Post on 16-Apr-2015
description
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID
Intan Permata Sari, S.Ked
Bagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
PENDAHULUAN
Kortikosteroid (KS) adalah steroid yang dihasilkan korteks adrenal (tidak
termasuk hormon seks), sebagai respon dari adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang dilepaskan kelenjar hipofisis anterior.1 Aktivitas biologis
kortikosteroid dibagi menjadi dua kelompok yaitu, glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Mineralokortikoid adalah aldosteron, berperan dalam
pengaturan elektrolit dan keseimbangan air. Glukokortikoid adalah kortisol,
memiliki beragam efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein.2
Kortikosteroid sering digunakan dalam dermatologi karena memiliki efek
imunosupresan dan anti inflamasi.3 Kortikosteroid pertama kali dikenalkan oleh
Marion Sulzberger dengan pemberian secara topikal dan sistemik.4 Kortikosteroid
topikal dan sistemik bila digunakan dalam jangka waktu lama, dosis tinggi, dan
pemakaian rutin dapat menimbulkan berbagai efek samping.3 Efek samping yang
ditimbulkan KS topikal antara lain, atropi pada kulit, reaksi akne formis,
hipertrikosis, perubahan pigmen, dan meningkatkan infeksi kulit (seperti tinea).
Kortikosteroid topikal juga dapat menimbulkan efek samping secara sistemik
seperti, efek terhadap mata (glaukoma dan penurunan visus), efek metabolik
(hiperglikemi), dan penekanan terhadap aksis hipotalamus pituitary adrenal.5 Efek
samping dari penggunaan KS sistemik dapat menyebabkan efek terhadap
muskuloskeletal, gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, sistem imun, mata, sistem
saraf pusat, metabolik, dan aksis hipotalamus pituitary adrenal. 6
1
Efek samping KS dalam dermatologi banyak ditemukan. Oleh karena ini,
maka diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kerja KS, klasifikasi KS, dan
efek samping penggunaan KS sehingga dapat meminimalisasi efek samping obat
tersebut.
MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid mempunyai efek yang berkaitan dengan perbedaan
mekanisme kerja, antara lain efek anti inflamasi, efek imunosupresif, efek
antiproliferatif, dan efek vasokontriksi.3,5
1. Efek anti inflamasi
Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek anti inflamasi yaitu dengan
menghambat phospolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrin, dan derivat lain dari asam arakidonat. Kortikosteroid
juga menghambat faktor transkipsi seperti activator protein 1 dan nuclear
factor B yang berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Kortikosteroid juga
mengurangi pelepasan interleukin 1 (IL-1) yang merupakan sitokin pro-
inflamasi yang penting. Kortikosteroid menghambat fagositosis dan stabilisasi
membran lisosom dari sel-sel fagosit.3,5,7
2. Efek imunosupresif
Kortikosteroid sistemik dan topikal memiliki efek imunosupresif yaitu dengan
menekan produksi dan efek dari faktor humoral yang berguna bagi respon
inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke tempat inflamasi dan menghalangi
fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblast. Penelitian
mengungkapkan bahwa KS topikal dapat menyebabkan berkurangnya sel mast
pada kulit, menghambat kemotaksis lokal neutrofil dan menurunkan jumlah
sel langerhans. Kortikosteroid menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan
apoptosis sel T.3,5,7
3. Efek antiproliferatif
Kortikosteroid topikal memiliki efek antiproliferatif yaitu dengan
menghambat sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblas dan pembentukan
kolagen juga dihambat oleh kortikosteroid.3,5
2
4. Efek vasokonstriksi
Kortikosteroid memiliki efek vasokonstriksi, yaitu menghambat vasodilator
alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal
dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah kapiler dermis superfisial
sehingga memicu timbulnya eritem. 3,5
KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID
1. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik digunakan dengan indikasi penyakit kulit
berlepuh (pemfigus, pemfigus bulosa, epidermolisis bulosa, herpes
gestasional, eritema multiformis, nekrolisis epidermal toksik), penyakit
jaringan ikat (dermatomiositis, SLE), vaskulitis, dermatosa neutrophilik,
sarkoidosis, reaktif leprosi tipe I, hemangioma, panikulitis, dan
urtikaria/angioedem.3 Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan
menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi
glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid (Tabel
1).3,7
Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid 7
Macam KortikosteroidPotensi
glukokortikoid
Dosis
ekuivalen (mg)
Potensi
mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison
b. Kortison
1
0,8
20
25
1
0,8
2. Kerja sedang
a. Metilprednisolon
b. Prednisolon
c. Prednison
d. Triamsinolon
5-6
4-5
4-5
4-5
4
5
5
4
0-0,5
0-0,8
0-0,8
0
3. Kerja lama
3
a. Betametason
b. Deksametason
c. Parametason
20-30
30
10
0,60
0,5-0,7
2,0
0
0
0
Keterangan:
Kerja singkat ( 8-12 jam)
Intermediate, kerja sedang (12-36 jam)
Kerja lama (36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason,
dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua
golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid.
Umumnya, kortikosteroid yang memiliki efek mineralokortikoid yang
sedikit atau tidak ada dipakai pada penderita dengan hipertensi, edema, gangguan
kor, atau keadaan lain yang retensi garam. Akan tetapi, deksametason yang juga
tidak memiliki efek mineralokortikoid jarang digunakan sebagai terapi karena
merupakan golongan potensi kuat dan waktu paruh yang lama yang lebih berisiko
untuk menimbulkan efek samping.7
Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling
lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason
mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan
kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang
dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping
yang terjadi.
2. Kortikosteroid Topikal
Secara umum kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya dibagi
menjadi 7 golongan, yaitu super poten, potensi tinggi (upper mid-strength),
potensi tinggi (mid-strength), potensi medium (mild strength), potensi medium
(lower mid-strength), potensi medium ( mild strength), dan potensi lemah (tabel
2).5,7
Tabel 2 Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis7
4
Klasifikasi Nama Generik
Golongan 1: (super poten)
Golongan II: (potensi
tinggi)
Golongan III: (potensi
tinggi)
oinment, krim betametason
dipropionat 0,05%
oinment diflorason diasetat 0,05%
oinment, krim klobetasol propionat
0,05%
oinment, krim halobetasol
propionat 0,05%
oinment amcinonide 0,1%
krim, oinment betametason
dipropionat 0,05%
oinment mometason fuorat 0,01%
oinment diflorason diasetat 0,05%
krim halcinonide 0,1%
krim, oinment, gel fluocinonide
0,05%
krim, oinment, gel
desoksimetason0,25%
oinment triamsinolon asetonid 0,5%
krim diflorason diasetat 0,05%
krim betametason dipropionat
0,05%
oinment betametason valerat 0,1%
oinment fluticasone propionate
0,005%
krim, lotion amcinonide 0,1%
krim fluocinonide 0,05%
ointment halcinonide 0,1%
ointment triamsinolon asetonid
5
Golongan IV: (potensi
medium)
Golongan V: (potensi
medium)
Golongan VI: (potensi
medium)
0,1%
krim triamsinolon asetonid 0,5%
oinment flurandrenolid 0,05%
krim halsinonid 0,025%
lotion betametason valerat 0,1%
krim desoksimetason 0,05%
krim fluosinolon asetonid 0,02%
ointment fluosinolon asetonid
0,025%
ointment hidrokortison valerat 0,2%
krim mometason furoat 0,1%
oinment triamsinolon asetonid 0,1%
lotion betametason dipropionat
0,05%
krim betametasone valerat 0,1%
krim fluosinolon asetonid 0,025%
oil fluosinolon asetonid 0,01%
krim flurandrenolid 0,05%
krim fluticason propionat 0,05%
krim hydrocortison valerat 0,2%
krim hydrocortison butyrat 0,1%
lotion triamcinolon acetonid0,1%
oinment, krim aclometason
dipropionat 0,05%
lotion betametason valerat 0,05%
krim, solution fluocinolon asetonid
0,01%
6
Golongan VII: (potensi
lemah)
krim triamsinolon asetonid 0,1%
krim desonid 0,05%
krim Deksametason 0,1%
hidrokortison 0,5%, 1%, 2,5%
Metilprednisolon 1%
Prednisolon, Flumetason (topikal)
Penetrasi kortikosteroid topikal biasanya bergantung pada ketebalan kulit
(stratum korneum dan suplai vaskular pada daerah tersebut). Pada daerah kulit
yang lapisannya tipis, penetrasi kortikosteroid lebih cepat namun risiko terjadinya
efek samping lebih besar dibanding area lapisan kulit tebal.5
Pada area wajah dan intertriginosa digunakan kortikosteroid potensi
lemah. Sedangkan potensi tinggi biasanya digunakan pada area kulit yang
mengalami hiperkeratosis atau likenifikasi dan area telapak tangan dan kaki.5
EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi
klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi efek samping
yang tidak diharapkan cukup banyak.
Kortikosteroid Topikal
Efek samping yang ditimbulkan KS topikal antara lain, atropi pada kulit,
reaksi akne formis, hipertrikosis, perubahan pigmen, dan meningkatknya infeksi
pada kulit (seperti tinea). Kortikosteroid topikal ini juga dapat menimbulkan efek
samping secara sistemik seperti, efek terhadap mata (glaukoma dan penurunan
visus), efek metabolik (hiperglikemi), dan penekanan terhadap aksis hipotalamus
pituitary adrenal.5
1. Atropi pada kulit
7
Atropi kulit merupakan efek samping paling sering ditemukan pada
pengobatan steroid topikal jangka panjang dan lebih sering terjadi pada wanita
dibanding laki-laki.6 Epidermis dan dermis kulit menjadi tipis dan rapuh
dikarenakan efek antiproliferatif yang menghambat sintesis kolagen dan
mukopolisakarida.5,8 Dengan mengukur ketebalan kulit setiap hari, ditemukan
bahwa aplikasi tunggal KS poten seperti klobetasol propionate selama tiga hari
menyebabkan terjadinya penipisan kulit. Sedangkan aplikasi klobetasol
propionate dua kali sehari selama 16 hari menyebabkan penipisan kulit sebesar
15%.8 Akibat atropi kulit dapat terjadi dilatasi vaskular, telengiektasis, purpura,
memar, stellate pseudoscars, ulcer, dan striae.5
(A)Striae (B) Atropi
Gambar 1. Striae dan atropi kulit akibat penggunaan KS6
2. Reaksi Akne Formis
Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan terjadinya steroid rosacea,
akne, dan dermatitis perioral. Penggunaan KS jangka panjang dapat menimbulkan
steroid acne di area wajah, dada, dan punggung.5
Gambar 2. steroid rosacea akibat penggunaan KS6
3. Hipertrikosis
8
Mekanisme hipertrikosis belum diketahui. Hipertrikosis ini jarang terjadi
pada wanita dan anak-anak yang menggunakan kortikosteroid poten pada area
wajah.5
4. Perubahan pigmen
Perubahan pigmen adalah efek samping lain yang ditimbulkan KS topikal.
Namun perubahan pigmen ini dapat kembali normal setelah terapi KS dihentikan.5
5. Meningkatnya infeksi pada kulit
Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada kulit,
contohnya tinea versikolor. Insiden infeksi kulit selama pemberian KS itu
bervariasi yaitu, sebesar 16% dan 43%. Kortikosteroid topikal juga dapat
memperparah penyakit herpes simpleks, moluskum kontangiosum, dan scabies.5
6. Efek terhadap sistemik
Kortikosteroid topikal juga dapat menimbulkan efek samping secara
sistemik seperti, efek terhadap mata yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma dan penurunan visus. Glaukoma dapat terjadi bila KS topikal digunakan
disekitar mata dan penurunan visus dapat disebabkan akibat penggunaan KS
jangka panjang. Efek KS terhadap metabolik berupa peningkatan produksi
glukosa darah (hiperglikemi) yang dapat menyebabkan diabetes melitus.
Penggunaan KS topikal memberikan efek supresi terhadap aksis hipotalamus
pituitary adrenal sehingga dapat menyebabkan Cushing syndrome.5
Kortikosteroid Sistemik
Beberapa efek samping dari penggunaan KS topikal juga dapat ditemui
pada efek samping yang ditimbulkan KS sistemik seperti efek terhadap mata, efek
metabolik, dan efek ke kulit. Selain itu, KS dapat menimbulkan efek terhadap
muskuloskeletal, gastrointestinal, kardiovaskular, kulit, mata, sistem saraf pusat,
metabolik, dan aksis hipotalamus pituitary adrenal.6
1. Mata
9
Pemberian KS sistemik dan topikal dapat menimbulkan efek samping
berupa katarak, glaukoma, dan yang lebih jarang seperti emboli retina, makulopati
serta infeksi.8
Mekanisme terjadinya katarak akibat penggunaan KS masih belum jelas
dan meliputi peningkatan kadar glukosa, disebabkan karena meningkatnya
glukoneogenesis; hambatan Na+/K+ ATPase; meningkatnya permeabilitas kation;
hambatan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD); hambatan sintesis RNA;
hilangnya ATP; dan ikatan kovalen steroid pada protein lensa.8
Penggunaan KS sistemik dan lokal dapat berhubungan dengan
meningkatnya insiden hipertensi ocular. Sebanyak 30% pasien yang mendapatkan
tetes mata deksametason selama 4 minggu, ditemukan peningkatan okular.8
Kortikosteroid menstabilkan membran lisosom goniosit yang menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikan polimerisasi dalam trabecular meshworks
(TM) sehingga meningkatkan resistensi outflow. Kortikosteroid menyebabkan
peningkatan ekspresi kolagen, elastin dan fibronektin dalam TM dan menginduksi
ekspresi sialoglikoprotein. Kortikosteroid juga menghambat fagositosis sel
endotel, yang menyebabkan penumpukan debris dalam TM. Mutasi gen myocilin
menghasilkan pembentukan produk gen abnormal yang ketika diproduksi dalam
konsentrasi besar akan menyebabkan tersumbatnya TM dan peningkatan tekanan
intra okular. Kortikosteroid mempengaruhi morfologi TM dengan peningkatan
sintesis retikulum endoplasmik, kompleks golgi, vesikel sekretori, dan
peningkatan ukuran nuklear dan sel.10
2. Muskuloskeletal
Efek samping KS jangka panjang pada muskuloskeletal meliputi
osteoporosis, osteonekrosis dan miopati.
Osteoporosis
Penggunaan KS jangka panjang dapat meningkatkan terjadinya
osteoporosis dan resiko terjadinya patah tulang terutama pada vertebra dan femur
proximal. Sebanyak 30-50% fraktur akibat osteoporosis terjadi pada pasien yang
mendapatkan KS jangka panjang. Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan
penggunaan KS dengan pengaruhnya terhadap densitas tulang. Kelainan mulai
10
terjadi pada 6 bulan pertama dan diperkirakan berlanjut selama KS digunakan.7
Mekanisme terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial yaitu, berkurangnya
aktivitas osteoblast sehingga mempengaruhi pembentukan tulang, meningkatnya
resorbsi tulang sehingga berpengaruh terhadap aktivitas osteoklas. Kejadian patah
tulang pada individu yang mengkonsumsi steroid adalah antara 10%-20% dan
faktor resiko yang mempengaruhinya adalah usia di bawah 15 tahun dan lebih
dari 50 tahun, early menopause atau wanita amenore, kaheksia, mobilitas terbatas,
pengkonsumsi alkohol, perokok, rendah asupan kalsium, dan ada riwayat patah
tulang sebelumnya.7,11 Untuk pemakaian KS >3 bulan dilakukan pemeriksaan
densitas tulang, pemberian kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 400 unit dua kali
sehari.3
Osteonekrosis
Osteonekrosis yang dikenal sebagai nekrosis avaskular juga merupakan
efek samping dari KS sistemik. Faktor risiko dari osteonekrosis adalah trauma
fisik, konsumsi alkohol berlebih, merokok, dan meningkatnya kadar trigliserida.
Insiden osteonekrosis akibat KS meningkat berhubungan dengan riwayat
transplantasi ginjal sebelumnya, pasien dengan SLE, konsumsi alkohol, ada
gangguan metabolisme lipid.6 20% pasien dengan osteonekrosis memiliki
gambaran X-rays yang normal, maka dari itu dilakukan pemeriksaan bone scan
dan magnetic resonance imaging (MRI). Pasien juga rutin ditanyakan mengenai
keterbatasan gerak sendi dan rasa nyeri yang dirasakan.3
Steroid miopati
Katabolisme protein akibat penggunaan KS dapat menyebabkan
berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan otot dan miopati.
Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan
pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Pada miopati yang terjadi adalah
hambatan uptake glukosa pada otot skeletal sehingga terjadi pemecahan protein
otot. Kortikosteroid bekerja secara langsung pada protein otot dengan stimulasi
degradasi protein dan menghambat sintesis protein.8
3.Metabolisme dan sistem endokrin11
Efek KS terhadap metabolisme dan sistem endokrin meliputi gangguan
dalam metabolisme glukosa, yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes,
hiperlipidemia, dan insufesiensi adrenal.8
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemi. Beberapa mekanisme dalam timbulnya hiperglikemi dan steroid-
induced diabetes meliputi penurunan sensitivitas insulin perifer, peningkatan
produksi glukosa hepatik, dan inhibisi sekresi serta produksi insulin pankreatik.6
Hiperlipidemia adalah efek samping KS yang sering dijumpai. Pasien dianjurkan
untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak dan kalori.8
Penggunaan KS jangka panjang, yaitu lebih dari 1 tahun dapat berefek
pada aksis hipotalamus pituitary adrenal. Gejala yang dirasakan adalah letargi,
lemah, nausea, anoreksia, demam, orthostatic hypotension, hipoglikemi, dan
penurunan berat badan. Selain itu, supresi terhadap aksis hipotalamus pituitary
adrenal dapat menyebabkan Cushing syndrome (moon face, buffalo hump,
obesitas sentral), insufesiensi adrenal, dan gangguan pertumbuhan.8
4. Sistem kardiovaskular
Hipertensi dan dislipidemia adalah efek samping yang juga disebabkan
KS. Mekanisme glucocorticoid-induced hypertension belum diketahui secara
jelas, namun berhubungan dengan vasokonstriksi (dari katekolamin dan hambatan
vasodilator), retensi natrium, dan ekspansi volume intravaskular.6,8
5. Sistem saraf pusat
Perubahan mood dan gangguan kognitif dapat terjadi pada penggunaan KS
sistemik. Hipomania dan mania adalah gejala awal yang sering terjadi, dan dapat
berkelanjutan menjadi depresi. Pemberian antipsikotik, anti kejang, dan anti
depresan dapat membantu mengembalikan perubahan mood.3
6. Sistem gastrointestinal
Efek samping terhadap gastrointestinal berupa ulkus peptikum,
kandidiasis, dan pankreatitis. Belum ada mekanisme jelas mengenai ulkus
peptikum akibat efek samping KS. Namun, penelitian yang dilakukan pada hewan
menunjukkan bahwa KS dapat meningkatkan sekresi asam lambung, mengurangi
mukus lambung, dan menyebabkan hiperplasia sel parietal dan sel gastrin. Ada
12
beberapa faktor risiko terjadinya ulkus peptikum, seperti ada riwayat ulkus
peptikum sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan.11
7. Sistem imun
Efek samping KS adalah meningkatnya risiko terhadap segala jenis infeksi
dan risiko reaktivasi tuberkulosis (TB) laten serta insiden terhadap varisela.11
Inhibisi sistem imun spesifik dan reaksi inflamasi merupakan target utama dari
pengobatan KS.8
8. Kulit
Baik KS topikal maupun sistemik sama-sama dapat menimbulkan efek
samping ke kulit. Kelainan pada kulit yang dijumpai berupa purpura,
telengiektasis, atropi, striae, pseudoscars, dan reaksi akne formis atau acne
rosacea. Kortikosteroid sistemik dapat menginduksi terjadinya akne atau
folikulitis dengan beragam papulopustul pada dada, dan punggung. Akne vulgaris
dapat semakin memburuk ketika terapi KS dilanjutkan, walupun KS memiliki
efek anti-inflamasi. Akne formis atau acne rosacea dapat terjadi akibat
penggunaan KS inhalasi atau akibat penggunaan KS topikal.6
KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan
kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Pengobatan kortikosteroid terbagi kepada dua
yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid sistemik. Berdasarkan potensi
klinisnya kortikosteroid topikal dibedakan beberapa golongan yaitu super poten,
potensi tinggi, potensi medium, dan potensi lemah. Sedangkan kortikosteroid
sistemik dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi
glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.7 Mekanisme kerja
kortikosteroid berhubungan dengan empat hal yaitu anti inflamasi, efek
imunosupresif, efek antiproliferatif, dan efek vasokontriksi.3,4
Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang ataupun dalam dosis
tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini sesuai dengan
mekanisme kerja dari steroid itu sendiri. Efek samping penggunaan KS tersebut
13
meliputi kulit, muskuloskeletal, mata, metabolisme dan sistem endokrin,
kardiovaskular, gastrointestinal serta sistem imun.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. A, Dorland W.Kamus Kedokteran Dorland.Edisi
25.Jakarta:EGC.1998: hal 263
2. MD, George P. Chrouses, et al. Adrenokortikosteroid dan Antagonis
Adrenokortikal. In: Bertram G. Katzung. Katzung Farmakologi Dasar
dan Klinik. Bagian Farmakologi FK Airlangga. Salemba Medika.
2002, p. 576-578.
3. Werth, P. Victoria. Systemic Therapy Corticosteroids. In: Wolff K et
al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
The McGraw Hills,Inc.2012. p.2714-2720.
4. Breathnach, S.M., et al. Systemic Therapy. In: Tony B., Stephen C.,
Neil C., Christopher G. Rook’s Textbook of Dermatology Eight
Edition. United States of America: Blackwell Publishing; 2010, p.
72.1-72.3.
5. Valencia, Isabel C., et al. Topical Corticosteroids. In: Wolff K et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: The
McGraw Hills,Inc.2012. p.2659-2665.
6. Jr Nesbitt LT. Glucocorticosteroids. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rappini RP, Schaver JV, editors. Dermatology. 2nd ed. Edinburg:
Mosby; 2008. P. 1923-1933
7. Lin, Andrew N., Stephen A. Paget. Clinical Use of Corticosteroids.
Arnold Principles of Corticosteroid Therapy. Arnold 2002.
8. Schacke Heike, Docke WD, Asadullah Khusru. Mechanisms involved
in the side effects of glucocorticoids. Pharmacology & Therapeutics.
2002; 96: 23-43.
9. Jr Nesbitt LT. Glucocorticosteroids. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Rappini RP, Schaver JV, editors. Dermatology. 2nd ed. Edinburg:
Mosby; 2008. P. 1923-1933
10. Dada Tanuj, nair Soman, Dhawan Munish. Steroid-induced glaucoma.
Journal of Current Glaucoma Practice 2009; 3(2): 33-8
15
11. Stanbury, Rosalyn M., Elizabeth M Graham. Systemic Corticosteroid
Therapy – Side Effects and Their Management. [internet]. 1998.
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
16