Post on 10-Mar-2016
description
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih
elektron tak berpasangan (Fessenden & Fessenden, 1982). Elektron yang tidak
berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan
cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya
(Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas masuk kedalam tubuh manusia melalui asap
rokok, polusi udara, bahan kimia pencemar lingkungan, obat-obatan, serta makanan
olahan dengan banyak pengawet (Arista, 2013). Bahan yang dapat menghasilkan
radikal bebas, contohnya adalah Karbontetraklorida (CCl4).
Karbontetraklorida (CCl4) banyak digunakan sebagai bahan pendingin
(refrigerator) lemari es dan bahan profelan untuk kaleng aerosol. CCl4 juga
digunakan sebagai bahan pembersih untuk keperluan rumah tangga dan sebagai
pemadam api karena sifatnya yang tidak mudah terbakar. Saat ini, CCl4 masih banyak
digunakan sebagai pestisida dari golongan chloride hydrocarbon oleh petani di
Indonesia (Faridah, 2011). CCl4 masuk kedalam tubuh bisa secara inhalasi, ingesti
dan kontak langsung dengan kulit (Junieva, 2006).
Hati menjadi salah satu target perusakan karena sebagian besar zat atau bahan
yang masuk dalam tubuh dimetabolisme oleh hati termasuk CCl4 (Guyton dan Hall,
2006). CCl4 akan masuk kedalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme oleh
enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3)
dalam retikulum endoplasmik hati. Dalam endoplasmik retikulum hati CCl4
dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas
triklorometil (CCl3). CCl3 dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometil
peroxi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membrane endoplasmic reticulum
sehingga mengganggu homeostasis Ca2+
, dan akhirnya menyebabkan kematian sel
(Panjaitan et al., 2007). Salah satu pemeriksaan laboratorium pada kerusakan hati
2
adalah pemeriksaan integritas hepatosit dengan pengukuran serum yaitu enzim sitosol
sel hati Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT). (Wibowo, 2005)
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam
(Kuncahyo, 2007). Ada dua cara dalam mendapatkan antioksidan, yaitu dari luar
tubuh (eksogen) dan dalam tubuh (endogen). Antioksidan eksogen didapat dengan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan E, -karoten
maupun antioksidan sintetik seperti BHA, BHT dan TBHQ. Contoh antioksidan
endogen adalah enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH.Px)
dan katalase. Antioksidan endogen sering kali tidak mampu mengatasi stress oksidatif
yang berlebih sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya
(Hartanto, 2012).
Indonesia memiliki banyak tanaman yang diketahui memiliki aktivitas
antioksidan, salah satunya yaitu daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
Masyarakat biasa menggunakan daun katuk sebagai obat diare, demam, bisul serta
memperlancar air susu ibu (ASI)(Andari, 2010).
Daun katuk memiliki kandungan minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid,
asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid, dan tannin (Khalasa et al., 2013).
Flavonoid merupakan kandungan yang memiliki aktivitas antioksidan dalam daun
katuk, dengan jumlah sekitar 143 mg/100 gfw. Daun katuk, dengan kadar flavonoid
tersebut, adalah ekstrak yang memiliki kadar flavonoid tertinggi dari sebelas ekstrak
yang diuji dalam penelitian terdahulu (Andarwulan et al., 2010). Mekanisme kerja
flavonoid sebagai antioksidan adalah dengan cara menghelat logam dan menangkap
oksigen radikal dan radikal bebas atau sebagai scavenger, dan menghambat kerja
enzim prooksidan antara lain lipoxygenase, myeloperoxidase (Rukmiasih et al.,
2011).
Dalam penelitian tentang daun katuk terdahulu pada hewan coba yang diinduksi
paracetamol, didapatkan bahwa adanya aktivitas antioksidan. Ekstrak yang digunakan
adalah ekstrak etanol 96% daun katuk (Joniada, 2011). Penelitian lain menyebutkan
3
ekstrak etanol 80% lebih baik dalam mendukung efek antioksidan dari daun katuk
dibandingkan dengan etanol 96% (Arista, 2013).
SGPT, enzim ini mengkatalisis pemindahan satu gugus amino antara lain alanin
dan asam alfa-ketoglutarat. Terdapat banyak di hepatosit dan konsentrasinya relatif
rendah di jaringan lain. Dalam sel hati, SGPT terdapat dalam sitoplasma sehingga
memiliki sensitivitas tinggi terhadap kerusakan hati akut. SGPT lebih spesifik dari
SGOT sebagai penanda kerusakan sel hati karena kadar SGOT lebih banyak
dijaringan lain dan letak SGOT berada di mitokondria hepatosit (Haki, 2009).
Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan suatu penelitian mengenai uji
aktivitas antioksidan ekstrak etanol 80% daun katuk. Untuk mengetahui aktivitas
antioksidan tersebut digunakan parameter kadar SGPT yang merupakan indikator
terjadinya kerusakan hati.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
1. Apakah ada perbedaan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) kelompok dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan 5600
mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diinduksi CCl4?
2. Apakah ada hubungan respon dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan
5600 mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L)
Merr) dalam mencegah peningkatan kadar SGPT dari tikus putih galur
wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanol
daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan
4
kadar SGPT pada tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi
CCl4.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui perbedaan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) kelompok dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan 5600
mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diinduksi CCl4.
2. Untuk mengetahui ada hubungan respon dosis 2800 mg/kgBB, 4200
mg/kgBB dan 5600 mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan kadar SGPT dari tikus
putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat ilmiah dan manfaat praktis.
1. Manfaat Ilmiah
Secara ilmiah, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan informasi
tentang efektifitas ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dalam mencegah peningkatan kadar SGPT pada tikus putih galur wistar
(Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4. .
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat sebagai:
1. Data acuan dan informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut mengenai
efektifitas ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam
mencegah peningkatan kadar SGPT pada tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) yang diinduksi CCl4.
2. Bahan pertimbangan ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L)
Merr) menjadi bahan antioksidan di masyarakat.
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih
elektron tak berpasangan (Fessenden & Fessenden, 1982). Elektron yang tidak
berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan
cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya
(Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas mempunyai waktu paruh yang sangat pendek
dan merupakan salah satu contoh dari oksidan. Oksidan adalah bahan kimia elektrofil
yang sangat reaktif dan dapat memindahkan elektron dari molekul lain dan
menghasilkan oksidasi pada molekul tersebut (Anggraini, 2011). Radikal bebas dapat
mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi
timbulnya penyakit degeneratif (Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas masuk
kedalam tubuh manusia melalui asap rokok, polusi udara, bahan kimia pencemar
lingkungan, obat-obatan, serta makanan olahan dengan banyak pengawet (Arista,
2013).
Radikal bebas terpenting adalah kelompok oksigen reaktif (reactive
oxygenspecies/ROS). ROS merupakan senyawa yang mempunyai bentuk oksigen
reaktif baik radikal maupun non-radikal termasuk didalamnya adalah triplet (3O2),
tunggal (singlet/1O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida
(NO-), peroksi nitrit (ONOO), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2),
dan radikal peroksil (ROO.). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL3-) yang
berasal dari oksidasi radikal molekul organik, dan radikal hidrogen hasil dari
penyerangan atom H (H-) (Sholihah, 2008). Kelompok oksigen reaktif dapat dilihat
pada Tabel 2.1
6
Tabel 2.1 Kelompok Oksigen Reaktif
Kelompok oksigen reaktif
O2. Radikal Superoksida (Superoxide radical)
.OH Radikal hidroksil (Hydroxyl radical)
ROO. Radikal peroksil (Peroxyl radical)
H2O2 Hidrogen peroksida (Hydrogen peroxide)
1O2 Oksegen tunggal (Singlet oxygen)
NO. Nitrit oksida (Nitric oxide)
ONOO Nitrit peroksida (Peroxynitrite)
HOCl Asam hipoklor (Hypochlorous acid)
Sumber: (Sholihah, 2008).
Dari beberapa ROS tersebut, yang termasuk tipe radikal bebas adalah Radikal
Superoksida, Radikal hidroksil, Radikal peroksil dan Nitrit oksida.
2.1.1 Reaksi Perusakan
Kerusakan molekul lemak karena rentan terhadap radikal bebas terjadi pada
proses berikut; (1) Kerusakan DNA, kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi berantai,
biasanya kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat
diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat
menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis. (2)
Kerusakan protein, dimana protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal
bebas daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali
bila sangat ekstensif. (3) Peroksidasi lipid, dimana terjadi kerusakan pada membran
sel yang kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA), yang mudah dirusak
oleh bahan-bahan pengoksidasi (Panjaitan et al., 2008). Efek merusak tersebut akibat
produksi radikal bebas (ROO, RO, OH) pada proses pembentukan peroksida dari
asam lemak. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang memberikan pasokan
radikal bebas secara terus-menerus yang menginisiasi peroksidasi lebih lanjut (Pazil,
7
2009). Proses peroksidasi lipid meliputi tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan
terminasi.
Inisiasi adalah tahap dimana pembentukan awal radikal-radikal bebas.
Propagasi merupakan tahap dimana radikal bebas yang sudah terbentuk akan
mengalami sederetan reaksi untuk membentuk radikal bebas yang baru. Terminasi
merupakan tahap akhir dan pemutus dari tahap propagasi. Semua reaksi yang
memusnahkan atau mengubah radikal bebas menjadi stabil dan tidak reaktif disebut
tahap terminasi (Fessenden & Fessenden, 1982).
2.1.2 Kerusakan Sel Hati Akibat Obat dan Bahan Kimia
Kerusakan sel hati karena radikal bebas dapat disebabkan oleh berbagai macam
zat, baik itu obat atau bahan kimia. Pada kerusakan yang disebabkan obat, kerusakan
sel hati dapat terjadi dalam berbagai macam mekanisme Ada 3 jenis mekanisme,
yaitu kerusakan bergantung dosis (dose-dependent toxicity), kerusakan idiosinkratik
(idiosyncratic toxicity), dan alergi obat (drug allergy). Kerusakan sel hati tergantung
dosis cukup sering terjadi dan dapat karena dosis obat terlalu tinggi. Kerusakan
idiosinkratik ditemukan pada orang yang mewarisi gen spesifik yang mengontrol
perubahan senyawa kimia obat tertentu dan mengakibatkan akumulasi obat tersebut
atau produk metabolitnya yang berbahaya bagi hati. Resiko kerusakan idiosinkrasi
rendah, namun jenis ini yang umum terjadi karena banyaknya pemakaian obat dan
penggunaan beberapa macam obat. kerusakan idiosinkrasi sulit dideteksi dalam uji
klinis awal yang biasanya melibatkan paling banyak beberapa ribu pasien. Alergi obat
juga dapat menyebabkan kerusakan sel hati, meskipun jarang. Pada alergi obat, hati
mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel imun tubuh
terhadap obat. Gangguan fungsi hati akibat obat berupa kerusakan hepatoseluler dan
kolestasis parah bahkan berakibat fatal. Mekanisme kerusakannya disebabkan
langsung atau reaksi hipersensitivitas sekunder (dimediasi sistem imun) (Rianyta,
2013).
8
Kerusakan sel hati karena bahan kimia yang sering terjadi adalah kerusakan
akibat pemakaian etanol. Etanol atau disebut juga sebagai etil alkohol merupakan
senyawa kimia yang penggunaannya sering digunakan pada kehidupan sehari-hari,
sebagai bahan farmako kinetik maupun sebagai bahan minuman yang dikenal dengan
minuman beralkohol. Penggunaan etanol yang berlebihan atau dalam jangka waktu
yang panjang dapat menyebabkan kerusakan pada hati, karena metabolisme etanol
sebagian besar terjadi didalam hepar. Kerusakan akibat etanol dapat menyebabkan
degenerasi pada sel hepar, steatosis sampai nekrosis. Etanol dapat menimbulkan
kerusakan pada hepar disebabkan karenaradikal bebas, asetaldehid dan rasio NAD :
NADH. Metabolisme etanol di dalamsel hepar menyebabkan peningkatan produksi
radikal bebas dengan berbagaimekanisme sehingga terjadi stres oksidatif yang akan
merusak jaringan hati (Nabila, 2011).
2.2 Karbontetraklorida (CCl4)
Karbontetraklorida (CCl4) adalah produk hasil karbon disulfida atau reaksi dari
disulfida dengan sulfur monoklorida. CCl4 tidak dapat larut dalam air namun dapat
larut dalam alkohol, kloroform, ether, dan minyak volatil. CCl4 cair berwarna jernih
dan mudah menguap sehingga jarang ditemukan dalam bentuk cair. Sebagian besar
CCl4 di lingkungan dapat ditemukan dalam bentuk gas, hanya sedikit yang terlarut
dalam air. Sifatnya stabil, meskipun dapat diuraikan oleh reaksi kimia untuk
mencapai kadar separuhnya. Pada rentang tahun 1980-1990 diperkirakan kadar CCl4
di atmosfer mencapai 0,5-1 mg/m3. Karbon tetraclorida menyebabkan kerusakan
lapisan ozon dan pemanasan global (Faridah, 2011).
2.2.1 Penggunaan CCl4 dan Cara Masuk CCl4 Kedalam Tubuh
CCl4 banyak digunakan sebagai bahan pendingin (refrigerator) lemari es dan
bahan profelan untuk kaleng aerosol. CCl4 juga digunakan sebagai bahan pembersih
untuk keperluan rumah tangga dan sebagai pemadam api karena sifatnya yang tidak
mudah terbakar. Saat ini, karbon tetraclorida masih banyak digunakan sebagai
9
pestisida dari golongan chloride hydrocarbon oleh petani di Indonesia. Sumber
radikal bebas yang dihasilkan dari luar yang dapat menimbulkan stress oksidatif
adalah senyawa toksik seperti karbon tetraklorida (CCl4) (Faridah, 2011). CCl4 masuk
kedalam tubuh bisa secara inhalasi, ingesti dan kontak langsung dengan kulit
(Junieva, 2006).
2.2.2 Metabolisme CCl4
CCl4 akan masuk kedalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme oleh
enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3)
dalam retikulum endoplasmik hati. Triklorometil dengan oksigen akan membentuk
radikal triklorometil peroksi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membran
retikulum endoplasmik dan menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu
homeostasis Ca2+
dan akhirnya menyebabkan kematian sel (Panjaitan et al., 2007).
2.2.3 Kerusakan Hati Akibat Karbon Tetraklorida (CCl4)
Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai panjang tak
jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas. Jumlah PUFAs dalam fosfolipid
membran retikulum endoplasmik akan berkurang sebanding dengan jumlah CCl4
yang diinduksikan. Pemberian CCl4 dalam dosis tinggi dapat merusak retikulum
endoplasmik, mengakumulasi lipid, mengurangi sintesis protein, mengacaukan proses
oksidasi, menurunkan berat badan, menyebabkan pembengkakan hati sehingga berat
hati menjadi bertambah, dan pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis
sentrilobular serta degenerasi lemak di hati (Panjaitan et al., 2007).
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam.
Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini semakin meluas seiring
dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam
10
menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis, kanker,
serta gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan
untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas
reaktif yang menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas (Kuncahyo, 2007).
Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil
terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses
kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri
makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta
mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Peroksidasi lipid merupakan salah
satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan
pengolahan makanan. Antioksidan tidak hanya digunakan dalam industri farmasi,
tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum,
industri karet, dan sebagainya (Kuncahyo, 2007).
Antioksidan memberikan perlindungan pada hati secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, antioksidan melindungi sel hati dari gangguan radikal
bebas dengan mekanisme menghambat oksidasi radikal bebas. Secara tidak langsung,
antioksidan menjaga fungsi hati dengan menetralisir radikal bebas yang dapat
mengganggu fungsi hati misalnya dengan menetralisir radikal bebas yang dapat
menghambat laju asupan nutrisi dan mineral yang dibutuhkan hati untuk
kelangsungan fungsi hati. (Joniada, 2011)
2.3.1 Jenis Antioksidan
Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim
meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Px).
Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan enzim.
Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam
askorbat (vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan. (Kuncahyo,
2007).
11
Berdasarkan mekanismenya, Antioksidan dibagi menjadi lima yaitu
Antioksidan primer, antioksidan sekunder, antioksidan tersier, oxygen scavenger dan
Chelators/Sequesstrants. Antioksidan primer mengikuti mekanisme pemutusan rantai
reaksi radikal dengan mendonorkan atom hidrogen secara cepat pada suatu lipid yang
radikal, produk yang dihasilkan lebih stabil dari produk inisial. Contohnya flavonoid,
tokoferol, senyawa thiol, yang dapat memutus rantai reaksi propagasi dengan
menyumbang elektron pada peroksi radikal dalam asam lemak. Antioksidan sekunder
dapat menghilangkan penginisiasi oksigen maupun nitrogen radikal atau bereaksi
dengan komponen atau enzim yang menginisiasi reaksi radikal antara lain dengan
menghambat enzim pengoksidasi dan menginisiasi enzim pereduksi atau mereduksi
oksigen tanpa membentuk spesies radikal yang reaktif. Contohnya adalah sulfit,
vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin dan albumin. Antioksidan tersier
merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel jaringan yang rusak karena serangan
radikal bebas. Contohnya adalah metionin sulfoksidan reduktase yang dapat
memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA
pada penderita kanker. Oxygen Scavenger bekerja dengan mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung oksidasi. Chelators/Sequesstrants berkerja dengan cara mengikat
logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi seperti asam sitrat dan asam amino.
(Joniada, 2011)
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi dua yaitu antioksidan
eksogen dan endogen. Antioksidan eksogen didapat dengan mengkonsumsi makanan
dan minuman yang mengandung vitamin C dan E, -karoten maupun antioksidan
sintetik seperti BHA, BHT dan TBHQ. Antioksidan endogen adalah enzim
superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH.Px) dan katalase.
Antioksidan endogen seringkali tidak mampu mengatasi stres oksidatif yang berlebih
sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya (Hartanto, 2012).
12
2.4 Vitamin E
Vitamin E adalah vitamin yang larut lemak dan dibutuhkan tubuh. Vitamin E
dapat disimpan didalam tubuh sehingga tidak harus dikonsumsi setiap hari. Vitamin E
biasanya dicerna bersama makan yang mengandung lemak. Makanan yang
mengandung vitamin E diantaranya adalah minyak zaitun, kacang, kuning telur,
margarin, soya, keju dan sayuran hijau (Colombo, 2010).
Vitamin E berfungsi melindungi asam-asam lemak dari oksidasi dengan cara
menangkap radikal-radikal bebas. Radikal vitamin E bersifat stabil dan tidak bereaksi
dengan asam-asam lemak PUFA. Dari penelitian yang dilakukan secara in vitro
diperoleh informasi bahwa antara vitamin E terdapat interaksi yang bersifat
senergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin E berperan sebagai
antioksidan lipofilik. Vitamin E dalam pakan akan dideposit ke dalam daging
banyaknya Vitamin E yang dideposit (mg/kg) tergantung pada dosis vitamin E dalam
pakan dan lamanya pemberian (Rukmiasih et al., 2011)
2.5 Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
Indonesia memiliki banyak tanaman yang diketahui memiliki aktivitas
antioksidan, salah satunya yaitu daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
Masyarakat biasa menggunakan daun katu sebagai obat diare, demam, bisul serta
memperlancar air susu ibu (ASI)(Andari, 2010).
Klasifikasi katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynus (L.) Merr
13
Katuk berdasarkan penamaan ilmiah berarti Sauropus androgynus (L.) Merr
dan memiliki sinonim Sauropus albicus Bl., S. indicus Wight., S. sumatranus Miq.
Katuk memiliki beberapa nama daerah yaitu Memata (bahasa Melayu), katuk
(Sunda), kebing dan katukan (Jawa), karekur (Madura), simani (Minangkabau)
(Yuniarty, 2011).
Katuk diduga berasal dari India, kemudian menyebar ke Malaysia, Indonesia
dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah
berketinggian 8 m sampai 1300 m di atas permukaan laut, tetapi tumbuh paling baik
di daerah berhawa sejuk dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi (Wijono,
2003).
Gambar 2.1 Tanaman Katuk (Manik, 2011)
Tanaman katuk tumbuh menahun, berbentuk semak perdu dengan ketinggian
antara 2,5 m 5 m. Tanaman katu terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan
biji. Sistem perakarannya menyebar ke segala arah dan dapat mencapai kedalaman
antara 30-50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Tanaman katuk
mempunyai daun majemuk genap, berukuran kecil, berbentuk bulat seperti daun
kelor. Permukaan atas daun berwarna hijau gelap, sedangkan permukaan bawah daun
berwarna hijau muda. Produk utama tanaman katuk berupa daun yang masih muda.
Daun katuk sangat potensial sebagai sumber gizi karena memiliki kandungan gizi
yang setara dengan daun singkong, daun papaya, dan sayuran lainnya (Manik, 2011).
14
2.5.1 Morfologi Katuk
Tanaman katuk memiliki karakteristik antara lain : bentuk tanaman seperti
semak kecil dan bisa mencapai tinggi 3 m, batang muda berwarna hijau dan yang tua
berwarna coklat, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, seolah-olah terdiri
dari daun majemuk. Bentuk helaian daun lonjong sampai bundar, kadang-kadang
permukaan atasnya berwarna hijau gelap. Bunganya tunggal atau terdapat diantara
satu daun dengan daun lainnya. Bunga sempurna mempunyai helaian kelopak
berbentuk bulat telur sungsang atau bundar, berwarna merah gelap atau merah dengan
bintik-bintik kuning. Cabang dari tangkai putik berwarna merah, tepi kelopak bunga
berombak atau berkuncup enam, berbunga sepanjang tahun (Gaol, 2011).
2.5.2 Efektifitas Daun Katuk sebagai Antioksidan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Joniada yang berjudul Pengaruh
Pemberian Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus androgynous L) Sebagai
Hepatoprotektor pada Mencit yang Diinduksi Paracetamol, dosis ekstrak etanol daun
katuk dibagi menjadi tiga dosis yaitu 400, 600, dan 800 mg/kgBB. Perlakuan tersebut
diberikan selama tujuh hari dan pada hari kedelapan dilakukan pembedahan dan
pengambilan darah dari ventrikel kanan. Ketiga dosis tersebut dapat mencegah
peningkatan dari SGOT dan SGPT dari mencit yang diinduksi paracetamol (Joniada,
2011).
2.5.3 Ekstrak Etanol 80% Daun Katuk
Ekstrak daun katuk yang digunakan merupakan sediaan yang dibuat dengan
mengekstraksi daun katuk dengan menggunakan pelarut etanol 80% sebanyak 800 ml
dengan metode maserasi, lalu pelarutnya diuapkan. Etanol 80% dipilih sebagai
pelarut dikarenakan etanol 80% memiliki nilai EC50 lebih rendah jika dibandingkan
dengan etanol 96%. Menurut Arista (2013), ekstrak etanol 80% daun katuk lebih baik
sebagai pengikat radikal bebas dibandingkan dengan ekstrak etanol 96% daun katuk.
15
Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan senyawa yang berperan sebagai antioksidan
lebih bersifat polar dan lebih banyak terekstrak pada etanol 80% (Arista, 2013)
2.5.4 Kandungan Gizi Katuk
Katuk memiliki banyak kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh.
Kandungan gizi katuk dapat dilihat pada Tabel 2.1. Flavonoid merupakan kandungan
yang memiliki aktivitas antioksidan dalam daun katuk, dengan jumlah sekitar 143
mg/100 g fw. Daun katuk, dengan kadar flavonoid tersebut, adalah ekstrak yang
memiliki kadar flavonoid tertinggi dari sebelas ekstrak yang diuji dalam penelitian
terdahulu.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Katu per 100 mg
No. Komponen gizi (satuan) Jumlah
1. Kalori (kal) 59
2. Protein (g) 4,8
3. Lemak (g) 1,0
4. Karbohidrat (g) 11,0
5. Kalsium (g) 204
6. Fosfor (g) 83
7. Besi (mg) 2,7
8. -karoten (g) 10370
9. Thiamin (mg) 0,10
10. Asam askorbat (mg) 239
11. Air (%) 81
13. Flavonoid (mg/100 g fw) 1436
Sumber: (Joniada, 2011 dan Andarwulan et al., 2010)
2.6 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang
paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam
16
golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka flavonoid
terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa
heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan
dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran
digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya. Berbagai jenis
senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu
kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran dan buah, telah
banyak dipublikasikan (Redha, 2010 dan Joniada, 2011).
2.6.1 Mekanisme Kerja Flavonoid
Flavonoid adalah antioksidan kuat terhadap radikal bebas sebagai radikal bebas
scavengers. Aktivitas ini didukung dengan kemampuan menyumbang hidrogen
flavonoid. Kelompok phenolik dari flavonoid merupakan sumber atom hidrogen yang
dapat melokalisasi pembentukan radikal. Aktivitas pengikatan radikal bebas dapat
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.2 Aktivitas Pengikatan Radikal Bebas (Sandhar et al., 2011)
Gambar tersebut menjelaskan flavonoid (F-OH) dapat mendonorkan atom
hidrogennya untuk mengikat radikal bebas (R.). Aktivitas ini juga terjadi pada proses
pencegahan peroksidasi lipid. Flavonoid menyumbangkan atom hidrogen kepada
peroksi radikal untuk memotong rantai reaksi radikal (Sandhar et al., 2011).
2.6.2 Flavonoid dalam Daun Katuk
Flavonoid terdiri atas banyak golongan yang mempunyai aktivitas antioksidan.
Golongan tersebut terdiri atas flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dll. Kandungan
flavonoid dalam daun katuk adalah sebesar 1436 mg/100 g fw (Andarwulan et al.,
2010). Senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun katuk diketahui ada enam
jenis. Salah satunya adalah rutin dan lima yang lain adalah senyawa flavonol dan
F-OH + R. F-O
. + RH
17
flavon. Rutin dan flavonol merupakan antioksidan kuat terhadap peroksidasi lipid
(Sandhar et al., 2011; Redha, 2010 dan Wijono, 2003).
2.6.3 Lethal Dose 50 (LD50) Daun Katuk
Nilai LD50 adalah besarnya dosis dalam satu kali pemberian yang dapat
menyebabkan kematian sebanyak 50% dari jumlah hewan dalam satu kelompok.
LD50 merupakan salah satu cara untuk mengukur potensi toksisitas akut suatu
senyawa. Semakin rendah nilai LD50 maka semakin toksik senyawa tersebut dan juga
sebaliknya. Klasifikasi toksisitas akut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi Toksisitas Akut
No. Kelas Dosis (mg/KgBB)
1 Luar biasa toksik 1 atau kurang
2 Sangat toksik 1-50
3 Cukup toksik 50-500
4 Sedikit toksik 500-5000
5 Praktis tidak toksik 5000-15000
6 Relative kurang berbahaya Lebih dari 15000
Sumber: (Wisnuaji, 2012)
Berdasarkan penelitian Wisnuaji yang berjudul Identifikasi Efek Toksik Akut
Jus Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) pada Hepar Tikus Galur Wistar
disimpulkan bahwa nilai LD50 jus daun katuk pada tikus betina galur wistar adalah
>5000 mg/KgBB sehingga jus daun katuk tergolong praktis tidak toksik pada uji
toksisitas akut (Wisnuaji, 2012).
2.7 Organ Hati
Hati merupakan organ terbesar tubuh, menyumbang sekitar 2 persen berat
tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Hampir semua zat
yang masuk dalam tubuh dimetabolisme oleh hati. Organ ini memiliki banyak fungsi
18
dan berbagai fungsinya tersebut saling berhubungan satu sama lain (Guyton dan Hall,
2006).
2.7.1 Anatomi dan Fungsi Hati
Posisi terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Sebagian
besar posisi hati terdapat pada daerah hipokondrium kanan dan memanjang ke daerah
epigastrium. Hati terdiri dari dua lobus besar, kanan dan kiri, lobus kanan lebih besar
dari lobus kiri. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang intercostal V kanan dan
batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).
Fungsi utama hati adalah pembentukan dan eksresi empedu. Hati
mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari kedalam usus halus. Unsur utama
empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Hati juga memliki peran dalam
fungsi metabolisme tubuh. Hati dapat memetabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
Hati merupakan komponen sentral imun. Sel kupffer merupakan sel yang sangat
penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit (Joniada, 2011).
2.7.2 Enzimatik Hati
Didalam hati banyak terdapat enzim yang memiliki peran berbeda. Enzim-
enzim tersebut antara lain SGPT, SGOT, Laktat Dehidrogenase (LDH), Alkali
Fosfatase (ALP) dan gamma GT. SGOT berfungsi sebagai katalisator reaksi antara
asam aspartat dan asam alfa-ketoglutarat. SGOT terdapat lebih banyak di jantung
dibandingkan di hati. Enzim ini juga terdapat di otot rangka, otak dan ginjal.
Meningkat tajam ketika terjadi perubahan infark miokardium. SGOT banyak terdapat
dalam mitokondria dan sitoplasma hati, karena itu SGOT kurang spesifik untuk
pemeriksaan kerusakan hati akut (Haki, 2009). LDH adalah enzim intraseluler yang
terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi
dijumpai di jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel darah merah. ALP
19
merupakan enzim yang berperan dalam mempercepat hidrolisis fosfat organik dengan
melepaskan fosfat anorganik. Enzim ini terdapat dalam banyak jaringan, terutama di
hati, tulang, mukosa usus, dan plasenta (Panjaitan, 2007). Gamma GT merupakan
enzim mikrosomal yang tersebar diberbagai jaringan yang umumnya sering
digunakan sebagai penanda kolestasis. SGPT, enzim ini mengkatalisis pemindahan
satu gugus amino antara lain alanin dan asam alfa-ketoglutarat. Terdapat banyak di
hepatosit dan konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain. Dalam sel hati, SGPT
terdapat dalam sitoplasma sehingga memiliki sensitivitas tinggi terhadap kerusakan
hati akut. (Haki, 2009).
2.8 Diagnosis Enzimatik Hati
Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, untuk
pemeriksaan kerusakan sel yaitu SGPT dan SGOT. Kedua, untuk pemeriksaan
kolestasis yaitu gamma GT dan ALP. Untuk peningkatan kadar ALP, agar didapatkan
hasil yang lebih spesifik maka digunakan pemeriksaan tambahan yaitu uji 5
nukleotidase (5NT). Ketiga, untuk pemeriksaan kapasitas sintesis hati yaitu
kolinesterase. Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis ada banyak, contohnya
bilirubin dan galaktosa untuk uji fungsi ekskresi dan metabolisme (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009). Penanda akut dari hepatotoksik
adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum alanine
aminotransferase/Serum glutamate pyruvate transaminase (ALT/ SGPT). World
Health Organization mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi. Grade I
ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25-2,5 normal, grade II SGPT meningkat 2,6-
5 normal, grade III SGPT meningkat 5,1-10 normal dan grade IV bila SGPT
meningkat > 10 normal (Prihatni, 2004). Dalam keadaan hepatitis akut, kadar SGPT
bias naik sampai 20-50 normal, sedangkan pada keadaan pada hepatitis kronik naik
2-3 normal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009). Rasio
Deritis merupakan nilai perbandingan antara SGOT dan SGPT. Rasio Deritis banyak
digunakan sebagai penentu jenis hepatitis. Dalam keadaan normal, rasio Deritis selalu
20
bernilai
21
Keterangan :
: merangsang
: mencegah
Kerangka konseptual pada Gambar 2.3 menjelaskan bahwa CCl4 akan masuk ke
dalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme dalam retikulum endoplamik hati
oleh sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) menjadi bentuk radikal bebas triklorometil
(CCl3). Selanjutnya CCl3
akan bergabung dengan Oksigen dan membentuk radikal
triklorometil peroksi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membran retikulum
endoplasmik dan menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis
Ca2+
dan akhirnya menyebabkan kematian sel hati. Kerusakan sel-sel hati
menyebabkan menyebabkan enzim-enzim hati (SGPT) keluar ke ekstrasel dan
meningkat di sirkulasi. Kandungan ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus
(L) Merr), flavonoid, berperan sebagai antioksidan (radikal bebas scavenger) akan
mendonorkan atom Hidrogen (H) untuk mengikat radikal bebas (CCl3O2) dan
memotong rantai radikal. Aktivitas tersebut akan mencegah kerusakan sel-sel hati
sehingga diharapkan mampu mencegah peningkatan kadar SGPT.
2.10 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah
1. Terdapat perbedaan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) kelompok dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan 5600
mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diinduksi CCl4.
2. Terdapat hubungan respon dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan 5600
mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dalam mencegah peningkatan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar
(Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4.
22
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui
suatu gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu.
Jenis penelitian eksperimental yang digunakan adalah True Experimental. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah Posttest Only Control Group Design
(Notoadmodjo, 2002).
3.2 Rancangan penelitian
Rancangan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan :
Po : populasi normal diet.
R : randomisasi
S : sampel normal diet
R
Adaptasi
7 hari
Perlakuan
7 hari
Induksi CCl4
Hari ke 8
Pengambilan serum
Hari ke 9
Na-CMC
Na-CMC
p.o vit E
p.o I
p.o II
p.o III
-
i.p CCL4
i.p CCL4
i.p CCL4
i.p CCL4
i.p CCL4 P3
P2
P1
K(+)
K(-)
K(N)
Po S
T6
T5
T4
T3
T2
T1
23
K (N) : kontrol dengan pemberian Na-CMC 1 % 3 ml
K (-) : kelompok kontrol negatif dengan pemberian Na-CMC 1 % 3 ml dan
CCl4 1 ml/kgBB
K (+) : kelompok kontrol positif dengan pemberian vitamin E 7 mg/200
g/bb/haridan CCl41 ml/kgBB
P1 : kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun
katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 2800 mg/kgBB dan
CCl4 1 ml/kgBB
P2 : kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun
katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 4200 mg/kgBB dan
CCl4 1 ml/kgBB
P3 : kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun
katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 5600 mg/kgBB dan
CCl4 1 ml/kgBB
Na-CMC : Perlakuan dengan pemberian Na-CMC 1% 3 ml per oral selama 7
hari
p.o. vit. E : Perlakuan dengan pemberian vitamin E 7 mg/200 g/bb/hari per
oral selama 7 hari
p.o. I : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 2800 mg/kg BB per oral
selama 7 hari
p.o. II : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun katu
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 4200 mg/kg BB per oral
selama 7 hari
p.o. III : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol daun katu
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 5600 mg/kg BB per oral
selama 7 hari
i.p CCL4 : Induksi kelompok kontrol negatif dengan CCl4 1 ml/kgBB secara
intraperitoneal pada hari ke 8
24
T1-6 : Pembedahan tikus dan pengambilan serum 3 ml dari ventrikel kanan
pada hari ke-9
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah Rattus novergicus Wistar Jantan yang
diperoleh dari peternak tikus yang ada di Malang.
3.3.2 Sampel
Pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan eksklusi yang bertujuan untuk
membuat homogen sampel yang akan digunakan. Kriteria inklusi sampel penelitian
adalah sebagai berikut:
a. Rattus Novergicus galur wistar jantan.
b. Sehat (bergerak aktif).
c. Umur 2 bulan.
d. Berat 150-200 gram.
Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian adalah tikus yang sakit, yang
mati dalam proses penelitian.
3.3.3 Jumlah Sampel
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling yang
kemudian dibagi menjadi 6 kelompok. Penelitian eksperimen dengan rancangan acak
lengkap, acak kelompok atau faktorial secara sederhana untuk estimasi jumlah
pengulangan atau besar sampel dalam penelitian ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Federer sebagai berikut:
(t-1) (n-1) 15
(6-1) (n-1) 15
5(n-1) 15
5n-5 15
5n 20
n 4
25
Keterangan :
n : jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t : jumlah kelompok perlakuan
Besar sampel yang dibutuhkan berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas
minimal sebanyak 4 ekor tikus masing-masing kelompok. Dalam penelitian ini
jumlah sampel yang digunakan untuk 6 kelompok adalah 24 ekor tikus.
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember untuk perawatan tikus, penyondean ekstrak daun katuk dan pembedahan
tikus. Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jember untuk
pembuatan ekstrak daun katuk. Laboratorium swasta di Jember untuk uji pengukuran
kadar enzim SGPT. Penelitian ini dilakukan bulan September 2014.
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr).
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar SGPT tikus putih galur wistar
(Rattus novergicus).
3.5.3 Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah:
a. Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba
b. Lama perlakuan hewan coba
c. Dosis dan frekuensi pemberian CCl4
d. Frekuensi pemberian ekstak daun katuk
26
3.6 Definisi Operasional
3.6.1 Ekstrak Etanol 80% Daun Katuk
Daun katuk yang digunakan adalah daun katuk yang segar. Daun katuk segar
dicuci bersih dengan air, dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tanpa terkena
sinar matahari langsung). Daun katuk yang sudah kering kemudian dihaluskan
menggunakan blender hingga menjadi serbuk, ditimbang kemudian diayak
menggunakan mesh 30 hingga diperoleh serbuk halus. Serbuk daun katuk yang telah
dikeringkan dan dihaluskan dimaserasi kinetik selama 1 jam dengan menggunakan
peralut etanol 80 % sebanyak 800 ml, didiamkan semalam kemudian disaring dan
dipisahkan ampas dan filtratnya. Dari filtrat yang didapat dikumpulkan dan campuran
ekstrak tersebut dipekatkan dengan rotatory evaporator dan diuapkan di atas
waterbash 0 sampai didapatkan bobot konstan (Arista, 2013). Ekstrak daun katuk
dalam bentuk serbuk dilarutkan dengan Na-CMC lalu diinduksi setiap hari selama 7
hari secara peroral.
3.6.2 Natrium Karboksi Methyl Selulosa (Na-CMC)
Natrium Karboksi Methyl Selulosa (Na-CMC) adalah bahan kimia yang umum
digunakan sebagai formula obat-obatan baik secara oral maupun topikal. Untuk bahan
bentuk serbuk, Na-CMC banyak digunakan sebagai pelarut untuk mendukung
penggunaan obat yang dalam penelitian ini sebagai pembantu absorbsi ekstrak
ethanol daun katu (Rowe et al., 2009).
3.6.3 Dosis CCl4
Dosis larutan CCl4 yang digunakan adalah 1 ml/kgBB hanya diberikan 1 kali
selama percobaan yaitu diberikan pada hari ke-7 setelah pemberian proteksi ekstrak
daun katuk selama 7 hari. Pemberian dosis larutan CCl4 1 mg/KgBB karena dengan
dosis tersebut dalam 24 jam mampu merusak membran sel dan komponen intrasel
hati (Panjaitan et al., 2007).
27
3.6.4 Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) merupakan enzim yang banyak
ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler.
Pemeriksaan kadar SGPT menggunakan darah yang dibutuhkan sebanyak 3 ml yang
diambil ventrikel kanan jantung tikus. Serum 0,1 ml akan direaksikan dengan 1 ml
Working Reagent (ALT Buffer 25 ml + ALT Enzyme 5 ml). Kemudian absorbansi
akan dibaca dan direkam pada dalam waktu 1, 2 dan 3 menit. Kemudian rata-rata
absorbansi (A/min) dikali dengan faktor 17 8 atau 337 untuk mendapatkan nilai
dalam U/L.
3.6.5 Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus galur wistar
berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak aktif), berbulu putih dengan berat badan
berkisar 150-200 gram dan usia berkisar 2bulan.
3.7 Alat dan Bahan
3.7.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alat untuk pemeliharaan tikus adalah bak plastik ukuran 30 cm x 15 cm,
penutup kawat berukuran 30 cm x 15 cm, botol air,dan label.
b. Alat untuk pembuatan ekstrak daun katuk adalah blender, ayakan 30 mesh,
timbangan, pengaduk, rotary evaporator dan waterbash.
c. Alat yang digunakan untuk menyonde tikus adalah handscoone, masker,
beeker glass, pengaduk dan spuit sonde.
d. Alat yang digunakan untuk pengambilan darah tikus adalah spuit.
3.7.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
28
a. Bahan untuk pemeliharaan tikus adalah makanan standar, minuman dan
sekam.
b. Bahan untuk pembuatan ekstrak daun katuk adalah daun katuk segar, air,
etanol 80% dan Na-CMC.
c. Bahan untuk menyonde tikus adalah vitamin E, CCl4 dan ekstrak daun
katuk.
d. Tikus wistar jantan
3.8 Prosedur Kerja
3.8.1 Pemilihan Tikus Wistar Jantan
Jumlah hewan coba adalah 24 ekor tikus wistar dibagi menjadi 6 kelompok
dengan kriteria: berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak aktif), berbulu putih
dengan berat badan berkisar 150-200 gram dan usia berkisar 2 bulan.
3.8.2 Persiapan Tikus Wistar Jantan
Sebelum perlakuan, tikus diadaptasi pada kondisi laboratorium selama 7 hari
dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru. Selama adaptasi tikus
diletakkan di kandang dan diberi makanan standar dan diberi minuman ad libitum.
3.8.3 Pembagian Kelompok Perlakuan
Jumlah kelompok pada penelitian ini adalah 6 kelompok sehingga tikus wistar
jantan dibagi menjadi 6 kelompok :
a. Kelompok K(N) : Pemberian Na-CMC 1 % 3 ml
b. Kelompok K(-) : Pemberian Na-CMC 1 % 3 ml dan CCl4 1 ml/kgBB
c. Kelompok K(+) : Pemberian Vitamin E 7 mg/200g/bb/hari+ CCl4 1
ml/kgBb
d. Kelompok P1 : Pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L)
Merr) dosis 2800 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB
29
e. Kelompok P2 : Pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L)
Merr) dosis 4200 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB
f. Kelompok P3 : Pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L)
Merr) dosis 5600 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB
3.8.4 Pembuatan Ekstrak Daun Katuk
Daun katuk segar dicuci bersih dengan air, dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan (tanpa terkena sinar matahari langsung). Daun katuk yang sudah kering
kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk, ditimbang
kemudian diayak menggunakan mesh 30 hingga diperoleh serbuk halus. 100 gram
serbuk daun katuk yang telah dikeringkan dan dihaluskan dimaserasi kinetik selama 1
jam dengan menggunakan peralut etanol 80 % sebanyak 800 ml, didiamkan semalam
kemudian disaring dan dipisahkan ampas dan filtratnya. Pada ampas dilakukan
maserasi kinetik ulang (maserasi kinetik ulang dilakukan 3 kali). Cara maserasi
kinetik dilakukan dengan cara merendam simplisia dengan etanol kemudian diaduk
secara terus-menerus. Dari filtrat yang didapat dikumpulkan dan campuran ekstrak
tersebut dipekatkan dengan rotatory evaporator dan diuapkan di atas waterbash 0
sampai didapatkan bobot konstan (Arista, 2013).
3.8.5 Dosis Vitamin E
Beradasarkan penelitian terdahulu, dosis vitamin E sebesar 7 mg/200 g/bb/hari
pada tikus dapat digunakan sebagai antioksidan (Suarsana, 2011).
3.8.6 Penginduksian CCl4
Masing-masing tikus pada kelompok (-),(+),(P1),(P2) dan (P3) diberi CCl4
secara intraperitoneal dengan dosis 1 mg/KgBB.CCl4 hanya diberikan 1 kali selama
percobaan yaitu pada hari ke-8. Pengamatan dilakukan sampai dengan 24 jam setelah
pemberian. Selanjutkan dilakukan pengukuran terhadap kadar SGPT (Panjaitan et al.,
2007).
30
3.8.7 Pemeriksaan SGPT
Pemeriksaan SGPT dilakukan di Laboratorium Klinik Piramida dengan
menggunakan metode kinetik rekomendasi dari International Federation of Clinical
Chemistry (IFCC). Sampel yang digunakan yaitu (1) Serum, (2) Plasma: Li-heparin
atau K2-EDTA plasma.
3.8.8 Perlakuan Hewan Coba
Sejumlah 24 ekor tikus ditempatkan di dalam kandang dengan diberi makan
standart dan minuman.Setelah tikus diadaptasikan selama 1 minggu, tikus dibagi
menjadi 6 kelompok terdiri dari 4 ekor tikus yang dipilih secara acak. Tikus-tikus
tersebut diberi perlakuan selama 8 hari dengan perlakuan sebagai berikut:
a. Kelompok K(N) : tikus diberi Na-CMC 1% 3 ml selama 7 hari
b. Kelompok K(-) : tikus diberi Na-CMC 3 ml selama 7 hari dan diberi CCl4 1
ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8
c. Kelompok K(+) : tikus diberi Vitamin E 7 mg/200g/bb/hari selama 7 hari dan
diberi CCl4 1 ml/kgBb secara intraperitoneal pada hari ke-8
d. Kelompok P1 : tikus diberi ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)
Merr) dosis 2800 mg/ kgBB dan diberi CCl4 1 ml/kgBB
intraperitoneal pada hari ke-8
e. Kelompok P2 : tikus diberi ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)
Merr) dosis 4200 mg/kgBB selama 7 hari dan diberi CCl4
1ml/kgBBsecara intraperitoneal pada hari ke-8
f. Kelompok P3 : tikus ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L) Merr)
dosis 5600 mg/ kg BB selama 7 hari dan diberi CCl4
1 ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8
Pada hari ke-9 seluruh tikus kemudian diambil organ hepar untuk dilakukan
pengukuran kadar SGPT tikus.
31
3.9 Analisis Data
Analisis data perbedaan efektifitas dosis secara statistik dilakukan uji
normalitas dan homogenitas varian p > 0,05. Jika data yang diperoleh normal dan
homogen, maka dilanjutkan uji One Way ANOVA (p < 0,05). Apabila data yang
diperoleh tidak homogen, maka dilanjutkan uji Kruskal Wallis (p < 0,05). Jika data
yang diperoleh terdapat perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan perlakuan,
maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significantly Different) (p < 0,05) sebagai
lanjutkan uji One Way ANOVA dan Mann Whitney. Untuk mengetahui hubungan
antar dosis terhadap respon pencegahan peningkatan SGPT dilakukan uji Pearson
Correlation.
3.10 Uji Kelayakan Etik
Sebelum melakukan penelitian, prosedur penelitian telah dimintakan ijin ethical
clearance dari Komisi Etika Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.
32
3.11 Alur Penelitian
3.11.1 Skema Pembuatan Ekstrak daun katuk
Gambar 3.2 Skema Pembuatan Ekstrak Daun Katuk
Daun Katuk Segar
Dicuci bersih dengan air
Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tanpa terkena
matahari langsung)
Dihaluskan dengan blender hingga jadi serbuk
Ditimbang, diayak menggunakan 30 mesh
100 mg serbuk daun katuk
Di maserasi kinetik selama 1 jam menggunakan etanol
80% sebanyak 800 ml
Didiamkan semalan
Disaring, pisahkan ampas dan filtrat
Ampas Filtrat
Dimaserasi kinetik ulang 3 kali Dikumpulkan
campuran ekstrak tersebut dipekatkan dengan rotatory evaporator
dan diuapkan di atas waterbash 0 sampai didapatkan bobot konstan
33
3.11.2 Skema Perlakuan Terhadap Hewan Coba
Gambar 3.3 Skema Perlakuan Hewan Coba
24 Sampel
Randomisasi
Pembedahan tikus dan pengambilan serum pada hari ke-9
Pengukuran kadar SGPT tikus
Analisis Statistik
Na-CMC 3
ml peroral,
selama 7
hari
K(N)
Na-CMC 3
ml peroral
selama 7
hari
K(-) K(+)
Ekstrak
daun katuk
2800 mg/
kgBB
selama 7
hari
P1
Ekstrak
daun katuk
4200mg/
kgBB
selama 7
hari
P2
Ekstrak
daun katuk
5600mg/
kgBB
selama 7
hari
P3
Vit E
7 mg/200
g/bb/hari
selama 7
hari
CCl4 1 ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8
34
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Katuk
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr.). Daun katuk segar dikeringkan dengan cara diangin-anginkan
(tanpa terkena sinar matahari langsung) selama 3 hari kemudian dihaluskan sehingga
didapatkan 790 gram serbuk kering. Sebanyak 790 gram serbuk kering kemudian
diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan larutan etanol 80% sehingga
didapatkan 130 gram ekstrak kental.
4.1.2 Perlakuan pada Hewan Coba
Sampel penelitian yaitu 24 ekor tikus putih diberikan perlakuan selama 7 hari,
kemudian pada hari ke-8 diberikan induksi CCl4 pada semua kelompok kecuali
kelompok K (N). Penghitungan kadar SGPT serum darah sampel penelitian dilakukan
di Laboratorium Klinik Piramida dengan menggunakan metode kinetic pada hari ke
9. Data SGPT dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada lampiran. Rata-rata
kadar SGPT serum tikus berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Kadar SGPT
Kelompok Perlakuan Rata-Rata Kadar SGPT (U/LSD)
K(N) 83,7515,22
K(-) 203,2530,68
K(+) 17158,58
P1 116,7560,6
P2 1098,45
P3 94,2564,75
Hasil pemeriksaan kadar SGPT serum darah tikus dalam bentuk grafik terdapat
pada gambar di bawah ini.
35
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Rata-Rata Kadar SGPT
Tabel 4.1 dan Gabar 4.1 memperlihatkan bahwa kelompok K(-) yang diberikan
induki CCl4 memiliki kadar SGPT yang lebih tinggi daripada kelompok K(N). Hal ini
menunjukkan pemberian CCl4 dapat meningkatkan kadar SGPT jika dibandingkan
dengan kelompok K(N) yang hanya diberikan Na CMC 1%. Pada kelompok K(+)
yang diberikan CCl4 dan vitamin E terlihat terjadi penurunan kadar SGPT
dibandingkan K(-). Berdasarkan tabel dan gambar diatas terlihat adanya penurunan
SGPT pada kelompok dosis ekstrak daun katuk yaitu P1, P2 dan P3 dibandingkan
kelompok K(-).
Data persentase pencegahan peningkatan kadar SGPT dapat digunakan untuk
mengetahui efek dari perlakuan pada kelompok perlakuan dosis ekstrak daun katuk
dalam menurunkan kadar SGPT. Hasil perhitungan persentase penurunan kadar
SGPT terhadap kelompok K(-) dapat dilihat pada tabel 4.2.
83,7515,22
203,2530,68
17158,58
116,7560,6 1098,45
94,2564,75
36
Tabel 4.2 Persentase Pencegahan Peningkatan SGPT
Kelompok Perlakuan Persentase pencegahan peningkatan SGPT
P1 42,81 %
P2 46,38 %
P3 53,63 %
Dalam grafik, data tersebut dapat dilihat sebagai berikut
Gambar 4.2 Grafik Persentase Pencegahan Peningkatan SGPT
4.1.3 Analisis Data
Uji normalitas yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji
Shapiro Wilk. Kelompok K(N) mendapatkan hasil p = 0,962, kelompok K(-)
mendapatkan hasil p = 0,975, kelompok K(+) mendapatkan hasil p = 0,433,
kelompok P1 mendapatkan hasil p = 0,862, kelompok P 2 mendapatkan hasil p =
0,686 dan P3 mendapatkan hasil p = 0,757. Pada uji ini menunjukkan bahwa data
kadar SGPT serum terdistribusi normal dengan nilai p > ( = 0,05).
Uji yang digunakan untuk mengetahui data homogen atau tidak dengan
menggunakan uji Levene Test. Berdasarkan hasil uji tersebut didapatkan data p =
37
0,141. Hasil tersebut menunjukkan bahwa data kadar SGPT serum memiliki varian
yang homogen dengan nilai p > ( = 0,05).
Berdasarkan hasil uji Saphiro Wilk dan uji Levene Test dapat disimpulkan
bahwa data terdistribusi dengan normal dan memiliki varian yang homogen. Hal ini
menunjukkan syarat untuk menggunakan One Way ANOVA sudah terpenuhi. Hasil
uji ANOVA menunjukkan p = 0,010 (p < 0,05) sehingga dapat dikatakan terdapat
perbedaan yang signifikan diantara keenam kelompok. Uji ANOVA dilanjutkan
dengan LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui kelompok mana yang
memiliki perbedaan selisih rerata kadar SGPT tikus yang signifikan.
Berdasarkan hasil uji LSD kadar SGPT antar kelompok perlakuan diketahui
bahwa kelompok K(N) berbeda signifikan dengan kelompok K(-), dan K(+), tetapi
tidak berbeda signifikan terhadap kelompok P1, P2 dan P3. Kelompok K(-) berbeda
signifikan dengan kelompok K(N), P1, P2 dan P3. Kelompok K(+) hanya berbeda
signifikan dengan K(N) dan P3. Antar kelompok P1, P2 dan P3 menunjukkan hasil
yang tidak berbeda signifikan.
Uji korelasi pada penelitian ini menggunakan uji Pearson Correlation. Untuk
hubungan antara dosis ekstrak daun katuk dengan penurunan kadar SGPT diperoleh
nilai sig = 0,113. Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antar ketiga dosis
ekstrak daun katuk adalah tidak bermakna. Nilai Pearson Correlation sebesar -0,984
menunjukkan korelasi negatif.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa rata-rata kadar SGPT
kelompok K(N) adalah 83,75 U/L. Berdasarkan rata-rata kadar tersebut dapat
diketahui bahwa pemberian Na CMC 1% pada K(N) tidak mempengaruhi kadar
SGPT. Jika dibandingkan dengan kelompok K(-) terlihat perbedaan yang signifikan
(p < 0,05), kelompok K(-) yang diberikan CCl4 1 ml/kgBB terlihat adanya
peningkatan rata-rata kadar SGPT dengan nilai 203,25 U/L. Dari hasil tersebut,
pemberian karbon tetraklorida (CCl4) dapat meningkatkan kadar SGPT. CCl4 akan
38
masuk kedalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450
2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3) dalam retikulum
endoplasmik hati. Triklorometil dengan oksigen akan membentuk radikal
triklorometil peroksi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membran retikulum
endoplasmik dan menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis
Ca2+
dan akhirnya menyebabkan kematian sel (Panjaitan et al., 2007).
Kelompok K(N) dibandingkan dengan kelompok P1, P2 dan P3 tidak memiliki
perbedaan yang signifikan. Ini berarti kelompok P1, P2 dan P3 yang masing diberi
dosis ekstrak 2800, 4200 dan 5600 mg/ kgBB dapat menurunkan kadar SGPT
mendekati kelompok K(N) yang sebagai kontrol normal. Berdasarkan gambar 4.1,
grafik kadar SGPT dari masing-masing dosis menunjukkan bahwa penambahan dosis
dapat menambah pencegahan peningkatan kadar SGPT tikus wistar. Hal ini sesuai
dengan penelitian terdahulu yang menjadi acuan penelitian ini. Penelitian terdahulu
yang memakai mencit sebagai hewan coba, menunjukkan dosis 800 mg/ kgBB
memiliki kadar SGPT paling rendah (Joniada, 2011).
Kelompok K(N) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok K(+).
Kelompok K(+), sebagai kontrol positif yang diberi vitamin E 7 mg/200g/bb/hari
diharapkan dapat mencegah peningkatan kadar SGPT agar dapat dijadikan tolak ukur
pencegahan pengingkatan SGPT dari ekstrak etanol 80% daun katuk. Vitamin E
dipilih sebagai kontrol positif karena mekanisme kerja dari vitamin E sama dengan
flavonoid dari ekstark daun katuk yang berfungsi melindungi asam-asam lemak dari
oksidasi dengan cara menangkap radikal bebas (Rukmiasih et al., 2011). Dalam
penelitian ini terjadi sebaliknya. Jika dibandingkan dengan kelompok K(-), kelompok
K(+) tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Ini berarti terjadi sesuatu yang
menghambat mekanisme perlindungan dari vitamin E terhadap kerusakan yang
disebabkan CCl4. Ternyata dalam pemberiannya, CCl4 selain mengakibatkan
perusakan lipid membran, CCl4 juga menghambat kerja berbagai antioksidan
enzimatik seperti superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT) dan hepatik glutation
(GSH) (Ganie et al, 2010). GSH sendiri berfungsi mengubah radikal vitamin E, yang
39
terbentuk setelah vitamin E mengikat radikal bebas, menjadi vitamin E kembali.
Karena GSH dihambat oleh CCl4, vitamin E tetap dalam bentuk radikal dan menjadi
prooksidan, sehingga terjadilah perusakan sel hati (Lone et al, 2013).
Kelompok K(-) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok P1, P2
dan P3. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok tersebut dengan dosis
masing-masing 2800, 4200 dan 5600 mg/kgBB mampu menurunkan kadar SGPT
secara signifikan terhadap kelompok K(-). Penurunan kadar SGPT pada ketiga
kelompok menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun katuk memiliki kemampuan
sebagai hepatoprotektor dari kerusakan sel hati akibat adanya radikal bebas.
Flavonoid merupakan kandungan yang memiliki aktivitas antioksidan dalam daun
katuk, dengan jumlah sekitar 143 mg/100 g fw yang terdiri dari rutin dan senyawa
flavonol dan flavon. Rutin dan flavonol merupakan antioksidan kuat terhadap
peroksidasi lipid (Sandhar et al., 2011; Redha, 2010 dan Wijono, 2003). Aktivitas
pengikatan radikal bebas dapat dilihat pada gambar 2.2
Flavonoid (F-OH) dapat mendonorkan atom hidrogennya untuk mengikat
radikal bebas (R.). Aktivitas ini juga terjadi pada proses pencegahan peroksidasi lipid.
Flavonoid menyumbangkan atom hidrogen kepada peroksi radikal untuk memotong
rantai reaksi radikal (Sandhar et al., 2011).
Kelompok K(+) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok K(N)
dan P3 tetapi tidak dengan kelompok K(-), P1 dan P2. Perbedaan signifikan dengan
kelompok K(N) dan P3 ini dikarenakan vitamin E dari kelompok K(+) menjadi
prooksidan dan menyebabkan perusakan sel hati. Hal ini juga menjadi alasan terjadi
perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok K(+) dan K(-). Perbedaan yang
tidak signifikan dengan kelompok P1 dan P2 menunjukkan bahwa kelompok P1 dan
P2 masih belum dapat mencegah peningkatan kadar SGPT tikus wistar sebaik
kelompok P3.
40
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitin dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Terdapat perbedaan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) kelompok dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan 5600
mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diinduksi CCl4.
2. Tidak terdapat hubungan respon dosis 2800 mg/kgBB, 4200 mg/kgBB dan
5600 mg/kgBB ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dalam mencegah peningkatan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar
(Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, telah terbukti ekstrak etanol daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr) dapat digunakan sebagai hepatoprotektor pada tikus putih galur
wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4 dalam mencegah peningkatan kadar
SGPT. Saran yang diberikan oleh peneliti yaitu :
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas hepatoprotektor daun
katuk dengan pemeriksaan fungsi hati yang berbeda.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas hepatoprotektor daun
katuk dengan pemeriksaan histopatologi hati.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa aktif daun
katuk sehingga dimungkinkan digunakan dosis yang lebih efektif.
41
DAFTAR PUSTAKA
Andari, A. 2010. Uji Aktifitas Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L) Merr)
Sebagai Antioksidan Pada Minyak Kelapa. Yogyakarta: Fakultas SAINS dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Anggraini, H. 2011. Pengaruh Pemberian Jus Mengkudu (Morinda citrifolia)
Terhadap Nitric Oxide (NO) dan Reaktive Oxygen Intermediate (ROI)
Makrofag Tikus yang Terpapar Asap Rokok. Program Pascasarjana Magister
Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro Semarang.
Andarwulan, Batari, Sandrasari, Bolling, dan Wijaya. 2010. Flavonoid Content and
Antioxidant Activity of Vegetables From Indonesia. Food Chemistry. Vol 121:
1231-1235.
Arista, M. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol 80% dan 96% Daun Katuk
(Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya. Vol 2 (2) : 2-5.
Botros, M. dan Sikaris, K. A. 2013. The Deritis Rayio: The Test of Time: The Clinical
Biochemis. The Clinillas Biochemist Review. Vol
BioColombo, M. L. 2010. An Update on Vitamin E, Tocopherol and Tocotrienol-
Perspectives. Torino: Department of Drug Science and Technology, University
of Torino.
Faridah, H. 2009. Pengaruh Pemberian buah Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap
Anatomi Alveolus Paru-Paru Mencit (Mus Musculus) yang Diinhalasi CCL4
(Carbon Tetraclorida). Malang : Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Malang.
Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. 1982. Kimia Organik: Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Ganie, Haq, Masood, dan Zargar. 2010. Podophyllum Hexandrum Rhizome Methanolic Extract Ameliorates Carbon Tetrachloride Induced Hepatotoxicity
In Albino Rats. Pharmacologyonline 2: 496-506
Gaol, J. F. L. 2011. Isolasi Zat Warna Hijau Daun Katuk (Sauropus androgynus
Merr.) Sebagai Pewarna Tablet. Medan: Fakultas Farmasi Unversitas Sumatera
Utara.
42
Guyton, A. C. & Hall, J. E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedeokteran, Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Haki, M. 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L.) Terhadap Aktivitas
Enzim SGPT Pada Mencit Yang Diinduksi Karbon Tetraklorida. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Hartanto, H. 2012. Identifikasi Potensi Antioksidan Minuman Cokelat dari Kakao
Lindak (Theobroma Cacao L.) dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode
Radikal Bebas 1,1 Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH). Surabaya: Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Katolik Widya Mandala.
Joniada, I. M. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus
androgynous L) Sebagai Hepatoprotektor pada Mencit yang Diinduksi
Paracetamol. Jember: Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Junieva, P. N. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran ( Phyllanthus sp. )
Terhadap Gambaran Mikroskopik Paru Tikus Wistar yang Diinduksi Karbon
Tetraklorida. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Khalasa, T., Winarsih, S., dan Widodo, M. A. 2013. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol
Daun Katuk (Sauropus androgynus) Sebagai Antibakteri Terhadap Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Secara In Vitro. Malang: Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
Kuncahyo, I. & Sunardi. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi, L.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH).
Yogyakarta: Teknologi Farmasi Fakultas Teknik Universitas Setia Budi.
Lone, Ganai, Ahanger, Bhat1, Wani, dan Bhat
2. 2013. Free radicals and antioxidants:
Myths, facts and mysteries. India : Sher-e-Kashmir University of Agricultural
Sciences and Technology.
Manik, N. D. 2011. Penetapan Kadar Kalsium Pada Daun Katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr.) Dari Daerah Karo Dengan Daerah Pematang Johar
Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Medan: Fakultas Farmasi Unversitas
Sumatera Utara.
Nabila, N. 2011. Pengaruh Pemberian Metanol dan Etanol Terhadap Tingkat
Kerusakan Sel Hepar Tikus Wistar. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Notoatmojo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
43
Panjaitan, Handharyani, Chairul, Masriani, Zakiah, dan Manalu. 2007. Pengaruh
Pemberian Karbon Tetraklorida Terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus.
Makara, Kesehatan, Vol. 11. (1): 11-16.
Panjaitan, T. D., Prasetyo, B., dan Limantara, L. 2008. Peranan Karotenoid Alami
dalam Menangkal Radikal Bebas. Info Kesehatan Masyarakat, Vol. 12 (1): 79-
86.
Pazil, Siti N.BT. 2009. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daging Pisang
Raja (Musa AAB Pisang Raja) dengan Vitamin A, Vitamin C, dan Katekin Melalui Penghitungan Bilangan Peroksida. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Prihatni, Parwati, Sjahid, dan Rita. 2005. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis
Terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase
Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, (1), 1-5.
Redha, A. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya Dalam
Sistem Biologis. Jurnal Belian Vol. 9 (2): 196 202.
Rianyta & Utami, S. 2013. Drug-Induced Liver Injury (DILI) pada Penggunaan
Propiltiourasil (PTU). CDK-203. Vol. 40 (4): 278-281.
Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, Penyelamat Sel-Sel Tubuh Manusia. BioTrends.
Vol. 4 (1): 5-9.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, Sixth Edition. Great Britain: Pharmaceutical Press.
Rukmiarsih, Hardjosworo, Ketaren, dan Matitaputty. 2011. Penggunaan Beluntas,
Vitamin C dan E sebagai Antioksidan untuk Menurunkan Off-Odor Daging Itik
Alabio dan Cihateup. JITV Vol. 16 (1): 9-16.
Sandhar, Kumar, Prasher, Tiwari, Salhan, dan Sharma. 2011. A Review of
Phytochemistry and Pharmacology of Flavonoids. Phagwara: Dept. of
Pharmaceutical Sciences, Lovely Professional University.
44
Sholihah, Q. & Widodo, M. A. 2008. Pembentukan Radikal Bebas Akibat Gangguan
Ritme Sirkadian dan Paparan Debu Batubara. Jurnal Kesehatan Lingkungan,
VOL.4, (2): 89 100.
Suarsana, Utama, Agung, dan Suartini. 2011. Pengaruh Hiperglikemia dan Vitamin E
pada Kadar Malonaldehida dan Enzim Antioksidan Intrasel Jaringan Pankreas
Tikus. MKB, Volume 43 (2): 72-76.
Wibowo, W.A., Maslachah, L., dan Bijanti, R. 2005. Pengaruh Pemberian Perasan
Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Diet Tinggi Lemak. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga.
Wijono, S. H. S. 2003. Isolasi dan Identifikasi Flavonoid Pada Daun Katu (Sauropus
androgynus (L.) Merr). Makara, SAINS, VOL. 7, NO
Wisnuaji, L. K. 2012. Identifikasi Efek Toksik Akut Jus Daun Katuk (Sauropus
androgynous) Pada Hepar Tikus Galur Wistar. Surabaya : Fakultas Farmasi
Universitas Surabaya.
Yuniarty, D. S. T. 2011. Persentase Berat Karkas dan Berat Lemak Abdominal
Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Katuk (Sauropus
androgynus), Tepung Rimpang Kunyit (Curcuma domestica) dan
Kombinasinya. Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
45
LAMPIRAN
A. Volume Maksimal Pemberian Larutan Sediaan Uji Pada Beberapa Hewan Uji
Jenis hewan uji Voluma maksimal (mL) sesuai jalur pemberian
i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2-5 2-5 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2,5 2,5
Marmot (250 g) - 0,25 2-5 5,0 10,0
Kelinci (2,5 Kg) 5-10 0,5 10-20 5-10 20,0
Kucing (3 Kg) 5-10 1,0 10-20 5-10 50,0
Anjing (5 Kg) 10-20 5,0 20-50 10,0 100,0
Dikutip dari: Ritschell. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Hamilton:
Drug Intellegence Publication.
46
B. Tabel Konversi Perhitungan Dosis Untuk Berbagai Jenis (Spesies) Hewan Uji Menurut Laurence & Bacharah, 1984
Mencit
20 gr
Tikus
200 gr
Marmut
400 gr
Kelinci
1,5 Kg
Kucing
2 Kg
Kera
4 Kg
Anjing
12 Kg
Manusia
70 Kg
Mencit
20 gr
1,0 7,0 13,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Tikus
200 gr
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Marmut
400 gr
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci
1,5 Kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Kucing
2 Kg
0.,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Kera 4
Kg
0,016 0,12 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Anjing
12 Kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Manusia
70 Kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
47
C. Data Hasil Penelitian
48
49
D. Hasil Analisis Data
Tests of Normality
kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
SGPT
kontrol normal .165 4 . .991 4 .962
kontrol negatif .155 4 . .994 4 .975
kontrol positif .284 4 . .900 4 .433
dosis 2800 .219 4 . .973 4 .862
dosis 4200 .223 4 . .945 4 .686
dosis 5600 .212 4 . .956 4 .757
a. Lilliefors Significance Correction
Test of Homogeneity of Variances SGPT
Levene
Statistic
df1 df2 Sig.
1.920 5 18 .141
ANOVA SGPT
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 44318.333 5 8863.667 4.241 .010
Within Groups 37619.000 18 2089.944
Total 81937.333 23
50
Multiple Comparisons Dependent Variable: SGPT
LSD
(I) kelompok (J) kelompok Mean
Difference (I-
J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol normal
kontrol negatif -119.500* 32.326 .002 -187.41 -51.59
kontrol positif -87.250* 32.326 .015 -155.16 -19.34
dosis 2800 -33.000 32.326 .321 -100.91 34.91
dosis 4200 -25.250 32.326 .445 -93.16 42.66
dosis 5600 -10.500 32.326 .749 -78.41 57.41
kontrol negatif
kontrol normal 119.500* 32.326 .002 51.59 187.41
kontrol positif 32.250 32.326 .332 -35.66 100.16
dosis 2800 86.500* 32.326 .015 18.59 154.41
dosis 4200 94.250* 32.326 .009 26.34 162.16
dosis 5600 109.000* 32.326 .003 41.09 176.91
kontrol positif
kontrol normal 87.250* 32.326 .015 19.34 155.16
kontrol negatif -32.250 32.326 .332 -100.16 35.66
dosis 2800 54.250 32.326 .111 -13.66 122.16
dosis 4200 62.000 32.326 .071 -5.91 129.91
dosis 5600 76.750* 32.326 .029 8.84 144.66
dosis 2800
kontrol normal 33.000 32.326 .321 -34.91 100.91
kontrol negatif -86.500* 32.326 .015 -154.41 -18.59
kontrol positif -54.250 32.326 .111 -122.16 13.66
dosis 4200 7.750 32.326 .813 -60.16 75.66
dosis 5600 22.500 32.326 .495 -45.41 90.41
dosis 4200
kontrol normal 25.250 32.326 .445 -42.66 93.16
kontrol negatif -94.250* 32.326 .009 -162.16 -26.34
kontrol positif -62.000 32.326 .071 -129.91 5.91
dosis 2800 -7.750 32.326 .813 -75.66 60.16
dosis 5600 14.750 32.326 .654 -53.16 82.66
dosis 5600
kontrol normal 10.500 32.326 .749 -57.41 78.41
kontrol negatif -109.000* 32.326 .003 -176.91 -41.09
kontrol positif -76.750* 32.326 .029 -144.66 -8.84
dosis 2800 -22.500 32.326 .495 -90.41 45.41
dosis 4200 -14.750 32.326 .654 -82.66 53.16
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
51
Correlations
SGPT dosis
SGPT
Pearson Correlation 1 -.984
Sig. (2-tailed) .113
N 3 3
dosis
Pearson Correlation -.984 1
Sig. (2-tailed) .113
N 3 3
52
E. Ethical Clearance
53
54
F. ambar Penelitian
Daun katuk yang dikeringkan
Maserasi ekstrak
Rotary evaporator
Proses pembuatan ekstrak
55
Hewan coba
NB : Ukuran kandang : 35 x 45 x 2,5
cm
Perlakuan per oral pada hewan
coba
Pemberian CCl4 secara intraperitoneal
Pengambilan serum dari ventrikel
kanan