Post on 11-Aug-2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang berarti sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
konjungtiva bulbi(American Academy of Ophtalmology), tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, bersifat degeneratif dan invasif, umumnya bilateral di sisi nasal,(Waller G.
Stephen,et al) biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral
kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea (Gazzard G, Saw S-M). Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah (T H Tan Donald et all).
Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.(Sidarta)
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah < 370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan < 2 % pada daerah di atas lintang 400. Terdapat beberapa
2
penelitian yang menunjukan frekuensi pterygium yang berhubungan dengan
faktor tersebut,(Waller G. Stephen,et al) :
Penelitian case contro di Australia, mengidentifikasi jumlah
pterigium berdasarkan faktor resiko. 44 x lebih banyak pada pasien
yang bermukim di daerah tropis (< dari lintang 300). 11 x lebih
banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 x pada
pasien dengan riwayat tanpa memakai kacamata atau sunglasses
dan 2 x pada pasien tidak memakai topi. Penelitian ini menunjukan
frekuensi lebih tinggi pada laki – laki. ,(Waller G. Stephen,et al)
Taylor dkk melakukan penelitian di daerah utara, ptrygium hanya
ditemukan pada nelayan dan pekerja di pedesaan. Penelitian ini
menunjukan bahwa pterigium berhubungan erat dengan exposure
ultraviolet. ,(Waller G. Stephen,et al)
G. Gazzard, Singapore National Eye Center, melakukan penelitian
di daerah Riau. Pterigium berhubungan dengan umur dan
pekerjaan diluar rumah (exposure sinar matahari). Prevalensi pada
usia 21 tahun 10%, usia diatas 40 tahun 16,8%.(Gazzard G, Saw S-M)
Chong Lye ANG dkk melakukan survey populasi suku Chinese di
tanjong pagar Singapore dengan sampel 2000 orang dewasa,
ditemukan prevalensi pterigium 6,9% pada usia diatas 40 tahun. (T H
Tan Donald et al)
3
Prevalensi pterigium sesuai dengan Panduan Manajemen Klinis
Perdami, insidens pterigium cukup tinggi di Indonesia di daerah
equator 13,1%.(D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)
Dilihat dari beberapa penelitian tersebut, maka letak geografis Maluku
yang berada pada 30 – 8.300 lintang selatan juga merupakan daerah yang rentan
terhadap insidensi pterigium. Selain itu sesuai dengan karakteristik Maluku
sebagai provinsi kepulauan dengan 90% wilayahnya merupakan lautan, sehingga
banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan yang rentan terhadap paparan
sinar ultraviolet secara langsung yang diduga merupakan salah satu faktor resiko
penyebab pterygium.
Kedua hal tersebut dapat menimbulkan masalah klinis yakni pterigum
rekurensi dan pertumbuhan yang agresif pada pterigium rekuren. (Waller G. Stephen, Adams
P et al) Selain itu pterygium menimbulkan keluhan kosmetik dan berpotensi
menggaggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi
untuk rehabilitasi penglihatan. (Nema HV, Nema Nitin)
Sebagai institusi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan yang optimal pada masyarakat laut pulau hal ini sekiranya dapat
diperhatikan. Sehingga nantinya diharapkan terbentuk pelayanan konsultasi
kepada masyarakat yang didasari pada hubungan kemitraan agar masalah
kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan bidang ophtalmilogi yang
biasanya terjadi pada masyrakat laut pulau dapat terjaga dan terpelihara.
Desa Waai merupakan desa yang terletak di daerah pesisir pantai pulau
Ambon dengan 86% penduduknya merupakan nelayan yang rentan terhadap
4
paparan sinar ultraviolet secara langsung yang diduga merupakan salah satu faktor
resiko penyebab pterygium. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Prevalensi Pterigium di Desa Waai
Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Sehingga nantinya
Pengetahuan tentang prevalensi penyakit, faktor resiko, penyebab dan dapat
membantu dalam menyusun strategi pencegahan.
1.2. Rumusan Masalah
Berapakah prevalensi pterigium di Desa Waai pada tahun 2013 dan faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi prevalensi pterigium
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mendapatkan angka prevalensi pterigium di Desa Waai dan faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi prevalensi pterigium
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui angka pterigium di Desa Waai
b. Untuk mengetahui pengaruh faktor usia terhadap angka pterigium di
Desa Waai
5
c. Untuk mengetahui pengaruh faktor pekerjaan terhadap angka
pterigium di Desa Waai
d. Untuk mengetahui pengaruh faktor pekerjaan terhadap angka
pterigium di Desa Waai
e. Untuk mengetahui pengaruh faktor riwayat keluarga terhadap angka
pterigium di Desa Waai
f. Untuk mengetahui pengaruh faktor aktivitas diluar rumah terhadap
angka pterigium di Desa Waai
g. Untuk mengetahui pengaruh faktor merokok terhadap angka
pterigium di Desa Waai
h. Untuk mengetahui pengaruh faktor riwayat memakai topi atau
kacamata terhadap angka pterigium di Desa Waai
1.4. Manfaat Penelitian
a. Dapat mengetahui prevalensi serta dapat dibuat pemetaan pterigium di
desa Waai
b. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan ptrigium
yang dapat menurrunkan angka pterigium di Desa Waai
c. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pemahaman peneliti mengenai
pterigium.
d. Menjadi sumber pustaka bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal yang
sama.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pterigium
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif(American Academy of
Ophtalmology). Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang
tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.
Pterigium berasal dari bahasa yunani, yaitu ptron yang artinya
“wing” atau sayap(American Academy of Ophtalmology). Insidens pterygium di
Indonesia yang terletak digaris ekuator, yaitu 13,1%. Diduga
bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterigium. (D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)
2.2 Epidemiologi Pterigium
Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah
berdebu dan kering. Factor yang sering mempengaruhi adalah
daerah dekat equator, yakni daerah < 370 lintang utara dan
selatan dari equador. Prevalensi tinggi sampai 22%did daerah
7
dekat equador dan kurang dari 2 % pada daerah diatas 400
lintang. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama decade
ke 2 dan 3 dari kehidupan(Waller G. Stephen, Adams P et al). Insidensi tinggi pada
umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih sering pada umur
muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah dan riwayat exposure lingkungan rumah. (T H Tan Donald et al)
2.3 Faktor Resiko (T H Tan Donald et al)
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
factor herediter.
1. Radasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah
eksposure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
conjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang,
waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi merupakan factor
penting.
2. Faktor genetik
8
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukan keluarga
dengan pterigium, kemudian diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer cornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal definisi, dan saat ini merupakan teori baru pathogenesis dari
pterigium. Wong juga menunjukan adanya “pterigium angiogenesis
factor” dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papioma juga penyebab dari ptrigium.
2.4 Patogenesis
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun karena lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap factor-faktor lingkungan
seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah
angin kencang dan debu atau factor iritan lainnya. Pengeringan local dari kornea
dan konjungtiva pada fissure intrapalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear
film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastic baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori
ini. (American Academy of Ophtalmology)
9
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor – beta overproduksi
dan menimbulkan proses collagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan
angiogenesis. (American Academy of Ophtalmology) Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
collagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovasculer. Jaringan suconjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vascular dibawah
epitel yang akhirnya menembus kornea(Nema HV, Nema Nitin). Kerusakan pada cornea
terdapat pada lapisan membrane bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi dysplasia. (Kanski J Jack.)
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel cornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membrane basement dan pertumuhan
jarinan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak
penelitian menunjukan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi
atau disfungsi yang terlokalisasi intrapalpebral limbal stem cell. Kemungkinan
akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah intrapalpebra. (T H Tan
Donald et al)
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukan perubahan
fenotip, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibandingkan dengan fibroblast conjungtiva normal. Lapisan
fibroblast pada bagian pterigium menunjukan proliverasi sel yang berlebihan.
10
Pada fibroblast pterigium menunjukan matriks metalloproteinase dimana matrix
metalloproteinase adalah extraseluler matrix yang berfungsi untuk jaringan yang
rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblast pterigium bereaksi
terhadap TGF – β (transforming growth factor - β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF
– α (tumor necrosis factor - α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium
cenderung terus tumbuh, infasi ke stroma cornea dan terjadi reaksi fibrovascular
dan infamasi. (T H Tan Donald et al)
Denagn menggunakan anteriorsekmen fluroresen angiografi ditemukan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus
selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 34 + MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat
pada pterigium disbanding dengan konjungtiva normal. Cytokin local dan
sistemik, SP (Substance P) VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF
(Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C
kit+ MNC. Hal ii menunjukan pada pterigium terlibat pertumbuhan endothelial
progrnitor cell (EPCs) dan hipoksia ocular yang merupakan factor pencetus
neovascularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang
melalui produksi cytokine local dan sistemik. (Kato, N, Shimmura, S, Kawakita, et al)
Secara histopatologis dengan menggunakan mikroscop electron
menunjukan proliferasi fibrotic yang menyimpang dibawah epitel pterigium,
dengan epitel yang meluas ke stroma(Pam, Z-J, Nie, Y, et al). Pemisahan sel-sel epitel
pterigium menunjukan epitel dikelilingi sel-sel fibroblast yang aktif. Karakteristik
dari E – cadherin, penumpukan β – catenin di intra nuclear dan lymphoid factor –
11
1 meningkat pada epitel pterigium. sel epitel meluas ke stroma pada α – SMA /
vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesenchymal
transitional terlibat dalam pathogenesis pterigium. β catenin meningkat pada
pterigium dan PFC (Pterygial fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal.
Β catenin berperan penting dalam pathogenesis pterigium. (Pam, Z-J, Nie, Y, et al)
2.5 Differential Diagnosa
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sana
yaitu pinguecula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa
kekuningan berbats tegas dengan limbus pada konjung tiva bulbi di fissure
intrapalpebra dan kadang-kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak
diindikasikan(Khurana A K). Prevaensi dan insidensi meningkat dengan meningkatnya
umur. Pingecuela sering pada iklom sedang dan iklim tropis dan angka kejadian
sama pada laki-laki dan perempuan. Exposure sinar ultraviolet bukan factor resiko
penyebab pinguecula. (http://www.e.medicine)
Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya berbentuk
sudut miring seperti pseudopterigium atau Terriens marginal degeneration(Waller G.
Stephen, Adams P et al). Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana fibrifascular scar
yang timbul pada conjungtiva bulbi menuju cornea(T H Tan Donald et al). Berbeda dengan
pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamsi permukaan ocular sebelumnya
seperti trauma, trauma kimia, conjungtivitis sikatrik, traua bedah atau ulcus perifer
cornea(Nema HV, Nema Nitin). Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, caranya tidak
12
melekat pada limbus cornea. Probing dengan muscle dook dapat dengan mudah
melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat
dilakukan dengan pterigium. Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap
dan body dan pseudopterigium cenderung keluar dari ruang intapalpebra fissure
yang berbeda dengan “true pterigium”. (Khurana A K)
Differensial diagnose pada pterigium sangat luas. Massa pada limbus
seperti papilloma, scuamosa sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid
atau sebaceous karsinoma(Waller G. Stephen, Adams P et al). Lesi yang jarang seperti kista
epitel, pyogenic granuloma, keratoacantoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma,
fibrous histiocytoma, angioma, lyhangioma, Kaposi sarcoma, alveolar
endothelioma, neurolemmoma, maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile
xanthagranuloma, leukemia, episclera osseous choristoma, ectopic lacrimal tissue,
lipoma, amyloid, blue nevus, nevus, dan limbal dermoid. Namun lesi tersebut
mudah dibedakan dengan pterigium. (http://www.e.medicine)
2.6 Gambaran Klinis
Pterigum lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja diluar rumah.
Muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke
kornea pada daerah fissure intrapalpebralis. (Khurana A K) Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker;s line). (Kanski J Jack.)
Kira-kira 90% pterigium terletak didaerah nasal. Nasal temporal pterigium
dapat terjadi sama pada mata, temporal pterigium jarang ditemukan(Waller G. Stephen,
13
Adams P et al). Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang asimetris(T H Tan Donald et al).
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi
nasal axis, menyebabkan penglihatan kabur(Kanski J Jack.).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : “body, apex (head) dan cap”.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus
disebut “body”, sedangkan bagian atasnya disebut “apex”, dan kebelakang disebut
“cap”. A supepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium. (Khurana A K)
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu progresif
dan regresif pterigium(T H Tan Donald et al) :
- Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di
cornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Regresif pterigium : tipis, atrofi,sedikit vascular. Akhirnya menjadi
membentuk membrane tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, tetapi keluhan kosmetik. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan
cornea astigmatisma menyebabkan pertumbuhan fibrosis pada tahap regresif.
Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
(Riordan Paul – Eva, P. Whitcher et al)
Pterigium dapat dibagi kedalam beberapa type(Riordan Paul – Eva, P. Whitcher et al) :
1. Type I ; meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. lesi sering
14
asimtomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II :menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisme.
3. Type III : mengenai kornea lebih dari 4 mm dan menggangu aksis visual.
Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren, dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata.
Pterigium juga dapat dibagi dalam 4 derajat yaitu(D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert)
:
1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi
dari 2 mm melewati kornea
3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak
melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan
Pterigium dibagi berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episclera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp(Gazzard G,
Saw S-M, et al) :
1. T 1 (atrofi) : pembuluh darah episclera jelas terlihat
15
2. T 2 (intermediet) pembuluh darah episclera sebagian
terlihat
3. T 3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2.
Sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang
melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan
penglihatan. (American Academy of Ophtalmology)
Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal, gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik
bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium
kearah limbus. (American Academy of Ophtalmology)
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium
meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
16
dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterygium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung.
Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat
diberikan steroid. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control
dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan
dihentikan. (American Academy of Ophtalmology)
Beberapa pilihan untuk menutup luka(American Academy of Ophtalmology):
a. Bare sclera: tidak ada jahitan atau benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke superfisial
ssclera didepan insersi rectus. Meninggalkan suatu daerah
sclera terbuka.
b. Simple clourse: pinggir dari konjungtiva yang bebas di jahit
bersama.
c. Sliding flap: suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk
membentuk flap konjungtiva untuk menutup luka.
d. Rotation flap: insisi betuk U dibuat sekitar luka untuk
membentuk lidah dari konjungtiva yang diputar untuk
menutup luka.
e. Conjunctiva graft: suatu free graft biasanya dari
konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka.
2.8 Komplikasi(http://www.e.medicine)
17
Komplikasi pterigium termasuk :
- Distorsi dan penglihatan sentral berkurang
- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum excise, scar pada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
- Pada pasien dengan pterigium yang telah dieksisi, scar atau disinsersi otot
rektus medial dapat juga menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium adalah :
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, konjungtiva
graft longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau
melting pada sclera dan kornea
- Kompliasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
postoperasi.
Simple exisis mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80%,
dapat dikurangi dengan tekhnik konjungtiva autograph atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel
diatas pterigium yang ada.
2.9 Prognosis(http://www.e.medicine)
18
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah
baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat
ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam postoperasi dapat
beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan conjuntiva autograft.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama
dianjurkan memakai kacamata pelindung dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
2.10 KERANGKA KONSEP
Berdasarkan dari rumusan masalah yang lekah dipaparkan
dalam latar belakang dan tinjauan kepustakaan yang ada, maka
kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :
USIA
PEKERJAAN
P
T
E
R
I
G
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian survey dengan
pendekatan cross sectionalyang bersifat deskriptif dimana subjek yang diamati
baik pada saat monitoring biologic dan pengukuran factor-faktor yang
MEROKOK
AKTIVITAS DILUAR RUMAH
RIWAYAT KELUARGA
P
T
E
R
I
G
RIWAYAT MEMAKAI TOPI ATAU KACAMATA
20
mempengaruhi dengan pengamatan / pengukuran yang dimaksudkan untuk
menggambarkan prevalensi pterigium di desa Waai.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi
Penelitian beserta pengumpulan data dilakukan Desa Waai, Kabupaten
Maluku Tengah. Desa Waai merupakan daerah pesisir pantai dengan penentuan
sampel secara purposive. Daerah pesisir pantai menerima paparan sinar matahari
lebih tinggi, sesuai dengan salah satu peyebab pterigium oeh kareba paparan sinar
ultraviolet. Sehingga dapat diasumsikan akan terdapat jumlah penderita pterigium
yang tinggi.
3.2.2. Waktu
Penelitian dan pengumpulan data ini dilakukan terhitung dua bulan yaitu
bulan Maret-April 2012.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi yang digunakan adalah seluruh penduduk yang ada di desa Waai
sesuai dengan kriteria penelitian. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh
masyarakat secara sampling.
21
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode Total Sampling.
Yaitu, semua mahasiswa dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian.
3.4. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan : Pensil, Penghapus, Kertas Kuesioner, Loop,
Penlight/senter, Muscle Hook.
Bahan yang digunakan : Anastesi tetes mata, Fenicol 1% tetes mata.
3.5. Kriteria Seleksi
3.5.1. Kriteria Eksklusi
Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
a. Penderita yang menyerupai pterigium (penguecua, pseudopterigium,
pasien dengan tumor jinak dan keganasan di konjungtiva).
b. Usia < 15 tahun.
22
c. Tidak bersedia ikut dalam penelitian.
3.5.2. Kriteria Inklusi
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Semua penderita pterigium pada satu atau kedua mata
b. Usia penderita > 15 tahun.
c. Bersedia ikut dalam penelitian.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
3.6.1 Data Primer
Data ini didapatkan langsung dari sampel dengan melalui kuesioner dan
pemeriksaan pterigium.
3.6.2. Data Sekunder
Data ini adalah jumlah populasi penduduk desa Waai yang didapatkan
peneliti melalui Pemerintah desa Waai.
3.7. Variabel penelitian
3.7.1. Variabel Independent
23
Variabel bebasnya
- Pekerjaan
- Usia
- Perokok
- Riwayat keluarga
- Aktivitas di luar rumah
- Riwayat memekai topi atau kacamata
3.7.2. Variabel Dependent
Variabel terikat adalah pterigium.
3.8. Defenisi Operasional Penelitian
a. Pterigium. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrofaskuler
berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju
cornea pada daerah interpalpebra.
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner dan dipastikan dengan
pemeriksaan pterigium.
Alat ukur: Kuesioner, loop.
24
Hasil ukur:
1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak
melebihi dari 2 mm melewati kornea
3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi
tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah
melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan
Skala ukur: Nominal.
b. Usia. Usia adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir.
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur: Penduduk yang mengalami pterigim dengan usia > 15
tahun.
Skala ukur: Nominal
c. Pekerjaan. Pekerjaan adaah mata pencaharian responden
berdasarkan rata-rata responden terpapar sinar matahari yang
dibagi 5 tingkatan
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur:
25
1. Tingkat 0 : pekerja pabrik, pelajar, ibu rumahtangga, pegawai
pemerintahan (dikantor bukan lapangan), guru, perawat.
2. Tingkat 2 : pengusaha, pekerja swasta
3. Tingkat 3 : supir
4. Tingkat 4 : nelayan, petani, pencari kayu, pekerja bangunan,
buruh kasar, pekerja perkebunan.
Skala ukur: Ordinal
d. Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga adalah penduduk yang
memiliki salah satu atau kedua orang tua mengalami pterigium
pada satu atau kedua mata.
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur: Penduduk mengalami pterigium dengan salah satu atau
kedua orang tua mengalami pterigium pada satu atau kedua mata.
Skala ukur: Nominal
e. Aktivitas diluar rumah. Aktivitas diluar rumah adalah lamanya
responden berada diluar ruangan berhubungan dengan terpaparnya
sinar matahari.
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur:
1. Tinggi : melakukan aktivitas diuar rumah > 5 jam
2. Rendah : melakukan aktivitas diuar rumah < 5 jam
26
Skala ukur: Ordinal
f. Merokok. Merokok adalah kebiasaan responden pernah atau tidak
pernah mengisap rokok atau cerutu
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur: responden pernah atau tidak pernah mengisap rokok
atau cerutu
Skala ukur: Nominal
g. Riwayat memakai topi atau kacamata. Riwayat memakai topi atau
kacamata adalah riwayat memakai topi atau kacamata aktivitas
diluar rumah.
Cara ukur: Dengan melihat data kuesioner.
Alat ukur: Kuesioner.
Hasil ukur: riwayat memakai topi atau kacamata aktivitas diluar
rumah
Skala ukur: Nominal
3.9. Pengolahan Data dan Analisa Data
3.9.1. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, maka dilakukan :
a. Pengecekan terhadap data-data yang terdapat pada kuesioner.
27
b. Melakukan seleksi terhadap data-data yang terkumpul.
c. Kemudian dilakukan pemisahan data penderita pterigium menurut
derajatya.
d. Selanjutnya dilakukan analisa data.
3.9.2. Analisa Data
Berdasarkan permasalahan serta tujuan yang akan dicapai maka teknik
pengolahan dan analisis data yang digunakan yaitu secara manual dan
komputerisasi dengan software Microsoft Excel dan software SPSS versi 16.0.
Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
3.10 . Jadwal Kegiatan
No. Uraian KegiatanBulan
2 3 4 5 6 7 8 9
1Tahap Persiapan
- Proposal penelitian
2 Tahap Pelaksanaan :
- Pengecekan terhadap
data-data yang
terdapat pada
28
kuesioner
2.1
- Melakukan seleksi
terhadap data-data
yang terkumpul
2.2 Evaluasi
3Tahap Penyelesaian
Penyusunan Laporan
4Laporan/pemasukan hasil
Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophtalmology, Basic and Climical Science Course.
External Disease and Cornea. Section 8. 2005 – 2006. p : 344 & 405
2. Waller G. Stephen, Adams P Anthony. Pterigium, Duane’s Clinical
Ophtalmologi. Chapter 35, Vol 6 : revised Edition, Lippincot Wiliams &
Wilkins, 2004, p :1-10
29
3. Gazzard G, Saw S-M, farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterigium in
Indonesia : prevalence, severity and risk factor. British Journal of
Ophtalmology. 2002, p : 1-12
4. T H Tan Donald et all. Pterigium. Clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective. Chapter 3.2, Saunders Elsevier. Singapore, 2005, p : 207-14
5. Ilyas Sidarta. Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: CV Agung Seto; 2004. Page:
62-67.
6. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterigium :
Panduan Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta : 2006. P 56-58
7. Nema HV, Nema Nitin. Disease of the conjungtiva. Text of
Ophtalmology. Chapter 11. Jaypee brothrts. New Delhi. P 125-6
8. Khurana A K. Communyti Ophtalmology in Comprehensive
Ophtalmology. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi, New Age
International Limited Publishher. 2007, p : 443-457
9. Riordan Paul – Eva, P. Whitcher jhon P. Conjungtiva, Vaughan & Asbury
Gelneral Ophthalmology. Chapter 5. Sixtenth ed. Mc Graw Hill.
Singapore, 2004. P : 123
10. Kanski J Jack. Pterigium. Clinical Ophthalmology a Systematic Approach.
Chapter 4. Butterworth Heinemann Elsevier. 2007. P : 242-45
11. Pterigium in http://www.e.medicine
12. Leo, JK, Song YS, Ha, Hs, Park, JH, Kim MK; Endothelial Progenitor
Cell In Pterigium Pathogenesis, In Eye. Vol 21. Issue 9. September 2007,
Pages 1186-1193
30
13. Kato, N, Shimmura, S, Kawakita, T, Miashita, H, Ogawa Y et all; β –
Catenin Activation and epithelial Mesenchymal Transition in The
Phatogenesis Of Pterigium, in Investigative Ophthalmology and Visual
Science. Vol 48. Issue 4. April 2007. Pages 1511-1517
14. Pam, Z-J, Nie, Y, An, M-X, Liang, J-W, Wu, K-L ; β – Catenin
Expression in pterigium Fibroblast, in International Journal of
Ophthalmology. Volume 8. Issue 9. September 2008. Pages 1770-1772