Post on 05-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran psikosomatik adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran
yang mempelajari pengetahuan dan perawatan gangguan fisik dengan latar
belakang psikogenik. Tegangan-tegangan emosional yang muncul dari konflik-
konflik yang tidak terpecahkan dan frustasi-frustasi yang berlebihan menyebabkan
reaksi-reaksi tubuh (penyakit-penyakit fisik), misalnya hipertensi, ulkus peptik,
migrain, asma, dan gangguan pada kulit tertentu. Gangguan-gangguan
psikosomatik ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan
pada beberapa bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional.1
Gangguan-gangguan psikosomatik harus dibedakan dari gangguan-gangguan
somatoform. Pada kedua macam gangguan ini, penyebabnya adalah psikologis
dan simptomnya adalah fisik. Perbedaannya adalah pada gangguan-gangguan
psikosomatik, ada kerusakan fisik (misalnya ulkus peptik adalah luka-luka dalam
lapisan perut), sedangkan pada gangguan-gangguan somatofom tidak ada
kerusakan fisik (misalnya individu mengalami sakit perut tetapi perutnya tetap
dalam kondisi baik. Istilah somatoform digunakan karena tidak ada kerusakan
fisik, simtomnya hanya mengambil wujud gangguan somatik.2
Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari.
Dokter umum juga seringkali mendapati pasien dengan keluhan psikosomatik.
Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak
mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu. Keluhannya bisa dari
kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas pendek, hingga berbagai
keluhan yang melibatkan organ tubuh. Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji
dengan pendekatan biopsikososial. Dalam praktik sehari-hari, keluhan tersebut
dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang
merawat.
Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap
pasien, serta memberikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan
keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya hal itu seringkali tidak
dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk
mencari jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal dengan
sebutan “pasien sulit” yang sering menimbulkan rasa frustasi pada pasien dan juga
dokter.3-6
Menurut “United States National Tuberculosis Association” 1967, asma
bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang
meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang
menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis,
dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan, maupun karena
pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.7
Busse dan reed (1988) menganjurkan agar menggunakan definisi asma yang
dibuat atas dasar keperluan operasional tadi merupakan hasil diskusi panel para
pakar dari “Allergy Foundation of America”, yang mendefinisikan asma sebagai
suatu peristiwa (episode) kumat-kumatan dari wheezing dan sesak yang ditandai
dengan peningkatan dari tahanan aliran udara didalam saluran pernapasan yang
secara spontan atau setelah pengobatan terjadi masa bebas gejala dan keluhan
(normal) atau mendekati normal dengan diikuti penurunan tahanan aliran udara
pernapasan.7
Di amerika serikat saat ini diperkirakan ada 6-8 juta penderita asma,
sedangkan di Indonesia jumlah penderita asma belum dapat ditentukan dengan
pasti karena belum ada data. Di Laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr.Soetomo Surabaya
menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat tinggal
menduduki tempat kedua setelah penyakit infeksi tuberkulosis paru.7
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik , batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika
Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di
Rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.
Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).8,9
Asma adalah penyakit kronis yang paling umum di Amerika Serikat, yang
mempengaruhi 5-7% dari populasi, atau sekitar 17 juta orang. kematian telah
meningkat terus sejak awal tahun 1980-an. Komorbiditas dengan gangguan
kejiwaan, banyak peneliti telah menilai komorbiditas psikiatrik pada asma. Pasien
asma memiliki dua kali lipat tingkat kecemasan dan gangguan mood yang buruk
dibanding pasien tanpa asma. Hampir setengah dari pasien asma di pusat
perawatan tersier memiliki penyakit depresi. Studi dari 230 pasien rawat jalan
dengan asma ditemukan bahwa hampir setengah dari mereka positif mengalami
depresi. Goodwin et al menemukan bahwa asma dikaitkan dengan meningkatnya
odds rasio gangguan kecemasan, termasuk panik, fobia sosial, kecemasan umum,
dan fobia spesifik. Pemuda dengan asma memiliki hampir dua kali prevalensi
komorbiditas kecemasan DSM-IV dan gangguan depresi dibandingkan dengan
pemuda non asma.10
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi
5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan
Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)
berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta pusat sebesar
5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.10
Gangguan kecemasan yang lebih sering pada pasien dengan asma ada
beberapa alasan. Kecemasan meningkatkan risiko asma, dan asma meningkatkan
risiko kecemasan. Kecemasan meningkat dengan serangan asma, sensasi kronis
sesak napas, dan antisipasi serangan dalam menanggapi pemicu tertentu.
Gangguan pernapasan menyebabkan berbagai macam gejala kecemasan (serangan
panik, umum dan antisipatif kecemasan, avidance fobia), dan mengi terdengar
memperburuk kecemasan sosial.11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Psikosomatis
1. Definisi gangguan psikosomatis
Terdapat dua klasifikasi yang tumpang tindih. Gangguan
psikosomatis (tidak di dalam DSM-IV) yaitu suatu penyakit fisik yang
sebagian disebabkan atau dicetuskan oleh faktor-faktor psikologis,
sedangkan menurut kategori baru DSM-IV, merupakan faktor-faktor
psikologis yang mempengaruhi medis. Kedua macam klasifikasi tersebut
berlaku hanya pada kondisi-kondisi yang pengaruh faktor psikologis atau
perilaku sangat bermakna. Istilah “psikosomatis” ataupun kategori dalam
DSM-IV mengacu pada (a) suatu gejala fisik atau tampilan klinis yang
disebabkan oleh faktor psikologis dan tidak ada dasar organiknya (misal,
gangguan konversi, gangguan nyeri, gangguan somatisasi), atau (b)
seorang pasien dengan keluhan fisik palsu yang disadari (misal,
gangguan buatan, malingering); tetapi DSM-IV memperbolehkan
keluhan-keluhan fisik akibat gangguan kebiasaan (misal, sesak napas
pada perokok berat, masalah-masalah akibat obesitas).12
Konflik psikologis yang secara bermakna mengubah fungsi somatik
merupakan tanda gangguan psikosomatik. Beberapa jenis distres
emosional mungkin terkait dengan beberapa tipe gangguan psikosomatik
pada anak dan remaja; tipe perasaan dan konflik tertentu tidak
menimbulkan jenis psikosomatik khusus. Nampaknya ada faktor-faktor
baik bawaan sejak lahir, yaitu faktor kerentanan konstitusi (fisik) maupun
faktor lingkungan, keduanya tidak dipahami dengan baik, yang
menentukan mengapa satu organ atau sistem menjadi disfungsi bukannya
yang lain.13
2. Kategori gangguan psikosomatis
Ada tiga kategori gangguan psikosomatis. Pertama, faktor psikologis
yang mempengaruhi kondisi fisik (gangguan psikofisiologis), terjadi bila
reaksi psikologis pada stimuli eksterna atau interna mempengaruhi
perkembangan atau kambuhnya kondisi fisik dengan aspek patologis
organik yang dapat diperagakan (misalnya, diabetes melitus, artritis
reumatoid, atau asma). Kedua, gangguan somatoformis, datang dengan
keluhan somatis dan/atau disfungsi yang tidak berada di bawah kendali
kesadaran dan yang tidak ada penyebab organik yang dapat diperagakan.
Gangguan ini meliputi gangguan dismorfik tubuh, gangguan konversi,
hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan gangguan nyeri somatoformis.
Ketiga, gangguan palsu, datang dengan keluhan somatik dan psikologis
dan/atau disfungsi yang dikendalikan secara sadar dan diimbas sendiri
untuk tujuan mendapatkan keuntungan sekunder.13
Meskipun ada banyak teori mengenai penyebab, pendekatan
biopsikososial dari Engel tentang perkembangan dan psikopatologi
memberikan pemahaman yang paling kuat dan meyakinkan. Faktor-faktor
watak yang mendasari, stress lingkungan, masalah-masalah keluarga, dan
psikodinamik individu, kesemuanya, memberikan kontribusi, yang satu
lebih dari yang lain, tergantung pada situasi. Gagasan kuno akan tipe-tipe
kepribadian spesifik menimbulkan gangguan-gangguan tertentu belum
terbukti.
Gangguan konversi, kehilangan atau perubahan fungsi fisik tanpa
penyakit organik yang dapat diperagakan, merupakan tipe gangguan
somatoformis yang biasanya muncul pada masa remaja atau dewasa.
Namun, banyak kasus pada masa anak yang telah terjadi. Reaksi konversi
biasanya mulai secara mendadak, sering dapat terlacak pada peristiwa-
peristiwa lingkungan yang mempercepat, dan berakhir dengan cepat
setelah masa waktu yang singkat. Otot dan organ indera khusus yang
dikendalikan dengan sengaja merupakan tempat sasaran yang paling sering
untuk pengungkapan “histeris” konflik psikologis. Reaksi-reaksi tersebut
mungkin ada dalam banyak bentuk, meliputi kebutaan histeris, paralisis,
diplopia, gangguan gaya berjalan, kejang, dan yang serupa karena histeri.
Pemeriksaan fisik sering gagal menampakkan abnormalitas yang objektif.
Riwayat penderita biasanya menunjukkan hubungan yang dekat dengan
orang yang memperlihatkan gejala yang sama atau memperlihatkan
episode baru dari penyakit yang sebenarnya.
Hipokondria, hanyut dengan rasa takut menderita penyakit serius dan
gangguan somatisasi, penggunaan banyak keluhan somatik sebagai cara
penurunan ketegangan bagian dalam, adalah juga merupakan gangguan
somatoformis. Seperti pada histeria konversi, gangguan ini memberikan
alur dan mekanisme alternatif untuk pelepasan ketegangan fisiologis dan
emosional. Masa remaja dan dewasa awal adalah saat yang paling lazim
untuk presentasi dari masing-masing, meskipun keduanya dapat dilihat
pada beberapa kecemasan, anak usia sekolah yang sering memiliki model
peran orang dewasa biasanya tergantung pada gambaran gejala yang
serupa.13
3. Mekanisme terjadinya gangguan
Ada banyak penyakit spesifik yang sangat dipengaruhi faktor
psikologis. Walaupun telah banyak diteliti, mekanisme otak dalam
menimbulkan patologi organik hingga kini belum jelas.
a. Mekanisme psikologis
Stress baik internal maupun eksternal, ada pada gangguan tersebut,
tetapi tampaknya lebih menyebabkan penyakit jika:
1) Stress tersebut berat (misal, kematian orang yang dicintai,
perceraian atau perpisahan, penyakit atau cedera berat, krisis
finansial, ditahan). Holmes dan Rahe mengembangkan suatu skala
bertingkat mengenai peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan
stress (diukur dengan unit perubahan hidup-LCU (life change unit)
dan menemukan hubungan yang dekat dengan stress yang dialami
pada peristiwa kehidupan dengan kecenderungan pasien untuk
mengalami gangguan fisik.
2) Stress kronis
3) Pasien menganggap stress tersebut sangat memberatkan.
4) Ketidakstabilan umum pasien meningkat (misal, kesulitan dalam
pekerjaan, perkawinan bermasalah, menjadi penduduk urban,
mengganggu lingkungan sosial, dll)
Dahulu menurut F.Dunbar ciri bawaan kepribadian superfisial yang
spesifik menyebabkan penyakit-penyakit organik spesifik (misal,
kepribadian koroner, kepribadian ulkus, dll). dahulu juga dikemukakan
(F.Alexander) bahwa konflik neurotik spesifik yang dalam, nirsadar dan
tidak terselesaikan, menimbulkan gangguan-gangguan fisik tertentu. Kini,
spesifitas yang secara umum diterima, menghubungkan kepribadian tipe
“A” (misal, rasa diburu waktu, tidak sabar, agresif, cenderung
meningkatkan upaya, kompetitif, cenderung marah apabila frustasi, dan
terutama mempunyai hostilitas yang sinis) dengan penyakit arteri koroner.
Yang secara umum lebih diterima yaitu hipotesis tidak spesifik
mengaitkan berbagai macam stress dengan perkembangan penyakit pada
seorang individu, sebagai berikut:
1) Adanya kerentanan genetik
2) Suatu derajat kelemahan kronis, saat ini menderita penyakit, atau
“suatu kerentanan organ”
3) Adanya kecenderungan untuk bereaksi terhadap stress dengan
kemarahan, dendam, frustasi, anxietas, atau depresi.
4) Adanya “kerentanan psikologik” (misal, seorang pasien yang
pesimis dan “mengharapkan hal yang terburuk,” bukan optimis dan
aktif berusaha untuk mengatasi stress.)
5) Kepribadian “aleksitimik”(misal, seseorang yang jarang
menggunakan emosinya dan miskin kehidupan fantasinya).
b. Mekanisme fisiologik
Mekanisme-mekanisme ini sangat kurang dimengerti dan hanya dapat
digambarkan garis besarnya saja. Stress diterima secara kognitif (oleh
korteks serebri) tetapi setelah dikenali akan diperantarai terutama oleh
sistem limbik, yang di bawah stress kronis akan terus menerus
memberikan stimulasi pada hipotalamus dan pusat vegetatif di batang
otak. Stimulasi ini akan memberikan efek langsung pada organ-organ
dengan:
1) Pengaktifan susunan saraf otonom (simpatik dan medulla
adrenal;parasimpatik)
2) Keterlibatan sistem neuroendokrin, yaitu releasing hormones dari
hipotalamus melalui sistem portal hipofisis ke hipofisis anterior,
tempat keluarnya hormon-hormon tropik (misal,ACTH, TSH, GH,
FSH) yang melakukan aksi secara langsung atau mengeluarkan
hormon-hormon lain dari kelenjar endokrin (misal, kortisol,
tiroksin, epinefrin, norepinefrin, hormon-hormon seks). Hal ini
menyebabkan berbagai perubahan pada struktur-struktur tubuh.
Hal-hal yang rinci masih harus diteliti lebih lanjut; masih lebih
banyak perhatian daripada jawaban. Hormon yang baru-baru ini telah
diidentifikasi, yaitu endorfin, mungkin mempunyai peran yang besar di
dalam pengaturan respons terhadap stress. Inti dari sistem fisiologik ini
adalah konsep homeostasis—gangguan psikosomatis muncul apabila
“keseimbangan alamiah” tubuh terganggu, terutama apabila terjadi
secara kronis.
Walaupun ilmu kedokteran psikosomatik semula hanya mencakup
penyakit yang diyakini sebagai “psikosomatik”, kini konsep itu telah
diperluas dengan memasukkan (atau bertumpang tindih dengan) bidang
ilmu kedokteran perilaku. Inti dari ilmu kedokteran perilaku ialah
aplikasi teknik modifikasi perilaku yang berasal dari teori belajar untuk
mengatasi berbagai problem medis (nyeri kronis, hipertensi, dan
penyakit psikosomatik lainnya, gangguan-gangguan kebiasaan, dsb).
Teknik yang digunakan antara lain, metode behavioral self-
management, biofeedback, hipnosis,dan berbagai prosedur relaksasi.12
4. Gangguan-gangguan psikosomatik spesifik
Walaupun stress dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit
apapun dan saat ini dipandang bahwa kebanyakan penyakit ditentukan
oleh mutifaktor. Penyakit-penyakit yang paling jelas memiliki kontribusi
psikosomatik mayor mencakup gangguan-gangguan berikut ini: (1)
Kardiovaskuler yang meliputi penyakit arteri koroner, hipertensi, aritmia,
hipotensi (pingsan), gagal jantung kongestif, penyakit Reynaud, dan
migren, (2) Saluran napas yang meliputi asma bronkial, demam hay,
tuberkulosis, dan sindrom hiperventilasi, (3) Gastrointestinal yang
meliputi ulkus peptikum, kolitis ulserativ, dan obesitas, (4)
Muskuloskeletal yang meliputi artritis reumatoid, nyeri kepala tegang
otot, tortikolis spasmodik, fibromialgia, dan nyeri punggung bawah, (5)
Endokrin, (6) Genitourinarius, (7) Nyeri kronis, (8) Lainnya yang
meliputi kulit, keganasan, hematologi, kecenderungan mendapat
kecelakaan, sindrom kelelahan kronis, dan kejang.12
B. Asma Bronkial
1. Definisi Asma Bronkial
Definisi yang diterima secara universal tidak ada. Hal ini
menunjukkan bahwa asma bukan penyakit spesifik tetapi suatu sindrom
yang berasal dari mekanisme precipitatory multiple dan menyebabkan
kompleks klinis yang sering seperti obstruksi saluran napas. Definisi yang
paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel National Institute of
Health (NIH)-National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI).
Menurut NHLBI, (Guidelines for the Diagnosis and Management of
Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas
dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T,
makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu rentan proses inflamasi
tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa penuh
dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait
dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering
reversibel spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan
peningkatan hiperesponsif saluran napas terhadap berbagai stimuli.14
Asma adalah sindrom yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas
yang nyata, baik secara spontan dan dengan pengobatan. Asma tipe khusus
yakni peradangan pada saluran nafas yang membuat mereka lebih
responsif dibanding pasien non asma untuk berbagai pemicu,
menyebabkan penyempitan berlebihan di aliran nafas dengan gejala
dyspnea dan tanda mengi. Penyempitan saluran nafas biasanya reversibel,
tetapi pada beberapa pasien dengan asma kronis mungkin ada unsur
obstruksi aliran nafas ireversibel.15
2. Etiologi
Asma adalah penyakit heterogen dengan interaksi antara faktor genetik
dan lingkungan. Beberapa faktor risiko telah terlibat:
a) Atopi. Atopi adalah faktor risiko utama untuk asma, dan individu
non-atopic mempunyai risiko yang sangat rendah untuk
berkembangnya asma. Pasien dengan asmabiasanya menderita
penyakit atopic lain, khususnya rhinitis alergi, yang dapat
ditemukan di lebih dari 80% pasien asma, dan dermatitis atopik
(eczema). Atopik dapat ditemukan 40% -50% dari populasi di
negara-negara makmur, dengan hanya sebagian dari individu atopik
menjadi asma. Pengamatan ini menunjukkan bahwa beberapa
faktor lingkungan atau genetik lainnya merupakan predisposisi
perkembangan asma pada individu atopik. alergen yang
menyebabkan sensitisasi biasanya protein yang memiliki aktivitas
protease, dan alergen umum yang berasal dari tungau debu rumah,
bulu kucing dan anjing, kecoa, rumput, dan serbuk sari pohon, dan
hewan pengerat (dalam pekerja laboratorium). atopi disebabkan
genetik ditentukan produksi antibodi IgE spesifik, dengan banyak
pasien yang menunjukkan riwayat keluarga penyakit alergi.
b) Asma intrinsik. Sebagian kecil pasien asma (10%) memiliki hasil
negatif pada skin test untuk uji alergen inhalan umum dan
konsentrasi IgE serum normal. Pasien dengan non atopik atau asma
intrinsik, biasanya menunjukkan onset penyakit di kemudian hari
(onset dewasa asma), umumnya memiliki polip hidung secara
bersamaan, dan mungkin aspirin-sensitif. Mereka biasanya lebih
parah, terjadi asma persisten. Sedikit yang mengerti tentang
mekanismenya, tetapi hasil imunopatologi di biopsi bronkus dan
dahak tampaknya identik dengan yang idtemukan pada asma
atopik.
c) Infeksi. Meskipun infeksi virus yang umum adalah pemicu
eksaserbasi asma, tetapi belum diketahui pasti apakah berperan
dalam etiologi asma. Ada beberapa hubungan antara pernapasan
infeksi virus syncytial pada masa bayi dengan perkembangan asma,
namun patogenesis masih sulit untuk dijelaskan, karena infeksi ini
sangat umum pada anak-anak. baru-baru ini, bakteri atipikal seperti
Mycoplasma dan Chlamydia telah terlibat dalam mekanisme asma
berat, tapi bukti sejauh ini dari asosiasi belum begitu meyakinkan.
d) Faktor lingkungan. Ada kemungkinan bahwa faktor lingkungan
dalam kehidupan awal menentukan individu atopi menjadi asma.
Peningkatan prevalensi asma, terutama di negara-negara
berkembang, selama beberapa dekade terakhir juga menunjukkan
pentingnya mekanisme lingkungan berinteraksi dengan
kecenderungan genetik.
e) Hipotesa kebersihan. “Hipotesa kebersihan” ini mengusulkan
bahwa kurangnya infeksi pada anak usia dini mempertahankan bias
terbentuknya sel Th2, sedangkan paparan infeksi dan hasil
endotoksin memicu respon Th1 sebagai pelindung yang dominan.
Contohnya anak yang dibesarkan di peternakan yang terpapar
tinggi endotoksin cenderung untuk mengembangkan sensitisasi
alergi dibandingkan anak yang dibesarkan di peternakan sapi perah.
Infeksi parasit usus juga dapat dikaitkan dengan penurunan risiko
asma.
f) Diet. Peran faktor diet masih kontroversial. Studi observasional
telah menunjukkan bahwa diet rendah antioksidan, seperti vitamin
c dan vitamin, magnesium, selenium, dan lemak omega-3 tak jenuh
ganda (minyak ikan), atau tinggi natrium dan omega-6 tak jenuh
ganda yang terkait dengan peningkatan risiko asma .
g) Polusi udara. Tidak ada keraguan pada polusi udara, seperti sulfur
dioksida, ozon, dan pertikel diesel, bisa menjadi pencetus gejala
asma. Banyak juga yang berpendapat terhadap pengaruh polusi
udara terhadap asma lebih tinggi di kota-kota dengan tingkat polusi
akibat lalu lintas yang tinggi dibanding pedesaan yang rendah
polusi.
h) Allergen. Menghirup allergen adalah pemicu yang umum dari
gejala asma dan juga telah terlibat dalam sensitisasi alergi. Paparan
debu di rumahadalah faktor risiko sensitisasi alergi dan asma pada
anak.15
3. Patofisiologi
Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan
dalam saluran napas, sebagai berikut:
a) Bronkokonstriksi. Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai respons terhadap
berbagai stimuli seperti alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut
akibat alergen terjadi lewat Ig-E dependent release of mediator dari
sel mast. Juga ada mekansime non Ig-E dalam pelepasan mediator.
b) Edema saluran napas. Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor
lain yang menghambat aliran udara antara lain: edema, hipersekresi
mukus, mukus plug, hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran
nafas.
c) Hiperesponsif saluran nafas. Mekanisme hiperesponsif saluran nafas
bersifat multipel termasuk inflamasi, disfungsi neuroregulasi dan
perubahan struktural.
d) Airway remodelling. Airway remodelling menimbulkan perubahan
struktural yang meningkatkan hambatan aliran udara saluran nafas dan
hiperesponsif saluran nafas dan menyebabkan pasien kurang respons
terhadap pengobatan.14
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur immunologis dan saraf otonom.
Jalur immunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe 1 (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi,
antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
bergranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas.15-17
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.15-17
4. Tanda dan gejala
Tanda: takipnea; terdengar mengi; dada hyperinflated; bunyi perkusi
hiperresonan; masukan udara menurun; mengi polifonik luas. Serangan
berat: ketidakmampuan menyelesaikan kalimat; nadi >110/mnt; RR
>25/mnt; PEF 33-50%. Serangan yang mengancam nyawa: silent chest;
pusing; lemas; sianosis;(PaO2 <8kPa tapi PaCO2 4,6-6,0, SpO2
<92%);bradikardi; PEF <33%.
Gejala: dyspnea intermittent, mengi, batuk (sering nokturnal), dan sputum.
Tanyakan spesifik tentang:
- Presipitants: udara dingin, latihan, emosi, allergen (tungau debu
rumah, serbuk sari, bulu), infeksi, merokok dan merokok pasif, polusi,
OAINS, β-blocker.
- Latihan: mengukur toleransi latihan
- Tidur terganggu
- Penyakit atopik lain: eksema, demam hay, alergi, atau riwayat
keluarga?
- Rumah (terutama tempat tidur): binatang peliharaan?karpet? bantal?
Dll
- Pekerjaan : jika gejala berkurang setiap akhir pekan atau saat liburan,
mungkin pekerjaan sebagai pemicu terjadinya asma yang diderita
(15% kasus berhubungan dengan pekerjaan, seperti : penyemprot cat,
prosessor makanan, tukang las, dan penangan hewan.18
5. Diagnosis
Pemeriksaan ini membantu penegakan diagnosis penyakit asma:
a. Pemeriksaan faal paru memperlihatkan tanda-tanda penyakit
obstruktif jalan nafas, kapasitas vital yang normal rendah atau
menurun, dan kapasitas total paru serta kapasitas resiudal yang
meningkat. Faal paru dapat normal pada saat-saat diantara serangan.
Tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) serta PaCO2 biasanya
mengalami penurunan, kecuali pada asma berat, dengan PaCO2 bisa
normal atau meningkat, yang menunjukkan obstruksi bronkus yang
berat.
b. Kadar IgE serum dapat meningkat akibat reaksi alergi.
c. Analisis sputum dapat mengindikasikan adanya spiral Curshmann
(endapan berbentuk silinder dari jalan nafas), kristal Charcot-Leyden
dan sel-sel eosinofil.
d. Hitung darah lengkap dengan hitung jenis mengungkapkan
peningkatan jumlah eosinofil.
e. Foto rontgen thorax dapat dilakukan untuk mendiagnosis atau
memonitor perkembangan penyakit asma dan mungkin
memperlihatkan hiperinflasi disertai daerah-daerah atelektasis.
f. Analisis gas darah asrteri dapat mendeteksi hipoksemia (PaO2 yang
menurun; PaCO2 yang menurun, normal atau meningkat) dan
mengarahkan terapi.
g. Hasil tes kulit dapat mengenali alergen yang spesifik. Hasil yang
terbaca dalam waktu satu atau dua hari mendeteksi reaksi dini,
sesudah empat atau lima hari , reaksi lanjut.
h. Tes provokatif bronkus mengevaluasi makna klinis alergen yang
ditemukan melalui tes kulit.
i. Elektrokardiografi memperlihatkan sinus takikardi pada saat
serangan; serangan yang berat dapat menunjukkan tanda-tanda kor
pulmonale yang akan hilang setelah serangan terjadi.
6. Penanganan
Terapi obat bagi penyakit asma secara khas didasarkan pada intensitas
penyakit. Koreksi asma secara tipikal meliputi:
a. Pencegahan dengan mengenali dan menghindari faktor-faktor
presipitasi, seperti alergen atau iritan dari lingkungan, pencegahan
merupakan tindakan terbaik.
b. Desensitisasi terhadap alergen tertentu- sangat membantu jika
stimulus tidak bisa dihilangkan sepenuhnya—yang mengurangi
intensitas serangan asma ketika terpajan alergen tersebut di kemudian
hari.
c. Pemberian preparat bronkodilator—yang meliputi obat-obat golongan
metilxantin (teofilin serta aminofilin) dan agonis adrenergik-beta2
(albuterol dan terbutalin) untuk mengurangi bronkokonstriksi,
meredakan edema pada jalan nafas bronkial, dan meningkatkan
ventilasi paru.
d. Pemberian kortikosteroid (seperti hidrokortison, sodium suksinat,
prednison, metil prednisolon dan beklometason) untuk memberikan
efek antiinflamasi dan imunosupresi, yang akan mengurangi reaksi
inflamasi dan edema pada jalan nafas.
e. Pemberian obat-obat penstabil sel mast (natrium kromolin dan
natrium nedokromil) yang efektif bagi pasien asma atopik dengan
serangan musiman
f. Pemberian obat-obat pengubah leukotrien seperti zileuton dan
antagonis reseptor leukotrien, seperti montelukas (singulaiir) serta
zafirlukas akan menghambat efek bronkokonstriksi dan inflamasi
yang ditimbulkan oleh leukotrien sisteinil.
g. Pemberian obat-obatan bronkodilator antikolinergik, seperti
ipatropium yang menyekat asetilkolin, yaitu mediator kimia yang
lain.
h. Pemberian oksigen yang dilembabkan dengan kecepatan aliran yang
rendah dapat diperlukan untuk mengatasi dispnea, sianosis, dan
hipoksemia.
i. Ventilasi mekanis, diperlukan jika pasien tidak bereaksi terhadap
dukungan ventilasi pendahuluan dan terapi obat atau bila pasien
mengalami gagal nafas.
j. Latihan relaksasi, seperti yoga untuk membantu meningkatkan
peredaran darah dan memulihkan pasien dari serangan asma.19
C. Aspek Psikosomatis pada pasien asma
Dari sudut pandang psikosomatik teori dan hipotesis tentang timbulnya
asma sudah dipelajari sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Terdapat 2 hipotesis
besar tentang asma yaitu teori psikoanalisis dari teori conditioning.
1) Teori berdasarkan psikoanalisis.
Teori ini dikemukakan oleh Alexander dkk. Yang mengemukakan
bahwa serangan asma dapat dicetuskan dan diperberat oleh adanya
kemarahan atau kecemasan yang tertekan (terpendam) akibat
ketergantungan kebutuhan akan kasih sayang kedua orang tua
(terutama figur ibu) sekaligus khawatir akan kehilangan kasih
sayangnya. Situasi konflik psikososial ini menimbulkan konflik
internal yang dimulai sejak kecil dan terus menetap hingga pasien
dewasa. Pada asma ditemukan konflik antara menangis (crying) dan
percaya (confiding) pada image ibu yang dikhawatirkan akan hilang
oleh anak tersebut. Serangan asma merupakan tangis yang tertekan
atau rasa takut terasing dari ibu berpindah ke komunikasi nonverbal
yaitu asma. Umumnya adanya beban psikis, terganggunya integrasi
psikis dan integrasi psikososial sangat berhubungan dengan timbulnya
asma.
2) Teori Conditioning
Teori conditioning telah dikemukakan oleh Dekker dkk. Yang
menyebutkan bahwa serangan asma merupakan serangan psikogenik
tanpa adanya suatu allergen dan dicetuskan oleh suasana psikis
(konflik psikis) serta stimulus-stimulus yang serupa atau mirip dengan
kondisi yang pernah dialami saat serangan pertama.
Dengan perkembangannya penemuan-penemuan baru mengenai
patogenesis asma (teori hiperaktivitas dan inflamasi kronis) maka bila
dirangkum secara keseluruhan timbulnya asma dapat dipengaruhi oleh 3
faktor yaitu faktor genetik; faktor lingkungan dan faktor individu beserta
problem psikososial yang melekat padanya.
Ketiga faktor tersebut dirinci sebagai berikut:
Faktor genetik. Yang termasuk faktor genetik ialah adanya atopi dan
hiperaktifitas bronkus yang dibuktikan pada anggota keluarga dan anak
kembar.
Faktor lingkungan. Alergen seperti debu rumah, pollen, infeksi virus dan
bakteri, polusi udara merupakan faktor penting yang mencetuskan asma.
Faktor individu. Telah diyakini bahwa sebagian pasien asma memiliki
pengalaman hidup yang penuh dengan stress sebelum atau pada saat awitan
dari serangan; pada saat timbulnya eksaserbasi atau relaps setelah mengalami
remisi yang cukup lama. Adanya stressor dan kemampuan untuk
mengatasinya sangat mempengaruhi perjalanan klinis asma. Pasien asma
umumnya menyimpan problem psikososialnya menjadi konflik internal dan
jarang meminta pertolongan walaupun dalma kesulitan apapun.
Pasien asma memiliki struktur kepribadian yang khusus yang khas untuk
mereka. Tidak berbeda apakah ada lergi/atopi atau tidak. Kalaupun ada
perbedaan sifatnya gradual hanya sedikit saja. Kepribadian yang khas pada
pasien asma disebabkan adanya gangguan/hambatan pada perkembangan
kepribadian mereka.
Perkembangan fase oral yang terganggu memberikan tanda-tanda
keinginan untuk diasuh atau dilindungi, sedangkan tanda-tanda gangguan
perkembangan pada fase anal ialah kecenderungan untuk kebersihan.
Hipersensitivitas pasien asma terhadap bau-bauan mungkin ada hubungannya
dengan kecenderungan kebersihan ini. Sebagian pasien asma menunjukkan
hipersensitivitas terhadap bau-bauan. Hipersensitivitas terhadap bau-bauan ini
bersifat sangat subjektif.
Struktur kepribadian asma 50% bersifat ansietas (sering obsesi-kompulsif)
dan 40% bersifat depresif. Pada pria lebih banyak ansietas sedangkan pada
perempuan lebih banyak kecenderungan depresi.
Sudah diyakini bahwa faktor psikis (individu) sangat mempengaruhi asma.
Ia dapat mencetuskan serangan dan mempengaruhi perjalanan penyakitnya.
Faktor psikis juga dapat berkembang menjadi penyakit psikosomatik yang
kemudian berjalan bersama-sama dengan penyakit asmanya dan memperburuk
keadaan penyakitnya. Keadaan ini disebut sebagai ko-insidensi atau ko-
morbiditas antara asma dengan penyakit psikosomatik. Gangguan
psikosomatik yang muncul dapat berupa ansietas maupun depresi.
Asma sendiri dapat merupakan stressor untuk terjadinya gangguan
psikosomatik. Artinya perjalanan asma yang panjang dan lama dapat
menimbulkan gangguan psikis berupa ansietas maupun depresi.
Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa pada pasien asma yang ringan
gangguan psikosomatik yang muncul lebih banyak berupa ansietas sedangkan
pada asma berat dan tergantung pada steroid umumnya ditemukan depresi.
Problem psikis yang dialami pasien biasanya berupa stressor psikososial
yang tak bisa diselesaikan. Stressor psikososial inilah yang kemudian
membangkitkan serangan asma atau memperburuk perjalanan penyakitnya.
Pendekatan terapi psikosomatik. Pendekatan terapi pada pasien asma
sebaiknya dengan melakukan pendekatan psikosomatik yaitu melakukan
pengobatan menyeluruh dengan memperhatikan segala aspek yang
mempengaruhi penyakitnya. Pengobatan dimulai dengan menciptakan
hubungan yang baik antara dokter dengan pasien, dengan tindakan dokter
yang netral tidak berprasangka dan tidak berlebihan.
Terhadap gejala-gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar
yang sudah baku sesuai dengan tingkatnya beratnya penyakit (bronkodilator,
kortikosteroid).
Sedangkan untuk gangguan psikosomatik seperti adanya ansietas atau
depresi secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta
pemberian psikofarmaka yang sesuai. Bila perlu diberikan psikoterapi
terhadap lingkungan atau keluarga.
Pada gangguan ansietas yang menyertai atau mencetuskan asma dapat
diberikan golongan benzodiazepin seperti alprazolam, klobazam, atau
golongan non benzodiazepin seperti buspiron. Bila dijumpai adanya depresi
maka dapat diberikan antidepressan yang aman misalnya golongan SSRI
(Selective serotonin Reuptake Inhibitor) seperti sertralin, fluoksetin,
paroksetin, dan fluvoksamin.
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang belum
ada standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi
superfisial, edukasi, dan instruksi.
Program pendekatan psikosomatik selangkah demi selangkah (stepwise)
sesuai dengan beratnya asma antara lain berupa;
- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok (misalnya membentuk
kelas asma atau group asma). Kepada mereka diberikan
penerangan/edukasi mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme
timbulnya, faktor risiko, diagnosis sederhana, pengobatan, dan pencegahan
penyakit. Psikoterapi individual diberikan untuk meningkatkan daya
adaptasi dan kemampuan untuk menyelesaikan atau menghilangkan
stressor psikososial yang dialami pasien.
- Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR (Peak
Expiratory Flow Rate)
- Autogenic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan memahami
bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi-reaksi tertentu pad abadan
seperti terjadinya bronkospasme.
- cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian dari diri
sendiri kepada hal-hal lain yang bermanfaat atau hobi.
- Psikoterapi analisis yang sederhana.20
BAB III
TINJAUAN KEISLAMAN
Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan raga yang terdapat
pembawaan-pembawaan yang dapat terpengaruh, baik oleh kata-kata yang tertulis
maupun kata-kata yang terdengar. 21Dalam hal ini, jiwa sebagai pelengkap raga
juga bisa mengkondisikan seseorang untuk menjalarkan kedamaian dan penyakit,
yang membawanya ke arah benar ataupun salah.22
Dalam ilmu kejiwaan atau biasa disebut dengan ‘ilmu al-nafs’ yaitu ilmu yang
mengkaji tentang jiwa, ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian
pula penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmad Ibn Sahl Al-
Balkhi pada abad ke 10 (850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga
berkaitan erat dengan penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan
raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memilki keserasian jiwa dan raga. Jika
badan sakit, jiwa tidak mampu berpikir dan memahami, dan akan gagal menikmati
kehidupan. Sebaliknya, jika jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan
kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. 23
Untuk mendapatkan serta menggapai ketenangan dan kebahagiaan hidup bagi
hidup manusia modern diperlukan suatu solusi, dan solusi yang tepat adalah
mengacu pada terapi psikologis, karena problem ketenangan dan kebahagiaan
lebih merupakan bagian dari problem psikologis. Hal ini didasarkan atas asumsi
bahwa pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat materialistik belum tentu
dapat menjamin seseorang untuk memperoleh suatu ketenangan dengan
pemenuhan materi dalam mengantisipasi problem manusia, sebab kesucian jiwa
akan dapat menyebabkan kejernihan diri lahir dan batin.23 Disamping itu, bahwa
manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok (rohani dan jasmani atau jiwa dan
raga) yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, karena jika dipisahkan ia
tidak dapat dinamakan dengan manusia.24
Dari psikolog muslim, seperti Al-Ghazali mengatakan, kebahagiaan manusia
sangat tergantung pada pembahasan terhadap jiwanya, sebaliknya, kegagalan
memahami jiwanya menyebabkan ketidakmampuannya dalam memperoleh
kebahagiaan hidup, maka iman dan akhlak solusinya.25 oleh karena itu, teori
kesehatan jiwa Ibnu Sina dalam karyanya al-syifa (The Book of Healing)
mengatakan, kesehatan jiwa tidak terlepas dengan pembahasan akhlak, artinya
orang yang berakhlak baik menjadikannya mencapai kebahagiaan, ketentraman,
kejayaan dan keselamatan hidup.26 sementara itu Al-Razi dalam Al-Tib al-
Ruhaniy untuk mencapai kesehatan jiwa maka jalan yang harus ditempuh dengan
pola hidup sufistik.
Menurut hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa penyakit-penyakit itu adalah juga
ciptaan Allah SWT., sebagaimana Allah pula yang menjadikan obatnya kecuali
satu macam penyakit yaitu penyakit tua,sehingga diserukan kepada manusia yang
menderita suatu penyakit agar berobat, ditegaskan pula oleh Allah dalam firman-
Nya pada AlQuran surah Asy syu’ara:80
يِن� ِف� َي�ْش� َو� ُه َف� ُت َم�ِر�ْض� �َذ�ا ِإ َو�
Artinya:
“Dan bila aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku”.27
BAB IV
KESIMPULAN
Gangguan psikosomatik merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi
medis. Konflik psikologis yang secara bermakna mengubah fungsi somatik
merupakan tanda gangguan psikosomatik.
Asma bronkial merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai oleh
obstruksi aliran jalan nafas. Dan respon jalan nafas yang berlebihan terhadap
berbagai bentuk rangsangan.
Aspek psikosomatis pada pasien asma, terdapat 2 hipotesis besar yakni teori
psikoanalisis dan teori conditioning.
DAFTAR PUSTAKA
1. Semiun, yustinus. Kesehatan Mental 1.”Pandangan umum mengenai
penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori-teori yang
terkait.yogyakarta:KANISIUS.
2. Semiun,Yustinus. Kesehatan Mental 2. Gangguan-gangguan kepribadian,
reaksi-reaksi simtom khusus, gangguan penyesuaian diri anak-anak luar
biasa, dan gangguan mental yang berat.yogyakarta:kanisius 2006.
3. Simon GE, Gureje O. Stability of somatization disorder and somatization
symptoms among primary care patients. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:90-
5.
4. Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. Somatic symptoms in
primary care: Etiology and outcome. Psychosomatics. 2003;44:471–8.
5. Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL. Somatic
complaints in primary care: Further examining the validity of the patient
health questionnaire (PHQ-15). Psychosomatics. 2006;47:392-8.
6. Bronheim HE, Fulop G, Kunkel EJ, Muskin PR, Schindler BA, Yates WR,
et al. The academy of psychosomatic medicine practice guidelines for
psychiatric consultation in the general medical setting. Psychosomatics.
1998;39:S8-30.
7. Mukty,Abdul,dkk. Dasar-dasar Ilmu penyakit Paru. Surabaya:Airlangga
University Press. 2009
8. Global strategy for asthma management and prevention. National
Institutes of Health, 2007.
9. Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia, Vol.58 No.11.2008
10. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, et al. Allergy and Asthma, The scenario
in Indonesia. In: Shaikh WA.editor, Principles and practice of tropical
allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.
11. Levenson,James.L. textbook of Psychosomatic medicine “Psychiatric Care
of the Medically Ill”.American Psychiatric Publishing,Inc. 2011.
12. Tomb, David.A. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.Jakarta.EGC.
13. Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Vol.1 Edisi 15.jakarta:EGC
14. Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR RSUD
dr.Soetomo. Surabaya: 2010.
15. Thorn, George.W, et all. Harrison’s Textbook 17 th edition.”priciples of
INTERNAL MEDICINE”. McGrawHill Medical. New York. 2008.
16. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In:
Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma.
Mumbai: Vicas Medical Publishers;2006.707-36.
17. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic
review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume
63,646
18. Longmore, Murray et all. Ocfor handbook of CLINICAL MEDICINE 9th
edition. New York. Oxford University Oxford: 2014.
19. Kowalak,Jennifer.P dkk. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta,EGC:2008.
20. Ilmu penyakit dalam Edisi V Jilid III. InternaPublishing. 2009.
21. Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan Dalam Al-Quran. Bandung:
Alfabeta. 2009.
22. Muhyidin, Muhamma, Kecerdasan Jiwa; Rahasia memahami dan
Mengobati sakit dalam Jiwa (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005)
23. Imam ar-Razi, Ruh dan Jiwa: Tinjauan filosofis dalam Perspektif
Islam,terj. Mohtar zoerni (Surabaya:Risalah Gusti, 2000)
24. Hamka, Tasawuf Modern.Jakarta:Gunung Agung)
25. Ibid.hlm 73-74
26. Langgulung, Hasan. Teori-Teori Kesehatan Mental
27. Al Quran. Surah Asy syu’ara:80