Post on 25-Oct-2021
SKRIPSI
PENENTUAN WAKTU SHALAT DZUHUR DAN ASHAR
DENGAN BAYANG-BAYANG
(STUDI INTEGRATIF FIKIH DAN SAINS)
Oleh:
WASITO ADI
NPM. 1297339
Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1440 H / 2019 M
ii
PENENTUAN WAKTU SHALAT DZUHUR DAN ASHAR
DENGAN BAYANG-BAYANG
(STUDI INTEGRATIF FIKIH DAN SAINS)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
WASITO ADI
NPM. 1297339
Pembimbing I : Drs. H. A. Jamil, M.Sy.
Pembimbing II : Elfa Murdiana, M.Hum
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1440 H / 2019 M
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
PENENTUAN WAKTU SHALAT DZUHUR DAN ASHAR
DENGAN BAYANG-BAYANG
(STUDI INTEGRATIF FIKIH DAN SAINS)
Oleh:
WASITO ADI
Shalat lima waktu tidak bisa dilakukan dengan sembarang waktu, akan tetapi
harus mengikuti waktu-waktu yang telah ditentukan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadis. Namun dalam realita banyak masyarakat dalam melaksanakan Shalat masih
terpaku dengan pendapat para ulama’, sedangkan para ulama’ juga masih
banyak perbedaan pendapatan tentang waktu Shalat. Penetapan waktu shalat
merupakan persoalan yang sangat klasik sejak masa pertumbuhan Islam, dan hal
ini sangat menjadi sorotan para pemikir muslim. Karena permasalahan ini sangat
erat kaitannya dengan masalah ibadah. Menurut syariat Islam, praktik shalat harus
sesuai dengan segala petunjuk tata cara Rasulullah SAW sebagai figur
pengejawantahan perintah Allah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk dapat mengetahui
penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan
studi integratif fikih dan sains. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(library research). Sedangkan sifat penelitiannya bersifat deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi. Data hasil temuan
digambarkan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan analisis isi (content
analysis). Juga pada penelitian ini, setelah datanya terkumpul akan dilakukan
analisis data secara kualitatif komparatif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penentuan awal waktu shalat
dengan peredaran matahari saling berhubungan antara Al-Quran dan sains
modern. Karena didalam perpektif Al-Quran terdapat gambaran-gambaran umum
tentang kedudukan matahari dengan kasat mata dan tanpa perhitungan dalam
menentukan awal waktu shalat. Sedangkan dengan perpektif Sains modern kita
dapat menentukan awal waktu shalat secara perhitungan dan memudahkan kita
mengetahui awal waktu shalat pada berapa derajat kedudukan matahari sehingga
sudah masuk awal waktu shalat,dan dengan perhitungan tersebut kita dapat
mengetahui jam berapa awal waktu shalat dapat dilaksanakan.
vii
ORISINALITAS PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : WASITO ADI
NPM : 1297339
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah asli hasil penelitian saya
kecuali bagian-bagian tertentu yang dirujuk dari sumbernya dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
viii
MOTTO
...
Artinya: ...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisaa: 103)1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro,
2005), h. 76
ix
PERSEMBAHAN
Dengan kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, peneliti
persembahkan skripsi ini kepada:
1. Ayahanda Supardi dan Ibunda Siti Romlah yang senantiasa berdo’a,
memberikan kesejukan hati, dan memberikan dorongan demi keberhasilan
peneliti.
2. Kakakku Tio dan Retno serta adikku Toni yang senantiasa memberikan
dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Almamater IAIN Metro.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, atas taufik hidayah
dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah
IAIN Metro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H).
Dalam upaya penyelesaian skripsi ini, peneliti telah menerima banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag, selaku Rektor IAIN Metro,
2. Bapak H. Husnul Fatarib, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah
3. Bapak Sainul, SH, MA, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah,
sekaligus
4. Bapak Drs. H. A. Jamil, M.Sy, selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.
5. Ibu Elfa Murdiana, M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan yang sangat berharga kepada peneliti.
6. Bapak dan Ibu Dosen/Karyawan IAIN Metro yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan sarana prasarana selama peneliti menempuh pendidikan.
Kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini akan sangat diharapkan dan
diterima dengan lapang dada. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu Hukum Ekonomi Syariah.
Metro, Juli 2019
Peneliti,
Wasito Adi
NPM. 1297339
xi
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
NOTA DINAS ................................................................................................ iii
PERSETUJUAN ............................................................................................. iv
PENGESAHAN .............................................................................................. v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ORISINALITAS PENELITIAN ................................................................... vii
MOTTO .......................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian .............................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9
D. Penelitian Relevan ................................................................... 9
E. Metode Penelitian .................................................................... 11
1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................... 11
2. Sumber Data ...................................................................... 13
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 15
4. Teknik Analisis Data ......................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 18
A. Pengertian Studi Integratif ....................................................... 18
B. Pengertian Waktu Shalat .......................................................... 19
C. Dasar Hukum Waktu Shalat ............................................................ 22
D. Metode Penentuan Awal Waktu Shalat .................................... 26
E. Penentuan Awal Waktu Dzuhur dan Azhar .............................. 34
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 40
A. Konsep Al-Qur’an tentang Peredaran Matahari ...................... 40
B. Matahari Sebagai Metode Awal Penentuan Awal Waktu
Shalat ........................................................................................ 44
C. Matahari Sebagai Metode Awal Penentuan Awal Waktu
Shalat ........................................................................................ 48
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 57
A. Kesimpulan ............................................................................... 57
B. Saran ......................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Bimbingan
2. Outline
3. Formulir Konsultasi Bimbingan Skripsi
4. Surat Keterangan Bebas Pustaka
5. Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Shalat berarti ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat-syarat tertentu,
sebagaian Madzhab Hanafi mendefinisikan Shalat sebagai rangakaian rukun
yang dikhususkan dan dzikir yang ditetapkan dengan syarat-syarat tertentu
dalam waktu yang telah ditetapkan pula. Sebagian Ulama’ Hambali
memberikan pengertian lain bahwa Shalat adalah nama untuk sebuah
aktifitas yang terdiri dari rangkaian berdiri, ruku’ dan sujud.1
Dalam Al-Quran dan Hadits telah dijelaskan ketentuan (tanda-tanda)
waktu dilaksanakannya ibadah Shalat. Hal ini dimaksudkan agar Shalat tidak
dilaksanakan di sembarang waktu tanpa adanya alasan yang jelas. Tetapi
tanda-tanda waktu Shalat yang termaktub di dalam al-Quran hanya disebutkan
secara umumnya saja, sebagaimana termaktub dalam surat An Nisa ayat 103.
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan Shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah Shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.”2
1 Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Shalat Di Pesawat Dan Angkasa (Studi Komperatif Antar
Madzhab Fiqih), (Semarang: Syauqi Press, 2007), h. 25 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2008), h.
95
2
Ayat tersebut memberikan penegasan bahwa perintah mendirikan shalat
adalah suatu kewajiban yang amat dipentingkan dengan memperhatikan dan
berusaha maksimal mengetahui waktu-waktu shalat yang ditetapkan. Hal ini
juga menunjukkan bahwa diantara implikasi perhatian pada perintah
mendirikan shalat adalah memperhatikan dengan baik seluruh syarat-syarat
sah shalat hal mana diantaranya adalah “waktu shalat”. Atau dengan kata lain,
bahwa isntimbath hukum pada ayat tersebut adalah umat Islam wajib
mengetahui waktu-waktu shalat wajib dengan mempelajarinya sebagimana
wajibnya mengetahui syarat-syarat sah shalat yang lain seperti bersuci
(thaharah), menutup aurat dan menghadap arah kiblat.3
Artinya: “Dirikanlah Shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan (dirikanlah pula Shalat) subuh. Sesungguhnya Shalat subuh
itu disaksikan (oleh malaikat)”.4
Ayat di atas menerangkan waktu-waktu Shalat yang lima. Tergelincir
matahari untuk waktu Shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib
dan Isya.
3 Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 122 4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., h. 290
3
Artinya: “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada
waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang,” (QS Thaha: 130)5
Ayat tersebut hanya menyatakan bahwa Shalat adalah kewajiban yang
telah ditentukan waktunya, tetapi pada ayat-ayat di atas tidak disebutkan
kapan waktu pelaksanaannya dan berapa jumlah waktu Shalat tersebut. Secara
umum ayat tersebut sangat bersifat kontradiktif, sehingga menimbulkan
perbedaan pemahaman terhadap teks ayat tersebut. Namun para ulama
sepakat bahwa perintah Shalat yang diwajibkan sehari semalam ada lima
waktu. Mengenai waktu pelaksanaanya, Allah sudah memberikan isyarat
tentang waktu-waktu yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
waktunya tersebut.
Oleh sebab itu, Shalat lima waktu tidak bisa dilakukan dengan sembarang
waktu, akan tetapi harus mengikuti waktu-waktu yang telah ditentukan
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis.6 Namun dalam realita banyak masyarakat
dalam melaksanakan Shalat masih terpaku dengan pendapat para ulama’,
sedangkan para ulama’ juga masih banyak perbedaan pendapatan tentang
waktu Shalat.
Penetapan waktu shalat merupakan persoalan yang sangat klasik sejak
masa pertumbuhan Islam, dan hal ini sangat menjadi sorotan para pemikir
muslim. Karena permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan masalah
ibadah. Menurut syariat Islam, praktik shalat harus sesuai dengan segala
5 Ibid, h. 321
6 Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 73
4
petunjuk tata cara Rasulullah SAW sebagai figur pengejawantahan perintah
Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang
kalian lihat aku mempraktikkannya”.7
Mengenai penentuan waktu shalat, para imam mazhab memiliki
pendapat masing-masing, yaitu sebagai berikut:
1. Penentuan Waktu Dzuhur
Para ulama sependapat bahwa penentuan awal waktu Zhuhur,
adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam menentukan
akhir waktu Zhuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang bayang-
bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam
Malik, Syafi‘i, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu
Hanifah ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.8
2. Penentuan Waktu Ashar
Permulaan waktu ashar dimulai ketika berakhirnya waktu zuhur.
Dengan adanya perselisihan pendapat mengenai akhir waktu zuhur, maka
permulaan waktu ashar terdapat perbedaan. Beberapa pendapat ulama
tentang waktu Shalat ashar:
a. Menurut Imam syafi’i awal waktu asar adalah bila bayang-bayang
tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari
ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya.
b. Sedangkan Jumhurul ulama berpendapat masuknya awal waktu Shalat
asar yaitu ketika berakhirnya waktu zuhur atau ketika bayang-bayang
7 Tolha Hasyim Fanani, Metode Penentuan Waktu Sholat di Masjid-Masjid Kabupaten
Malang, dalam Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 2, Nomor 2, Desember 2011, h.
135. 8 Tamhid Amri, “Waktu Shalat Perspektif Syar’i”, dalam Jurnal Asy-Syari’ah, (Bandung:
Pondok Pesantren Al-Basyariah), Vol. 16, No. 3, Desember 2014, h. 211
5
suatu benda sama dengan benda tersebut dan berakhir ketika
terbenamnya matahari.
c. Sedangkan menurut pendapat Imam Hanafi masuknya awal waktu
ahsar itu ketika bayang-bayang benda ditambah dengan bayangan
zuhur atau dua kali bayangan dari benda.
d. Imam Maliki mengatakan bahwa asar merupakan dua waktu pertama
dimulai dari lebihnya (dalam ukuran panjang) bayang-bayang suatu
benda sampai kuning matahari. Kedua sinar matahari kekuning-
kuningan sampai terebanamnya matahari.9
3. Penentuan Waktu Maghrib
Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi‘i, berpendapat bahwa waktu
Magrib adalah antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya mega
atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat. Sedangkan Imam Maliki
berpendapat, sesungguhnya waktu Magrib sempit, ia hanya khusus dari
awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakan
shalat Magrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup untuk bersuci dan
adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari waktu ini, ini
hanya pendapat Maliki saja.10
4. Penentuan Waktu Isya’
Imam Syafi‘i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa awal waktu
Isya’ ialah ketika hilangnya mega merah, sedangkan Imam Hanafi
berpendapat bahwa awal waktu Isya’ ialah ketika munculnya mega hitam
9 Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 124 10
Tamhid Amri, “Waktu Shalat Perspektif Syar’i”, dalam Jurnal Asy-Syari’ah,
(Bandung: Pondok Pesantren Al-Basyariah), Vol. 16, No. 3, Desember 2014, h. 212
6
atau disaat langit benar-benar telah gelap.11
5. Penentuan Waktu Shubuh
Waktu Shubuh adalah waktu mulai terbitnya fajar shadiq dan
berlangsung hingga terbitnya matahari. Para ahli fiqh sepakat dengan
pendapat tersebut.12
Awal dan akhir waktu Shalat ditentukan berdasarkan posisi matahari
dilihat dari suatu tempat di bumi, sehingga ketika langit mendung dan
matahari tidak memantulkan sinarnya, maka terjadi kesulitan dalam
mendekteksi posisi matahari untuk dapat dijadikan dasar penentuan awal dan
akhir waktu Shalat.
Selanjutnya, penentuan waktu shalat dalam perspektif sains (astronomi)
terdapat beberapa hal penting untuk dipahami lebih awal, diantaranya adalah:
posisi matahari, terutama tinggi matahari, jarak zenith (bu’du as-sumti), Zm =
900-h. Fenomena awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise),
matahari melintasi meridian (culmination), matahari terbenam (sunset) dan
akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenith matahari.13
Penetapan hisab awal waktu shalat sangat dipengaruhi oleh beberapa
hal penting dalam tata ordinat di antaranya adalah deklinasi matahari dan
perata waktu. Awal waktu Zuhur; dirumuskan sejak seluruh bundaran matahari
meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 derajat setelah lewat tengah
hari, Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari berada di meridian. Awal
waktu shalat Ashar, dalam ilmu falak dinyatakan sebagai keadaan tinggi
11
Ibid., h. 213 12
Ibid., h. 213 13
Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 124
7
matahari sama dengan jarak zenith titik pusat matahari pada waktu
berkulminasi ditambah bilangan satu. Sedang waktu shalat Magrib, berarti saat
terbenam matahari (ghurub), yaitu seluruh piringan matahari tidak kelihatan
oleh pengamat. Piringan matahari berdiameter 32’ menit busur, setengahnya
berarti 16 menit busur, Selanjutnya, awal waktu shalat Isya; ditandai dengan
memudarnya cahaya merah (asy-syafaq al-ahmar) di bagian langit sebelah
barat yakni sebagai tanda masuknya gelap malam, tinggi matahari pada saat itu
adalah 180 di bawah ufuk (horizon), sebelah barat dan jarak zenith matahari
adalah 1080 ( 90
0 + 18
0 ), atau h = - 18
0. Adapun Awal waktu Shalat Subuh;
dipahami sejak terbit fajar sampai waktu akan terbit matahari.14
Dengan adanya berbagai persoalan di atas, maka perlu kejelasan
waktu yang tepat sebagai patokan waktu pada jam berapa awal waktu Shalat
dan jam berapa berakhir waktu Shalat yang menggunakan penetapan awal
waktu shalat dengan metode sains/ilmu falak.
Dengan kemajuan yang telah dicapai manusia dalam bidang ilmu falak.
Berangsur-angsur manusia menemukan metode-metode terbaru untuk
menentukan awal waktu shalat berdasar hadist yang menerangkan batasan-
batasan waktu shalat di atas. Penggunaan metode-metode terbaru tersebut
muncul setelah ditemukannya jam yang terdiri dari satuan jam, menit, dan
detik. Penggunaan metode ini diterapkan dengan memperhatikan Lintang
Tempat (φ), Bujur Tempat (λ), Deklinasi Matahari (δo), Equation of
Time/Perata Waktu (eo), Tinggi Matahari (ho), Koreksi Waktu Daerah (Kwd),
14
Ibid., h. 130
8
dan Ihtiyath (i) dalam menentukan awal waktu shalat.15
Pada dasarnya penentuan waktu Shalat diperlukan letak geografis,
waktu (tanggal), dan ketinggian. Begitu juga dengan awal waktu Shalat
dzuhur dan waktu Shalat ashar, yang menjadi perbedaan para ulama dalam
penentuannya, karena bayang-bayang matahari pada saat berakhirnya waktu
Shalat dzuhur menjadi perdebatan sehingga mempengaruhi awal masuknya
Shalat ashar.
Meskipun demikian, pemberlakuan jadwal shalat yang mengacu pada
satu titik markaz untuk daerah sekitar markaz telah menggeser peran penentuan
shalat yang sebenarnya yakni menggunakan pedoman pergerakan sinar
matahari yang mengawali penyinarannya dari bumi bagian timur. Selain itu,
penyeragaman waktu shalat dalam satu daerah akan menjadikan daerah sekitar
markaz akan menyesuaikan dengan waktu markaz, padahal secara hakiki
tentunya ada perbedaan dalam awal dan akhir waktunya.16
Berdasarkan perbedaan kedua metode penentuan awal waktu shalat di
atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji tentang bagaimana
penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan
studi integratif fikih dan sains.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan penelitian yang
muncul adalah: Bagaimana penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan
bayang-bayang berdasarkan studi integratif fikih dan sains?
15
Nanda Trisna Putra, Problematika Waktu Ihtiyath Dalam Pembuatan Jadwal Shalat,
dalam Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, h. 93. 16
Ibid, h. 96.
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian ini adalah
untuk dapat mengetahui penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan
bayang-bayang berdasarkan studi integratif fikih dan sains.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan atau manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi satu kajian dan
menambah khasanah pengetahuan khususnya yang berkaitannya tentang
penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang
berdasarkan studi integratif fikih dan sains.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan kepada pembaca dan peneliti mengenai penentuan waktu
shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan studi
integratif fikih dan sains.
D. Penelitian Relevan
Penelitian relevan atau telaah pustaka berisi tentang uraian secara
sistematis mengenai hasil penelitian yang terdahulu (prior research) tentang
persoalan yang akan dikaji. Bagian ini memuat daftar hasil penelitian yang telah
diteliti oleh beberapa mahasiswa yang telah melakukan penelitian sebelumnya
10
kemudian membandingkan apakah penelitian yang akan peneliti lakukan
tersebut telah diteliti sebelumnya atau belum.
Hal-hal yang dijadikan sumber penelitian, yaitu tentang “Studi Analisis
Metode Penentuan Waktu Shalat Dalam Kitab Ad-Durus Al-Falakiyyah Karya
Ma’sum Bin Ali” yang diteliti oleh Maryani, Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mendeskripsikan bagaiaman keakurasian metode penentuan waktu Shalat
dan kitab ad-durus al-falakiyyah dan bagaiamana relevansi metode penentuan
waktu Shalat dalam kitab ad-durus al-falakiyyah pada saat ini untuk daerah
Jawa Timur khususnya kota Pare kabupaten Kediri.17
Skripsi Maryani menjelaskan tentang bagaimana keakurasian metode
penentuan waktu Shalat dan kitab ad-durus al-falakiyyah dan bagaiamana
relevansi metode penentuan waktu Shalat dalam kitab ad-durus al-falakiyyah
yakni dengan metode penelitian kualitatif.
Peninjauan terhadap skripsi yang berjudul “Konsep Awal Waktu Shalat
Ashar Imam Syafi’i dan Hanafi (Uji Akurasi Berdasarkan Ketinggian Bayang-
Bayang Matahari di Kabupaten Semarang)” yang diteliti oleh Siti Mufarrohah
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2010. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kedudukan bayang-bayang matahari awal waktu
Shalat ashar di kabupaten semarang dengan mempertimbangkan ketinggian
tempat dan titik koordinat yang berbeda, dan untuk mengetahui sejauh mana
17
Maryani, Studi Analisis Metode Penentuan Waktu Shalat Dalam Kitab Ad-Durus Al-
Falakiyyah Karya Ma’sum Bin Ali, Skripsi di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
2011.
11
akurasi waktu Shalat ashar di kabupaten semarang secara astronomis.18
Skripsi Siti Mufarrohah menjelaskan tentang kedudukan bayang-bayang
matahari awal Shalat ashar dengan mempertimbangkan ketinggian tempat dan
titik koordinat yang berbeda, serta untuk mengetahui sejauh mana akurasi waktu
Shalat ashar secara astronomis. Skripsi siti mufarrohah ini menggunakan
metode penelitian kuantitatif.
Dari beberapa penelitian di atas, maka dapat diketahui bahwa
penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian di atas, karena ada
beberapa permasalahan yang berbeda. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah penentuan waktu shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-
bayang berdasarkan studi integratif fikih dan sains. Hal yang menjadi
pembahasan di dalam penelitian ini adalah bagaiaman penentuan waktu shalat
dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan studi integratif fikih dan
sains.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian pustaka (library research) adalah suatu penelitian
yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan
menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa
buku-buku periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang
18
Siti Mufarrohah, Konsep Awal Waktu Shalat Ashar Imam Syafi’i dan Hanafi (Uji Akurasi
Berdasarkan Ketinggian Bayang-Bayang Matahari di Kabupaten Semarang), Skripsi di Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010.
12
diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen,
dan materi perpustakaan lainnya, yang dapat dijadikan sumber rujukan
untuk menyusun suatu laporan ilmiah.19
Sebagian besar kegiatan di dalam keseluruhan proses penelitian
adalah membaca dan menelaah agar dapat menegakkan landasan yang
kokoh bagi langkah-langkah berikutnya.20
Pada hakekatnya data yang diperoleh dengan penelitian pustaka
dapat dijadikan landasan di dalam penulisan karya ilmiah. Jadi,
penelitian yang telah dilakukan adalah penelitian kepustakaan di mana
peneliti banyak mengkaji buku-buku atau literatur-literatur yang
berhubungan dengan penentuan awal waktu shalat berdasarkan
integrasi fiqih dan sains.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, karena penelitian ini berupaya
mengumpulkan fakta-fakta yang ada, penelitian ini terfokus pada
usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana
adanya yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
“Penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bermaksud
mengadakan pemeriksaan dan pengukuran-pengukuran terhadap gejala
tertentu.”21
. Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi “Penelitian
deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan
19
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2011), h. 95-96 20
Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 19. 21
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian., h. 97
13
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data, jadi ia juga
menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasi”.22
Berdasarkan pengertian tersebut, penelitian deskriptif adalah
menguraikan atau memaparkan kejadian secara teliti. Pada penelitian
ini, peneliti berusaha menguraikan atau memaparkan data dengan
literatur buku atau pustaka yang ada terkait dengan penentuan waktu
shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan studi
integratif fikih dan sains.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat
diperoleh.23
Penelitian kepustakaan bidang hukum termasuk ke dalam
sumber data sekunder. Sumber data sekunder merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat
orang lain atau lewat dokumen.24
Sumber data sekunder dalam penelitian
hukum dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
a. Bahan Primer
Bahan Primer adalah bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah.25
Pada penelitian ini, yang menjadi
bahan primer yaitu sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
22
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 44 23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 172. 24
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D, (Bandung: Alfabeta,
2016), h. 137 25
Burhan Ashafa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 103
14
2) Hadis
3) Buku yang berkaitan dengan awal waktu shalat baik falak maupun
fikih.
b. Bahan Sekunder
Bahan sekunder adalah bahan-bahan yang membahas bahan
primer.26
Pada penelitian ini, yang menjadi bahan sekunder adalah
sebagai berikut:
1) A. Jamil. Ilmu Falak. Yogyakarta: Amzah, 2008.
2) Alimuddin. Perspektif Syar’i Dan Sains Awal Waktu Shalat.
dalam jurnal Ad-Daulah Vol. 1 / No. 1 / Desember 2012
3) Encup Supriatna. Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung : PT
Refika Aditama, 2007. cet I.
4) Endang Sulistyowati. Dasar-dasar Geometri untuk ilmu Falak:
Cara Mudah Menentukan Arah Kiblat dan Awal Waktu Shalat.
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2015.
5) Muhyiddin Kazain. Ilmu Falak Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2004.
c. Bahan Tertier
Bahan tertier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang
bahan primer dan sekunder.27
Bahan tertier pada penelitian ini di
antaranya yaitu yaitu almanak nautica dan bahan dari internet yang
26
Ibid 27
Ibid., h. 104
15
berkaitan dengan perjanjian bisnis waralaba menurut hukum positif
dan hukum Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yakni menggunakan dokumentasi. Dokumentasi berarti mencari data
mengenai hal-hal atauvariabel yang berupa catatan atau transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.28
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dengan cara melihat
pustaka-pustaka atau buku-buku yang ada, khususnya yang berkaitan
dengan waktu-waktu Shalat sebagai data primer dan buku lain sebagai data
pendukung. Peneliti juga mengadopsi beberapa pendapat yang
diungkapkan oleh para ahli falak tentang waktu-waktu Shalat.
4. Metode Analisa Data
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi mengungkapkan analisis
data adalah “Proses penyederhanaan data di dalam bentuk yang mudah
dibaca dan diinterpretasikan”.29
Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
isi (Content analysis). Content Analysis atau kajian isi adalah teknik apa
pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.30
28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
RinekaCipta, 1988), h. 247. 29
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES,
1981), h.263. 30
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2012), h. 220.
16
Juga pada penelitian ini, setelah datanya terkumpul akan dilakukan
analisis data secara kualitatif komparatif. Koentjoroningrat mengatakan
bahwa:
“Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif komparatif ini
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat
individu dan membandingkan keadaan kelompok tertentu untuk
menentukan prevensi adanya hubungan antara gejala yang satu
dengan gejala yang lain pada masyarakat.”31
Guna mengawali cara analisis data penelitian komparasi, berikut
ini disajikan penjelasan Aswani Sudjud tentang penelitian komparasi.
Menurut beliau:
“Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan-
persamaan dan perbedaan- perbedaan tentang benda-benda, tentang
orang, tentang prosedur kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap
orang, kelompok, terhadap suatu idea atau suatu prosedur kerja.
Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-
perubahan pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus,
terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.”32
Persamaan dari studi komparatif yaitu studi integratif. Analisis data
dengan studi integratif yaitu analisis data yang dilakukan dengan
menyamakan dan membandingkan suatu objek yang diteliti menurut
hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini, peneliti
menguraikan data-data yang terkait dengan penentuan waktu Shalat
dzuhur dan ashar sehingga diperoleh gambaran tentang penentuan waktu
shalat dzuhur dan ashar dengan bayang-bayang berdasarkan studi
31
Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: LP3ES, 1981), h.43. 32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian., h. 310.
17
integratif fikih dan sains. Serta membandingkan keduanya hingga terlihat
perbedaan dan persamaannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Studi Integratif
Studi integratif berasal dari dua kata, yaitu studi dan integratif. Studi
dalam kampus Bahasa Indonesia berarti penelitian ilmiah, kajian, ataupun
telaahan.1 Sedangkan Integratif berasal dari kata integrasi. Integrasi dalam
Kamus Besar bahasa Indonesia berarti penyatuan hingga menjadi kesatuan
utuh atau bulat atau bergabung (bersatu supaya menjadi utuh atau bulat).2
Studi integratif adalah studi yang menggunakan cara pandang dan atau
cara analisis yang menyatu dan terpadu.3 Studi integratif adalah studi yang
berupaya memadukan dua hal yang masih diberlakukan secara dikotomis
dalam suatu studi.4
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa studi integratif
adalah studi yang menyajikan bahan studi secara terpadu, yaitu dengan
menyatukan, menghubungkan, atau mengaitkan bahan studi sehingga tidak
ada yang berdiri sendiri atau terpisah-pisah.
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 1530 2 Ibid., h. 594
3 Fuad Arif Noor, “Pendekatan Integratif dalam Studi Islam”, dalam Cakrawala, Jurnal
Studi Islam, (Yogyakarta: STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta), (Vol. 13 No. 1 (2018), h. 62 4 Aliana, “Studi Komparatif Pendidikan Integratif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Imam
Zarkasyi", dalam http://eprints.ums.ac.id/60828/14/naspub%20ana%20sip.pdf, diakses pada
tanggal 25 Juli 2019
19
B. Pengertian Waktu Shalat
Penentuan awal waktu Shalat merupakan bagian dari ilmu falak yang
perhitungannya ditetapkan berdasarkan garis edar matahari atau penelitian
posisi matahari terhadap bumi.5 Perintah wajib mengerjakan Shalat lima waktu
sehari semalam telah diterima oleh Rasulullah SAW semasa peristiwa Isra’ dan
Mi’raj. Nabi Muhammad telah menerima wahyu secara langsung dari Allah
SWT dalam peristiwa tersebut.
Menurut bahasa Shalat adalah do’a, Shalat juga mempunyai arti
rahmat dan juga mempunyai arti memohon ampunan, seperti yang terdapat
dalam surat al-Ahzab ayat 56.6
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Kata Shalat adalah kata jadian dari kata al-silat artinya hubungan
hamba dengan tuhan. Dalam ibadah seseorang hamba menghadap Allah
maha pencipta dengan memusatkan daya dan gaya inderanya kepada Allah.7
Dalam pengertian lain asal kata Shalat bermakna pengagungan, dan bisa
5Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet
I, h.15. 6 QS. Al-Ahzab (33): 56
7 Departemen Agama, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek peningkatan
prAsarana dan sarana, 1993), h 1056
20
juga bermakna ibadah yang dikhususukan karena di dalamnya terdapat
pengagungan terhadap Allah SWT.
Secara terminologi syara’ (Jumhur Ulama’) Shalat berarti ucapan
dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam sesuai dengan syarat-syarat tertentu, sebagaian Madzhab Hanafi
mendifinisikan Shalat sebagai rangakaian rukun yang dikhususkan dan
dzikir yang ditetapkan dengan syarat-syarat tertentu dalam waktu yang
telah ditetapkan pula. Sebagian Ulama’ Hambali memberikan pengertian lain
bahwa Shalat adalah nama untuk sebuah aktifitas yang terdiri dari
rangkaian berdiri, ruku’ dan sujud.8
Shalat lima waktu mempunyai sejarah dan istilah masing-masing,
istilah Shalat zuhur karena Shalat ini adalah Shalat pertama yang dilakukan
oleh malaikat Jibril di pintu Ka’bah,9 dan dilakukan ketika keadaan panas.
Sedangkan banyak ulama’ yang berpendapat bahwa Shalat ashar adalah Shalat
Wustha yaitu Shalat yang dilaksanakan ditengah-tengah antara terbir fajar
dan terbenamnya matahari, akan tetapi para ulama’ juga berbeda pendapat
tentang istilah ini, namun menurut pendapat mayoritas ulama’ bahwa al-
Shalatul al-Wustha adalah Shalat ashar dengan dasar surat Al-Baqarah ayat 238
sebagai berikut:
8 Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Shalat Di Pesawat Dan Angkasa (Studi Komperatif Antar
Madzhab Fiqih), (Semarang: Syauqi Press, 2007), h 25 9Muhammad Nawawi, Syarah Sulamun An- Najah, (Indonesia: Dar al kitab, tt), hlm 11
21
Artinya: “Peliharalah semua Shalat (mu), dan (peliharalah) Shalat
wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam Shalatmu) dengan khusyu.”10
Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa istilah Shalat Ashar ini
karena Shalat yang dikerjakan ketika berkurangnya cahaya matahari dan Shalat
ini pertama dikerjakan oleh Nabi Yunus, kemudian untuk Shalat Magrib istilah
ini Shalat ini karena dikerjakan waktu terbenamnya matahari dan pertama
dikerjakan oleh Nabi Isa, sedangkan untuk Shalat Isya dengan kasroh huruf ‘ain
berarti awalnya gelap, sehingga Shalat Isya ini adalah Shalat yang dikerjakan
ketika mulai gelap.11
Jadi waktu Shalat adalah waktu yang telah ditentukan
oleh Allah untuk menegakkan ibadah Shalat yakni batas waktu tertentu
mengerjakan waktu Shalat.
Ulama’ fiqih sepakat bahwa waktu Shalat fardhu itu telah ditentukan
dengan jelas oleh Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Dan para ulama’ juga
banyak berbeda pendapat tentang masuknya awal waktu Shalat fardhu tersebut.
Hampir seluruh kitab fikih ada bab khusus yang membicarakan tentang
Mawaqit As-Shalat. Dari sini jelas bahwa istilah awal waktu Shalat merupaka
hasil ijtihad para ulama’ ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits
yang berkaitan dengan waktu Shalat.
10
QS. Al-Baqarah (2): 238. 11
Muhammad Nawawi, op.cit, hlm 12
22
C. Dasar Hukum Waktu Shalat
1. Dasar Hukum Al-Qur’an
a. Surat an-Nisa ayat 103
Artinya: “Sesungguhnya Shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang beriman” (QS. An-Nisa: 103).
Dalam tafsir al Misbah, kitaban mauqutan dalam surat An-Nisa
ayat 103 diartikan sebagai Shalat merupakan kewajiban yang tidak
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab
apapun.
Dilanjutkan dengan keterangan tafsir al-Manaar, bahwa
sesungguhnya Shalat itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT, kitaban
berarti wajib telah diatur waktunya di lauhul mahfudz. Mauqutan disini
menunjukkan arti sudah ditentukan batasan-batasan waktunya.
Dari tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Shalat harus
dilakukan tepat pada waktu-waktu yang telah ditentukan, berdasarkan
dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun al-hadits.
b. Surat al-Isra ayat 78
Artinya: “Laksanakan Shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula Shalat) subuh,
23
sesungguhnya Shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS AL-
Isra’: 78).
Ahmad Mustafa dalam tafsirnya menyatakan bahwa Shalat
yang difardhukan kepada-mu setelah tergelincir matahari sampai
dengan gelapnya malam. Pernyataan ini menjadikan Shalat empat
waktu yaitu zuhur, asar, magrib, isya dan tunaikanlah Shalat subuh.
Semua mufasir telah sepakat bahwa ayat ini menerangkan
Shalat yang lima dalam menafsirkan terdapat dua pendapat:
1) Tergelincirnya atau condongnya matahari dari tengah langit.
Demikian diterangkan Umar Bin Khatab dan Putranya, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Hasan Sya’bi Atha’, Mujahid Qathadah,
Dhahak, Abu Jajar dan ini pula yang dipilih Ibnu Jarir.
2) Terbenamnya matahari. Demikian diterangkan Ali Bin Mas’ud,
Ubay Bin Ka’ab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas.
c. Surat Taha ayat 130
Artinya: “Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang
mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari
24
dan pada waktu-waktu siang hari, agar engkau merasa tenang.” (QS
Taha : 130)
Ada juga ulama yang memahami perintah bertasbih berarti perintah
melaksanakan Shalat, karena Shalat mengandung tasbih, pensucian Allah
dan pujiannya. Bila dipahami demikian, maka ayat di atas dapat dijadikan
isyarat tentnag waktu-waktu Shalat yang ditetapkan Allah. Firman-Nya
“Qobla Thuluu’i al-Syamsyi” sebelum matahari terbit mengisyaratkan
Shalat subuh. “Wa Qobla Ghurub” dan sebelum terbenamnya adalah
Shalat asar.
2. Dasar Hukum dari Hadits
“Dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya Nabi bersabda: “(batas)
waktu (Shalat zuhur adalah dari matahari tergelincir sampai bayangan
seseorang sama dengan tingginya, selagi belum datang waktu asar: waktu
(Shalat) asar adalah selama (cahaya) matahari belum menguning; waktu
(Shalat) magrib adalah selama syafaq (sinar matahari tenggelam) belum
hilang; waktu (Shalat) isya adalah (dari hilangnya sinar merah) sampai
separuh malam (pertama); dan (batas) waktu (Shalat) subuh adalah dari
terbit fajar sebelum terbitnya matahari.” (HR Muslim)12
Berdasarkan pemahaman terhadap hadis tersebut, ketentuan waktu-
waktu salat dapat dirincikan sebagai berikut:
12
Ahmad Saifulhaq al Muhtadi, “Tinjauan Astronomi Atas Hisab Awal Waktu Salat
Dalam Kitab Syawāriq Al-Anwār Karya KH. Noor Ahmad SS.”, dalam
http://eprints.walisongo.ac.id/1500/1/115112088_Tesis_Sinopsis.pdf, diakses pada tanggal 12
Desember 2017.
25
a. Zuhur, Waktu Zuhur dimulai sejak Matahari tergelincir, yaitu sesaat
setelah Matahari mencapai titik kulminasi (culmination) dalam
peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar,
b. Asar, waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda
sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayangbayang saat
Matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Magrib,
c. Magrib, waktu Magrib dimulai sejak Matahari terbenam sampai tiba
waktu Isya,
d. Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh
malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar),
dan
e. Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit Matahari.13
Sedangkan mengenai shalat Ashar, Rasulullah SAW bersabda
sebagai berikut:
مس ف قد أدرك العصر من أدرك ركعة من العصر ق بل أن ت غرب الش
Artinya: “Barangsiapa yang mendapati satu raka’at shalat ‘Ashar
sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar”.
(HR. Bukhari no. 579 dan Muslim no. 608).14
Hadits di atas dijelaskan bahwa permulaan waktu asar adalah
ketika berakhirnya waktu zuhur, sedangkan akhir waktu asar adalah
kuningnya matahari atau masuknya sebagai matahari.
13
Ibid 14
Muhammad Abduh Tuasikal, “Waktu Shalat (2), Shalat ‘Ashar”, dalam
https://rumaysho.com/2936-waktu-shalat-2-shalat-ashar.html, diakses pada tanggal 12 Desember
2017
26
Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa awal waktu
shalat ashar yaitu panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan
tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam,
مس وكان ظل الرجل كطوله ما ل يضر وقت الظهر إذا زالت الشمس العصر ووقت العصر ما ل تصفر الش
Artinya: “Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir
matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang
sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu
‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………” (HR.
Muslim No. 612)
D. Metode Penentuan Awal Waktu Shalat
Metode penentuan awal waktu shalat terbagi menjadi dua, yakni
berdasarkan fiqh atau ketetuan syara dan berdasarkan sains/ilmu
astronomi/ilmu falak.
1. Penentuan Awal Waktu Shalat Perspektif Fiqh
Al-Qur’an secara umum menegaskan bahwa shalat adalah
kewajiban bagi orang mukmin yang telah ditentukan waktunya. Hal ini
tersebut pada surah an-Nisa ayat 103 ;
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan Shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah Shalat itu
27
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”15
Ayat tersebut memberikan penegasan bahwa perintah mendirikan
shalat adalah suatu kewajiban yang amat dipentingkan dengan
memperhatikan dan berusaha maksimal mengetahui waktu-waktu shalat
yang ditetapkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa diantara implikasi
perhatian pada perintah mendirikan shalat adalah memperhatikan dengan
baik seluruh syarat-syarat sah shalat hal mana diantaranya adalah “waktu
shalat”. Atau dengan kata lain, bahwa isntimbath hukum pada ayat
tersebut adalah umat Islam wajib mengetahui waktu-waktu shalat wajib
dengan mempelajarinya sebagimana wajibnya mengetahui syarat-syarat
sah shalat yang lain seperti bersuci (thaharah), menutup aurat dan
menghadap arah kiblat.16
Selanjutnya al-Qur’an pada beberapa ayatnya, telah memberikan
isyarat tentang waktu shalat. Pada surah al-Hud ayat 114 ditegaskan ;
“Didirikanlah shalat pada dua pengunjung siang dan pada sebagian dari
waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu menghapus kejahatan.
Demikian merupakan peringatan bagi orang-orang yang mau ingat.” Pada
ayat ini ulama memahami bahwa yang dimaksud shalat pada dua
pengunjung siang adalah shalat Subuh dan Ashar, sedang maksud sebagian
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2008), h.
95 16
Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 122
28
dari waktu malam adalah dua shalat yang berdekatan yakni ; Magrib dan
Isya.
Sementara pada surah al-Isra’ ayat 78, dikemukakan perintah
mendirikan shalat pada waktu matahari tergelincir sampai mulai gelap
malam, begitu pula shalat fajar, karena sesungguhnya shalat fajar itu ada
yang menyaksikannya (QS. Al- Isra: 77; 78). Dari ayat ini dapat dipahami
bahwa diperintahkan mendirikan shalat pada awal waktunya yakni shalat
duhur, Ashar, Magrib dan Isya. Senada dengan ayat-ayat di atas, pada
surah at-Thaha ayat 130 juga dikemukakan “Dan bertasbihlah memuji
Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan
bertasbihlah pula pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar
engkau merasa tenang.” Pada ayat terakhir ini, menunjukkan bahwa
bahwa “tasbih” dimaksud sebelum matahari terbit adalah shalat Subuh,
sedang sebelum matahari terbenam ialah shalat Ashar.17
Sinar matahari sebagai pertanda perjalanan masa siang malam
dalam satu hari, matahari memulai pancaran sinarnya dari bagian timur
bumi terlebih dahulu. Dan shalat adalah ibadah yang berpedoman pada
peredaran sinar matahari sebagai acuan waktu pelaksanaanya. Maka,
merupakan konsekuensi logis jika daerah bumi bagian timur akan
memasuki waktu shalat terlebih dahulu dibandingkan bagian bumi sebelah
baratnya. Hal tersebut tentunya juga mengakibatkan waktu shalat daerah
17
Ibid, h. 123.
29
bumi bagian timur akan habis terlebih dahulu daripada bagian baratnya. 18
Sebagai contoh, karena matahari berjalan dari timur ke barat, maka daerah
Lampung Timur akan memasuki waktu shalat terlebih dahulu dan habis
terlebih dahulu dibanding daerah Lampung bagian baratnya.19
Dari petunjuk beberapa dalil tersebut di atas dapat dipahami bahwa
waktu-waktu shalat yang disyari’atkan adalah
a. Waktu shalat Dhuhur, adalah apabila posisi matahri tergelincir.
b. Waktu shalat Ashar, adalah apabila bayang-bayang suatu benda sama
panjang dengan bendanya.
c. Waktu shalat Magrib, adalah ketika matahari telah terbenam sampai
megah merah belum hilang atau selama megah merah masih ada.
d. Waktu shalat Isya, adalah mulai ketika hilang megah merah sampai
terbit fajar, pada riwayat lain hingga tengah malam atau seperdua
malam.
e. Waktu shalat Subuh, adalah apabila terbit fajar.20
2. Penentuan Awal Waktu Shalat Perspektif Sains
Berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.,
dapat dipahami bahwa ketentuan waktu-waktu shalat berkaitan dengan
posisi matahari pada bola langit. Maka dalam perspektif sains (astronomi)
untuk penentuan awal waktu shalat terdapat beberapa hal penting untuk
18
Nanda Trisna Putra, Problematika Waktu Ihtiyath Dalam Pembuatan Jadwal Shalat,
dalam Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, h. 93. 19
Ibid. 20
Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 123
30
dipahami lebih awal, di antaranya adalah ; posisi matahari, terutama tinggi
matahari (h), jarak zenith (bu’du as-sumti), Zm = 90-h. Fenomena awal
fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari melintasi
meridian (culmination), matahari terbenam (sunset) dan akhir senja
(evening twilight) berkaitan dengan jarak zenith matahari.21
Dengan kemajuan yang telah dicapai manusia dalam bidang ilmu
falak. Berangsur-angsur manusia menemukan metode-metode terbaru
untuk menentukan awal waktu shalat berdasar hadist yang menerangkan
batasan-batasan waktu shalat di atas. Sebagai contoh kemajuan dunia falak
dalam penentuan awal waktu shalat ini adalah ditemukannya metode
rubu’, ephemeris, dan nautika. Penggunaan metode-metode terbaru
tersebut muncul setelah ditemukannya jam yang terdiri dari satuan jam,
menit, dan detik. Penggunaan metode ephemeris dan nautika diterapkan
dengan memperhatikan Lintang Tempat (φ), Bujur Tempat (λ), Deklinasi
Matahari (δ), Equation of Time/Perata Waktu (e), Tinggi Matahari (h),
Koreksi Waktu Daerah (Kwd), dan Ihtiyath (i) dalam menentukan awal
waktu shalat.22
Data-data perhitungan waktu Shalat yang diperlukan diantaranya
adalah:
21
Ibid. 22
Nanda Trisna Putra, Problematika Waktu, h. 93.
31
1. Lintang tempat dan bujur tempat
Lintang tempat adalah jarak dari suatu tempat ke khatulistiwa
diukur dengan melalui lintang kutub, lintang sebelah selatan tanda negatif,
dan lintang sebelah utara tanda positif.23
Bujur tempat adalah jarak dari tempat yang dimaksud ke garis bujur
yang melalui kota greenwich dekat London. Jika letaknya di sebelah barat
London sampai 180° disebut Bujur Barat, dan jika letaknya disebelah
Timur sampai 180° disebut Bujur Timur. Garis bujur 180° melalui selat
Bering, Alaska dan Laut Bering. Garis bujur 180° ini dijadikan pedoman
pembuatan Garis Batas Tanggal Internasional (International Date Line).
Dalam astronomi Bujur Tempat biasanya diberi tanda λ (lamda).24
Data lintang dan bujur tempat dapat diambil dari almanak, atlas,
Global Positioning System (GPS), dan referensi lainnnya yang terpercaya
serta dipergunakan oleh masyarakat luas.
2. Deklinasi Matahari
Deklinasi matahari adalah busur pada lingkaran waktu yang diukur
mulai dari titik perpotongan antara lingkaran waktu dengan lingkaran
ekuator ke arah Utara atau Selatan sampai ke titik pusat benda langit.
Deklinasi matahari besarnya selalu berubah setiap saat karena
matahari selalu bergeser dalam perjalanan semu tahunnya .25
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-Mail. Deklinasi sebelah
23
Abdur Rachim, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Liberty, 1983), h 51 24
Ibid. 25
Muchtar Salimi, Ilmu Falak Penetapan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat, (Surakarta:
Universitas Muhammdiyah, 1997), h. 20
32
utara ekuator dinyatakan positif dan diberi tanda +, sedangkan deklinasi
sebelah selatan ekuator dinyatakan negatif dan diberi tanda -.
Pada saat benda langit persis berada lingkaran ekuator, maka
deklinasinya 0˚. Harga deklinasi yang terbesar yang dicapai suatu benda langit
adalah 90˚ yaitu manakala benda langit berada pada titik kutub langit. Harga
deklinasi terbesar oleh matahari adalah hampir mendekati 23˚30˚ (atau
tepatnya 23˚26’30”). Deklinasi dari hari ke hari selama setahun selalu
berubah-ubah, tetapi pada tanggal-tanggal tertentu kira-kira sama. Pada
tanggal 21 maret dan tanggal 23 september, matahari berkedudukan di
ekuator, oleh karena itu deklinasinya 0˚. Pada tanggal 22 Juni matahari
mencapai deklinasi tertinggi disebelah utara ekuator, yakni 23˚26’30”.
Dengan demikian pergerakan semu matahari 6 bulan berada di
sebelah utara ekuator yakni tanggal 21 maret sampai 23 september deklinasi
bernilai positif. Dan 6 bulan berposisi di selatan ekuator yakni tanggal 23
september sampai 21 maret, deklinasi bernilai negatif.
3. Equation of time
Equation of time dalam bahasa Indonesia perata waktu adalah selisih
antara waktu kulminasi matahari hakiki dengan aktu matahari rata-rata. Dan
ini biasanya dinyatakan dengan huruf “e” dan diperlukan dalam menghisab
waktu Shalat.26
4. Ketinggian matahari (h)
Ketinggian matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran vertikal
dihitung dari ufuk sampai matahari. Ketinggian ini dinyatakan dengan derajat
26
Muhyiddin Kazain, Ilmu Falak Teori Dan Praktek. (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), h.
80
33
(˚), minimal 0˚ dan maksimal 90˚. Jika matahari berada di atas ufuk maka
nilainya positif (+) dan jika berada di bawah ufuk maka nilainya negatif (-).
Ketinggian matahari dalam perhitungan menggunakan simbol “ho”.
“h” yang diambil dari kata high (tinggi) dan “o” digunakan untuk simbol
deklenasi matahari.
5. Meridian pass
Meridian pass adalah waktu pada saat matahari tepat di titik kulminasi
atas atau tepat di meridian langit menurun waktu pertengahan, yang menurut
waktu hakiki saat ini menunjukkan tepat jam 12 siang.
6. Interpolasi
Interpolasi yaitu cara pengambilan suatu nilai atau harga yang ada
diantara dua data.
7. Ikhtiyat
Ikhtiyat dalam bahasa berarti hati-hati ihtiyat adalah dimaksudkan
untuk menyakinkan bahwa hasil perhitungan sudah benar-benar masuk
waktunya dengan cara menambahkan jumlah menit tertentu.27
Penggunaan metode-metode terbaru ini yang menyertakan
ihtiyath pada sisi positif menghasilkan manfaat yang besar karena
dengan metode tersebut umat Islam dapat menentukan awal masuknya
waktu shalat jauh sebelum waktunya tiba dan bisa mengantisipasi
datangnya waktu shalat, sehingga umat Islam dapat membuat jadwal
shalat setiap bulan dan tahunnya. Bahkan dengan metode ini umat
Islam mampu membuat jadwal shalat abadi.28
27
Slamet Hambali, Ilmu Falak (Tentang penentuan Awal Waktu Shalat Dan Penentuan
Arah Qiblat di seluruh Dunia), t.t,1998, h 82 28
Nanda Trisna Putra, Problematika Waktu.,
34
E. Penentuan Awal Waktu Dzuhur dan Azhar
1. Waktu Shalat Zuhur
Permulaan waktu sejak tergelincirnya matahari. Hal ini telah
disepakati oleh fuqoha’, berdasarkan firman Allah AWT:
.....
Artinya: “Dirikanlah Shalat (Zuhur), ketika tergelincirnya matahari.....”,
(QS. Al-Isra: 76)
Dimana untuk akhir waktu zuhur menurut jumhurul fuqoha’
(mayoritas) termasuk mayoritas Hanafiyyah adalah ketika panjang
bayangan suatu benda sama dengan tinggi benda. Ketentuan ini hanya
berlaku ketika matahari berkulminasi tepat di titik zenith, sehingga pada
saat itu benda yang terpancang tegak lurus tidak mendapatkan sama
sekali. Matahari berkulminasi di titik zenith hanya terjadi apabila harga
lintang tempat yang bersangkutan sama besarnya dengan deklinasi
matahari. Jika tidak, maka matahari akan berkulminasi di utara atau di
selatan titik zenith, sehingga benda yang terpancang tegak lurus pada saat
matahari berkulminasi akan mempunyai bayangan dengan panjang
tertentu.
Dalam awal permulaan waktu Shalat zuhur ini terjadi perbedaan
dikalangan para fuqoha’, menurut Iman Abu Hanafiah akhir waktu zuhur
jika panjang bayangan suatu benda dua kali panjang benda (selain
panjang bayangan suatu benda saat berkulminasi). Sedangkan umat islam
di Indonesia menggunkaan pendapat jumhur fuqoha’, karena yang dipakai
35
oleh jumhur lebih kuat, apabila di Indonesia ini pada saat panjang
bayangan benda sama dengan tinggi bendanya, suhunya tidak terlalu
panas.29
Selanjutnya, penentuan waktu shalat dzuhur menurut sains
(astronomi) yaitu dirumuskan sejak seluruh bundaran matahari
meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 derajat setelah lewat
tengah hari. Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari berada di
meridian. Atau dengan kata lain titik pusat matahari lepas dari meridian
setempat yang tingginya relatif terhadap deklinasi matahari dan lintang
tempat.30
Apabila matahari bergeser dari meridian, maka titik pusatnya juga
bergeser. Begitu pula kalau matahari bergeser dari titik zenith, otomatis
kulminasinya bergeser juga. Dan yang menyebabkan titik kulminasi itu
bergeser adalah lintang tempat dan deklinasi matahari sehingga lintang
tempat dianggap sama harganya dengan jarak zenith dan titik pusat
matahari pada saat berkulminasi setelah dikurangi dengan deklinasi
matahari.31
Rumus yang digunakan saat kulminasi adalah ; = 12 - e., Rumus
ini turunan dari Zm=(p-d), karena tinggi matahari = 900 , maka p=d juga.
Dengan demikian hm = 90 - (h), oleh karena Zm, p, dan d harganya
29
M. Hasbi Ash Shiddiqi, Koleksi Hadits Hadits Hukum, (Jakarta: PT, Magenta Bhakti
Guna, 1994), h. 46 30
Alimuddin, “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”, dalam Jurnal Al-Daulah,
(Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar), Vol.1 No.1 Desember 2012,
h. 124 31
Ibid
36
dianggap sama dengan 0, Dari proses inilah, awal waktu shalat zuhur
yang dipahami dari hadis dengan sebutan “tergelincir matahari”.32
Angka 12.00 dianggap sama dengan 900 karena matahari berada
pada titik zenith, sedang e adalah perata waktu (equation of time). Untuk
mengetahui apakah data perata waktu dalam almanac nautika itu bertanda
positif atau negatif, perlu dilihat Mer Pas nya. Jika Meridian Pass lebih
dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda negatif (-), dan jika Mer Pass
kurang dari jam 12.00 berarti perata waktu bertanda positif (+). Data
perata waktu yang menentukan saat matahari “berkulminasi” setiap hari
berubah, namun dari tahun ke tahun relatif sama.33
Dengan demikian, saat matahari tergelincir yang dipahami sebagai
awal waktu shalat zuhur adalah posisi dimana matahari telah bergeser dari
kulminasinya atau bergeser dari meridian.. atau dimana matahari
berkulminasi disitulah dipahami sebagai awal permulaan waktu zuhur.34
2. Waktu Shalat Asar
Permulaan waktu ashar dimulai ketika berakhirnya waktu zuhur.
Dengan adanya perselisihan pendapat mengenai akhir waktu zuhur, maka
permulaan waktu ashar terdapat perbedaan. Beberapa pendapat ulama
tentang waktu Shalat ashar:
32
Ibid 33
Ibid., h. 124-125 34
Ibid., h. 125
37
e. Menurut Imam syafi’i
Awal waktu asar adalah bila bayang-bayang tongkat
panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari
ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya.
f. Menurut Jumhurul Ulama
Jumuhr ulama berpendapat masuknya awal waktu Shalat asar
yaitu ketika berakhirnya waktu zuhur atau ketika bayang-bayang suatu
benda sama dengan benda tersebut dan berakhir ketika terbenamnya
matahari.
g. Menurut Pendapat Imam Hanafi
Masuknya awal waktu ahsar itu ketika bayang-bayang benda
ditambah dengan bayangan zuhur atau dua kali bayangan dari benda.
h. Menurut Imam Maliki
Beliau mengatakan bahwa asar merupakan dua waktu pertama
dimulai dari lebihnya (dalam ukuran panjang) bayang-bayang suatu
benda sampai kuning matahari. Kedua sinar matahari kekuning-
kuningan sampai terebanamnya matahari.
Kemudian ulama fiqih juga berlainan pendapat dalam menentukan
akhir waktu asar diantaranya:
a. Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir dari waktu asar adalah
kuningnya matahari.
38
b. Sedangkan Imam Syafi’i menegaskan bahwa akhir waktu asar yang
mukhtar artinya ketika bayangan sesuatu menjadi dua kali sepertinya
dan akhir waktu darurat adalah hingga terbenamnya matahari.
c. Fuqoha’ telah sepakat bahwa akhir waktu ashar adalah sesaat sebelum
terbenamnya matahari.35
Jadi menurut mayoritas fuqoha’ termasuk mayoritas Hanfiyyah
waktu asar di mulai ketika bayangan suatu benda sedikti lebih panjang dari
tinggi benda selain panjang bayangan benda yang ada ketika matahari
berkulminasi.
Selanjutnya, penentuan waktu shalat ashar menurut sains
(astronomi) awal waktu shalat Ashar dinyatakan sebagai keadaan tinggi
matahari sama dengan jarak zenith titik pusat matahari pada waktu
berkulminasi ditambah bilangan satu.
Sesuai petunjuk hadis bahwa awal waktu shalat ashar adalah apabila
bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya, maka hal ini secara
hisab sains (astronomi) dapat dicapai dengan, pertama menentukan tinggi
matahari pada waktu ashar (ho) dan kedua menentukan sudut waktu
matahari. (to). Rumus yang digunakan untuk ho adalah:
Cotan h = t hm +1
= t (π – δ) + 1
Maksud rumus ini adalah cotan h sama besarnya dengan tg jarak
zenit titik pusat matahari pada waktu berkulminasi ditambah satu.
35
Ibid.
39
Sedang untuk sudut waktu matahari (to), digunakan rumus sebagai
berikut:
to, Cost t = -tg p.tg d + sin h : cos p : cos d
Selanjutnya, untuk keakuratan nilai ilmiah hasil perhitungan pada
waktu shalat yang akan dihitung, maka perlu dilakukan koreksi bujur atau
penyesuaian bujur masing-masing daerah (BD – Bt) dan selisih waktu
antara daerah (:15). Serta ihtiyat sebagai tanda hati-hati atau
pengaman/pembulatan hasil akhir perhitungan.36
36
Ibid., h. 125-126
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Al-Qur’an tentang Peredaran Matahari
Matahari merupakan benda langit dengan pancaran cahaya terkuat dan
menyebabkan benda-benda yang disinarinya memiliki bayang-bayang tajam.
Sinar Matahari berkecepatan 300 ribu Km perdetik, sedangkan jarak antara
Bumi dan Matahari rata-rata 150 juta Km dengan jarak terdekat sekitar 147
juta Km dan jarak terjauh sekitar 152 juta Km, sehingga waktu yang
diperlukan untuk sampainya cahaya Matahari ke permukaan Bumi sekitar 8
menit.1
Beberapa ayat dalam Alquran menjelaskan bahwa ketentuan waktu
salat berkaitan dengan posisi Matahari pada bola langit. Allah SWT berfirman
dalam QS.Yunus ayat 5:
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5).
1 Muhyiddin Kazain, Ilmu Falak Teori dan Praktek. (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),
h. 125.
41
Dalam QS. Al Anbiya‘ ayat 33:
Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya.” (QS. Al Anbiya‘: 33).
Dalam QS. Yaasin ayat 38:
‘
Artinya: “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS.
Yaasin: 38)
Makna tersurat dalam terjemahan “Matahari berjalan ditempat
peredarannya” Dari ketentuan yang termuat al-Quran dan Hadist dapat
dipahami bahwa ketentuan shalat tersebut berkaitan dengan posisi matahari
pada bola langit.7 Karena perjalanan semu matahari relatif tetap,maka posisi
matahari pada awal waktu shalat setiap hari sepanjang tahun dapat
diperhitungkan. Dengan begitu, orang akan mudah mengetahui awal waktu
shalat. Allah menetapkan shalat sebagai kewajiban yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.
Keharusan mengetahui masuknya awal waktu shalat, telah ditentukan
dalam syariat Islam secara nasiyah, artinya ketentuan ditetapkan berdasarkan
42
teks Al Qur‘an dan hadist. Sedangkan penentuan secara teknis dikembangkan
dengan kemampuan ijtihat insani.2
Shalat merupakan ibadah yang paling utama di antara ibadah –ibadah
yang lain. Keutamaan itu didapatkan dari kewajiban shalat instruksi secara
langsung dari Allah SWT kepada manusia (Nabi Muhammad SAW) tanpa
perantara Malaikat Jibril. Dan juga, shalat itu merefleksikan keimanan seorang
hamba, karena dalam pelaksanaannya meliputi ucapan dengan lisan, perbuatan
dengan anggota badan dan keyakinan dalam hati.3
Ibadah shalat khususnya shalat fardu tidak dapat dikerjakan
disembarang waktu, namun ada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan
Allah.4 Shalat adalah kewajiban yang sangat ditekankan dalam al-Qur’an.
Dalam waktu-waktu yang telah ditentukan tersebut, Allah Swt telah
mengisyaratkan dalam firman-Nya:5
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).
2 Ahmad Khoiri, Penentuan Awal Waktu Shalat Fardhu dengan Peredaran Matahari,
dalam Spektra Jurnal Kajian Pendidikan Sains, h. 3. 3 Ibid, h. 1.
4 Endang Sulistyowati, Dasar-dasar Geometri untuk ilmu Falak: Cara Mudah
Menentukan Arah Kiblat dan Awal Waktu Shalat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2015),h. 5 5 Abdul Qadir Ar-Rabawi, Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arba’ah, Alih Bahasa: Abu
Firly Bassam Taqiy, dalam Fiqih Shalat Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008),
Cet. Ke-8, h. 191.
43
Ayat tersebut menjelaskan bahwa shalat harus dikerjakan sesuai
dengan waktu-waktunya, apabila tidak ada halangan yang sesuai dengan
syara‘. Terkait dengan waktu-waktu shalat Allah berfirman:
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh
itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Israa’: 78).
Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir
matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu
Magrib dan Isya. Allah juga berfirman dalam QS. Hud: 114:
Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi
dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS.
Huud: 114).
Allah juga berfirman dalam QS. Thahaa: 130:
Artinya: “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan
pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang,” (QS. Thaha:
130).
44
Berdasarkan kepada ketentuan fiqh tentang waktu-waktu shalat di atas,
yakni tergelincir matahari, panjang pendek bayang-bayang suatu benda,
terbenam matahari, mega merah, terbit matahari dan fajar menyingsing,
seluruhnya adalah fenomena matahari. Oleh karena itulah ilmu falak
memahami waktu-waktu shalat tersebut didasarkan pada fenomena matahari.
Kemudian diterjemahkan dengan posisi matahari pada saat-saat mewujudkan
keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi awal atau akhir waktu
shalat.6
B. Matahari Sebagai Metode Awal Penentuan Awal Waktu Shalat
Meskipun Matahari merupakan pusat tata surya, namun bagi kita di
Bumi justru kebalikan, seakan-akan Mataharilah yang berputar mengelilingi
Bumi sepanjang hari. Perputaran ini dikenal sebagai gerak semu harian
Matahari dan merupakan konsekuensi dari rotasi Bumi. Sebagai konsekuensi
perputaran Bumi pada sumbunya, maka kita menyaksikan Matahari seakan-
akan bergerak secara teratur pada satu garis dari hari ke hari.7
Ketika Matahari terlihat di ufuk timur, kita mengatakan bahwa
Matahari telah terbit. Setelah Matahari terbit dengan perlahan-lahan melaju
hingga mencapai titik garis meridian langit (garis khayali yang menghubung
titik utara, zenith dan titik selatan), semua benda yang tersinari oleh Matahari
akan menghasilkan bayang-bayang yang menuju ke arah utara atau selatan,
6 Ismail, Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Ilmu Falak, diakses melalui laman: https://www.academia.edu/7260098/kedudukan_
matahari_pada_awal_waktu_salat, Pada 26 Januari 2017, h. 12. 7 Ismail, Kedudukan Matahari., h. 2
45
bayang-bayang benda ini oleh ulama fiqh menamakan dengan bayang Istiwa’.
Bayang istiwa’ ini tidak selalu ada dalam setiap hari di suatu tempat, dalam
satu hari panjang bayang istiwa’ juga tidak selalu sama antara satu tempat
dengan tempat lain, hal ini dipengaruhi oleh nilai deklinasi.8
Matahari dalam setiap hari tidak selalu sama, semakin besar nilai
deklinasi dari nilai lintang tempat semakin panjang bayang istiwa’. Apabila
harga deklinasi sama dengan harga lintang tempat maka pada hari tersebut
bayang istiwa’ tidak ada. Sekitar 2 menit kemudian bayang-bayang benda
tersebut akan meninggalkan titik utara atau selatan dan melaju ke arah timur
seiring dengan bergesernya Matahari ke arah barat, peristiwa ini dalam ilmu
fiqih dikenal dengan Tergelincirnya Matahari. Selanjutnya Matahari akan
terbenam di ufuk barat, disaat inilah awal malam pun tiba.9
Perjalanan harian Matahari yang terbit dari Timur dan terbenam di
Barat bukanlah gerak Matahari yang sebenarnya, melainkan disebabkan oleh
perputaran Bumi pada porosnya dari barat ke timur (Rotasi Bumi) selama
sehari semalam dengan kecepatan 108 ribu Km perjam. Akibat dari rotasi ini
antara lain adalah adanya perbedaan waktu di satu daerah dengan daerah yang
lain dan adanya siang dan malam di permukaan Bumi.10
Gerak semu harian Matahari ini kemudian dijadikan patokan waktu di
permukaan Bumi dengan waktu tetap sehari semalam 24 jam atau dikenal
dengan waktu pertengahan. Kemudian waktu ini di abadikan dalam alat
teknologi sepeti jam dinding dan arloji yang kemudian dipedomani oleh
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Ismail, Kedudukan Matahari., h. 2.
46
semua jadwal kerja, siaran radio, telivisi, jadwal imsakiyah dan jadwal awal
waktu shalat.11
Penentuan masuknya awal waktu shalat secara teknis diperlukan
pengetahuan tentang posisi matahari dan posisi geografis tempat di bumi. Ilmu
pengetahuan tersebut sarat dengan geometri dan trigonometri.12
Proses
penetapan waktu ibadah shalat juga mendorong pemahaman terhadap gerak
harian maupun tahunan matahari di langit yang selanjutnya digunakan dalam
menentukan posisi matahari setiap saat.13
Allah telah mengutus malaikat jibril untuk memberikan arahan kepada
Rasulullah saw tentang waktu shalat dengan acuan matahari dan fenomena
cahaya langit yang notabene juga disebabkan oleh pancaran sinar matahari.
Jadi sebenarnya petunjuk awal untuk mengetahui awal waktu shalat adalah
dengan melihat (rukyat) matahari. Penentuan hitung waktu shalat pada
hakikatnya adalah menghitung posisi matahari sesuai kriteria yang
ditentukan.14
Awal waktu shalat terkait dengan kedudukan matahari. Kedudukan
dapat diukur dengan:
1. Sudut ketinggian (altitude angle)
2. Sudut datang sinar matahari (angle of incidence).
11
Ibid. 12
Geometri dan trigonometri merupakan sub bab dalam ilmu matematika yang memiliki
banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Pada perkembangannya hampir 2000 tahun
trigonometri banyak digunakan dalam bidang astronomi, navigasi dan penyelidikan-penyelidikan
lainnya. Pada saat ini trigonometri bukan hanya studi tentang segitiga dan sudut-sudut tetapi juga
merupakan cabang matematika modern yang mempelajari sirkulasi dan fungsinya. Lihat Lutfi
Adnan Muzamil, Studi Falak dan trigonometri, Cara Cepat dan Praktis Memahami Trigonometri
dalam Ilmu Falak, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), h. 2. 13
Ahmad Khoiri, Penentuan Awal., h. 3. 14
Ibid.
47
3. Sudut datang sinar matahari pada suatu bidang (permukaan) ialah sudut
antara sinar matahari dengan normal datang tersebut. Berawal dari sudut
datang sinar matahari inilah penentuan awal waktu shalat.15
Penentuan awal waktu shalat yang yang pertama dicari adalah waktu
shalat ashar. Karena untuk menentukan waktu shalat yang lain, kita harus
menentukan awal waktu shalat ashar terlebih dahulu.16
Pada umumnya, jarak 110 km tepat ke utara atau ke selatan berarti
perbedaan 1 derajad lintang dan jarak 110 km tepat ke barat atau ke timur
berarti perbedaan 1 derajad bujur. Jadi jarak 11 km tepat ke utara atau ke
selatan berarti perbedaan 0,1 derajad lintang dan jarak 11 km tepat ke barat
atau ke timur berarti perbedaan 0,1 derajad bujur.17
Perbedaan bujur cukup besar pengaruhnya terhadap masuknya waktu
shalat. Perbedaan 1 derajad bujur berarti perbedaan 4 menit waktu; perbedaan
bujur sebesar 0,1 derajad atau jarak tepat ke-Timur atau tepat ke-Barat sejauh
11 km berarti perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Jarak 27,5
km tepat ke barat atau tepat ke timur berarti perbedaan waktu sebanyak 1
menit. 18
Perbedan lintang sama sekali tidak pengaruhnya sepanjang tahun.
Waktu dzuhur senantiasa sama buat semua lintang; jadi perbedaan litang tdak
15
Ibid. 16
Ibid. 17
Saadoe’ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, (Jakarta: Bulan
bintang, 1974), h. 20 18
Ibid, h. 21
48
berpengaruh terhadap masuknya waktu duhur. Waktu ashar agak menyimpang
perkembangannya dari waktu-waktu yang lain. 19
Dalam bulan maret dan september (bila deklinasi matahari kecil)
perbedaan waktu shalat dari derajat lintang yang satu kepada derajat lintang
berikutnya tidak begitu besar; malahan pada tanggal 22 maret dan tanggal 22
september (pada kedua tanggal itu deklinasi matahari 0 derajat) waktu syuruq
san waktu magrib bagi semua lintang yang terdaftar adalah sama; dalam hal
yang demikian perbedan lintang tentu tidak ada pengaruhnya terhadap saat
masuknya waktu shalat.20
Tetapi dalam bulan juni dan bulan desember, bila deklinasi matahari
paling besar, satu derajad lintang ada kalanya berarti perbedaan amsuknya
waktu shalat sebanyak 2 menit. Itu sama dengan selisih 0,2 menit atau 12 detik
bagi setiap perbedaan 0,1 derajad lintang atau jarak 11 km tepat ke utara atau
tepat ke selatan.21
C. Penentuan Awal Waktu Shalat Dzuhur dan Ashar dengan Bayang-
Bayang
Beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi menjelaskan mengenai awal
dan akhir waktu shalat tersebut berdasarkan pergerakan/pergeseran posisi
matahari. Pada awalnya, penentuan awal dan akhir waktu shalat ditentukan
berdasarkan observasi/pengamatan posisi matahari. Namun dengan kemajuan
19
ibid 20
Ibid, h. 21-22. 21
Ibid, h. 22.
49
ilmu pengetahuan, dengan menggunakan konsep-konsep geometri, waktu awal
dan akhir shalat dapat dilihat tanpa melakukan observasi posisi matahari.22
Masuknya waktu zuhur ditandai dengan tergelincirnya matahari pada
tengah hari tepat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman “liduluukisysyams” (sejak
tergelincir matahari Surat Al Isra (17): 78). Ilmu falak menggunakan istilah:
“matahari berkulminasi.” Yaitu bila matahari mencapai kedudukannya yang
tertinggi di langit dalam perjalanan hariannya. Dalam almanak-almanak
adakalanya digunakan istilah meridian passage artinya matahari melintasi
meridiam. Mengenai waktu ashar difirmankan Allah: “qabla lghuruub”
(sebelum terbenam matahari QS. Qaf 50: 39).23
Pada waktu matahari melintasi meridian, jadi waktu zuhur, sebuah
tongkat yang dipancangkan secara tegak lurus ke dalam tanah, akan membuat
bayang-bayang yang panjangnya ditentukan oleh tingginya matahari sewaktu
berkulminasi itu. Makin tinggi kedudukan matahari maka makin pendek
bayang-bayang tersebut, makin rendah kedudukan matahari makin panjang
bayang-bayang.24
Guna menentukan waktu dhuhur dikutip kembali surat Al Isra' 78
"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat). Shalat saat tergelincir matahari di siang hari kira-kira lewat
22
Endang Sulistyowati, Dasar-dasar., 23
Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, (Jakarta: Bulan bintang,
1974), h. 9 24
Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa.,
50
sedikitnya jam 12.00 siang. Shalat disebut shalat dhuhur atau shalat jum‘at
bila tiba hari jum‘at.25
Para ulama mazhab sepakat bahwa shalat itu tidak boleh di dirikan
sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa apabila matahari telah
tergelincir berarti waktu dhuhur telah masuk, hanya mereka berbeda pendapat
batas ketentuan waktu ini dan sampai kapan waktu shalat itu berakhir. Ulama
empat mazhab sepakat bahwa waktu dhuhur di mulai dari tergelincir matahari
sampai bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu.26
Apabila lebih, walau hanya sedikit, berarti waktu dhuhur telah habis.
Tetapi imam Syafi'i dan imam Maliki menyatakan bahwa ini hanya berlaku
khusus bagi orang yang, memilihnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa,
maka waktu dhuhur itu sampai bayang-bayang sesuatu (benda) lebih panjang
dari benda tersebut. Sedangkan imamiyah, ukuran panjang bayang-bayang
sesuatu sampai, sama dengan panjang benda tersebut merupakan waktu
dhuhur yang saling utama. Dan kalau ukuran bayang-bayang suatu benda lebih
panjang dua kali dari pada tanda tersebut merupakan waktu ashar yang
utama.27
Setelah tergelincir, matahari meneruskan perjalanannya arah barat, dan
bayang-bayang tongkat tadi makin bertambah panjang. Bila panjang bayang-
bayang itu sudah bertambah dengan 1x tinggi tongkat itu sendiri, maka
masuklah waktu ashar. 28
25
Ahmad Khoiri, Penentuan Awal., h. 8. 26
Ibid, h. 9. 27
Ibid. 28
Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa.,
51
Ada pendapat menyatakan bahwa bayang-bayang itu harus bertambah
dengan 2x tinggi tongkat itu sendiri, barulah waktu ashar masuk. Dalam
uraian-uraian selanjutnya, kita mengunakan pandangan terakhir ini,
pertimbangannya ialah oleh karena kita akan menggunakan konsep waktu
shalat di seluruh dunia (termasuk kutub), dimana ada beberapa daerah yang
matahari pada awal dzuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit.29
Dan
dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dariada kalau
matahari pada tengah hari kedudukan tinggi di langit seperti di indonesia. Bila
syarat waktunya waktu ashar ditetapkan bertambah panjangnya tongkat
dengan 1x tingginya tongkat itu sendiri, waktu ashar masuk akan terlalu cepat.
Akibatnya waktu dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu ashar terlalu
panjang.30
Menurut imam Syafi‘I dan imam Hanafi, waktu ashar di mulai dari
lebihnya bayang-bayang sesuatu dengan benda tersebut sampai terbenamnya
matahari. Pendapat imam Maliki, waktu ashar mempunyai dua waktu. Yang
pertama di sebut waktu ikhtiyari, yatu di mulai dari lebihnya bayang-bayang
suatu benda dari benda tersebut. Sampai matahari tampak menguning.
Sedangkan yang ke dua di sebut idhthirari, yaitu di mulai dari matahari yang
tampak menguning sampai terbenanmya matahari.31
Perspektif imam Hambali yang termasuk paling akhirnya waktu shalat
ashar adalah sampai bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari
benda tersebut. Dan pada saat itu boleh mendirikan shalat ashar sampai
29
Ibid. 30
Ibid, h. 10. 31
Ahmad Khoiri, Penentuan Awal., h. 10.
52
terbenamnya matahari, tetapi orang-orang yang shalat pada saat itu berdosa,
dan di haramkan sampai mengahirkannya pada waktu tersebut.32
Berdasarkan perspektif sains modern, kedudukan matahari yang
dimaksud adalah kedudukan titik pusat matahari. Apabila matahari sedang
berkulminasi, titik pusat matahari berkedudukan tepat di meridian. Akan
tetapi, jika matahari tidak berkulminasi di zenit, bayang-bayang benda yang
terpancang tegak lurus di atas tanah, membujur tepat menurut arah utara-
selatan. Garis poros bayang-bayang itu dan titik pusat matahari membentuk
sebuah bidang berimpit dengan meridian.33
Setelah titik pusat matahari dalam perjalanan matahari ke arah barat,
melepaskan diri dari meridian, ujung bayang-bayang benda yang terpancang
tegak lurus, akan melepaskan diri dari garis utara selatan dan membelok ke
arah timur. Bidang yang di buat oleh poros bayang-bayang dan titik pusat
matahari, akhirnya membentuk sudut dengan bidang meridian, ke dua bidang
itu berpotong-potongan pada garis vertikal tempat. 34
Keadaan demikian disebut tergelincirnya matahari, yaiut awal waktu
dhuhur. Dengan jalan demikian, maka secara ilmu pasti, waktu berkulminasi
matahari dapat di tetapkan sebagai batas permulaan waktu dhuhur. Apabila
matahari di meridian, poros bayangbayang sebuah benda yang di dirikan tegak
lurus pada bidang datar, membuat sudut siku-siku dengan garis barat-timur.
Setelah matahari bergerak dari meridian, poros bayang-bayang itu membelok
ke arah timur, dan sudut yang di buatnya dengan garis I‘tidal (garis timur-
32
Ibid. 33
Ibid, h. 14. 34
Ibid.
53
barat) bukan lagi 90°. matahari dikatakan telah tergelincir dan awal waktu
dhuhur telah masuk. Ketika titik pusat matahari di meridian, orang belum
boleh melakukan shalat, dan segera setelah titik pusat matahari terlepas dari
garis meridian, matahari sudah tergelincir kearah barat dan waktu dhuhur
sudah masuk. 35
Menurut A. Jamil, kedudukan matahari pada awal waktu shalat zuhur
dimulai sesaat matahari terlepas dari titik meridian langit. Mengingat bahwa
sudut waktu itu dihitung dati meridian, maka ketika matahari di meridian
tentunya mempunyai sudut waktu 0 derajat. Untuk mengetahui kapan matahari
terlepas dari titik meridian di suatu daerah untuk hari tertentu dapat diketahui
dengan rumus: MP + I = wakyu zuhur. MP = 12-e+ kwd. Kwd = (λt – λ)/15. 36
Sementara itu, awal waktu asar dimulai ketika panjang bayang
matahari sama dengan bendanya apabila disaat matahari berkulminasi tidak
ada bayang. Apabila disaat matahari berkulminasi ada terdapat bayang, maka
untuk awal waktu asar harus dikurangi nilai bayang tersebut. Oleh karena itu,
kedudukan matahari pada posisi awal waktu ashar dihitung dari titik meridian
dengan rumus sebagai berikut: SW + MP + i. Sw = osˉ¹ ((cos Z – sin do x sin
Lu) / (cos do x cos Lu)) / 15. Dengan Z ashar= tanˉ¹ tan abs do – Lu) + 1).37
Waktu ashar di mulai ketika panjang bayangan suatu benda, sama
dengan panjang benda tersebut dan berakhir ketika masuk waktu maghrib.
Dalam perhitungan waktu ashar panjang bayangan pada waktu dhuhur yang
35
Ibid. 36
A. Jamil, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Amzah, 2008), h. 33. 37
Ibid.
54
merupakan panjang bayangan minimum perlu di perhitungkan, karena suatu
saat mungkin panjang bayangan saat dhuhur itu lebih panjang dari tinggi
benda itu sendiri. Seperti di daerah madinah yang lintangnya 24° 28°, pada
akhir bulan desember deklinasi matahari -23. sehingga pada saat dhuhur sudut
matahari sudah mencapai 47° lebih, dan tentunya pada saat dhuhur, panjang
bayangan suatu benda sudah melebihi panjang benda itu sendiri.38
Sehingga waktu ashar adalah ketika panjang bayangan sebuah benda
sama dengan panjang benda tersebut di tambah panjang bayangan waktu
dhuhur. Ketika matahari berkulminasi atau berada di meridian barang yang
terdiri tegak lurus di permukaan bumi belum tentu memiliki bayangan.
Bayangan itu akan terjadi manakala harga lintang tempat (0) dan harga
deklinasi matahari itu berbeda. 39
Padahal awal waktu ashar di mulai ketika bayangan matahari sama
dengan benda tegaknya, artinya apabila pada saat matahari berkulminasi atas
membuat bayangan senilai 0 (tidak ada bayangan) maka awal waktu shalat
ashar di mulai sejak bayangan matahari sama panjangnya dengan benda
tegaknya. Tetapi apabila pada saat matahari berkulminasi sudah mempunyai
bayangan sepanjang benda tegaknya maka awal waktu shalat ashar dimulai
sejak panjang bayangan matahari itu dua kali panjang benda tegaknya. 40
Maka
bayang-bayang matahari masuknya awal waktu shalat Ashar ketika bayang
benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda.41
38
Ahmad Khoiri, Penentuan Awal., h.15. 39
Ibid. 40
Ibid. 41
Ibid, h. 16.
55
Berdasarkan hal tersebut maka terlihat bahwa ilmu falak/sains
menetapkan waktu-waktu shalat berdasarkan posisi matahari yang berpatokan
pada perjalanan semu matahari, bukan dengan sinar matahari. Setelah posisi
matahari diketahui baru dikolaborasikan dengan waktu pertengahan yang bisa
dipedomani dengan mudah oleh manusia dengan disimpan di arloji yang biasa
kita pakai sekarang. Kedudukan matahari pada awal waktu Zuhur: 0 derajat
atau tepat digaris meridian langit dan pada awal waktu Ashar: 51 derajat
dihitung dari garis meridian langit.42
Rumus-rumus di atas berfungsi untuk menentukan posisi matahari
pada awal waktu shalat sekaligus menyesuaikan dengan waktu pertengahan
sehingga untuk mengetahui masuk waktu shalat tidak selalu harus
menyaksikan tanda-tanda alam yang dipengaruhi oleh matahari atau fenomena
matahari.43
Dalam perspektif fiqh, penetapan awal waktu shalat fardhu
berdasarkan fenomena matahari yang berpatokan pada sinar matahari yang
terlihat di bumi yaitu: shalat zuhur sejak matahari tergelincir sampai bayang-
bayang sesuatu dua kali panjangnya dan shalat ashar dimulai sejak bayang-
bayang sesuatu sama panjangnya sampai sempurna terbenam matahari.
Sedangkan dalam perspektif sains/ilmu falak, penetapan waktu shalat fardhu
berdasarkan posisi matahari dalam menepuh perjalan semu di ekliptika langit
yang disebabkan oleh rotasi bumi. Posisi matahari pada awal waktu shalat
42
Ismail, Kedudukan Matahari., h. 14. 43
Ibid.
56
zuhur adalah 0 derajat atau tepat digaris meridian langit di suatu tempat dan
awal waktu Ashar adalah 51 derajat dihitung dari garis meridian langit.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa penentuan awal waktu shalat
dengan peredaran matahari saling berhubungan antara Al-Quran dan sains
modern. Karena didalam perpektif Al-Quran terdapat gambaran-gambaran
umum tentang kedudukan matahari dengan kasat mata dan tanpa perhitungan
dalam menentukan awal waktu shalat. Sedangkan dengan perpektif Sains
modern kita dapat menentukan awal waktu shalat secara perhitungan dan
memudahkan kita mengetahui awal waktu shalat pada berapa derajat
kedudukan matahari sehingga sudah masuk awal waktu shalat,dan dengan
perhitunngan tersebut kita dapat mengetahui jam berapa awal waktu shalat
dapat dilaksanakan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa penentuan awal waktu shalat dengan peredaran matahari
saling berhubungan antara Al-Quran dan sains modern. Karena didalam
perpektif Al-Quran terdapat gambaran-gambaran umum tentang kedudukan
matahari dengan kasat mata dan tanpa perhitungan dalam menentukan awal
waktu shalat. Sedangkan dengan perpektif Sains modern kita dapat
menentukan awal waktu shalat secara perhitungan dan memudahkan kita
mengetahui awal waktu shalat pada berapa derajat kedudukan matahari
sehingga sudah masuk awal waktu shalat,dan dengan perhitungan tersebut kita
dapat mengetahui jam berapa awal waktu shalat dapat dilaksanakan.
B. Saran
1. Bagi umat muslim hendaknya melaksanakan shalat fardhu tepat waktu
kecuali karena ada halangan yang mendesak.
2. Bagi para akademisi muslim dalam memperlajari sains perlu kiranya
meningkatkan pendalaman terhadap ayat-ayat Al-Qur‘an, karena dalam
Al-Qur‘an masih banyak teori-teori yang belum terungkapkan oleh para
ilmuwan sampai saat ini.
58
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil. Ilmu Falak. Yogyakarta: Amzah, 2008.
Abdul Qadir Ar-Rabawi. Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arba’ah. Alih Bahasa:
Abu Firly Bassam Taqiy. dalam Fiqih Shalat Empat Madzhab.
Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008. Cet. Ke-8.
Abdur Rachim. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty. 1983.
Abdurrahmat Fathoni. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Ahmad Khoiri. Penentuan Awal Waktu Shalat Fardhu dengan Peredaran
Matahari. dalam Spektra Jurnal Kajian Pendidikan Sains.
Ahmad Saifulhaq al Muhtadi. “Tinjauan Astronomi Atas Hisab Awal Waktu Salat
Dalam Kitab Syawāriq Al-Anwār Karya KH. Noor Ahmad SS.”. dalam
http://eprints.walisongo.ac.id/1500/1/115112088_Tesis_Sinopsis.pdf.
Aliana, “Studi Komparatif Pendidikan Integratif K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.
Imam Zarkasyi", dalam http://eprints.ums.ac.id/60828/14/naspub%20ana
%20sip.pdf,
Alimuddin. “Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat”. dalam Jurnal Al-
Daulah. Makassar: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.
Vol.1 No.1 Desember 2012.
Burhan Ashafa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara,
2013.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro,
2008.
Departemen Agama. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Proyek
peningkatan prAsarana dan sarana. 1993
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008
Encup Supriatna. Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: PT Refika Aditama,
2007.
Endang Sulistyowati. Dasar-dasar Geometri untuk ilmu Falak: Cara Mudah
Menentukan Arah Kiblat dan Awal Waktu Shalat. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2015.
59
Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi. Shalat di Pesawat dan Angkasa Studi Komperatif
Antar Madzhab Fiqih. Semarang: Syauqi Press, 2007.
Fuad Arif Noor. “Pendekatan Integratif dalam Studi Islam”, dalam Cakrawala,
Jurnal Studi Islam. Yogyakarta: STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta, Vol.
13 No. 1, 2018
Ismail. Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Ilmu Falak. diakses melalui laman: https://www.academia.edu/
7260098/kedudukan_ matahari_pada_awal_waktu_salat.
Koentjoroningrat. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: LP3ES. 1981.
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012.
Lutfi Adnan Muzamil. Studi Falak dan Trigonometri. Cara Cepat dan Praktis
Memahami Trigonometri dalam Ilmu Falak. Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2015.
M. Hasbi Ash Shiddiqi. Koleksi Hadits Hadits Hukum. Jakarta: PT. Magenta
Bhakti Guna. 1994.
Maryani. Studi Analisis Metode Penentuan Waktu Shalat Dalam Kitab Ad-Durus
Al-Falakiyyah Karya Ma’sum Bin Ali. Skripsi di Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2011.
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi. Metodologi Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES. 1981.
Muchtar Salimi. Ilmu Falak Penetapan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat.
Surakarta: Universitas Muhammdiyah. 1997.
Muhammad Abduh Tuasikal. “Waktu Shalat 2. Shalat ‘Ashar”. dalam
https://rumaysho.com/2936-waktu-shalat-2-shalat-ashar.html.
Muhyiddin Kazain. Ilmu Falak Teori Dan Praktek. Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004.
Muhyiddin Kazain. Ilmu Falak Teori dan Praktek. Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004.
Nanda Trisna Putra. Problematika Waktu Ihtiyath Dalam Pembuatan Jadwal
Shalat. dalam Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syariah. Volume 3. Nomor 1.
Juni 2012.
Saadoe’ddin Djambek. Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa. Jakarta: Bulan
bintang. 1974.
-------. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub. Jakarta: Bulan bintang. 1974.
60
Siti Mufarrohah. Konsep Awal Waktu Shalat Ashar Imam Syafi’i dan Hanafi Uji
Akurasi Berdasarkan Ketinggian Bayang-Bayang Matahari di Kabupaten
Semarang. Skripsi di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,
2010.
Slamet Hambali. Ilmu Falak Tentang penentuan Awal Waktu Shalat Dan
Penentuan Arah Qiblat di seluruh Dunia. t.t.1998.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif. R & D. Bandung: Alfabeta,
2016.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2013.
Sumadi Suryabrata. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Susiknan Azhari. Ilmu Falak Teori dan Praktek. Yogyakarta: Lazuardi, 2001.
Tamhid Amri. “Waktu Shalat Perspektif Syar’i”. dalam Jurnal Asy-Syari’ah.
Bandung: Pondok Pesantren Al-Basyariah. Vol. 16. No. 3. Desember
2014.
Tolha Hasyim Fanani. Metode Penentuan Waktu Sholat di Masjid-Masjid
Kabupaten Malang. dalam Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syariah. Volume
2. Nomor 2. Desember 2011.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Peneliti bernama Wasito Adi, lahir pada tanggal 10
Mei 1994 di Kelurahan Tulusrejo Kecamatan Pekalongan
Kabupaten Lampung Timur, dari pasangan Bapak Supardi
dan Ibu Siti Romlah. Peneliti merupakan anak keenam dari
tujuh bersaudara.
Peneliti menyelesaikan pendidikan formalnya di SD Negeri 2 Tulus Rejo,
lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan pada SMP Negeri 3 Batanghari,
lulus pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pada SMK Negeri 1 Metro, lulus
pada tahun 2012. Selanjutnya peneliti melanjutkan pendidikan pada Program
Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro dimulai pada Semester I
Tahun Ajaran 2012/2013, yang kemudian pada Tahun 2017, STAIN Jurai Siwo
Metro beralih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Lampung, sehingga Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Jurusan Syariah dan
Ekonomi Islam berubah menjadi Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas
Syari’ah.