Tugas Kortikosteroid Obstetri

29
Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas referat yang berjudul “Teori Pemberian Steroid Untuk Pematangan Paru Janin”. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada dr. Muslich Perangin-angin, Sp. OG serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan refrat ini. Referat ini dibuat untuk perbaikan ujian Obstetri penulis. Semoga refrat ini dapat bermanfaat untuk kita semua. 1

Transcript of Tugas Kortikosteroid Obstetri

Page 1: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

limpahan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada kesempatan

ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas referat yang berjudul “Teori

Pemberian Steroid Untuk Pematangan Paru Janin”. Penulis mengharapkan saran dan

kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang

penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada

dr. Muslich Perangin-angin, Sp. OG serta berbagai pihak yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan penulisan refrat ini. Referat ini dibuat untuk perbaikan ujian

Obstetri penulis.

Semoga refrat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Mei 2014

Penulis

1

Page 2: Tugas Kortikosteroid Obstetri

DAFTAR ISI

Judul

Halaman

Kata Pengantar..............................................................................................................1

Daftar Isi.......................................................................................................................2

BAB I Pendahuluan......................................................................................................3

BAB II Pembahasan

A. Patofisiologi Pematangan Paru Janin.......................................................................4

B. Kortikosteroid...........................................................................................................7

C. Penggunaan kortikosteroid saat antenatal..............................................................11

BAB III Kesimpulan

Kesimpulan.................................................................................................................18

DaftarPustaka .............................................................................................................19

2

Page 3: Tugas Kortikosteroid Obstetri

BAB I

PENDAHULUAN

Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang memiliki resiko tinggi

untuk persalinan preterm telah direkomendasikan oleh beberapa ahli karena

kortikosteroid antenatal dihubungkan dengan penurunan insiden terjadinya sindroma

gawat nafas janin (RDS), kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler (IVH).

Dibuktikan dengan meta analisis Cochrane pada percobaan dengan pengambilan sample

acak dengan 18 wanita hamil yang menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid antenatal

menurunkan resiko terjadinya sindroma gawat nafas janin, kematian neonatal dan

hemoragik intraventrikuler Stalker S,2004

Terapi kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan secara prematur

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 untuk meningkatkan pematangan paru janin.

Meta-analisis baru-baru ini berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid terutama

untuk mengantipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden

kematian neonatal, RDS, IVH, dan NEC. NIH,1994

Penggunaan kortikosteroid dalam kehamilan tidak menunjukkan peningkatan

insiden infeksi maternal maupun fetal, baik pada kasus dengan prematur ruptur membran

maupun tidak.Stalker S,2004

Pada sebuah karya ilmiah penting, Liggins dan Howie memperlihatkan bahwa

pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang mempunyai risiko melahirkan

prematur mengurangi insiden sindrom gawat nafas (RDS) dan kematian anak. Efisiensi

terapi kortikosteroid antenatal belakangan ini telah dikonfirmasikan dengan lebih dari

selusin percobaan dengan memakai plasebo sebagai kontrol secara acak.Meneguel JF et al,2003

Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994

menguatkan penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian glukokortikoid

antenatal pada ibu yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm dan telah menjadi

perwatan rutin di Amerika Serikat. NIH,1994;Dudley DJ et al,2003

3

Page 4: Tugas Kortikosteroid Obstetri

BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Pematangan Paru Janin

Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama

terdiri dari 2 tipe sel, yaitu penumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli

merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel

endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih

kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung

lamelar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop elektron. Badan lamelar adalah

tempat penyimpanan surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata badan

lamelar mengandung surfaktan sejenis phospholipid.Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004

Sel tipe II menangkap prekusor pembentuk phospholipid dan protein. Sintesa terjadi

dalam retikulum endoplasma. Setelah dimodifikasi dalam aparatus golgi, komponen

surfaktan dibawa dan disimpan dalam badan lamelar. Badan lamelar ini disekresikan

dengan cara eksositosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular mielin. Dari sini

dihasilkan surfaktan monolayer, yang diabsorbsi ke air – liquid interface. Dengan

mikroskop elektron tubular mielin terlihat seperti kisi – kisi berbentuk tabung segi empat.

Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma.

4

Page 5: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II

berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang menjadi sel tipe

I. Serudji J, Sulin D, 2004

Clements(1957) menemukan suatu bahan yang menurunkan tegangan permukaan

terdapat dalam ekstraks – ekstraks salin dari bahan cucian paru. Sifat – sifat permukaan

aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen – komponen suatu kompleks

lipoprotein, yaitu, surfaktan. Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004

Sistem surfaktan paru merupakan suatu kompleks dari protein dan phospholipid

yang dapat menurunkan tegangan permukaan pada alveoli. Penurunan tegangan

permukaan ini mempengaruhi stabilitas alveoli selama respirasi normal. Surfaktan adalah

kompleks antara lipid dan protein, dimana 90 % adalah lipid, dan 10 % protein. 80 % dari

lipid (phospholipid) dari surfaktan terutama terdiri dari phosphatidilcholines (lecitin).

Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) merupakan komponen utama surfaktan paru

yang berjumlah hampir 50% di antara glycerophospholipid dari surfaktan.

Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak kedua, yaitu

8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di alveoli,tapi

secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah oleh

protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan

SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya.

SP-A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik

pengambilan surfaktan oleh sel alveolus epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A

5

Page 6: Tugas Kortikosteroid Obstetri

diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP

(analog), epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein

yang lebih kecil yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids. Cunningham FG et al, 2001;

Jobe AH, Soll RF, 2004

Sel alveoli tipe II yang menghasilkan surfaktan dapat mencegah kolapsnya alveoli

pada saat akhir ekspirasi sehingga bayi dapat bernafas dengan usaha nafas yang minimal.

Dalam kehidupan lebih lanjut, pada saat alveolus ditandai dengan suatu interface air ke

jaringan, badan – badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan –

gerakan semacam pernafasan yaitu: pernafasan janin. Gambaran surfaktan dalam cairan

amnion menunjukkan mulainya pematangan fungsional paru – paru. Cunningham FG et al, 2001

Perkembangan surfaktan pada jaringan paru- rongga udara, mencegah alveoli

kolaps selama ekspirasi dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi

berikutnya. Pada bayi dengan paru- paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan

dalam jumlah yang cukup pada saat lahir sehingga alveolus akan kolaps pada saat akhir

ekspirasi dan tidak mampu berkembang kembali pada saat inspirasi, sehingga pada waktu

inspirasi butuh usaha besar. Kolapsnya alveolus karena kurangnya surfaktan akan

menimbulkan sesak nafas pada BBL yang dikenal respiratory distress syndrome.

Every dan Mead (1959) pertama kali menunjukkan bahwa respiratory distress

syndrome disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan

neonatus. Defisiensi surfaktan paru dengan struktur dan fungsi yang imatur dari paru

dapat menimbulkan gangguan. Cunningham FG et al, 2001

Pengurangan pengembangan paru-paru berperanan penting pada hipoventilasi

alveolus, dan ventilasi- perfusi yang tidak seimbang. Hipoksemia dapat menyebabkan

asidosis metabolik, dan keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan

hipoksemia yang menganggu. Jobe AH, Soll RF, 2004

Secara makroskopik, paru-paru tampak berwarna kemerahan. Paru-paru pada bayi

ini butuh tekanan terbuka yang lebih tinggi untuk mengembangkan paru-paru. Secara

mikroskopik tampak atelektasis difus pada rongga udara bagian distal dengan distensi

pada saluran nafas bagian distal dan area perilimphatik. Atelektasis yang progresif

dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen menimbulkan kerusakan sel

6

Page 7: Tugas Kortikosteroid Obstetri

epitel pada saluran nafas bagian distal, sehingga menimbulkan eksudat matriks fibrin.Stalker

S, 2004

Kekurangan surfaktan menimbulkan atelektasis yang progresif , kolaps alveolar,

berkurangnya pengembangan paru, udem paru, dan pengurangan kapasitas yang sangat

besar untuk pertukaran udara. Situasi ini membuat cepat lelah, penurunan usaha bernafas,

hipoksia, sianosis, asidosis, dan berakhir pada kematian.Arias F, 1993

B. Kortikosteroid

Pengobatan kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan prematur

diperkenalkan pertama kali pada tahun 1972 untuk meningkatkan maturitas paru- paru

janin. Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994 menguatkan

penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian gkukokortikoid antenatal pada ibu

yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm telah menjadi perawatan rutin di

Amerika Serikat. Baru-baru ini meta-analisis berkesimpulan bahwa pemberian

kortikosteroid diutamakan untuk mengantisipasi kelahiran preterm yang dihubungkan

dengan berkurangnya insiden kematian neonatal, RDS, IVH, NEC.NIH,1994;Dudley DJ et al,2003

a. Dasar Ilmiah Penggunaan Kortikosteroid

1. Farmakokinetik

Kadar steroid yang beredar dalam sirkulasi ibu dan janin setelah pemberian

steroid telah diteliti. Regimen asli yang digunakan Liggins adalah suatu suspensi

betametason fosfat 6 mg dengan betametason asetat 6 mg yang diberikan dalam 2 dosis

dengan jarak 24 jam. Campuran ini memberikan peningkatan konsentrasi glikokortikoid

yang cepat dan berkelanjutan. Kadar maksimum betamatason serum ditemukan pada ibu

1 jam dan pada janin 1-2 jam setelah pemberian. Betamatason mempunyai waktu paruh

sekitar 6 jam dan tidak dapat dideteksi 48 jam setelah dosis terakhir. Waktu paruh diduga

lebih panjang pada sirkulasi janin (12 jam). Konsentrasi dalam tali pusat lebih rendah

secara konsisten kadarnya dibanding kadarnya dalam darah ibu (rasio talipusat :darah

ibu :0,37) dan betametason tidak terdeteksi lagi pada janin yang dilahirkan ≥ 40 jam

setelah pemberian steroid terakhir pada ibu. Dudley DJ et al,2003

7

Page 8: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Semua steroid sintetik mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor

yang muncul secara alami dibanding kortisol. Ternyata betametason mempunyai afinitas

5,4 kali lipat dan deksametason 7,1 kali lipat lebih tinggi. Perbandingan pemberian

betametason fosfat/asetat 12 mg setiap 12 jam, deksametason 6 mg setiap 12 jam, dengan

100 mg hidrokortison setiap 8 jam menunjukkan bahwa hidrokortison, diukur setelah 8

jam sebagian besar sudah hilang (cleared). Sebaliknya betametason dan deksametason

masih terdeteksi. Masa kerja peningkatan aktivitas kortikosteroid ± 32 jam untuk

hidrokortison, 60 jam untuk deksametason, dan 72 jam untuk betametason. Ternyata

waktu total pengaruh steroid pada jaringan target adalah lebih lama dibanding jangka

waktu pendeteksian kadar plasma oleh karena pelepasan yang lambat steroid dari

reseptornya. Dudley DJ et al,2003

Karena kerjanya yang dapat diterima, regimen betametason tampak lebih disukai

daripada deksametason. Deksametason mempunyai nilai puncak yang lebih tinggi dan

variasi kadar sirkulasi lebih signifikan. Setelah pemberian betametason, konsentrasi

puncak dari steroid yang tak terikat adalah sama dengan kadar yang muncul setelah lahir

pada janin prematur yang tidak diterapi yang kemudian berkembang menjadi RDS.

Penekanan adrenal diukur sampai 72 jam setelah pemberian betametason, ini lebih sedikit

daripada stressed sick newborns. Karena itu betametason prenatal dapat dibandingkan

dengan respon stress fisiologik yang dialami oleh neonatus. Dudley DJ et al,2003

Betametason dan deksametason hanya sedikit berbeda dalam hal kadar sirkulasi

glukokortikoid aktif pada janin. Betametason kadar puncaknya lebih rendah tapi

peningkatan aktivitasnya lebih lama. Hal ini meramalkan efektifitas yang sama pada

kedua regimen. Klinis tidak terdapat kerugian secara teoritis untuk berpindah- pindah

regimen ke yang lain. Injeksi langsung ke janin tidak mempunyai keuntungan karena obat

ini dapat dengan cepat berpindah melalui plasenta dalam bentuk aktifnya. Dudley DJ et al,2003

b. Metabolisme dan Ekskresi

Hanya sedikit proporsi kortikosteroid yang diekskresikan melalui ginjal, dan

clearance ginjal tidak meningkatkan selama kehamilan. Tempat utama untuk clearance

betametason adalah hati ibu. Suatu mekanisme yang mungkin untuk peningkatan

clearance pada wanita hamil adalah metabolisme betametason oleh unit plasenta janin.

8

Page 9: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Penelitian yang mendukung teori ini termasuk adalah gradian plasma transplasental yang

rendah, metabolisme invitro betametason dalam system human plasenta invitro, tidak

adanya peningkatan dalam metabolisme hepatik intrinsik dari betametason, dan tidak ada

bukti peningkatan ekskresi ginjal. Dudley DJ et al,2003

c. Mekanisme Kerja

1. Pengaruh secara fisiologi

Efek fisiologi glukokortikoid pada perkembangan paru adalah meningkatkan

surfaktan paru. Penelitian-penelitian awal yang dilakukan terhadap kelinci dan domba

menunjukkan bahwa glukokortikoid merangsang pembentukan struktur paru dan mulai

timbul produksi surfaktan paru. Secara histologi dapat diamati sebagai pendataran epitel,

penipisan septum alveolus, peningkatan differensiasi sel. Selain dari efek terhadap

surfaktan , glukokortikoid meningkatkan compliance paru dan volume maksimal paru.

Pemberian glukokortikoid janin juga mengurangi kebocoran protein dari pembuluh

pulmoner ke ruang udara dan meningkatkan clearance cairan paru sebelum kelahiran. Hay

WW,2001; Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001

2. Pengaruh secara biokimia

Mekanisme betametason atau kortikosteroid lainnya yang terbaru untuk

menurunkan frekuensi respiratory distress syndrome, melibatkan induksi protein yang

mengatur sistem biokimia dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi

surfaktan. Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001

Pada sel-sel paru janin manusia yang dikultur, pemberian deksametason

meningkatkan kandungan protein surfaktan A, B, C, D, sambil merangsang aktifitas

semua enzim penting untuk biosintesis fosfolipid. Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin

yang larut meningkat. Pada gilirannya hal ini merangsang perkembangan badan – badan

lamelar, yang kemudian disekresikan ke dalam lumen ruang udara. Glukokortikoid

mempunyai efek- efek tambahan yang membantu pernapasan, dengan cara meningkatkan

aktifitas enzim anti oksidan dan menginduksi protein yang terlibat dalam clearance

cairan paru. Masing-masing efek ini menunjukkan suatu sisi dari pematangan paru janin

9

Page 10: Tugas Kortikosteroid Obstetri

dan berlanjut dengan memfasilitasi transisi dalam pernapasan setelah kelahiran. Dudley DJ et

al,2003; Cunningham FG et al, 2001

3. Pengaruh terhadap jaringan lain

Observasi klinis terhadap efek multisistem terapi steroid terhadap bayi baru lahir

konsisten dengan data yang didapat dari penelitian hewan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kortikosteroid membantu perkembangan hati, usus, kulit, glandula

adrenal, ginjal, dan jantung janin. Contoh-contoh ini menggambarkan efek global steroid

terhadap transisi perkembangan mayor dan menyediakan suatu dasar ilmiah untuk

penggunaan terapi steroid antenatal untuk mempercepat fase perkembangan pada janin

manusia sebelum kelahiran preterm. Dudley DJ et al,2003

d. Tipe kortikosteroid

Deksametason dan betametason merupakan kortikosteroid yang lebih banyak

digunakan untuk terapi antenatal, tapi hidrokortison tidak menunjukkan keuntungan yang

sama. Dua komponen ini identik dalam aktifitas biologi dan dengan mudah melewati

plasenta dalam aktivitas biologinya. Mereka sama sekali tanpa aktifitas

mineralokortikoid, secara relatif lemah dalam aktifitas imunosupresif, dan mempunyai

durasi yang lebih lama daripada kortisol dan metilprednisolon. Mereka juga

kortikosteroid antenatal yang paling luas diteliti untuk peningkatan maturitas janin.NIH, 1994

Komposisi kimia kedua obat ini hanya berbeda pada deksametason mempunyai

suatu kelompok metil di posisi 16 dalam konfigurasi alfa, sedangkan betametason

mempunyai metil di posisi beta. Dudley DJ et al,2003

Liggins dan Howie meggunakan suspensi betametason pada penelitian mereka

karena kortikosteroid fluorinasi melewati plasenta dari ibu ke janin dan mencapai level

darah janin lebih kurang 30% dari level darah ibu, dan juga karena garam asetat

merupakan larutan yang bebas.

Betametason dan deksametason adalah secara struktur fluorinasi

kortikosteroidnya mirip, dan mempunyai potensi genomik yang sama. Betametason

secara signifikan mengurangi kematian, sedangkan deksametason tidak. Pada penelitian

retrospektif Baud dkk dilaporkan bahwa deksametason dihubungkan dengan peningkatan

10

Page 11: Tugas Kortikosteroid Obstetri

kualitatif periventricular leukomalacia, dimana betametason secara signifikan

mengurangi periventricular leukomalacia.

Betametason adalah rangsangan yang lebih poten untuk pematangan paru, efek

kemudian dari perkembangan saraf pada tikus kurang dibandingkan deksametason. Pada

manusia efek variabilitas denyut jantung janin pada betametason kurang dibanding

deksametason, tapi perbedaan ini tidak dijumpai pada penelitian lain. Peningkatan

periventricular leukomalacia yang dihubungkan dengan deksametason antenatal

merupakan hasil dari bahan pengawet sulfit yang terkandung dalam produk itu. Sulfit

dapat merusak sel neural in vitro. Jadi disimpulkan bahwa betametason dan

deksametason tidaklah sama ,dan betametason merupakan obat pilihan untuk pengobatan

kortikosteroid antenatal.Jobe AH et al, 2004

Tabel 1. Glukokortikoid Relatif, Aktifitas Mineralokortikoid dan Dosis Equivalent Pada Steroid Adrenal Natural dan Sintetik

Glukokortikoid Perkiraan dosis equivalent ( mg )

Potensi Relatif Anti inflamasi

(Glukokortikoid )

Potensi Relatif Mineralokortikoid

Kortison 25 0.8 2

Hidrokortison 20 1 2

Prednison 5 4 1

Prednisolon 5 4 1

Triamsinolon 4 5 0

Metilprednisolon 4 5 0

Deksametason 0.75 20-30 0

Betametason 0.65-0.75 20-30 0

Dari Mercer BM.Assesment and Induction of Fetal Pulmonary Maturity.In Maternal Fetal Medicine 4rd ed WB Saunders Company Philadelphia, p.456. 2001

C. Penggunaan kortikosteroid saat antenatal

Pemberian kortikosteroid saat antenatal pada wanita hamil dengan resiko

kelahiran preterm adalah merupakan salah satu terapi yang paling efektif dan penting.

Pemberian kortikosteroid ini dapat memperbaiki fungsi paru janin dan melindungi janin

dari kematian dini.Newnham JP et al, 2002

11

Page 12: Tugas Kortikosteroid Obstetri

a. Indikasi

Beberapa indikasi penggunaan kortikosteroid saat antenatal pada usia kehamilan

24 – 34 minggu :

Persalinan preterm

Perdarahan antepartum (HAP)

Premature ruptur of the membran (PROM)

Ketika usia kehamilan bertambah, wanita hamil yang dirawat sebaiknya diberikan

kortikosteroid untuk mencegah peningkatan insiden RDS.Stalker S, 2004

b. Kontraindikasi

Satu – satunya kontraindikasi penggunaan steroid antenatal adalah infeksi uterin

yang terbukti secara klinis. The British National Formulary menyatakan bahwa terapi

kortikosteroid merupakan kontraindikasi untuk infeksi sistemik. Pada wanita dengan

kelahiran preterm yang mungkin menderita infeksi intra uterin subklinis, anjuran

pemberian steroid pada masa kehamilannya masih dipertanyakan. Mereka meneliti 169

bayi yang mendapat steroid dengan korioamnionitis histologi ditemukan pada evaluasi

patologi post partum terhadap 358 bayi dengan korioamnionitis histologi tanpa terapi

steroid antenatal. Terdapat peningkatan sepsis neonatus yang tidak bermakna (18,3 % vs

14 %). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan steroid antenatal pada wanita dengan

infeksi intra uterin subklinis bukan merupakan kontraindikasi. Dudley DJ et al, 2003;Stalker S, 2004

c. Dosis dan cara pemberian

Dosis yang digunakan adalah untuk deksametason 6 mg intramuskular 4 kali

dengan interval 12 jam. Untuk betametason 12 mg intramuskular 2 kali berjarak 24 jam.

Untuk kedua obat ini, suatu dosis pengobatan menghabiskan waktu 48 jam. Dosis yang

lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan terapi kortikosteroid dan

mungkin meningkatkan kerugian dari efeknya.NIH, 1994; Dudley DJ et al; Cunningham FG et al, 2001; Mupanemunda RH et al, 1997;

Martin JN, 2003

Liggins dan Howie (1972) melakukan studi random dengan pemberian

betametason 12 mg intramuskuler, 2 kali berjarak 24 jam, menghasilkan pengurangan

signifikan insiden respiratory distress syndrome dan penurunan angka kematian perinatal

12

Page 13: Tugas Kortikosteroid Obstetri

yang dilahirkan sebelum 34 minggu. Efek ini hanya terjadi bila kelahiran lebih dari 24

jam dan sebelum 7 hari setelah pemberian terapi glukokortikoid. Mercer BM, 2004; Arias F, 1993

Pasien rawat jalan yang diberikan deksametason oral juga telah dipertimbangkan

pada pasien yang rawat jalan yang mempunyai risiko melahirkan prematur.

Deksametason digunakan sebagai obat oral dengan absorpsi yang baik. Pada sebuah

penelitian yang membandingkan pemberian deksametason antenatal secara intamuskular

dan oral pada 170 pasien yang kemudian dihentikan karena terdapat peningkatan yang

signifikan neonatal sepsis (10.1% oral vs 1.2% im) dan IVH (10.1% oral vs 2.4% im).

Tidak ada penjelasan efek buruk pada janin pada pemakaian deksametason oral ini.

Mereka menyimpulkan bahwa deksametason oral sebaiknya tidak diberikan pada yang

sudah mendapatkan intramuskular. Keuntungan klinis pemberian steroid intravena belum

diteliti pada kehamilan manusia. Jobe AH, 2004

d. Waktu pemberian

Terdapat bukti kuat keuntungan pada neonatal pada pengobatan kortikosteroid

antenatal dimulai 24 jam dan paling lambat sampai 7 hari setelah pengobatan. Fakta ini

percaya bahwa berkurangnya kematian, RDS, dan IVH bahkan pengobatan yang diawali

kurang dari 24 jam pertama kelahiran. Baik secara klinik dan fakta invitro percaya bahwa

efek biologi kortikosteroid berlangsung sampai 7 hari dari awal pengobatan.

Keuntungan klinis melebihi 7 hari setelah terapi kortikosteroid antenatal tidak

mempunyai data yang adekuat. Juga keuntungan atau risiko pengulangan pemberian

terapi setelah 7 hari belum diketahui.NIH, 1994; Evoy CM, 2000

Pada analisis sekunder berdasarkan interval waktu antara pemberian dan

kelahiran, bayi yang dilahirkan antara 48 jam dan 7 hari setelah pemberian pengobatan

glukokortikoid menunjukkan keuntungan yang paling besar (odds ratio 0,35 ). Odds ratio

untuk bayi yang dilahirkan kecil 24 jam – 48 jam pemberian pengobatan (0,8) atau lebih

7 hari (0,63) mengindikasikan potensi kecendrungan efek menguntungkan tetapi tidak

mencapai angka statistik yang bermakna. Crowley P, 1997; Dudley DJ,2003

13

Page 14: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Liggins dan Howie mencatat bahwa frekuensi gawat pernapasan akan meningkat

kalau bayi dilahirkan antara 7-21 hari setelah terapi dengan betametason dibandingkan

dibandingkan frekuensi gawat pernapasan pada bayi yang dilahirkan 1 hingga 7 hari

setelah terapi itu selesai.17,25 Lebih lanjut, Brown dkk (1979) menemukan pada janin

domba bahwa peningkatan kadar surfaktan akan turun kembali kepada nilai sebelum

terapi dalam waktu 8 hingga 10 hari. Karena itu, jika akan digunakan senyawa ini, terapi

ulang harus dipertimbangkan kalau persalinan bayi belum terjadi dalam waktu 7 hari

sejak terapi pertama, dan bila risiko persalinan dini masih terdapat.27 Dua penelitian besar

menunjukkan pengurangan RDS setelah pemberian steroid antenatal. Liggins dan Howie

menemukan bahwa pengobatan betametason antenatal mengurangi insiden RDS 30 %,

dari 15,6 % menjadi 10 % (P=0,02) pada 853 bayi. Ada 60 % pengurangan , dari 23,7 %

menjadi 8,8 %(p=0,001), pada subgroup yang melahirkan di atas 24 jam , tetapi kurang 7

hari setelah pengobatan. Di Amerika Serikat, pada sebuah uji random multisenter

menggunakan deksametason, insiden RDS berkurang dari 16,1 % menjadi 10,1 % pada

janin tunggal yang diberi glukokortikoid antenatal. Dudley DJ,2003

Compliance paru pada bayi yang menerima kortikosteroid antenatal dosis tunggal

tapi dilahirkan setelah 7 hari pengobatan tidak berbeda dengan bayi yang tidak mendapat

pengobatan, yang meyakini bahwa perbaikan compliance paru adalah phenomen yang

dibatasi waktu dimana jika persalinan preterm tidak terjadi , maka pool surfaktan ini

menghilang. Kapasitas residual fungsional pada bayi yang dilahirkan setelah dosis

berulang tapi dengan pengobatan yang optimal ditemukan lebih tinggi daripada bayi

yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian pada binatang telah diperlihatkan bahwa

struktur histologi berubah dengan meningkatnya volume rongga udara setelah pemberian

kortikosteroid antenatal.Evoy CM et al, 2000

e. Umur kehamilan saat pemberian terapi

Berdasarkan usia kehamilan, Howie dan Liggins menunjukkan bahwa efek terapi

yang paling baik pada janin antara usia kehamilan 30-32 minggu. Pengurangan insiden

RDS yang signifikan pada bayi adalah usia kehamilan dibawah 30 minggu dan antara

usia kehamilan 32-34 minggu. Setelah 34 minggu pengobatan hanya memberikan

pengaruh yang sedikit pada outcome pernapasan bayi yang baru lahir.Arias F, 1993

14

Page 15: Tugas Kortikosteroid Obstetri

Untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan 29-34 minggu, pengobatan dengan

kortikosteroid antenatal jelas mengurangi insiden RDS dan mortalitas. Untuk neonatus

yang lahir pada minggu ke 24-28 minggu usia kehamilan, kortikosteroid antenatal tidak

jelas menurunkan angka RDS, tetapi terapi ini berhubungan dengan penurunan derajat

berat RDS, insiden IVH, dan mortalitas. Sedikit bukti yang mendukung pemakaian

kortikosteroid antenatal sebelum usia kehamilan 24 minggu meskipun baru terdapat

sedikit alveoli yang sederhana pada usia kehamilan ini. Penggunaan kortikosteroid

antenatal tidak dianjurkan sebelum usia kehamilan mencapai 24 minggu atau sesudah 34

minggu.NIH,1994; Martin JN, 2003

Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk

pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34

minggu. NIH,1994

National Institute of Health (NIH), American College of Obstetricians and

Gynecologist (ACOG), dan Royal College of Medicine telah memberikan seluruh

pengobatan dengan kortikosteroid antenatal yang telah direkomendasikan terhadap

wanita yang mempunyai risiko melahirkan prematur pada awal 34 minggu usia

kehamilan. NIH,1994; Arias F,1993; Guinn DA et al, 2001

Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk

pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34

minggu. NIH,1994

f. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Kortikosteroid saat antenatal

1. Keuntungan jangka pendek pada bayi

Pengobatan kortikosteroid antenatal pada bayi prematur pada banyak penelitian

secara random telah mengurangi mortalitas neonatal dan insiden RDS. Apabila

dikombinasi dengan pengobatan surfaktan post natal, angka kematian semakin lebih

rendah. Pada meta-analisis menunjukkan pengurangan insiden RDS dengan odds rasio

0.5 (95% Cl 0.4-0.6) dan pengurangan mortalitas neonatal dengan odds rasio 0.6 (95% Cl

0.5-0.8). Data ini signifikan tidak hanya secara statistik, tapi secara klinis juga

menunjang. Perbaikan stabilitas sirkulasi dan berkurangnya kebutuhan oksigen dan

15

Page 16: Tugas Kortikosteroid Obstetri

bantuan ventilasi merupakan keuntungan tambahan pada penelitian tersebut.NIH, 1994; Meneguel

JF et al, 2003

Perbandingan apgar score pada menit pertama dan kelima, bayi baru lahir yang

mendapat kortikosteroid antenatal secara signifikan mempunyai apgar score pada menit

pertama lebih besar daripada bayi yang tidak mendapat kortikosteroid antenatal. Apgar

score yang tinggi ini mungkin karena stabilnya kardiovaskular dan respirasi pada

neonatus prematur yang mendapat kortikosteroid antenatal. Penelitian pada binatang

menunjukkan efek kortikosteroid pada mekanisme adaptasi pada kehidupan ekstra uterin.

Stein dkk mendemostrasikan pada anak domba prematur bahwa kortikosteroid

memperbaiki ventilasi, sirkulasi, dan fungsi metabolik dengan meningkatkan aktifitas

adenil siklase miokardium.

Kortikosteroid juga meningkatkan resptor adrenergik pada dinding pembuluh

darah dan miokardium, yang berpengaruh terhadap stabilnya kardiosirkulasi pada saat

lahir. Hal ini berpengaruh secara tidak langsung dengan berkurangnya frekuensi RDS. Meneguel JF et al, 2003

2. Keuntungan jangka panjang pada bayi

Beberapa studi pada penelitian random telah mengikuti perkembangan bayi

selama 12 tahun . Peningkatan kelangsungan hidup pada pengobatan pada bayi tidak

menghasilkan dampak yang merugikan pada jangka panjang.NIH, 1994

3. Kerugian jangka pendek pada bayi

Risiko pada janin dan neonatus setelah pemberian glukokortikoid antenatal

muncul lebih jarang dan reversibel. Dalam meta-analisis Crowley(1989) tidak ada bukti

yang meyakinkan akan adanya efek samping yang signifikan. Mercer BM, 2004

4. Kerugian jangka panjang pada bayi

Risiko jangka panjang dari pemberian preparat glukokortikoid pada bayi yang

berhasil diselamatkan masih belum diketahui. Penelitian yang diawali pada tahun 1970-

an, yang telah mengikuti perkembangan anak-anak yang telah diobati kortikosteroid

antenatal sampai berumur 12 tahun, menunjukkan bahwa tidak ada efek yang merugikan

pada daerah motor skill, bahasa, kognisi, memori, konsentrasi.

5. Kerugian jangka pendek dan jangka panjang pada ibu

Kerugian jangka pendek dan panjang pada ibu belum pernah dilaporkan.

16

Page 17: Tugas Kortikosteroid Obstetri

17

Page 18: Tugas Kortikosteroid Obstetri

BAB III

KESIMPULAN

1. Terapi kortikosteroid antenatal yang diberikan untuk pematangan paru dapat

mengurangi angka kematian RDS pada bayi preterm.

2. Keuntungan paling luas pemberian kortikosteroid antenatal bila diberikan pada

kehamilan antara 24-34 minggu usia kehamilan, dan tidak dibatasi oleh jenis

kelamin dan ras.

3. Pemberian kortikosteroid antenatal memberikan keuntungan jangka pendek untuk

janin melebihi risiko jangka pendek untuk janin dan ibu.

4. Kortikosteroid akan optimal memperbaiki outcome bayi bila diberikan antara 24

jam sampai 7 hari setelah pemberian

5. Drug of choice untuk kortikosteroid ini adalah betametason.

6. Karena kurangnya data ilmiah dari penelitian mengenai efektivitas dan keamanan

pengulangan kortikosteroid, seharusnya penggunaannya tidak diberikan secara

rutin

18

Page 19: Tugas Kortikosteroid Obstetri

DAFTAR PUSTAKA

Arias F: Preterm Labor, In Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery. Mosby Year Book, Inc, 1993; 71-99.

Crowley P: Prevention of Respiratory Distress Syndrome, In Preterm Labor. Churchill Livingstone Inc, 1997; 319 – 327

Cuningham FG, Macdonald PC, Gant NF Preterm Birth: In Williams Obstetric 21st Ed. The Mc Graw-Hill Companies,New York,2001; 689 – 718.

Dudley DJ, Waters TP, Nathanielsz PW: Current Status of Single-Course Antenatal Steroid Therapy. Clinical Obsteric and Gynecology. (46) (1), 2003, l32-149.

Evoy CM, Bowling S, Williamson K, Collins J, Tolaymat L, Maner J. Timing of Antenatal Corticosteroid and Neonatal Pulmonary Mechanics. Am. J. Obstet. Gynecol. 2000; 183 (4): 845 – 99.

JohnWiley & Sons, Ltd. Different corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk of preterm birth. Discipline of Obstetrics and Gynaecology, The University of Adelaide. 2004

J Obstet Gynecol India. FETAL LUNG MATURITY Vol. 55, No. 3 : May/June 2005 Pg 215-217

French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroid: Size at Birth and Subsequent Development. Am J Obstet Synecol 1999; 180 (1). 114 – 121.

Guinn DA : Repeat Courses of Antenatal Corticosteroids: The Controversy Continues. Am J Obstet Gynecol, 2004; Vol 190. No.3. 586 – 7.

Walter de Gruyter J. Perinat. Med. Recommendations and guidelines for perinatal practice Guideline for the use of antenatal corticosteroids for fetal maturation. New York 36 (2008) 191–196

Stalker S. Antenatal Corticosteroids to Prevent Respiratory Distress Syndrome. Available from http://www.Rcog.org.uk/resources/public/antenatal Corticosteroid No. 7. 2004.

19