Post on 15-Jan-2016
TINJAUAN YURIDIS PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK KETIGA ATAS PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN
DALAM PERKARA KORUPSI
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi
kehidupan. Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah
kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat.1
Penilaian Transparency International menyatakan bahwa Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia tahun 2014 dari 175 negara yang disurvei, Indonesia
menempati urutan 107 di dunia dengan skor 2,2 naik dari urutan ke 108 tahun
2013 dengan skor 2,0.2
Indonesia belum beranjak dari posisi sepuluh besar negara terkorup di
Asia disebabkan adanya hambatan-hambatan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Hambatan-hambatan tersebut diidentifikasikan oleh Moh.
Yamin,3 pertama, mengenai peraturan perundang-undangan yang menyangkut
upaya pemberantasan korupsi baik yang diatur dalam undang-undang maupun
peraturan di bawahnya mempunyai kelemahan baik dari aspek substansi maupun
dari aspek teknis pelaksanaan sehingga memungkinkan terjadi kemacetan dalam
pemberantasan korupsi bahkan bukan tidak mungkin seringkali dimanipulasi serta
1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 22 http://www.ti.or.id ,diakses, tanggal, 27 Januari 2015.3 Moh. Yamin, Dengan Dukungan Rakyat Memberantas Korupsi, Majalah Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 3
1
dimanfaatkan oleh koruptor untuk membebaskan diri dari hukuman. Selain itu
tidak adanya undang-undang perlindungan saksi dan pelapor serta terlalu
ringannya hukuman bagi koruptor menyebabkan lemahnya penanganan korupsi.
Kedua, selain karena lemahnya sumber daya penegak hukum yang ada, penyebab
lainnya adalah karena aparat penegak hukum itu sendiri merupakan aktor yang
ikut menyuburkan korupsi. Ketiga, sudah membudayanya praktek korupsi. Dalam
prakteknya korupsi sudah dipandang sebagai suatu perilaku yang lazim dilakukan
oleh masyarakat. Sikap skeptis terhadap pemberantasan korupsi dan budaya turut
serta menyebarkan korupsi ke tengah masyarakat. Keempat, tidak adanya political
will dari para elit politik menjadi faktor penghambat dalam pemberantasan
korupsi, bahkan sering terjadi para elit politik ikut melindungi dan atau menjadi
bagian konspirasi tindak pidana korupsi. Kelima, karena rendahnya akuntabilitas
publik penyelenggara negara dan tidak adanya transparansi.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa korupsi ternyata tidak lepas dari
pengaruh dan atau peran masyarakat. Masyarakat telah menjadi salah satu
penyebab timbulnya tindak pidana korupsi sekaligus salah satu penghambat
pemberantasannya, bahkan korupsi itu sendiri timbul dari masyarakat. Oleh
karena itu dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat lepas
dari peran serta masyarakat. Korupsi juga telah menimbulkan kerugian yang
cukup besar, tidak hanya kerugian atas keuangan negara namun lebih luas lagi
telah merugikan masyarakat.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menjelaskan korupsi di Indonesia telah terjadi secara
2
sistemik dan meluas sehingga tidak saja menimbulkan kerugian keuangan negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.4
Dalam keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan
dikembalikan kepada masyarakat, jadi apabila uang tersebut dikorupsi maka ada
hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak dapat dinikmati masyarakat.
Artinya dengan terjadinya korupsi maka telah terjadi pula pelanggaran terhadap
hak asasi manusia.
Dalam hubungannya antara hak asasi manusia dengan proses peradilan
pidana yang patut menjadi perhatian adalah hak warga negara yang oleh T.H.
Marshall dikatakan bahwa Civil Rights adalah "the right to defend and assert all
one's right, on terms of equality with others and by due process of law"5 yang
terjemahan bebasnya adalah hak seseorang untuk membela diri dan menuntut hak-
haknya dengan pengakuan atas kesamaan kedudukan dalam hukum melalui proses
hukum yang adil.
Dalam konteks korupsi di Indonesia, karena masyarakat sebagai warga
negara telah terlanggar hak-haknya maka masyarakat dengan demikian berhak
menuntut hak-haknya yang telah terlanggar melalui proses hukum yang adil.
Proses penegakan hukum dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim bersama-sama
masyarakat dalam suatu sistem peradilan pidana (Criminal Justice System).
Menurut Mardjono Reksodiputro, criminal justice system adalah sistem dalam
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi kejahatan
4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5 http://www.hukumonline.com ,diakses, tanggal 10 Maret 2015
3
adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Berhasil atau tidaknya suatu sistem peradilan pidana dapat
dinilai dari jumlah kejahatan yang sampai pada penegak hukum yang dapat
diselesaikan melalui proses peradilan pidana dan diputus bersalah serta mendapat
hukuman.6
Penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan
Indonesia yang damai dan sejahtera. Ketiadaan penegakan hukum akan
menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya
keterkaitan yang erat antara damai, adil dan sejahtera. Untuk itu perbaikan pada
aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian.7
Namun demikian dalam pandangan masyarakat penegakan hukum masih
jauh dari rasa keadilan. Ada pandangan dalam masyarakat yang menilai hahwa
negara belum dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum. Praktek penegakan
hukum yang terjadi juga dinilai semakin jauh dari penegakan hukum yang
seharusnya dilakukan. Usaha untuk memperbaiki penegakan hukum bukannya
tidak dilakukan. Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperbaiki penegakan
hukum adalah di undangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Lembaran Negara 1981 Nomor 76) atau
disebut KUHAP. Ini merupakan perbaikan dari hukum acara pidana sebelumnya
yang menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda,
Herziene Inlands Reglement Staatsblad 1941 Nomor 44 atau disingkat HIR.
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 90.
7 Ibid. hlm. 109.
4
Sebagai produk pemerintahan kolanial Belanda tentu saja HIR jauh dari cita-cita
hukum bangsa Indonesia karena HIR dibuat untuk melindungi pemerintah
penjajah dan merepresi warga negara. HIR dinilai kurang menghargai hak asasi
manusia, keadilan dan kepastian hukum.
Untuk melakukan kontrol terhadap penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum,
KUHAP memberikan hak kepada tersangka, korban, penyidik, penuntut umum
maupun pihak ketiga untuk mengajukan praperadilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 79-80 KUHAP.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga hukum baru yang diciptakan
dalam KUHAP. Ditinjau dari struktur dan susunan peradilan lembaga
praperadilan bukanlah lembaga yang berdiri sendiri. Ia hanya merupakan
pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap
Pengadilan Negeri.8
Lembaga Praperadilan sejak semula dimaksudkan sebagai sarana hukum
yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan baik oleh tersangka, korban,
penyidik, penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan. Namun
dalam penerapannya masih banyak kendala-kendala baik dari segi substansinya
(peraturannya), segi struktur mekanisme kerja institusi yang terlambat, maupun
segi masyarakatnya (kultur).9
KUHAP memiliki kelemahan, diantaranya dalam hal praperadilan. Salah
satunya dalam hal praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan terhadap
8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang, banding, dan kasasi), Sinar Grafika, Jakarta: 2000, hlm. 1
9 http://www.hukumonline.com/praperadilan, diakses, tanggal, 10 Maret 2015.
5
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, khususnya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam pasal 80
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dinyatakan:
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut
alasannya.
Pihak ketiga yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 80 di atas tidak
diterangkan siapa pihak ketiga tersebut. Dalam ketentuan praperadilan yang dapat
mengajukan praperadilan adalah tersangka, keluarganya atau kuasanya, penyidik,
penuntut umum dan pihak ketiga (Pasal 79-80 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981). Tersangka atau keluarganya jelas tidak mungkin akan mengajukan
praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan karena dengan adanya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tersebut mereka justru
diuntungkan. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dalam hal ini
merugikan korban. Dalam kasus korupsi korbannya adalah negara dan masyarakat
karena dalam keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan
dikembalikan kepada masyarakat, jadi apabila uang tersebut dikorupsi maka ada
hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak dapat dinikmati masyarakat.
Dalam praktek, praperadilan yang diajukan oleh Komunitas Advokat &
Masyarakat Penegak Hukum dan Keadilan sebagai pihak ketiga terhadap
penghentian penuntutan perkara korupsi pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Candra Martha Hamzah permohonannya
6
ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.10 Namun dalam permohonan
praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga terhadap
kasus tersebut, Pengadilan Jakarta Selatan mengabulkannya.
Untuk melihat bagaimana lembaga praperadilan dalam prakteknya
mengakomodir pihak ketiga dalam perkara tindak pidana korupsi khususnya
mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga, dan bagaimana
kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan, maka penulis mengkaji lebih dalam untuk diteliti yang
dituangkan dalam proposal skripsi ini dengan judul: “Tinjauan Yuridis
Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Ketiga Atas Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan dalam Perkara Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan
praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
dalam perkara korupsi?
2. Apa kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga
yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan dalam perkara korupsi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
10 Putusan Perkara Pidana Praperadilan Nomor; 46/Pid.Prap/2009/PN. JKT. Sel. Tanggal 21 Desember 2009.
7
a. Untuk mengetahui siapa saja yang dimaksud dengan pihak ketiga yang
berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan atas penghentian
penyidikan atau penuntutan dalam perkara korupsi.
b. Untuk mengetahui kelemahan yang ditemui dalam praktek praperadilan
oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau
penuntutan tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini untuk menambah pengetahuan pemahaman penulis
khususnya mengenai masalah yang diteliti.
b. Sebagai penelitian yang dapat berwawasan ilmiah. Selain itu, diharapkan
juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi almamater kami,
yaitu Fakultas Hukum Universitas Riau.
c. Dapat dijadikan sebagai referensi tambahan kepada mahasiswa lain dalam
melaksanakan penelitian selanjutnya.
D. Kerangka Teori
1. Teori Tindak Pidana
a) Tindak Pidana Umum
Istilah tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda, yaitu
“strafbaar feit”. Ada pula yang mengistilahkan menjadi “delik” yang berasal dari
bahasa latin “delictum”. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah
“offense” atau “criminal act”.11
11 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Acara Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 17.
8
Oleh karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
bersumber pada Wetboek wan Strafbaarfeit Belanda, maka memakai istilah
aslinya pun sama Straafbaar dan feit. Perkataan feit diartikan “sebagian dari
kenyataan”, sedangkan strafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat
dihukum”.
Mengenai perumusan tindak pidana, R. Tressna mengemukakan bahwa
tindak pidana dianalogikan sebagai “peristiwa pidana”, yaitu sesuatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.
Moeljatno, merumuskan tindak pidana sebagai “perbuatan pidana” yaitu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai
sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.12
Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa
larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang
menimbulkan kejahatan.
Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsurnya: (1) perbuatan
manusia, (2) memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil), (3)
bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena asas
legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.13
12 Moeljatno, Hukum Acara Pidana: Bagian Pertama Seksi Kepidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 2.
13 Evi Hartanti, Op.cit, hlm. 7.
9
b) Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa Latin
corruptio atau corruptus.14 Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal
dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-
badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.15
2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya.16
Penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:17
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan. Kurangnya gaji pegawai negeri ini akan semakin parah
apabila dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang langsung
maupun tidak langsung mengubah pola hidup pegawai negeri. Kebutuhan
akan alat-alat yang berteknologi seperti televisi, handphone, kendaraan
14 Fockema Andrea, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, huruf c.15 S. Wojowasito- W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-
Inggris, Hasta, Bandung.16 W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.17Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 11.
10
bermotor menambah pengeluaran mereka. Belum lagi gaya berbelanja
dengan sistem mencicil dan penggunaan kartu kredit, sampai berbagai
macam potongan semakin memberatkan kehidupan pegawai negeri. Hal
ini akan membuat pegawai negeri semakin mudah tergoda melakukan
korupsi.
2. Latar belakang kultur budaya masyarakat Indonesia. Budaya ini mungkin
berawal justru dari sifat kekerabatan masyarakat Indonesia yang
gampang memberi bingkisan/ hadiah yang di masa selanjutnya
pemberian ini diiringi niat dan maksud atau tujuan tertentu.
Penyalahgunaan kewenangan para pejabat juga telah terdeteksi dari
zaman Hindia Belanda dimana pejabat pribumi cenderung melakukan
penyimpangan karena dapat menjalankan tugas jabatannya di mana saja
dan kapan saja, ini kemudian bertemu dengan budaya hadiah di atas yang
pada masa selanjutnya seiring berubahnya masyarakat menjadi
masyarakat yang hedonis konsumtif yang ingin segala urusan jadi cepat
melahirkan suap dan gratifikasi.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien. Menurut Prof. Soemitro (Alm) kebocoran anggaran mencapai 30
%, ini menunjukkan berbagai pendidikan, pelatihan maupun penataran
seperti Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4 tidak
mampu mengurangi korupsi apalagi untuk menghentikannya.
4. Modernisasi. Menurut Samuel P. Huntington sebagaimana dikutip oleh
Andi Hamzah modernisasi menjadi penyebab korupsi karena :
11
a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar
masyarakat.
b. Modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekuasaan baru.
Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak
diatur oleh norma tradisional masyarakat, sedangkan norma baru
belum dapat diterima oleh golongan berpengaruh di masyarakat.
c. Modernisasi mengakibatkan perubahan dalam kegiatan sistem
politik, yang pada gilirannya memperbesar kekuasaan pemerintah
dan melipatgandakan kegiatan yang diatur oleh pemerintah.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk tindak pidana khusus
di Indonesia. Kekhususan ini terjadi karena tindak pidana korupsi tidak begitu di
atur secara detail di dalam KUHP. Menurut Robert Klitgaard, korupsi adalah
suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti penyakit
kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia.18
Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang
merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan
kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau
istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau
menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya
yang berhubungan dengan hukum pidana acaranya.19
18 http://www.kpk.go.id, diakses, tanggal, 5 Februari 201519 Ibid
12
Jika membicarakan tentang korupsi secara mendalam memang akan
menemukan kenyataan seperti demikian, dimana hal-hal tersebut sudah sangat
menyangkut dengan segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, kejahatan
dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam
jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga
atau golongan kedalam suatu instansi kedinasan yang ada dibawah kekuasaan
jabatannya.
Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, seperti:20
a) Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dan orang lain).
b) Korupsi: busuk: rusak: suka memakai barang atau yang dipercayakan
kepadanya; dapat diberi sogokan (melalui kekuasaannya untuk berbagai
kepentingan pribadi).
Korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan atau korporasi) yang mana
perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara,
pengertian ini tertera dalam pemahaman Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Menurut Andi Hamzah, delik korupsi pada Pasal 1 ayat
(1) sub a UUPTPK urutannya sebagai berikut yaitu:
1) Melawan hukum;
20 Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10
13
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan;
3) Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rumusannya mengenal kata
“melawan hukum”. Kata melawan hukum disini dimaksudkan dalam dua hal
yakni melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Makna melawan
hukum formil disini yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat (melawan hukum materiil), maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Penggunaan kata “dapat” disini menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi telah dianggap ada apabila unsur-unsur perbuatan yang telah
dirumuskan terpenuhi, bukan hanya dengan timbulnya akibat.
2. Teori Penyidikan
14
Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan mekanisme aparat
penegak hukum pidana mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan
penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.21
Menurut S.M Amin, penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana
dilakukan oleh kepolisian (penyidik), kejaksaan (penuntut), dan kehakiman
(pemberi hukuman).22
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan osporing
(Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).23
Menurut R. Susilo, penyidikan berasal dari kata “sidik”, pertama sidik berarti
terang, jadi penyidikan artinya membuat terang. Kedua “sidik” berarti “bekas”
(sidik jari), sehingga menyidik berarti mencari bekas-bekas, dalam hal ini bekas-
bekas kejahatan, setelah bekas-bekas itu terdapat dan terkumpul, kejahatan
menjadi terang. Maka penyidikan artinya membuat terang kejahatan.24
Dalam bidang reserse kriminal penyidikan itu dapat dibedakan sebagai
berikut:25
1) Penyidikan dalam arti luas, yang meliputi: penyidikan, pengusutan dan
pemeriksaan, yang sekaligus merupakan rangkaian dari tindakan-tindakan
secara terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya.
21 Syarifuddin Pettanase (dalam tesis Asron Eswandi), Hukum Acara Pidana, Universitas Sriwijaya, Palembang, 1997, hlm. 48.
22 S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 32.
23 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 118.24 R. Susilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politec, Bogor, 1979, hlm.
17.25 Suryono Sutanto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2003, hlm. 43.
15
2) Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu yang meliputi: semua tindakan-
tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminal
POLRI yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.
Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum di dalam Pasal 1 butir
(2) KUHAP bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangka”.
16
3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Praperadilan sebagai
salah satu kewenangan pengadilan secara horizontal atau penerapan upaya paksa
oleh Polisi dan Jaksa meliputi:26
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara untuk
kepentingan umum oleh Jaksa Agung)
b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (vide,
Pasal 77 KUHAP)
c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (vide, Pasal
82 ayat (1) b dan (3) KUHAP)
d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan
Negeri (vide,Pasal 95 ayat (2) KUHAP)
e. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke
Pengadilan Negeri (vide, Pasal 97 ayat (3) KUHAP).
26 Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana (Surat Resmi Advokat di Pengadilan), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2014, hlm. 99.
17
Terhadap putusan Praperadilan dalam hal sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), dan anti kerugian atau rehabilitasi (Pasal 81
KUHAP), tidak dapat dimintakan banding terkecuali untuk putusan Praperadilan
yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah
hukum yang bersangkutan.
Praperadilan sebagai salah satu lembaga baru dalam dunia peradilan
Indonesia, mempunyai ciri dan eksistensi yaitu:27
a. Praperadilan berada dan merupakan suatu kesatuan yang melekat pada
pengadilan negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, praperadilan hanya
dapat dijumpai pada tingkat pengadilan negeri;
b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar
dengan pengadilan negeri, tapi hanya merupakan bagian atau divisi dari
pengadilan negeri;
c. Urusan administratif yustisial, personil, peralatan dan financial bersatu
dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan dan
pengawasan serta pembinaan ketua pengadilan negeri;
d. Malasah tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial pengadilan negeri itu sendiri.
Tujuan praperadilan yaitu untuk melakukan pengawasan secara horizontal
atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
27 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 186.
18
(polisi dan penuntut umum) kepada tersangka selama dalam pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.28 Dan juga
sebagai perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa.29
E. Kerangka Konseptual
1. Tinjauan yuridis adalah suatu tinjauan menurut hukum atau dari segi
hukum.
2. Praperadilan adalah suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh KUHAP
yang fungsinya melakukan pengawasan horizontal terhadap adanya
tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku
penuntut umum.30
3. Pihak ketiga adalah pihak ketiga yang berkepentingan antara lain saksi
korban tindak pidana, pelapor dan/atau masyarakat luas yang diwakili oleh
LSM.
4. Saksi korban adalah
5. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
28 Ibid29 Achmad Roestandi, Hukum, Beracara di Pengadilan, dan Hak Asasi30 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm.
180.
19
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.31
6. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.32
7. Penghentian penyidikan adalah pemberitahuan dari penyidik pada
penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disebut
SP3.33
8. Penghentian penuntutan adalah penuntut umum dapat menghentikan
penuntutan, dalam arti hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang
disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang
pengadilan.34
9. Korupsi adalah perbuatan yang busuk, rusak,menerima uang sogok,
menyelewengkan uang atau barang, milik perusahaan atau negara,
menerima uang dengan jabatannya untuk kepentingan pribadi.35
F. Metode Penelitian1. Jenis Penelitian
31 Pasal 1 angka 1 KUHAP jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara R.I.
32 Pasal 1 angka 7 KUHAP.33 M. Yahya Harahap, Loc.cit.34,Ibid, hlm. 436.35 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
20
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif atau dapat disebut juga dengan penelitian
hukum doktrinal. Dalam penelitian normatif ini hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in
books) ataupun juga hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam
penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap
sinkronisasi hukum yang bertitik tolak dari hukum yang ada, dengan cara
mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum
yang telah dirumuskan didalam perundang-undangan tertentu.
2. Sumber Data
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
melalui studi kepustakaan/studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut
penelitian hukum normatif, sehingga data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.36 Peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, hlm. 181.
21
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer
dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan
hukum primer yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, artikel
internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah.37
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
atas hukum primer dan sekunder, misalnya eksiklopedia, kamus
hukum, dan sebagainya.38
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data untuk penelitian normatif (legal
research) digunakan metode kajian kepustakaan atau studi dokumenter.
Sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
37 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 32.
38 Ibid, hlm. 33.
22
4. Analisis Data
Dalam penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan
untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis. Analisis
yang dilakukan adalah analisis data secara kualitatif yaitu bertujuan
memahami, menginterpretasikan, mendeskripsikan suatu realitas. Penulis
menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari
hal-hal yang bersifat khusus, dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh
teori-teori.
G. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini memuat rencana penelitian. Dengan ini diharapkan
tergambar jadwal penelitian yang akan dilaksanakan.
Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu selama 6 (enam) bulan
atau 180 (seratus delapan puluh) hari. Penelitian ini dimulai bulan Februari tahun
2015 dan selesai bulan Juli 2015. Rencana kegiatan penelitian ini digambarkan
dalam tabel dibawah ini:
Tabel I.3Jadwal Penelitian
Uraian KegiatanBulanFeb
BulanMar
BulanApr
BulanMei
BulanJun
BulanJul
Penulisan Proposal
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
23
Seminar Skripsi
Perbaikan Skripsi
Penyerahan Skripsi ke Fakultas
24