Post on 01-Feb-2018
Produktivitas Sekunder Hewan Bentik Ekosistem Pantai Studi kasus:
Produksi Sekunder Nebalia daytoni di Pantai San Diego, California Selatan, USA
oleh:
Nuralim Pasisingi
C251120031
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem perairan disebabkan oleh
faktor yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan. Ekosistem perairan
pantai meliputi wilayah yang menjadi batas antara daratan dan lautan yang terdiri
dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik pantai terdiri dari
tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai, sedangkan komponen abiotik
pantai terdiri dari gelombang, arus, angin, pasir maupun batuan.
Produktivitas sekunder merupakan pembentukan biomassa heterotrophik
selama kurun waktu tertentu. Pengukuran produksi sekunder merupakan
perhitungan yang menjadi dasar penggambaran dinamika suatu ekosistem.
Peningkatan produksi suatu lingkungan umumnya akan meningkatkan
ketersediaan makanan. Hal ini akan berdampak pada biomassa yang juga akan
semakin meningkat. Ekosistem yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang
berbeda tentunya akan menggambarkan produktivitas sekunder yang berbeda
pula. Laju produktivitas akan tinggi bilamana faktor-faktor lingkungan cocok dan
optimal. Konsumen akan memanfaatkan energi yang diperoleh dari produsen
kemudian mengubahnya menjadi jaringan tubuh. Namun tidak semua energi
tersebut mampu diubah menjadi jaringan, karena salah satunya akan sangat
bergantung pada kemampuan biota atau kosumen tersebut dalam mengolah dan
mengasimilasi makanannya.
Pertumbuhan vegetasi di hampir semua perairan laut sangat dibatasi oleh
faktor ketersediaan cahaya dan ketidakstabilan substrat dasar perairan. Hal ini
yang menyebabkan keberlangsungan interaksi dalam jaring-jaring makanan dasar
atau di daerah afotik akan lebih banyak bergantung pada detritus vegetasi dan
hewan air dibandingkan dengan vegetasi yang hidup.
Studi literatur secara umum mengenai produktivitas sekunder kali ini akan
difokuskan pada ekosistem pantai dengan biota bentik. Adapun secara khusus
akan mengangkat studi kasus mengenai produksi sekunder di perairan Pantai San
Diego, California Selatan, USA.
Studi ini menguji produksi anggota dominan infauna berpasir dominan
yaitu Nebalia (Leptostraca). Meskipun sudah ditemukan lebih dari 200 tahun
silam, leptostraca masih sangat jarang diteliti. Secara umum, leptostraca hidup di
perairan laut dangkal (<100 meter) dengan substrat dasar pasir berlumpur yang
juga berasosiasi dengan habitat lamun dan algae (Rainer and Unsworth 1991;
Haney and Martin 2004; Moreira et al. 2012). Beberapa spesies amphipoda yang
ditemukan di beberapa lokasi dijadikan pembanding kareana paling banyak dikaji
dan memiliki ukuran rata-rata yang hampir menyerupai leptostraca.
1.2. Tujuan
Studi ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis bahwa invertebrata
infauna menjadi lebih produktif seiring dengan peningkatan ketersediaan bahan
organik di habitat hidupnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produktivitas sekunder
Carlisle Daren M. & Clements William H. (2003) menyatakan bahwa
produksi sekunder merupakan fungsi pengukuran dinamika populasi, termasuk di
dalamnya proses yang terjadi pada level individu, populasi maupun ekosistem.
Produksi sekunder adalah ukuran komposit sebuah kepadatan populasi biota,
biomassa dan pertumbuhan selama kurun waktu tertentu (Rose Lori Valentine,
Rypel Andrew L, Layman Craig A 2011). Hewan-hewan herbivora yang
mendapat bahan-bahan organik dengan memakan fitoplankton merupakan
produsen kedua di dalam sistem rantai makanan. Hewan-hewan karnivora yang
memangsa binatang herbivora adalah produsen ketida begitu seterusnya rentetan-
rentetan karnivora-karnovora yang memangsa karnivora yang lain, merupakan
tingkat ke empat, kelima dan sampai pada tingkat yang lebih tinggi (sehingga
dinamakan trofik level) dalam sistem rantai makanan. Perpindahan ikatan organik
dari satuu trofik level ke trofik level berikutnya merupakan suatu proses yang
relatif tidak efisien. Di laut bebas dan banyak tempatdi daratan efisien
perpindahannya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya dipercaya hanya sebesar
kira-kira 10%. Itu berarti bahwa dari 100 unit bahan organik yang diproduksi oleh
produsen pertama hanya 10 unit yang dapat dimanfaatkan oleh produsen kedua, 1
unit oleh produsen ketiga dan demikian seterusnya yang terjadi di sepanjang
rantai makanan ini.
Sifat khas rantai makanan mempunyai pengaruh yang penting dalam
menentukan jumlah produksi ikan di beberapa area. Sebagai contoh produksi ikan
di beberapa area dimana terjadi upwelling menunjukkan hasil yang melimpah jika
dibandingkan dengan bagian laut yang lain. Pertama, hal ini disebabkan karena
hasil produksi primer yang tinggi oleh banyaknya fitoplankton. Kedua, di daerah
upwelling perpindahan bahan dari satu trofik level ke trofik level berikutnya
dalam rantai makanan terjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan tempat-
tempat yang lain. Pertimbangan yang lain adalah jumlah trofik level yang ada di
dalam rantai makanan. Banyak tempat dimana terjadi upwelling hanya
mempunyai dua atau tiga trofik level antara ikan dengan fitoplankton jika
dibandingkan dengan daerah lautan lain yang kadang-kadang sampai enam
tingkatan. Makin pendek rantai makanan akan menghasilkan produksi ikan yang
makin tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka dapat menghindari kehilangan
bahan-bahan organik yang seharusnya dipergunakan untuk menambah setiap
kenaikan trofik level pada sistem rantai makanan yang lebih besar. Akibatnya
makin besar jumlah bahan-bahan produksi yang dihasilkan oleh produsen utama
yang menjadi terikat ke dalam jaringan tubuh ikan. Berikut adalah gambar
mengenai perpindahan energi pada daerah-daerah yang memunyai trofik level
berbeda dalam sistem rantai makanan.
Gambar 1. Diagram perpindahan jumlah energi pada trofik level berbeda dalam
sistem rantai makanan
(Meadows dan Campbell 1978 in Hutabarat S dan Evans S.M. 2008)
2.2. Karakteristik umum perairan pantai
Daerah yang terletak di antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi
oleh pasang dikenal sebagai pantai laut. Pada beberapa tempat, lereng pantainya
mempunyai bentuk landai dan di sini terdapat jarak yang besar antara tanda-tanda
air pasang tertinggi dan air pasang terendah. Sedangkan di tempat-tempat lain
PRIMARY PRODUCTION (Phytoplankton)
Nutrient in seawater Energy from sunlight
SECONDARY PRODUCTION (Herbivorous zooplankton)
TERTIARY PRODUCTION (Carnivorous zooplankton,
Fish predators )
PRODUCTION AT HIGHER LEVEL
dimana lereng pantainya berbentuk curam, tanda-tanda air pasangnya akan
kelihatan saling berdekatan. Bahan-bahan dasar pembentuk pantai pun mungkin
juga berbeda-beda. Ada pantai yang terdiri dari batu-batuan, lumpur, tanah liat,
pasir dan kerikil atau campuran antara dua atau lebih dari tipe-tipe ini secara
bersamaan. Daerah pantai yang terdiri dari pasir atau kerikil bersih mempunyai
pengecualian, karena daerah pasang surutnya dapat mendukung sejumlah
besardan berjenis-jenis organisme, walaupun tipe pantai yang berbeda cenderung
untuk mempunyai sifat populasi sendiri. Sebagai contoh, pantai yang terdiri dari
batu-batuan merupakan tempat yang sangat baik bagi hewan-hewan atau tumbuh-
tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk
banyak jenis gatropoda-moluska dan tumbuhan yang berukuran besar.
Penempelan biasanya tidak mungkin dilakukan pada pasir atau lumpur pantai
sehingga di daerah ini cenderung untuk didominasi oleh jenis hewan infauna.
(Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Perairan pantai San Diego, California
termasuk ke dalam kategori ini. Perairan dengan substrat berpasir cenderung
mengandung bahan organik yang rendah dan macrobenthic yang mendominasi
adalah filter feeder (Gillet David James 2010).
Daerah pantai kaya akan berjenis-jenis organisme, walaupun demikian
kehidupan di sana menciptakan problema-problema. Misalnya organisme
intertidal harus dapat menyesuaikan diri dalam keadaan bahaya sehubungan
dengan kuatnya sinar matahari pada waktu air surut. Dalam hal yang paling serius
adalah risiko kemungkinan besarnya kehilangan cairan tubuh karena semua
organisme yang hidup di daerah pantai mempunyai permukaan tubuh yang basah
dan mempunyai sifat cepat kehilangan air akibat penguapan. Daerah ini juga
berbahaya karena kuatnya intensitas penyinaran matahari akan menyebabkan suhu
perairan menjadi terlalu tinggi (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.1. Suhu
Suhu merupakan suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang
(heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang
permukaan bumi adalah sinar matahari (Effendi 2003). Suhu di laut adalah salah
satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu
mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme
tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-
macam jenis hewan yang terdapat di berbagai tempat di dunia.
Robinson et. al (1983) in Tambiolo Maria L & Downing John A (1994)
menyebutkan bahwa produksi benthos laut sangat tergntung pada suhu. Produksi
akan menjadi tinggi ketika suhu tinggi, karena laju fisiologi menjadi optimum
pada kondisi ektotermal hangat.
Baik lautan maupun daratan keduanya dipanasi oleh sinar matahari melalui
suatu proses insolation. Akan tetapi pengaruh pemanasan ini tidaklah sama untuk
daerah-daerah yang terletak pada lintang yang berbeda. Daerah tropikl lebih
banyak menerima panas daripada daerah kutub, yang pada dasarnya disebabkan
oleh tiga faktor: Pertama, sinar matahari yang merambat melalui atmosfer akan
banyak kehilangan panas sebelum sampai di daerah kutub, bila dibandingkan
dengan daerah ekuator. Kedua, oleh karena besarnya perbedaan sudut datang sinar
matahari ketika mencapai permukaan bumi. Pada daerah kutub sinar matahari
yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yan lebih luas
daripada daerah ekuator. Ketiga, di daerah kutub lebih banyak panas yang
diterima oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Hal ini
disebabkan oleh sudut relatif ketika sinar matahari mencapai permukaan bumi.
Keadaan ini yang membuat insolation di daerah subtropik lebih besar daripada di
daerah tropik. Alasan yang menyebabkan mengapa keanehan ini terjadi,
kemungkinan karena adanya faktor awan yang menutupi.Awan ini yang
menyebabkan insolation berkurang karena menyerap dan menyebarkan sinar-sinar
yang datang. Daerah tropik adalah daerah yang mempunyai nilai kelembaban
udara yang tinggi sehingga menyebabkan daerah ini mempunyai lapisan awan
yang lebih tebal daripada daerah subtropik. Sejak sinar matahari kebanyakan
diserap oleh lapisan permukaan laut, maka lapisan ini cemderung relatif panas
sampai pada kedalaman 200 meter. Pada lapisan kedalaman antara 200 sampai
1000 meter, suhu turun secara mendadak yang membentuk sebuah kurva dengan
lereng yang tajam dan dikenal dengan thermokline (Hutabarat S dan Evans S.M.
2008).
2.2.2. Gelombang
Gelombang selalu menimbulkan sebuah ayunan air yang bergerak tanpa
henti pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam keadaan sama sekali diam.
Angin yang bertiup di atas permukaan laut merupakan pembngkit utama
gelombang. Bentuk gelombang yang dihasilkancenderung tidak tertentu.
Umumnya makin kencang angin bertiup makin besar gelombang yang terbentuk.
Bentuk gelombang akan berubah dan akhirnya pecah ketika sampai di pantai. Hal
ini disebabkan oleh karena gerakan melingkar dari partikel-partikel yang terletak
di bagian paling bawah gelombang dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut di
perairan dangkal. Bekas jalan kecil yang ditinggalkan oleh mereka kemudian
berubah menjadi berbentuk elips. Hal ini mengakibatkan perubahan yang besar
terhadap sifat gelombang. Gelombang sekarang bergerak ke dapan dan tinggi
gelombang naik mencapai 80% kedalaman perairan. Bentuk ini kemudian menjadi
tidak stabil dan akhirnya pecah yang sering disertai dengan gerakan maju ke
depan yang berkekuatan sangat besar. Bila sebuah gelombang pecah, airnya akan
dilemparkan jauh ke depan sampai mencapai daerah pantai. Beberapa di antaranya
akan kembali lagi ke laut mengalir sebahai arus yang ada di bawah permukaan
(Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.3. Angin, Arus dan Upwelling
Hutabarat S dan Evans S.M. (2008) mengemukakan bahwa angin adalah
salah satu faktor yang paling bervariasi dalam membangkitkan arus. Arus
merupakan gerakan air horizontal yang sangat luas yang terjadi pada seluruh
lautan di dunia. Angin dapat juga menyebabkan timbulnya arus air vertikal yang
dikenal sebagai upwelling dan sinking pada beberapa daerah pantai. Hal ini terjadi
dalam keadaan dimana arah angin sejajar dengan garis pantai. Proses upwelling
adalah suatu proses dimana massa air didorong ke arah atas dari kedalaman
sekitar 100 sampai 200 meter yang terjadi di sepanjang pantai Barat di banyak
benua. Adapaun sinking merupakan suatu proses yang mengangkut gerakan air
yang tenggelam ke arah bawah di perairan pantai. Hal ini terjadi sebagai suatu
hasi yang merupakan kebalikan dari proses upwelling. Angin bertiup sejajar
dengan garis pantai tetapi dalam hal ini arah rata-rata aliran arus yang dirpoduksi
mereka ke arah daratan dan aliran massa air diarahkan ke bawah ketika mencapai
garis pantai.
2.2.4. Pasang Surut
Pasang surut atau yang biasa disebut pasut merupakan proses naik
turunnya permukaan laut dengan pola yang hampir teratur yang dibangkitkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari (harian). Besarnya kisaran pasang surut selalu
berubah mengikuti perubahan posisi bulan dan matahari terhadap Bumi yang juga
berubah secara hampir teratur (Satria 2007).
Perairan yang mengalami satu kali pasang dan satu kali surut per hari
dikatakan memiliki tipe pasang surut tunggal. Perairan yang memiliki dua kali
pasang dan dua kali surut per hari dikatakan memiliki pasang surut ganda. Tipe
pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan
dikenal sebagai sebagai pasang surut campuran. Tipe pasang surut ini dapat
berubah terutama karena perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai
setempat (Satria 2007).
Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan
karakteristik gelombang yang merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut
yang terjadi di Samudra Indonesia. Pasang surutnya bersifat campuran dominasi
semidiurnal, yaitu tinggi pasang surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang
surut kedua. Hal tersebut dikarenakan perairan teluk berhubungan langsung
dengan perairan laut lepas Samudera Hindia (Munawir 2006).
2.3. Organisme bentik perairan pantai
Organsime yang hidup di dasar lautan dikenal dengan benthos. Termasuk
di dalamnya seluruh hewan-hewan dan tumbuhan yang hidup pada daerah-daerah
yang masih dipengarhui oleh air pasang (daerah littoral), daerah sublittoral dan
yang tinggal di laut yang sangat dalam (daerah bathyl dan abyssal). Bermacam-
macam jenis hewan invertebrata banyak dijumpai di dalam benthos. Mereka
mempunyai kisaran ukuran yang sangat luas yaitu dari yang berukuran sebesar
protozoa sampai kepada yang berukuran sebesar crustacea dan moluska. Ukuran
ini yang kadang-kadang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan mereka
menjadi golongan microfauna, meiofauna dan macrofauna.
Microfauna adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan hewan-hewan
yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Meiofauna adalah golongan
hewan-hewan yang mempunyai ukuran 0,1 mm sampai 1,0 mm. Cacing-cacing
berukuran kecil dan beberapa crustacea masuk ke dalam golongan ini.
Macrofauna meliputi hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih besar dari 0,1
mm. Ini termasuk echinodermata, crustacea, annelida, moluska. Cara lain untuk
mengklasifikasikan hewan bentik adalah dengan melihat hubungan mereka
terhadap tempat hidupnya. Semua hewan yang hidup di atas permukaan dasar
lautan dikenal dengan epifauna dan yang hidupnya dengan cara menggali lubang
pada dasar lautan dikenal dengan infauna (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
Nebalia yang menjadi biota spesifik dalam kajian ini tergolong ke dalam infauna.
Hewan-hewan herbivora bentik semata-mata hanya bersandar pada bahan
tumbuh-tumbuhan mati atau mengalami pembusukan dari sumber lain sebagai
bahan makanan. Bahan-bahan ini tersedia dalam bentuk detritus yang
mengandung partikel-partikel kecil atau bahan-bahan organik. Sejumlah besar
bahan-bahan ini dibentuk dari sisa-sisa tumbuh-tumbuhan atau hewan bentik yang
hancur yang semasa hidupnya tinggal di daerah dangkal di perairan pantai.
Kemudian sebagian dari jumlah ini dibawa arus ke daerah lepas pantai. Sisa-sisa
tubuh organisme pelagik juga menambah jumlah detritus yaitu ketika mereka mati
dan tenggelam ke dasar. Sumber lain detritus adalah kotoran hewan yang hidup di
daerah pelagik. Sebagai contoh, beberapa golongan copepoda tidak mencernakan
makanan mereka secara sempurna dan akibatnya 30% fitoplankton yang dimakan
mereka akan keluar lagi sebagai potongan kotoran yang tidak tercerna, ini kaya
mengandung bahan-bahan organik. Hewan bentik dalam memanfaatkan sisa
kotoran mengalami suatau masalah khusus, tetapi mereka mampu mengatasi hal
tersebut dengan dua cara. Pertama, suspension feeder yaitu dengan cara
menyaring partikel-partikel detritus yang masih melayang-layang di air. Kedua,
deposit feeders yang mengumpulkan detritus yang telah menetap di atas dasar
perairan. Detritus yang dapat sampai ke dasar lautan pada laut-laut yang sangat
dalam hanya berjumlah relatif kecil. Karena bahan-bahan organik yang tersedia di
daerah ini menjadi kurang, maka hewan-hewan yang dapat hidup di sini pun
menjadi kurang (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Dinamika produksi spesies
bentik sangat kompleks dan informasi yang tersedia juga sangat minim (Morgan
et. al 1980 in Raburu Phil, Mavuti Kenneth M, Harper David M & L Clark Frank.
(2002).
2.4. Karakteristik Nebalia
Klasifikasi Nebalia menurut Leach (1814) in Todd Haney (2004) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Leptostraca
Family : Nebaliidae
Genus : Nebalia
Gambar 2. Nebalia sp. (http://www.websters-online-dictionary.org)
Leptostraca umumnya bentik, bermata majemuk, memiliki rostrum dengan
benuk karapas lebar menutupi kepala, thoracopoda. Sejak spesies pertama Nebalia
dideskripsikan, Cancer bipes Fabricus 1780, yang kemudian dikenal dengan
Nebalia bipes, identifikasi 29 spesies lainnya kemudian mulai diidentifikasi (Lee
Christine N W & Bamber Roger N 2011).
Leptostraca merupakan ordo crustacea yang tersebar cukup luas di
perairan laut dunia, namun masih sangat sedikit dikaji. Nebalia adalah satu dari
tujuh genus leptostraca yang paling dominan ditemukan. Nebalia menduduki lebih
dari separuh spesies ordo Leptostraca dan yang berhasil diidentifikasi adalah 22
dari 39 spesies. Spesies yang dikenal antara lain sadalah Nebalia antarctica Dahl,
1990, Nebalia bipes Fabricius, 1780, Nebalia falklandensis Dahl, 1990, Nebalia
gerkenae Haney and Martin, 2000, Nebalia patagonica Dahl, 1990 Nebalia
daytoni Vetter, 1996.
Rainer SF & Unsworth P (1991) menyebutkan bahwa Nebalia sp. adalah
epifauna crustacea yang ketersediaannya melimpah di padang lamun di Australia
bagian barat pada suhu perairan 16-27 ºC. Panjang maksimum mencapai 6,0-6,4
mm. Nebalia sp. berkembang biak sepanjang tahun. Faktor predasi merupakan
sumber utama kematian pada saat kepadatan Nebalia sp. tinggi.
Nebalia daytoni umumnya ditemukan di pantai San Diego, California
Selatan, USA. Crustacea ini biasanya ditemukan di dasar substrat berpasir di
kedalaman 8 sampai 35 meter. Berbeda dengan Nebalia spesies lain, species ini
menyenangi pasir perairan oligotrophik dibandingkan dengan sedimen yang kaya.
Spesies ini sangat mudah dikenali dari bagian mata, yaitu bagian anterior rata
serta memiliki antennular flagelum yang pendek (Vetter, Eric W. 1996).
2.5. Bahan organik
Jumlah bahan organik terlarut dalam air laut biasanya melebihi rata-rata
bahan organik tidak terlarut. Semua bahan organik ini dihasilkan oleh organisme
hidup melalui proses metabolisme dan hasil pembusukan. Ekresi dari
mikroorganisme merupakan sumber yang penting dari bahan organik karbon.
Proses pelepasan nitrogen dan fospor dari organisme mati dalam air laut terjadi
dengan cepat. Hampir seluruh organik karbon terlarut dalam air laut berasal dari
karbondioksida yang dihasilkan oleh fitoplankton. Konsentrasinya tergantung
pada keseimbangan antara rata-rata organik karbon terlarut yang dibentuk oleh
hasil pembusukan, eksresi dan rata-rata hasil penguraian atau pemanfaatannya.
Hopkinson Charles S et al. (1998) menyebutkan bahwa kualitas dan
kuantitas bahan organik yang masuk ke daerah estuaria ditentukan oleh masukan
bahan organik daratan yang terbawa oleh aliran sungai. Bahan organik tidak
terlarut dalam air laut berukuran lebih besar dari 0,5 µm. Pada lapisan permukaan
air laut material organik tak terlarut ini berupa detritus dan fitoplankton. Pada
zona eufotik konsentrasinya lebih tinggi dari lapisan di bawahnya. Bahan organik
tak terlarut ini berfungsi menyediakan makanan untuk organisme pada beberapa
tingkatan tropik. Organik karbon tak terlarut yang terdapat di laut sumber
makanan penting bagi filter feeder.
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi pengambilan contoh
Studi dilakukan menggunakan SCUBA dari kedalaman 19 sampai 21
meter sepanjang 0.7 km dari garis pantai San Diego (California, USA, 32o 52’
Utara dan 117o 15.5’ Barat). Penelitian ini dimulai dari Juni 1991 sampai
September 1994. Suhu dasar perairan berkisar 6 - 22oC.
Gambar 3. Lokasi Studi: Pantai San Diego, California Selatan, USA.
Sumber : www.maps.google.com
3.2. Metode pengambilan contoh
Menurut Munari Cristina & Mistri Michele (2007), perhitungan
produktivitas sekunder tahunan komunitas macrobenthic memakan waktu yang
cukup lama dan relatif mahal. Namun, metode empiris berdasarkan data biomassa
yang relatif mudah untuk diperoleh dapat digunakan dalam menilai dan mengkaji
produktivitas sekunder suatu perairan.
Pengambilan contoh sedimen dilakukan per bulan, dari kedalaman 19
sampai 20 meter menggunakan core dengan diameter 7.6 cm. Core ditekan
sepanjang 20 cm secara vertikal ke dalam sedimen. Pengambilan contoh dibagi
menjadi 3 kelompok. Core pada masing-masing kelompok diambil dengan jarak 1
meter satu sama lain. Sedangkan jarak antar kelompok core adalah 4 sampai 8
meter. Beberapa contoh non kuantitatif juga diambil dengan tujuan untuk
meningkatkan jumlah contoh Nebalia daytoni. Selama 2 tahun, 2377 individu
diperoleh untuk menduga produksi (rata-rata 97.9 individu/bulan pada tahun
pertama dan 100.2 individu/bulan pada tahun kedua).
Sedimen kemudian disaring dengan penyaring ber mess-size 500 µm.
Contoh kemudian diawetkan dengan menggunakan formalin 4% air laut dan
diwarnai dengan menggunakan Rose Bengal selama 48 jam. Contoh selanjutnya
dipindahkan ke dalam etanol 70% dan disortasi di bawah mikroskop untuk
memisahkan Nebalia daytoni yang diperlukan pada tahap pengukuran karapas.
Pengukuran karapas dimulai dari titik paling anterior (di bawah mata) sampai
pada titik paling posterior karapas menggunakan bantuan mikroskop yang
dilengkapi mikrometer okular.
Beberapa pengumpulan contoh non kuantitatf diperlukan untuk
menganalisa hubugan antara panjang karapas dan berat kering. Biota hidup
dilarutkan dengan etanol dan dikeringkan pada suhu 62oC sampai berat konstan,
kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik Sartorius.
Produksi sekunder Nebalia daytoni diduga dengan menggunakan metode
kohort rata-rata. Metode ini menghitung kohort rata-rata, distribusi frekuensi
ukuran rata-rata populasi dari sata contoh. Hamilton (1969) memodifikasi
persamaan produksi Hynes & Coleman (1968) menjadi:
∑( ) √
P adalah estimasi produksi, i adalah jumlah terjadinya kehilangan (setara dengan
jumlah kelas ukuran yang digunakan), adalah rata-rata jumlah individu pada
kelas ke-j, dan adalah berat kering rata-rata individu pada kelas ukuran ke-j.
Interval kelas ukuran yang dipakai adalah 0.2 mm.
Hasil kalkulasi produksi sekunder yang digunakan dalam studi ini selalu
menunjukkan pengurangan biomassa diantara peningkatan ukuran. Hal ini terjadi
karena terdapat peningkatan rata-rata kelimpahan kelompok ukuran yang lebih
besar atau bisa juga dikarenakan laju pertumbuhan antar kelas ukuran yang tidak
seragam. Tentunya nilai negatif bersifat teori yang menunjukkan terjadinya
sampling error dan nilai ini tetap dimasukkan ke dalam perhitungan untuk
menyeimbangkan error positif.
Perhitungan produktivitas sekunder dapat dilakukan melalui 3 metode
pendekatan yaitu Metode Increment Aummation digunakan untuk taksa yang
dapat dibedakan kohortnya berdasarkan analisis frekuensi panjang. Metode
Removal Summation serta Metode frekuensi ukuran yang digunakan untuk semua
jenis serangga kecuali Chironomid (Benke in 1996 in Carlisle Daren M. &
Clements William H. 2003).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata kepadatan Nebalia daytoni selama Juni 1991 sampai Juni 1993
adalah 950 individu/m2
(sd=300), dengan kepadatan maksimum terjadi pada akhir
musim semi dan awal musim panas. Sedangkan kepadatan minimum terjadi di
akhir musim panas dan di awal musim dingin. Produksi sekunder Nebalia daytoni
pada studi ini dihitung selama 2 tahun. Biomassa diduga menggunakan persamaan
regresi panjang karapas (CL) dengan berat kering. Persamaan tersebut dapat
ditulis kembali menjadi:
Berat kering = (8.90 x 10-5
) x CL2.16
Produksi pada tahun pertama (Tabel 1) sebesar 0.93 gram berat
kering/m2/tahun. Nilai rasio P/B = 2.92 dan rata-rata kepadatan 1087 individu/m
2.
Adapun tahun kedua (Tabel 2) nilai rasio P/B meningkat menjadi 3.17. Namun
produksi menurun menjadi 0.66 gram berat kering/m2/tahun. Hal ini dikarenakan
penurunan kepadatan (814 individu/m2) dan ukuran tubuh rata-rata.
Rata-rata selama 2 tahun, 22% individu yang disampling berada dalam
kondisi matang sex (>2 mm CL). Hewan matang sex mencapai 53% dari total
biomassa populasi selama 2 tahun studi (Gambar 1) masing-masing 76% produksi
pada tahun pertama serta 63% pada tahun kedua (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Nebalia daytoni. Perhitungan biomassa dan produksi sekunder selama
Juni 1991 sampai Juni 1992 menggunakan metode kohort rata-rata.
Tabel 2. Nebalia daytoni. Perhitungan biomassa dan produksi sekunder selama
Juni 1992 sampai Juni 1993 menggunakan metode kohort rata-rata.
Keterangan:
Size class : Panjang karapas
: Rata-rata jumlah individu pada kelas ke-j
: Jumlah individu yang hilang dari satu kelas ukuran ke kelas ukuran berikutnya
: Berat kering individu pada kelas ke-j
: Biomassa kering ukuran kelas ke-j
: Rata-rata geometrik berat kering 2 kelas ukuran
Gambar 4 menunjukkan diagram batang distribusi frekuensi kelas ukuran
Nebalia daytoni selama 2 tahun studi (Juni 1991 sampai Juni 1993). Terlihat dua
kohort untuk masing-masing kelimpahan dan biomassa. Sebaran frekuensi
biomassa, kelimpahan, produksi organisme menurun dari tahun pertama ke tahun
berikutnya.
Gambar 4. Nebalia daytoni. Kelimpahan dan biomassa organisme (*kelas ukuran
terkecil organisme matang sex).
Produksi sekunder dapat diduga menggunakan rasio produksi dan
biomassa atau algoritma berdasarkan lama hidup tahunan, massa tubuh dewasa
atau kombinasi biomassa tahunan rata-rata, bimassa individu rata-rata, suhu rata-
rata tahunan dan kedalaman. Perhitungan dengan menggunakan metode-metode
tersebut cocok pada kondisi tertentu saja. Namun, teknik ini dibatasi oleh variasi
laju pertumbuhan oleh karena perbedaan umur invertebrata. Hal inilah yang
menjadi landasan pendugaan produksi sekuder dalam studi ini langsung
menggunakan data kelimpahan populasi dan frekuensi ukuran.
Tabel 3 menunjukkan perbandingan produksi sekunder antara beberapa
spesies Nebalia dan amphipoda di beberapa lokasi. Amphipoda dipilih sebagai
pemabanding karena terdapat kesamaan ekologi dengan Nebalia. Selain itu
jumlahnya yang relatif melimpah. Amphipoda dan leptostraca juga sering
mengalami tumpang tindih dalam hal habitat, ukuran dan modus trofik (makanan).
Sehingga ketersediaan makanan di suatu perairan terlihat memberikan pengaruh
yang sama terhadap produksi sekunder amphipoda maupun leptotraca. Data pada
Tabel 3 menunjukkan hanya ada 2 studi produksi sekunder terhadap Nebalia.
Rainer & Unsworth (1991) melakukan studi populasi Nebalia sp. yang hidup di
padang lamun Australia bagian barat. Produksi tahunan 5.8 gram berat kering/m2
serta nilai rasio P/B = 22.5. Adapun Vetter (1994) menemukan populasi Nebalia
hessleri hidup di perairan subtidal yang terdapat akumulasi detritus macrophyta.
Produksi sekunder tahunan N.hessleri mencapai 3300 gram berat kering/m2, nilai
rasio P/B = 7.8. Kedua spesies Nebalia ini ditemukan di habitat yang kaya akan
detritus. Selain itu, jika dibandingkan dengan amphipoda, produksi sekunder dan
nilai rasioa P/B kedua spesies ini relatif tinggi. Sedangkan produksi sekunder serta
nilai rasio P/B spesies Nebalia daytoni pada studi ini paling rendah. Hal ini
dikarenakan kepadatan dan ukuran tubuh spesies ini adalah kecil.
Tabel 3. Produksi dan nilai rasio P/B Nebalia dan beberapa spesies amphipoda
Secara umum, habitat dengan vegetasi tinggi sangat mendukung
produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan habitat tanpa vegetasi. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun sisa karbon yang berasal dari detritus macrophyta
tidak menjadi nutrien makrofauna, namun tetap akan memperkaya pertumbuhan
detritivora. Beberapa tumbuhan membutuhkan proses mikrobial sebelum dapat
dikosunsimsi oleh makrofauna. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa
algae dapat bermanfaat untuk pertumbuahn deposit feeder. Munari Cristina &
Mistri Michele (2007) menambahkan bahwa keberadaan organisme benthik di
perairan akan memberikan pengaruh langsung terhadap proses biokimia sedimen
dan menjaga stabilitas sedimen. Bahkan komunitas macrobenthik menjadi
indikator paling baik untuk mendeteksi kondisi suatu ekosistem perairan.
Parameter lingkungan seperti konsentrasi oksigen, kualitas dan ketersediaan
makanan, serta suhu perairan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan biota.
Habitat padang lamun mendukung produksi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan substrat dasar yang lembut dan daerah intertidal (Tambiolo Maria L &
Downing John A 1994).
Peningkatan produktivitas biasanya akan berdampak pada peningkatan
ketersediaan makanan. Peningkatan produktivitas dapat dicerminkan dari nilai
rasio P/B populasi yang lebih tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa produksi
dan rasio P/B yang tinggi sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan organik
habitat biota. Berdasarkan Tabel 3, nilai rasio P/B amphipoda hanya berkisar
anatar 1.0 sampai 5.0. Hal ini sesuai dengan fakta studi habitat amphipoda pada
daerah yang kurang kaya bahan organik. Kesimpulannya adalah lebih dari 3 data
tepat digunakan dalam menilai hubungan antara ketersediaan makanan dan
pertumbuhan leptostraca. Menurut Haley Carol J (1997) karakteristik ekologi,
kebiasaan dan fungsi morfologi mempengaruhi aktivitas makan biota.
5. KESIMPULAN
Leptrotraca dan amphipoda (invertebrata infauna) per unit biomassa
menjadi lebih produktif di habitat dengan ketersediaan bahan organik tinggi (yang
umumnya dalam bentuk detritus)
DAFTAR PUSTAKA
Carlisle Daren M. & Clements William H. 2003. Growth and secondary
production of aquatic insects along a gradient of Zn contamination in Rocky
Mountain streams. J. N. Am. Benthol. 22(4): 582–597.
Effendi Hefni. 2009. Telaah Kualitas. Air. Yogyakarta: Konisius.
Gillet David James. 2010. Effects of habitat quality on secondary production in
shallow estuarine waters and the consequences for the benthic-pelagic food
web. [dissertation]. The Faculty of the School of Marine Science. Virginia:
The College of William and Mary.
Haley Carol J. 1997. Comparisons of Secondary Production, Life History, and
Mouthpart Functional Morphology Between Two Populations of the
Amphipod Gammarus minus. [dissertation]. Faculty of the Virginia
Polytechnic Institute.
Hopkinson Charles S, Buffam Ishi, Hobbie John, Vallino Joseph, Perdue Michael,
Eversmeyer Bruce, Prahl Fredrick, Covert Joseph, Hodson Robert, Moran
Mary Ann, Smith Erik, Baross John, Crump Byron, Findla Stuart &
Foreman Kenneth.1998.Terrestrial inputs of organic matter to coastal
ecosystems: An intercomparison of chemical characteristics and
bioavailability. Biogeochemistry 43: 211–234.
Hutabarat, Sahala dan Evans, Stewart M. 2008. Pengantar Oseanografi. Jakarta.
Universitas Indonesia Press.
Lee Christine N W & Bamber Roger N. 2011. A new species of Nebalia
(Crustacea: Phyllocarida: Leptostraca) from the Cape d’Aguilar Marine
Reserve, Hong Kong. Zootaxa. 3091: 51-59.
Moreira Juan, Sezgin Murat, Katagan Tuncer, Gonulal Onur, Topaloglu. 2012.
First record of a bathyal leptostracan, Nebalia abyssicola Fage, 1929
(Crustacea: Malacostraca: Phyllocarida), in the Aegean Sea, eastern
Mediterranean. Turk J Zool. 36 (3): 351-360
Munari Cristina & Mistri Michele. 2007. Structure and secondary production of
the macrobenthic community in an aquatic transition environment of the
Gulf of Olbia, Mediterranean Sea. Indian Journal of Marine Sciences. 36
(3): 216-226.
Munawir. 2006. Interpretasi sebaran nilai target strength (TS) dan densitas ikan
demersal dengan metode hidroakuatik di Teluk Palabuhan Ratu [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Raburu Phil, Mavuti Kenneth M, Harper David M & L Clark Frank. 2002.
Population structure and secondary productivity of Limnodrillus
hoffmeisteri (Claparede) and Branchiura sowerbyi Beddard in the profundal
zone of Lake Naivasha, Kenya. Hydrobiologia. 488: 153-161.
Rainer SF & Unsworth P. 1991. Ecology and production of Nebalia sp.
(Crustacea : Leptostraca) in a shallow-water seagrass community.
Australian Journal of Marine and Freshwater Research. 42(1) 53 – 68.
Rose Lori Valentine, Rypel Andrew L, Layman Craig A. 2011. Community
secondary production as a measure of ecosystem function: a case study with
aquatic ecosystem fragmentation. Bulletin of Marine Science. 87 (4): 913-
937.
Satria K D. 2007. Kajian oksigen terlarut selama 24 jam pada lokasi karamba
jaring apung di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Tambiolo Maria L & Downing John A. 1994. An empirical model for the
prediction of secondary production in marine benthic invertebrate
populations. Mar.Ecol.Prog.Ser. 114: 165-174.
Todd Haney. 2004. Classification. Natural History Museum of Los Angeles
County. Retrieved on 2007-08-08.
Vetter Eric W. 1996. Nebalia Daytoni N. Sp. a Leptostracan From Southern
California (Phyllocarida). Crustaceana. 69 (3): 379-386 (8).
Vetter Eric W. 1996. Secondary production of a Southern California Nebalia
(Crustacea: Leptostraca). Mar Ecol Prog Ser. 137: 95-101.