memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan
skripsi ini.
4. Sri Hidayati, M.A., Dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar
mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan
ii
membimbing penulis selama masa perkuliahan. yang tidak bisa penulis sebut
semuanya tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Daerah
Sumenep yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, bapak D Zawawi Imron, Rahman, Anshori, Rakso,
Maswiyatun beserta beberapa elemen masyarakat lainnya, dan kepada Muji
dan Hary yang telah menemani penulis selama ditempat penelitian.
7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Thabrani Rasyidi dan
ibunda Anisatus Sa’diyyah, yang tak pernah jenuh dan tak menyerah untuk
memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam
menempuh pendidikan. Adikku tersayang Kholisoh Qotrunnada dan
Muhammad Athief Fawwaz.
8. Sahabat seperjuangan penulis Subhan, Syafaat, Abi, Fuad, Fathir, Bida,
Anisaul, wafi, Asuy, Fajri yang senantiasa meluangkan waktu berdiskusi
dengan penulis perihal skripsi ini, semoga kita bisa bersahabat sampai tua nanti
dan kelak semua menjadi orang-orang sukses.
9. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2013, yang
telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. Semoga ilmu yang kita
dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
10. Terima kasih kepada bang Ayyip Ayana dan Andi Asyraf, S.sy, SH dan semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semoga
Allah membalasnya. Amin
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 03 Januari 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ......................................................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ....................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penulisam .............................................. 7
E. Kajian Studi Terdahulu .......................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II KONSEP PEMINANGAN ISLAM DAN BUDAYA MADURA
A. Perkawinan dalam Islam ........................................................ 16
B. Peminangan dalam Islam ........................................................ 19
1. Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan ..................... 20
2. Larangan Mengkhitbah Perempuan yang Telah Dikhitbah
.......................................................................................... 23
3. Kriteria Memilih Pasangan .............................................. 24
4. Pembatalan Peminangan .................................................. 26
5. Hukum Memandang Wanita Terpinang .......................... 28
C. Nafkah dalam Islam ................................................................ 30
D. Mahar dalam Islam ................................................................ 32
E. Islam dan Budaya .................................................................. 35
1. Relasi Islam dan Budaya .................................................. 35
iv
2. Kebudayaan dalam Perspektif Islam ................................ 38
F. Islamisasi Budaya Madura .................................................... 40
BAB III BUDAYA PEMINANGAN DI ROMBEN GUNA SUMENEP
MADURA
A. Gamabaran Umum Desa Romben Guna ................................ 44
1. letak Geografis dan Penduduk Desa Romben Guna .......... 44
2. Kondisi Pendidikan dan Ekonomi Desa Romben Guna ..... 47
3. Kondisi Budaya dan Keagamaan Desa Romben Guna ..... 49
4. Bahasa Madura .................................................................. 52
B. Adat Perkawinan di Madura ................................................... 53
C. Adat Peminangan di Madura ................................................. 57
1. Pelaksanaan Adat Peminangan di Madura ...................... 57
2. Pemilihan Jodoh .............................................................. 60
D. Tata Cara Pelaksanaan Peminangan di Madura .................... 61
E. Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Desa Romben Guna
................................................................................................ 64
1. Pengertian Nyabek Tolo dalam Peminangan Perspektif
Masyarakat Desa Romben Guna ..................................... 64
2. Pemberian Tradisi Nyabek Toloh .................................... 66
BAB IV IMPLIKASI TRADISI NYABEK TOLOH DALAM
PEMINANGAN DI ROMBEN GUNA
A. Aturan Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Desa
Romben Guna ........................................................................ 67
1. Konsep Peminangan di Desa Romben Guna .................... 67
2. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Nyabek Toloh ..................... 69
3. Implikasi Hukum Pelaksanaan Tradisi Nyabek Toloh ..... 74
B. Makna Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan Perspektif
Masyarakat Romben Guna ..................................................... 77
C. Harmonisasi Tradisi Nyabek Toloh dengan Hukum Islam .... 80
v
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 92
B. Saran ....................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang mau tidak mau akan
terus hidup secara bersamaan antara satu sama lainnya. Kehidupan sosial ini akan
terus mendorong manusia saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Apabila
interaksi sosial diulang-ulang menurut pola yang sama, dan bertahan selama jangka
waktu yang relatif lama, maka terjadilah hubunngan sosial (social relations). Kalau
hubungan sosial tersebut dilakukan secara sistematis dan menurut kaidah-kaidah
tertentu, maka hubungan sosial tadi berubah menjadi sistem sosial (social system).1
Hubungan sosial ataupun sistem sosial berawal sebuah lingkungan
keluarga. Terbentuknya suatu keluarga biasanya melalui tali silaturrahmi dua insan
sosial dalam sebuah ikatan suci yaitu perkawinan. Perkawinan biasanya didahului
oleh suatu pendahuluan yaitu peminangan. Peminangan yang dalam bahasa arab
disebut “khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)
meminta wanita dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut
terminologi peminangan ialah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan sorang wanita.2
Sebagaimana dalam pasal 11 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
bahwa :“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya”.
Peminangan merupakan pendahulu pernikahan yang pasti dilakukan.
Terlebih setiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri dalam melaksanakan prosesi
peminangan tersebut. Madura merupakan salah satu daerah yang memiliki tradisi
1 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawalipers,2015), cet-14, h.7.
2 Tihami dan Sohari Fahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap, (Jakarta:
Rajawalipers, 2009), h. 24.
2
tersendiri mengenai peminangan. Peminangan dalam bahasa Madura adalah
Abhakalan, yang memiliki arti relasi tunangan antara laki-laki dan perempuan yang
disepakati dari masing-masingg diantara dua keluarga, baik melalui keinginan
sendiri maupun karena akibat perjodohan.3
Abhakalan adalah istilah yang digunakan orang Madura untuk menunjukan
bahwa orang tersebut sudah dijodohkan ataupun peminangan atas kemauan sendiri.
Karena kalau melihat artinya peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita, ataupun seorang
laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-
cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.4
Khitbah dalam Islam memiliki tujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga
dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka.5 Jelas agama
menganjurkan kita memiilih calon pendamping hidup (menikah) benar-benar
selektif. Adapun salah satu medianya yaitu melalui abhakalan (peminangan).
Peminangan bukan termasuk syarat dan rukun dalam perkawinan. Namun demikian
praktik yang berlaku di masyarakat menunjukkan bahwa peminangan merupakan
langkah pendahuluan yang hampir pasti dilakukan oleh masyarakat.
Tradisi perjodohan ataupun peminangan di Madura terkadang terjadi sejak
kecil, bahkan ada sebagian yang dijodohkan sejak kandungan.6 Kebiasaan
abhakalan (peminangan) di Madura bisa dilakukan sampai dengan bertahun-tahun
ataupun jarak antara awal pertunangan sampai berlangsungnya pernikahan tersebut
membutuhkan waktu yang lama, dan bisa dikatakan proses pengenalannya lebih
3 Saniyah, kontestasi kelas dalam budaya abakalan (studi hubungan perayaan Abakalan
dengan prestise sosial di Desa Banuaju Barat Kecamatan Batang-batang sumenep Madura), skripsi
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan kalijaga, Yogyakarta 2016, hal. 3.
4 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana,2012), cet, ke-5, h 73-74.
5 M. Atho’ Muzdhar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat prees, 2003), h. 42.
6 Septi karisyati, Tradisi Bhakal Eko-akoaghi (perjodohan sejak dalam kandungan) didesa
sana laok, kecamatan Waru Pamekasan Madura dalam Perspektif Hukum adat dan Hukum Islam,
skripsi UIN Sunan Kalijaga 2014, h. 3.
3
lama. Perbedaan antara model peminangan di Madura dengan daerah lain adalah
terletak pada waktu masa menunggu yang lama tersebut.
Walaupun ketidak pastian dalam abhakalan itu ada, orang Madura
menyebutnya dengan abakalan tolos (tunangan berhasil) dan abakalan bhurung
(tunangan gagal). Abhakalan tolos adalah abhakalan yang sukses hingga menuju
akad di pelaminan, sementara abhakalan bhurung adalah abhakalan yang pupus
ditengah jalan karena alasan-alasan tertentu. Baik karena kedua anak yang tengah
abhakalan tadi sudah mulai menginjak dewasa kemudian merasa tidak cocok
karena bukan pilihan sendiri, atau pun faktor-faktor lain yang kemudian menjadi
penyebab proses abhakalan tadi berakhir ditengah jalan.7
Oleh karena itu, dalam tradisi abhakalan kita harus menjaga tradisi yang
sudah melekat di dalam lingkungan masyarakat. Semisal agar hubungan keluarga
antara kedua belah pihak terus semakin dipererat dengan jalan saling asekket batton
(mengukuhkan ikatan pinggir balai-balai). Untuk itu kedua keluarga antar-
mangantarkan masakan dihari lebaran dan bulan-bulan suci Islam lainnya, serta
juga saling berkirim makanan kapan saja terbuka kesempatan sebagai pengukuhan
penyambung tali kekeluargaan. Abhakalan (peminangan) yang hubungan
kekeluargaannya tidak dipelihara secara baik dapat berakibat gagalnya, kata itu
dilanjutkan sampai pelaksanaan perkawinan karena epaburung (diputus), dengan
alasan sobung paste (tidak merupakan suratan takdir) untuk menjodohkan
keduanya.8
Kebiasaan ataupun tradisi di atas dalam istilah masyarakat desa Romben
Guna kecamatan Dungkek Sumenep Madura disebut dengan tradisi nyabek toloh
ataupun pemberian pada setiap bulan Ramadhan mendekati hari raya Idul Fitri
kepada bhakal perempuan. Seperti memberikan baju, uang dan kebutuhan-
7 Saniyah, Kontestasi Kelas Dalam Budaya Abakalan (studi hubungan perayaan abakalan
dengan prestise sosial di desa banuaju barat kecamatan batang-batang Sumenep Madura), h. 4.
8 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007) cet-
1, h. 90.
4
kebutuhan perempuan. Pemberian tersebut sudah menjadi suatu kewajiban
tersendiri bagi kalangan masyarakat desa Romben Guna khususnya, karena bila dari
pihak laki-laki tidak memberikan seserahan ataupun barang-barang kebutuhan
kepada calon wanita, maka akan menjadi salah satu penyebab batalnya khitbah
tersebut.
Perempuan merupakan bagian penting dalam struktur masyarakat Madura,
karena menjadi simbol prestise dan kehormatan sebuah keluarga.9 Tradisi nyabek
toloh merupakan bagian dari media dalam menghormati perempuan di Madura,
sehingga perlu kiranya laki-laki yang sudah berani meminang perempuan Madura
harus sanggup memberikan barang-barang yang menjadi keperluan seorang
perempuan. Menjadi suatu kehormatan tersendiri bagi orang Madura bisa
melindungi sekaligus membiayai seorang perempuan yang sudah kita ikat dalam
bingkai peminangan.
Sudah menjadi kewajiban adat dalam melaksanakan tradisi nyabek toloh,
karena bila tidak memberikan toloh kepada pasangan akan ada anggapan
masyarakat bahwa antara keluarga tersebut tidak harmonis dan petanda akan terjadi
batalnya abhakalan. Tradisi nyabek toloh sudah menjadi kegiatan rutinan setiap
tahun bagi yang melaksanakan peminangan khususnya masyarakat Romben Guna.
Sedangkan bila kita melihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 13,
ditegaskan bahwa “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan”.
Kompilasi Hukum Islam menegaskan tidak ada implikasi hukum dalam
memutuskan suatu pinangan. Berbeda bila melihat realitas adat yang ada di
masyarakat, terkadang ada konsekuensi harus ganti rugi dan ada pula yang tidak
ada ganti rugi. Semisal daerah Minangkabau bila terjadi putusnya pinangan maka
harus ada pengembalian barang-barang yang telah diberikan.10 Begitu juga dengan
9 Masyithah Mardhatillah, Perempuan Madura Sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi
Perjodohan, jurnal Musawa, Vol.13, No 2, Desember 2014, h 167
10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakt, 1990),
cet ke-4 h. 53.
5
daerah negara-negara muslim seperti Turki yang menerapkan ganti rugi bagi pihak
yang membatalkan pertunangan kepada pihak yang bertanggung jawab apabila
selama pertunangan menelan biaya.11
Adapun di tempat penelitian penulis apakah ada pengembalian juga, atau
malah tidak ada konsekuensi sama sekali itu akan diuraikan lebih lanjut pada bab-
bab berikutnya. Dengan demikian, menarik kita teliti tradisi nyabek toloh yang ada
di masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Sumenep Madura ini
sebagai bahan penambahan ilmu pengetahuan tentang khitbah. Melihat dari
kacamata hukum nasional tidak ada aturan yang mengikat mengenai aturan khitbah
itu sendiri.
Atas pertimbangan tersebut penulis lebih spesifik meneliti lebih lanjut
realitas tradisi nyabek toloh yang membumi di masyarakat Desa Romben Guna
Kecamatan Dungkek dalam melaksanakan peminangan. Mengetahui lebih dalam
makna apa yang terkandung dari dilaksanakan tradisi ini, sekaligus melihat dalam
perspektif adat yang ada di Madura serta harmonisasi tradisi nyabek toloh dengan
Islam.
Selanjutnya, tradisi nyabek toloh dalam peminangan di Madura khusunya
daerah Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep merupakan
tradisi yang masih hidup dan dilaksanakan oleh masyarakat. Berlakunya dan
bertahannya tradisi ini menandakan ada maksud dan tujuan tertentu. Sehingga perlu
kiranya penelitian lebih lanjut mengenai tema tradisi nyabek toloh. Dengan
demikian, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “TRADISI
NYABEK TOLOH DALAM PEMINANGAN DI MADURA (Studi Etnografi
Masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep
Madura)”.
11 M. Atho’ Muzdhar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
h. 43.
6
B. Identifikasi Masalah
1. Apa makna dari pemberian tradisi nyabek toloh dalam peminangan di Desa
Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep ?
2. Apa saja bentuk tradisi nyabek toloh dalam peminangan di Desa Romben Guna
Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep ?
3. Bagaimana praktik tradisi nyabek toloh dalam peminangan di Desa Romben
Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep ?
4. Apa dasar pemberian dari pelaksanaan tradisi nyabek toloh dalam peminangan
di Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep ?
5. Mengapa Masyarakat Desa Romben Guna masih menggunakan tradisi nyabek
toloh dalam Peminangan ?
6. Bagaimana sejarah dilaksanakannya tradisi nyabek toloh dalam peminangan di
Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep ?
7. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Romben Guna terhadap tradisi nyabek
toloh dalam peminangan ?
8. Bagaimana hukum Islam menjelaskan tentang peminangan ?
9. Bagaimana harmonisasi tradisi nyabek tolo dalam peminangan di Madura
dengan hukum Islam ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas, penulis akan membatasi permasalahan
ini pada tradisi tolo (pemberian seserahan dalam masa menunggu bagi orang yang
bertunangan) dalam peminangan, khususnya pada masyarakat desa Romben Guna
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura.
Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa makna tradisi nyabek toloh dalam peminangan oleh masyarakat di
Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep
Madura?
7
2. Apa yang menjadi dasar dalam pemberian nyabek tolo dalam
peminangan oleh masyarakat di Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura ?
3. Bagaimana pandangan Masyarakat, tokoh masyarakat, dan kyai tentang
tradisi nyabek toloh dalam peminangan di Desa Romben Guna
Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalm penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui wujud dan makna filosofi tradisi nyabek toloh dalam
peminangan di Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten
Sumenep Madura.
b. Untuk mengetahui dasar pemberian nyabek toloh dalam peminangan oleh
masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten
Sumenep Madura.
c. Untuk mengetahui pandangan dan praktik tokoh masyarakat, kyai dan
masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten
Sumenep Madura tentang tradisi nyabek toloh dalam peminangan di
Madura.
d. Untuk mengetahui harmonisasi tradisi nyabek toloh dalam peminangan di
Madura dengan prespektif hukum Islam
2. Manfaat
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang pemikiran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan
awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas
dan berhubungan dengan tradisi nyabek toloh dalam peminangan di
Madura.
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
khazanah pengetahuan dibidang hukum terkait persoalan tradisi nyabek
toloh dalam peminangan di Madura.
8
E. Kajian Studi Terdahulu
Untuk membuktikan bahwa penulis tidak melakukan duplikasi dan
penjiplakan, maka penulis akan menjabarkan studi terdahulu yang telah penulis
temui antara lain :
No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN
1 Tradisi Bhakal
Eko-Akoaghi
(Perjodohan
Sejak Dalam
Kandungan) di
Desa Sana Laok,
Kecamatan
Waru
Pamekasan
Madura dalam
Perspektif
Hukum Adat
dan Hukum
Islam oleh Septi
Karisyati Tahun
2014.
Pada skripsi ini
membahas tentang
konsep perjodohan
sejak dalam
kandungan yang
sudah menjadi
tradisi di masyarakat
Waru Pamekasan,
dalam
pembahasannya
dikaitkan dengan
hukum Islam salah
satunya konsep
maqasid as-syariah.
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
yang penulis tulis
adalah penekanannya
dalam skripsi tersebut
lebih kepada perspektif
islam dalam
memandang tradisi
bhakal dalam
kandungan ataupun
sejak kecil. Pada
pembahasan skripsi
penulis lebih
menekankan pada
tradisi nyabek toloh
dalam peminangan di
Madura, yang mana
pemberian ini sudah
menjadi sebuah tradisi
yang lumrah dalam
proses peminangan
khusunya objek daerah
yang penulis teliti.
2 Pandangan
Ulama’
Skripsi ini lebih pada
bahasan tentang
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
9
Terhadap
Pergaulan Laki-
laki dan
Perempuan
Selama Masa
Bhekalan
(Kasus Desa
Sumber Kerang
Gending
Probolinggo)
oleh Abd Qorlib
Hidayatuallah,
Tahun 2010
konsep peminangan
dalam Islam dan
pandangan Ulama
terhadap pergaulan
laki-laki dan
perempuan selama
masa abhakalan
khususnya daerah
Sumber Kerang.
yang penulis adalah
dalam pembahasannya
lebih kepada pandangan
ulama dalam
memandang tradisi
abhakalan tersebut,
sedangkan dalam
skripsi penulis lebih
pada tradisi nyabek
toloh dalam
peminangan khususnya
daerah Romben Guna.
Tradisi nyabek toloh
merupakan suatu
pemberian yang
dilakukan setiap tahun
sampai akad nikah
3 Motivasi
Remaja Dalam
Melaksanakan
Abhekalan
(Studi Kasus
Tradisi
Abhekalan Di
Masyarakat
Desa
Kabundadap
Timur Kec.
Seronggi Kab.
Sumenep
Madura) oleh
Pada pembahasan
skripsi ini lebih
kepada penekanan
motivasi remaja agar
abhekalan sesuai
dengan ajaran Islam,
yang mana dalam
kultur masyarakat
madura yang sangat
agamis pembatasan
pergaulan antara
laki-laki dan
perempuan sangatlah
ketat. Oleh karena
Perbedaan skripsi
tersebut dengan skripsi
yang penulis bahas
adalah dimana Penulis
lebih pada tradis nyabek
toloh ataupun dalam
masa menunggu
diwaktu abhekalan
tersebut, dimana tradisi
nyabek tolo biasanya
dilaksanakan pada
bulan ramdhan
menjelang hari raya
Idul Fitri dan
10
Siti Mahmudah
Tahun 2016
itu, dalam
pembahasan skripsi
lebih pada
bagaimana
menegosiasi kultur
tesebut dengan
memotivasi remaja
untuk melaksanakan
abhekalan dalam
menghindari
perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh
Islam dalam
pergaulan
perempuan dan laki-
laki.
pemberian itu
merupakan suatu
kewajiban tradisi untuk
melaksanakannya.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,
menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan,
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang bertujuan untuk
memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat dengan
mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara mendalam. Data disajikan
dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.12
12 Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pilar Media, 1996), cet ke-
3, hal. 2.
11
Penelitian ini juga merupakan penelitian etnografi. Ethnography
merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ethno dan graphic. Ethno berarti
orang atau anggota kelompok sosial atau budaya, sedangkan graphic berarti
tulisan atau catatan. Jadi secara literer ethnography berarti menulis/catatan
tentang orang atau anggota kelompok sosial budaya. Dalam arti luas
merupakan suatu sekelompok orang untuk menggambarkan kegiatan dan pola
sosial-budaya mereka.13
Jadi dapat dikatakan bahwa dalam penelitian etnografi adalah suatu
kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu
bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan
berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna
untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua
kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: pengetahuan dari
semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.14
Begitu juga, disini menggunakan sebuah penelitian antropologi,
antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang
dihasilkan.15
2. Pendekatan penelitian
Dalam pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan empiris.
Pendekatan empiris adalah pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang
diperoleh dari hasil penelitian dan observasi.16
Selain itu metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga
mengguakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologi lebih banyak
mempelajari kebudayaan dengan manusianya. Namun dalam hal ini,
13 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif & Penelitian Gabungan,
(Jakarta :Prenadamedia Group, 2014) cet, ke-1, h. 358.
14 James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1997), h.12.
15 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta, Bulan Bintang,1998), h.10.
16 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar,2009) h.19.
12
penekanannya lebih kepada pendekatan antropologi hukum. Antropologi
hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah
sosial yang bersifat hukum.17
3. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik
tertentu. Tetapi juga menganalisis dan menjelaskan mengapa atau bagaimana
hal itu terjadi.18
4. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Madura, yang mana terletak di ujung timur dari pulau
Madura. Stereotipe orang Madura yang dari dulu secara kokoh tertanam dalam
benak orang luar adalah sosok manusia yang beringas. Mereka begitu mudah
menghunus pisau belati atau mengacungkan celuritnya untuk bercarok karena
hal sepele demi memertahankan kehormatandan harga dirinya. Darah panas
yang dianggap mengalir dalam tubuh orang Madura, disebabkan tempat tinggal
di pulau yang tandus dan gersang.19 Tidak cukup hanya penilaian itu saja,
orang-orang Madura juga dikenal dengan beragama Islam yang kental.
Suksesnya Islamisasi di Madura tidak luput peran penting dari Wali
Songo (wali yang sembilan), dan khususnya sunan giri yang telah pertama kali
menyebarkan Islam di Madura.20 Pertama kali Islam ke Madura adalah di
daerah Kalianget, yang merupakan daerah pelabuhan yang ada di Kabupaten
Sumenep. Daerah Sumenep Madura ini merupakan sebagai daerah yang cukup
akrab dengan dunia keislaman. Hal itu ditandai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Sumenep pada tahun 1762 setelah pangeran Natakusuma I dilantik
17 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni,2010), Cet
ke-3, h.10.
18 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h.24.
19 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h.16.
20 Abdurrachman, Sedjarah Madura Selajang Pandang, (Sumenep:, t.t.p. 1988), h.16.
13
menjadi adipati Sumenep Sekitar 80% telah memeluk agama Islam.21 Hal
tersebut ditandai dengan adanya Masjid Agung Sumenep sebagai tempat
Peribadatan sekaligus wisata religi dan budaya yang merupakan sebagai simbol
Islam.
Selanjutnya, disini penulis memilih daerah Sumenep sebagai tempat
objek penelitian, yang merupakan sebuah daerah yang memiliki riwayat
lahirnya Islam di Madura dan masih merupakan bekas kerajaan. Walaupun
penulis tidak menafikkan alasan subjektif, bahwa penulis pernah hidup di
sekeliling masyarakat Sumenep dan kurang lebih mengetahui akan tradisi-
tradisi yang hidup di masyarakat semisal pembahasan dalam penelitian penulis.
Disamping itu akses pengumpulan data yang dibutuhkan dapat terpenuhi
dengan baik.
Begitu juga dengan desa yang penulis teliti yang merupakan daerah
pesisir dan banyaknya makam-makam bujuk (makam orang-orang terdahulu
yang dijadikan tempat ziarah), yang menandakan bahwa desa Romben Guna
Dungkek adalah termasuk desa tua. Dengan demikian, secara implisit banyak
peninggalan para leluhur yang terdapat pada daerah tersebut, termasuk
peninggalan tradisi-tradisi yang telah mengakar di masyarakat.
Selain itu. salah satu alasan desa ini dijadikan objek penelitian karena
masih banyak masyarakat yang mengamalkan tradisi nyabek toloh ini. Sebab,
ada sebagian daerah disebelah desa Romben Guna yang sudah mulai luntur
dalam menerapkan tradisi ini.
5. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat, ulama’ atau kyai desa dan masyarakat Desa Romben Guna
Kecamatan Dungkek Sumenep serta kepala desanya.
21 Putri Septya Selvina, Sejarah Berdirinya Masjid Jamik Sumenep Masal Pemerintahan
Natakusuma I (Adipati Sumenep XXXI:1762-1811 M), AVATARA, E-journal Pendidikan Islam,
Volume 1, No 3, (Oktober 2013),h.442.
14
b. Sumber Sekunder
Adapun sumber sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku,
karya ilmiah, jurnal dan literatur lain yang terkait dengan tema penelitian
ini.
6. Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data penelitian ini penulis mengunakan dengan
metode :
a. Wawancara dengan tokoh masyarakat desa, ulama atau kyai desa dan
beberapa masyarakat yang pernah melaksanakan tradisi nyabek toloh
dalam peminangan.
b. Penelitian Pustaka
Sumber data utama kajian ini adalah menelaah buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian ini baik bentuk skripsi, thesis, jurnal, dan literatur lain
yang terkait dengan penelitian ini.
7. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif
kualitatif. Dimana dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan,
menguraikan kemudian menganalisis data sehingga terungkat jelas. Kemudian
penulis akan menyimpulkan hasil penelitian dengan logika induktif. Dimana
masalah-masalah yang bersifat khusus akan ditarik menjadi suatu kesimpulan
yang bersifat umum.
8. Pengelolahan Data
Dalam mengelola data yang penulis dapatkan baik berbentuk
wawancara maupun data tertulis dari berbagai studi perpustakaan penulis
melakukan analisis terhadap data tersebut dengan analisis secara deskripif
maupun analisis.
G. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika penulisan
dalam lima bab, sistematika penulisan sebagai berikut :
15
a. Bab Kesatu, adalah pendahuluan, dalam bab ini yang memuat tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, metode analisis dan
sistematika penulisan.
b. Bab Kedua, konsep peminangan dalam hukum Islam dan budaya Madura,
dalam bab ini penulis akan membahas secara umum tentang perkawinan dalam
Islam, peminangan dalam Islam, konsep nafkah dalam Islam, mahar dalam
Islam, Islam dan Budaya Madura.
c. Bab Ketiga, dalam bab ini penulis akan membahas tentang budaya peminangan
di Romben Guna Sumenep Madura, gambaran umum geografis, pelaksanaan
adat perkawinan di Madura, adat peminangan di Madura, tata cara pelaksanaan
peminangan di Madura, tradisi nyabek toloh dalam peminangan di desa
Romben Guna dan tata cara pemberian toloh dalam peminangaan di Madura.
d. Bab Keempat, membahas tentang inti penelitian dan analisis mengenai tradisi
tolo dalam peminangan di Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Madura, dimulai dari pelaksanaan nyabek toloh, makna
tradisi tolo dalam sudut pandang masyarakat, dasar pemberian tradisi nyabek
toloh dan harmonisasi nyabek toloh dalam peminangan perspektif hukum
Islam.
e. Bab Kelima, adalah penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini,
dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang
penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan
dalam bab ini. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk
kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
16
BAB II
KONSEP PEMINANGAN DALAM ISLAM
DAN BUDAYA MADURA
A. Perkawinan dalam Islam
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran
dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti
kawin, salah satunya seperti dalam surat An-Nisa’ (4): 3 disebutkan ;
ن وث لث ورب مى فٱنكحوا ما طاب لكم م ن ٱلن ساء مث عف فنن خفتم وإن خفتم ألا ت قسطوا ف ٱلي ت
لك أدن ألا ت عولوا ألا ت عدلوا ف وحدة أو ما ملكت أينكم ذ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap anak yatim,
maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu sayangi, dua,
tiga atau empat orang, dan jika kamu tidak akan berlaku adil, cukup
satu orang”.
Demikian pula banyak masih kata-kata za-wa-ja dalam Al-Quran dalam
arti kawin.1 Secara bahasa nikah berasal dari kata al-dhommu wa al-jam’u, al-
wath’u yang artinya hubungan badan. Sedangkan secara terminologi sebuah
akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan,
dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya,
jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan dan
keluarga.2 Perkawinan juga bisa mempunyai arti sebagai ikatan lahir batin antara
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2007) cet ke-3, h. 36.
2 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, (Damaskus: Dar al-fikr,
2007), h. 6513.
17
seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.3
Definisi menurut perspektif hukum nasional, yaitu Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 2 berbunyi “Pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsaqan
galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah”.
Sedangkan di dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 didefinisikan
adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4
Adapun UU Perkawinan diatas merupakan produk hukum negara (state
law) yang secara subtantif bermuatan hukum Islam (Islamic law). Kendatipun
legislasi ini dimaksudkan untuk mengatur kemaslahatan umat dalam masalah
perkawinan, tetapi secara esensial UU ini banyak diwarnai oleh aturan-aturan
hukum perkawinan Islam.5
Selanjutnya, perkawinan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus
dimasuki oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama
keluarga. Perhatian Islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga
merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas.
Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap masyarakat. Baik tidaknya sebuah
masyarakat tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat dalam
masyarakat tersebut.6
3 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga, (Jakarta: Graha
Pramuda, 2008), cet ke-1, h. 3.
4 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 4.
5 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta:RMBooks,2012), h. 9.
6 Aida Humairo, Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam (Analisa Atas Nafkah Keluarga dari
Istri Karir), Jurnal Narasi V. 7, No. 1, Maret 2007 h. 118.
18
Keluarga adalah suatu bangunan tertentu (tersendiri) dalam struktur sosial.
Kesuksesan dan efisiensi dari tatanan sosial betapapun besarnya bergantung
pada stabilitas keluarga dan harmonisasi internal rumah tangga. Padahal semua
orang tahu bahwa stabilitas dan harmonisasi keluarga itu sangat bergantung pada
kebaikan setiap anggota keluarga dalam memenuhi kewajibannya terhadap
anggota keluarga yang lain.7
Sedangkan pada saat yang bersamaan, pernikahan merupakan peristiwa
yang berkaitan dengan perjuangan dialektis antara dua kultur kemanusian yang
berbeda, yang terwujud dalam kepribadian desa-kota, dan antara kepribadian
feminis dan genderistik. Pernikahan merupakan perjumpaan yang bersifat
spritual. Yang didalamnya melahirkan kesadaran cintai-mencintai dan kasih
mengasihi sebagai puncak-puncak proses dialektis. Suatu kesadaan yang
merupakan anugerah yang akan memperdamaikan kekuatan masing-masing.
Yaitu kekuatan-kekuatan instink dan kekuatan kultur kemanusian kedua belah
pihak.8
Adapun dasar hukum pernikahan menurut pendapat para ahli agama,
pernikahan atau perkawinan itu hukumnya ada 5 (lima) macam :9
a. Wajib :yaitu bagi orang yang mampu dan ia tak sanggup mengendalikan
hawa nafsunya.
b. Sunnat :yaitu bagi orang-orang yang mampu dan ia sanggup
mengendalikan hawa nafsunya.
c. Mubah :yaitu bagi orang-orang yang kurang mampu dan ia sanggup
mengendalikan hawa nafsunya.
d. Makruh :yaitu bagi orang-orang yang tidak mampu ia sanggup
mengendalikan hawa nafsunya.
7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2004), h. 34.
8 Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama Pesan-Pesan Rasullallah
SAW Menuju Pernikahan Barokah, (Yogyakarta : Kreasi Wacana 2001) cet ke-2, h. 15-16.
9 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 76.
19
e. Haram :yaitu bagi orang-orang yang melakukan perkawinan karena rasa
dendam dan sakit hati, karena sangat dikhawatirkan akan menimbulkan hal-
hal yang tidak baik di kemudian harinya.
Nikah itu wajib bagi orang yang mempunyai biaya dan mengkhawatirkan
dirinya tergelincir kepada yang diharamkan (seperti zina). Nikah itu
disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya tetapi tidak
mengkhawatirkan dirinya tergelincir pada perzinaan.
Dengan demikian, hukum asal dari perkawinan adalah mubah tapi
melaksanakannya adalah sunnah10 dan agama Islam sangat mengajurkannya,
karena perkawinan itu mempunyai banyak manfaat dan menolak madharat bagi
yang melaksanakannya. Bahkan Islam juga menganjurkan agar umatnya saling
membantu dalam mencari jodoh sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
an-Nur (24): 32 disebutkan ;11
لحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا ف قراء ي غنهم ٱللا ى منكم وٱلصا وٱللا وأنكحوا ٱلي ل من ف
سع عليم و
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya dan Allah
maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mangetahui”.
B. Peminangan dalam Islam
1. Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang atau meminang” (kata
kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab
10 Sunnah dalam hal ini berarti ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, Sunnah dilihat dari tiga sisi dan esensinya yaitu sunnah
Qauliayah, Sunnah Fi’iliyah, dan Sunnah Taqririyah, Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,
penerjemah: Saefullah Ma’shum, Jakarta: Pustaka Firdaus,1999, cet ke-4, h. 149.
11 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan, h. 76.
20
disebut “khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara
lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).
Menurut terminologi, peminangan ialah “kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubugan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita”.12
Khitbah adalah mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan
seorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada
perempuan tersebut dan walinya. Pemberitahuan keinginan tersebut bisa
dilakukan secara langsung oleh pihak lelaki yang hendak mengkhitbah, atau
bisa juga dengan cara memakai perantara keluarganya. Jika si perempuan yang
hendak dikhitbah atau keluarganya setuju maka tunangan dinyatakan sah.
Dengan demikian, hukum dan konsekuensi syariat yang akan saya sebutkan
telah berlaku.13
Menurut hukum adat bahwa suatu persetujuan untuk bertunangan baru
mengikat apabila kedua belah pihak yang bersangkutan mempertukarkan tanda
(zichtbaar teken) sebagai bukti adanya persetujuan untuk itu. Dengan adanya
pertukaran tanda itu terjadilah peristiwa pertunangan, yang merupakan suatu
peristiwa hukum.14
Kompilasi Hukum Islam pasal 11 menjelaskan sebagai berikut,
“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya”.15
Adapun dasar nash Al-Quran tentang khitbah pada QS Al-Baqarah (2):
235 disebutkan :
12 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2012), cet ke-
5, h. 73.
13 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, h. 21.
14 Amiur Nuruddin & Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 87.
15 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 80.
21
من خطبة ٱلن ساء أو أكننتم ف أنفسكم علم ٱللا أناكم ول جناح عليكم فيما عراضتم ب
....ماعروفا اعدوهنا سرا إلا أن ت قولوا ق ولستذكرون هنا ولكن لا ت و
Artinya: “Tidak dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran atau
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu,
Allah SWT mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dari pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan
mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan kepada
mereka pekataan ma’ruf (sindiran)...”
Dasar nash hadis, yaitu hadits Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud:16
وسلام قا اذا خط احدكم المراة فانعن جابربن عبدالله رسو الله للاى الله علي أن ا
استطاع ان ي نطرال ما يدعوه ال نكاحها ف لي فعل )رواه ابودا ود(
Artinya: “Dari ibnu jabir r.a. berkata, rasullah SAW bersabda apabila
seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia
dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk
menikahinya, maka laksankanlah”. (HR. Abu Daud).
Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa khitbah (meminang) adalah
langkah awal menuju kepada ikatan suci yaitu perkawinan, seorang harus
menempuh beberapa tahap yang harus dilalui, salah satunya peminangan
ataupun khitbah. Khitbah (meminang) merupakan penyataan yang jelas atas
keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju pernikahan
meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan, yang
merupakan dasar dalam penetapan, dan oleh karena seharusnya dijelaskan
dengan keinginan yang benar dan kerelaan penglihatan.17
Jadi pada dasarnya peminangan adalah sebatas permohonan saja,
terlepas dari diterima atau tidak oleh wanita yang dipinang atau permohonan
16 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad,Ibnu
Ali dan Muhammad Khuzainal Arif,(Jakarta: Pustaka as-Sunnah,2007), h. 480.
17 Ali Yusuf As-Subki, Fiqih keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010) cet ke-2, h. 66.
22
tersebut. Diterimanya suatu, pinangan baik oleh wanita yang bersangkuatan
maupun oleh seorang walinya, tidaklah berarti telah terjadi akad nikah di antara
kedua belah pihak. Akan tetapi kata terima itu hanya berarti bahwa laki-laki
tersebut adalah calon untuk menjadi seorang suami bagi wanita tersebut pada
masa yang akan datang.
Melakukan khitbah pada dasarnya adalah mubah (boleh) selama tidak
ada larangan syara’. Sementara bagi mazhab Imam Malik bahwa hukum
khitbah adalah sunnah.18 Namun kadang ada pula pinangan itu menjadi
makruh, seperti pinangan yang berlangsung pada waktu ihram haji maupun
haram umrah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa :19
وسلام لي نكح المحرم ولي نكح وليط )رواه مسلم( قا رسو الله للاى الله علي
Artinya: ”Bersabda Rasulullah SAW, bahwa seorang yang sedang ihram
tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan serta tidak boleh
pula melakukan pinangan”(HR. Muslim).
Senada dengan Imam Syafi’i memberi alasan yang sama yaitu sunnah
melakukan khitbah tetapi makruh bagi muhrim laki-laki yang ihram atau
muhrimah yang ihram dilarang melakukan aqad nikah.20
Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib. Namun
praktik kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa peminangan
merupakan pendahulu yang pasti dilakukan. Karena di dalamnya ada pesan
moral dan tata krama untuk mengawali rencana membangun rumah tangga
yang ingin mewujudkan kebahagiaan, sakinah mawaddah wa rahmah.21
18 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antara Mazhab,
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 92.
19 Muhammad Nasaruddn al-albani, Ringkasan Shahih Muslim, Penerjemah KMCP, Imron
Rosadi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 570.
20 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antara Mazhab,
h.112.
21 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 18.
23
2. Larangan Mengkhitbah Perempuan yang Telah Dikhitbah
Salah satu konsekuensi khitbah adalah haramnya mengkhitbah
perempuan yang telah diketahui sah telah dikhitbah oleh orang lain. Ulama
telah berijma’ (bersepakat) akan keharaman khitbahnya orang kedua setelah
terjadinya khitbah orang pertama, jika khitbah pertama memang telah dengan
jelas diterima serta orang pertama tidak memberi izin dan tidak membatalkan
khitbahnya. Jika dalam keadaan ini orang kedua tetap mengkhitbah dan
menikahi perempuan tersebut maka menurut ijma’ ulama, dia telah bermaksiat.
Hal itu berlandaskan sabda Nabi saw
ل الا أن أذن ل ول يط على خطبة اخي يبيع احدكم على ب يع اخي
Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kalian menjual barang yang
telah dijual kepada saudaranya dan janganlah salah seorang
diantara kalian mengkhitbah (perempuan) yang dikhitbah oleh
saudaranya, kecuali dia mengizinkannya” (HR Ahmad Muslim).
Pelarangan ini sangat jelas dalam mengharamkan orang lain untuk
melakukan khitbah kedua setelah khitbah pertama disetujui. Karena hal ini
dapat menyakiti orang yang mengkhitbah pertama, menimbulkan permusuhan,
dan memunculkan rasa dengki dalam hati. Jika salah satu dari kedua belah
pihak yang melakukan khitbah membatalkan atau memberi izin kepada orang
lain untuk mengajukan khitbah maka hal itu boleh.22
Ada beberapa ketentuan peminangan yang diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yaitu sebagai berikut :
a. Peminangan dapat langsung dilakukan oleh yang berkehendak mencari
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercayai.
b. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
22 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, h. 22.
24
c. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah
haram dan dilarang untuk dipinang. Alasannya, adalah bahwa perempuan
dalam talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat
dalam perkawinan .
d. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain
selama pinangan pria tersebut belum putus atau ada penolakan dari pihak
wanita.
e. Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjahui dan meninggalkan wanita yang dipinang.
f. Peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat sehingga
tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.23
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat
sebagai berikut :24
a. Tidak dalam pinangan orang lain.
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah
meminang dengan sirry (tidak terang-terangan).
3. Kriteria Memilih Pasangan
Agama Islam sangat menginginkan akan kelanggengan pernikahan
dengan berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga
23 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 19.
24 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat Pedoman Berkeluarga dalam Islam, h. 74.
25
mampu merealisasikan kejernihan, ketentraman, kebahagian dan ketenangan.
Semua itu dapat diraih dengan adanya agama dan akhlak. Agama dapat
semakin menguat seiring dengan bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan
semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup.
Adapun tujuan lainnya yang sering mempengaruhi manusia seperti harta,
kecantikan, dan jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat
menciptakan kelanggengan hubungan, bahkan umumnya malah menjadi
pemicu timbulnya sifat saling berbangga diri dan merasa tinggi serta ingin
dipandang oleh orang lain.
Oleh karena itu, Nabi saw bersabda:
وسلام قا : ت نكخ المرأة لربع:وعن أب عن الناب للاى الله علي لمالا، هري رة رضي الله عن
ين، تربت يداك. ولسبها، ولمالا، ولدينها، فاظفر بذات الد
Artinya: Dari Abu Hurairah dari nabi, beliau berkata ,“Wanita itu dinikahi
karena empat hal, yaitu hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Pilihlah wanita yangberagama, kamu akan bahagia.”25
Seorang laki-laki yang sudah masanya memasuki kehidupan rumah
tangga dianjurkan mencari jodohnya yang sekufu, selevel, setingkat dan
sepaham, karena jodoh merupakan salah satu yang menentukan terciptanya
keharmonisan rumah tangga dan komunikasi antara keluarga dari pihak suami
dan pihak istri dan agar tidak ada pembatasan atau jurang pemisah antara
keluarga kedua belah pihak.26
Seorang wanita muslimah hendaknya memilih calon suami yang shalih
dan berakhlak mulia, hingga dapat mempergaulinya dengan cara yang baik atau
nanti apabila menceraikannya, maka hal itu akan ia lakukan dengan cara yang
baik pula. Imam Ghazali berkata: “Berhati-hati terhadap hak-hak wanita
25 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, penerjemah Zaid Muhammad,Ibnu
Ali dan Muhammad Khuzainal Arif, h. 478.
26 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Jakarta:
Darussalam,2004) cet ke-1, h. 148.
26
sebagai isteri adalah penting. Karena, mereka (kaum wanita) merupakan
makhluk yang lemah. Apabila wanita muslimah memilih calon suami zhalim,
fasiq atau peminum minuman keras, maka berarti agamanya menjadi ternoda
serta akan menjadi penyebab kemurkaan Allah Azza Wa Jalla, karena ia telah
memutuskan tali silaturrahim dan salah pilih”.27
Kriteria jodoh menurut imam Hanafi harus mempertimbangkan pada
enam perkara :28
a. Suku bangsa
b. Islam
c. Status Sosial
d. Merdeka
e. Agama dan
f. kaya
Dalam penentuan jodoh antara pria dan wanita menurut Syafi’i, harus
mempertimbangkan empat perkara :
a. Suku bangsa
b. Agama
c. Merdeka (bukan budak); dan
d. Status Sosial.
4. Pembatalan Peminangan
Pembatalan pinangan menjadi hak masing-masing pihak yang telah
mengikat perjanjian. Dalam ajaran Islam tidak ada hukuman materiil terhadap
seseorang yang menyalahi janjinya, sekalipun perbuatan itu dipandang amat
tercela dan salah satu sifat-sifat kemunafikan terkecuali ada alasan-alasan
27 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Alih bahasa M. Abdul Ghoffar E.M,
(Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2007), cet ke-24, h. 398.
28 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan,.h.148.
27
pembenar. Masalah pemutusan peminangan ini diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 12 ayat (4) dan pasal 13, yakni :29
a. Pasal 12 ayat 4 pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang
telah menjauhi dan menninggalkan yang dipinang.
b. Pasal 13
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Masa pertunangan ini biasanya ada pemberian barang-barang sebagai
hadiah dari pihak calon suami kepada calon istrinya. Pemberian ini dalam adat
Jawa disebut peningset atau tanda ikatan cinta. Pemberian dan hadiah yang
telah diberikan hukumnya sama dengan hibah.
Menurut madzab Syafii, barang-barang hadiahnya harus dikembalikan
jika masih utuh, tetapi jika sudah rusak diganti sesuai harganya. Sedang
menurut mazhab Maliki, jika yang membatalkan dari pihak pria, maka tidak
berhak lagi atas barang-barang yang dihadiahkan. Tetapi jika pihak perempuan
yang membatalkan, maka pihak laki-laki berhak meminta kembali semua
barang yang sudah dihadiahkan baik masih utuh atau sudah rusak, jika sudah
rusak, maka harus diganti terkecuali ada perjanjian sebelumnya, atau
berdasarkan pada urf berlaku.
Praktik di pengadilan Mesir berdasarkan pada mazhab Hanafi yang
menyatakan bahwa segala hadiah dari pihak laki-laki berhak untuk diminta
kembali selagi barangnya utuh tidak ada perubahan. Jika barangnya sudah
29 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.292.
28
rusak, maka hak untuk meminta kembali tidak ada atau meminta kembali ganti
yang lain.30
Islam membolehkan pembatalan pinangan, dengan syarat dalam
melakukan pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang
rasional, tidak boleh bila pembatalan pinangan dilakukan tanpa alasan yang
tidak sesuai dan tidak dibenarkan oleh syara’ karena akan mengecewakan salah
satu pihak.31
5. Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang
ingin dinikahinya, bahkan dianjurkan dan disunnahkan karena pandangan
peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan
hidup pernikahan dan ketenteraman. Diantara dalil yang menunjukkan
bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan
dari Nabi bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang
seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya ?” Ia
menjawab: “Belum”. Beliau bersabda:
انظر اليها فإنه أحرى أن يؤدم بينكما
Artinya: Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga kasih
sayang dan kesesuaian).
a. Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh Dipandang
Mayoritas fuqaha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita
terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan.
Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak
nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak
30 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia ,
h.293.
31 Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan memilih jodoh, (Bandung: CV. Sinar baru,
1992), h.118.
29
tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun
dalilnya adalah firman Allah QS. An-Nur (24): 31 ;
هاف ول ي بدين زين ت هنا إلا ما ظهر من
Artinya: Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
apa biasa terlihat darinya.
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya”
dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan,
pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya
sekadarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan
kedua talapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh
seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut
jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
b. Waktu Melihat Wanita Terpinang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan
melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memliki azam
(keinginan kuat) menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun
materiil. Syarat lain berkenaan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik
untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain. Ini
berarti, melihat wanita yang terpinang itu diperbolehkan pada waktu
meminang. Imam Asy-Syafi’i menjelaskan, hendaknya melihat wanita
sebelum khitbah dengan niat akan menikahinya, baik tanpa sepengetahuan
yang bersangkutan maupun sepengetahuan keluarganya. Hal tersebut
dikarenakan hukum bolehnya melihat, tidak ada syarat izin wanita
terpinang maupun dari walinya.
c. Empat Mata Dengan Wanita Pinangan
Syariat Islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang,
demikian juga wanita terpinang boleh melihat laki-laki peminang.
Penglihatan masing-masing ini dimaksudkan agar saling memahami dan
menerima sebelum melangkah ke pernikahan. Kebolehan melihat tersebut
30
hanya pada saat khitbah. Memperbolehkannya melihat wanita terpinang
karena maslahat, sedangkan segala bentuk yang menimbulkan bencana
atau kerusakan (mafsadat) terlarang. Larangan berlaku umum sebagaimana
sabda Nabi :
رأة فإن ثالثهما الشيطان لا يخلون رجل بإم
Artinya: Tidak boleh bersunyian seorang laki-laki dengan seorang wanita
sesungguhnya yang ketiga adalah setan.
Hadis di atas bukan berarti melarang duduk dan berbincang-bincang
antara peminang dan terpinang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat
adanya mahram yang menyertainya atau minimal di bawah pengawasan
keluarga dan kerabat.32
C. Nafkah dalam Islam
Kata nafkah berasal dari infak yang artinya mengeluarkan, dan kata ini tidak
digunakan selain untuk hal-hal kebaikan. Bentuk jamak dari kata nafkah adalah
nafaqaat yang secara bahasa artinya sesuatu yang diinfakkan atau dikeluarkan oleh
seseorang untuk keperluan keluarganya. Adapun nafkah menurut syara’ adalah
kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat
tinggal.33
Nafkah ialah pengeluaran seseorang berupa pembekalan bagi orang yang
nafkahnya wajib ditanggungnya, seperti roti, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal,
dan apa-apa yang serupa dengannya seperti air, minyak, lampu, dan sebagainya.34
Adapun untuk ukuran jumlah nafkah jumhur ulama berpendapat untuk
meniadakan ukuran nafkah, kecuali dengan istilah secukupnya. Berkenaan dengan
hal ini Imam Syafi’i mengatakan: “bagi orang yang miskin dan berada dalam
kesulitan adalah satu mud, sementara bagi orang yang berada dalam kemudahan
32 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), cet ke-2, h.10-
16.
33 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, h.91.
34 Aida Humairo, Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam (Analisa Atas Nafkah Keluarga dari
Istri Karir), Jurnal Narasi V. 7, No. 1, Maret 2007 h.121.
31
adalah dua mud, dan yang berada di antara keduanya adalah satu setengah mud.”
Sedangkan menurut Abu Hanifah: “ Bagi orang yang berada dalam kemudahan
memberikan tujuh sampai delapan dirham dalam satu bulannya dan bagi yang
berada dalam kesulitan memberikan empat sampai lima dirham padda setiap
bulannya.” Sebagian dari sahabat beliau (Abu Hanifah) mengemukakan: “Ukuran
ini diberikan untuk kebutuhan makanan dan untuk selain makanan memakai ukuran
secukupnya”.35
Adapun dasar hukum nafkah, firman Allah SWT QS Al-Thalaq (65): 7 ;
ف م نلينفق ذو سعة ها ء ما إلا ن فسا ٱللا يكل ف ل ٱللا ءاتى ماا ف لينفق رزقۥ علي قدر ومن سعت اتى
يسرا عسر ب عد ٱللا سيجعل
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah
memeberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
Ada beberapa macam nafkah, sebagai berikut :
a. Nafkah yang wajib dikeluarkan oleh seseorang untuk dirinya sendiri jika
memang mampu. Nafkah ini harus didahulukan dari pada nafkah untuk orang
lain karena Rasulullah SAW, bersabda,
ابدأ بن فسك ث ا بن ت عو
Artinya: “Mulailah dengan dirimu sendiri, kemudian baru kepada orang
yang ada dalam tanggunganmu”.
b. Nafkah yang wajib atas diri seseorang untuk orang lain. Sebab-sebab yang
menjadikan nafkah ini wajib ada tiga, yaitu sebab nikah, hubungan
kekerabatan, dan hak kepemilikan.36
35 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Alih bahasa M. Abdul Ghoffar E.M,
h.453
36 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, h.95.
32
Kekerabatan yang mewajibkan nafkah sebagaimana pendapat para
madzhab, sebagai berikut :
a. Madzhab Maliki : Nafkah yang wajib itu untuk ayah dan anak secara
langsung, bukan yang lainnya. Jadi, nafkah itu wajib untuk ayah, ibu, anak
laki-laki maupun perempuan.
b. Madzhab Syafi’i : kekerabatan yang berhak mendapatkan nafkah adalah
kekerabatan kedua orang tua ke atas, dan kekerabatan anak ke bawah.
c. Madzhab Hanafi : wajib hukumnya memberi nafkah kepada kerabat
mahram karena pernikahan. Artinya setiap orang yang masih terhitung
mahram wajib dinafkahi. Akan tetapi, tidak untuk kerabat dekat yang bukan
mahram.
d. Madzhab Hanabillah: nafkah hukumnya wajib untuk setiap keluarga dekat
yang dapat warisan, baik yang mendapat bagian tetap maupun hanya
mendapat bagian ashabah, dari usul, furu’, dan kerabat dekat seperti saudara
paman, beserta anak-anaknya.37
Adapun di antara sebab-sebab yang mewajibkan pemberian nafkah kepada
orang lain ini ada tiga sebab, yakni pertama karena hubungan perkawinan, kedua
hubungan kekerabatan, dan ketiga karena hubungan kepemilikan (Budak).38
D. Mahar dalam Islam
Mahar dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan maskawin. Maskawin
atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah, atau
pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib. Atau sesuatu
yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad nikah antara
keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon istri serta
kesedian calon istri untuk menjadi istrinya. Dalam redaksi lain, maskawin (mahar)
37 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, h. 95-97.
38 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, h. 9.
33
itu adalah harta yang diberikan kepada istri sebagai tanda atau syarat terjadinya
ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita.39
Menurut istilah, mahar berarti harta kekayaan yang harus diberikan seorang
pria kepada wanita yang akan dinikahinya melalui akad nikah yang resmi. Ada
beberapa nama lain untuk mahar, yaitu shadaq, nihlah, faridhah, thaula, hiba’, ajr,
aqr, dan nikah.40
Mahar dalam Al-Quran disebutkan Q.S. An-nisa’ (4): 4 ;
لة اماري اهني وه فكل ان فس م ن شيء عن لكم طب فنن وءاتوا ٱلن ساء لدقتهنا ن
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya”.
Ayat al-quran di atas memberikan instruksi bahwa diharuskannya kita
memberi mahar. Hukum wajib tersebut telah disepakati oleh para ulama, dari sejak
zaman sahabat sampai hari ini. Seandainya seorang pria dibolehkan menikah
dengan seorang wanita tanpa mahar, niscaya hal itu mengandung pelecehan dan
perendahan harga diri wanita, sehingga kaum laki-laki akan memandang hina kaum
wanita. Akibatnya, hubungan antara keduanya tidak akan baik dan kebersamaan
mereka tidak akan menyenangankan. Pada gilirannya kelak hal itu akan
menimbulkan putusnya ikatan dan tercerainya kekuatan yang menyatukan
keduanya.41
Islam sangat menghormati kaum wanita, muslimah maupun kafir. Hal
sedemikianlah yang menjadi salah satu keunggulan dan keistimewaan Islam. Ia
yang pertama kali secara lantang menyuarakan bahwa kaum wanita sejajar dengan
pria. Islam mewajibkan pembayaran mahar bagi pria mana saja yang akan menikahi
39 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 47.
40 Adil Abdul Mun’in Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, alih bahasa Gizi Said,
(Jakarta: Almihara,1987), h.103
41 Adil Abdul Mun’in Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h.105
34
wanita. Untuk tujuan itu, Islam menegakkan hukum ilahi dan manhaj samawi agar
mereka bisa tetap bertahan sampai akhir zaman.42
Adapun Jenis-jenis mahar, para ahli hukum Islam membagi mahar dalam
dua jenis, yakni:
a. Mahar yang disebutkan (mahr al-musamma)
b. Mahar Misil (mahr al-mithl)
Mahar yang disebutkan adalah mahar yang ditetapkan sebelum akad nikah,
dan disebutkan ketika akan perkawinan.43
Mahar sebagai kewajiban suami yang dibayarkan kepada istri maka dalam
kaitan ini istri harus tahu-menahu dan paling menentukan kadar jumlah, jenis dan
lain-lain sampai apakah dia bisa membebaskan sebagian atau seluruh mahar
sebagimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Bila mahar ditentukan jenis dan
kadarnya dinamakan mahar musamma, yang tidak ditentukan termasuk yang
disebut-sebut ketika akad berlangsung dinamakan mahar misil, karena
dipersamakan dengan mahar biasa belaku lingkungan keluarga istri. Baik mahar
musamma atau mahar misil yang tidak dibayarkan ketika akad, maka akan menjadi
hak istri, atau suami dinyatakan hutang sepenuh ketentuan apabila telah terjadi satu
diantara dua hal berikut.44
Adapun tujuan dan hikmah mahar, merupakan jalan yang menjadikan istri
berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.
a. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta
mencintai.
42 Adil Abdul Mun’in Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h.102
43 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
h.301.
44 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995) ,
h.85.
35
b. Sebagai usaha memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberikan hak untuk memegang urusannya.45
E. Islam dan Budaya
1. Relasi Islam dan Budaya
Agama dan kebudayaan memiliki suatu kesatuan yang utuh, walaupun
terkadang dalam paradigma umum, seringkali mengemuka agama yang
melahirkan budaya masyarakat. Melalui agama terbentuk pola hidup
bermasyarakat.46 Pendekatan agama melalui kultur masyarakatnya ini tentu
tidak dimaksudkan untuk meletakkan kebenaran-kebenaran suatu keimanan
tertentu, tetapi lebih berupaya meletakan bagaimana manusia melakukan
inkulturasi agama dalam kehidupan kesehariannya. Yakni bagaimana suatu
keyakinan terhadap sesuatu yang irrasional, tak dapat diverifikasi, difasilitasi
dan mungkin pula tidak dapat dibuktikan, namun secara rasional mampu
membentuk identitas, kesadaran dan prilaku yang sama dalam sebuah konstruk
masyarakat secara lebih luas.47
Secara implisit agama (din) dengan sendirinya melahirkan peradaban
(madinah atau tamaddun). Agama dan peradaban tampak berhubungan sangat
erat satu sama lain dan memperlihatkan kedekatan yang signifikan. Memang
banyak orang yang membuat distingsi (pembedaan) yang terlalu tajam antara
agama dan peradaban. Misalnya, dikatakan bahwa agama adalah wahyu tuhan
sedang peradaban adalah hasil olah nalar dan inovasi manusia.48 Islam itu
45 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
h.301.
46 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UIN Press, 2015).
h. 25.
47 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h.5
48 Nurcholish Madjid, Kehampaan Spritual masyarakat Modern respon dan transformasi
nilai-nilai Islam menuju Masyarakat madani,(Jakarta: Mediacita,2001), cet ke-5, h. 357
36
sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan
yang lengkap.49
Memang benar adanya suatu kebudayaan dibentuk oleh kesepakatan-
kesepakatan, pertukaran-pertukaran serta perpindahan masyarakat.
Kebudayaan dibentuk oleh latar belakang sejarah dan geografis secara
khusus.50 Jadi dengan adanya proses Akulturasi antara agama dan budaya
menunjukkan daya tawar yang setara, dimana pihak-pihak pemilik kebudayaan
bersama-sama mengambil bagian untuk “take and give” budaya bagi proses
adaptasi di lingkungan bersama. Kadar perdamaian yang dibangun melalui
akulturasi lebih kuat dengan dukungan para pemilik identitas budaya. Terlebih
dengan adanya penyatuan budaya atau akulturasi yang menciptakan ikatan
sosial baru atau memperkuat ikatan sosial yang telah ada, dan semakin menuju
pada keseimbangan, sebagaimana dalam fungsionalisme struktural.51
Pada dasarnya umat Islam di Indonesia bukan suatu kelompok yang
monolitik, terdapat kemajemukan dalam berbagai tradisi, pemahaman, dan
praktek-praktek keagamaan yang merupakan ekspresi dari keislaman yang
diyakininya.52 Tradisi, adab kesopanan dan adat istiadat ini dibangun oleh
Islam dalam masyarakatnya untuk melayani kepentingan akidah dan syi’ar
ritual-nya, pemahaman dan cita rasanya, akhlak dan nilai-nilai luhurnya.53
Semisal dalam kehidupan manusia beragama pada praktiknya tidak saja
dipengaruhi oleh aturan dogma atau nilai-nilai yang bersumber dari ajaran
agama saja. Tetapi juga sistem nilai yang berlaku di masyarakatnya, yang
49 M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Bandung: PT Girimukti
Pasaka, 1988), h.45.
50 Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi Memahami Realitas Sosial Budaya,
(Malang: Intrans Publishing,2015),h. 9.
51 Joko Tri Haryanto, Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam,
Jurnal Smart Vol 01 Nomor 01 Juni 2015, h. 50.
52 Joko Tri Haryanto, Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam, h.
50.
53 Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat islam, alih bahasa Setiawan Budi
Utomo(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1999), h.95.
37
kadang memiliki kesamaan nilai dengan ajaran agama yang dianutnya, atau
kadang juga bertentangan. Kebiasaan masyarakat yang sering dihadap-
hadapkan dengan doktrin ajaran agama dan dipandang sesat seperti tradisi
sabung ayam, kerapan sapi, meminta petunjuk dukun, menyembah atau
menghormati benda-benda yang dipandang kemaramat, tradisi ngarung, dan
sebagainya. Beberapa tradisi atau adat dalam keberagaman masyarakat
khususnya di Jawa seperti budaya tahlilan atau mengirim pahala bacaan Al-
Quran kepada orang yang sudah wafat juga dipandang masih kurang
memurnikan ajaran agama Islam atau sarat kebiasaan masa lalu pada agama
sebelumnya, yaitu Hindu dan Buddha. Sebagian ulama berpendapat bahwa
tradisi tahlilan di kalangan organisasi keagamaan seperti NU tersebut
dipandang bid’ah atau tradisi baru yang tidak memiliki dalil keagamaan yang
sesuai dengan tuntunan syariah, sehingga dipandang sebagai sesuatu yang baru
dan harus dihilangkan. Sebaliknya, sebagian ulama lainnya memandang bahwa
tetap ada dalili-dalil yang membenarkan diterimanya pahala bacaan Al-Quran
kepada orang yang sudah wafat.54
Adanya kebudayaan yang hidup di masyarakat adalah sebagai pedoman
bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat
tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan akan
kebudayaan tersebut harus berupa pengetahuan yang diyakini masyarakat yang
mempunyainya.55
Demikian jelas bahwa kebudayaan dan Islam merupakan satu kesatuan
yang lengkap dan utuh. Kebudayaan mewujudkan suatu integrasi, maka
perubahan pada satu unsur sering menimbulkan pantulan yang dahsyat dan
kadang-kadang pantulan itu terjadi pada bidang-bidang yang sama sekali tidak
disangka semula.56
54 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h.8
55 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, h.10.
56 T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999), cet ke-10, h.31.
38
2. Kebudayaan dalam Persepektif Islam
Kebudayaan biasanya dalam Islam lebih sering disebut sebagai urf, urf
adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi
mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia
juga disebut: adat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara’ tidak ada
perbedaan antara urf dan adat kebiasaan.57
Adapun urf itu terbagi menjadi dua, pertama urf shahih ialah sesuatu
yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara’,
tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan
sesuatu yang wajib, sebagimana kebiasaan mereka mengadakan akad jasa
pembuatan (produksi), kebiasaan mereka membagi maskawin kepada
maskawin yang didahulukan dan maskawin yang diakhirkan penyerahannya.
Kedua, Urf fasid ialah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan
tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara’, atau mengahalalkan sesuatu yang
diharamkan atau membatalkan sesuatu yang wajib.
Sebagaimana dalam qaidah fiqhiyyah, sebagai berikut :58
العادة شري عة مكامة
Artinya : adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum
تغير الحكام بتغير الزمنة والمكنة
Artinya: Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan
tempat.
57 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,
(Semarang: Dina Utama, 1994), h. 123.
58 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 223.
39
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :59
a. Urf itu berlaku secara umum (baik yang bersifat khusus dan umum
maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan). Artinya, urf berlaku dalam
mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b. Urf itu telah memasyarakat ketika persoalah yang akan dijadikan sandaran
hukum lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak
telah menetukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan,
d. Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan.
Selanjutnya, dalam kajian ushul fiqih dikenal istilah maslahat.
Maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharataan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan
dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia,
karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak
syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.60
Maslahat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu al-daruriyah (primer), al-
hajiyyat (Sekunder), dan al-tahsiniyyat (tersier). Maslahat hajiyyat adalah
segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara
59 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h.217.
60 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h.152
40
lima maqasid syariah, tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesusahan,
kesempitan, ihtiyat atau kehati-hatian.61
F. Islamisasi Budaya Madura
Adapun Islamisasi pada penduduk Madura meluas lebih lanjut setelah raja-
raja, mungkin pada pertengahan abad ke-16 memeluk agama itu dan mendorong
penyebaraan ajaran Nabi Muhammad. Terutama Sumenep, kawasan dengan
perdagangan yang paling ramai, tumbuh menjadi daerah Islam yang penting. Pada
pertengahan abad yang lalu, di Sumenep terdapat 2.130 “ulama Islam” lebih banyak
dari pada Madura Barat dan Pamekasan.62 Suksesnya Islamisasi di Madura juga
tidak luput peran penting dari Wali Songo (wali yang sembilan), khususnya Sunan
Giri dalam menyebarkan Islam di Madura.63
Pada tahap pertama penetrasi Islam, penyebaran Islam masih relatif terbatas
di kota-kota pelabuhan. Tetapi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Islam mulai
menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada
tahap ini, para pedagang, dan ulama-ulama yang sekaligus Wali Songo dengan
murid-muridnya memegang peranan penting dalam penyebaran tersebut. Sunan
Giri mengutus dua santrinya yang keturunan Arab yang bernama Sayyid Yusuf al-
Anggawi untuk Madura bagian timur (Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya) dan
Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi untuk bagian Madura barat (Bangkalan,
Sampang, dan Pamekasan).64
Kebanyakan orang Madura, penduduk desa adalah penganut agama Islam.
Tetapi dalam jemaah keagamaan, mereka menempati kedudukan yang khusus.
Sedangkan orang-orang luar memandang orang Madura sebagai orang yang sangat
61 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, h. 554
62 Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan
Islam, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, (Jakarta: PT Gramedia,1989). h. 241.
63 Afif Amrullah, Islam Madura, Jurnal Islamuna, V. 2 Nomor 1 Juni 2015, h.59.
64 Afif Amrullah, Islam Madura, h.59-60.
41
beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran
agama.65
Masyarakat Madura dikenal sebagai komunitas yang patuh dalam
menjalankan ajaran agama Islam. Karenanya, Madura dapat dikatakan identik
dengan Islam, meskipun tidak semua orang Madura memeluk agama Islam. Dengan
kata lain, Islam menjadi bagian dari Identik etnik. Dengan demikian, sebagai agama
orang Madura, Islam tidak hanya berfungsi sebagai refrensi kelakuan sosial dalam
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, Islam juga merupakan salah satu unsur
penanda identitas etnik Madura. Kedua unsur tersebut saling menentukan dan
keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik Madura sangat ditentukan oleh
kepemilikan identitas Islam pada orang tersebut. Karenanya dapat dikatakan bahwa
budaya yang berkembang di Madura merupakan representasi nilai-nilai Islam.66
Adapun klasifikasi berdasarkan agama yang berkembang di kalangan
masyarakat Madura, ada 4 tingkatan, yaitu:
a. Kyae (kyai)
Kyae menduduki lapisan paling atas, karena kyae dianggap sebagai guru bagi
santrinya dan bapak bagi masyarakatnya. Kyae adalah seseorang yang dikenal
sebagai pemuka agama Islam (ulama) karena banyak menguasai tentang
keilmuan Islam. Selain itu ia berfungsi sebagai pembina umat juga sebagai
penerus ajaran para Nabi.
b. Bindarah
Bindarah adalah orang-rang yang telah menyelesaikan pendidikannya di
pondok pesantren dan telah memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup
banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan kyae. Karena itu, ia menduduki
posisi kedua dalam lapisan sosial berdasarkan keagamaan. Walaupun ada pula
bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis (sowan) terutama
65 Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan
Islam, h. 239
66 Moh Hefni, Bhuppa’-Babhu-Ghuru-Rato, Jurnal Karsa, Vol.XI No. 1 April 2017, h. 13.
42
di kampung yang agak jauh dari seorang kyae. Kalau di luar Madura dikenal
istilah gus dan ustadz.
c. Santre (santri)
Santre atau santri adalah mereka para pelajar yang masih sedang menuntut ilmu
di pondok pesantren.
d. Benne santre
Benne santre (bukan santri) adalah mereka yang tidak pernah mengaji kepada
kyae atau tidak pernah mondok di sebuah pondok pesantren. Mereka
menduduki lapisan sosial paling bawah, karena memang pengelompokan
berdasarkan keagamaan. Namun bisa saja seseorang yang bukan santri tapi
priyai maka dia lebih tinggi kedudukannya dari pada santri.67
Selanjutnya, tentang citra kepatuhan, ketaatan, atau kefanatikan orang
Madura pada agama Islam yang dianut tentu sudah lama terbentuknya, walaupun
kenyataan ini terluput dari liputan laporan para pengamat Belanda tempo dulu.
Secara harfiah mereka memang sangat patuh menjalankan syariat agama seperti
melakukan sembayang lima waktu, berpuasa, berzakat (pemberian wajib) dan
bersedakah (pemberian sukarela), serta berjihad (berkiprah di jalan agama). hasrat
mereka untuk menunaikan kewajiban naik haji besar sekali, sebagimana juga
dengan keinginan untuk belajar agama di pesantren alih-alih belajar ilmu
keduniawian di sekolah umum. Itulah sebab mengapa kiai haji sebagai guru dan
panutan keagamaan mendapat tempat yang terhormat di mata masyarakat
lingkungannya, sehingga secara keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai
budaya dan peradaban Madura.68
Kefanatikan orang Madura terhadap agama Islam terkadang sampai ada
perilaku yang terlalu berlebihan semisal, khitanan merupakan kewajiban bagi orang
Islam, sehingga pria yang tak disunat di mata orang Madura terhitung kafir.
67 Samsul Ma’arif, The History Of Madura Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan,
Kolonialisme sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Araska, 2015), h. 44-45.
68 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 45.
43
Umumnya mereka tidak menyadari bahwa agama orang Yahudi dianggapnya kafir
juga menyaratkan umatnya disunat.69
Demikian juga dalam budaya Madura untuk memasuki lingkungan
sosialnya, setiap insan manusia Madura perlu menjalani serangkaian upacara
peralihan kehidupan (rites of passage). Upacara yang berkaitan dengan titik-titik
simpul dalam daur kehidupan seseorang itu mempunyai senarai langkah dan
bagian-bagian yang dapat panjang sekali. Semisal sebelum seseorang dilahirkan
sudah diselenggarakan upacara pelet kandung untuknya, yaitu pada saat
keberadaannnya dalam rahim ibunya yang memasuki bulan ketujuh, upacara ini
biasanya ada pembacaan doa selamat dan sering pula dilakukan pembacaan riwayat
kelahiran Nabi Muhammad.
Begitu juga pada hari kelahirannya, telinga seorang bayi Madura akan
dibisiki azan, agar kat-kata pertama yang didengar seseorang itu adalah seruan
untuk bersembayang guna memenuhi tuntunan rukun agama Islam.70 Dengan
demikian, budaya Madura dan Islam memiliki satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari, khususnya dalam masalah budaya yang
hidup di masyarakat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
69 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 87.
70 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 83-84.
44
BAB III
BUDAYA PEMINANGAN DI ROMBEN GUNA
SUMENEP MADURA
A. Gambaran Umum Desa Romben Guna
1. Letak Geografis dan Penduduk Desa Romben Guna
Pulau Madura terletak pada paralel 6’ 45’ LS – 7’ 15’ LS dan pada
meridian 112’ 15’ BT – 114’ 05’ BT, tembujur dari arah barat ke timur ditambah
dengan 77 buah pulau-pulau. Pulau itu dipisahkan dari jawa oleh selat Madura,
yang menghubungkan laut Jawa dengan laut Bali.1
Sumenep (bahasa madura: Songeneb) merupakan kabupaten ujung
paling timur pulau Madura. Nama Sumenep sendiri secara etimologi, berasal
dari bahasa Songennep. Gabungan dari kata Song yang mempunyai arti sebuah
cekungan, dan kata enneb (ennep) yang berarti endapan yang tenang. Maka
songenneb (songennep) berarti sebuah lembah (cekungan) yang tenang atau
sama dengan pelabuhan yang tenang.
Nama Songenneb sebenarnya dikenal sejak zaman kerajaan Singhasari
berkuasa di tanah Jawa, Madura dan sekitarnya. Hal ini dibuktikan dalam kitab
Pararaton tentang penyebutan daerah Sumenep.2
Selanjutnya, wilayah Desa Romben Guna secara geografis berada di
113°38’ BB - 113°40’ dan 7°8’ LU - 7°6’ LS. Dengan wilayah Desa Romben
Guna berada pada ketinggian 0 – 25 m dari permukaan air laut, dimana kondisi
dataran dengan kemiringan <3% sebanyak 131.87 Ha dan berombak dengan
kemiringan 3.1 – 15 % sebanyak 131.87 Ha.
1 Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, perkembangan, Ekonomi dan
Islam. h. 3.
2 Samsul Ma’arif, The History Of Madura Sejarah Panjang Madura Dari Kerajaan,
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, h. 28-29.
45
Secara Administrasi Desa Romben Guna terletak sekitar 3 Km dari Ibu
Kota Kecamatan Dungkek, kurang lebih 37 Km dari Kabupaten Sumenep,
dengan dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga diantaranya di sebelah Utara
berbatasan dengan Desa Taman Sare, sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Bicabbi. Disebelah Selatan berbatasan dengan Selat Madura sedangkan
disebelah barat berbatasan dengan Desa Romben Rana.
Adapun pembagian wilayah pemerintahan Desa Romben Guna terdiri
dari atas 5 Dusun dengan 21 Rukun Tetangga (RT) yang meliputi :
a. Dusun Tengah terdiri atas 4 Rukun Tetangga
b. Dusun Babakol terdiri atas 3 Rukun Tetangga
c. Dusun Somor Penang terdiri atas 2 Rukun Tetangga
d. Dusun Somor Anyar terdiri atas 4 Rukun Tetangga
e. Dusun Pabengkoan terdiri atas 8 Rukun Tetangga
Dengan rincian KK per Dusun edisi Maret 2015 sebagai berikut :
a. Dusun Tengah 295 KK
b. Dusun Babakol 112 KK
c. Dusun Somor Penang 104 KK
d. Dusun Somor Anyar 304 KK
e. Dusun Pabengkoan 638 KK
Untuk melihat jumlah penduduk Desa Romben Guna dapat dilihat tabel
1 berikut ini :
Tabel 2.1
No
Dusun
Jumlah Penduduk Menurut Jenis
Kelamin
Laki-laki Perempuan
1. Dusun Tengah 357 426
2. Dusun Babakol 185 190
3. Dusun Somor Penang 178 196
46
4. Dusun Somor Anyar 443 482
5. Dusun Somor Pabengkoan 638 741
Luas wilayah Desa Romben Guna sebesar 448,72 Ha. Luas lahan yang
ada terbagi dalam beberapa peruntukan, dapat dikelompokkan seperti untuk
fasilitas umum, pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Luas
lahan yang diperuntukkan fasilitas pemakaman perkebunan siwalan dan kelapa,
tanah untuk jalan, bangunan umun/ pemukiman dengan luas 96,42 Ha.
Untuk aktifitas kegiatan perekonomian masyarakat pada umumnya yaitu
pertanian sedangkan peruntukan lahan untuk aktifitas ekonomi yang lain yaitu
lahan pertanian 352,30 Ha. Adapun jenis tanah pada umumnya termasuk jenis
ALUVIAL, dimana jenis tanah ini cukup sesuai untuk kegiatan pertanian namun
cukup labil, sehingga mengakibatkan banyak jalan di desa Romben Guna yang
cepat rusak.
Berdasarkan Data Administrasi Pemerintahan Desa, jumlah penduduk
yang tercatat secara administrasi. Survei Data Sekunder dilakukan oleh
fasilitator pembangunan Desa, dimaksudkan sebagai data pembanding dari data
yang ada di Pemerintahan Desa. Survei Data Sekunder yang dilakukan pada
bulan februari 2015 berkaitan dengan data penduduk pada saat itu, terlihat dalam
tabel 2 berikut ini :
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Desa Romben Guna Tahun 2015
No Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%)
1. Laki-laki 1801 46,9 %
2. Perempuan 2035 53,1 %
Jumlah 3836 100 %
47
Hasil survei data sekunder dibandingkan dengan data yang ada di
administrasi desa terdapat selisih 25 jiwa yang tidak tercatat dalam survei data
sekunder. Hal ini mendorong pemerintah desa untuk memperbaiki sistem
administrasinya dan melakukan pengecekan ulang terhadap terjadinya selisih
data penduduk tersebut sampai saat ini didapatkan kesimpulan sementara bahwa
terjadinya selisih tersebut dikarenakan banyaknya warga desa Romben Guna
yang tidak masuk dalam daftar administrasi kependudukan.
2. Kondisi Pendidikan dan Ekonomi Desa Romben Guna
Pendidikan adalah salah satu hal penting dalam memajukan tingkat
kesejahteraan pada umumnya dan tingkat perekonomian pada khususnya.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mengdongkrak tingkat
kecakapan yang mendorong tumbuhnya keterampilan kewirausahaan. Dan pada
gilirannnya mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru dengan sendirinya
dan akan membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan pekerjaan
baru guna mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya akan dapat
mempertajam sistematika sosial dan pola sosial induvidu, selain itu mudah
menerima informasi yang lebih maju. Di lihat dari tabel yang menunjukkan
tingkat rata-rata pendidikan warga Desa Romben Guna, dapat dilihat pada tabel
3 sebagai berikut :
Tabel 2.3
Jumlah Penduduk Tamat Sekolah Berdasarkan Jenis Kelamin
Desa Romben Guna Tahun 2015.
No Pendidikan L P Jumlah Prosentase (%)
1. Belum/Tidak Sekolah 598 680 1278 33,2%
2. Tidak Tamat SD 673 766 1441 37,5%
3. Tamat SD 344 402 756 19,6%
4. Tamat SLTP 105 104 198 5,6%
48
5. Tamat SLTA 61 67 127 3,2%
6. Diploma I/II 5 2 7 0,1%
7. Akademi/Diploma III - - - -
8. Diploma IV/Strata I 14 14 28 0,7%
9. Strata II 1 0 1 0,1%
Jumlah 1801 2035 3836 100%
Secara umum mata pencaharian warga masyarakat desa Romben Guna
dapat teridentifikasi ke dalam beberapa bidang pencarian seperti : Nelayan,
Petani, Buruh Tani, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Karyawan Swasta,
Perdagangan, Pedagang, Pensiunan Transportasi, Konstruksi, Buruh harian
Lepas, Guru, Wiraswasta yang secara langsung maupun tidak langasung telah
memberikan konstribusi terhadap perkembangan perekonomian masyarakat
Desa Romben Guna Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat
dilihat pada tabel 4 sebagai berikut :
Tabel 2.4
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Desa Romben Guna Tahun 2015
No Macam Pekerjaan L P Jumlah
Prosentase
(%)Jumlah
Penduduk
1. Petani/Pekebun 376 443 819 21,4 %
2. Buruh Tani 108 127 235 6,1 %
3. Pegawai Negeri Sipil 9 2 11 0,3 %
4. Karyawan Swasta 21 25 46 1,2 %
5. Perdagangan 31 37 68 1,8 %
6. Pedagang 80 96 176 4,6 %
49
7. Pensiunan - 3 3 0,1 %
8. Transportasi 12 - 12 0,3 %
9. Konstruksi 62 - 62 1,6 %
10. Buruh Harian Lepas 206 229 435 11,3%
11. Guru 13 11 24 0,6 %
12. Nelayan 655 - 655 17 %
13. Wiraswasta 86 6 92 24 %
Jumlah 1659 979 2638 68,7%
3. Kondisi Budaya dan Keagamaan Desa Romben Guna
Menurut perspektif budaya masyarakat di Desa Romben Guna sangat
kental dengan budaya Islam. Hal ini dapat dimengerti karena hampir semua desa
di Kabupaten Sumenep sangat kuat terpengaruh pusat kebudayaan Islam yang
tercermin dari keberadaan Pondok Pesantren-Pondok Pesantren yang ada di
Sumenep.
Latar belakang budaya, kita bisa melihat aspek budaya dan sosial yang
terpengaruh dalam kehidupan masyarakat. hubungannya dengan agama yang
dianut misalnya Islam sebagai agama mayoritas dianut masyarakat, dalam
menjalankannnya sangat kental dengan tradisi budaya Islam.
Perspektif budaya masyarakat di Desa Romben Guna masih sangat
kental dengan budaya ketimuran. Latar belakang budaya, kita bisa melihat aspek
budaya dan sosial yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Hubungannya dengan agama yang dianut misalnya agama Islam sebagai agama
mayoritas dianut masyarakat, dalam menjalankan sangat kental dengan tradisi
budaya ketimuran.3
3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM) Romben Guna Tahun 2015-
2020, Pemerintah Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Tahun 2015, h.15-
23.
50
Pada dasarnya tradisi ketimuran bersumber dari agama-agama yang lahir
di dunia timur, dan hal itu cenderung dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha
membuat kebijaksanaan timur bersifat kontemplatif tertuju kepada tinjauan
kebenaran. Sikap pemikir timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa dan
realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai suatu yang hanya lewat dan
khayalan. 4
Memang pada kenyataannya agama Hindu-Budha sudah melekat selama
600 tahun pada masyarakat Madura, tetapi penerimaan agama Islam secara
meluas merubah semuanya.5 Tradisi budaya ketimuran sendiri berkembang dan
banyak dipengaruhi ritual-ritual agama atau kepercayaan masyarakat sebelum
agama Islam masuk. Hal ini menjelaskan mengapa peringatan-peringatan
keagamaan yang ada dimasyarakat, terutama agama Islam dipeluk mayoritas
masyarakat, dalam menjalankannya muncul kesan nuansa tradisinya. Contoh
yang bisa kita lihat adalah peringatan tahun baru Hijriyyah dengan melakukan
do’a bersama di masjid dan mushalla-mushalla.
Contoh yang lain adalah ketika menjelang Ramadhan masyarakat
berbondong-bondong mendatangi kuburan/makam orang tuanya maupun
kerabat dan para leluhurnya untuk dibersihkan dan setelah itu melakukan tahlilan
bersama di masjid dan mushalla kemudian makan bersama saat itu juga. Contoh
yang lain lagi ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang
diperingati di masjid-masjid dan mushalla dan ada juga yang diperingati dirumah
warga yang kehidupannya sudah diatas cukup. Biasanya pada peringatan ini
masyarakat menyediakan berbagai macam hidangan yang berupa buah-buahan,
ketan/palotan dan makanan serta membuat nasi tumpeng dan lain-lain.
Secara induvidu di dalam keluarga masyarakat Desa Romben Guna,
tradisi ketimuran dipadu dengan agama Islam juga masih tetap dipegang. Tradisi
4 Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar berdasarkan Al-Quran dan Hadits, (Jakart:
Rajawali Pers, 2002), h. 58-62.
5 Afif Amrullah, Islam Madura, h.64.
51
ini dilakukan selain sebagai kepercayaan yang masih diyakini sekaligus
digunakan sebagai media untuk bersosialisasi dan berinteraksi di masyarakat.
Perspektif agama masyarakat di Desa Romben Guna termasuk dalam
kategori masyarakat yang homogen. Hal ini dikarenakan sebagian besar
masyarakat Romben Guna beragama Islam. Secara kultural, pegangan agama ini
didapat dari hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan yang kental diantara
mereka. Selain itu perkembangan agama berkembang berdasarkan turunan orang
tua ke anak ke cucu. Hal ini membuat Islam mendominasi agama di Dusun-
Dusun Romben Guna. Bsgitu juga dengan pola-pola hubungan antara
masyarakat masih banyak dipengaruhi oleh kultur organisasi Islam, seperti
Nahdatul Ulama (NU).6
Tabel 2.5
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Desa Romben Guna Tahun 2015
No Agama L P Jumlah Prosentase (%)
1. Islam 1801 2035 3836 100%
2. Katholik
3. Kristen
4. Hindu
5. Budha
Jumlah 1801 2035 3836 100%
Pada dasarnya orang Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama
Islam yang mereka anut. Suatu fakta sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir
seluruh orang Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada
agama Islam sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini
6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM) Romben Guna Tahun 2015-
2020, Pemerinta Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Tahun 2015, h.23-
25..
52
terindikasikan pada pakaian mereka yaitu samper (kain panjang), kebaya, burgo’
(kerudung) bagi kaum perempuan, sarong (sarung) dan songko’ (kopiah atau
peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman khususnya di
wilayah pedesaan. Oleh karena itu, identitas keislaman merupakan suatu hal
yang amat penting bagi orang Madura.7
4. Bahasa Madura
Bahasa Madura sekarang dikenal ada tiga tingkatan. Bhasa maba atau
tingkat rendah (iya enje’) dipakai dalam pembicaraan antara penutur yang akrab
hubungannya, atau digunakan terhadap orang yang lebih muda usianya atau
lebih rendah status sosialnya, dalam suasana tidak resmi. Bhasa alos atau tingkat
tengah (enggi enten) dipergunakan oleh penutur yang kurang begitu akrab dalam
berkomunikasi secara formal, seperti antara penjual dan pembeli di pasar.
Adapun bhasa tengghi atau tingkat tinggi (engghi bhunten) dipergunakan dalam
suasana resmi, atau dipakai terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi serta
terhormat kedudukan sosialnya. Khusus untuk kata ganti diri, masih dikenal
beberapa tingkat lagi. Kesebelah bawah ada bhasa mapas yang kasar sekali
(dhiri’ untuk aku dan seda atau selle’ untuk padanan engkau, serta juga kake’
yang aslinya berarti buyung untuk anak kecil). Kesebelah atas ada bhasa karaton
yaitu tingkatan-tingkatan yang dipakai dalam pembicaraan dengan keluarga
keraton, mulai dari abdina (abdimu) dan panjhennengangan (anda yang punya
nama), lalu yang lebih tinggi lagi abdi dhalem dan padhana (kaki anda) atau
sampeyan dhalem yang disingkat pyandhalem, dan yang tertinggi ghahhebbal
dhalem (budak anda) dan ajunan dhalem (hadapan anda-karena tidak berani
untuk mengacungkan langsung pada tubuhnya).
Di pulau Madura sekarang terdapat empat dialek utama bahasa Madura,
yaitu dialek Bangkalan (dipakai di daerah Bangkalan dan Sampang barat), dialek
Pamekasan (dipergunakan orang daerah Sampang timur dan Pamekasan), dialek
Sumenep (dipakai di daerah Sumenep dan pulau-pulai didekatnya), dan dialek
7 A. Latief Wiyata, Mencari Madura, (Jakarta:Bidik-Phronesis Publishing,2013), h. 3.
53
Kangean yang dipakai kepulauan tersebut. Kecuali Kangean yang memiliki
banyak kosa kata agak berlainan, ketiga dialek lainnya tidaklah berbeda banyak.
Selanjutnya, beberapa dialek bahasa Madura juga masih ditemukan, karena
sudah berkembang pula di Pulau Bawean dan di dataran Jawa Timur.8
Bagi orang luar Madura, pelafalan dialek Sumenep dianggap terdengar
paling merdu, halus dan jelas, karena setiap suku kata diucapkan secara penuh
dan tegas. Kata ba’na dan jareya, misalnya, di Sumenep diucapkan akhir dengan
agak dipanjangkan menjadi ba’naa dan jareyaa, sedangkan di Pamekasan biasa-
biasa saja disampaikan secara utuh seperti tertulis ba’na dan jereya.9 Bahasa
merupakan salah satu identitas kelompok etnik akan tampak jelas dalam suatu
interaksi sosial masyarakat majemuk. Salah satu identitas orang Madura adalah
bahasa Madura.10
B. Adat Perkawinan di Madura
Elemen penting primordial yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan)
dalam interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat Madura, ikatan
kekerabatan terbentuk melalui garis kekerabatan, baik dari keluarga berdasarkan
garis ayah maupun garis ibu (paternal and materrnal relatives). Pada umumnya,
ikatan kekerabatan antara sesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan
ayah sehingga cenderung “mendominasi”. Ikatan kekerabatan orang Madura
mencakup sampai empat generasi keatas (ascending generations) dan ke bawah
(descending generations) dari ego.
Sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak
keluarga atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat
dekat), dan taretan jhau (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai
oreng lowar (orang luar) atau “bukan saudara”. Dalam kenyataannya, meskipun
8 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 55.
9 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 56.
10 A. Latief Wiyata, Mencari Madura, h.106.
54
seorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan
persaudaraannya lebih akrab dari pada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan
perkawinan.
Perkawinan semacam ini oleh orang Madura disebut mapolong tolang
(mengumpulkan tulang yang bercerai-cerai) karena dilakukan dengan maksud dan
tujuan untuk tetap memelihara, mempertahankan, melestarikan ikatan-ikatan
kekerabatan dan hubungan-hubungan persaudaraan yang sudah dianggap mulai
longgar misalnya karena proses interaksi antara keluarga yang kurang intens. Bagi
keluarga-keluarga tertentu, misalnya yang kondisi sosial ekonominya cukup baik,
perkawinan antara kerabat biasanya terselip maksud menjaga keberlangsungan
sumber daya ekonomi keluarga agar tidak beralih ke orang lain di luar kerabat.
Selain itu, perkawinan antar keluarga bermakna pula sebagai upaya memberikan
perlindungan terhadap harga diri kaum perempuan.11
Perkawinan salah satu ritus peralihan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia-dilihat orang Madura sebagai kegiatan pemaduan dua keluarga menjadi
suatu satuan yang jauh lebih besar lagi. Oleh karena itu, suatu perkawinan perlu
melalui tahap-tahap untuk memungkinkan dilakukannya pengajakan dan
pengukuran tidak saja keserasian kedua calon pengantin tetapi juga keselarasan dan
kesetaraan kedua belah pihak keluarga yang akan dipersatukan. Langkah awal dapat
bermula dari suatu kegiatan nyalabhar (menyebarluaskan) atau ngen-ngangenaghi
(menganginanginkan) oleh suatu keluarga yang memiliki seorang anak perawan
atau anak perjaka. Pada suatu kesempatan yang terbuka, secara tidak langsung
dilontarkanlah keberadaan seorang anak perempuan atau laki-laki yang menginjak
umur dewasa sehingga siap untuk noro’patona oreng (ikut contoh perbuatan orang-
maksudnya sudah siap dikawinkan). Berita seperti ini biasanya langsung ditangkap
oleh orang yang biasa bertindak sebagai mak comblang, yang akan menimbang-
11 A. Latif Wiyata, Mencari Madura, h.104-105.
55
nimbang kekuatan dan kelemahan sosok yang dianginanginkan tadi bila dijodohkan
dengan seorang calon yang berkesesuaian.12
Bagi masyarakat Madura, pada masa lalu merasa terhina apabila anak
perempuannya tidak cepat menikah meskipun anak perempuannya belum dewasa.
Namun, pemikiran tersebut kemudian ditinggalkan. Masih ada beberapa orang yang
melanggar undang-undang perkawinan yang berlaku yaitu, batas minimum yang
boleh menikah usia 16 tahun bagi anak perempuan dan 20 tahun bagi anak laki-
laki. Namun, ada tradisi menghindari pernikahan hingga saat ini masih tetap
diberlakukan dengan ketat, kecuali terpaksa seperti:
1. Dua orang tidak dinikahkan karena adanya sumpah dari kedua orang tua
mereka masing-masing seperti : sapettong toron ta’ ngala’a manto (hingga
tujuh turunan tidak akan mengambil menantu). Sumpah tersebut biasanya
karena adanya permusuhan antara dua keluarga tersebut. Walaupun anak-anak
mereka (kacong dan jhebbhing) saling menyukai. Sebaliknya, perkawinan
akan tetap dilangsungkan walaupun dalam kondisi dan situasi yang
bagaimanapun. Hal ini karena adanya wasiat seperti :
Ana’na ba’na moste’ judhuwaghi ban ana’na sapopona ba’dna
dhibi’(anaknya kamu harus dijodohkan dengan anaknya sepupunya kamu
sendiri) padahal anak-anak tersebut belum terlahir ke dunia”.
Demikian pula, walaupun kacong dan jhebbhing yang diwasiatkan sama-sama
tidak suka sekalipun demikan wasiat tersebut tetap akan dilaksanakan.
2. Rabbhu bhata, ungkapan ini untuk menggambarkan dua pasang suami istri.
Laki-laki dari pasangan pertama sesaudara dengan laki-laki pasangan suami
istri kedua. Demikian pula perempuan pasangan suami istri pertama sesaudara
dengan perempuan pasangan suami yang kedua. Pernikahan ini diusahakan
dihindari kecuali terpaksa.
3. Salep tarjha, ungkapan ini untuk menggambarkan dua pasang suami istri,
dimana pasangan pertama si istri bersaudara dengan laki-laki dari pasangan
12 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya.h. 88.
56
kedua. Demikian pula suami pasangan pertama merupakan saudara dari
pasangan istri kedua. Jika dimungkinkan, pernikahan yang demikian dihindari
kecuali terpaksa.
4. Mapak balli, yaitu pernikahan yang juga dihindari kecuali terpaksa, yaitu
kacong dan jhebbhing adalah anak dari kedua orang laki-laki yang bersaudara.
5. Setiap perjodohan dihitung menurut hitungan “prembhun”. Baik kata primbon,
baik pula kata keluarga.
6. Tanggal dan bulan pernikahan orang tua tidak akan dijadikan sebagai tanggal
dan bulan pernikahan anaknya yang demikian dianggap tidak baik dan disebut
kotoju’anna oreng towa (tempat duduknya orang tua).
7. Dalam hal lain masih ada pantangan-pantangan laki-laki Madura dalam
memilih calon istri, seperti:
a. Mara dhin-dhadhin ngendu (seperti hantu di pendiangan) = dikatakan
kepadda gadis yang tidak merawat tubuhnya/tidak bersih.
b. Adang-dang ngellak (seperti burung pemakan bangkai kehausan)
dikatakan kepada perempuan yang anaknya selalu mati.
c. So-losso sendu’ (sendok kayu yang sudah aus) wajah perempuan yang
tidak cantik, tetapi juga tidak jelek bahkan manis/tipe ini disenangi laki-
laki Madura.
Bagi orang Madura menikahkan anak perempuan-nya merupakan
sesuatu yang memberi gengsi. Makin cepat anak perempuannya menikah makin
cepat pula gengsi itu diperolehnya. Oleh karena, itu pada masa lalu banyak sekali
anak perempuan Madura yang dinikahkan masih di bawah umur.13
Menurut masyarakat Madura semakin berani menikah semakin dianggap
sebagai laki-laki, anak perempuan semakin cepat laku semakin baik. Selain itu,
13 A.Sulaiman Sadik, Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura,
(Surabaya: Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2014), h.39-41.
57
ada pandangan bahwa mengawinkan anak adalah hak dan kewajiban orang tua.
Oleh karena itu, orang tua berhak mencarikan jodoh bagi anak-anak mereka.14
C. Adat Peminangan di Madura
1. Pelaksanaan Adat Peminangan di Madura
Adat pelamaran bagi masyarakat adat merupakan suatu rangkaian yang
harus dilakukan sebelum melangsungkan sebuah perkawinan. Bagaimana
pelamaran ini harus dilaksanakan tidak diatur dalam undang-undang
perkawinan nasional ataupun di dalam hukum agama. hal mana berarti jika pria
dan wanita sudah sepakat untuk melangsungkan perkawinan bisa saja langsung
memberitahukan kepada pegawai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur
dalam bab II pasal 2-9 PP No.9 Tahun 1975, tanpa melibatkan orangtua atau
keluarga.
Tetapi menurut hukum adat cara demikian itu dalam pandangan
masyarakat tercela, oleh karena perkawinan bukan saja perbuatan suci
sebagaimana diketahui ajaran agama, melainkan juga menyangkut nilai-nilai
kehidupan keluarga dan masyarakat.15 Tata tertib adat melamar diberbagai
daerah terdapat perbedaan, namun pada umumnya pelamaran itu dilakukan
oleh keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Tetapi dapat juga terjadi di
lingkungan yang sebaliknya, sebagaimana di lingkungan masyarakat
Minangkabau atau di rejang Bengkulu, pelamaran berlaku oleh pihak wanita
kepada pihak pria.
Diberbagai daerah cara melamar biasanya dilaksanakan dengan terlebih
dahulu pihak yang akan melamar mengirim utusan atau perantara (wanita atau
pria) untuk berkunjung kepada pihak yang dilamar dengan maksud melakukan
penjajakan.
14 Bambang Wibisono dan Akhmad Haryono, Wacana Perkawinan di Tapal Kuda,
(Jember: Tapal Kuda, 2016), h.46.
15 Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat dahulu,kini Dan Akan Datang, (Jakarta:
Prenadamedia Gruop,2014), h.34.
58
Setelah penjajakan barulah dilakukan pelamaran secara resmi, oleh
keluarga/kerabat orang tua pihak pria pada waktu yang telah ditentukan
berkunjungan kepada pihak wanita dengan membawa “tanda lamaran” atau
“tanda pengikat”.
Tanda lamaran itu biasanya terdiri dari “sirih pinang” (tepak sirih), sejumlah
uang (mas kawin, uang adat), bahan makanan matang, bahan pakaian, dan
perhiasan. Bahan tanda lamaran ini disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar
kepada pihak yang dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat yang indah
sopan santun dan penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota
rombongan yang datang, hubungan kerabatannya satu per satu dengan
mempelai pria .
Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar akan
menyatakan penerimaannya dengan pribahasa adat. Setelah selesai kata-kata
sambutan kedua pihak, maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan
kepada tua-tua adat keluarga kerabat wanita, kemudian kedua pihak
melanjutkan perundingan untuk mencapai kesepakatan tentang hal-hal, sebagai
berikut :16
a. Besarnya uang jujur (uang adat, denda adat, dan lain sebaginya) dan mas
kawin.
b. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-lain) dari pihak
wanita.
c. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami istri setelah perkawinan.
d. Perjanjian-perjanjian, selain taklik talak.
e. Kedudukan harta perkawinan (harta bawaan dan lain-lain).
f. Acara dan upacara adat perkawinan.
g. Waktu dan upacara, dan lain-lain.
Begitu juga dalam adat peminangan di Madura ada tradisi abhakalan,
Abhakalan adalah proses mengikat dua orang anak berlainan jenis (remaja,
16 Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat dahulu,kini Dan Akan Datang, h.36.
59
bahkan dahulu anak-anak) dalam sebuah ikatan yang “mirip” tunangan.
Konsep bhakalan dan tunangan memang berbeda. Sayangnya, orang kadang
sembarangan menyamakan makna abhakalan dan tunangan. Kesamaannya,
proses abhakalan dan tunangan berlangsung pra-pernikahan. Tetapi jeda waktu
dari abhakalan ke pernikahan tidak sama dengan tunangan. Tradisi Jawa atau
Sunda, jeda tunangan ke pernikahan tinggal menghitung hari atau bulan.
Artinya jarak dari pertunangan ke pernikahan tidak lama.
Tradisi abhakalan jedah waktunya ke pernikahan tidak pasti. Banyak
yang justru lama. Maka biasa dalam tradisi Madura, orang baru menikah
setelah lima tahun bertunangan, bahkan bisa tujuh sampai sepuluh tahun. Hal
itu karena, kebanyakan yang abhakalan masih usia remaja dan bersekolah.17
Bhakal adalah istilah untuk calon suami atau istri. Seseorang sudah
dianggap sebagai bhakal apabila ia telah secara resmi memperoleh pinangan.
Proses abhakalan biasanya dimulai dari adanya utusan pihak keluarga laki-laki
yang mendatangi pihak keluarga perempuan. Pada mulanya kedatangannya
hanya sekedar menanyakan apakah anak perempuan keluarga itu sudah terkait
abhakalan dengan orang lain ataukah belum. Jika ternyata anak perempuan
tersebut sudah terikat oleh bhakalnya orang lain, maka tugas utusan berakhir
sampai di batas itu saja. Akan tetapi bila ternyata anak perempuan tersebut
belum terikat dalam abhakalan, tahap berikutnya ialah utusan merundingkan
langkah berikutnya tentang hari yang baik untuk melamar.
Pada hari yang telah ditentukan dan disepakati barulah pihak orang tua
anak laki-laki datang ke rumah keluarga pihak anak perempuan dengan maksud
meminang anak perempuan tersebut, sebagai calon tunangan anak laki-laki
mereka. Pada saat itulah seseorang, baik anak laki-laki maupun anak
17 A Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan
Madura, (Surabaya: Andhap Asor dan Al-Afkar Press, 2013), h.78.
60
perempuan sudah dapat disebutkan abhakalan ’bertunangan’. Bhakal berarti
‘tunangan’.18
2. Pemilihan Jodoh
Tradisi pertunangan dilakukan sebelum upacara pernikahan dilakukan.
Untuk mereka yang belum saling mengenal satu sama lain acara pertunangan
dilakukan sebagai salah satu usaha pendekatan dan penyesuaian antara kedua
belah pihak keluarga calon mempelai laki-laki dan keluarga calon mempelai
perempuan. Acara pertunangan dapat dilangsungkan setelah kedua belah pihak
sepakat bahwa kedua anak mereka akan dinikahkan.19
Sebelum menikah harus memilih pasangannya yang benar-benar cocok
dan dapat membimbingnya di dunia dan di akhirat agar terciptanya perkawinan
yang ideal. Sehingga dalam adat Madura tidak sembarangan dalam
menentukan pasangan. Cara memilih jodoh untuk perkawinan yang ideal
menurut adat Madura apabila :20
a. Seagama (Islam) dan taqwa
b. Satu suku agar dipermudah dalam berkomunikasi dan beradat
c. Menurut pertimbangan bibit, bebet-bobot sudah tepat. Dan harus anak sah,
bukan hasil zina, serta tahu adat
d. Dalam lingkungan kerabat sendiri dan menghindari umur wanitanya lebih
tua
e. Usia yang pantas bagi anak perempuan kawin ialah setelah akil baliq
(sebab bila agak tua sedikit belum mendapatkan jodoh sudah
dipergunjingkan orang sebagai “peraben towa ta’paju alake” (perawan tua
tidak laku)
18 Soegianto, laporan penelitian Ensiklopedi Madura III departemen pendidikan dan
kebudayaan universitas Jember tahun 1992, h.30.
19 Bambang Wibisono dan Akhmad Haryono, Wacana Perkawinan di Tapal Kuda, h.49.
20 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur, buku diambil dari rumah anjungan
Jawa Timur di Taman Mini Indonesia, h.120.
61
f. Menurut orang Madura si laki-laki harus “lanceng kepanceng” (jejaka) dan
si perempuan harus “peraben” (perawan).
D. Tata Cara Pelaksanaan Peminangan di Madura
Perkawinan di Madura biasanya melewati proses pertunangan bahkan, pada
masa lalu ada dua keluarga yang telah mempertunangkan anak-anaknya sebelum
anak-anak tersebut dilahirkan ke dunia seakan-akan mereka sudah tahu jenis
kelamin anak-anak mereka yang belum dilahirkan tersebut.21 Prosesi penangan atau
lamaran sebagai tahap yang dilakukan sebelum perkawinan berlangsung, yaitu
keluarga dan calon pengantin laki-laki mendatangi kediaman calon pengantin
wanita dengan tujuan untuk memastikan bahwa sang calon pengantin wanita
bersedia menikah dengan sang calon pengantin pria, ada yang berlangsung sebagai
berikut :22
1. Ngangene (Memberi Angin/Memberi Kabar)
Tahap ini adalah tahap penjajakan. Tahap ini dilakukan untuk
mengetahui apakah calon yang diharapkan benar-benar masih belum ada yang
mengikat dan mengetahui sejauh mana kemungkinan pihak pria dapat diterima
oleh keluarga pihak wanita. Setelah terjadi kesepakatan antara keluarga
lanceng (perjaka) dengan keluarga praben (gadis), maka tahapan penjajakan
telah selesai dilakukan. Terutama bagi masyarakat Madura, yang menjadi
bahan pertimbangan bagi masyarakat Madura yang menjadi bahan
pertimbangan utama agar bisa diterima adalah persoalan agama. Masyarakat
Madura tergolong sangat taat pada ajaran agama Islam.
Hal penting juga dilakukan orang Madura ialah sangat menolak untuk
mengambil manantu yang tidak becus. Dalam hal ini, penyair lama Madura
melukiskannya dalam syair tetembangannya, seperti dalam lagu
21 A. Sulaiman Sadik, Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura, h. 41.
22 Bambang Wibisono dan Akhmad Haryono, Wacana Perkawinan di Tapal Kuda, h. 69-
72.
62
Pingpilo
Ping pilo, to’enda’ nyempang lorongnga
Ping pilo, lorongnga etombuwi nanggher
Ping pilo ta’ enda’ ngala’ toronna
Ping pilo toronna oreng ta’ bhender.
Terjemahannya :
Ping pilo tak mau lewat di jalannya
Ping pilo jalannya ditumbuhi pohon nangger
Ping pilo tidak mau mengambil keturunannya’
Ping pilo keturunannya orang tak becus.23
2. Araba Pagar (Membabat Pagar/Perkenalan antara Orang Tua)
Tahap ini adalah tahap pertemuan antara kedua keluarga calon
mempelai sebagai perkenalan. Pada acara ini, ada tradisi ater tolo, yaitu
keluarga mempelai pria membawakan kosmetik, beras dan pakaian adat
Madura untuk mempelai wanita. Kemudian kedua keluarga mengadakan
nyaddek temo, yakni penentuan hari dan tanggal pernikahan. Seminggu
setelahnya, keluarga perempuan membalas kedatangan keluarga calon
mempelai pria dengan membawa hidangan nasi dan lauk pauknya.
3. Alamar Nyabe’ Jajan (Melamar)
Sebelum perkawinan dilaksanakan, terlebih dahulu pihak laki-laki
mengadakan lamaran (peminta). Alat-alat yang dipersiapkan untuk lamaran
antara lain: sapu tangan, minyak wangi dan uang sekadarnya. Ketiga alat
tersebut diantarkan oleh ketua dari pihak laki-laki. Alat-alat tersebut adalah
sebagai bukti bahwa seorang perempuan telah resmi bertunangan dengan
seorang laki-laki.
4. Ater Tolo/Teket Petton (Alat Lamaran)
Dengan berjalannya waktu, tiba saatnya pihak laki-laki untuk
mengantarkan sesuatu sebagai pelengkap acara pinangannya (teket petton).
Sesuatu tersebut adalah: kocor (cucur), polot (ketan) yang sudah dimasak, sirih
23 A. Sulaiman Sadik, Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura, h. 42.
63
dan pinang, pekaian lengkap seorang wanita, seperti sarung, kerudung, baju,
alat-alat perhiasan (make up), dan lain
5. Nyedek Temo (Menentukan Saat Hari Perkawinan)
Apabila proses lamaran sudah dilaksanakan maka setelah itu para pihak
dari keluarga akan menentukan kapan pelaksanaan pernikahan dilaksanakan.
Masyarakat Madura, jika perkawinan ingin dipercepat, biasanya yang dibawa
dilengkapi dengan pisang susu yang berarti kesusu tidak ketinggaln sirih dan
pisang, seperangkat pakaian dan ikat pinggang (stagen) yang menandakan
bahwa anak gadisnya sudah ada yang mengikat. Hantaran dari pihak laki-laki
digelar di atas meja di depan tamu. Setelah penyerahan, sang gadis dibawa
masuk dan pada saat pertengahan acara lamaran gadis tersebut akan dibawa
keluar bermaksud untuk diperkenalkan. Setelah itu, sang gadis diminta salaman
kepada calon suami dan songkem (bersalaman cium tangan) kepada calon
mertua. Calon mertua sudah siap dengan amplop yang berisi uang untuk calon
menantunya. Setelah para tamu pulang oleh-oleh dari calon pangantin laki-laki
dibagikan kepada pini sepuh, sanak famili, dan tetangga dekat dengan tujuan
memberitahu bahwa anak gadisnya sudah ada yang meminta atau bertunangan.
Pada malam harinya calon pengantin laki-laki di ajak untuk diperkenalkan
dengan calon mertuanya.
Sambil menunggu kedatangan hari pernikahan, hubungan kekeluargaan
antara kedua belah pihak terus semakin dipererat dengan saling mesekket batton
(mengukuhkan ikatan pinggir balai-balai). Untuk itu kedua keluarga antar-
mengantar masakan di hari lebaran dan bulan-bulan suci Islam lainnya. Serta saling
berkirim makan kapan saja terbuka kesempatan, sebagai tanda pengukuhan
penyambung tali kekeluargaan. Abhakalan yang hubungan kekeluargaannya tidak
dipelihara secara baik dapat berakibat gagalnya ikatan. Dan hal itu dilanjutkan
sampai pelaksanaan perkawinan karena epaburung (diputus), dengan alasan sobung
paste (tidak merupakan suratan takdir) untuk menjodohkan keduanya.24
24 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan,
dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya. h. 90.
64
E. Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Desa Romben Guna
1. Pengertian Nyabek Tolo dalam Peminangan Menurut Masyarakat Desa
Romben Guna
Toloh menurut bahasa Madura memiliki arti keramas, begitu juga dengan
tradisi toloh dalam peminangan yaitu mengantarkan ramuan-ramuan tradisional
yang fungsinya ada dua, pertama adalah ramuan khusus mandi besar, yang kedua
adalah untuk lulur dan barang yang diantarkan itu namanya “paparem”.
Sedangkan kata Nyabek memiliki arti meletakkan ataupun memberikan sesuatu,
bila digabung dua kata nyabek dan toloh memiliki arti memberikan toloh.25
Pengertian di atas diperoleh dari pengalaman informan waktu masa kecil,
dimana dia sering kumpul dengan para sesepuh26 kampung, dan selama dia
berinterkasi tidak ada sedikitpun riwayat tertulis mengenai arti dari toloh itu
sendiri, yang ada hanya sebuah pelaksanaan tradisi yang sudah turun temurun.
Riwayat tentang pemberian toloh ini lebih identik dengan alat mandi, karena
menurut orang Madura mandi keramas itu disebut atoloh, kalau semua dibasahi
dari rambut sampai kebawah disebut atoloh.27
Dalam hal ini dipertegas oleh budayawan Madura yaitu D Zawawi Imron
bahwa sebelum masuknya Islam ke Madura budaya tulis sangatlah kering sekali.
Yang ada hanya cakna ka cakna28 dan hal itu rawan adanya perubahan setiap
zamannya. Hampir bisa dikatakan orang Madura tidak punya budaya tulis,
semisal kata-kata sontok tidak ada dalam kamus tapi yang ada ghursong.29 Sama
25 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober
2017. 26 Sesepuh adalah orang yang dituakan di kampung ataupun di keluarganya dan secara umur
juga sudah tua, dan biasanya yang memberikan tahu tentang tradisi-tradisi turun temurun dari
dahulu.
27 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
28 Cakna ka cakna adalah sebuah informasi yang sumbernya dari ucapan ke ucapan.
29 Ghursong dalam kamus bahasa Madura memiliki arti melubangi dengan paksa
menggunakan galah, lihat Kamus Bahasa Madura Madura-Indonesia disusun oleh Pemerintah
Kabupaten Pamekasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,2007, h. 90.
65
halnya dengan pengertian toloh tidak ada catatan khusus yang terangkum dalam
buku-buku ilmiah, yang ada hanya tradisi yang membumi di masyarakat.30
Begitu juga dengan istilah barang yang diberikan yaitu paparem juga
tidak ada dalam kamus dalam bahasa Madura, ini merupakan bahasa lokal yang
digunakan dalam menyebut sebuah barang yang akan diberikan dalam tradisi
toloh tersebut. Paparem itu adalah barangnya sedangkan toloh itu istilahnya
pemberian orangtua dari pihak laki-laki pergi ke pihak perempuan. Hal itu
dinamakan nyabek toloh (meletakkan toloh) dan yang diantarkan itu namanya
paparem dan itu untuk bhakal perempuan.31
Oleh karena itu, Anshori berpendapat bahwa nyabek toloh itu adalah
sebagai tradisi sangkolan,32 dalam artian tradisi ini merupakan bagian dari
peninggalan sesepuh. Tradisi nyabek toloh harus tetap dipertahankan walaupun
ada perubahan zaman yang mempengaruhinya, baik terhadap pola pemberian
ataupun barang yang diberikan saat melaksanakan tradisi nyabek toloh.33
Sebagaimana Rakso mempertegas bahwa wajib bagi adat untuk memberikan
toloh kepada bhakalnya sebagai mana yang telah ditentukan di masyarakat.34
2. Pemberian Tradisi Nyabek Toloh
Adapun jika diurutkan proses peminangan hingga pemberian toloh di
Desa Romben Guna, sebagaimana penulis dapatkan dari catatan tertulis tokoh
masyarakat yaitu Rahman, sebagai berikut :35
a. Angen-angenan (memberi kabar)
30 Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura), Batang-batang 8
Oktober 2017.
31 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
32 Sangkolan berasal dari kata sangkol yang memiliki arti pusaka peninggalan, lihat Asisi
Safioedin, Kamus Bahasa Madura-Indonesia, (Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 200.
33 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
34 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
35 Hasil tulisan tertulis dari narasumber Rahman sebagai tokoh masyarakat di Desa Romben
Guna Kecamatan Dungek Kabupaten Sumenep Madura.
66
b. Mabada pangada’ menta aki’ ka bhisan bini’ (mengadakan utusan minta
kepada keluarga perempuan)
c. Elamar (melamar)
d. Bada jajan lamaran cam ma cam mah jajan (ada jajan lamaran yang
bermacam-macam)
e. Deri bhisan laki’ ka bhisan bini’ (dari keluarga laki-laki pergi kekeluarga
perempuan)
f. Saminggu belesan dari bhisan bini’ (semingu kemudian balesan dari
keluarga perempuan)
g. Semarenah ka’dintoh.(setelah itu)
h. Ater tolo sabban taon (mengantarkan tolo setiap tahun)
i. Bulan ramadhan/poasa (bulan ramadhan/puasa)
j. Issena tolo beddha : (isinya toloh ada)
1. Kalambi (baju)
2. Sandal (sandal)
3. Bedda’ (make up)
4. Pesse (uang)
5. Ben kodung (dan kerudung)
k. Bile tellasan bhakal amaen ka bhakal bini’ (apabila lebaran tunangan
silaturrohim ke tunangan perempuan)
l. Dari bhakal bini’ amaen ka bhakal lake’ agi ba jajan bile molea bhakal bini
e berre’ pesse mon bhakal lake’ (dari bhakal perempuan silaturrahmi ke
bhakal laki-laki membawa kue dan nanti ketika pulang tunangan perempuan
diberikan uang oleh tunangan laki-laki )
67
BAB IV
IMPLIKASI TRADISI NYABEK TOLOH DALAM PEMINANGAN
DI ROMBEN GUNA
A. Aturan Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Desa Romben Guna
1. Konsep Peminangan di Desa Romben Guna
Abhakalan (peminangan) adalah proses mengikat dua orang anak berlainan
jenis (remaja, bahkan dahulu anak-anak) dalam sebuah ikatan yang “mirip”
tunangan. Konsep abhakalan dan tunangan memang berbeda. Sayangnya, orang
kadang sembarangan menyamakan makna abhakalan dan tunangan. Kesamaannya,
proses abhakalan dan tunangan berlangsung pra-pernikahan. Tetapi jeda waktu dari
abhakalan ke pernikahan tidak sama dengan tunangan. Tradisi Jawa atau Sunda,
jeda tunangan ke pernikahan tinggal menghitung hari atau bulan. Artinya jarak dari
pertunangan ke pernikahan tidak lama.
Tradisi abhakalan jeda waktunya ke pernikahan tidak pasti. Banyak yang
justru lama. Maka biasa dalam tradisi Madura, orang baru menikah setelah lima
tahun abhakalan, bahkan bisa tujuh sampai sepuluh tahun. Hal ini karena
kebanyakan yang abhakalan masih usia remaja dan bersekolah.1 Sama juga dengan
yang terjadi di Desa Romben Guna hampir rata-rata abhakalan sejak masih kecil,
bahkan sejak baru lahir sudah ditanyakan oleh para tetangganya yang mempunyai
maksud mapolong tolong (mengumpulkan tulang) atau menjadikan keluarga dengan
jalur abhakalan tersebut.2
Ta’aruf (perkenalan) dalam masa peminangan merupakan langkah awal
dalam proses menuju perkawinan dan orientasinya untuk mengetahui sifat dan
1 A Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan
Madura, h.78.
2 Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017.
68
karakter antara pihak perempuan dan pihak laki-laki.3 Tradisi abhakalan di Madura
memiliki tujuan yang serupa yaitu proses untuk menjajaki antara bhakal bini’
(tunangan perempuan) dan bhakal lake’ (tunangan laki-laki), walaupun prosesnya
lebih lama dari pada biasanya di daerah luar Madura.
Selanjutnya, dalam masyarakat Madura, abhakalan yang terjadi umumnya
bukan untuk menandai telah dekatnya waktu pernikahan, akan tetapi lebih pada
menandai ikatan antara seseorang gadis dan lelaki.4 Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Rakso bahwa lebih membudaya orang abhakalan dari pada pacaran, karena
kekuatannya sama yaitu bisa batal juga. Orang berpacaran diidentik bahwa
perempuan itu sudah menjadi milik dan laki-laki lain tidak boleh mengganggunya,
sama halnya dengan aspek kepemilikan pertunangan yaitu sebagai tanda.5
Adapun perbedaan antara abhakalan di Madura dan luar Madura secara
umum adalah prosesi pelaksanaannya, diantaranya barang-barang yang dibawa saat
lamaran. Ada berbagai macam-macam makanan yang harus disuguhkan dalam
prosesi lamaran, dan hal itu yang membedakan dengan yang lain, semisal harusnya
ada mostomos,6 yang mana isinya meliputi lepet, kocor (cucur),dan lain sebagainya.7
Begitu juga dengan tradisi nyabek toloh merupakan salah satu bagian dari
prosesi abhakalan yang harus dijalankan oleh setiap orang Madura, khususnya
masyarakat Desa Romben Guna. Karena ini termasuk pembeda dengan tradisi yang
ada di luar Madura. Dengan demikian, konklusi sementara penulis bahwa ada
3 Abdul Hadi, Pergaulan Calon Suami Istri Pada Masa Pra Peminangan Di Sawunggaling
Wonokromo Surabaya, Jurnal Al-Hukama Vol 04, No 02, Desember 2014, h. 386.
4 Masyithah Mardhatillah, Perempuan Madura sebagai simbol Prestise dan pelaku Tradisi
perjodohan, h. 169.
5 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
6 Mostomos adalah barang-barang yang diberikan menjelang pernikahan dan wajib harus
memberi, ketika tidak bisa memberikan sebelum pernikahan, maka pemberiannya waktu pelet kandung.
7 Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura), Batang-batang 8 Oktober
2017.
69
perbedaan antara abhakalan di Madura dengan di luar Madura. Terletak pada jeda
waktu ke pernikahan hingga pada prosesi abhakalan yang harus dijalankan oleh
setiap masyarakat Madura.
2. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Nyabek Toloh
Sebelum memasuki tradisi nyabek toloh ada prosesi awal dalam kebiasaan
masyarakat Desa Romben Guna dalam melaksanakan abhakalan, yaitu dimulai dari
ngangene, araba pagar, alamar nyabe’ jajan sampai dengan tahap pemberian
tradisi nyabek toloh tiap tahun tersebut. Kegiatan pertama-tama masang ngen-angen
(memberi kabar) ditujukan untuk memberi informasi pendahuluan kepada pihak
keluarga perempuan. Kegiatan ini sekaligus ditujukan untuk memberi tanda kepada
masyarakat sekitar tempat tinggal pihak perempuan bahwa gadis yang dipasang
ngen-angen tersebut sudah ada yang hendak mengikatnya ataupun bisa juga untuk
mengetahui status perempuan tersebut sudah ada yang memiliki atau tidak.
Semisal Saiwah pada waktu melaksanakan ngangene, ataupun awal mau
membhakalkan anaknya, terlebih dahulu harus mencari orang yang dapat dipercaya
untuk dijadikan ngangene supaya lamaran bisa diterima.8 Setelah ada tanda-tanda
diterima, pihak keluarga laki-laki biasanya menyuruh pengade’9 memberitahu
kepada pihak perempuan bahwa ada yang hendak melamarnya. Kebiasaan
penunjukan pengade’ adalah orang yang sudah lumrah di masyarakat dijadikan
sebagai pengade’ ataupun orang yang disegani oleh keluarga yang akan dipinang.
Walaupun ada yang demi alasan kepraktisan dilakukan langsung oleh orangtua
pihak laki-laki.10
8 Wawancara Pribadi dengan Saiwah (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
9 Pengade’ adalah orang yang menjadi pendahulu atau perantara pada saat pertama kali hendak
melamar.
10 Wawancara Pribadi dengan Rihwah (Tokoh Masyarakat/pengade’), Romben Guna 9 Oktober
2017
70
Setelah dilakukan acara angen-angenin, yaitu pihak keluarga laki-laki
beserta kerabat dekat dan para tetangga datang ke rumah pihak perempuan untuk
nale’e (mengikat) pihak perempuan dengan membawa tumpeng, seperangkat
pakaian, cincin, dan kue, sebagai nale’e (pengikat). Setelah keluarga pihak laki-laki
pulang, kue dibagikan kepada para kerabat dekat dan para tetangga pihak
perempuan sebagai bentuk pemberitahuan bahwa putrinya sudah ada yang
mengikat.
Setelah itu, satu minggu kemudian, pihak perempuan membalas silaturrahim
pihak laki-laki dengan cara mendatangi pihak keluarga laki-laki. Membawa kue-kue
sumbangan dari berbagai pihak keluarga besar perempuan dan memberikannya
seseuai dengan pemberian dari pihak keluarga laki-laki tersebut.
Pemberian di atas disebut dengan nyabek toloh yaitu memberikan barang-
barangnya perempuan dan kue-kue pada saat awal abahkalan. Namun, berbeda
dengan titik fokus pembahasan penulis, yaitu tradisi nyabek toloh yang dilakukan
pada saat abhakalan (masa menunggu ke pernikahan), bila yang pertama
dilaksanakan pada saat pertama lamaran, maka tradisi nyabek toloh yang akan
dibahas lebih detail pada tradisi pemberian setiap tahun.
Kebiasaan tradisi nyabek toloh dilakukan pada tahun pertama abhakalan
sampai dengan akad menikah, dan hal itu dilaksanakan setiap tahun menjelang hari
raya Idul Fitri. Bila abhakalan selama enam belas tahun berarti dia harus
memberikan selama enam belas kali toloh, dan yang umum di masyarakat biasanya
abhakalan sampai puluhan tahun, karena abhakalan sudah semenjak kecil.11
Mengenai waktu pemberian tersebut hampir semua informan menjawab
pada saat sebelum hari raya Idul Fitri pelaksanaan tradisi nyabek toloh itu
dilaksanakan. Terkadang ada sebagian yang berbeda bila bertunangan dengan orang
11 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
71
luar daerah, semisal sebagaimana pengakuan Niwana bahwa dia dari pihak
perempuan juga memberi balasan kepada pihak laki-laki pada waktu Idul Adha,
karena dia bhisanan12 dengan orang desa Jedung, maka harus menggunakan tradisi
yang ada di desa Jedung juga, walaupun bila dikategorikan pemberian pada waktu
Idul Adha itu bukan sebagian dari tradisi toloh.13
Proses pemberiannya biasanya dilakukan oleh bhisan keluarga laki-laki
memberi kepada bhisan perempuan, untuk yang memberikan biasanya ibu dari anak
laki-laki tersebut.14 Sebagaimana pengakuan dari Idris bahwa dia tidak tahu sama
sekali dalam masalah pemberian toloh tersebut, karena dia sejak kecil sudah
dijodohkan oleh orang tua. Berbeda dengan pengakuan Eva dia tahu tentang toloh,
karena dia menerima hasil dari pemberian tersebut, dan dia mendapatkan toloh
berupa uang dua ratus ribu rupiah dari bhisan laki-laki untuk pertama kali selama
dia abhakalan baru menginjak tujuh bulan.15
Jumlah pemberiannya tergantung dari status sosial ekonomi dari orang yang
melakukan tradisi nyabek toloh, bila orang kaya bisa mencapai angka satu juta
beserta alat-alat mandi perempuan, berbeda dengan orang yang berstatus orang biasa
maka pemberian hanya bisa dua ratus ribuan saja sudah beserta alat mandinya.
Umumnya di masyarakat Romben Guna pemberian itu berjumlah dua ratus ribuan
hingga lima ratus ribuan saja. Sebagaimana Eva saat pertama kali mendapatkan
toloh dari tunangannya yaitu sebesar dua ratus ribu rupiah.16
12 Bhisanan adalah penyebutan untuk dua keluarga yang sedang melaksanakan bha-bhakalan
dan bisa juga disebut sebagai orang tua nya yang abhakalan atau calon mertua, lihat Kamus Bahasa
Madura; Madura-Indonesia disusun oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, 2007, h.33.
13 Wawancara Pribadi dengan Niwana (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
14 Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017.
15 Wawancara Pribadi dengan Eva Nur Fauza (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
16 Wawancara Pribadi dengan Eva Nur Fauza (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
72
Berbeda dengan status yang sudah janda, maka dia tidak berhak lagi
mendapatkan pemberian toloh, karena toloh diberikan kepada yang masih perawan.
Kebiasaan yang sudah terbangun di masyarakat bila sudah janda jangka waktu
abhakalannya tidaklah lama lagi, tinggal hitungan bulan saja, sedangkan pemberian
toloh itu sendiri tiap tahun.17 Dengan demikian, jelas bahwa toloh diberikan kepada
orang yang abhakalan sejak masih kecil, tidak berlaku bagi yang sudah janda.
Semua pemberian di atas berdasarkan versi zaman sekarang, berbeda bila
dengan pemberian zaman dahulu. Pemberian orang-orang dahulu biasa disebut
dengan paparem, paparem adalah barang-barang berupa bunga-bunga seperti
melati, kenanga dan lain sebagainya yang ada di Madura dan dikeringkan kemudian
ditumbuh halus, dan itu semua yang mengetahui para sesepuh terdahulu. Untuk saat
ini model barang sedemikian sudah tidak digunakan lagi, karena sekarang
cenderung simpel pemberian toloh tinggal membeli saja.
Selanjutnya, realita di masyarakat terkadang ada rasa gengsi bila memberi
hanya sedikit, berbeda dengan orang dahulu yang terkadang hanya dengan lulur saja
sudah cukup, dengan sebuah ungkapan orang Madura saporanah badhanah sarean
(maaf adanya segini saja). Bukan hanya dalam masalah pemberian saja, ketemunya
orang dulu antara pasangan setiap tahun atau saat bersilaturrahmi Idul Fitri, berbeda
dengan anak sekarang yang bisa ketemu setiap minggu.18
Dengan demikian, telah terjadi pergeseran pola pemberian dalam
pelaksanaan tradisi nyabek toloh, walaupun secara esensial tidak merubah makna
pemberian kepada bhakal. Di Madura moralitas wanita atau orang bine’
(perempuan) dihargai tinggi. Perempuan selalu dihubungkan dengan permasalahan
harga diri. Moralitas perempuan lambang harga diri lelaki, kekuasaan, keagungan,
dan kekuatan lelaki. Seorang lelaki harus menunjukkan kemampuannya dalam
17 Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017.
18 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
73
menjaga dan membela kehormatan para wanita keluarganya.19 Sama halnya dengan
tradisi yang membumi di masyarakat Desa Romben Guna. Pemberian toloh itu
hanya dikhususkan kepada pihak perempuan saja, sebagai bentuk tanggung jawab
dari seorang laki-laki kepada perempuan, walaupun pola wujud pemberian itu telah
mengalami pergeseran.
Selanjunya, yang berbeda dengan daerah lain juga yaitu mengadakan
makabin, makabin dilaksanakan ketika sudah resmi menjadi bhisanan diantara dua
keluarga tersebut, maka akan digelar akarjeh ataupun makabin, yang mana ketika
mau mengadakan acara tersebut menurut Didik harus ada izin ke kantor desa.20
Acara makabin merupakan serimonial hajatan orang yang sedang menggelar
peminangan, biasanya dilakukan anak-anak saat masih kecil, yang mana nantinya
diacara tersebut anak-anak yang dipengatenin menaiki kuda, baik itu dari anak yang
laki-laki maupun perempuan. Hal demikian dilakukan saat peminangan dilakukan
sejak kecil diantara dua keluarga tersebut, dengan tujuan agar orang tua sudah bisa
melihat anaknya dirias dengan pengaten dan tidak punya hutang kepada anaknya.21
Anggapan masyarakat bila tidak melaksanakan makabin akan menjadi beban
tersendiri bagi keluarganya, maka sampai-sampai ada orang yang hutang kemana-
mana demi bisa melaksankan tradisi tersebut. Makabin merupakan tradisi yang
dimiliki oleh masyarakat Madura, khususnya daerah Romben Guna.22
3. Implikasi Hukum Pelaksanaan Tradisi Nyabek Toloh
Ada sebuah adagium latin menyatakan ubi societas ibi ius/justicia, artinya
dimana ada masyarakat dan kehidupan disana ada hukum. Setiap dikehidupan yang
19 Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, (Jember: Tapal
Kuda, 2003), h.20.
20 Wawancara Pribadi dengan Didik (Perangkat Desa), Romben Guna 12 Oktober 2017.
21 Wawancara Pribadi dengan Dewi (Kepala desa), Romben Guna 12 Oktober 2017.
22 Wawancara Pribadi dengan Dewi (Kepala Desa), Romben Guna 12 Oktober 2017.
74
ada di masyarakat pasti ada sebuah produk hukum yang telah terbentuk dengan
sendirinya ataupun masyarakat telah dengan sengaja membuat produk hukum.
Begitupun dengan hukum yang hidup di masyarakat Madura dalam masalah
abhakalan, ada sebuah ungkapan bahasa Madura “Tal ontalan amaen betoh nginum
la’ang alamak kaen babakalan bhelum tantoh mun palang ngalak oreng laen”.23
Pribahasa ini memberikan isyarat dalam bertunangan itu ada bhakal burung
(tunangan yang gagal) dan bhakal tolos (tunangan yang berhasil), batal dan
berhasilnya abhakalan tergantung bagaimana kita mematuhi terhadap hukum yang
hidup di masyarakat.24
Tradisi nyabek toloh merupakan salah satu dari sekian tradisi yang hidup di
masyarakat khususnya Desa Romben Guna. Sudah menjadi keharusan bagi
masyarakat melaksanakan tradisi nyabek toloh bagi yang sedang melaksanakan
abhakalan. Sekian lama abhakalan maka dengan demikian semakin banyak pula
pemberian toloh tersebut, semisal abhakalan dari semenjak umur 5 tahun dan
menikah pada umur 18 tahun maka dengan otomatis memberikan toloh selama 13
tahun lamanya.25
Apabila tidak memberikan toloh pada waktu bulan Ramadhan menjelang
hari raya Idul Fitri ataupun selama satu tahun, maka dari pihak perempuan
mengharapkan sampai ada pemberian. Resikonya bila tidak memberikan toloh
berakibat terhadap tidak harmonisnya hubungan antara dua keluarga. Pemberian ini
wajib bagi yang sedang melakukan abhakalan ataupun orang tua yang sedang
mempertunangakan anaknya, karena dianggap sudah tidak mau meneruskan
23 Lempar-lemparan bermain batu minum buah siwalan beralas kain bertunangan belum tentu
kalau tidak beruntung diambil orang lain.
24 Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura), Batang-batang 8
Oktober 2017.
25 Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017.
75
pertunangan bila tidak memberikan toloh. Salah satu konsekuensi bila tidak
memberikan toloh akan menjadi buah bibir di masyarakat.26
Resiko paling fatal bila tidak mengantarkan toloh yaitu batalnya abhakalan.
Niwanah berkata bahwa batalnya abhakalan anaknya diakibatkan pertama-tama
tidak memberikan toloh. Karena menurut informan biasanya setiap tahun memberi
tapi pada tahun kejadian batalnya abhakalan tersebut tidak ada pemberian, maka
saat itulah mulai ada rasa bahwa abhakalan tidak akan dilanjutkan. Padahal anaknya
sudah abhakalan selama lima tahun, namun hal itu harus batal.27 Bisa dikatakan
bahwa pemberian toloh merupakan bagian dari tolak ukur keberlanjutan abhakalan
bagi masyarakat di Desa Romben Guna.
Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Wardi bahwa tidak lantas
wajib memberikan toloh kepada tunangan, karena Wardi abhakalan dengan
saudaranya sendiri. Pada waktu awal abhakalan sudah ada perjanjian bahwa tidak
akan memberikan toloh bila belum mempunyai uang atau biaya, tapi menunggu
sampai adanya rezeki saja, karena bagi informan tidak masalah apabila tidak
memberikan asalkan komunikasi tetap terjaga dengan baik.28
Selain itu, apabila pertunangan sudah batal, maka konsekuensinya adalah
tidak ada kewajiban bagi kedua pihak untuk mengembalikan pemberian, baik itu
dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Pemberian tersebut hanya sebagai
tanda kasih untuk sang calon sehingga bila terjadi batalnya peminangan tidak ada
pengembalian, sama halnya dengan mas kawin tidak boleh diambil lagi ketika sudah
terjadi perceraian.29
26 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
27 Wawancara Pribadi dengan Niwanah (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
28 Wawancara Pribadi dengan Wardi (Masyarakat), Romben Guna 13 Oktober 2017.
29 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
76
Jelas pemahaman masyarakat dalam mengimplementasikan tradisi nyabek
toloh lebih variatif. Ada yang berpemahaman wajib untuk memberikan toloh dan
ada juga yang berpemahaman tidak wajib memberikan toloh. Bagi masyarakat yang
berpemahaman wajib bagi adat untuk melaksanakan tradisi tersebut, yang mana bila
tidak melakukan tradisi tersebut akan menjadi kausalitas dari batalnya abhakalan.
Akan tetapi pada dasarnya masyarakat Madura dalam mematuhi aturan yang
hidup di masyarakat dibilang patuh, apalagi berkenaan dengan tata krama. Semisal
dalam bertamu orang Madura mengenal aturan yang diatur dengan tata cara yang
mempunyai ciri formal. Jika orang yang bertamu tidak mengikuti tata cara yang
lazim, ia dikatakan tidak sopan dan tuan rumah akan bersikap acuh.30 Sama halnya
dengan abhakalan juga bila tidak mengikuti aturan yang sudah membudaya di
masyarakat ada konsekuensi yang harus diterima yaitu batalnya bha-bhakalan.
B. Makna Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan Perspektif Masyarakat Desa
Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian etnografi, sehingga dalam hal
ini penulis berkewajiban memaparkan bentuk wujud dari tradisi nyabek toloh sekaligus
mengggali lebih dalam makna yang terkandung dalam prosesi pelaksanaan tradisi
tersebut. Tradisi nyabek toloh sudah menjadi sebuah tradisi yang sangat mengakar di
masyarakat desa Romben Guna hingga saat ini, sehingga banyak makna-makna yang
perlu kita dalami dari sebuah tradisi sangkolan ini.
Makna urgen yang perlu kita ketahui pertama-tama adalah mempererat
silaturrahmi diantara kedua belah pihak, akan berbeda respon bhakal ketika diberi toloh
dengan tidak diberi, sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa bila tidak memberi
toloh akan menjadi batalnya. Makna batal tersebut sebenarnya sebuah ungkapan bahwa
silaturahmi menjadi sebuah kewajiban dalam keberlangsungan hubungan diantara
30 Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, h.13.
77
kedua keluarga. Eva Nur Fauza sebagai pelaku tradisi nyabek toloh tersebut yaitu agar
tradisi ini tetap dipertahankan agar hubungan diantara keduanya tambah erat.31
Menurut Anshori pemberian toloh itu sebagai tanda pengikat dan kenang-
kenangan kepada si perempuan, sekaligus sebagai tanda bahwa perempuan tersebut
sudah ada yang punya. Orang Madura dalam menjaga miliknya sendiri sangatlah hati-
hati dan tidak bisa direbut, apalagi masalah wanita bisa menjadi petaka bila ada yang
menggangunya, bahkan pertumpahan darahpun bisa terjadi.32 Ungkapan di atas bukan
lantas perempuan sebagai kepemilikannya seorang laki-laki, akan tetapi lebih kepada
bagaimana menghormati antara sesama dan mengambil sesuai haknya.
Mereka mendefinisikan sifat ini sebagai maddhu ban dara (madu dan darah)
yang berarti, bila orang Madura diperlakukan baik, menjunjung tinggi nilai
penghormatan dan kesopanan serta menghargainya sebagai manusia. Maka balasannya
adalah kebaikan pula, yang disamakan dengan manfaat madu yang diberikan lebah.
Sebaliknya bila diperlakukan sembrono, balasannya lebih buruk bahkan dapat
menimbulkan pertumpahan darah, lebih-lebih jika menyinggung perasaan.33 Pribahasa
Madura jelas yaitu ango’an poteya tolang, etembang poteya mata,34 ungkapan tersebut
merupakan bentuk reaksi orang Madura bila harga dirinya telah dipermalukan.
Begitu juga, pendapat D Zawawi Imron bahwa pemberian toloh tersebut
sebagai tanda kasih dari pihak laki-laki kepada bhakal perempuan ataupun dalam
bahasa Madura istilah pangestoh (tanda setia). Ada pribahasa Madura mun nyareh
kancah ka mekkasan mun nyareh beleh ka sumenep,35 dengan demikian jelas bahwa
31 Wawancara Pribadi dengan Eva Nur Fauza (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
32 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
33 Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, h.18.
34 Lebih baik putih tulang dari pada putih mata , lihat Latief Wiyata, Mencari Madura, h.53
35 Artinya “kalau mau mencari teman ke Pemekasan, kalau mau mencari saudara ke Sumenep”
78
orang berteman saja sudah dianggap sebagai saudara di Sumenep, apalagi yang
posisinya sudah menjadi bhakal nya secara otomatis akan lebih diutamakan lagi.36
Selanjutnya, makna dari pemberian toloh adalah ketika diantara dua keluarga
bertemu pada saat hari raya bhakal perempuan terlihat lebih cantik, harum dan lain
sebagainya. Sebagaimana cerita Rakso bahwa jika zaman dahulu waktu dia bha-
bhakalan hal yang ditunggu-tunggu adalah momen ketika bertemu dengan bhakal
bini’, karena nanti bhakalnya akan dirias secantik mungkin dengan barang-barang
paparem tersebut, tujuannya agar saat bertemu terlihat cantik dan harum saat bertemu
di hari raya Idul Fitri.37
Begitu juga realitas saat ini tujuan diberikan toloh agar bhakalnya terlihat
cantik bila bertemu dihari raya. Bagi orang Madura menjadi simbol prestise
memfasilitasi perempuan untuk tampil secantik dan semenarik mungkin, sebab baik
keluarga maupun tunangan (atau suami) akan merasa malu jika anak, tunangan atau
istri mereka berpenambilan terlalu sederhana atau tidak sama dengan orang
kebanyakan.38
Selain itu, ada sisi penghormatan kepada sesepuh yang telah mentradisikan
dan menanamkan nilai-nilai pemberian toloh ini. Sebagaimana cerita Siti Fatimah pada
awalnya dia termasuk orang yang tidak tahu tentang tradisi nyabek toloh dan dia tahu
dari para sesepuhnya, karena sudah dikasih tahu oleh sesepuhnya dia langsung
mengerjakannya.39 Orang Madura mengutamakan penghormatan dan penghargaan,
utamanya kepada orang yang lebih tua atau yang kedudukan sosial lebih tinggi.
36 Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura), Batang-batang 8
Oktober 2017.
37 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
38 Masyithah Mardhatillah, Perempuan Madura sebagai simbol Prestise dan pelaku Tradisi
perjodohan, h. 170.
39 Wawancara Pribadi dengan Siti Fatimah (Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017
79
Demikianlah adat kesopanan itu penting sekali dalam kehidupan sosial orang-orang
Madura.40
Sampai-sampai penghormatan itu terwujud pada orang-orang yang belum
pernah melakukan dan akan melakukan, Saiwah merupakan orang yang baru
mempertunangkan anaknya dan dia belum sama sekali melaksanakan tradisi nyabek
toloh tersebut. Dia akan melaksanakan karena sudah menjadi tradisi di desanya, tidak
memberatkan baginya pemberian toloh tersebut karena sudah tradisi dan tidak ada
patokan pemberiannya tapi seadanya saja.41
Saat penulis menanyakan kepada para informan tentang beban dalam
pelaksanaan tradisi nyabek toloh rata-rata menjawabnya tidak merasa terbebani, karena
sudah menjadi sebuah kewajiban tradisi di Desa Romben Guna untuk
melaksanakannya. Walaupun berbeda dengan yang diungkapkan Wardi bahwa
terkadang pemberian itu terasa memberatkan, bila kita tidak mempunyai uang dan
harus hutang untuk bisa melaksanakan tradisi nyabek toloh tersebut.42 Dengan
demikian, pendapat masyarakat pada tradisi nyabek toloh lebih variatif, walaupun pada
intinya rata-rata masyarakat tetap mematuhi apa yang telah menjadi tradisi, baik itu
memberatkan ataupun sebaliknya.
C. Harmonisasi Tradisi Nyabek Toloh dengan Hukum Islam
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serba keagamaan. Negara
Indonesia bukan negara agama, tapi tidak dapat dielakkan bahwa Indonesia adalah
negara keagamaan, negara yang memperhatikan agama, bukan negara sekuler yang
40 Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, h.18.
41 Wawancara Pribadi dengan Saiwah (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
42 Wawancara Pribadi dengan Wardi (Masyarakat), Romben Guna 13 Oktober 2017.
80
hanya mengurus keduniawian saja. Jadi agama bagi orang Indonesia jika tidak sebagai
tujuan hidupnya, maka ia merupakan sebagian dari hidupnya.43
Begitu juga dengan masyarakat Madura merupakan masyarakat yang sangat
agamis menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, hal ini tercermin dalam
sikap manusia Madura yang fanatik (taat) terhadap Islam. Agama bagi orang Madura
adalah Islam. Agama ini sudah mengkristal dan mewarnai pola kehidupan sosial
mereka, seperti yang terlihat dalam cara mereka berpakaian. Agama dianggap hal yang
suci dan sakral yang harus dibela dan merupakan pedoman hidup bagi manusia.
Siapapun yang menghina agama harus mati.44
Impilikasi dari sikap tersebut berpengaruh terhadap pola kehidupan sehari-hari,
dalam melaksanakan budaya ataupun tradisi yang sudah hidup ditengah-tengah
masyarakat. Dialektika antara ajaran keagamaan dengan kebudayaan menjadi bagian
yang tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat Madura. Realitas tersebut agama
dipahami sebagai fenomena sosial yang tidak tunggal. Agama bisa menjadi ajaran
sekaligus perilaku dalam lingkup kebudayaan.45
Masyarakat Madura dikenal sebagai entitas yang lekat dan kental serta fanatik
terhadap ajaran keagamaan.46 Manusia Madura dalam mempertahankan sebuah budaya
ataupun tradisi terhitung cukup kental juga, khusunya yang terkait dengan sinkronisasi
antara budaya dan agama Islam. Kecenderungan ini berimplikasi terhadap masyarakat
awam, yang tidak mengetahui asal usulnya hukum pelakasanaan budaya, ataupun
dalam bahasa Islam taklid.
43 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981),
h.160.
44 Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, h. 21.
45 Tatik Hidayati, Perempuan Madura antara Tradisi dan Industralisasi, Jurnal Karsa, Vol.
XVI No.2 Oktober 2009, h.74.
46 Tatik Hidayati, Perempuan Madura antara Tradisi dan Industralisasi, h.64.
81
Mengenai taklidnya orang Madura dipertegas dengan pernyataan Anshori
sebagai salah satu tokoh agama ialah masyarakat Madura sering kali taklid terhadap
apa saja yang sudah ditentukan oleh para sesepuh.47 Melihat realitas tesebut jelas
bahwa dalam budaya Madura tidak semuanya mengandung unsur Islami, sebagaimana
disampaikan oleh D Zawawi Imron ada ritual di Romben Guna yang tidak bernuansa
Islami seperti tradisi mamaca48 dan mamapar dalam pernikahan.49
Mengkategorikan tradisi nyabek toloh termasuk dalam budaya nuansa Islami
atau sebaliknya, ada pada bagaimana kita memandang tradisi tersebut. Aspek non
Islami jelas bahwa tidak ada dalam syariat Islam yang menerangkan tentang tradisi
tersebut. Berbeda bila melihat aspek makna tradisi tersebut, ada sebagian makna yang
mengandung unsur Islami. Seperti halnya yang telah diucapkan oleh para informan
bahwa tradisi nyabek toloh memiliki makna menyambung silaturrahim, hibah dan lain
sebagainya, dan jelas hal itu termasuk dari pada ajaran agama Islam.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Anshori bahwa dalam pemberian toloh
merupakan hibahnya pihak laki-laki kepada bhakal perempuan, dan bila terjadi
batalnya pertunangan maka tidak ada pengembalian apapun dari hasil pemberian,
karena pemberian tersebut hanya sebatas hibah.50 Pengertian hibah dalam Islam adalah
pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan
penggantian (balasan).51 Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling
mengasihi, mencintai dan menyayangi.52
47 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
48 Mamaca adalah tradisi olah vokal Madura yang merupakan media dakwah dan biasa
dilakukan pada saat acara-acara ritual seperti mamapar (Potong gigi), selametan kandungan dan lain
sebaginya. 49 Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura), Batang-batang 8
Oktober 2017. 50 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
51 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 210.
52 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, h. 218.
82
Tradisi nyabek toloh adalah salah satu bagian dari pemberian yang tujuannya
sama dengan hibah dalam Islam yaitu menjaga keharmonisan diantara dua keluarga
yang sedang menjalin ataupun dalam bahasa Maduranya mapolong tolang. Pada saat
abhakalan biasanya ada berupa pemberian barang-barang sebagai hadiah dari pihak
calon suami kepada calon istrinya. Pemberian ini dalam adat Jawa disebut peningset
atau tanda ikatan cinta. Pemberian dan hadiah yang telah diberikan hukumnya sama
dengan hibah.
Islam membolehkan pembatalan pinangan, dengan syarat melakukan
pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang rasional, tidak boleh bila
pembatalan pinangan dilakukan tanpa alasan yang tidak sesuai dan tidak dibenarkan
oleh syara’ karena akan mengecewakan salah satu pihak.53
Selanjutnya menurut madzab Syafii, mengenai benda-benda tunangan yang
telah diterima pihak wanita sebagai pemberian pihak pria adalah hadiah, karenanya
wajib untuk dikembalikan, baik benda-benda tersebut masih utuh ataupun sudah rusak.
barang-barang hadiahnya harus dikembalikan jika masih utuh, tetapi jika sudah rusak
diganti sesuai harganya. Sedang menurut mazhab Maliki, jika yang membatalkan dari
pihak pria, maka tidak berhak lagi atas barang-barang yang dihadiahkan. Tetapi jika
pihak perempuan yang membatalkan, maka pihak laki-laki berhak meminta kembali
semua barang yang sudah dihadiahkan baik masih utuh atau sudah rusak, jika sudah
rusak, maka harus diganti terkecuali ada perjanjian sebelumnya, atau berdasarkan pada
urf berlaku.54
Sebagaimana keterangan di atas, tradisi tolo dan hukum Islam ada sisi
kesamaannya yaitu bila terjadi pembatalan tidak ada kewajiban mengembalikan barang
yang telah diberikan, karena termasuk dari bagian hibah. Perbedaan ulama di atas
53 Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan memilih jodoh, (Bandung: CV. Sinar baru, 1992), h.
118.
54 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,h. 217.
83
memang lebih variatif dalam membahas pengembalian tersebut, ada yang harus
mengembalikan dan ada yang tidak harus, walaupun pada intinya semua itu tergantung
dari urf yang hidup di masyarakat.
Kendati demikian, dalam sebuah kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al-adhatul
syariatul muhakkamatun (adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum),
jadi adat kebiasaan yang ada di masyarakat bisa dijadikan hukum. Pemberian toloh
merupakan bagian dari pada adat kebiasaan yang ada di masyarakat dan harus dipatuhi,
karena bila tidak dipatuhi akan terjadi batalnnya dalam abhakalan, dan konsekuensi
lainnya adalah setelah batal tidak ada keharusan untuk mengembalikan barang-barang
yang telah diberikan, karena adat mengaturnya tidak ada pengembalian.
Selanjutnya, menurut Rahman bahwa dengan adanya pelaksanaan tradisi
nyabek toloh adalah bagian daripada menjaga tali silaturrahmi diantara bhisan laki-laki
dan bhisan perempuan. Pemberian toloh akan mempengaruhi harmonisnya diantara
kedua bhisan tersebut.55
Dalam Islam sangat dianjurkannya menjaga tali silaturrohim, sebagai dalam
sebuah hadis nabi berikut :
5895 ط له في .عن أبي هري رة، قال : سيعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ي قول: )من سره أن ي بسي
ه (ريزقيهي، وأن ي نسأله في ل رحي 56أثريهي، ف ليصي
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, bahwa dia mengatakan, “Aku mendengar Rasullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang senang dilapangankan rezekinya dan
dikenang baik namanya hingga setelah ketiadaannya, maka hendaklah dia
bersilaturrahmi”57
55 Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 7 Oktober 2017.
56 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori, (Arab Saudi: Baitul
Afkar ad-dauliyah linnasyer wal tauzi’. 1997), h.1160.
57 Muhammad Nasaruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 5, Penerjemah, Amir
Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet ke-1, h.101.
84
ها،زوج النبي صلى الله عليه وسلم عني النبي صلى الله عليه وسل5898 ي الله عن م قال . عن عائيشة رضي
جنة، فمن وصلها وصلته، ومن قطعها قطعته(. م شي 59:)الرحي
Artinya: Dari Aisyah RA, Istri Nabi SAW, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “(Allah
berfirman) ‘Rahim adalah sebutan (dari Ar-Rahman). Barangsiapa
menyambungnya maka aku menyambungnya, dan barangsiapa
memutuskannya maka aku memutuskannya.”’59
Demikian hadis nabi menjelaskan tentang pentingnya menjaga silaturrohim.
Tradisi nyabek toloh adalah sebagai salah satu cara dalam mempertahankan tali
silaturrohim, dalam artian bila tidak dikerjaan tradisi ini akan menimbulkan mafsadat
hubungan antara bhisan laki-laki dan bhisan perempuan, hal ini didukung oleh sebuah
kaidah fiqh yaitu dar ul mafasit muqaddimu ala jalbil masolih (mencegah kerusakan
lebih didahulukan atas mengambil kemaslahatan). Tanpa membebankan kewajiban
pemberian toloh ini, akan tetapi lebih baik melaksanakan demi menjaga tali
silaturrahmi yang telah terbangun semenjak memulai abhakalan agar tidak rusak.
Satu sisi silaturahmi memang sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana
sudah dijelaskan di atas, akan tetapi ada kebiasaan dalam tradisi nyabek toloh yang
perlu diketahui keterkaitannya dengan konsep Islam yaitu mengenai bertemunya
bhakal laki-laki dengan bhakal perempuan. Saat bersilaturrohim diantara dua keluarga
secara otomatis bhakal bini’ dan lake’ pasti ketemu.
Hukum Islam dijelaskan tentang konsep ataupun tata cara melihat bhakal,
sebagaimana firman Allah QS. An-Nur (24): 31 ;
ها ن ول ي بديين زيين ت هن إيل ما ظهر مي
58 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahihul Bukhori,h.1161.
59 Muhammad Nasaruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 5,h.101.
85
Artinya: Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali apa biasa
terlihat darinya.
Begitu juga dengan waktu bolehnya melihat seorang bhakal dalam Islam juga
diatur. Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita
terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memliki azam (keinginan kuat) menikah
dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan wanita
yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau
bukan istri orang lain. Ini berarti, melihat wanita yang terpinang itu diperbolehkan pada
waktu meminang. Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i menjelaskan, hendaknya melihat
wanita sebelum khitbah dengan niat akan menikahinya, baik tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan maupun sepengetahuan keluarganya. Hal tersebut dikarenakan hukum
bolehnya melihat, tidak ada syarat izin wanita terpinang maupun dari walinya.60
Sedangkan realitas di masyarakat Romben Guna sudah menjadi tradisi ketemu
setiap tahun, khusunya pada hari raya Idul Fitri. Bila dengan alasan kemaslahatan
menjaga hubungan diantara dua keluarga bisa dibenarkan, berbeda bila mengikut
pendapat mayoritas ulama yang mengisyaratkan kebolehan melihat wanita karena ada
keinginan kuat untuk menikah.
Hukum dibuat oleh Tuhan untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam.
Kaitannya dengan abhakalan merupakan hubungan manusia dengan sesama yang
menghendaki adanya hubungan secara horisontal dengan hidup berdampingan secara
damai, harmonis dan jauh dari pelanggaran yang dapat merugikan diri sendiri dan
orang lain.61
60 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, h. 14.
61 Suhami, Praktik Khitbah di Madura Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat, Jurnal al-
Ihkam vol. 9 No 2 h. 306.
86
Pelaksanaan tradisi nyabek toloh dalam abhakalan merupakan bagian dari
harmonisasi kepada sesama manusia, khususnya bagi yang melakukan prosesi
abhakalan tersebut. Adanya tradisi ini membangun sebuah ukhwah tersendiri bagi
antar pasangan maupun keluarga dua belah pihak, sebagaimana yang telah disampaikan
oleh para informan makna diberikan tradisi nyabek toloh ini sendiri.
Selanjutnya, selain dari pada makna-makna pemberian toloh di atas, ada
barang-barang yang perlu diuraikan dalam tradisi nyabek toloh menurut perspektif
hukum Islam, salah satunya make up, wangi-wangian dan baju. Islam mengatur dalam
memakai perhiasan dan wangi-wangian. Pada dasarnya semua perbuatan itu adalah
mubah, kecuali jika ada keterangan dari nash yang mengharamkannya, sebagaimana
firman Allah QS. Al-A’raf (7): 32;
ٱلر يزقي قل من حرم زيينة ٱللي ٱلتي أخرج ليعيباديهيۦ وٱلطي يبتي مين
Artinya: “Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-nya untuk hamba-hamba-nya dan (siapakah pula yang
mengharamkan) rezeki yang baik?”
Dalil-dalil ini bukan hanya menunjukkan pada kebolehan melakukan hal ini,
namun menunjukkan pada sunnahnya memakainya, khususnya jika dia memiliki suami
dimana dia berhias untuknya.62
Nash di atas lebih pada mengatur tentang bolehnya menggunakan perhiasan,
sama halnya dengan wangi-wangian dan make up yang termasuk dari bagian perhiasan
ataupun perhiasan yang dapat mempercantik perempuan. Sebagimana dalam hadis nabi
dijelaskan bahwa :
62 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), cet ke-7, h, 153.
87
لا ي رده، فيه طي يب عريض عليهي طييب ف عن أبي هري رة، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم )من
، خفييف المحملي 63.(الر ييحي
Artinya: Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasullah SAW bersabda, “Orang yang
ditawari (diberi) wewangian jangan menolaknya, sesungguhnya aroma
yang wangi dan sedikit efek sampingnya.”64
دوا جي عن أبي موسى، عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال :إيذا ست عطرت المرأة ، فمرت على القومي ليي
65رييها، فهيي كذا و كذا. قال: ق ول شدييدا.
Artinya: Dari Abu Musa, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang
perempuan memakai wewangian lalu sengaja lewat di antara orang-orang
agar mereka mencium wanginya, maka dia begini begitu (sindiran berbuat
zina)”(HR: Abu Daud: 4173).66
Hadis nabi di atas menganjurkan bila ada orang memberi wangi-wangin untuk
menerimanya, asalkan waktu menggunakannya sesuai dengan syariat Islam. Tradisi
nyabek toloh ada berupa wangi-wangian, yang tujuannya bila ketemu saat lebaran
bhakal perempuan terlihat lebih harum. Satu sisi pemberian barangnya dalam Islam
tidak masalah bila melihat hadis di atas, berbeda dengan menggunakannya dihadapan
bhakal laki-laki yang statusnya belum mahram. Ditakutkan lebih banyak menimbulkan
mafsadat daripada kemasalahatannya.
Laki-laki dan perempuan yang berada dalam ikatan abhakalan status hukumnya
adalah “ajnabiyah”, artinya hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
63 Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Daud Sulaiman, Sunan abu daud, (Beirud: Daar
Ibnu Hazm, 202 H), Jilid, III, h. 78.
64 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud Seleksi Hadits Shahih dari
Kitab Sunan Abu Daud, Penerjemah, Abd. Mufid Ihsan (Jakarta, PustakaAzzam, 2007), cet ke-2,h.855.
65 Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Daud Sulaiman, Sunan abu daud,h. 79.
66 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud Seleksi Hadits Shahih dari
Kitab Sunan Abu Daud,h.855.
88
mempunyai ketentuan-ketentuan atau batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar.67
Status bukan mahram ini yang membatasi antara kedua bhakal laki-laki dan
perempuan, jadi konklusinya pemberian wangi-wangian itu tetap diperbolehkan,
asalkan tidak menggunakan dihadapan bhakal laki-laki.
Selanjutnya, ketika dikategorikan tradisi nyabek toloh mempunyai kemiripan
dengan nafkah dan mahar pada sisi pemberiannya, walaupun sebagaimana yang ditegas
oleh Anshori berbeda antara nafkah dan nyabek toloh, jika pemberian nafkah setelah
terjadi pernikahan, sedangkan nyabek toloh sebelum pernikahan.68 Islam
mengkategorikan di antara sebab-sebab yang mewajibkan pemberian nafkah kepada
orang lain ini ada tiga sebab, yakni pertama karena hubungan perkawinan kedua,
hubungan kekerabatan. Dan Ketiga, karena hubungan kepemilikan.69 Tradisi nyabek
toloh dilakukan saat abhakalan, secara otomatis tidak ada hubungan kekerabatan dan
perkawinan diantara dua keluarga tersebut, sehingga antara toloh dan nafkah memang
berbeda dalam pengaplikasiannnya.
Begitu juga nyabek toloh dengan mahar, mahar pemberiannya dilaksanakan
ketika hendak menikahi seorang perempuan, sedangkan nyabek toloh pada masa
abhakalan. Mahar dan toloh sama-sama tidak dapat pengembalian jika terjadi
pembatalan ataupun perceraian, akan tetapi diantara keduanya wajib memberikannya,
jika nyabek toloh wajib menurut adat dan mahar wajib menurut hukum Islam.70
Menurut Islam, mahar berarti harta kekayaan yang harus diberikan seorang pria kepada
wanita yang akan dinikahinya melalui akad nikah yang resmi.71
67 Suhami, Praktik Khitbah di Madura Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat, h.305.
68 Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama), Romben Guna 7 Oktober 2017.
69 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, h. 95.
70 Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat), Romben Guna 12 Oktober 2017.
71 Adil Abdul Mun’in Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, alih bahasa Gizi Said, h.103
89
Jelas pengkategorian di atas bukanlah serta merta ingin menyamakan ataupun
menselarasan diantara tradisi nyabek toloh dengan nafkah dan mahar, akan tetapi bila
kita melihat sepintas dari posisi pemberian diantara ketiganya sama-sama berupa
pemberian walaupun secara tegas di atas sudah diutarakan ada perbedaan yang cukup
siginifikan. Waktu pemberian yang membedakan diantara ketiganya (mahar, nafkah
dan toloh), selain itu adanya perbedaan status hukum juga, bila nafkah dan mahar
merupakan kewajiban dalam hukum Islam, sedangkan tradisi nyabek toloh adalah
murni kewajiban hukum adat.
Dengan demikian, konklusi penulis bahwa tradisi nyabek toloh harmonisasinya
dengan hukum Islam masih terkait, walaupun tidak secara utuh. Sebagian dari pada
makna yang terkandung masih ada unsur Islamnya. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa
tradisi ini bukan datang dari Islam itu, akan tetapi murni produk masyarakat, khususnya
masyarakat Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura.
Setiap daerah ataupun desa sebelah dari Desa Romben Guna juga menerapkan tradisi
nyabek toloh, akan tetapi sudah mulai luntur. Sebagaimana informasi penulis dapat
hampir semua desa daerah ketimur Sumenep pasti menerapkan tradisi ini walaupun
terkadang beda namanya dan prosesi acaranya.
Jika diklasifikasikan harmonisasi tradisi nyabek toloh dengan hukum Islam,
sebagaimana dalam tabel berikut :
No. Tradisi nyabek toloh Hukum Islam Keterangan
1. Pelaksanaan tradisi
nyabek toloh dalam
peminangan di Desa
Romben Guna
Dalam Islam tidak
ada yang secara
langsung
menyebutkan bahwa
nyabek toloh adalah
bagian dari tradisi
Islam
Dengan demikan, jelas bahwa
umumnya tradisi nyabek toloh
tidak terkait dengan hukum
Islam, walaupun ada sebagian
makna yang terkandung
didalamnya bernuansa Islami
90
2. Bersilaturrahmi pada
saat hari raya Idul
Fitri antara bhisan
laki-laki dan
perempuan
Dalam Islam sangat
dianjurkan
membangun
silaturrahmi sesuai
dengan hadis nabi
Dengan demikian, ada
keterkaitan makna
disilaturrahmi antara tradisi
nyabek toloh dengan hukum
Islam
3. Kewajiban
memberikan barang-
barang toloh setiap
bulan puasa
menjelang hari raya
Idul Fitri
Dalam Islam tidak
ada kewajiban
memberi barang-
barang keperluannya
tunangan, akan tetapi
dalam Islam ada
hibah untuk
pemberian kepada
tunangan.
Dengan demikian, jelas dalam
Islam tidak diharuskan
memberi barang kepada
tunangan hukumnya hanya
hibah, akan tetapi dalam tradisi
di masyarakat sudah mendekati
kewajiban adat
4. Bertemunya diantara
dua pasangan pada
saat hari raya
Dalam Islam tidak
perbolehkan bertemu
bila hanya berduaan
yang bukan mahram
Ketika hari raya biasanya
bhakal bine’ memakai
pemberian dari pihak bhisan
laki-laki, dan dalam
pemberiannya ada harum-
haruman dan lain sebagainya,
sedangkan bila melihat
keterangan di atas bahwa Islam
tidak memperbolehkan dengan
sengaja memperlihatkan
kepada laki-laki
5. Tradisi nyabek toloh
adalah ada tradisi
Dalam Islam ada
qaidah fiqhiyyah urf
Dalam Islam mempertahan
tradisi yang tidak bertentangan
denga syariat Islam
91
warisan dari sesepuh
(sangkolan)
dan maslahah
mursalah
diperbolehkan selama itu
membawa maslahat
6. Makna pelaksanaan
tradisi nyabek toloh
menghargai seorang
perempuan
Dalam Islam
dianjurkan
menghargai seorang
perempuan
Dengan demikian, ada
sinkronisasi diantara hukum
Islam dan makna tersebut
7. Memberi nyabek
toloh dengan alasan
rasa gengsi
Dalam Islam tidak
diperbolehkan
takabbur dan iri hati
Dengan tujuan gengsi, Islam
tidak mengajarkan sehingga
tidak ada keterkaitan diantara
keduanya.
8. Memberi dan
memakai harum-
haruman saat ketemu
di hari raya Idul Fitri
Dalam Islam
memberi harum-
haruman sah-sah
saja, sedangkan
memakainya didepan
yang bukan mahram
tidak diperbolehkan
Dengan demikian Islam tidak
mempermasalahkan
pemberiannya, akan tetapi
tidak membolehkan
memakainya didepan tunangan
khusunya yang sudah balig
9. Tradisi nyabek toloh
dalam satu sisi ada
kemiripan dengan
mahar dan nafkah
dari segi pemberian
Kedudukan mahar,
nafkah dan tradisi
nyabek toloh dalam
Islam berbeda
Dalam satu sisi sama-sama
pemberian. Sasaran
pemberiannya berbeda antara
ketiganya. Dan ada perbedaan
yang cukup signifikan antara
ketiganya, dalam Islam tidak
dikenal tradisi nyabek toloh
sedangkan nafkah dan mahar
disebutkan dalam Islam.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis telah menguraikan pada bab-bab sebelumnya mulai dari pada
tentang konsep peminangan dalam Islam, peminangan dalam budaya Madura
sampai dengan bahasan inti yaitu tradisi nyabek toloh dimasyarakat Desa Romben
Guna Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura. Maka dapat disumpulkan
sebagai berikut:
1. Makna filosofis yang terkandung dalam tradisi nyabek toloh di Romben Guna
ialah membangun tali silaturohim diantara dua bhisan laki-laki dan perempuan,
mempertahankan tradisi sesepuh (sangkolan), menghargai martabat
perempuan dengan cara memberi toloh, rasa tanggung jawab seorang laki-laki
kepada perempuan yang dibangun sejak masa peminangan, menjaga hargai diri
seorang laki-laki.
2. Adapun dasar pemberian ataupun pelaksanaan tradisi nyabek toloh adalah
kewajiban adat dan mengikuti jejak para sesepuh, karena jika tidak melakukan
tradisi nyabek toloh menjadi salah satunya penyebab batalnya peminangan.
Anggapan masyarakat bila sudah tidak memberi toloh bahwa sudah tidak ada
keinginan untuk melanjutkan, baik hal itu kehendak dari anaknya sendiri
maupun dari orang tuanya.
3. Bagi masyarakat, Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan tradisi nyabek
toloh beragam, baik dari cara pemberian dan barang pemberianya. Hal ini
membuat variatifnya tradisi nyabek toloh, walaupun pada intinya sama yaitu
keharusan memberikan barang-barang perempuan setiap tahunnya bagi yang
telah melangsungkan peminangan.
Adapun barang-barang pemberian dalam tradisi nyabek toloh umumnya
masyarakat, sebagai berikut:
a. Kalambih (baju)
b. Sandal (sandal)
93
c. Bedda’ (Make up perempuan)
d. Pesse (Uang sekitar 200 ribu sampai 1 juta, tergantung kemampuan
ekonominya)
e. Kodung (kerudung)
B. Saran-saran
Banyak hal yang memotivasi setiap orang tua mempertunangkan anaknya,
baik sejak kecil maupun sudah menginjak dewasa. Sehingga hal demikian
mengakibatkan kewajiban-kewajiban tradisi yang harus dipenuhi salah satunya
tradisi nyabek toloh. Setiap tradisi ada konsekuensi bila tidak melaksanakannya,
untuk meminimalisir dampak tersebut penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Perubahan zaman terus bergulir, sehingga dituntut kita agar mengikuti zaman,
yang terkadang merubah paradigma berfikir kita lebih simpel dan instan,
bahkan ada kecenderungan anti terhadap hal-hal berbau tradisional. Sudah
menjadi tugas masyarakat khususnya orang tua agar bisa mempertahankan
ataupun memberitahukan tradisi nyabek toloh yang telah diwariskan oleh para
sesepuh kepada anak-anaknya dan tidak merubah nilai yang telah melekat pada
tradisi nyabek toloh tersebut, karena ini merupakan suatu identitas dan kearifan
lokal yang berharga.
2. Apabila tidak melaksanakan tradisi nyabek toloh konsekuensinya akan terjadi
pembatalan pertunangan dan retaknya hubungan diantara dua keluarga
tersebut, untuk meminimalisir hal tersebut disarankan masyarakat tetap
melaksanakan tradisi tersebut. Agama melarang permusuhan diantara sesama
umatnya, apalagi jelas bahwa hampir rata-rata masyarakat Romben Guna
beragama Islam.
3. Diharapkan kepada orang tua dan tokoh masyarakat memberitahukan kepada
anak-anaknya makna tradisi nyabek toloh, agar tidak hanya dijadikan acara
serimonial saja, akan tetapi mengerti makna daripada pelaksanaan tradisi
tersebut.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antara
Mazhab. Jakarta: PT. Prima Heza Lestari. 2006.
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 1994.
Abdurrachman, Sejarah Madura Selajang Pandang, Sumenep: t. p. 1988.
Abu Abbas, Adil Abdul Mun’in. Ketika Menikah Jadi Pilihan, Penerjemah: Gizi
Said. Jakarta: Almihara.1987.
Abu Zahrah, Muhammad. Usul Fiqih. Penerjemah: Saefullah Ma’shum. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1999.
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur, buku diambil dari rumah
anjungan Jawa Timur di Taman Mini Indonesia.
Al Albani, Muhammad Nasaruddin. Ringkasan Shahih Bukhari Jilid 5.
Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin dan Hanif Yahya. cet ke-1. Jakarta:
Pustaka Azzam. 2007.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Abu Daud Seleksi Hadits
Shahih dari Kitab Sunan Abu Daud. Penerjemah: Abd. Mufid Ihsan. cet
ke-2. Jakarta: PustakaAzzam. 2007.
Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Penerjemah: Zaid
Muhammad Ibnu Ali dan Muhammad Khuzainal Arif. Jakarta: Pustaka
As-Sunnah.2007.
Al-Albani, Muhammad Nasaruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah
KMCP, Imron Rosadi, Jakarta : Pustaka Azzam. 2007.
Al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman. cet ke-
7. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Al-Bukhori, Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahihul Bukhori. Arab
Saudi: Baitul Afkar Ad-Dauliyah Linnasyer Wal Tauzi’. 1997.
95
Al-Qardhawy, Yusuf. Anatomi Masyarakat islam. Penerjemah: Setiawan Budi
Utomo. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1999.
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Jilid 9. Damaskus: Dar al-fikr
2007.
Amin, Ma’ruf. Fatwa. Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS. 2008.
Amrullah, Afif. Islam Madura, Jurnal Islamuna, V. 2 Nomer 1 Juni 2015.
Asmawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. cet ke-1.
Jakarta: Darussalam. 2004.
As-Subki, Ali Yusuf. Fiqih keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam. cet ke-
2. Jakarta: Amzah. 2010.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqh
Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon.
Jakarta: Amzah, 2011.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah).
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1993.
Djaya, Ashad Kusuma. Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama Pesan-Pesan
Rasullallah SAW Menuju Pernikahan Barokah.Yogyakarta: Kreasi
Wacana. 2001.
Djunaedi, Subki. Pedoman Mencari dan Memilih Jodoh. Bandung: CV. Sinar baru.
1992.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. cet,5. Jakarta: Kencana. 2012.
Hadi, Abdul. Pergaulan Calon Suami Istri Pada Masa Pra Peminangan Di
Sawunggaling Wonokromo Surabaya. Jurnal Al-Hukama Vol 04. No 02.
Desember 2014.
96
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Cet ke-3. Bandung: P.T.
Alumni. 2010.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Penerbit Alumni.
1981.
Haryanto, Joko Tri. Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat
Islam, Jurnal Smart Vol 01 Nomor 01 Juni 2015, h. 50
Hasil tulisan tertulis dari narasumber Rahman sebagai tokoh masyarakat di Desa
Romben Guna Kecamatan Dungek Kabupaten Sumenep Madura.
Hefni, Moh. Bhuppa’-Babhu-Ghuru-Rato, Jurnal Karsa, Vol.XI No. 1 April 2017.
Hidayati, Tatik. Perempuan Madura antara Tradisi dan Industralisasi. Jurnal
Karsa. Vol. XVI. No.2 Oktober 2009.
Humairo, Aida. Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam (Analisa Atas Nafkah
Keluarga dari Istri Karir). Jurnal Narasi. V. 7. No. 1. Maret 2007.
Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. cet ke-10. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. 2007.
Jonge, Hub De. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, perkembangan,
Ekonomi dan Islam. Seri Terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia.
1989.
Kamarusdiana dan Arifin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Ciputat: UIN
Jakarta Press. 2007.
Kamus Bahasa Madura-Indonesia Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, Semarang: Dina Utama. 1994.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bulan Bintang. 1998.
97
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
1995.
M. Atho’, Muzdhar dan Nasution, Khairudin. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern. Jakarta: Ciputat prees. 2003.
Ma’arif, Samsul. The History Of Madura: Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan,
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Araska. 2015.
Madjid, Nurcholish. Kehampaan Spritual masyarakat Modern respon dan
transformasi nilai-nilai Islam menuju Masyarakat madani. cet ke-5.
Jakarta: Mediacita. 2001.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2016.
Mardhatillah, Masyithah. Perempuan Madura Sebagai Simbol Prestise dan Pelaku
Tradisi Perjodohan. Jurnal Musawa. Vol.13. No 2. Desember. 2014.
Muhadjir, Neong. Metode Penelitian Kualitatif. cet ke-3. Yogyakarta: Pilar Media.
1996.
Natsir, M. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Bandung: PT Girimukti
Pasaka. 1988.
Notowidagdo, Rohiman. Ilmu Budaya Dasar berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
Jakarta: Rajawali Pers. 2002.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media. 2004.
Pide, Suriyaman Mustari. Hukum Adat dahulu,kini Dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Gruop. 2014.
Pujileksono, Sugeng. Pengantar Antropologi Memahami Realitas Sosial Budaya.
Malang: Intrans Publishing. 2015.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM) Romben Guna Tahun
2015-2020, Pemerinta Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Tahun 2015.
98
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan, dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan
Peribahasanya. cet-1. Yogyakarta: Pilar Media. 2007.
Sadik, A.Sulaiman. Memahami Jati Diri, Budaya, dan Kearifan Lokal Madura.
Surabaya: Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. 2014.
Saniyah. Kontestasi Kelas dalam Budaya Abhakalan (Studi Hubungan Perayaan
Abakalan dengan Prestise Sosial di Desa Banuaju Barat Kecamatan
Batang-batang Sumenep Madura). Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2016.
Selvina, Putri Septya. Sejarah Berdirinya Masjid Jamik Sumenep Masal
Pemerintahan Natakusuma I (Adipati Sumenep XXXI:1762-1811 M).
Journal Pendidikan Islam. Volume 1. No 3. Oktober 2013.
Septi karisyati. Tradisi Bhakal Eko-akoaghi (perjodohan sejak dalam kandungan)
didesa sana laok, kecamatan Waru Pamekasan Madura dalam Perspektif
Hukum adat dan Hukum Islam. Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. 2014.
Sholeh, Asruron Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga. cet ke-
1. Jakarta: Graha Pramuda. 2008.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.
Soegianto. Ensiklopedi Madura III. Jember: Laporan Penelitian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember. 1992.
Soegianto. Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura. Jember:
Tapal Kuda. 2003.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cet,14. Jakarta: Rajawalipers. 2015.
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: RMBooks. 2012.
Sopyan, Yayan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: t.t.p. 2009.
Spradley, James P. Metode Etnografi. Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1997.
99
Suhaimi. Praktik Khitbah Di Madura Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jurnal Al-Ihkam. Vol. 9. No 2.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002.
Sulaiman, Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Daud. Sunan abu daud. Jilid
III. Beirud: Daar Ibnu Hazm. 202 H.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali
Pers. 2004.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. cet ke-3. Jakarta: Kencana.
2007.
Tihami, M. A. dan Fahrani, Sohari. Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap.
Jakarta: Rajawalipers. 2009.
Tumanggor, Rusmin dan Ridho, Kholis. Antropologi Agama. Ciputat: UIN Press.
2015.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar
E.M. cet ke-24. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2007.
Wawancara Pribadi dengan Anshori (Tokoh Agama). Romben Guna 7 Oktober
2017.
Wawancara Pribadi dengan D Zawawi Imron (Budayawan Madura). Batang-batang
8 Oktober 2017.
Wawancara Pribadi dengan Dewi (Kepala desa). Romben Guna 12 Oktober 2017.
Wawancara Pribadi dengan Didik (Perangkat Desa). Romben Guna 12 Oktober
2017.
Wawancara Pribadi dengan Eva Nur Fauza (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober
2017.
Wawancara Pribadi dengan Niwanah (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
Wawancara Pribadi dengan Rahman (Tokoh Masyarakat). Romben Guna 7 Oktober
2017.
100
Wawancara Pribadi dengan Rakso (Tokoh Masyarakat). Romben Guna 12 Oktober
2017.
Wawancara Pribadi dengan Rihwah (Tokoh Masyarakat/pengade’), Romben Guna
9 Oktober 2017.
Wawancara Pribadi dengan Saiwah (Masyarakat), Romben Guna 9 Oktober 2017.
Wawancara Pribadi dengan Siti Fatimah (Masyarakat). Romben Guna 7 Oktober
2017
Wawancara Pribadi dengan Wardi (Masyarakat), Romben Guna 13 Oktober 2017.
Wibisono, Bambang dan Haryono, Akhmad. Wacana Perkawinan di Tapal Kuda.
Jember: Tapal Kuda. 2016.
Wiyata, A. Latief. Mencari Madura. Jakarta:Bidik-Phronesis Publishing. 2013.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif & Penelitian Gabungan.
Cet, ke-1. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014.
Zubairi, A Dardiri. Rahasia Perempuan Madura Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura. Surabaya: Andhap Asor dan Al-Afkar Press. 2013.
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : H. Abd Rahman
Usia : 61 Tahun
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wirausaha (Tokoh Masyarakat)
Pertanyaan: Apa anda dulu pernah melaksanakan abhakalan ?
Jawaban: Kalau saya dengan istri saya ini sejak tahu ke barat timut tahu ke
orang, orang tua saya bilang itu adalah bhakal kamu maswiyatun
dan karena kuasa Allah saya sampai sekarang 50 tahun masih
bertahan, mulai lulus SR Batang-batang 1 tahun 1968 saya
dikawinkan sampai sekarang punya anak tiga
Pertanyaan: Sebagaimana yang anda ketahui dimasyarakat, lebih banyak
mana angka perceraian antara yang dijodohkan orang tua dengan
yang mencari sendiri ?
Jawaban: Yang dijodohkan orang tua lebih banyak, kan kalau yang cari
sendiri karena itu kan sudah kemauan orangnya sendiri
Pertanyaan: Berarti banyak perceraian disini gara-gara pertunangan
sedemikan ?
Jawaban: Tidak sampai cerai, kan tidak sampai kawin,
Pertanyaan: Kalau yang sampai kawin ?
Jawaban: Insyaallah tidak banyak malah lebih utuh, jadi kalau dari kecil
bertunangan sampai kawin rata-rata tidak pisah.
Pertanyaan: Justru dia yang tidak bertunangan terus sampai tua ternyata dapat
sendiri ternyata banyak pisah ?
Jawaban: Iya kadang sampai pisah kalau tidak ada jodoh, tapi walaupun
temuanya sendiri tetap saja melalui proses adat mulai dari aing-
aingnin terlebih dahulu jadi harus dilamar dulu dan menunggu
persetujuan dari orang tua kalau udah setuju diantar kedua belah
pihak langsung diadakan lamaran.dan kapan mau dikawinkan.
Pertanyaan: Apa anda mengetahui yang disebut dengan tradisi toloh ?
Jawaban: Iya kalau tolo itu pas lebaran saja, jadi pas tinggal seminggu
biasanya baru ater (mengantarkan) beras, baju, sandal, sabun,
uang dan pokoknya secukupnya pakaian orang perempuan
Pertanyaan: Berarti kalau sudah temuannya sendiri tidak menerapkan tradisi
tolo lagi ?
Jawaban: Tidak lagi kalau Cuma jangka waktunya 5 bulan, kalau ada toloh-
toloh itu yang bertahun-tahun, kan istilah-istilah toloh itu ketika
pas lebaran saja
Pertanyaan: Dalam penulisan yang benar itu ater toloh atau toloh saja ?
Jawaban: Iya kalau kata ater itu kan artinya mengantarkan dan i toloh itu
barangnya, jadi yang dikasih dari pihak laki-laki ke pihak
perempuan itu yang disebut toloh
Pertanyaan: Apa pihak perempuan memberikan toloh juga ?
Jawaban: Kalau dari perempuan tidak ada toloh lagi, tidak ada pembalasan,
tidak ada imbalan cukup dai laki-laki diterima sudah, kalau pas
hari raya main ke rumah tunangan itu yang dinamakan nyareh
mattuah (mencari mertua)
Pertanyaan: Apa wajib melaksanakan tradisi toloh ?
Jawaban: Iya kan istilahnya sudah kewajiban tradisi, tergadang kalau tidak
dianterin bisa batal pertunangan.berarti orang tuanya tidak mau
Pertanyaan: Berarti bukan dari pihak yang bertunangan membatalkan?
Jawaban: Iya kan yang si kecil belum tahu apa-apa
Pertanyaan: Sampai kapan memberika toloh itu ?
Jawaban: Sampai kawin, kalau sepuluh tahun bertunangan berarti sepuluh
kali memberi. Karena kalau tidak memberi akan dipertanyakan,
berarti sudah tidak suka lagi. Walaupun sedikit dan tidak sama
dengaan yang lama maka itu harus memberi
Pertanyaan: Apa makna memberikan toloh itu ?
Jawaban: Pendekatan antara bisan laki-laki dengan bisan perempuan
Pertanyaan: Apa ada mitosnya keharusan memberi toloh ?
Jawaban: Tidak ada, istilah sudah tradisi
Pertanyaan: Berarti intinya ingin menyambung silaturrohim ?
Jawaban: Iya artinya masih belum putus walaupun sudah bhisanan sebelas
tahun ataupun sepuluh tahun ini tidak putus, karena kalau tidak
memberi toloh itu dianggap bhisan laki-laki tidak mau lagi.
Karena sudah ada kelainan dari tahun-tahun yang lalu apa maksud
dan tujuannya kenapa tidak memberi. Dan itu sudah tradisi tidak
bisa dirubah, kalau dari bhisan perempuan tiba-tiba menolak
pemberian tolo itu merupakan tanda-tanda kalau sudah mau
burung (putus) dan kalau dari bisan laki-laki tanda-tandanya
putus ketika tidak memberi
Pertanyaan: Apa ada riwayat ataupun silsilahnya tradisi toloh ?
Jawaban: Tidak ada silsilahnya sudah, artinya dari nenek moyang kita
sudah sedemikian, artinya semenjak jujuk (buyut) saya sudah
sedemikian
Pertanyaan: Apa sama antara tradisi toloh terdahulu dengan yang sekarang ini
?
Jawaban: Sama, insyaAllah kalau adat ketimuran tidak ditinggalkan kalau
didesa pada umumnya
Pertanyaan: Soalnya saya mencari arti toloh baik dari bahasa ataupun istilah
tidak menemukan ?
Jawaban: Iya emang tidak ada, artinya insyaAllah kalau tolo itu seperti kyai,
kalau kyai berbicara kan juga dari para ulama artinya juga dari
cakna juga. Semenjak nenek moyang sudah sedemikian, artinya
memang sudah ada begini. (Sebagaimana yang disampaaikan
oleh orang yang ikut dalam wawancara bahwa bisa diartikan
pemberian tolo itu sama dengan arti mandi, yang gunakanya
untuk membersihkan)
Pertanyaan: Apa sama antara nafkah dengan toloh ?
Jawaban: Iya beda, kalau nafkah itu kasih beras bisa dan kasih uang juga
bisa. Jadi kalau beras dan uang diletakin gelas dan seperangkat
lainnya sudah komplit dan adanya didalam gelas ini baru itu
dinamakan toloh tapi kalau beras Cuma-Cuma itu kan nafkah
Pertanyaan: Berarti nanti proses pemberiannya menggunakan apa saja ? pakai
gelas ?
Jawaban: Tidak, diwadahin misalnya dalam satu kotak seperti toples ada isi
make up dan lainnya ada uangnya, beres diantarkan ke rumah
bhisan itu toloh istilahnya, kalau nafkah beras atau uang.
Pertanyaan: Apa ada istilah nafkah sebelum pernikahan ?
Jawaban: Tidak ada, kalau istiah dulu seperti saya dan ajjih bini’na (istrinya
tapi sudah haji) kan masih belum bisa kerja memang diharus
orang tua dari laki-laki itu menafkahi atau mengirim kepada
anaknya dan itu dinamakan nafkah setelah pernikahan. Jadi kalau
anak belum punya kerjaan maka harus diberikan setelah nikah.
Pertanyaan: Apa sama dengan mahar ?
Jawaban: Beda
Pertanyaan: Kalau dalam Islam toloh dikategorikan sebagai apa ? apa mahar,
nafkah, sadaqoh atau hibah ?
Jawaban: Iya cuma pemberian saja, hibah
Pertanyaan: Berarti hanya memberikan cuma-cuma saja ya ?
Jawaban: Iya, tidak imbalan
Pertanyaan: Kalau pemberian antara orang yang statusnya kaya, menangah
keatas dan miskin, apa sama pemberiannya ?
Jawaban: Tidak sama, karena memang tidak ada ketentuan dalam
masyarakat, bagaimana kemampuan dan seikhlasnya.
Pertanyaan: Pada umumnya dimasyarakat pemberian toloh berupa apa saja ?
Jawaban: Beras, baju, sabun, parfum, make up dan uang, sandal, kerudung
pokoknya komplitnya yang digunakan oleh cewek
Pertanyaan: Kalau pemberian emas-emas ?
Jawaban: Tidak kalau emas, biasa waktu lamaran pemberian emas
Pertanyaan: Apa bila si perempuan sudah janda, apa mendapatkan toloh juga
? seandainya orang tersebut baru saja cerai
Jawaban: Sudah tidak ada lagi, jadi istilahnya kalau didesa kan saya sebagai
pengadeknya orang didaerah sini, jadi silsilah antaranya orang
bertunangan sampai kawin saya sudah pengalaman, saya sendiri
berkecipung didalam masalah ini, jadi kalau sudah janda duda
sudah tidak ada toloh-toloh lagi
Pertanyaan: Bagi orang yang berstatus perawan saja ?
Jawaban: Iya, kalau janda duda sudah tidak ada lagi, walaupun seandainya
dia bertunangan sudah satu tahun tapi tidak mungkin kalau janda
duda itu bertunangan lebih dari satu tahun paling lambat tiga
bulan, jadi tidak sampai pada pemberian toloh. Cuma langsung
permintaan saja misalnya saya sebagai pengadek bilang saya
kepada hary ini anak kamu sudah ada yang punya, dia jawab tidak
ada, jadi saya bilang kalau ponakan saya sama-sama senang
ponakan saya mau dijodohkan dengan anak kamu jadi nanti hary
akan menawarkan kepada anaknya, lah nanti kalau sudah sama
setuju maka langsung nunggu proses perkawinan
Pertanyaan: Kalau seandainya batal pertunangan dalam masa yang sudah
lama, apa toloh yang telah diberikan dapat dikembalikan ?
Jawaban: Tidak dikembalikan,
Pertanyaan: Apa pemberian tolo itu wajib, artinya bila tidak punya harus
berutang ?
Jawaban: Iya wajib, kalau tidak ada harus mencari hutangan untuk dikasih
ke bhakalnya, kan kalau bhakal pulang biasanya sudah salaman
dengan uangnya.
Pertanyaan: Siapa saja yang ikut dalam pemberian toloh tersebut ?
Jawaban: Ya dari bhisan laki-laki, orang tua laki-laki dan orang tua
perempuannya itu kalau jauh tapi kalau deket biasa cukup orang
tua perempuan saja
Pertanyaan: Berarti seperti paman-paman dan kyai-kyai tidak ada lagi ?
Jawaban: Iya sudah tidak ada lagi, misalnya jaraknya antara disini sampai
ke Gapura itu biasa kedua orang tuanya tapi kalau deket cukup
orang tua perempuan.
Pertanyaan: Jadi nanti yang laki-laki itu atau yang bertunangan juga harus ikut
?
Jawaban: Tidak usah, nanti pas hari lebaran. Jadi nanti lebaran bhakal
perempuan main ke bhakal laki-laki dan bhakal perempuan kalau
sudah pulang dan begitu juga sebaliknya, tergantung bhakal
perempuan itu dijemput jika masih anak-anak, kalau orang desa
san-bhisanan.
Pertanyaan: Ketika hendak menikah biasa ada istilahnya kita membawa
mostomos ya ?
Jawaban: Iya harus mostomos kalau lanceng paraben
Pertanyaan: Isinya mostomos apa saja ?
Jawaban: Iya isinya mostomos dudul, topak, lepper, kocor dan nanti satu
wadah dan itu proses kalau sudah mau nikah dan masih lanceng
paraben
Pertanyaan: Bagaimana tahunya kalau itu lanceng paraben ?
Jawaban: Iya tidak pernah keluarga, kalau sudah pernah kawin berarti janda
duda
Pertanyaan: Berarti kalau sudah janda duda tidak meriah lagi ya ?
Jawaban: Iya, sudah sederhana seadanya. kalau mostomos itu biasanya
kalau seandainya tidak mampu waktu kawin maka harus diganti
kalau sudah mau melahirkan anaknya itu harus diantarkan dan itu
wajib bagi adat
Pertanyaan: Apa pemberian itu kiranya tidak memberatkan ?
Jawaban: Iya sampai cari hutangan kalau tidak ada, yang memberatkan,
karena kalau lanceng peraben disini itu pasti meriah artinya kalau
biasa-biasa saja malah menjadi cerita semisal ada ucapan anaknya
itu tidak dibawakan apa-apa, ataupun istilahnya anaknya itu
dipanggang jadi usaha nyari, tapi memang ada efek sampingnya
dari keluarga dan saudara-saudaranya itu masih ada sumbangan
sedikit-sedikit istilahnya ponakan saya mau menikah jadi nanti
ajjih binni’ bilang udah saya nanggung kelemben satu so’on nanti
tidak usah buat kelemben.
Pertanyaan: Apa dalam tradisi toloh ada sedemikian juga ?
Jawaban: Tidak ada, itu kalau sudah mau menikah kan kalau toloh itu masih
tunangan. kalau setiap tahun buat seperti itu memberatkan
dibelakang. Biasanya kalau mostomos itu ada makanan yang
dilempar yaitu lepet biasanya kalau itu dilempar ke orang yang
tak pajju binih.
Pertanyaan: Kalau diurutkan mulai dari pertama sampai mau pernikahan, apa
saja kiranya yang harus dilewati ?
Jawaban: Iya dari aing-aingnan, setelah itu ada yang masuk bertanya sudah
ada yang punya atau tidak, aing-aingnan itu biasanya memberikan
bahasa kepada sekitar warga
Pertanyaan: Kalau seandainya yang hendak dilamar jauh ?
Jawaban: Iya pasti sekitar tetangnya
Pertanyaan: Siapa yang memberi aing-angin itu ?
Jawaban: Iya dari keluarga yang laki-laki bertanya kepada yang perempuan
Pertanyaan: Pengadek itu masuk ke aing-angin ?
Jawaban: Tidak, pengadek itu nanti kalau sudah mau minta
Pertanyaan: Apa nanti yang jadi pengadek dari keluarga ?
Jawaban: Tidak, kadang orang lain , siapa kiranya yang disegani di daerah
keluarga yang mau ditunangkan, itu kan biasanya agar langsung
diterima. Setelah itu lamaran.
Pertanyaan: Setelah proses lamaran ?
Jawaban: Iya sudah setiap tahunnya
Pertanyaan: Semisal sudah semuanya sampai 10 tahun memberi tolo, apa
berikutnya ?
Jawaban: Iya kalau sudah mau menikah, nyedek temmu istilahnya emberi
tanggal dan bulan langsung kalau sudah sama sepakat
Pertanyaan: Nyedek temmu itu berapa bulan akan berlangsungnya pernikahan
?
Jawaban: Tergantung perjanjian, iya kalau sudah tinggal satu tahun, kadang
tinggal tiga bulan
Pertanyaan: Apa nyeddek temmu itu harus memberi-memberi juga ?
Jawaban: Tidak usah
Pertanyaan: Siapa saja yang datang saat nyeddek temmu ?
Jawaban: Iya pengadek itu ke bhisan perempuan etelah itu ya proses
perkawinan tinggal nyareh dinah
Pertanyaan: Apa nyareh dinah itu ?
Jawaban: Iya mencari hari yang bagus, tanggal, hari, bulan dan tahun yang
bagus
Pertanyaan: Apa itu tu ada hitung-hitungannya juga, apa yang disebut
mujarrobat ?
Jawaban: Bukan, aji saka biasanya, nanti itu bisanya ketika sudah mau
menikah ada balesan atas pemberian dari laki-laki waktu pas
lamaran misalnya 10 so’on maka harus ada pengembalian
sedemikian juga, itu biasanya hanya ada dilamaran saja. Dan itu
biasanya yang melibatkan banyak orang baik dari keluarga dan
tokoh masyarakat. Iya kalau baru bhakalan dan lanceng paraben
harus saling balas membalas seperti itu lah istilahnya
Pertanyaan: Kalau biaya acara pengembalian tersebut sampai berapa ?
Jawaban: Tidak terduga puluhan juta seperti cucu saya ke madiun tidak
cukup hanya 5 juta
Pertanyaan: Kalau tolo sampai berjuta-juta juga ?
Jawaban: Tidak, mungkin ya hanya 200 ribuan.kadang 300 cukup
Pertanyaan: Iya mungkin kalau kaya sampai 1 juta gittu ?
Jawaban: Tidak juga, walaupun itu kaya pokoknya ada saja. Sebagai tanda
saja setiap tahun memberi
Pertanyaan: Apa dengan perubahan zaman ada penurunan penerapan tradisi
toloh ?
Jawaban: Kalau tradisi toloh sama saja. Tetap bertahan tidak penurunan
kalau sejak kecil
Pertanyaan: berarti tradisi toloh itu sederhana ?
Jawaban: Iya sederhana tapi untuk mempertahan tali silaturrohmi antara
dua keluarga ini yang sulit dari bhisan ke bhisan
Pertanyaan: Walaupun pemberiannya sedikit ?
Jawaban: Kan tanda pengestoh
Pertanyaan: Berarti pertunangan sejak kecil sudah biasa, walaupun nanti
ketika sudah tua akan dikasih pilihan juga akan meneruskan juga
atau tidak ?
Jawaban: Iya nanti ditanyakan juga
Pertanyaan: Biasanya umur berapa nanti ditanyakan ?
Jawaban: Iya kalau sudah kelaur SMA, kalau sekarang kawin muda sudah
jarang , jadi nanti ke anak menafsirkan bahwa siap atau tidak mau
menikah, nanti kalau siap orang tua dari si laki-laki dan pengadek
pergi ke bhisan perempuan mun pade pojur epamolea anak
ka’dintoh, jadi nanti orang tua perempuan bertanya sudah siap apa
tidak, kalau sudah siap nanti langsung digelar tapi kalau tidak
nanti ditanyakan alasannya apa yang menjadi penyebabnya tidak
mau meneruskan.
Pertanyaan: Kalau disini orang bertunangan sudah biasa ya boncengan ?
Jawaban: Ya kalau masih kecil tapi kalau sudah besar biasa langsung disirri,
jadi nanti menunggu acara pernikahannya sudah tinggal satu
tahun tapi karena kebutuhan mau antarkan calon kuliah atau apa
pun bisa disirri terlebih dahulu.seperti ponakan dan cucu saya
disirri tadi malam
Pertanyaan: Berarti nanti kalau disirri tidak besar-besaran ya ?
Jawaban: Iya cukup berdua dan kyai bertiga
Pertanyaan: Bagaimana dengan nikahnya ?
Jawaban: Iya itu tergantung kemampuan dan perjanjiannya , kalau kita
bawa oleh-oleh sekian disitu juga bawa sekian, kalau bhisan
perempuan sudah terlalu berat kalau demikian
Pertanyaan: Seandainya tadi yang nikah sirri itu cerai sebelum jatuh tempo
pernikahan karena disebabkan percekcokan, apa nanti ketika
pertunangan lagi memberi toloh lagi ?
Jawaban: Sudah tidak, dianggap janda. Tidak ada foya-foya lagi sudah
sederhana. Tolo itu untuk yang masih lanceng paraben dan dari
masih kecil
Pertanyaan: Apa penyebab pertunangan di Madura itu sampai lama ?
Jawaban: Ya biar yang sepuh sama tahu dan bagaimana orang tuanya, kan
kalau anaknya tidak tahu
Pertanyaan: Terus, yang mendorong orang tuanya untuk mempertunangkan
itu apa ?
Jawaban: Iya kan begini ada ucapan, kalau seandainya jadi engko’
matoroah aba’ ke menantu, soalnya masih ada ikatan keluarga.
Pertanyaan: Berarti orang tua ini karena ingin matoroah aba’ ?
Jawaban: Iya kan kalau seandainya pasti matoroah aba’, kalau saya mau
nyuruh-nyuruh tidak repot lagi. Ini ucapa-ucapan kuno
Pertanyaan: Kalau pertunangan disini biasanya Cuma disekitar sini saja atau
juga sampai keluar-keluar ?
Jawaban: Sampai keluar-keluar kalau didesa ini
Pertanyaan: Apa nanti tetap menerpkan tradisi toloh juga ?
Jawaban: Iya tetap menggunakan
Pertanyaan: Kalau seandainya sampai keluar kabupaten ?
Jawaban: Iya kalau daerah Sumenep biasa orang sudah mengerti, misalnya
yang perempuan orang disini jadi tidak mengharap toloh lagi
karena sudah sama mengerti
Pertanyaan: Berarti tradisi ini semenup ketimur saja ?
Jawaban: iya
Pertanyaan: Soalnya saya tanya kepada teman daerah Lenteng tidak ada toloh,
tapi pemberian setiap lebaran ada ataupun setelah lebaran ?
Jawaban: Kalau setelah lebaran itu cuma pemberian tidak ada namanya
Pertanyaan: Berarti disana tidak ada toloh ya ?
Jawaban: Ada tapi istilahnya beda
Pertanyaan: Kalau batang-batang ada ya ?
Jawaban: Ada, malah lebih kental dengan disini, proses perkawinan disini
bantal dengan tikar sudah tidak ada isinya penangan juga sudah
tidak ada, kalau batang-batang masih ada, bantal dan tikar ada
Pertanyaan: Bantal dan tikar itu apa ?
Jawaban: Iya nanti waktu perkawinan di so’on yang namanya bantal dan
tikar seperti penangan, pappa’ dan lain sebagainya ada masih
kalau di batang-batang.masih belum bisa ditinggalkan
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Saiwah
Usia : 37 Tahun
Alamat : Rt 1 Rw 1 Dusun Sumor Penang Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wisausaha (pihak laki-laki ibu yang abhakalan)
Pertanyaan: yang pertama dengan siapa saya bertanya ?
Jawaban: Saiwah
Pertanyaan: Siapa yang abhakalan ?
Jawaban: Anak saya namanya very
Pertanyaan: Umur berapa ?
Jawaban: lahir 1997 (20 tahun)
Pertanyaan: sudah berapa lama anak anda abhakalan ?
Jawaban: sesudah lebaran syawal kemaren.
Pertanyaan: berarti baru empat bulan ya ?
Jawaban: Iya
Pertanyaan: Bagaimana proses pertunangan yang anda lakukan saat
mempertunangkan anak anda?
Jawaban: iya pertama aing-aingnin, tapi saya sulit untuk mencari yang
dijadikan aing-angnin, ya orang yang dapat dipercaya, terus
orang yang disegani, dan orang dijadikan aing-aingni ini sudah
disegani agar bisa diterima. Lalu pihak sana sudah dianggap
menerima sampai jadi untuk meresmikan pakai orang lain lagi
yang namanya pengadek. Orang yang aing-aingnin itu dengan
pengadek berbeda. Setelah pengadek meresmikan musyawarah,
lalu pengadek yang meresmikan pada malam ini (hari yang telah
ditentukan) saya akan pergi pihak perempuan.
Pertanyaan: Apa saja yang dibawa saat akan melamar ?
Jawaban: Iya kalau saya kan orang yang tidak mampu cuma bawa sedikit
jajan, bawa cincin 2 gram, baju, sandal dan kerudung. Itu pas awal
lamaran.
Pertanyaan: Pada waktu awal-awal peminangan, apa ada perjanjian akan
pelaksanaan perkawinan ?
Jawaban: tidak ada, hanya abhakalan saja
Pertanyaan: Darimana pihak yang perempuan ?
Jawaban: Orang Romben Barat
Pertanyaan: Apa ada perbedaan antara tradisi Romben Guna dengan Romben
Barat ?
Jawaban: Sama saja
Pertanyaan: Apa anda mengetahui yang dikatakan toloh ?
Jawaban: Iya tahu, Cuma belum pernah mengalami kan saya baru, tahu
cerita soalnya saudara-saudara saya sudah banyak yang
mentunangkan, yang ceritanya memberikan toloh itu.
Pertanyaan: Apa nanti anda akan melaksanakan pemberian toloh ?
Jawaban: Insyaallah nanti kalau tidak buru-buru menikah. Ya kalau emang
sudah tradisinya disini memberikan toloh ya nanti akan memberi
juga
Pertanyaan: Bagaimana menurut anda, apa tradisi toloh akan memberatkan
dalam melaksanakan proses peminangan ?
Jawaban: Iya karena sudah tradisinya, ya nanti ambil semampunya saya
saja
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Siti Fatimah
Usia : 35 Tahun
Alamat : Dusun Sumor Anyar Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wirausaha (Ibu dari anak yang melakukan abhakalan)
Pertanyaan: Dalam melaksanakan tradisi toloh ini, anda mengetahuinya
sendiri atau ada yang memberi tahu anda ?
Jawaban: Iya mengikuti perilaku yang tua saja
Pertanyaan: Kapan waktu pemberian tradisi toloh ini dilaksanakan ?
Jawaban: Biasanya pas sebelum Idul Fitri, kalau Idul Adha tidak ada
Pertanyaan: Apa saja yang dikasih ?
Jawaban: Ya berupa baju, petrana
Pertanyaan: Petrana itu apa saja barangnya ?
Jawaban: Iya hanya beras itu
Pertanyaan: Apa tradisi ini tidak memberatkan kepada anda ?
Jawaban: iya tidak, iya tidak langsung diwajibkan
Pertanyaan: Bagaimana bila tidak memberikan tradisi toloh ini ?
Jawaban: Iya walaupun tidak memberi tidak akan menjadi masalah, karena
nanti yang memberi dari pihak laki-laki memberi kepada yang
perempuan, dan yang ini (pihak perempuan) menerima dari pihak
hary (pihak laki-laki) itu.
Pertanyaan: Posisi anda dari pihak mana ?
Jawaban: Iya dari pihak perempuan
Pertanyaan: Bagaimana perasaan anda dari pihak perempuan bila tidak diberi
toloh dari pihak laki-laki ?
Jawaban: Iya tidak ada masalah
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU BUDAYAWAN MADURA
D. ZAWAWI IMRON
Pertanyaan: Begini pak, dalam mewawancarai bapak saya ingin lebih
mengetahui tentang budaya Madura, Bagaimanakah budaya
Madura sebelum Islam masuk ke Madura ?
Jawaban: Sebenarnya tidak ada catatan tertulis karena orang Madura itu
hampir tidak punya budaya tulis, mungkin budaya tulis itu masuk
Madura setelah adanya Islam gitu, dan pada umumnya sampai
sekarang itu kitab-kitab yang ada di Madura pada umumnya
jarang sekali yang memakai bahasa Madura semuanya berbahasa
Jawa. Bahkan pengarang Madura pun yang rumahnya dekat sini
kayak Maream itu pengarang “kucing emas” itu memakai bahasa
jawa dengan sedikit campuran bahasa Madura. Jadi catatan-
catatan yang sebelum Islam masuk ke Madura itu, hampir
katakanlah tidak ada karena tradisi manulis di Madura itu sangat
kering sekali, yang ada itu hanya cakna ke cakna, yang namanya
cakna ke cakna itu disetiap zaman akan mengalami perubahan
Pertanyaan: Apa ada catatan tertulis tentang masuknya Islam ke Madura ?
Jawaban: kalau menurut pak Mastuhu diredupkan oleh orang-orang tahun
1062 sudah ada pesantren “jeng tampes” di Pamekasan dan
setelah diselidiki yang namanya “jeng tampes” tenyata dipesisir
utara Pamekasan di Sotaber tempatnya. Tapi pesantren itu sudah
hampir tidak ada sekarang, nanti saya ceritakan semua itu di
desertasinya pak mastuhu tentang pesantren ada catatan walaupun
beberapa orang meragukan.
Pertanyaan: kalau untuk masuknya Islam di Sumenep ?
Jawaban: Iya mungkin sekitar itu tidak terlalu jauh, kalau di Sumenep
catatan yang ada dari “manderegeh” sekitar tahun 1400 an,
kecuali percaya bahwa Joko Tole sudah Islam, kan ada yang
mengatakan bahwa joko tole itu sudah Islam walaupun pernah
menjadi adipati di Majapahit tapi catatan yang ada dalam babat
tanah jawi itu joko tole sudah waktu peresmian masjid demak
1511 dicatat itu kuda risang penoleh sudah datang waktu
peresmian masjid demak 1511, dan kuda risang penoleh itu di
Sumenep disebut hanya kuda penoleh dan tidak ada nama lagi
yang kuda risang penoleh itu selain dari joko tole yang kratonnya
di Lapa Taman, tapi peneliti-peneliti barat juga ketika dengan
sebenarnya yang kemudian dikukuhkan otientik pada juga dari
cakna ka cakna juga. Karena yang menulis orang barat bukan
hanya di asumsikan tapi sudah dianggap, seperti di babat
Sumenep peneliti sejarawan Degraf, di sejarah runtuhnya
kerajaan Mataram menyebutkan sumber-sumber dari babat
Sumenep walaupun sebagian ahli meragukan sebuah babat itu
sama dengan sejarah itu tapi walaupun disebutkan dibabat
ternyata ada seperti dibabat Sumenep K. Tenga yang ada
diberumbung yang ada di Lombang bagian timur dan dikuburkan
di Eing-bungin memang ada kuburannya dan disetujui oleh rakyat
jadi tidak setiap babat itu kemudian, ya sama dengan seperti G30
SPKI kalau dalam sekarang itu kan sebagian mengatakan yang
berontak itu G30S itu bukan PKI kalau orang zaman saya dulu
G30S PKI sarjana-sarjana sekarang walaupun Islam sudah
meragukan itu bukan PKI yang terutama mereka yang tidak
menututi PKI begitu, sudah ikut sama pendapat sarjana-sarjana
barat atau anak-anak PKI bahwa bapak dia tidak ikut berontak,
yang berontak itu ya dewan jendral kan begitu.
Pertanyaan: Jadi pengaruh Islam terhadap budaya Madura itu sangat besar ?
Jawaban: Iya sangat besar, mungkin betul yang dikatakan Pramondian
Tatut bahwa sebelum orang barat dan Islam masuk ke Indonesia
masih setengah telanjang kan raja-raja dulu patungnya setengah
telanjang kalau untuk laki-laki.
Pertanyaan: Sebagaimana pendapat Greetz bahwa Islam di Jawa terbagi
menjadi tiga kategori yaitu Priyai, Santri dan Abangan, kalau
untuk Madura seperti apa pengkategoriannya ?
Jawaban: Iya kalau saya mengkategorikannya Madura setelah Islam ialah
budaya santri, tapi kemudian kan budaya santri itu dibagi dua,
budaya santri yang masih konsisten dengan budaya santrinya bisa
tetap dikatakan budaya santri, kalau yang tidak konsisten dengan
budaya santrinya bisa dikatakan blater dan budaya santripun itu
ada subnya kalau budaya santri kental menjadi kyai, ya kalau
tidak menjadi santri saja, sedangkan budaya blater kalau
blaternya masih atandek masih terbatas blater tapi sholat dan
kalau sudah tidak sholat dan kriminal itu yang disebut bejingan
(preman) kalau masih sholat tapi masih suka kebudayaan-
kebudayaan Madura yang tidak bernilai santri ngajuh tandek,
kemudian itu blater itu kalau betul tapi itu kira-kira begitu
Pertanyaan: Berarti hanya santri, tidak ada priyai ataupun abangan ?
Jawaban: Awalnya, tapi kan priyai itu bisa dari santri dan bukan santri juga,
sebelum mereka jadi priyai dari mana mereka, kalau
Tjokroaminoto itu apa dipriyaikan apa karena beliau cucu Imam
Hasan Basyari apa disantrikan. jadi dalam ilmu sosial itu tidak
ada rumus 2 kali 2 sama dengan 4 tidak ada itu, karena kita terlalu
percaya kepada barat, saya ini termasuk orang yang meragukan
budaya barat itu penelitian-penelitian barat, Cuma kita terlalu
taklid didalam agama dilarang taklid kalau ilmu modern malah
kita taklid kepada barat jadi refrensi-refrensi ataupun
kecenderungan itu taklid.
Pertanyaan: Apa daerah Romben Guna itu termasuk desa tua ?
Jawaban: mengingat namanya nama tua itu tapi yang paling seperti nama
Dungkek itu sekitar 1740 dulu kan namanya renggirengan
kemudian disebut penggirengan, kalau namanya Romben Guna
kan masih ada kaitannya dengan ketusan. Ditandai dengan kata
guna dan rana itu kan kalau sekarang kata-kata itu sudah tidak
digunakan lagi, kata-kata guna dan rana itu dimungkin memang
desa tua.
Pertanyaan: Mungkin pembatasan saja dulu, dari tadi kita bahas Madura
secara umum tapi sekarng kita akan lebih kepada sistem
kekerabatan atau keluarga, sebenarnya seperti apa sistem
kekerabatan di Madura ?
Jawaban: Iya itu ada adagium walaupun tidak terkenal mun nyareh kancah
ka mekkasan mun nyareh belleh ka sumenep. Jadi kekerabatan
dalam pengertian family itu untuk Sumenep cukup kuat, tapi di
Pamekasan kekerabatan itu lebih ke persahabatan jadi teman, jadi
mungkin kata-kata bile ceppa palotan bile kanca ataretan lebih
dekat walaupun di Sumenep dipakai tapi lebih cenderung ke
Pamekasan, jadi di Sumenep itu membela famili sudah menjadi
keharusan budaya, kalau di Pamekasan itu membela teman sudah
menjadi keharusan, bisa mungkin saja teman saja dibela apalagi
keluarga dibela juga di Pamekasan
Pertanyaan: Kalau untuk kepercayaan ataupun ritual yang ada dalam
masyarakat itu bagaimana khususnya dalam masalah keluarga
seperti pernikahan, peminangan dan lain-lain?
Jawaban: Kalau ritual itu ya sebagaimana NU yang namanya Madura, jadi
masing-masing kyai itu punya ritualnya sendiri kemudian tidak
sama, karena dikalangan NU kemaren kami jadi juri MTQ di
Pasuruan ada yang menjamak selama satu minggu menjadi
menjamak terus dan ada yang tidak dan itu tidak ada yang
mempersoalkan, jadi kami sudah siap untuk berbeda. Jadi yang
dekatpun yang agak dekatpun karena kepepet waktu menilai dari
jam 1 sampai jam 5 sementara jam 6:20 menit magrib sekarang
maka mereka dijamak dan itu tidak ada yang mempersoalkan jadi
karena berbeda antar pesantren bahkan bersaudarapun bisa
berbeda.
Pertanyaan: Apa semua ritual ataupun upacara pasti ada kaitannya dengan
Islam semua ?
Jawaban: sebagian, tapi kalau diromben pernikahan tidak selalu kan ada
mamaca yang diiringi oleh dua belas orang dan mungkin
sekarang sudah tidak ada dan ada beberapa, dan diiring-iringi
mamaca ada mamapa itu tidak ada dalam Islam, kalau mamaca
kepanguran memangur gigi itu bersamaan dengan dibacanya
cerita maljuna dengan andawiyah jadi sebagian ada yang dari
budaya jawa karena naskah yang dibacakan berbahasa Jawa,
mungkin di Jawa sendiri tidak ada itu, tetapi pada kenyataannya
sendiri di Madura ketika Isra’ Mi’raj beberapa kyai-kyai desa
masih dibacakan tentang kisah Isro’ Mi’raj nya Rasullah semalam
suntuk itu
Pertanyaan: Bagaimana konsep peminangan di Madura ?
Jawaban: kalau peminangan itu yang umum laki-laki mengantarkan sesuatu
pertama kali kan ada utusan dari pihak laki-laki kepada
perempuan sesudah disetujui kemudia ada upacara peminangan
dengan mengantarkan macam-macam jajan biasanya, ada
bindaran, saya sudah lupa nama-namnya jajannya dan biasanya
balasan dari laki-laki nasi itu yang lumrah.
Pertanyaan: Apa yang membedakan antara tradisi Madura dengan di luar
Madura ?
Jawaban: Iya oleh-oleh yang dibawa itu khususnya , kalau dijawa mungkin
sudah tidak ada apalagi diperkotaan yang lebih dekat budayanya
dengan priayai yang tukar cincin, Madura tidak ada tukar cincin
Pertanyaan: Dalam peminangan itu ada tradisi pemberian toloh, apa makna
dari pada toloh itu ?
Jawaban: Iya kan dalam bahasa Madura itu ada pangestoh memberikan
tanda kasih dari mertua orang tuanya laki-laki kepada si calon
menantu perempuan sebagai tanda kasih
Pertanyaan: Kalau secara arti bahasa, toloh itu dari kata apa ?
Jawaban: Tidak tahu saya, mungkin itu bahasa lokal, ya katakanlah toloh
itu pemberian dari calon pihak laki-laki kepada calon menantu
perempuan dan itu istilah lokal, kata-kata sontok itu tidak ada
dalam kamus bahasa Madura kalau di kamus bahasa Madura ada
gurcong
Pertanyaan: Bagaimana kaitannya dengan hukum Islam? karena kan menurut
orang Romben Guna memberikan toloh itu wajib.
Jawaban: Ya dalam bahasa Madura sendiri ada yang kritis juga kepada
pertunangan itu sendiri tal-ontalan amaen betoh nginum la’ang
alamak kaen babakalan bhelum tantoh mun palang ngalak oreng
laen , itu wajib adat walaupun dalam Madura Intelektual muncul
kritik-kritik ya mungkin sama seperti diperguruan tinggi ada
kewajiban memakai toga padahal toga itu bukan pakaian orang
Indonesia, dulu itu ada akademi Surabaya Manageman tidak
memakai toga justru memakai pakaian Jawa tapi mungkin kalah
dengan pengaruh internasionalisasi toga cenderung Yunani atau
Romawi, kalau urusan begitu dalam modern juga banyak yang
tidak masuk akal tentang dasi di Indonesia, mungkin kalau di
Belanda musim dingin untuk menghilangkan dingin setiap-setiap
pelantikan untuk kalau ditempat ada ac nya kalau dikecamatan
kan tidak ada AC nya, jadi setiap bangsa itu ada tidak masuk
akalnya ada hal-hal naif juga tapi karena sudah menjadi kebiasaan
Pertanyaan: Berarti itu sudah menjadi lumrah ?
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Rihwah
Usia : 65 Tahun
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupeten Sumenep
Pekerjaan : Wirausaha (Tokoh Masyarakat/pengadek)
Pertanyaan: Dalam wawancarai bapak saya ingin mengetahui tentang tradisi
toloh?
Jawaban: Yang dikatakan toloh itu cuma persyaratannya saja sandal,
pokoknya persyaratan-persyaratan perempuannya cincin, sandal,
sampo-sampo dan saya kurang paham tapi kalau saya lihat seperti
itu kepada bisan seperti yang saya antar, dan saya dengan K.
Rasyidi bisan iye enjek kesini saya ada perlu “jih putri kamu yang
perempuan itu sudah punya tunangan ? jawab dia tidak ada
katanya, saya kesini ada suruhan kalau putri kamu perempuan
tidak punya tunangan ada namanya very putranya wiwik mau
meminang putri kamu nyuruh ke orang lain tidak ada yang mau
jih dan larinya ke saya padahal karena saya dengan kamu itu
berteman dan gini soalnya dari keluarga yang laki-laki itu tidak
sama dengan kamu baik dari derajat dan lain-lain, dijawab dengan
dia pacolokan bakna (candaan sesama teman) dan dia berkata
bahwa yang cocok bhisan dengan saya adalah orang yang lebih
bawah dari saya karena kalau saya bhisanan dengan orang kaya
tidak bangga, kalau tunangan dengan yang sama seperti saya atau
dibawah saya saya lebih bangga bawa motor super saja saya
sudah bangga, saya bilang iya berarti bisa masuk saya ini, dia
jawab iya iya kelangkong. Sebelum kamu bilang kelangkong
alangkah baiknya kalau ada keluarga perempuan biar lebih pas
karena kalau tidak langsung dibicarakan dengan le’ ajjih (istri
dari K. Rasyidi) kurang sempurna, lalu saya bilang bahwa besok
malam saya kesini dengan yang berkepentingan membawa dua
so’on dan satu dengan kebutuhan yang diperlukan anak
perempuan kamu, lalu dia jawab apa tidak terlalu banyak, saya
bilang kan ini baru awal-awalnya, dan setelah itu jadi pasa malam
itu juga. Dan itu yang disebut toloh yang dibawa pas pertunangan
awal itu, barang yang dibawa itu.
Pertanyaan: Kalau sebelum lebaran itu disebut apa ?
Jawaban: kalau sudah jadi tunangan artinya ada perkataan ini toloh saya ater
tolo ke mertua sebelum lebaran, memberikan uang untuk beli
baju. Kalau yang kita bicarakan tadi itu toloh pas mau lamaran
Pertanyaan: berarti toloh itu ada dua kali ?
Jawaban: Ini kalau didesa bukan cuma dua kali, sekarang lebaran maka
mator cangkolangah tanggal 21-an bisan laki-laki pergi ke
rumahnya bhisan perempuan ater toloh. Dan itu dilakukan sampai
dia akad nikah
Pertanyaan: Apa tradisi tolo ini wajib dilaksanakan ?
Jawaban: Iya tapi uang untuk membeli baju, sandal, contohnya saya jadi
bhisan laki-laki bilang ke istri saya suruh kasih uang ke bhisan
perempuan kasih uang ini ambil belikan baju kan hanya gitu
Pertanyaan: Siapa memberi tradisi toloh tersebut, orang tuanya atau yang laki-
laki ?
Jawaban: Iya orang tuanya. Tapi kalau adat Madura orang tua disini
sekarang lebaran Idul Fitri memberi dan nanti lebaran Idul Adha
datang bhisan perempuan kasih baju laki-laki, itu adat kuno di
desa sini tapi sekarang jarang yang memakai, karena sekarang
tidak usah orang tua kan sekarang banyak jadi-jadi sendiri kadang
jadi disekolahan kan gitu dimusyawarahkan sekeluargaan kan
seperti itu tapi tetap ada toloh nya.
Pertanyaan: Yang tetap mentradisi sampai sekarang ini tolo dari yang
perempuan ke laki-laki atau dari laki-laki ke perempuan ?
Jawaban: Dari laki-laki ke perempuan, tapi kalau tunangan dari kecil
biasanya diatur orang tua jadi nanti memberi ke bhisan
perempuan dan idul adha nanti pihak perempuan memberi kepada
pihak laki-laki, itu biasanya kalau tunangan masih kecil kalau
udah besar biasanya dicukupkan pas pertama waktu pertunangan.
Pertanyaan: Apa anda mengetahui asal-usul toloh itu dari mana ?
Jawaban: Tidak tahu karena sudah sejak dulu, Cuma kebiasaan adat abhisan
secara orang desa, kan tidak jadi jeleknya, Cuma pang-
tumpangan, dulu waktu saya abisanan waktu lebaran saya
membelikan baju dan waktu lebaran idul adha tidak putus seperti
itu kalau seperti kamu cukup satu kali pengadek sudah diterima
setelah itu tinggaal janjian hari ini, malam ini yang akan pergi ke
bisan. Acara setelah itu, itu yang disebut tolo
Pertanyaan: Apa makna dari melaksanakan tradisi toloh ?
Jawaban: Tidak tahu juga saya, pokoknya yang dikatakan toloh semua
pakaiannya orang perempuan, baju sandal, sarung dikatakan tolo
Pertanyaan: kenapa harus memberi baju, sandal dan lain-lain ?
Jawaban: Iya biar ketahuan kalau sudah ada yang punya, kata sesepuh sudah
tidak bisa diotak-atik istilah dalam bahasa Madura tora (tanda)
seperti putranya K. Rasyidi itu kan sudah ada yang punya artinya
tidak boleh diotak-atik lagi.
Pertanyaan: Apa sama dengan yang disebut mahar ?
Jawaban: beda kan itu kalau sudah mau menikah
Pertanyaan: Ya mungkin itu dicicil istilahnya, jadi nanti ketika memberi mas
kawin tinggal ditotal ?
Jawaban: Beda kan kalau mas kawin nanti kalau sudah mau menikah, kalau
disini mas kawin tanya dulu kepada yang perempuan tentang
jumlah yang akan diminta untuk mas kawin contohnya minta 100
ribu atau emas. Contoh disini ada pertama orang tua minta 100
ribu tapi setelah itu dengan kepala desa disuruh tanya dulu ke
anak, dan ketika ditanya ke anaknya ternyata minta 1 juta.
Pertanyaan: Kembali kepada pembahasan yang tadi lagi, kalau seandainya
nanti batal pertunangan apakah tidak perlu mengembalikan ?
Jawaban: Tidak ada, kan itu seperti ini sekarang ater toloh kan cincin itu
memberi ke pihak perempuan tapi itu sudah ada timbal baliknya,
dan itu memang laki-laki kalah contohnya main kesini cincin
sudah selesai itu nanti memberi kepada mertuanya apa yang
dikasih dari pihak perempuan ketika main. Dan ditafsir barang-
barang yang dibawa kira-kira menghabiskan berapa contahonya
kemaren yang saya anter itu nyampek 800 ribu dan setelah itu dia
harus membalas dengan harga yang sedemikian juga. Jadi semua
barang yang dikasih ketika batal ya sudah tidak ada lagi. Kan ada
istilah tongebhan ketika peminangan dan hal itu ada jajan-
jajannya dan lainnya dan yang tidak boleh lupa yaitu mos-
tomosnya (leppet, dudul, bajik, cocor) beda dengan dulu ya kalau
dulu itu udah memberi mos-tomos sampai banyak banget, kan
kalau sekarang lebih simpel.
Pertanyaan: berarti hal sedemikian penting itu ya ?
Jawaban: iya itu harus , kalau akad nikah tidak rame-rame atau tidak
mengambil acara kalau sudah hamil istrinya harus kasih mos-
tomos dan itu harus ada, kan saya sering bilang sebenarnya tidak
ada sejarahnya hal tersebut tapi itu penting biar tidak tomos (tidak
bersih)
Pertanyaan: Berarti memberi tolo itu penting ?
Jawaban: iya penting
Pertanyaan: kenapa harus memberikan ?
Jawaban: tidak tahhu juga kalau itu bagaimana sejarahnya yang saya tahu
hanya orang tua dulu bilang toloh
Pertanyaan: Dalam bahasa Madura itu toloh mempunyai makna membasahi
rambut/mandi, lalu bagaimana hubungannya dengan toloh dalam
peminangan ?
Jawaban: Iya, jadi itu Cuma istilahnya saja toloh, jadi walaupun batal tidak
dikembalikan tetapi milik tunangan. Tapi terkadang ada juga
yang kembali kan seperti orang sebalah sini.tapi karena dari pihak
laki-laki sudah ikhlas ya sudah akhirnya tidak jadi
Pertanyaan: Apa ada akibatnya bila tidak memberi toloh ?
Jawaban: tidak ada
Pertanyaan: Apa dulu anda pernah melaksanakan tradisi toloh ini ? berapa
tahun?
Jawaban: Iya melakukan tapi lupa berapa tahun dulu saya
Pertanyaan: Kalau anak anda melakukan juga ?
Jawaban: Iya, anak saya lama bertunangan kurang lebih sepuluh tahun.
Pertanyaan: Apa sampai ke jenjang pernikahan ?
Jawaban: Iya sampai. Karena anak saya tidak tahu kerja waktu awal-awal
nikah hampir tiap bulan saya kirim. Dan setelah tahu cari uang
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Wardi
Usia : 22 Tahun
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Santri (Pelaku Tradisi Toloh)
Pertanyaan: Bagaimana konsep tentang peminangan di daerah Romben Guna
ataupun di Madura ?
Jawaban: Kalau saya, Sejak lahir didunia sudah tahu kalau dia adalah
tunangan saya
Pertanyaan: Berarti anda abhakalan sejak masih kecil ?
Jawaban: Iya, ibaratnya sejak dalam kandungan
Pertanyaan: Apakah saat ini anda masih abhakalan ?
Jawaban: Sekarang sudah nggak, sudah putus
Pertanyaan: Berapa tahun anda abhakalan hingga putus ?
Jawaban: Sekitar 16 tahun.
Pertanyaan: Selama 16 tahun itu, pernah mendengar yang namanya tolo ?
Jawaban: Nggak tau, kalau masalah toloh itu saya. Tapi ya cuman ramadhan
itu kadang itu memberikan sesuatu, kadang pakaian tapi tidak tiap
tahun kalau saya. Soalnya kan sekeluargaan, sepupu.
Pertanyaan: Berarti karena anda abhakalan dengan sepupu tidak pasti setiap
tahun pemberiannya ?
Jawaban: Iya tidak harus setiap tahun
Pertanyaan: Posisinya anda sebagai santri, bagaimana menanggapi tradisi
toloh ini ?
Jawaban: Ya. Jadi beban sebenarnya
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Niwanah
Usia : 34 Tahun
Alamat : Dusun Sumor Penang Desa Romben Guna Kecamatan Dungkek
Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wirausaha (pihak perempuan yang berpinangan/Ibu)
Pertanyaan: Siapa yang lagi bertunangan ?
Jawaban: Silvi anak saya
Pertanyaan: Sudah berapa tahun bertunangan ?
Jawaban: Sekarang sudah batal tidak bertunangan lagi
Pertanyaan: Sejak kapan anak anda bertunangan ?
Jawaban: Iya bertunangan sejak masih kecil
Pertanyaan: Mulai umur berapa ?
Jawaban: Sejak umur 4 tahun sampai 9 tahun
Pertanyaan: Berarti selama umur 4 sampai 9 tahun bertunangan membeikan
toloh ?
Jawaban: Iya setiap tahun
Pertanyaan: Kan sekarang sudah gagal, apakah ada pengembaliannya ?
Jawaban: Tidak ada
Pertanyaan: Sampeyan dari pihak laki-laki atau dari pihak perempuan ?
Jawaban: Dari pihak perempuan
Pertanyaan: Apa yang menyebabkan batalnya pertunangan ?
Jawaban: Iya karena dari anak-anaknya sudah tidak mau
Pertanyaan: Menurut anda, apakah bila tidak memberikan toloh dapat
menyebabkan batalnya pertunangan ?
Jawaban: Tidak berpengaruh
Pertanyaan: Menurut anda, apa wajib pemberian toloh itu sendiri ?
Jawaban: Tidak tahu ya, soalnya saya kan yang dianterin toloh itu
Pertanyaan: Bagaimana perasaan anda bila tidak diberikan toloh ?
Jawaban: Iya tidak begitu mengharap sih, tapi kan biasanya diberi jadi nanti
ditanya kenapa tidak memberi. Dan yang menjadi batalnya
pertama tidak mengantarkan toloh. Dan juga anak-anaknya sudah
tidak mau lagi bertunangan
Pertanyaan: Berarti benar-benar bisa menjadi batalnya pertunangan beneran
ya kalau tidak memberi toloh ?
Jawaban: Iyakan berarti dia sudah tidak mau lagi. Kan sudah begitu setiap
tahun
Pertanyaan: Dikasih apa saja tiap tahunnya (tolo) ?
Jawaban: Dikasih uang dan beras
Pertanyaan: Kalau boleh tahu berapa jumlahnya ?
Jawaban: Ya 200 ribu tapi kadang lebih ataupun kurang tidak ada kepastian.
Pertanyaan: Berarti sekarang sudah tidak bertunangan lagi ?
Jawaban: Iya
Pertanyaan: Kapan waktu pemberian tolo?
Jawaban: Waktu bulan puasa sejak tanggal 21 an biasanya
Pertanyaan: Berarti sama dengan petrana ?
Jawaban: Iya, biasanya bilang petranah
Pertanyaan: Menurut anda, apa manfaat memberikan toloh ini ?
Jawaban: Tidak tahu saya, kan saya hanya dianterin ya saya terima
Pertanyaan: Apa anak tahu mengenai pemberian toloh ini ?
Jawaban: Iya tidak tahu, hanya saya dan keluarga
Pertanyaan: Apakah tidak memberatkan kepada pihak laki-laki ?
Jawaban: Tidak,
Pertanyaan: Tidak memberatkan bagi anda karena yang memberikan hanya
pihak laki-laki saja ya ?
Jawaban: Kan saya juga kasih balasan tapi nanti biasanya Idul adha. Kan
kalau saya tradisinya pakai dua dengan daerah Jedung, jadi
biasanya membelikan juga pakaian
Pertanyaan: Berarti kalau tradisi disini (Desa Romben Guna) laki-laki
memberi ?
Jawaban: Iya tapi kalau ditempat lain ada juga tradisi yang ngasi juga (dari
pihak perempuan)
Pertanyaan: Berapa pemberian toloh kepada anak anda ?
Jawaban: Kan kalau laki-laki biasanya 150 ribu
Pertanyaan: Berarti dari pihak perempuan memberikan 150 ribu kepada pihak
laki-laki?
Jawaban: Iya terkadang membelikan langsung baju dan sarungnya.
Pertanyaan: Berarti anda, melaksanakan dua tradisi ?
Jawaban: Iya, kan calon menantu orang jedung
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Hj Maswiyatun
Usia : 53 Tahun
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wirausaha(Tokoh Masyarakat)
Pertanyaan: Bagaimana prosesi peminangan disini ?
Jawaban: Iya kalau dari awal pertama aing-aingin/memberi kabar bahwa
ada yang akan meminangnya dan setelah sepakat nanti masuk lagi
pengadek. Setelah pengadek masuk langsung diminta kepada
orang tuanya.
Pertanyaan: Siapa yang menjadi pemberi aing-aingnin itu ?
Jawaban: Iya pengadek
Pertanyaan: Apa pengadek dari pihak keluarga ?
Jawaban: Ada yang iya dan tidak juga, ya kalau cuma yang kasih kabar
kadang orang luar, baru nanti setalah mau minta orang tuanya dan
famili yang meminta dan setelah itu nanti baru bawa jajan seperti
orang melamar
Pertanyaan: Biasanya sampai berapa tahun orang yang bertunangan disini?
Jawaban: lama kalau disini ada yang sepuluh tahu, ada yang sejak kecil,
kadang masih belum sekolah saja sudah ada yang meminta mau
ditunangkan, tapi kalau keuarga disini tidak dikasih sebelum
sekolah, mondoknya selesai. Kan ada bisanya itu sejak kecil
sudah di pangantanen sejak kecil
Pertanyaan: Apa disini banyak orang yang bertunangan masih kecil ?
Jawaban: Iya banyak sudah menjadi mayoritas
Pertanyaan: Apa ketika mau ditunangkannya anak yang masih kecil
ditawarkan terlebih dahulu ?
Jawaban: Tidak langsung terserah orang tuanya, kan anak-anak umur 5
tahun mau mengerti apa
Pertanyaan: Apa nanti ketika sudah dewasa baru ditawarinya ?
Jawaban: Iya harus, jadi kalau sudah dewasa nanti ditawarkan ya kalau
seandainya diantara keduanya tidak setuju yaudah berarti batal
Pertanyaan: Bagaimana dengan kebiasaan dimasyarakat ?
Jawaban: Ya seperti itu, tapi biasanya kalau sudah tua tidak sampai batal.
Walaupun kadang ada yang pisah karena banyak yang tidak tau
sejak kecil ternyata ditunangkan
Pertanyaan: Apa anda mengetahui yang disebut dengan tradisi toloh ?
Jawaban: toloh itu biasanya tiap tahun kalau sudah bertunangan, toloh itu
biasanya memberi baju, sabun, sandal.
Pertanyaan: Apa perbedaan antara petra dengan toloh ?
Jawaban: Iya beda, kalau toloh kan istilahnya memberi ke bhakal tapi kalau
petra memberi kepada orang lain
Pertanyaan: Yang benar itu tulisannya ater toloh atau toloh saja ?
Jawaban: Ater itu kan artinya mengantarkan jadi toloh itu barangnya
Pertanyaan: Apa saja pemberian yang umumnya dimasyarakat dalam masalah
tradisi toloh?
Jawaban: Beras, baju, sabun, parfum, make up, sandal, kerudung, dan uang.
Pokoknya semua dipakaian untuk lebaran oleh perempuan.
Pertanyaan: Dari tadi kita berbicara masalah pertunangan sejak kecil kalau
seandainya janda, apa berhak mendapat toloh juga ? seandainya
orang tersebut baru saja cerai
Jawaban: sudah tidak ada
Pertanyaan: Kalau seandainya batal pertunangan dalam masa yang sudah
lama, apa toloh yang telah diberikan dapat dikembalikan ?
Jawaban: Tidak dikembalikan, beda dengan tukar cincin
Pertanyaan: misal ada kejadian karena mahal pemberiannya harga baju
tersebut apakah nantinya ada pengembalian ?
Jawaban: Kalau Cuma baju tidak ada pengembalian, biasanya emas saja
yang ada pengembalian itupun kalau sampai 5/10 gram, kalau
Cuma 2 gram biasa tidak usah. Kalau baju sampai harga 10 juta
pun tidak akan dikembalikan
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Eva Nur Fauza
Usia : 19 Tahun
Alamat : Rt 3 Rw 1 Dusun Sumor Penang Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Mahasiswi (Pelaku Tradisi Nyabek Toloh)
Pertanyaan: Dengan saudari siapa ?
Jawaban: Eva
Pertanyaan: Berapa lama anda bertunangan ?
Jawaban: Perkiraan 7 bulan
Pertanyaan: Apakah anda sudah pernah melaksanakan tradisi toloh ?
Jawaban: Iya sudah pernah melaksanakan
Pertanyaan: Anda sudah 7 bulan betunangan, kapan pemberian tolo itu
dilakukan ?
Jawaban: Lebaran Idul Fitri kemaren.
Pertanyaan: Berarti dari pihak laki-laki memberi kepada pihak perempuan ?
Jawaban: Iya
Pertanyaan: Apa dari pihak perempuan memberi juga ?
Jawaban: Tidak
Pertanyaan: Apa yang dirasakan setelah diberikan itu (toloh) ?
Jawaban: Iya senang
Pertanyaan: Apa lagi yang anda rasakan selain senang ?
Jawaban: Iya tambah erat hubungannya
Pertanyaan: kalau misalnya dari pihak laki-laki tidak memberikan tolo
terhadap pihak perempuan (anda), apa yang anda rasakan ?
Jawaban: Iya tidak mengurangi hubungan
Pertanyaan: Jadi, bagi sampeyan itu toloh wajib gak sih ?
Jawaban: Tidak wajib, itu menurut tradisi
Pertanyaan: Jadi tradisi itu dilaksanakan atau tidak sama saja ?
Jawaban: Iya sama saja, tetapi kalau dilaksanakan tambah erat
hubungannya
Pertanyaan: berarti kemaren (idul fitri) baru pertama kali dikasih toloh ?
Jawaban: Iya
Pertanyaan: kemaren pas bertunangan dipilihin orang tua atau atas pilihan
sendiri ?
Jawaban: dipilihin orang tua
Pertanyaan: berarti tidak saling kenal ?
Jawaban: kenal, tapi biasa cuma teman
Pertanyaan: Apa saja yang diberikan pas ater toloh itu ?
Jawaban: uang disuruh beli baju
Pertanyaan: Kalau boleh tahu berapa nominalnya ?
Jawaban: 200 ribu
Pertanyaan: selain uang dikasih apa lagi ?
Jawaban: Tidak ada
Pertanyaan: Itu nanti untuk baju saja atau ama perlengkapan juga ?
Jawaban: Iya Cuma baju, kerudung, rok
Pertanyaan: Apa tujuan pemberian toloh itu ?
Jawaban: Iya untuk hari raya
Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pemberiannya waktu diberikan oleh
pihak laki-laki ?
Jawaban: orangtuaanya langsung memberikan kesini
Pertanyaan: berarti bukan laki-lakinya ?
Jawaban: bukan
Pertanyaan: kalau boleh tahu dari awal prosesnya bagaimana, apa resmi atau
bagaimana ?
Jawaban: iya cuma kasih saja
Pertanyaan: berarti tidak ada persyaratan-persyaratan ?
Jawaban: ya tidak ada
Pertanyaan : apakah tidak ada pribahasa atau tata krama dalam memberikan ?
Jawaban: tidak ada
Pertanyaan: berarti yang berhak menerima toloh itu siapa ?
Jawaban: cewek
Pertanyaan: pemberiannya hanya pas hari raya idul fitri ?
Jawaban: iya
Pertanyaan: kalau idul adha ?
Jawaban: tidak, hanya idul fitri saja
Pertanyaan: berarti satu tahun sekali ?
Jawaban: iya
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : K.H. Anshori
Usia : 45 Tahun
Alamat : Kampung Pabungkoan Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Wirausaha (Sebagai Tokoh Agama)
Pertanyaan: Dalam penilitian ataupun skripsi saya akan membahas tentang
toloh ?
Jawaban: Toloh bha-bhakalan biasanya dibulan-bulan ramadhan, pas kalau
sudah resmi bertunangan, biasanya dekat dengan lebaran H-5 dari
pihak bisan laki-laki mengantarkan kepada menantu, itu biasanya
disebut dengan toloh memang sudah kebiasaan
Pertanyaan: Bagaimana konsep peminangan di Madura ?
Jawaban: Iya seperti itu, kalau sudah menjadi tunangan setiap tahun itu
sudah ada istilahnya toloh kalau sudah menjadi tunangannya,
mendekati hari raya idul fitri kadang-kadang hari raya idul adha.
Tapi yang sering hari raya idul fitri istilah toloh itu memberikan
kepada tunangannya dari si laki-laki kepada si perempuan.
Pertanyaan: Menurut anda, toloh ini dikategorikan sebagai apa ?
Jawaban: Adat kebiasaan Madura
Pertanyaan: Apa ada kaitannya tradisi toloh dengan Islam ?
Jawaban: Kalau dikaitkan dengan Islam hubungannya tidak ada, adanya
kalau diadakan misal anggaplah itu sebagai sedoqoh atau hibah
Pertanyaan: Berarti kalau dikategorikan sebagai nafkah, mahar ?
Jawaban: Bukan mahar, bukan nafkah. Mau dikategorikan nafkah kan
masih belum jadi istri
Pertanyaan: Hal demikian, yang menjadi kebingungan saya kalau melihat dari
sisi pengertiannya seperti nafkah yaitu wajib memberi, sedangkan
nafkah juga wajib memberi
Jawaban: Adat kebiasaan Madura, malah kalau tidak memberi akan
menjadi buah bibir kalau si laki-laki itu tidak memberikan toloh
kalau adat disini. Misalnya si A bertunangan dengan si B terus si
A tidak memberikan toloh kepada si B maka kurang baik nanti
bahasa-bahasanya
Pertanyaan: Berarti dalam Islam tidak ada sama sekali ?
Jawaban: Tidak ada
Pertanyaan: Kalau seandainya dikaitkan dengan silaturrohim bagaimana ?
Jawaban: Iya kalau dikaitkan dengan silaturrohim masih ada, anggap saja
itu sebagai oleh-oleh dari si bisan dan antar si bisan atau bisa
dikatakan sebagai kenang-kenangan. Namun kalau di Madura
khususnya disini (Romben Guna) memang dikatakan oleh orang
tua wajib.
Pertanyaan: Apakah bisa dikatakan sebagai al-adatul muhakkamah ?
Jawaban: Tidak bisa, cuma kebiasaan
Pertanyaan: Mungkin lebih tepatnya kepada ke maslahatan ?
Jawaban: Iya lebih ke maslahatan
Pertanyaan: Berarti kemasalahatan diantara pihak perempuan dan pihak laki-
laki ?
Jawaban: Iya, biasanya itu kalau ada istilah toloh dari tunangan si laki-laki
itu nanti sebelum baligh ada, sebelum akad nikah kadang-kadang
ada misal seperti mulai dari menghampiri idul fitri belikan
fitrohnya, dibelikan pakaiannya iya kalau mampu selengkapnya
Pertanyaan: Itu toloh ?
Jawaban: Itu toloh, terus setelah itu biasanya kadang-kadang si perempuan
memberikan sarung
Pertanyaan: Maksudnya fitrahnya bagaimana ya sepertinya mirip-mirip
dengan zakat fitroh kepada tunangan ?
Jawaban: Iya tapi fitrohnya yang memberikan itu mertuanya artinya
tunangan si A fitrahnya saya yang menanggung
Pertanyaan: Berarti dalam masyatakat Madura ataupun Romben Guna ini ada
dua zakat fitrah ada dua pertama zakat fitrah secara hukum islam
kedua kepada tunangan ?
Jawaban: tidak, misalnya ini fitrahnya langsung diberikan kepada si
menantu dan menantu mengalihkan kepada yang berhak terserah
namun fitrahnya itu ditanggung sama mertua dan untuk zakat
fitrah nanti mengeluarkan lagi untuk diri sendirinya.
Pertanyaan: kata saya tadi dikategorikan sebagai zakat fitrah juga, yang mana
ada zakat fitrah yang 2,5% dan yang kedua zakat fitrah kepada
menantu ?
Jawaban: Tidak cuma ditanggung saja. berarti istilahnya ngambek aghi
mertuanya huh la mun mattua na bakna kalau disini sudah lumrah
seperti itu. Karena sudah menjadi kebiasaan antara bisan ke bisan
kadang-kadang ada isi hati mengharapkan.
Pertanyaan: Menurut anda, apakah tidak memberatkan memberi toloh itu,
utamanya bagi pihak laki-laki ?
Jawaban: Iya memberatkan juga soalnya sudah adat, kadang-kadang
tetangga yang menanyakan, misalnya si A sudah dikasih toloh
nya, ya kalau sudah ya sudah ya kalau belum ya bilang belum ya
kala belum jadi buah bibir wajib ya tidak wajib, sunnahpun saya
kira tidak masuk kategori sunnah, namun memberinya itu masih
masuk sadaqoh wajib bagi adat.
Pertanyaan: Berarti itu ada kemiripan dengan al-adatul muhakkamah, dalam
artian adat bisa dijadikan hukum walaupun hanya bagi
masyarakat disini ?
Jawaban: Iya artinya kalau tidak memberi itu (toloh) bisa jadi buah bibir
Pertanyaan: Selain jadi buah bibir, konsekuensinya apa lagi ?
Jawaban: Kadang jadi unek-unek ada salah apa ya
Pertanyaan: Berarti nanti jadi retak ya hubungan diantara keduanya ?
Jawaban: Iya artinya bisa-bisa suudzon dari si perempuan itu kalau tidak
memberi seperti itu (toloh). Insyaallah kalau Dungkek, Gapura itu
hampir sama sebab saya juga pernah juga punya menantu dari
Andulang sama seperti itu masih kok mendekati hari raya idul fitri
memberi zakat fitrahnya kemudian pakaiannya
Pertanyaan: Kalau seandainya batal apa ada pengembalian ?
Jawaban: Tidak ada, iya kan sudah dianggap sadaqoh ya sebagai pangestoh
(setia)
Pertanyaan: Bagaimana proses pemberian toloh itu ?
Jawaban: sampai akad nikah, iya dari awal sudah begitu, kalau sudah
menjadi tunangannya itu, misalnya kan kalau setelah lamar itu
perjanjian kan ada istilah adat itu tale (tali/ikatan) berupa kain kek,
berupa jajan dan semacamnya terus itu tergantung pihak yang
kedua itu ada istilah pangadek jadi banyak sedikit tergantung
pengadek dari A ke pangadek dan si B ke pengadek dan setelah
jadi tunangannya ini ikatannya dan kalau dari laki-laki agak
banyak jadi si perempuan balasannya banyak juga lah kalau sudah
jadi itu baru dikatakan toloh sesudah tunangan
Pertanyaan: Apa bisa dikatakan sebagai masa menunggu ?
Jawaban: Menunggu pernikahan
Pertanyaan: disini sudah biasa ya tunangan sampai beberapa tahun ?
Jawaban: iya ada 3 tahun bahkan sejak kecilkan sudah ditunangkan
Pertanyaan: Dalam memberi toloh, apa ada barang-barang tertentu yang harus
dikasih, istilahnya patokan ?
Jawaban: tidak semampunya tunangan laki-laki kadang ya memberi
uangnya ya kadang dibelikan barangnya bisa berupa uang
Pertanyaan: Dalam pemberian baju, apa harus baju adat Madura ?
Jawaban: Tidak, yang penting baju, kalau disini tidak ada tergantung dari
tunangan si perempuan itu mau beli seperti apa, dan itu wajib bagi
adat untuk memberikannya
Pertanyaan: kalau berupa uang berapa minimalnya ?
Jawaban: Iya secukupnya untuk membeli pakaian sampai 200 ribu bahkan
semuanya diuangkan seperti fitrohnya, pakaiannya.
Pertanyaan: kalau orang kaya bisa memberi berapa ?
Jawaban: iya perkiraan 500 ribu sd 700 ribu
Pertanyaan: kalau orang tidak miskin ?
Jawaban: iya mungkin 200 sd 300 ribu
Pertanyaan: itu berarti ada tingkatannya juga ya ?
Jawaban: iya
Pertanyaan: Apa ada riwayat ataupun sejarah tentang tradisi toloh ?
Jawaban: Tidak ada udah dari sesepuh, itu saya tidak tahu, saya sudah tahu
itunya mulai sejak kecil sudah kayak gitu bahkan dewasa sampai
jadi bapak-bapak bahkan punya cucu tidak tahu asal usulnya
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Dewi Mustika
Usia : 50
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Kepala Desa Romben Guna
Pertanyaan: Bagaimana adat Madura dalam peminangan ?
Jawaban: Ya seperti biasa kalau kota biasanya kan tukar cincin tapi kalau
disini buat ghebay
Pertanyaan: Apa yang disebut dengan ghebay ?
Jawaban: Iya mantenan, jadi pengantan (orang melakukan pengaten laki-
laki dan perempuan) pakai kuda. Mayoritas masyarakat disini
ketika mantenan naik kuda, anak saya sendiri di pangantenin naik
kuda tapi dalam acara khitanan, karena ditakutkan yang tua tidak
melihat anaknya dimantenin, maka sejak kecil sudah diharuskan
melaksanakan tradisi ini. Tradisi ini harus dilakukan kalau tidak
diizinin ya harus bermusuhan dengan masyarakat.
Pertanyaan: Bagaimana tanggapan anda sebagai kepala desa dalam
pelaksanaan tradisi tersebut ?
Jawaban: Iya harus mengikuti tradisi
Pertanyaan: kalau buat acara ghebay, apa harus izin ke desa ?
Jawaban: Iya, nanti tembusannya ke kecamatan dan polsek karena ada
keramayan. Terkadang bila yang mengadakan acara orang kaya
biasanya sampai menyewa ludruk.
Pertanyaan: Apa anda mengetahui yang disebut dengan toloh ?
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Didik
Usia : 40
Alamat : Rt 03 Rw 01 Kampung Pabengkoan Desa Romben Guna
Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Perangkat Desa
Pertanyaan: Bagaimana adat Madura dalam peminangan ?
Jawaban: Apa ya, mengikat itu
Pertanyaan: Apa anda mengetahui yang disebut dengan toloh ?
Jawaban: Mungkin nanti pas memberi minyak, make up, baju itu kali ya
Pertanyaan: Iya, sebagaimana yang saya peroleh dari narasumber yang lain
sedemikian. Lalu yang ingan saya tanyakan pesta peminangan
disini biasanya kan meriah, apa dari pihak desa ikut serta dalam
memeriahkan pesta tersebut ?
Jawaban: Tidak ikut campur
Pertanyaan: Bagaimana seandainya ingin mengadakan acara, apa perlu izi
desa?
Jawaban: Tidak usah, cuma musyawarah sekeluargaan
Pertanyaan: Didesa ini ada istilah karjeh, bila ingin mengadakan acara
tersebut,apa perlu izin ?
Jawaban: Iya itu beda lagi, biasanya kan makabin, jadi itu harus izin ke desa
Pertanyaan: Apa hal itu termasuk bagian dalam peminangan ?
Jawaban: Iya, tapi kan kalau peminangan diawal beda dengan makabin atau
akarjeh itu harus izin ke desa, karena biasanya menggunakan
pengeras suara
HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT DESA ROMBEN GUNA
KECAMATAN DUNGKEK KABUPATEN SUMENEP MADURA
Nama : Rakso
Usia : 48 Tahun
Alamat : Rt 04 Rw 01 Kampung Tengah Desa Romben Guna Kecamatan
Dungkek Kabupaten Sumenep Madura
Pekerjaan : Tokoh Masyarakat
Pertanyaan: Bagaimanakah asal usul dari tradisi toloh itu pertama kali dan
tatacara pelaksanaannya ?
Jawaban: Toloh yang populer disini memang untuk orang yang tunangan,
berlakunya istilah “toloh” pada zaman dahulu itu bukan
berbentuk seperti sekarang, istilahnya masih tetap “toloh”, “ater
toloh” mertua ater tolo tapi barangnya namanya “paparem” kalau
zaman dahulu paparem yang identik hubungannya dengan
“toloh”, bahasanya kalau katanya orang Madura itu “toloh” itu
keramas. Memang benar yang mengantarkan ke menantu itu
ramuan tradisional yang fungsinya ada 2: pertama ramuan khusus
mandi besar, kedua lulur. Mengantarkan mertua tujuannya nanti
apabila sudah h-15, h-10 paling tidak seminggu sebelum hari
lebaran diantarkan ke mertua laki-laki ater toloh ke menantu
perempuan agar nanti ketika hari lebaran menantu di bawa untuk
bersilaturrahim ke mertua-mertua agar terlihat segar dan ini
tujuannya dan untuk barangnya itu dulu seperti kunyit-kunyit
yang dibuat lulur, dan ketika lebaran penampilannya memang
terlihat kuning kulitnya meskipun asalnya agak coklat. Dan
pengalaman saya dulu selama 15 hari tidak boleh keluar dan
seluruh badan saya dilulur dengan kunyit dan ketika pas hari
lebaran badan emang terlihat kuning dan bersinar yang diantarkan
paparem bagi yang mampu ditambah dengan baju, sandal dan
bagi yang tidak mampu tidak diberikan itu hanya toloh saja ya
istilahnya jaman dulu ya paparem.
Pertanyaan: Apa perbedaan antara paparem dengan toloh ?
Jawaban: paparem itu barangnya, sedangkan toloh itu istilahnya yang mana
bhisan dari laki-laki pergi ke bhisan perempuan dan itu
dinamakan “ater toloh” dan yang diantarkan tolo itu tadi namanya
paparem. Paparem itu untuk menantu perempuan.
Pertanyaan: Bagaimana tata cara pemberian toloh itu dan siapa saja yang
menemani ?
Jawaban: Bhisan laki-laki yang punya anak lelakinya mengantarkan kepada
bhisan perempuan, tapi biasanya yang mengantarkan kebanyakan
perempuan/ibunya. Cuma kalau untuk sekarang sama-sama dari
laki-laki maupun perempuan dan itu hanya istilah tertoloh dan itu
tidak banyak orang seperti lamaran hanya bapak dan ibunya saja.
Pertanyaan: Kenapa harus diberikan sebelum lebaran ?
Jawaban: Tujuannya nanti hari lebaran, biasanya lebaran idul fitri dan
lebaran idul adha tapi cuma yang dibesar-besarkan biasanya yang
banyak memakai di idul fitri bila idul adha sudah tidak karena
baru selesai yang idul fitri, artinya setiap tahun sekali sudah pasti
di idul fitri ater toloh
Pertanyaan: Selanjutnya, apa perbedaan pemberiannya antara orang kaya
dengan yang miskin ?
Jawaban: Tidak sama, kalau yang kaya ada plus-plusnya, tapi kalau yang
miskin iya cuma yang lulur saja namanya juga orang tidak mampu
mandi lulur saja saporanah badhanah sarean (maaf adanya Cuma
segini) itu kalau dulu, tapi kalau sekarang sudah gengsi yang mau
memberi sabun saja pasti baju
Pertanyaan: Berapa jumlah pemberian toloh ini bila diuangkan ?
Jawaban: Iya minimal kalau sekarang kalau diuangkan bisa sampai 500
ribuan baju, kan yang namanya adat dan tata krama nanti pihak
laki-laki memberi juga waktu hari H/ waktu lebaran menantunya
dikasih juga waktu pas malam lebaran atau hari lebaran
menantunya itu dibeliin arloji, dibeliin sarung berupa balesan
Pertanyaan: Sejak kapan tradisi toloh membudaya dimasyarakat ?
Jawaban: Iya memang sudah membudaya dari dulu kalau saya sejak embah
masih kecil suka bergabung/bermain dengan orang sepuh yang
usianya sudah lanjut dan jarang bermain dengan sebaya, karena
yang diperlukan cerita-cerita zaman dulu
Pertanyaan: Apa ada cerita-cerita zaman dulu tentang arti toloh ?
Jawaban: Kan dikatakan toloh itu karena mengantar alat mandi jadi tidak
ada penegasan, cuma lebih identik dengan alat mandi karena
menurut orang Madura mandi keramas itu atoloh kalau semua
dibasahin dari rambut sampai kebawah namanya atoloh ada
istilah itu tapi kalau sekarang sudah jarang disebutkan karena
sekarang sudah ada yang lebih ngetren.
Pertanyaan: Berarti maknanya dari atoloh keramas itu ya ?
Jawaban: Iya bermakna itu, jadi yang diantarkan memang alat-alat untuk
mandi, makanya ater tolo, paparem itu memang tradisional bukan
belian di toko tapi buatan sendiri yang diracik kunyit
Pertanyaan: Kalau seandainya terjadi batalnya pertunangan, apakah ada
pengembalian barang yang telah diberikan ?
Jawaban: Tidak mengembalikan, karena memang sah pemberian bukan tata
krama tidak dikembalikan, jadi kalau misalnya pernikahan sama
dengan mas kawin kan tidak boleh minta ganti ataupun dibawa
pulang semisal dibeliin cincin 1 gram mas kan tidak bisa diminta
kalau pas suaminya mau pulang makanya cincinya tidak bisa
diminta
Pertanyaan: Kenapa toloh diibaratkan seperti mas kawin ya ?
Jawaban: Iya sama, kan pemberian
Pertanyaan: Apa faktor yang melatar belakangi tradisi ini masih melekat ?
Jawaban: sekarang ini dikemas lagi ater tolo itu, tidak ada mertua ater tolo
saja tapi pas baju dan banyak lagi roko (alat sholat), sandal jadi
bisa sampai keuangan 500 ribu. Beda zaman dahulu, dan mungkin
kepada orang tua seandainya anak baru berbisan embahnya yang
bilang “sudah ater tolo”, apa itu tolo ? anak kan tidak mengerti ,
saya punya anak muji dan muji ini punya bhisan tidak tahu istilah
toloh tidak dengar bila bulan puasa sudah kamu ater toloh ke
menantunya (kata si sesepuh itu), bertanya dia, apa tolo itu ?, baru
nanti orang tuanya itu menjelaskan dan nanti setelah mengerti
besok muji pergi ke pasar ikut juga apa yang disuruh orang tua itu
ya mungkin sudah sangkolan itu, tradisi sangkolan sampai
sekarang itu masih berlaku kalau tidak ater tolo bakal jadi
pembicaraan, bisanya kalau lebaran itu dibelikan apa kamu
dengan menantunya, ditaanya nanti
Pertanyaan: Apa konsekuensi bila tidak memberi tolo ?
Jawaban: Resiko batal, kenapa kamu tidak menantu saya saja mau dibelikan
sepeda motor maka batal ada yang lebih berani kasih. Kan kalau
disini ini pacaran memang ada tapi minus tidak begitu
membudaya, yang ada disini sangat membudaya adalah
pertunangan sejak kecil memang sedemikian PDKT nya itu
melalui bhakalan itu istilah statusnya kan sama pacaran dengan
bhakal sesungguhnya tapi kalau orang disini itu pacaran dulu dan
abahakal oke baru menikah, sesungguhnya kalau menurut saya
DOKUMENTASI
Bersama Tokoh Agama (K.H Anshori) Bersama Tokoh Masyarakat (H. Rahman)
Bersama Hj. Maswiyatun (Tokoh Masyarakat) Bersama Masyarakat(Siti Fatimah)
Bersama Wardi (Masyarakat) Bersama Niwanah (Masyarakat)
Bersama Didik (Perangkat Desa)
Bersama D. Zawawi Imron (Budayawan Madura)