Post on 23-Jan-2016
TAUHID SEBAGAI KONSEP DASAR AJARAN ISLAM
DAN LAHIRNYA BEBERAPA KONSEP DALAM ILMU KALAM, IMAN
DAN KUFUR
1. ARTI TAUHID
a. Menurut bahasa, tauhid berasal dari kata :
yang artinya "meng-Esa-kan
b. Menurut arti hatfiah; tauhid berasal dari kata "Wahid" yang
berarti "satu'".
c. Menurut para ahli, Ilmu Tauhid diartikan: Ilmu yang membahas segala
kepercayaan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.
d. Menurut definisi: Ilmu tauhid ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya
Allah, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya membicarakan tentang Rasul-rasul
Allah, untuk menenetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti
ada padanya sifat-sifat yang terdapat padanya.
e. Menurut istilah Agama Islam; Tauhid ialah “Keyakinan tentang dalil-dalilnya
yang menjurus kepada kesimpualan bahwa Tuhan itu Satu disebut Ilmu Tauhid.
Di dalamnya terrnasuk soal-soal kepercayaan dalam Agama Islam.
Firman Allah:
Artinya:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. A 1-
lkhlas: 1 - 4).
Demikianlah, bahwa Allah yang menguasai alam semesta ini sudah pasti Ia Maha
Esa, artinya Tunggal, hanya satu tidak lebih. Jika sekiranya penguasa alam ini
lebih dari satu, niscaya akan timbul perselisihan yang membawa kerusakan.
2. NAMA-NAMA LAIN ILMU TAUHID.
1) Ilmu Tauhid.
Artinya Tauhid ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (mengesakan Tuhan)
dan tidak ada sekutunya. Dinamakan ilmu Tauhid karena tujuannya ialah
rnenetapkan ke-Esaan Allah dalam dzat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan
alam semesta dan hanya Allah-Iah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini.
Prinsip inilah yang menjadi tujuan utama daripada ajaran Nabi Muhammad SAW,
2) Ilmu Aqa'id atau Aqa'idul Iman. L
Artinya Tauhid ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (mengesakan Tuhan)
dan tidak ada sekutunya. Karena arena dalam pengetahuan ini ada-fasal-fasal
Yang harus diikat, dibuhulkan erat-erat dalam hati kita yang harus menjadi
kepercayaan yang teguh.
3) Ilmu Kalarn,
Ilmu Kalam artinya ilmu pembicaraan, karena dengan membicarakan pengetahuan
akan menjadi jelas carakan pengetahuan yang tepat menurut undang-undang ngan
pembicaraan arti membicarakan kepercayaan yang benar dan dapat ditanamkan ke
dalam hati manusia. Di sebut ilmu kalam sebab-dalam ilmu tauhid itu
pembahasan.
Disebut ilmu kalam sebanya yang paling berat dan paling banyak menjadi bahan
diskusi dan musyawarah ialah masalah sifat Kalam pada Allah SWT.
4) Ilmu Ushuluddin.
Ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang membahas agama. Dinamakan demikian
karena memang soal kepercayaan itu betul-betul menjadi dasar pokok daripada
soalsoal yang lain dalam Agama.
5) Ilmu Hakikat.
I1mu Hakikat berarti ilmu sejati, karena ilmu ini menjelaskan hakikat segala-
sesuatu, sehingga dap at meyakini akan kepercayaan yang benar (hakiki).
6) Ilmu Ma'rifat
Disebut ilmu Ma'rifat karena dengan pengetahuan ini dapat mengetahui benar-
benar akann Allah dan segala dan dengan keyakinan yang teguh.
3. PERANAN AKAL DAN WAHYU DALAM ILMU TAUHID
Ilmu Tauhid membahas tentang wujud Allah, sifat-sifatNya dan af’alnya (Allah,
adalah bersumber kepada Al-Qur’an dan di samping itu adalah hadist sebagai
sumber yang kedua.
Untuk menerima al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber tauhid memang harus
menggunakan akal. Orang dalam menggunakan akal kadang-kadang tersesat juga.
Ada orang yang fanatik percaya dan fanatik tidak percaya. Banyak orang yang
fanatik percaya (berta'asub), yang begitu saja percaya sebelum menggunakan akal
dan fikirannya. Ada juga orang yang fanatik tidak percaya, bahwa ia tidak
per.caya begitu saja sebelum memikirkan alasanalasan dan dalil-dalilnya serta
bukti buktinya.
Kedua sifat itu tercela, khususnya dalam soal kepercayaan, karena yang demikian
itu akan mematikan otak, dan tidak membawa, manusia ke arah kemajuan dan
kesempurnaan. Orang yang percaa merkipun ada bukti-bukti yang terang, padahal
kalau mau memikirkanya, mesti akan masuk diakalnya, namun tetap ia tidak
percaya. Bahkan bukti-bukti itu masih diselidiki lagi, dengan maksud mencari apa
yang tersembunyi dibalik bukti yang sudah terang itu untuk mengingkari.
Agama Islam mencela kedua-duanya itu. Tidak boleh menerima dan menolak
begitu saja sebelum diselidiki dan dipikirkan lebih dahulu.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menyatakan beberapa peranan akal berpikir
untuk memahami ke-Esaan maupun Kekuasaan Tuhan. Umpamanya:
Artinya:
Ialah orang-orang yang ingat kepada Allah dalam keadaan brdiri, keadaan duduk
maupun berbaring, dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali
Imran : 191)
Berdasarkan ayat tersebut, maka akal bisa mengerti kalau mampu berpikir secara
sehat. Dalam ha1 ini, peranan guru dan umumnya juru pendidik itu penting sekali.
Mereka berkejiban mengembangkan akal anak didik dengan cara membinbingnya,
belajar berpikir secara sehat dan teratur, memberinya bukti-bukti yang benar
tentang segala sesuatu yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Tidak
sekali-kali mereka menceritakan hal-hal yang bertentangan dengan akal.
Dalam perkembangan cara berpikir yang sehat dan benar, akal itu melahirkan
hukum akal, yang dalam masalah Tauhid disebut dalil aqli
kalau akal sudah mampu berdalil aqly (logis, maka akal itu mudah menerima
segala keterangan dari Al-Qur’an dan Hadits yang dalam ilmu Tauhid disebut
dalil naqli )
Firman Allah :
Artinya :
“Dan aku menurunkan kepadamu (Muhammad Alqur’an supaya engkau terangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
berfikir”.
(QS. An-Nahl : 44)
4. MACAM-MACAM DALIL DALAM ILMU TAUHID
Dalil Aqli
Dalil Aqli ialah dalil aka1T(rasio) atau muqtiq. Menurut logika sehat, di mana
alam semesta beserta kerumitan hukum-hukumnya adalah berupa dalil akal.
Menurut akal, kebenaran sesuatu dapat diamati, diteliti (dianalisa) dan dicapai
oleh akal.
Pada dasarnya dalil Aqli ini adalah penghargaan Allah bagi hambaNya agar
mereka menggunakan akal dengan cermat.
Akal berasal dari Al-Quran: ‘Aqlun (akal). Akal adalah satu-satunya pemberian
ATayang paling tinggi nilainya setelah iman (hidayah). Dengan akal manusia
dapat berbudaya, dapat menguasai alam semesta. la dapat menang sendiri di
antara makhluk lain di alam ini, walaupun terhadap makhluk yang lebih besar
secara biologis.
Contoh-contoh dalil aqli.
1) 3 x 3 = 9, angka 9 adalah benar rnenurut aka1, dan dapat d i¬buktikan secara
nyata.
2) Kita naik mobil bagus, akal sehat berbisik, mobil-mobil ini w'i'jtid, riil dapat
lari kencang. Akal menetapkan, adanya mobil in i pasti ada pembuatnya.
3) Pisang itu manis, pepaya juga agak manis. Pepaya dan pisang mengandung
vitamin A yang menentukan vitamin A pada buah itu pasti ada, ialah Maha
Pencipta.
Jadi secara rasio (aqli) dapat menyimpulkan, bahwa segala Yang wujud pasti ada
yang mewujudkan. Yang mewujudkan itu pasti yang wajibul wujud, Maha Ada
dan Kekal.
Sebaliknya akal membantah dengan keras, bila ada sesuatu de¬ngan sendirinya.
Hal itu dianggap mustahil aqli (aneh bagi akal).
Dalil Naqli
Akal untuk membuktikan atau sebagai dalil, hal-hal yang bersifat materi. Sedang
untuk mencapai non materi datangnya dari Tuhan yang wujudnya wahyu (damli)
Kebenaran yang dikandungnya pasti dan mutlak. Berlaku sepanjang masa dan
makin tinggi taraf ilmu manusia, semakin mendekat dengan kebenaran qath'i.
Dalil naqli untuk Islam adalah kitab Al-Quran dan Al-Hadits Rasulullah saw mau
tidak mau harus diterima dengan yakin dalam hati apa yang telah dinashkan di
dalamnya, maka dalil itupun merupakan dalil yang paten dan pasti yang tidak
perlu diperdeb;tk an lagi.
Hal-hal yang cukup diimani ini adalah kepada yang ghaib. Mislnya: Iman kepada
Allah, kepada MalaikatNya, iman ke,)ada adanya hari kiamat, adanya syurga dan
neraka, iman kepada qodla dan qadar dan masih banyak lagi hal-hal yang berisfat
ghaib yang harus diimani karena semuanya itu telah dinashkan dalam AQuran dan
Hadits.
Contoh-contoh dalil Naqli.
1. Dalam surat Al-Ankabut: 44:
Artinya
"Allah rnerzciptakan langit dah bumi dertgan hak. Se¬siangguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda ke¬kuasaan Allah bagi orang-orang mukmin".
(QS Al-Ankabut: 44)
2. Surat Al-Baqarah : 20
Artinya:
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu
menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguh segala sesuatu " (Al-Baqarah :
20)
3. Surat Al-Haj : 64
Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan
segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi
Maha Terpuji. (Surat Al-Haj : 64)
ALIRAN ALIRAN DALAM ILMU TAUHID
1. ALIRAN SALAFYAH
Salaf adalah berasal dari lrahasa Arab yang berarti kuno atau kolot, sedangkan
lawannya adalah Khalaf yang berarti modern. Jadi aliran salaf adalah aliran kolot,
bukan modern.
Harus diingat, bahwa tidak setiap yang kolot itu tidak baik dan setiap yang
modern itu baik. Aliran s,alaf adalah aliran yang hanya berpegang kepada
dhahirnya nash, ia beri'tikad sepanjang dikehendaki oleh Nash (lafadh), tetapi
mensucikan Allah dari hal-hal yang menyerupai dengan makhluk. Para ulama
Salaf mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang disifatkan oleh Allah untuk
diriNya dengan tidak menafikan, tidak menyerupakan dan tidak mentakwilkan.
Golongan Salaf ini berpendapat, bahwa dalam mengartikan sifat-sifat Allah yang
ada persamaannya dengan sifat makhluk, ia berfaham dan mengartikan hanya
menurut dhahirnya lafadh lidak boleh memberi takwil dan tafsir yang
d}anggapnya berbahaya, bisa keliru dan sesat. Seperti sifat Allah sama' yang
artinya mendengar dan sifat bashar yang artinya melihat. -
Allah mendengar dan melihat dengan memakai alat penglihatan (mata) dan
mendengar juga dengan alat (telinga). Hanya mata dan telinga Allah lain dengan
mata dan telinga makhluk.
Golongan Salaf tidak berani memberi takwil bahwa mata Allah itu ditakwilkan
dengan pengawasan, sedang telinga ditakwilkan dengan alat pendengar yang
modern seperti sekarang, sama sekali bukan. Bahkan tangan Allah juga bukan
seperti tangan manusia (makhluk).
Firman Allah:
Artinya:
"Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka".
Mereka tetap hanya mengartikan "tangan Allah" dan "°ja Tuhan" itu secara
pengertian umum saja.
Firman Allah:
Artinya:
"Katakanlah olehmu (Ya Muhammad): "Lihatlah olehmu apa yang ada di langit
dan di bumi, dan tiada berguna tanda-tainda dan peringatan peringatan kepada
kaum yang tidak beriman”.
Artinya:
"Mengapakah mereka tiada melihat kepada alam (malakttt l,angit dan bumi dan
kepada apa yang Allah jadikan ".
2. ALIRAN QADARIAH (MU'TAZILAH)
Aliran ini mula-mula dianjurkan oleh Ma'bad Al-Juhaini, Ghilan Dimisqy dan Al-
Ya'du bin Dirham. Golongan ini sebagai penentang Dinasti Bani Umayyah dan
ketiga tokoh ini mati terbunuh.
Pendapatnya :
Golongan ini berpendapat yang bertentangan dengan golongan Jabariyah.
Golongan Qadariah berpendapat dalam hal Qadha dan Qadar sebagai berikut:
a. Kalau Tuhan itu telah menentukan terlebih dahulu nasib manusia, maka Tuhan
menjadi dhalim, karena tidak memberi kebebasan kepada manusia untuk berbuat.
b. Manusia harus bebas dan merdeka untuk memilih sesuatu, manusia dapat
berikhtiar, ia bebas menentukan nasibnya sendiri dan ia harus merdeka memilih
dari perbuatan dan af'al Allah (khalifakul af'al).
Jadi manusia mempunyai kebebasan kehendak. Orang yang rnenggantungkan saja
nasibnya kepada Allah tanpa berusaha, adalah sesat. Golongan ini mempunyai
penganut-penganut dengan cepat. Karena pengikut-pengikutnya banyak orang
yang pandai berbicara, maka tidak aneh pengaruhnya cepat tersebar.
Mereka berpegang kepada Firman Allah:
Artinya:
"Dengan sebab- sebab usaha tanganmu serdiri".
(QS. Asy- Syura: 30)
Artinya:
"Untuknya apa yang ia usahakan dan atas apa yang ia lakukan ".
"Dan mereka semua yang mengusahakan kejahatan ".
QS Yunus : 27)
Artinya:
"Untuknya apa yang ia usahakan dan atas apa yang ia lakukan ".
(QS. AI-Baqarah: 286)
Karena pesatnya perkembangan golongan Qadariyah ini, maka Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (Khalifah Bani Umayyah) menganggap golongan Qadariah ini
sangat berbahaya bagi kepercayaan umat Islam pada masa itu. Khalifah Marwan
mengambil kekerasan, Ma'bad, Gilan, Ya'du serta kawan-kawannya ditangkap dan
dihukum mati di Damsyik pada tahun 699 M (80 H). Akhirnya, golongan
Qadariah pada masa Marwan holeh dikatakan hilang lenyap walaupun tidak
seratus persen. Golongan Qadariah ini kemudian timbul, dan menjelma menjadi
Madzhab Mu'tazilah. Antara Mu'tazilah dan Qadariah ini banyak persamaan
pendapat-nya; antara lain pendapat Mu'tazilah ialah:
a. Tentang Qadar.
Pendapatnya: "Tidaklah Allah menjadikan segala perbuatan makhluk ini,
melainkan makhluk sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala
perbuatannya. Oleh karena itulah, maka diberi dosa dan pahala. Dengan jalan
demikian, maka dengan sendirinya, kita telah mensifati Allah itu dengan _sifat
adii. dan Allah tentu tiada menyukai perbuatan kebinasaan:
b. Tentang ketauhidan.
Mu'tazilah menafsirkan sifat-sifat Allah yang azali seperti ilmu, qudrat; hayat dan
sebagainya, yang harus dii'tiqadkan hanyalah dzatNya. Bahkan Allah Alimun,
Qadirun, Hayun, Samiun, Bashirun dan sebagainya, adalah dengan dzatnya.
Bukan sifat yang keluar dari dzatNya.
Perkataan yang menyatakan bahwa Allah itu bersifat qadim, adalah menunjukkan
bahwa Allah itu berbilang-bilang. Pada¬hal Allah adalah Maha Besar tiada yang
menyekutuiNya, baik dari jurusan mana saja. Dan sekali-kali tidaklah dzatNya itu
banyak atau berbilang-bilang. Allah tidak serupa dengan sesuatu a:pa pun juga,
Allah tidak berjisim, tidak bersifat, tidak berunsur dan tidak juga berjauhan
(atoom). Mu'tazilah menta'wilkan semua ayat-ayat yang mengandung pengertian
tentang Allah itu bersffat dapat membawa faham, bahwa Allah itu bersifat dapat
membawa faham, bahwa Allah itu bersifat dengan sifat yang ada pada makhluk.
c. Tentang kekuasaan akal.
Manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk sekalipun
tidak diberi tahu oleh syara'. Misalnya: Mengetahui baiknya bersyukur kepada
Allah, dan mengetahui keburukan mengingkari nikmat Allah, atau kebaikan
keadilan, dan kejelekan kedhaliman.
3. ALIRAN JABARIYAH
Golongan ini didirikan oleh Jaham bin Shafwan. Golongan ini lahir di Khurasan.
Pendapatnya:
a. Golongan ini mengatakan, bahwa semua gerak-gerik manusia itu sudah
ditentukan oleh Allah. Jadi manusia hidup ini tidak dapat men,entukan sikap apa-
apa, karena semuanya sudah diatur dan ditetapkan oleh Allah. Manusia hidup
tidak bebas, ia selalu terikat, sedikit pun tidak ada kekuasaan untuk bertindak
untuk mengerjakan sesuatu. Hanya Allah-lah yang menentukan ses~uatu kepada
seseorang secara absolut (mutlak). Jadi -nanusia tidak mempunyai ikhtiar, ia pasif
dan menyerah saja kepada qadar Allah. Akhirnya manusia menjadi malas dan
mundur dalam segala-galanya.
b. Pendapat, Jabariyah tentang sifat-sifat Allah, surga dan neraka.
1) Golongan ini berpendapat. bahwa Allah tidak bersit'at dengan sifat-sifat yang
dipunyai makhIuk. Tidak lanyak Allah itu disifati dengan sifat-sifat yang dipunyai
makhluk, sebab hal itu berarti menyerupakan Allah dengan makhluk.
Adapun sifat Allah yang disebut dalam Al-Quran seperti sama' bashar itu tidak
boleh difahamkan secara dhaihiri, tetapi harus ditakwilkan. Jadi Allah hanya
mempunyai dzatNya.
2) Tentang surga neraka menurut golongan Jabariyah ialah, bahwa surga dan
neraka itu hanya alat pembalasari alam manusia di dunia. Artinya: Apabila surga
sudah dinikmati manusia sebagai kenikmatan hasil amal baiknya di dunia dan
siksaan neraka sudah dirasakan pedihnya sebagai akibat amal jahatnya manusia di
dunia, maka surga dan neraka akan hilang lenyap. Golongan ini mendapat
tantangan dari golongan Qadariyah dan lainnya.
c. Jabariyah berpedang kepada nash ayat:
Artinya:
"Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku".
(QS. Al-Ahzab: 38)
Jaham bin Shafwan tidak hanya terkenal karena ucapannya mengenai soal
"paksaan" saja, tapi juga tentang masalah lain yang tidak kurang bahayanya, yaitu
ucapannya yang meniadakan sifat-sifat Allah SWT. walaupun Al-Quran sendiri
dalam beberapa ayat jelas menyebutkan bahwa Allah SWT. memiliki sifat
mendengar (................), melihat (.........) dan lain-lain. Jaham tidak mengakui
adanya sifat Allah selain dzatNya. Adapun yang tersebut dalam Al-Quran kata
Jaham, tidak seharusnya diartikan menurut dhahirnya ayat tapi harus ditakwil atau
ditafsirkan, karena dhahirnya ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya keserupaan
Allah dengan makhluk, padahal itu mustahil.
Kata Jaham, tidak boleh memberi sifat kepada Allah yang serupa dengan sifat
makhlukNya, sebab hal itu berarti bahwa Allah menyerupai makhlukNya. Jaham
tidak mengakui adanya perbedaan arti sifat Allah dan sifat makhlukNya. Kata
Jaham, kalau nama sifat Allah dan nama sifat makluk itu, sama, maka artinya pun
sama. Jadi kalau disebutkan bahwa Allah itu mendengar maka artinya sama
dengan arti si Fulan mendengar, yakni menggiznakan kuping dengan jangkauan
yang terbatas. Juga kalau dikatakan Allah melihat, itu sama artinya dengan si Anu
melihat, yaitu menggunakan mata dengan jangkauan yang terbatas. Dan hal yang
demikian itu mustahil pada Allah.
Jaham juga mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk Allah. Pendapatnya itu
merupakan kesimpulan dari pendapatnya yang tidak mengakui adanya sifat Allah.
Karena Allah itu tidak bersifat Kalam, maka Al-Quran itu bukan Kalamullah yang
qadim, kata Jaham, kecuali atas dasar takwil. Takwil yang bagaimana yang
dimaksud oleh Jaham, tidak ada keterangan lebih lanjut.
Jaham juga mengingkari Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Kata Jaham:
"Sesungguhnya surga dan neraka itu akan rusak setelah dimasuki para
penghuninya masing-masing, yakni setelah ahli surga bersenang-senang dengan
kenikmatannya dan sesudah ahli neraka menderita dengan,siksaannya, karena
tidak bisa dibayangkan adanya gerak hidup yang tiada akhir, sama seperti tidak
mungkinnya gerak hidup tanpa awal".
Aliran Qadariyah dan Jabariyah/Jahamiyah itu berbaur dengan aliran-aliran lain
dan tidak berdiri sendiri. Keduanya bersa¬ma-sama berada di bawah bendera
aliran Mu'tazilah. Kebanyakan orang menyebut Mu'tazilah itu Qadariyah, karena
kaum, Mu'tazilah juga setuju dengan ucapan Qadariyah yang menyatakan bahwa
manusia itu melakukan segala perbuatannya dengan kemampuan atau kudratnya
sendiri secara bebas, tanpa campur tangan Allah swt. Mu'tazilah sendiri tidak
mengakui bahwa segala sesuatu itu terjadi atas qadha dan qadar Allah swt.
Kadang-kadang Mu'tazilah itu juga disebut Jahamiyah, karena Mu'tazilah setuju
dengan pendapat Jahamiyah bahwa Allah swt. tidak mempunyai sifat, bahwa Al-
Quran itu makhluk; dan bahwa Allah swt. tidak akabisa diliha pada hari kiamat.
4. ALIRAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
1) Pendukungnya.
Golongan ahli sunnah wal jamaah adalah golongan yang didukung oleh para ahli-
ahli hadits, ahli-ahli fiqih dan para ahli madzhab fiqih. Mereka satu sama lain
tidak kafir mengkafirkan, tidak tuduh mienuduh ke luar dari agama dan mereka
berfaham dalam soal ibadah. Mereka sadar dengan kafir mengkafirkan, tuduh
menuduh ke luar dari agama, adalah sesat dan menyesatkan. Dalam memberi
kelapangan dalam soal ibadah ini, ahli sunnah wal jamaah berpedoman pada
hadits:
"Perbedaan di antara umatku itu adalah menjadi rahmat".
Golongan ahli sunnah wal jamaah ini berusaha untuk tetap berpe¬gang dan
mengikuti jejak rasul dan para sahabatnya dan terus menerus berpegang kepada
Kitabullah dan sunnatur Rasul saw. seerat-eratnya.
2. Fahamnya tentang seorang Muslim dan hal dosa.
a. Golongan ahli sunnah wal jamaah berpendapat bahwa: a. Golongan dapat
dianggap atau diakui sebagai seorang muslim, ialah orang yang memenuhi tiga
syarat:
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisannya.
2. Ucapan itu diikuti dengan kepercayaan dengan hati (ya¬kin hatinya).
3. Dan dibuktikan dengan amal yang nyata.
b. Tentang dosa.
Golongan ahli sunnah wal jamaah berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan
kewajiban dan mengerjakan dosa yang sampai ia mati belum bertaubat, maka
orang ini dihukumi sama dengan orang mukmin yang mengerjakan maksiat.
Orang ini apabila tidak diampuni Allah ia masuk neraka, tetapi tidak abadi. la
akan lepas dari siksa neraka setelah selesai menjal :iikan hukuman neraka; tetapi
ia juga akan mera¬sakan nikmut karena imannya.
Jadi faham-faham itu dapat kita lihat sebagai perbandingan ialah: Memirut ahli
sunnah apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangNya itu
buruk. Menurut me-reka tidak ada kebaikan dan tidak ada kejahatan yang
mu¬tlak, karena semua itu hanyalah menurut Tuhan saja.
Orang-orang yang mengerjakan dosa besar atau meninggal¬kan kewajiban-
kewajiban agama apabila sampai mati belum taubat, mereka dihukum sebagai
orang mukmin yang melakukan mak¬siat (mukmin 'asni). Di akhirat kelak, Tuhan
berkuasa mengam¬puninya. Tetapi apabila tidak diampuni Tuhan, mereka akan
ma¬suk neraka untuk menjalani hukumannya. Dan apabila adzab dan hukuman
itu telah dijalani, mereka mempunyai harapan besar untuk mendapatkan kelepasan
masuk surga, artinya mereka tidak kekal di neraka. Hal ini berbeda dengan
pendapat Mu'tazilah. Mu'tazilah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan
me-ninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan tidak taubat, hukum¬nya fasik,
dan orang fasik kekal di neraka. Ahli sunnah mengang¬gap Allah itu absolut, tak
terbatas, juga dalam soal keadilan-ke¬adilan itu terletak pada kehendakNya.
Kalau Mu'tazilah mengata¬kan Allah itu wajib meneliti keadilan seperti
menghukum_ orang berdosa, maka menurut ahli sunnah tugas "wajib" itu tidak
ada pada Allah. Sebab kalau Allah diwajibkan melakukan sesuatu, maka itu
berarti kekuasaannya telah terbatas dan tidak absolut lagi.
Kalau Tuhan mengirimkan Nabi-nabi, maka itu bukanlah kewajib¬an bagi' Allah,
tetapi hanya merupakan_ rahmatNya semata-mata bagi makhluk manusia.
Ahli sunnat menentukan bahwa setiap orang memang benar memiliki kasab
(usaha) dan ikhtiar (pemilihan bebas) dalam se¬gala perbuatannya, tetapi hal itu
tidak bisa *pas dari qadar yang telah ditentukan Allah dan tidak lepas dari
pengetahuan dan ke¬hendakNya. Segala perbuatan manusia adalah "makhluk"
dan di¬jadikan sekedar ikhtiar, hasrat dan minat dalam segala amal per¬
68
69
buatannya itu. Dan inilah yang dinamakan kasab itu. Akan tetapi meskipun segala
perbuatan manusia itu semuanya dari Allah. namun tidaklah sewajarnya kalau hal
itu berarti Allah meng-hendaki perbuatan jahat seperti yang dikatakan kaum
Qadariah.
Ririgkasnya: Ahli Sunnah itu berpendapat bahwa iman ada¬lah kepercayaan di
dalam hati yang diucapkan dengan lisan, se¬dang amal perbuatannya merupakan
syarat sempurnanya iman itu. Orang berbuat dosa besar kemudian meninggal
sebelum taubat, hukumnya terserah kepada Allah. Allah dapat menyiksanya dan
dapat pula mengampuninya. Seperti dikatakan di atas, bahwa ke¬wajiban bagi
Allah itu tidak ada. Namun demikian segala per¬buatan Allah itu tidak ada yang
hampa dan tidak pernah kosong dari hikmah kebijaksanaan, walaupun manusia
belum dapat menjangkaunya. Selanjutnya Mu'tazilah berpendapat, bahwa segala
faham yang tidak cocok dengan keadilan Tuhan haruslah dihilangkan dan dibuang
jauh jauh. Seperti juga pendapat faham kaum Qadariah mereka berpendapat,
bahwa demi keadilan Tuhan segala manusia harus diganjar amal perbuatannya.
Dan itu pula manusia harus mempunyai kebebasan seperlunya untuk berbuat
apapun juga. Manusia adalah khalikul af al dari dirinya sendiri.
Adapun pokok-pokok pikiran aliran Ahli Sunnah wal Jamaah Asy'ariah yang
berbeda dengan faham Mu'tazilah ialah sebagai berikut:
1. Tentang sifat-sifat Allah swt.
Semua kaum muslimin menyatakan dirinya sebagai umat Tauhid, bahkan
tandanya seorang yang beragama Islam itu ialah kalimat Tauhid, yaitu: Laa Ilaaha
illlallah, tidak ada Tuhan selain Allah.
Berbeda dengan pendirian kaum Mu'tazilah, Abu Hasan Asy'ary berpendapat
bahwa Allah swt memiliki beberapa sifat. Adapun beberapa ayat Al-Quran yang
menerangkan bahwa Allah me¬riiliki sifat itu memperkuat kesimpulan bahwa
kalau dikatakan Allah Alim itu tidak lain karena Allah memiliki ilmu; kalau
dika¬takan Allah Qadir itu tidak lain karena Allah memiliki kekuasaan, dan kalau
dikatakan Allah Murid itu tidak lain karena Allah mt¬miliki kenendak atau
kemauan. Buktinya, kalan kita mengatakan Allah Qadir Alim, hal itu
menunjukkan bahwa kedua sifat itu berbeda satu sama lain, berbeda pula antara
keduanya dengan dzat Allah. Sebaliknya, kalau dijcatakan bahwa ilmu keduanya
dengan dzat Allah. Sebaliknya, kalau dikatakan bahwa ilmu dan kudrat Allah it,
dzat Allah juga, pasti Allah mengetahui dengan kekuasaanNya dan berkuasa
dengan ilmuNya. Padahal tidak de-mikian halnya, sehingga mau tidak mau harus
diartikan ada dua sifat yang berbeda, yaitu sifat ilmu dan sifat kudrat.
Kesimpulan Asy'ary ialah bahwa sifat Allah itu berbeda dengan dzatNya, tapi
tidak terpisah. Rumus Imam Asy'ary tentang itu ialah:
yakni: "Sifat itu bukan dzat, tapi sifat itu tidak pisah dari dzat. Oleh karena itu
maka sifat,Alim, sifat Qadir, sifat Hayyun (hidup), sifat Muridun (berkehendak).
Sifat Mutakallimun (berbicara), sifat Samiun (mendengar) dan sifat. Bashirun
(melihat) itu qadim , justru karena sifat-sifat tersebut ada pada dzat Allah yang
qadim. Dengan demikian, maka qadimnya sifat-sifat tersebut tidak bisa diartikan
menambah jumlah yang qadim, lebih dari satu.
Karena aliran Asy'ariah itu sependapat dengan Mu'tazilah dalam soal sifat, dengan
sendirinya juga tidak sependapat dengan mereka dalam masalah ke-makhluk-an
Al-Quran. Kalau Mu'tazilah/Jabariah mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk,
bukan sifat Kalam yang Qadim, maka kaum Ahli Sunnah wal Jamaah Asy'ariyah
menyatakan bahwa lafadz-lafadz yang diturunkan ke¬pada para Rasul dengan
perantaraan Malaikat Jibril itu menunjuk¬kan adanya sifat Kalam yang azali dan
qadim. Lafadz-lafadz Al¬Quran itu memang makhluk, tapi sifat Kalam yang
ditunjukkannya adalah qadim dan azaly.
2. Tentang keadilan Allah swt.
Kalau aliran Mu'tazilah/Qadariah rnengatakan bahwa perbuat¬an manusia itu
adalah perbuatannya sendiri, tanpa ada pertalian dengan kodrat dan iradat Allah
swt., maka Abu Hasan Asy'ary
71
menyatakan, bahwa Allah swt pencipta segala perbuatan hamba¬nya. Dia
berkehendak atas terjadinya segala perbuatan makhluk¬Nya, baik maupun buruk.
Dengan demikian, maka ilmu iradat dan kudrat Allah melekat erat
( ~• l ~ '~ J Apada segala perbuatan hambaNya. Kalau seorang
hamba merasa mampu untuk berbuat maka kemampuannya itu tidak berpengaruh
apa-apa dalam membentuk segala keadilan. Allah-lah yang menjalankan sunnah
atau kebiasaanNya mencipta¬kan sesuatu ketika timbulnya kemampuan si hamba:
Artinya, ka¬lau seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu dan telah
di¬lakukannya, maka Allah menciptakan apa yang dikerjakan oleh si hamba itu.
Atas perbuatannya itu si hamba mempunyai kasab. Menurut Asy'ariah, kasab itu
ialah berbarengnya kemampuan si hamba dengan perbuatannya. Jadi yang
menciptakan perbuatan si hamba itu Allah, yaitu ketika si hamba mau dan mampu
melaku-kannya. Perbuatannya itu bukan tercipta dengan kemauan dan
ke¬mampuan si hamba sendiri. Kesimpulan Asy'ariah ialah si hamba itu hanya
punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah swt:
Karena kasabnya itulah, maka si hamba bertanggung jawab atas segala
perbuatannya, dan karena kasabnya itu pula maka si hamba berhak mendapat
pahala atas perbuatannya yang baik dan mendapat siksa atas perbuatannya yang
buruk atau maksiat.
Dalam uraian tersebut nampaklah bahwa aliran Asy'ariah bersikap tengah-tengah
antara pendapat Qadariah dan Jabariah. Allah menciptakan kemampuan dan
kemauan si hamba yang ke¬duanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan,
sehingga de¬ngan demikian, rnaka perbuatannya itu makhluk Allah. Jadi makhluk
Allah itu ada yang tercipta tanpa perantara, seperti batu, pohon-pohon dan
sebagainya dan ada yang memakai perantara, yaitu segala makhluk yang
dihasilkan oleh kerja manusia.
Karena si hamba merupakan perantara itulah maka,dia ber¬tanggung jawab dan
mendapat balasan baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil,
yaitu memberi pahala ke¬pada hamba-Nya yang berkasab buruk.
72
Tentang janji dan ancaman (siksa).
Menurut Mu'tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kufur atau sedang
melakukan dosa besar, maka orang itu akan ke¬kal dalam neraka. Dan
barangsiapa yang mati dalam keadaan ber¬iman, dia pasti masuk surga untuk
selama-lamanya. Kaum Mu'ta¬zilah tidak menyebut adanya kemungkinan
pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat.
Menurut Ahli Sunnah Asy'ariah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang
yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang
yang dikehendakiNya. Pe¬ngampunan itu masih ditambah dengan adanya Syafaat
(pembela¬an) dari para Nabi dan para Rasul serta para Shalihin di hari kia¬m at.
Dasar pikiran Asy'ariah ialah bahwa Allah swt itu pemilik mutlak atas semua
makhlukNya. Dia berbuat apa saja yang Dia kehendaki dan menghakimi segala
sesuatu menurut kehendakNya. Andaikata Allah memasukkan makhlukNya ke
dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya, kalau Allah
mema¬sukkan semua makhlukNya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu
kedhaliman, sebab yang dinamakan dhalim itu ialah mem-perlakukan sesuatu
yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya yang
semestinya. Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa
digambarkan tim¬bulnya kedhaliman daripadaNya.
4. Tentang melihat dzat Allah di akhirat. ~ 1'r, ~I~I1~ 3
Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa dzat Allah itu tidak bi¬sa dilihat di akhirat,
berdasarkan firmanNya:
Artinya:
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan ntata, sedaug Dia dapat melihat segala
yang kelihatan ". (QS. AI-An'am: 103)
73
Sebaliknya kaum Asy'ariah berpendapat bahwa dzat Allah swt akan dapat dilihat
di akhirat, berdasarkan firmanNya:
Artinya:
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu borseri¬seri melihat
Tuhannya".
Kita melihat bahwa ayat yang digunakan sebagai dalil oleh kaum Mu'tazilah itu
tidak menyebutkan waktu, apakah di dunia atau di akhirat? Sedangkan dalil
Asy'ariah waktunya di akhirat. =Dengan demikian, maka alasan Asy'ariah lebih
kuat, sebab bersifat khusus mengenai waktunya, sedangkan dalil Mu'tazilah sama
se¬kali tidak menyebut waktu, sehingga bisa diartikan mengenai waktunya di
dunia ini.
Alasan kaum Mu'tazilah ialah bahwa yang terlihat itu harus ada di suatu tempat, di
suatu jurusan, suatu bentuk dan men¬dapat cahaya, sedangkan semua itu mustahil
pada Allah swt.
Sebaliknya kaum Asy'ariah berpendapat bahwa segala yang ada itu sah untuk
dapat dilihat, dan dalam hal ini yang mensah¬kan penglihatan itu ialah adanya
dzat Allah sendiri. Adapun sya¬rat jurusan, tempat dan sinar itu ialah untuk
penglihatan di dunia, sedarigkan Allah tidak memberitahukan kita tentang
bagaimana cara kita melihat Dia'itQ di akhirat, tidak pula kita membayang¬kan
tempat kita melihat Tuhan.
Seluruh Ulama Ahli Sunnah wal Jamaah Asy'ariah telah ber¬sepakat atas
kemungkinan melihat Allah di akhirat dan hal itu sudah mereka masukkan sebagai
salah satu kepercayaan Ahli Sunnah wal Jamaah.
S. Tentang perbuatan manusia.
74
(QS Al-An'am: 103)
ciptakan amal perbuatannya sendiri, sehingga karenanya ~manusia itu
bertanggung jawab untuk menerima balasan baik atau buruk secara adil, maka
kaum Ahli Sunnahwal Jamaah Asy'ariah menya¬takan bahwa manusia
mempunyai kemampuan -yang berpengaruh atas segala perbuatannya dengan izin
Allah swt. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar, tapi manusia dipaksa atas
pilihannya. Tegasnya, manusia dipaksa memilih sesuatu yang sesuai dengan
kemampuannya yang disediakan Allah pada dirinya. Tapi kem,am¬puan manusia
itu tidak berpengaruh secara asliatas amal per¬buatannya, hanya seperti tangan
yang lumpuh. Karena itu, maka manusia itu tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak
digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah swt.
Dengan pengertiannya itu, kaum Asy'ariah tidak mengakui adanya ikhtiar pada
manusia, sesuai dengan firman Allah bawah Dia mencipta apa saja yang Dia
kehendaki termasuk yang dicipta¬Nya"dengan perantaraan perbuatan manusia.
6. Tentang Syafaat, Shiratal Mustaqim, mizan (timbangan amal) dan haudl
(empang 1Vabi Muhammad saw di akhirat).
Kaum Mu'tazilah juga mengingkari adanya syafaat di hari kiamat, sebab - kata
mereka - kalau betul syafaat itu ada nanti, itu bertentangan dengan keharusan
manusia bertanggung jawab atas segala amal perbuatannya sendiri. Sebaliknya
kaum Asy'ariah mengakui adanya syafaat, karena bertalian dengan adanya hak
pengampunan dari Allah swt.
Mengenai Shiratal-mustaqim, mizan dan haudl, kaum Mu'ta¬zilah
menganggapnya hanya sebagai rumus pengertian atau per¬umpamaan saja.
Sebaliknya kaum Asy'ariah menyatakan bahwa semua itu benar-benar ada secara
fisik di akhirat.
(QS.A.I-Qiayamah:22 -23)
Kalau kaum Mu'tazilah mengatakan bahwa manusia men¬
Read more: http://www.emakalah.com/2013/07/tauhid-sebagai-konsep-dasar-
ajaran-islam.html#ixzz3DA4t7hXH