Post on 11-May-2015
description
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG __________________________________________________________________
MODUL SINDROM HEPATORENAL
Subdivisi Gastroenterohepatologi
Oleh : Ferdy Ferdian, drPembimbing : Lukas Mulyono, dr., SpPD
__________________________________________________________________
Pendahuluan
Sindrom Hepatorenal (SHR) merupakan salah satu penyebab gagal ginjal
yang dapat ditemukan pada penderita penyakit hati kronis atau akut. SHR
merupakan tahapan akhir dari penurunan perfusi ginjal akibat peningkatan
kerusakan hati yang disebabkan oleh vasokonstriksi sirkulasi ginjal. Diagnosis
SHR dapat dilakukan setelah penyebab kerusakan ginjal lain disingkirkan.
Walaupun gambaran histologi pada pasien biasanya normal dan ginjal akan
kembali menjadi normal atau mendekati normal fungsinya setelah dilakukan
transplantasi hati, namun SHR memiliki prognosis yang buruk.1,2
Gangguan fungsi ginjal pada sirosis hati dapat disebabkan oleh gangguan
hemodinamik terutama vasodilatasi perifer kemudian diikuti aktivasi hormon
vasokonstriksi, sistem neurohumoral (seperti renin-aldosteron, vasopresin,
endotelin) dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Gangguan ini akan
memicu retensi air dan natrium di ginjal dan penurunan laju filtasi glomerulus
ginjal (LFG). Kelainan fungsi ginjal pada sirosis bersifat fungsional (tanpa
disertai perubahan morfologis ginjal)
Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal ini bersifat reversibel. Namun,
1
pada stadium ekstrim dapat bersifat ireversibel. Sekitar 20% pasien sirosis
dengan asites disertai fungsi ginjal yang normal mengalami SHR setelah satu
tahun, dan 39% setelah 5 tahun perjalan penyakit. Tanpa transplantasi hati atau
pengobatan dengan vasokonstriktor yang tepat, survival rate kurang dari 2
minggu.2
Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah suatu sindrom gangguan fungsi ginjal
sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik yang akut maupun kronis. SHR
bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan ginjal pre-
renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan
volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.2
Patogenesis
Hingga saat ini, patogenesis SHR belum diketahui pasti. Salah satu
hipotesis tentang patogenesis SHR adalah keadaan sirosis hati dengan hipertensi
portal akan mengakibatkan vasodilatasi arteri splangnik.1,2,3 Vasodilatasi ini
mengakibatkan hipovolemia arterial sentral, sehingga merangsang aktivasi sistem
saraf simpatis, Renin-Angiotensin-Aldosteron, dan hormon Antidiuretik yang
akhirnya akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Mekanisme
kompensasi ginjal dapat terjadi dengan alasan yang belum jelas, yang mana terjadi
ketidak-setimbangan antara vasokonstriksi dan vasodilatasi.2
Beberapa studi mengenai SHR melaporkan beberapa perubahan
2
biokimiawi pada pasien sirosis dengan SHR sebagai berikut :
1) Hati
Pada hati ditemukan adanya penurunan sintesis angiotensinogen dan
kininogen. Penurunan pemecahan renin, angiotensi II, aldosteron,
endotoksin dan vasopresin
2) Plasma
Terjadi peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, noradrenalin,
vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida
dan hormon antidiuretik. Terjadi penurunan kadar kalikrein, bradikinin
dan faktor natriuretik arterial
3) Urin dan ginjal
Terjadi peningkatan renin, angiotensin II, aldoteron, endotelin, tromboksan
A2, leukotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin
Fakta hasil studi di atas kiranya menunjukan pada SHR terjadi mekanisme
dan patogenesis vasokonstriksi ginjal yang sangat kompleks. Studi lain
menyatakan bahwa terjadi penurunan sintesis nitrit oksida yang merupakan
vasodilator kuat pada pasien sirosis dan SHR.2
3
(Dikutip dari N Engl J Med 2009;361:1279-90, Renal Failure in Cirrhosis)
Diagnosis
Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk menegakan
diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan. Diagnosis
SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria mayor.2
Kriteria mayor
1) Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan hipertensi
portal
4
2) LFG yang rendah (kreatinin serum >1.5mg/dL atau bersihan kreatinin <40
ml/menit)
3) Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat obat
nefrotoksisi (NSAID atau aminoglikosida)
4) Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (kreatinin serum <1.5mg/dL atau bersihan
kreatinin >40 ml/menit) sesudah pemberian cairan isotonis salin 1.5 liter
5) Proteinuria <500 mg/hari tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit ginjal
pada pemeriksaan USG.2
Kriteria tambahan (tidak harus ada untuk menegakan diagnosis)
1) Volume urin >500 ml/hari
2) Natrium urin <10 mEq/liter
3) Osmolaritas urin >osmolaritas plasma
4) Eritrosit urin <50/lapang pandang
5) Natrium serum <130 mEq/liter.2
Berdasarkan AASLD 2013, kriteria mayor untuk SHR adalah
1) Pasien sirosis dengan ascites
2) Kreatinin serum lebih dari 1.5 mg/dL
3) Tidak ada perbaikan dari kreatinin serum (berkurang dari 1.5 mg/dL) setelah
dua hari penghentian diuretik dan pemberian albumin (Dosis albumin yang
dianjurkan adalah 1g/kgBB/hari sampai maksimum 100g/hari)
4) Tidak ada syok
5) Tidak ada pemberian terapi dengan obat yang nefrotoksik
6) Tidak ada kelainan parenkim ginjal yang ditandai dengan proteinuria >500
mg/hari, mikrohematuria (>50 eritrosit/LPB) dan atau kelainan ginjal pada
USG.4
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan
penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis
5
SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) Pseudo-
hepatorenal syndrome. Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan
terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang
tidak mempunyai hubungan satu sama lain
Beberapa penyebab pseudohepatorenal syndrome adalah : 1) Penyakit
kongenital (misalnya penyakit polikista ginjal dan hati); 2) Penyakit metabolik
(diabetes mellitus, amyloidosis, penyakit Wilson; 3) Penyakit sistemik (SLE,
arthritis rematoid, sarkoidosis); 4) Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria,
hepatitis virus dan lain lain); 5) Gangguan sirkulasi (syok, insufisiensi jantung);
6) Intoksinasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar dan lain lain); 7)
Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin,
iproniazid); 8) Tumor (hipernefroma, metastasis).2
Manifestasi klinis
Pada pasien sirosis hati, 80% kasus SHR disertai dengan ascites, 75%
disertai ensefalopati hepatik, dan 40% disertai ikterus. Pada pasien sebelumnya
tidak pernah menderita penyakit ginjal. Faktor resiko terjadinya SHR antara lain:
kondisi malnutrisi, volume hatu yang mengecil, infeksi, perdarahan saluran cerna,
adanya varises esofagus, terapi diuretika, gangguan elektrolit, obat obatan
nefrotoksis, peningkatan tekanan intraabdominal oleh karena ascites yang masif.2
SHR secara klinis dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu:
SHR tipe 1, SHR tipe 1 merupakan manifestasi yang sangat progresif,
dimana terjadi peningkatan serum kreatinin dua kali lipat (nilai awal serum
6
kreatinin lebih dari 2.5 mg/dL) atau penurunan bersihan kreatinin 50% dari nilai
awal hingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu kurang dari 2 minggu. Prognosis
umumnya sangat buruk, yaitu sekitar 80% akan meninggal dalam 2 minggu, dan
hanya 10% yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Penyebab kematian adalah
karena gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal dan ensefalopati hepatik.2,4
SHR tipe 2. SHR tipe 2 merupakan bentuk kronis SHR, ditandai dengan
penurunan LFG yang lebih lambat. Kondisi klinis pasien biasanya lebih baik
dibanding SHR tipe 1, dengan angka harapan hidup yang lebih lama. Prognosis
SHR tipe 2 umumnya buruk, yaitu angka harapan hidup 5 bulan sekitar 50% dan 1
tahun sebesar 20%. SHR tipe 2 dapat berkembang menjadi SHR tipe 1.2,4
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama. Mengingat
SHR sebagian besar dipicu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien sirosis. Oleh karena itu penderita sirosis sangat sensitif terhadap
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari pemakaian diuretik
agresif, parasentesis asites dan restriksi cairan yang berlebihan.2 Pengukuran
dengan CVP (Central Venous Pressure) penting dan lakukan fluid challenge test
dengan pemberian NaCl 0.9% bila tersedia dapat diberikan dengan human
albumin solution (HAS).4 Terapi suportif lain berupa diet tinggi kalori dan rendah
protein, koreksi keseimbangan asam basa, hindari pemakaian NSAID. Peritonitis
bakterialis spontan pada sirosis harus segera diobat sedini dan seadequat mungkin.
7
Pencegahan ensefalopati hepatik juga harus dilakukan dalam rangka mencegah
terjadinya SHR.2 Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien
dengan SHR, namun tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan
yang cukup berat, misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis dan perdarahan saluran
cerna.2 Hemodialisa sering dilakukan untuk mengontrol gejala azotemia dan
menjaga keseimbangan elektrolit sebelum dilakukan transplantasi hati.5
Pengobatan medikamentosa. Pemberian vasodilator seperti Dopamin
secara luas digunakan untuk mengatasi vasokonstriksi ginjal, namun belum ada
bukti pemberian dopamin ini secara bermakna pada SHR.2 Sebaliknya pemberian
vasokonstriktor juga dapat digunakan. Rasionalisasi penggunaan vasokonstriktor
adalah untuk mengatasi vasodilatasi splangnik (yang merupakan salah satu
hipotesis terjadinya SHR). Pemberian vasokonstriktor akan memberikan dampak
yang positif terutama bila dikombinasi dengan pemberian infus albumin atau
koreksi albumin serum. Terlipressin merupakan vasokonstriktor yang baik pada
kasus SHR. Oktreotid merupakan vasokonstriktor alternatif bila terlipressin
belum atau tidak tersedia.2
Tindakan Invasif
Transplantasi hati. Angka harapan hidup SHR tipe 1 umumnya pendek
yaitu dari beberapa hari atau kurang dari 2 minggu, sehingga transplantasi hati
pada tipe 1 sulit dilaksanakan.2 Pada SHR tipe 2, transplantasi hati terbukti
bermanfaat pada 90% kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang
sama dengan transplantasi hati pada pasien tanpa SHR.2
TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt) TIPS dapat
8
memperbaiki perfusi ginjal dan menurunankan aktivitas aksis RAAS. Pada pasien
SHR yang tanpa transplantasi hati TIPS bermanfaat pad 75% kasus, dengan angka
ketahanan hidup SHR tipe 2 lebih baik dibandin tipe 1 (70% vs 20%).2
Extracorporeal Albumin Dyalisis. Metode ini adalah modifikasi dialisis
dengan menggunakan albumin untuk mengikat dialisat. Metode ini dikenal
sebagai MARS (Molecular Absorbent Recirculating System). Penelitian masih
dilakukan terbatas, dan pada SHR tampaknya cukup bermanfaat dan umumnya
digunakan untuk persiapan transplantasi hati.2
9
Daftar pustaka
1. Runyon BA, Sterns RH, Forman JP.Hepatorenal Syndrome. Uptodate [serial online] Version 19.3. Nov 2011 (diunduh 12 Juli 2013) Tersedia dari: URL:HYPERLINX http://www.uptodate.com/contents/hepatorenal-syndrome
2. Setiawan PB, Kusumobroto H. Sindrom Hepatorenal. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia; 2006.h.681
3. Gines P, Schrier RW.Renal Failure in Cirrhosis. N Engl J Med 2009;361:1279-90 (diunduh 12 Juli 2013). Tersedia dari: URL:HYPERLINX http:/www.njem.org
4. Sherlock S, Dooley J. Diseases of the Liver and Biliary System. [ebook] Edisi ke-11. Oxford; Blackwell Science. 2002.h.140
5. Runyon BA. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis. (diunduh 12 Juli 2013). Tersedia dari: URL:HYPERLINX http://www.aasld.org/practiceguidelines/Pages/default.aspx
10
11
12