Post on 14-Dec-2014
Streptomycin dan pembagian kategori
1. Streptomisin
a) Bentuk sediaan obat
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang mengandung 1
atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara pemberian yang direncanakan;
dan cara penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi. Suntikan IM
merupakan cara yang paling sering diberikan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g
(15-25 mg/kg BB); 500 mg - 1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk infeksi
berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali pemberian.
Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi untuk dua kali
penyuntikkan.
b) Farmakokinetik
a. Absorbsi
Streptomisin diserap di tempat-tempat suntikan, kemudian hampir
seluruhnya berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang berada di
eritrosit (Istiantoro,2009).
b. Distribusi
Streptomisin menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga
streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma
(Istiantoro,2009).
c. Metabolisme
Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan sangat
memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien
yang fungsi ginjalnya terganggu (Istiantoro,2009).
d. Ekskresi
Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerolus. Kira-kira 50-60% dosis
streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh
dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam
waktu 12 jam (Istiantoro,2009).
c) Farmakodinamik
Dosis dewasa normal adalah 1g/hari (15 mg/kg/hari). Jika bersihan
kreatinin kurang dari 30 mL/menit atau pasien menjalani hemodialisis,
dosisnyua menjadi 15 mg/kg dua atau tiga kali seminggu. Kebanyakan basil
tuberkel dihambat oleh strsptomisin dengan kadar sebesar 1-10 mcg/ml in
vitro (Chambers, Henry F., 2011).
Obat streptomisin in vitro bersifat bakteriosid dan bakteriostatik terhadap
bakteri tuberculosis. Kadar serendah 0,4 mikro gram/ mL sudah dapat
menghambat pertumbuhan kuman. Mikrobakterium atipik fotokromatogen,
skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka
terhadap streptomisin.
Semua populasi besar basil tuberkel mengandung beberapa mutan yang
resisten terhadap streptomisin. Rata-rata, 1 dalam 108 basil tuberkel
diperkirakan menjadi resisten terhadap streptomisin pada kadar 10-100
mcg/mL. Resistensi terjadi akibat mutisi titik pada gen rpsL yang mengode
rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi oengkatan ribosomal (Chambers,
Henry F., 2011).
Penetrasi strreptomisin kedalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada
basil tuberkel ekstrasel. Sterptomisin melintasi sawar darah otak dan mencapai
kadar terapeutik bila meninges meradang (Chambers, Henry F., 2011).
d) Indikasi
Penderita TB berat yang mengancam nyawa, seperti meningitis dan penyakit
diseminata, dan terapi infeksi yang resisten terhadap obat lain (Chambers,
Henry F., 2011).
e) Kontraindikasi
Ibu hamil, pasien usia lanjut, orang dewasa yang memiliki ukuran tubuh kecil,
dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Chambers, Henry F., 2011).
f) Interaksi obat
Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuscular berupa
potensial penghambatan. Selain itu interaksi juga terjadi dengan obat lain yang
juga bersifat ototoksik. Dan yang bersifat nefrotoksik (Chambers, Henry F.,
2011).
g) Efek Samping obat
Streptomisin bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Vertigo dan tuli
merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat
permanen. Toksisitasnya bergantung pada dosis, dan risikonya meningkat
pada usia lanjut (Chambers, Henry F., 2011).
Pembagian kategori
OAT
Terdiri dari obat lini pertama dan obat lini kedua
Obat lini pertama
1. Lini pertama :
a. Rifampisin (R)
b. INH (H)
c. Pirazinamid (Z)
d. Etambutol (E)
e. Streptomisin (S) (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007)
2. Lini kedua :
a. suntikan ( kanamisin, kapreomisin, amikasin )
b. fuorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin)
c. tionamid ( etionamid, protionamid )
d. sikloserin
e. paraaminosalisilat (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007)
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia WHO dan IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease)
a) Kategori I:
1. 2HRZE/4H3R3
2. 2HRZE/4HR
3. 2HRZE/6HE
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus:
1. TB Paru BTA (+) kasus baru
2. TB Paru BTA (-), RÖ (+) lesi luas / sakit berat
3. TB ekstra paru (Depkes RI, 2009)
b) Kategori II:
1. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
2. 2HRZES/HRZE/5HRE (Depkes RI, 2009)
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus pasien BTA (+) yang telah diobati
sebelumnya:
2. Pasien kambuh
3. Pasien gagal
4. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes RI, 2009)
c) Kategori III:
1. 2HRZ/4H3R3
2. 2HRZ/4HR
3. 2HRZ/6HE
Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus:
1. Penderita baru BTA (-), Ro (+) sakit ringan
2. TB ekstra paru sakit ringan (KGB, pleuritis unilateral, kulit, tulang, sendi,
kelenjar adrenal ) (DEPKES RI, 2009)
d) Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia:
1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
Panduan OAT Sisipan : HRZE
OAT Anak : 2HRZ/4HR
Dapus
Chambers, Henry F. 2011. Obat Antimikobakterium dalam Farmakologi Dasar & Klinik.
Jakarta: EGC.
Istiantoro,Yati H.dan Rianto S. 2009. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Farmakologi dan Terapi
Edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis 9.
Jakarta: DEPKES RI
Setiabudi, Riyanto dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI; Hal. 613-620.